JOYFUL LEARNING
Makalah Dibuat untuk tugas mata kuliah Inovasi Pendidikan
Dosen : DR. H. Sholehuddin, MA, M.Pd.
Oleh : SUBUH ANGGORO/1201002 DESEMBERI TRIANUGRAHWATI/1201304 HILMAN HILMAWAN/1201612
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DASAR SEKOLAH PASCA SARJANA UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA 2013 ~0~
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Mutu pendidikan Indonesia menempati peringkat terendah di dunia. Berdasarkan tabel liga global yang diterbitkan oleh firma pendidikan Pearson, mutu pendidikan Indonesia berada di posisi terbawah bersama Meksiko dan Brasil. Tempat pertama dan kedua ditempati Finlandia dan Korea Selatan (Kompas, 27 Nopember 2012). Hal ini bertolak belakang dengan pengakuan sebagian negara-negara Asia (Singapura, Hongkong dan Korea Selatan) sebagai negara-negara yang menempati peringkat tertinggi untuk bidang matematika, sains dan membaca yang dikeluarkan oleh peneliti dari Boston College Amerika Serikat (Kompas, 12 Desember 2012). Kedua penelitian tersebut didasarkan pada tiga mata pelajaran utama yaitu matematika, sains dan membaca dan keberhasilan negaranegara memberikan status tinggi pada guru serta memiliki "budaya" pendidikan. Menurut survei Trends in Mathematic and Science Study (TIMSS) 2011 menyatakan bahwa “ siswa Indonesia hanya berada di ranking ke-35 dari 44 negara dalam hal prestasi matematika dan di ranking ke-37 dari 44 negara dalam hal prestasi Sains Political and Economic Risk Consultant (PERC), kualitas pendidikan di Indonesia berada pada urutan ke-12 dari 12 negara di Asia yang di survei, dan posisi Indonesia berada di bawah Vietnam. Disamping pencapaian prestasi fisika dan matematika siswa Indonesia di dunia internasional sangat rendah. Menurut (Suseno, http://www.mii.fmipa.ugm.ac.id/). Menurut Suseno (http://www.mii.fmipa.ugm.ac.id/) penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia disebabkan masalah efektifitas, efisiensi dan standadisasi pembelajaran. Permasalahan khusus yang teridentifikasi adalah (1) rendahnya sarana fisik; (2) rendahnya kualitas guru; (3) rendahnya kesejahteraan guru; (4) rendahnya prestasi belajar siswa; (5) rendahnya kesempatan pemerataan pendidikan dan (6) mahalnya biaya pendidikan. Pada penelitian ini permasalahan dibatasi pada rendahnya kualitas guru, rendahnya prestasi belajar siswa dan rendahnya sarana fisik khususnya pada pembelajaran Sains. Rendahnya kualitas guru Sekolah Dasar dapat dilihat dari Data Balitbang Depdiknas (1998) yang menunjukkan dari sekitar 1,2 juta guru SD/MI hanya 13,8% yang berpendidikan diploma D2-Kependidikan ke atas. Hasil penelitian Ditjen PMPTK menunjukkan, kondisi guru secara nasional memprihatinkan dalam segi kemampuan melaksanakan pembelajaran dengan profesional. Guru, misalnya, belum memiliki tingkat
~1~
kualifikasi akademik standar minimal sebesar 44 persen dan belum memenuhi standar kompetensi sebesar 61,96 persen. Itu merupakan hasil penelitian dengan sampel 29.238 guru. Bertolak dari hasil itu, dapat dipahami bila sekarang mutu pendidikan nasional sangat rendah (Kompas, 8 Oktober 2012). Padahal berdasarkan PP No 19/2005 tentang Standar Pendidikan Nasional, terutama Pasal 28, menggariskan bahwa standar pendidik ialah memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran, sehat jasmani dan rohani, serta mampu mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Kualifikasi akademik pendidik minimal berijazah S-1 atau D-4, sedangkan kualifikasi kompetensi adalah bersertifikat profesi pendidik. Walaupun guru d bukan satu-satunya faktor penentu keberhasilan pendidikan tetapi, pengajaran merupakan titik sentral pendidikan dan kualifikasi, sebagai cermin kualitas, tenaga pengajar memberikan andil sangat besar pada kualitas pendidikan yang menjadi tanggung jawabnya Kegiatan yang harus dikembangkan dalam pembelajaran bertujuan untuk mendorong siswa agar mengamati dan mengeksplorasi lingkungan mereka, untuk memahami hubungan di alam, hubungan antara manusia dan alam, dan untuk belajar memahami manusia sebagai bagian integral dari mata rantai kehidupan. Belajar dapat menjadi lebih menyenangkan, baik untuk siswa dan guru, apabila didasarkan pada pengalaman nyata. (Hart et. al. 2000) Keberhasilan pendidikan Sains atau pendidikan IPA di sekolah dasar banyak ditentukan oleh guru. Guru selain mengajarkan pelajaran secara teoritis di kelas perlu juga mengembangkan pembelajaran yang inovatif dan menyenangkan dalam proses pembelajaran IPA. Akan tetapi berdasarkan hasil observasi pada 20 SD yang digunakan untuk PPL Terpadu Universitas Muhammadiyah Purwokerto Tahun Akademik 2011/2012 di Kembaran Kabupaten Banyumas, 90% guru mengalami masalah dalam melakukan pembelajaran Sains dan Matematika (Anggoro dan Harmianto, 2012). Berdasarkan temuan sertifikasi guru pada tahun 2010 di Rayon 40 (Kabupaten Banyumas dan Cilacap) menunjukkan 99% guru tidak membuat alat peraga sendiri (Anggoro dan Iswasta Eka, 2011).
~2~
Beberapa hasil penelitian lain menunjukkan kecenderungan yang sama. Penelitian yang dilakukan oleh Jaya (2010: vi) tentang pembelajaran Sains di SD Kota Bandung menunjukkan “Proses pembelajaran yang terjadi di sekolah dasar, khususnya dalam mata pelajaran Sains, terlalu ditekankan pada proses menghafalkan materi pelajaran, yang bersumber pada buku paket. Proses pembelajaran seperti itu sangat tidak sesuai dengan hakikat Sains sebagai proses. Proses pembelajaran yang lebih mengarahkan siswa kepada kemampuan untuk menghafal informasi, hanya memaksa otak siswa untuk mengingat dan menimbun berbagai informasi, tanpa dituntut untuk memahami informasi tersebut dan tidak berupaya untuk menghubungkannya dengan kehidupan sehari-hari. Akibatnya ketika peserta didik lulus dari sekolah, mereka pintar secara teoritis, tetapi miskin dalam aplikasi”
Penelitian yang dilakukan Yasbiati (2001: 1) tentang pembelajaran IPA di SD Tasikmalaya di Bandung menyimpulkan bahwa: “diketahui bahwa pengajaran Sains yang dilakukan guru belum secara optimal mengacu pada karakteristik Sains, seperti yang tertuang dalam kurikulum pendidikan dasar dan karakteristik anak SD sebagaimana mestinya. Penyajian pengajaran Sains masih dominan menggunakan metode ceramah dan tanya jawab, serta kurang memberi kesempatan kepada siswa untuk berinteraksi dengan benda-benda konkrit. Keberhasilan pembelajaran Sains di SD masih pada taraf siswa trampil mengerjakan soal-soal tes yang terdapat dalam buku ajar serta soal sumatif dan soal UAN”.
Hasil penelitian Jaenudin (2003) terhadap pembelajaran di SD di Palembang menyatakan bahwa: “Praktek penilaian di SD pada umumnya dilakukan dengan lebih menekankan pada aspek penguasaan pengetahuan. Guru melakukan penilaian dengan lebih menekankan pada aspek pengulangan materi dengan cara menghafalkan sejumlah konsep. Sistem penilaian yang dilakukan dan di kembangkan masih mengandalkan tes sebagai satu-satunya alat penilaian. Penilaian terhadap kinerja siswa dalam bentuk penugasan cenderung diabaikan dan tidak diperhatikan sebagai penilaian alternatif yang lebih bermakna ”.
