GURU SEBAGAI PELAKU UTAMA PROSES PENDIDIKAN Ummu Hany Almasitoh*
Abstrak : Paradigma pendidikan mulai bergeser dari berfokus pada guru ke berfokus pada siswa. Pergeseran ini terjadi karena berkembangnya teori psikologi yang dijadikan dasar pendekatan dalam pendidikan. Ada dua teori psikologi yang dijadikan dasar dalam pendekatan pendidikan modern, yaitu psikologi kognitif dan psikologi konstruktivisme. Psikologi kognitif berasumsi bahwa (a) setiap anak secara kodrati telah dibekali dengan innate (bakat bawaan) untuk berkembang, (b) kognisi anak berkembang secara bertahap sesuai dengan perkembangan usia kronologisnya, (c) setiap anak yang belajar selalu mengandung kebermaknaan Atas dasar asumsi itu, (d) anak dapat berkembang bakatnya sesuai dengan perkembangan kognitifnya. Sejalan dengan itu, psikologi konstruktivisme juga berasumsi bahwa setiap anak mampu mengkonstruk kebenaran berdasarkan perkembangan kognisinya asal mendapatkan iklim yang kondusif. Karena itu, yang terpenting dalam belajar bagi anak adalah iklim yang kondusif yang dapat diberikan oleh guru. Atas dasar asumsi psikologi kognitif dan psikologi konstruktivisme di atas, siswa harus diberi porsi lebih banyak untuk beraktivitas dalam belajar. Premis ini memberikan pesan bahwa setiap guru harus merancang skenario pembelajaran yang memungkinkan anak dapat beraktivitas belajar sebanyak mungkin. Skenario pembelajaran yang memungkinkan anak dapat belajar adalah (a) dengan memilih metode yang mampu mengaktifkan belajar siswa, (b) dengan memilih media pembelajaran yang memungkinkan anak mudah menyerap informasi, (c) dengan memberikan sumber belajar yang autentik, (d) dengan memilih materi yang kontekstual, dan (e) dengan memberikaan atmosfir agar anak mampu belajar secara bermakna. Berdasarkan asumsi di atas, sebenarnya yang memegang peran penting dalam pembelajaran tetap guru tetapi peran itu diberikan kepada anak agar mereka lebih banyak aktif untuk belajar. Substansi pergeseran paradigma pendidikan di atas tidak berarti bahwa guru semakin berkurang perannnya dalam pembelajaran, tetapi justru sebaliknya. Pada waktu pembelajaran masih berfokus pada guru, guru cukup mempersiapkan pembelajaran untuk dirinya dan kemudian menyampaikannya kepada siswa. Namun, ketika pembelajaran berfokus pada siswa, tugas guru bertambah banyak, yaitu (a) merancang materi pembelajaran, (b) merancang strategi pembelajaran yang akan diterapkan kepada siswa, (c) menentukan metode pembelajaran yang dapat mengaktifkan siswa, (d) merancang media pembelajaran untuk mempermudah penyerapan informasi, (e) merancang pendampingan siswa selama belajar, (f) merancang rubrik penilaian proses belajar siswa, (g) merancang tes hasil belajar siswa, (h) mempersiapkan materi lebih banyak jika ada siswa yang lebih maju dalam belajar, dan lain-lain. Meskipun paradigma pendidikan bergeser, kendali pembelajaran tetap ada pada guru tetapi sebagian peran guru dialihkan kepada siswa. Siswa tidak hanya menyerap informasi dari guru sebagai sumber belajar tetapi dapat menyerap informasi dari berbagai sumber belajar baik yang disediakan guru atau usaha siswa sendiri memperoleh informasi dari berbagai sumber belajar yang lain. *Fakultas Psikologi, UNWIDHA Klaten
Magistra No. 87 Th. XXVI Maret 2014 ISSN 0215-9511
17
Guru sebagai Pelaku Utama Proses Pendidikan
Dengan kata lain, peranan guru dalam proses pendidikan tetap memegang peranan utama dan tidak dapat dialihkan pada teknologi. Hal ini perlu disadari bahwa tugas guru tidak sekedar menyampaikan materi pelajaran tetapi juga membentuk sikap dan perilaku agar dapat menjadikan anak didik sebagai anak yang berbudi luhur, beriman dan bertakwa, santun dalam berkomunikasi, dan sebagainya. Kata kunci: Guru, anak didik, psikologi kognitif, psikologi konstruktivisme
PERAN GURU DI SEKOLAH Peranan guru ibarat sekeping mata uang, di satu sisi sebagai pendidik dan di sisi lain sebagai pengajar. Kedua peran itu dapat dibedakan tetapi tidak pernah dapat dipisahkan. Peran guru sebagai pendidik adalah menanamkan sikap, nilai, dan perilaku melalui keteladanan sikap dan perilaku diri sendiri atau yang dipetik dari orang lain untuk ditanamkan kepada anak didik. Sedangkan peran guru sebagai pengajar adalah mentransfer ilmu pengetahuan dan teknologi yang dihasilkan oleh ilmuwan atau teknolog kepada anak didik agar dapat dikuasai sebagai bekal awal untuk menggali, menciptakan, dan mengembangkan ilmu dan teknologi baru yang belum ada sebelumnya. Namun, ketika mengajarkan materi kepada anak didik, seorang guru sekaligus menanamkan sikap dan nilai kepada anak didik.
