PASAI: Jurnal Penelitian Ilmu-ilmu Sosial Universitas Malikusaleh, Lhokseumawe, NAD
Kompetensi Guru: Kunci Utama Agenda Proses Pemanusiaan Al Mawardi∗
ABSTRAK Guru sebagai pendidik dan pengajar dikenal dengan sebutan pahlawan tanpa jasa yang menyandang jabatan profesi. Guru sebagai pendidik profesional mempunyai citra yang baik di masyarakat apabila dapat menunjukkan kepada masyarakat bahwa ia layak menjadi panutan atau teladan masyarakat sekelilingnya. Profesi guru yang di dalam forumforum resmi dan naskah-naskah akademik begitu mulia, namun di masyarakat luas nampaknya masih menjadi semacam profesi kelas dua di bawah profesi lain seperti dokter, notaris, arsitek, advokat, kontraktor, konsultan hukum dan sebagainya. Hal ini karena ukuran prestasi dalam kehidupan masyarakat masih terletak pada standar ekonomi, bukan pada standar idealitas dan moralitas. Kondisi ini sangat disayangkan sebab guru merupakan subjek yang sangat besar kontribusinya dalam membangun peradaban manusia masa depan. Dalam persfektif agama, guru adalah bapak ”spiritual” atau pemberi motivasi bagi para peserta didik. Guru adalah orang yang memberikan santapan kejiwaan dengan ilmu atau pengalaman, membimbing dan meluruskan akhlak para peserta didik. Untuk mengembangkan dan meningkatkan mutu dan profesionalisme guru di satu sisi, dan mutu atau kualitas pendidikan di sisi lain, pemerintah bukan hanya diharapkan berupaya meningkatkan kualifikasi dan strata pendidikan guru, tetapi juga hendaknya meningkatkan standar kesejahteraan guru. Kata Kunci: Guru, Profesi, dan Kompetensi
∗
Al Mawardi. MS, S. Ag, M. Ag adalah Dosen Agama pada Politeknik Negeri Lhokseumawe Provinsi Aceh.
413
PASAI: Jurnal Penelitian Ilmu-ilmu Sosial Universitas Malikusaleh, Lhokseumawe, NAD
Pendahuluan Manusia Indonesia seutuhnya yang diidealisasikan menjadi titik puncak capaian tujuan pendidikan nasional masih terus menjadi dambaan, terutama ketika sosok yang sesungguhnya belum lagi ditemukan pada saat arus globalisasi dan era pasar bebas terus menerpa secara keras. Krisis proses kemanusiaan dan pemanusiaan secara kekinian benar-benar sah jika disorot secara tajam. Pendidikan sebagai instrumen utama proses kemanusiaan dan pemanusiaan terus disorot tajam oleh masyarakat dan pemakai lulusan (global market). Arogansi kekuasaan, krisis ekonomi, krisis global, pelanggaran ketertiban umum, aksi memfitnah, main hakim sendiri, kerusuhan, perampokan, pecandu narkotika dan obat-obatan terlarang, politisasi massa, kekerasan, korupsi, kolusi, nepotisme dan seabreg prilaku buruk lainnya benar-benar masih menggejala. Bahkan berdasarkan penelitian UNDP, negara Indonesia adalah salah satu negara terkorup di dunia, yang memiliki indeks pengembangan sumberdaya manusia (human development index) nyaris terendah di dunia, yang memiliki kinerja birokrasi nyaris terpuruk, yang memiliki anggaran dan gaji guru terendah dan memiliki hutang nyaris tertingi, dan yang memiliki partai politik terbanyak di dunia.1 Menggejalanya seabreg aksi amoral dan kemungkaran di atas yang justru terjadi di saat kran reformasi terbuka lebar adalah karena kurangnya internalisasi nilai-nilai pendidikan sebagai proses pendewasaan manusia menjadi insan sejati. Aktualisasi pendidikan hanya sebagai formalitas pengembangan wawasan intelektual, tetapi tidak dibarengi dengan pemaknaan emosionalitas dan spiritualitas. Hal ini sesuai dengan yang dinyatakan Amien Rais, bahwa para cendikiawan Indonesia yang telah menamatkan berbagai jenjang pendidikan layaknya sebagai “Kancil Pilek”. Artinya, bahwa para cendikiawan hanya
1
Sudarwan Danim, Agenda Pembaruan Sistem Pendidikan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006, hal. 3
414
PASAI: Jurnal Penelitian Ilmu-ilmu Sosial Universitas Malikusaleh, Lhokseumawe, NAD
memiliki seabreg ilmu pengetahuan dan keahlian, tetapi kurang memiliki kepedulian terhadap realitas masyarakat sekitar. Untuk membuat gejala buruk itu tereduksi secara bermakna, penegakan hukum, pembangkitan rasa malu, dan penguatan ajaran agama melalui implementasi pendidikan menjadi keniscayaan untuk diagendakan, baik pada tataran birokrasi, jaringan partai politik, tokoh masyarakat, orang tua, pelaku bisnis, aparat keamanan, ilmuan, maupun lembaga pendidikan. Di samping solusi tersebut di atas, peningkatan kualifikasi tenaga kependidikan sebagai pengembang
intelektualitas
dan
peradaban
manusia
merupakan
suatu
