PENDIDIKAN KELUARGA SAKINAH MENURUT SYAIKH NAWAWI DALAM KITAB ‘UQUDULLIJAIN SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Kewajiban dan Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar SarjanaPendidikan Islam (S.Pd.I)
Oleh Sutoyo NIM 111 08 002 JURUSAN TARBIYAH PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA 2013
KEMENTERIAN AGAMA RI SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) Jl. Stadion 03 telp. (0298) 323706, 323433 Salatiga 50721 Website: www.Stainsalatiga.ac.idE-mail:
[email protected]
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Setelahdikoreksidandiperbaiki, makaskripsisaudara: Nama
: Sutoyo
Nim
: 111 08 002
Jurusan
: Tarbiyah
Program Studi
: Pendidikan Agama Islam
Judul
:Pendidikan Keluarga SakinahMenurut Syaikh Nawawi Dalam Kitab „Uqudullijain
Telah kami setujuiuntukdimunaqosahkan.
Salatiga, 15 April 2013 Pembimbing
AchmadMaimun, M. Ag. NIP. 19700510199803 1 003
KEMENTERIAN AGAMA RI SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) Jl. Stadion 03 telp. (0298) 323706, 323433 Salatiga 50721 Website: www.Stainsalatiga.ac.idE-mail:
[email protected]
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN Saya yang bertandatangan di bawahini: Nama
: Sutoyo
NIM
: 111 08 002
Jurusan
: Tarbiyah
Program Studi
: PendidikanAgamaIslam
Menyatakandengansebenarnyabahwaskripsi
yang
sayatulis,
benar-
benarmerupakanhasilkaryasendiri, bukanmerupakanpengambialihantulisanataukarya sayaakuisebagaihasiltulisanataukaryasendiri, terdapatdalamreferensi
yang
orang
lain
kecualiinformasi
dijadikanbahanrujukan.Apabila
yang yang di
kemudianhariterbuktiskripsiinihasiljiplakan, makasayabersediamempertanggungjawabkankemabalikeaslianskripsiini hadapan siding munaqosahskripsi. Salatiga, 15 April 2013 Yang membuatpernyataan
Sutoyo NIM: 111 08 002
di
MOTTO
”Teman-temanakrabpadahariitusebagiannyamenjadimusuhbagisebagian yang lain kecuali orang-orang yang bertakwa.” (QS Az-Zukhruf: 67).
PERSEMBAHAN
Dengan penuh rasa syukur dan terimakasih, skripsi ini penulis persembahkan kepada: 1. Kepada ibu tercinta (ibu Siti Kalijah), yang selalu mendukung baik moril maupun materi dengan penuh kasih sayangnya. 2. Kepada para masayikh dan guru-guru pembimbing spiritual (abah) yang selalu mendoa‟akan sepanjang waktu khususnya ustadz Sabiqun. Berkat barokah doa beliau menjadikan penulis mampu menghadapi semua tantangan dan rintangan hidup. 3. Kepada keluarga yang tercinta kakak dan adik (mas Sulistiyo, mas Sunariyo, mbak Tatik, adik Giarto), yang selalu memberikan motivasi. 4. Kepada semua teman seperjuangan (khusus PAI A 2008) yang memberikan pahit manis pelajaran kehidupan. 5. Kepada seseorang yang mengisi kehidupanku, yang insya Allah kelak juga menjadi pendamping dalam kehidupanku.
KATA PENGANTAR
Pujisyukursenantiasapenulispanjatkanpada
Allah
SWT,
yang
tanpalelahnyamelimpahkanrahmatkasihsayangya.Sehinggapenulisdapatmenyelesa ikanpenulisanini.SholawatsertasalampenulishaturkankepadajunjunganNabiAgung Muhammad SAW, yang telahberjuang agar umatnyamendapatkemuliaan di duniadanakhirat.Dalampenulisaninibanyakpihak
yang
penulislibatkan,
olehkarenaitupenulismengucapkanbanyak-banyakterimakasih, khususnyakepada: 1. Bapak
Dr.
Imam
Sutomo,
M.Ag.selakuketua
STAIN
yang
telahmenyetujuipenelitianskripsiini. 2. BapakDr. RahmatHariyadi, M.Pd. selakuketuajurusanTarbiyah yang telahmemberikankemudahanbagipenulisdalamperijinanpenelitian. 3. IbuDra. SitiAsdiqoh, M.Si, selakuketua program studiPendidikan Agama Islam 4. BapakAchmadMaimun,
M.Ag.selakudosenpembimbing
yang
telahmemberikanbimbingandanpengarahandenganpenuhkeikhlasandansab armencurahkanpikirandantenaganya, sertapengorbananwaktunyadalammembimbingpenyelesaianpenulisanskrip siini. 5. UstadzSabiqun yang telahmembantubaiksecaramorilmaupunmateri. 6. Semuapihakyangtidakdapatpenulissebutkansatupersatu,
yang
telahmembantubaiksecaramorilmaupunmateri, gunaselesainyaskripsiini
Semogaamalbaikmerekadicatatoleh sertamendapatkanbalasan
Allah
yang
SWT berlipatganda
,Amin.Penulismenyadaridanmengakuibahwapenulisanskripsiinimasihjauh dariharapan, semuaitudikarenakankefaqiranpenulis, keterbatasanwaktu, biayadantenaga.OlehKarenaitukritikdan
saran
yang
sifatnyamembangunsangatpenulisharapkandalammemperbaikiskripsiini.D anakhirnyapenulisberharapsemogaskripsiinidapatbermanfaatbagipenuliskh ususnyadanumumnyabagisemuapihak yangmembutuhkannya.
Salatiga, 15 April 2013
Penulis
ABSTRAK Sutoyo. 2013. Pendidikan Keluarga Sakinah Menurut Syaikh Nawawi Dalam Kitab „Uqudullijain. Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Salatiga. Pembimbing: Achmad Maimun, M.Ag. Kata Kunci:Pendidikan Keluarga Sakinah. Latar belakang penelitian ini mengajak model pendidikan keluarga Rasulullah. Subjek penelitian ini adalah kitab „Uqudullijain. Rumusan masalah yang ingin dijawab melalui penelitian ini adalah (1) Untuk mengetahui pendidikan keluarga sakinah dalam kitab „Uqudullijain, (2) Untuk mengetahui konteks sosial penulisan kitab „Uqudullijain, (3) Untuk mengetahui relevansinya pemikiran. Syaikh Nawawi dalam konteks pendidikan keluarga sakinah di Indonesia. Dari penelitian ini diharapkan akan mendapat berbagai manfaat yaitu:(1) Manfaat teoritis, yaitu didapatnya suatu konsep pendidikan berkeluarga menurut tradisi Rasulullah SAW., (2) Manfaat praktis, yaitu memberikan manfaat pada suami istri agar dapat menciptakan keharmonisan dalam berumah tangga yang sesuai ajaran Rasulullah SAW. Jenis penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada relevansi pemikiran Syaikh Nawawi dalam kitab „Uqudullijain dalam pendidikan keluarga sakinah di Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode analisis data. Subjek penelitian kitab „Uqudullijain karangan Syaikh Nawawi. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa pendidikan keluarga sakinah dalam kitab „Uqudullijain karangan Syaikh Nawawi berpengaruh besar dalam membentuk keluarga sakinah, sebagaimana kehidupan keluarga pada zaman Rasulullah SAW.
DAFTAR ISI
Halaman HALAMAN SAMPUL .........................................................................
i
PERSETUJUAN PEMBIMBING .......................................................
ii
SUSUNAN PANITIA PENGUJI ........................................................
iii
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ...........................................
iv
MOTTO ................................................................................................
v
PERSEMBAHAN ................................................................................
vi
KATA PENGANTAR ..........................................................................
vii
ABSTRAK ............................................................................................
ix
DAFTAR ISI .........................................................................................
x
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................
xv
BAB I. PENDAHULUAN ....................................................................
1
A. Latar Belakang Masalah........................................................
1
B. Rumusan Masalah .................................................................
4
C. Tujuan Penelitian ..................................................................
4
D. Kegunaan Penelitian .............................................................
4
E. Metode Penelitian .................................................................
5
F. Penegasan Istilah ...................................................................
7
G. Sistematika Penulisan ...........................................................
8
BAB II. BIOGRAFI PENGARANG ...................................................
10
A. Riwayat Hidup ......................................................................
10
B. Riwayat Pendidikan ..............................................................
13
C. Silsilah...................................................................................
15
D. Karya-Karya ..........................................................................
18
BAB III. DESKRIPSI PEMIKIRAN SYAIKH MUHAMMAD NAWAWI .............................................................................
20
A. Sekilas Tentang Kitab „Uqudullijain.....................................
20
B. Hak-hak Istri Atas Suami ......................................................
22
C. Hak Suami Atas Istri .............................................................
38
D. Keutamaan Shalat Wanita di Rumahnya ..............................
54
E. Larangan Melihat Lawan Jenis .............................................
59
BAB IV. PEMBAHASAN ....................................................................
64
A. Tinjauan Pendidikan Islam ...................................................
64
B. Konteks sosial syaikh nawawi ketika menulis kitab „Udullijain .............................................................................
65
C. Analisis konsep pendidikan keluarga sakinah menurut Syaikh Nawawi dalam kitab „Uqudullijain ........................... D. Relevansi
pendapat
Syaikh
Nawawi
dalam
66
kitab
„Uqudullijain dengan realitas keluarga muslim sekarang di Indonesia ..............................................................................
77
BAB V. PENUTUP................................................................................
78
A. Kesimpulan ...........................................................................
78
B. Saran ....................................................................................
79
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1.1 Daftar Riwayat Hidup ...................................................................... 1.2 Nilai SKK ........................................................................................ 1.3 Lembar Konsultasi Skripsi ............................................................... 1.4 Nota Pembimbing.............................................................................
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Rumah tangga merupakan markas atau pusat pergaulan dan susunan kehidupan yang mengekalkan keturunan. Rumah tangga adalah alam pergaulan manusia yang sudah diperkecil. Di dalam rumah tangga lahir dan tumbuh apa yang disebut dengan kekuasaan, agama, pendidikan, hukum, dan perusahaan. Keluarga adalah jamaah yang bulat, teratur, dan sempurna (Leter, 1985:2). Keluarga merupakan pondasi awal dari bangunan masyarakat dan bangsa. Keselamatan dan kemurnian rumah tangga adalah faktor penentu bagi keselamatan dan kemurnian masyarakat. Rumah tangga juga sebagai penentu kekuatan, kekokohan, dan keselamatan dari bangunan negara. Jadi, apabila bangunan sebuah rumah tangga hancur maka sebagai konsekuensinya masyarakat serta negara dapat diperkirakan akan hancur juga. Dalam keluarga banyak terjadi permasalah-permasalahn yang muncul. Hal ini apabila tidak segera teratasi maka akan terjadi percerain. Kasus perceraian pada tahun 2013 di Indonesia cukup tinggi. Tingginya kasus perceraian dibuktikan dengan banyak kasus perceraian yang terjadi tahun 2012, yakni sebanyak 285.184 kasus. Data yang dirilis Dirjen Bimas Islam Kementerian Agama RI, tahun 2013, jumlah penduduk Indonesia yang
menikah sebanyak 2 juta orang, sementara 285.284 perkara perceraian.
Maka, dalam keluarga seharusnya dibutuhkan adanya seorang pemimpin yang tegas. Pemimpin yang dapat mendidik, mengarahkan, dan mencukupi baik kebutuhan dhohiriyah dan bathiniyah. Sudah barang tentu, keluarga akan menjadi sakinah, mawaddah wa rahmah. Di dalam al-Qur‟an, yang menjadi pemimpin keluarga adalah suami. Seperti yang tertuang dalam QS.An-Nisa‟: 34:
Artinya: ”kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri, ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.
Keluarga adalah amanah ilahi yang harus dipelihara dan dibina dengan baik sebagai tiang kehidupan masyarakat dan bangsa dalam menyiapkan
generasi penerus, karena itu agama Islam menitik beratkan pada mutu kualitas suatu keluarga, sehingga akan terbentuk rumah tangga yang utuh, kuat, berbadan sehat, dan berfikir jernih, mampu menghadapi tantangan kehidupan (Leter, 1985:45). Untuk itu sebagai umat Islam hendaknya kembali tradisi Rasulullah SAW dalam membina rumah tangga, seperti yang tertuang dalam kitab Uqudullijain yaitu karangan Syekh Muhammad Nawawi. Di dalam kitab tersebut termuat tata cara berkeluarga yang baik sesuai ajaran Rasulullah SAW. Dalam penelitian ini penulis ingin menunjukkan bagaimanakah etika yang baik dalam kehidupan berkeluarga sesuai kitab Uqudullijain. Penulis berharap penelitian ini bisa menjadi acuan dalam membina rumah tangga yang sakinah, mawwadah wa rahmah sesuai ajaran Rasulullah. Penulis berharap semoga kehidupan rumah tangga muslim bisa berjalan sesuai norma-norma agama. Jadi, untuk tujuan ini penulis tertarik memberi judul penelitian ini “PENDIDIKAN KELUARGA SAKINAH MENURUT SYAIKH NAWAWI DALAM KITAB ‘UQUDUL LIJAIN”.
B. Rumusan Masalah 1.
Bagaimana pendidikan keluarga sakinah „Uqudullijain?
yang ada dalam kitab
2.
Bagaimana konteks sosial Syaikh Nawawi ketika menulis kitab „Uqudullijain?
3.
Sejauhmana relevansi pemikiran Syaikh Nawawi dalam konteks pendidikan keluarga sakinah di Indonesia?