Berdasarkan ketiga penelitian tersebut menunjukkan bahwa siswa lebih banyak menerima pelajaran atau lebih banyak menghapal yang diberikan melalui beberapa mata pelajaran bahkan hanya mengingat-ingat pengetahuan yang dibacanya, jadi hasil bacaan yang diulang-ulang kemudian diekspresikan secara otomatis. Akibat cara belajar seperti ini aspek pemahaman siswa kurang diperhatikan karena lebih diutamakan hasil hapalan atau penerimaan informasi yang berkaitan dengan stimulus dan respon (S-R) yang dibangun. Anak-anak Indonesia ternyata hanya mampu menguasai 30% dari materi bacaan dan ternyata mereka sulit sekali menjawab soal-soal berbentuk uraian yang memerlukan penalaran. Hal ini mungkin karena mereka sangat terbiasa menghafal dan mengerjakan soal pilihan ganda. Hal ini menjadi salah satu penyebab rendahnya peringkat Indonesia dalam
pembelajaran
Matematika,
Sains
http://www.mii.fmipa.ugm.ac.id/)
~3~
dan
membaca
(Suseno,
Untuk sarana fisik misalnya, banyak sekali sekolah dasar yang gedungnya rusak, kepemilikan dan penggunaan media belajar rendah, buku perpustakaan tidak lengkap. Sementara laboratorium tidak standar, pemakaian teknologi informasi tidak memadai dan sebagainya. Berdasarkan pengamatan lapangan yang dilakukan peneliti selama periode 2010-2012 di beberapa kabupaten di eks Karesiden Banyumas dan Tegal ditemukan banyaknya alat peraga IPA berupa Kit IPA yang berdebu atau bahkan rusak karena tidak pernah digunakan. Beberapa alasan yang dikemukakan, antara lain (1) hanya satu guru yang pernah dilatih menggunakan peralatan tersebut; (2) peralatan yang tersedia tidak sebanding dengan jumlah murid dan (3) kekhawatiran peralatan akan rusak ketika digunakan. Padahal berdasarkan penelitian Anggoro dan Husin (2008), Anggoro dan Badarudin (2009) serta Anggoro dan Iswasta (2009) menunjukkan bahwa pembelajaran menggunakan metode ceramah atau diskusi tingkat keberhasilannya lebih rendah dibandingkan apabila menggunakan pendukung berupa media pembelajaran. Hal ini sejalan dengan pendapat Silberman (2009) yang menyatakan penguasaan suatu konsep yang paling baik adalah melalui serangkaian kegiatan
mendengar, melihat,
mendiskusikan, melakukan dan mengajarkan kepada orang lain (What I hear, see, discuss, do, and teach to another, I master). Setiap pembelajaran seharusnya dikembangkan sedemikian rupa supaya siswa merasa bahwa kondisi dalam pembelajaran memiliki suasana
yang fleksibel,
menyenangkan, dan inpiratif. Bila suasana itu terjadi dalam pembelajaran maka kegiatan belajar siswa akan penuh kebermaknaan serta aktivitas dan kreativitas yang dilakukan siswa dapat dicapai secara optimal (Ruhimat, 2009). Bruner menyatakan, setiap materi dapat diajarkan kepada setiap kelompok umur dengan cara-cara yang sesuai dengan perkembangannya. Kuncinya adalah pada permainan atau kegiatan bermain. Permainan atau bermain adalah kata kunci pada pendidikan anak. Bermain adalah sebagai media sekaligus sebagai substansi pendidikan itu sendiri. Dunia anak adalah dunia bermain, dan belajar dilakukan dengan atau sambil bermain yang melibatkan semua indra anak (Brotherson, 2009). Bruner dan Donalson dari telaahnya menemukan bahwa sebagian pembelajaran terpenting dalam kehidupan diperoleh dari masa kanak-kanak yang paling awal, dan pembelajaran itu sebagian besar diperoleh dari bermain. Sayangnya, bermain sebagai gagasan yang dikaitkan dengan pembelajaran kurang mendapatkan apresiasi dalam berbagai lingkungan budaya (Brotherson, 2009). Menurut Bruner perkembangan kognitif seseorang terjadi melalui tiga tahap yang ditentukan oleh caranya melihat lingkungan.
~4~
Tahap pertama adalah tahap enaktif, di mana individu melakukan aktivitas–aktivitas dalam usahanya memahami lingkungan. Tahap kedua adalah tahap ikonik, dimana ia melihat dunia melalui gambar-gambar dan visualisasi verbal. Tahap terakhir adalah tahap simbolik, dimana ia mempunyai gagasan-gagasan abstrak yang banyak dipengaruhi bahasa dan logika (Slavin, 2009). Bermain bagi anak adalah kegiatan yang serius tetapi menyenangkan. Menurut Conny R. Semiawan (Jalal, 2002: 16) bermain adalah aktivitas yang dipilih sendiri oleh anak karena menyenangkan, bukan karena hadiah atau pujian. Melalui bermain, semua aspek perkembangan anak dapat ditingkatkan. Dengan bermain secara bebas anak dapat berekspresi dan bereksplorasi untuk memperkuat hal-hal yang sudah diketahui dan menemukan hal-hal baru. Melalui permainan, anak-anak juga dapat mengembangkan semua potensinya secara optimal, baik potensi fisik maupun mental intelektual dan spritual. Oleh karena itu, bermain bagi anak merupakan jembatan bagi berkembangnya semua aspek. Pembelajaran yang menyenangkan sebenarnya merupakan strategi, konsep dan praktik
pembelajaran
yang merupakan
sinergi
dari
pembelajaran
bermakna,
pembelajaran kontekstual, teori konstruktivisme, pembelajaran aktif (active learning) dan psikologi perkembangan anak. Dengan demikian walaupun esensinya sama, bahkan metodologi pembelajaran yang dipilih juga sama, tetap ada spesifikasi yang berbeda terkait dengan penekanan konseptualnya yang relevan dengan perkembangan moral dan kejiwaan anak. Anak akan bersemangat dan gembira dalam belajar karena mereka tahu apa makna dan gunanya belajar, karena belajar sesuai dengan minat dan hobinya (meaningful learning) karena mereka dapat memadukan konsep pembelajaran yang sedang dipelajarinya dengan kehidupan sehari-hari, bahkan dengan berbagai topik yang sedang “in” berkembang di masyarakat (Marsh, 2008; Willis, 2011 dan Kholil, 2009). Dave Meier (2002:36) dalam Indrawati dan Setiawan (2010) memberikan pengertian menyenangkan atau fun sebagai suasana belajar dalam keadaan gembira. Suasana gembira disini bukan berarti suasana ribut, hura-hura, kesenangan yang sembrono dan kemeriahan yang dangkal.
~5~
Tabel 2. Ciri-ciri suasana belajar yang menyenangkan dan tidak menyenangkan Menyenangkan 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Tidak menyenangkan Tertekan Perasaan terancam Perasaan menakutkan merasa tidak berdaya tidak bersemangat malas/tidak berminat jenuh/bosan suasana pembelajaran monoton pembelajaran tidak menarik siswa
Rileks 1. Bebas dari tekanan 2. Aman 3. Menarik 4. Bangkitnya minat belajar 5. Adanya keterlibatan penuh 6. Perhatian peserta didik tercurah 7. Lingkungan belajar yang menarik 8. (misalnya keadaan kelas terang, 9. pengaturan tempat duduk leluasa untuk peserta didik bergerak) 9. Bersemangat 10. Perasaan gembira 11. Konsentrasi tinggi Sumber : Dave Meier (2002) dalam Indrawati dan Setiawan (2010)
Pembelajaran yang menyenangkan adalah pembelajaran yang dapat dinikmati siswa. Siswa merasa nyaman, aman dan asyik. Perasaan yang mengasyikan mengandung unsur inner motivation, yaitu dorongan keingintahuan yang disertai upaya mencari tahu sesuatu. Selain itu pembelajaran yang menyenangkan perlu memberikan tantangan kepada siswa untuk berfikir, mencoba, dan belajar lebih lanjut, penuh dengan percaya diri dan mandiri untuk mengembangkan potensi diri secara optimal. Dengan demikian, diharapkan kelak menjadi manusia yang berkarakter penuh percaya diri, menjadi dirinya sendiri, dan mempunyai kemampuan yang kompetitif (berdaya saing) (Marsh, 2008 dan Willis, 2011). Sampai anak-anak berusia remaja, pembelajaran yang menyenangkan akan seiring dengan belajar sambil bermain, yang mau tidak mau akan mengajak peserta didik untuk aktif. Sambil bermain mereka aktif belajar dan sambil belajar mereka aktif bermain. Dalam bermain mereka mendapatkan hikmah esensi suatu pengetahuan dan keterampilan, sambil belajar mereka melakukan refreshing agar kondisi kejiwaan mereka tidak dalam suasana tegang terus-menerus. Tidak ada metode standar untuk pembelajaran yang menyenangkan ini. Setiap guru sesuai dengan konteks kelas dan perkembangan usia mental siswa dapat memilah dan memilih metode yang sesuai atau bahkan metode yang diciptakannya sendiri.
B. Identifikasi dan perumusan masalah Guru yang kompeten adalah kunci dalam sebuah sistem pendidikan secara keseluruhan. Hanya melalui inisiatif dan inovasi dari guru bahwa setiap program yang berhasil dapat dilakukan. Peran guru dalam kegiatan pendidikan, sesuai dengan teori belajar
~6~
konstruktivistik, tidak hanya mentransfer pengetahuan pemimpin
dan
narasumber
dalam
proses
melainkan sebagai fasilitator,
pembelajaran
yang
partisipatif
dan
menyenangkan. Berdasarkan fenomena dan hasil beberapa penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa peran guru baru sampai pada tahap mentransfer pengetahuan. Hal ini berimbas pada rendahnya prestasi belajar siswa baik secara nasional maupun internasional yang ditunjukkan dari berbagai survei yang dilakukan oleh lembaga-lembaga internasional. Setiap pembelajaran seharusnya dikembangkan sedemikian rupa supaya siswa merasa bahwa kondisi dalam pembelajaran memiliki suasana
yang fleksibel,
menyenangkan, dan inpiratif. Bila suasana itu terjadi dalam pembelajaran maka kegiatan belajar siswa akan penuh kebermaknaan serta aktivitas dan kreativitas yang dilakukan siswa dapat dicapai secara optimal. Pembelajaran yang menyenangkan sebenarnya merupakan strategi, konsep dan praktik pembelajaran yang merupakan sinergi dari pembelajaran
bermakna,
pembelajaran
kontekstual,
teori
konstruktivisme,
pembelajaran aktif (active learning) dan psikologi perkembangan anak. Pembelajaran yang menyenangkan adalah pembelajaran yang dapat dinikmati siswa. Siswa merasa nyaman, aman dan asyik. Pembelajaran yang menyenangkan dan memberikan tantangan kepada siswa untuk berfikir, mencoba, dan belajar lebih lanjut, penuh dengan percaya diri dan mandiri untuk mengembangkan potensi diri secara optimal, diharapkan siswa kelak menjadi manusia yang berkarakter penuh percaya diri, menjadi dirinya sendiri, dan mempunyai kemampuan yang kompetitif.