dengan jelas, (6) mampu mengemukakan‘ bukti-bukti sebagai pendukung yang meyakinkan, (7) mampu menarik kesimpulan, dan (8) mampu melihat implikasi dari kesimpulan yang sudah diambil. Sedangkan pemikir kreatif adalah pemikir yang mampu mempraktikkan asosiasi dan imajinasi secara bebas dalam menemukan cara baru untuk memecahkan masalah. Ciri penanda pemikir kreatif yaitu harus mampu melakukan aktivitas mental, untuk (1) selalu mengajukan pertanyaan (mempertanyakan sesuatu yang sudah mapan), (2) mempertimbangkan informasi baru dan ide yang tidak lazim dengan pikiran terbuka, (3) membangun keterkaitan (khususnya diantara hal-hal yang berbeda), (4) menghubung-hubungkan berbagai hal dengan bebas, (5) menerapkan imajinasi pada setiap situasi untuk menghasilkan hal baru yang berbeda, dan (6) mau mendengarkan intuisinya.
Berkaitan dengan peran guru sebagai pengajar yang terpenting adalah mendampingi anak didik agar mampu menjadi pemikir kritis dan kreatif, bukan sekedar orang kritis. Pemikir kritis adalah pemikir
Peran guru tidak sekedar mendidik anak didik menjadi orang kritis. Orang kritis hanyalah orang yang mampu mengemukakan kelemahan pemikiran
yang mampu berpikir secara sistematis untuk menemukan kebenaran dengan mengevaluasi buktibukti, asumsi, logika, dan bahasa seseorang yang mendasari pernyataan seseorang tersebut. Ciri pemikir
orang lain untuk ditanggapi dan ditentang dengan pendapatnya sendiri atas dasar penalaran rasional. Orang kritis tidak mampu memberikan solusi terhadap suatu permasalahan tetapi justru memberikan
kritis adalah orang yang mampu melakukan aktivitas mental seperti (1) mampu mengidentifikasi masalah, (2) mampu menentukan sudut pandang, (3) mampu mengajukan alasan, (4) mampu mengemukakan
permasalahan baru yang lebih rumit dari permasalahan yang ada.
asumsi-asumsi, (5) mampu menggunakan bahasa
18
Magistra No. 87 Th. XXVI Maret 2014 ISSN 0215-9511
Guru sebagai Pelaku Utama Proses Pendidikan
Berkaitan dengan peran guru di atas, guru memang bukan ilmuwan, guru adalah penyebarluas ilmu dan teknologi yang ditemukan oleh para ilmuwan. Sebagai penyebarluas ilmu dan teknologi, gurulah yang sebenarnya telah melakukan perubahan pada diri anak didik dari tidak tahu menjadi tahu. Perubahan yang dilakukan guru bukan perubahan phisik, tetapi perubahan mental, sikap, perilaku, pola berpikir, dan sebagainya. Meskipun guru bukan ilmuwan tetapi guru dapat diibaratkan sebagai “nyala lilin dalam kegelapan” yang mampu memberi penerangan kepada anak didik, guru adalah “menara air” yang selalu memberikan kehidupan pada seluruh umat manusia yang menjadi anak didiknya di masa kini dan masa mendatang. Di samping bukan ilmuwan, guru juga bukan sumber segala ilmu pengetahuan dan teknologi. Ilmu pengetahuan dan teknologi dapat diperoleh melalui berbagai sumber, seperti buku referensi, internet, jurnal ilmiah, e-book, majalah, surat lkhabar, ilmuwan, termasuk guru. Perubahan yang dilakukan oleh guru terhadap anak didik memang tidak pernah kasat mata. Namun, jejak dan langkah perubahan yang terjadi pada anak didik dapat ditengarai melalui berbagai indikator yang berkaitan dengan perkembangan kognitif, perkembangan psikomotor, dan perkembangan afektif anak didik. Begitupun, perubahan anak didik terjadi setapak demi setapak sesuai dengan perkembangan kognisinya. Bahkan sampai masa pendidikan formal berakhir yang kasat mata hanyalah out put dalam wujud ijasah atau sertifikat, sedangkan out come-nya masih harus menunggu setelah mereka berkelana dalam kehidupan masyarakat.
