Bab IV Konsep Pendidikan Ar-Rafi’ Dalam Membangun Ahlak Mulia Sejak tahun 2010 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mempromosikan pendidikan karakter dalam konteks pendidikan berbasis kompetensi.
A. Apa yang Disebut Karakter? Kementerian Pendidikan mendefinisikan karakter sbb:
dan
Kebudayaan
Jakarta
Karakter adalah cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerja sama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Individu yang berkarakter baik adalah individu yang bisa membuat keputusandan siap mempertanggungjawabkan tiap akibat dari keputusan yang ia buat. (Kemendiknas, Ditjen Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, 2009) Dengan demikian karakter seseorang merupakan perilaku orang tersebut dalam berpikir, berbicara, bersikap dan bertindak, yang dilandasi oleh nilai-nilai yang ada dalam sistem nilainya (value system), baik nilai personal, nilai sosial maupun nilai-nilai ketuhanan. Ditinjau dari sudut performansi (unjuk kerja), baik verbal performance, attitudinal performance dan physical performance, makakarakter dapat di definisikan secara sederhana sebagai cara berpikir dan berbicara, bersikap dan bertindak berdasarkan sistem nilai yang dimilikinya. Dengan demikian karakter dapat disamakan dengan ahlak mulia, perbedaannya terletak pada perjanjian si pelaku dengan tuhannya. Ahlak mulia merupakan karakter yang baik dariumat muslim, karena ia punya perjanjian(aqidah) dengan Allah Swt Sang Pencipta (Holik). Nilai-nilai personal dan sosial dan spiritual umat muslim dilandasi oleh nilai-nilai Bab IV Konsep Pendidikan Ar-Rafi’ Dalam Membangun Ahlak Mulia
50
keimanannya kepada Allah Swt. Sedangkan karakter yang baik berlandaskan kepada nilai-nilai personal, sosial yang bersifat spiritual dan unversal. Implementasi pembelajaran yang mencerdaskan emosional-spiritual pada umumnya merupakan pelatihan untuk membiasakan kebenaran dalam kehidupan sehari-hari, sehingga selalu terkait dengan kecerdasan kinestetis (perbuatan). Artinya kecakapan bersikap yang dilandasi oleh nilai-nilai ketuhanan lebih mudah dijelaskan dalam suatu tindakan atau perbuatan ( motorik), yang di dalam masyarakat muslim dikenal dengan istilah amal salih.Amal adalah perbuatan atau tindakan, sedangkan salih adalah nilai dan sikap orang yang berbuat amal tersebut, yaitu nilai-nilai keikhlasan. Dengan kata lain, perbuatan tersebut dilaksanakan bukan termotivasi oleh sesuatu manfaat fisik, material (motivasi ekstrinsik), melainkan hanya karena perintah Allah Swt, dengan berharap akan keridho’anNya (motivasi intrinsik).
B. Amal Salih sebagai Perilaku Ahlak Mulia Amal salih adalah perilaku seorang muslim yang dilandasi oleh nilai-nilai keimanannya kepada Allah Swt. Mereka yang beramal salih atau berperilaku ahlak mulia akan mendapat pahala (ganjaran/imbalan) dari Allah Swt, yang berdampak terhindarnya dari api neraka, sesuai dengan firmanNya:
4. Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya . 5. Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka), 6. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal salih; maka bagi mereka pahala yang tiada putusputusnya. [Qs. At-Tin (95): 4,5,6]
Bab IV Konsep Pendidikan Ar-Rafi’ Dalam Membangun Ahlak Mulia
51
Dalam ayat 4 dijelaskan bahwa Allah Swt menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya, dan dibekali denganpotensi yang sangat lengkap [Qs.(An Nahl (16): 78]. Ayat 5, menjelaskan bahwa kemudian semua manusia dikembalikan ke tempat yang serendah-rendahnya yaitu neraka (tafsir At-Tabani dan Ibnu Kasir) Ayat 6, menegaskan bahwa hanya orang-orang yang beriman dan beramal salih, yang akanmendapatkan pahala yang tidak putus-putusnya, sehingga mereka terhindar dari azab neraka. Semua ayattersebut menjelaskan bahwanilai-nilai keimanan kepada Allah Swt yang dijadikan landasan dalam berbuat dan bertindak, merupakan amal salih, yaitu perbuatan dan tindakan yang dilakukan umat muslim atas perintahNya.Hadiahnya adalah surga, karena terhindar dari azab neraka. Kalau umat muslim selalu berbuat dan bertindak berdasarkan perintah Allah Swt dan menghindarkan diri dari perbuatan dan tindakan yang dilarang oleh Allah Swt, maka mereka disebut orang-orang yang taqwa (muttaqin). Inilah konsep dasar pendidikan Ar-Rafi dalam membangun kecerdasan emosional-spiritual dan kecerdasan kinestetis yaitu:
Konsep pendidikan Ar Rafi’ membangun sosok muttaqien C. Mengapa Manusia Perlu Berahlak Mulia? Tiada pembangunan nasional tanpa pembangunan karakter bangsa, tidak adaNation Building tanpaCharacter Building, hal ini sering diucapkan oleh Bapak Proklamator Kemerdekaan Indonesia Dr (HC) Ir Soekarno, yang pernah penulis dengar dalam pidatonya. Apakah bangsa yang lagi krisis moral sulit untuk berhasil dalam pembangunan nasional? Sangat rasional apabila kita berpikir bahwa Bab IV Konsep Pendidikan Ar-Rafi’ Dalam Membangun Ahlak Mulia
52
keberhasilan pembangunan nasional akan sangat tergantung pada pembangunan karakter bangsa. Bagi umat muslim berahlak mulia merupakan kewajiban, karena sabda Rasulullah Saw:
“Yang membanyakkan orang masuk surga adalah ketakwaan pada Allah Swt yang tergambar dalam ahlak mulia”. Bagi umat muslim, berahlak mulia dan atau ber amalsalih, merupakan modal dasar bagi upaya pencapaian mardlotillah (keridho’an Allah Swt) yang didalamnya ada surga. Oleh karena iturasulullah Muhammad Sawbersabda bahwa:
“Tiada aku diutus kecuali untuk memperbaiki ahlak”. Keagungan ahlak rasulullah Muhammad Saw dikemukakan dalam Al Qur’an sesuai dengan firman Allah Swt sbb:
“dansesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung”. [Qs. Al Qalam (68): 4] Ahlak yang agung adalah perilaku rasul yang berdasarkan nilai-nilai moral yang ada dalam AlQur’an, yang harus dicontoh oleh semua umatnya. Oleh karena itu Rasulullah Muhammad Saw mengajarkan umatnya untuk berikrar dalam shalat sebagai berikut :
Katakanlah: “Sesungguhnya solatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, tuhan semesta alam”.[Qs. Al An’am (6): 162]
Bab IV Konsep Pendidikan Ar-Rafi’ Dalam Membangun Ahlak Mulia
53
Ayat tersebut menegaskan bagi umat muslim bahwa tidak ada perbuatan atau perilaku yang bukan perintah Allah Swt.Dengan kata lain tidak boleh ada perbuatan, tindakan atau perilaku yang bukan amal salih, atau ahlak mulia, kalau menghendaki keridhoanNya untuk menggapai surga di akhirat kelak. Bagamana hasil nyata di dunia dari amal shalih, atau perilaku ahlak mulia? Allah Swt menetapkan bahwa dampak nyata dari implementasi nilai-nilai keimanan dalam bentuk amal salih adalah kesejahteraan bagi diri pribadi, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara serta lingkungan alam sekitarnya dengan penghuninya, sesuai dengan firmanNya :
“dantiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”. [Qs. Al Anbiya (21): 107].