kemutlakan. Profesionalisme guru senantiasa perlu dikembangkan, baik dengan cara pendidikan dan pelatihan, peningkatan kualifikasi pendidikan dan jabatan, pelaksanaan penelitian tentang persoalan-persoalan kekinian, peningkatan kesejahteraan, serta melalui penggalakan pengabdian kepada masyarakat dan lingkungan sekitar. Profesi guru yang di dalam forum-forum resmi dan naskah-naskah akademik begitu mulia, di masyarakat luas nampaknya masih menjadi semacam profesi kelas dua di bawah profesi lain seerti dokter, notaris, arsitek, konsultan hukum dan sebagainya. Kondisi ini sangat disayangkan sebab guru merupakan subjek yang sangat besar kontribusinya dalam membangun peradaban manusia masa depan. Apresiasi guru terhadap profesinya dan peningkatan citra masyarakat terhadap guru dan profesi yang disandangnya tidak akan lepas dari fungsi dan perbaikan taraf hidup mereka. Karenanya, adalah tugas para pembuat kebijakan untuk membenahi kesejateraan guru, antara lain dengan menaikkan gaji atau tunjangan jabatan pendidikannya. Agenda kerja pejabat pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan guru melalui perbaikan atau penghasilan mereka adalah suatu keniscayaan, disebabkan karena meningkatnya standar kebutuhan internal para guru sejalan dengan pergeseran nilai uang. Tanggung jawab guru sebagai abdi negara dan masyarakat tetap tidak mungkin diletakkan melebihi batas-batas kondisi internal dirinya. Guru adalah manusia biasa yang memiliki banyak keterbatasan, seperti halnya kebanyakan
415
PASAI: Jurnal Penelitian Ilmu-ilmu Sosial Universitas Malikusaleh, Lhokseumawe, NAD
manusia. Oleh karena itu, merupakan suatu kebanggaan bagi guru jika mampu melahirkan anak didik menjadi manusia yang cerdas, berbudi luhur dan terampil serta memiliki daya adaptabilitas yang tinggi dalam menghadapi perubahan dan perkembangan zaman. Namun hal itu tetap tidak akan melebihi kebanggaan daripada anaknya sendiri. Guru akan menjadi lebih ikhlas mendidik ”anak orang lain” jika anaknya sendiri menjadi manusia terdidik dan terpelajar (educated and civilizated student). Penilaian masyarakat yang kurang baik terhadap profesi guru, demikian juga rendahnya gaji yang diterima, tidak hanya terjadi di negara Indonesia, di Amerika Serikat yang nota benenya sebagai negara super power, ternyata power untuk menggaji guru tidak sebaik yang dipersepsikan kebanyakan orang. Ernest House, misalnya, menggambarkan profesi guru sebagai profesi yang dibelenggu oleh kondisi economic of scarcity dan isolated profession. Kini adalah waktu yang sangat tepat untuk memperjuangkan kenaikan gaji atau tunjangan jabatan pendidikan guru, sejalan dengan semakin terlihatnya kompetensi professional guru dalam mengelola proses belajar-mengajar di kelas. Perbaikan nasib guru memungkinkan dirinya membeli dan membaca sumber informasi, memperkaya khazanah keilmuaan dan keintelektualannya, sehingga
kekonservatifan dan
nilai-nilai tradisionalitasnya dapat diminimalisir. Berdasarkan realitas dan kerangka pemikiran di atas, muncul beberapa pertanyaan, di antaranya adalah: Bagaimana pemaknaan terhadap konsep profesi keguruan?; apa saja yang menjadi kode etik guru agar senantiasa terlindungi dan tidak tersoburdinasikan dalam realitas keseharian?; bagaimana pandangan Islam tentang profesi keguruan?, dan apa solusi atau agenda alternatif yang perlu diagendakan dan diimplementasikan sehingga citra profesi guru di satu sisi dan mutu pendidikan di sisi lain, mampu unggul dalam pentas pergulatan masa depan? Berikut ini adalah kajian sederhana tentang profesi keguruan dan sejumlah solusi ke arah pencerdasan manusia menjadi manusia sejati.
416
PASAI: Jurnal Penelitian Ilmu-ilmu Sosial Universitas Malikusaleh, Lhokseumawe, NAD
Konsep Profesi Keguruan Semua orang mengetahui bahwa mengajar adalah suatu profesi. Namun demikian, tidak semua perbuatan dapat dikatakan sebagai profesi. Dalam konteks ini, suatu profesi memiliki sejumlah kriteria atau karakteristik. Sanusi menyebutkan bahwa di antara kriteria atau ciri-ciri jabatan yang dinamakan profesi adalah: a)
Suatu jabatan yang memiliki fungsi dan signifikansi sosial yang menentukan;
b)
Jabatan tersebut memerlukan pendidikan tingkat perguruan tinggi dengan waktu yang cukup lama;
c)
Jabatan tersebut memiliki prestise yang tinggi dalam masyarakat, dan memperoleh imbalan yang tinggi pula;
d)
Jabatan tersebut memerlukan keterampilan khusus dan bidang ilmu tertentu di luar jangkauan khalayak ramai;
e)
Menggunakan hasil penelitian dan aplikasi teori ke praktek;
f)
Jabatan tersebut memiliki otonomi dalam membuat keputusan tentang ruang lingkup kerja tertentu, dan bebas dari intervensi pihak lain;
g)
Mempunyai komitmen terhadap jabatan dan klien, serta memiliki kode etik yang dikontrol oleh organisasi profesi;
h)
Mempunyai status sosial dan ekonomi yang tinggi bila dibanding dengan jabatan lainnya;
i)
Mempunyai kode etik untuk menjelaskan hal-hal yang meragukan yang berhubungan dengan hal-hal yang dilakukan;
j)
Menggunakan
administrator
untuk
memudahkan
melakukan
profesinya.2
2
Sanusi, Achmad, dkk, Studi Pengembangan Model Pendidikan Profesional Tenaga Kependidikan, Bandung: IKIP Bandung Depaetemen P dan K, 1981
417
PASAI: Jurnal Penelitian Ilmu-ilmu Sosial Universitas Malikusaleh, Lhokseumawe, NAD
Dari acuan kriteria di atas dapat dipahami bahwa jabatan pedagang, penyanyi, penari, serta tukang koran misalnya bukanlah dinamakan sebagai jabatan profesi. Berbeda dengan jabatan-jabatan di atas, jabatan guru, dokter, advokat, kontraktor, notaris dan sejenisnya dinamakan sebagai jabatan profesi. Ada beberapa syarat sehingga dinamakan sebagai jabatan profesi. Di antaranya adalah; melibatkan kegiatan intelektual, menggeluti bidang ilmu yang khusus dan mementingkan layanan di atas kepentingan pribadi. Profesi Keguruan Berhubungan dengan jabatan guru, National Education Association menyarankan kriteria-kriteria berikut3: Pertama, Jabatan yang melibatkan kegiatan intelektual. Jabatan guru merupakan jabatan profesi karena dalam kesehariannya senantiasa bertugas mengembangkan intelektualitas anak didik. Dalam hal ini, guru dapat dikategorikan sebagai jabatan profesi. Kedua, Jabatan yang menggeluti suatu batang tubuh ilmu yang khusus. Berkenaan dengan kriteria ini, terdapat berbagai pendapat tentang apakah mengajar digolongkan sebagai jabatan profesi. Para pakar yang bergerak di bidang pendidikan menyatakan bahwa mengajar adalah merupakan suatu bidang khusus yang sangat penting dalam mempersiapkan guru yang berwenang, sedangkan kelompok lainnya menyatakan bahwa mengajar belum mempunyai batang tubuh ilmu khusus yang dijabarkan secara ilmiah. Kelompok yang pertama meyakini bahwa mengajar merupakan suatu sain (science), bukan sebagai suatu kiat atau art.4 Berdasarkan pandangan para pakar pendidikan tersebut dapat dituliskan bahwa guru adalah jabatan profesi. Kriteria yang ketiga adalah apabila jabatan tersebut memerlukan persiapan profesional yang lama. Yang membedakan jabatan profesional dengan non-profesional adalah dalam penyelesaisan pendidikan melalui kurikulum, 3
National Education Assosiation, The Yardstick of a Profession. Dalam Institutes of Professional and Public Relation. Washington DC: The Association. 1948, hal. 58 4
Stinnett dan Huggett, J, Professional Problems of Teachers. Second Edition. New York: The Macmillan Company.1963, hal. 56
418
PASAI: Jurnal Penelitian Ilmu-ilmu Sosial Universitas Malikusaleh, Lhokseumawe, NAD
yaitu ada yang diatur oleh universitas/institut atau melalui pengalaman praktek dan pemagangan serta dengan kuliah. Yang pertama yakni pendidikan melalui perguruan tinggi disediakan untuk jabatan profesional, sedangkan yang kedua, yakni pendidikan melalui pengalaman peraktek dan pemagangan, atau campuran antara praktek dan pemagangan dan kuliah diperuntukkan bagi jabatan nonprofesional. Guru adalah salah satu jabatan yang diatur oleh universitas dan institut, dan oleh karenanya dinamakan sebagai jabatan profesi. Keempat, Jabatan yang memerlukan latihan dalam jabatan yang berkesinambungan (Sutainable training). Jabatan guru cenderung menunjukkan bukti yang kuat sebagai jabatan profesional, karena hampir setiap tahun guru melakukan berbagai kegiatan latihan profesional, baik yang mendapatkan penghargaan kredit maupun tanpa kredit. Untuk saat ini, bermacam-macam pendidikan profesional tambahan diikuti oleh para guru dalam berbagai tingkatan untuk menyetarakan kualifikasi yang telah ditetapkan. Ada dua model pendidikan dan pengembangan kualitas profesi guru. Pertama, pendidikan dan pengembangan sikap selama pendidikan prajabatan, dan yang kedua pengembangan sikap dan mutu profesi selama dalam jabatan. Peningkatan mutu dan kompetensi guru selama dalam jabatan dapat terjadi dengan cara formal dan informal. Peningkatan sikap profesional keguruan dengan cara formal adalah seperti dengan mengikuti penataran, lokakarya, seminar, atau kegiatan ilmiah lainnya.5 Kelima, jabatan yang menjanjikan karier hidup dan keanggotaan yang permanen. Keenam, jabatan yang lebih mementingkan layanan kepentingan umum dari pada kepentingan pribadi. Jabatan mengajar adalah jabatan yang mempunyai nilai sosial yang tinggi. Jabatan guru telah terkenal secara universal sebagai suatu jabatan yang anggotanya termotivasi oleh keinginan untuk membantu orang lain, bukan didasari oleh keuntungan ekonomi atau keuangan. Kebanyakan guru memilih jabatan ini berdasarkan apa yang dianggap baik oleh mereka yakni mendapatkan kepuasan rohaniah ketimbang kepuasan ekonomi atau lahiriah. Namun ini tidak bearti bahwa guru harus dibayar lebih rendah, 5
Soetjipto, Profesi Keguruan, Jakarta: Rineka Cipta, 1999, hal. 55
419
PASAI: Jurnal Penelitian Ilmu-ilmu Sosial Universitas Malikusaleh, Lhokseumawe, NAD
tetapi juga jangan mengharapkan akan cepat kaya bila memilih jabatan guru. Ketujuh, jabatan yang mempunyai organisasi profesional yang kuat dan terjalin erat. Semua profesi mempunyai organisasi yang kuat untuk dapat mewadahi tujuan bersama dan melindungi anggotanya. Berkenaan dengan jabatan profesi keguruan, PGRI adalah organisasi yang kuat yang mewadahi tujuan dan melindungi semua yang berprofesi guru dari tingkat pendidikan TK sampai pendidikan tingkat atas.
Kode Etik Profesi Keguruan Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 ”Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian”, pada Pasal 28 dinyatakan bahwa ”Pegawai Negeri Sipil mempunyai Kode Etik sebagai pedoman, sikap, tingkah laku dan perbuatan di dalam dan di luar kedinasan.” Dalam penjelasan Undang-Undang Kepegawaian tersebut, dituliskan bahwa dengan adanya Kode Etik tersebut, pegawai negeri sipil sebagai aparatur negara, abdi negara, abdi masyarakat mempunyai pedoman, sikap, tingkah laku dan perbuatan dalam melaksanakan tugasnya dan dalam pergaulan hidup sehari-hari. Dalam Pidato Pembukaan Kongres PGRI XIII, Basuni sebagai ketua Umum PGRI juga menyatakan bahwa Kode Etik Guru Indonesia merupakan landasan moral dan pedoman tingkah laku guru warga PGRI dalam melaksanakan panggilan pengabdiannya bekerja sebagai guru.6 Dalam hal ini dapat dipahami bahwa Kode Etik suatu profesi adalah merupakan norma-norma yang harus diindahkan oleh setiap anggota profesi di dalam melaksanakan tugas-tugasnya dan dalam kehidupan sehari-hari. Norma-norma tersebut berisi petunjuk-petunjuk bagi para anggota profesi tentang bagaimana mereka melaksanakan profesinya dan larangan-larangan yang ditetapkan. Tujuan
6
PGRI, Kenang-kenangan Kongres PGRI XIII 21 s/d 25 November 1973, Jakarta: PGRI, 1973, hal. 98
420
PASAI: Jurnal Penelitian Ilmu-ilmu Sosial Universitas Malikusaleh, Lhokseumawe, NAD
dirumuskannya kode etik tersebut adalah untuk kepentingan anggota dan organisasi profesi itu sendiri. Secara umum, tujuan dibuatnya kode etik dalam suatu jabatan profesi adalah di antaranya; untuk menjunjung tinggi martabat profesi; untuk menjaga dan memelihara kesejahteraan para anggotanya, yaitu dengan memenuhi kesejahteraan lahir atau material dan kesejahteraan batin atau spiritual; untuk meningkatkan pengabdian para anggota; untuk meningkatkan mutu profesi; dan untuk mutu organisasi profesi.7 Berdasarkan pemikiran di atas, maka Kode Etik Guru di Indonesia dapat dirumuskan sebagai himpunan nilai-nilai dan normanorma profesi guru yang tersusun dengan baik dan sistematik dalam suatu sistem yang utuh dan bulat. Fungsi Kode Etik Guru Indonesia adalah sebagai landasan moral dan pedoman tingkah laku setiap guru warga PGRI dalam melaksanakan tugas pengabdiannya sebagai guru baik di dalam maupun di luar sekolah serta dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat. Guru Indonesia menyadari bahwa pendidikan adalah bidang pengabdian terhadap Tuhan Yang Maha Esa, bangsa dan Negara serta kemanusiaan pada umumnya. Guru Indonesia yang berjiwa Pancasila dan setia terhadap UndangUndang Dasar 1945, turut bertanggung jawab atas terwujudnya cita-cita Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945. Oleh sebab itu, guru Indonesia terpanggil untuk menunaikan karyanya dengan mempedomani dasar-dasar fundamental keguruannya. Di antara dasar-dasar tersebut adalah: 1. Guru berbakti membimbing anak didik untuk membentuk manusia seutuhnya; 2. Guru memiliki dan melaksanakan kejuruan profesional; 3. Guru berusaha memperoleh informasi tentang peserta didik sebagai bahan melakukan bimbingan dan pembinaan; 4. Guru menciptakan suasana sekolah sebaik-baiknya yang menunjang berhasilnya proses belajar-mengajar; 7
R. Hermawan. S, Etika Keguruan: Suatu Pendekatan Terhadap Profesi dan Kode Etik Guru Indonesia, Jakarta: Marga Hayu, 1979, hal. 76
421
PASAI: Jurnal Penelitian Ilmu-ilmu Sosial Universitas Malikusaleh, Lhokseumawe, NAD
5. Guru memelihara hubungan baik dengan orang tua murid, dan masyarakat sekitarnya untuk membina peran serta dan rasa tanggung jawab bersama terhadap kelangsungan pendidikan; 6. Guru secara bersama-sama dan pribadi berupaya mengembangkan dan meningkatkan mutu dan martabat profesinya; 7. Guru memelihara hubungan seprofesi, semangat kekeluargaan, dan kesetiakawanan sosial; 8. Guru secara bersama-sama berupaya meningkatkan mutu organisasi PGRI sebagai sarana perjuangan dan pengabdian; 9. Guru melaksanakan segala kebijaksanaan pemerintah dalam bidang pendidikan.
Guru dalam Perspektif Islam Guru adalah bapak ”spiritual” atau pemberi motivasi bagi murid. Guru adalah orang yang memberikan santapan kejiwaan dengan ilmu atau pengalaman, membimbing dan meluruskan akhlak para anak didik. Justru karena itu, menghormati dan memberi nilai yang lebih terhadap guru merupakan suatu
keniscayaan
dan
merupakan
arti
lain
bahwa
seseorang
telah
memperhatikan pendidikan anak-anaknya. Abu Darda’ menuliskan bahwa guru dan murid adalah dua teman dalam kebaikan, dan tidak ada yag lebih baik selain keduanya. Muhammad Athiyah al Abrasyi,8 menuliskan bahwa sifat-sifat yang harus dimiliki guru adalah: Pertama, memiliki sifat zuhud, dan mengajar karena mencari ridha Allah. Menurutnya, guru memiliki kedudukan yang mulia dan dimuliakan. Guru memiliki tugas-tugas, dan dalam mejalankan segala tugasnya senantiasa karena mencari keridhaan Allah, tanpa harus menunggu balasan uang atau pangkat. Artinya, bahwa pangkat, uang, dan jabatan tersebut diperoleh dengan harapan mencari keridhaan Allah semata, bukan dengan tujuan lainnya. 8
Muhammad Athiyah Al Abrasyi, Beberapa Pemikiran Pendidikan Islam, terj. Syamsudin Asyrofi, Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1996, hal. 64-72
422
PASAI: Jurnal Penelitian Ilmu-ilmu Sosial Universitas Malikusaleh, Lhokseumawe, NAD
Kedua, guru harus suci dan bersih. Seorang guru hendaknya suci badan dan anggota tubuhnya, menjaga diri dari perbuatan dosa, suci jiwanya dengan membebaskan diri dari prilaku sombong, riya, dengki, permusuhan, pemarah dan sifat-sifat tercela lainnya. Rasulullah bersabda: Dua macam umatku akan celaka; orang yang berilmu tapi jahat, dan orang yang beribadah tapi bodoh. Sebaik-baik orang adalah orang yang berilmu tapi baik, dan sejelek-jelek orang adalah orang yang berilmu tapi jahat. (Hadits). Ketiga, ikhlas dalam melaksanakan tugas. Keikhlasan seorang guru dalam melaksanakan tugasnyamerupakan sarana yang paling ampuhuntuk kesuksesan para muridnya dalam proses belajar. Guru sebagai
