KONSEP PENDIDIKAN BERKELUARGA DALAM KITAB ‘UQUDULLIJAIN RELEVANSINYA DENGAN PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA SKRIPSI Disusun untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I)
Disusun Oleh MUQOROBIN NIM 111 06 086
JURUSAN TARBIYAH PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA 2011
ii
KONSEP PENDIDIKAN BERKELUARGA DALAM KITAB ‘UQUDULLIJAIN RELEVANSINYA DENGAN PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA SKRIPSI Disusun untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I)
Disusun Oleh MUQOROBIN NIM 111 06 086
JURUSAN TARBIYAH PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA 2011
iii
DEPARTEMEN AGAMA RI SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA Jl. Tentara Pelajar 02 Telp (0298) 323706 Fax 323433 Kode Pos 50721 Salatiga http://www.stainsalatiga.ac.id e-mail:
[email protected]
Prof. Dr. H. Budiharjo, M.Ag Dosen STAIN Salatiga NOTA PEMBIMBING Lamp : 4 (empat) eksemplar Ha : Naskah Skripsi Saudara MUQOROBIN Kepada Yth. Kepala STAIN Salatiga di Salatiga Assalamu'alaikum, wr, wb Setelah kami meneliti dan mengadakan perbaikan seperlunya, maka bersama ini, kami kirimkan naskah skripsi saudara : Nama NIM Jurusan Program Judul
: MUQOROBIN : 111 06 086 : Tarbiyah : Pendidikan Agama Islam : KONSEP PENDIDIKAN BERKELUARGA DALAM KITAB ‘UQUDULLIJAIN RELEVANSINYA DENGAN PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA
Telah dapat diajukan dalam sidang munaqosah skripsi Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga. Demikian atas perhatiannya diucapkan terima kasih. Wassalamu'alaikum, wr, wb Salatiga, 16 Agustus 2011 Pembimbing
Prof. Dr. H. Budiharjo, M.Ag NIP. 19541002 198403 1 001
iv
DEPARTEMEN AGAMA RI SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA Jl. Tentara Pelajar 02 Telp (0298) 323706 Fax 323433 Kode Pos 50721 Salatiga http://www.stainsalatiga.ac.id e-mail:
[email protected]
SKRIPSI KONSEP PENDIDIKAN BERKELUARGA DALAM KITAB ‘UQUDULLIJAIN RELEVANSINYA DENGAN PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA DISUSUN OLEH MUQOROBIN NIM 111 06 086 Telah dipertahankan di depan panitia Dewan Penguji Skripsi Jurusan Tarbiyah Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga, pada tanggal 22-September2011 dan telah dinyatakan memenuhi syarat guna memperoleh gelar sarjana S1 Kependidikan Islam Susunan Panitia Penguji Ketua Penguji
:
Suwardi, M.Pd
________________
Sekretaris Penguji
:
Dra. Siti Zumrotun, M.Ag
________________
Penguji I
:
Winarno, S.Si, M.Pd
________________
Penguji II
:
Nur Hasanah, M.Pd
________________
Penguji III
:
Prof. Dr. Budiharjo, M.Ag
________________
Salatiga, 29 September 2011 Ketua STAIN Salatiga
Dr. Imam Sutomo, M.Ag NIP. 19580827 198303 1 002
v
DEPARTEMEN AGAMA RI SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA Jl. Tentara Pelajar 02 Telp (0298) 323706 Fax 323433 Kode Pos 50721 Salatiga http://www.stainsalatiga.ac.id e-mail:
[email protected]
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama
: MUQOROBIN
NIM
: 11106086
Jurusan
: TARBIYAH
Program Studi : PENDIDIKAN AGAMA ISLAM Menyatakan bahwa skripsi yang saya tulis ini benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri bukan jiplakan dari karya tulis orang lain. Pendapat atau temuan orang lain yang terdapat dalam skripsi ini dikutip atau dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah.
Salatiga, 16 Agustus 2011 Yang Menyatakan
MUQOROBIN NIM 111 06 086
vi
MOTTO
DUNIA ADALAH HIASAN DAN SEBAIK-BAIK HIASAN ADALAH WANITA SOLEHAH
vii
PERSEMBAHAN
Karya ini penulis persembahkan kepada: Ayahanda dan Ibunda tercinta, yang senantiasa menyertai penulis dengan do'a dan restunya. Dan beliau-beliaulah yang telah membesarkan, merawat serta membiayai sekolah penulis dengan cucuran keringat yang tidak dapat penulis bayar dengan apapun. Kakak-kakakku (Mas Qulub, Mbak Wiroh, Mas Tadzkir, Mas Rihul, Mbak Diqoh) serta yang aku sayangi dan aku banggakan adikku Tadzkiroh semoga kita bisa mewujudkan harapan orang tua kita. Keponakan-keponakanku (Wafa, Fina, Anifah, Fuad, Alwi, Luthfi, Faizah, Rara, Abid) kalian yang selalu membangkitkan emosiku. Seseorang yang selalu memberiku semangat mendoakan dan menemaniku dalam suka maupun duka (Dek Ningrum) semoga kita akan terus bersama. Sahabat-sahabatku seperjuangan PAI angkatan 2006 Nanang, Barok, Masyroh, Suwarsono, Fa’la, Arini, Inshofa, Citut, Arif DC (TBI) dan semuanya saja tanpa terkecuali. KATA PENGANTAR
viii
Dengan menyebut nama Allah yang maha pengasih dan penyayang, Alhamdulillah penulis panjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan taufiq, hidayah serta inayah-Nya, sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini tanpa halangan yang tidak dapat penulis selesaikan. Sholawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Agung Muhammad SAW, serta keluarga dan para sahabatnya. Penulisan skripsi yang berjudul “KONSEP PENDIDIKAN BERKELUARGA DALAM KITAB ‘UQUDULLIJAIN RELEVANSINYA DENGAN PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA”, selanjutnya dengan hormat dan ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya penulis sampaikan kepada: 1. Bapak Dr. Imam Sutomo, M.Ag, selaku Ketua Stain Salatiga yang telah banyak berjasa untuk mengasuh penulis dan berkenan memberikan persetujuan atau pengesahan terhadap judul skripsi ini. 2. Bapak Prof. Dr. Budiharjo, M.Ag, sebagai pembimbing yang telah dengan ikhlas mencurahkan pikiran dan tenaganya serta pengorbanan waktunya dalam upaya membimbing penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. 3. Bapak dan Ibu dosen serta karyawan perpustakaan yang telah banyak membimbing dan membantu dalam penulisan skripsi ini. 4. Bapak dan Ibu tercinta yang senantiasa berkorban dan berdoa demi tercapainya cita-cita.
ix
5. Buat
seluruh anggota
keluarga
besarku
yang
selalu
mendorong
dan
mendo‟akanku demi selesainya skripsi ini. 6. Buat Dek Ningrum yang selalu mengingatkanku untuk segera menyelesaikan skripsi ini. 7. Buat Dek Arif Darojat (ER komputer), Om Paijo (BERKAH COM) dan Dek Yanti yang selalu siap bila aku butuh. 8. Buat sahabat-sahabatku di STAIN, khususnya angkatan 2006 yang telah dengan sabar dan ikhlas membantu dan menemani hari-hariku. Kepada semua pihak yang telah membantu penulis, tidak ada kata lain yang paling indah untuk diucapkan selain ucapan terima kasih dan do‟a kepada Allah SWT. Semoga amal baik mereka semua dapat diterima dan mendapat balasan berlipat dari-Nya. Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari sempurna, untuk itu penulis mengharapkan saran serta kritik agar bisa membantu kesempurnaan skripsi ini. Akhirnya hanya kepada Allah SWT penulis mohon pertolongan dan perlindungan serta petunjuk, dan semoga tulisan kecil ini dapat bermanfaat bagi penulis dan siapa saja yang membacanya. Salatiga, 16 Agustus 2011 Penulis
MUQOROBIN NIM 111 06 086
x
ABSTRAK Muqorobin. 2011. Pendidikan Berkeluarga dalam Kitab ‘Uqudullijain. Program Studi Pendidikan Agama Islam, Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Salatiga. Pembimbing : Prof. Dr. H. Budiharjo, M.Ag Kata Kunci : Pendidikan Berkeluarga dan Kitab ‘Uqudullijain. Penelitian ini merupakan upaya untuk mengetahui Pendidikan berkeluarga dalam kitab ‘Uqudillijain. Pertanyaan utama yang ingin dijawab melalui penelitian ini adalah: (1). Bagaimana biografi pengarang kitab ‘Uqudullijain. (2). Bagaimana sikap Syaikh Nawawi dalam kitab ‘Uqudullijain. (3). Bagaimana relevansi konsep berkeluarga dalam kitab ‘Uqudullijain dengan pendidikan Islam di Indonesia. Teknik pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan teknik metode interpretasi, metode induksi dan metode deduktif. Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa pendidikan berkeluarga dalam kitab „Uqudullijain yang ditawarkan Syaikh Nawawi mempunyai relevansi pada zamannya, tidak relevan bila diterapkan pada zaman sekarang dan perlu diadakan penyesuaian agar tetap relevan. Sedangkan jawaban dari pertanyaan di atas yang sesuai dengan hasil penelitian adalah sebagai berikut: (1) Pemikiran Syaikh Nawawi yang tertuang dalam kitab ‘Uqudullijain dikatakan sangat tradisionalis, itu dipengaruhi oleh waktu beliau mengarang sejak 114 tahun yang lalu, sehingga metode yang digunakan serta kultur yang berlaku saat itu sangat mendukung Syaikh Nawawi untuk menuangkan pikiranya yang bersifat tradisionalis. (2). Sikap Syaikh Nawawi dalam kitabnya yang tertuang dalam deskripsi pendidikan berkeluarga dalam kitab „Uqudullijain terlihat terlalu mensuperiorkan laki-laki dan mengekang hak dan merendahkan wanita, namun ada sedikit pendapat beliau yang menghargai wanita. Beliau juga terlihat ada dalam menafsirkan sebuah ayat Al-Quran yang secara tekstual berbeda dengan para penafsir kontemporer yang kontekstual. (3). Bicara masalah relevansi maka suatu karya ilmiah apapun pasti mempunyai relevansi pada zamannya masing-masing, tak bedanya kitab ‘Uqudullijain ini mempunyai relevansi pada waktu dikarang, tetapi karena zaman yang terus begitu majunya maka tidak menutup kemungkinan suatu isi kitabpun sudah tidak relevan lagi, sehinga harus dilakukan perombakan dan penyusaian, agar bisa mengikuti perkembangan Zaman dan tuntutan kebutuhan manusia.
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL ......................................................................................... i LEMBAR BERLOGO ........................................................................................... ii HALAMAN JUDUL ............................................................................................. iii NOTA PEMBIMBING .......................................................................................... iv PENGESAHAN KELULUSAN ............................................................................ v PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN .............................................................. vi MOTTO ................................................................................................................ vii PERSEMBAHAN ................................................................................................. viii KATA PENGANTAR .......................................................................................... ix ABSTRAK ........................................................................................................... xi DAFTAR ISI ........................................................................................................ xii BAB I
PENDAHULUAN ................................................................................ 1 A. Latar Belakang Masalah ................................................................. 1 B. Rumusan Masalah ........................................................................... 4 C. Tujuan Penelitian ........................................................................... 5 D. Kegunaan Penelitian ...................................................................... 5 E. Metode Penelitian .......................................................................... 5 F. Penegasan Istilah ........................................................................... 7 G. Sistematika Penulisan Skripsi ......................................................... 8
xii
BAB II
BIOGRAFI PENGARANG ................................................................... 10 A. Riwayat Hidup ............................................................................... 10 B. Riwayat Pendidikan ....................................................................... 15 C. Silsilah ........................................................................................... 20 D. Karya-Karya .................................................................................. 23
BAB III
DESKRIPSI KONSEP PENDIDIKAN BERKELUARGA DALAM KITAB
„UQUDULLIJAIN
KARYA
SYAIKH
MUHAMMAD
NAWAWI ........................................................................................... 25 A. Sekilas Tentang Kitab „Uqudullijain .............................................. 25 B. Hak-hak Istri atas Suami ................................................................ 27 C. Hak Suami Istri .............................................................................. 44 D. Keutamaan Shalat Wanita di Rumahnya ......................................... 60 E. Larangan Melihat Lawan Jenis ....................................................... 64 BAB IV RELEVANSI PENDIDIKAN BERUMAH
TANGGA MENURUT
SYAIKH NAWAWI DALAM KITAB „UQUDULLIJAIN DENGAN PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA ............................................ 69 A. Tinjauan Pendidikan Islam................................................................ 69 B. Analisis Konsep Pendidkan Berumah Tangga Menurut Syaikh Nawawi Dalam Kitab „Uqudullijain ............................................... 70 C. Relevansi Pendapat Syaikh Nawawi Dalam Kitab „Uqudullijain Dengan Realitas Keluarga Muslim Sekarang di Indonesia .............. 80 BAB V
PENUTUP ............................................................................................ 82
xiii
A. KESIMPULAN ................................................................................ 82 B. SARAN-SARAN .............................................................................. 83 DAFTAR PUSTAKA DAFTAR LAMPIRAN
xiv
1
BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
Rumah tangga merupakan markas atau pusat dimana denyut pergaulan hidup menggetar, dia merupakan susunan yang hidup mengekalkan keturunan. Sebenarnya rumah tangga adalah alam pergaulan manusia yang sudah diperkecil. Bukanlah di rumah tangga itu lahir dan tumbuh pula apa yang disebut kekuasaan, agama, pendidikan, hukum dan perusahaan. Keluarga adalah jamaah yang bulat, teratur dan sempurna (Leter, 1985: 2).
Berumah tangga merupakan tuntutan fitrah manusia sebagai makhluk sosial. Dalam sebuah keluarga, minimal terdiri atas seorang suami dan seorang istri yang selanjutnya muncul adanya anak atau anak-anak Keluarga muslim atau rumah tangga muslim adalah bagian utama dalam kehidupan kaum muslim. Karena keluarga memiliki peran terbesar dalam mencetak dan menumbuhkan generasi masa depan pilar utama dan perisai penyelamat bagi negara.
Keluarga merupakan pondasi awal dari bangunan masyarakat dan bangsa. Oleh karena itu, keselamatan dan kemurnian rumah tangga adalah faktor penentu bagi keselamatan dan kemurnian masyarakat, serta sebagai penentu kekuatan, kekokohan, dan keselamatan dari bangunan negara. Jadi, intinya bahwa apabila bangunan sebuah rumah tangga hancur maka sebagai konsekuensinya masyarakat serta negara bisa juga akan turut hancur.
2
Maka, sudah seharusnya di dalam sebuah keluarga juga dibutuhkan adanya seorang pemimpin keluarga yang tugasnya membimbing dan mengarahkan sekaligus mencukupi kebutuhan baik itu kebutuhan yang sifatnya dhohiriyah dan batiniyah di dalam rumah tangga tersebut agar terbentuk keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah. Di dalam al-Qur‟an disebutkan bahwa suami atau ayahlah yang mempuyai tugas memimpin keluarganya.
Seperti yang tertuang dalam QS. An-nisa‟: 34:
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh Karena Allah Telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan Karena mereka (laki-laki) Telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri[289] ketika suaminya tidak ada, oleh Karena Allah Telah memelihara (mereka)[290]. wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya[291], Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya[292]. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.”
3
Dan juga yang terdapat dalam QS. An-nisa‟: 24:
“Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah Telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang Telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah Mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu Telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha bijaksana.” Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang Maha Esa (Leter, 1985: 11). Didalam Alqur‟an tujuan perkawinan dijelaskan sebagai berikut, sesuai dengan firman Allah SWT QS. Ar-rum: 21:
4
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” Keluarga adalah amanat ilahi yang harus dipelihara dan dibina dengan baik sebagai tiang kehidupan masyarakat dan bangsa dalam menyiapkan generasi penerus, karena itu agama Islam sangat menitikberatkan kepada mutu (kualitas) suatu keluarga, sehingga dengan demikian akan terbentuk rumah tangga yang utuh, kuat, berbadan sehat dan berpikir jernih, mampu menghadapi tantangan kehidupan (Leter, 1985: 45).
Untuk itu sebagai umat Islam hendaknya kita kembali ke tradisi Rasulullah SAW dalam hal membina rumah tangga, seperti yang tertuang dalam kitab Uqudullijain yaitu kitab karangan Syekh Muhammad Nawawi. Di dalam kitab tersebut di termuat tata cara berkeluarga yang baik sesuai ajaran Rasullulah.