Ayat tersebut menjelaskan tujuan diturunkannya rasulullah Muhammad Saw adalah untuk mensejahterakan bumi. Hal tersebut juga merupakan tugas bagi umat muslim sebagai pengikut Muhammad Saw. Bertitik tolak dari ayat-ayat tersebut, pendidikan Ar-Rafi’ harus dapat membangun SDM yang cerdas secara intelektual agar dapat memiliki ilmu, dan menetapkan “kebenaran”,dan cerdas secara emosional-spiritual dan kinestetis sehingga dapat menggunakan ilmunya dalam iman atau dengan ahlak mulia, sehingga berdampak pada penyebaran kesejahteraan ke seantero alam (rahmatan lil’alamin). Kesimpulannya:
Konsep pendidikan Ar Rafi’ membangun nilai dan sikap untuk beramal salih
Bab IV Konsep Pendidikan Ar-Rafi’ Dalam Membangun Ahlak Mulia
54
D. Bagaimana Peran Guru dalam Membangun Ahlak Mulia?
Langkah pertama dalam pembelajara afektif, adalah membangun apresiasi peserta didik terhadap nilai-nilai ahlak mulia. Apresiasi peserta didikakan nilai-nilai, dimulai dengan pengindraan atas perilaku orang-orang di sekelilingnya yang berperilaku berdasarkan nilai-nilai personal, sosial dan nilainilai spiritual. Dalam hal ini guru merupakan model perilaku yang harus digugu dan ditiru oleh peserta didik. Apresiasi peserta didik terhadap guru dibangun dari mulaicara berpakaian, cara berbicara, cara bersikap dan cara bertindak.Bagaimana kalau guru tidak memberi contoh dengan perilaku, dari apa yang dinasihatkannya kepada peserta didik? Allah Swt mengingatkan dalam Al Qur’an sebagai berikut:
2. Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? 3. Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan. [Qs. Ash Shaff (61) : 2-3].
Ayat tersebut menjelaskan bahwa apa yang dikatakan oleh seseorang, harus diikuti oleh perbuatannya. Apabila seseorang berbicara, tetapi ia sendiri tidak melakukannya, maka ia akan mendapat kebencian yang besar dari Allah Swt.Apabila seorang guru “memerintahkan” kepada peserta didiknya untuk berperilaku baik,tetapi guru tersebut tidak mencontohkannya, maka guru tersebut akan mendapat “kebencian yang besar” dari Allah Swt, padahal umat muslim berharap untuk meraih mardlotillah (keridhoan Allah Swt) yang di dalamnya ada surga. Apabila guru meminta peserta didik untuk belajar, sedangkan dirinya tidak pernah belajar, maka guru tersebut akan mendapatkan kebencian dari Allah Swt, bukan keridho’anNya, naudzubillahi mindzaliq. Bab IV Konsep Pendidikan Ar-Rafi’ Dalam Membangun Ahlak Mulia
55
Figur contoh dalam Islam adalah rasulullah Muhammad Saw, seperti yang difirmankan oleh Allah Swt:
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah”. [Qs. Al Ahzab (33) : 21] Ayat tersebut menjelaskan bahwa ucapan, sikap dan tindakan Rasul merupakan contoh yang baik, yang harus diteladani oleh umatnya. Al Qur’an adalah pedoman bagi orang muslim yang harus dibaca, dipahami, diyakini dan diamalkan menjadi amal salih agar mendapat mardlotillah. Bagaimana perilaku muslim berlandaskan pedoman (Al Qur’an) tersebut? Umat muslim harus mencontoh perilaku Rasulnya Muhammad Saw, karena Rasul berperilaku dengan landasan moral Al Qur’an, seperti yang diutarakan dalam hadits berikut:“Nabi Muhammad Saw bermoralkan Al Qur’an”
Bab IV Konsep Pendidikan Ar-Rafi’ Dalam Membangun Ahlak Mulia
56
Oleh karena itu pedoman keilmuan Islam yang ada dalam AlQur’an dan contohnya ada pada sunnah, maka lengkaplah Islam sebagai agama yang sempurna. Dari uraian terdahulu ini dapat ditarik kesimpulan bahwa pendidikan afektif dimulai dengan pola keteladanan yang dapat diapresiasi peserta didik. Keteladanan
GURU
PESERTA DIDIK
Apresiasi dan Karakterisasi Bagan 4.1: Pola Pendidikan Ahlak Mulia,
Keteladanan VS Apresiasi dan Karakterisasi
Bagan tesebut menjelaskan bahwa guru harus menjadi idola peserta didik, segala perilakunya merupakan teladan bagi peserta didik sehingga peserta didik memberikan apresiasi kepada “nilai-nilai” personal, sosial maupun spiritual yang di demonstrasikan oleh guru. Ada kata-kata bijaksana yang terkait dengan pola pendidikan afektif ini yaitu:
Hai para guru, janganlah engkau berharap para peserta didikmu berperilaku seperti yang engkau nasihatkan, karena mereka akan banyak berperilaku seperti yang engkau contohkan.