orang yang
berilmu adalah orang yang senantiasa merasa membutuhkan tambahan ilmu, meletakkan posisi murid-muridnya di dalam mencari kebenaran, ikhlas pada muridnya dan sangat peduli terhadap waktu-waktu yang dimiliki para muridnya. Hal ini karena ia bersikaprendah hatidalam proses belajar mengajar, memiliki sikap yang bijak dan teguh hati teradap apa yang diperbuat, bersikap lemahlembut tetapi tidak lemah, bersikap keras, tetapi tidak kejam. Keempat, bersikap murah hati. Seorang guru hendaknya bersifat hilm atau penyantun dan pemurah hati terhadap murid-muridnya, mampu mengendalikan dirinya dari bersikap marah, bersikap lapang dada, banyak bersabar, dan tidak marah karena hal-hal yang mengganggunya. Kelima, memiliki sikap tegas dan terhormat. Agar seorang guru menjadi lebih sempurna, ia harus memiliki sikap yang tegas dan terhormat. Ia harus memiliki keistimewaan-keistimewaan agar dapat menjauhkan dirinya dari tindak kejahatan yang akan menimpanya, menghindarkan dari hal-hal yang jelek, tidak membiasakan dirinya berteriak-teriak dan banyak omong kosong. Keenam, memiliki sikap kebapakan sebelum menjadi guru. Seorang guru hendaknya menyenangi para muridnya sama dengan menyenangi anak-anaknya, memikirkan muridnya sama dengan memikirkan anaknya sendiri. Berdasarkan prinsip Islam inilah, pendidikan modern sekarang ditegakkan, sehingga dapat dikatakan, bahwa seorang guru hendaknya lebih mencintai muridnya daripada
423
PASAI: Jurnal Penelitian Ilmu-ilmu Sosial Universitas Malikusaleh, Lhokseumawe, NAD
anak-anaknya. Seorang ayah yang memberi kasih sayang kepada anaknya adalah sesuatu hal yang biasa, tetapi seorang ayah yang mampu memberikan kasih sayang kepada anak orang lain (murid-muridnya) dianggap sebagai ayah yang terhormat dan layah untuk diteladani. Ketujuh, memahami karateristik murid. Guru hendaknya menguasai dan memahami karakteristik dan kecenderungan para muridnya, termasuk juga kebiasaan, rasa, dan pikirannya, ini dibutuhkan agar guru di dalam melaksanakan tugasnya tidak keliru arah. Inilah yang dituntut para pakar pendidikan di abad 21. Dalam pendidikan Islam, seorang guru dituntut mengetahui kebiasaan-kebiasaan dan karakteristik para muridnya. Hal ini diperlukan agar guru dapat memilih materi-materi pelajaran yang sesuai dengan tingkat kemampuan intelektualits murid-muridnya. Guru hendaknya tidak memberikan materi yang bersifat kongkrit dan abstrak, atau bersifat fisik dan metafisik secara sekaligus kepada para muridnya, tetapi harus disesuaikan dengan kadar kemampuan muridnya terlebih dahulu. Kedelapan, guru harus menguasai materi ajaran. Guru harus memiliki kompetensi profesional, dalam arti memiliki banyak ilmu dan pengetahuan yang akan diajarkan kepada para muridnya. Agar pengetahuan guru tetap eksis dan berkembang, maka diharuskan kepadanya senantiasa berupaya belajar dan mencari pegetahuan yang baru sesuai dengan perkembangan zaman dan tuntutan para pengguna pasar. Guru sebagai edukator atau pentransfer ilmu dan pengalaman dituntut senantiasa mengaktualisasikan dirinya, sehingga proses pembelajaran yang dilakukan tidak selalu menoton, membosankan dan menjengkelkan para pengguna pasar dalam semua tingkatan (tingkat dasar, dan lanjutan). Peningkatan Mutu Pendidikan dan Citra Profesi Keguruan Guru sebagai pendidik profesional mempunyai citra yang baik di masyarakat apabila dapat menunjukkan kepada masyarakat bahwa ia layak
424
PASAI: Jurnal Penelitian Ilmu-ilmu Sosial Universitas Malikusaleh, Lhokseumawe, NAD
menjadi panutan atau teladan masyarakat sekelilingnya.9 Perbaikan citra profesi guru di mata masyarakat akan sangat ditentukan oleh persepsi masyarakat terhadap keberadaan profesi guru itu sendiri. Profesi guru sebagai profesi mulia tidak diukur dari kredibilitas prestasi ekonomi yang diraih, melainkan dari prestasi intelektual bangsa. Guru sebagai penegak tonggak dan pilar peradaban manusia, tidak saatnya lagi dijadikan sebagai ”sumber dana” untuk aneka keperluan. Budaya memotong gaji dan rapel guru untuk berbagai alasan kiranya tidak muncul lagi di era reformasi dan demokratisasi saat ini. Semua pihak hendaknya memberikan kesempatan kepada guru tampil secara bersahaja secara sosial dan ekonomi, namun jangan kebersahajaannya tersebut menjadi sasaran empuk berbagai pihak untuk melakukan tindakan-tindakan yang tidak bertanggung jawab. Pendidikan merupakan satu chapter permasalahan kehidupan yang paling banyak dipersoalkan. Hal ini karena kehadirannya di samping sebagai respon atas kebutuhan manusia berperadaban, juga karena eksistensinya senantiasa sebagai aktivitas kemanusiaan dan pemanusiaan manusia universal. Dalam konteks ini, tuntutan akan kehadiran guru profesional tidak pernah surut, meskipun dalam altar proses kemanusiaan dan pemanusiaan guru yang paling diandalkan seringkali disebut sebagai ’Si Umar Bakri.’ Sebagai tantangan bagi guru adalah bagaimana agar keberadaannya mampu menjalankan roda pembelajaran untuk melahirkan manusia sejati pada masyarakat pengguna jasa pendidikan yang terus berubah. Dalam konteks ini, guru juga dituntut agar mampu memadukan dua dimensi pendidikan yaitu dimensi intrinsik dan instrumental pendidikan. Dimensi intrinsik mengandung makna bahwa guru harus mampu menciptakan proses pendidikan secara universal, yang mengemban misi sejati untuk memproduk manusia berpengetahuan luas, berkepribadian luhur dan memiliki kemauan (konasi) untuk hidup. Para guru bukan hanya memposisikan dirinya sebagai objek material dan formal pendidikan dengan parameter dunia 9