Harapan guru, setiap anak didik yang berhasil menyelesaikan pendidikan formal memiliki perubahan positif sesuai dengan kompetensi yang telah dikembangkan. Dengan kata lain, out put pendidikan diharapkan menghasilkan out come yang baik juga. Namun, dalam kenyataannya, tidak sedikit out put pendidikannya bagus tetapi out come-nya justru sebaliknya, seperti menjadi perampok, pencuri, koruptor, penyuap, teroris, penerima suap, pembunuh dan sebagainya. Celakanya, out come pendidikan yang negatif juga diimbangi dengan kecanggihan berpikir sehingga kejahatan yang dilakukan juga mencerminkan kejahatan seorang intelektual, yang sering disebut white colour crime. Sebagai contoh, seorang anggota DPR yang semula sangat idealis tetapi ketika mereka sudah terperangkap dalam sistem yang busuk, akhirnya ikut-ikutan melakukan kejahatan. Begitu juga, seorang PNS yang semula bercita-cita menjadi pelayan masyarakat, tetapi begitu mendapat tugas mengurus pajak perusahaan, justru mereka terpesona dengan iming-iming miliaran rupiah dan akhirnya tugas utamanya dikesampingkan tetapi lebih memilih kong-kalingkong dengan pengusaha untuk menggelapkan kewajiban membayar pajak kepada negara. Itu semua juga merupakan out come pendidikan. Memang, proses belajar-mengajar di sekolah sudah dirancang dalam bentuk kurikulum dengan berbagai kompetensi yang positif. Namun, karena anak didik tidak hidup di ruang steril, mereka juga bergaul dengan masyarakat, kadang-kadang pengaruh masyarakat justru lebih kuat dan dapat mengubah kompetensi yang diperoleh melalui pendidikan di sekolah. Bila hal demikian terjadi, guru tidak dapat disalahkan.
Magistra No. 87 Th. XXVI Maret 2014 ISSN 0215-9511
19
Guru sebagai Pelaku Utama Proses Pendidikan
PENTINGNYA KEHADIRAN GURU Tugas utama guru adalah mencerdaskan seluruh anak bangsa tanpa memandang suku, agama, ras, golongan, maupun afiliasi politik. Semua anak bangsa yang sedang berhadapan dengan guru harus “direngkuh” sebagai peserta didik yang harus dihantarkan ke depan pintu kesuksesan hidup dengan membekali berbagai pengetahuan dan teknologi. Oleh karena itu, agar guru dapat bersikap netral, di mana pun dia ditugaskan, harus menerima anak didik sebagai anak manusia yang harus didampingi. Agar guru dapat bersikap netral, guru perlu memiliki pandangan multikulturalisme yang jelas, tanpa harus berpihak ke mana pun. Bahkan, ketika seorang guru sedang mendampingi anak didik dari suatu negara yang sedang bertikai, guru tidak boleh menjadikan pertikaian antar negara itu untuk membeda-bedakan pelayanan kepada anak didik. Berapa banyak pejabat dan orang soleh yang berhasil dicetak oleh lembaga pendidikan? Sebanyak apa pun pejabat atau orang soleh yang dicetak oleh lembaga pendidikan hanyalah hal biasa karena tugas utama pendidikan adalah menghasilkan manusia yang berketuhanan, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Namun, kita juga dapat bertanya, berapa banyak koruptor yang ikut tercetak oleh lembaga pendidikan? Seandainya out come pendidikan ada satu orang saja yang menjadi koruptor, lembaga pendidikan sudah cukup ternodai. Pertanyaan lain, berapa banyak warga masyarakat yang tidak peduli pada pendidikan anakanak mereka? Seandainya ada 1000 orang tua yang acuh terhadap pendidikan, selama ini masih dianggap sebagai hal yang wajar karena banyak orang yang mudah memaklumi dan memaafkan dengan berbagai dalih. Namun, ketika ada 1 orang yang peduli terhadap
20
