PENDIDIKAN ISLAM DAN DAKWAH Oleh : H. Ahmad Thoyyib Mas’udi, MA., MM. Dosen mata kuliah Bahasa Arab, Ketua LPPM STAI Qomaruddin Gresik Abstraks Sebagai bagian atau bahkan ujung tombak dakwah Islam, pendidikan Islam merupakan kegiatan yang dilakukan untuk membentuk manusia Muslim yang mempunyai karakter kepribadian islami; memiliki kemampuan dalam menghadapi tantangan zaman, dan bermakna bagi dirinya sendiri, orang lain, dan lingkungan, sehingga dapat terwujud manusia sebagai makhluk yang mempunyai kelebihan dari makhluk lain. Pendidikan Islam harus selalu mengemban misi yang memihak kepada kebaikan. Namun penerapan Pendidikan Islam dengan mengikuti model Barat, justru merugikan masyarakat Muslim sendiri, karena di satu sisi mereka telah mengorbankan petunjuk-petunjuk wahyu hanya untuk mengikuti model, namun di sisi lain temyata tidak menghasilkan sesuatu yang signifikan dalam mengembangkan peradaban Islam. Karenanya diperlukan perbaikan yang signifikan dalam penanganan terhadap pendidikan Islam, sehingga akan mewujudkan cita-cita yang diharapkan. Kata kunci: sekularisme, dikotomi, pendidikan Islam
A. Pcndahuluan Dalam sejarahnya pendidikan mempunyai peran yang sangat signifilkan dalam penyiaran Islam. Pendidikan Islam merupakan mediator agar ajaran dan nilai-nilai Islam dapat dipahami, dihayati dan diamalkan oleh umat di setiap aspek kehidupan. Dapat dikatakan bahwa pendidikan Islam merupakan pilar utama dalam upaya mengajak umat untuk menjalankan perintah Allah swt. dan menjauhi larangan-Nya. Seiring dengan perkembangan zaman di dunia Islam (di negara-negara sebagian besar penduduknya pemeluk Islam) terjadi pergeseran dalam memanfaatkan pendidikan. Ada upaya pemisahan objek studi dalam pendidikan, sehingga ada istilah pendidikan sekuler (khusus untuk kemajuan kehidupan dunia) dan pendidikan agama (khusus untuk urusan kehidupan akhirat). Padahal dalam Islam tidak dikkenal pemisahan antara kemajuan hidup di dunia dan keselamatan hidup di akhirat. Artinya pendidikan apa pun selama tidak merugikan umat dalam dimensi kehidupan dunia dan akhirat adalah pendidikan Islami. Tetapi umat Islam begitu takjub terhadap kemajuan pendidikan Barat, disebabkan di dunia Islam pendidikannya mengalami kemunduran yang sangat drastis. Itulah sebabnya ada upaya-upaya untuk meniru dan mengambil sistem pendidikan Barat untuk diterapkan di Dunia Islam. Apalagi sejak awal abad XIX sebagian besar dunia Islam di bawah penjajahan Barat yang tentunya juga sangat berpengaruh pada kegiatan pendidikan di dunia Islam. Setelah terjadi adopsi besar-besaran terhadap sistem pendidikan Barat,
ternyata mendatangkan masalah baru, misalnya dalam sains dan teknologi umat Islam tetap tidak mengalami kemajuan, justru yang terjadi pada umat Islam adalah degradasi pada pemahaman, penghayatan dan pengamalan nilai-nilai ajaran Islam. Dalam perkembangan selanjutnya juga terjadi degradasi yang sangat tajam dalam kegiatan pendidikan Islam. Pendidikan Islam seakan tidak dimaknai sebagai upaya-upaya pengembangan manusia seutuhnya yang memiliki potensi spritual, intelektual dan emosional. Terjadi reduksi makna yang berakibat penyempitan wilayah objek studinya. Pada akhimya tercipta output pendidikan yang justru tidak Islami, sehingga dalam perspektif dakwah Islamiyah output dari pelaksanaan pendidikan khususnya di Indonesia masih belum mencapai sasaran sebagai manusia yang seutuhnya, yang diproyeksikan untuk selalu mengemban nilai spritual, moral, intelektual, nilai profesional yang Islami.
