Bab V Konsep Pendidikan Ar-Rafi’ Dalam Membangun Kecakapan Hidup (Life Skill) Tujuan pendidikan nasional ditetapkan dalam Undangundang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Pasal 3, sbb: Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Pasal ini merupakan landasan pengembangan Kurikulum Tahun 2004, yang dikenal sebagai rintisan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Dalam kurikulum tersebut kompetensi di definisikan sebagai: Keseluruhan pengetahuan, nilai dan sikap yang direfleksikan dalam kebiasaan berfikir dan bertindak.
Definisi kompetensi dalam Kurikulum 2004 tersebut dapat diyakini kebenarannya, karena sesuai dengan firman Allah Swt dalam Al Baqarah (2) ayat 208, dan juga dalam surat Ali Imron (3) ayat 190 dan 191. Berdasarkan definisi kompetensi pada Kurikulum 2004 tersebut, dapat dikembangkan definisi operasionalnya yaitu:orang yang kompeten adalah orang yang berilmu yang Bab V Model Pendidikan Ar-Rafi’ (Life Skill)
60
mengamalkan ilmunya dalam kehidupan dengan landasan nilai-nilai iman, sehingga berdampak rahmatan lil „alamin. Dengan demikian pendidikan dalam era Undang-Undang Sisdiknas tahun 2003 bertujuan mengembangkan SDM yang cerdas, kompetitif, produktif, dan berakhlak mulia, yang diperlukan bagi pembangunan nasional.
A. Apa yang Disebut Dengan Kompetensi? Kata kompetensi secara etimologis berasal dari dua kata Bahasa Inggris yang maknanya saling terkait, yaitu competence (yang berjamak competences) dan competency (yang berjamakcompetencies). Terjemahan kata tersebut dalam bahasa Indonesia menjadi hanya satu kata, yaitu kompetensi sehingga kadang menimbulkan kesalahpahaman. Untuk memperoleh kejelasan makna, perlu dipahami terlebih dahulu makna kedua kata tersebut. Kata pertama, competence dalam pengertian bahasa Inggris berarti: “....what the people needto be able to do to perform a job well” (Oxford Learners Dictionary ) atau kemampuan yang dibutuhkan untuk melaksanakan pekerjaan dengan baik. Dalam pengertian ini, kata kompetensi bukan hanya kemampuan, melainkan meliputi kewenangan atau kekuasaan untuk menentukan atau memutuskan sesuatu hal.Misalnya kompetensi Pemda dalam mengurus pemerintahan sendiri atau kompetensi seseorang untuk mengambil keputusan (Poerwadarminta 1982).Disamping kewenangan untuk melaksanakan suatu pekerjaan atau jabatan, istilah competence juga mensyaratkan kemampuan untuk menyelesaikan pekerjaan dengan baik. Dengan demikian seseorang yang competence, bukan hanya memiliki kewenangan, namun ia juga memiliki kemampuan dalam arti memiliki ilmu ( knowledge) yang dapat digunakan dalam penyelesaian pekerjaan dalam jabatan di dunia kerja dengan baik. Bab V Model Pendidikan Ar-Rafi’ (Life Skill)
61
Pengertian kedua tentang kompetensi berasal dari kata
competency yang berarti "...the dimensions of behaviour that lie behind competence performance atau dimensi perilaku seseorang yang menghasilkan kinerja ( Oxford Learners Dictionary). Kompetensi semacam ini seringkali disebut kompetensi perilaku ( behavioral competencies )
karena menjelaskan perilaku orang ketika melaksanakan suatu tindakan. Misalnya, kompetensi kepemimpinan (leadership competency ) yang perlu dimiliki seorang Kepala Sekolah, yang meliputi kecakapan menetapkan arah organisasi, kecakapan mengorganisasikan, kecakapan komunikasi dan memotivasi, kecakapan pengendalian dan supervisi, kecakapan memecahkan masalah dan pengambilan keputusan serta kecakapan mempengaruhi orang lain dengan penuh kebermanfaatan untuk mencapai tujuan sekolah dengan baik. Dengan demikian, kompetensi dalam dunia pendidikan merujuk kepada kata kedua yaitu competency, yang menekankan dimensi perilaku seseorang, sesuai dengan definisi kompetensi dalam Kurikulum 2004.
B. Kompetensi Dalam Atikan Sunda Kebiasaan orang tua di Pasundan zaman dulu, kalau mereka bertanya kepada lulusan sekolah:geus bisa naon hasil sakola teh? (Sudah bisa setelah selesai sekolah?). Mereka beranggapan bahwa setelah menyelesaikan pendidikan di sekolah maka lulusannya akan punya kabisa, yang dalam bahasa Inggris disebut ability. Dalam bahasa Indonesia, kabisadapat diterjemahkan sebagai kemampuan. Apa yang disebut dengan kabisa di Tatar Sunda? Menurut orang Sunda, orang yang memiliki kabisa atau kemampuan, adalah mereka yang “lega ilmuna” (luas ilmu pengetahuannya) dan “gede amalna” (banyak amalnya).Pendidikan berbasis “kabisa” menurut atikan Sunda (pola pendidikan Pasundan) adalah pendidikan yang dapat Bab V Model Pendidikan Ar-Rafi’ (Life Skill)
62
membangun lulusannya, menjadi orang yang “lega ilmuna gede amalna”yaitu orang yang memiliki ilmu yang luas dan dapat menggunakan ilmunya dalam kehidupan berlandaskan nilai-nilai ahlak mulia. Bagaimana caranya untuk menjadi orang yang lega
elmuna?
Ada dua dimensi untuk dapat memiliki ilmu yang luas, yaitu dimensi proses dan dimensi ilmu, seperti yang digambarkan dalam bagan berikut :
Proses
Luas
Ilmu Pengetahuan
Bagan 5.1: Vektor Proses dan Vektor Ilmu yang membangun luasnya ilmu seseorang
Bagan tersebut menggambarkan bahwa luasnya pemilikan ilmu pengetahuan seseorang merupakan penjumlahan vektor proses dan vektor ilmu, yaitu vektor kecakapan proses berpikir ilmiah dan vektor ilmu pengetahuan. Atau luasnya ilmu pengetahuan seseorang merupakan perkalian proses dengan ilmu pengetahuan. Dengan kata lain seseorang akan memiliki ilmu apabila ia melakukan proses belajar dan berlatih untuk dapat menguasai dan memiliki ilmu (mastery learning). Orang yang punya kabisa, bukan hanya memiliki ilmu yang luas saja, tetapi dapat menggunakan ilmu pengetahuannya dalam kehidupan sebagai amal. Dengan demikian “kabisa” seseorang terdiri dari tiga dimensi, yaitu Bab V Model Pendidikan Ar-Rafi’ (Life Skill)
63
dimensi proses, dimensi ilmu dan dimensi amal, yang dapat digambarkan dalam bagan berikut:
Amal Ilmu Proses
Bagan 5.2: Kabisa (kompetensi) yang terdiri dari 3 dimensi
Bagan tersebut menggambarkan “kabisa” yang merupakan integrasi dari dimensi proses, dimensi ilmu dan dimensi amal.Dengan kata lain “kabisa” merupakan perkalian dari ilmu (panjang kubus) kali proses (lebar kubus) dan amal (tinggi kubus), sehingga “kabisa” merupakan “isi” atau “volume kubus”.Isi atau volume kubus inilah yang merupakan “bebeunangan tina kabisa” (perolehan dari kemampuan). Orang yang mendapat perolehan dari kemampuannya disebut “jelema masagi”. Istilah “masagi” atau “persegi” digunakan untuk menggambarkan kubus. Jadi orang yang punya “kabisa” (kemampuan) adalah orang yang memiliki ilmu, dapat menggunakan ilmunya (amal) dalam kehidupan, sehingga memperoleh “beubeunangan” sebanyak isi kubus, yang bentuknya persegi, sehingga disebut “jalmi masagi” atau “jalmi pasagi”. Istilah amal dalam Bahasa Sunda adalah pekerjaan yang sesuai dengan perintah Allah Swt, maka definisi kabisa atau kemampuan orang Sunda adalah: Bab V Model Pendidikan Ar-Rafi’ (Life Skill)
64
„Kabisa” atau kemampuan adalah pemilikan ilmu yang diamalkan dalam kehidupan dengan salih, sehingga memperoleh rizki yang barokah di dunya dan akhirat. Pola
pendidikan
Sunda
yang
berorientasi
pada
“kabisa”sama dengan reformasi pendidikan yaitu pendidikan
berbasis kompetensi. Mengapa di “tatar Sunda” tidak menggunakan “Atikan Sunda”? Inilah “pola pembodohan” dalam pendidikan zaman penjajahan Belanda bagi “Inlander” agar mereka tetap bodoh, sehingga Belanda bisa menjajah Indonesia selama 350 tahun. Dengan demikian istilah KBK bisa diartikan sebagai kurikulum berbasis kompetensi, atau kurikulum berbasis “kabisa” (KBK). “Atikan Sunda” yang berorientasi pada “kabisa” merupakan pengaruh pendidikan Islam yang membangun sosok muslim yang Kaffah (Qs. 2 : 208), yang dalam bahasa Sunda disebut sebagai jalma masaginyaeta jalmi anu ngahiji antara “tekad, ucap jeung lampah” (orang yang satu kesatuan antara niat, ucapan dan tindakannya).Artinya orang yang memilki kabisa merupakan sosok manusia yang berpribadi integral. Dari uraian dalam subbab ini dapat ditarik simpulan bahwa pendidikan di tatar Sunda sudah sejak lama bertujuan membangun kabisa atau kompetensi lulusan, dimana kompetensi merupakan pemilikan ilmu yang luas yang dapat diamalkan (dalam iman) sehingga memperoleh pendapatan yang bermanfaat dunia dan akhirat.