Dalam penelitian ini penulis ingin menunjukkan bagaimananakah etika yang baik dalam kehidupan berkeluarga sesuai kitab „Uqudullijain. Penulis berharap penelitian ini bisa menjadi acuan dalam membina rumah tangga yang sakinah, mawaddah wa rahmah sesuai dengan ajaran Rasulluah. Dan penulis berharap semoga kehidupan rumah tangga muslim bisa berjalan sesuai normanorma agama. Jadi, untuk tujuan ini penulis tertarik memberi judul penelitian
5
ini
KONSEP
PENDIDIKAN
‘UQUDULLIJAIN
KARYA
BERKELUARGA SYAIKH
DALAM
MUHAMMAD
KITAB
NAWAWI
RELEVANSINYA DENGAN PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang penulis ungkap guna untuk mempermudah dalam proses penelitian adalah: 1. Bagaimana biografi pengarang kitab „Uqudullijain ? 2. Bagaimana sikap Syaikh Nawawi dalam kitab „Uqudullijain ? 3. Bagaimana relevansi konsep berkeluarga dalam kitab „Uqudullijain dengan pendidikan Islam di Indonesia ? C. Tujuan Penelitian 1. Untuk Mengetahui biografi pengarang kitab „Uqudullijain. 2. Untuk mengetahui sikap Syaikh Nawawi dalam kitab „Uqudullijain. 3. Untuk mengetahui relevansi konsep berkeluarga dalam kitab „Uqudullijain dengan pendidikan Islam di Indonesia. D. Kegunaan Penelitian
Dari penelitian ini diharapkan akan mendapat berbagai manfaat yaitu:
1. Manfaat teoritis, maka akan di dapat suatu konsep pendidikan berkeluarga menurut tradisi Rasulullah.
6
2. Manfaat praktis, dapat memberikan manfaat pada suami istri agar dapat menciptakan keharmonisan dalam berumah tangga yang sesuai ajaran Rasulullah. E. Metode Penelitian Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan metode sebagai berikut: 1. Jenis dan sifat penelitian Melalui riset perpustakaan untuk mengkaji sumber-sumber tertulis yang telah dipublikasikan atau belum (Arikunto, 1980: 10). Adapun sumber data dalam penelitian ini dapat digolongkan menjadi dua, yaitu: a. Sumber Data primer Yaitu sumber data yang langsung berkaitan dengan obyek riset yaitu Kitab „Uqudullijain (Dhahara, 1980: 60). b. Sumber Data Sekunder Yaitu sumber data yang mengandung dan melengkapi sumbersumber data primer, adapun sumber data sekunder dalam penelitian ini adalah buku-buku atau karya ilmiah lain yang isinya dapat melengkapi data penelitian yang penulis teliti, seperti diantaranya kitab Qurrata A‟yun, Qurratul „Uyun beserta terjemahan dan karya-karya ilmiah lainnya. 2. Metode Analisis Data
7
Yaitu cara penanganan terhadap suatu obyek ilmiah tertentu dengan cara memilah-milah pengertian yang satu dengan yang lain. Dengan menggunakan metode ini tidaklah dimaksudkan untuk memperoleh pengertian yang baru, akan tetapi hanya mendapatkan kejelasan atau penjelasan suatu pengertian tertentu dari penelaahan obyek penelitian. Untuk lebih memahami obyek penelitian ini, maka penulis memilih metode analisis sebagai berikut: a. Interpretasi Isi buku diselami untuk dapat setepat mungkin menangkap arti dan nuansa uraian yang disajikan (Soemargono, 1983: 21). Karena dalam penelitian ini obyek nya adalah ayat-ayat AlQur‟an maka penulis akan menyelami dan memahami ayat yang penulis pilih sebagai Obyek penelitian. Disamping itu juga penulis pilih sumber-sumber lain yang penulis anggap representif terhadap penelitian ini. b. Metode induksi Yaitu metode yang berangkat dari fakta-fakta yang khusus, peristiwa-peristiwa konkret, kemudian dari fakta-fakta dan peristiwa yang konkret tersebut ditarik dalam generalisasi yang bersifat umum (Hadi, 1990: 26). F. Penegasan Istilah
Istilah banyak menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda, maka penulis perlu menjelaskan beberapa istilah yang di pakai dalam penelitian ini.
8
Hal ini penulis dimaksudkan untuk menghindari terjadinya kesalahpahaman dalam penafsiran terhadap istilah-istilah yang perlu dijelaskan sebagai berikut:
1. Pendidikan Pendidikan adalah bimbingan dan pimpinan secara sadar oleh si pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani si pendidik untuk menuju terbentuknya kepribadian yang utama (Marimba, 1960: 19). 2. Keluarga Keluarga adalah sanak saudara, kaum kerabat. Dapat pula berarti sekumpulan orang yang hidup dalam tempat tinggal bersama masingmasing anggota merasakan adanya pertalian batin, sehingga saling mempengaruhi, memperhatikan, menyerahkan diri, melengkapi dan menyempurnakan. (KBBI, 1989: 234). 3. Kitab „Uqudullijain Yaitu kitab tentang etika berumah tangga karya Syeikh Muhammad Nawawi. G. Sistematika Penulisan Skripsi 1. Bagian ini memuat bagian awal skripsi yang memuat halaman judul, notasi Dinas, halaman pengesahan, halaman pernyataan keaslian tulisan, halaman motto, halaman persembahan, halaman pengantar, halaman abstrak dan daftar isi. 2. Bagian utama Pada bagian ini terdiri lima bab, yaitu:
9
Bab I Pendahuluan; berisi tentang uraian latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, metode penelitian, penegasan istilah dan dan sistematika pembahasan. Bab II adalah berisi tentang Biografi pengarang kitab „Uqudullijain, pada bab ini membahas tentang riwayat hidup, riwayat pendidikan, silsilah, dan karya-karya Syaikh Muhammad Nawawi. Bab III adalah deskripsi pendidikan berkeluarga dalam kitab „Uqudullijain, dan pembahasan tentang pendidikan berkeluarga. Bab IV berisi tentang relevansi konsep berkeluarga dalam kitab „Uqudullijain dengan pendidikan Islam di Indonesia. Bab V merupakan penutup atau bagian akhir penulisan yang mencakup kesimpulan dan saran-saran. 3. Bagian akhir skripsi ini berisi tentang daftar pustaka, lampiranlampiran, dan daftar riwayat hidup penulis.
10
BAB II BIOGRAFI SYEIKH MUHAMMAD NAWAWI A. Riwayat Hidup Syeikh Muhammad Nawawi 1. Masa Kecil Syekh Muhammad Nawawi, lahir di Banten, pada tahun 1230 H/1813 M. Nama aslinya adalah Muhammad Nawawi Bin Umar Bin Arabi. Ia disebut juga Nawawi Al-Bantani. Di kalangan keluarganya, Syekh Nawawi Al Jawi dikenal dengan sebutan Abdul Mu‟ti. Ayahnya bernama KH. Umar Bin Arabi, seorang ulama dan penghulu di Tanara Banten. Ibunya Jubaidah, penduduk asli Tanara. Dari silsilah keturunan ayahnya, Syekh Nawawi merupakan salah satu keturunan Maulana Hasanuddin (Sultan Hasanuddin), putra Maulana Syarif Hidayatullah (Depag, 1992: 422). Syekh Nawawi terkenal sebagai salah seorang ulama besar di kalangan umat Islam internasional. Ia dikenal melalui karya-karya tulisnya. Beberapa julukan kehormatan dari Arab Saudi, Mesir dan Suriah diberikan kepadanya, seperti Sayid ulama Al-Hedzjaz, Mufti dan Fakih.
11
Dalam kehidupan sehari-hari ia tampil dengan sangat sederhana. Sejak kecil Syekh Nawawi telah mendapat pendidikan agama dari orang tuanya. Mata pelajaran yang diterimanya antara lain bahasa Arab, fikih dan ilmu tafsir. Selain itu ia belajar pada kyai Yusuf di Purwakarta. Pada usia 15 tahun ia pergi menunaikan ibadah haji ke Makkah dan bermukim di sana selama 3 tahun. Di Makkah ia belajar pada beberapa orang Syekh yang bertempat tinggal di Masjidil Haram, seperti Syekh Ahmad Nahrawi, Syekh Ahmad Dimyati dan Syekh Ahmad Zaini Dahlan. Ia juga pernah belajar di Madinah di bawah bimbingan Syekh Muhammad Khatib AlHanbali. Sekitar tahun 1248 H/1831 M ia kembali ke Indonesia. Di tempat kelahirannya ia membina pesantren peninggalan orang tuanya. Karena situasi politik yang tidak menguntungkan, ia kembali ke Makkah setelah 3 tahun berada di Tanara dan menuruskan belajarnya di sana. Sejak keberangkatannya yang kedua kalinya ini Syekh Nawawi tidak pernah kembali ke Indonesia. Beliau menetap di sana hingga akhir hayatnya. Beliau meninggal pada tanggal 25 Syawal 1314 H atau tahun 1897 M. Beliau wafat dalam usianya yang ke-84 tahun di tempat kediamannya yang terakhir yaitu kampung Syiib Ali Makkah (Depag, 1992: 423). Jenazahnya dikuburkan di pekuburan Ma‟la, Makkah, berdekatan dengan kuburan Ibnu Hajar dan Siti Asma Binti Abu Bakar Shiddiq. Beliau wafat pada saat sedang menyusun sebuah tulisan yang menguraikan Minhaj Ath-Thalibin-nya Iman Yahya bin Hasan bin Husain bin Muhammad bin Jama‟ah bin Hujam An-Nawawi (Hasan, 1987: 39).
12
Menurut catatan sejarah di Makkah ia berupaya mendalami ilmuilmu agama dari para gurunya, seperti Syekh Muhammad Khatib Sambas, Syekh Abdul Gani Bima, Syekh Yusuf Sumulaweni dan Syekh Abdul Hamid Dagastani. Dengan bekal pengetahuan agama yang telah ditekuninya selama lebih kurang 30 tahun, Syekh Nawawi setiap hari mengajar di Masjidil Haram. Murid-muridnya berasal dari berbagai penjuru dunia. Ada yang berasal dari Indonesia, seperti KH. Khalil (Bangkalan, Madura), KH. Asy‟ari (Jombang, Jawa Timur). Ada pula yang berasal dari Malaysia, seperti KH. Dawud (Perak). Ia mengajarkan pengetahuan agama secara mendalam kepada murid-muridnya, yang meliputi hampir seluruh bidang. Di samping membina pengajian, melalui murid-muridnya, Syekh Nawawi memantau perkembangan politik di tanah air dan menyumbangkan ide-ide dan pemikirannya untuk kemajuan masyarakat Indonesia. Di Makkah ia aktif membina suatu perkumpulan yang disebut Koloni Jawa, yang menghimpun masyarakat Indonesia yang berada di sana. Aktivitas koloni Jawa ini mendapat perhatian dan pengawasan khusus dari pemerintahan kolonial Belanda. Syekh Nawawi memliki beberapa pandangan dan pendirian yang khas. Diantaranya, dalam menghadapi pemerintahan kolonial, ia tidak agresif atau reaksioner. Namun demikian ia sangat anti bekerja sama dengan pihak kolonial dalam bentuk apapun. Ia lebih suka mengarahkan perhatiannya pada pendidikan, membekali murid-muridnya dengan jiwa keagamaan dan semangat untuk menegakkan kebenaran. Adapun terhadap orang kafir yang tidak menjajah,
13
ia membolehkan umat Islam berhubungan dengan mereka untuk tujuan kebaikan dunia. Ia memandang bahwa semua manusia adalah saudara, sekalipun dengan orang kafir. Ia juga menganggap bahwa pembaharuan dalam pemahaman agama perlu dilakukan untuk terus menggali hakikat kebenaran. Dalam menghadapi tantangan zaman, ia memandang umat Islam perlu menguasai berbagai bidang keterampilan atau keahlian ia memahami “Perbedaan Umat adalah Rahmat” dalam konteks keragaman kemampuan dan persaingan untuk kemajuan umat Islam. Dalam bidang syariat, ia mendasarkan pandangannya pada Al-Qur‟an, Hadist, Ijmak, dan Qiyas. Ini sesuai dengan dasar-dasar syari‟at yang dipakai oleh Iman Syafi‟i. Mengenai Ijtihad dan Taklid, ia berpendapat bahwa yang termasuk Mujtadhid (ahli ijtihad) mutlak ialah Imam Syafi‟i, Imam Hanafi, Imam Malik dan Imam Hambali. Bagi mereka haram bertaklid, sedangkan orangorang selain mereka, baik sebagai mujtahid Fi-Al Mazhab, Mujtahid AlMufti, maupun orang-orang awam/ masyarakat biasa, wajib taklid kepada salah satu mazhab dari mujtahid mutlak (Aziz, 1994: 23). 2. Perjalanan Hidup dan Gelar-Gelarnya Syeikh Nawawi memiliki kelebihan yang sangat hebat dalam dunia keulamaan melalui karya-karya tulisnya, maka kemudian ia diberi gelar Imam Nawawi kedua (Nawawi ats-Tsani). Orang pertama memberi gelar ini adalah Syeikh Wan Ahmad bin Muhammad Zain al-Fathani. Gelar ini akhirnya diikuti oleh semua orang yang menulis riwayat ulama asal dari Banten ini. Sekian banyak ulama dunia Islam sejak sesudah Imam Nawawi
14
pertama, Muhyiddin Abu Zakaria Yahya bin Syirfu (wafat 676 Hijrah/1277 Masehi) hingga saat ini, belum pernah ada orang lain yang mendapat gelaran Imam Nawawi kedua, kecuali Syeikh Nawawi yang kelahiran Banten (Imam Nawawi al-Bantani). Meskipun demikian masyhurnya nama Nawawi al-Bantani, namun Beliau adalah sosok pribadi yang sangat tawadhu‟. Terbukti kemudian, meskipun Syeikh Nawawi al-Bantani diakui alim dalam semua bidang ilmu keIslaman, namun dalam dunia tarekat para sufi, tidak pernah diketahui Beliau pernah membaiat seorang murid pun untuk menjadi pengikut thariqah. Hal ini dikarenakan, Syeikh Ahmad Khathib Sambas (Kalimantan),
guru
melantiknya
sebagai
Thariqah seorang
Syeikh
Nawawi
mursyid
al-Bantani,
Thariqat
tidak
Qadiriyah-
Naqsyabandiyah. Sedangkan yang dilantik ialah Syeikh Abdul Karim alBantani, sepupu Syeikh Nawawi al-Bantani, yang sama-sama menerima thariqat itu dari Syeikh Ahmad Khathib Sambas. Tidak diketahui secara pasti penyebab Nawawi al-Bantani tidak dibaiat sebagai Mursyid. Syeikh Nawawi al-Bantani sangat mematuhi peraturan, sehingga Beliau tidak pernah melantik seorang pun di antara para muridnya, walaupun sangat banyak di antara mereka yang menginginkan untuk menjalankan amalanamalan thariqah. Berkat kepakarannya, beliau mendapat bermacam-macam gelar. Di antaranya yang diberikan oleh Snouck Hourgronje, yang menggelarinya sebagai Doktor Ketuhanan. Kalangan Intelektual masa itu juga
15
menggelarinya sebagai al-Imam wa al-Fahm al-Mudaqqiq (Tokoh dan pakar dengan pemahaman yang sangat mendalam). Syaikh Nawawi bahkan juga mendapat gelar yang luar biasa sebagaia al-Sayyid al-„Ulama al-Hijâz (Tokoh Ulama Hijaz). Yang dimaksud dengan Hijaz ialah Jazirah Arab yang sekarang ini disebut Saudi Arabia. Sementara para Ulama Indonesia menggelarinya sebagai Bapak Kitab Kuning Indonesia (http://www.assafi-alfurqon.cocc/2010/10/biografi-syaikh-nawawi-tanaraal.html). B. Riwayat Pendidikan Syaikh Muhammad Nawawi 1. Perjalanan Pendidikan Syaikh Nawawi hidup di kalangan ulama dan pada masa kanakkanak beliau belajar ilmu agama bersama saudara-saudaranya dari ayahnya sendiri. Ilmu-ilmu yang dipelajari meliputi pengetahuan tentang bahasa, fiqih dan tafsir. Dari pengetahuan dasarnya itu, mendorong beliau untuk meneruskan pelajarannya ke bebeapa pesantren di Pulau Jawa. Pendidikan Syaikh Nawawi sebenarnya di latar belakangi oleh minat dan semangat dari Imam Syafi‟i yaitu imam besar yang wafat pada tahun 204 H. Beliau mempunyai makalah yang tertulis sebagaimana pertanyaan di bawah ini: “Tidak layak bagi orang-orang yang berakal dan berilmu. Untuk mencari ilmu tinggalkanlah negerimu, dan berkenanlah, engkau pasti akan menemukan pengganti orang-orang yang kamu cintai, bersusah payahlah karena sesungguhnya ketinggian derajat dan kehidupan bisa dicapai dengan kesusahan payahan” (Hasan, 1987: 40).