C. Manfaat/signifikansi Penelitian 1. Manfaat teoritis Secara teoritis studi literatur ini ini diharapkan dapat mendukung prinsip-prinsip pembelajaran yang dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas perbelajaran sains di sekolah dasar 2. Manfaat Praktis Hasil studi literatur ini diharapkan dapat memberikan manfaat praktis dalam melaksanakan proses pembelajaran yang mampu mengantarkan siswa kelak menjadi manusia yang berkarakter penuh percaya diri, menjadi dirinya sendiri, dan mempunyai kemampuan yang kompetitif
~7~
BAB II: KAJIAN PUSTAKA Ayat Al-Qur’an yang pertama kali turun adalah berkenaan masalah pendidikan dan keimanan. Allah berfirman:
Artinya: “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmulah Yang Paling Pemurah, yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS. Al-Alaq : 1-5). Dalam melaksanakan proses pembelajaran Allah memberikan pelajaran yang sangat indah yaitu pada QS An Nahl: 125 yang artinya: “Serulah manusia kepada jalan Tuhanmmu dengan hikmah (perkataan yang tegas dan benar) dan pengajaran yang baik/menyenangkan , dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik/ma’ruf. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui siapa yang mendapat petunjuk” Berdasarkan kedua ayat diatas memberikan gambaran bahwa pendidikan merupakan pondasi yang seharusnya menjadi kekuatan sebuah bangsa dan peradaban. Sedangkan dalam proses pembelajarannya, kasih sayang, hikmah dan amar ma’ruf menjadi filosofi yang membangun terjalinnya hubungan yang sederajat antara pendidik dan yang dididik. A. Belajar dan Pembelajaran Salah satu aspek yang dapat menentukan keberhasilan mutu pendidikan adalah pembelajaran, karena pembelajaran merupakan aspek yang utama dalam pendidikan. Jadi, mutlak kalau ingin meningkatkan mutu pendidikan perlu dimulai dari pembelajaran yang dilakukan oleh guru dan siswa di sekolah. Ini artinya guru harus berupaya semaksimal mungkin mengkondisikan pembelajaran agar menjadi suatu proses yang bermakna dalam membentuk pengalaman dan kemampuan siswa (Ruhimat, 2009 )
~8~
Belajar merupakan proses perubahan tingkahlaku yang diperoleh melalui latihan, perubahan itu disebabkan karena ada dukungan dari lingkungan yang positif yang menyebabkan terjadinya interaksi edukatif (Ruhimat, 2009). Menurut Slavin (2009), belajar merupakan perubahan individu yang disebabkan oleh pengalaman. Menurut teori konstruktivisme, belajar adalah kegiatan yang aktif dimana si subjek didik belajar membangun sendiri pengetahuannya, dan mencari sendiri makna dari sesuatu yang dipelajari (Sardiman, 2004). Selain itu, belajar dapat diartikan juga sebagai aktivitas pengembangan diri melalui pengalaman, bertumpu pada kemampuan diri belajar di bawah bimbingan pengajar. Belajar juga dapat dikatakan sebagai proses penting bagi perubahan perilaku bagi perubahan perilaku manusia dan ia mencakup segala sesuatu yang dipikirkan dan dikerjakan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa belajar merupakan suatu proses terjadinya suatu perubahan tingkah laku sebagai hasil dari interaksi lingkungan baik lingkungan internal maupun eksternal (Sardiman, 2004).
B. Teori belajar dan implikasinya terhadap pendidikan 1. Teori Belajar Kognitif Teori belajar yang dikembangkan oleh Piaget ini didasarkan pada asumsi bahwa (1) individu mempunyai kemampuan memproses informasi, (2) kemampuan memproses informasi tergantung pada faktor kognitif yang perkembangannya berlangsung secara bertahap sejalan dengan tahapan usianya, (3) belajar adalah proses internal yang kompleks yang berupa pemrosesan informasi, (4) hasil belajar adalah berupa perubahan struktur kognitif, (5) cara belajar anak-anak dan orang dewasa berbeda sesuai dengan tahap perkembangannya (Marsh, 2008 dan Nurihsan dan Agutin, 2011) Teori belajar kognitif berkembang dari Piaget, Vygotsky dan teori pemrosesan informasi. Teori kognitif yang terkenal adalah teori Piaget. Dalam pandangan Piaget pengetahuan datang dari tindakan, jadi perkembangan kognitif sebagian besar bergantung kepada seberapa jauh anak aktif memanipulasi dan aktif berinteraksi dengan lingkungannya. Ada tiga aspek perkembangan intelektual yaitu : struktur, isi dan fungsi (http://en.wikibooks.org/wiki/Contemporary_Educational_Psychology/ Chapter_3:_Student_Development/Cognitive_Development:_The_Theory_of_Jean_Pi aget).
~9~
Struktur atau skemata merupakan organisasi mental tingkat tinggi yang terbentuk pada individu waktu ia berinteraksi dengan lingkungannya. Isi merupakan pola perilaku khas anak yang tercermin pada responnya terhadap berbagai masalah atau situasi yang dihadapinya. Sedangkan fungsi adalah cara yang digunakan organisme untuk membuat kemajuan intelektual. Fungsi itu terdiri dari organisasi dan adaptasi. Semua organisme lahir dengan kecenderungan untuk beradaptasi atau menyesuaikan diri dengan lingkungan mereka. Cara beradaptasi ini berbeda antara organisme yang satu dengan yang lain. Adaptasi terhadap lingkungan dilakukan melalui 2 proses yaitu : assimilasi dan akomodasi. Dalam proses asimilasi seseorang menggunakan struktur atau kemampuan yang sudah ada untuk menanggapi masalah yang dihadapinya dalam lingkungan. Dan proses akomodasi seseorang memerlukan modifikasi struktur mental yang
ada
untuk
mengadakan
respon
http://en.wikibooks.org/wiki/Contemporary_
terhadap
tantangan
lingkungan
Educational_Psychology/Chapter_3:_
Student_Development/Cognitive_Development:_The_Theory_of_Jean_Piaget. Piaget menjelaskan bagaimana tiap individu mengembangkan schema, yaitu suatu sistem organisasi aksi atau pola pikir yang membuat manusia secara mental mencerminkan “berpikir mengenainya”. Dua proses diaplikasikan dalam hal ini yaitu asimilasi dan akomodasi. Melalui asimilasi kita berusaha memahami hal yang baru dengan mengaplikasikan schema yang ada; sedangkan akomodasi terjadi ketika seseorang harus merubah pola berpikirnya untuk merespon terhadap situasi yang baru. Seseorang melakukan adaptasi dalam situasi yang makin kompleks ini dengan menggunakan schema yang masih bisa dianggap layak (asimilasi) atau dengan melakukan perubahan dan menambahkan pada schema-nya sesuatu yang baru karena memang diperlukan (akomodasi) (Marsh, 2008). Penjelasan di atas menunjukkan penekanan Piaget terhadap pemahaman yang dibentuk oleh seseorang, sesuatu yang berhubungan dengan logika dan konstruksi pengetahuan universal yang tidak dapat dipelajari secara langsung dari lingkungan. Pengetahuan seperti itu berasal dari hasil refleksi dan koordinasi kemampuan kognitif dan berpikir serta bukan berasal dari pemetaan realitas lingkungan eksternalnya (Piaget, 1962). Hal yang paling mendasar dari penemuan Piaget ini adalah belajar pada siswa tidak harus terjadi hanya karena seorang guru mengajarkan sesuatu padanya, Piaget percaya bahwa belajar terjadi karena siswa memang mengkonstruksi pengetahuan secara aktif darinya, dan ini diperkuat bila siswa mempunyai kontrol dan pilihan tentang hal yang
~ 10 ~
dipelajari. Hal ini tidaklah meniadakan faktor guru dalam proses pembelajaran, justru sebaliknya lah yang terjadi. Pengajaran oleh guru yang mengajak siswa untuk bereksplorasi, melakukan manipulasi, baik dalam bentuk fisik atau secara simbolik, bertanya dan mencari jawaban, membandingkan jawaban dari siswa lain akan lebih membantu
siswa
dalam
belajar
dan
memahami
sesuatu
(http://en.wikibooks.org/wiki/Contemporary_Educational_Psychology/Chapter_3:_ Student_Development/Cognitive_Development:_The_Theory_of_Jean_Piaget). Menurut Slavin (2009) implikasi dari teori Piaget dalam pembelajaran adalah sebagai berikut : 1) Memfokuskan pada proses berfikir atau proses mental anak tidak sekedar pada produknya. Di samping kebenaran jawaban siswa, guru harus memahami proses yang digunakan anak sehingga sampai pada jawaban tersebut. 2) Pengenalan dan pengakuan atas peranan anak-anak yang penting sekali dalam inisiatif diri dan keterlibatan aktif dalam kegaiatan pembelajaran. Dalam kelas Piaget penyajian materi jadi (ready made) tidak diberi penekanan, dan anak-anak didorong untuk menemukan untuk dirinya sendiri melalui interaksi spontan dengan lingkungan. 3) Tidak menekankan pada praktek-praktek yang diarahkan untuk menjadikan anakanak seperti orang dewasa dalam pemikirannya. 4) Penerimaan terhadap perbedaan individu dalam kemajuan perkembangan, teori Piaget mengasumsikan bahwa seluruh anak berkembang melalui urutan perkembangan yang sama namun mereka memperolehnya dengan kecepatan yang berbeda. Dari uraian tersebut pembelajaran menurut konstruktivis dilakukan dengan memusatkan perhatian kepada berfikir atau proses mental anak, tidak sekedar pada hasilnya dan mengutamakan peran siswa dalam kegiatan pembelajaran serta memaklumi adanya perbedaan individu dalam kemajuan perkembangan yang dapat dipegaruhi oleh perkembangan intelektual anak. 2. Teori Belajar Konstruktivisme Belajar lebih dari sekedar mengingat. Bagi siswa, untuk benar-benar mengerti dan dapat menerapkan ilmu pengetahuan, mereka harus bekerja untuk memecahkan masalah, menemukan sesuatu bagi diri mereka sendiri, dan selalu bergulat dengan ideide. Tugas pendidikan tidak hanya menuangkan atau menjejalkan sejumlah informasi ke dalam benak siswa, tetapi mengusahakan bagaimana agar konsep-konsep penting