C. Tujuan Penelitian 1. Untuk
mengetahui
pendidikan
keluarga
sakinah
dalam
kitab
„Uqudullijain. 2. Untuk mengetahui konteks sosial Syaikh Nawawi ketika menulis kitab „Uqudullijain. 3. Untuk mengetahui relevansinya pemikiran Syaikh Nawawi dalam konteks pendidikan keluarga sakinah di Indonesia. D. Kegunaan Penelitian Dari penelitian ini diharapkan akan mendapat berbagai manfaat yaitu: 1. Manfaat teoritis, maka akan didapat suatu konsep pendidikan berkeluarga menurut tradisi Rasulullah SAW. 2. Manfaat praktis, dapat memberikan manfaat pada suami istri agar dapat menciptakan keharmonisan dalam berumah tangga yang sesuai ajaran Rasulullah SAW. E. Metode Penelitian
Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Jenis dan sifat penelitian Melalui riset perpustakaan untuk mengkaji sumber-sumber tertulis yang telah dipublikasikan atau belum (Arikunta, 1980:10). Adapun sumber data dalam penelitian ini dapat digolongkan menjadi dua, yaitu: a. Sumber Data Primer Yaitu sumber data yang langsung berkaitan dengan objek riset. Dalam penelitian ini
sumber primernya adalah kitab „Uqudullijain
(Dhahara, 1980:60). b. Sumber Data Sekunder Yaitu sumber data yang mengandung dan melengkapi sumber data primer. Adapun sumber data sekunder dalam penelitian ini adalah buku-buku atau karya-karya lain yang isinya dapat melengkapi data penelitian yang penulis teliti, seperti diantaranya terjemahan Uqudullijain. 2. Metode analisis data Yaitu cara penanganan tertentu dengan cara memilah-milah pengertian yang satu dengan yang lain. Dengan menggunakan metode ini
tidaklah dimaksudkan untuk pengertian yang baru, akan tetapi hanya ingin mendapatkan kejelasan atau penjelasan suatu pengertian tertentu dari penelaahan obyek penelitian. Untuk lebih memahami penelitian ini, maka penulis memilih metode analisis sebagai berikut: a. Interpretasi Isi buku diselami untuk dapat setepat mungkin menangkap arti dan nuansa uraian yang disajikan (Soemargono, 1983:21). Karena dalam penelitian ini objeknya adalah kitab „Uqudullijain, maka penulis akan menyelami isi kitab tersebut sebagai obyek penelitian. Disamping itu juga penulis pilih sumber-sumber lain yamg penulis anggap representif terhadap penelitian ini.
b. Metode induksi Yaitu metode yang berangkat dari fakta-fakta khusus, peristiwaperistiwa konkret, kemudian dari fakta-fakta dan peristiwa yang konkret tersebut ditarik dalam generalisasi yang bersifat umum (Hadi, 1990: 26).
F. Penegasan Istilah Istilah banyak menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda, maka penulis perlu menjelaskan beberapa istilah yang dipakai dalam penelitian ini. Hal ini penulis maksudkan untuk menghindari terjadinya kesalah pahaman dalam penafsiran terhadap istilah istilah-istilah yang perlu dijelaskan sebagai berikut: 1.
Pendidikan Pendidikan adalah bimbingan dan pimpinan secara sadar oleh si pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani si pendidik untuk menuju terbentuknya kepribadian yang utama (Marimba, 1960: 19).
2.
Keluarga Keluarga adalah sanak saudara, kaum kerabat. Dapat pula berarti sekumpulan orang yang hidup dalam tempat tinggal bersama masingmasing anggota merasakan ada pertalian batin, sehingga saling mempengaruhi, menyerahkan diri, melengkapi, dan menyempurnakan (KBBI, 1989: 234).
3.
Kitab „Uqudullijain Yaitu kitab tentang etika rumah tangga karya Syekh Muhammad Nawawi. Adapun isi kitab meliputi hak-hak istri atas suami, hak suami
istri, keutamaan wanita shalat di rumahnya, dan larangan melihat lawan jenis. G. Sistematika Penulisan Skripsi 1. Bagian awal ini memuat bagian awal skripsi yang memuat halaman judul, notasi Dinas, halaman pengesahan, halaman pernyataan keaslian tulisan, halaman motto, halaman persembahan, halaman pengantar, halaman abstrak, dan daftar isi. 2. Bagian utama Pada bagian ini terdiri dari lima bab, yaitu: Bab I Pendahuluan berisi tentang uraian latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, metode penelitian, pegasan istilah, dan sistematika pembahasan. Bab II
Bab ini meliputi: riwayat hidup, riwayat pendidikan,
sisilah, dan karya-karya Syekh Muhammad Nawawi. Bab III adalah isi pokok pemikiran Syaikh Nawawi dalam kitab „Uqudullijain, meliputi: 1.
Sekilas gambaran tentang kitab „Uqullijain.
2.
Pemikiran Syekh Muhammad Nawawi dalam kitab „Uqudullijain, meliputi: a.
Hak-hak istri atas suami
b.
Hak-hak suami terhadap istri
c.
Keutamaan shalat wanita di rumahnya
d.
Larangan melihat lawan jenis
Bab IV adalah relevansi pendidikan berrumah tangga menurut Syekh Nawawi dalam kitab „Uqudullijain dengan pendidikan keluarga sakinah Islam di Indonesia, meliputi: 1.
Tinjauan pendidikan Islam.
2.
Relevansi pendapat Syekh Nawawi dalam kitab „Uqudullijain dengan realitas keluarga muslim sekarang di Indonesia. Bab V merupakan penutup atau bagian akhir penulisan yang
mencakup kesimpulan dan saran-saran. 3. Bagian akhir skripsi ini berisi tentang daftar pustaka, lampiran-lampiran, dan daftar riwayat hidup penulis.
BAB II BIOGRAFI PENGARANG 1. Riwayat Hidup Syaikh Muhammad Nawawi
Syaikh Muhammad Nawawi, lahir di Banten, pada tahun 1230 H/1813 M. Nama aslinya adalah Muhammad Nawawi bin Umar Arabi. Ia disebut juga Nawawi Al-Bantani. Di kalangan keluarganya, Syaikh Nawawi Al-Jawi dikenal dengan sebutan Abdul Mu‟ti. Ayahnya bernama K.H. Umar bin Arabi, seorang ulama dan pengulu di Tanara Banten. Ibunya bernama Jubaidah, penduduk asli Tanara. Dari silsilah keturunan ayahnya, Syaikh Nawawi merupakan salah satu keturunan Maulana Hasannudin (Sulthan Hasanuddin), putera Maulana Syarif Hidayatullah (Depag, 1992:422). Syaikh Nawawi merupakan salah seorang ulama besar di kalangan umat islam internasional. Ia dikenal melalui karya-karya tulisnya yang sangat banyak. Beberapa julukan kehormatan dari Arab Saudi, Mesir, dan Suriah diberikan kepadanya, seperti Sayyid Ulama Al-Hijaz, Mufti, dan Fakih. Dalam kehidupan sehari-hari ia tampil dengan sangat sederhana. Sejak kecil Syaikh Nawawi telah mendapat pendidikan agama dari orang tuanya. Mata pelajaran yang diterimanya antara lain bahasa arab, fikih, dan ilmu tafsir. Selain itu ia belajar pada Kyai Yusuf di Purwakarta. Pada usia 15 tahun ia pergi menunaikan ibadah haji ke Makkah dan bermukim di sana selama 3 bulan. Di Makkah ia belajar pada beberapa orang Syaikh yang bertempat tinggal di Masjidil Haram, seperti Syaikh Ahmad Nawawi, Syaikh Ahmad Dimyati, dan Syaikh Ahmad Zaini Dahlan. Ia juga pernah belajar di Madinah di bawah bimbingan Syaikh Muhammad Khatib Al- Hanbali. Sekitar tahun 1248 H/1831 M, ia kembali ke Indonesia. Di tempat kelahiranya ia membina pesantren peninggalan orang tuanya. Karena situasi politik yang tidak menguntungkan, ia kembali ke Makkah setelah 3 tahun berada di Tanara dan meneruskan belajarnya di sana. Sejak keberangkatanya yang kedua kalinya, Syaikh Nawawi tidak pernah kembali di Indonesia.Ia menetap disana hingga akhir hayatnya. Ia meninggal pada tanggal 25 Syawal 1314 H atau tahun 1897 M. Ia wafat dalam usianya yang ke-84 tahun di tempat kediamanya yang terakhir yaitu kampung Syiib Ali Makkah (Depag, 1992:423).
Jenazahnya di kuburkan di pekuburan Ma‟la, Makkah, berdekatan dengan kuburan Ibnu Hajar Siti Asma binti Abu Bakar Shiddiq. Ia wafat pada saat sedang menyusun sebuah tulisan yang menguraikan Minhaj Ath-Thalibin-nya Aman Yahya bin Hasan bin Husain bin Muhammad bin Jama‟ah bin Hujam An-Nawawi (Hasan, 1987:39). Menurut catatan sejarah di Makkah, ia berupaya mendalami ilmuilmu agama dari para gurunya, seperti Syaikh Muhammad Khatib bin Sambas, Syaikh Abdul Ghani Bima, Syaikh Yusuf Sumulaweni dan Syaikh Abdul Hamid Dagastani. Dengan bekal pengetahuan agama yang telah ditekuninya selama lebih kurang 30 tahun, Syaikh Nawawi setiap hari mengajar di Masjidil Haram.Murid- muridnya berasal dari berbagai penjuru dunia. Ada yang berasal dari Negara Indonesia, seperti K.H. Kholil (Bangkalan, Madura), K.H. Asy‟ari (Jombang, Jawa Timur). Ada pula yang dari Negara Malaysia, seperti K.H. Dawud (Perak). Ia mengajarkan pengetahuan agama secara mendalam kepada murid-muridnya, yang meliputi hampir seluruh bidang. Di samping membina pengajian, melalui murid-muridnya, Syaikh Nawawi memantau perkembangan politik di Tanah Air dan menyumbangkan ide-ide dan pemikiranya untuk kemajuan masyarakat Indonesia. Di Makkah ia aktif membina suatu perkumpulan yang disebut Koloni Jawa, yang menghimpun masyarakat Indonesia yang berada di sana. Aktivitas koloni jawa ini mendapat perhatian dan pengawasan khusus dari pemerintahan Kolonial Belanda. Syaikh Nawawi memiliki beberapa pandangan dan pendirian yang khas. Diantaranya, dalam mengahadapi Kolonial Belanda, ia tidak agresif atau reaksioner. Ia juga sangat anti bekerjasama dengan pihak kolonial dalam bentuk apapun. Ia lebih suka mengarahkan perhatiannya pada pendidikan, membekali murid-murid dengan jiwa keagamaan dan semangat untuk menegakkan kebenaran. Adapun terhadap orang kafir yang tidak menjajah, ia membolehkan umat islam berhubungan dengan mereka untuk tujuan kebaikan dunia. Ia memandang semua manusia adalah saudara, sekalipun dengan orang kafir. Ia juga menganggap bahwa pembaharuan dalam pemahaman agama perlu dilakukan untuk terus menggali hakikat kebenaran. Dalam mengahadapi tantangan zaman, ia memandang umat islam perlu mengusai berbagai bidang keterampilan atau keahlian. Ia memahami “perbedaan umat adalah rahmat” dalam konteks keragaman
kemampuan dan persaingan untuk kemajuan umat islam. Dalam bidang syari‟at, mendasarkan pandanganya pada al- qura‟an, hadits, ijma‟, dan qiyas. Ini sesuai dengan dasar-dasar syari‟at yang dipakai oleh Imam Syafi‟i. Mengenai ijtihad dan taqlid, ia berpendapat bahwa yang termasuk mujtahid (ahli ijtihad) mutlak adalah Imam Syafi‟i, Imam Hanafi, Imam Malik, Dan Imam Hambali. Bagi mereka haram taklid, sedang orang-orang selain mereka, baik mujtahid Fi-Al-Mazhab, mujtahid Al-Mufti, maupun orang-orang awam/masyarakat biasa, wajib taklid kepada salah satu mazhab dari mujtahid mutlak (Aziz, 1994:23). 2. Riwayat Pendidikan Syaikh Muhammad Nawawi Syaikh Nawawi hidup di kalangan ulama. Pada masa kanak-kanak, ia belajar agama bersama saudara-saudaranya dari ayahnya sendiri. Ilmuilmu yang dipelajari meliputi pengetahuan tentang bahasa , fikih, dan tafsir. Dari pengetahuan dasar itu, mendorong ia untuk meneruskan pelajarannya ke beberapa pesantren di pulau Jawa. Pendidikan Syaikh Nawawi sebenarnya dilatar belakangi oleh minat dan semangat dari Imam Syafi‟i yaitu imam besar yang wafat pada tahun 204 H. Ia mempunyai makalah yang tertulis sebagaimana pertanyaan di bawah ini “ untuk mencari ilmu tinggalkanlah negerimu, berkelanalah, engkau pasti akan menemukan pengganti orang-orang yang kamu cintai, bersusah payahlah karena sesungguhnya ketinggian derajat dan kehidupan biasa dicapai dengan kesusah payahan” (Hasan., 1987:40). Pemikiran di atas nampaknya memacu Syaikh Nawawi untuk selalu mengembara meninggalkan tanah airnya. Dalam mendalami berbagai ilmu pengetahuan, terutama ilmu agama islam, Syaikh Nawawi menjadi terkenal di Indonesia. Bukan hanya itu saja, ia juga pandai menerangkan kata-kata bahasa arab yang artinya tidak jelas dan sulit. Sebagaimana yang tertulis dalam syair keagamaan.
Karyanya ternyata banyak yang beredar di Negara Arab. Namun sebagian besar faham ia perpijak pada mazhab Syafi‟iyah. Di Kairo
misalnya, ia terkenal pada tafsiranya, sehingga ia dijuluki dengan sebutan Sayyid „Ulama Hijaz. Secara kronologis, pedidikan Syaikh Nawawi dari berbagai sumber tidak dijelaskan secara rinci. Hanya saja ada sebagian besar yang mengatakan bahwa cara belajar ia berpindah-pindah dari guru ke guru yang lain.
Guru-guru yang terkenal adalah Sayyid Ahmad Nahrawi, Sayyid Ahmad Dinyati, dan Ahmad Zaini Dahlan. Ketiga guru ia ini yang berada di Makkah. Sedangkan di Madinah ia belajar dengan Muhammad Khatib Al Hanbali. Dan selanjutnya ia melenjutkan pelajarannya pada ulamaulama besar di Mesir dan Syam (Syiria) (Hasan, 1987:41).