E. Bagaimana ProsesPembelajaran Dalam Membangun Karakter?
Afektif
Krathwohl bersama Bloom dan Masia (1964) mengembangkan pembelajaran afektif atau domain afektif dalam lima kategori yaitu :
Bab IV Konsep Pendidikan Ar-Rafi’ Dalam Membangun Ahlak Mulia
57
1. 2. 3. 4. 5.
Receiving (attending) Responding Valuing Organization Characterization by value or value complex
Kategori receiving atau penerimaan merupakan tingkat terbawah dari pembelajaran afektif, yang dimulai dari kesadaran kognitif bahwa seseorang menyadari sedang “berada” dalam situasi tertentu, kemudian menumbuhkan keinginan untuk menerima “nilai-nilai” meskipun belum menerima sistem nilai secara keseluruhan. Kategori respondingadalah respons seseorang terhadap “sistem nilai” dalam situasi dimana ia berada, dengan dorongan untuk ikut berperan serta. Proses ini boleh dikatakan sebagai dorongan untuk “learning by doing” melalui komitmennya untuk berperan serta hingga tercapai kepuasan dalam berperan serta. Kategori valuingatau penilaian, dimulai dengan sikap menerima nilai-nilai yang dipromosikan, kemudian meningkat menjadi “sangat menyukai” nilai-nilai tersebut dan diakhiri dengan tingkat “komitmen” untuk “setia” terhadap sistem nilai tersebut. Kategori organizing adalah proses memasukkan nilainilai yang di promosikan dalam pembelajaran, kedalam sistem nilainya melalui tahapan “mempersepsikan” nilai yang dipromosikan, menyimpannya dalam organisasi sistem nilai, atau mengorganisasikan nilai berdasarkan persepsinya sendiri. Kategori Characterization by value or value complex merupakan internalisasi nilai-nilai atau penghayatan nilai-nilai, dimana nilai-nilai ialah berada pada sistem nilai peserta didik Bab IV Konsep Pendidikan Ar-Rafi’ Dalam Membangun Ahlak Mulia
58
yang mengontrol semua perilakunya, sehingga telah menjadi karakter peserta didik tersebut. Artinya peserta didikakan berperilaku konsisten dengan nilai-nilai yang telah dihayatinya atau diinternalisasi. Kelima kategori pembelajaran afektif dari Krathwhol semuanya bersifat kecakapan proses dalam bersikap, hingga menghasilkan nilai-nilai yang diorganisasikan peserta didik dalam sistem nilainya, yang digunakan sebagai landasan bersikap dan bertindak atau berperilaku. Inilah yang disebut sebagai karakter, dan apabila nilai-nilai personal dan sosial yang diorganisasikan dalam dirinya merupakan nilai-nilai spiritual Islami maka ia berperilaku dengan ahlak mulia.
Bab IV Konsep Pendidikan Ar-Rafi’ Dalam Membangun Ahlak Mulia
59