16
Pemikiran di atas nampaknya memacu Nawawi untuk selalu mengembara meninggalkan tanah airnya dan mendalami berbagai macam ilmu pengetahuan, terutama ilmu agama Islam. Nawawi manjadi terkenal di Indonesia karena beliau pandai menerangkan kata-kata bahasa arab yang artinya tidak jelas dan sulit. Sebagaimana yang tertulis dalam syair keagamaan. Kemasyhuran beliau karena karyanya yang banyak beredar di Negera Arab. Namun sebagian besar faham beliau berpijak pada Madzhab Syafi‟iyah. Di Kairo misalnya beliau terkenal dengan tafsirannya, sehingga beliau dijuluki dengan sebutan Sayyid „ulama Hijaz. Secara kronologis, pendidikan Nawawi dari berbagai sumber tidak dijelaskan secara rinci. Hanya saja ada sebagian sumber mengatakan bahwa cara berguru beliau berpindah-pindah dari satu guru ke guru yang lain. Guruguru beliau yang terkenal adalah Sayyid Ahmad Nahrawi, Sayyid Ahmad Dimyati dan Ahmad Zaini Dahlan. Ketiganya ini guru beliau yang berada di Makkah. Sedangkan di Madinah beliau belajar pada Muhammad Khatib Al Hambali. Dan selanjutnya beliau melanjutkan pelajarannya pada ulamaulama besar di Mesir dan Syam (Syiria) (Hasan, 1987: 41). 2. Guru-Guru Syaikh Muhammad Nawawi Syaikh Nawawi dalam pengembaraannya berguru kepada sejumlah ulama terkenal di Mekah, seperti Syaikh Khâtib al-Sambasi, Abdul Ghani Bima, Yusuf Sumbulaweni, „Abdul Hamîd Daghestani, Syaikh Sayyid Ahmad Nahrawi, Syaikh Ahmad Dimyati, Syaikh Ahmad Zaini Dahlan, Syaikh Muhammad Khatib Hambali, dan Syaikh Junaid Al-Betawi. Tapi
17
guru yang paling berpengaruh adalah Syaikh Sayyid Ahmad Nahrawi, Syaikh Junaid Al-Betawi dan Syaikh Ahmad Dimyati, ulama terkemuka di Mekah. Lewat ketiga Syaikh inilah karakter beliau terbentuk. Selain itu juga ada dua ulama lain yang berperan besar mengubah alam pikirannya, yaitu Syaikh Muhammad Khâtib dan Syaikh Ahmad Zaini Dahlan, ulama besar di Madinah. Tidak diketahui secara pasti, berapa lama Syaikh Nawawi mengembara keluar dari Makkah kerana menuntut ilmu hingga kembali lagi ke Makkah. Keseluruhan masa tinggal di Makkah dari mulai belajar
mengajar
dan
mengarang
hingga
sampai
kepuncak
kemasyhurannya lebih dari setengah abad lamanya (http://www.assafialfurqon.cocc/2010/10/biografi-syaikh-nawawi-tanara-al.html). 3. Murid-Murid Syaikh Muhammad Nawawi Syaikh Nawawi
al-Bantani
mengajar
di
Masjidil
Haram
menggunakan bahasa Jawa dan Sunda ketika memberi keterangan terjemahan kitab-kitab bahasa Arab. Murid-muridnya yang berasal-dari Nusantara banyak sekali yang kemudian menjadi ulama terkenal. Di antara mereka ialah, Kiai Haji Hasyim Asy‟ari Tebuireng, Jawa Timur; Kiai Haji Raden Asnawi Kudus, Jawa Tengah; Kiai Haji Tubagus Muhammad Asnawi Caringin, Banten; Syeikh Muhammad Zainuddin bin Badawi asSumbawi (Sumba, Nusa Tenggara); Syeikh Abdus Satar bin Abdul Wahhab as-Shidqi al-Makki, Sayid Ali bin Ali al-Habsyi al-Madani dan lain-lain. Tok Kelaba al-Fathani juga mengaku menerima satu amalan wirid dari Syeikh Abdul Qadir bin Mustafa al-Fathani yang diterima dari
18
Syaikh Nawawi al-Bantani. Salah seorang cucunya, yang mendapat pendidikan sepenuhnya dari Nawawi al-Bantani adalah Syeikh Abdul Haq bin Abdul Hannan al-Jawi al-Bantani (1285 H./1868 M.- 1324 H./1906 M.). Banyak pula murid Syaikh Nawawi al-Bantani yang memimpin secara langsung barisan jihad di Cilegon melawan penjajahan Belanda pada tahun 1888 Masehi. Di antara mereka yang dianggap sebagai pemimpin perlawanan Perjuangan di Cilegon ialah Haji Wasit, Haji Abdur Rahman, Haji Haris, Haji Arsyad Thawil, Haji Arsyad Qasir, Haji Aqib dan Tubagus Haji Ismail. Para ulama pejuang bangsa ini adalah murid Syaikh Nawawi al-Bantani yang dikader di Mekkah (http://www.assafialfurqon.cocc/2010/10/biografi-syaikh-nawawi-tanara-al.html). 4. Peran Keilmuan Syaikh Muhammad Nawawi Syaikh Nawawi dalam membukukan hasil karyanya adalah sangat tinggi dan hal ini cukup beralasan sebab beliau adalah ulama sufi. Hal ini terlihat hasil karyanya yang berhasil ditulis rata-rata berskala Islam dan menekankan pada aspek hukum, baik Islam maupun kemasyarakatan dan lain-lain. Namun hasil karya beliau banyak berupa kitab kuning dan berbahasa Arab, sebab beliau pada waktu mengembara di negeri Timur Tengah. Maka masyarakat Arab khususnya memberikan sebutan Hijazul ulama‟. Sebagai manusia biasa beliau dalam karya ilmiahnya selalu memberikan komentar tentang hasil pemikiran tak lepas dari kesalahan dan kelemahan (Dhofier, 1990: 56).
19
Pengaruh pemikiran Syaikh Nawawi adalah disebabkan beliau adalah satu orang yang produktif dan komunikatif, di samping beliau adalah seorang pujangga yang sudah hafal Al-Qur‟an sejak usia 18 tahun, di usia mudanya beliau dikenal sebagai mufti atau pembeli fatwa dan ahli dalam bidang ilmu fiqih. Syaikh Nawawi tidak saja dikenal sebagai orang yang ahli dalam bidang fiqih saja, namun beliau ahli dalam bidang tasawuf, bahkan dalam kehidupan beliau mempunyai tanda-tanda seorang wali, misalnya masalah tawakkal beliau mutlak seorang sufi. Ciri khas karangan beliau banyak bicara soal hukum Islam dan bermadzhab syafi‟i, kebanyakan dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia terutama masalah thoriqoh khususnya bagi masyarakat Banten. Pemikiran beliau ternyata banyak sekali mengutip pikiran para ulama salaf. Terutama masalah yang berkaitan pernikahan, ibadah dan lain-lain. Karangan beliau dalam masalah ibadah banyak diungkapkan lewat “kitab Kasifatussyaja”, kitab seperti ini banyak dipakai di pondok pesantren. Sedangkan yang membahas masalah ilmu kalam adalah kitab Tijan Addurary, kitab ini memuat sifat Allah. Dalam ilmu tauhid beliau memperkenalkan teori ada tidaknya Allah. Beliau menggunakan teori Daut Tasalsul (lingkaran yang berantai) atau lingkaran yang tidak ada ujungnya. Dalam ilmu tasawuf beliau yang amat terkenal dengan posisi Allah dan manusia terhadap manusia yang lain adalah amat berpengaruh. Kumpulan doa-doa yang baik berasal dari kutipan ayat-ayat AlQur‟an dan Al-Hadist, yang berisi doa-doa dipedomani oleh masyarakat
20
apabila wirid-wirid dalam amalan-amalan tertentu yang banyak diamalkan, adapula doa dan wirid beliau yang diangkat menjadi syair dan dikumandangkan oleh para muslimin dan muslimat di masjid, di musholamushola. Untuk menghargai jasa beliau khususnya bagi masyarakat Banten, setiap tahun di Banten di daerah kelahirannya mengadakan upacara haul (peringatan hari wafat) dan diprakarsai oleh keturunannya. Kegiatan ini semacam ini sudah menjadi kebiasaan masyarakat Tanara Banten, acara seperti ini biasanya sebagai acara resmi yang dihadiri oleh tokoh masyarakat dan para ulama setempat. Beliau tidak hanya terkenal dengan ahli fiqih saja, namun beliau juga masuk dalam lapangan pendidikan khususnya Islam. Kemudian untuk mendukung kelahiran dan nama Nawawi, masyarakat Banten mendirikan yayasan Pendidikan Islam dengan nama “An Nawawi” yang secara resmi berdiri 31 Januari 1979, dan berkedudukan di Tanara. Pernyataan di atas adalah salah satu paradigma yang patut di garis bawahi, bahwasannya Nawawi adalah sosok ulama yang patut diteladani baik dari segi intelektual atau kesufiannya wawasan keilmuan beliau mencerminkan seorang yang dicintai ilmu pengetahuan terutama adalah ilmu hukum Islam. Hal ini dilihat pada hasil karyanya yang cukup banyak, semua ditulis pada hasil karyanya yang menggunakan bahasa Arab. Selain gelar yang lain beliau juga seorang penganut aliran kesufian, seluruh kehidupannya dihabiskan untuk mengabdi kepada ilmu pengetahuan. Hal
21
ini beliau lakukan semata-mata karena Allah, beliau akan berusaha menjadi manusia yang selalu bertaqwa (Ali, 1987: 668). C. Silsilah Syaikh Muhammad Nawawi Syaikh Muhammad Nawawi mempunyai garis keturunan ayah dan ibu. Adapun garis keturunan ayah adalah sebagai berikut: Kyai Umar bin Kyai Ali bin Ki Jamad bin Ki Janta bin Ki Mas Bugil bin Ki Maskun bin Ki Masnun bin ki Maswi bin Tajul Arusy tanara bin Maulana Hasanuddin Banten bin Maulana Syarif Hidayatullah Cirebon bin Raja Amatuddin Abdullah bin Ali Nuruddin bin Malik bin Sayyid Alwi bin Sayyid Muhammad Shahib Mirabath bin Sayyid Ali khali‟ Qasim bin Sayyid Ali bin Imam Ubaidillah bin Imam Isa Naqib bin Imam Ali Al Ridhi bin Imam Ja‟far Al Shadiq bin Imam Ali Al Baqir bin Imam Ali Zainal Abidin bin Sayyiduna Fatimah Zahra binti Muhammad SAW. Adapun silsilah dari garis keturunan ibu adalah sebagai berikut: Imam Nawawi bin Nyi Zubaidah binti Muhammad Singaraja bin Kyai Ali bin ki Jamad bin ki Janta bin ki masyarakat bugil bin ki masnun bin Maulana Hasanuddin Banten bin maulana Syarif Hidayatullah Cirebon bin Raja Amatuddin Abdullah bin ali Nuruddin bin Maulana Jamaluddin Akbar Husain bin Imam Amir Abdullah Malik bin Sayyid Alwi bin Sayyid Muhammad Shahib Mirbath bin Sayyid Ali Khali‟qosim bin Sayyid Alwi bin Imam Ubaidillah bin Ahmad Muhajid ilallah bin Imam Isa Al Naqib bin Imam Muhammad Naqib bin Imam Ali al Riddhi Bin Imam Jafar al Shaddiq bin
22
Imam Muhammad Al Baqli bin Sayyiduna Husain bin Sayyiduna Fatimah Zahra binti Muhammad SAW. Untuk lebih jelasnya tentang silsilah Imam Nawawi dapat dilihat pada skema berikut ini: Muhammad SAW Sayyiduna Fatimah Zahra Sayyiduna Husein Imam Ali Zaenal Abidin Imam Muhammad Al Baqir Imam JA‟far Al Shadiq Imam Ali Al Ridha Imam Muhammad Naqib Ahmad Muhajir Ilallahi Imam Ubaidillah Sayid Alwi Amir Abdullah Malik Abdullah Ahmad Khan Imam Sayyid Ahmad Syah Jabal Maulana Jamaludin Akbar Husain Ali Nuruddin Raja Aminuddin Abdullah Maulana Syarif Hidayatullah Cirebon Maulana Hasanuddin Banten
23
Ki Tajul Arusy Tanara Ki Maswi Ki Masnun Ki Mas Bugil Ki Janta Ki Jamad Kyai Ali Muhammad Singaraja Kyai Umar
Nyi Zubaidah Syaikh Muhammad Nawawi
Syaikh Nawawi merupakan keturunan yang ke 12 dari Maulana Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati, Cirebon), yaitu keturunan dari putra Maulana Hasanuddin (Sultan Banten I) yang bernama Sunyaras (Tajul Arusy) (Ensyklopedi Islam Indonesia, 1992). D. Karya-Karya Syaikh Muhammad Nawawi Sebagai seorang Syaikh, ia menguasai hampir seluruh cabang ilmu agama, seperti ilmu tafsir, ilmu tauhid, fikih, akhlak, tarikh, dan bahasa Arab. Pendirian-pendiriannya, khususnya dalam bidang ilmu kalam dan fikih, bercorak Ahlusunnah Waljama‟ah. Keahliannya dalam bidang-bidang ilmu tersebut dapat dilihat melalui karya-karya tulisnya yang cukup banyak. Menurut suatu sumber, ia mengarang kitab sekitar 115 buah, sedangkan menurut sumber lain sekitar 99 buah, yang terdiri berbagai disiplin ilmu agama. Di antara karangannya, dalam bidang tafsir ia menyusur kitab Tafsir
24
Al-Munir (yang memberi sinar). Dalam bidang hadist, kitab Tanqih AlQoul/meluruskan pendapat (Syarah Lubab Al Hadist, As-Suyuti). Dalam bidang tauhid, diantaranya kitab Fath Al-Majid/pembuka bagi yang mulia (Syarah Ad-Durr Al-Farid Fi Al-Tauhid, Al Bajuri) yang berisi penjelasan tentang masalah tauhid. Dalam bidang fikih, diantaranya kitab Sullam Al Munajah/tangga untuk mencapai keselamatan (Syarah Safinah As-Salah), AtTausyih (Syarah Fath Al-Qarib
Al-Mujib, ibnu Qosun Al-Gazi) yang
menguraikan masalah-masalah fikih dan nihayah az-zen. Dalam bidang politik atau tasawuf, diantaranya kitab salalim al-fudala‟/tangga bagi para ulama terpandang (Syarah Manzumah Hidayah Al-Azkiya‟) Misbah Az-Zalam (penerang kegelapan), dan Bidayah Al-Hidayah. Dalam bidang tarikh, diantaranya kitab al-Ibriz Ad-Dani (emas yang dekat), Bugyah Al-Awam (kezaliman orang awam)dan Fathu As-Samad (kunci untuk mencapai yang maha memberi). Dalam bidang bahasa dan kesustraan, di antara kitab Fathu Gafir Al-Khatiyyah (Kunci untuk mencapai pengampunan kesalahan). Beberapa keistimewaan dari karya-karyanya telah ditemukan oleh peneliti, diantaranya kemampuan menghidupkan isi karangan sehingga dapat dijiwai oleh pembacanya, pemakaian bahasa yang mudah dipahami sehingga mampu menjelaskan istilah-istilah yang sulit dan keluasan isi karangannya. Buku-buku karangannya juga banyak digunakan di Timur Tengah (Aziz, 1994: 23-25).
25
BAB III DESKRIPSI KONSEP PENDIDIKAN BERKELUARGA DALAM KITAB 'UQUDULLIJJAIN KARYA SYAIKH MUHAMMAD NAWAWI A. Sekilas tentang Kitab 'Uqudullijain
Kitab 'Uqudullijain adalah sebuah kitab terkenal, khususnya di kalangan pesantren yang akrab disebut kitab kuning, kitab tersebut dikarang oleh Syaikh Muhammad Nawawi, beliau adalah salah seorang tokoh ulama besar yang dimiliki Negara Indonesia yang berasal dari provinsi Banten, beliau juga salah seorang warga Indonesia yang bermukim di Arab. Kitab 'Uqudullijain ini ditulis pada tahun 1294 H. Syaikh Nawawi mengatakan bahwa kitab kecil ini sangat penting bagi orang yang mengehendaki keharmonisan dalam membina rumah tangga yang berdasarkan Al-Qur‟an dan
26
hadist dan kisah-kisah para tokoh terdahulu dan juga komentar-komentar pribadi yang disusun dalam empat bab antara lain:
1. Hak Istri atas Suami Dalam pembahasan ini terdapat tinjauan penting antara lain adalah perlakuan baik suami terhadap istri, nafkah, maskawin serta pemberian lain dari suami. Selain itu, juga kewajiban suami memberikan pelajaran di bidang keagamaan sesuai dengan kebutuhan istri baik mengenai masalahmasalah ibadah wajib maupun sunah kendatipun sifatnya tidak muakkad. Kemudian mengenai masalah haid. Hal lain yang harus diajarkan suami adalah mengenai kewajiban istri mentaati suami dalam melakukan hal-hal yang tidak maksiat. 2. Hak Suami atas Istri. Dalam hubungan ini tinjauan pembahasan terkait dalam masalahmasalah seperti ketaatan istri terhadap suami di luar kemaksiatan, perlakuan baik istri terhadap suami, kemudian penyerahan diri istri kepada suaminya. Selain itu, adalah mengenai kewajiban istri untuk selalu di rumah suami, di samping menjaga diri dari perbuatan mesum. Tinjauan yang lain, yaitu masalah menutup aurat, serta kewajaran permintaan dan penampilan
selera
suci.
Selanjutnya
adalah
kejujuran
mengenai
keberadaan haid mupun ketiadaannya. 3. Keutamaan Sholat di Rumah bagi Wanita Pembahasan ketiga ini menyinggung masalah sholat bagi wanita, seperti melaksanakna sholat di dalam rumah, di dalam kamar, serta sholat
27
di luar rumah dan di masjid beserta Nabi Muhammad SAW. Di samping itu, juga menyinggung hal-hal pengaruh setan terhadap wanita, dan anjuran-anjuran Nabi Muhammad SAW sehubungan dengan pengaruh setan tersebut. Demikian pula masalah penampilan wanita yang sifatnya glamour
serta
pengaruhnya
terhadap
orang
banyak.