3. Silsilah Syaikh Nawawi Syaikh Nawawi mempunyai garis keturunan ayah dan ibu. Adapun garis keturunan ayah adalah sebagai berikut: Kyai Umar bin Kyai Ali bin Ki Jamat bin Ki Janta bin Mas Bugil bin Ki Maskun bin Ki Masnun bin Ki Wasmi bin Tajul „Arusy Tanara bin Maulana Hasanuddin bin Maulana Syari Hidayatullah Cirebon Abdullah bin Ali bin Raja Amatuddin Abdullah bin Ali Nuruddin bin Malik bin Sayyid Muhammad bin Shahib Mirabath bin Sayyid Qoli‟ Qosim bin sayyid Ali bin Imam Ubaidilah bin Imam Isa Naqib bin Imam Ali Al Ridhi bin Imam Ja‟far Al Shadiq bin Imam Ali Al Baqir bin Imam Ali Zainal Abiding bin Sayyiduna Fatimah Zahra binti Muhammad SAW. Adapun silsilah ibu dari sebagai berikut: Imam Nawawi bin Nyi Zubaidah binti Muhammad Singaraja bin Kyai Ali bin Ki Jamad bin Ki Janta Bin Ki Masyarakat Bugil bin Ki Masnun bin Maulana Hasanuddin Banten bin Maulana Syarif Hidayatullah Cirebon bin Raja amatuddin Abdullah bin Ali Nuruddin bin Maulana Jamaluddin Akbar Husain bin Imam Amir Abdullah Malik bin Sayyid Alwi bin Sayyid Muhammad Shahib Mirbath bin Sayyid Ali Khali‟qosim bin Sayyid Ali Alwi Bin Imam Ubaidillah binMuhammad Muhajid Ilallah bin Imam Isa Al Naqib
bin Imam Muhammad Naqib bin Imam Ali Al Ridhi bin Imam Ja‟far Al Shadiq bin Imam Muhammad Al Baqli bin Sayyiduna Husain bin Sayyiduna Fatimah Zahra binti Muhammad SAW. Untuk lebih jelasnya tentang silsilah Syaikh Nawawi dapat dilihat dari skema berikut:
Muhammad Saw Sayyidatina Fatimah Zahra Sayyiduna Husain Imam Ali Zainal Abidin Imam Muhammas Al Baqir
Imam Muhammad Naqib Imam Ja‟far As-Shadiq Imam Ali Al Ridha
Ahmad Muhajir Ilallahi Imam Ubaidillah Sayyid Alwi Amir Abdullah Malik
Abdullah Ahmad Khan Imam Sayyid Ahmad Syah Jabbal Maulana Jamaluddin Akbar Husain Ali Nuruddin Raja Aminuddin Abdullah Maulana Syarif Hidayatullah (Cirebon) Maulana Hasanuddin Banten Ki Tajul Arrusy Tanara Ki Masywi Ki Masnun Ki Mas Bugil Ki Janta Ki Jamad Kyai Ali Muhammad Singaraja
Kyai Umar Syaikh Muhammad Nawawi
Nyi Zubaidah
Syaikh Nawawi merupakan keturunan yang ke-12 dari Maulana Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati, Cirebon), yaitu keturunan dari putra Maulana Hasanuddin (Sultan Banten) yang bernama Sunyaras (Tajul Arusy) (Ensyklopedi Islam Indonesia, 1992). 4. Karya-Karya Syaikh Muhammad Nawawi Sebagai seorang Syaikh, ia menguasai hampir seluruh cabang ilmu agama, seperti ilmu tafsir, Ilmu tauhid, ilmu fiqih, akhlaq, tarikh, dan bahasa arab. Pendiri-penderinya, khususnya dalam bidang ilmu kalam dan fiqih, bercorak Ahlusunnah Waljama‟ah. Keahlianya dalam bidang-bidang ilmu tersebut dapat dilihat melalui karya-karya tulisnya yang cukup banyak. Menurut suatu sumber, ia mengarang kitab sekitar 115 buah, menurut sumber lain sekitar 99 buah, yang terdiri dari berbagai ilmu agama. Di antara karangannya, dalam bidang tafsir ia menyusun kitab Tafsir Al Munir (yang memberi sinar). Dalam bidang hadits, kitab Tankih Al Qoul/meluruskan pendapat (Syarah Lubab Al Hadits, As-Suyuti). Dalam bidang tauhid, diantaranya kitab Al Fath Al-Majid/pembuka bagi yang mulia (Syarah Ad-Dur Al- Farid Fi Al-Tauhid, Al Bajuri) yang berisi penjelasan tentang masalah tauhid. Dalam bidang fiqih, diantaranya kitab Sulam Al Munajah/tangga untuk mencapai keselamatan (Syarah Safinah As-Salam), At-Tausyih (Syarah) Al Qorib Al-Mujib, Ibnu Qosun Al-Gazi yang menguraikan masalah-masalah fiqih Adab Nihayah Az-Zen,\. Dalam bidang politik atau tasawuf, diantanya kitab Salim Al-Fudhola‟/tangga bagi para ulama terpandang (Syarah Manzumah Hidayah Al-Askiya‟) Misbah Az-Zalam (penerangan kegelapan), Bidayah Al-Hidayah. Dalam bidang tarikh, diantaranya kitab Al-Ibriz Ad-Dani (emas yang dekat), Bugyah Al-Awam (kezaliman orang awam), dan Fathu As-Samad (kunci untuk mencapai yang Maha Pemberi). Dalam bidang bahasa dan kesustraan, diantara Fathu Gafir Al-Khatiyyah (kunci untuk mencapai pengampunan kesalahan). Beberapa keistimewaan dari karya-karyanya telah ditemukan oleh peneliti, diantaranya kemampuan untuk menghidupkan isi karangan sehingga dapat dijiwai oleh pembaca, pemakaian bahasa yang mudah dipahami sehingga mampu menjelaskan istilah-istilah yang sulit dan keluasan isi karangannya. Buku-buku karangannya juga banyak digunakan di Timur Tengah (Aziz, 1994:23-25).
BAB III DISKRIPSI PEMIKIRAN SYAIKH MUHAMMAD NAWAWI DALAM KITAB ‘UQUDULLIJAIN A. Sekilas Tentang Kitab ‘Uqudullijain Kitab „Uqudullijain merupakan salah satu karangan Syaikh Nawawi dari beberapa kitab yang dikarangnya. Kitab „Uqudullijain ini sudah sangat terkenal, khususnya di kalangan pesantren salafi yang akrab dengan sebutan kitab kuning atau kitab gundulan. Kitab ini merupakan kitab yang diajarkan di pondok pesantren salafi. Syaikh Muhammad adalah salah satu tokoh ulama besar yang ada di Indonesia yaitu di daerah Banten. Beliau salah seorang warga negara yang bermukim di Arab. Kitab „Uqudullijain ini ditulis tahun 1294 H. Dalam kitabnya, Beliau mengatakan bahwa kitab kecil ini penting bagi seseorang yang menginginkan kelurga yang sakinah berdasarkan Al-Qur‟an, hadits, dan sejarah para tokoh terdahulu dan juga pendapat-pendapat pribadi yang terperinci dalam empat bahasan, yaitu: 1. Hak Istri Atas Suami Dalam pembahasan ini terdapat tinjauan penting antara lain adalah perlakuan baik oleh suami terhadap istri baik mengenai masalah ibadah wajib maupun sunah. Namun apabila dalam tatacara beribadah tersebut belum tahu, maka suami harus mengajarkannya kepada istri. Suami harus mengajarkan tentang pentingnya ketaatan istri terhadap perintah suami selagi perintah itu tidak berbau maksiat. 2. Hak Suami Atas Istri Pembahahasan ini terkait dalam masalah ketaatan istri kepada suami di luar kemaksiatan,penyerahan diri istri terhadap suami, perlakuan baik istri terhadap suami, menjaga diri dari perbuatan mesum. Pembahasan mengenai menutup aurat, kewajaran permintaan, dan berpenampilan bersih atau suci serta kejujuran mengenai haid maupun ketiadaanya. 3. Keutamaan Wanita Shalat di Rumah
Pembahasan ini mengenai seorang wanita, termasuk di dalamnya membahas tentang shalat wanita di kamar, di luar rumah, dan di masjid beserta nabi Muhammad Saw. Disamping itu juga menyinggung halhal pengaruh setan terhadap wanita, dan anjuran nabi Muhammad Saw terkait dengan masalah pengaruh setan. Selain itu juga menyinggung tentang peringatan nabi Muhammad Saw terhadap wanita, pandanganhukum terhadap tindakan wanita dan hal-hal yang sangat berguna bagi wanita. 4. Larangan Bagi Laki-Laki Melihat Wanita Lain Dan Sabaliknya. Dalam pembahasan ini, pembahasan diarahkan pada laki-laki dan wanita terutama menyangkut hal-hal yang diharamkan, seperti laki-laki melihat wanita yang bukan muhrimnya atau sebaliknya. Demikian pula halnya laki-laki yang sudah beristri atau sebaliknya. Di luar itu terdapat hal-hal seperti analogi hukum bagi remaja sehubungan larangan di atas, dan masalah berjabat tangan, berdua di tempat yang sepi serta masalah-masalah lain yang tidak dibenarkan dalam agama (Busthomi, 2000: 8-9). B. Hak-Hak Istri Terhadap Suami Ada beberapa pokok pembahasan yang penulis sajikan berbagai macam etika dalam membina rumah tangga menurut syaikh Muhammad Nawawi dalam salah satu karyanya yaitu kitab „Uqudullijain. Syaikh Nawawi menjabarkan tugas-tugas seorang suami yang wajib dilakukan terhadap seorang istri demi mewujudkan keluarga yang harmonis serta penuh kasih sayang dan cinta antara lain yaitu: 1. Perlakuan Baik Terhadap Istri Syaikh Nawawi mengatakan dalam kitabnya menjelaskan bahwa hendaknya seorang suami mempergauli seorang istri dengan baik sesuai firman Allah SWT dalam QS. An-Nisa‟:19:
Atinya: “Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyatadan bergaullah dengan mereka secara patut. kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, Padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.”
Dalam QS.al-Baqarah: 228, Allah Swt juga berfirman:
Artinya: “Para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. akan tetapi Para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya.” Yang dimaksud kata patut dalam ayat di atas yaitu pertama bijaksana. Maksudnya bahwa laki-laki harus bijaksana dalam mengatur waktu untuk istri. Demikian pula dalam hal menafkahi istri merupakan bagian dari hak istri. Hal lain yang terkait dengan masalah kepatutan disini adalah kehalusan dalam berbicara (Busthomi,2000: 11-12). Ayat di atas memberikan penjelasan bahwa wanita tetap mendapatkan hak-haknya meskipun suami dalam keadaan marah kepada istri. Ayat tersebut juga merangkan agar suami koreksi diri atas perlakuannya terhadap istri. Apakah perlakuannya terhadap istri tersebut disebabkan ketidak senangan, dan barangkali di dalam diri
istrinya terdapat kebaikan yang tidak dapat diketahui oleh dirinya karena keterbatasan kemampuan yang dimilikinya. Al-Qur‟an menganjurkan kepada suami agar tetap mempergauli istrinya dengan cara yang layak meskipun tidaksenang padanya. Mengenai masalah kesimbangan antara hak dan kewajiban wanita, firman Allah SWT yang kedua itu menunjukkan bahwa lakilaki dan wanita mempunyai hak yang sama dalam menuntut kewajiban terhadap yang lain sebagai suami istri, bukan masalah kelamin. Dalam hubungan ini, hak mereka berbeda. Karena laki-laki berhak untuk berpoligami. Adapun yang dimaksud dengan cara yang ma‟ruf ialah cara yang baik menurut pandangan agama, seperti bersopan santun, tidak melakukan hal-hal yang dapat melukai perasaan, baik bagi suami maupun istri. Bahkan sampai pada batas berdandan. Sebab, hal itu merupakan suatu cara yang ma‟ruf (Busthomi, 2000: 11). Islam telah menetapkan ketentuan yang seimbang antara hak dan kewajiban, bukan hanya dalam rumah tangga, tetapi dalam setiap permasalahan dan ketentuan yang ada. Hanya dalam Islamlah yang mampu mengatur hukum yang bekenaan dengan umatnya pada penempatan masalah secara adil dan proposional, tidak ditambah atau dikurangi. Karena, setiap hamba mempunyai hak dan kewajiban yang sama. Suami tidak sekedar mengurusi istrinya agar tidak berbuat kejelekan atau menghargai pendapatnya dan mempergaulinya dengan cara yang baik atau mengambil tindakan yang perlu untuk member peringatan kepada istrinya. Seperti: memisahkan tempat tidur, melimpahkan penyelesaian perselisihan dengan pengangkatan penegak yang adil, dan seimbang apabila ia tidak dapat menyelesaikannya secara intern. Suami juga dianjurkan dalam hadits yang suci untuk berusaha dengan segala dengan kemampuannya demi memuaskan istrinya, seperti halnya dirinya menginginkan agar istrinya berusaha dengan kemampuanya memuaskan suaminya. Selain itu, ada hal lain yang perlu disebutkan disini, yaitu maksud ayat yang menyatakan bahwa laki-laki, yakni suami mempunyai tingkat kelebihan dari pada istri. Hal ini terkait dengan hak suami yang diperolehnya atas tanggung jawab terhadap istri itu sendiri dalam memberikan maskawin atau nafkah bagi istri. Dalam hubungan ini, suami berhak memperoleh ketaatan istri. Dengan demikian, maka istri wajib taat kepada suami sehubungan dengan tanggung jawabnya
dalam mewujudkan dan memelihara kemasalahatan istri, disamping di dalam kesejahteraan hidupnya ditanggung suami (Busthomi, 2000: 12). 2. Bersikap lembut terhadap istri Syaikh Nawawi menjelaskan tentang isi dalam hadits di atas Nabi Muhammad SAW bermaksud memberikan perhatian kepada kaum muslimin agar mendengarkan apa yang diwasiatkan kepada mereka dan selanjutkan melaksanakan wasiat itu. Dalam hal ini beliau menganjurkan agar kaum muslimin berhati lembut terhadap istri serta menunjukkan perilaku yang baik dalam bergaul dengan mereka. Itulah yang dimaksud dengan melakukan hal yang terbaik bagi wanita. Sebab, wasiat Nabi Muhammad SAWdalam hadits diatas sudah barang tentu muncul karena faktor lemahnya wanita, termasuk di dalamnya kebutuhan wanita itu sendiri terhadap keluhuran budi suami sebagai seorang yang menyediakan hal-hal yang menjadi keperluan mereka (Busthomi, 2000: 13-14). Rasullah yang mulia telah mempergauli istri-istrinya dengan baik.Secara sukarela, beliau membantu mereka menyelesaikan pekerjaan dan kewajiban mereka sehari-hari. „Aisyah mengatakan : “ Rasulullah dahulu sering membantu pekerjaan keluarganya. Beliau keluar hanya untuk shalat, jika waktu shalat telah datang“ (Mahmud, 1991: 144). Disampinng mempergauli istri dengan baik, suami juga wajib menjaga martabat dan kehormatan istrinya, mencegah istrinya jangan sampai hina, jangan sampai istrinya berkata jelek. Inilah kecemberuan yang disukai Allah SWT. Bersabda:
Artinya: “Allah cemburu dan manusia cemburu, kecemburuan Allah adalah apabila ada hamba-Nya yang melanggar larangan-Nya.” (HR. Bukhori,t.t juz. 3: 264) (Sa‟id, 2002: 163). 3. Hak materi dan nusyuz
Mengenai kewajiban seorang suami dalam memenuhi hak berupa materi terhadap istri telah diatur dalam Islam, yaitu suami memberi nafkah kepada istri, sebagai ganti ketidak bebasan istri karenanya, ketaatan padanya, mengurus urusan rumah tangga dan suaminya. Setiap mereka mempunyai hak dan kewajiban. Seperti firman Allah SWT pada QS.Al- Baqarah :228:
Artinya: “Para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. akan tetapi Para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya.” Perlu disebutkan di sini suatu riwayat lain yang berkaitan dengan apa yang yang dinyatakan Nabi Muhammad SAW dalam hadits di atas. Dalam riwayat itu beliau menyatakan hal-hal mengenai hak-hak istri memperolehpelajaran dari suami tatkala melakukan nusyuz. Dalam hungan ini beliau bersabda:
Artinya: “Hak wanita atas suaminya ialah bahwa suami memeberikan konsumsi pangan kepada istri apabila mengkonsumsi bahan pangan. Disamping itu, memberikan sandang kepadanya apabila dia berpakain.Dan janganlah suami itu memukul bagian wajah istri, mengumpatnya serta menghindarinya kacuali di dalam rumah.”(HR. Abu Dawud, t.t, juz. 2: 244-245). Salah satu hak yang wajib dipenuhi oleh suami terhadap istrinya adalah bertanggung jawab sepenuhnya untuk memberikan nafkahnya. Hal ini telah ditetapkan oleh Al-Qur‟an, hadits, dan ijma‟. Nafkah ini bermacam-macam sesuai kebutuhan wanita: bisa berupa makanan, tempat tinggal, pelayanan (perhatian), pengobatan, dan pakaian meskipun wanita itu kaya (Hamid, 1996: 128). Istri berhak minta nafkahnya kepada sang suami, jika sang suami akan bepergian jauh. Hal yang menggugurkan hak nafkah istri adalah menggugurkan hak nafkah wanita dalam iddah raj‟iyah, misalnya berbuat nusyuz (As‟ad, 1979: 198).