B. Konsep Pendidikan Islam Dalam perspektif sejarah, Rasulullah saw. menyebarluaskan Islam juga memanfaatkan pendidikan, beliau bertindak sebagai guru, sebagai karunia dari Allah swt. Firman Allah dalam Al-Qur'an Surah Ali Imran [3]: 164 berbunyi "Sesungguhnya Allah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika mengutus di antara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah. Membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab dan Al Hikmah. Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata. ( Tim Terjemah, 1990 : 104). Dalam waktu singkat masyarakat Islam ketika itu mengalami kemajuan yang sangat pesat dalam berbagai bidang, tidak hanya terbatas pada pemahaman, penghayatan, pengamalan ajaran agama yang bersifat ukhrawi saja tetapi juga teraplikasi pada aspek kehidupan duniawi. Kejayaan Islam di masa Dinasti Abbasiyah, juga tidak terlepas dari Pendidikan Islam yang utuh dan komprehensif. "Pada masanya pemerintahan Bani Abbas telah memiliki ilmu pengetahuan yang sangat tinggi. la tidak hanya menyangkut persoalan ritual keagamaan, tetapi hampir seluruh sektor kehidupan". (Nourouzzaman Siddiqi. 1986: 19). Pendidikan Islam ketika itu tidak mengenal pemisahan antara wahyu dan akal bahkan keduanya saling menyempurnakan, sehingga Pendidikan Islam dapat didefinisikan sebagai pendidikan akhlak. Namun pendidikan tersebut tidak mengabaikan tentang usaha dan rezeki seseorang dalam kehidupan dunia. (Muhammad Athiyah al-Abrasyi, 1975: 157) Hasan Langgulung mendefinisikan Pendidikan Islam sebagai suatu proses penyiapan generasi muda untuk mengisi peranan, memindahkan pengetahuan dan nilai-nilai Islam yang diselaraskan dengan fungsi manusia untuk beramal di dunia dan memetik hasilnya di akhirat. (Hasan Langgulung, 1980: 94) Inti dari Pendidikan Islam adalah usaha untuk mencari ketinggian spiritual, moral, sosial dan intelektual. (Mujamil Qamar, 2005: 238). Dengan demikian Pendidikan Islam akan mempunyai output yang ideal dan mempunyai orientasi keseimbangan hidup di dunia dan akhirat. Pada dasarnya Pendidikan Islam adalah upaya untuk mencapai kemajuan perkembangan bagi individu peserta didik. "Dalam Islam yang disebut kemajuan itu adalah mencakup kemajuan fisik
material dan kemajuan mental spritual yang keduanya ditujukan untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat". (Kamrani Buseri. 2003: 123). Dari beberapa pendapat tentang Pendidikan Islam dapat ditarik kesimpulan bahwa Pendidikan Islam merupakan kegiatan yang dilakukan untuk membentuk manusia Muslim yang mempunyai karakter kepribadian islami; memiliki kemampuan dalam menghadapi tantangan zaman, dan bermakna bagi dirinya sendiri, orang lain, dan lingkungan, sehingga dapat terwujud manusia sebagai makhluk yang mempunyai kelebihan dari makhluk lain (Q.S. 17: 70). Jika kelebihan potensi manusia tidak dikembangkan akan fatal akibatnya sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an Surah at-Tin [95]: 4 dan 5: Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka). (Tim Terjemah, 1990: 95). Oleh karena itu, Pendidikan Islam harus menghasilkan manusia yang beriman, berpengetahuan dan berketerampilan dengan senantiasa memodifikasi diri agar sesuai dan