Konsep pendidikan Ar-Rafi‟ membangun kompetensi peserta didik, baik kompetensi personal, kompetensi sosial, kompetensi akademik dan kompetensi vokasional-profesional. Bab V Model Pendidikan Ar-Rafi’ (Life Skill)
65
C. Pendidikan Berbasis Kompetensi Membangun Kecakapan Hidup (Life Skill) Pada tahun 2001 sampai dengan tahun 2004 penulis mendapat tugas dari Menteri Pendidikan Nasional, menjadi Tim Asistensi Pengembangan Konsep Broad–Based Education dan Life Skill Education (BBE-LS), bersama Ace Suryadi, Arief Rahman, Bagiono Joko Sumbago, Muchlas Samani, Rusli Luthan dan Siskandar. Hasilnya adalah Buku Konsep Pendidikan Kecakapan Hidup yang diterbitkan oleh Departemen Pendidikan Nasional pada tahun 2003. Apa yang disebut dengan Kecakapan Hidup? Dalam implementasinya konsep pendidikan kecakapan hidup (life skill) di sekolah (jalur pendidikan formal) maupun di jalur pendidikan non formal, tidak dimaknai sebagaimana konsep yang dikembangkan oleh Tim Asistensi Depdiknas, melainkan diterjemahkan menyempit menjadi hanya sebatas keterampilan fisik atau kecakapan vokasional. Contohnya, pada jalur pendidikan nonformal informal, dulu disebut PLS (Pendidikan Luar Sekolah), mereka memiliki Program Kecakapan Hidup (PKH), yaitukursus-kursus yang berorientasi pada kecakapan kejuruan.PKH di SD misalnya, dilaksanakan dalam bentuk belajar menanam jamur atau beternak ikan, yang sifatnya vokasional, padahal tujuan pendidikan kecakapan hidup adalah: … agar peserta didik mampu memecahkan dan mengatasi
permasalahan kehidupan yang dihadapi dengan cara lebih baik dan lebih cepat ... (Depdiknas 2003, Hal. 12)
Jadi tidak tepat kalau peserta didik SD belajar beternak atau menanam jamur dalam konteks PKH, melainkan belajar berpikir cerdas, kreatif, inovatif, kemandirian, dan sebagainya Bab V Model Pendidikan Ar-Rafi’ (Life Skill)
66
yang berorientasi pada kecakapan personal, kecakapan sosial dan kecakapan akademik, sesuai dengan firmanNya dalam Al Qur‟an:
(apakah kamu Hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadat di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran. [Qs. Az Zumar (39): 9]
Demikian juga di jalur pendidikan non formal informal, sebaiknya kursus–kursus disebut saja sebagai program keterampilan kejuruan, karena PKH jauh lebih luas dari program kejuruan. Kecakapan hidup adalah muara dari semua jenis dan jenjang pendidikan, karena: …ruh pendidikan adalah mengembangkan hidup…. (Depdiknas 2003, Hal. 12)
kecakapan
Pendidikan adalah proses fasilitasi peserta didik agar mereka memperoleh pengalaman belajar yang berguna bagi peserta didik dalam mengembangkan dan memberdayakan potensi yang dimilikinya hingga dapat digunakan dalam memecahkan masalah yang dihadapinya, menanggulanginya hingga menjadi bermanfaat bagi dirinya, keluarganya dan lingkungannya (rahmatan lil alamin). Pedoman yang harus digunakan dalam belajar menghadapi kehidupan, sesuai dengan firman Allah Swt adalah Al Qur‟an sebagai pedoman untuk menjadi muttaqin, dan petunjukNya setiap saat diberikan kepada manusia melalui hati nurani, sesuai firmanNya: Bab V Model Pendidikan Ar-Rafi’ (Life Skill)
67
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama
Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”. [Qs. Ar Ruum (30): 30] Kalau di sekolah peserta didik belajar learning how to learn, maka sekolah harus memfasilitasi peserta didik untuk belajar mempraktekkannya dalam kehidupan (learning how to unlearn). Hal ini sesuai dengan anjuran UNESCO yaitu pendidikan yang mengintegrasikan empat pilar:
Learning to know Learning to do Learning to be Learning to live together
Bagaimana peran manusia dalam kehidupan? Konsep PKH menggambarkannya sebagai berikut: Sebagai Diri Pribadi Yang Mandiri
Sebagai Ang Komunitas Kel/Masy/W.N
Sebagai Hamba Tuhan YME Sebagai Bagian Dari Alam Lingkungan
Gambar 5.3: Peran Manusia dalam Kehidupan (PKH [Depdiknas], 2003)
Bab V Model Pendidikan Ar-Rafi’ (Life Skill)
68
Berdasarkan gambar tersebut, maka pendidikan seharusnya dapat membangun kemampuan peserta didik dengan empat peran yaitu: Sebagai hamba Tuhan YME Sebagai diri pribadi Sebagai anggota komunitas keluarga, masyarakat dan warga negara Sebagai bagian dari alam Dengan demikian tujuan pendidikan kecakapan hidup adalah secara umum pendidikan kecakapan hidup bertujuan memfungsikan pendidikan sesuai dengan fitrahnya, yaitu mengembangkan potensi manusiawi peserta didik untuk menghadapi perannya di masa datang. Secara khusus pendidikan yang berorientasi pada kecakapan hidup bertujuan untuk: 1. Mengaktualisasikan potensi peserta didik sehingga dapat digunakan untuk memecahkan problema yang dihadapi; 2. Merancang pendidikan agar fungsional bagi kehidupan peserta didik dalam menghadapi kehidupannya di masa datang; 3. Memberikan kesempatan kepada sekolah untuk mengembangkan pembelajaran yang fleksibel, sesuai dengan prinsip pendidikan berbasis luas, dan; 4. Mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya di lingkungan sekolah, dengan memberi peluang pemanfaatan sumberdaya yang ada di masyarakat, sesuai dengan prinsip manajemen berbasis sekolah (MBS). Secara umum manfaat dari pendidikan kecakapan hidup bagi peserta didik adalah:sebagai bekal dalam menghadapi
dan memecahkan problema hidup dan kehidupan, baik sebagai pribadi yang mandiri, warga masyarakat, maupun sebagai warga negara. Jika hal itu dapat dicapai, maka faktor ketergantungan terhadap lapangan pekerjaan yang sudah Bab V Model Pendidikan Ar-Rafi’ (Life Skill)
69
ada dapat diturunkan, yang berarti produktivitas nasional akan meningkat secara bertahap. Penulis ingin mengemukakan kembali konsep pendidikan kecakapan hidup yang melandasi pendidikan berbasis kompetensi, untuk dapat digunakan di sekolah. Bahkan kompetensi guru yang dikembangkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, ternyata sejalan dengan konsep pendidikan kecakapan hidup. Uraian berikut ini adalah modifikasi dari tulisan Tim Asistensi BBE–Life Skill Depdiknas, dimana penulis menjadi salah seorang anggotanya.