pendidikan dan berusaha mengkritisi, justru banyak orang merasa direpotkan bahkan pejabat di tingkat pusat pun sudah merasa terganggu kenyamanannya dan terpaksa harus mencari alasan agar tidak mencoreng wajah mereka. Inilah ironi pendidikan di negeri kita. Semua orang menuntut agar kualitas pendidikan semakin baik. Namun, banyak orang yang tidak dapat mengapresiasi arti pendidikan dan profesi guru. Profesi guru sering dilihat dengan sebelah mata karena hasil kerjanya tidak terlihat langsung seperti pembuat kue. Bahkan, ada yang mempertanyakan, mengapa guru harus diberi kesejahteraan lebih dari profesi lain, padahal pekerjaan guru tidak ubahnya seorang operator musik yang hanya memutar ulang kaset “lagu” yang sama pada pendengar yang berbeda. Memang, ketika guru sedang mengajar, dari tahun ke tahun sebagian materi pelajaran sama. Namun, ketika menyajikan materi yang sama pada anak yang berbeda, guru selalu membutuhkan metode, strategi, teknik yang berbeda-beda karena kondisi siswa yang berbeda-beda pula. Cara demikian itulah, guru melakukan perubahan pada anak didik. Sejak kecil, anak didik didampingi guru, dari tidak tahu berkembang menjadi tahu, dari bodoh berkembang menjadi pandai. Hal demikian akan terus berlanjut sampai anak didik menyelesaikan tugas pendidikannya. Pada tahun yang berbeda, guru akan mengulangi hal yang sama untuk anak didik yang berbeda pula. Namun, setelah anak didik menyelesaikan pendidikannya dan mereka terjun ke dunia kerja, anak didik sudah berada di luar tanggung jawab guru. Mereka akan berinteraksi dengan orang lain di lingkungan kerjanya. Mereka bersosialisasi dengan warga masyarakat di lingkungan hidup mereka. Dengan kata lain, proses belajar akan terus berlanjut
Magistra No. 87 Th. XXVI Maret 2014 ISSN 0215-9511
Guru sebagai Pelaku Utama Proses Pendidikan
tanpa pendampingan guru. Selama berinteraksi dan bersosialisasi di lingkungan kerja maupun di lingkungan masyarakat bisa terjadi perubahan sikap dan perilaku. Akibatnya, sikap dan perilaku mereka tidak lagi seperti ketika mereka berada di lingkungan lembaga pendidikan. Anehnya, perbuatan mereka di luar lembaga pendidikan pun kadang-kadang masih membawa nama lembaga pendidikan tempat mereka menimba ilmu sebelumnya. Masyarakat hanya dapat menuntut dan menyalahkan guru jika out put pendidikan tidak seperti yang diharapkan. Kasus koruptor, seperti Akil Mokhtar, Angelina Sondakh, Nazarudin, Gayus Tambunan, adalah sebagian kecil dari out put pendidikan dan tentu sedikit banyak akan mencoreng lembaga pendidikan tempat mereka belajar. Di sisi lain, harus diakui bahwa guru juga mencetak tokohtokoh besar, seperti Bung Karno, Soeharto, Habibie, Gus Dur, Megawati, dan SBY. Mereka semua adalah produk dari lembaga pendidikan yang seharusnya juga diapresiasi secara wajar oleh masyarakat. Tindak pendidikan adalah tindakan untuk membentuk, mendewasakan, dan mencerdaskan anak didik. Namun, setelah anak didik tumbuh menjadi manusia dewasa dan cerdas, apakah kedewasaan dan kecerdasan itu akan digunakan untuk kebajikan ataukah untuk hal-hal negatif merupakan tanggung jawab masing-masing pribadi. Tugas utama guru adalah melakukan kegiatan pembelajaran di sekolah sesuai dengan bidang studinya. Guru tidak perlu mengeluh atau merasa bangga kondisi seperti apa pun siswanya. Memang, guru boleh memperbincangkan kondisi kecerdasan siswanya. Ada sekolah yang kondisi siswanya cerdascerdas, ada yang biasa-biasa saja, tetapi ada juga yang sebagian besar lemah. Jika guru yang bertugas di sekolah yang kebetulan siswanya cerdas-cerdas, tugas
Magistra No. 87 Th. XXVI Maret 2014 ISSN 0215-9511