Soetjipto, 1999, hal. 42
425
PASAI: Jurnal Penelitian Ilmu-ilmu Sosial Universitas Malikusaleh, Lhokseumawe, NAD
kerja dan kehidupan memanusiakan
manusia
yang serba praktis yang
pada
pragmatis, melainkan juga
gilirannya
membuatnya
mampu
memanusiakan diri dan menghayati akan makna dan hakikat kehidupan sebagai pemegang mandat ilahiah dan kultural. Sedangkan pada dimensi instrumental pendidikan, para guru menjadi ujung dan arah tombak agar pendidikan dapat menjadi instrumen perubahan sosial yang progresif, dengan misi utama menciptakan gayutan lulusan dengan kebutuhan dunia kerja. Pendidikan merupakan instrumen yang harus mampu memberikan bekal hidup bagi anak didik sesuai dengan potensinya. Jika pembekalan tersebut disertai dengan pendidikan budi pekerti secara asumtif akan melahirkan output yang bukan hanya cerdas secara intelektual dan fisikal, tetapi bahkan melahirkan anak didik yang cerdas secara moral, emosional dan spiritual. Kehadiran pendidikan budi pekerti merupakan sesuatu yang signifikan terlebih dalam mengatasi berbagai penyimpangan-penyimpangan yang muncul pada era modern. Berbagai prilaku masyarakat modern yang bertentangan dengan nilai dan estetika moral adalah seperti; perkelahian pelajar, mogok belajar, tindakan asusila, ber-tripping ria, dan sebagainya. Guru memang merupakan salah satu subjek yang bertanggung jawab dalam proses pendidikan budi pekerti. Namun, bagi guru hal ini tidak jarang menjadi dilema, oleh karena simbol-simbol fisik dan prestasi ekonomi sudah menjadi indikator yang menentukan kewibaaan. Dalam hal ini, pada pelbagai kasus profesi guru jangankan dihormati dan dihargai, tetapi bahkan menjadi sumber ejekan dan kesinisan. Berangkat dari realitas inilah, tidak arang terdengar bila para guru sering melakukan tindakantindakan yang komersial dalam aktivitas kesehariannya. Para guru, dengan aneka cara berusaha mengakses ekonomi, mulai dari jualan di pasar, menjual buku kepada anak-anak, hingga menjadi sopir dan tukang ojek. Guru profesional adalah guru yang mampu mengakomodasikan dimensi intrinsik dan dimensi instrumental pendidikan. Kemampuan profesional guru secara evolutif harus terus berubah sejalan evolusi kemajuan bidang IPTEK. Dalam hal ini, guru berkedudukan menjalankan fungsi teknologisasi dan
426
PASAI: Jurnal Penelitian Ilmu-ilmu Sosial Universitas Malikusaleh, Lhokseumawe, NAD
instrumentalisasi. Guru mendorong pengembangan media belajar dalam paradigma teknologi pendidikan atau mengakses pemanfaatan teknologi yang ada pada masyarakat untuk keperluan pembelajaran. Tugas berat ini dapat membuat citra profesi guru menjadi makin tersubordinasikan, di mana secara personal, guru diidentifikasi sebagai miskin ekonomi yang lazim membuat profesinya dilecehkan. Gaji guru yang sangat rendah dibanding dengan profesi sejenis di manca negara, bahkan di lingkungan ASEAN adalah hal klise dan sering dipersoalkan. Namun pun demikian, hal itu tetap menjadi derita berkepanjangan bagi para yang berprofesi guru. Dalam konteks lain, guru juga senantiasa dituntut untuk dapat melahirkan lulusan yang memiliki persyaratan teknis untuk mendapatkan pekerjaan atau swausaha. Ketika ada perbenturan antara membludaknya lulusan dengan terbatasnya kesempatan kerja, guru lagi-lagi menjadi pusat tundingan penyebab rendahnya mutu pendidikan dan membludaknya daftar pengangguran. Posisi guru makin terpuruk karena gejala anomali di kalangan pelajar sering dilabelkan sebagai kesalahan mereka. Tugas ini semakin memberatkan para yang berprofesi guru, disebabkan karena jaringan-jaringan kemasyarakatan semakin ruwet dan tidak konstruktif. Media massa, seperti televisi, komputer, internet, program porno, disket komputer, diskotik, taman rekreasi, dan sebagainya merupakan realitas jaringan kemasyarakatan yang lebih bersifat destruktif daripada konstruktif. Jaringanjaringan tersebut seakan-akan kehilangan jejak untuk merepresentasikan idealitas kemanusiaan seperti figuritas, kekuasaan, hukum, etika bisnis, spiritualitas, modernitas, moralitas, relegiusitas, dan daya sensibilitas sosial. Jaringan-jaringan kemasyarakatan tersebut hanya sebagai imajiner dan idealisasi belaka, dan sama sekali tidak bermakna dalam proses kemanusiaan dan pemanusiaan manusia secara universal. Namun demikian, meskipun jaringan-jaringan kemasyarakatan amat dominan mempengaruhi proses pemanusiaan dan kemanusiaan, eksistensi dan fungsi guru tetap menjadi hal yang signifikan dan prioritas. Tuntutan institusi
427
PASAI: Jurnal Penelitian Ilmu-ilmu Sosial Universitas Malikusaleh, Lhokseumawe, NAD
pendidikan akan tenaga pendidikan yang bermutu dan unggul senantiasa menjadi dambaan dan harapan publik. A.E Wise dalam Six Steps to Teacher Professionalism menyatakan bahwa ketika orientasi mutu pendidikan dijadikan agenda prioritas, kehadiran guru yang bermutu menjadi prioritas utama pilihan publik.10 Mengikuti logika pemikiran Vollmer dan Mills (1968) jabatan guru dikategorikan sebagai profesi yang sesungguhnya, karena pekerjaan mengajar lebih mengandalkan aspek mental daripada motorik atau manual seperti halnya profesi insinyur, advokat, notaris, dokter, teolog dan sejenisnya.11 Dengan status profesionalnya itu, guru mestinya memiliki komitmen tinggi terhadap tugas dan fungsinya sebagai abdi negara dan masyarakat. Realitas mogok mengajar dan belajar yang dilakukan oleh guru dan siswa merupakan suatu fenomena kependidikan yang menarik untuk dikaji dan diteliti pada era sekarang. Guru mogok mengajar, apapun alasannya merupakan counter produktif proses pendidikan dan pembelajaran yang bermisi kemanusiaan. Dalam konteks ini, fenomena yang mesti dilihat bukan hanya mogok mengajar sebagai anomali kepribadian guru, melainkan harus diposisikan pada alasan rasional, mengapa para guru melakukan mogok. Kecilnya insentif ekonomi agaknya menjadi alasan klasik, namun tetap diangkat kepermukaan. Dalam perspektif ini, kondisi kehidupan guru memang belum baik. Posisi guru sebagai pendidik dan pengembang sejarah peradaban intelektualitas semakin tersoburdinasikan