~ 11 ~
dan
sangat
berguna
tertanam
kuat
dalam
benak
siswa
(http://projects.coe.uga.edu/epltt/index.php?title=Constructionism,_Learning_by_ Design, _ and_Project_Based_Learning) Teori yang dikenal dengan constructivist theories of learning menyatakan bahwa siswa harus menemukan sendiri dan mentransformasi informasi kompleks, mengecek informasi baru dengan aturan-aturan lama dan merevisi aturan-aturan itu apabila tidak lagi sesuai. Hakekat dari teori konstruktivis adalah ide bahwa siswa harus menjadikan informasi itu miliknya sendiri (Nur dan Retno,2000:2). Pendekatan konstruktivisme dalam pengajaran menekankan pengajaran top down daripada bottom-up. Top down berarti bahwa siswa mulai dengan masalah kompleks untuk dipecahkan dan kemudian memecahkan atau menemukan (dengan bimbingan guru) keterampilan-keterampilan dasar yang diperlukan. Sedangkan pendekatan bottom-up tradisional yang mana keterampilan-keterampilan dasar secara tahap demi tahap dibangun menjadi keterampilan-keterampilan yang lebih kompleks. (Slavin, 2009). Sehingga dapat dikatakan bahwa di dalam kelas yang terpusat pada siswa, peran guru adalah membantu siswa menemukan fakta, konsep atau prinsip bagi diri mereka sendiri, bukan memberikan ceramah atau mengendalikan seluruh kegiatan kelas. Lebih lanjut dikatakan bahwa salah satu konsep kunci dari teori belajar konstruktivis adalah pembelajaran dengan pengaturan diri (self regulated learning) yaitu seseorang yang memiliki pengetahuan tentang strategi belajar efektif dan bagaimana serta kapan menggunakan pengetahuan itu (Slavin, 2009). Jadi apabila siswa memiliki strategi belajar yang efektif dan motivasi serta tekun menerapkan strategi itu sampai pekerjaan terselesaikan maka kemungkinan mereka adalah pelajar yang efektif. Salah satu pendekatan dalam pengajaran konstruktivis yang sangat berpengaruh dari Jerome Bruner adalah belajar penemuan (inquiry) dimana siswa didorong untuk belajar sebagian besar melalui partisipasi aktif mereka sendiri dengan konsep dan prinsip dimana guru mendorong siswa untuk memiliki pengalaman serta dapat melakukan eksperimen yang memungkinkan mereka menemukan prinsip-prinsip untuk diri mereka sendiri. (Metin, 2011). Pendekatan yang lain dalam pengajaran dan pembelajaran yang juga berlandaskan pada teori konstruktivis adalah pengajaran dan pembelajaran kontekstual (contextual teaching and learning). Pengajaran dan pembelajaran kontekstual merupakan suatu konsepsi yang membantu guru mengkaitkan konten mata pelajaran dengan situasi dunia nyata dan memotivasi siswa membuat hubungan antara pengetahuan dan penerapannya
~ 12 ~
dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga, warga Negara dan tenaga kerja. Pada dasarnya CTL juga menekankan pentingnya siswa membangun sendiri pengetahuan mereka lewat keterlibatan aktif proses belajar mengajar. PBM lebih diwarnai student centred daripada teacher centered. Sebagaian besar waktu PBM berlangsung dengan berbasis pada aktivitas siswa. Inquiry-Based Learning dan Problem-Based Learning disebut sebagai strategi CTL yang diwarnai student centered dan aktivitas siswa (http://teachertomsblog. blogspot.com /2012/04/teaching-play-based-curriculum.html) a. Teori Piaget b. Teori Vygotsky Teori Vygotsky memberikan suatu sumbangan yang sangat berarti dalam kegiatan pembelajaran. Teori ini memberi penekanan pada hakekat sosiokultural dari pembelajaran. Vygotsky menyatakan bahwa pembelajaran terjadi apabila peserta didik bekerja atau belajar menangani tugas-tugas yang belum dipelajari namun tugas-tugas itu masih berada dalam jangkauan kemampuan atau tugas itu berada dalam zone of proximal development daerah terletak antara tingkat perkembangan anak saat ini yang didefinisikan sebagai kemampuan pemecahan masalah di bawah bimbingan
orang
dewasa
atau
teman
sebaya
yang
lebih
mampu.
(http://en.wikibooks.org/wiki/Contemporary_ Educational_Psychology/Chapter_3 :_Student_Development). Vygotsky menekankan bahwa semua proses mental tingkat tinggi, seperti berpikir dan pemecahan masalah dimediasi dengan alat-alat psikologi seperti bahasa, lambang dan simbol. Orang dewasa mengajarkan alat-alat ini ke anak dalam kegiatan sehari-hari dan si anak menginternalisasi hal tersebut. Sehingga alat psikologis ini dapat membantu siswa meningkatkan perkembangan mental dan berpikirnya. Pada saat anak berinteraksi dengan orang tua atau teman yang lebih mampu, mereka saling bertukar ide dan cara berpikir tentang representasi dan konsep. Sehingga pengetahuan, ide, sikap dan sistem nilai yang dimiliki anak berkembang seperti halnya cara yang dia pelajari dari lingkungannya (http://en. wikibooks.org/wiki/Contemporary_Educational_Psychology/Chapter_3:_ Student_Development) Teori Vigotsky dalam kegiatan pembelajaran juga dikenal dengan istilah scaffolding (perancahan), dimana perancahan mengacu kepada bantuan yang diberikan teman sebaya atau orang dewasa yang lebih lompeten, yang berarti bahwa memberikan sejumlah besar dukungan kepada anak selama tahap-tahap
~ 13 ~
awal pembelajaran dan kemudian mengurangi bantuan dan memberikan kesempatan kepada anak itu untuk mengambil tanggung jawab yang semakin besar segera
setelah
ia
mampu
melakukannya
sendiri.
((http://en.
wikibooks.org/wiki/Contemporary_Educational_Psychology/Chapter_3:_Student_ Development) Implikasi dari teori Vygostky dalam pendidikan yaitu : 1) Dikehendaki setting kelas berbentuk pembelajaran kooperatif antar siswa, sehingga siswa dapat berinteraksi di sekitar tugas-tugas dan saling memunculkan strategistrategi pemecahan masalah afektif dalam zona of proximal development. 2) Dalam pengajaran ditekankan scaffolding sehingga siswa semakin lama semakin bertanggung jawab terhadap pembelajarannya sendiri. c. Teori Ausubel Tentang Belajar Bermakna (Meaningful) Ausubel mengemukakan bahwa belajar dikatakan bermakna (meaningful) jika informasi yang akan dipelajari peserta didik disusun sesuai dengan struktur kognitif yang dimiliki peserta didik sehingga peserta didik dapat mengaitkan informasi barunya dengan struktur kognitif yang dimilikinya. Ausubel
juga menyatakan
bahwa agar belajar bermakna terjadi dengan baik dibutuhkan beberapa syarat, yaitu: (1). Materi yang akan dipelajari harus bermakna secara potensial, (2). Anak yang akan belajar harus bertujuan melaksanakan belajar bermakna sehingga mempunyai
kesiapan
dan
niat
untuk
belajar
bermakna
(http://sites.wiki.ubc.ca/etec510/Ausubel's_Assimilation_Learning_Theory :_Theoretical_Basis_for_Concept_Maps_and_E-Maps) Dikatakan lebih lanjut oleh Ausubel ada tiga kebaikan dari belajar bermakna yaitu : (a) Informasi yang dipelajari secara bermakna lebih lama dapat diingat, (b) Informasi yang dipelajari secara bermakna memudahkan proses belajar berikutnya untuk materi pelajaran yang miri, (c) Informasi yang dipelajari secara bermakna mempermudah
belajar
hal-hal
yang
mirip
walaupun
telah
terjadi
lupa
(http://www.edutopia.org/pdfs/edutopia-teaching-for-meaningful-learning.pdf). Bermain adalah pekerjaan anak. Bermain sangat penting untuk perkembangan anak dan belajar. Penelitian menunjukkan bahwa anak-anak belajar lebih baik dalam suasana yang mendorong eksplorasi, penemuan dan bermain (Brotherson, 2009) Bermain sangat penting untuk pertumbuhan yang sehat dan perkembangan anak. Sebagai anak-anak dengan bermain, mereka belajar untuk memecahkan masalah, untuk bergaul dengan orang lain dan untuk mengembangkan keterampilan motorik
~ 14 ~
halus dan kasar yang dibutuhkan untuk tumbuh dan belajar (Brotherson, 2009) . Bermain membantu anak melakukan hal berikut: a. Mengembangkan
keterampilan
fisik.
Keterampilan
motorik
kasar
anak
berkembang melalui proses belajar untuk mencapai, pegang, merangkak, berjalan, memanjat, dan keseimbangan. Sedangkan keterampilan motorik halus anak dikembangkan melalui penggunaan mainan berukuran kecil dan lebih rumit b. Mengembangkan konsep kognitif. Anak-anak belajar untuk memecahkan masalah (Apa yang dilakukan ini? Apakah ini potongan puzzle cocok di sini?) melalui bermain. Anak-anak juga belajar warna, angka, ukuran dan bentuk. Mereka memiliki kemampuan untuk meningkatkan kemampuan memori mereka serta rentang perhatian mereka. Anak-anak beralih ke tingkat yang lebih tinggi dari pemikiran karena mereka bermain di lingkungan yang lebih merangsang. c. Mengembangkan kemampuan bahasa. Bahasa anak berkembang melalui kegiatan bermain dan berinteraksi dengan orang lain. Hal ini dimulai dengan bermain bersama antara orang tua dengan anak-anak mereka lewat bercerita dan membuat lelucon. d. Mengembangkan keterampilan sosial. Dengan bermain anak belajar untuk bekerja sama, bernegosiasi, bergiliran dan bermain sesuai aturan keterampilan yang dipelajari di awal permainan. Keterampilan ini tumbuh sebagai sejalan dengan pertumbuhan usia anak. Dengan demikian anak-anak akan belajar tentang peran dan aturan dalam suatu masyarakat Terdapat beberapa ahli yang mendefinisikan tentang bermain dan pengaruhnya terhadap diri dan lingkungannya seperti disajikan pada Tabel 2.1. berikut ini
~ 15 ~
Tabel 2.1. Teori Belajar Berdasarkan Alasan dan Manfaat THEORIES Surplus Energy H. Spencer
REASONS FOR PLAY To discharge the natural energy of the body
GREATEST BENEFITS Physical
To avoid boredom while the natural motor functions of the body are restored
Physical
Recapitulation G.S. Hall
To relive periods in the evolutionary history of the human species
Physical
Practice for Adulthood K. Groos
To develop skills and knowledge necessary for functioning as an adult
Physical, intellectual
Renewal of Energy G.T.W. Patrick
Psychoanalytic S. Freud, A. Freud , E. Erikson
Cognitive – Developmental J. Bruner, J. Piaget B. Sutton-Smith
Arousal Modulation D.E. Berlyne, G. Fein H. Ellis Neuropsychological O. Weininger, D. Fitzgerald
To reduce anxiety by giving a child a sense of control over the world and an acceptable way to express forbidden impulses To facilitate general cognitive Development; To consolidate learning that has already taken place while allowing for the possibility of new learning in a relaxed atmosphere To keep the body at an optimal state of arousal; To relieve boredom To reduce uncertainty To integrate the functioning of the right and left cerebral hemispheres
Emotional, social
Intellectual, social Emotional, physical Biological, intellectual
Sumber: HUGHES, FERGUS P. Children, Play, and Development. USA; Allyn & Bacon, 1995. p. 15 Pada awalnya teori bermain lebih mengarah hanya pada manfaat fisik dari bermain. Menurut Herbert Spencer (1873) dengan teori "Surplus energi", bermain diperlukan untuk memungkinkan anak-anak untuk membuang kelebihan energi. Kebalikan dari pandangan Spencer, G.T.W. Patrick (1916) menjelaskan tujuan bermain sebagai pembaharuan energi (Hughes,1995) dan kebutuhan untuk relaksasi (Mussen, 1983). Dia melihat bermain sebagai alat yang membuat anak-anak yang diduduki sementara mereka mengembalikan pasokan energi alami mereka. Teori kontemporer Erikson, Freud, Ellis dan Piaget menekankan pentingnya bermain dalam pembangunan sosial, kognitif dan emosional anak-anak. Mereka menganggap bermain sebagai bagian penting dan integral dari masa kanak-kanak (Hart, 1993). Sebagai ahli teori psychoanalitic, Sigmund Freud menyarankan fungsi utama bermain sebagai pengurangan kecemasan. Menurut dia, sumber perasaan anak, seperti marah, takut tidak masuk akal, dan rasa ingin tahu seksual, diciptakan oleh
~ 16 ~
masyarakat dewasa. Dengan bermain, anak mengeksplorasi perasaan ditolak tanpa menghadapi halangan dewasa (Hughes, 1995). Bruner dan Donalson dari telaahnya menemukan bahwa sebagian pembelajaran terpenting dalam kehidupan diperoleh dari masa kanak-kanak yang paling awal, dan pembelajaran itu sebagian besar diperoleh dari bermain. Sayangnya, bermain sebagai gagasan yang dikaitkan dengan pembelajaran kurang mendapatkan apresiasi dalam berbagai lingkungan budaya (Singer, et al, 2006). Menurut Bruner perkembangan kognitif seseorang terjadi melalui tiga tahap yang ditentukan oleh caranya melihat lingkungan
Tahap pertama adalah tahap enaktif, di mana individu melakukan
aktivitas–aktivitas dalam usahanya memahami lingkungan. Tahap kedua adalah tahap ikonik, dimana ia melihat dunia melalui gambar-gambar dan visualisasi verbal. Tahap terakhir adalah tahap simbolik, dimana ia mempunyai gagasan-gagasan abstrak yang banyak dipengaruhi bahasa dan logika (Slavin 2009) Bermain bagi anak adalah kegiatan yang serius tetapi menyenangkan. Menurut Conny R. Semiawan (Jalal, 2002) bermain adalah aktivitas yang dipilih sendiri oleh anak karena menyenangkan, bukan karena hadiah atau pujian. Melalui bermain, semua aspek perkembangan anak dapat ditingkatkan. Dengan bermain secara bebas anak dapat berekspresi dan bereksplorasi untuk memperkuat hal-hal yang sudah diketahui dan
menemukan
hal-hal
baru.
Melalui
permainan,
anak-anak
juga
dapat
mengembangkan semua potensinya secara optimal, baik potensi fisik maupun mental intelektual dan spritual. Oleh karena itu, bermain bagi anak merupakan jembatan bagi berkembangnya semua aspek. Pembelajaran yang menyenangkan sebenarnya merupakan strategi, konsep dan praktik pembelajaran yang merupakan sinergi dari pembelajaran bermakna, pembelajaran kontekstual, teori konstruktivisme, pembelajaran aktif (active learning) dan psikologi perkembangan anak. Dengan demikian walaupun esensinya sama, bahkan metodologi pembelajaran yang dipilih juga sama, tetap ada spesifikasi yang berbeda terkait dengan penekanan konseptualnya yang relevan dengan perkembangan moral dan kejiwaan anak. Anak akan bersemangat dan gembira dalam belajar karena mereka tahu apa makna dan gunanya belajar, karena belajar sesuai dengan minat dan hobinya (meaningful learning) karena mereka dapat memadukan konsep pembelajaran yang sedang dipelajarinya dengan kehidupan sehari-hari, bahkan dengan berbagai topik yang sedang “in” berkembang di masyarakat (Kholil, 2009).
~ 17 ~
Adapun ciri-ciri pokok Pembelajaran yang menyenangkan ( joyful learning ) ialah: a) Adanya lingkungan yang rileks, menyenangkan, tidak membuat tegang ( stress ), aman, menarik, dan tidak membuat siswa ragu melakukan sesuatu meskipun keliru untuk mencapai keberhasilan tinggi; b) Terjaminnya ketersediaan materi pelajaran dan metode yang relevan; c) Terlibatnya semua indera dan aktivitas otak kiri dan kanan; d) Adanya situasi belajar yang menantang ( challenging ) bagi peserta didik untuk berfikir jauh ke depan dan mengeksplorasi materi yang sedang dipelajari ; e) Adanya situasi belajar emosional yang positif ketika para siswa belajar bersama, dan ketika ada humor, dorongan semangat, waktu istirahat, dan dukungan yang enthusiast. (Corbell, 1999) Dalam pembelajaran yang menyenangkan guru tidak membuat siswa : a) Takut salah dan dihukum; b) Takut ditertawakan teman-teman; c) Takut dianggap sepele oleh guru atau teman; Di sisi lain, pembelajaran yang menyenangkan dapat membuat siswa : a)
Berani bertanya;
b)
Berani mencoba/membuat;
c)
Berani mengemukakan pendapat/gagasan ;
d)
Berani mempertanyakan gagasan orang lain.