Selain
itu
menyinggung pula hal-hal seperti peringatan Nabi Muhammad SAW terhadap wanita, pandangan hukum terhadap tindakan wanita dan hal-hal lain yang sangat berguna bagi wanita. 4. Larangan bagi Laki-Laki Melihat Wanita Lain dan Sebaliknya Di sini, tinjauan diarahkan pada persoalan laki-laki dan wanita terutama menyangkut hal-hal yang diharamkan, seperti laki-laki melihat wanita yang bukan muhrimnya atau sebaliknya. Demikian pula halnya laki-laki yang sudah beristri atau wanita yang sudah bersuami. Di luar itu terdapat hal-hal seperti analogi hukum bagi remaja sehubungan dengan larangan di atas, dan masalah berjabat tangan, berdua di tempat yang sepi serta masalah-masalah lain yang tidak dibenarkan dalam agama (Bhustomi, 2000: 8-9). B. Hak-Hak Istri atas Suami
Ada beberapa pokok pembahasan yang penulis sajikan berbagai macam etika dalam membina rumah tangga menurut Syaikh Muhammad Nawawi dalam salah satu karyanya yaitu kitab „Uqudullijain. Syaikh Nawawi menjabarkan tugas-tugas seorang suami yang wajib dilakukan terhadap
28
seorang istri demi mewujudkan keluarga yang harmonis serta penuh kasih sayang dan cinta antara lain yaitu :
1. Perlakuan Baik terhadap Istri Syaikh Nawawi mengatakan dalam kitabnya hendaknya seorang suami mempergauli seorang istri dengan baik sesuai firman Allah SWT dalam QS. An-Nisa‟: 19:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka Karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang Telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) Karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” Dalam QS. al-Baqarah: 228, Allah SWT. Juga berfirman:
29
Artinya: “Dan mereka mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. akan tetapi Para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya.” Yang dimaksud dengan patut dalam firman Allah SWT. yang pertama adalah bijaksana. ini dimaksudkan bahwa laki-laki harus bijaksana dalam mengatur waktu untuk istri. Demikian pula dalam kaitannya dengan masalah nafkah yang merupakan bagian dari hak istri. Hal lain yang terkait dengan masalah kepatutan di sini ialah kehalusan dalam berbicara (Bustomi, 2000: 11-12). Ayat diatas memberikan jalan keluar, bagaimana wanita tetap mendapatkan hak-haknya meskipun suami dalam keadaan marah kepada isterinya. Ayat tersebut menerangkan agar suami berintropeksi diri barangkali isterinya bertindak salah karena ada sebab-sebab ketidak senangan, dan barangkali di dalam diri isterinya terdapat kebaikan yang tidak dapat diketahui oleh dirinya karena batasnya kemampuan yang dimilikinya. Al-Qur‟an masih tetap menganjurkan kepada suami agar tetap mempergauli isterinya dengan cara yang layak meskipun tidak senang padanya (Mahmud, 1991: 139). Mengenai masalah keseimbangan antara hak dan kewajiban wanita, firman Allah SWT. yang kedua itu menunjukkan bahwa laki-laki dan wanita mempunyai hak yang sama dalam menuntut kewajiban terhadap yang lain sebagai suami istri, bukan dalam masalah kelamin. Dalam hubungan ini, hak mereka berbeda. Karena laki-laki berhak untuk berpoligami. Adapun yang dimaksud dengan cara yang ma'ruf ialah cara
30
yang baik menurut pandangan agama, seperti bersopan santun, tidak melakukan hal-hal yang dapat melukai perasaan, baik bagi suami. maupun istri, bahkan sampai pada batas berdandan. Sebab, hal itu merupakan suatu cara yang ma‟ruf (Busthomi, 2000: 11). Islam telah menetapkan ketentuan yang seimbang antara hak dan kewajiban, bukan hanya dalam rumah tangga, tatapi juga dalam setiap permasalahan dan ketentuan yang ada. Hanya Islamlah yang mampu mengatur hukum yang berkenaan dengan umatnya pada penempatan masalah secara adil dan proporsoional, tidak ditambah atau dikurangi. Karena, setiap hamba memiliki hak dan kewajiban yang sama (Hamid, 1996: 120). Suami tidak hanya disuruh mengurus isterinya agar tidak berbuat kejelekan atau menghargai pendapatnya dan mempergaulinya dengan cara yang baik atau mengambil tindakan yang perlu untuk memberi peringatan kepada isterinya. Seperti: memisahkan tempat tidur, melimpahkan penyelesaian perselisihan dengan pengangkatan penengah yang adil dan seimbang apabila ia tidak dapat menyelesaikannya secara intern. Suami juga dianjurkan oleh sunah yang suci untuk berusaha dengan segala kemampuannya demi memuaskan istrinya, seperti halnya dirinya menginginkan agar istrinya berusaha dengan kemampuannnya memuaskan suaminya (Mahmud, 1991: 141). Selain itu, ada hal lain yang perlu disebutkan di sini, yaitu maksud ayat yang menyatakan bahwa laki-laki, yakni suami mempunyai tingkat
31
kelebihan daripada istri. Hal ini terkait dengan hak suami yang diperolehnya atas tanggung jawab suami itu sendiri dalam memberikan maskawin dan nafkah bagi istrinya. Dalam hubungan ini, suami berhak memperoleh ketaatan istri. Dengan demikian, maka istri wajib taat kepada suami sehubungan dengan tanggung jawabnya dalam mewujudkan dan memelihara kemaslahatan istri, di samping kesejahteraan hidupnya ditanggung suami (Busthomi, 2000: 12) Dalam suatu riwayat disebutkan bahwa Nabi Muhammad SAW. ketika melakukan ibadah haji wada', haji terakhir, beliau yang kala itu tepat pada hari Jumat, menyatakan khotbah hari Jumat. Setelah ucapan puji dan syukur kepada Allah SWT. beliau menyatakan:
(
).
Art inya: "Ketahuilah olehmu bahwa kamu sekalian hendaknya melaksanakan wasiatku, yaitu melakukan haI yang terbaik bagi wanita. Mereka itu tertahan di sisimu. Bagimu tidak ada pilihan lain dalam menghadapi mereka selain apa yang aku wasiatkan itu, kecuali kalau mereka melakukan fakhisyah' secara jelas. Apabila mereka melakukannya, makes kamu sekalian hendaknya menghindar dari mereka di tempest peraduan dan berikanlah pukulan yang tidak memberatkan. Akan tetapi kalau mereka taat kepadamu, makes kamu sekalian tidak boleh mencari jalan untuk memukul mereka. Ketahuilah bahwa kamu sekah~acn mempunyai hak atas istrimu dan mereka pun mempunyai hak atas dirimu. Adapun hak
32
kalian atas mereka adalah bahwa mereka itu tidak memperkenankan tilam milikmu tersentuh oleh orang lain yang tidak kamu sukai, dan tidak mengizinkan rumahmu dimasuki orang lain yang tidak kamu sukai pu1a. Dan ingatlah bahwa kamu sekalian hares menunjukkan kebaikanmu terhadap mereka balk dalam memberikan sandang maupun pangan." (HR. Tirmidzi, 1384, juz. 2: 315). 2. Bersikap Lembut terhadap Istri Syaikh Nawawi menjelaskan tentang isi dalam hadis di atas Nabi Muhammad SAW. bermaksud memberikan perhatian kepada kaum muslimin agar mendengarkan apa yang diwasiatkan kepada mereka dan selanjutnya melaksanakan wasiat itu. Dalam hal ini beliau menganjurkan agar kaum muslimin berhati lembut terhadap istri serta menunjukkan perilaku yang baik dalam bergaul dengan mereka. Itulah yang dimaksud dengan melakukan hal yang terbaik bagi wanita. Sebab, wasiat Nabi Muhammad Saw. dalam hadis di atas sudah barang tentu muncul karena faktor lemahnya wanita, termasuk di dalamnya kebutuhan wanita itu sendiri terhadap keluhuran budi suami sebagai seorang yang mampu menyediakan hal- hal yang menjadi keper luan mereka (Bust homi, 2000: 13-14). Rasul yang mulia telah mempergauli isteri-isterinya dengan baik. Secara suka rela beliau membantu mereka menyelesaikan pekerjaan dan kewajiban mereka sehari-hari. Aisyah mengatakan; “Rasulullah dahulu sering membantu pekerjaan keluarganya. Beliau keluar hanya untuk shalat, jika waktu shalat telah datang.” (Mahmud, 1991: 144). Di samping mempergauli istri dengan baik, suami juga wajib menjaga martabat dan kehormatan istrinya, mencegah istrinya jangan
33
sampai hina, jangan sampai istrinya berkata jelek. Inilah kecemburuan yang disukai Allah. Rasulullah SAW bersabda:
(
) Artinya: “Allah cemburu dan manusia cemburu, kecemburuan Allah ialah apabila ada hamba-Nya yang melanggar larangan-Nya.” (HR. Bukhari, t.t, juz. 3: 264) (Sa‟id, 2002: 163). 3. Hak Materi dan Nusyuz Mengenai kewajiban seorang suami terhadap memenuhi hak berupa materi terhadap istri telah tetap ketentuan Islam yang adil, yaitu suami memberi nafkah kepada istri, sebagai ganti dari ketidak bebasan istri karenanya, ketaatan padanya, mengurus urusan rumah tangga dan suaminya. Setip mereka mempunyai hak dan kewajiban. Seperti firman Allah pada QS. Al- Baqarah: 228:
Artinya: “Dan mereka mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. akan tetapi Para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya.” Perlu disebutkan di sini suatu riwayat lain yang berkaitan dengan apa yang dinyatakan Nabi Muhammad SAW. Dalam hadis di atas. Dalam riwayat itu beliau menyatakan hal-hal mengenai hak-hak istri baik di bidang sandang maupun pangan, di samping hak-hak memperoleh
34
pelajaran dari suami tatkala melakukan nusyuz. Dalam hubungan ini beliau bersabda:
(
).
Artinya: "Hak wanita atas suaminya ialah bahwa suami memberikan konsumsi pangan kepada istri apabila dia mengkonsumsi bahan pangan. Di samping itu, memberikan sandang kepadanya apabila dia berpakaian. Dan janganlah suami itu memukul bagian wajah istri, mengumpatnya serta menghindarinya kecuali di dalam rumah." (HR. Abu Dawud, t.t, juz. 2: 244-245). Salah satu hak yang wajib dipenuhi oleh suami terhadap istrinya adalah bertanggung jawab sepenuhnya untuk memberikan nafkahnya. Hal ini telah ditetapkan oleh al-Qur'an, hadist, dan ijma'. Nafkah ini bermacam-macam sesuai kebutuhan wanita: bisa berupa makanan, tempat tinggal, pelayanan (perhatian), pengobatan, dan pakaian meskipun wanita itu kaya (Hamid, 1996: 128). Terdapat di dalam kitab “An-Nasihah” bah wa seorang suami wajib memberi nafkah kepada isterinya dengan hati lega, karena hal itu merupakan diantara beberapa kewajiban yang harus dilakukan olehnya. Maka ia pun akan diberikan pahala karena diberi nafkah lahir kepada sang isteri itu telah dipenuhinya. Jadi seorang suami tidak dibenarkan melakukan ini, secara terpaksa dan terbebani oleh suatu tuntutan tradisi (Misbah, 1417: 141). Istri berhak minta nafkahnya kepada sang suami, jika sang suami akan bepergian jauh. Hal yang menggugurkan hak nafkah istri adalah
35
menggugurkan hak nafkah wanita dalam iddah raj'iyah, misalnya berbuat nusyuz (As‟ad, 1979: 198). Untuk mendapatkan nafkah harus dipenuhi beberapa syarat, apabila tidak terpenuhi, maka tidak berhak menerima nafkah. Syarat itu sebagai berikut: 1. Akadnya sah. 2. Perempuan itu sudah menyerahkan dirinya kepada suaminya. 3. Istri itu memungkinkan bagi si suami untuk dapat menikmati dirinya. 4. Istri
tidak
keberatan
untuk
pindah
tempat
apabila
suami
menghendakinya. 5. Kedua suami istri masih mampu melaksanakan kewajiban sebagai suami istri. Apabila syarat-syarat itu tidak terpenuhi, maka suami tidak berkewajiban memberi nafkah kepada istrinya (Sa‟id, 2002: 147). Nusyuz berarti sikap istri yang durhaka serta angkuh atas perintah Allah SWT agar mentaati suminya. Ada pula yang berpendapat bahwa Nusyuz itu saling membenci antara suami istri (Sufyan, 2007: 6). Nusyuz terjadi dengan istri menolak suami melakukan tamattu' walaupun dalam bentuk semacam memegang atau pada anggota tubuh yang dipilih suami (As‟ad, 1979: 216). Dalam kasus tertentu, yaitu ketika istri melakukan nusyuz, suami boleh memukul pada bagian badan di luar wajah istri. Sebab, hal ini merupakan hak istri itu sendiri manakala ia melakukan kesalahan. Dan itu
36
jelas dianjurkan oleh Nabi Muhammad SAW. kendatipun harus dilakukan setelah upaya "menghindar". Hal lain yang harus diperhatikan suami ialah bahwa istri tidak berhak mendapatkan penghinaan dari suami. Sebab, Nabi Muhammad SAW. dengan tegas melarangnya untuk mengumpat istri, yaitu dengan melontarkan kata-kata yang tidak disukainya, seperti mengatakan "dasar wanita jelek". Kemudian masalah "menghindar" seperti yang telah dimaklumi, Nabi Muhammad SAW. Melarang suami untuk menghindar dari istri kecuali di dalam rumah, yakni di tempat peraduan. Inilah ketentuan yang boleh dilakukan oleh suami manakala istri melakukan nusyuz. Adapaun hal lain di luar itu, seperti menghindar dalam konteks komunikasi secara lisan, tidak diisyaratkan di dalam hadis. Dengan demikian, suami tidak boleh membungkam atau membisu dalam kasus ini. Apabila hal itu dilakukan, berarti suami telah berbuat dosa, karena tindakan itu haram, kecuali karena uzur (Busthomi, 2000: 16). 4. Pendidikan terhadap Istri Termasuk kewajiban seorang suami terhadap istrinya tentang masalah pentingnya pendidikan telah diterangkan dalam kitab Risalatul mu‟awanah: Hendaklah engkau pun mendidik orang-orang yang bodoh, menunjukkan jalan yang lurus bagi mereka yang tersesat dan mengingatkan orang-orang yang terlena dengan segala tipuan dunia (Munawwir, 2007: 163).
37
Sebagai seorang suami, laki-laki wajib memperhatikan ajaranajaran agama yang terkait dengan segala sesuatu yang harus dilakukan terhadap istrinya. Sebab, Nabi Muhammad SAW. memberikan peringatan serius mengenai kewajiban dalam merealisasikan hak-hak wanita yang diperistrikannya (Busthomi, 2000: 17). Di dalam kitab “An-Nashihah” ditegaskan, suami wajib perintah kepada isterinya agar ia mau melakukan sholat dan lain sebagainya. Dan suami juga wajib mengajari isteri tentang kewajiban-kewajiban isteri bagi kesempurnaan agamanya, misalnya mengajari isteri tentang masalah haid dan cara mandi haid. Sebab Allah perintah kepada seorang suami agar ia mampu menjaga isterinya dari jilatan api neraka (Misbah, 1417: 135). Dalam hadis lain Nabi Muhammad SAW. memberikan petunjuk yang harus dilakukan oleh seorang laki-laki dalam memberikan segala sesuatu yang merupakan hak-hak seorang istri. Hal ini tercermin dalam suatu hadis yang menyatakan:
: (
).
Artinya: "Rasulullah SAW. Bersabda: “Sesungguhnya orang-orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah mereka yang paling baik akhlaknya dan paling lembut sikapnya kepada keluarganya.” (HR. Turmudzi, 1384, juz. 2: 315). Akhlak dalam hadis tersebut adalah budi pekerti yang luhur. Semua itu tentunya dimaksudkan sebagai realisasi dari kewajiban suami dalam mengejawantahkan hak-hak istri kendatipun hal ini merupakan
38
konsep yang lebih khusus. Dengan demikian, walaupun kata "keluarga" di sini memberikan pengertian yang luas karena melibatkan banyak unsur termasuk di dalamnya anak-anak, suami, dan kerabat dekatnya, istri sudah barang tentu mendapatkan prioritas khusus. Sebab, dialah yang berfungsi sebagai pendukung utama bagi terciptanya sebuah keluarga. Oleh sebab itu, kondisi etik
yang positif
sebagaimana telah disinyalir di dalam hadis tadi perlu mendapatkan penekanan khusus dalam pembicaraan mengenai kewajiban suami untuk mewujudkan hak-hak istri sehubungan dengan fungsi itu sendiri seperti tersebut di atas. Dalam hadits lain Nabi Muhammad cukup tegas dalam menganjurkan kewajiban etik seorang suami terhadap istri:
( ). Artinya: "orang yang terbaik di antara kamu sekalian adalah mereka yang paling balk terhadap istri, dan aku sendiri lebih balk dari pada kamu sekalian atas (kebaikanku) terhadap istriku. " (HR. Tir midzi, 1384, juz. 2: 45). 5. Sabar terhadap Istri Dalam hal ini Syaikh Nawawi menjelaskan dalam menerapkan norma-norma akhlak di dalam kehidupan rumah tangga, seorang suami harus memiliki pedoman moral yang strategis. Untuk itu, Nabi Muhammad SAW. memberikan petunjuk agar seorang suami bersabar hati dalam menghadapi cobaan istri. Dengan demikian, suami dapat melaksanakan kewajibannya
39
secara baik sesuai dengan ajaran agama untuk memahami cobaan dari istri (Busthomi, 2000: 19). Hendaklah engkau selalu sabar, karena sabar adalah sendi dasar yang harus kau miliki selama kamu hidup di dunia ini. Ia pun termasuk akhlak yang mulia dan keutamaan-keutamaan yang agung. Allah berfirman dalam QS. Al-Baqarah: 153 :
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar” (Munawwir, 2007: 203).