ketika
indikator
ekonomi
dijadikan
ukuran
prestasi
masyarakat. Sedangkan modal idealisme dan moralitas yang dimiliki pahlawan tanpa jasa itu dinilai hanya sebagai sosok ketradisionalan belaka. Kondisi kurangnya standar ekonomi dan kesejahteraan hidup memang merupakan nasib yang harus diterima oleh guru sebagai pahlawan tanpa jasa. Namun sesuatu yang tidak bisa dimengerti adalah sikap arogantif pejabat terkait 10
Wise, A.E, “Six Steps to Teacher Professionalism”, in the Ryan, K. and Cooper, J.M, (1990). Reading in Education, Boston: Houghton Mifflin Company 11 Sanusi, Achmad, dkk, Studi Pengembangan Model Pendidikan Profesional Tenaga Kependidikan, Bandung: IKIP Bandung Depaetemen P dan K, 1991, hal. 78
428
PASAI: Jurnal Penelitian Ilmu-ilmu Sosial Universitas Malikusaleh, Lhokseumawe, NAD
yang akut dan kronis mejadikan para guru sebagai sapi perahan. Jumlah guru yang banyak dan ketakberdayaan mereka melawan arus birokrasi akibat kekawatiran dimarjinalkan, adalah menjadi sasaran empuk oleh pihak tertentu. Di sisi lain, kuantitas guru yang cukup besar juga acap kali dijadikan ajang politisasi oleh kekuatan atau organisasi tertentu, terlebih pada saat menjelang pesta demokrasi. Implikasinya, sikap dan daya kritis para guru semakin menurun bahkan pupus, dengan alasan ketidakberdayaan dalam melawan arus. Dalam kondisi ini, apapun perlakukan yang ditimpakan kepada mereka, seperti pemotongan gaji dan uang siluman untuk aneka urursan biasanya selalu diterima secara pasrah bahkan dianggap lumrah. Pada tataran tugas, guru dituntut untuk lebih profesional sejalan dengan meningkatnya kesadaran sejarah peradaban dan daya kritis siswa. Jika sebelumnya anak didik menerima segala realitas kinerja guru, kini mereka sudah mampu membedakan mana guru yang baik dan mana pula yang cenderung anumalis dalam menjalankan tugas. Munculnya daya kritis siswa tersebut memang merupakan fenomena baik dan konstruktif, sejauh hal tersebut dijadikan sebagai sumber kearifan bagi tenaga kependidikan. Artinya, para guru dan kepala sekolah hendaknya senantiasa mampu tetap eksis dengan predikat digugu dan ditiru. Guru merupakan tenaga profesional yang bukan hanya berperan dalam menanamkan nilai-nilai intelektualitas, tetapi juga mampu menginternalisasikan
nilai-nilai
moralitas
yang
menyebabkannya
dapat
dijadikan sebagai teladan dalam realitas kehidupan. Di sinilah makna pendidikan sebagai proses kemanusiaan dan pemanusiaan manusia menjadi manusia sejati. Berdasarkan hasil rekomendasi para Mendikbud dari sembilan Negara di New Delhi pada tahun 1995 dinyatakan bahwa ada enam pandangan tentang visi pendidikan abad 21, di antaranya adalah: pertama, ikut menggalang perdamaian dan ketertiban dunia, dengan titik tekan menanamkan nilai-nilai anti kekerasan, keadilan, dan nilai-nilai toleransi antar sesama manusia kepada peserta didik. Kedua, mendidik anak untuk mempersiapkan dirinya menjadi
429
PASAI: Jurnal Penelitian Ilmu-ilmu Sosial Universitas Malikusaleh, Lhokseumawe, NAD
pribadi ideal dalam kapasitasnya sebagai warga negara dan anggota masyarakat dalam tatanan kehidupan yang demokratis. Ketiga, pendidikan harus direalisasikan secara merata dan komprehensif, dengan menafikan batas-batas kemampuan ekonomi, jenis kelamin, atau aspek lain yang mengarah kepada tindakan diskriminatif yang bertentangan dengan nilai hakiki pendidikan. Keempat, pendidikan harus mampu menanamkan dasar-dasar pembangunan yang berkelanjutan (sutainable development) dengan memperhatikan kelestarian dan pelestarian hidup dalam konteks yang luas. Kelima, pendidikan harus menjadi instrumen yang tepat untuk memepersiapkan tenaga kerja untuk pembangunan ekonomi, dan karenannya pendidikan senantiasa harus dikorelasikan dengan tuntutan kerja (global market) yang dewasa ini dikenal dengan istilah link and match. Keenam, pendidikan harus berorientasi kepada ilmu pengetahuan
dan teknologi (science and
technology) terutama bagi negara-negara sedang berkembang agar tidak senantiasa tergantung pada negara-negara maju. Enam wolrd views mengenai sosok pendidikan abad ke 21 di atas adalah merupakan suatu kemutlakan bahwa guru-guru masa depan harus benar-benar tampil secara profesional dilihat dari dimensi pribadi, penguasaan keilmuan, metodologi pengajaran, dan kompetensi sosialnya. Tugas dan fungsi guru sebagai tenaga kependidikan berspektrum luas tidak hanya memerankan fungsi sebagai subjek yang mentransfer ilmu pengetahuan, tetapi juga melakukan tugas-tugas sebagai fasilitator, motivator, moderator, dinamisator dan evaluator dalam proses pembelajaran baik di dalam maupun di luar kelas. Untuk dapat menjalankan tugas-tugas tersebut, para guru harus memiliki kompetensi tertentu. Sudarwan Danim,12 menyatakan bahwa ada sepuluh kompetensi yang harus dimiliki oleh guru sebagai instructional leader, yaitu, diantaranya: 1) memiliki kepribadian ideal sebagai guru, 2) penguasaan landasan pendidikan, 3) menguasaai bahan pelajaran, 4) kemampuan menyusun program pengajaran, 5) kemampuan melaksanakan program pengajaran, 6) 12
Danim, hal . 197
430
PASAI: Jurnal Penelitian Ilmu-ilmu Sosial Universitas Malikusaleh, Lhokseumawe, NAD
kemampuan menilai hasil dan proses belajar-mengajar, 7) kemampuan menyelenggarakan program bimbingan, 8) kemampuan menyelenggarakan program administrasi sekolah 9) kemampuan bekerjasama dengan sejawat dan masyarakat, dan 10) kemampuan menyelenggarakan penelitian sederhana untuk keperluan pengajaran.
