PENDIDIKAN SEBAGAI PROSES MEMBANGUN MANUSIA BERAKHLAQ MULIA (Umar Faruq ) Pendahuluan Hidup manusia sangat didukung oleh dua unsur atau dua komponen, unsur yang bersifat fisik dan unsur metafisik (rohani, spiritual). Fisik terdiri dari tubuh atau raga sedangkan metafisik adalah unsur dalam (interself) dari manusia yang biasanya disebut dengan ruh atau jiwa. Namun substansi jiwa sampai saat ini baik secara ilmiah atau agama tetap merupakan sesuatu yang misterius. Kalau pun bisa diketahui masih terbatas pada gejala-gejalanya yang dalam ilmu modern disebut dengan psikologi, ilmu tentang gejala-gejala jiwa. Hidup merupakan aktifitas dan berbuat. Sebaliknya usaha manusia untuk mencari nilai kehidupan perbuatan itu sendiri dapat bernilai baik atau buruk tergantung pada dasar sasarannya. Orang yang beriman dan berakal pasti perbuatannya akan selalu diserahkan kepada hal kebaikan dan kebenaran. Nilai tambah manusia dalam kehidupan sesungguhnya tidak ditentukan oleh unsur fisiknya, tetapi oleh unsur metafisiknya yang berupa jiwa dan kualitaskualitas internal lainnya. Jadi jika dari subtansinya manusia mendapat predikat makhluk berkualitas, manusia unggulan, bukan karena kesempurnaan fisik biologisnya, seperti perawatan postur tubuh dan kelengkapan fisiknya tetapi lebih pada keseluruhan kepribadiannya yang meliputi kesempurnaan intelektual, moral dan spiritual. Kualitas dan keunggulan ini menjadikan manusia menduduki posisi terhormat, bahwa di atas manusia tidak yang ada lain kecuali Tuhan. Makhluk lain berada di bawah manusia. Artinya, manusia berada di posisi antara makhlukmakhluk lain dengan Tuhan, itu sebabnya maka Tuhan sendiri meletakkan manusia di atas kedudukan makhluk lain. Manusia adalah makhluk Allah yang diciptakan berbeda dengan makhluk lainnya, hewani dan nabati. Ia dituntut untuk memenuhi hak-hak rohani di samping hak-hak jasmani, seperti tidak hanya bekerja mencari nafkah, makan, minum, olah raga, berobat, di rumah sakit, memiliki tempat tinggal untuk pemenuhan kebutuhan jasmani, melainkan harus memiliki sifat-sifat kejiwaan seperti berilmu pengetahuan, sikap sabar, jujur pemberani, pemalu dan lain-lain, termasuk bermoral, merupakan salah satu keutamaan untuk mempertahankan kedudukan manusia sebagai makhluk yang berkehormatan. Merupakan tuntunan ajaran Islam, yang wajib diimplementasikan atau diwujudkan dalam setiap pribadi serta sosialisasinya terhadap sesama manusia. Maka yang perlu dibahas dalam tulisan ini yaitu manusia sebagai makhluk Tuhan yang harus berakhlaq baik kepada dirinya dan kepada orang lain, dengan kata lain manusia itu harus berbudi luhur. Apabila ia tidak mau berubah dengan perbuatan yang baik, maka apa yang dilakukan akan membuahkan sifat jelek yang tidak sesuai dengan agama.1
Dosen Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Ampel Surabaya 1
Nasrudin Razak, Dienul Islam, (Bandung: PT. Al Ma’arif, 1997), hal. 36.