D. Konsep Pendidikan Kecakapan Hidup Kecakapan hidup (life skill) adalah:kemampuan dan keberanian untuk menghadapi problema kehidupan, kemudian secara proaktif dan kreatif, mencari dan menemukan solusi untuk mengatasinya. Pengertian kecakapan hidup lebih luas dari keterampilan vokasional atau keterampilan untuk bekerja.Orang yang tidak Bab V Model Pendidikan Ar-Rafi’ (Life Skill)
70
bekerja, misalnya ibu rumah tangga atau orang yang sudah pensiun, tetap memerlukan kecakapan hidup.Seperti halnya orang yang bekerja, mereka juga menghadapi berbagai masalah yang harus dipecahkan.Orang yang sedang menempuh pendidikanpun memerlukan kecakapan hidup, karena mereka tentu juga memiliki permasalahannya sendiri.Bukankah dalam hidup ini, di manapun dan kapanpun, orang selalu menemui masalah yang memerlukan pemecahan? Kecakapan hidup dapat dipilah menjadi dua jenis utama, yaitu: 1. Kecakapan hidup bersifat generik (generic life skill/GLS), yang mencakup kecakapan personal (personal skill/PS) dan kecakapan sosial (social skill/SS). Kecakapan personal mencakup kecakapan akan kesadaran diri atau memahami diri (self awareness) dan kecakapan berpikir (thinking skill), sedangkan kecakapan sosial mencakup kecakapan berkomunikasi (communication skill) dan kecakapan bekerjasama (collaboration skill). 2. Kecakapan hidup spesifik (specific life skill/SLS), yaitu kecakapan untuk menghadapi pekerjaan atau keadaaan tertentu, yang mencakup kecakapan intelektual dan kecakapan vokasional (vocational skill). Kecakapan akademik terkait dengan bidang pekerjaan yang lebih memerlukan pemikiran, sehingga mencakup kecakapan mengidentifikasi variable dan hubungan antara satu dengan lainnya (identifying variables and describing relationship among them), kecakapan merumuskan hipotesis (constructing hypotheses), dan kecakapan merancang dan melaksanakan penelitian ( designing and implementing a research). Kecakapan vokasional terkait dengan bidang pekerjaan yang lebih memerlukan keterampilan motorik. Kecakapan vokasional mencakup kecakapan vokasional dasar (basic vocational skill) dan Bab V Model Pendidikan Ar-Rafi’ (Life Skill)
71
kecakapan vokasional khusus (occupational skill). Secara skematik hidup ditujukkan pada uraian berikut ini:
Gambar 5.4: Skema Terinci Kecakapan Hidup (PKH [Depdiknas], 20030 Bab V Model Pendidikan Ar-Rafi’ (Life Skill)
72
Kecakapan kesadaran diri pada dasarnya merupakan penghayatan diri sebagai hamba Allah Swt, sebagai anggota masyarakat dan warga negara, sebagai bagian dari lingkungan, serta menyadari dan mensyukuri kelebihan dan kekurangan yang dimiliki, sekaligus menjadikannya sebagai modal untuk meningkatkan diri sebagai individu yang bermanfaat bagi diri sendiri maupun lingkungannya. Dan Allah Swt berfirman:
18. “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah Setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”. 19. “dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada mereka sendiri. mereka Itulah orang-orang yang fasik”. [Qs. Al Hasyr (59): 18-19]
Dengan kesadaran diri sebagai hamba Allah Swt, seseorang akan terdorong untuk beribadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya, serta mengamalkan ajaran agama yang diyakininya. Pendidikan agama bukan dimaknai sebagai pengetahuan semata, tetapi sebagai tuntunan bertindak dan berperilaku, baik dalam hubungan antara dirinya dengan tuhannya, maupun hubungan antara manusia dengan alam lingkungannya.Dengan kesadaran diri seperti itu, nilai-nilai agama dijadikan sebagai “roh” dari mata pelajaran lainnya. Kesadaran diri merupakan proses internalisasi dari informasi yang diterima yang pada saatnya menjadi nilai-nilai yang diyakini kebenarannya dan diwujudkan menjadi perilaku keseharian. Oleh karena itu, walaupun kesadaran diri Bab V Model Pendidikan Ar-Rafi’ (Life Skill)
73
lebih merupakan sikap, namun diperlukan kecakapan untuk menginternalisasi informasi menjadi nilai-nilai dan kemudian mewujudkan menjadi perilaku keseharian.Oleh karena itu dalam naskah ini, kesadaran diri dikategorikan sebagai suatu kecakapan hidup. Kecakapan kesadaran diri tersebut dapat dijabarkan menjadi: 1)Kesadaran diri sebagai hamba Allah Swt, makhluk sosial, serta makhluk lingkungan, dan; 2). Kesadaran akan potensi yang dikaruniakan oleh Allah Swt, baik fisik maupun psikologik, seperti firmanNya dalam Al Qur‟an:
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya”.[Qs. At Tiin (95): 4] Kesadaran diri sebagai hamba Allah Swt diharapkan mendorong yang bersangkutan untuk beribadah sesuai dengan firmanNya: “dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku”.[Qs. Adz Dzariyaat (51): 56]
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang lurus”.[Qs. Al Bayyinah (98): 5] Oleh karena itu PAI harus menjadi tuntunan dalam beragama sesuai dengan tuntutan agama yang dianut, berlaku jujur, bekerja keras, disiplin dan amanah terhadap kepercayaan yang dipegangnya. Bukankah prinsip itu termasuk bagian dari ahlak yang diajarkan oleh semua Bab V Model Pendidikan Ar-Rafi’ (Life Skill)
74
agama? Oleh karena itu, diharapkan agar mata pelajaran Agama Islam dan kewarganegaraan negara menanamkan prinsip-prinsip seperti itu, dan bersama guru mata pelajaran lain mengimplementasikan dalam pelaksanaan pembelajaran dan kehidupan sehari-hari di sekolah. Jujur, disiplin, amanah dan kerja keras tidak hanya dapat dikembangkan melalui mata pelajaran Agama Islam dan Kewarganegaraan.Melalui mata pelajaran Matematika atau Fisika, juga dapat dikembangkan sikap jujur, misalnya tidak boleh memalsu data-data praktikum atau hasil perhitungan tertentu.Disiplin terhadap waktu maupun aturan yang telah disepakati dapat dikembangkan melalui setiap mata pelajaran, misalnya kapan dan bagaimana memulai kegiatan belajar, praktikum maupun kegiatan ekstra kurikuler.Amanah dikembangkan ketika menggunakan peralatan praktikum maupun perlengkapan sekolah lainnya.Kerja keras dapat dikembangkan dalam mengerjakan tugas-tugas, baik individual maupun kelompok. Yang lebih khusus lagi adalah implementasi dari konsep–konsep IPA dan Matematika dalam kehidupan sehari-hari dengan berintikan nilai-nilai ahlak mulia, sehingga bermanfaat bagi dirinya, keluarganya, bangsa dan agamanya serta lingkungannya ( rahmatan lil‟alamin). Jika hal ini terlaksana di sekolah, bukankah peserta didik belajar beribadah sosial dalam mata pelajaran IPA? Bukankah guru IPA juga menjadi guru ibadah? Atau menjadi guru Agama Islam? Maka guru IPA menjadi guru Agama Islam spesialis IPA?