guru di sekolah relatif ringan. Sebaliknya, guru yang bertugas di sekolah yang siswanya sebagian besar lemah, tugas guru menjadi lebih berat. Kondisi seperti apa pun yang dihadapi oleh guru, itulah kenyataan sumber daya manusia yang dimiliki oleh bangsa dan negara kita. Amanat dalam Undang-Undang Sisdiknas Bab II pasal 3, bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Pasal tersebut hanya dapat ditafsirkan bahwa setiap anak yang mengikuti pendidikan memiliki hak untuk dikembangkan kemampuannya, dibentuk wataknya. Tujuannya agar menjadi manusia yang berketuhanan, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Dengan kata lain, pasal tersebut tidak membedakan apakah in put suatu sekolah memiliki siswa cerdas atau tidak. Jadi setiap siswa di sekolah umum asal memiliki kondisi normal baik secara fisik, mental, emosional, intelektual, maupun sosial berhak mendapat pelayanan sama oleh para guru. Berdasarkan UU Sisdiknas, tidak ada satu pasal atau satu ayatpun yang menyatakan bahwa sekolah A adalah sekolah favorit, dan sekolah B tidak favorit. Yang memfavoritkan suatu sekolah adalah masyarakat. Masyarakat sebenarnya juga tidak mengetahui seberapa jauh suatu sekolah yang difavoritkan memenuhi persyaratan sebagai sekolah ideal. Namun, atas dasar pengalaman sekolah tersebut
21
Guru sebagai Pelaku Utama Proses Pendidikan
dalam mencapai nilai UN, lulusannya diterima di jenjang pendidikan di atasnya yang juga difavoritkan masyarakat (bagi SD dan SMP) atau lulusan SMA sebagian besar diterima di Universitas Negeri terkemuka atau Universitas Swasta terkemuka. Kriteria itulah yang dijadikan tolok ukur masyarakat bahwa sekolah tertentu adalah sekolah favorit. Memang, dengan adanya sebutan sekolah favorit, sekolah banyak diuntungkan, setidaknya calon siswa yang masuk ke sekolah tersebut adalah calon siswa yang memiliki kemampuan di atas rata-rata. Dengan in put siswa yang baik, setidaknya motivasi belajar siswa kuat, atmosfir belajar di sekolah kondusif, kemandirian belajar sudah lebih baik. Akibatnya, guru yang bertugas di sekolah tersebut mendapat kemudahan karena siswanya sudah mapan. Sebaliknya, sekolah yang tidak difavoritkan masyarakat akan menghadapi banyak masalah. Jumlah siswa yang mendaftar di sekolah tersebut lebih sedikit dari pada kapasitas tempat duduk yang ada. Sekolah tidak dapat melakukan seleksi untuk mendapatkan siswa yang berada di atas rata-rata. Dengan kondisi seperti itu, tugas guru akan semakin berat karena harus dengan penuh kesabaran untuk membimbing siswa yang kemampuannya terbatas. Meskipun kondisi siswa hanya sedang-sedang saja karena mereka masih dalam kondisi normal - jika semua unsur sekolah mau bekerja sama dengan baik, masih ada harapan untuk menghasilkan lulusan yang dapat dibanggakan.
menjunjung tinggi hak asasi tidak berarti bahwa setiap anak boleh masuk di sekolah manapun. Bila ada sekolah yang dikhususkan bagi siswa yang memiliki tingkat kecerdasan istimewa tidak berarti sekolah tersebut tidak demokratis apa lagi dianggap membedabedakan anak satu dengan anak yang lain atau melanggar hak asasi manusia. Siswa yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus (UU Sisdiknas, bab IV pasal 5 ayat 4). Oleh karena itu, jika pemerintah atau warga masyarakat menyelenggarakan sekolah khusus bagi anak-anak yang memiliki kecerdasan atau bakat istimewa, mereka juga harus diberi kesempatan. Hal ini juga diperkuat melalui UU Sisdiknas bab V pasal 12 ayat 1b bahwa setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya. Anak-anak yang memiliki kecerdasan istimewa memang harus mendapat pelayanan khusus agar mereka dapat mengembangkan bakat dan kemampuannya secara maksimal. Jika hal ini dapat dilakukan, pada saatnya nanti akan dapat mempercepat terciptanya SDM yang berkualitas tinggi. Dan bagi masyarakat luas harus memahami.