Figur paling ideal, manusia berakhlaq luhur adalah Nabi Muhammad (Rasulullah). Siti Aisyah ketika ditanya tentang akhlak beliau dengan spontan ia menjawab, akhlaknya adalah Al-Qur’an. Jawaban ini sederhana sekali namun cukup representatif, karena Rasulullah memang dinyatakan demikian dalam AlQur’an. Manusia dalam praktiknya baik secara kualitas maupun kuantitas tidak banyak yang menyandang predikat akhlak mulia, bahkan di kalangan orang-orang yang telah bersaksi, sekalipun (orang-orang yang beriman) menyikapi kehidupan dan penghidupan di muka bumi ini dengan sifat sebaliknya, angkuh, sombong, tidak bermoral. Akhlak Mulia Manusia yang memiliki kecerdasan, akhlak dan moral adalah yang mampu berfikir, merenung mana yang benar, dan mana yang salah dengan menggunakan sumber emosional maupun intelektual pikirannya. Manusia yang memiliki akhlak akan berusaha memutuskan apa yang seharusnya dilakukan, dan yang tidak boleh dilakukan, mengapa dan bagaimana harus bergaul dengan orang lain serta atas alasan keseluruhan moral religius, dan spiritual. Akhlak merupakan standar baik-buruk, mulia-hina, benar-salah, dan perlu tidaknya suatu perbuatan itu dilaksanakan sesuai dengan nilai-nilai atau normanorma yang diatur dan dijunjung tinggi oleh sekelompok masyarakat. Pada nilainilai akhlak harus terkandung unsur keadilan dan konsep akhlak itu sendiri. Seperti hak, kewajiban, kesejahteraan, kebahagiaan, kebebasan, dan aturan dalam masyarakat.Tujuan tertinggi akhlak ialah menciptakan kebahagiaan kesejahteraan di dua tempat, dunia dan akhirat, kesempurnaan jiwa bagi individu, juga menciptakan kebahagiaan, kesejahteraan, kemajuan, kehormatan dan keteguhan bagi masyarakat.2 Akhlak sangat penting bagi kehidupan manusia. Akhlak ini tidak saja dirasakan oleh manusia dalam kehidupan individu, tetapi juga dalam kehidupan bermasyarakat bahkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, dan beragama. Akhlak sebagai mustika hidup yang membedakan manusia dari makhluk hewani. Manusia tanpa akhlak akan kehilangan kehidupan yang paling mulia dan bisa menjadikan turun derajatnya ke derajat binatang. Manusia seperti ini sangat berbahaya, ia akan lebih jahat dan lebih buas daripada binatang buas itu sendiri. Jika akhlak sudah lenyap di kalangan manusia tentu kehidupan ini akan menjadi kacau balau. Masyarakat menjadi berantakan, kehidupan masyarakat sudah tidak lagi memahami aturan dan norma-norma. Manusia tidak lagi peduli soal baik atau buruk, halal dan haram. Dengan ilmu pengetahuan saja belum sempurna dan belum cukup. Kekacauan dan kejahatan tidak bisa diatasi dengan ilmu, sebab yang menyebabkannya memang bukan kurangnya ilmu melainkan kurangnya akhlak. Dengan ilmu memang manusia dalam batas-batas tertentu bisa mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk, tetapi sekedar mengetahui baik dan buruk 2
Umar Muhammad, Al-Touny Al-Syaibani, Falsafah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), hal. 346.
belum tentu mereka mau melakukan yang baik dan menjauhi yang buruk yang telah mereka ketahuinya. Menurut Imam Al-Ghazali, akhlak merupakan sifat yang tertanam dalam jiwa darimana tumbuh perbuatan-perbuatan dan tindak-tunduk dengan mudah dan gampang tanpa memerlukan pikiran dan pertimbangan. 3 Dari statemen di atas dapat diambil kesimpulan bahwa hakekat akhlak harus mencakup dua syarat: 1. Perbuatan itu harus konstan, yaitu dilakukan berulang kali, kontinyu terus menerus dalam bentuk sama, sehingga dapat dijadikan kebiasaan. 