Nusyuz adalah sikap istri yang durhaka serta angkuh atas perintah Allah SWT agar mentaati suaminya.Ada pula yang berpendapat bahwa nusyuz itu saling membenci antara suami istri (Sufyan, 2007: 6). Nusyuz terjadi dengan istri menolak suami melakukan tamattu‟ walaupun dalam bentuk semacam memegang atau pada anggota tubuh yang dipilih suami (As‟ad, 1979: 6). Dalam kasus tertentu, yaitu ketika istri melakukan nusyuz, suami boleh memukul pada bagian badan di luar wajah istri. Sebab, hal ini merupakan hak istri itu sendiri manakala ia melakukan kesalahan. Dan itu telah dianjurkan oleh Nabi Muhammad SAW kendati pun harus dilakukan setelah upaya “menghindar”. Hal lain yang harus diperhatikan suami ialah bahwa istri tidak berhak mendapat penghinaan dari suami. Sebab, Nabi Muhammad SAW dengan tegas melarangnya mengumpat istri, yaitu dengan melontarkan kata-kata yang tidak disukainya, seperti mengatakan “dasar wanita jelek”. Kemudian masalah “menghindar” seperti yang telah dimaklumi, Nabi Muhammad SAW melarang suami menghindar dari istri kecuali di dalam rumah , yakni di tempat peraduan. Inilah ketentuan yang boleh dilakukan oleh suami manakala istri melakukan nusyuz. Adapun hal lain di luar itu, seperti menghindar dalam konteks komunikasi secara lisan, tidak disyaratkan di dalam hadits. Dengan demikian, suami tidak boleh membungkam atau membisu dalam kasus ini.Apabila hal itu dilakukan, berarti suami telah berbuat dosa, karena tindakan itu haram, kecuali karena uzur (Busthomi, 2000: 16). 4. Pendidikan terhadap Istri Sebagai seorang suami, laki-laki wajib memperhatikan ajaranajaran yang terkait dengan segala sesuatu yang harus dilakukan terhadap
istrinya.Sebab,
Nabi
Muhammad
SAW
memberikan
peringatan serius mengenai kewajiban dalam merealisasikan hak-hak wanita yang diperistikannya (Busthomi, 2000: 17). Dalam hadis lain Nabi Muhammad SAW memberikan petunjuk yang harus dilakukan oleh seorang laki-laki dalam memberikan segala
sesuatu yang merupakan hak-hak seorang istri. Hal ini tercermin dalam suatu hadis yang menyatakan :
Artinya: “Rasulullah SAW. Bersabda: “Sesungguhnya orang-orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah mereka yang paling baik akhlaknya dan paling lembut sikapnya kepada keluarganya.” (HR. Turmudzi, 1384, juz. 2: 315).
Akhlak dalam hadis tersebut adalah budi pekerti yang luhur. Semua itu tentunya dimaksudkan sebagai realisasi dari kewajiban suami dalam mengejawantahkan hak-hak istri kendatipun hal ini merupakan konsep yang lebih khusus. Dengan demikian, walaupun kata “keluarga” di sini memberikan pengertian yang luas karena melibatkan banyak unsur termasuk di dalamnya anak-anak, suami, dan kerabat dekatnya, istri sudah barang tentu mendapatkan prioritas khusus. Sebab, dialah yang berfungsi sebagai pendukung utama bagi terciptanya sebuah keluarga. Oleh sebab itu, kondisi etik yang positif sebagaimana telah disinyalir di dalam hadist tadi perlu mendapatkan penekanan khusus dalam pembicaraan mengenai kewajiban suami untuk mewujudkan hak-hak istri sehubungan dengan fungsi itu sendiri seperti tersebut di atas. Dalam hadits lain Nabi Muhammad cukup tegas dalam menganjurkan kewajiban etik seorang suami terhadap istri:
Artinya: “orang yang terbaik di antara kamu sekalian adalah mereka yang paling baik terhadap istri, dan aku sendiri lebih baik dari pada kamu sekalian atas (kebaikanku) terhadap istriku.” (HR. Tirmidzi, 1384, juz. 2: 45). 5. Sabar terhadap Istri Dalam hal ini Syaikh Nawawi menjelaskan dalam menerapkan norma-norma akhlak di dalam kehidupan rumah tangga, seorang suami harus memiliki pedoman moral yang strategis. Untuk itu, Nabi Muhammad SAW.memberikan petunjuk agar seorang suami bersabar hati dalam menghadapi cobaan istri. Dengan demikian, suami dapat melaksanakan kewajibannya secara baik sesuai dengan ajaran agama untuk memahami cobaan dari istri (Busthomi, 2000: 19). Hendaklah engkau selalu sabar, karena sabar adalah sendi dasar yang harus kau miliki selama kamu hidup di dunia ini. Ia pun termasuk akhlak yang mulia dan keutamaan-keutamaan yang agung. Allah berfirman dalam QS. Al-Baqarah: 153 :
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar” (Munawwir, 2007: 203). 6. Pemukulan terhadap Istri
Syaikh Nawawi menjelaskan tentang beberapa hal yang dimana suami diperbolehkan memukul istri: a. Suami boleh memukul istri karena suami menghendaki istri berhias dan bersolek, sedangkan istri tidak mengindahkan kehendak suami itu. Juga karena istri menolak ajakan ke tempat tidur. b. Suami boleh memukul istri karena keluar dari rumah tanpa izin, memukul anaknya menangis, menyobek-nyobek pakain suami, atau karena memegang jenggot suami seraya berkata, “Hai keledai, hai goblok,” sekalipun suami memaki istri terlebih dahulu. c. Suami boleh memukul istri karena membuka mukanya dengan lelaki bukan muhrimnya, berincang-bincang dengan lelaki lain, bicara dengan suami agar orang lain mendengar suaranya, memberikan sesuatu dari rumah istri yang tidak wajar diberikan, atau karena tidak mandi haid. Dalam hal ini memukul istri karena meninggalkan shalat ada dua pendapat. Yang lebih baik, sebaiknya suami memukul istri karena meninggalkan shalat, jika tidak mau melaksanakan shalat karena diperintah (Busthomi, 2000: 24-25). 7. Pesan-Pesan terhadap Seorang Laki-laki Ketahuilah, sebaiknya suami itu melakukan hal-hal berikut kepada istri: a. Memberikan
wasiat,
menyenangkan hati istri.
memerintahkan,
mengingatkan,
dan
b. Hendaknya
suami
memberikan
nafkah
istrinya
sesuai
kemampuannya, usaha dan kekuatannya. c. Suami hendaknya dapat menahan diri, tidak mudah marah apabila istri menyakiti hatinya. d. Suami hendaknya menundukkan dan menyenankan hati istri dengan menuruti kehendaknya dengan kebaikan. Sebab, umumnya wanita itu kurang sempurna akal dan agamanya. e. Suami hendaknya menyuruh istrinya melakukan perbuatan yang baik. Syeikh Ramli mengatakan dalam kitab Umdatur Rabih, “Suami tidak boleh memukul istri karena meninggalkan salat maksudnya cukup memerintahkan salat.” f. Sebagaimana dikatakan oleh Syaikh „Athiyah‟, “Suami hendaknya mengajar istrinya apa yang menjadi kebutuhan agamanya, dari hukum-hukum bersuci seperti mandi haid, janabat, wudlu dan tayammum.” g. Suami harus mengajar berbagai macam ibadah kepada istri. Baik ibadah fardlu maupun sunat, seperti salat, zakat, puasa dan haji. Jika suaminya dapat mengajar sendiri, maka istri tidak boleh keluar rumah untuk bertanya kepada orang-orang alim atau ulama atau pergi ke tempat majlis ta‟lim atau pengajian kecuali izin suaminya. Jika suami tidak dapat mengajar sendiri karena kebodohannya maka sebagai gantinya dialah yang harus bertanya kepada ulama,
lalu menerangkan jawabannya kepada sang istri. Jika suami tidak mampu keluar maka istri boleh keluar untuk bertanya, bahkan wajib keluar, dan suami berdosa melarangnya. Allah SWT. berfirman dalam Q.S. At-Tahrim: 6:
Artinya :“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah mansuai dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.”
h. Suami hendaknya mengajar budi pekerti yang baik kepada keluarganya. Sebab, manusia yang sangat berat siksanya pada hari kiamat adalah orang di mana keluarganya bodoh-bodoh dalam agama Islam. Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar r.a. dari Nabi Muhammad SAW. Beliau bersabda:
Artinya:“Setiap kamu adalah pemimpin dan akan dipertanggung jawabkan atas kepemimpinannya. Seorang suami menjadi pemimpin keluarganya dan dipertangungjawabkan kepemimpinannya.Seorang istri menjadi pemimpin di rumah suaminya dan dipertanggung jawabkan atas kepemimpinannya.Seorang pelayan adalah pemimpin harta tuannya dan dipertanggung jawabkan dari kepemimpinannya. Seorang anak menjadi pemimpin harta orang tuanya dan dipertanggungjawabkan dari kepemimpinannya. Maka setiap kamu adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas kepemimpinannya.” (HR. Bukhori, t.t, juz. 2: 257).
8. Tanggung Jawab Seorang Pemimpin Syaikh
Nawawi
menerangkan
dalam
kitabnya
mengenai
tanggungjawab sebagai seorang pemimpin bahwa Penguasa agung atau penggantinya adalah orang yang memimpin dan menjaga serta menguasai rakyatnya. Ia akan diminta tanggung jawab dalam memimpin rakyatnya, atuakah sudah menjaga hak-hak rakyatnya atau belum (Busthomi, 2000 : 28). Apabila kaum laki-laki mengabaikan apa yang telah menjadi tugas dan kewajibannya, sedang kaum wanitanya telah melampaui batas kodratnya atau justru tidak melakukan tanggungjawabnya, maka keharmonisan dalam rumah tangga menjadi berantakan (Said, 1421: 277). Seorang suami menjadi pemimpin keluarga, istri dan anakanaknya. Ia akan dimintai tanggung jawab atas keluarganya, apakah
sudah memenuhi hak-hak mereka atau belum, seperti memberi pakaian, memelihara, mengasuh, mendidik, dan yang lain seperti bergaul dengan baik kepada mereka atau tidak. Seorang istri menjadi pemimpin di rumah suaminya. Ia harus dapat mengatur penghidupan dengan baik, harus bersikap baik terhadap suami, serta memelihara harta suami dan anak-anaknya. Istri juga akan dimintai pertanggungan jawab atas kepemimpinannya, apakah sudah melaksanakan apa yang menjadi kewajibannya atau belum (Busthomi, 2000: 28-29). Istri juga harus mengatur pengeluarannya selama masih dalam batas
ketaatan
kepada
suaminya.
Istri
tidak
diperkenankan
membelanjakan ssesuatu atau memberi seseorang dari harta suaminya kecuali dengan izin suaminya dan yakin bahwa ia rela untuk urusan itu (Mahmud, 1991 : 151). Seorang pelayan harus menjaga harta tuannya dan menata apa yang menjadi kebaikannya. Pelayan juga akan dimintai tanggung jawabnya atas apa yang dikuasainya, apakah ia telah memenuhi kewajibannya atau belum. Seorang anak harus menjaga harta ayahnya dan mengaturnya dengan baik. Anak juga dimintai pertanggungan jawab atas apa yang dikuasainya, apakah sudah memenuhi atau belum. Jadi, setiap kamu adalah pemimpin, dan akan dipertanggungjawabkan kepemimpinannya. “Fa” dari kata “Fakullukun” menjadi jawab syarat yang terbuang.Kata itu bersifat umum.Ia dapat memasukkan seseorang yang hidup sendirian, belum beristri dan tidak punya pelayan. Sebab,
orang seperti ini dapat dikategorikan sebagai pemimpin.Maksudnya, orang yang menjaga anggota tubuhnya sehingga mau melakukan kewajiban yang diperintahkan dan menjauhi segala larangan. Sementara itu, ulama mengatakan bahwa orang yang pertama kali mengganduli seorang lelaki di hari kiamat adalah keluarga dan anak-anaknya, mereka seraya berkata, “wahai Tuhan kami! Ambillah hak kami pada orang ini, karena ia tidak mengajarkan urusan agama kepada kami. Dan memberi makan kami dari yang haram, sedangkan kami tidak tahu.” Orang itu lalu dipukul, kemudian dibawa ke neraka. Demikianlah sebagaimana disebutkan dalam kitab al-Jawahir karya Imam Abu Laits As-Samarqandi (Busthomi, 2000:29-31). C. Hak Suami Istri 1. Kepemimpinan Laki-laki Syaikh Nawawi mendasarkan dalam hal ini sesuai firman Allah Ta‟ala dalam QS. An-Nisa‟: 34:
Artinya: “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (lakk-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka, sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka), wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya.Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.” Hukum Allah telah menetapkan, bahwa dalam setiap bentuk makhluk yang diciptakan Allah, pasti ada yang memimpin dan ada yang dipimpin.Ada yang mengatur dan ada yang diatur. Hal itu agar pemikiran-pemikiran tidak tumpang tindih dan keinginan-keinginan tidak bersimpang siur, yang mengakibatkan keretakan kerukunan, putus tali kasih sayang, pudar persatuan dan perselisihan (Fadlil, 1421 : 149). Kaum laki-laki sebagai pemimpin bagi kaum wanita maksudnya bahwa kaum laki-laki harus menguasai dan mengurus keperluan istri termasuk mendidik budi pekerti mereka.Allah melebihkan kaum lakilaki atas kaum wanita karena laki-laki (suami) memberikan harta kepada kaum wanita (istri) dalam pernikahan, seperti maskawin dan nafkah.
Di antara sebab utama mengapa laki-laki diserahi tanggung jawab sebagai pemimpin adalah karena kekuatan fisiknya, kemampuan melindungi dari serangan musuh, dan mampu mencari nafkah, tanggung jawab mencari nafkah untuk memenuhi segala apa yang dibutuhkan oleh istrinya, anak-anaknya, dan segenap keluarganya (Hamid, 1996 : 160). 2. Ketaatan Istri terhadap Suami Selanjutnya wanita-wanita yang saleh dalam ayat tersebut adalah wanita-wanita yang taat kepada Allah dan suaminya.Wanita-wanita itu memelihara hak suaminya, menjaga farjinya, serta memelihara rahasia dan barang-barang
suaminya,
karena
Allah
telah
memelihara
mereka.Maksudnya, Allah menjaga dan memberikan pertolongan kepada wanita-wanita. Atau, Allah telah berpesan dan melarang wanita-wanita agar tidak berselisih (Busthomi, 2000 : 34-35). Hak pertama atas suami atas isterinya adalah ketaatan. Allah telah mempercayakan kepemimpinan keluarga kepadanya, dan semua anggota keluarganya wajib menaatinya, sehingga ia dapat melaksanakan tugas kepemimpinan itu dengan mudah dan gampang tanpa menemui hambatan (Mahmud, 1991 : 148). Seorang istri wajib taat kepada seorang suaminya, begitu juga tinggal di rumah suaminya, mengelola dan mengatur rumahnya serta menjaga dan mendidik anak-anaknya.Nabi bersabda “Seorang suami adalah pemimpin di rumahnya maka ia pun harus bertanggung jawab atas apa yang
dipimpinnya.Sedangkan seorang istri juga pemimpin di rumah suaminya, dan ia harus bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya.”(Hamid, 1996: 135). Wanita-wanita yang kamu khawatiri musyuznya, maka nasehatilah mereka. Maksudnya, wanita-wanita yang kamu sangka meninggalkan kewajiban bersuami istri, seperti meninggalkan rumah tanpa izin suaminya dan menentang kamu dengan sombong, nasehatilah mereka dengan menakut-nakuti akan siksaan Allah. Memberikan nasehat di sini hukumnya sunah. Seperti seorang suami berkata kepada istrinya, “Takutlah kamu kepada Allah atas hak yang wajib kamu penuhi kepadaku, dan takutlah kamu akan siksaan Allah.” Suami juga hendaknya menjelaskan kepada istri bahwa perbuatan nusyuz itu dapat menggugurkan nafkah dan giliran. Nasehat itu tidak boleh disertai dengan mendiamkan dan memukul istri. Kalau istri menampakkan uzumnya atau bertobat dan apa yang telah diperbuatnya tanpa uzur, maka suami disunatkan mengingatkan istri tentang hadis Bukhari dan Muslim bahwa Nabi SAW, bersabda:
Artinya: “Jika istri itu bermalam meninggalkan tempat tidur suaminbya, maka para malaikat mengutuknya hingga pagi.” (HR. Bukhori, t.t, juz. 3: 260).
Demikian sebagaimana disebutkan di dalam syarah Nihayah‟ala Ghayah. Maksud “Dan pisahkanlah diri dari tempat tidur mereka” adalah bahwa para suami diperintahkan meninggal para istri dari tempat tidurnya, bukan mendiamkan bicara dan memukul, sebab memisahkan diri dari tempat tidur itu memberikan dampak yang jelas dalam mendidik para wanita. Kata “Dan pukullah mereka”, maksudnya adalah bahwa wanitawanita yang nusyuz itu boleh dipukul dengan pukulan yang tidak menyakitkan tubuh. Hal itu dilakukan kalau memang membawa faedah. Jika tidak, maka tidak perlu melakukan pemukulan. Jika akan memukul, tidak boleh sampai memukul muka dan anggota tubuh yang dapat menjadikan kerusakan tubuh. Tetapi memukul yang wajar saja.Bahkan yang lebih baik hendaknya suami memaafkan.Berbeda dengan wali anak kecil, itu lebih baik tidak memaafkan. Sebab, wali yang memukul anaknya yang masih kecil itu justru membawa kemaslahatan untuk mendidik anak. Sedangkan pukulan suami terhadap istri, kemaslahatannya untuk dirinya sendiri. Menurut Imam Rafi‟i, istri itu boleh dipukul kalau berkali-kali musyuz. Tetapi menurut Imam Nawawi, istri itu boleh dipukul meskipun tidak berulang kali nusyuzi, jika memang dapat memberikan faedah. Tafsir ayat ini menurut Nawawi demikian, “Wanita-wanita yang kalau kamu khawatiri nusyuznya, maka jika mereka ternyata nusyuz, pisahkanlah diri dari tempat tidur mereka dan pukullah mereka.”Maka “Takhaafuuna (yang kamu khawatiri) di sini adalah Ta‟alamuuna (kamu ketahui), yakni kamu melihat nusyuz istri itu, mengecualikan ketika
terdapat tanda-tanda nusyuzi dengan sebab ucapan. Seprti istri menjawab suaminya dengan perkataan yang kasar setelah bicara yang halus. Atau sebab perbuatan, seperti suami melihat istri berpaling dan cemberut setelah ia menghadapkan muka dengan bermuka manis. Jika hal ini terdapat tanda-tanda
nusyuz,
maka
suami
agar
menasehatinya.
Jangan
meninggalkan dan jangan memukul (Busthomi, 2000: 35-36). 3. Pahala Laki-laki dan Wanita Syaikh Nawawi mendasarkan hal ini sesuai firman Allah dalam QS. An-Nisa‟: 32:
Artinya: “Bagi orang laki-laki ada bagian daripada apa yang mereka usahakan dan bagi para wanita ada bagian dariapa yang mereka usahakan.” Maksudnya, bagi para lelaki itu memperoleh pahala dari amal jihad yang dilakukannya, bagi para wanita juga punya hak memperoleh pahala dari apa yang diperbuatnya, yaitu menjaga farjinya, serta taat kepada Allah dan suaminya. Jadi para laki-laki dan wanita, dalam urusan pahala di akhirat memperoleh hak yang sama. Hal itu karena pahala satu kebaikan dilipatkan sepuluh kali, itu berlaku bagi para lakilaki dan perempuan, kelebihan para laki-laki mengalahkan dan menguasai wanita itu hanya di dunia. Demikian menurut Syaikh Sarbini dalam Tafsirnya (Busthomi, 2000: 39-40).
Sang istri juga mendapatkan pahala seperti pahala seorang lakilaki yang berjihad, dengan cara berlaku baik kepada suami dan membina keluarganya. Suami bisa menjadi sebab datangnya pahala tersebut jika dia meniatkannya (Malik, 2010: 19). 4. Harta Suami Bahasan selanjutnya, para wanita sebaiknya mengetahui bahwa dirinya seperti sahaya yang dimiliki suami dan tawanan yang lemah tak berdaya
dalam
kekuasaan
suami,
maka
wanita
tidak
boleh
membelanjakan suami untuk apa saja kecuali dengan izinnya. Bahkan mayoritas ulama mengatakan istri itu mendapatkan izin suami, karena istri itu seperti orang yang tertahan perbelanjaannya karena suami (Busthomi, 2000: 41). Diantara hak suami dari isterinya adalah penjagaan isteri atas kekayaan suaminya. Ia juga harus mengatur pengeluarannya selama masih dalam batas ketaatan kepada suaminya. Isteri tidak diperkenankan membelanjakan sesuatu atau memberi seseorang dari harta suaminya kecuali dengan izin suaminya dan yakin bahwa ia rela untuk urusan itu (Mahmud, 1991: 151). 5. Istri dan Rasa Malu Dalam kitab tersebut dijelaskan bahwa istri wajib merasa malu terhadap suami, tidak berani menentang, menundukkan muka dan pandangannya dihadapan suami, taat kepada suami ketika diperintah apa saja kecuali maksiat, diam ketika suami berbicara, menjemput
kedatangan suami ketika keluar rumah, menampakkan cintanya kepada suami ketika suami mendekatinya, menyenangkan suami ketika akan tidur, mengenakan harum-haruman, membiasakan merawat mulut dari bau yang tidak menyenangkan dengan misik dan harum-haruman, membersihkan pakaian, membiasakan berhias diri dihadapan suami dan tidak boleh berhias bila ditinggal suami (Busthomi, 2000:41). 6. Pemberian kepada Orang Lain Kitab tersebut juga menyebutkan bahwa istri hendaknya tidak berhianat pada suami ketika suami sedang pergi dari tempat tidurnya, istri tidak boleh menyelewengkan harta suami. Rasulullah SAW, bersabda :
Artinya :“Istri tidak boleh memberi makan orang lain dari rumah suaminya tanpa izinnya, kecuali makanan basah-basah yang dikhawatirkan basi. Jika ia memberi makan dari izin suaminya, maka ia memperoleh pahala seperti pahala suaminya, dan jika ia memberi makan tanpa seizin suaminya, maka suaminya mendapat pahala, sedangkan istri mendapat dosa.”(HR Abu Dawud, t.t., juz. 2:131) 7. Memuliakan Keluarga Suami Selanjutnya istri hendaknya memuliakan keluarga suami dan famili-familinya sekalipun berupa ucapan yang baik. Istri juga harus memandang pemberian sedikit dari suami sebagai hal yang banyak, menerima perbuatan suami, memandang utama dan bersyukur atas sikap
suami, dan tidak boleh menolak permintaan sekalipun dipunggung unta (Bustomi, 2000 : 12). 8. Adab Persetubuh Menurut Syaikh Nawawi seorang suami tidak boleh menyetubuhi istri dihadapan lelaki atau wanita lain. Pada waktu suami ingin mengumpuli istri disunahkan memulai dengan membaca basmalah, surat ikhlash, kalimat terakhir dan tahlil serta membaca doa sesuai sabda Nabi Muhammad SAW.
Artinya : “sesungguhnya kalau seorang dari kamu mendatangi istrinya, hendaklah ia membaca Allahuma jannihnisy, syaithaana wa jannibisy syaithanna maa razaqtanaa (Ya Allah, jauhkanlah diriku dari syaitan dan jauhkanlah setan dari apa yang telah engkau rezekikan kepada kami) maka jika dari keduanya melahirkan anak, setan tidak dapat berbuat bahaya.” (HR. Muslim, t.t., juz 1:606) Jika anda telah mendekati organisme, maka bacalah do‟a dalam hati dengan menggerakkan bibir anda :
Artinya: “Segala puji bagi Allah yang telah menciptakan manusia dari air, lalu dijadikan manusia itu punya keturunan dan mushaharah dan Tuhanmu adalah maha Esa.”
Suami istri yang melakukan persetubuhan tidak boleh menghadap kiblat.Jangan bersenggama menghadap kiblat, karena memuliakan
kiblat.Ketika bersenggama hendaknya menutupi tubuhnya dan tubuh istrinya dengan selimut (Busthomi, 2000: 44). Beberapa adab bercampur dalam Islam: 1. Suami dilarang membayangkan orang lain ketika bercampur dengan istrinya, karena hal itu termasuk zina, begitu pula larangan ini berlaku untuk isteri. Para ulama „berpendapat: “Barang siapa mengambil segelas air putih lalu meminumnya dan pada saat yang sama ia membayangkan air putih tersebut adalah khamr, maka air yang ia minum itu haram baginya.” 2. Percampuran itu boleh dilakukan setiap bulan, setiap waktu, atau setiap hari, atau pada setiap siang dan malam, kecuali waktu haid, nifas, puasa, dan ihram. Sedangkan mandi jumat adalah sunah muakkad, meskipun tidak didahului dengan percampuran. 3. Suami dilarang memegang penisnya dengan tangan kanan, dan dilarang mendatangi isterinya setelah ia bermimpi (bercampur) dengan orang lain, kecuali setelah ia mandi, mencuci penisnya atau berusaha kencing agar air mani bekas mimpinya bersih. 4. Pengantin laki-laki diperkenankan membayar sesuatu kepada pasanganya sebagai imbalan agar ia melepas bajunya. Ia juga tidak diperkenankan membayar sesuatu agar isterinya mau bercampur dengannya. Sebab itu adalah zina. 5. Sangat dianjurkan kepada pasangan suami–istri untuk menggosok gigi dan membersihkan mulut mereka, kemudian memakai
wewangian yang khusus digunakan untuk mengharumkan mulut, karena hal itu akan lebih melekatkan hubungan mereka berdua, dan menambah rasa cinta. 6. Jika suami mendatangi istrinya, kemudian ingin mengulanginya lagi, maka hendaklah ia berwudlu. 7. Jika suami istri ingin tidur, tapi mereka dalam keadaan junub, maka keduanya diperintahkan berwudlu juga. 8. Diwajibkan mandi setelah bercampur, jika hendak melakukan salat, dan mandi sebelum tidur itu lebih utama. 9. Pasangan pengantin itu boleh mandi berdua bersama pada satu tempat (Mahmud, 1991: 90-92).