Kesadaran diri bahwa manusia sebagai makhluk sosial akan mendorong yang bersangkutan untuk berlaku
toleran kepada sesama, suka menolong dan menghindari tindakan yang menyakiti orang lain. Bukankah memang Allah Swt menciptakan manusia bersuku-suku, berbangsa-bangsa untuk saling menghormati dan saling membantu?Bukankah heterogenitas itu harmoni kehidupan yang seharusnya disinergikan? Nah, jika sikap itu bersumber dari kesadaran Bab V Model Pendidikan Ar-Rafi’ (Life Skill)
75
diri, maka pengawasan dari pihak lain menjadi tidak lagi penting, karena setiap orang akan mengontrol dirinya sendiri.
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan”.[Qs. At Tahriim (66): 6] Kesadaran
diri
sebagai
makhluk
lingkungan
merupakan kesadaran bahwa manusia diciptakan Allah Swt sebagai kholifah dimuka bumi dengan amanah memelihara lingkungan. Dengan kesadaran itu, pemeliharaan lingkungan bukan sebagai beban, tetapi sebagai bagian dari ibadah kepada Allah Swt, sehingga setiap orang akan terdorong untuk melaksanakannya.
dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar,merekalah orang-orang yang beruntung”.[Qs. Ali „Imran(3): 104] dan Dia lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu Amat cepat siksaan-Nya dan Sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. [Qs. Al An‟am (6): 165] Kesadaran diri akan potensi yang dikaruniakan Allah Swt kepada kita sebenarnya merupakan bentuk syukur kepadaNya [Qs.An Nahl (16): 78]. Dengan kesadaran itu, peserta didik akan terdorong untuk menggali, Bab V Model Pendidikan Ar-Rafi’ (Life Skill)
76
memelihara, mengembangkan dan memanfaatkan potensi yang dikaruniakan oleh Tuhan, baik berupa fisik maupun psikologik. Oleh karena itu, sejak dini peserta didik perlu diajak mengenal apa kelebihan dan kekurangannya. Jika peserta didik menyadari memiliki potensi olah raga, diharapkan akan terdorong untuk mengembangkan potensi tersebut menjadi olahragawan yang berprestasi. Demikian pula untuk potensi jenis lainnya. Semua potensi yang diperoleh patut disyukuri peserta didik dengan cara mengaktualisasikannya dalam belajar dan berlatih sehingga menjadi kompetensi yang bermanfaat dalam kehidupannya.
“bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri, dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia”. [Qs. Ar Ra‟d (13): 11] Wali kelas, guru bimbingan konseling, guru bimbingan karier, bahkan semua guru perlu dan dapat berperan dalam mendorong peserta didik mengenal potensi yang dimiliki dan mengoptimalkan menjadi prestasi belajar.
Kesadaran tentang pemeliharaan potensi diri (jasmani dan rohani) diharapkan mendorong untuk
memelihara jasmani dan rohaninya, karena keduanya merupakan karunia Allah Swt yang harus disyukuri.Oleh karena itu, menjaga kebersihan, kesehatan, baik jasmani maupun rohani, merupakan bentuk syukur kepada Allah Swt, yang harus dilakukan.Berbagai mata pelajaran dapat menjadi wahana pengembangan kesadaran diri seperti itu, misalnya Biologi dan Olahraga dapat menjadi wahana yang sangat Bab V Model Pendidikan Ar-Rafi’ (Life Skill)
77
bagus untuk kesadaran memelihara jasmani. Sedangkan Agama, Kewarganegaraan, Sastra dapat menjadi wahana pemeliharaan rohani. Sebagai bentuk syukur kepada Allah Swt, potensi yang dikaruniakan kepada kita harus dikembangkan, sehingga setiap orang harus mengembangkan potensi yang dikaruniakanNya.Pengembangan potensi dilakukan dengan mengasah atau melatih potensi itu.Dan itu berarti setiap orang harus terus menerus belajar. Dengan demikian prinsip life long education didorongkan kepada peserta didik, sebagai perwujudan syukur kepada Allah Swt. Jadi belajar terus menerus sepanjang hayat merupakan bentuk syukur kepada Alllah Swt yang harus dilakukan oleh setiap orang. Jika kesadaran diri sebagai makhluk Allah, sebagai makhluk sosial dan mahkluk lingkungan, serta kesadaran akan potensi diri dapat dikembangkan, akan mampu menumbuhkan kepercayaan diri pada anak didik, karena mengetahui potensi yang dimiliki, sekaligus toleransi kepada sesama teman yang mungkin saja memiliki potensi yang berbeda.
40. “di antara mereka ada orang-orang yang beriman kepada Al Quran, dan di antaranya ada (pula) orang-orang yang tidak beriman kepadanya. Tuhanmu lebih mengetahui tentang orang-orang yang berbuat kerusakan”. 41. “jika mereka mendustakan kamu, Maka Katakanlah: "Bagiku pekerjaanku dan bagimu pekerjaanmu. kamu berlepas diri terhadap apa yang aku kerjakan dan akupun berlepas diri terhadap apa yang kamu kerjakan". [Qs. Yunus (10): 40-41]
Kecakapan kesadaran diri, sebagaimana dijelaskan di atas, kini semakin penting, karena salah satu problem bangsa ini adalah “rusaknya” moral. Para ahli menyebut, masayarakat Bab V Model Pendidikan Ar-Rafi’ (Life Skill)
78
kita sedang dijangkiti “penyakit me first”, yang selalu memikirkan keuntungan diri di paling depan, padahal Allah Swt mengajarkan umatNya untuk “kebersamaan” seperti firmanNya: “yang menguasa di hari Pembalasan”. [Qs. Al Fatihah (1): 4-5] Melalui penekanan kesadaran diri dalam pendidikan yang diaplikasikan melalui semua mata pelajaran, diharapkan secara bertahap moral bangsa dapat diperbaiki.
Pendidikan untuk mengembangkan kesadaran diri seringkali disebut sebagai pendidikan karakter, karena
kesadaran diri akan membentuk karakter seseorang. Karakter itulah yang pada saatnya terwujud menjadi perilaku yang bersangkutan. Oleh karena itu banyak ahli yang menganjurkan penumbuhan kesadaran diri ini yang perlu dikembangkan sejak usia dini dan diupayakan menjadi kehidupan keseharian di rumah maupun disekolah. Kecakapan berpikir [Qs. Al Alaq (96): 3-4]pada dasarnya merupakan kecakapan menggunakan akal yang diberikan Allah Swt secara optimal. Kecakapan berpikir mencakup antara lain kecakapan menggali dan menemukan informasi (information searching) atau kecakapan mengindra/ iqro, kecakapan mengolah informasi dan mengambil keputusan secara cerdas (information procecing and decision making skill), serta kecakapan memecahkan masalah secara arif dan kreatif (creative problem solving skil), yang ditindak lanjuti dengan presentasi hasil berpikir atau menuliskannya/kalam.