sejalan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hanya pendidikan yang mengemban tugas ganda secara proporsional yang mampu mewujudkan kejayaan peradaban secara hakiki. Keimanan menjadi kendali bagi moral seseorang dalam aktivitas pemanfaatan pengetahuan dan keterampilannya sehingga dapat meredam keinginan-keinginan jahat, sebaliknya ia selalu mendorong seseorang untuk melakukan kebaikan atau perbuatanperbuatan bermanfaat. Pendidikan Islam harus selalu mengemban misi yang memihak kepada kebaikan. Untuk itu corak yang diinginkan oleh Pendidikan Islam ialah pendidikan yang mampu membentuk manusia unggul secara intelektual, kaya dalam amal serta anggun dalam moral dan kebijakan. (A. Syafi'i Ma'arif dalam Muslih, 1991: 155) Ketiga keunggulan tersebut memiliki fungsi sendiri-sendiri secara bertingkat: keunggulan intelektual berfungsi mempertajam pemikiran, sehingga mampu menghasilkan ide-ide segar orisinal, mempercepat tumbuhnya kreativitas, dan mengejar kemajuan. Keunggulan amal berfungsi mentransfer pengetahuan yang bermanfaat kepada orang lain agar kemanfaatan itu bisa berkembang terus menerus, menumbuhkan kesadaran untuk memberikan kontribusi yang terbaik bagi umat, dan berusaha keras untuk mengangkat derajat dan martabat mereka. Adapun keunggulan moral berfungsi penjagaan dari tindakan-tindakan yang merugikan, tindakan yang merusak dan tindakan yang menyesatkan. Seharusnya ketiga hal tersebut bertumpu pada keimanan, sehingga terselamatkan dari segala pengaruh yang menyesatkan. (Mujamil Qomar, 2005: 246).
C. Pendidikan Barat dan Problem Pendidikan di Dunia Islam Di tengah berkembangnya berbagai macam ilmu pengetahuan dan teknologi, berkembang pula paham-paham yang menjalar ke berbagai bidang kehidupan manusia, termasuk pada bidang pendidikan Islam. Hal ini menyebabkan umat Islam berada dalam dilema yang berkepanjangan dalam menentukan visi dan misi pelaksanaan pendidikan Islam. Apalagi umat Islam di Indonesia berada dalam alam demokrasi, nasionalisme, dan perbedaan agama.
Pengaruh sistem Barat terhadap sistem pendidikan Islam tidak hanya pendidikan Islam tidak lagi berorientasi sepenuhnya pada tujuan Islam (yaitu membentuk manusia yang bertakwa kepada Allah) tetapi juga tidak dapat mencapai tujuan pendidikan Barat yang bersifat sekuler. [Yusuf Amir Feisal, 1995: 115) M. Rusli Karim menegaskan bahwa Pendidikan Islam di beberapa negara Islam atau yang mayoritas penduduknya beragama Islam tidak lebih dari duplikasi dari pendidikan di negera-negara Barat sekuler yang banyak mereka cela. Dengan demikian produk sistem pendidikan mereka tidak mungkin menjadi atau berupa altematif. ( Muslih Usa (ed), 199: 37) Pendidikan Barat yang diadaptasikan oleh pendidikan Islan, meskipun mencapai kemajuan, tetap tidak layak dijadikan sebagai sebuah model untuk menunjukan peradaban Islam yang damai, anggun dan ramah terhadap kehidupan manusia. Jika ditelusuri ke belakang, Muhammad Mubarak menuturkan "karakteristik sistem pendidikan Barat adalah sebagai refleksi dari pemikiran dan budaya abad XVIII-XIX yang ditandai dengan isolasi terhadap agama, sekulerisme, negara, materialisme, penyangkalan terhadap wahyu, dan penghapusan nilai-nilai etika, yang kemudian diganti dengan pragmatisme. (Amrullah Ahmad dalam Muslih Usa. 199: 86) Maka, corak pendidikan Barat tersebut tidak terlepas dari pandangan Barat terhadap ilmu pengetahuan. Di Barat ilmu pengetahuan hanya berdasarkan pada akal dan indra, sehingga ilmu pengetahuan itu hanya mencakup hal-hal yang dapat diindrakan dan dinalar semata. Pada kenyataannya, penerapan Pendidikan Islam dengan mengikuti model Barat, justru merugikan masyarakat Muslim sendiri, karena di satu sisi mereka telah mengorbankan petunjuk-petunjuk wahyu hanya untuk mengikuti model, namun di sisi lain temyata tidak menghasilkan sesuatu yang signifikan dalam mengembangkan peradaban Islam. Hasil pendidikan tetap tidak mampu memobilisasi pekembangan peradaban Islam. (Mujamil Qamar, 2005: 212) Materi dan metodologi yang kini diajarkan di dunia Islam adalah jiplakan dari materi dan metodologi Barat, namun tidak mengandung wawasan yang selama ini menghidupkannya di dunia Barat. Tanpa disadari, materi dan metodologi yang hampa itu terus memberi pengaruh jelek yang mendeislamisasikan siswa, dengan berperan sebagai alternatif bagi materi dan metodologi Islam dan sebagai bantuan untuk mencapai kemajuan dan modernisasi. (Ismail Raji Al Faruqi, 1984: 17). Hal tersebut justru akan membahayakan upaya-upaya proyek islamisasi pengetahuan termasuk juga islamisasi pendidikan. Munawar Ahmad Anees juga menyimpulkan bahwa "saat ini reformasi pendidikan di dunia Islam lebih mengarah padar replika intelektual Barat daripada reformasi 'oqt-nya sendiri. (Ziauddin Sardar. 2000: 17). Pada akhimya output dunia pendidikan Islam juga replika Barat yang sekularis dan materialis. Sikap mengikuti pola-pola pendidikan Barat dalam seluruh dimensinya seolah-olah persoalan sepele tetapi sesungguhnya di sinilah tempat jebakan yang paling efektif untuk menjauhkan umat Islam dari substansi Islam itu sendiri. Akibatnya, meskipun secara intelektual makin maju atau pandai tetapi kepribadian mereka terbelah, sehingga menjadi sekularis, materialis, hedonis, pragmatis dan
seterusnya. Ditinjau dari aspek sejarah, sejak Napoleon melakukan ekspedisi ke Mesir pada tahun 1798 M. umat Islam jadi terkesima melihat kemajuan Barat, sehingga dalam prosesnya ada kemauan dari tokoh pemikir Islam untuk bangkit lagi dari keterpurukan yang seakan tidak disadari selama berabad-abad lamanya. Salah satu harapan dari para tokoh Islam saat itu adalah melakukan modernisasi sistem pendidikan Islam. Ada yang melakukan pembaruan dengan kembali pada pencarian konsep pendidikan dalam tradisi Islam sendiri, yang berpandangan bahwa Islam adalah agama yang lengkap seperti yang dilakukan oleh Hasan AlBanna dengan organisasi Ikhwanul Musliminnya, ada juga yang meniru sistem Barat seperti Thaha Husein yang terkenal dengan ide sekularisasi Al-Qur’an. Di Turki Sultan Mahmud II juga melakukan pembaruan di bidang pendidikan dengan menambahkan pengetahuan umum ke dalam kurikulum madrasah. Madrasah tradisional tetap berjalan tetapi di samping itu Sultan juga mendirikan sekolah umum yang siswanya dipilih dari lulusan madrasah yang bermutu tinggi. (Taufik Abdullah, tth; 534) Dalam perkembangan selanjutnya terjadi semacam degradasi dan penyimpangan dalam sistem pendidikan Islam yang sering disebut