Dalam mempelajari IPA banyak menerapkan konsep dasar dan prinsip dasar, maka siswa dituntut untuk berfikir secara ilmiah dan memiliki sifat ilmiah, oleh karena itu penggunaan pendekatan keterampilan proses sangat tepat dilakukan. Hal ini dapat diwujudkan melalui penerapan teori pembelajaran kognitif yang dalam psikologi pendidikan dikelompokkan dalam teori konstruktivisme dan memberikan penjelasan tentang pembelajaran yang berpusat pada proses mental yang sulit diamati. Salah satu rahasia keberhasilan dalam belajar Sains pada anak adalah dengan mengkombinasikannya dengan permainan. Selain itu proses belajar ini harus dirangkai dengan diskusi dan pengulangan penyajian materi. Penelitian tentang penguasaan materi pengajaran Sains menggunakan sistem belajar yang dikombinasikan dengan permainan yang dilakukan oleh Saptorini (2011) pada sejumlah anak di SD Al Azhar Syifa Budi Cibinong menunjukkan bahwa 93 % siswa mengalami ketuntasan belajar atau memperoleh nilai di atas 70 setelah 3 kali pengulangan.
~ 18 ~
Siswa yang akan diuji, setelah menerima materi dari guru, diminta untuk mengungkapkan pendapat baik dalam kelompok maupun dalam diskusi kelas. Kemudian dilanjutkan dengan sistem bermain menggunakan gambar. Kemudian anak di perlihatkan gambar di kartu, sesaat kemudian diperlihatkan tulisannya kemudian anak dibagi menjadi 4 kelompok. Diakhir pengujian anak mengerjakan test untuk mengetahui tingkat penguasan materi. Siswa yang diuji berjumlah 29 orang. Masingmasing kelompok diberi 10 set kartu bergambar dikartu dan siswa diminta menuliskan gambar yang dilihatnya tadi. Dalam 1 kelompok dibagi 2 yang kelompok satu memegang kartu gambar yang kelompok yang lain memegang kartu tulisan. Kemudian mereka
saling menebak kartu yang dipegang. Setelah hafal mereka
bertukar peran. Dengan metoda ini ternyata. Hal ini menunjukkan bahwa untuk penerapan belajar dengan bermain efektif meningkatkan daya serap anak untuk belajar Sains.
~ 19 ~
BAB III: PEMBAHASAN Terdapat tiga isu utama dalam peningkatan kualitas pendidikan yaitu pembaruan kurikulum, peningkatan kualitas pembelajaran, dan efektifitas metode pembelajaran. Kurikulum pendidikan harus komprehensif dan responsif terhadap dinamika sosial, relevan, tidak overload, dan mampu mengakomodasikan keberagaman keperluan dan kemajuan teknologi. Kualitas pembelajaran harus ditingkatkan untuk meningkatkan kualitas hasil pendidikan. Dan secara mikro, harus ditemukan strategi atau pendekatan pembelajaran yang efektif di kelas, yang lebih memberdayakan potensi anak (Nurhadi, dkk.,2003). Paradigma baru pendidikan yang semula sentralistik kini telah berubah menjadi desentralistik. Institusi pendidikan (sekolah) dan pengajar (guru) menjadi tumpuan utama tingkat keberhasilan dan mutu pendidikan. Sekolah dan guru harus mampu merancanakan, mengelola dan mengevaluasi dari kinerja rancangannya tersebut. Untuk itulah manfaatnya manggaluri/mendeskripsikan alur apa dan mengapa KTSP harus menerapkan pembelajaran yang menyenangkan dan model pembelajaran inovatif. Pembelajaran yang menyenangkan sebenarnya merupakan strategi, konsep dan praktik pembelajaran yang merupakan sinergi dari pembelajaran bermakna, pembelajaran kontekstual, teori konstruktivisme, pembelajaran aktif (active learning) dan psikologi perkembangan anak. Dengan demikian walaupun esensinya sama, bahkan metodologi pembelajaran yang dipilih juga sama, tetap ada spesifikasi yang berbeda terkait dengan penekanan konseptualnya yang relevan dengan perkembangan moral dan kejiwaan anak. Anak akan bersemangat dan gembira dalam belajar karena mereka tahu apa makna dan gunanya belajar, karena belajar sesuai dengan minat dan hobinya (meaningful learning) karena mereka dapat memadukan konsep pembelajaran yang sedang dipelajarinya dengan kehidupan sehari-hari, bahkan dengan berbagai topik yang sedang “in” berkembang di masyarakat (Kholil, 2009). Mereka dapat belajar dari lingkungannya, baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosialnya (contextual teaching and learning). Mereka juga bergembira dalam belajar karena memulainya dari sesuatu yang telah dimilikinya sendiri, sehingga timbul rasa “PD” (percaya diri) dan itu akan menimbulkan perasaan diakui dan dihargai yang menyenangkan hatinya karena ia diberi kesempatan untuk mengekspresikan dirinya (teori konstruktivisme) sesuai ciri-ciri perkembangan fisiologis dan psikologisnya. Hal tersebut
~ 20 ~
pada gilirannya akan memotivasi mereka untuk terlibat aktif dalam proses pembelajaran karena atmosfer pembelajaran yang sesuai kepentingannya dan diciptakannya sendiri (Slavin, 2009). Dalam hal ini, sampai kira-kira anak-anak berusia remaja, pembelajaran yang menyenangkan akan seiring dengan belajar sambil bermain, yang mau tidak mau akan mengajak peserta didik untuk aktif. Sambil bermain mereka aktif belajar dan sambil belajar mereka aktif bermain. Dalam bermain mereka mendapatkan hikmah esensi suatu pengetahuan dan keterampilan, sambil belajar mereka melakukan refreshing agar kondisi kejiwaan mereka tidak dalam suasana tegang terus-menerus. Tidak ada metode standar untuk pembelajaran yang menyenangkan ini. Setiap guru sesuai dengan konteks kelas dan perkembangan usia mental siswa dapat memilah dan memilih metode yang sesuai atau bahkan metode yang diciptakannya sendiri (Kholil, 2009 ). Siswa
akan
lebih
mudah
membangun
pemahaman
apabila
dapat
mengkomunikasikan gagasannya dengan siswa lain atau guru. Dengan kata lain siswa membangun pemahaman
melalui interaksi dengan lingkungan sosialnya.
Interaksi
memungkinkan terjadinya perbaikan terhadap pemahaman siswa melalui diskusi, saling bertanya, dan saling menjelaskan. Interaksi dapat ditingkatkan dengan belajar kelompok. Penyampaian gagasan oleh siswa dapat mempertajam, memperdalam, memantapkan atau menyempurnakan gagasan itu karena memperoleh tanggapan dari siswa lain atau guru. PBM perlu mendorong siswa untuk mengkomunikasikan
gagasan, hasil kreasi dan
temuannya kepada siswa lain., guru atau pihak-pihak lain. Dengan demikian KBM memungkinkan siswa bersosialisasi dengan menghargai perbedaan
(pendapat, sikap,
kemampuan, prestasi ) dan berlatih untuk bekerja sama. Artinya KBM perlu mendorong siswa untuk mengembangkan
empatinya sehingga dapat mengembangkan saling
pengertian dengan menyelaraskan pengetahuan dan tindakan. Hasil belajar yang bermakna (meaningful learning) lebih lama dikuasai daripada belajar menghafal. Hal ini disebabkan adanya hubungan yang substantif dan non arbiter dengan
konsep-konsep
yang
ada
dalam
struktur
kognitif.