Kesimpulan Dari uraian di atas, dapat dimaknai bahwa guru sebagai jabatan profesi senantiasa perlu kiranya diperhatikan oleh berbagai pihak. Peningkatan perhatian kepada guru adalah dengan cara memberikan kesempatan untuk meningkatkan kualifikasi pendidikan, meningkatkan kompetensi keilmuan dan jabatan, serta meningkatkan kuantitas kesejahteraan guru. Peningkatan kualifikasi pendidikan dapat dilakukan dengan cara melanjutkan pendidikan (penyetaraan) ke jenjang S1, S2 dan bahkan S3. Peningkatan kompetensi kependidikan dapat dilakukan dengan mengikuti pendidikan dan pelatihan baik dalam prajabatan, maupun selama dalam jabatan. Pendidikan dan pelatihan keilmuan ini dapat dilakukan dengan cara mengikuti penataran, lokakarya, seminar, dan kegiatan ilmiah lainnya yang berkaitan dengan kependidikan. Di samping melalui peningkatan mutu dan profesionalisme, pemerintah juga diharapkan meningkatkan kesejahteraan guru, baik melalui peningkatan gaji, maupun melalui peningkatan tunjangan prstasi kerja dan jabatan sehingga keberadaan guru sebagai profesi tidak lagi tersoburdinasikan dalam realitas masyarakat. Peningkatan mutu dan kualitas pendidikan juga merupakan agenda pembaharuan yang perlu disikapi dengan segera. Hal ini agar berbagai anumali problematikan modern tidak akan berkembang dan meningkat. Arogansi kekuasaan, krisis ekonomi, krisis global, pelanggaran ketertiban umum, aksi
431
PASAI: Jurnal Penelitian Ilmu-ilmu Sosial Universitas Malikusaleh, Lhokseumawe, NAD
memfitnah, main hakim sendiri, kerusuhan, perampokan, pecandu narkotika dan obat-obatan terlarang, politisasi massa, kekerasan, korupsi, kolusi, nepotisme, rendahnya indeks pengembangan sumberdaya manusia (human development index), dan seabreg prilaku buruk lainnya merupakan dampak dari krisis pendidikan era sekarang. Pendidikan merupakan instrumen yang harus mampu memberikan bekal hidup bagi anak didik sesuai dengan potensinya. Jika pembekalan tersebut disertai dengan pendidikan budi pekerti secara asumtif akan melahirkan output yang bukan hanya cerdas secara intelektual dan fisikal, tetapi bahkan melahirkan anak didik yang cerdas secara moral, emosional dan spiritual.
DAFTAR PUSTAKA
Hermawan, S.R, (1979). Etika Keguruan: Suatu Pendekatan Terhadap Profesi dan Kode Etik Guru Indonesia, Jakarta: Marga Hayu Muhammad Athiyah Al Abrasyi, (1996). Beberapa Pemikiran Pendidikan Islam, terj. Syamsudin Asyrofi, Yogyakarta: Titian Ilahi Press. National Education Assosiation, (1948). The Yardstick of a Profession. Dalam Institutes of Professional and Public Relation. Washington DC: The Association. Ornstein, Allan C, dan Leive, Daniel U, (1984). An Introduction to the Foundations of Education. Third Edition, Boston: Houghton Mifflin Company. PGRI, (1973). Kenang-kenangan Kongres PGRI XIII 21 s/d 25 November 1973, Jakarta: PGRI Sanusi, Achmad, dkk, (1991). Studi Pengembangan Model Pendidikan Profesional
Tenaga
Kependidikan,
Bandung:
IKIP
Bandung
Depaetemen P dan K.
432
PASAI: Jurnal Penelitian Ilmu-ilmu Sosial Universitas Malikusaleh, Lhokseumawe, NAD
Soetjipto dan Raflis Kosasi, (1999). Profesi Keguruan, Jakarta: Rineka Cipta Stinnett, T.M, dan Huggett, Albert. J, (1963), Professional Problems of Teachers. Second Edition. New York: The Macmillan Company. Sudarwan Danim, (2006) Agenda Pembaruan Sistem Pendidikan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Wise, A.E, “Six Steps to Teacher Professionalism”, in the Ryan, K. and Cooper, J.M, (1990). Reading in Education, Boston: Houghton Mifflin Company
433