dengan dikotomi dalam pendidikan. Ada semacam pertentangan antara pendidikan Islam dengan pendidikan umum atau adanya pemisahan bahwa pendidikan Islam hanya untuk urusan akhirat dan pendidikan umum hanya untuk urusan dunia. Tak pelak lagi keadaan tersebut membuat rancu sistem pendidikan bahkan sampai kepada kebijakan dan pengelolaannya. Fazlurrahman dalam Amrullah Achmad menyimpulkan bahwa penyebab dikotomi dalam pendidikan Islam adalah adanya sikap yang memberi peluang yang lebih besar bagi ilmu agama. Sikap tersebut diperparah dengan adanya penyebaran sufisme yang cenderung anti-ilmu yang rasional dan intelektual. Pada akhimya praktisi Pendidikan Islam salah kaprah yang hanya menekankan pendidikan aspek ilmu agama saja seperti tauhid, fikih, dan tasawuf. Ikhrom menyebutkan penyebab dikotomi pendidikan adalah karena 1) stagnasi pemikiran Islam, 2) penjajahan Barat atas dunia Islam dan 3) modernisasi atas dunia Islam. (Jamal Syarif, 2005: 158). Secara empiris, terutama jika ditilik dari kegiatan pendidikan formal, hampir semua aspek terkontaminasi dikotomi yang sekularis, misalnya bagaimana pengelolaan pendidikan yang lebih berorientasi pada sekolah umum sedangkan madrasah yang notabene sebagai tempat Pendidikan Islam dibiarkan dalam kemunduran dalam berbagai aspek. Dikotomi yang kelihatan di permukaan hanya sebagai persoalan sepele, tetapi sebenarnya berakibat fatal yang menghantam sangat dahsyat terhadap eksistensi fitrah Ilahiah manusia, yang mampu mengubah orientasi bahkan menghilangkan roh pendidikan Islam itu sendiri. Akhimya output pendidikan diukur dengan apa yang akan didapat dengan indikator materi. Amrullah Ahmad dalam Mujamil Qamar (2005: 217-218) berpendapat bahwa sistem pendidikan yang dikotomik menyebabkan lahirnya sistem pendidikan umat Islam yang sekuleristik, rasionalistik-empirik, intuitif dan materialistik. Keadaan ini tidak mendukung tata kehidupan umat yang mampu melahirkan peradaban Islami. Secara rinci dikotomi pendidikan itu menyebabkan : 1. Kegagalan merumuskan tauhid dan bertauhid 2. Lahirnyya syirik yang berakibat adanya dikotomi fikrah Islam.
3. Dikotomi kurikulum 4. Terjadinya dikotomi dalam proses pencapaian tujuan pendidikan. 5. Adanya dikotomi lulusan pendidikan dalam bentuk split personality ganda dalam arti kemusyrikan, kemunafikan yang melembaga dalam sistem keyakinan, sistem pemikiran, sikap, cita-cita dan perilaku yang disebut dengan sekulerisme. 6. Rusaknya sistem pengelolaan lembaga pendidikan. 7. Lembaga pendidikan melahirkan manusia yang berkepribadian ganda, yang justru menimbulkan dan memperkokoh sistem kehidupan umat yang sekularistik, rasionalistik-empiristik-intuitif dan materialistik. 8. Lahimya peradaban Barat sekuler yang dipoles dengan nama Islam. 