2. Perbuatan yang konstan itu harus tumbuh dengan mudah sebagai implementasi dan eksistensi refleksif dari jiwanya tanpa pertimbangan dan pemikiran, yakni bukan karena adanya tekanan-tekanan, paksaan dari orang lain atau pengaruh-pengaruh dan rayuan yang indah.4 Akhlak manusia yang ideal dan mungkin dapat dicapai dengan usaha pendidikan, pembinaan, bimbingan yang sungguh-sungguh adalah terwujudnya keseimbangan iffah. Akan tetapi tidak ada manusia yang dapat mencapai keseimbangan yang sempurna dalam empat unsur akhlak tersebut. Tetapi setiap manusia mestinya berupaya ke arah itu kecuali Rasulullah SAW. Karena beliau sendiri ditugaskan oleh Allah SWT. untuk menyempurnakan akhlak manusia dan oleh karenanya beliau harus sempurna terlebih dahulu.5 Pendidikan Bangsa Indonesia khususnya, dan bangsa di dunia umumnya sudah menjadi semestinya dan layak mendapatkan serta menempuh pendidikan. Karena begitu jelas dalam UUD 1945 pasal 31 ayat I dan ayat 2 kewajiban negara (pemerintah) untuk mengusahakan sistem pendidikan, biaya pendidikan maupun strategi dan tujuan pendidikan dalam pasal 31 ayat 3, 4, dan 5. Di samping UUD 1945, UU No 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas pasal 3 menyebutkan pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak, serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik supaya menjadi manusia beriman, berakhlak karimah, mulia dan bertawakkal kepada Tuhan semesta alam yang Maha Esa, sehat, berilmu, berpengetahuan luas, cakap kretatif, inovatif, mandiri dan menjadi warga negara yang berwibawa, terhormat demokratis serta berbertanggung jawab. Pendidikan mempunyai jangkauan yang sangat luas serta dalam rangka mencapai kesempurnaannya memerlukan waktu dan tenaga yang tidak kecil. Dalam khazanah keagamaan dikenal ungkapan “minal mahdi ilal lahd” dari buaian hingga liang lahad atau pendidikan seumur hidup. Pernyataan ini belum sepenuhnya dilaksanakan oleh bangsa Indonesia. Hanya sedikit waktu yang disediakan oleh peserta didik dan kecil sekali dana dan tenaga yang diberikan oleh mereka yang memilikinya untuk pengembangan pendidikan, bahkan diduga keras sebagian di antara bangsa mengabaikan tugas-tugas kependidikan. 3
Ali Yunasril, Perkembangan Pemikiran Filsafat Dalam Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1991, hal. 74 4 Zainuddin, Seluk-Beluk Pendidikan Dari Al-Gahazali, Semarang: Bumi Aksara, 1990, hal. 74 5 Ibid, hal. 106.
Eksplanasi yuridis merupakan rangkaian penting dari tugas pemerintah untuk memenuhi kebutuhan pendidikan warga negaranya. Sebagai bagian dari kebutuhan dasar untuk menuju manusia berkualitas, manusia cerdas dan sumber daya manusia yang bermartabat tinggi dan mempunyai kehormatan setara dengan bangsa di dunia, juga berakhlak mulia. Selain sebagai entitas penting dalam kehidupan manusia, pendidikan juga sebagai instrumen di dalam proses membangun manusia berakhlak mulia dan beradab. Manusia tanpa pendidikan, dan bimbingan, akan menjadi pemangsa terhadap manusia lainnya, dan tidak mencerminkan sebagai makhluk sosial dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa serta bernegara. Karena tidak mampu mecerminkan dan menghadirkan dirinya sebagai makhluk sejati dan sejajar dengan manusia lainnya. Pendidikan Sebagai Upaya Membangun Manusia Berakhlak Mulya Memang di negeri ini kebebasan mendapatkan pendidikan sangat luas. Namun banyak hal yang dilupakan seperti pendukung dan pelaksana pendidikan, pendidikan non formal, pendidikan rumah tangga, karena pendidikan yang terbesar rumah, pendidikan di rumah sebagian tokoh pendidikan mengatakan alummu madrasatun, ibu merupakan faktor utama dalam menunjang pendidikan. Di sisi lain diduga bahwa sebagian tenaga kependidikan tidak melaksanakan fungsinya secara baik. Yang dimaksud dengan tenaga kependidikan di sini adalah masyarakat secara keseluruhan. Pendidikan