9. Istri dan Puasa Selanjutnya seorang istri hendaknya tidak berpuasa sunat, selain puasa arafah dan asyura‟ kalau tidak mendapat izin suaminya, kalau ternyata istri berpuasa, maka ia hanya mendapat letih dan dahaga, sedangkan puasanya tidak akan diterima (Busthomi, 2000:44). Istri tidak boleh melakukan puasa sunah kecuali atas izin suaminya dan tidak boleh memberi izin seseorang untuk memasukki rumahnya kecuali atas izinnya. Laki-laki punya hak agar istri tidak berpuasa kecuali atas izinnya, dan isteri tidak boleh memberikan izin suaminya (Mahmud, 1991:154)
Salah satu ketaatan istri pada suami adalah hendaknya sang istri tidak melakukan puasa sunah kecuali dengan izin suaminya, tidak pergi haji sunah kecuali dengan izin suaminya, tidak keluar rumah kecuali dengan izin suaminya (Hamid, 1996:169). 10. Perizinan Suami Istri hendaknya tidak bepergian dari rumah keuali mendapat izin dari suaminya. Jika keluar tanpa izim suaminya, maka ia mendapat kutukan dari malaikat rahmat dan adzab, hingga ia kerumahnya sekalipun suaminya itu zalim. Karena melarang keluarnya istri .Kalau keluar rumah dengan izin suami, hendaknya dengan menyamar dan mengenakan pakaian yang tidak baik.Carilah tempat yang sepi. Bukan jalan umum atau pasar. Juga menjaga dirinya jangan sampai orang lain mendengar suaranya atau melihat postur tubuhnya. Dan tidak boleh memperlihatkan dirinya pada keluarga dan famili suaminya (Busthomi, 2000: 44). Hendaknya seorang istri tidak keluar rumah kecuali dengan izin suaminya. Apabila istri melakukannya, maka Allah dan malaikatmalaikat-Nya melaknati sang istri sampai ia bertobat dan kembali kepada suaminya meskipun suami berbuat aniaya. Dan hendaknya istri tidak memasukkan sesorang yang tidak disukai suaminya kecuali dengan izin suaminya (Hamid, 1966: 170). 11. Terhapusnya Amal Seorang Istri
Maksudnya wanita itu mengingkari suaminya sehingga segala amal kebaikanya dilenyapkan oleh Allah, dan rusaknya amal itu sebagai balasan kepada istri. Artinya, pahala Allah itu terhalang. Kecuali ketika ia kembali mengikuti kebaikan suaminya. Demikian kalau memang ucapanya itu benar.Istri tidak boleh disela sebagaimana ucapan bidak kepada tuanya. Rasulullah SAW. Bersabda:
Artinya: “Wanita yang meminta suaminya menolak tanpa ada alasan yang mendesak, maka haram baginya bau surga.” (HR.Abu Dawud, t.t, juz. 2: 268). Ibnu Ruslan berkata, “andaikan suami takut bahwa itu tidak dapat melaksanakan ketentuan-ketentuan hukum Allah yang sesuai dengan kewajibannya, seperti baiknya mempergauli, karena istri benci kepada suami atau karena sumai membahayakannya, maka wanita itu terhalang, tidak dapat memperoleh bau surga.”Kalau wanita itu sangat sengsara karena benci kepada suaminya, sebab suaminya tidak pernah mengurusnya, maka yang demikian itu tidak haram istri minta cerai.” (Busthomi. 2000: 50-52). 12. Wanita-Wanita Ahli Surga Menurut Ssyaikh Nawawi diantara wanita yang ada di surga nanti adalah wanita yang mempunyai sifat malu, kalu ditinggal pergi suaminya, ia menjaga diri dan harta suaminya. Termasuk wanita yang di
surga adalah wanita yang ditinggal mati suaminya dengan meninggalkan anak-anaknya yang masih kecil sebagai anak yatim. Lalu wanita itu memelihara, mangasuh dan mendidik mereka dengan baik. Ia pun selalu bersikap baik kepada anak-anaknya dan tidak akan kawin lagi kaena hawatir menyia-nyiakan anaknya (Busthomi, 2000: 57-58). 13. Wanita-Wanita Ahli Neraka Selanjutnya, Syaikh Nawawi menjelaskan didalam kitabnya wanita-wanita yang masuk neraka, diantaranya adalah: a. Wanita yang lancang mulutnya terhadap suamin, dan jika suami pergi ia tidak menjaga dirinya, sedangkan jika suami sirumah ia selalu menyakiti hatinya. b. Wanita yang memaksa-maksa menuntut suaminya yang ia tidak mampu memenuhinya. c. Eanita yang tidak menutupi dirinya denga lelaki lain dan ia keluar dari rumahnya dengan berhias dan bersolek serta menampakkan kecantikannya kepada lelaki lain (Busthomi, 2000:59-60). 14. Kewajiban Istri terhadap Suami Dalam kitab tersebut Rasululah SAW bersabda, “sesungguhnya sebagian hak-hak suami kepada istri adalah: a. Apabila suami membutuhkan diri istrinya sekalipun istri sedang berada di punggung unta, ia tidak boleh menolak.
b. Istri tidak boleh memberikan apa saja dari rumah suaminya jika tidak mendapat izin suaminya. Kalau istri memberikan sesuatu tanpa izinnya, maka istri berdosa dan suami mendapatkan pahala. c. Istri tidak boleh berpuasa jika tidak mendapatkan izin suaminya, karena ia hanya akan merasakan letih dan dahaga, sedangkan puasanya tidak akan diterima Allah. d. Jika istri keluar dari rumah tanpa izin suaminya, maka ia mendapat laknat dari para malaikat hingga ia kembali kerumahnya dan bertaubat (Busthomi, 2000: 61). 15. Siksaan Wanita di Neraka Sayidina Ali karramallaahu wajhah datang kepada Nabi SAW. Bersama Fatimah. Tiba-tiba mereka menjumpai beliau sedang menangis dengan tangisan yang sangat. Ali pun bertanya kepada beliau, “Ayah dan ibuku menjadi tebusan wahai Rasulullah.” Maksudnya, kesusahan dan tangisanmu akan saya tebus dengan ayah dan ibu saya, karena saya sangat mencintaimu. Apa yang menjadikan engkau menangis?” Rasulullah bersabda, “Wahai Ali, ketika diperjalanan ke langit, aku melihat para wanita dari umatku di siksa di neraka jahanam dengan berbagai macam siksaan.Maka saya menangis karena melihat bertanya siksaan mereka itu.” Kemudian sabdanya:
beliau
menjelaskan
secara
keseluruhan
dengan
a. Aku melihat seorang wanita yang digantung dengan rambut dan otaknya mendidih. b. Aku melihat seorang wanita yang digantung dengan lidahnya, lalu air mendidih yang sangat panas dituangkan pada tenggorokannya. c. Aku melihat wanita yang digantung dengan puting susunya, dan kedua tanganya diikat pada ubun-ubunnya, lalu Allah menguasakan padanya ular-ular dan kalajengking (untuk menyiksanya). d. Aku melihat wanita dimana kepalanya seperti kepala babi dan tubuhnya seperti tubuh keledai, dan ia dihadapkan beribu-ribu siksaan. e. Aku melihat seorang wanita dengan bentuk rupa anjing, sedangkan api masuk dari mulutnya dan keluar dari duburnya, lalu para malaikat memukuli kepalanya dengan palu-palu dari api. Ringkasnya, suami terhadap istri dalam rumah tangga adalah ibarat orang tua terhadap anaknya.Karena ketaatan anak kepada orang tua dan mencari kedidhaannya adalah wajib, dan yang demikian itu tidak wajib bagi suami (Busthomi, 2000: 61-62). D. Keutamaan Shalat Wanita di Rumahnya 1. Shalat di Masjid dan di Rumah Syaikh Nawawi mendasarkan pada suatu hadis pada masalah sholat di masjid dan di rumah bagi wanita, Rasulullah SAW bersabda:
Artinya: “Shalat wanita di rumahnya lebih utama dari shalat diruangan rumahnya, dan shalatnya dikamar lebih utama daripada shalatnya di rumahnya.” (HR. Abu Dawud, t.t,juz. 1: 156).
2. Penampilan Wanita Diriwayatkan dari Aisyah r.a. bahwa pada suatu hari Rasulullah SAW. Duduk di masjid, kemudian ada seorang wanita dari dusun Muzirah masuk masjid dengan memanjangkan pakainya dan menpakkan perhiasannya. Maka Nabi SAW bersabda:
Artinya: “Wahai sekalian manusia, laranglah wanita-wanita berhias dan bergaya di masjid, karena Bani Israil itu tidak dikutuk melainkan mereka memperhias wanita-wanitanya dan berjalan dengan bergaya di masjid” (HR. Ibnu Majah).
Wanita masuk neraka itu sebagian besar karena sedikitnya ketaatan mereka kepada Allah, rasul dan Suaminya. Mereka juga memperlihatkan perhiasanya, mengingkari suaminya.Dan tidak mau bersabda “dalam menghadapai berbagai cobaan. Perempuan menaggalkan pakaian, menampakkan kecantikanya berarti mengalahkan sifat khususnya perempuan, yaitu malu dan terhormat, berarti menghancurkan sifat kemanusiaannya yang luhur.
Tidak ada yang membersihkan kotoran yang melekat pada diri perempuan yang tidak punya rasa sifat malu ini selain neraka jahannam (Sa‟id, 2002: 198).
3. Aurat Wanita Yang dimaksud menampakkan perhiasanya adalah bahwa wanita itu keluar dari rumahnya dengan mengenakan pakaian yang indah-indah bersolek mempercantik diri, dan keluar dengan membuat fitnah morang lain dengan menarik perhatian dan memikat orang lain, sehingga ia jatuh cinta pada dirinya. Kalau diri wanita itu selamat dan aman, namun lelaki lain justru tidak selamat dari fitnah, oleh karenanya Rasulullah SAW bersabda:
Artinya: “Wanita adalah aurat, maka jika ia keluar dari rumahnya, ia diawasisetan, dan wanita yang paling dekat kepada Allah adalah apabila wanita itu berada dalam rumahnya.” (HR.Tirmidzi, 1384,juz. 2: 319). Hadis tersebut menjelaskan bahwa wanita adalah aurat, karena termasuk kotor jika menampakkan diri pada lelaki lain, jika ia keluar dari rumahnya diintai setan, akan disesatkan lalu dijerumuskan, dan jatuh ke hurang fitnah, sekalipun setan itu berupa manusia karena serupa dengan ketakutanya. Sedangkan wanita yang paling dekat kepada Allah adalah apabila ia berada di rumahnya.
Dalam berpakaian disunahkan berniat untuk menutupi aurat. Karena Allah memerintahkan untuk menutupi aurat.Janganlah berpakaian dengan pakaian yang terlalu bagus atau terlalu buruk. Berpakaianlah dengan pakaian yang bernilai sedang (Sa‟id, 2002: 94). 4. Larangan Berhias Wanita ketika Keluar Rumah Hatim Al-Asham berkata, “wanita shalehah menjadi tiang agama dan kemakmuran rumah tangga serta dapat membantu ketaatan terhadap suaminya. Apabila wanita yang ingkar terhadap aturan hidupnya, dapat membuat hancur hati suami, sedang ia sendiri tertawa.” Abdullah bin Umae juga berkata: “Tanda wanita ahli neraka adalah
tertawa
jika
berhadapan
dengan
suaminya
dan
mengkhianatinya apabila suami membelakangi.” Hatim Al-Asham berkata bahwa diantara tanda-tanda wanita salehah adalah: 1. Mencintai suaminya karena takut kepada Allah 2. Merasa cukup dan menerima pemberian Allah 3. Perhiasannya berupa sifat sosial dan pemurah atas harta yang dimiliki. 4. Ibadahnya berbuat baik dan berkhidmat kepada suami. 5. Cita-citannya bersiap-siap menghadapi mati.
Termasuk dosa besar adalah keluarnya wanita yang telah bersuami tanpa seizin suaminya, sekalipun karena matinya salah seorang dari kedua orang tuanya untuk menghormati jenazahnya (Busthomi, 2000: 75-76). 5. Pesan-Pesan bagi Wanita Ada seorang wanita menyampaikan beberapa pesan kepada putrinya, “Peliharalah sepuluh perkara ini, dan menjadi tabungan kekayaan yang akan bermanfaat bagimu: a. Hendaknya bersifat qanaah, merasa cukup atas pemberian Allah. b. Hendaknya selalu memperhatikan dengan baik dan menaati suaminya. c. Meneliti jatuhnya pandangan suami, maksudnya jangan sampai suamimu melihatmu sedang berbuat kejahatan. d. Meneliti jatuhnya hidung suamimu mencimum bau, artinya jangan sampai suamimu mencium bau yang tidak enak dari tubuhmu. e. Meneliti waktu makannya sumai, karena rasa sangat lapar itu menjadikan berkobarnya hati. f. Meneliti waktu tidurnya suami,
karena sulitnya tirud dapat
menjadikan marah-marah. g. Menjaga harta suami h. Menjaga hubungan baik dengan keluarga dan famili suami. i. Jangan mengingkari dan mendurhakai perintah suami, karena jika kamu mendurhakai dan mendurhakai perintah suami, karena jika kau
mendurhakai perintah suamimu, niscaya dapat menyempitkan hati suami. j. Jangan menmyiarkan rahasia suami. Sebab, jika kamu menyiarkan rahasia suami maka kamu pasti tidak aman dari mengkhianati suami. Kemudian berhati-hatilah jangan sampai kamu bersenang-senang dihadapan sumai yang sedang duka hatinya, dan kamu tida boleh menampakkan kesusahan dihadapan suami yang sedang merasa senang (Busthomi, 2000: 76-77). Ketahuilah bahwa pelantara lahirnya anak itu merupakan satu kebaktian berdasarkan empat alasan: 1. Sesuai yang dicintai Allah, yaitu menghasilkan anak, untuk mengekalkan jenis manusia. 2. Mencari kecintaan Rasul SAW. dengan memperbanyak orang yang dibanggakanya pada hari kiamat. 3. Mencari keberkahan Allah sebab doa anak saleh sesudah ditinggal mati. 4. Mencari syafaat karena matinya anak kecil, kia ia mati sebelum orang taunya (Busthomi, 2000: 79-80). E. Larangan Melihat Lawan jenis 1. Pandangan antara Laki-Laki dan Wanita Allah SWT. berfirmandalam QS. Al-Ahzab: 53:
Artinya: “Dan apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (Isteri-isteri nabi. Maka mintalah belakang tabir.”
Dan juga dalam QS. An-Nur: 30-31:
Artinya: “ Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman : “Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaulannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat”. Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaknya mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya.”