KUALIFIKASI GURU Kunci keberhasilan pendidikan ada di tangan
secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi.
guru. Guru adalah penentu perubahan proses pendidikan. Jika sekolah dipegang oleh guru-guru yang berkualitas, tentu mutu pendidikan di sekolah juga dapat dibanggakan. Namun, jika kualitas gurunya
Pasal ini pun tetap harus ditafsir secara bijaksana. Pengertian pendidikan dilaksanakan secara
rendah, jangan berharap bahwa kualitas pendidikan di sekolah itu akan dapat dibanggakan.
Dalam Undang-undang Sisdiknas bab III pasal 4 juga dinyatakan bahwa pendidikan diselenggarakan
demokratis, berkeadilan, tidak diskriminatif, dan
22
Magistra No. 87 Th. XXVI Maret 2014 ISSN 0215-9511
Guru sebagai Pelaku Utama Proses Pendidikan
Karena itu, pemerintah mencoba membangun atmosfir pendidikan dengan sebutan Sekolah Bertaraf
internasional justru dicemburui oleh sebagian orang tua siswa yang tidak beruntung dan menuduh sekolah
Internasional (SBI). Atmosfir ini ditandai dengan peningkatan kualifikasi akademik para guru di sekolah tersebut. Standar pendidik di sekolah bertaraf internasional ditandai dengan indikator sebagai
seperti itu tidak demokratis, tidak menghargai hak azasi manusia karena tidak semua siswa dapat masuk ke sekolah seperti itu, dan dipandang sebagai komersialisasi pendidikan.
berikut.
Sikap bijaksana ketika ada sekolah yang dapat memenuhi kriteria seperti itu seharusnya justru berharap bahwa semua sekolah di Indonesia dapat
1) Semua guru mampu memfasilitasi pembelajaran berbasis TIK; 2) Guru mata pelajaran kelompok sains, matematika, dan inti kejuruan mampu mengampu pembelajaran berbahasa Inggris; 3) Minimal 10% guru berpendidikan S2/S3 dari perguruan tinggi yang program studinya berakreditasi A untuk SD/MI; 4) Minimal 20% guru berpendidikan S2/S3 dari perguruan tinggi yang program studinya berakreditasi A untuk SMP/MTs; dan 5) Minimal 30% guru berpendidikan S2/S3 dari perguruan tinggi yang program studinya berakreditasi A untuk SMA/SMK/MA/MAK. Kualifikasi guru di SBI sebenarnya tidak dimaksudkan untuk memperdalam jurang pemisah dengan sekolah reguler. Kualifikasi itu merupakan pilot proyek untuk melaksanakan pendidikan yang berkualitas di masa-masa mendatang. Idealnya, seluruh guru di Indonesia pada masa-masa mendatang harus memenuhi kualifikasi seperti SBI. Hanya karena masih banyaknya kendala, pemerintah baru memulai dengan beberapa sekolah di setiap daerah sebagai pilot proyek. Dengan kualifikasi guru di atas, semua orang tua pasti bangga menyekolahkan anak-anaknya di sekolah seperti itu. Permasalahan akan menjadi berbeda jika sekolah yang dapat memenuhi standar pendidik sesuai dengan kualifikasi sekolah berstandar
Magistra No. 87 Th. XXVI Maret 2014 ISSN 0215-9511
menyediakan guru yang berkualifikasi internasional. Bagaimanapun, di masa-masa mendatang, tantangan bangsa Indonesia untuk dapat berkompetisi dengan bangsa lain akan semakin berat. Negara-negara maju akan terus-menerus meningkatkan kualifikasi mutu guru agar dapat memenangkan kompetisi kualitas SDM dengan bangsa-bangsa maju di negera lain. Oleh karena itu, jika bangsa Indonesia tidak mau terbuka hatinya tetapi justru sibuk dengan “kekerdilan” cara berpikir, kualitas SDM bangsa Indonesia akan terus berada di bawah bangsa lain. Salah satu hal yang harus diwaspadai adalah bahwa kualifikasi S2 atau S3 bagi para guru, di samping harus dihasilkan oleh perguruan tinggi yang terakreditasi A, juga harus memperhatikan linieritas bidang studi. Banyak diantara guru yang menempuh S2 tidak linier dengan bidang studi S1-nya. Guru berijazah S1 bidang Biologi, Matematika, IPS, IPA, bahasa Inggris tetapi mengambil S2 jurusan yang berbeda. Hal ini tentu tidak akan membawa peningkatan kualitas pembelajaran di sekolah. Jika mereka harus tetap mengajar mata pelajaran sesuai dengan bidang studi S1-nya, tentu saja tidak ada peningkatan kualitas akademik. Sebaliknya, jika mereka harus mengajarkan mata pelajaran sesuai dengan ijazah S2-nya, ada kemungkinan tidak ada mata pelajaran di sekolahnya atau ilmu pengetahuan yang diperoleh di S2 tidak akan dibutuhkan oleh siswa di SD, SMP, atau SMA/SMK.