sebagai salah satu instrumen untuk membangun manusia berakhlak mulia. Jika ingin membangun Indonesia secara keseluruhan, yang harus dibangun pertama kali adalah pembangunan manusia seutuhnya. Jangan memulai pembangunan dengan membangun fisik, maka kalau pembangunan bangsa ini dititik-beratkan pada pembangunan fisik tidak memulai dari pembangunan moral dan akhlak spiritual pasti akan terjadi dekadensi moral, kebobrokan akhlak dan kebobrokan moral. Sebab terjadinya dekadensi moral dan akhlak di sebagian umat dikenal dengan berbagai perilaku yang kurang mengindahkan nilai-nilai moral keagamaan. Dapat diketahui bahwa semua itu sebagai akibat dari kekeringan batin, kekeringan spiritual, kekeringan moral dan kekeringan mental. Memfokuskan pada pandangan di atas sepatutnya bangsa dan pelaksana pendidikan membangun manusia berkualitas mental spiritual, moral dan akhlak melalui pendekatan ideology. Pendidikan agama secara terpadu dapat pula dikatakan bahwa timbulnya dekadensi moral diakibatkan kurang adanya landasan agama terutama pendidikan akhlak yang kuat pada diri manusia. Kalau pendidikan meminjam istilah Salman Far’atin pada hakekatnya, adalah proses membangun manusia berakhlak mulia, maka pendidikan tersebut haruslah dihadirkan sebagai jalan dan upaya memperbaiki akhlak dan keteladanan bangsa. Terhadap manusia lainnya yang kadar keilmuanya maupun stratifikasi pendidikannya jauh lebih rendah daripada bangsa kita. Substansi pendidikan sebagai jembatan adalah upaya untuk merubah kehidupan menjadi lebih baik dalam konteks duniawi dan ukhrawi. Dalam konteks duniawi pendidikan akan mengantarkan bangsa ini menjadi lebih terhormat dan berharga dalam lingkungan kehidupan bermasyarakat dan
berbangsa. Maka dengan pendidikan pula bangsa kita akan mampu mengimplementasikan nilai-nilai kebajikan dalam kehidupan karena bangsa kita mempunyai pengetahuan melalui pendidikan yang tumbuh dalam diri pribadi. Kebaikan merupakan pengetahuan dan interaksi sosial antar umat manusia satu sama lainnya yang didasarkan atas kasih sayang, cinta mencintai dan saling mneghormati serta memelihara tatakrama yang layak dalam pergaulan antar anggota masyarakat. Selain itu manusia perlu mendekatkan diri pada Tuhan agar manusia selalu diberi jalan yang mudah menuju kebaikan diri. Perlu kita ketahui bersama, bahwa keinginan kita dalam memperoleh pendidikan seluas-luasnya adalah bagaimana pendidikan mampu membangun bangsa Indonesia atau manusia Indonesia yang utuh yang tidak hanya unggul di bidang kemampuan duniawi saja tetapi unggul pula di bidang uhrawi, mental dan spiritual. Keunggulan mental dan spiritual mengisyaratkan kokohnya kekuatankekuatan kerohaniahan yang menjadi pengendali dinamika gerak laju aspek-aspek yang bersifat jasmaniyah. Dengan demikian, kepentingan yang bersifat kerohanian adalah faktor pengendali bagi kepentingan jasmaniyah. Kedua faktor tersebut bukanlah dua hal yang saling bertentangan, tetapi saling melengkapi. Kekuatan rohani tanpa diimplementasikan dalam berbagai kemajuan kehidupan duniawi sudah barang tentu akan kurang memberi manfaat. Namun tanpa disertai kekuatan rohani kemajuan-kemajuan itu bisa saja tidak terkendali dan salah arah, dan akan merendahkan martabat manusia itu sendiri. Bisa saja manusia akan berperilaku jahat dan kejam layaknya seekor binatang buas yang tidak mengenal mangsanya karena kurang pengetahuan dan lemah dalam akses pendidikan. Bisa jadi pula dengan dengan latar belakang pendidikan yang mumpuni manusia bertindak sewenang-wenang untuk meraih kekuasaan dan menindak yang lemah secara tidak manusiawi karena merasa lebih benar. Sehingga akhlak dan moral uswah hasanah keteladanan