Keadaan
demikian
memungkinkan sejumlah besar bahan dapat disatukan dalam struktur kognitif dengan penguasaan yang lebih efektif (Sukmadinata, 2010 dan Vallori, 2002).Hubungan suatu konsep yang dipelajari dengan pembelajaran yang bermakna menyebabkan konsep tersebut lebih lama dikuasai dalam ingatan. Dikatakan lebih lanjut oleh Ausubel ada tiga kebaikan dari belajar bermakna yaitu : (a) Informasi yang dipelajari secara bermakna lebih lama dapat diingat, (b) Informasi
~ 21 ~
yang dipelajari secara bermakna memudahkan proses belajar berikutnya untuk materi pelajaran yang miri, (c) Informasi yang dipelajari secara bermakna mempermudah belajar hal-hal yang mirip walaupun telah terjadi lupa (http://www.edutopia.org/pdfs/edutopiateaching-for-meaningful-learning.pdf). Berdasarkan hasil penelitian Anggoro dan Husin (2008), Anggoro dan Badarudin (2009) serta Anggoro dan Iswasta (2009) menunjukkan bahwa pembelajaran IPA menggunakan metode ceramah atau diskusi tingkat keberhasilannya lebih rendah dibandingkan apabila menggunakan pendukung berupa media pembelajaran. Sebagai contoh, dalam pembelajaran matematika atau IPA (sains) di kelas III SD, siswa bermain pesawat terbang kertas (origami) sambil belajar. Setiap anak menyiapkan soal matematika yang ditulis di sisi sayap sebelah kiri, kemudian pesawat terbang diterbangkan. Pesawat terbang meluncur, siswa yang kebetulan kejatuhan dan atau tertabrak pesawat terbang itu adalah siswa yang wajib menjawab soalnya di sisi sayap sebelah kanan. Setiap anak berkesempatan untuk menerbangkan pesawat terbangnya sendiri, dengan kata lain, setiap siswa diberi kesempatan secara aktif membuat soalnya sendiri. Pada akhir pembelajaran guru dan para siswa melakukan refleksi dan penarikan simpulan bersama. Refleksi adalah cara berpikir tentang apa yang baru dipelajari atau berpikir ke belakang tentang apa-apa yang sudah dilakukan di masa lalu. Siswa mengendapkan apa yang baru dipelajarinya sebagai struktur pengetahuan baru yang merupakan pengayaan atau revisi dari pengetahuan sebelumnya. Inilah yang menjadi ciri pendekatan konstruktivistik. Belajar yang menyenangkan itu penting. Sebagai guru diharapkan untuk menciptakan kondisi tersebut. Terkait hal tersebut dalam buku “Genius Learning Strategy” Andi Wira Gunawan menegaskan bahwa sesungguhnya tidak ada mata pelajaran yang membosankan, yang ada adalah guru yang membosankan, suasana belajar yang membosankan. Hal ini terjadi karena proses belajar berlangsung secara monoton dan merupakan proses perulangan dari itu ke itu juga tiada variasi. Proses belajar hanya merupakan proses penyampaian informasi satu arah, siswa terkesan pasif menerima materi pelajaran (Brougere, 1999). Suatu penelitian tentang “cara kerja otak” menunjukkan bahwa ketika kita senang, maka hormon “neorotransmitter dopamine” dilepaskan dalam otak. Hal itulah yang membuat kita merasa senang. Jude Willis (2011) mengemukakan bahwa kita membutuhkan dopamine mengalir di dalam otak peserta didik, ketika mereka belajar. Kesenangan itu harus menjadi bagian dari pembelajaran. Semakin para siswa aktif terlibat dalam sebuah kegiatan pembelajaran, semakin otak mengalami perubahan.
~ 22 ~
Metode pembelajaran yang berlangsung saat ini dengan penyajian lebih menitik beratkan pada rangsangan dengar (auditory) berupa latihan (drill), pengulangan, orientasinya detail, kurang melibatkan proses pemecahan suatu masalah, sangat sesuai dengan pola belajar pada otak kiri, dimana individu tersebut kurang hiperaktif dan tidak mendapatkan terlalu banyak rangsangan. Masalah mulai timbul karena pada generasi anak saat ini dimana dengan berkembangnya budaya, sejak kecil anak telah diberi banyak rangsang penglihatan (visual), misalnya rangsangan dari TV dll; sehingga pola pembelajaran anak bergeser kearah otak kanan dengan pola berpikir secara visual dan lemah dalam menerima rangsang dengar (auditory) tetapi mempunyai kemampuan untuk pemecahan masalah. Hal ini mengakibatkan jurang antara anak didik dan guru menjadi lebar, karena pola pembelajaran disekolah tidak sesuai dengan pola pembelajaran yang dibutuhkan; sekolah menjadi tidak sejalan dengan pikiran anak. Sementara itu para pendidik yang umumnya adalah populasi dengan pola otak kiri, seperti juga pada dominasi otak kiri lainnya, mempunyai kelemahan berupa kesulitan untuk dapat memahami bahwa orang lain mempunyai cara pandang yang berbeda dalam memproses keadaan. (Freed, 1997 dalam Willis, 2011). Sains selain sebagai produk juga sebagai proses tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Pernyataan di atas selaras dengan pendapat Carin yang menyatakan bahwa sains sebagai produk atau isi mencakup fakta, konsep, prinsip, hukum-hukum dan teori sains. Fakta merupakan kegiatan-kegiatan empiris di dalam sains dan konsep, prinsip, hukumhukum, teori merupakan kegiatan-kegiatan analisis di dalam sains. Sebagai proses sains dipandang sebagai kerja atau sesuatu yang harus dilakukan dan diteliti yang dikenal dengan proses ilmiah atau metode ilmiah, melalui keterampilan menemukan antara lain, mengamati,
mengklasifikasi,
mengkomunikasikan,
mengukur,
memprediksi,
menggunakan
menduga,
keterampilan
mendefinisikan
secara
spesial,
operasional,
merumuskan hipotesis, menginterprestasikan data, mengontrol variabel, melakukan eksperimen. Sebagai sikap sains dipandang sebagai sikap ilmiah yang mencakup rasa ingin tahu, berusaha untuk membuktikan menjadi skeptis, menerima perbedaan, bersikap kooperatif, menerima kegagalan sebagai suatu hal yang positif. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pada hakekatnya sains terdiri atas tiga komponen, yaitu produk, proses, dan sikap ilmiah. Jadi tidak hanya terdiri atas kumpulan pengetahuan atau fakta yang dihafal, namun juga merupakan kegiatan atau proses aktif menggunakan pikiran dalam mempelajari rahasia gejala alam. Hal ini dapat dicapai melalui joyful learning dan active learning (Benek-Rivera dan Mathews,2004).
~ 23 ~
Dalam mempelajari IPA banyak menerapkan konsep dasar dan prinsip dasar, maka siswa dituntut untuk berfikir secara ilmiah dan memiliki sifat ilmiah, oleh karena itu penggunaan pendekatan keterampilan proses sangat tepat dilakukan. Hal ini dapat diwujudkan melalui penerapan teori pembelajaran kognitif yang dalam psikologi pendidikan dikelompokkan dalam teori konstruktivisme dan memberikan penjelasan tentang pembelajaran yang berpusat pada proses mental yang sulit diamati. Menurut Bruner perkembangan kognitif seseorang terjadi melalui tiga tahap yang ditentukan oleh caranya melihat lingkungan
Tahap pertama adalah tahap enaktif, di
mana individu melakukan aktivitas–aktivitas dalam usahanya memahami lingkungan. Tahap kedua adalah tahap ikonik, dimana ia melihat dunia melalui gambar-gambar dan visualisasi verbal. Tahap terakhir adalah tahap simbolik, dimana ia mempunyai gagasangagasan abstrak yang banyak dipengaruhi bahasa dan logika (Slavin 2009). Joyful learning diakui berhasil membuat siswa merasakan atmosfer pembelajaran yang berbeda dan menyenangkan. In seperti yang dilaporkan oleh Hongkong Arts Development Council (2005) yang melakukan kolaborasi pembelajaran antara minimimal 2 sekolah untuk membuat pembelajaran tentang seni dan sejarah. Hasil penelitian Chopra dan Chabra (2013) menujukkan hal yang sama di India. Melalui Project PEACE yang dilaporkan oleh Posma (2004) pendekatan joyful learning dapat digunakan untuk membelajarkan tentang sanitasi dan pemanfaatan sumberdaya air yang baik. Hayes (2007) melaporkan bahwa joyful learning sangat tepat digunakan untuk sekolah dasar dalam bebrbagai mata pelajaran.