6. Pemu kulan terhadap Ist ri Syaikh Nawawi menjelaskan tentang beberapa hal yang dimana suami diperbolehkan memukul istri: 1. Suami boleh memukul istri karena suami menghendaki istri berhias dan bersolek, sedangkan istri tidak mengindahkan kehendak suami itu. Juga karena istri menolak ajakan ke tempat tidur. 2. Suami boleh memukul istri karena keluar dari rumah tanpa izin, memukul anaknya menangis, menyobek-nyobek pakaian suami, atau karena memegang jenggot suami seraya berkata, “Hai keledai, hai goblok,” sekalipun suami memaki istri terlebih dahulu.
40
3. Suami beleh memukul istri karena membuka mukanya dengan lelaki bukan muhrimnya, berbincang-bincang dengan lelaki lain, bicara dengan suami agar orang lain mendengar suaranya, memberikan sesuatu dari rumah istri yang tidak wajar diberikan, atau karena tidak mandi haid. Dalam hal ini memukul istri karena meninggalkan shalat ada dua pendapat. Yang lebih baik, sebaiknya suami memukul istri karena meninggalkan shalat, jika tidak mau melaksanakan shalat karena diperintah (Busthomi, 2000: 24-25). 7. Pesan-Pesan terhadap Seorang Laki-Laki Ketahuilah, sebaiknya suami itu melakukan hal-hal berikut kepada istri: 1. Memberikan
wasiat,
memerintahkan,
mengingatkan,
dan
menyenangkan hati istri. 2. Hendaknya
suami
memberikan
nafkah
istrinya
sesuai
kemampuannya, usaha dan kekuatannya. 3. Suami hendaknya dapat menahan diri, tidak mudah marah apabila istri menyakiti hatinya. 4. Suami hendaknya menundukkan dan menyenangkan hati istri dengan menuruti kehendaknya dengan kebaikan. Sebab, umumnya wanita itu kurang sempurna akal dan agamanya. 5. Suami hendaknya menyuruh istrinya melakukan perbuatan yang baik.
41
Syaikh Ramli mengatakan dalam kitab Umdatur Rabih, “Suami tidak boleh memukul istri karena meninggalkan salat maksudnya cukup memerintahkan salat.” 6. Sebagamana dikatakan oleh Syaikh „Athiyah, ”Suami hendaknya mengajar istrinya apa yang menjadi kebutuhan agamanya, dari hukum-hukum bersuci seperti mandi haid, janabat, wudlu dan tayammum.” 7. Suami harus mengajar berbagai macam ibadah kepada istri. Baik ibadah fardlu maupun sunat, seperti salat, zakat, puasa dan haji. Jika suaminya dapat mengajar sendiri, maka istri tidak boleh keluar rumah untuk bertanya kepada orang-orang alim atau ulama atau pergi ke tempat majlis ta‟lim atau pengajian kecuali izin suaminya. Jika suami tidak dapat mengajar sendiri karena kebodohannya maka sebagai gantinya dialah yang harus bertanya kepada ulama, lalu menerangkan jawabannya kepada sang istri. Jika suami tidak mampu keluar maka istri bo leh keluar untuk bertanya, bahkan wajib keluar, dan suami berdosa melarangnya. Allah SWT. berfirman dalam QS. At-Tahrim: 6:
42
Artinya: “hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” 8. Suami hendaknya mengajar budi pekerti yang baik kepada keluarganya. Sebab, manusia yang sangat berat siksanya pada hari kiamat adalah orang di mana keluarganya bodoh-bodoh dalam agama Islam. Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar r.a. dari Nabi Muhammad SAW. Beliau bersabda:
(
).
Artinya: “Setiap kamu adalah pemimpin dan akan dipertanggung jawabkan atas kepemimpinannya. Seorang suami menjadi pemimpin keluarganya dan dipertanggung jawabkan kepemimpinannya. Seorang istri menjadi pemimpin di rumah suaminya dan dipertanggung jawabkan atas kepemimpinannya. Seorang pelayan adalah pemimpin harta tuannya dan dipertnggung jawabkan dari kepemimpinannya. Seorang anak menjadi pemimpin harta orang tuanya dan dipertanggung jawabkan dari kepemimpinannya. Maka setiap kamu adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas kepemimpinanya.” (HR. Bukhori, t.t, juz. 2: 257). 8. Tanggung Jawab Seorang Pemimpin
43
Syaikh Nawawi menerangkan dalam kitabnya mengenai tanggung jawab sebagai seorang pemimpin bahwa Penguasa agung atau penggantinya adalah orang yang memimpin dan menjaga serta menguasai rakyatnya. Ia akan diminta tanggung jawab dalam memimpin rakyatnya, ataukah sudah menjaga hak-hak rakyatnya atau belum (Busthomi, 2000: 28). Apabila kaum laki-laki mengabaikan apa yang telah menjadi tugas dan kewajibannya, sedang kaum wanitanya telah melampaui batas kodratnya atau justru tidak melakukan tanggung jawabnya, maka keharmonisan dalam rumah tangga menjadi berantakan (Said, 1421: 277). Seorang suami menjadi pemimpin keluarga, istri dan anakanaknya. Ia akan dimintai tanggung jawab atas keluarganya, apakah sudah memenuhi hak-hak mereka atau belum, seperti memberi pakaian, memelihara, mengasuh, mendidik, dan yang lain seperti bergaul dengan baik kepada mereka atau tidak. Seorang istri menjadi pemimpin di rumah suaminya. Ia harus dapat mengatur penghidupan dengan baik, harus bersikap baik terhadap suami, serta memelihara harta suami dan anak-anaknya. Istri juga akan dimintai pertanggungan jawab atas kepemimpinannya, apakah sudah melaksanakan apa yang menjadi kewajibannya atau belum (Busthomi, 2000: 28-29). Istri juga harus mengatur pengeluarannya selama masih dalam batas
ketaatan
kepada
suaminya.
Isteri
tidak
diperkenankan
membelanjakan sesuatu atau memberi seseorang dari harta suaminya
44
kecuali dengan izin suaminya dan yakin bahwa ia rela untuk urusan itu (Mahmud, 1991: 151). Seorang pelayan harus menjaga harta tuannya dan menata apa yang menjadi kebaikannya. Pelayan juga akan dimintai tanggung jawabnya atas apa yang dikuasainya, apakah ia telah memenuhi kewajibannya atau belum. Seorang anak harus menjaga harta ayahnya dan mengaturnya dengan baik. Anak juga dimintai pertanggungan jawab atas apa yang dikuasainya, apakah sudah memenuhi atau belum. Jadi, setiap kamu adalah pemimpin, dan akan dipertanggungjawabkan kepemimpinannya. "Fa" dari kata “Fakullukum" menjadi jawab syarat yang terbuang. Kata itu bersifat umum. Ia dapat memasukkan seseorang yang hidup sendirian, belum beristri dan tidak punya pelayan. Sebab, orang seperti ini dapat dikategorikan sebagai pemimpin. Maksudnya, orang yang menjaga anggota tubuhnya sehingga mau melakukan kewajiban yang diperintahkan dan menjauhi segala larangan. Sementara itu, ulama mengatakan bahwa orang yang pertama kali mengganduli seorang lelaki di hari kiamat adalah keluarga dan anak-anaknya, mereka seraya berkata, “wahai Tuhan kami! Ambillah hak kami pada orang ini, karena ia tidak mengajarkan urusan agama kepada kami. Dan memberi makan kami dari yang haram, sedangkan kami tidak tahu.” Orang itu lalu dipukul, kemudian dibawa ke neraka.
45
Demikianlah sebagaimana disebutkan dalam kitab al-Jawahir karya Imam Abu Laits As-Samarqandi (Busthomi, 2000: 29-31).
C. Hak Suami Istri 1. Kepemimpinan Laki-Laki Syaikh Nawawi mendasarkan dalam hal ini sesuai firman Allah Ta‟ala dalam QS. An-Nisa‟: 34:
Artinya: “kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.” Hukum Allah telah menetapkan, bahwa dalam setiap bentuk makhluk yang dicipatakan Allah, pasti ada yang memimpin dan ada yang
46
dipimpin. Ada yang mengatur dan ada yang diatur. Hal itu agar pemikiranpemikiran tidak tumpang tindih dan keinginan-keinginan tidak bersimpang siur, yang mengakibatkan keretakan kerukunan, putus tali kasih sayang, pudar persatuan dan perselisihan (Fadlil, 1421: 149). Kaum laki-laki sebagai pemimpin bagi kaum wanita maksudnya bahwa kaum laki-laku harus menguasai dan mengurus keperluan istri termasuk mendidik budi pekerti mereka. Allah melebihkan kaum laki-laki atas kaum wanita karena laki-laki (suami) memberikan harta kepada kaum wanita (istri) dalam pernikahan, seperti maskawin dan nafkah. Para ulama ahli tafsir mengatakan bahwa kelebihan kaum laki-laki terhadap kaum wanita adalah dari banyak segi, yaitu dari segi hakiki dan syar'i. Pertama, dari segi hakiki atau kenyataan adalah dalam beberapa hal: 1.
Kecerdikan akal dan intelektual lelaki melebihi wanita.
2.
Lelaki lebih tabah menghadapi problem yang berat.
3.
Kekuatan lelaki melebihi wanita.
4.
Kapasitas ilmiah tulisan kaum lelaki.
5.
Ketrampilan lelaki dalam mengendarai kuda.
6.
Kaum lelaki banyak yang menjadi ulama.
7.
Para lelaki banyak menjadi imam besar maupun kecil.
8.
Kelebihan kaum lelaki dalam berperang.
9.
Kelebihan kaum lelaki dalam adzan, khotbah dan jumatan.
10. Kelebihan kaum lelaki dalam I‟tikaf.
47
11. Kelebihan kaum lelaki dalam saksi hudud dan qishas. 12. Kelebihan kaum lelaki dalam hak waris. 13. Kelebihan kaum lelaki dalam kedudukan ashabah. 14. Kelebihan kaum lelaki menjadi wali nikah. 15. Kaum lelaki berhak menjatuhkan talak. 16. Kaum lelaki berhak merujuk. 17. Kaum lelaki punya hak berpoligami. 18. Anak dinasabkan dari kaum lelaki. Kedua, Dari segi syar'i, yaitu melaksanakan dan memenuhi haknya sesuai ketentuan syara'. Seperti memberikan maskawin dan nafkah kepada istri. Demikian sebagaimana disebutkan didalam kitab Az-Zawajir oleh Ibnu Hajar (Busthomi, 2000: 33-34). Di antara sebab utama mengapa laki-laki diserahi tanggung jawab sebagai pemimpin adalah karena kekuatan fisiknya, kemampuan melindungi dari serangan musuh, dan mampu mencari nafkah, tanggung jawab mencari nafkah untuk memenuhi segala apa yang dibutuhkan oleh istrinya, anak-anaknya, dan segenap keluarganya (Hamid, 1996: 160). 2. Ketaatan Istri terhadap Suami Selanjutnya wanita-wanita yang saleh dalam ayat tersebut adalah wanita-wanita yang taat kepada Allah dan suaminya. Wanita-wanita itu memelihara hak suaminya, menjaga farjinya, serta memelihara rahasia dan barang-barang suaminya, karena Allah telah memelihara mereka. Maksudnya, Allah menjaga dan memberikan pertolongan kepada wanita-
48
wanita. Atau, Allah telah berpesan dan melarang wanita-wanita agar tidak berselisih (Busthomi, 2000: 34-35). Hak pertama atas suami atas isterinya adalah ketaatan. Allah telah mempercayakan kepemimpinan keluarga kepadannya, dan semua anggota keluargannya wajib menaatinya, sehingga ia dapat melaksanakan tugas kepemimpinan itu dengan mudah dan gampang tanpa menemui hambatan (Mahmud, 1991: 148). Seorang istri wajib taat kepada seorang suaminya, begitu juga tinggal di rumah suaminya, mengelola dan mengatur rumahnya serta menjaga dan mendidik anak-anaknya. Nabi bersabda "Seorang suami adalah pemimpin di rumahnya maka ia pun harus bertanggung jawab atas apa yang di pimpinnya. Sedangkan seorang istri juga pemimpin di rumah suaminya, dan ia harus bertanggung jawab atas apa yang di pimpinnya." (Hamid, 1996: 135). Wanita-wanita yang kamu khawatiri nusyuznya, maka nasehatilah mereka. Maksudnya, wanita-wanita yang kamu sangka meninggalkan kewajiban bersuami istri, seperti meninggalkan rumah tanpa izin suaminya dan menentang kamu dengan sombong, nasehatilah mereka dengan menakut-nakuti akan siksaan Allah. Memberikan nasehat di sini hukumnya sunah. Seperti seorang suami berkata kepada istrinya, "Takutlah kamu kepada Allah atas hak yang wajib kamu penuhi kepadaku, dan takutlah kamu akan siksaan Allah."
49
Suami juga hendaknya menjelaskan kepada istri bahwa perbuatan nusyuz itu dapat menggugurkan nafkah dan giliran. Nasehat itu tidak boleh disertai dengan mendiamkan dan memukul istri. Kalau istri menampakkan uzumya atau bertobat dan apa yang telah diperbuatnya tanpa uzur, maka suami disunatkan mengingatkan istri tentang hadis Bukhari dan Muslim bahwa Nabi Saw. bersabda:
. Artinya: “Jika istri itu bermalam meninggalkan tempat tidur suaminya, maka para malaikat mengutuknya hingga pagi.” (HR. Bukhori, t.t, juz. 3: 260). Demikian sebagaimana disebutkan di dalam syarah Nihayah `alal Ghayah. Maksud "Dan pisahkanlah diri dari tempat tidur mereka" adalah bahwa para suami diperintahkan meninggalkan para istri dari tempat tidurnya, bukan mendiamkan bicara dan memukul. Sebab memisahkan diri dari tempat tidur itu memberikan dampak yang jelas dalam mendidik para wanita. Kata "Dan pukullah mereka", maksudnya adalah bahwa wanita-wanita yang nusyuz itu boleh dipukul dengan pukulan yang tidak menyakitkan tubuh. Hal itu dilakukan kalau memang membawa faedah. Jika tidak, maka tidak perlu melakukan pemukulan. Jika akan memukul, tidak boleh sampai memukul muka dan anggota tubuh yang dapat menjadikan kerusakan tubuh. Tetapi memukul yang wajar saja. Bahkan yang lebih baik hendaknya suami memaafkan. Berbeda dengan wali anak kecil, itu lebih baik tidak memaafkan. Sebab, wali yang memukul anaknya yang masih kecil itu justru membawa kemaslahatan untuk mendidik anak.
50
Sedangkan pukulan suami terhadap istri, kemaslahatannya untuk dirinya sendiri. Menurut Imam Rafi'i, istri itu boleh dipukul kalau berkali-kali nusyuz. Tetapi menurut Imam Nawawi, istri itu boleh dipukul meskipun tidak berulang kali nusyuz, jika memang dapat memberikan faedah. Tafsir ayat ini menurut Nawawi demikian, "Wanita-wanita yang kalau kamu khawatiri nusyuznya, maka jika mereka ternyata nusyuz, pisahkanlah diri dari tempat tidur mereka dan pukullah mereka." Makna "Takhaafuuna (yang kamu khawatiri) di sini adalah Ta'lamuuna (kamu ketahui), yakni kamu melihat nusyuz istri itu, mengecualikan ketika terdapat tanda-tanda nusyuz dengan sebab ucapan. Seperti istri menjawab suaminya dengan perkataan yang kasar setelah bicara yang halus. Atau sebab perbuatan, seperti suami melihat istri berpaling dan cemberut setelah ia menghadapkan muka dengan bermuka manis. Jika hal ini terdapat tanda-tanda
nusyuz,
maka
suami
agar
menasehatinya.
Jangan
meninggalkan dan jangan memukul (Busthomi, 2000: 35-36) 3. Pahala Laki-Laki dan Wanita Syaikh Nawawi mendasarkan hal ini sesuai firman Allah dalam QS. An-Nisa‟: 32:
Artinya: “Bagi orang laki-laki ada bagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi Para wanita ada bagian dari apa yang mereka usahakan.”
51
Maksudnya, bagi para lelaki itu memperoleh pahala dari amal jihad yang dilakukannya, bagi para wanita juga punya hak memperoleh pahala dari apa yang diperbuatnya, yaitu menjaga farjinya, serta taat kepada Allah dan suaminya. Jadi para laki-laki dan wanita, dalam urusan pahala di akhirat memperoleh hak yang sama. Hal itu karena pahala satu kebaikan dilipatkan sepuluh kali, itu berlaku bagi laki-laki dan perempuan, kelebihan para laki-laki mengalahkan dan menguasai wanita itu hanya didunia. Demikian menurut Syaikh Sarbini dalam Tafsirnya (Busthomi, 2000: 39-40). Sang istri juga mendapatkan pahala seperti pahala seorang laki-laki yang berjihad, dengan cara berlaku baik kepada suami dan membina keluarganya. Suami bisa menjadi sebab datangnya pahala tersebut jika dia meniatkannya (Malik, 2010: 19). 4. Harta Suami Bahasan selanjutnya, para wanita sebaiknya mengetahui bahwa dirinya seperti sahaya yang dimiliki suami dan tawanan yang lemah tak berdaya dalam kekuasaan suami, maka wanita tidak boleh membelanjakan suami untuk apa saja kecuali dengan izinnya. Bahkan mayoritas ulama mengatakan istri itu mendapatkan izin suami, karena istri itu seperti orang yang tertahan perbelanjaannya karena suami (Busthomi, 2000: 41). Di antara hak suami dari isterinya adalah penjagaan isteri atas kekayaan suaminya. Ia juga harus mengatur pengeluarannya selama masih dalam batas ketaatan kepada suaminya. Isteri tidak diperkenankan
52
membelanjakan sesuatu atau memberi seseorang dari harta suaminya kecuali dengan izin suaminya dan yakin bahwa ia rela untuk urusan itu (Mahmud, 1991: 151). 5. Istri dan Rasa Malu Dalam kitab tersebut dijelaskan bahwa istri wajib merasa malu terhadap suami, tidak berani menentang, menundukkan muka dan pandangannya dihadapan suami, taat kepada suami ketika diperintah apa saja kecuali maksiat, diam ketika suami berbicara, menjemput kedatangan suami ketika keluar rumah, menampakkan cintanya kepada suami ketika suami mendekatinya, menyenangkan suami ketika akan tidur, mengenakan harum-haruman, membiasakan merawat mulut dari bau yang tidak menyenangkan dengan misik dan harum-haruman, membersihkan pakaian, membiasakan berhias diri dihadapan suami dan tidak boleh berhias bila ditinggal suami (Busthomi, 2000: 41).
6. Pemberian kepada Orang Lain Kitab tersebut juga menyebutkan bahwa istri hendaknya tidak berhianat pada suami ketika suami sedang pergi dari tempat tidurnya, istri tidak boleh menyelewengkan harta suami. Rasulullah SAW. bersabda:
53
. Artinya: “Istri tidak boleh memberi makan orang lain dari rumah suminya tanpa izinnya, kecuali makanan basah-basah yang dikhawatirkan basi. Jika ia memberi makan dari izin suaminya, maka ia memperoleh pahala seperti pahala suaminya, dan jika ia memberi makan tanpa seizin suaminya, maka suaminya mendapat pahala, sedangkan istri mendapat dosa.” (HR Abu Dawud, t.t, juz. 2: 131). 7. Memuliakan Keluarga Suami Selanjutnya istri hendaknya memuliakan keluarga suami dan famili-familinya sekalipun berupa ucapan yang baik. Istri juga harus memandang pemberian sedikit dari suami sebagai hal yang banyak, menerima perbuatan suami, memandang utama dan bersyukur atas sikap suami, dan tidak boleh menolak permintaan suami sekalipun dipunggung unta (Busthomi, 2000: 42). 8. Adab Bersetubuh Menurut Syaikh Nawawi seorang suami tidak boleh menyetubuhi istri dihadapan lelaki atau wanita lain. Pada waktu suami ingin mengumpuli istri disunahkan memulai dengan membaca basmalah, surat ikhlash, kalimat takbir dan tahlil serta membaca do‟a sesuai sabda Nabi Muhammad SAW:
. Artinya: “Sesungguhnya kalau seorang dari kamu mendatangi istrinya, hendaklah ia membaca, Allahuma jannibnisy syaithaana wa jannibisy syaithaana maa razaqtanaa (Ya Allah, jauhkanlah diriku dari syaitan dan
54
jauhkanlah setan dari apa yang telah engkau rezekikan kepada kami) maka jika dari keduanya melahirkan anak, setan tidak dapat berbuat bahaya.” (HR. Muslim, t.t, juz. 1: 606). Jika anda telah mendekati orgasme, maka bacalah do‟a dalam hati dengan menggerakkan bibir anda:
. Artinya: “Segala puji bagi Allah yang telah menciptakan manusia dari air, lalu dijadikan manusia itu punya keturunan dan mushaharah dan Tuhanmu adalah maha Esa.” Suami istri yang melakukan persetubuhan tidak boleh menghadap kiblat. Jangan bersenggama menghadap kiblat, karena memuliakan kiblat. Ketika bersenggama hendaknya menutupi tubuhnya dan tubuh istrinya dengan selimut (Busthomi, 2000: 44). Beberapa Adab Bercampur dalam Islam: 1. Suami dilarang membayangkan orang lain ketika bercampur dengan istrinya, karena hal itu termasuk zina, begitu pula larangan ini berlaku untuk isteri. Para ulama‟ berpendapat: “Barang siapa mengambil segelas air putih lalu meminumnya dan pada saat yang sama ia membayangkan air putih tersebut adalah khamr, maka air yang ia minum itu haram baginya.” 2. Percampuran itu boleh dilakukan setiap bulan, setiap waktu, atau setiap hari, atau pada setiap siang dan malam, kecuali waktu haid, nifas, puasa, dan ihram. Sedangkan mandi jumat adalah sunah muakkad, meskipun tidak didahului dengan percampuran.
55
3. Suami dilarang memegang penisnya dengan tangan kanan, dan dilarang mendatangi isterinya setelah ia bermimpi (bercampur) dengan orang lain, kecuali setelah ia mandi, mencuci penisnya atau berusaha kencing agar air mani bekas mimpinya bersih. 4. Pengantin
laki-laki
diperkenankan
membayar
sesuatu
kepada
pasangannya sebagai imbalan agar ia melepas bajunya. Ia juga tidak diperkenankan membayar sesuatu agar isterinya mau bercampur dengannya. Sebab itu adalah zina. 5. Sangat dianjurkan kepada pasangan suami-isteri untuk menggosok gigi dan membersihkan mulut mereka, kemudian memakai wewangian yang khusus digunakan untuk mengharumkan mulut, karena hal itu akan lebih melekatkan hubungan mereka berdua, dan menambah rasa cinta. 6. Jika suami mendatangi istrinya, kemudian ingin mengulanginya lagi, maka hendaklah ia berwudlu. 7. Jika suami istri ingin tidur, tapi mereka dalam keadaan junub, maka keduanya diperintahkan berwudlu juga. 8. Diwajibkan mandi setelah bercampur, jika hendak melakukan salat, dan mandi sebelum tidur itu lebih utama. 9. Pasangan pengantin itu boleh mandi berdua bersama pada satu tempat (Mahmud, 1991: 90-92). 9. Istri dan Puasa
56
Selanjutnya, seorang istri hendaknya tidak berpuasa sunat, selain puasa arafah dan asyura‟, kalau tidak mendapat izin suaminya, kalau ternyata istri berpuasa, maka ia hanya mendapat letih dan dahaga, sedangkan puasanya tidak akan diterima (Busthomi, 2000: 44). Isteri tidak boleh melakukan puasa sunah kecuali atas izin suaminya dan tidak boleh memberi izin seseorang untuk memasukki rumahnya kecuali atas izinya. Laki-laki punya hak agar isteri tidak berpuasa kecuali atas izinya, dan isteri tidak boleh memberikan izin suaminya (Mahmud, 1991: 154). Salah satu ketaatan istri pada suami adalah hendaknya sang istri tidak melakukan puasa sunah kecuali dengan izin suaminya, tidak pergi haji sunah kecuali dengan izin suaminya, tidak keluar rumah kecuali dengan izin suaminya (Hamid, 1996: 169). 10. Perizinan Suami Istri hendaknya tidak bepergian dari rumah kecuali mendapat izin dari suaminya. Jika keluar tanpa izin suaminya, maka ia mendapat kutukan dari malaikat rahmat dan adzab, hingga ia kerumahnya sekalipun suaminya itu zalim. Karena melarang keluarnya istri. Kalau keluar rumah dengan izin suami, hendaknya dengan menyamar dan mengenakan pakaian yang tidak baik. Carilah tempat yang sepi. Bukan jalan umum atau pasar. Juga menjaga dirinya jangan sampai orang lain mendengar suaranya atau melihat postur tubuhnya. Dan tidak boleh memperlihatkan dirinya pada keluarga dan famili suaminya (Busthomi, 2000: 44).
57
Hendaknya seorang istri tidak keluar rumah kecuali dengan izin suaminya. Apabila istri melakukannya, maka Allah dan malaikat-malaikatNya melaknati sang istri sampai ia bertobat dan kembali kepada suaminya meskipun suami berbuat aniaya. Dan hendaknya istri tidak memasukkan seseorang yang tidak disukai suaminya kecuali dengan izin suaminya (Hamid, 1996: 170). 11. Terhapusnya Amal Seorang Istri Maksudnya wanita itu mengingkari suaminya sehingga segala amal kebaikannya dilenyapkan oleh Allah, dan rusaknya amal itu sebagai balasan kepada istri. Artinya, pahala Allah itu terhalang. Kecuali ketika ia kembali mengakui kebaikan suaminya. Demikian kalau memang ucapannya itu benar. Istri tidak boleh dicela sebagaimana ucapan budak kepada tuannya. Rasulullah SAW. Bersabda:
. Artinya: “Wanita yang meminta suaminya menalak tanpa ada alasan yang mendesak, maka haram baginya bau surga.” (HR. Abu Dawud, t.t, juz. 2: 268). Ibnu Ruslan berkata, “Andaikan suami takut bahwa wanita itu tidak dapat melaksanakan ketentuan-ketentuan hukum Allah yang sesuai dengan kewajibannya, seperti baiknya mempergauli, karena istri benci kepada suami atau karena suami membahayakannya, maka wanita itu terhalang, tidak dapat memperoleh bau surga.” Kalau wanita itu sangat
58
sengsara karena benci kepada suaminya, sebab suaminya tidak pernah mengurusnya, maka yang demikian itu tidak haram istri minta cerai.” (Busthomi, 2000: 50-52). 12. Wanita-Wanita Ahli Surga Menurut Syaikh Nawawi diantara wanita yang ada di surga nanti adalah wanita yang mempunyai sifat malu, kalau ditinggal pergi suaminya, ia menjaga diri dan harta suaminya. Termasuk wanita yang di surga adalah wanita yang ditinggal mati suaminya dengan meninggalkan anak-anaknya yang masih kecil sebagai anak yatim. Lalu wanita itu memelihara, mengasuh dan mendidik mereka dengan baik. Ia pun selalu bersikap baik kepada anak-anaknya dan tidak akan kawin lagi karena hawatir menyianyiakan anaknya (Busthomi, 2000: 57-58). 13. Wanita-Wanita Ahli Neraka Selanjutnya, Syaikh Nawawi menjelaskan didalam kitabnya wanitwanita yang masuk neraka, diantaranya adalah: 1. wanita yang lancang mulutnya terhadap suami, dan jika suami pergi ia tidak menjaga dirinya, sedangkan jika suami dirumah ia selalu menyakitkan hatinya. 2. Wanita yang memaksa-maksa menuntut suaminya yang ia tidak mampu memenuhinya. 3. Wanita yang tidak menutupi dirinya dengan lelaki lain dan ia keluar dari rumahnya dengan berhias dan bersolek serta menampakkan kecantikannya kepada lelaki lain (Busthomi, 2000: 59-60).
59
14. Kewajiban Istri terhadap Suami Dalam kitab tersebut Rasululah SAW bersabda, “sesungguhnya sebagian hak-hak suami kepada istri adalah: 1.
Apabila suami membutuhkan diri istrinya sekalipun istri sedang berada di punggung unta, ia tidak boleh menolak.
2.
Istri tidak boleh memberikan apa saja dari rumah suaminya jika tidak mendapat izin suaminya. Kalau istri memberikan sesuatu tanpa izinnya, maka istri berdosa dan suami mendapatkan pahala.
3. Istri tidak boleh berpuasa jika tidak mendapatkan izin suaminya, karena ia hanya akan merasakan letih dan dahaga, sedangkan puasanya tidak akan diterima Allah.
4. Jika istri keluar dari rumah tanpa izin suaminya, maka ia mendapat laknat dari para malaikat hingga ia kembali kerumahnya dan bertaubat (Busthomi, 2000: 61). 15. Siksaan Wanita di Neraka Sayyidina Ali karramallaahu wajhah datang kepada Nabi SAW. bersama Fatimah. Tiba-tiba mereka menjumpai beliau sedang menangis dengan tangisan yang sangat. Ali pun bertanya kepada beliau, “Ayah dan ibuku menjadi tebusanmu wahai Rasulullah.” Maksudnya, kesusahan dan tangisanmu akan saya tebus dengan ayah dan ibu saya, karen saya sangat mencintaimu. Apa yang menjadikan engkau menangis?” Rasulullah bersabda, “Wahai Ali, ketika kdiperjalanan ke langit, aku melihat para wanita dari umatku di siksa di neraka jahanam dengan
60
berbagai macam siksaan. Maka saya menangis karena melihat bertanya siksaan mereka itu.” Kemudian
beliau
menjelaskan
secara
keseluruhan
dengan
sabdanya: 1.
Aku melihat seorang wanita yang digantung dengan rambut dan otaknya mendidih.
2.
Aku melihat seorang wanita yang digantung dengan lidahnya, lalu air mendidih yang sangat panas dituangkan pada tenggorokannya.
3.
Aku melihat wanita yang digantung dengan puting susunya, dan kedua tangannya diikat pada ubun-ubunnya, lalu Allah menguasakan padanya ular-ular dan kala jengking (untuk menyiksanya).
4.
Aku melihat wanita dimana kepadalanya seperti kepala babi dan tubuhnya seperti tubuh keledai, dan ia dihadapkan beribu-ribu siksaan.
5.
Aku melihat seorang wanita dengan bentuk rupa anjing, sedangkan api masuk dari mulutnya dan keluar dari duburnya, lalu para malaikat memukuli kepalanya dengan palu-palu dari api. Ringkasnya, suami terhadap istri dalam rumah tangga adalah ibarat
orang tua terhadap anaknya. Karena ketaatan anak kepada orang tua dan mencari keridhaannya adalah wajib, dan yang demikian itu tidak wajib bagi suami (Busthomi, 2000: 61-62).
D. Keutamaan Shalat Wanita di Rumahnya 1. Shalat di Masjid Dan di Rumah
61
Syaikh Nawawi mendasarkan pada suatu hadis pada masalah sholat di masjid dan di rumah bagi wanita, Rasulullah SAW bersabda:
. Artinya: “Shalat wanita di rumahnya lebih utama dari shalat diruangan rumahnya, dan shalatnya dikamar lebih utama daripada shalatnya di rumahnya.” (HR. Abu Dawud, t.t, juz. 1: 156). 2. Penampilan Wanita Diriwayatkan dari Aisyah r.a. bahwa pada suatu hari Rasulullah SAW. Duduk di masjid, kemudian ada seorang wanita dari dusun Muzainah masuk masjid dengan memanjangkan pakaiannya dan menampakkan perhiasannya. Maka Nabi SAW. bersabda :
. Artinya: “Wahai sekalian manusia, laranglah wanita-wanita berhias dan bergaya di masjid, karena Bani Israil itu tidak dikutuk melainkan mereka memperhias wanit-wanitanya dan berjalan dengan bergaya di masjid” (HR. Ibnu Majah). Wanita masuk neraka itu sebagian besar karena sedikitnya ketaatan mereka kepada Allah, Rasul dan Suaminya. Mereka juga memperlihatkan perhiasannya, mengingkari suaminya. Dan tidak mau bersabar dalam menghadapi berbagai cobaan. Perempuan menanggalkan pakaian, menampakkan kecantikannya berarti mengalahkan sifat khusus perempuan, yaitu malu dan terhormat, berarti menghancurkan sifat kemanusiaannya yang luhur. Tidak ada yang
62
membersihkan kotoran yang melekat pada diri perempuan yang tidak punya rasa sifat malu ini selain neraka jahannam (Sa‟id, 2002: 198). 3. Aurat Wanita Yang dimaksud menampakkan perhiasanya adalah bahwa wanita itu keluar dari rumahnya dengan mengenakan pakaian yang indah-indah, bersolek mempercantik diri, dan keluar dengan membuat fitnah orang lain dengan cara menarik perhatian dan memikat orang lain, sehingga ia jatuh cinta pada dirinya. Kalau diri wanita itu selamat dan aman, namun lelaki lain justru tidak selamat dari fitnah, oleh karenanya Rasulullah SAW. Bersabda:
. . Artinya: “Wanita adalah aurat, maka jika ia keluar dari rumahnya, ia diawasi setan, dan wanita yang paling dekat kepada Allah adalah apabila wania itu berada dalam rumahnya.” (HR. Tirmidzi, 1384, juz. 2: 319). Hadis tersebut menjelaskan bahwa wanita adalah aurat, karena termasuk kotor jika menampakkan diri pada lelaki lain, jika ia keluar dari rumahnya diintai setan, akan disesatkan lalu dijerumuskan, dan jatuh ke jurang fitnah, sekalipun setan itu berupa manusia karena serupa dengan ketakutannya. Sedangkan wanita yang paling dekat kepada Allah adalah apabila ia berada di rumahnya. Dalam berpakaian disunahkan berniat untuk menutupi aurat. Karena Allah memerintahkan untuk menutupi aurat. Janganlah berpakaian
63
dengan pakaian yang terlalu bagus atau terlalu buruk. Berpakaianlah dengan pakaian yang bernilai sedang (Sa‟id, 2002: 94). 4. Larangan Berhias Wanita ketika Keluar Rumah Hatim Al-Asham berkata, “Wanita shalehah menjadi tiang agama dan kemakmuran rumah tangga serta dapat membantu ketaatan terhadap suaminya. Apabila wanita yang ingkar terhadap aturan hidupnya, dapat membuat hancur hati suami, sedang ia sendiri tertawa.” Abdullah bin Umar juga berkata: “Tanda wanita ahli neraka adalah tertawa jika berhadapan dengan suaminya dan mengkhianatinya apabila suami membelakangi.” Hatim Al-Asham berkata bahwa diantara tanda-tanda wanita salehah adalah: 1.
Mencintai suaminya karena takut kepada Allah.
2.
Merasa cukup dan menerima pemberian Allah.
3.
Perhiasannya berupa sifat sosial dan pemurah atas harta yang dimiliki.
4.
Ibadahnya berbuat baik dan berkhidmat kepada suami.
5.
Cita-citanya bersiap-siap menghadapi mati. Termasuk dosa besar adalah keluarnya wanita yang telah bersuami
tanpa seizin suaminya, sekalipun karena matinya salah seorang dari kedua orang tuanya untuk menghormati jenazahnya (Busthomi, 2000: 75-76).
5. Pesan-Pesan bagi Wanita
64
Ada seorang wanita menyampaikan beberapa pesan kepada putrinya, “Peliharalah sepuluh perkara ini, dan menjadi tabungan kekayaan yang akan bermanfaat bagimu: 1.
Hendaknya bersifat qanaah, merasa cukup atas pemberian Allah.
2.
Hendaknya selalu memperhatikan dengan baik dan menaati suaminya.
3.
Meneliti jatuhnya pandangan suami, maksudnya jangan sampai suamimu melihatmu sedang berbuat kejahatan.
4.
Meneliti jatuhnya hidung suamimu mencium bau, artinya jangan sampai suamimu mencium bau yang tidak enak dari tubuhmu.
5.
Meneliti waktu makannya suami, karena rasa sangat lapar itu menjadikan berkobarnya hati.
6.
Meneliti waktu tidurnya suami, karena sulitnya tidur dapat menjadikan marah-marah.
7.
Menjaga harta suami
8.
Menjaga hubungan baik dengan keluarga dan famili suami.
9.
Jangan mengingkari dan mendurhakai perintah suami, karena jika kamu mendurhakai perintah suamimu, niscaya dapat menyempitkan hati suami.
10. Jangan menyiarkan rahasia suami. Sebab, jika kamu menyiarkan rahasia suami, maka kamu pasti tidak aman dari mengkhianati suami. Kemudian berhati-hatilah! Jangan sampai kamu bersenang-senang dihadapan suami yang sedang duka hatinya, dan kamu tidak boleh
65
menampakkan kesusahan dihadapan suami yang sedang merasa senang (Busthomi, 2000: 76-77). Ketahuilah bahwa pelantara lahirnya anak itu merupakan satu kebaktian berdasarkan empat alasan: 1.
Sesuai yang dicintai Allah, yaitu menghasilkan anak, untuk mengekalkan jenis manusia.
2.
Mencari kecintaan Rasul SAW. Dengan memperbanyak orang yang dibanggakannya pada hari kiamat.
3.
Mencari keberkahan Allah sebab doa anak saleh sesudah ditinggal mati.
4.
Mencari syafaat karena matinya anak kecil, jika ia mati sebelum orang tuanya (Busthomi, 2000: 79-80).
E. Larangan Melihat Lawan Jenis 1. Pandangan antara Laki-Laki dan Wanita Allah swt. Berfirman dalam QS. Al-Ahzab: 53:
Artinya: “Dan apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri- isteri Nabi), Maka mintalah dari belakang tabir.” Allah Ta‟ala juga berfirman dalam QS. An-Nur: 30-31:
66
Artinya: “Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat". Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya.“ Hendaklah para istri merasa malu memandangi lelaki lain dan menunduk bila berpapasan di jalan. Begitu pula para suami yang suka memandang perempuan lain, semisal ia suka melirik kanan-kiri hingga terkadang jatuh karena tidak melihat jalan! Ini merupakan ujian dari Allah SWT (Sufyan, 2007: 68). Lelaki tidak boleh memandang wanita, dan wanita tidak boleh memandang lelaki. Dimana lelaki wajib memejamkan matanya, yaitu memelihara matanya dari memandang wanita, sebagaimana disebutkan Imam Ibnu Hajar dalam kitab Az-Zawajir. Lelaki dan perempuan tidak boleh saling berjabat tangan dan saling menyentuh antara kedua dan yang semacamnya. Sebab, yang haram dipandang itu juga haram disentuh, karen menyentuh itu lebih kuat dan menimbulkan rasa nikmat dan menyenangkan, dengan alasan kalau lelaki menyentuh wanita lalu mengeluarkan sperma, maka batallah puasanya. Demikian disebutkan dalam kitab Nihayah penjelasan kitab Ghayah.
67
Berjabat tangan dengan lain jenis dapat menggetarkan birahi. Dan ketika dirasakan adanya sentuhan kenikmatan, tentu bisa mempunyai kebiasaan suka mengintai wanita, hendaklah dinasehati (Iqbal, 2003: 129).
2. Tabarruj Ketahuilah di zaman sekarang ini banyak para wanita yang menampakkan perhiasannya, mereka berhias diri dan bersolek serta memperlihatkan kecantikannya kepada para lelaki, mereka hampir tidak mempunyai rasa malu, mereka berjalan diantara para lelaki. Itulah yang dinamakan tabarruj. Sebagaimana dikatakan para Mujahid. Wanita-wanita sekarang berjalan dengan bergaya
lenggak-lenggok seperti yang
dikemukakan Imam Mujahid dan Qatadah dalam menjelaskan pengertian Tabarruj. Mereka secara terang-terangan berjalan diantara lelaki di pasarpasar, di masjid-masjid diantara barisan-barisan shalat, terutama di siang hari. Di malam hari, mereka mendekati tempat-tempat yang terang untuk memperlihatkan perhiasannya pada orang banyak. Sementara ulama berkata, “kalau wanita telah melakukan tiga perkara ini, maka ia disebut qahbah, artinya wanita yang menjadi penyanyi, wanita fasik dan pezina.” Ketiga perkara itu sebagai berikut: 1.
Keluar di siang hari dengan bersolek menampakkan perhiasan dan kecantikannya serta berjalan diantara lelaki.
2.
Memandangnya wanita kepada lelaki lain.
68
3.
Mengeraskan suaranya hingga terdengar lelaki lain, sekalipun ia wanita salehah, karena menyerupakan dirinya dengan wanita jelek (khabitsah). Kata “jelek” disini tidak memandang pengertian memaki. Karena
kata khabitsah wanita jelek dijadikan seperti alam laqab (Busthomi,
2000: 88-89). Islam
mengharamkan
tabarruj
karena
termasuk
perbuatan
jahiliyyah, Islam menggantinya dengan pakaian yang sopan, sebagaimana yang ditetapkan Allah dalam QS. Al-Ahzab: 59:
Artinya: “Hai nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, Karena itu mereka tidak di ganggu. dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Sa‟id, 2002: 195). 3. Diperbolehkannya Wanita Keluar Rumah Rasulullah mengizinkan para wanita keluar dari rumah hususnya pada waktu salat hari raya. Dibolehkan keluar bagi wanita yang dapat memelihara diri dan diizinkan suami. Namun duduk-duduk di rumah saja akan lebih selamat.
69
Wanita itu sebaiknya tidak kelur jika tidak ada keperluan yang amat penting. Jika ia keluar sebaiknya memejamkan pandangannya terhadap lelaki lain. Kami tidak mengatakan kalau muka lelaki itu aurat bagi wanita sebagaimana muka wanita bagi lelaki, tetapi muka lelaki itu bagi wanita bagai muka anak kecil yang tampan. Maka haram melihat jika takut menimbulkan fitnah. Apabila tidak menimbulkan fitnah, maka tidak haram. Sebab sejak zaman dahulu para lelaki itu terbuka mukanya, sedangkan para wanita tetap menutup mukanya. Kalau muka lelaki itu merupakan aurat bagi wanita, tentu diperintah menutup mukanya, atau dilarang kecuali karena darurat (Busthomi, 2000: 90). Para Fuqaha mengatakan: Apabila ilmu itu wajib diketahui oleh kaum perempuan, maka suami berkewajiban mengajarnya, kalau ia mampu mengajarnya. Kalau tidak dapat, maka istri berkewajiban mencari ilmu agama ke majlis-majlis ta‟lim meskipun tanpa izin suaminya (Sa‟id, 2002: 192).
70
BAB IV RELEVANSI PENDIDIKAN BERUMAH TANGGA MENURUT SYAIKH NAWAWI DALAM KITAB ‘UQUDULLIJAIN DENGAN PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA A. Tinjauan Pendidikan Islam 1. Definisi Pendidikan Islam Menurut kamus bahasa Arab, lafadz at-Tarbiyah berasal dari tiga kata: Pertama: raba yarbu yang berarti: bertambah dan tumbuh. Kedua: rabiya yarba yang berarti: menjadi besar. Ketiga: rabba yarubbu yang berarti: memperbaiki, menguasai urusan, menuntun, menjaga dan memelihara (Abdurrahman, 1996: 30-31). 2. Hakikat pendidikan Hakekat pendidikan adalah usaha orang dewasa secara sadar untuk memimbing dan mengembangkan kepribadian serta kemampuan dasar anak didik baik dalam bentuk pendidikan formil dan non-formil. Jadi dengan kata lain, pendidikan pada hakikatnya adalah ikhtiar manusia untuk membantu dan mengarahkan fitrah manusia supaya
71
berkembang sampai kepada titik maksimal yang dapat dicapai sesuai dengan tujuan yang dicita-citakan (Arifin, 1977: 12). 3. Hubungan antara Islam dengan Pendidikan Islam adalah syari‟at Allah yang diturunkan kepada umat manusia agar mereka beribadah kepada-Nya di muka bumi. Pelaksanaan syari‟at ini menuntut adanya pendidikan manusia, sehingga dia pantas untuk memikul amanat dan menjalankan khilafah. Pendidikan yang dimaksud adalah pendidikan Islam. Syari‟at Isalm hanya dapat dilaksanakan dengan mendidik diri, generasi dan masyarakat supaya beriman dan tunduk kepada Allah semata serta selalu mengingat-Nya. Oleh sebab itu, pendidikan Islam menjadi kewajiban orang tua dan guru di samping menjadi amanat yang harus dipikul oleh satu generasi untuk disampaikan kepada generasi berikutnya dan dijalankan oleh para pendidik dalam mendidik anak-anak. Barang siapa
menghianati
amanat
ini,
menyimpang
dari
tujuannya,
menyalahtafsirkannya, atau mengubah kandungannya, maka nerakalah baginya (Abdurrahman, 1996: 37-38). B. Analisis Konsep Pendidikan Berumah Tangga menurut Syaikh Nawawi dalam Kitab ‘Uqudullijain Analisis di sini sama sekali tidak dimaksudkan sebagai koreksi atau pemberontakan terhadap siapapun. Kehadirannya didasari pada kontek zaman bahwa kebenaran pada suatu pemikiran akan diperoleh jika senantiasa dihadapkan dengan realitas kehidupan sosial khususnya di Indonesia. Kita
72
tidak akan tahu apakah kebenaran tersebut dapat diterapkan untuk rentang waktu lama dan mampu menjawab persoalan-persoalan yang muncul. Analisis yang pertama dimulai dari bagian pertama yang telah disebutkan dalam bab tiga yaitu tentang kedudukan seorang istri dimata suami. Menurut Syaikh Nawawi kedudukan seorang istri dimata suami itu sedikit lebih rendah, dengan alasan karena kaum laki-laki sebagai pemimpin bagi kaum wanita. Maksudnya, bahwa kaum laki-laki harus menguasai dan mengurus keperluan istri termasuk mendidik budi pekerti mereka. Allah melebihkan kaum laki-laki atas kaum wanita karena tanggung jawab laki-laki (suami) memberikan harta kepada kaum wanita (istri) dalam pernikahan, seperti maskawin dan nafkah. Syaikh Nawawi mendasarkan hal itu dengan firman Alloh dalam QS. Al- Baqarah: 228:
Artinya: “Dan mereka mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. akan tetapi Para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya”
Pendapat Nawawi tersebut dapat di analisis dengan pendapat para ulama Indonesia sekarang bahwa wanita dalam Islam mendapat tempat yang mulia, tidak seperti dituduhkan oleh sementara sebagian masyarakat, bahwa Islam tidak menempatkan wanita sebagai subordinat dalam tatanan kehidupan masyarakat. Kedudukan mulai kaum wanita itu ditegaskan dalam banyak hadis, di antaranya:
73
Artinya: Surga berada di bawah telapak kaki ibu Dari kutipan sebuah hadis di atas terbukti bahwa seorang ibu ternyata juga mempunyai tanggung jawab besar terhadap keluarganya, dimulai dari mengurus rumah tangga, melayani suami, mengandung seorang anak, melahirkan seorang anak yang itu membutuhkan tenaga besar bahkan sampai nyawa taruhannya, menyusui, mendidik, dan membesarkan anaknya. Sementara suami hanya mencari nafkah saja, bahkan di zaman sekarang tidak sedikit wanita yang rela mengucurkan keringatnya untuk bekerja demi keluarganya, sampai-sampai banyak wanita yang rela bekerja ke luar negeri semata-mata
ingin
anak-anaknya
sekolah
dan
tercukupi
kebutuhan
keluarganya sehari-hari, karena hasil pencarian nafkah suami kurang mencukupi, bahkan untuk kebutuhan makan sehari-hari saja kurang cukup. Islam memberikan hak yang sama dengan laki-laki untuk meberikan pengabdian yang sama kepada agama, nusa, bangsa dan negara. Ini ditegaskan firman Allah dalam QS. Ali Imran: 195:
Artinya: Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman): "Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain. Maksudnya
sebagaimana
laki-laki
berasal
dari
laki-laki
dan
perempuan, Maka demikian pula halnya perempuan berasal dari laki-laki dan perempuan. kedua-duanya sama-sama manusia, tak ada kelebihan yang satu
74
dari yang lain tentang penilaian iman dan amalnya (Djamaluddin, 2004: 624625). Dari ayat dan hadis di atas adalah sebuah realita pengakuan Islam terhadap hak-hak waita secara umum dan anugrah kemuliaan dari Allah SWT. Persoalan yang muncul kemudian bahwa sekalipun Islam telah mendasari penyadaran intregatif tentang wanita tidak berbeda dalam beberapa hal dengan laki-laki, pada kenyataanya prinsip-prinsip Islam tentang wanita tersebut telah mengalami distorsi. Kita tidak bisa menutup mata bahwa masih banyak manusia yang mencoba mengingkari kelebihan yang dianugrahkan Allah SWT. Kepada wanita (Djamaluddin, 2004: 626). Dari situlah tampak jelas bahwa kedudukan wanita tiada bedanya, suami istri sama-sama mempunyai tanggung jawab besar dalam rumah tangga sesuai penuturan ayat Al-Quran dan hadis di atas, tapi sayangnya Syaikh Nawawi tetap menggunakan dalil QS. Al-Baqarah ayat 228, yang memposisikan istri lebih rendah dari suami. Pembahasan selanjutnya mengenai pendapat Syaikh Nawawi tentang ketaatan istri terhadap suami yang mengibaratkan seperti ketaatan seorang anak terhadap orang tuanya yang telah disebutkan dalam bab tiga. Suami merupakan penjaga, penanggung jawab, pemimpin, dan pendidik kaum perempuan tentu mendapatkan hak untuk ditaati segala perintahnya kecuali kemaksiatan, Padahal pendapat yang bercorak demikian pada dasarnya berhubungan dengan situasi sosio-kultural waktu Nawawi mengarang kitab
75
„Uqudullijain sangat merendahkan kedudukan kaum perempuan. Dalam hal ini Nawawi mengambil dalil dari firman Allah SWT. QS. An-Nisa‟: 34:
Artinya: “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh Karena Allah Telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan Karena mereka (laki-laki) Telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh Karena Allah Telah memelihara (mereka). wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar”. Pendapat Nawawi tersebut dapat kita cermati dengan pendapat beberapa Ulama bahwa dalam menafsirkan ayat Qowwamuna berbeda dengan penafsiran Nawawi, antara lain: 1. Menurut Fazlur Rohman, laki-laki adalah bertanggung jawab atas perempuan karena Allah telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain karena mereka (laki-laki) memberi nafkah dari sebagian hartanya, bukanlah hakiki melainkan fungsional, artinya jika seorang istri
76
di bidang ekonomi dapat berdiri sendiri dan memberikan sumbangan bagi kepentingan rumah tangganya, maka keunggulan suaminya akan berkurang. 2. Aminah Wadud Muhsin yang sejalan dengan Fazlur Rahman menyatakan bahwa, superioritas itu melekat pada setiap laki-laki Qawwamuna atas perempuan, tidak dimaksudkan superior iru secara otomatis melekat pada setiap laki-laki, sebab hal itu hanya terjadi secara fungsional yaitu selama yang bersangkutan memenuhi kriteria Al-Quran yaitu memiliki kelebihan dan memberikan nafkah. Ayat tersebut tidak menyebut semua laki-laki otomatis lebih utama dari perempuan. 3. Ashgar Ali Engineer berpendapat bahwa Qawwamuna disebutkan sebagai pengakuan bahwa, dalam realitas sejarah kaum perempuan pada masa itu sangat rendah dan pekerjaan domestik dianggap sebagai kewajiban, sementara laki-laki menganggap dirinya unggul karena kekuasaan dan kemampuan
mencari
dan
Qawwamuna
merupakan
memberikannya
pernyataan
kepada
kontekstual
bukan
perempuan. normatif.
Seandainya Al-Quran menghendaki laki-laki sebagai Qawwamuna, redaksinya akan menggunakan pernyataan normatif dan pasti mengikat semua perempuan dan semua keadaan, tetapi Al-Quran tidak menghendaki seperti itu. Demikianlah di antara berbagai penafsir tekstual dan penafsir kontemporer terhadap QS. An-Nisa‟: 34. Sehingga kalau dihadapkan dengan realitas yang ada, maka terlihat sekarang posisi kaum laki-laki atas perempuan
77
bersifat relatif tergantung pada kualitas masing-masing individu. Jadi ketaan istri terhadap suami bukan merupakan keharusan, tergantung pada kenyataan dan kebutuhan yang ada dalam keluarga (Istibsyaroh, 2004: 109-110). Bahasan selanjutnya mengenai pendapat Nawawi tentang kebebasan wanita keluar dari rumahnya. Menurut pendapat Nawawi bahwa seorang wanita itu dilarang keluar rumah tanpa seizin suaminya karena dihawatirkan menimbulkan fitnah, bahkan solat wanitapun harus dirumah dengan alasan menimbulkan fitnah. Nawawi mendasarkan pendapat ini dengan sebuah hadis Nabi Muhammad SAW.
. . Artinya: “Wanita adalah aurat, maka jika ia keluar dari rumahnya, ia diawasi setan, dan wanita yang paling dekat kepada Allah adalah apabila wania itu berada dalam rumahnya.” (HR. Tirmidzi, 1384, juz. 2: 319). Pendapat tersebut dapat kita teliti dengan realita zaman sekarang. Dimana Sudah tidak jarang lagi di zaman sekarang wanita-wanita menyibukkan diri di luar rumah entah itu bekerja, berlibur, berbelanja ke tokotoko besar atau untuk mencari ilmu pendidikan umum dan agama di pondok pesantren, madrasah, sekolah umum, maupun ditempat pengajian. Perintah menuntut ilmu pengetahuan atau belajar tidak hanya kepada kaum laki-laki, tetapi kepada kaum perempuan. Masing-masing berhak memperoleh berbagai ilmu. Memperoleh ilmu pengetahuan merupakan elemen esensial untuk peningkatan martabat perempuan sehingga ia dapat
78
menyempurnakan dirinya sendiri, kemudian dapat mengembangkan potensi kemanusiaanya (Istibsyaroh, 2004: 81). Kepergian wanita untuk menuntut ilmu. Rasulullah SAW bersabda:
. Artinya: menuntut ilmu adalah kewajiban setiap muslim Hadis di atas itu sahih, tanpa ada kata wamuslimatin. Tetapi meskipun kata muslimah tidak disebutkan termasuk juga di dalamnya muslimah atau perempuan Islam. Apabila menuntut ilmu itu wajib bagi laki-laki, maka wajib pula bagi kaum perempuan, maksudnya ilmu-ilmu yang wajib diketahui oleh kaum perempuan. Ilmu apa saja. Para Fuqoha mengatakan: Apabila ilmu itu wajib diketahui oleh kaum perempuan,
maka suami
berkewajiban
mengajarnya. Kalau tidak dapat, maka istri berkewajiban mencari ilmu agama ke majlis-majlis ta‟lim meskipun tanpa izin suaminya (Agus, 2001: 191-192). Islam juga mengizinkan wanita keluar rumah, turut berjihad dimedan perang memerangi musuh, merawat yang cedera, serta memberikan, serta memberikan pelayanan makan dan minum. Imam Bukhari dan Ahmad mengetengahkan sebuah hadis yang diriwayatkan dari Rabi‟ binti Mas‟ud yang mengatakan: “Kami turut berperang bersama Rasulullah, memberikan minum dan membawa para korban yang cedera menuju madinah.” (Iqbal, 2004: 111). Pekerjaan yang ada sekarang tidak semua terdapat pada masa Nabi. Namun sebagian ulama menyimpulkan bahwa Islam membenarkan perempuan aktif dalam berbagai kegitan atau secara mandiri atau bersama orang lain
79
selama pekerjaan tersebut dilakukan dalam suasana terhormat, sopan serta dapat memelihara agamanya dan dapat pula menghilangkan dampak negatif pekerjaan tersebut terhadap diri dan lingkungannya. Atau dengan perkataan lain,
yaitu
perempuan
mempunyai
hak
untuk
bekerja
selama
ia
membutuhkannya dan selama norma-norma agama dan susila tetap terpelihara. QS. An-Nisa: 32:
Artinya: Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu. Al-Sya‟rawi
menegaskan:
Apabila
seorang
istri
berkeinginan
mengangkat derajat kehidupan rumah tangganya, dibolehkan bekerja dengan syarat pekerjaan yang diambil tidak melalaikan tugas domestik sebagai istri dan ibu, dan juga pekerjaan ini tidak diklaim sebagai peran dominan bagi seorang istri (Istibsyaroh, 2004: 161-164). Dari pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa, Al-Sya‟rawi tidak melarang perempuan bekerja di luar rumah. Tetapi tugas utama perempuan adalah pekerjaan di rumah, mendidik anak, serta menjadi tempat berteduh suami di rumah.
80
Menurut penulis, pekerjaan di rumah tidak hanya tugas perempuan atau istri, tetapi dijalankan bersama-sama antara istri istri dan suami. Apalagi masalah mendidik anak, karena anak tidak hanya mengharapkan uluran tangan dari ibu saja, juga dari bapak. Demikian juga ketenangan dalam rumah tangga tercipta kalau suami-istri saling mengerti dan memahami, bukan hanya dibebankan kepada istri. Jadi keluarnya istri untuk memenuhi kebutuhan tidak ada larangan baik itu untuk mencari ilmu, bekerja, ke masjid sekalipun itu waktu malam, karena berdasar hadis Nabi Muhammad SAW.
. Artinya: Janganlah kamu semua melarang perempuan keluar untuk ke masjid di waktu malam hari (HR. Muslim, t.t, juz. 1:187). Pembahasan berikutnya mengenai Syaikh Nawawi dalam kitabnya menyuruh menjaga pandangan terhadap lawan jenis karena dari pandangan dapat menimbulkan birahi sehingga terjadi fitnah karena anggota badan wanita merupakan aurat. Nawawi mendasarkan hal itu dengan QS. Al-Ahzab: 53:
Artinya: Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteriisteri Nabi), Maka mintalah dari belakang tabir. Dan juga pada firman Allah QS. An-Nur: 30-31:
81
Artinya: Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih Suci bagi mereka, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat". Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya. Ketika kita mencermati Firman Allah: “Dan hendaknya mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya.” Adalah menunjukkan tidak disyariatkannya menutup wajah. Kata Al-Khimar, dalam bahasa berarti penutup rambut. Sedang kata Al-Juyub, berarti dada. Imam Muqatil menafsirkan kata di atas Juyub berarti dada mereka. Ayat ini mengisyaratkan, bahwa yang wajib ditutup adalah kepala, leher dan perhiasan yang ada padanya, sebagaimana anting-anting dan kalung. Seandainya wajah juga termasuk bagian yang harus ditutup, mustinya juga disinyalirkan dalam AlQuran (Iqbal, 2003: 162). Dari penuturan tadi dapat diambil kesimpulan bahwa wajah dan telapak tangan wanita bukan merupakan aurat, itu berarti memandang wajah tidak menjadi masalah. C. Relevansi Pendapat Syaikh Nawawi dalam Kitab ‘Uqudullijain dengan realitas keluarga muslim sekarang di Indonesia Setelah kita mengetahui etika berkeluarga yang ditawarkan Syaikh Nawawi tentu kita dapat menyimpulkan dan bagaimana bila diterapkan saat
82
sekarang ini, penelitian ini sama sekali tidak dimaksudkan sebagai koreksi terhadap pendapat siapapun. Kehadirannya didasari pada pemahaman bahwa setiap pemikiran memiliki kebenaran relatif sesuai dengan realitas konteks zamannya. Kitab „Uqudullijain karya Syaikh Nawawi barang kali mempunyai relevansi secara penuh pada zamannya. Namun seiring dengan perkembangan zaman, kebenaran relatif yang memiliki relevansi pada zamannya, harus dilakukan penyesuaian agar tidak ketinggalan zaman dan tetap relevan, sehinga sesuai dengan apa yang dibutuhkan masyarakat.
83
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Setelah selesainya penelitian dan analisis
ini penulis
dapat
menyimpulkan sebagai berikut: 1. Pemikiran Syaikh Nawawi yang tertuang dalam kitab „Uqudullijain dikatakan sangat tradisionalis, itu dipengaruhi oleh waktu beliau mengarang sejak 114 tahun yang lalu, sehingga metode yang digunakan serta kultur yang berlaku saat itu sangat mendukung Syaikh Nawawi untuk menuangkan pikiranya yang bersifat tradisionalis. 2. Sikap Syaikh Nawawi dalam kitabnya yang tertuang dalam deskripsi pendidikan berkeluarga dalam kitab „Uqudullijain secara umum terlihat terlalu mensuperiorkan laki-laki dan mengekang hak dan merendahkan wanita, namun ada sedikit pendapat
beliau yang menghargai wanita.
Beliau juga terlihat ada dalam menafsirkan sebuah ayat Al-Quran yang
84
secara tekstual berbeda dengan para penafsir kontemporer yang kontekstual. 3. Bicara masalah relevansi maka suatu karya ilmiah apapun pasti mempunyai relevansi pada zamannya masing-masing, tak bedanya kitab „Uqudullijain ini mempunyai relevansi pada waktu dikarang, tetapi karena zaman yang terus begitu majunya maka tidak menutup kemungkinan suatu isi kitabpun sudah tidak relevan lagi secara umum, sehinga harus dilakukan
perombakan
dan
penyusaian,
agar
bisa
mengikuti
perkembangan Zaman dan tuntutan kebutuhan manusia. B. Saran-Saran Berdasarkan penelitian ini, ada beberapa saran yang dikemukakan dalam penelitian sekripsi ini: 1. Perkembangan pikiran didalam Islam adalah merupakan suatu fenomena wajar. Oleh sebab itu para Ulama intelektual dan cendikiawan Islam perlu untuk
membuka cakrawala pemikiran terhadap ide dan gagasan baru
dalam upaya untuk mengkaji kembali ajaran-ajaran Islam, sehingga terdapat compabilitas antara Islam dan realitas kehidupan kekinian. 2. Penelitian ini masih tahap awal, sehingga diperlukan usaha lanjutan untuk lebih memperkuat bangunan pemikiran Islam yang baru. Masih banyak aspek penelitian yang diperlukan dalam mengkaji masalah pemikiran tentang wanita Islam. Seperti kajian gender dengan berbagai pendekatan yang mungkin untuk dilakukan.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsini, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktis, Bina Aksara, Jakarta, 1980 M. As’ad, Aly, Terjemah Fathul Mu’in, Menara Kudus, 1979 M. Ali, Mukti, Dkk, Ensklopedi Islam di Indonesia, Depag RI, Jakarta, 1988 M. Arifin, Huungan Timbal Balik Pendidikan Agama Di Lingkungan Sekolah Dan Keluarga, Bulan Bintang, Jakarta, 1977 M. Al-Bukhori, Abi Abdillah Muhammad Bin Ismail, Matan Masykul Al-Bukhori, Syirkatun-Nur, Asia, T.t. Barker, Anton, Dkk, Metodologi Penelitian Filsafat, Karnisius, Yogyakarta, 1990 M. Dawud, Al-Imam Al-Hafidz Al-Musonnaf Al-Mutqon Abi, Sunan Abi Dawud, Maktabah Dahlan, Indonesia, T.t. Dhofier, Zamakhsyari, Tradisi Pesantren Study Tentang Pandangan Hidup Kyai, LP3ES, Jakarta, 1990 M. Depag RI, Al-Qur’an Dan Terjemahnya, CV. Asy-Syifa’, Semarang, 1992 M. Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1989 M. Dharara, Talizidulum, Reseach Teory Metodologi Administrasi, Bina Aksara, Jakarta, 1980 M. Hadjar, Ibnu, Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Kualitatif Dalam Pendidikan, Raja Grafindo, Jakarta, 1996 M. Hadi, Sutrisno, Metodologi Research, Andi Offset, Yogyakarta, 1990 M. (http://www.assafi-alfurqon.cocc/2010/10/biografi-syaikh-nawawi-tanara-alhtml). Istibsyarah, Hak-Hak Perempuan Relasi Jender Menurut Tafsir Al-Sya’rowi, PT. Mizan Publika, 2004 M.
Kisyik, Abdul Hamid, Bimbingan Islam Untuk Mencapai Keluarga Sakinah, AlBayan, Bandung, 1996 M. Leter, M.. Tuntunan Rumah Tngga Muslim Dan Keluarga Berencana, IKAPI, Padang 1985 M. Marimba, Ahmad D.. Pengantar Filsafat Islam, Al-Ma’afit, Bandung, 1960 M. Muslim, Sohih Muslim, Syirkatun-Nur, Asia, T.t. Muhadjir, Noeng, Metodologi Penelitian Kualitatif, Rake Sarasin, Yogyakarta, 2003 M. Mustofa, Misbah, Terjemah Qurrotul ‘Uyun, Al-Balagh, Rembang, 1417 H. Al-Mahalli, Abu Iqbal, Mslimah Modern, LeKPIM Mitra Pustaka, Yogyakarta, 2003 M. Miri, Djamaluddin, Solusi Problematika Aktual HukumIslam, Lajnah Ta’lif WanNasyr (LTN) NU Jawa Timur Dan Diantama Ikhwan, Surabaya, 2004 M. An-Nadwi, Fadlil Said, Terjemah ‘Iddhotun-Nsyiin, Al-Hidayah, Surabaya, 1421 H. An-Nawawi, Muhammad Bin Umar, Terjemah syarh ‘Uqudullijain Etik Berumah Tangga, Terj. Drs. Afiif Busthomi Dan Masyhuri Ikhwan, Pustaka Amani, Jakarta, 2000 M. An-Nawawii, Muhammad Bin Umar, Syarh “Uqudullijain Fi Bayani Huquqiz Zaujain, Maktabah Muhammad Bin Ahmad Nabhan, Surabaya, T.t. An-Nahlawi, Abdurrahman, Prinsip-Prinsip Dan Metoda Pendidikan Islam Dalam Keluarga, DiSekolah Dan Di Masyarakat, CV. Diponegoro, Bandung, 1996 M.
Al-Qosim, Abdul Malik, Istri Solehah Anugrah Terindah, At-Tibyan, Solo, 2010 M. Shochib, Muh.. Pola Asuh Orang Tua Untuk Membantu Anak Mengembangkan Disiplin, Rinekacipta, Jakarta, T.t. Soemargono, Soegono, Filsafat Islam Pengetahuan, Nur Cahyo, Yogyakarta, 1983 M. Al-Sabbagh, Mahmud, Tuntunan Keluarga Bahagia Menurut Islam, Remaja Rosda Karya, Bandung, 1991 M. Salim, Agus, Terjemah Risalatun Nikah, Pustaka Amani, Jakarta, 2002 M. Sufyan, Ummu, Senerai Konflik Rumah Tangga, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2007 M. At-Tirmidzi, Al-Imam Al-Hafidz Abi Isa Muhammad Bin Isa Bin Sauroh, Sunan At-Tirmidzi, Thoha Putra, Semarang, 1384 H. Az-Zahidiy, Moch Munawwir,
Terjemah Risalatul Mu’awanah, PT. Mutiara
Ilmu, Surabaya, 2007 M.