dan norma-norma serta nilai luhur kemanusiaan tereliminasi dengan tabiat dan sifat kebinatangan, seperti serakah dan tamak. Berakhlak mulia merupakan suatu keharusan bagi keseluruhan manusia agar mereka mempunyai sifat rendah hati, karena sifat itu mempunyai arti tidak menampakkan suatu keangkuhan, namun sangat tunduk dan khudu’ terhadap kebenaran yang hakiki yang datang dari sang Maha Pencipta. Sifat itu mencerminkan suatu yang mendalam dalam aktifitas ta’abuddi kepada Allah secara spontan juga menimbulkan sikap yang positif terhadap sesama. Dalam konteks ukhrawi pendidikan, khususnya pendidikan akhlak akan mengantarkan bangsa dan manusia secara umum kepada penempatan derajat kemanusiaan yang tinggi sekaligus menambah derajat keimanan terhadap Tuhan pencipta langit dan bumi yang Maha Agung, Maha Kuasa. Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, hamba Allah yang mendapatkan kedudukan tinggi, baik di dunia maupun di akhirat adalah manusiamanusia yang memiliki sikap rendah hati terhadap Allah dan sesamanya. Mereka juga yang dalam relaitas kehidupan pribadinya selalu melakukan perbuatanperbuatan positif (amal sholeh) atau bermoral luhur dan tatakrama. Hal ini
merupakan implementasi dari sikap rendah hati dan ini tidak ditemukan dari pribadi-pribadi yang sombong dan tamak. Idealnya manusia dengan moral dan mental baik yang mereka miliki mampu mendekatkan diri pada Allah dan merasa rendah diri kepadanya, berbuat arif dan bijaksana terhadap sesamanya dan mampu menempatkan dirinya sebagai makhluk Tuhan yang berintegritas dan selalu tampil dengan performance manusia sejati yang hanya berharap ridho Allah semata-mata dan selalu berinteraksi dengan tawwakal dalam kehidupan dan kemashlahatan manusia lainnya. Dengan demikian, nafsu tamak, congkak, sombong, takkabur, serakah, dan egoisme individu selalu mementingkan diri sendiri dapat ditekan dan dicegah karena keinginan dan harapan untuk mendapatkan ridho Tuhan Yang Maha Esa di akhirat nanti lebih besar dan jauh melampaui kebutuhan sesaat di dunia ini. Sekali lagi, penulis garis bawahi, bahwa sikap-sikap negatif seperti sombong dan sebangsanya dapat dibersihkan. Sekecil apapun sikap negatif ini yang disandang hamba Allah maka ia akan mendapat siksa di akhirat nanti. Simpulan Dekadensi moral dan akhlak di sebagian umat yang dikenal oleh berbagai perilaku yang kurang mengindahkan nilai-nilai moral keagamaan, dapat diketahui bahwa semua itu sebagai akibat dari kekeringan batin, kekeringan spiritual, kekeringan moral dan kekeringan mental. Masalah utama berkenaan dengan dekadensi moral ini mampu ditanggulangi melalui pendidikan. Instrumen penting untuk membangun manusia berakhlak mulia adalah pendidikan akhlak akan mengantarkan bangsa dan manusia secara umum kepada penempatan derajat kemanusiaan yang tinggi sekaligus menambah derajat keimanan, serta berbuat arif dan bijaksana terhadap sesamanya dan mampu menempatkan dirinya sebagai makhluk Tuhan yang berintegritas dan selalu tampil dengan performance manusia sejati yang hanya berharap ridho Allah semata-mata dan selalu berinteraksi dengan tawwakal dalam kehidupan dan kemashlahatan manusia lainnya.
BIBLIOGRAFI Al-Qur’an al-Karim Al-Darini, Imam Al-Hafizh Abdullah bin Abd. Rahman, Sunan Al-Damiri, Juz I, (Kairo: Dar al Rayyan al-Yunus, 1967) Nasrudin Razak, Dienul Islam, (Bandung: PT. Al Ma’arif, 1997) Umar Muhammad, Al-Touny Al-Syaibani, falsafah pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979) Yunasril, Ali. Perkembangan Pemikiran Filsafat Dalam Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991) Zainuddin, Seluk-Beluk Pendidikan Dari Al-Gahazali, (Semarang: Bumi Aksara, 1990)