IMPLEMENTASI PENDIDIKAN KARAKTER DI MADRASAH Oleh: Muhammad Mahbub, M.Pd.I Dosen mata kuliah Telaah Kurikulum STAI Qomaruddin Gresik
Abstrak Konsep pendidikan karakter sangat cocok diterapkan dalam pendidikan formal (sekolah). Karena pendidikan karakter menanamkan nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut. Pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai “the deliberate use of all dimensions of school life to foster optimal character development”. Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua komponen harus dilibatkan, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan etos kerja seluruh warga sekolah/lingkungan. Kata kunci: pendidikan karakter, grand design, habituasi, intervensi A. Pendahuluan Karakter menurut Pusat Bahasa Kementrian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) mempunyai pengertian “bawaan, hati, jiwa, kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas, sifat, tabiat, temperamen, watak”. Sedangkan pengertian berkarakter adalah berkepribadian, berperilaku, bersifat, bertabiat, dan berwatak”. Dalam pengertian lain, karakter mengacu pada serangkaian sikap (attitudes), perilaku (behaviors), motivasi (motivations), dan keterampilan (skills). Kata “karakter” berasal dari bahasa Yunani yang berarti “to mark” atau menandai dan memfokuskan pada bagaimana mengaplikasikan nilai kebaikan dalam bentuk tindakan atau tingkah laku, sehingga orang yang tidak jujur, kejam, rakus dan perilaku jelek lainnya dikatakan orang berkarakter jelek. Sebaliknya, orang yang perilakunya sesuai dengan kaidah moral disebut dengan berkarakter mulia. Individu yang memiliki karakter mulia yaitu individu yang memiliki potensi diri seperti yang ditandai dengan nilai-nilai seperti reflektif, percaya diri, rasional, logis, kritis, analitis, kreatif dan inovatif, mandiri, hidup sehat, bertanggung jawab, cinta ilmu, sabar, berhati-hati, rela berkorban, pemberani, dapat dipercaya, jujur, menepati janji, adil, rendah hati, malu berbuat salah, pemaaf, berhati lembut, setia, bekerja keras, tekun, ulet/gigih, teliti, berinisiatif, berpikir positif, disiplin, antisipatif, inisiatif, visioner, bersahaja, bersemangat, dinamis, hemat/efisien, menghargai waktu, pengabdian/dedikatif, pengendalian diri, produktif, ramah, cinta keindahan (estetis), sportif, tabah, terbuka, tertib. