PENDIDIKAN AGAMA DALAM KELUARGA MENURUT NURCHOLISH MADJID Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah Dan Keguruan Untuk Memenuhi Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan
Oleh Devi Febrina 108011000108
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2014
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING SKRIPSI Pendidikan Agama Dalam Keluarga Menurut Nurcholish Madjid Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Untuk memenuhi syarat-syarat mencapai Gelar Sarjana Pendidikan Agama Islam (S.Pd.I)
Oleh: Devi Febrina NIM: 108011000108
Di bawah Bimbingan Dosen Pembimbing Skripsi
Drs. Ahmad Basuni, M.Ag NIP: 19491126 197901 1 001
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2014
ii
iii
ABSTRAK Devi Febrina, Nim 108011000108, “ PPendidikan Agama Dalam Keluarga Menurut Nurcolish Madjid”, Skripsi, Jurusan Pendidikan agama Islam, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Kata Kunci : Pendidikan Agama, Keluarga Masalah dalam penelitian ini ialah pendidikan agama tidak benar jika dibatasi hanya pengertian-pengertian yang kovensional di masyarakat dan tidak dapat dipahami secara terbatas hanya kepada pengajaran agama saja. Agama tidak terbatas pada pengajaran tentang seberapa jauh anak itu menguasai hal-hal yang bersifat kognitif atau ritual-ritual dan segi-segi formalistik agama saja, tidak pula pengingkaran terhadap perlunya ritu-ritus dan segi- segi formal itu diajarkan kepada anak namun pengertian itu perlu disempurnakan. Karena ritual-ritual dan formalitas itu di ibaratkan “bingkai” atau “kerangka” bagi bangunan agama. Karena itu setiap anak harus diajarkan bagaimana melaksanakan ritus-ritus itu dengan baik dengan memenuhi segala “syarat dan ruku” keabsahanya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peranan pendidikan agama dalam keluarga menurut Nurcholish Madjid. Adapun metode penelitian penyusunan skripsi ini penulis menggunakan penelitian kualitatif dengan metode deskriptif analisis. Yaitu pemecahan masalah- masalah yang ada dengan usaha menganalisis dan menjelaskan dengan teliti kenyataan-kenyatan faktual dari subjek yang diteliti sehingga diperoleh gambaran yang utuh berdasarkan fakta. Pendekatan yang penulis gunakan yaitu pendekatan content analisis, yaitu metode analisis yang menitikberatkan pada pemahaman isi dan maksud yang sebenrnya dari sebuah data Dari hasil penelitian yang penulis temukan menurut Nurcholish Madjid bahwasanya peranan pendidikan agama dalam keluarga tidak dapat sepenuhnya dilakukan oleh guru ngaji yang didatangkan kerumah. Pendidikan tersebut melibatkan peran orang tua dan seluruh anggota keluarga. Dan peran orang tua dalam memberikan pendidikan agama dalam keluarga tidak perlu berbentuk pengajaran (yang notabene dapat “diwakilkan” kepada orang lain tersebut). Peran orang tua adalah berupa tingkah laku, tulada atau teladan, dan pola-pola hubungannya dengan anak yang dijiwai dan disemangati oleh nilai-nilai keagamaan secara menyeluruh. Pendidikan agama baru mempunyai makna yang hakiki jika menghantarkan orang yang bersangkutan kepada tujuannya yang hakiki pula, yaitu kedekatan (taqarrub) kepada Allah dan kebaikan kepada sesama manusia (akhlaq karimah). Adapun nilainilai keagamaan yang harus ditanamkan pada anak dalam keluarga adalah: a) shalat berjamaah, b) taqwa, c) iman, d) islam, f) tawakkal, g) syukur, h) sabar, dan i) akhlakul karimah.
iv
KATA PENGANTAR
ﺑﺴﻢ Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT sang penentu segala urusan atas berkat, rahmat, taufik, hidayah, dan limpahan petunjuk-Nya akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul: “Pendidikan Agama Dalam Keluarga Menurut Nurcholish Madjid”. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarga dan para sahabatnya yang telah membawa petunjuk dan pedoman hidup bagi manusia. Oleh karena itu, tanpa mengurangi rasa terimakasih kepada orang-orang yang tidak penulis sebutkan namanya, penulis perlu menyampaikan terimakasih khususnya kepada: 1.
Nurlena Rifa’i, MA, Ph.D. Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2.
Bapak Dr. H. Abdul Majid Khon, M.Ag. Kepala Jurusan Pendidikan Agama Islam, yang selalu memberikan kemudahan dalam setiap kebijakan yang beliau berikan selama penulis menjadi mahasiswa di jurusan PAI.
3.
Marhamah Shaleh Lc, M.A. Sekertaris Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
4.
Siti Khodijah M.A. Dosen Penasehat Akademik Jurusan Pendidikan Agama Islam, yang memberikan bimbingan dan dukungan kepada penulis.
5.
Bapak Drs. Ahmad Basuni, M.Ag. Dosen Pembimbing skripsi, yang selalu menyempatkan waktu ditengah kesibukan beliau untuk membimbing, mengarahkan dan memberikan semangat selama proses penulisan skripsi ini.
6.
Yang paling utama untuk orang tuaku tercinta, Ayahanda dan Ibunda, Misin Bulut dan Ihat Solihat. Yang selalu dengan tulus memberikan do’a dan dukungan serta semangat yang tak henti- hentinya demi kemajuan penulis.
v
7.
Teruntuk suamiku tersayang Ahmad Baidowi, yang telah memberikan dukungan baik moral maupun materil, yang terus- menerus memberikan semangat sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini.
8.
Kawan-Kawan PAI C angakatan 2008 khususnya Siti Rohimah, Mira Humaira, Mudzakir Fauzi, Umi Hany, Cindy Pratiwi, Ana Mutiara dan Maryati, yang menjadi tempat berdiskusi, bertukar pikiran dengan semangat perjuangan kita bersama-sama menuju kesuksesan.
9.
Teman- temanku di rumah Siti Kamilah, Lu’lu Al-Maknun Salim, dan Upi Siti Mariyam yang selalu mendukung, menghibur, dan memberikan semangat kepada penulis.
10. Dan kepada semua pihak yang telah membantu serta memberikan dukungan kepada penulis baik secara moral dan material. Tidak ada yang dapat penulis berikan sebagai balas jasa kepada mereka yang telah memberikan banyak bantuan dan dukungan kepada penulis, kecuali dengan do’a semoga Allah SWT, membalas-Nya. Amiiin
Ciputat, 04 April 2014
Penulis Devi Febrina
vi
DAFTAR ISI LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI .................................................
ii
LEMBAR PERNYATAAN ..................................................................
iii
ABSTRAK .............................................................................................
iv
KATA PENGANTAR...........................................................................
v
DAFTAR ISI..........................................................................................
vii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah..............................................................
1
B. Identifikasi Masalah ....................................................................
6
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah..........................................
6
D. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian ..................................
7
BAB II KAJIAN TEORI A. Pengertian Pendidikan Agama Islam ..........................................
8
B. Dasar Pendidikan Islam...............................................................
16
C. Tujuan Pendidikan Islam.............................................................
19
D. Pola Asuh………………………………………………………
19
1. Pengertian Pola Asuh………………………………………..
19
2. Bentuk-bentuk Pola Asuh……………………………………
20
E. Keluarga........................................................................... ...........
21
F. Fungsi Keluarga………………………… ..................................
23
G. Peranan Pendidikan Agama Dalam Keluarga.............................
24
H. Hasil Penelitian Relevan..............................................................
27
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Waktu Penelitian danTempat Penelitian .....................................
30
B. Metodologi Penelitian .................................................................
30
C. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ............................
31
1. Teknik Pengumpulan Data .....................................................
31
iv
2. Teknik Pengolahan Data.........................................................
32
D. Tehnik Analisis Data...................................................................
32
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Data.............................................................................
33
1. Biografi dan Riwayat Pendidikan Nurcholish Madjid ..........
33
2. Karya-karya Tulis Nurcholish Madjid ..................................
37
B. Pembahasan.................................................................................
41
1.
Hak dan Kewajiban Orang Tua Terhadap Anak Menurut Nurcholish Madjid.................................................
41
2.
Orang Tua Sebagai Pendidik Bukan Pengajar……………...
46
3.
Peranan Pendidikan Agama dalam Keluarga Menurut Nurcholish Madjid.................................................
4.
5.
48
Nilai-nilai Keagamaan yang Ditanamkan pada Diri Anak Menurut Nurcholish Madjid.......................................
53
Pola Asuh Anak Menurut Nurcholish Madjid.....................
70
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan .................................................................................
71
B. Saran............................................................................................
72
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................
73
LAMPIRAN-LAMPIRAN
v
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Tanggung jawab pendidikan dalam Islam adalah dengan dilaksanakannya kewajiban mendidik. Pengertian mendidik atau pendidikan dalam pengertian yang umum adalah untuk menumbuhkan dan mengembangkan potensi jasmaniah dan rohaniah anak didik atau seorang untuk mendapatkan nilai-nilai dan norma-norma tertentu. Kegiatan pendidikan tersebut dapat berlangsung dalam keluarga, sekolah dan masyararakat. “Lembaga-lembaga tersebut yang ikut bertanggung jawab memberi pertolongan kepada anak didik atau seorang dalam perkembangan rohani dan jasmaninya, agar mencapai tingkat kedewasaan dan mampu berdiri sendiri memenuhi tugasnya sebagai mahluk Allah, mahluk sosial dan sebagai individu’’.1 Ketiga lingkaran lingkungan tersebut yaitu keluarga, sekolah dan masyarakat adalah lingkungan yang dapat membentuk karakter manusia. Meski ketiganya saling mempengaruhi, tetapi pendidikan keluargalah yang
paling
dominan pengaruhnya terhadap pendidikan anak. Jika suatu rumah tangga berhasil membangun keluarga sakinah, maka peran sekolah dan masyarakat menjadi pelengkap.2
1
Djumransjah, Abdul Malik Karim Amrullah, Pendidikan Islam Menggali Tradisi Mengukuhkan Eksisntensi, ( Malang : UIN Malang Press, 2007), cet. I, h. 83 2 Ahmad Mubarok, Psikologi Keluarga dari Keluarga Sakinah Hingga Keluarga Bangsa, (Jakarta: PT. Bina Rena Pariwara, 2005) cet. I, h. 152
1
2
Seperti kita ketahui seorang bayi yang baru lahir adalah mahluk Allah SWT yang tidak berdaya dan senantiasa memerlukan pertolongan untuk dapat melangsungkan hidupnya didunia. Maha bijaksana Allah SWT telah menganugerahkan rasa kasih sayang kepada semua ibu dan bapak untuk memelihara anaknya dengan baik tanpa mengharapkan imbalan.3
Seorang anak senantiasa selalu membutuhkan pendidikan karena pendidikan berusaha mengubah keadaan seseorang dari tidak tau menjadi tahu, dari tidak dapat berbuat menjadi dapat berbuat, dari bersikap yang tidak diharapkan menjadi bersikap seperti yang diharapkan. Kegiatan pendidikan ialah usaha untuk membentuk manusia secara keseluruhan aspek kemanusiaanya secara utuh, lenkap dan terpadu. Secara umum dan ringkas dapat dikatakan pembentukan kepribadian.4
Oleh karena itu, manusia tidak bisa dipisahkan dari pendidikan. Pendidikan dapat membawa manusia kearah yang lebih baik. Terutama pendidikan pada masa anak-anak, pendidikan bagi anak harus di mulai dalam lingkungan keluarga,
sejak anak masih dalam kandungan (periode pra-natal)
hingga dilahirkan sampai mereka dewasa (periode post-natal) sampai memiliki kecerdasan intelektual, emosional dan spritual yang matang. Lingkungan keluarga sering pula disebut sebagai lembaga pertama dan utama pendidikan yang dikenal anak. Kedua orang tuanyalah orang yang pertama dikenal dan diterimanya pendidikan. Bimbingan dan perhatian dan kasih sayang yang terjalin antara kedua orang tua dan anakanaknya, merupakan basis yang ampuh bagi pertumbuhan dan perkembangan psikis serta nilai-nilai sosial dan religius pada diri anak didik. 5
3
Abdul Majid, dkk. Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi. ( Bandung : PT. Remaja Rosdakaya, ) 2004, h . 11 4 Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama/IAIN di Jakarta Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam, Metodologi Pengajaran Agama Islam, (Jakarta: IAIN Jakarta,1983) , h. 60 5 Samsul Nizar, Pengantar Dasar-dasar Pemikiran Pendidikan Islam, ( Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001), cet. I, h. 125
3
Munculnya gejala pendidikan dalam suatu keluarga disebabkan karena adanya pergaulan antara orang tua sebagai manusia dewasa dan anak yang belum dewasa. Dari situlah lahirlah peristiwa pendidikan dalam sebuah wadah yakni keluarga. “Kehadiran anak dalam keluarga merupakan tanggung jawab dan pengabdian orang tua terhadapnya, yang bersifat kodrati dan berdasarkan cinta kasih”.6 Pendidikan dalam lingkungan keluarga bersifat pertama dan utama atau tertua, artinya pembiasaan atau tradisi untuk mengembangkan kepribadian anak adalah pertama kali terjadi dalam lingkungan keluarga. Alam keluarga adalah alam pendidikan yang pertama dan yang terpenting, karena sejak timbulnya adat kemanusiaan hingga kini, hidup keluarga itu selalu mempengaruhi pertumbuhan budi pekerti manusia.7 Oleh karena itu, keluarga merupakan lembaga sosial yang paling dasar untuk mencetak kualitas manusia. Sampai saat ini masih menjadi keyakinan dan harapan bersama bahwa keluarga senantiasa dapat diandalkan sebagai lembaga ketahanan moral, akhlaq al-karimah dalam konteks bermasyarakat, bahkan baik buruknya generasi suatu bangsa, ditentukan pula oleh pembentukan pribadi dalam keluarga. Disinilah keluarga memiliki peranan strategis untuk memenuhi harapan tersebut. 8
Kehidupan
keluarga
diibaratkan
sebagai
satu
bangunan,
demi
terpeliharanya bangunan itu dari hantaman badai dan goncangan gempa, maka ia harus didirikan diatas fondasi yang kuat dengan bahan bangunan yang kokoh serta jalinan perekat yang lengket. “Fondasi kehidupan kekeluargaan adalah ajaran agama, disertai dengan kesiapan fisik dan mental calon-calon ibu dan ayah”.9 Pembinaan moral atau mental agama harus dimulai sejak anak lahir, oleh ibu bapaknya. Karena setiap pengalaman yang dilalui oleh si anak, baik melalui pendengaran, penglihatan, perlakuan, pembinaan dan sebagainya, akan menjadi bagian pribadinya yang akan bertumbuh nanti. “Apabila orang tuanya mengerti 6
Fatah Yasin, Dimensi-Dimensi Pendidikan Islam, (Malang: UIN Malang Press, 2008),
h. 207 7
Ibid, 208 Mufidah, Psikologi Keluarga Dalam Berwawasan Gender, (Malang : UIN Malang Press, 2008), cet. I, h. 39 9 Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an Fungsi dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat, ( Bandung: Mizan, 1994), h.254 8
4
dan menjalankan agama dalam hidup mereka, yang berarti bermoral agama, maka pengalaman anak yang akan menjadi bagian dari pribadinya itu mempunyai unsur-unsur keagamaan pula”.10 “Seperti kita ketahui pendidikan agama dalam keluarga, sebelum si anak masuk sekolah terjadi secara tidak formil, yaitu melalui semua pengalaman si anak, baik melalui ucapan, perbuatan dan sikap yang dilihatnya, maupun perlakuan yang dirasakannya. Oleh karena itu keadaan orang tua dalam kehidupan mereka sehari-hari mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam pembinaan kepribadian anak.”11 “Untuk itu, semakin banyak pengalaman yang bernilai agamis mampu ditranfer dan diterimanya, maka akan banyak pula unsure agama dan pengalaman keagamaan yang mampu mewarnai proses pembentukan kepribadianya.”12 Sedemikian sangat berpengaruhnya pendidikan agama dalam keluarga bagi anak, tidak salah bila Rasulullah mengibaratkan seorang anak yang baru dilahirkan itu fitrah atau suci orang tualah yang menjadikan anak itu Yahudi, Majusi atau Nasrani. Sebagai mana sabda Rasulullah SAW :
Semua anak dilahirkan fithrah atau suci, orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi.”(H.R Bukhori dan Muslim) “Hadis di atas pada intinya menyatakan bahwa setiap anak itu lahir dalam keadaan fitrah, maka kedua orang tuanya yang akan menjadikan ia Yahudi, Nasrani, atau Majusi. Kalau sampai menjadi Yahudi, Majusi atau Nasrani orang tua mempertanggungjawabkannya”.13 Dari kedua orang tua terutama ibu, dan untuk pertama kali pengaruh dari sesuatu yang dilakukan ibu itu secara tidak 10
Zakiah Drajat, Pendidikan Agama Dalam Pembinaan Mental, ( Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1970), cet. 15, h. 61 11 Zakiah Drajat, Ilmu Jiwa Agama, ( Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1975), h. 109 12 Samsul Nizar, Pengantar Dasar-dasar Pemikiran Pendidikan Islam, ( Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001), cet. I, h. 126 13 Sudan, Al- Qur’an dan Panduan Kesehatan Masyarakat, (Yogyakarta: PT Darma Bakti Prima Yasa, 1997), h. 293
5
langsung akan membentuk watak atau ciri khas kepada anaknya. Ibu merupakan orang tua yang pertama kali sebagai tempat pendidikan anak. Karena ibu ibarat sekolah, jika ibu mempersiapkan anak berarti ibu telah mempersiapkan generasi yang kokoh dan kuat. Dengan generasi yang kuat berarti telah menginvestasikan sesuatu pada diri anak agar bermanfaat kelak mengarungi kehidupan yang lebih global. Itulah sebabnya pendidikan dalam keluarga disebut pendidikan yang pertama dan utama, serta merupakan peletak fondasi dari watak dan pendidikan anak. Begitu besarnya tanggung jawab orang tua dalam mendidik anak. Maka, Jalaludin dan Usman Said menyebut tanggung jawab orang tua adalah Pertama, mencegah anak dari kemungkaran dan selalu mengajak kepada kebaikan. Kedua, memberikan arahan dan binaan untuk selalu berbuat baik. Ketiga, beriman dan bertaqwa kepada Allah. Oleh karena itu tugas dan tanggung jawab orang tua adalah membimbing anak agar menjadi hamba yang taat menjalan ajaran agama.14 Makna pendidikan tidaklah semata-mata menyekolahkan anak ke sekolah untuk menimba ilmu pengetahuan, namun lebih luas daripada itu. Seorang anak akan tumbuh berkembang dengan baik manakala ia memperoleh pendidikan yang paripurna (komprehensif), agar ia kelak menjadi manusia yang berguna bagi masyarakat, bangsa, negara, dan agama. Anak yang demikian ini adalah anak yang sehat dalam arti luas, yaitu sehat fisik, mental, emosional, mental-intelektual, mental-sosial dan mental-spiritual. Pendidikan itu sendiri sudah harus dilakukan sedini mungkin terutama dalam lingkungan keluarga sebagai pencetak pertama generasi bangsa”. 15 Nurcholis Madjid salah satu tokoh cendikiawan muslim Indonesia yang cukup concern menyumbangkan
pemikirannya tentang pendidikan Islam dan
salah satunya yang tak luput dari perhatiannya adalah masalah pendidikan agama dalam keluarga. Mengingat ajaran agama adalah sebagai fondasi bagi kehidupan keluarga, maka pendidikan agama seharusnya dapat mewarnai kepribadian anak, sehingga agama itu benar-benar menjadi bagian dari pribadinya yang akan menjadi pengendali dalam kehidupanya dikemudian hari. Sehubungan dengan itu peran orang tua mendidik anak melalui pendidikan agama yang benar amat h .206
14
Fatah Yasin, Dimensi-Dimensi Pendidikan Islam, (Malang: UIN Malang Perss, 2008),
15
Dadang Hawari, Al-Qur'an: Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa, (Yogyakarta: PT Darma Bhakti Prima Yasa, 1996), hlm. 195 – 196.
6
penting. Namun, perlu direnungkan kembali apa sebenarnya arti pendidikan agama, Bagaimana pendidikan agama dalam keluarga, Dan nilai- nilai keagamaan apa saja yang harus ditanamkan kepada anak dalam keluarga. Berdasarkan latar belakang diatas, penulis merasa tertarik mengangkat tema ini dengan judul “ Peranan Pendidikan Agama
Dalam Keluarga
Menurut Nurcholish Majdid”.
B. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penulis mengidentifikasi masalah sebagai berikut: 1. Pendidikan keluarga merupakan pendidikan yang pertama dan utama bagi anak 2. Pendidikan agama dalam keluarga merupakan fondasi bagi kehidupan anak kelak 3. Pendidikan bagi anak tidak hanya menyekolahkan anak semata-mata namun anak harus mendapatkan pendidikan yang komprehensif yaitu dari sekolah, lingkungan dan terutama keluarga. 4. Bagaimana peranan pendidikan agama dalam keluarga menurut Nurcholish Madjid
C. Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah Dalam penelitian ini, penulis tidak berpretensi mengkaji seluruh aspek pemikiran Nurcolish Madjid, namun hanya dibatasi pada seputar pendidikan agama dalam keluarga menurut Nurcholish Madjid itu sendiri. Adapun rumusan masalah yang diajukan penulis yaitu bagaimana peranan pendidikan agama dalam keluarga menurut Nurcholish Majdid?
7
Demikianlah batasan dan rumusan masalah yang penulis ajukan dalam penelitian ini. Adapun judul yang penulis ajukan dalam skripsi ini, berdasarkan latar belakang masalah dalam penelitian ini.
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Peneliti Berdasarkan permasalahan di atas, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana pandangan Nurcholish Madjid tentang pendidikan agama dalam keluarga. 2. Manfaat Penelitian Nilai guna yang dapat diambil dari penelitian ini adalah : a) Secara Teoritis, penulisan ini sebagai bagian dari usaha untuk menambah khasanah ilmu pengetahuan di Fakultas Ilmu Tarbiyah dan keguruan pada umumnya dan jurusan pendidikan agama Islam khususnya. b) Secara Praktis, dengan meneliti pemikiran Nurcholish Madjid tentang peranan pendidikan agama dalam keluarga , maka akan menambah pemahaman yang lebih mendalam melalui studi pemikiran tokoh ini. Hasil dari pengkajian dan pemahaman tentang bagaimana pendidikan agama dalam keluarga sedikit banyak akan dapat membantu dalam pencapaian tujuan dalam membentuk keluarga yang bahagia dan islami.
8
BAB II KAJIAN TEORI A. Pengertian Pendidikan Agama Islam Agar
pembahasan
mengenai
pendidikan
lebih
terarah,
sebelum
mengemukakan lebih jelas mengenai arti pendidikan agama Islam, alangkah baiknya penulis mendefinisikan pendidikan secara etimologi
terlebih dahulu,
berikut adalah beberapa definisi pendidikan secara etimologi. Istilah pendidikan adalah terjemah dari bahasa Yunani paedagogie yang berarti “pendidikan” dan paedagogia yang berarti “pergaulan dengan anak.” Sedangkan orang yang tugasnya membimbing atau membimbing atau mendidik dalam pertumbuhannya agar dapat berdiri sendiri disebut paedagogos. Istilah paedagogos berasal dari kata paedos (anak) dan agoge (saya membimbing, memimpin). Jadi, dari istilah teresebut pendidikan bisa diartikan sebagai usaha yang dilakukan orang dewasa dalam pergaulannya dengan anak-anak untuk membimbing dan memimpin. perkembangan jasmani dan rohaninya ke arah kedewasaan.1 “Dalam Kamus Besar Bahasa indonesia, pendidikan berasal dari kata “didik”, mendapat awalan “pen” dan akhiran “an”, yang berarti proses pengubahan sikap dan tatalaku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan”.2
1
Armai Arif, Reformulasi Pendidikan Islam. (Jakarta: CRSD Press, 2005), cet-1, h.17 Abdullah Syukri Zarkasi, Gontor dan Pembaharuan Pendidikan Pesantren, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2005), ed-1 h.19 2
8
9
Dalam literatur arab pengertian pendidikan sering digunakan pada beberapa istilah, antara lain, at-talim ()اﻟﺘﻌﻠﯿﻢ, al- tarbiyah ( ) اﻟﺘﺮﺑﯿﺔ, dan al-ta’dib ()اﻟﺘﺎدﯾﺐ. “Namun demikian ketiga kata tersebut memiliki makna tersendiri dalam menunjuk pada pengertian pendidikan”.3 “Pertama, kata ta’lim ( )اﻟﺘﻌﻠﯿﻢmerupakan masdar dari kata ‘allama ()ﻋﻠّﻢ yang berarti pengajaran yang bersifat pemberian atau penyampaian pengertian, pengetahuan, dan masdar dari kata ‘allama ( )ﻋﻠّﻢyang berarti pengajaran yang bersifat
pemberian
atau
penyampaian
pengertian,
pengetahuan,
dan
keterampilan.”4 Penunjukan kata al-ta’lim pada pengertian pendidikan, sesuai dengan firman Allah SWT.
(۳۱:
)
Dan dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman; Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang orang-orang yang benar. (QS al Baqarah: 31). Bila batasan pengertian yang ditawarkan dari kata al-ta’lim dan ayat diatas, terlihat pengertian pendidikan mengandung makna yang sempit. Pengertian al-ta’lim hanya sebatas proses pentranferan seperangkat nilai antar manusia. Ia hanya dituntut untuk menguasai nilai yang di transfer secara kognitif dan psikomotorik, akan tetapi tidak dituntut pada domain afektif.5 Kedua, kata al-tarbiyah ()اﻟﺘﺮﺑﯿﺔ, merupakan masdar dari kata (ّ )ربyang berarti mengasuh, mendidik, dan memelihara.
3
Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia,(Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1989), h.37-
136-277 4
Samsul Nizar, Pengantar Dasar-dasar Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 001), cet. 1, h. 86 5 Ibid, h. 86
10
Sedangkan kata al-tarbiyah, ditinjau dari akar katanya dapat dilihat pada tiga bentuk, yaitu: a.
ﺗﺮﺑﻴﺔ, ﻳﺮﺑﻮ,
; yang berarti bertambah dan berkembang
b.
, ﺗﺮﺑﻴﺔ,
; yang berarti tumbuh dan menjadi besar
c.
ﺗﺮﺑﻴﺔ,
,
; yang berarti memperbaiki (ashlaha), mengurusi
urusannya, memelihara dan merawat, menunaikan, memperindah, memberi makan, tuan, memiliki, mengatur, dan menjaga kelestarian atau eksistensinya.6 Bila ditarik pada pengertian interaksi edukatif antara manusia dalam pendidikan, maka menurut An- Nahlawi yang dikutip oleh Syamsul Nizar istilah al-tarbiyah mengandung makna : a. Menjaga dan memelihara pertumbuhan fitrah (potensi) anak didik untuk mencapai kedewasaan a. Mengembangkan seluruh potensi yang dimilikinya, dengan berbagai sarana pendukung (terutama bagi akal budinya). b. Mengarahkan seluruh potensi yang dimiliki anak didik menuju kebaikan dan kesempurnaan, seoptimal munkin. c. Kesemua proses tersebut kemudian dilaksanakan secara bertahap sesuai dengan irama perkembangan diri anak.7 “Ketiga , istilah untuk pendidikan adalah al-ta’dib , merupakan masdar dari kata adabba, yang dapat diartikan kepada proses mendidik yang lebih tertuju pada pembinaan penyempurnaan akhlak atau budi pekerti peserta didik. Orientasi kata al-ta’dib lebih terfokus pada upaya pembentukan pribadi muslim yang akhlak mulia”.8 Menurut Muhammad Al-Naquib al-Attas sebagaimana dikutip oleh Syamsul Nizar, penggunaan terma al-ta’dib lebih cocok digunakan dalam
6
Samsul Nizar, Pengantar Dasar-dasar Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama,2 001), h. 87 7 Ibid, h. 90 8 Ibid, h. 90
11
dikursus pendidikan Islam, disbanding menggunakan terma at-ta’lim atau altarbiyah.9 Hal ini disebabkan, karena pengetian at-ta’lim hanya ditunjukan pada proses pentransferan ilmu, tanpa adanya pengenalan lebih mendasar pada perubahan tingkah laku. Sedangan terma al-tarbiyah penunjukan makna pendidikan masih bersipat umum. Secara terminologi, para ilmuwan mendefinisikan pendidikan dalam arti luas pada beberapa versi, yaitu sebagai berikut: a.
“Hasan langgulung memandang pendidikan bahwa sebagaimana dikutip oleh Syamsul Nizar, pendidikan sebagai upaya merubah dan memindahkan nilai budaya kepada setiap individu dalam masyarakat, yang melalui proses tertentu”.10
b.
Ahmad D. Marimba mengemukakan bahwa pendidikan ialah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh sipendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani siterdidik menuju terbentuk kepribadian yang utama.
c.
Ki Hajar Dewantoro mengemukakan bahwa pendidikan
sebagaimana
yang dikutip oleh Armai Arif adalah sebagai daya upaya untuk memajukan perkembangan budi pekerti (kekuatan batin), pikiran (intelek) dan jasmani anak-anak. “Maksudnya ialah supaya kita dapat memajukan kesempurnaan hidup, yaitu kehidupan dan penghidupan anak-anak, selaras dengan alam dan masyarakatnya”.11 Dari berbagai definisi pendidikan diatas dapat ditarik suatu pengertian bahwa pendidikan adalah usaha yang dilakukan seorang atau sekelompok orang (masyarakat) dalam memengaruhi orang lain atau peserta didik yang bertujuan untuk mendewasakan manusia seutuhnya, baik lahir maupun batin. Artinya,
9
Ibid, h. 90-91 Nizar, op. cit, cet. I, h. 92. 11 Armai Arief, Pembaharuan Pendidikan Islam Di Minangkabau, (Jakarta: Penerbit Suara Adi) cet.I, h. 32-33 10
12
dengan pendidikan, manusia bisa memiliki kesetabilan dalam pandangan hidup dan kesetabilan dalam nilai-nilai kehidupan dengan rasa tanggung jawab. Terminologi diatas, terkesan belum terlihatnya penekanan pada nilai-nilai religius atau agama sebagai nilai yang tak terlepaskan pada diri manusia, dan sebagai nilai kontrol. Untuk itu, para ilmuan muslim, mencoba untuk mendefinisikan terminologi pendidikan dalam perspektif Islam, yang secara khusus, pada beberapa versi. Namun , sebelum membahas pengertian agama dari segi terminologi terlebih dahulu penulis ingin membahas agama dari segi etimologi. “Menurut Nurcholish Madjid, Islam atau agama disebut juga sabagai din. Din adalah sistem ketundukan atau kepatuhan. Sedangkan masyarakat disebut madinah artinya suatu tempat dimana kehidupan itu terarur, karena orangorangnya tunduk dan patuh terhadap aturan.”12 “Menurut Zakiah Drajat, agama adalah kebutuhan jiwa manusia, yang mengatur dan mengendalikan sikap, pandangan hidup, kelakuan serta cara menghadapi tiap-tiap masalah.”13 Sedangkan pendidikan agama Islam adalah pendidikan dengan melalui ajaran-ajaran agama Islam, yaitu berupa asuhan dan bimbingan terhadap anak didik agar nantinya setalah selesai dari pendidikan ia dapat memaham, mengahayati dan mengamalkan ajaran-ajaran agama Islam yang telah diyakininya secara menyeluruh, serta menjadikan ajaran agama Islam itu sebagai suatu pandangan hidupnya demi keselamatandan kesejahteraan hidup di di dunia dan akhirat.14 Menurut Muhaimin, bahwa pendidikan agama Islam merupakan salah satu bagian pendidikan
Islam. Istilah “pendidikan Islam” dapat dipahami dalam
beberapa perspektif, yaitu: 1. Pendidikan menurut Islam, atau pendidikan yang berdasarkan Islam, dan/atau sistem pendidikan Islami, yakni pendidikan yang difahami dan 12
Nurcholish Madjid, Pesan-pesan Takwa, (Jakarta: Paramadina, 2000), cet. I, h.9 Zakiah Drajat, Pendidikan Agama Dalam Pembinaan Mental, ( Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1975), cet.3, h. 47 14 Zakiah Darajat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996 ), cet. II, h. 86 13
13
dikembangan serta disusun dari ajaran dan nilai-nilai fundamental yang terkandung dalam sumber dasarnya, yaitu al-Qur’an dan as Sunnah/hadist. 2. Pendidikan ke-Islaman atau pendidikan agama Islam, yakni upaya mendidik tentang agama Islam atau ajaran Islam dan nilai-nilainya, agar menjadi way of life (pandangan dan sikap hidup) seseorang. 3. Pendidikan dalam Islam, atau proses dan praktik penyelenggaraan pendidikan yang berlangsung dan berkembang dalam sejarah umat Islam. Dalam arti proses bertumbuh kembangnya Islam dan umatnya, baik Islam sebagai agama ajaran maupun sistem budaya dan peradaban, sejak zaman nabi Muhammad Saw. sampai sekarang.15 Ahmad Tafsir membedakan antara pendidikan agama Islam (PAI) dan pendidikan Islam. PAI dilakukan sebagai nama kegiatan mendidikan agama Islam. PAI sebagai mata pelajaran seharusnya dinamakan “Agama Islam”, karena yang diajarkan agama Islam bukan pendidikan agama Islam. Nama kegiatannya atau usaha-usaha dalam mendidikkan agama Islam disebut sebagai pendidikan agama Islam. Kata “pendidikan” ini ada dan mengikuti setiap mata pelajaran. Dalam hal ini PAI sejajar dengan pendidikan Matematika (nama mata pelajarannya adalah Matemateka) pendidikan Olahraga (nama mata pelajarannya adalah Olahraga) , pendidikan Biologi (nama mata pelajarannya adalah Biologi) dan seterusnya. Sedangkan pendidikan Islam adalah nama sistem, yaitu sistem pendidikan yang Islami, yang memiliki komponen-komponen yang secara keseluruhan mendukung terwujudnya sosok Muslim yang diidealkan. Pendidikan Islam ialah pendidikan yang teorinya-teorinya disusun berdasarkan Al-Quran dan Hadist.16 Jadi dari berbagai uraian diatas, pendidikan agama Islam dapat diartikan sebagai usaha sadar dan terencana yang dilakukan pendidik dalam rangka menyiapkan peserta didik untuk meyakini, memahami dan mengamalkan ajaran Islam, dengan kata lain pendidikan agama Islam adalah pendidikan untuk pertumbuhan total peserta didik, menjadikan ajaran agama Islam sebagai way of live (pandangan hidup) yang bersumber dan berdasarkan Al-Qur’an dan Hadist demi keselamatandan kesejahteraan hidup di di dunia dan akhirat. Setelah mengartikan pendidikan agama Islam secara panjang lebar melalui beberapa tokoh diatas, maka penulis ingin menambahkan arti pendidikan Islam itu sendiri, karena yang dimaksud pendidikan agama disini menurut Nurcholis Madjid adalah Pendidikan Islam. 15
Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam, di Sekolah, Madarasah dan Perguruan Tinggi, ( Jakarta: PT. Raja Gravindo Persada, 2007), h. 7- 8 16 Ibid, h. 6
14
“Dalam konteks pendidikan Islam, Hasan Langgulung memaknai pendidikan Islam sebagai proses untuk menyiapkan generasi muda dalam mengisi perannya, memindahkan pengetahuan dan nilai-nilai Islam yang diselaraskan dengan fungsi manusia untuk beramal di dunia dan akhirat”.17 “Pendidikan islam adalah suatu bimbingan jasmani dan rohani berdasarkan hukum-hukum agama Islam, menuju kepada terbentuknya kepribadian yang utama. Kepribadian utama menurut Islam tersebut adalah pribadi yang memiliki nilai-nilai agama Islam, bertanggung jawab dan sesuai dengan Al-Qur’an dan Hadist”.18 Sedangkan hasil rumusan seminar Pendidikan Islam se-Indonesia tahun 1960, memberikan pengertian pendidikan Islam yaitu sebagai bimbingan terhadap pertumbuhan rohani dan jasmani menurut ajaran islam
dengan hikmah
mengarahkan, mengajarkan, melatih, mengasuh dan mengawasi berlakunya semua ajaran Islam. “Istilah membimbing, mengarahkan, mengasuh, mengajarkan atau melatih mengandung pengertian usaha memengaruhi jiwa anak didik melalui proses setingkat demi setingkat menuju tujuan yang ditetapkan, yaitu menanamkan taqwa akhlak serta menegakan kebenaran sehingga terbentuklah manusia yang berpribadi dan berbudi luhur sesuai ajaran Islam”.19 Pendidikan Islam, menurut Prof. Dr. Omar Muhammad al-Toumy AlSyaebani, diartikan sebagai usaha mengubah tingkah laku individu dalam kehidupan pribadinya atau kehidupan kemasyarakatannya dan kehidupan dalam alam sekitarnya melalui proses kependidikan, perubahan itu dilandasi dengan nilai-nilai Islami. Jadi, proses pendidikan merupakan rangkaian usaha membimbing, mengarahkan potensi hidup manusia yang berupa kemampuan-kemampuan mendasar dan kemampuan belajar, sehingga terjadilah perubahan dialam kehidupan pribadinya sebagai makhluk individual dan sosial dalam hubungannya dengan alam sekitar dimana ia hidup. Proses tersebut senantiasa berada dalam nilai-nilai islami,
18 19
Zuhairi, Filsafat Pendidikan islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), h. 290 Muzain Arifin, Filsafat Pendidikan islam, (Jakarta: PT. Bumi Aksara,2009), cet. 4, h.
15
yaitu nilai-nilai yang melahirkan norma-norma syariah dan akhlak alkarimah.20 H.M Arifin memandang, bahwa : Pendidikan Islam adalah “suatu proses sistem pendidikan yang mencakup seluruh aspek kehidupan yang dibutuhkan oleh hamba Allah (anak didik) dengan berpedoman pada ajaran Islam”. Lebih lanjut dikemukakan, bahwa pendidikan Islam merupakan usaha dari orang dewasa (muslim) yang bertaqwa, yang secara sadar mengarahkan dan membimbing pertumbuhan serta perkembangan fitrah ( potendi dasar) anak didik melalui ajaran islam kearah titik maksimal pertumbuhan dan perkembangannya. 21
Dari beberapa pengertian di atas dapat ditarik suatu pengertian, bahwa yang dimaksud pendidikan Islam adalah suatu proses penanaman nila-nilai Islam, melalui pengajaran, bimbingan dan latihan yang dilakukan dengan sadar dan penuh dengan rasa tanggung jawab agar peserta didik mampu menghayati, memahami serta mengimani ajaran Islam tersebut, dalam rangka pembentukan pembinaan, pendayagunaan dan pengembangan, pikir, dan kreasi manusia, sehingga terbentuk pribadi muslim sejati, yang mampu mengembangkan kehidupannya dengan penuh tanggung jawab dalam rangka beribadah kepada Allah SWT. Untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.
B. Dasar Pendidikan Agama Islam Islam merupakan agama universal yang diwahyukan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW untuk disampikan kepada manusia diseluruh muka bumi ini sebagai jalan keselamatan dunia dan akhirat kelak. Untuk mencapai keselamatan dan kebahagiaan tersebut diperlukan adanya suatu usaha, yang merupakan kewajiban bagi manusia dan sebagai pelaksanaannya manusia harus berpedoman pada tata aturan yang telah ditentukan Allah SWT, karena dalam melakukan suatu perubahan kearah yang lebih baik, manusia sendiri yang melakukannya. 20
Armai Arief, Pembaharuan Pendidikan Islam Di Minangkabau, (Jakarta: Penerbit Suara Adi) cet. Ke-1, 34 21 Nizar, op. cit h. 93
16
Pendidikan merupakan suatu usaha sekaligus proses mencapai perubahan dan perbaikan dalam mencapai kebahagiaan hidup yang dilakukannya secara bertahap dan berkesinambungan dari sejak lahir hingga akhir hayat. Oleh karena tugas yang cukup berat dan mulia itu maka diperlukan suatu landasan, dasar atau fondasi tempat berpijak sehingga apa yang menjadi tujuan dari pendidikan tidak menyimpang dan pindah jalur. Dasar atau landasan pendidikan Islam itu terdiri dari Al-Qur’an, Sunnah Nabi Muhammad SAW dan ijthad. Al-Qur’an ialah firman Allah yang berupa wahyu yang disampaikan oleh Jibril kepada Nabi Muhammad SAW. Di dalamnya terkandung ajaran pokok yang dapat dikembangkan untuk keperluan seluruh aspek kehidupan melalui ijtihad. Ajaran yang terkandung dalam Al-Qur’an itu terdiri dari dua prinsip besar, yaitu yang hubungannya dengan masalah keimanan yang disebut Aqidah dan yang berhubungan dengan amal yang disebut Syari’ah.22 Didalam Al-Qur’an terdapat banyak ajaran yang berisi prinsip-prinsip berkenaan dengan kegiatan tau usaha pendidikan itu. Sebagai contoh dapat dibaca kisah Lukman mengajari anaknya dalam surar Lukman ayat 12- 19. Cerita itu mengariskan prinsip materi pendidikan yang terdiri dari masalah iman, akhlak ibadat, sosial dan ilmu pengetahuan. Ayat lain menceritakan tentang tujuan hidup dan tentang nilai sesuatu kegiatan amal shaleh. Itu berarti bahwa kegiatan pendidikan harus mendukung tujuan hidup tersebut. Oleh karena itu pendidikan Islam harus menggunakan Al-Qur’an sebagai sumber utama dalam merumuskan berbagai teori tentang tentang pendidikan Islam. 23 Sementara itu selain Al-Qur’an, hadits Nabi pun sebagai landasan dalam pendidikan Islam yang ideal. Hadists Nabi yang dijadikan landasan ialah berupa perkatan, perbuatan atau pengakuan Nabi dalam bentuk isyarat. Yang dimaksud dengan pengakuan isyarat ialah sesuatu perbuatan yang dilakukan oleh sahabat atau orang lain dan Nabi membiarkan saja dan perbuatan atau kejadian itu terus 22 23
Zakiah Darajat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996 ), cet. II, h. 19 Ibid, h. 20
17
berlangsung. Didalam hadist Nabi berisi tentang aqidah, syariah, dan akhlak seperti Al-Qur’an, yang juga berkaitan dengan pendidikan. Yang lebih penting lagi ialah dalam hadist Nabi tercermin tingkah laku dan suru tauladan Nabi Muhamad yang harus diikutin setiap muslim sebagi satu model kepribadian Islam.24 Selanjutnya, untuk menetapkan atau mentukan suatu hukum syariat Islam dalam hal-hal tertentu yang ternyata belum dijelaskan dalam Al-Qur’an dan alSunnah, maka diperlukan ijtihad para fuqaha dengan menggunakan seluruh ilmu yang mereka miliki. Begitu pula dalam masalah pendidikan Islam diperlukan juga ijtihad para fuqaha. Masalah pendidikan Islam terus berkembang sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam kurun waktu kewaktu.25 Hasil ijtihad para ulama Islam dijadikan sebagai landasan pengembangan pendidikan Islam. Maksudnya, landasan pengembangan pendidikan Islam ialah hasil pemikiran ulama Islam yang berkaitan dengan masalah pendidikan, kemudian dijadikan sebagi rujukan atau dasar untuk melaksanakan kegiatan pendidikan. Dari uraian diatas, dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa, sumber nilai yang menjadi dasar pelaksanaan kegiatan pendidikan Islam secara general adalah Al-qur’an, dan sunnah Nabi, serta hasil ijtihad umat Islam. Didalam ketiga sumber tersebut, al-Qur’an dioposisikan sebagai sumber ideal, hadist sebagi sumber operasional dan ijtihad sebagai sumber dinamika pengembangan pendidikan Islam. Hasil ijtihad dikatakan sebagai dinamika pendidikan Islam, karena pemiran manusi (ulama) dalam kurun waktu tertentu dalam kontekst sosia-historisnya selalu mengalami perubahan. Hal ini menghendaki pemikiran pendidikan Islam juga harus selalu berkembang, agar bisa dijadikan sebagai sumber atau landasan
24
Djumransjah, Abdul Malik Karim Amrullah, Pendidikan Islam Menggali Tradisi Mengukuhkan Eksisntensi, ( Malang : UIN Malang Press, 2007), cet. I, h. 53 25 Ibid, h.56
18
pelaksanaan pendidikan Islam yang kontekstualnya sesuai dengan kebutuhan masyarakat.26
C. Tujuan Pendidikan Islam Istilah “tujuan” secara etimologi, mengandung arti arah, maksud, atau haluan. Dalam bahasa Ingris diistilahkan dengan “goal, purpose, objectives atau am”.secara terminologi berarti sesuatu yang diharapkan tercapai setelah sebuah usaha atau kegiatan”. Selain itu merujuk kepada konsep rububiyah Allah terhadap manusia. Maka pendidikan Islam berfungsi untuk mempersiapkan manusia agar mampu melaksanakan tugas dan fungsi kekholifahan di muka bumi ini. Dikatakan oleh Dr. Zakiah Daradjat bahwa : Tujuan pendidikan Islam secara keseluruhan, yaitu kerpibadian seorang yang membuatnya menjadi insan kamil dengan pola taqwa, insan kamil artinya manusia utuh rohani dan jasmani, dapat hidup dan berkembang secara wajar dan normal karena taqwanya kepada Allah SWT. Ini mengandung arti bahwa pendidikan Islam itu diharapkan mengahasilkan manusia yang berguna bagi dirinya dan masyarakatnya serta senang dan gemar mengamalkan dan mengembangkan ajaran Islam dalam berhubungan dengan Allah dan dengan sesamanya dapat mengambil manfaat yang semakin yang semakin meningkat dari alam semesta ini untuk kepentingan hidup didunia kini dan diakhirat nanti. Tujuan ini kelihatanya terlalu ideal, sehingga sukar dicapai. Tetapi, dengan kerja keras yang dilakukan secara berencana dengan kerangka-kerangka kerja yang konsepsional mendasar, pencapaian tujuan ini bukanlah suatu yang mustahil. Imam Al- Ghazali mengatakan bahwa: “ Ada dua tujuan pendidikan yang ingin dicapai, yaitu kesempurnaan manusia yang bertujuan mendekatkan diri dalam arti kualitatif- kepada Allah Swr, serta kesempurnaan manusia yang bertujuan kebahagiaan dunia dan akherat. Walaupun terbentuknya hanya satu tetapi ibarat pisau bermata dua. Untuk menjadikan manusia Insan Kamil tidaklah tercipta hanya sekejap mata tapi melalui proses yang panjang dan ada syarat-syarat yang harus dipenuhi yaitu dengan mempelajari berbagai ilmu, mengamalkannya, dan menghadapi berbagai cobaan yang munkin terjadi dalam proses pendidikan”.
26
h. 47- 49
Fatah Yasin, Dimensi-Dimensi Pendidikan Islam, (Malang: UIN Malang Press, 2008),
19
“Secara umum pendidikan agama Islam bertujuan untuk meningkatkan keimanan, pemahaman, penghayatan dan pengamalan peserta didik tentang agama Islam, sehingga menjadi manusia muslim yang beriman dan bertaqwa kepada Allah Swt serta berakhlak mulia dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat berbangsa dan bernegara.” Sedangkan menurut Ibnu Taymiah bahwa tujuan pendidikan Islam itu adalah: 1. Pembinaan pribadi muslim yang mampu berfikir, merasa dan berbuat sebagai mana yang dieperintahkan oleh ajaran Islam , terutama dalam menanamkan akhlak Islam seperti bersikap benar dalam segala aspek kehidupan. 2. Mewujudkan masyarakat islam yang mampu mengatur hubungan sosial sejalan dengan syariat Islam dalam hal ini mampu menciptakan kultur yang Islami kerena ikatan Aqidah Islam. 3. Mendakwahkan ajaran Islam sebagai tatanan universal dalam pergaulan hidup. Perumusan tujuan pendidikan ini menjadi penting artinya bagi proses pendidikan, karena dengan adanya tujuan yang jelas dan tepat maka arah proses itu akan jelas dan tepat pula. Tujuan pendidikan Islam dengan jelas mengarah kepada terbentuknya insal kamil yang berkepribadian muslim, merupakan perwujudan manusia seutuhnya, taqwa cerdas, baik budi pekerinya, terampil kuat kepribadiannya, berguna bagi diri sendiri, agama, keluarga, masyarakat dan negara. Ia menjadi “kholifah fil ardl” yang cakap sesuai dengan bidang masingmasing. Dari berbagai uraian diatas jelaslah bahwasanya tujuan pendidikan islam itu tidak sempit. Tujuan pendidikan Islam menjangkau seluruh aspek kehidupan manusia yang selalu berorientasi kepada penyerahan diri kepada Allah Swt. Citacita dan nilai-nilai yang ingin diwujudkan adalah kebahagian kehidupan dunia dan akhirat. D. Pola Asuh 1. Pengetian Pola Asuh
20
Setiap orang tua pasti menginginkan anaknya menjadi orang yang berkepribadian baik, sikap mental yang sehat serta akhlak yang terpuji. Orang tua sebagai pembentukpribadi yang pertama dalam kehidupan anak harus menjadi teladan yang baik begi anak-anaknya. Sebagai mana dikatakan Zakiah Darajat, bahwa: “ kepribadian orang tua, sikap dan cara hidup merupakan unsur-unsur pendidikan yang secara tidak langsung akan masuk ke dalam pribadi anak yang sedang tumbuh’.27 Ki Hajar Dewantara menyatakan bahwa, keluarga merupakan: “ pusat pendidikan” yang pertama yang terpenting karena sejak timbulnya adab kemanusiaan sampai kini, keluarga selalu mempengaruhi pertumbuhan budi pekerti tiap-tiap manusia. Disamping itu, orang tua dapat menanamkan benih kebatinan yang sesuai dengan kebatinannya sendiri kedalam jiwa anak-anaknya. Inilah hak orang tua yang utama dan tidak bisa dibatalkan oleh orang lain. 28 Dalam mendidik anak, terdapat bermacam bentuk pola asuh yang bisa dipilih dan digunakan orang tua. Sebelum berlanjut kepembahasan berikutnya, terlebih dahulu akan dikemukakan pengertian pola asuh itu sendiri. “Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pola asuh berarti corak, model, sistem, cara kerja, bentuk struktur yang tetap”.29 “Sedangkan kata asuh dapat berarti menjaga atau merawat dan mendidik, memimpin (mengepalai dan menyelenggarakan suatu lembaga).”30 Lebih jelasnya kata asuh adalah mencakup segala aspek yang berkaitan dengan pemeliharaan, perawatan, dukungan, bantuan, sehingga orang tetap berdiri menjalani hidupnya secara sehat. Menurut Yaumil Agoes Achir “Pola asuh adalah tata sikap dan prilaku orang tua dalam membina kelangsungan hidup anak, perlindungan anak secara menyeluruh baik fisik, sosial maupun rohani”.31 “Pola asuh di dalam keluarga juga dapat diartikan sebagai perilaku dan sikap orang tua ketika bergaul dan berkomunikasi dengan anaknya, karena secara 27
Zakiah Darajat, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), h. 56 Moh. Shochib, Pola Asuh Orang Tua, (Jakarta: PT, Rineka Cipta, 2000) h. 10 29 Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1988), h. 54 30 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1988), cet. Ke.I, h 692 31 Soegeng Santoso, Problematika Pendidikan dan Cara Pemecahannya , (Jakarta: Kreasi Pena Gading, 2001) h. 148 28
21
sadar atau tidak ketika orang tua berkomunikasi dengan anaknya dalam kehidupan sehari-hari mereka berbuat sesuai sikap atau prilakunya sendiri, keras lembut atau bijaksana”.32 Pola asuh pada hakikatnya adalah cara orang tua dalam mendidik anak untuk bertindak sesuai dengan apa yang telah ditentukan dengan menggunakan kekuasaan tanpa memaksakan dalam melakukan suatu tindakan yang diinginkan. Dari uraian diatas mengenai pola asuh maka penulis mendefinisikan pola asuh adalah interakasi yang terjadi antara orang tua dan anak dimana orang tua bermaksud menstimulasi anak nya dengan mengubah tingkah laku, pengetahuan, serta nilai-nilai yang dianggap paling tepat oleh orang tua, agar anak mampunyai pribadi yang utama. Dalam kaitan dengan pendidikan agama orang tua dapat menstimulasi anaknya dengan memasukan unsur-unsur nilai relegius pada diri anaknya. 2. Bentuk-bentuk Pola Asuh Menurut Baumrind yang dikutip dari buku Agoes Dariyo, “ Psikologi Perkembangan”, Beliau mengatakan bahwa terdapat 4 macam pola asuh orang tua, diantaranya: 1. Pola Asuh Demokratis. Pola asuh demokratis adalah pola asuh yang memprioritaskan kepentingan anak, akan tetapi tidak ragu-ragu mengendalikan mereka. Orang tua dengan pola asuh ini bersikap rasional, selalu mendasari tindakannya pada rasio dan pemikiran-pemikiran. 2. Pola Asuh Otoriter Pola asuh ini cenderung menetapkan standar yang mutlak harus dituruti, biasanya dibarengi dengan ancaman-ancaman. Orang tua tipe ini cenderung memaksa, memerintah, dan menghukum. 3. Pola Asuh Permisif Pola asuh ini memberikan pengawasan yang sangat longgar. Memberikan kesempatan kepada anaknya untuk melakukan sesuatu tanpa pemaksaan yang cukup darinya. Mereka cenderung tidak menegur atau memperingatkan anak apabila anak sedang dakam bahaya. 32
Muhammad Nur Abdul Hafizh, mendidik anak bersama Rasulullah SAW,(Bandung: Albayan, Kelompok Penerbit Mizan, 1983), h. 35
22
4. Pola Asuh Penelantar Orang tua tipe ini pada umunya memberikan waktu dan biaya yang sangat minim pada anak-anaknya. Waktu mereka banyak digunakan untuk keperluan pribadi mereka, seperti bekerja, dan juga kadangkal biaya pun dihemat-hemat untuk anak mereka. Termasuk dalam tipe ini adalah prilaku penelantar secara fisik dan psikis pada ibu yang depresi.33 E. Keluarga “Dalam kamus besar Bahasa Indonesia keluarga adalah suatu kerabat yang mendasar dalam masyarakat yang terdiri dari ibu dan bapak dengan anakanaknya”.34 Menurut psikologi, keluarga bisa diartikan sebagai dua orang yang berjanji hidup bersama yang memiliki komitmen atas dasar cinta, menjalankan tugas dan fungsi yang saling terkait karena sebuah ikatan batin, atau hubungan perkawinan yang kemudian melahirkan ikatan sedarah, terdapat pula nilai kesepahaman, watak, kepribadian yang satu sama lain saling mempengaruhi walaupun terdapat keragaman, menurut ketentuan norma, adat, nilai yang diyakini dalam membatasi keluarga dan yang bukan keluarga.35 Prof. Quraish Shihab mengatakan: “Keluarga adalah jiwa masyarakat dan tulang punggungnya. Kesejahtraan lahir dan batin yang dinikmati oleh suatu bangsa, atau sebaliknya, kebodohan, dan keterbelakangannya, adalah cerminan dari keadaan keluarga-keluarga yang hidup pada masyarakat itu. Lebih jelas lagi beliau mengatakan bahwasanya hakikat diatas adalah kesimpulan pandangan dari berbagai disiplin ilmu, termasuk pakar-pakar agama Islam. Itulah antara lain yang menjadi sebab sehingga agama Islam memberikan perhatian yang sanagt besar terhadap pembinaan keluarga, perhatian yang sepadan dengan perhatiannya terhadap kehidupan individu serta kehidupan manusia secara keseluruhan.”36
33
Agoes Dariyo, Psikologi Perkembangan / Atitama, ( Bandung: PT, Refika Aditama, 2007), hlm. 206-208 34 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kedua, (Jakarta: Balai Pustaka, 1996) hal. 471 35 Mufidah Ch, Psikologi Keluarga dalam Berwawasan Gender, (Malang: UIN Malang Press, 2008 ) cet. I, hal. 38 36 Quraish Shihab, Membumikan Al-Qu’an Peran dan Fungsinya Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat.( Bandung: Mizan, 1994) cet. IV h.53
23
Pada intinya lembaga keluarga terbentuk melalui temuan suami dan istri yang permanen dalam masa yang cukup lama sehingga berlangsung proses reproduksi. Dalam bentuknya yang paling umum dan sederhana, keluarga terdiri dari ayah, ibu, dan anak (keluarga batih). Dua komponen yang pertama, ibu dan ayah dapat dikatakan sebagai komponen yang sangat menentukan kehidupan anak, khususnya pada usia dini. “Baik ayah maupun ibu, keduanyan adalah pengasuh utama dan pertama bagi sang anak dalam lingkungan keluarga, baik karena alasan biologis maupun psikologis”.37 “Ki Hajar Dewantara sebagai tokoh pendidikan berpendapat bahwa keluarga adalah kumpulan beberapa orang yang karena terikat oleh satu keturunan lalu mengerti dan merasa berdiri sebagai satu gabungan yang hakiki, esensial, enak dan berkehendak bersama-sama memperteguh gabungan itu untuk memuliakan masing-masing anggotanya”.38 Dari beberapa pengertian keluarga diatas maka penulis dapat mangambil kseimpulan bahwa keluarga adalah unit terkecil dalam masyarat yang terdiri dari ayah, ibu dan anak yang terikat oleh satu keturunan yang masing-masing anggotanya mempunyai peran dan tanggung jawab.
F. Fungsi Keluarga Keluarga adalah unit satuan masyarakat yang terkecil yang sekaligus merupakan suatu kelompok kecil dalam masayarakat. Kelompok ini dalam hubungannya dengan perkembangan individu, sering dikenal dengan sebutan primary group. Kelompok inilah yang melahirkan individu dengan berbagai macam bentuk kepribadiannya dalan nasyarakat. “Tidaklah dapat dipungkiri,
37
Fuaduddin, Pengasuhan Anak dalam keluarga Islam. (Jakarta: Lembaga Kajian Agama dan Jender, 1999), h. 5-6 38 Abu Ahmadi, Ilmu Sosial Dasar, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1991), ce. II, h. 96
24
bahwa sebenarnya keluarga mempunyai fungsi tidak hanya terbatas selaku penerus keturunan saja.”39 Secara sosiologis, Djudju Sudjana mengemukakan tujuh macam fungsi keluarga, yaitu: 1. Fungsi biologis, perkawinan dilakukan antara lain bertujuan agar memperoleh keturanan, dapat memelihara kehormatan serta martabat manusia sebagai mahluk berakal dan beradab. Fungsi biologis inilah yang membedakan manusia dengan binatang, sebab fungsi ini di atur dalam suatu norma perkawinan yang diakui masyarakat. 2. Fungsi edukatif, keluarga merupakan tempat pendidikan bagi semua anggotanya dimana orang tua memiliki peran yang cukup penting untuk membawa anak menuju kedewasaan jasmani dan ruhani dalam dimensi kognitif, afektif maupun skill, dengan tujuan untuk mengembangkan aspek spiritual, moral, intelektual, dan profesional. 3. Fungsi religius, keluarga merupakan tempat penanaman nilai moral agama melalui pemahaman, penyadaran praktek dalam kehidupan sehari-sehari sehingga tercipta iklim keagamaan didalamnya. 4. Fungsi protektif, dimana keluarga menjadi tempat yang aman dari gangguan internal maupun eksternal keluarga dan untuk menangkal segala pengaruh negatif yang masuk di dalamnya. 5. Fungsi sosialisasi adalah berkaitan dengan mempersiapkan anak menjadi anggota masyarakat yang baik, mampu memegang normanorma kehidupan secara universal baik inter relasi dalam keluarga itu sendiri maupun dalam menyikapi masyarakat yang pluralistik lintas suku, bangsa, ras, golongan, agama, budaya, bahasa maupun jenis kelaminnya. 6. Fungsi rekreatif, bahwa keluarga merupakan tempat yang dapat memberikan kesejukan dan melepas lelah dari seluruh aktifitas masingmasing anggota keluarga. Fungsi rekreatif ini dapat mewujudkan suasana keluarga yang menyenangkan, saling menghargai, menghormati, dan menghibur masing-masing anggota keluarga sehingga tercipta hubungan harmonis, damai, kasih sayang dan setiap angota keluarga merasa “ rumahku adalah syugaku”. 7. Fungsi ekonomis, yaitu keluarga merupakan kesatuan ekonomis dimana keluarga memiliki aktifitas mencari nafkah, pembinaan usaha, perencanaan anggaran, pengelolaan dan bagaimana memanfatkan sumber-sumber penghasilan dengan baik, serta mempertanggung jawabkan kekayaan harta bendanya secara sosial maupun moral.40 Guna merealisasikan fungsi diatas, keluarga dapat menawarkan sekaligus dapat memperkenalkan beberapa kegiatan pendidikan kepada anak, antara lain: 39 40
Ibid, cet. II, h. 87 Mufidah Ch, op. cit, cet. I, hal. 42-47
25
a. Pendidikan jasmani yaitu kegiatan pendidikan yang dilakukan oleh dan dalam keluarga terhadap perkembangan fisik anak tidak berarti hanya perkembangan otot dan tenaga saja, melainkan juga menyiapkan kontruksi fisiknya secara sehat dan baik. b. Pendidikan intelektual yaitu kegiatan orang tua yang dapat merangsang intelektual anak. Sebagai contoh dengan cara menumbuhkan kesadaran untuk membaca buku pada diri anak, yaitu dengan menyediakan perpustakaan kecil dikamar anak. c. Pendidikan emosional, hal terpenting dalam pengembangan emosi anak adalah menciptakan mengarahkan emosinya. Pencapaian kearah ini, perlu diwujudkan lingkungan dan suasana harmonis antara orang tua dan anaknya. Serta perlu ditumbuh kembangkan jalinan cinta kasih dan sikap positif orang tua terhadap anaknya. d. Pendidikan sosial, dalam hubungan keluarga akan terjadi interaksi antara orang tua dan anak-anak yang lain. Dengan interaksi tersebut terjadilah sosialisasi antara mereka untuk menentukan norma-norma tertentu, agar anak memahami kewajibannya sebagai anggota keluarga. Untuk mengoptimalkan pendidikan sosial pada anak orang tua dapat memberikan beberapa kegiatan misalnya, anak diberikan kesempatan bergaul secara terbuka dengan masayarakat. e. Pendidikan moral dan agama, dalam keluarga orang tua sebaiknya menanamkan sejak dini, pendidikan agama, dasar-dasar etika dan moral melalui keteladanan atau uswah hasanah karena dengan contoh yang posisif dari orang tua akan mebentuk kepribadian anak karena pada masa perkembangan seorang anak banyak mengadopsi pola perilaku apa saja yang ditampilkan dalam keluarganya.41 G. Peranan Pendidikan Agama dalam Keluarga Barangkali sulit untuk mengabaikan peran keluarga dalam pendidikan. Anak-anak sejak masih bayi hingga usia sekolah memiliki lingkungan tunggal, yaitu keluarga. Makanya tak mengherankan bila Gilbet Highest menyatakan bahwa kebiasaan yang dimiliki anak-anak sebagian besar terbentuk oleh pendidikan keluarga. “Sejak dari bangun tidur hingga ke saat akan tidur kembali, anak-anak menerima pengaruh dan pendidikan dari lingkungan keluarga.”42 Keluarga adalah wadah pertama dan utama bagi pertumbuhan dan perkembangan anak dan pengembangan anak. Jika suasana dalam keluarga itu baik dan menyenangkan, maka anak akan tumbuh dengan baik pula. Jika tidak tentu akan terhambatlah pertumbuhan anak tersebut. Peranan ibu dalam keluarga 41
A.Fatah Yasin, Dimensi-dimensi Pendidikan Islam,( Malang :Uin Malang Press,2008), cet. Ke-1, h. 210-213 42 Jalaludin, Psikologi Agama, ( Jakata: PT. Aja Gafindo, 2005) cet. I, h. 227
26
amat penting. Dialah yang mengatur, membuat rumah tangganya menjadi syurga bagi anggota keluarga, menjadi mitra sejajar yang saling menyayangi dengan suaminya. Keluarga menurut para pendidik merupakan lapangan pendidikan yang pertama dan pendidiknya adalah orang tuanya. Orang tua adalah pendidik kodrati. Mereka pendidik bagi anak-anaknya karena secara kodrat ibu dan bapak diberikan anugrah oleh Tuhan pencipta berupa naluri orang tua. “Karena naluri itu timbul rasa kasih sayang para orang tua kepada anak-anak mereka, hingga secara moral keduanya merasa terbeban
tanggung jawab untuk memelihara, mengawasi,
melindungi serta membimbing keturunan mereka.”43 “Menurut Rasulallah Saw, fungsi dan peran orang tua bahkan mampu untuk membentuk kearah keyakinan anak-anak mereka. Menurut beliau setiap bayi dilahirkan sudah memiliki potensi untuk beragama, namun bentuk keyakinan agama yang akan di anut anak sepenuhnya tergantung dari bimbingan, pemeliharaan, dan pengaruh kedua orang tua mereka”.44 Suasana keluarga yang aman dan bahagia, adalah wadah yang baik dan subur bagi pertumbuhan jiwa anak yang lahir dan dibesarkan dalam keluarga itu. Semua pengalaman yang dilalui si anak sejak lahirnya itu merupakan pendidikan agama, yang diterimanya secara tidak langsung, baik melalui penglihatan, pendengaran dan perlakuan yang diterimanya. Kalau dia sering menyaksikan kedua orang tuanya sembahyang, berdo’a, berpuasa, dan tekun menjalan kan ibadah, maka apa yang dilihatnya itu, merupakan pengalaman yang akan menjadi bagian dari pribadinya, serta akan masuklah unsur agama dalam pembinaan pribadinya. Demikian pulalah dengan pengalaman melalui pendengaran dan perlakuan orang tua mencerminkan ajaran agama.45 Keluarga adalah basis awal pengembangan pendidikan bagi anak-anak. Keluarga sebagai institusi yang sejak dini dan awal telah menanamkan sendi-sendi kehidupan bagi masa depan manusia terutama bagi anak-anak yang masih sangat membutuhkan arahan, bimbingan dan pedoman hidup kedepan. Namun demikian, orang tua dalam kehidupan keluarga harus memposisikan diri sebagai fasilitator dalam segala kebutuhan anak, baik sebagai tempat mengadu, meminta, dan tempat berkonsultasi bagi 43
Zakiah Drajat, Pendidikan Islam Dalam Keluarga dan Sekolah, ( Jakarta: CV. Ruhama, 1995), h. 47 44 Jalaludin, Op. Cit. h. 230. 45 Zakiah Drajat, Pendidikan Agama Dalam Pembinaan Mental, (Jakarta: PT. Bulan Bintang ) h. 95
27
perkembangan pendidikan anak dalam kehidupannya. Islam memandang bahwa orang tua memiliki tanggung jawab penuh dalam mengantarkan anak-anaknya, untuk bekal kehidupan kelak, baik kehidupan dunia maupun ukhrawi.”46 Pendidikan agama di lingkungan keluarga sangat besar peranannya dalam pembentukan kepribadian bagi anak-anak, karena di lingkungan keluargalah anakanak pertama kali menerima pendidikan yang dapat mempengaruhi perkembangan anak selanjutnya. Agar anak-anak memiliki kepribadian yang baik dan terhindar dari pelanggaran-pelanggaran moral, maka perlu adanya pembinaan agama sejak dini kepada anak-anak dalam keluarga. Proses pembinaan nilai-nilai agama dalam membentuk kepribadian aakanak dapat dimulai sejak anak lahir sampai ia dewasa. Ketika lahir diperkenalkan dengan kalimah thoyyibah, kemudian setelah mereka tumbuh dan berkembang menjadi anak-anak, maka yang pertama harus ditanamkan ialah nilai-nilai agama yang berkaitan dengan keimanan, sehingga anak meyakini adanya Allah dan dapat mengenal Allah dengan seyakin-yakinnya . Bersamaan dengan itu, anak-anak juga dibimbing mengenai nilai-nilai moral, seperti cara bertutur kata yang baik, berpakaian yang baik, bergaul dengan baik, dan lain-lainnya. Kepada anak-anak juga ditanamkan sifat-sifat yang baik, seperti nilai-nilai kejujuran, keadilan, hidup serderhana, sabar dan lain-lainnya. Selain itu, agar anak-anak memiliki nilai-nilai moral yang baik, juga di dalam keluarga, khususnya antara ibu dan bapak harus menjaga harmonisasi hubungan antara keduanya dan harus menjadi suri tauladan bagi anak-anaknya H. Hasil Penelitian yang Relevan Sepanjang pengetahuan dan kajian pustaka yang penulis lakukan, terdapat beberapa karya tulis, baik berbentuk skripsi, tesis maupun karya buku utuh yang telah mengkaji lebih dahulu terkait dengan pemikiran Nurcholish Madjid. Namun demikian berdasarkan analisis penulis, dari seluruh kajian ilmiah tersebut, belum ada satupun penelitian yang mengangkat tentang pendidikan agama dalam keluarga menurut Nurcholish Madjid. Untuk menunjukan asumsi tersebut, maka 46
Yasin, op. cit, h. 220
28
disini penulis akan menguraikan satu persatu, namun hanya sebagian saja yang penulis anggap sudah mewakili beberapa karya lainnya. Pertama, adalah karya tulis Drs. Yasmadi, MA. Modernisasi Pesantren Kritik Nurcholish Madjid Terhadap Pendidikan Islam Tradisional, dalam bukunya beliau membahas tentang kekecewaan Nurcholish Madjid terhadap lembaga pendidikan Islam Tradisional (pesantren), menurutnya pendidikan Islam tradisional sudah mulai meninggalkan akar sejarahnya. Buku ini berupaya membedah secara tuntas akar kekecewaan dan kelemahan pesantren di Indonesia. Kritikan Cak Nur sebenarnya dalam rangka menemukan landasan filosofis yang lebih mendasar dan konstruktif guna menata kembali dunia pendidikan Tradisional Islam Indonesia. Bagi Cak Nur, perwujudan masyarakat madani merupakan tanggung jawab institusi pesantren. Karena itu pesantren seyogianya respon dengan perkembangan dunia modern dan modernisasi pendidikan pesantren. Kedua, adalah karya tulis Yusuf. E, Analisa Gagasan Nurcholish Madjid Tentang Pengembangan Kurikulum Pesantren. Skripsi ini membahas gagasan Nurcholish Madjid tentang kurikulum pesantren, menurutnya pesantren masih di dominasi dengan pelajaran-pelajaran agama,
kurikulum bahkan
materinya hanya khusus disajikan dalam bahasa Arab. Adapun mata pelajarannya meliputi fiqih (paling utama), aqaid, nahwu-sharaf (juga mendapat kedudukan penting), dan lain-lain. Sedangkan tasawuf menurutnya inti dari kurikulum “keagamaan” cenderung terabaikan. Disisi lain, pengetahuan umum nampaknya masih dilaksanakan setengah-setengah sehingga kemampuan santri sangat terbatas dan kurang mendapatkan pengakuan dari masyarakat. Jadi pada umumnya pembagian keahlian dilingkungan pesantren yang pada; nahwu-sharaf, fiqih, aqaid, tasawuf, bahasa arab dan lain-lain. Dan penyempitan orientasi kurikulum pesantren ini menurutnya selain ada sisi positifnya, tetapi juga mempunyai dampak negatif bagin pesantren itu sendiri.
29
Ketiga, adalah sebuah tesis yang berjudul Konsep Pembaharuan Pendidikan Islam Menurut Nurcholish Madjid karya Abdul Rahman, konsep pembaharuan pendidikan menurut Nurcholish Madjid sangat dipengaruhi oleh faham pembaharuannya dalam ajaran Islam, yaitu rasionalis, kristis, inklusif, pluralis dan liberal. Visi dan misi pendidikan menurut Nurcholish Madjid adalah mewujudkan suatu sistem pendidikan yang memiliki keterpaduan antara unsur keislaman, keindonesian dan keilmuan. Sedangkan tujuan pendidikan menurutnya ialah selain menumbuhkan nilai-nilai yang universal seperti masyarakat madani tujuan pendidikan menurut Nurcholish Madjid juga untuk mengembangkan SDM yang unggul. Selain itu, menurut Nurcholish Madjid lembaga pendidikan sebaiknya dengan sungguh-sungguh memikirkan pengadaan gedung atau ruang perpustakaan yang memadai. Lembaga- lembaga pendidikan dan keilmuan yang tinggi yang bermutu biasanya menempatkan gedung perpustakaan sebagai bangunan sentral kompleks atau kampusnya. Sementara itu, isi perpustakaan adalah faktor yang lebih-lebih lagi amat menentukan tinggi rendahnya mutu pendidikan, penelitian dan keilmuan lembaga ilmiah itu. Dari uraian beberapa karya ilmiah diatas yaitu sebuah buku yang berjudul Modernisasi Pesantren Kritik Nurcholish Madjid Terhadap Pendidikan Islam Tradisional , skripsi yang berjudul Analisa Gagasan Nurcholish Madjid Tentang Pengembangan
Kurikulum Pesantren
dan
tesis
yang berjudul
Pembaharuan Pendidikan Islam Menurut Nurcholish Madjid,
Konsep
dari hasil
pengaamatan penulis maka apa yang ingin dikaji penulis dalam penelitian ini berbeda. Pada penelitian ini, penulis ingin lebih memfokuskan kajian terhadap pandangan Nurcholish Madjid tentang pendidikan agama dalam keluarga , yang menurut dugaan kuat sementara penulis syarat sekali dengan nilai-nilai religius dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karenanya adalah sebuah keharusan ilmiah dan intelektual untuk melakukan penelitian lebih lanjut untuk menguji kebenaran hipotesis tersebut. Maka masih terbuka lebar bagi penulis untuk melalakukan penelitian skripsi ini, disamping juga belum ada yang meneliti sebagaimana telah penulis kemukakan.
30
30
BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian yang berjudul “ Peranan Pendidikan Agama Dalam Keluarga Menurut Nurcholish Madjid.” Ini dilaksanakan dari bulan Juni 2013 sampai bulan April 2014 digunakan untuk pengumpulan data mengenai sumber-sumber tertulis yang diperoleh dari teks book yang ada di perpustakaan, serta sumber lain yang mendukung penelitian, terutama yang berkaitan dengan pendidikan agama dalam keluarga menurut Nurcholish Madjid. B. Metodologi Penelitian Sebagai suatu kajian terhadap gagasan dari seorang tokoh, dalam hal ini metode penelitian penyusunan skripsi ini penulis menggunakan penelitian kualitatif dengan metode deskriptip analisis. Yaitu pemecahan masalah- masalah yang ada dengan usaha menganalisis dan menjelaskan dengan teliti kenyataankenyatan faktual dari subjek yang diteliti sehingga diperoleh gambaran yang utuh berdasarkan fakta.1 Ditunjang oleh data-data yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan (library research) yakni dengan membaca , menelaah, dan mengkaji buku-buku dan sumber tulisan yang erat kaitannya dengan masalah yang dibahas. Pendekatan yang penulis gunakan yaitu pendekatan content analisis, yaitu metode analisis yang menitikberatkan pada pemahaman isi dan maksud yang sebenrnya dari sebuah data. 1
Wiranto Surahkmad, Pengantar Penelitian Ilmiah Dasar, Metode dan tehnik, (Bandung: Tarsito: 1998), h.139
30
31
C. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data 1. Teknik pengumpulan data Untuk memudahkan pengumpulan data, fakta dan informasi yang mengungkapkan dan menjelaskan permasalahan dalam penelitian ini, maka penulis
menggunakan
metode
penelitian
studi
dokumentasi,
yaitu
mengumpulkan data, fakta dan informasi berupa tulisan-tulisan dengan bantuan bermacam-macam material yang terdapat di ruangan perpustakaan,2 misalnya berupa buku-buku, naskah, catatan kisah sejarah, internet dan sumber lain, yang berhubungan dengan Nurcholish Madjid dan pemikirannya tentang pendidikan agama dalam keluarga. Teknik pengumpulan data ini dilakukan dengan mempelajari literatur yang ada hubungannya dengan masalah yang diteliti dengan mengumpulkan data-data melalui bahan bacaan dengan bersumber pada buku-buku primer dan buku-buku sekunder atau sumber sekunder lainnya. Penelitian skripsi ini dilakukan melalui riset pustaka (library research). Adapun sumber data yang digunakan dalam penelitian ini untuk mendapatkan data-data yang valid maka diperlukan sumber data penelitian yang valid pula. Dalam penelitian ini ada dua sumber yaitu: a. Data Primer yaitu data yang langsung dari sumber pertama mengenai masalah yang diungkap secara sederhana disebut data asli. Data yang dimaksud yaitu buku-buku karya Nurcholish Madjid, Masyarakat Religius, Pesan-pesan Taqwa (Kumpulan Khutbah Jum’at di Paramadina), Pintu-pintu Menuju Tuhan, dan Tradisi Islam Peran dan Fungsinya dalam Pembangunan di Indonesia adalah landasan utama untuk menjadi rujukan dalam mengkaji masalah pendidikan agama dalam keluarga. b. Data Sekunder yaitu data yang diperoleh dari sumber lain selain sumber primer. Data sekunder ini dimaksudkan untuk mendukung dan melengkapi data primer. Data yang dimaksud yaitu yang relevan 2
Sugiono, Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D, (Bandung: PT Alfabeta, 2008), h. 329.
32
dengan skripsi ini. Yaitu buku-buku yang ditulis orang lain yang membahas tentang pemikiran Nurcholish Madjid. Data sekunder ini sifatnya sebagai pelengkap untuk memperkuat landasan teori yang utamanya ditempatkan pada bab dua skripsi ini 2. Teknik pengolahan data Setelah data-data terkumpul lengkap, berikutnya yang penulis lakukan adalah membaca, mempelajari, meneliti, menyeleksi, dan mengklasifikasi data-data yang relevan dan yang mendukung pokok bahasan, untuk selanjutnya penulis analisis, simpulkan dalam satu pembahasan yang utuh. D. Tehnik Analisis Data Analisis data merupakan proses sistematis pencarian dan pengaturan transkripsi wawancara, catatan lapangan, dan materi-materi yang lain yang telah terkumpul untuk meningkatkan pemahaman peneliti mengenai materi-materi tersebut dan untuk memungkinkan peneliti menyajikan apa yang sudah ditemukannya kepada orang lain.3 Dalam penelitian ini, penulis menggunakan teknik Analisis Isi (content analysis) dalam bentuk deskriptif analisis yaitu berupa catatan informasi faktual yang menggambarkan segala sesuatu apa adanya dan mencakup penggambaran secara rinci dan akurat terhadap berbagai dimensi yang terkait dengan semua aspek yang diteliti. Maka, di sini penulis menggambarkan permasalahan yang dibahas dengan mengambil materi-materi yang relevan dengan permasalahan, kemudian dianalisis, dipadukan, sehingga dihasilkan suatu kesimpulan.4
3
Ibid, h. 85 Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya, (Jakarta: Kencana, 2008), Cet. 3, h. 155-159 4
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Deskripsi Data 1.
Biografi dan Riwayat Pendidikan Nurcholish Madjid Nurcholish Madjid selanjutnya dipanggil Caknur, lahir di Mojoanyar
Jombang Jawa Timur pada tanggal 17 Maret 1939, anak dari Abdurrahman Madjid seorang tokoh masyarakat dan ulama di Majoanyar, Jombang”. Hal ini terbukti dengan sebutan terhadap Abdurrahman Madjid yang dipanggil “Kiai Haji” sebagai ungkapan penghormatan bagi ketinggian ilmu-ilmu keislamannya dan yang paling berperan dalam membesarkan dan mengawasi Madrasah Wathaniyah di wilayah tempat tinggalnya. Ia adalah murid Hasyim Asy’ary seorang Tokoh NU dan menamatkannya di Sekolah Rakyat.1 Bersama keluarganya, Nurcholish menjalani dan menikmati masa anakanaknya di Jombang. Masa muda Nurcholish banyak dihabiskan di pesantren tempat dia menuntut dan menimba ilmu. Dia menikahi Omi Komariah
dan
dikaruniai dua orang anak. Nadia Madjid dan Ahmad Mikail. Tinggal di jakarta, kelurga ini hidup berbahagia, rukun dan harmonis menjalani kehidupan rumah
1
Abuddin Nata, Tokoh-tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam Di Indonesia, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada,2005), ed-1, h.322
33
34
tangganya. Nurcholish mempunyai menantu bernama David bychon (suami nadia).2
“Pendidikanya dimulai dari Sekolah Rakyat di Majoanyar pada pagi hari, sedangkan sore hari ia bersekolah di Madrasah Ibtidai’yah di Majoanyar. Setelah itu ia dimasukan ayahnya ke pesantren Darul Ulum Rejoso Jombang”. Namun, hanya bertahan dua tahun karena alasan politik. Ayahnya tetap di Masyumi, meskipun pada NU menyatakan keluar. Maka ia pun memindahkan Nurcholish Madjid dari basis tradisional ke pesantren Modern terkenal Darussalam Gontor Ponorogo. Menurut Nurcholish Madjid sendiri, di sinilah masa yang paling menentukan pembentukan sikap keagamaan.3 Selama belajar di Pondok Modern Gontor, yang terkenal dengan sistem pendidikannya yang diorientasiakan pada sikap mandiri, dan kemampuan menguasai asing (bahasa arab dan Inggris), Nurcholish Madjid merasa enjoy dan kerasan. Disana ia pun mendapatkan pengalaman baru dalam pengalaman keagamaan. Di Pondok Modern Gontor boleh dibilang tidak dikenal kultur mempertentangkan faham-faham keagamaan seperti soal-soal khilafiah yang sering menimbulkan eskalasi emosi dan pertikaian dikalangan masyarakat awam, seperti antara NU dan Muhammadyiah. “Di Gontor anak-anak NU dan Muhammdiyah tidak ada yang ngotot mempertahankan fahamnya masingmasing.Mereka adalah santri Gontor. Mereka beribadah menurut cara Gontor. Misalnya waktu shalat jumat, apakah adzan satu kali atau dua kali, shalat taraweh 11 rakaat atau 23 rakaat, tergantung kesepakatan yang sudah lazim di Gontor”.4 “Kemudian Nurcholish Madjid melanjutkan program studinya ke Fakultas Adab/Sastra dan Budaya UIN (Universitas Islam Negeri; dulu: IAIN/ Institut
2
Faisal Ismail,Membongkar Kerancuan Pemikiran Nurcholish Madjid, (Jakarta: Lasswell, 2010), h. 18 3 Ahmad Amir Aziz, Neo-Modernisme Islam Di Indonesia (Gagasan Sentral Nurcholish Madjid dan Abdurahman wahib), (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1999), Cet. Ke-1, h.22-23 4 Marwan Surijdo, Cak Nur: Di Antara Sarung dan Dasi & Musdah Mulia Tetap Berjilbab. (Jakarta: Yayasan Ngali Aksara, 2005), cet.Ke-1, h.5-6
35
Agama Islam Negeri) Syarif Hidayatullah, Jakarta, tamat tahun 1965 (B,A) dan 1968 (Doktorandus)”.5 Setamat dari IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Nurcholish Madjid bekerja sebagai dosen di almamaternya, mulai tahun 1972-1976. Setelah berhasil meraih gelar Doktor pada tahun 1985, ia ditugaskan memberikan kuliah tentang filsafat di Fakultas Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Selain itu, sejak tahun 1978 ia bekerja sebagai peneliti pada Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesi (LIPI).6 “Basis, bobot, dan peralatan intelektual Nurcholish menjadi jauh lebih terasa lebih tajam ketika ia melanjutkan studinya ke program doktor di Universitas Chicago, Amerika Serikat. Nurcholish menyelesaikan program doktornya
di
Universitas Chicago pada tahun 1984”. Dia mengambil spesialisasi di bidang filsafat atau pemikiran islam. Dia menulis disertasi yang berjudul Ibn Taimiya on Kalam and Falsafah: Problem of Reason and Revelation in Islam di bawah bimbingan Profesor Fazlur Rahman , seorang sarjana muslim Pakistan. Profesor Fazlur Rahman terkenal sebagai sarjana yang sangat mendalami bidang studi pemikiran islam yang mengajar di Universitas Chicago pada saat itu. 7 Nurcholish sebagai aktivis mahasiswa, tidak hanya serius menekuni studinya di fakultasnya, akan tetapi juga terlibat secara aktif dalam kegiatankegiatan kemahasiswaan dan diskusi
diluar kampus dan berkecimpung pula
dalam berbagai kancah aktivitas ekstra kurikuler. Nurcholish pernah menjadi
ketua umum PB HMI (Pengurus Besar
Himpunan Mahasiswa Islam) selama dua periode (1967-1969 dan 1969-1971). Antara tahun 1967-1969, dia mendapat amanat untuk menjabat sebagai Presiden persatuan Mahasiswa Islam se-Asia Tenggara (PERMIAT). Salah satu wakilnya adalah Anwar Ibrahim (yang kemudian pernah menjabat sebagai Deputi Perdana Menteri Malaysia).8 5
Ismail, Op.cit, h. 20 Abuddin Nata, Tokoh-tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam Di Indonesia, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada,2005), ed-1, h.323 7 Faisal Ismail,Membongkar Kerancuan Pemikiran Nurcholish Madjid, (Jakarta: Lasswell, 2010), h. 20-21 8 Ibid, h. 22 6
36
Nurcholish Madjid pernah bekerja sebagai peneliti di Lembaga Penelitian Ekonomi dan Sosial (Leknas LIPI, 1978-1984), peneliti senior LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, 1984-2005), kemudian menjadi anggota MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat) selama dua periode/ sepuluh tahun (19871992 dan 1992-1997) di masa pemerintahan Orde Baru. Dia tercatat pula sebagai pakar dan anggota Dewan Riset Nasional dan dikenal sebagai penggagas pendirian Komite Independen Pemantau Pemilu (KKIP). Karena jasa-jasanya kepada negara dan bangsa, dia pada tahun 1998 dianugrahi Bintang Mahaputra oleh Pemerintah Republik Indonesia.9 “Kiprah, karya, dan kepedulian Nurcholish Madjid juga merambah ke masalah-masalah peka kemanusiaan dimana ia terlibat
secara aktif sebagai
anggota Komnas HAM ( Hak- Hak Asasi Manusia, 1993-2005). Kerja-kerja mulai kemanusiaan seperti itu sangat erat bersentuhan dengan minatnya sehingga mengangkat dan menobatkan dirinya sebagai sosok intelektual humanis, penggagas toleransi, dan aktivis penggalang keharmonisan antar umat beragama di negeri ini. “Dia adalah penyeru ulung kerukunan antar umat beragama, baik dalam ide maupun dalam praktik. Pluralisme , inklusivisme, harmoni, dan toleransi antar umat beragama sudah menjadi bentangan benang merah visi humanitasnya dan menjadi bagian penting yang mencuat dalam tema-tema besar pemukiran Nurcholish, disamping tema Neo-Modernisme Islam”.10 Nurcholish Madjid adalah sosok intelektual yang dikenal luas, terutama dikalangan sarjana dan ilmuwan, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Pada tahun 1991, Nurcholish menjadi dosen tamu di Institute of Islamics Studies, Universitas McGill. Montreal, Kanada. Pengalaman akademis ini semakin mengkukuhkan dirinya sebagai akademiskus yang bertaraf internasional. Sebagai profesor tamu di Universitas McGill, dia menempatkan diri sejajar dengan para profesor yang telah mempunyai nama terkenal dan reputasi tingkat Internasional.
9
Faisal Ismail,Membongkar Kerancuan Pemikiran Nurcholish Madjid, (Jakarta: Lasswell, 2010), h. 21 10 Ibid, h. 21- 22
37
Di Institute of Islamic Studies, Universitas McGill, dia memberi kuliah tentang Ibnu Taimiyah dalam bahasa Arab klasik yang pelik.11
Didalam berbagai tulisan dan bukunya, Nurcholish Madjid banyak melontarkan gagasan dan pemikirannya yang mengundang kontroversi dikalangan ilmuan. Diantara gagasan dan pemikiran yang mengandung kontriversi adalah tentang partai politik : “Islam Yes, Partai Islam No,” ide sekulerisasi tentang masalah-masalah keduniaan, tentang teologi dan masih banyak lagi. Pemikiranpemikirannya ini telah banyak memengaruhi kalangan intelektual muda yang bergabung dalam Yayasan Wakaf Paramadina. Muhamad Kamal Hasan, seorang guru besar di Malaysia, pernah melakukan penelitian terhadap ide-ide pembaharuan atau modernisasi Indonesia dengan menempatkan
pemikiran
Nurcholish Madjid sebagai acuannya. Selanjutnya sejak tahun 1986 bersama dengan beberapa kawanya di Jakarta Nurcholish Madjid mendirikan dan memimpin Yayasan wakaf Paramadina dengan kegiatan yang mengarah pada gerakan intelektual
Islam
Indonesia. “Sejak 1991 hingga sekarang ia juga menjabat sebagai Ketua Dewan Pakar Ikatan Cendikiawan Muslim se-Indonesia (ICMI), anggota Komisi Nasional hak-hak Asasi Manusia (Komnas HAM), dan tercatat pula sebagai salah seorang anggota Majelis Permusyawaratan rakyat Replublik Indonesia”.12 Seluruh rekam jejak pencapaian karier dan reputasi ilmiah yang baik diatas membuktikan dengan jelas bahwa Nurcholish Madjid, sebagai sosok intelektual, yang sangat diperhitungkan kehadirannya dan sangat diharapkan bentangan kontribusi ide-ide bernasnya oleh masyarakat ilmuan internasional. Oleh karena itu, ia seringkali diundang untuk berpartisipasi dalam seminar-seminar internasional itu. Reputasi cemerlang Nurcholish Madjid sebagai intelektual terkenal dan ilmuan berbobot tidak ada yang meragukan. Nurcholish dikukuhkan sebagai Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, pada tahun 1998, dan pada
11 12
Ibid, h. 22 Ibid , 325
38
tahun 1999 dia dikukuhkan pula sebagai ahli peneliti utama (APU) LIPI. Dengan demikian predikat akademisi dan peneliti melekat pada sosok dirinya. 13
Nurcholish Madjid yang biasa dipanggil “Cak Nur” telah meninggal dunia pada hari senin, 29 Agustus 2005, pukul 14.05 WIB di RS Pondok Indah Jakarta.
2.
Karya-karya Tulis Nurcholish Madjid Selain sebagai orang yang banyak berkecimpung di organisasi
dan
memangku berbagai jabatan, Nurcholish Madjid juga sebagai seorang penulis yang produktif. Nurcholish Madjid tidak bedanya dengan pemikir-pemikir lainnya, bahwa setiap buah pemikirannya tertuang dalam goresan tinta. Buku adalah sarana untuk mengenalkan dan menyampaikan ide dan gagasannya kepada manusia-manusia yang gandrung dengan disiplin ilmu yang dimilikinya, dan bukulah yang pantas untuk menggoreskan tinta pemikiran seorang tokoh. Oleh karena itulah Nurcholish Madjid mengabadikan pemikirannya di setiap lembaranlembaran dalam buku. Adapun buku-buku yang sudah diterbitkan di Indonesia merupakan komplikasi dari artikel, makalah bahan kuliah, bahan ceramah dan materi khutbah yang pernah ditulisnya. Adapun karya-karyanya antara lain: Khazanah Intelektual Islam, buku ini diterbitkah di Jakarta oleh PT. Bulan Bintang pada tahun1984 ini adalah langkah awal mengabadikan pemikirannya lewat tulisan di saat Nurcholish madjid melewati hari-harinya di Chicago University, Amerika Serikat. Maksud buku suntingan ini adalah untuk memperkenalkan bidang pemikiran yang merupakan segi kejayaan Islam bagi para generasi Islam dan para pembaca lainnya. Selain itu dalam buku ini Nurcholish Madjid juga memperkenalkan kepada para pembaca tentang corak pemikoran para tokoh klasik. Tokoh yang disebut Cak Nur dalam buku ini adalah: al-Kindi (258 H/870 M), al-Asy’ari (w. 300 H/913 M), al-Farabi (w. 337 H/950 13
Ismail, op. cit, h. 23
39
M), Ibn Sina (370 H-428 H/980 M-10307 M), al-Ghozali (w. 505 H/111 M), Ibn Rusyd ( w. 594 H/1198 M), Ibn Taymiyyah (w. 782 H/1328 M), Ibn Khaldun (w. 808 H/1406 M), Jamaluddin al-Afghani (1255 H-1315 H/1839 M-1897 M), dan Muhammad Abduh (1262 H-1323 H/1845 M-1905 M). Penulis ingin menegaskan tentang buku ini, seperti yang diunkapkan Nurcholish sendiri bahwa buku ini hanya sekedar pengantar pemikiran kepada kajian yang lebih luas dan mendalam tentang khazanah kekayaan pemikiran Islam. Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, buku ini diterbitkan di Bandung oleh Mizan pada tahun 1987. Dalam isi buku ini membincangkan tentang permasalahan-permasalahan dan juga isu-isu yang aktual saat ini, dan disisi lain juga kontribusi penulis buku ini dalam mewujudkan beberapa solusi keagamaan dan keindonesiaan, sekitar tahun 70-an permasalahan-permasalah menjadi wancana yang menggegerkan dan penuh dengan pandangan-pandangan yang kontroverisial. Islam Doktrin dan Peradapan, buku ini diterbitkan di
Jakarta oleh
Yayasan Wakaf Paramadina pada tahun 1992. Buku ini berisi tentang Islam di Indonesia adalah kemajemukan. Pluralitas (kemajemukan) adalah kenyataan yang telah menjadi kehendak Tuhan. Jika dalam kitab suci disebutkan bahwa manusia diciptakan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar mereka saling mengenal dan menghargai. Maka pluralitas ini meningkat menjadi pluralisme, yaitu suatu sistem nilai yang memandang secara positif-optimis terhadap kemajemukan itu sendiri. Islam Agama Peradapan , Membangun Makna dan Relevansi Doktrin Islam Dalam Sejarah, buku ini diterbitkan di Jakarta oleh Yayasan Wakaf Paramadina pada tahun 1992. Dalam buku ini, Nurcholish Madjid memaparkan tentang bagaimana manusia mempunyai tujuan hidup yang trasendental berdasarkan iman yang dinyatakan dalam bentuk amal, kebijakan sosial, menciptkan masyarakat egaliter dan inklusif dalam mencari kebenaran dan keadilan. Sebenarnya, buku ini hanya kumpulan sebagian makalah dari kelompok
40
kajian agama yang diselenggarakan oleh Yayasan Wakaf Paramadina yang diadakan sekali dalam sebulan dengan beranggotakan 200 orang. Tradisi Islam Peran dan Fungsinya Dalam Pembangunan di Indonesia, buku ini
diterbitkan di Jakarta oleh Yayasan Wakaf Paramadina pada tahun
1997. Dalam buku ini caknur mengungkapkan peran strategis ajaran-ajaran Islam sebagai sumber subtansi bagi pembanganan yang sedang dilaksankan di indonesia. Peran intelektual Indonesia dalam membangun etos keilmuan dan tradisi intelektual, mengembangkan demokrasi serta mebangun sumber daya manusia yang siap memasuki era indutrialisasi dan era tinggal landas. Bilik-bilik Pesantren, Sebuah Potret Perjalanan, buku ini diterbitkan di Jakarta oleh Paramadina pada tahun 1997. Buku ini berisi tentang kesenjangan antara dunia pesantren dengan dunia modern. Maka dalam buku ini Caknur mengajak dunia pesantren “membuka diri” dan berbenah diri untuk paling tidak memperkecil jarak kesenjangan tersebut. Kritikan Nurcholish tertuju pada kurikulum pesantren yang ada di Indonesia. Menurutnya, bahwa materi keagamaan masih mendominasi di lingkungan pesantren yang disajikan hanya dan selalu dalam bahasa Arab, seperti Fiqh, Aqa’id, Nahwu-Sharaf. Padahal menurutnya, masih ada yang lebih penting pasa tataran praktis disaat seorang muslim berinteraksi dengan sesama, yakni semangat religius juga Tasawuf yang merupakan inti dari kurikulum keagamaan. Sedangkan disisi lain, pengetahuan umum nyatanya masih dilaksanakan secara setengah-setengah, akibatnya kemampuan santri sangat terbatas dan kurang mendapat pengakuan dari masyarakat ilmu-ilmu eksak. Itulah yang menyebabkan terjadinya kesenjangan antara dunia pesantren dengan dunia modern. Pintu-pintu Menuju Tuhan, buku ini diterbitkan di Jakarta oleh Yayasan Wakaf Paramadina pada tahun 1995. Isi buku ini merupakan kumpulan tulisan Nurcholish Madjid yang tercecer, yang telah dimuat pada Harian Pelita dan Majalah Tempo. Disini Nurcholish Madjid menjelaskan bahwa umat Islam jangan hanya melihat satu pintu untuk menuju Tuhan, karena Islam menyediakan banyak pintu untuk menuju Tuhan untuk meraih sisi yang mulia disampinya.
41
Masyarakat Religius, buku ini diterbitkan di Jakarta oleh Yayasan Wakaf Paramadina pada tahun 1997. Buku ini menyodorkan tesis bahwa makna hidup yang hakiki dan sejati itu ada , agama sebagai sistem keyakinan menyediakan konsep tentang hakikat dan makna hidup itu. Buku ini juga mengetengahkan tentang Islam dan konsep kemasyarakatan, komitmen pribadi dan sosial dan konsep pendidikan agama Islam dalam keluarga. Cita-cita politik Islam Era Reformasi, 1999. Dalam buku ini Nurcholish Madjid mengetengahkan gagasan politiknya, demokrasi, kebangsaan dan kenegaraan. Ia menyampaikan persoalan-persoalan tersebut dengan argumentasi yang fresh dan jernih. Diman dalam uraiannya mengaitkan dengan persoalanpersoalan kontemporer yang tengah mengahadang bangsa Indonesia, seperti citacita politik bangsa dan persoalan keadilan. Nilai-nilai Dasar Perjuangan (NDP), buku ini ditulis pada saat menjabat sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam, yang berisi tentang Materi Pengkaderan tentang keislaman. Namun, buku ini kemudian diubah menjadi Nilai Identitas Kader (NIK). Buku ini menjadi bacaaan wajib yang menjadi dasar dan motivasi perjuangan anggota Himpunana Mahasiswa Islam. Selain buku-buku diatas yang sudah dipaparkan, masih banyak pula karya Nurcholish Madjid yang sudah beredar dipasaran dan tidak sempat dimuat dalam bab ini. Buku-buku itu diantaranya: Pesan-pesan Takwa Nurcholish Madjid, Fatsoen Nurcholish Madjid, Atas Nama Pengalaman Beragama dan Berbangsa di Masa Tradisi , Dialog Keterbukaan Artikulasi Nilai Islam dalam Wacana Sosial Politik Kontemporer, Perjalanan Religius Umrah dan Haji, Kaki Langit Peradapan Islam, Dialog Ramadhan dan Fiqh Lintas Agama, ia juga pernah menterjemahkan buku Sunnah dan Peranannya dalam Penetapan Hukuk Islam: Sebuah Pembelaan Kaum Sunni , karya uatafa Al-Sibai. Hal lain yang dilakukan Nurcolish Madjid adalah, bahwa ia banyak mendorong kaum intelektual Islam serta memprakarsai penulisan buku-buku bermutu dan standard.14 14
Abuddin Nata, Tokoh-tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam Di Indonesia, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada,2005), ed-1, h. 324
42
Tidak hanya dalam buku , Nurcholis Madjid juga menulis berbagai artikel tentang keislaman, politik Islam, moral dan sebagainya yang dimuat dalam, Harian Kompas, Pelita, Suara Pembaharuan, Replublika, Jurnal Ulumul Qur’an, Panji Masyarakat, Prisma, Amanah, dan lain sebagainya.15 Berdasarkan uraian tentang beberapa karya dan buah pikiran Nurcholish Madjid diatas, dapatlah disimpulkan bahwa Cak Nur sosok pemikir yang handal dan julakan pun melekat padanya, yakni seoarang teolog, filosof dan sejarawan konseptor dan pembaharu yang selalu mengedepankan toleransi pada setiap perbedaan dan menjaga nilai-nilai kemanusian yang berpijak pada ajaran Islam.
B. Pembahasan 1.
Hak dan Kewajiban Orang Tua Terhadap Anak Menurut Nurcholish Madjid a. Hak orang tua dari anak Orang tua mempunyai kewajiban memelihara anak dengan penuh tanggung jawab sebagai amanah Allah. Namun sebaliknya, orang tua pun mempunyai hak terhadap anak sebagai berikut Pertama, anak-anak harus melayani orang tuanya dengan baik, lemah-lembut menyayanginya, selalu menghormati, dan syukur atas jasa-jasa mereka terhadapnya. Anak-anak juga harus mematuhi perintah perintahnya kecuali kalau menyuruh kepada yang bathil atau munkar. Sebagaimana Allah telah berwasiat kepada kita semua umat manusia tentang banyaknya hal. Wasiat-wasiat Allah tersebut membentuk bagian amat penting dan ajaran Islam. “Salah satu ialah yang berkenaan dengan ibu-bapak atau orang tua, Allah berwasiat kepada manusia bahwa mereka mutlak harus berbuat baik kepada orang tua”.16 “Menurut Nurcolish Madjid hubungan antara anak dan orang-tua dalam sistem ajaran Islam yang menyeluruh adalah perkara yang sangat penting setelah tauhid atau paham Ketuhanan Yang Maha Esa. Yaitu hubungan dalam 15 16
h. 136
Ibid, h. 324 Nurcholish Madjid, Pintu-pintu Menuju Tuhan, (Jakarta: Paramadina, 2002), cet. VI,
43
bentuk perbuatan baik dari pihak anak kepada ayah-ibunya”.
17
Berbuat baik
kepada orang tua dalam ajaran Islam yang terdapat dalam kitab suci adalah perintah. Dan dalam suatu ayat disebukan sebagai suatu “keputusan Tuhan” Penilaian ini bisa disimpulkan dari firman-firman Allah:
Dan Tuhanmu telah memutuskan bahwa hendaknya kamu sekalian tidak beribadat kecuali kepada-Nya saja, dan bahwa hendaknya kamu berbuat baik kepada kedua orang-tua”.. (QS. al-Isra: 23).18
“Dari ayat diatas dijelaskan betapa kewajiban berbuat baik kepada orang tua itu disenafaskan dalam suatu firman, merupakan kewajiban kedua setelah kewajiban manusia untuknya menyembah kepada Allah”.19 Kemudian dalam ayat lain Allah berfirman:
dan Kami berpesan kepada
manusia (berbuat) kebaikan kepada dua
orang ibu- bapaknya.” (Q.S Al-Ankabut: 8)20
17
Nurcholish Madjid , Masyarakat Religius,(Jakarta: Paramadina, 1997), cet. I, h. 111 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Tarjamahnya, (Bandung: 2007), h. 227 19 Nurcholish Madjid, Pintu-pintu Menuju Tuhan, (Jakarta: Paramadina, 2002), cet. VI, h. 18
136
20
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Tarjamahnya, (Bandung: 2007), h. 317
44
Dan Kami berpesan kepada manusia tentang kedua orang tuanya ibunya mengandungnya dalam kesusahan demi kesusahan, berpisah setelah dua tahun maka hendaknya engkau (manusia) bersyukur kepada-Ku dan kepada orang-tuamu. Kepada-Ku-lah tempat kembalimu” (QS. Luqman: 14).21
Menurut Nurcholish Madjid, jika disimak lebih mendalam petunjukpetunjuk Ilahi, maka dapat ditarik kesimpulan betapa pentingnya hubungan orang-tua dan anak dalam hidup ini, dan betapa ia terkait erat serta secara langsung dengan inti makna hidup itu sendiri. Yaitu, beribadat dan pasrah kepada Allah, Pencipta semesta alam dan manusia sendiri. Berkenaan dengan itu menurut Nurcholish Madjid, di sini agaknya diperlukan kejelasan dan penegasan tentang suatu masalah. Tekanan "keputusan" dan "pesan" Allah kepada manusia berkenaan dengan kedua orang-tua itu ialah pada kewajibannya berbuat baik (husn, ihsan) kepada ibu-bapaknya bukan pada kewajibannya taat atau menaati mereka. Berbuat baik meliputi makna yang luas dan mencakup banyak sekali jenis tingkah laku dan sikap anak kepada orang-tua. Sedangkan taat hanyalah satu saja dari sekian banyak bentuk perbuatan baik tersebut, itu pun bersyarat.22
Ketaatan anak kepada orang-tua itu, seperti halnya dengan setiap bentuk ketaatan orang kepada siapa pun dan apa pun selain Allah dibenarkan untuk dilakukan hanya dengan syarat bahwa ketaatan itu menyangkut kebenaran dan kebaikan, bukan kepalsuan dan kejahatan. Maka demikian pula halnya dengan ketaatan anak kepada orang tua dapat dan harus dilakukan hanya jika menyangkut suatu hal yang benar dan baik. “Dalam keadaan syarat itu terpenuhi, ketaatan anak kepada orang-tua merupakan bagian dari kewajiban
21 22
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Tarjamahnya, (Bandung: 2007), h. 329 Ibid, h. 112
45
berbuat baiknya kepada mereka. Sedangkan dalam keadaan syarat itu tidak terpenuhi, ketaatan itu justru menjadi terlarang”.23 “Tetapi sebaliknya, menurut Nurcholish Madjid "keputusan" dan "pesan" Tuhan agar orang berbuat baik kepada ibu-bapaknya adalah mutlak, tanpa syarat, bahkan sekalipun ibu-bapaknya itu jahat, sampai- sampai sekalipun ibu-bapaknya itu secara sadar melawan kebenaran (kafir)”.24 Begitulah ditegaskan dalam ajaran agama, seperti dalam ayat suci kelanjutan kutipan di atas
Dan jika keduanya (orang-tuamu) itu berusaha mendorongmu agar engkau memperserikatkan Aku (Tuhan) dengan sesuatu yang engkau tidak berpengetahuan mengenainya (sebagai hal yang benar), maka janganlah kau taati mereka namun tetaplah bergaul dengan mereka berdua itu di duniawi dengan cara yang baik”...(QS. Luqman: 15).25
“Juga terhadap keseluruhan keluarga dan kaum kerabat yang menyimpang pun seorang anak tetap diperintahkan Allah untuk menunjukkan sikap hormat dan sopan santun, meskipun anak itu dengan jelas tidak dapat menerima jalan hidup mereka”.26
23 24
113
25 26
Ibid, h.112 Nurcholish Madjid , Masyarakat Religius,(Jakarta: Paramadina, 1997), cet. I, h. 112Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Tarjamahnya, (Bandung: 2007), h. 329 Ibid, h. 113
46
Dan bahkan jika engkau harus berpaling dari mereka demi memperoleh rahmat Tuhanmu yang kau harapkan, namun bertuturlah dengan mereka dengan penuturan penuh kasih sayang”. (QS. al-Isra:28).27
Menurut Nurcholish Madjid berdasarkan ayat-ayat diatas bahwasanya ketaatan anak terhadap orang tua hanya dituntut kepada sesuatu kebenaran (alhaqq) dan kebaikan (ma”ruf) dan jelas tidak dituntut dalam kepalsuan (Albathil) dan kejahatan (almunkar). Tetapi orang tua tetap berhak mendapatkan mendapatkan perlakuan baik dari anaknya. Seorang anak dilarang berkata kasar terhadap orang tuanya sebaliknya seorang anak harus berlaku lembah lembut terhadap orang tuanya sesuai apa yang menjadi “keputusan” dan “pesan” di dalam Al-Qur’an. Sebagaimana ternyata dari firman suci yang dikutip dibagian pertama tadi, kewajiban anak berbuat baik kepada orang tua adalah pertama-tama dan terutama dituntut dalam hubungan dengan ibunya. Sebab tidak ada didunia ini yang sedemikian pengorbananya untuk anak, dan tidak pula kecintaanya kepada anak demikian tulusnya seperti ibunya sendiri. “Dalam firman tadi dilukiskan oleh Allah, betapa ibu mengandung si anak dalam kesusahan, dan tidak bisa melepaskan atau memisahkan dirinya dari si anak selam dua tahun”.28 Mengenai hal ini sebuah sabda Rasulullah yang seringkali dikutip ialah yang menegaskan bahwa “syurga berada dibawah telapak kaki ibu”. Makna dari hadist ini ialah bahwasanya jika seorang ingin “masuk syurga” maka ia harus berbuat baik kepada ibunya. “Bahwa hadist ini juga memantulkan tentang peranan ibu yang sangat besar bagi nasib anaknya, karena syurga itu berada sepenuh-penuhnya di bawah telapak kaki mereka”.29 Hadist ini pun mengandung arti betapa besarnya tanggung jawab ibu terhadap masa depan anak. Dari segi kependidikan maka hadist tersebut ditunjukan kepada ibu agar ia sadar, betapa besarnya tanggung jawab ibu terhadap anaknya, sampai 27
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Tarjamahnya, (Bandung: 2007), h. 227 Ibid, h.118 29 Ibid, h.119 28
47
kepada nasibnya diakherat nanti. Sebagai mana janji Allah, bahwa kehidupan diakherat nanti adalah kehidupan sebenarnya, didasarkan hasil perbuatan selama hidup di dunia. Bila amal shalehnya banyak, ia diberi kehidupan yang baik dan dimasukan ke dalam syurga-Nya. Dihubungkan dengan masalah pendidikan anak, hal tersebut mengandung arti timbal balik, bahwa sebagaiman pertama-tama anak harus berbuat baik kepada ibunya, maka begitu pula sang ibulah yang banyak mempengaruhi anaknya . ini disebabkan bahwa hubungan emosional ibu dengan anak, jika tidak ada faktor-faktor lain yang luar biasa, umumnya terpateri rapat dan menjadi abadi, sampai anak menjadi dewasa.30 Maka dari itu begitu pentingnya peranan ibu dalam pendidikan anaknya sampai ada sebuah syair yang mengatakan bahwasanya “ ibu adalah sekolah, bila dipersiapkan dapat membentuk bangsa yang baik dan kuat”. Makna syair tersebut mangandung arti bahwa seorang ibu mempunyai peran yang cukup siginifikan dalam penumbuhan dan pengembangkan pendidikan anak kedepan. Ibu diibaratkan sekolah didalamnya berperan menampung anakanaknya untuk proses pendidikan (belajar-mengajar secara langsung) sehingga anak dapat tumbuh berkembang, baik jasmani maupun rohani. Tetapi tentu saja yang bertanggung jawab atas pendidikan anak tidak hanya ibu. Meskipun tidak memiliki hubungan emosional dengan anak sehangat para ibu, kaum bapak pun ikut bertanggung jawab dalam pendidikan anak. Faktor yang paling menentukan peranan bapak ialah kedudukannya sebagai kepala keluarga. Ini tidak saja berarti sebagi “pengahasil nasi”
dalam keluarga, tetapi juga, untuk anak, fungsinya
sebagai, “imago ideal”. Para ahli umumnya mengatakan bahwa dalam jiwa anak yang ingin mencari suri tauladan dan bahkan “pahlawan”, sang ayah selalu menempati urutan pertama, dan baru orang lain. Oleh karena itu pendidikan anak pun akan ikut ditentukan, berhasil atau gagalnya oleh “penampilan” sang ayah dalam penglihatan anak.31 30 31
Ibid, h.118 Nurcholish Madjid , Masyarakat Religius,(Jakarta: Paramadina, 1997), cet. I, h. 119
48
Oleh karena itu peranan orang tua
sangat besar pula menentukan
pertumbuhan anak secara psikologis dan kultural. “ Maka sudah selayaknya sebagai seorang anak dan diajarkan pula dalam agama untuk berbuat baik dan berterimakasih kepada orang tua. Dan selalu memohon doa kepada Allah agar memberikan rahmat kepada orang tua”. 32 b. Orang Tua sebagai Pendidik bukan Pengajar bagi Anak Jika menginsyafi lebih dalam lagi, bahwasanya harta benda dan anak-anak adalah karunia Ilahi, yang merupakan sebagai ujian atau percobaan (fitnah) bagi manusia, dan apakah manusia (orang tua) dapat memanfatkan harta itu dan mendidik anak dengan baik atau tidak. Sebab tidak perlu diragukan lagi bahwa harta dan anak adalah unsur-unsur utama kehidupan manusia, yang membuatnya memperoleh kebahagian lahir dan duniawi.33 Karena “harta dan anak adalah kehidupan duniawi,” maka juga “ sesungguhnya hidup dunia ini adalah permainan, kesenangan dan kemegahan serta saling bangga dan saling berlomba dalam harta dan anak....”. Jadi, sebagai fitnah, sisi lain dari harta dan anak ialah kemunkinan dengan mudah berubah dari sumber kebahagiaan menjadi sumber kesengsaraan dan kenistaan yang tidak terkira. Yaitu kalau kita tidak sanggup memanfatkan harta dan mendidik anak tersebut dengan apa yang dipesankan dan amanatkan Allah.34 Disebut cobaan, karena anak (dan harta) adalah batu penguji tentang siapa kita ini sebenarnya dari sudut kualitas hidup dan kepribadian kita. Sebab kualitas itu akan dengan sendirinya tercermin dalam apa yang kita lakukan kepada anak (dan harta) itu, menuju kebaikan ataukah membawa keburukan. Maka
sebagai
orang
tua
berkewajiban
menuntun,
membimbing,
menumbuhkan anaknya menjadi orang shalih, yang bermanfaat sesamanya
32
h. 137
33 34
Nurcholish Madjid, Pintu-pintu Menuju Tuhan, (Jakarta: Paramadina, 2002), cet. VI, Nurcholish Madjid , Masyarakat Religius,(Jakarta: Paramadina, 1997), cet. I, h. 121 Ibid, h. 121-122
49
dan dirinya sendiri. “ Inilah bentuk kecintaan yang sejati seseorang kepada anak, karena kecintaan serupa itu merupakan konsistensi kecintaan kepada Allah. Dan itulah pula salah satu pelaksanaan tanggung jawab keluarga adalah agar menjaga dan memelihara keluarganya dari hidup yang abadi. Sebagaiman firman Allah”:35
Jagalah diri kamu dan kelurga kamu dari api neraka... (Q.S al-Tahrim 66: 6)36 Pembentukan atau pembinaan kepribadian anak berlangsung secara berangsur-angsur, bukanlah hal yang sekali saja, melainkan suatu hal yang berkembang, oleh karena itu pembentukan kepribadian anak merupakan suatu proses . Apabila dalam pertumbuhannya anak mengalami proses yang baik dan benar, maka akan menghasilkan suatu kepribadian yang baik , matang dan harmonis. Pendidikan agama dalam keluarga adalah unsur pertama yang harus ditanamkan kepada-anak. Karena jika diibaratkan sebuah bangunan maka agama adalah sebagai pondasi atau dasar dari bangunan tersebut. Perkembangan agama pada anak sangat tergantung dengan apa pendidikan dan pengalaman yang dialaluinya dalam keluarga, baik sejak masih dalam kandungan maupun dalam masa kanak-kanak. Kata-kata, sikap, tindakan orang tua serta perhatian orang tua sangat mempengaruhi perkembangan keagaamaan dan kepribadian anak. Dalam hal ini pembinaan kepribadian itu tidak terlepas dari pendidikan agama karena agama adalah sebagai landasan pembentukan kepribadian. Dengan demikan peranan agama dalam keluraga
35
Ibid,h. 117 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Tarjamahnya, (Bandung: 2007), h. 447
36
50
sangat penting dalam menumbuh kembangan kepribadian anak agar anak memiliki pribadi yang utama sesui dengan petunjuk agama. Menurut Nurcholish Madjid pendidikan agama dalam keluarga tidak cukup hanya berupa pengajaran kepada anak tentang segi-segi ritual dan formal agama. Namun didalam masyarakat sering terjadi kekeliruan, orang tua sering melimpakan tanggung jawab pendidikan agama kepada lembaga dan orang lain atau guru mengaji yang lebih populer dikalangan masyarakat. Tetapi yang sesungguhnya dapat dilimpahkan kepada lembaga lain atau guru mengaji terutama hanyalah pengajaran agama, berupa segi- segi ritual dan formal agama. Dan disini yang ditekankan adalah pendidikan agama yang diberikan orang tua kepada anak-anaknya. Sedangkan para pelaku pendidikan, seperti guru mengaji, dan guru agama disekolah adalah sebagai wakil- wakil orang tua dan pelanjut peran orang tua dalam menumbuhkan mengembangan potensi keagamaan dalam diri anak. Meskipun ada guru mengaji sekaligus juga bertindak sebagai pendidik agama, namun peran mereka tidak akan dapat menggantikan peran orang tua sepenuhnya. Jadi guru mengaji pun sebenarnya terbatas perannya hanya sebagai pengajar agama, yakni penuntun ke arah segi-segi kognitif agama itu, bukan
pendidikan
agama.
2.
Peranan Pendidikan Agama dalam Keluarga Menurut Nurcholish Madjid Menurut Nurcholish Madjid pertumbuhan dan perkembangan abak tidak
bisa dilihat hanya terbatas pada segi fisiknya saja. Justru tidak kurang pentingnya ialah usaha penumbuhan dan peningkatan yang tidak bersifat fisik. “ Yaitu, penumbuhan dan peningkatan potensi positif seorang anak agar menjadi manusia dengan tingkat kualitas yang setinggi-tingginya. Orang-tua tidaklah berkuasa untuk membuat anaknya "baik," sebab potensi kebaikan itu sebenarnya justru sudah ada pada si anak”.37
37
Ibid, h. 115
51
Pertama kali dalam mempertimbangkan akal perbuatan ialah hati nurani. Hati nurani diberikan kepada kita oleh Allah sebagai petunjuk pertama hidup yang benar. Nurani artinya bersifat cahaya. Seperni ruhani yang berasal dari kata ruh dan jasmana berasal dari kata jism, maka nurani berasal dari kata nur. Mengapa hati ini disebut nurani? Karena itulah modal azali, modal primodial dari Tuhan untuk menrangi hidup ini. Seperti firman Allah:
“Dan
jiwa
serta
penyempurnaannya
(ciptaannya),
Maka
Allah
mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu,
Dan
Sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.”38 Dari ayat diatas jelas bahwasanya setiap jiwa manusia sudah memiliki kelengkapan dalam dirinya untuk mengetahui apa yang baik dan buruk, benar dan salah. “Kelengkapan itu adalah hati nurani. Sementara hati yang masih suci disebut nurani, maka dosa dalam Al-Qur’an yang paling banyak digunakan adalah kata zhulmun. Maka orang yang berdosa disebut zhalim. Sehingga orang yang terlalu banyak berbuat jahat dan tidak lagi memiliki kesadaran, maka dia disebut tidak mempunyai nurani atau hatinya tidak memiliki sifat nurani”.39 Rasulullah sendiri telah menegaskan dalam berbagai kesempatan, sebuah hadist meriwayatkan, ada sebuah sahabat Nabi bernama Wabishah yang kasar dan tidak terpelajar. Ia memaksa untuk menghadap Nabi pada waktu beliau sedang sibuk mengajar. Para sahabat menghalangi, tetapi dia dipanggil nabi dan ditanya, “Mengapa kamu mau datang?”“Ya saya tidak mau pergi sebelum saya
38
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Tarjamahnya, (Bandung: 2007), h. 447 Nurcholish Madjid, Pesan- pesan Takwa Kumpulan Khutbah Jum’at di Paramadina, (Jakarta: Paramadina, 2005), cet. IV, h. 93-95 39
52
mendapatkan keterangan tentang apa itu kebaikan dan keburukan. Nabi mengatakan bahwa kebaikan adalah sesuatu yang membuat hati tentram dan kejahatan ialah sesuatu yang membuat hati bergejolak meskipun kamu didukung oleh seluruh umat manusia.40 Hadist ini jelas menerangkan bahwa pada dasarnya potensi kebaikan itu sudah ada pada diri manusia karena jika manusia melalukan kejahatan walaupun didukung oleh banyak manusia sesengguhnya hati tidak bisa menerimanya atau bergejolak. Maka dari itu tugas orang tua ialah mengembangkan apa yang secara primordial sudah ada pada si anak, yaitu nature kebaikannya sendiri sesuai dengan fitrahnya. Sementara itu, di pihak lain, orang-tua mempunyai peranan menentukan dan memikul beban tanggung jawab utama yaitu jangan sampai terjadi pada diri si anak menyimpang dari nature dan potensi kebaikannya itu sehingga menjadi manusia dengan ciri-ciri kualitas rendah Inilah salah satu makna sebuah hadis yang amat terkenal, yang menegaskan betapa setiap anak dilahirkan dalam fitrah (nature kesucian), kemudian
ibu
bapaknyalah
yang
berkemungkinan
membuatnya
menyimpang dari fithrah itu”.41 Dalam kaitannya dengan pendidikan agama anak dalam keluarga, menurut Nurcholish Madjid bahwa peran pendidikan agama sangat besar pengaruhnya dalam mewarnai kehidupan anak. Akan tetapi perlu direnungkan tentang apa yang dimaksud agama? Diantara para mubalihg dan tokoh agama ada yang memperingatkan bahwa agama bukanlah sekedar tindakan ritual seperti shalat dan membaca do’a saja. Agama lebih dari itu, yaitu keseluruhan tingkah laku manusia dan tingkah laku itu membentuk keutuhan manusia berbudi luhur (akhlakul karimah), atas dasar percaya atau iman kepada Allah dan tanggung jawab pribadi dihari kemudian demi memperoleh ridlo Allah. 42
40
Ibid, h. 94 Nurcholish Madjid , Masyarakat Religius,(Jakarta: Paramadina, 1997), cet. I, h. 115 42 Ibid, h. 123 41
53
Karena itu renungan tentang apa yang dimaksud tentang pendidikan agama muncul secara logis, sebagai lanjutan dari renungan tentang
apa itu
agama. Karena agama yang diamaksud diatas , maka agama tidak hanya terbatas pada pengajaran tentang ritu- ritus dan segi-segi formalistiknya belaka. Ini tidak berarti pengingkaran terhadap perlunya ritus-ritus dan segi formalistik agama, tidak pula pengingkaran terhadap perlunya ritu-ritus dan segi- segi formal itu diajarkan kepada anak. Karena ritus-ritus dan formalitas itu di ibaratkan “bingkai” atau “kerangka” bagi bangunan agama. Karena itu setiap anak harus diajarkan bagaimana melaksanakan ritus-ritus itu dengan baik dengan memenuhi segala “syarat dan ruku” keabsahanya.43 Tetapi sebagai “binkai” atau “kerangka” ritus dan dan formalitas bukanlah tujuan dalam dirinya sendiri. Ritus dan formalitas yang dalam hal ini terwujud dalam apa yang biasa disebut "rukun Islam" . “ Ritus dan formalitas keagamaan tersebut itu baru mempunyai makna yang hakiki jika menghantarkan orang yang bersangkutan kepada tujuannya yang hakiki pula, yaitu kedekatan (taqarrub) kepada Allah dan kebaikan kepada sesama manusia (akhlaq karimah)”.44 Maka menurut Nurcholish Masjid peranan pendidikan agama dalam keluarga sesungguhnya adalah pendidikan agama berperan untuk pertumbuhan total seorang anak didik. Pendidikan agama tidak dapat dipahami secara terbatas hanya kepada pengajaran agama saja. Karena itu keberhasilan pendidikan agama bagi anak-anak tidak cukup diukur hanya dari segi seberapa jauh anak itu menguasai hal-hal yang bersifat kognitif atau pengetahuan tentang ajaran agama atau ritus-ritus keagamaan semata. Justru yang lebih penting, berdasarkan ajaran Kitab dan Sunnah sendiri, ialah seberapa jauh peran orang tua dapat menanamkan nilai-nilai keagamaan tersebut dalam jiwa anak, dan seberapa jauh pula nilai-nilai itu mewujud-nyata dalam tingkah laku dan budi pekertinya sehari-hari. Perwujudan nyata nilai-nilai tersebut dalam tingkah laku dan budi pekerti seharihari akan melahirkan budi luhur atau al-akhlaq al-karimah.
43 44
Nurcholish Madjid , Masyarakat Religius,(Jakarta: Paramadina, 1997), cet. I, h. 124 Ibid, h. 124
54
Menurut Nurcholish Madjid pendidikan agama dalan keluarga yang perlu ditanamkan ialah keterkaitan yang erat antara taqwa dan budi luhur dan juga makna keterkaitan antara iman dan amal saleh, salat dan zakat, hubungan dengan Allah (habl-un min al-Lah) dan hubungan dengan sesama manusia (habl-un minal-nas), ini juga terdapat pada bacaan takbir (lafal Allahu Akbar) pada pembukaan salat dan bacaan taslim (lafal Alsalam-u 'alaykum) pada penutupan shalat. Pendeknya, terdapat keterkaitan yang mutlak antara Ketuhanan sebagai dimensi hidup pertama manusia yang vertikal dengan Kemanusiaan sebagai dimensi kedua hidup manusia yang horizontal. Oleh karena sedemikian kuatnya penegasanpenegasan dalam sumber-sumber suci agama (Kitab Suci dan Sunnah Nabi) mengenai keterkaitan antara kedua dimensi itu, maka pendidikan agama, baik di dalam keluarga maupun di sekolah, tidak dapat disebut berhasil kecuali jika pada anak didik tertanam dan tumbuh dengan baik kedua nilai itu: Ketuhanan dan Kemanusiaan, Taqwa dan Budi luhur.45
Mengapa ada keterkaitan antara takwa dan budi luhur? Menurut Nurcholish Madjid secara garis besar takwa itu ialah pola hidup atau gaya hidup kita menempuh hidup, yang disertai dengan kesadaran bahwa Allah itu hadir. Kesadaran bahwa Allah beserta kita mempunyai efek atau pengaruh yang besar sekali dalam hidup kita. Pertama, kesadaran itu memberikan kemantapan dalam hidup. Bahwa kita ini tidak pernah sendirian. Kemudian dampak kedua, bahwa dengan kesadaran hadirnya Allah dalam hidup ini, maka kita akan dimbimbing kearah budi luhur, ke arah akhlakul karimah. Mengapa? “ Karena kalau kita menyadari bahwa Allah selalu hadir dalam hidup kita, maka tentunya kita tidak akan melalukan sesuatu yang sekiranya tidak mendapat perkenan dari Dia. Tidak mendapat ridlo dari Dia (Allah)”.46 Dalam renungan lebih lanjut, penyebutan peranan ayah dan ibu oleh Nabi saw dalam hadist Fithrah itu berarti bernada peringatan tentang kemunkinan 45
Nurcholish Madjid , Masyarakat Religius,(Jakarta: Paramadina, 1997), cet. I, h. 133 Nurcholish Madjid, Pesan- pesan Takwa Kumpulan Khutbah Jum’at di Paramadina, (Jakarta: Paramadina, 2005), cet. IV, h. 233-234 46
55
pengaruh negatif orang-tua dalam pendidikan anaknya sehingga ia bisa dari nature kesucian primordialnya. Ini tentu saja, harus ditafsirkan bisa terjadi jika ayah-ibu kurang menyadari peran pengarahannya bagi pertumbuhan anak, maka sama saja membiarkan anak dibentuk oleh lingkungan. “Sebab lingkungan turut andil juga dalam mempengaruhi watak dan akhlak anak. Maka jika dibaratkan sebagai “stotz kontak” orang tua adalah yang paling besar setrumnya dibandingkan dengan lingkungan”.47 Orang tua berperan sebagai penyaring bagi anak dari segala pengaruh buruk yang terdapat dari lingkungan. Oleh karena itu kedua orang tua (ibu dan bapak) harus membekali diri dengan berbagai ilmu pengetahuan terutama ilmu agama, yang nantinya di tranfer dan di internalisasikan kepada anak, serta orang tua dituntut untuk menyiapkan waktu yang cukup guna mendapingi dalam memberikan pendidikan bagi anaknya khususnya pendidikan agama.
3.
Nilai-nilai Keagamaan yang Ditanamkan pada Diri Anak Menurut Nurcholish Madjid Adapun upaya-upaya yang dilakukan keluarga dalam hal menanamkam
pendidikan keagamaan bagi anak menurut Nurcholish Madjid, penulis membatasi dalam hal sebagai berikut: a. Mendidik dengan Keteladanan Pendidikan dengan keteladanan berarti pendidikan dengan memberi contoh, baik berupa tingkah laku, sifat, cara berpikir, dan sebagainya. Contoh atau teladan yang baik dari orang tua akan membentuk kepribadian anak dimasa perkembangan anak pada masa perkembangan banyak mengadopsi pola prilaku apa saja yang ditampilkan oleh kehidupan dalam keluarganya, lebih-lebih pada ayah dan ibunya. Pendidikan agama dalam keluarga, jelas melibatkan peran orang tua dan seluruh anggota keluarga dalam usaha menciptakan suasana keagamaan yang baik dan benar dalam keluarga.
47
Ibid,, h. 119-120
56
Dan peran orang tua tidak perlu berupa peran pengajaran yang nota-bene nya dapat diwakilkan kepada orang lain atau guru. Peran orang tua adalah peran tingkah laku tulada atau teladan. Seperti sebuah pepatah yang berbunyi “bahasa perbuatan adalah lebih fasih dari pada bahasa ucapan” (lisan-ul hal-i afshah-u min lisa-il-maqal). Jadi jelas pendidikan agama menuntut tindakan percontohan lebih-lebih dari pada pengajaran
verbal.
Dengan
meminjam
dimasyarakat, dapat dikatakan bahwa
istilah
yang
populer
“pendidikan dengan bahasa
perbuatan” (tarbiyah bi lisan-i’l-hal) untuk anak adalah lebih efektif dan lebih mantap daripada
“pendidikan dengan bahasa ucapan”
(tarbiyah bi lisan- il-maqal).48
Para ahli umumnya mengatakan bahwasanya bila seorang anak mecari sosok suri teladan dan bahkan “pahlawan”, seoarang ayah selalu menmpati urutan pertama, dan baru orang lain. Peranan seorang ayah
terhadap
pendidikan anak- anaknya sangat berpengaruh dalam pembentukan sikap dan tingkah laku mereka. Oleh karena itu apa dan bagaimana tingkah laku yang dilakukan seorang ayah akan berpengaruh juga pada tingkah laku anak- anak. Jika si ayah memberikan keteladanan sebagai penolong dalam keluarga, maka akan terkesan pula pada hati anak-anak akan keberhasilah didikan ayah terhadap anak-anaknya b. Membiasakan Shalat Berjamaah Sebagai “bingkai” atau “kerangka” keagamaan, shalat adalah titik tolak yang sangat baik untuk pendidikan keagamaan seterusnya. Pertama-pertama, shalat itu mengandung arti penguatan ketaqwaan kepada Allah, memperkokoh dimensi vertikal hidup manusia, yaitu “tali hubungan dengan Allah” (habl-un min al-Lah). Segi ini dilambangkan dalam takbirat-u-‘ l-ihram, yaitu takbir atau ucapan Allahu Akbar pada pembukaan shalat. Kedua shalat itu menegaskan 48
127
Nurcholish Madjid , Masyarakat Religius,(Jakarta: Paramadina, 1997), cet. I, h. 126-
57
pentingnya memelihara hubungan dengan sesama manusia secara baik, penuh kedamaian, dengan kasih atau rahmat serta berkah Tuhan. Jadi memperkuat dimensi horizontal hidup manusia, yaitu “tali hubungan dengan sesama manusia” (habl-un min al-nas). Ini dilambangkan dengan taslim atau ucapan salam pada akhir shalat dengan anjuran kuat menengok ke kanan dan kekiri.49 Shalat pun sebetulnya dirancang agar kita senantiasa selalu ingat kepada Allah. Seperti firman Allah kepada Nabi Musa:
tegakkanlah salat untuk mengingat Aku”(Q.S 20:14)50 Dalam firman lain juga disebutkan bahwa salat itu mencegah dari perbuatan keji dan jahat.
sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan keji dan munkar, dan ingat kepada Allah itu memang sangat agung” (Q.S 29:45) “Kalimat wa ladzikkr-u I-lah-i akbar itu sendiri yang mengartikan sebagai penegasan tujuan dari salat. Tapi juga ada yang mengartikan sebagai peringatan bahwa salat itu memang mencegah kita dari perbuatan jahat karena ingat kepada Allah”.51 Anak yang masih kecil, kegiatan ibadah yang lebih menarik baginya adalah yang mengandung gerak, sedangkan pengertian tentang ajaran agama belum dapat dipahaminya karena itu, ajaran yang abstrak tidak menarik 49
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Tarjamahnya, (Bandung: 2007), h. 251 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Tarjamahnya, (Bandung: 2007), h. 321 51 Nurcholish Madjid, Pesan- pesan Takwa Kumpulan Khutbah Jum’at di Paramadina, (Jakarta: Paramadina, 2005), cet. IV, h. 101 50
58
perhatiannya. Salah satu ibadah yang mengandung gerak adalah shalat. Anakanak suka melakukan shalat meniru orang tuanya kendatipun ia tidak mengerti apa yang dilakukan itu. Pengalaman keagamaan yang menarik bagi anak diantaranya shalat berjama’ah. Meskipun shalat bersama masih termasuk segi ritual dan formal keagamaan, namun pelaksanaannya secara bersama dalam keluarga dapat memberikan dampak yang sangat positif kepada seluruh anggota keluarga. Ada ungkapan Inggris yang mengatakan bahwa, “A family who pray together will never fall apart” (sebuah keluarga yang selalu berdoa atau sembahyang bersama tidak akan berantakan) .52
c. Menanamkan Nilai Dimensi Hidup Ketuhanan dalam Diri Anak Pendidikan Islam, sering dikatakan memiliki sasaran dan dimensi hidup, yaitu penanaman rasa takwa kepada Allah dan pengembangan rasa kemanusiaan kepada sesamanya, dimensi hidup ketuhanan ini juga disebut jiwa rabbaniyah (Q.S Al- Imron: 79) atau biasa disebut tauhid rubuniyah, suatu bentuk keyakinan bahwa semua yang ada di alam semesta dikendalikan oleh Allah yang Maha Esa, tanpa campur tangan sekutu lain. 53
Adapun wujud nyata subtansi jiwa ketuhanan itu adalah nilai- nilai keagamaan yang harus ditanamkan dalam pendidikan. Dan jika dicoba merinci apa saja wujud nyata atau subtansi jiwa Ketuhanan ini, maka kita dapatkan nilai-nilai keagamaan pribadi yang amat penting yang harus ditanamkan kepada anak. Kegiatan menanamkan nilai-nilai itulah yang sesungguhnya akan menjadi inti pendidikan keagamaan. Diantara nilainilai yang sangat mendasar adalah: a) Taqwa
52 53
Nurcholish Madjid , Masyarakat Religius,(Jakarta: Paramadina, 1997), cet. I, h. 127 Ibid, h. 130
59
Meunurut Nurcholish Madjid kata taqwa itu sendiri merupakan serapan dari bahasa Arab yang biasa terjemahkan sebagai sikap takut kepada Allah atau sikap menjaga diri dari perbuatan jahat, atau sikap patuh memenuhi segala kewajiban dan menjauhi segala larangan Allah. Meskipun penjelasan itu semua mengandung kebenaran , tetapi belumlah merangkum seluruh tentang taqwa. “Takut kepada Allah” tidak mencakup segi positif taqwa, sedangkan sikap “menjaga diri dari perbuatan jahat” hanya menggambarkan satu segi saja dari keseluruhan makna taqwa. Muhammad Asad, seorang penerjemah dan penafsir al-Qur’an yang terkenal masa kini, menterjemahkan kata taqwa dengan menggunakan bahasa Inggris “God Consiousness”, yakni, “kesadaran ketuhanan”. Dan kesadaran ketuhanan sebagai uraian tentang taqwa sejiwa dengan perkataan “rabbaniyah” atau “ribbiyah” (semangat ketuhanan) yang dalam kitab suci di isyaratkan sebagai tujuan diutusnya para Nabi dan Rasul. Selanjutnya, yang dimaksud dengan “kesadaran atau semangat ketuhanan” itu ialah seperti dijabarkan Muhammad Asad kesadaran bahwa Tuhan adalah Maha Hadir (omnipresent) dan kesediaan untuk menyesuaikan keberadaan diri seseorang di bawah sorotan kesadaran itu.54
Satu hal yang sangat penting kita ketahui adalah bahwa taqwa merupakan asas hidup, dalam Al-Qur’an perkataan asas hanya dikaitkan dengan takwa. “Hubungan antara takwa dengan asas hidup dipaparkan dalam konteks peristiwa ketika orang-orang munafik di Mekah mencoba menyaingi Nabi dengan mendirikan sebuah masjid yang kemudian disebut dengan masjid Dhirar. Artinya, masjid yang menimbulkan bahaya perpecahan”: 55
54
Nurcholish Madjid, Tradisi Islam Peran dan Fungsinya dalam Pembangunan di Indonesia. (Jakarta: Paramadina) cet. I h. 141 55 Nurcholish Madjid, Pesan- pesan Takwa Kumpulan Khutbah Jum’at di Paramadina, (Jakarta: Paramadina, 2005), cet. IV, h. 89
60
Dan diantara orang-orang munafik itu ada orang-orang yang mendirikan masjid untuk menimbulkan kemudlaratan (pada orangorang mukmin), untuk kekafiran dan untuk memecah belah antara orang-orang mukmin serta menunggu kedatangan orang-orang yang telah memerangi Allah dan Rasul-Nya sejak dahulu. Mereka sesungguhnya
bersumpah:
“kami
tidak
menghendaki
selain
kebaikan,”.“Dan Allah menjadi saksi maka sesunngguhnya mereka itu adalah pendusta (dalam sumpahnya)” (Q.S.9:107)56
Allah SWT kemudian menurunkan wahyu untuk mengingatkan bahwa tidak sepatutnya Nabi bersama kaum beriman bersembahyang di masjid yang didirikan dengan niat tidak baik itu. Dan Allah berfirman bahwa masjid Nabi yang terdahulu itu yaitu masjid Quba lebih baik sebagai tempat sembahyang dari pada masjid Dhirar itu. Masjid kuba yang didirikan oleh nabi sendiri, yang disebut sebagai masjid-un ussis-a ‘ala taqwa, masjid yang didirikan atas dasar takwa. Setelah cerita hal praktishistoris ini, ada pesan moral yang bunyinya sebagi berikut:
56
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Tarjamahnya, (Bandung: 2007), h. 162
61
Maka apakah orang-orang yang mendirikan bangunnanya diaatas dasar takwa kepada Allah dan keridlaan-Nya yang baik, ataukah orang-orang yang mendirikan bangunannya ditepi jurang yang runtuh, lalu bangunanya itun jatuh bersama-sama dengan dia kedalam neraka Jahanam? Dan Allah tidak memberikan petunjuk kepada orang-orang yang zalim. (Q.S 9:109)57 “Jadi, asas hidup adalah takwa kepada Allah dan upaya mencapai keridlaan-Nya. Dan semua asas hidup, selain takwa dan mencapai ridla Allah, diibaratkan sebagai pondasi dari sebuah bangunan yang didirikan ditepi jurang yang retak. Sehingga ketika bangunan itu berdiri, justru runtuh dan masuk kedalam neraka Jahanam”. 58 Melalui takwa, kita menyadari kehadiran Tuhan dalam hidup. Inti takwa adalah kesadaran yang sangat mendalam bahwa Allah selalu hadir dalam hidup kita. Bisa ditarik kesimpulan takwa ialah kesadaran penuh bahwa setiap yang apa yang kita kerjakan bahwasanya Allah selalu beserta kita, Allah selalu menyertai kita, Allah mengawasi kita dan Allah memperhitungkan perbuatan kita. Sehingga dalam diri kita timbul suatu
57
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Tarjamahnya, (Bandung: 2007), h. 163 Nurcholish Madjid, Pesan- pesan Takwa Kumpulan Khutbah Jum’at di Paramadina, (Jakarta: Paramadina, 2005), cet. IV, h. 90 58
62
keinsyafan untuk melakukan segala sesuatu yang sekiranya akan Allah perkenankan atau Allah ridlai.59 Taqwa kepada Allah sebagai dimensi pertama hidup ini dimulai dengan pelaksanaan kewajiban-kewajiban formal agama berupa ibadatibadat. “Dan pelaksanaan itu harus disertai dengan penghayatan yang sedalam-dalamnya akan makna ibadat-ibadat tersebut, sehingga ibadat itu tidak dilaksanakan hanya semata-mata
sebagai ritus formal belaka,
melainkan keinsyafan mendalam akan fungsi edukatifnya bagi kita”.60 Rasa taqwa kepada Allah itulah kemudian dapat dikembangkan dengan menghayati keagungan dan kebesaran tuhan lewat perhatian kepada alam semesta beserta segala isinya, dan kepada lingkungan sekitar. Sebab menurut al-Qur’an hanyalah mereka yang memahami alam sekitar dan menghayati hikmah dan kebesaran yang terkandung di dalamnya sebagai ciptaan Ilahi yang dapat dengan benar-benar merasakan kehadiran Tuhan sehingga bertaqwa kepada kepadanya. 61
59
Ibid, h. 89-92 Nurcholish Madjid, Masyarakat Religius, (Jakarta: Paramadina, 1997), cet. I, h. 128 61 Ibid, h. 128 60
63
27. “tidakkah kamu melihat bahwasanya Allah menurunkan hujan dari langit lalu Kami hasilkan dengan hujan itu buah-buahan yang beraneka macam jenisnya. dan di antara gunung-gunung itu ada garis-garis putih dan merah yang beraneka macam warnanya dan ada (pula) yang hitam peka”. 28. “dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hambahamba-Nya, hanyalah ulama, Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun”62
Kata-kata arab untuk orang-orang yang berpengetahuan ialah alulama, bentuk jamak dari perkataan ‘alim yang artinya ialah orang yang berilmu. Dalam firman itu disebutkan bahwa yang benar-benar bertaqwa dan takut kepada Allah hanyalah al-ulama (para ulama). Dan dalam konteks firman itu dapat dengan jelas diketahui bahwa yang dimaksud dengan al-ulama ialah orang-orang yang bepengetahuan. Yakni mereka yang senantiasa memerhatikan alam raya dan gejala-gejala alam , mereka juga yang memperhatikan gejala umat manusia dan kehidupan mereka, secara biologis dan fisik yang bermacam-macam warna, dapat juga secara sosiologis dan kultural yang terdiri dari berbagai warna paham hidup, ideologi dan budaya. Dan akhirnya yang dimaksud dalam firman itu 62
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Tarjamahnya, (Bandung: 2007), h. 349
64
dengan al-Ulama ialah mereka yang memperhatikan, mempelajari dan meneliti, dunia flora dan fauna. Singkatnya, yang dimaksud dengan alulama dalam fitrman tersebut dan yang dipuji Tuhan sebagai golongan hambanya yang mampu benar-benar bertaqwa kepadanya ialah yang sekarang ini dalam masyarakat disebut para sarjana atau ilmuwan, yang dalam wawasan keilmuwannya tetap menghayati kehadiran Tuhan dengan segala keagungannya.63 Dengan begitu, hasil perhatian, pengamatan dan penelitiannya kepada gejala alam dan sosial kemanusiaan tidak hanya menghasilkan ilmu pengetahuan yang bersifat kognitif belaka, juga tidak hanya yang bersifat aplikatif dan penggunaan praktis semata (berujud kemampuan teknologis atau teknokratis untuk mempermudah hidup lahiriah dan material manusia), tetapi membawanya kepada keinsyafan ketuhanan yang lebih mendalam, melalui penghayatan keagungan dan kebesaran Tuhan yang sebagaimana tercermin dalam seluruh ciptaan-Nya. 64
Dalam al-qur’an banyak sekali firman yang bernada perintah atau anjuran kita memperhatikan alam atau gejala alam seperti itu, yang pada pokoknya bertujuan menginsyafkan manusia akan kebesaran dan keagungan Tuhan. Karena keinsyafan ini merupakan unsur amat penting dalam menumbuhkan rasa taqwa, maka pendidikan keagamaan harus pula meliputi hal hal yang nota bene diperintahkan Tuhan dalam Al-Qur’an. Jadi jelas sekali, begitu pentingnya penanaman nilai taqwa dalam diri anak, karena taqwa sebagai fondasi dalam kehidupan. Nilai-nilai taqwa harus ditanamkan sedini munkin karena taqwa berarti
penghayatan
keagungan akan kebesaran Tuhan dan kesadaran penuh bahwa setiap yang apa yang kita kerjakan bahwasanya Allah selalu beserta kita, Allah selalu 63
Nurcholish Madjid, Masyarakat Religius, (Jakarta: Paramadina, 1997), cet. I, h 129-
64
Nurcholish Madjid , Masyarakat Religius,(Jakarta: Paramadina, 1997), cet. I, h. 130
130
65
menyertai kita, Allah mengawasi kita dan Allah memperhitungkan perbuatan kita. Sehingga dalam diri kita timbul suatu keinsyafan untuk melakukan segala sesuatu yang sekiranya akan Allah perkenankan atau Allah ridla. Dan nilai itulah yang harus ditanamkan pada diri anak. b) Iman Iman yaitu sikap batin yang penuh kepercayaan kepada Allah. Jadi tidak cukup hanya percaya kepada adanya Allah, tetapi harus pula “mempercayai” Allah itu dalam kualitasNya sebagai satu- satunya yang bersifat keilahian atau ketuhanan, dan sama sekali tidak memandang adanya kualitas serupa kepada sesuatu apa pun yang lain. Selanjutnya, dan sebagai konsekuensinya, karena kita mempercayai Allah, kita harus bersandar sepenuhnya kepada-Nya, berpandangan positif kepadanya, “menaruh kepercayaan” kepadanya. Sebagai manusia kita harus berkeyakinan bahwa iman itu pasti akan membawa pengaruh kepada kehidupan. Dan pertama kali yang harus kita imani adalah Allah, bahwa barang siapa yang beriman kepada Allah, maka Allah berjanji akan menyediakan kehidupan yang baik didunia ini, dan juga kehidupan yang lebih baik di akherat. Janji itu untuk pribadipribadi dan kepada umat manusia sebagi kelompok, seperti dalam firman Allah:
Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit
66
dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka kami siksa mereka akibat perbuatannya”. (Q. S 7:96)65 Kemudian yang kedua ialah kita beriman kepada Malaikat. Kita percaya bahwa hidup didunia ini tidak hanya dalam lingkungan makhlukmakhluk lahiri, tetapi ada juga makhluk-makhluk lain yang disebut ghaib termasuk malaikat yang salah satunya diperintahkan Allah untuk mencatat amal baik dan buruk kita dan kalau kita yakin akan hal itu niscaya kita akan selalu ingin berbuat baik karena selalu merasa diawasi oleh malaikat. Kemudian kita percaya kepada kitab-kitab suci, namun perlu diingat bahwa kitab suci yang masih murni dan asli masih memuat kehendak Allah hanyalah Al-Qur’an, karena dengan Al-Qur’an kita mengetahui rincian lebih lanjut bagaimana caranya hidup yang benar dimuka bumi ini. Dan selanjutnya percaya kepada Nabi, sebab para Nabi itulah yang membawa kitab-kitab suci, terutama bagi mereka yang ditugasi untuk menyampaikan kepada orang lain sehingga martabatnya naik menjadi Rasul. “Dengan beriman kepada Allah maka berarti kita menyadari tentang adanya asal atau tujuan hidup. Bahwa hidup kita berasal dari Allah SWT dan akan kembali pada-Nya. Itulah satu makna yang kita ungkapkan dalam ucapan sehari-sehari dengan mengambil dari Al-Qur’an yaitu:”66
Yaitu apabila orang-orang yang ditimpa musibah, mereka ungkapkan, “kita semuanya berasal dari Allah dan kembali kepada Allah”. (Q. S Al-Baqarah 2:156)67
65
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Tarjamahnya, (Bandung: 2007), h.129 Ibid, h. 170 67 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Tarjamahnya, (Bandung: 2007), h. 18 66
67
Kalau kita menyadari hal itu, maka kita menyadari hidup itu harus ditempuh dengan penuh kesungguhan, penuh tanggung jawab, sebab hidup ini tidak hanya ada asal dan tujuan saja. Beriman kepada hari kemudian merupakan
penegasan
tentang
tujuan
hidup
ini,
dimana
ada
pertanggungjawaban, dan bersifat pribadi, tidak ada pertanggung jawaban kolektif. Jika kita beriman kepada Allah dan hari kemudian, maka salah satu konsekuensinya kita akan menjalani hidup ini dengan sungguhsungguh karena kita akan mempertanggungjawabkan semua tingkah laku kita dihari kemudian. Dan jika kita yakin bahwa ada hari kemudian atau yakin adanya hidup lain selain hidup sekarang, dan dimintai pertanggung jawaban kelak, membawa konsekuensi pada keyakinan akan adanya kada dan kadar yang berlaku dalam hidup dan kehidupan manusia didunia yang fana ini yang membawa akibar kehidupan di alam baka kelak. Dari uraian singkat tersebut diatas, tampak logis dan sistematisnya pokok-pokok keyakinan Islam yang terangkum dalam istilah Rukun Iman. Pokok-pokok keyakinan ini merupakan asas seluruh ajaran Islam, seperti telah diuraikan diatas maka Rukun Iman jumlahnya enam, yang dimulai dari (a) keyakinan kepada Allah, (b) keyakinan kepada Malaikat-Malaikat, (c) keyakinan kepada Kitab-kitab Suci, (d) keyakinan kepda para Nabi dan Rasul Allah, (e) keyakinan akan adanya Hari Akhir, (f) keyakinan pada Kada dan Kadar Allah. Pokok-pokok keyakinan atau Rukun Iman ini merupakan akidah Islam. Dalam menanamkan nilai-nilai keimanan pada diri anak dilakukan orang tua sedini munkin, sebagai orang tua harus terus berupaya mengajarkan nilai- nilai keimanan kepada anak tentunya dengan cara baik, lembut dan kasih sayang, selain itu juga harus memahami tingkat usia mereka. Menanamkan nilai-nilai keimanan kepada anak harus dengan kesabaran dan ketelatenan apabila anak belum mengerti hendaklah mengulanginya pada waktu berikutnya sampai anak mengerti dan mengaplikasikan nilai-nilai keimanan dalam kehidupan sehari-hari.
68
c) Islam “Menurut Nurcholish Madjid Islam adalah sikap tunduk, patuh, atau taat kepada Tuhan yang semula digunakan untuk menunjukkan semangat yang kemudian digunakan sebagai nama yaitu khususnya semangat dan nama agama yang dibawa Nabi Muhammad Saw”.68 “Dalam pengertian lain Nurcholish Madjid mengartikan Islam sebagai kelanjutan adanya iman, maka sikap pasrah kepadanya (yang merupakan makna asal perkataan arab islam), dengan meyakini bahwa apapun yang datang dari Tuhan tentu mengandung hikmah kebaikan, yang kita yang dlaif ini tidak mungkin mengetahui seluruh wujudnya”.
69
Dari uraian diatas dapat disimpulkan Islam ialah sikap pasrah, taat, patuh dan tunduk terhadap aturan-aturan dan ketentuan yang ditetapkan Tuhan serta menyerahkan diri sepenuhnya
kepada kepada-Nya untuk
menempuh
mendapatkan
jalan
keselelamatan
guna
kedamaian,
kesejahteraan, kesentosaan dengan keamanan dan kedamaian serta mulia kedudukannya didunia sampai diakhirat. d) Ikhlas “Ikhlas yaitu sikap murni tingkah laku dan perbuatan, semata-mata demi memperoleh ridla dan perkenaan Allah, dan bebas dari pamrih lahir dan batin, tertutup maupun atau terbuka. Dengan sikap yang ikhlash orang akan mampu mencapai tingkat tertinggi nilai karsa batin dan lahirnya, baik pribadi maupun social”.70 Nurcholish madjid mengartikan keikhlasan sama dengan taubat, yakni kembali kepada Allah. Begitu juga Inabah. Wa anibu ila rabbikum wa aslim-u lah-u, yang artinya, “Kembalilah kepada 68
Nurcholish Madjid, Tradisi Islam Peran dan Fungsinya dalam Pembangunan di Indonesia. (Jakarta: Paramadina) cet. I h. 140 69 Nurcholish Madjid, Pintu-pintu menuju Tuhan, (Jakarta: Paramadina, 2002), cet. VI, h.2 70 Nurcholish Madjid, Masyarakat Religius, (Jakarta: Paramadina, 1997), cet. I, 131
69
Tuhanmu dan pasrahlah kepada-Nya”. Terimalah apapun yang ada dari Tuhan itu tanpa persoalan. Ini juga yang disebut Ikhlas. Sedemikin halusnya ikhlas itu sehingga dalam hadist kudsi disebutkan sebagai rahasia antara Tuhan dengan seorang hamban-Nya yang saleh, al-ikhlash-u sirr-un min asrari, ikhlas itu adalah salah satu dari rahasiaku, awda ‘tuhu qalba man ahbab-tuhu, yang aku titipkan dalam kalbu orang yang aku cintai, la ya’lam-u syaithan fayufsida, syaitan tidak mengetahui keikhlasan orang itu sehingga tidak bisa dirusak olehnya, wal la l-mala ikat-u fayaktub-uhu, dan malaikatpun juga tidak mengetahui keikhlasan seorang itu sehingga tidak bisa dicatat oleh malaikat. Karena ikhlas adalah rahasia antara kita dan Allah, maka untuk menjadi ikhlas kita memerlukan latihan terus menerus.71
e) Tawakal “Tawakkal (dalam ejaan yang lebih tepat, “tawakkul”): yaitu sikap senantiasa bersandar kepada Allah, dengan penuh harapan kepada-Nya dan keyakinan bahwa ia akan menolong kita dalam mencari dan menemukan jalan yang terbaik. Karena kita mempercayai atau menaruh kepercayaan kepada Allah, maka tawakkal adalah suatu kemestian”.72 Kemudian tawakal dapat diartikan kesadaran yang mendalam bahwasanya Allah selalu beserta kita, mempunyai efek atau pengaruh yang besar sekali bagi hidup kita. “Pertama, kesadaran itu memberikan kemantapan dalam hidup. Bahwa kita ini tidak pernah sendirian. Oleh karena itu kita tidak akan pernah takut menempuh hidup ini dan kita bersandar kepadaNya. Maka sikap bersandar kepada Allah itu disebut tawakal. Salah satu sifat Allah ialah al-Wakil artinya tempat bersandar”. 73 71
Nurcholish Madjid, Pesan- pesan Takwa Kumpulan Khutbah Jum’at di Paramadina, (Jakarta: Paramadina, 2005), cet. IV, h. 107 72 Nurcholish Madjid, Masyarakat Religius, (Jakarta: Paramadina, 1997), cet. I, 131 73 Nurcholish Madjid, Pesan- pesan Takwa Kumpulan Khutbah Jum’at di Paramadina, (Jakarta: Paramadina, 2005), cet. IV, h. 234
70
"Cukuplah Allah menjadi penolong Kami dan Allah adalah Sebaikbaik Pelindung".74 Sikap tawakal ini harus ditanamkan kepada anak sedini munkin, dengan sikap tawakal diharapkan seorang anak akan menyandarkan hidupnya hanya kepada Allah. Seorang anak pasti akan mengalami beberapa fase perkembangan dalam kehidupannya dan fase-fase tersebut secara tidak langsung akan mempengaruhi emosionalnya pula. Semakin beranjak dewasa anak juga akan mengalami berbagai macam problem jika seorang anak sudan menyandarkan dirinya kepada Allah maka anak tersebut bisa melewati beberapa fase dan perubahan kehidupannya dengan baik. f) Syukur Menurut Nurcholish Madjid Syukur yaitu sikap penuh rasa terima kasih dan penghargaan, dalam hal ini atas segala nikmat dan karunia yang tidak terbilang banyaknya, yang dianugrahkan Allah kepada kita. Sikap bersyukur sebenarnya sikap optimis kepada hidup ini dan pandangan senantiasa berpengharapan kepada Allah. Karena itu sikap bersyukur kepada Allah adalah sesungguhnya sikap bersyukur kepada diri sendiri. Karena manfaat besar kejiwaanya yang akan kembali kepada yang bersangkutan.75
Rasa syukur sudah seharusnya ditingkatkan, syukur adalah pernyataan hati atas kecintaan pada Zat yang memberi nikma, gerak anggota tubuh dalam beribadah serta diunkapkan secara lisan dengan selalu mengingatNya dan memuji-Nya. 74 75
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Tarjamahnya, (Bandung: 2007), h. 58 Nurcholish Madjid, Masyarakat Religius, (Jakarta: Paramadina, 1997), cet. I, 131
71
g) Sabar “Sabar dalam bahasa Arabnya al-shabr, yang arti sesungguhnya adalah ketabahan, kesanggupan menahan diri, dan kesediaan untuk tidak mendahulukan kepentingan diri sendiri yang merugikan kepentingan orang banyak”. 76 Lebih lanjut lagi Nurcholish Madjid mengartikan sabar yaitu sikap tabah menghadapi segala kepahitan hidup, besar dan kecil lahir dan batin fisiologis maupun psikologis, karena keyakinan yang tak tergoyahkan bahwa kita semua berasal dari Allah dan kembali kepadanYa. Jadi sabar adalah sikap batin yang tumbuh karena kesadaran akan asal dan tujuan hidup, yaitu Allah SWT.77
Tentu masih banyak lagi nilai-nilai keagamaan pribadi yang diajarkan dalam Islam. Namun kiranya sedikit yang tersebutkan diatas itu akan cukup mewakili nilai-nilai keagamaan mendasar yang perlu ditanamkan kepada anak, sebagai bagian amat penting dari pendidikan keagamaanya.