~ 24 ~
DAFTAR PUSTAKA Anderson, L. W., & Krathwohl, D. R. (Eds.). (2001). A taxonomy for learning, teaching and assessing: A revision of Bloom's Taxonomy of educational objectives: Complete edition, New York : Longman Anggoro, Subuh dan Arief Husin (2008). Meningkatkan Pemahaman Mahasiswa dalam Mata Kuliah Fisiologi Tumbuhan pada Pokok Bahasan Difusi dan Osmosis menggunakan Model Pembelajaran CBSA dengan Pendekatan Discovery. Universitas Muhammadiyah Purwokerto. Laporan Penelitian (tidak dipublikasikan) Anggoro dan Iswasta Eka (2009). Meningkatkan Pemahaman Mahasiswa dalam Mata Kuliah Konsep Dasar IPA pada Pokok Bahasan Energi dan Perubahannya menggunakan Model Pembelajaran CBSA dengan Pendekatan Discovery. Universitas Muhammadiyah Purwokerto. Laporan Penelitian (tidak dipublikasikan) ______________________(2009). Pengembangan Perangkat Praktikum Pembelajaran BIOLOGI SD Model Laboratorium Kering. Universitas Muhammadiyah Purwokerto. Laporan Penelitian (tidak dipublikasikan) _____________________ (2010). Model Pembelajaran PAKEM dan Perangkat Praktikum Pembelajaran berbasis Multimedia (Upaya peningkatan pemahaman konsep dalam Mata Kuliah BIOLOGI SD). Universitas Muhammadiyah Purwokerto. Laporan Penelitian (tidak dipublikasikan) Anggoro, Subuh dan Badarudin (2011). Perangkat Pembelajaran Bumi dan Ruang Angkasa berbasis Multimedia (Upaya peningkatan Prestasi dan Minat Mahasiswa dalam Mata Kuliah Bumi dan Ruang Angkasa). Universitas Muhammadiyah Purwokerto. Laporan Penelitian (tidak dipublikasikan) Bloom, Benjamin S. & David R. Krathwohl. (1956). Taxonomy of educational objectives: The classification of educational goals, by a committee of college and university examiners. Handbook 1: Cognitive domain. New York , Longmans. Benek-Rivera, J and Vinilla E. Mathews. (2004). Active Learning with Jeopardy: Students Ask the Questions J. Of Management Educations 2004. Vol 28: 104 [Online] tersedia: http://jme.sagepub.com/content/28/1/104 Brougere. (1999). Some Elements Relating to Children's Play and Adult Simulaton/ Gaming. Simulation Gaming 1999 30: 134. DOI: 10.1177/104687819903000204 [Online] tersedia:http://sag.sagepub.com/content/30/2/134 Brotherson, Sean. (2009). Young Children and the important of Play. dalam Bright Beginning #23 August 2009 [Online] tersedia. www.ag.ndsu.edu [20 Agusutus 2012]
~ 25 ~
Chopra, Varma dan Sonal Chabra,.2013. Digantar In India: A Case Study For Joyful Learning. Journal of Unschooling and Alternative Learning 2013 Vol. 7 Issue 13. Corbell, Peter. (1999). Learning from the Children: Practical and Theoretical Reflections on Playing and Learning Simulation and Gaming 1999 30:163. [Online] tersedia:http://sag.sagepub.com/ content/30/2/163 DOI: 10.1177/1057083710373578 Furtak, Erin Marie, Tina Seidel, Heidi Iverson and Derek C. Briggs 2012. Teaching : A Meta-Analysis Experimental and Quasi-Experimental Studies of Inquiry-Based Science Review Of Educational Research 2012 82: 300 104 [Online] tersedia:http://rer.sagepub.com / content/82/3/300 DOI: 10.3102/0034654312457206 Hart, Christina, P. Mulhall, A. Berry, J. Loughram, R. Gunstone. 2000. What is the Purpose of this Experiment?Or Can Students Learn Something from Doing Experiments? J Res Sci Teach 37: 655±675. John Wiley & Sons, Inc. Hayes, Denis, 2007 . Joyful Teaching and Learning in Primary School. Great Britain by Bell & Bain Ltd, Glasgow Hongkong Arts Development Council, 2005. Joyful Learning The Arts-in Education Program. Hongkong Arts Development Council. Hongkong Hughes, F.P. (1995). Children, Play, and Development. Allyn and Bacon U S A : Simon & Schuster Company Kartikawati dan W. Setiawan. 2010. Pembelajaran Aktif Kreatif Efektif dan Menyenangkan (PAKEM). P4TK IPA. Bandung Kholil, Anwar. (2009). Joyful Learning sebagai Landasan Pembelajaran Siswa Aktif. [Online] tersedia http.kholil.blogspot.com Koops, Lisa Huisman and Cynthia Crump Taggart. 2010. Learning Through Play: Extending an Early Childhood Music Education Approach to Undergraduate and Graduate Music Education Journal of Music Teacher Education 2011 20: 55 originally published online 15 June 2011 Ciaran Sugrue (ed.) London: Routledge, 2008 ISBN 0415431077 Kompas, 2012. Sistem Pendidikan Indonesia Terendah di Dunia. 27 Nopember 2012 [Online] tersedia : www.kompas.com Kompas, 2012. Pendidikan Asia Nomor Satu di Dunia. 12 Desember 2012 [Online] tersedia : www.kompas.com Marsh, Collin. (2008). Becoming a Teacher. Knowledge, Skills and Issues. Pearson Education. Australia
~ 26 ~
Metin, Pinar. (2010). The Effects Of Traditional Playground Equipment Design In Children’s Developmental Needs [Online] tersedia: Moore, R.C., Goltsman, S.M., & Iacofano, D.S. (1992). Play for All Guidelines: Planning, Design and Management of Outdoor Play Settings For All Children. Berkeley: MIG Communications, Mussen, P.H. (1983). Handbook of Child Psychology. United States of America: John Wiley & Sons, Nurihsan, A. Juntika dan Agustin Mubiar. (2011). Dinamika Perkembangan Anak dan Remaja Tinjauan Psikologi, Pendidikan dan Bimbingan. Bandung: Refika Aditama Papalia, D.E., & Olds, S.W. (1993). A Child’s World: Infancy Through Adolescence. United States of America: Mc Graw-Hill, Perry, B.D. (2001). “ The Importance of Pleasure in Play” Early Childhood Today. Vol.15, 7(2001) Piaget, J. (1962). Play, Dreams and Imitation in Childhood. NewYork:Norton. Posma, Leonia, 2004. Joyful Learning on Hygiene, Sanitation, Water, Health and The Environment. Source Book for Lesson Plan. Participatory Education Activities for Children and Educators (PEACE) IRC International Water and Sanitation Centre 2004 Rana M. Tamim, Robert M. Bernard, Eugene Borokhovski, Philip C. Abrami and Richard F. Schmid. 2011. Learning : A Second-Order Meta-Analysis and Validation Study What Forty Years of Research Says About the Impact of Technology on Education. Review Of Educational Research 2011 81: 4. 104 [Online] tersedia: http://sag.sagepub.com/ content/40/2/217. DOI: 10.3102/0034654310393361 Raymund, J.F.(1995) “From Barnyards to backyards: An Exploration Through Adult Memories and Children’s Narratives in Search of an Ideal Playscape” Children’s Environments.1995 12(3) Roth, Wolff-Michael and Lee, Yew-Jin . 2007. “Vygotsky’s Neglected Legacy”: Cultural-Historical Activity Theory. Review of Educational Research June 2007, Vol. 77, No. 2, pp. 186–232. [Online] tersedia:http://rer.aera.net . DOI: 10.3102/0034654306298273 Ruhimat, Toto. 2009. Pengembangan Pembelajaran Siswa Aktif (Active Learning). [Online] tersedia. http//www.repository. upi.edu [21 September 2012] Santrock, J.W. (2008). Psikologi Pendidikan. Jakarta : Kencana Prenada Media Group. Sardiman. (2004). Interaksi & Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
~ 27 ~
Schneider, Rebecca M. and Kellie Plasman. (2011) Science Teacher Learning Progressions : A Review of Science Teachers' Pedagogical Content Knowledge Development. Review Of Educational Research 2011 81: 530. [Online] tersedia: http://rer.sagepub.com/content/81/4/530 Slavin, Robert E. ( 2009 ). Cooperative Learning. Bandung: Nusamedia. Stewart, Alice Stewart, Susan M. Houghton and Patrick R. Rogers.(2012). Using a Trading Room to Teach Strategy Instructional Design, Active Learning, and Student Performance: J. Of Management Educations 2004. Vol 8: 27 [Online] tersedia:http://jme.sagepub.com/content/early/ 2012/08/27 /1052562912456295 Singer, D., Golinkoff, R. M., & Hirsh-Pasek, K. (Eds.) (2006). Play=Learning:How play motivates and enhances children’s cognitive and social-emotional growth. New York, NY: Oxford University Press. Spicer, David Eddy. 2010. Book Review: The Future of Educational Change: International Perspectives. Journal of Research in International Education 2010 9: 100 [Online] tersedia:http://jri.sagepub.com/content/9/1/100 DOI: 10.1177/14752409100090010603 Sukmadinata, Nana Syaodih. (2010). Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek. Bandung ; PT Remaja Rosdakarya Vallori, A. Ballester. (2002). Meaningful Learning in Practice: How to put meaningful learning in the classroom. Seminar of Meaningful Learning. [Online]. tersedia: http://www.aprendizajesignificativo.es/wp-content/uploads/ 2011/05/meaningful_learning_in_practice.pdf (tanggal 19 Desember 2012)
Wadell, K.A. ( 2 0 0 1 ) “ What is the Minimum Standard of Care That the Playground Owner Must Provide?” Parks and Recreation. Vol.36, 4(2001) Willis, Jude. (2011). Understanding How the Brain Thinks. [Online] tersedia: http://www.edutopia.org/blog/willis_judemd/ Understanding How the Brain Thinks http://sites.wiki.ubc.ca/etec510/Ausubel's_Assimilation_Learning_Theory:_Theoretical_B asis_for_Concept_Maps_and_E-Maps (19122012) http://www.edutopia.org/pdfs/edutopia-teaching-for-meaningful-learning.pdf (19122012)
~ 28 ~
PROPOSAL TESIS
Dibuat untuk Ujian Akhir Semester (UAS) Mata Kuliah Pedagogy Pendidikan Dasar
Dosen : DR. H. Y. Suyitno, M.Pd.
Oleh : SUBUH ANGGORO 1201002
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DASAR SEKOLAH PASCA SARJANA UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA 2013
~ 29 ~
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirobil’alamin saya panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayahNya, sehingga dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Joyful Learning” untuk pemenuhan salah satu tugas Mata Kuliah Inovasi Pendidikan yang diampu oleh Dr. H. Sholehuddin, MA, M.Pd. Secara garis besar makalah ini berisikan uraian tentang sebuah alternatif pendekatan pembelajaran yang dapat membuat siswa merasa belajar adalah menyenangkan. Saya menyadari tulisan ini masih belum sempurna. Saran dan kritik saya harapkan untuk menjadikan hasil makalah ini selalu lebih baik. Semoga hasil makalah ini dapat bermanfaat bagi khasanah pengetahuan kita.
Bandung, 03 April 2013 Subuh Anggoro Hilman Himawan Desemberi Tri Anugrahwati
~ 30 ~