Hendaklah para istri merasa malu memandangi lelaki lain dan menunduk bila berpapasan di jalan. Begitu pula para suami yang suka memandang perempuan lain, semisal ia suka melirik kanan-kiri hingga terkadang jatuh karena tidak melihat jalan. Ini merupakan ujian Allah SWT (Sufyan. 2007: 68). Lelaki tidak boleh memandang wanita, dan wanita tidak boleh memandang lelaki. Dimana lelaki wajib memejamkan matanya, yaitu memelihara matanya dari memandang wanita, sebagaimana disebutkan Imam Ibnu Hajar dalam kitab Az-Zawajir. Lelaki dan perempuan tidak boleh saling berjabat tangan dan saling menyentuh antara kedua dan yang semacamnya. Sebab yang haram dipandang itu juga haram disentuh, karena menyentuh itu lebih kuat dan menimbulkan rasa wanita lalu mengeluarkan sperma, mala batallah puasanya. Demikian disebutkan dalam kitab Nihayah penjelasan kitab Ghayah.
Berjabat tangna dengan lain jenis dengan dapat menggetarkan birahi. Dan ketika dirasakan adanya sentuhan kenikmatan, tentu bisa mempunyai kebiasaan suka mengintai wanita, hendaklah dinasehati (Iqbal, 2003: 129). 2. Tabarruj Ketahulilah di zaman sekarang ini banyak para wanita yang menampakkan perhiasannya, mereka berhias diri dan bersolek serta memperlihatkan kecantikannya kepada para lelaki, mereka hampir tidak mempunyai rasa malu, mereka berjalan diantara para lelaki, mereka hampir tidak mempunyai rasa malu, mereka berjalan diantara para lelaki. Itulah yang dinamakan tabarruj. Sebagaimana dikatakan para Mujahid. Wanita-wanita sekarang berjalan dengan bergaya lengak-lenggok seperti yang dikemukakan Imam Mujahid dan Qatadah dalam menjelaskan pengerian Tabrruj. Mereka secara terang-terangan berjalan diantara lelaki di pasar-pasar, di masjid-masijd diantara barisan-barisan shalat, terutama disiang hari. Di malam hari, mereka mendekati
tempat-tempat
yang
terang
untuk
memperlihatkan
perhiasannya pada orang banyak. Sementara ulama berkata, “kalau wanita telah melakukan tiga perkara ini, maka ia disebut qahbah, artinya wanita yang menjadi penyanyi, wanita fasik dan pezina.”Ketiga perkara itu sebagai berikut: a. Keluar disiang hari dengan bersolek menampakkan perhiasan dan kecantikannya serta berjalan diantara lelaki.
b. Memandangnya wanita kepada lelaki lain. c. Mengeraskan suaranya hingga terdengar lelaki lain, sekalipun ia wanita salehah, karena menyerupakan dirinya dengan wanita jelek (khabitsah). Kata “jelek” disini tidak memandang pengertian memaki.Karena kata khabitsah wanite jelek dijadikan seperti alam laqab (Busthomi, 2000: 88-89). Islam mengharamkan tabarruj karena teramsuk perbuatan jahiliyyah.Islam
menggantinya
dengan
pakaian
yang
sopan,
sebagaimana yang ditetapkan Allah dalam QS. Al-Ahzab: 59:
Artinya: “Hai nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: “hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih muedah untuk dikenal, Karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pegnempun lagi Maha Penyayang.” (Sa‟id, 2002: 195). 3. Diperbolehkannya Wanita Keluar Rumah
Rasulullah mengizinkan para wanita keluar dari rumah khususnya pada waktu shalat hari raya. Dibolehkan keluar bagi wanita yang dapat memelihara diri dan diizinkan suami. Wanita itu sebaiknya tidak keluar jika tidak ada keperluan yang amat penting. Jika ia keluar sebaiknya memejamkan pandangannya terhadap lelaki lain. Kami tidak mengatakan kalau muka lelaki, tetapi muka lelalaki itu bagi wanita sebagaimana muka wanita bagi lelaki, tetapi muka lelaki itu bagi wanita bagai muka anak kecil yang tampan. Maka haram melihat jika takut menimbulkan fitnah. Apabila tidak menimbuulkan fitnah, maka tidak haram. Sebab sejak zaman dahulu para lelaki itu terbuka mukanya, sedangkan para wanita tetap mnutup mukanya. Kalau muka lelaki itu merupakan aurat bagi wanita, tentu diperintah menutup mukanya, atau dilarang kecuali karena darurat (Bushtomi, 2000: 90).
BAB IV PEMBAHASAN
C. Tinjauan Pendidikan Islam 1. Definisi Pendidikan Islam Menurut kamus bahasa Arab, lafadz at-Tayibah berasal dari tiga kata: Pertama: raba yarbu yang berarti: bertambah dan tumbuh Kedua: rabiya yarba yang berarti: menjadi besar. Ketiga : rabba yarubbu yang brarti: memperbaiki, menguasai urusan, menuntun, menjaga dan memelihara (Abdurrahman, 1996: 30-31). 2. Hakikat Pendidikan Hekikat pendidikan adalah usaha orang dewasa secara sadar untuk
membimbing
dan
mengembangkan
kepribadian
serta
kemampuan dasar anak didik baik dalam bentuk formil dan nonformil. Jadi dengan kata lain, pendidikan pada hakikatnya adalah ikhtiar manusia untuk membantu dan mengarahkan fitrah manusia supaya berkembang sampai kepada titik maksimal yang adapat dicapai sesuai dengan tujuan yang dicita-citakan (Arifin, 1977: 12). 3. Hubungan antara Islam dengan Pendidikan Agama Islam adalah agama yang di dalamnya terdapat syari‟at Allah yang diturunkan kepada umat manusia agar mereka beribadah
kepada-Nya di muka bumi. Pelaksanaan syari‟at ini menuntut adanya pendidikan pada manusia, sehingga dia pantas untuk memikul amanat dan menjalankan khilafah. Pendidikan yang dimaksud adalah pendidikan Islam. Syari‟at Islam hanya dapat dilaksanakan dengan mendidik diri, gengerasi dan masyarakat supaya beriman dan tunduk kepada Allah semata serta selalu mengingat-Nya. Oleh sebab itu, pendidikan Islam menjadi kewajiban orang tua dan guru disamping menjadi amanat yang harus dipikul oleh satu generasi untuk disampaikan kepada generasi berikutnya dan dijalankan oleh para pendidik dalam mendidik anak-anak. Barang siapa menghianati amanat ini, menyimpang dari tujuannya, menyalah tafsirkannya, atau mengubah kandunganya, maka nerakalah baginya (Abdurrahman, 1996: 37-38). D. Konteks Sosial Syaikh Nawawi Ketika Menulis Kitab ‘Uqudullijain Pada usia 15 tahun Syaikh Nawawi pergi menunaikan ibadah haji ke Makkah dan bermukim di sana selama 3 bulan. Di Makkah ia belajar pada beberapa orang Syaikh yang bertempat tinggal di Masjidil Haram, seperti Syaikh Ahmad Nawawi, Syaikh Ahmad Dimyati, dan Syaikh Ahmad Zaini Dahlan. Ia juga pernah belajar di Madinah di bawah bimbingan Syaikh Muhammad Khatib Al- Hanbali. Sekitar tahun 1248 H/1831 M, ia kembali ke Indonesia. Di tempat kelahiranya ia membina pesantren peninggalan orang tuanya.
Karena situasi politik yang tidak menguntungkan, ia kembali ke Makkah setelah 3 tahun berada di Tanara dan meneruskan belajarnya di sana. Sejak keberangkatanya yang kedua kalinya, Syaikh Nawawi tidak pernah kembali di Indonesia.Ia menetap disana hingga akhir hayatnya. Ia meninggal pada tanggal 25 Syawal 1314 H atau tahun 1897 M. Ia wafat dalam usianya yang ke-84 tahun di tempat kediamanya yang terakhir yaitu kampung Syiib Ali Makkah (Depag, 1992:423) Dari sejarah perjalanan hidup beliau ketika pemberangkatan keduakalinya beliau di makkah dan selama itu juga tidak kembali ke Indonesia lagi sampai akhir hayat beliau. Beliau berangkat yang kedua pada tahun 1834 M sedangkan penulisan kitab „Uqudullijain tahun 1894 M menegaskan bahwa kitab ini tidak di tulis di Indonesia tetapi ditulis di Makkah. Keadaan sosial ketika Syaikh Nawawi
menulis kitab
„Uqudullijain berkembang dalam segi keilmuan islam. Ini terbukti dengan sibuknya Syaikh Nawawi dalam mengajar mirid-murid beliau dari berbagai negara, dan kitab-kitab karya beliau yang sangat banyak. E. Analisis Konsep Pendidikan Keluarga Sakinah Tangga menurut Syaikh Nawawi dalam Kitab ‘Uqudullijain’ Analisis di sini sama sekali tidak dimaksudkan sebagai koreksi atau pemberintakan terhadap siapapun. Kehadirannya didasari pada kontek
zaman bahwa kebenaran pada suatu pemikiran akan diperoleh jika senantiasa dihadapkan dengan realitas kehidupan sosial khususnya di Indonesia. Kita tidak akan tahu apakah kebenaran tersebut dapat diterapkan untuk rentang waktu lama dan mampu menjawab persoalanpersoalan yang muncul. Analisis yang pertama dimulai dari bagian pertama yang telah disebutkan dalam bab tiga yaitu tentang kedudukan seorang istri di mata suami. Menurut Syaikh Nawawi kedudukan seorang istri dimata suami itu sedikit lebih rendah, dengan alasan karena kaum laki-laki sebagai pemimpin bagi kaum wanita. Maksudnya, bahwa kaum laki-laki harus menguasai dan mengurus keperluan istri termasuk mendidik budi pekerti mereka. Allah melebihkan kaum laki-laki atas kaum wanita karena tanggung jawab laki-laki (suami) memberikan harta kepada kaum wanita (isteri) dalam pernikahan, seperti maskawin dan nafkah. Syaikh Nawawi mendasarkan hal itu dengan firman Allah dalam QS. AlBaqarah: 228:
Artinya: “Dan mereka mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma‟ruf. Akan tetapi Para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya.”
Pendapat Syaikh Muhammad Nawawi tersebut dapat dianalisis dengan pendapat para ulama Indonesia sekarang bahwa wanita dalam Islam mendapat tempat yang mulia tidak seperti dituduhkan oleh
sebagian masyarakat, bahwa Islam tidak menempatkan wanita sebagai subordinat dalam tatanan kehidupan masyarakat. Kedudukan mulai kaum wanita itu ditegaskan dalam banyak hadist, Rasulullah SAW. bersabda yang artinya: “Surga berada di bawah telapak kaki ibu.” Dari kutipan sebuah hadist diatas terbukti bahwa seorang ibu ternyata juga mempunyai tanggung jawab besar terhadap keluarganya, dimulai dari mengurus keluarga, melayani suami, mengandung seorang anak, melahirkan seorang anak yang itu membutuhkan tenaga besar bahkan
sampai
nyawa
taruhannya,
menyusui,
mendidik,
dan
membesarkan anaknya. Sementara suami hanya mencanari nafkah saja. Bahkan di zaman sekarang tidak sedikit wanita yang rela mengucurkan keringatnya untuk bekerja demi keluarganya, sampai-sampai banyak wanita yang rela bekerja ke luar negeri semata-mata ingin anaknya sekolah dan tercukupi kebutuhan keluarganya sehari-hari, karena hasil pencarian nafkah suami dirasakan kurang mencukupi kebutuhan keluarga, bahkan untuk kebutuhan makan sehari-hari saja kurang cukup. Islam memberikan hak yang sama dengan laki-laki untuk memberikan pengabdian yang sama kepada agama, nusa, bangsa dan negara. Ini ditegaskan firman Allah dalam QS. Ali Imran: 195:
Artinya: Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman): ”Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal diantara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagaian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain.
Maksudnya sebagaimana laki-laki berasal dari laki-laki dan perempuan, Maka demikian pula halnya perempuan berasal dari laki-laki dan perempuan. Keduanya sama-sama manusia, tak ada kelebihan yang satu dari yang lain tentang penilaian iman dan amalnya (Djamaluddin, 2004: 624-625). Dari ayat diatas adalah sebuah realita pengakuan Islam terhadap hak-hak wanita secara umum dan anugerah kemuliaan dari Allah SWT. Persoalan yang muncul kemudian bahwa sekalipun Islam telah mendasari penyadaran integratif tentang wanita tidak berbeda dalam beberapa hal dengan laki-laki, pada kenyataannya prinsi-prinsip Islam tentang wanita tersebut telah mengalami distorsi. Kita tidak bisa menutup mata bahwa masih banyak manusia yang mencoba mengingkari kelebihan yang dianugerahkan Allah SWT. kepada wanita (Djamaluddin, 2004: 626). Dari situlah tampak jelas bahwa kedudukan wanita tiada bedanya, suami istri sama-sama mempunyai tanggung jawab besar dalam keluarga sesuai penuturan ayat Al-Qur‟an dan hadis di atas, tapi Syaikh Nawawi tetap menggunakan dalil QS. Al-Baqarah ayat 228, yang memposisikan iteri lebih rendah dari suami. Pembahasan selanjutnya mengenai pendapat Syaikh Nawawi tentang ketaatan isteri terhadap suami yang mengibarakan seperti
ketaatan seorang anak terhadap orang tuanya yang telah disebutkan dalam bab tiga. Suami merupakan penjaga, penanggung jawab, pemimpin, dan pendidik kaum perempuan tentu mendapatkan hak untuk ditaati segala perintahnya kecuali kemaksiatan. Padahal pendapat yang bercorak demikian pada dasarnya berhubungan dengan situasi sisio-kultural waktu Nawawi mengarang kitab „Uqudullijain‟ sangat merendahkan kedudukan kaum perempuan. Dalam hal ini Nawawi mengambil dalil dari firman Allah SWT. QS. An-Nisa‟: 34:
Artinya: “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita,oleh Karena Allah Telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan Karena mereka (laki-laki) Telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Alah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (meraka), wanita-wanita yangn kamu khawatrikan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidu mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimul, maka janganlah kami mencanri-cari
jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.”
Pendapat Nawawi tersebut dapat kita cermati dengan pendapat beberapa Ulama bahwa dalam menafsirkan ayat Qowwamuna berbeda dengan penafsiran Nawawi, antara lain: 1. Menurut Fazlur Rohman, laki-laki adalah bertanggung jawab atas perempuan karena Allah telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain karena mereka (laki-laki) memberi nafkah atas sebagian hartanya, bukanlah hakiki melainkan fungsional, artinya jika seorang istri dibidang ekonomi dapat berdiri sendiri dan memberikan sumbangan bagi kepentingan keluarga, maka keunggulan suaminya akan berkurang. 2. Aminah Wadud Muhsin yang sejalan dengan Fazlur Rahman menyatakan bahwa, superioritas itu melekat pada setiap laki-laki Qowwamuna atas perempuan, tidak dimaksudkan superior itu secara otomatis melekat pada setiap laki-laki, sebab hal itu hanya terjadi secara fungsional yaitu selama yang bersangkutan memenuhi kriteria Al-Qur‟an yaitu memiliki kelebihan dan memberikan nafkah. Ayat tersebut tidak menyebut semua laki-laki otomatis lebih utama dari perempuan. 3. Ashgar Ali Engineer berpendapat bahwa Qowwamuna disebutkan sebagai pengakuan bahwa, dalam realitas sejarah kaum perempuan pada masa itu sangat rendah dan pekerjaan domestik dianggap sebagai kewajiban, sementara laki-laki menganggap dirinya unggul karena kekuasaan dan kemampuan
mencari
dan
memberikannya
kepada
perempuan.