Kecakapan menggali dan menemukan informasi
memerlukan kecakapan dasar, yaitu membaca, menghitung dan melakukan observasi. Oleh karena itu, anak belajar Bab V Model Pendidikan Ar-Rafi’ (Life Skill)
79
membaca bukan sekedar “membunyikan huruf dan kalimat”, tetapi mengerti maknanya, sehingga yang bersangkutan dapat mengerti informasi apa yang terkandung dalam bacaan tersebut, atau kemampuan menganalisis masalah yang ada dalam bacaan tersebut. Peserta didik yang belajar berhitung, hendaknya bukan sekedar belajar secara mekanistik menerapkan kalkulasi angka dan bangun, tetapi mengartikan apa informasi yang diperoleh dari kalkulasi itu. Oleh karena itu kontekstualisasi Matematika atau mata pelajaran lainnya menjadi sangat penting, agar peserta didik mengerti makna dari apa yang dipelajari dalam kehidupan sehari-hari, sebagai suatu informasi, sehingga paserta didik dapat berkomunikasi secara matematis, dan berpikir logik rasional. Kecakapan melakukan observasi [Qs. Al Alaq (96): 12], sangat penting dalam upaya menggali informasi. Observasi dapat dilakukan melalui pengamatan fenomena alam lingkungan, melalui berbagai kejadian sehari-hari, peristiwa yang teramati langsung maupun dari berbagai media cetak dan elektronik, termasuk internet. Seringkali kita melihat banyak hal, tetapi apa yang kita sekedar melihat dan tidak memaknai apa yang dilihat itulah yang disebut observasi. Kata-kata bijak; “siapa yang menguasai informasi akan memenangkan suatu kompetisi” perlu dikembangkan dalam pendidikan. Agar informasi yang terkumpul lebih bermakna harus diolah.Hasil olahan itulah yang sebenarnya dibutuhkan oleh manusia.Oleh karena itu, kecakapan berpikir tahap berikutnya adalah kecakapan mengolah informasi.Mengolah informasi artinya memproses informasi tersebut menjadi simpulan.Sebagai contoh, jika kita memiliki banyak informasi tentang harga buku yang yang sedang kita cari, maka kita harus mengolahnya menjadi simpulan buku di toko mana yang paling murah, yang mutunya paling baik. Yang mudah dicapai dari tempat tinggal, dan sebagainya. Bab V Model Pendidikan Ar-Rafi’ (Life Skill)
80
Untuk dapat mengolah suatu informasi diperlukan kemampuan membandingkan, membuat perhitungan tertentu, membuat analogi, sampai membuat analisis sesuai dengan informasi yang diolah maupun tingkatan simpulan yang diharapkan.Oleh karena itu kemampuan-kemampuan tersebut penting untuk dikembangkan melalui mata pelajaran yang sesuai. Melalui mata pelajaran Biologi, peserta didik dapat mengolah informasi tentang buah-buahan, sehingga peserta didik dapat menyimpulkan buah apa yang kandungan vitaminnya banyak, harganya relatif murah dan mudah didapat. Dengan prinsip serupa, mata pelajaran lainnya juga dapat mengembangkan kecakapan mengolah informasi. Jika informasi telah diolah menjadi suatu simpulan, maka tahap berikutnya orang harus mengambil keputusan berdasarkan simpulan-simpulan tersebut.Fakta menunjukan seringkali orang takut mengabil keputusan karena takut menghadapi risiko yang muncul, padahal informasi untuk dasar pengambilan keputusan telah tersedia. Dalam kehidupan sehari-hari, betapapun kecilnya, kita selalu dituntut untuk mengambil keputusan.Misalnya peserta didik harus mengambil keputusan untuk membeli buku atau memfotocopy buku teman. Ibu rumah tangga harus mengambil keputusan memasak apa untuk hari minggu. Ketika seseorang menjadi pimpinan, baik organisasi formal maupun tidak formal, maka salah satu tugas pokoknya adalah membuat keputusan.Oleh karena itu, peserta didik perlu belajar mengambil keputusan dan belajar mengelola risiko, melalui simpulan-simpulan analisis informasi. Sebagaimana disebutkan dibagian terdahulu, setiap orang menghadapi masalah yang harus dipecahkan. Pemecahan masalah yang baik tentu berdasarkan informasi yang cukup dan telah diolah dan dipadukan dengan hal-hal lain yang terkait. Pemecahan masalah memerlukan kreativitas dan kearifan. Kreativitas untuk menemukan pemecahan yang efektif dan efisien, sedangkan kearifan Bab V Model Pendidikan Ar-Rafi’ (Life Skill)
81
diperlukan karena pemecahan harus selalu memperhatikan kepentingan berbagai pihak dan lingkungan sekitarnya.Oleh karena itu sejak dini, peserta didik perlu belajar memecahkan masalah, sesuai dengan tingkat berpikirnya. Untuk memecahkan masalah memang dituntut kemampuan berpikir rasional, berpikir kreatif, berpikir alternatif, berpikir sistem, berpikir lateral dan sebagainya. Oleh karena itu, pola berpikir tersebut perlu dikembangkan di sekolah dan kemudian diaplikasikan dalam bentuk pemecahan masalah.Model pembelajaran pemecahan masalah (problem based instruction) dapat diterapkan untuk maksud tersebut. Kecakapan sosial atau kecakapan antar-personal (inter personal skill) mencakup antara lain kecakapan komunikasi dengan empati (communication skill) dan kecakapan bekerjasama (collaboration skill). Empati, sikap penuh pengertian dan seni komunikasi dua arah perlu ditekankan karena yang dimaksud berkomunikasi di sini bukan sekedar menyampaikan pesan, tetapi isi pesannya sampai dan disertai dengan kesan baik yang dapat menumbuhkan hubungan harmonis. Komunikasi dapat melalui lisan atau tulisan.Untuk komunikasi lisan, kemampuan mendengarkan dan menyampaikan gagasan secara lisan perlu dikembangkan. Kecakapan mendengarkan dengan empati akan membuat orang mampu memahami isi pembicaraan orang lain, sementara lawan bicara merasa diperhatikan dan dihargai. Kecakapan menyampaikan gagasan dengan empati, akan membuat orang dapat menyampaikan gagasan dengan jelas dan dengan kata-kata santun, sehingga pesannya sampai dan lawan bicara merasa dihargai. Dalam tahapan lebih tinggi, kecakapan menyampaikan gagasan juga mencakup kemampuan menyakinkan orang lain. Bab V Model Pendidikan Ar-Rafi’ (Life Skill)
82