23
Guru sebagai Pelaku Utama Proses Pendidikan
Gejala seperti itu harus diwaspadi oleh Dinas Pendidikan kota atau kabupaten. Para guru harus didorong untuk menempuh S2 atau S3 tetapi harus disesuaikan dengan bidang ilmu S1 yang menjadi dasarnya. Dinas Pendidikan hanya boleh memberikan izin kepada guru yang akan menempuh S2 atau S3 jika sesuai dengan bidang ilmu S1-nya. Bila mereka tidak taat aturan dan memaksakan kehendak untuk masuk S2 atau S3 yang tidak linier, setelah lulus sebaiknya tidak diberi apresiasi seperti guru lain yang ijazah S2 atau S3-nya linier. Jika hal ini tidak diwaspadai sejak dini, akan banyak guru yang berijazah S2 atau S3 tetapi tetap tidak membawa peningkatan kualitas pembelajaran di sekolah.
PENUTUP Berdasarkan uraian di atas dapat dicatat beberapa pokok pikiran sebagai berikut. a.
b.
Berubahnya paradigma pendidikan dari berfokus pada guru ke berfokus pada siswa, tugas guru tidak semakin berkurang tetapi justru semakin bertambah. Peran dan tugas guru adalah membentuk watak anak didik agar mampu berpikir kritis dan kreatif sehingga terbentuk manusia yang berakhlak mulia, cerdas, berbudi luhur. Guru bukan ilmuwan maupun teknolog tetapi memiliki tugas sebagai penyebarluas ilmu dan teknologi kepada anak didik di sekolah. Di hadapan anak didik, guru adalah “nyala lilin” dan “menara air” yang selalu menerangi dan memberi kehidupan bagi anak didiknya.
c.
Dalam proses pendidikan, tugas guru adalah mencerdaskan anak didik dan membentuk sikap, perilaku, serta watak anak didik dan mengantarkannya ke depan pintu kesuksesan hidup.
24
d.
Guru perlu meningkatkan profesionalismenya melalui berbagai cara, seperti menempuh studi lanjut ke jenjang S2 atau S3. Namun, agar mampu membuat perubahan secara signifikan, pendidikan lanjut seorang guru harus linier dengan pendidikan S1-nya.
REFERENSI Johnson, Elaine B. 2007. Contextual Teaching and Learning. Bandung: Mizan Media Utama. Kurikulum Berbasis Kompetensi Mata Pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia untuk Sekolah Menengah Umum (Buram ke 7). 2001. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat Kurikulum, Depdiknas. Pedoman Penjaminan Mutu Sekolah/Madrasah Bertaraf Internasional pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah. 2007. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. Pranowo. 2010. Konsep Dasar CTL dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma. Silberman, Mel. 1996. Active Learning: 101 Strategies to Teach any Subject. Massachusetts: A Simon & Schuster Company. Standar Kompetensi Dasar Guru. 2001. Jakarta: Dirjen Dikti, Komisi Disiplin Pendidikan Tinggi. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Utz, Robert T. and Leo D. Leonard. 1975. The Foundations of Competency Based Education. Toledo: Kendall/Hunt Publi
Magistra No. 87 Th. XXVI Maret 2014 ISSN 0215-9511