Qowwamuna merupakan pernyataan kontekstual bukan normatif. Seandainya Al-Quran menghendaki laki-laki sebagai qowwamuna redaksinya akan menggunakan pernyataan normatif dan pasti mengikat semua
perempuan
dan
semua
keadaan,
tetapi
Al-Quran
tidak
menghendaki seperti itu. Demikianlah diantara berbagai penafsiran tekstual dan penafsir kontemporer terhadap QS. An-Nisa‟: 34. Sehingga kalau dihadapkan dengan realitas yang ada, maka terlihat sekarang posisi kaum laki-laki atas perempuan bersifat relatif tergantung pada kualitas masing-masing individu. Jadi ketaan istri terhadap suami bukan merupakan keharusan, tergantung pada kenyataan dan kebutuhan yang ada dalam keluarga (Istibsyaroh, 2004: 1909-110). Bahasan selanjutnya mengenai pendapat Nawawi tentang kebebasan wantia keluar dari rumahnya. Menurut pendapat Nawawi bahwa seorang wanita itu dilarang kelaur rumah tanpa seizin suaminya karena dikhawatirkan menimbulkan fitnah, bahkan shalat wanita pun harus di rumah dengan alasan menimbulkan fitnah. Nawawi mendasarkan pendapat ini dengan sebuah hadis Nabi Muhammad SAW. yang artinya artinya: “Wanita adalah aurat, maka jika ia keluar dari rumahnya, ia diawasi setan, dan wanita yang paling dekat kepada Allah adalah apabila wanita itu berada dalam rumahnya.” (HR. Tirmidzi, 1381, juz 2:319).
Pendapat tersebut dapat kita teliti dengan realita zaman sekarang. Dimana sudah tidak jarang lagi di zaman sekarang wanita-wanita menyibukkan diri di luar rumah entah itu bekerja, berlibur, berbelanja ke toko-toko besar atau untuk mencari ilmu pendidikan umum dan agama di pondok pesantren, madrasah, sekolah umum, maupun ditempat pengajian. Perintah menuntut ilmu pengetahuan atau belajar tidak hanya kepada kaum laki-laki tetapi kepada kaum perempuan. Masing-masing berhak memperoleh berbagai ilmu, memperoleh ilmu pengetahuan merupakan elemen esensial untuk meningkatan martabat perempuan sehingga ia dapat menyempurnakan dirinya sendiri, kemudian dapat mengembangkan potensi kemanusiannya (Istibsyaroh, 2004: 81). Kepergian wantia untuk menuntut ilmu, Rasululah SAW besabda yang artinya: menuntut ilmu adalah kewajiban setiap muslim Hadis di atas itu sahih, tanpa ada kata wamuslimatin. Tetapi meskipun kata muslimah tidka disebutkan termasuk juga di dalamnya muslimah atau perempuan Islam. Apabila menuntut ilmu itu wajib bagi laki-laki, maka wajib pula bagi kaum perempuan, maksudnya ilmu-ilmu yang wajib diketahui oleh kaum perempuan. Ilmu apa saja, para Fuqaha mengatakan: Apabila ilmu itu wajib diketahui oleh kaum perempuan, maka suami berkewajiban mengajarnya. Kalau tidak dapat, maka istri berkewajiban mencari ilmu agama ke majelis-majelis ta‟lim meskipun tanpa izin suaminya (Agus, 200 : 191-192).
Islam juga mengizinkan wanita keluar rumah, turut berjihat dimedan perang memerangi musuh, merawat yang cidera, serta memberikan pelayanan makan dan minum. Imam Bukhari dan Ahmad mengetengahkan sebuah hadis yang diriwayatkan dari Rabi‟ binti Mas‟ud yang mengatakan : ”Kami turut berperang bersama Rasulullah, mmberikan minum dan membawa para korban yang cedera menuju Madinah.” (Iqbal, 2004: 111). Pekerjaan yang ada sekarang tidak semua terdapat pada masa Nabi. Namun sebagian ulama menyimpulkan bahwa Islam membenarkan perempuan aktif dalam berbagai kegiatan atau secara mandiri atau bersama orang lain selama pekerjaan tersebut dilakukan dalam suasana terhormat, sopan seta dapat memelihara agamanya dan dapat pula menghilangkan dampak negatif pekerjaan tersebut terhadap diri dan lingkungannya. Atau dengan perkataan lain, yaitu perempuan mempunyai hak untuk bekerja selama ia membutuhkannya dan selama norma-norma agama dan susila tetap terpelihara. QS. An-Nisa: 32:
Artinya: “Dan janganlahkamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu lebih banyak dari sebagian yang lain. )Karena) bagi orang laki-laki ada bagiandari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bagiand ari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maga Mengetahui segala sesuatu.” Al-Sya‟rawi menegaskan: Apabila seorang istri berkeinginan mengangkat derajat kehidupan keluarga, dibolehkan bekerja dengan syarat pekerjaan yang diambil tidak melalaikan tugas domestik sebagai istri dan ibu, dan juga pekerjaan ini tidak diklaim sebagai peran dominan bagi seorang istri (Istibsyaroh, 2004: 161-164). Dari pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa, Al-Sya‟rawi tidak melarang perempuan bekerja di luar rumah. Tetapi tugas utama perempuan adalah pekerjaan di rumah, mendidik anak, serta menjadi tempat berteduh suami di rumah. Menurut penulis, pekerjaan di rumah tidak hanya tugas perempuan atau istri, tetapi dijalankan bersama-sama antara istri dan suami. Apalagi masalah mendidik anak, karena anak tidak hanya mengharapkan uluran tangan dari ibu saja, juga dari bapak. Demikian juga ketenangan dalam keluarga tercipta kalau suami-istri saling mengerti dan memahami, bukan hanya dibebankan kepada istri. Jadi keluarnya istri untuk memenuhi kebutuhan tidak ada larangan baik itu untuk mencari ilmu, bekerja, ke Masjid sekalipun itu waktu malam, karena berdasar hadist Nabi Muhammad SAW. yang artinya:
Janganlah kamu semua melarang perempuan keluar untuk ke masjid di waktu malam hari (HR. Muslim,: t, juz. 1:187). Pembahasan berikutnya mengenai Syaikh Nawawi dalam kitabnya menyuruh menjaga pandangan terhadap lawan jenis karena dari pandangan dapat menimbulkan birahi sehingga terjadi fitnah karena anggota badan wanita merupakan aurat. Nawawi mendasarkan hal itu dengan QS. Al-Ahzab: 53:
Artinya: Apabila kamu meminta sesuai (keperluan) kepada mereka (isteri-isteri Nabi). Maka mintalah dari belakang tabir.
Dan juga pada firman Allah QS. An-Nur: 30-31:
Artinya: “Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih Suci bagi mereka, sesungguhya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat”. Katakanlah kepada wanita yang beriman: „Hendaklah merka manahan pandangannya, dan kemaluannya.”
F. Relevansi pendapat Syaikh Nawawi dalam kitab ‘Uqudullijain dengan realitas keluarga muslim sekarang di Indonesia. Setelah kita mengetahui pendidikan keluarga sakinah yang ditawarkan Syaikh Nawawi tertentu kita dapat menyimpulkan bagaimana apabila kita terapkan saat sekarang ini, penelitian ini tidak dimaksudkan sebagai koreksi terhadap pendapat siapapun. Kahadirannya didasari pada pemahaman bahwa setiap pemikiran memiliki kebenaran relatif sesuai dengan realitas konteks zamannya. Kitab „Uqudullijain karya Syaikh Nawawi barang kali mempunyai relevansi secara penuh pada zamannya. Namun seiring dengan perkembangan zamannnya. Namun seiring perkembangan zaman, kebenaran relatif yang memiliki relevansi pada zamannya, harus dilakukan penyesuaian agar tidak ketinggalan zaman dan tetap relevan sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Setelah selesainya penelitian dan analisis ini penulis dapat menyimpulkan sebagai berikut: 1. Pemikiran Syaikh Nawawi yang tertuang dalam kitab „Uqudullijain‟ dikatakan
sangat
memperhatikan
pentingnya
mengetahui
dan
melaksanakan hak-hak suami istri dalam lingkup keluarga. Dengan demikian masing-masing pribadi baik istri maupun suami akan sadar terhadap apa yang sepatutnya dilaksanakan dalam kekeluargaan. Hal ini dapat mengurangi tingkat permasalahan dalam keluarga supaya tidak sampai pada perceraian. 2. Kontek sosial ketika Syaikh Nawawi menulis kitab „Uqudullijain ini dibidang keilmuan islam sangatlah berkembang. Hal terlihat akan macammacam keilmuan islam waktu itu, seperti tauhid, fikih, hadits, dan tafsir. 3. Bicara masalah relevansi maka suatu karya ilmiah apapun pasti mempunyai relevansi, kitab „uqudullijain penting untuk diajarkan zaman sekarang karena di dalamnya terdapat aturan-aturan berkeluarga yang penting, seperti mengenalkan akan hak-hak antara suami istri. Hal itu akan dapat mempengaruhi akan apa yang sebaiknya dilakukan oleh masingmasing pihak. Aturan-aturan ini tidak main-main, karena aturan ini
langsung dirujuk dari dasar Al-Qur‟an, hadits,
dan pendapat ulama‟.
Penulis yakini bahwa dasar itu sudah cukup jelas antara yang hak dan yang batil. Dengan demikian umat islam dapat kembali pada ajran-ajaran Nabi Muhammad SAW. B. Saran-Saran Berdasarkan penelitian ini, ada beberapa saran yang dikemukakan dalam penelitian skripsi ini: 1. Perkembangan pikiran didalam Islam adalah merupakan suatu fenomena wajar. Oleh sebab itu para Ulama intelektual dan cendekiawan Islam perlu untuk membuka cakrawala pemikiran terhadap ide dan gagasan baru dalam upaya untuk mengkaji kembali ajaran-ajaran Islam, sehingga terdapat compabilitas antara Islam dan realitas kehidupan kekinian. 2. Penelitian ini masih tahap awal, sehinga diperlukan usaha lanjutan untuk lebih memperkuat bangunan pemikiran Islam yang baru. Masih banyak aspek penelitian yang diperlukan dalam mengkaji pemikiran tentang wanita Islam. Seperti kajian gender dengan berbagai pendekatan yang mungkin untuk dilakukan.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Bukhori, Abi Abdillah Muhammad Bin Ismail. Matan Masykul Al-Bukhori. Asia T.t: Syirkatun-Nur. Ali, Mukti, dkk. 1988. Ensiklopedi Islam Di Indonesia. Jakarta: Depag RI. Al-Mahalli, Abu Iqbal. 2003. Muslimah Modern. Yogyakarta: Mitra Pustaka. Al-Qosim, Abdul Malik. 2010. Istri Tibyan.
Solehah
Anugrah Terindah. Solo: At-
An-Nawawi, Muhammad Bin Umar. Syarh ‟Uqudullijain Fii Bayani Huquqiz Zaujain, Maktbah Muhammad Bin Ahmad Nabhan. PT. Toha Putra. An-Nawawi, Muhammad Bin Umar.Terjemah Syarah „Uqudullijain Etika Berumah Tangga, Terj. Drs. Afif Busthomi Dan Masyhuri Ikhwan. Jakarta: Pustaka Amani. Arikunto, Suharsini. 1980. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktis. Jakarta: BinaAksara. As‟ad, Aliy. 1979. Terjemah Fathul Mu‟in. Kudus: Menara Kudus. At-Tirmidhi, Al-Imam Al-Hafidh Abi Isa Muhammadbin Isa Bin Sauroh. 1384 H. Sunan At-Tirmidhi. Semarang: Thoha Putra Depag RI. 1992. Al-Qur‟an Dan Terjemahnya. Semarang: CV Asy-Syifa‟. Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan. 1989. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: BalaiPustaka. Dharara, Talizidulum. 1980. Research Teory, Metodologi Administrasi. Jakarta: Bina Aksara. Dhofier, Zamakhsyari. 1989. Tradisi Pesantren Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai. Jakarta: LP3ES Hadi, Sutrisno. 1990. Metodologi Pesearch. Yogyakarta: Andi Offset. http://www.jualdisurabaya.com/angka-penceraian-di-indonesia-naik-70-apasebabnya.html: Angka Perceraian di Indonesia. Istibsyarah. 2004. Hak-Hak Perempuan Relasi Jender Menurut Tafsir Sya‟rofi. PT Mizan Publika.
Al-
Kisyik, Abdul Hamid. 1996. Bimbingan Islam Untuk Mencapai Keluarga Sakinah. Bandung: Al-Bayan.
Leter, M. 1985. Rumah Tangga Muslim Dan Keluarga Berencana. Padang: IKAPI. Marimba, Ahmad . 1960. PengantarFilsafat Islam. Bandung: Al-Ma‟afit . Musthofa, Misbah. 1417 H. Terjemah Qurotul „Uyun. Rembang: Al-Balagh. Salim, Agus. 2002. Terjemah Risaltun Nikah. Jakarta: Pustaka Amani. Soemargo, Soegono. 1983. Filsafat Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta: Nur Cahyo. Soemargono, Soegiono.1983. Filsafat Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta: NurCahya. Sufyan, Ummu. 2007. Senerai Konflik Rumah Tangga. Bandung: Remaja Rosdakarya.
CURICULUM VITAE
Nama
: Sutoyo
Tempat Lahir : Kab. Semarang Tanggal Lahir : 26 November 1987 Alamat
: Ds, jembrak ,Kec.Pabelan, Kab. Semarang
Motto
: Selalu berfikir positif, agar mendapat hasil yang positif
Pendidikan
: 1.
SDN 1 Jembrak Pabelan
2.
SLTPN 2 Pabelan
3.
MAN I Salatiga
4.
Jurusan Tarbiyah Program Studi Pendidikan Agama Islam Sekolah Tinggi Agama Islam (STAIN) Salatiga