Fakta menunjukkan melakukan komunikasi lisan dengan empati ternyata tidak mudah. Seringkali orang tidak dapat menerima pendapat lawan bicara, bukan karena isi atau gagasannya tetapi karena penyampaiannya tidak jelas atau karena cara menyampaikannya tidak berkenan. Orang tidak senang berkomunikasi dengan kita, karena kita tidak menunjukkan sebagai pendengar yang berempati.Oleh karena itu, berkomunikasi lisan perlu dikembangkan sejak dini.Kecakapan memilih kata dan kalimat yang mudah dimengerti oleh lawan bicara dan bersikap sopan serta menunjukkan perhatian kepada lawan bicara sangat penting dan oleh karena itu perlu ditumbuhkan dalam pendidikan. Komunikasi secara tertulis kini sudah menjadi kebutuhan hidup.Oleh karena itu, setiap orang perlu memiliki kecakapan membaca dan menuliskan gagasannya secara baik. Kecakapan menuangkan gagasan melalui tulisan yang mudah difahami orang lain dan membuat pembaca merasa dihargai, perlu dikembangkan pada peserta didik. Menyampaikan gagasan, baik secara lisan maupun tertulis, juga memerlukan keberanian.Keberanian seperti itu banyak dipengaruhi oleh keyakinan diri dalam aspek kesadaran diri. Oleh karena itu, perpaduan antara keyakinan diri dan kemampuan berkomunikasi akan menjadi modal berharga bagi seseorang untuk berkomunikasi dengan orang lain. Menuliskan gagasan dan menyampaikan gagasan secara lisan, tidak semata-mata tugas mata pelajaran Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris, tetapi juga mata pelajaran lain, misalnya melalui tulisan atau presentasi hasil observasi, hasil praktikum, dan sebagainya.Mata pelajaran Fisika, Matematika, dan lainnya juga dapat menjadi sarana pengembangan kecakapan komunikasi, misalnya melalui diskusi, presentasi hasil praktikum dan menuliskan laporan hasil praktikum atau kerja lapangan.Melalui kegiatan seperti itu, kecakapan menjadi pendengar yang berempati, menjadi Bab V Model Pendidikan Ar-Rafi’ (Life Skill)
83
pembicara yang santun dan menjadi penulis yang baik dapat dipupuk. Pada era IPTEK ini, komunikasi sudah banyak menggunakan teknologi misalnya telepon, internet, teleconference dan sebagainya.Oleh karena itu dalam kecakapan komunikasi juga tercakup kemampuan berkomunikasi dengan menggunakan teknologi. Kecakapan bekerjasama sangat diperlukan karena sebagai makhluk sosial, dalam kehidupan sehari-hari manusia akan selalu bekerjasama dengan manusia lain. Kerjasama bukan sekedar “kerja bersama” tetapi kerjasama yang disertai
dengan saling pengertian, saling menghargai dan saling membantu.Studi mutahir menunjukan kemampuan kerjasama
seperti itu sangat diperlukan untuk membangun semangat komunikasi yang harmonis. Kecakapan kerjasama tidak hanya antar teman yang “setingkat” tetapi juga dengan semua tingkatan. Dengan yang setingkat, kecakapan kerjasama akan menjadikan seseorang sebagai teman yang terpercaya dan menyenangkan. Kecakapan kerjasama akan menjadikan seseorang sebagai orang yang terpercaya dan bisa berempati terhadap sesama. Seseorang akan menjadi teman yang menyenangkan, jika mau “mengambil tanggung jawab” (take responsibility) dari tugasnya, menghargai apa yang dilakukan orang lain dan ringan tangan membantu temanyang memerlukan. Seseorang akan menjadi orang yang terpercaya, jika mampu menunjukkan tanggung jawab, dedikasi, kemampuan, inisiatif dan kreativitas kerja sesuai dengan tugas yang diberikan seseorang akan menjadi pimpinan dalam lingkungannya yang menyenangkan jika memiliki kecakapan membimbing
bawahan dan memperhatikan kesulitan yang dialami dengan penuh empati, serta dapat menyelesaikan konflik secara bijak. Bab V Model Pendidikan Ar-Rafi’ (Life Skill)
84
Kecakapan kerjasama tidak hanya dapat dikembangkan lewat mata pelajaran Kewarganegaraan atau Agama, tetapi dapat melalui semua mata pelajaran.Melalui mata pelajaran Ekonomi, kerjasama dapat dikembangkan dalam mengerjakan tugas kelompok, karyawisata, maupun bentuk kegiatan lainnya. Dua kecakapan hidup generik yang diuraikan di atas (kecakapan personal dan kecakapan sosial) diperlukan oleh siapapun, baik mereka yang bekerja, mereka yang tidak bekerja dan mereka yang sedang menempuh pendidikan. Kecakapan hidup generik berfungsi sebagai landasan untuk belajar lebih lanjut (learning how to learn) dan bersifat transferable, sehingga memungkinkan digunakan untuk mempelajari kecakapan-kecakapan lainnya.Oleh karena itu beberapa ahli menyebutnya sebagai kecakapan dasar dalam belajar (basic learning skill). Kecakapan hidupyang bersifatspesifik (specific life skill/SLS)diperlukan seseorang untuk menghadapi problema bidang khusus tertentu.Untuk mengatasi problema bidang khusus tertentu.Untuk mengatasi problema “mobil yang mogok” tentu diperlukan kecakapan khusus tentang mesin mobil.Untuk memecahkan masalah dagangan yang tidak laku, tentu diperlukan kecakapan pemasaran.Untuk mampu melakukan pengembangan biologi molekuler tentunya diperlukan keahlian di bidang bio-teknologi. Kecakapan hidup spesifik biasanya terkait dengan bidang pekerjaan (occupational), atau bidang kejuruan (vocational) yang ditekuni atau akan dimasuki. Kecakapan hidup seperti itu kadang-kadang juga disebut dengan kompetensi teknis (technical competencies) dan itu sangat bervariasi, tergantung kepada bidang kejuruan dan pekerjaan yang akan ditekuni. Namun demikian masih ada, kecakapan yang bersifat umum, yaitu bersikap dan berlaku produktif (to be a productive people).Artinya, apapun bidang kejuruan atau Bab V Model Pendidikan Ar-Rafi’ (Life Skill)
85
pekerjaan yang dipelajari, bersikap dan berperilaku produktif harus dikembangkan. Bidang pekerjaan biasanya dibedakan menjadi pekerjaan yang lebih menekankan pada keterampilan manual dan bidang pekerjaan yang menekankan pada keterampilan manual dan bidang pekerjaan yang menekankan pada kecakapan berpikir.Terkait dengan itu, pendidikan kecakapan hidup yang bersifat spesifik juga dapat dipilah menjadi kecakapan akademik (academic skill) dan kecakapan vokasional(vocational skill).