9. Lahimya dai yang berusaha merealisasikan Islam dalam bentuknya yang memisahkan kehidupan sosio-politik-ekonomi ilmu pengetahuan-teknologi dengan ajaran Islam, agama hanya untuk urusan akhirat. Dari perspektif dakwah Islamiyah, pengaruh paradigma dan sistem pendidikan Barat jelas berakibat sangat merugikan output pendidikan Islam, misalnya syirik sudah jelas sesuatu yang sangat jelek sekali, perhatikan firman Allah dalam Q.S. an-Nisa’ ayat 116, "Allah tidak akan mengampuni dosa orang yang mempersekutukan Allah dengan apa pun. karena orang yang mempersekutukan Allah ia telah tersesat sangat jauh". (Tim Terjemah, 1990: 143) Umat Islam seharusnya mempunyai paradigma tersendiri dalam kegiatan pendidikannya meskipun dalam beberapa hal mempunyai kemiripan dengan gaya pendidikan non-Islam, tetapi semua itu memang diperoleh dari akar ajaran Islam itu sendiri, tidak minta bantuan orang non-Islam untuk merumuskan filsafat epistemologi pendidikannya. Dalam Al-Qur’an Surah 17 ayat 139 dikatakan, “Orang-orang yang mengambil orang-orang kafir menjadi teman-teman penolong dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Apakah mereka mencari kekuatan di sisi orang-orang kaftr itu? Maka sesungguhnya semua kekuatan kepunyaan Allah. (Tim Terjemah. 1990: 145). Sedangkan split personality juga telah disinggung dalam Al-Qur’an Surah 2 ayat 8 berbunyi, "Di antara manusia ada yang mengatakan: kami beriman kepada Allah dan Hari kemudian, padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman". (Tim Terjemah. 1990: 9) Kemudian dalam surah 63 ayat 6, disebutkan, " ...Allah tidak akan akan mengampuni mereka: sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik". (Tim Terjemah, 1990 : 937) Akan terjadi sesuatu yang sangat paradoksal ketika seorang individu tekun beribadah tetapi juga tekun berperilaku yang menyimpang dari ajaran-ajaran agama.
D. Kesimpulan Dalam perspektif dakwah, pendidikan Islam merupakan strategi yang efektif dalam mengajak manusia untuk memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran-ajaran Islam. Pendidikan di dunia Islam dalam perkembangannya seakan mengalami pergeseran orientasi dan pengerutan makna, karena kekeliruan umat Islam sendiri dalam memanfaatkan pendidikan yang dominan dipengaruhi kemajuan sistem pendidikan Barat dan juga paham-paham yang berkembang di
dunia Barat. Ada yang memprediksikan bahwa pendidikan Islam ditimpa banyak masalah, padahal sebenarnya yang bermasalah adalah manusia/umat Islam sendiri dalam memperlakukan atau memanfaatkan pendidikan. Keliru dalam menerapkan pendidikan di dunia Islam berakibat pada terciptanya umat Islam justru mengalami kemunduran di berbagai aspek. Pada aspek sains dan teknologi tidak megalami kemajuan, pada aspek pemahaman dan pengamalan nilai-nilai Islam justru mengalami kemunduran sehingga tidak dapat lagi membedakan antara ketakwaan dan kemunkaran. Keadaan tersebut sangat bertentangan dengan perspektif dakwah Islamiyah yang selalu berupaya meningkatkan ketakwaan umat. Pendidik dalam persepektif dakwah adalah proses pendidikan yang berupaya memajukan aspek spiritual moral, mental dan inteketual, sehingga tercipta karakter manusia yang berkualitas dalam kehidupan dunia, selamat dalam kehidupan akhirat.
DAFTAR PUSTAKA Hasan Langgulung. 1980. Beberapa Pemikiran tentang Pendidikan Islam, AlMa'arif, Bandung M. Athiyah al Abrasyi. 1975. Al-Tarbiyah al-Islamiyah wa Falasifatuha, Isa alBabi al-Halabi, Mesir. Mujamil Qomar. 2005. EpisernologiPendidikan Islam Eriangga. Jakarta. Nouruzzaman Shiddiqi. 1986. TcmuuMum Muslim: BimgaRampca. kebudayaan Muston. Bulan Bintang Jakarta. Tim Terjemah. 1990. Al Qur'an Dan Terjemahanya, Depag RI, Jakarta.