“Biasanya,
orang
tua
atau
pendidik
akan
dapat
mengembangkan pandangan tersebut sehingga nilai-nilai keagamaan lainnya sesuai dengan perkembangan anak”.78 d. Menanamkan Nilai Dimensi Hidup Kemanusian dalam Diri Anak Berkenaan dengan nilai kamanusian, patut sekali kita renungan sabda-sabda nabi sebagai berikut: “Yang paling banyak memasukkan orang ke dalam surga ialah taqwa kepada Allah dan keluhuran budi.” 76
Nurcholish Madjid, Tradisi Islam Peran dan Fungsinya dalam Pembangunan di Indonesia. (Jakarta: Paramadina) cet. I h.143 77 Nurcholish Madjid, Masyarakat Religius, (Jakarta: Paramadina, 1997), cet. I, h. 132 78 Nurcholish Madjid , Masyarakat Religius,(Jakarta: Paramadina, 1997), cet. I, h. 131132
72
“Tiada sesuatu apapun yng dalam timbangan (nilainya) lebih berat daripada keluhuran budi”79 Budi pekerti adalah perkataan majemuk perkataan budi dan pekerti, gabungan kata yang berasal dari bahasa Sangsekerta dan bahasa Indonesia. Dalam bahasa Sangsekerta budi artinya alat kesadaran (batin), sedang dalam bahasa indonesia pekerti berarti kelakuan. Secara terminologis, akhlak berarti kemauan yang kuat tentang sesuatu yang dilakukan secara berulang-ulang, sehingga menjadi adat (membudaya) yang mengarah kepada kebaikan ataupun keburukan. Akhlak dapat juga berarti tingkah laku yang telah melekat pada diri seseorang karena hal itu telah sering dilakukan secara terus menerus, sehingga ia berbuat secara sopan. Keterkaitan yang erat antara taqwa dan budi luhur itu adalah juga makna keterkaitan antara iman dan amal shaleh, shalat dan zakat, hubungan dengan Allah dan hubungan dengan manusia, bacaan takbir pada pembukaan shalat dan bacaan pendeknya, terdapat keterkaitan yang mutlak antara ketuhanan sebagai dimensi kedua hidup manusia yang horizontal. Oleh karena sedemikian kuatnya penegasan-penegasan mengenai keterkaitan antara dua dimensi itu, maka pendidikan agama, baik di dalam keluarga maupun di sekolah, tidak dapat disebut berhasil kecuali pada anak didik tertanam dan tumbuh dengan baik kedua nilai itu: Ketuhanan dan Kemanusiaan, Taqwa dan Budi luhur.80
Begitu pentingnya penananaman akhlak bagi anak, sehingga para ulama pun memperingatkan bahwa kejayaan suatu bangsa tergantung kepada keteguhan akhlak, budi pekerti, atau moral bangsa itu. Biasanya peringatan itu dikaitkan dengan adagium yang berbentuk sayir Arab, yang artinya: “Sesungguhnya bangsa-bangsa itu tegak selama akhlaknya tegak, dan jika
79 80
I bid, h. 133 Nurcholish Madjid, Masyarakat Religius, (Jakarta: Paramadina, 1997), cet. I, h.133
73
akhlaknya runtuh, maka runtuh pulalah bangsa-bangsa itu”.81 Oleh karena anak adalah penerus bangsa maka sudah selayaknya orang tua menanamkan budi pekerti atau akhlakul karimah bagi anaknya sedini munkin agar nanti besarnya mempunyai keteguhan akhlak yang kuat. Di atas kita kemukakan beberapa nilai ketuhanan yang amat perlu ditanamkan kepada anak. Tentang nilai-nilai budi luhur, sesungguhnya kita dapat mengetahuinya secara akal sehat atau “common sense” mengikuti hati nurani kita.
Dan memang begitulah petunjuk Nabi,
bahwa kita akan mengetahui amal perbuatan yang berbudi luhur jika kita rajin bertanya kepada hati nurani kita. Justru dalam agama islam hati kita disebut nurani (dari bahasa Arab, nurani, artinya bersifat cahaya atau karena terang), karena baik menurut al-qur’an maupun sunnah nabi, hati kita adalah modal primordial untuk menerangi jalan hidup kita sehingga kita terbimbing ke arah yang benar dan baik, yakni ke arah budi luhur. “Tetapi sekadar untuk pegangan operatif dalam menjalankan pendidikan keagamaan kepada anak. Mungkin nilai-nilai akhlak berikut ini patut sekali dipertimbangkan oleh orang tua untuk ditanamkan kepada anak dan keturunannya adalah sebagai berikut”:82
a) Silaturrahmi (dari bahasa arab, shilat al-rahm): yaitu pertalian rasa cinta kasih antara sesama manusia, khususnya antara saudara, kerabat, handai taulan, tetangga dan sebagainya. Sifat utama Tuhan adalah kasih. Sebagai satu-satunya sifat Ilahi yang diwajibkan sendiri atau dirinya. Maka manusia pun harus cinta kepada sesamanya, agar Allah cinta kepadanya. “ kasihlah kepada orang di bumi, maka Dia (Tuhan) yang ada di langit akan kasih kepadamu.” b) Persaudaraan (ukhuwah): yaitu semangat persaudaraan,
lebih-lebih
sesama kaum beriman seperti disebutkan di al-Qur’an, yang intinya 81
Nurcholish Madjid, Pintu-pintu Menuju Tuhan, ( Jakarta: Paramadian, 2002), cet. IV,
h. 184 82
Nurcholish Madjid, Masyarakat Religius, (Jakarta: Paramadina, 1997), cet. I, h.133
74
ialah hendaknya kita tidak merendahkan golongan yang lain, kalaukalau mereka itu lebih baik daripada kita sendiri, tidak saling menghina, saling
mengejek,
banyak
berprasangka,
suka
mencari-mencari
kesalahan orang lain, dan suka mengumpat (membicarakan keburukan yang tidak ada di depan kita). c) Persamaan (al-musawwah): yaitu pandangan bahwa semua manusia tanpa memandang jenis kelamin, kebangsaan ataupun kesukuannya, dan lain-lain, adalah sama dalam harkat dan martabat. Tinggi rendah manusia hanya ada dalam pandangan Tuhan yang tahu kadar taqwa itu, Prinsip itu dipaparkan dalam kitab suci sebagai kelanjutan pemaparan tentang prinsip persaudaraan di kalangan kaum beriman. Jadi persaudaraan berdasarkan iman (ukhuwah islamiyah) diteruskan dengan persaudaraan berdasarkan kemanusiaan (akhuwah insaniyah). d) Adil (dari perkataan Arab” adl”): yaitu wawasan yang seimbang atau balanced dalam memandang, menilai atau menyikapi sesuatu atau seseorang, dst. Jadi tidak secara apriori menunjukkan sikap positif dan negatif. Sikap kepada sesuatu atau seseorang dilakukan hanya setelah mempertimbangkan segala segi tentang sesuatu atau seseorang tersebut secara jujur dan seimbang, dengan penuh i’tikad baik dan bebas dari prasangka. Sikap ini juga disebut tengah dan al-Qur’an menyebutkan bahwa kaum beriman dirancang oleh Allah untuk menjadi golongan tengah agar dapat menjadi saksi untuk sekalian umat manusia, sebagai kekuatan penengah (wasith, indonesia “wasit”). e) Baik sangka (husn-u’zh-zhann): yaitu sikap penuh baik sangka kepada sesama manusia, berdasarkan ajaran agama bahwa manusia itu pada asal dan hakekat aslinya adalah baik, karena diciptakan Allah dan dilahirkan atas fithrah atau kejadian asal yang suci. Sehingga manusia itu pun hakikatnya adalah makhluk yang kecenderungan kepada kebenaran dan kebaikan (hanif).
75
f) Rendah hati (tawadlu): yaitu sikap yang tumbuh karena keinsyafan bahwa segala kemuliaan hanya milik Allah, maka tidak sepantasnya manusia “mengklaim” kemuliaan itu kecuali dengan pikiran yang baik dan perbuatan yang baik, yang itu pun hanya Allah akan menilainya. lagi pula kita harus rendah hati karena ” di atas setiap orang yang tahu(berilmu)adalah Dia yang maha Tahu (maha berilmu).” Apabila sesama orang yang beriman, sikap rendah hati itu adalah suatu kemestian. Hanya kepada mereka yang jelas- jelas menentang kebenaran kita dibolehkan untuk bersikap “ tinggi hati”. g) Tepat janji (al-Waffa): salah satu sifat orang yang benar-benar beriman ialah sikap selalu menepati janji bila membuat perjanjian. Dalam masyarakat dengan pola hubungan yang lebih kompleks dan luas, sikap janji lebih-lebih lagi merupakan unsur budi luhur yang amat diperlukan dan dipuji. h) Lapang dada (insyirah): yaitu penuh sikap kesediaan menghargai orang lain dengan pendapat-pendapat dan pandangan-pandangannya, seperti dituturkan dalam al-Qur’an mengenai sikap Nabi sendiri disertai pujian kepada
beliau.
Sikap
terbuka
dan
toleran
serta
kesediaan
bermusyawarah secara denokratis terkait erat sekali dengan budi luhur lapang dada ini. i) Dapat dipercaya (al-amanah”amanaah”): yaitu salah satu konsekuensi iman ialah amanah atau penampilan diri yang dapat dipercaya. Amanah sebagai budi luhur adalah lawan dari khianat yang amat tercela. Keteguhan masyarakat memerlukan orang-orang para anggotanya yang terdiri dari pribadi-pribadi yang penuh amanah dan memiliki rasa tanggung jawab yang besar. j) Perwira (iffah atau ta’afuff): yaitu sikap penuh harga diri namun tidak sombong, dan tidak mudah menunjukkan sikap memelas atau iba
76
dengan
maksud
mengundang
belas
kasihan
orang
lain
dan
mengharapkan pertolongannya. k) Hemat (qawamiyah): yaitu sikap tidak boros (israf) dan tidak pula kikir (qatr) dalam menggunakan harta, melainkan sedang (qawwam) antara keduanya. apalagi al-Qur;an menggambarkan bahwa orang yang boros adalah teman setan yang menentang Tuhannya. l) Dermawan (al-munfiqun, menjalankan infaq): yaitu sikap kaum beriman yang memiliki kesediaan yang besar untuk menolong sesama manusia, terutama mereka yang kurang beruntung(para fakir miskin dan terbelenggu oleh perbudakan dan kesulitan hidup lainnya) dengan mendermakan
sebagian
harta
benda
yang
dikaruniakan
dan
diamanatkan Tuhan kepada mereka. Sebab manusia tidak akan memperoleh kebaikan sebelum mendermakan sebagian dari harta benda yang dicintainya itu.83
Pendidikan akhlak didalam keluarga dilaksanakan dengan contoh dan teladan dari orang tua. Prilaku dan sopan santun orang tua dalam hubungan dan pergaulan ibu dan bapak, perlakuan dengan orang tua terhadap anakanaknya, dan perlakuan orang tua terhadap orang lain di dalam lingkungan keluarga dan lingkungan masyarakat, akan menjadi teladan bagi anak-anak. Sama halnya dengan nilai-nilai ketuhanan yang membentuk ketaqwaan tersebut di muka, nilai-nilai kemanusiaan yang membentuk akhlak mulia di atas itu tentu masih bisa ditambah dengan deretan nilai yang banyak sekali. Namun kiranya yang tersebut di atas itu akan sedikit membantu mengidentifikasi agenda peranan pendidikan agama dalam keluarga yang lebih kongkrit dan operasiponal. Sekali lagi, pengalaman nyata orang tua dan pendidik akan membawanya kepada kesadaran akan nilai-nilai budi luhur lainnya yang lebih relevan untuk perkembangan anak. 83
Nurcholish Madjid , Masyarakat Religius,(Jakarta: Paramadina, 1997), cet. I, h. 137
77
Tanggung jawab pendidikan anak ini sungguh amat berat, khususnya bagi orang tua. Karenanya kita hendaknya tidak putus-putus memohon pertolongan kepada Allah untuk memperoleh bimbingan dan petunjuk-Nya. “Seperti pengakuan yang lebih mendalam dalam ajaran kesufian islam, manusia tidak akan mampu melaksanakan apa-apa, termasuk melaksanakan perbuatan baik seperti mendidik anak, jika tanpa bantuan dan bimbingan Allah, karena tiada daya, tiada pula kemampuan, kecuali dengan Allah Yang Maha Tinggi dan Maha Agung”. 4.
Pola Asuh Anak Menurut Nurcholish Madjid Pola asuh adalah tata sikap dan prilaku orang tua dalam membina
kelangsungan hidup anak, perlindungan anak secara menyeluruh baik fisik, sosial maupun rohani.Pola asuh juga berarti cara atau model dan sikap orang tua dalam merawat mendidik anak dalam mengembangkan seluruh aspek pada diri anak. Menurut Nurcholish Madjid berkaitan dengan pendidikan agama dalam keluarga, dalam mengasuh atau mendidik anak orang tua sangat berperan aktif dalam menumbuh kembangkan pendidikan moral dan agama anak. Dan peran orang tua adalah tulada atau keteladanan yang dijiwai dengan semangat menanamkan nilai-nilai religius dalam diri anak. Orang tua tidak hanya mengajarkan anak tentang bagaimana ritual-ritual dalam beribadah seperti shalat, puasa, zakat, dan lainnya sebagainya. Namun lebih dari itu, orang tua dituntut untuk lebih menekankan tentang nilai-nilai apa yang terkandung dalam ritualritual tersebut, yang kemudian nilai-nilai tersebut diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Dan pendidikan agama sejatinya baru mempunyai makna yang hakiki jika menghantarkan orang yang bersangkutan kepada tujuannya yang hakiki pula, yaitu kedekatan (taqarrub) kepada Allah dan kebaikan kepada sesama manusia (akhlaqul al-karimah).
73
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pandangan Nurcholish Madjid tentang pendidikan agama dalam keluarga adalah: Menurut Nurcholish Madjid Pendidikan agama dalam keluarga tidak dapat sepenuhnya dilakukan oleh guru ngaji yang didatangkan kerumah. Pendidikan tersebut melibatkan peran orang tua dan seluruh anggota keluarga. Dan peran orang tua dalam memberikan pendidikan agama dalam keluarga tidak perlu berbentuk pengajaran (yang notabene dapat “diwakilkan” kepada orang lain tersebut). Peran orang tua adalah berupa tingkah laku, tulada atau teladan, dan pola-pola hubungannya dengan anak yang dijiwai dan disemangati oleh nilai-nilai keagamaan secara menyeluruh. Pendidikan agama baru mempunyai makna yang hakiki jika menghantarkan orang yang bersangkutan kepada tujuannya yang hakiki pula, yaitu kedekatan (taqarrub) kepada Allah dan kebaikan kepada sesama manusia (akhlaqul al-karimah). Adapun nilai-nilai keagamaan yang harus ditanamkan pada anak dalam keluarga adalah: a) shalat berjamaah, b) taqwa, c) iman, d) islam, f) tawakkal, g) syukur, h) sabar, dan i) akhlakul karimah. B. Saran Berdasarkan penelitian yang telah penulis lakukan, maka penulis menyarankan bahwa : 72
73
1. Meskipun pemikiran Nurcholish Madjid tentang peranan pendidikan agama dalam keluarga masih kurang memuaskan atau mungkin masih dianggap kurang memadai dalam mendidik anak, namun setidaknya dapat dijadikan masukan bagi masyarakat terutama orang tua dan para pendidik. Pemikiran tokoh ini dapat dijadikan studi banding oleh peneliti lainnya dalam mewujudkan anak yang cerdas, iman dan taqwa. 2. Hendaknya para orang dapat menjadi uswah hasanah bagi anaknya dengan menjaga sikap dan tingkah lakunya di hadapan anak-anaknya. Serta mendidik anak-anakya dengan penuh kasih sayang serta memperhatikan perkembangan dari berbagai aspek keagamaanya. 3. Sebelum memasuki gerbang pernikahan atau menjadi ayah dan ibu hendaknya para calon orang tua menyiapkan mental dan mempelajari pendidikan agama lebih dalam guna mempersiapkan pendidikan agama yang lebih baik bagi anaknya. Karena tidak dapat dipungkiri agama adalah sebagai peletak dasar atau fondasi bagi kehidupan.
73
DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi, Abu. Ilmu Sosial Dasar. Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1991 Ali, Heri Nur. Ilmu Pendidikan Islam. Ciputat: PT. Logos Wacana Ilmu, 1999 Amir Aziz, Ahmad. Neo-Modernisme Islam Di Indonesia (Gagasan Sentral Nurcholish Madjid dan Abdurahman wahib). Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1999 Arief, Armai, H. Reformulasi Pendidikan Islam. Jakarta: CRSD Press, 2005 Arief, Armai, H. Pembaharuan Pendidikan Islam Di Minangkabau. Jakarta: Penerbit Suara Adi,2009 Bungin, Burhan. Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta: Kencana, 2008 Darajat, Zakiah. Ilmu Jiwa Agama. Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1970 -------. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara, 1996 -------. Pendidikan Agama Dalam Pembinaan Mental, Bintang, 1970
Jakarta: PT. Bulan
-------. Pendidikan Islam Dalam Keluarga dan Sekolah. Jakarta: CV. Ruhama, 1995 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kedua. Jakarta: Balai Pustaka, 1996 Djumransjah, Abdul Malik Karim Amrullah. Pendidikan Islam Menggali Tradisi Mengukuhkan Eksisntensi. Malang : UIN Malang Press, 2007 Emzir. Metodologi Penelitian Kualitatif: Analisis Data . Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2011 Fuaduddin, Pengasuhan Anak dalam Keluarga Islam. Jakarta: Lembaga Kajian Agama dan Jender, 1999 Hawari, Dadang. Al-Qur'an: Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa. Yogyakarta: PT Dana Bhakti Prima Yasa, 1996 Ismail, Faisal. Membongkar Kerancuan Pemikiran Nurcholish Madjid. Jakarta: Lasswell, 2010 Jalaludin. Psikologi Agama. Jakata: PT. Aja Gafindo, 2005 Majid, Abdul dkk. Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi. Bandung : PT. Remaja Rosdakaya, 2004 Madjid , Nurcholish. Masyarakat Religius. Jakarta: Paramadina, 1997 -------,Pesan- pesan Takwa Kumpulan Khutbah Jum’at di Paramadina. Jakarta: Paramadina, 2005
73
74
-------, Pintu-pintu Menuju Tuhan. Jakarta: Paramadina, 2002 -------, Tradisi Islam Peran dan Fungsinya dalam Pembangunan di Indonesia. Jakarta: Paramadina, 1997. Mubarok, Ahmad . Psikologi Keluarga dari Keluarga Sakinah Hingga Keluarga Bangsa. Jakarta: PT. Bina Rena Pariwara, 2005 Muhaimin,dkk. Paradigma Pendidikan Islam (Upaya Mengekfektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah). Jakarta:PT.Remaja Rosdakarya, 2004 Mufidah, Ch. Psikologi Keluarga Dalam Berwawasan Gender. Malang : UIN Malang Press, 2008 Nata, Abuddin. Pendidikan Dalam Perspektif Hadits. Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005 Nata, Abuddin. Tokoh-tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam Di Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005 Nizar, Samsul. Pengantar Dasar-dasar Pemikiran Pendidikan Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001 Proyek Pembinaan Pergurun Tinggi Agama/IAIN di Jakarta Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam. Metodologi Pengajaran Agama Islam. Jakarta: IAIN Jakarta,1983. Shihab, Quraish. Membumikan Al-Qur’an Fungsi dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat. Bandung: Mizan, 1994 Sugiono. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: PT Alfabeta, 2008 Surijdo, Marwan. Cak Nur: Di Antara Sarung dan Dasi & Musdah Mulia Tetap Berjilbab. Jakarta: Yayasan Ngali Aksara, 2005 Soebahar , Abdul Halim. Wawasan Baru Pendidikan Islam. Mulia,2002.
Jakarta: Kalam
Surahkmad, Wiranto. Pengantar Penelitian Ilmiah Dasar, Metode dan tehnik.Bandung: Tarsito: 1998 Syukri Zarkasi, Abdullah. Gontor dan Pembaharuan Pendidikan Pesantren. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2005 Undang-undang Replublik Indonesia NO.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Jakarta: Sinar Grafika,2004 Yasin, Fatah .Dimensi-Dimensi Pendidikan Islam. Malang: UIN Malang Press, 2008 Uhbiyati, Uhbiyati. Ilmu Pendidikan Islam . Bandung: CV.Pustaka Setia, 1998
73