Kecakapan akademik (academic skill/AS)yang seringkali juga disebut kecakapan intelektual atau kemampuan berpikir ilmiah pada dasarnya merupakan pengembangan dari kecakapan berpikir pada GLS.Jika kecakapan berpikir pada GLS masih bersifat umum, kecakapan akademik sudah lebih mengarah kepada kegiatan yang bersifat akademik/keilmuan.Hal itu didasarkan pada pemikiran bahwa pekerjaan yang ditangani memang lebih memerlukan kecakapan berpikir ilmiah. Kecakapan akademik mencakup antara lain kecakapan melakukan identifikasi variabledan menjelaskan hubungannya pada suatu fenomena tertentu (identifying variables and describing relationship among them), merumuskan hipotesisterhadap suatu rangkaian kejadian ( constructing hypotheses), serta merancang dan melaksanakan penelitianuntuk membuktikan suatu gagasan atau keingintahuan (designing, and implementing a research). Kata penelitian dan aspek-aspek kecakapan akademik di atas, tidak hanya mencakup penelitian eksperimental atau penelitian untuk membuktikan suatu hipotesis, tetapi juga penelitian bentuk lainnya, misalnya rancang bangun. Bukankah dalam rancang bangun, seseorang sebenarnya juga melakukan hipoteti-hipotetik atau bahkan kreasi tertentu Bab V Model Pendidikan Ar-Rafi’ (Life Skill)
86
yang kemudian dituangkan dalam bentuk rancangan, yang diyakini paling sesuai dengan tujuan yang diharapkan .Dan tentu saja, kreasi ataupun rancangan tersebut, telah mempertimbangkan berbagai factor/variable yang terkait.Jadi secara esensi, proses rancang bangun juga melalui tahapantahapan yang mirip dengan penelitian. Sebagai kecakapan hidup yang spesifik, kecakapan akademik penting bagi orang-orang yang akan menekuni pekerjaan yang menekankan pada kecakapan berpikir. Oleh karena itu kecakapan akademik lebih cocok untuk jenjang SMA dan program akademik di Universitas. Namun perlu diingat, para ahli meramalkan di masa depan akan semakin banyak orang yang bekerja dengan potensi yang terkait dengan mind worker dan bagi mereka itu belajar melalui penelitian (learning through research) menjadi kebutuhan sehari-hari. Tentu riset dalam arti luas, sesuai dengan bidangnya. Pengembangan kecakapan akademik yang disebutkan di atas, tentu disesuaikan dengan tingkat berpikir peserta didik dan jenjang pendidikan.Namun perlu disadari bahwa kecakapan itu dapat dikembangkan melalui berbagai mata pelajaran/mata kuliah di berbagai jenjang pendidikan. Melalui mata pelajaran Ekonomi, peserta didik dapat belajar mengidentifikasi variable apa saja yang mempengaruhi harga gabah, kemudian mempelajari hubungan antar variable tersebut, merumuskan hipotesis, merancang penelitian untuk membuktikan, bahkan sampai melaksanakannya, sesuai dengan tingkatan berpikirnya. Melalui pelajaran Kewarganegaraan, peserta didik dapat belajar mengidentifikasi variable yang menyebabkan terjadinya tawuran antara peserta didik, mempelajari hubungan antara variable yang menyebabkan terjadinya tawuran antar pelajar, mempelajari hubungan antara variable-variabel tersebut dan mencari solusi mengatasinya dengan merumuskan hipotesisBab V Model Pendidikan Ar-Rafi’ (Life Skill)
87
hipotesis, jika salah satu atau beberapa variable diberi perlakuan. Tentu saja harus disadari bahwa tidak semua aspek dalam kecakapan akademik dapat dan perlu dilaksanakan dalam suatu pembelajaran.Mungkin saja hanya sampai identifikasi variable dan mempelajari hubungan antar variable tersebut.Mungkin juga sampai merumuskan hipotesis dan bahkan ada yang ada yang dapat sampai mencoba melakukan penelitian, sesuai dengan tingkat pendidikannya. Pola seperti itu oleh para ahli disebut pola belajar dengan cara meniru bagaimana ahli (ilmuwan) bekerja. Pola ini sangat penting bagi peserta didik atau mahasiswa yang akan menekuni pekerjaan yang mengandalkan kecakapan berpikir, karena pola pikir seperti itulah yang nantinya digunakan dalam bekerja. Kecakapan vokasional (vocational skill/VS) seringkali disebut pula dengan “kecakapan kejuruan”, artinya kecakapan yang dikaitkan dengan bidang pekerjaan tertentu yang terdapat di masyarakat. Kecakapan vokasional lebih cocok bagi peserta didik yang akan menekuni pekerjaan yang lebih mengandalkan keterampilan psikomotor dari pada kecakapan berpikir ilmiah.Oleh karena itu, kecakapan vokasional lebih cocok bagi siwa SMK, kursus keterampilan atau program diploma. Kecakapan vokasional mempunyai dua bagian, yaitu: kecakapan vokasional dasar(basic vocational skill) dan kecakapan vokasional khusus (occupational skill) yang sudah terkait dengan bidang pekerjaan tertentu. Kecakapan dasar vokasional mencakup antara melakukan gerak dasar, menggunakan alat sederhana diperlukan bagi semua orang yang menekuni pekerjaan manual (misalnya palu, obeng dan tang), dan kecakapan membaca gambar sederhana.Di samping itu, kecakapan vokasional dasar mencakup aspek sikap taat asas, presisi, akurasi dan tepat waktu yang mengarah pada perilaku produktif. Bab V Model Pendidikan Ar-Rafi’ (Life Skill)
88
Kecakapan vokasional khusus, hanya diperlukan bagi mereka yang akan menekuni pekerjaan yang sesuai. Misalnya menservis mobil bagi yang menekuni pekerjaan di bidang otomotif, meracik bumbu bagi yang menekuni pekerjaan di bidang tata boga, dan sebagainya.Namun demikian, sebenarnya terdapat suatu prinsip dasar dalam kecakapan vokasional, yaitu menghasilkan barang atau menghasilkan jasa.Kecakapan akademik dan kecakapan vokasional sebenarnya hanyalah penekanan.Bidang pekerjaan yang menekankan keterampilan manual, dalam batas tertentu juga memerlukan keterampilan manual, dalam batas tertentu juga memerlukan kecakapan akademik.Demikian sebaliknya, bidang pekerjaan yang menekankan kecakapan akademik, dalam batas tertentu juga memerlukan kecakapan vokasional.Bahkan antara GLS, AS dan VS terjadi saling terkait dan tumpang tindih.Pada gamba 5.4terlihat tumpang tindih itu. Bagian tumpang tindih antara GLS dengan AS, seringkali disebutkecakapan akademik dasar(basic academic skill), bagian tumpang tindih antara GLS dan VS sering disebut dengan kecakapan vokasional dasar(basic vocational skill), dan tumpang tindih antara AS dan VS sering disebut dengan kecakapan vokasional berbasis akademik(science based vocational skill). Science Based Vocational Based
Kecakapan
Kecakapan
Basic Academic Skill Kecakapan Generik (GLS)
Bab V Model Pendidikan Ar-Rafi’ (Life Skill)
Basic Vocational Skill
89
Gambar 5.5: Skema Tumpang Tindih antara GLS, AS, VS.
Juga perlu disadari bahwa di alam kehidupan nyata, antara generic life skill (GLS) dan specific life skill (SLS) yaitu antara kecakapan kesadaran diri, kecakapan berpikir, kecakapan sosial, dan kecakapan akademik serta kecakapan vokasional sosial, dan kecakapan akademik serta kecakapan vokasional tidak berfungsi secara terpisah-pisah secara eksklusif. Tentu saja bobot setiap aspek kecakapan hidup dalam suatu tindakan agar tergantung pada jenis tindakan dan situasinya, tetapi semuanya (dengan bobot yang berbeda-beda) diharapkan akan melebur menjadi satu perilaku yang bersangkutan. Peleburan kecakapan-kecakapan tersebut menyatu menjadi sebuah tindakan individu yang melibatkan aspek fisik, mental, emosional, intelektual dan spiritual.Derajat kualitas tindakan individu dalam banyak hal dipengaruhi oleh kualitas kematangan berbagai aspek pendukung tersebut di atas.Berbagai studi menunjukkan kematangan seperti itu menjadi kunci sukses seseorang. Dalam menghadapi kehidupan di masyarakat juga akan selalu diperlukan GLS dan SLS yang sesuai dengan masalahnya. Untuk mengatasi masalah mobil yang sedang mogok diperlukan VS (bagian dari SLS), khususnya tentang mesin mobil dan juga GLS, khususnya tentang berpikir rasional, menganalisis dan memecahkan masalah secara kreatif. Dengan kata lain, walaupun antara kecakapankecakapan hidup tersebut dapat dipilah, tetapi dalam penggunaannya akan selalu bersama-sama dan saling menunjang. Jadi walaupun dapat dipilah menjadi berbagai aspek, kecakapan hidup merupakan satu keutuhan dan setiap aktivitas memerlukan semua kecakapan, walaupun intensitasnya berbeda-beda.
Bab V Model Pendidikan Ar-Rafi’ (Life Skill)
90
Seperti yang tampak pada gambar 5.4, ada jenis pekerjaan tertentu, misalnya tukang kayu, mungkin memerlukan kecakapan vokasional yang besar, sebaliknya kecakapan akademik tidak ada dan hanya diperlukan kecakapan akademik dasar saja.Sebaliknya, seorang peneliti bidang IPA mungkin hanya memerlukan kecakapan vokasional dasar saja, sedang yang lebih dominan adalah kecakapan akademik.Tentu kedua jenis pekerjaan tersebut tetap memerlukan kecakapan generik. Bangsa Indonesia yang merupakan bagian integral dari masyarakat dunia yang memiliki nilai religius, maka kecakapan hidup yang bersifat generic (GLS) di atas masih harus diberi penekanan, yaitu ahlak.Artinya, kecakapan personal, kecakapan sosial, kecakapan akademik serta kecakapan vokasional harus dijiwai oleh ahlak mulia.Ahlak harus menjadi kendali dari setiap tindakan seseorang.Karena itu, kesadaran diri sebagai makhluk tuhan harus mampu mengembangkan ahlak mulia tersebut.Ahlak mulia itu diharapkan dapat mengendalikan segala perilaku seseorang.Disinilah pentingnya pembentukan jati diri dan kepribadian (character building) guna menumbuh kembangkan penghayatan nilai-nilai etika-sosio-religius yang merupakan bagian integral dari pendidikan di semua jenis dan jenjang. Pendeskripsian kecakapan hidup sebagaimana dijelaskan di atas disebut pendeskripsian berdasarkan fungsi kecakapan dalam kehidupan manusia. Disamping itu masih ada pendeskripsian dari sudut pandang lain, misal yang memilah kecakapan hidup menjadi kecakapan dasar dan kecakapan instrumental. Juga ada yang membagi kecakapan hidup menjadi kecakapan komunikasi, manajemen diri, sosial, vokasional dan akademik terapan.Ada juga yang menyatakan kecakapan hidup mencakup kecakapan komunikasi, kecakapan mengambil keputusan, kecakapan inter-personal Bab V Model Pendidikan Ar-Rafi’ (Life Skill)
91
dan kecakapan belajar sepanjang hayat. Namun jika dicermati isi masing-masing aspek, akan tampak bahwa banyak persamaannya. Perbedaan pemilahan itu karena sudut pandang dan penekanan yang berbeda, sehingga dapat difahami sebagai suatu kewajaran.
E. Pendidikan Berbasis Luas (Broad-Based Education) Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) yang demikian pesat mengakibatkan inovasi pengetahuan begitu melimpah. Begitu banyaknya pengetahuan baru, sehingga beberapa ahli menyatakan orang tidak akan mampu mempelajari seluruhnya, walaupun dilakukan sepanjang hidupnya. Hal itu membawa konsekwensi dalam bidang pendidikan.Pendidikan tidak lagi dapat mengharapkan peserta didik untuk mempelajari seluruh pengetahuan.Karena itu harus dipilih bagian-bagian essensial dan menjadi fondasinya. Perkembangan IPTEK yang cepat membuat pengetahuan yang saat ini dianggap mutahir (up to date), seringkali sudah menjadi usang setelah peserta didik lulus.Oleh karena itu dalam pendidikan, proses belajar (learning how to learn) menjadi penting, disamping hasil belajar.Mengapa? Dengan model learning how to learn, mereka akan dapat mempelajari pengetahuan baru. Dilain pihak, masyarakat Indonesia sangat majemuk. Ada yang sangat metropolis dan mendorong anaknya menempuh pendidikan setinggi-tinggi bahkan mengirimkan ke luar negeri, tetapi juga banyak yang menyekolahkan anak sekedar dapat membaca-menulis, karena setelah itu sang anak akan segera bekerja membantu orang tuanya. Ada masyarakat yang tinggal di kota dan sudah menikmati “kehidupan era informasi”, memiliki berbagai fasilitas berteknologi tinggi, Bab V Model Pendidikan Ar-Rafi’ (Life Skill)
92
tetapi juga masih ada masyarakat yang tinggal di pedesaan yang relatif belum memiliki akses informasi. Ada masyarakat yang berorientasi industri dengan teknologi tinggi, sementara juga ada masyarakat agraris bahkan masih sangat sederhana.Nah, pendidikan harus dapat melayani semua lapisan masyarakat, dengan kondisi sangat majemuktersebut.Pendidikan tidak dapat diorientasikan ke sebagian kecil masyarakat, misalnya yang sudah maju saja, dan melupakan lainnya yang mungkin jumlahnya juga cukup besar.Pendek kata masyarakat yang dilandasi kepada kebutuhan masyarakat luas. Pemahaman itulah yang mendasari konsep Pendidikan Berbasis Luas (broad Based Educationa) (PBL/BBE), yaitu pendidikan yang mendasarkan pada kebutuhan masyarakat secara luas dengan berbagai karakteristik, dan menekankan pada penguasaan kecakapan hidup sebagai pondasi pengembangan diri lebih lanjut. Dengan konsep pendidikan berbasis luas, seharusnya pendidikan selalu dikaitkan dengankehidupan sehari-hari peserta didik, karena kecuali yang akan menjadi ilmuwan, sebagian besar peserta didik lebih memerlukan aplikasi ilmu pengetahuan untuk memahami sekaligus memecahkan problema kehidupan keseharian. Dengan demikian konsep pendidikan berbasis luas berlaku di seluruh jenjang pendidikan, khususnya di jalur pendidikan persekolahan. Melalui pendidikan berbasis luas, fleksibilitas pendidikan perlu dikembangkan. Kondisi masyarakat yang heterogen, mobilitas orang yang semakin dinamis, serta perkembangan IPTEK yang semakin cepat, akan menyebabkan peserta didik memerlukan tambahan bekal dari luar jalur dan jenis pendidikan lain. Juga sangat mungkin, karena berbagai halmaka peserta didik terpaksa berhenti dan ternyata suatu saat ingin masuk kembali.Oleh karena itu dalam konsep PBL, Bab V Model Pendidikan Ar-Rafi’ (Life Skill)
93
pendidikan harus menerapkan fleksibilitas, permeabilitas dan multi entry-exit. Prinsip fleksibilitas - permeabilitas-multi entry - exit, memberi peluang peserta didik pindah dari satu jalur atau jenis pendidikan ke jalur atau jenis lainnya. Misalnya peserta didik SMA/MA dimungkinkan pindah ke SMK atau sebaliknya, dengan memperhitungkan kompetensi relevan yang telah dimiliki. Juga memberi peluang peserta didik suatu sekolah mengambil mata pelajaran/kursus ke lembaga lain, dan itu diekivalensi dengan mata pelajaran di sekolahnya. Juga terdapat peluang peserta didik yang oleh suatu sebab tertentu berhenti sekolah dan kemudian masuk kembali setelah keadaan memungkinkan. Tentu saja prinsip tersebut di atas diikuti dengan aturan yang rasional dan jelas, sehingga menjadi pedoman pelaksanaannya.Prinsip tersebut juga menuntut administrasi dan manajemen sekolah yang bagus. Uraian dalam bab ini menggambarkan bahwa pendidikan berbasis kompetensi yang dirintis sejak Kurikulum 2004 (KBK), berlandaskan konsep-konsep pendidikan Islam yang dapat diyakini kebenarannya, namun implementasinya sejak tahun 2006 hingga tahun 2012, belum konsisten dengan konsep kompetensi, demikian juga evaluasinya, sehingga belum mampu meningkatkan mutu SDM. Diharapkan buku ini akan dijadikan bahan pembahasan para pakar dan praktisi pendidikan, karena penulis berkeyakinan bahwa konsep pendidikan Ar-Rafi‟ yang berlandaskan AlQur‟an dapat diyakini kebenarannya.
Bab V Model Pendidikan Ar-Rafi’ (Life Skill)
94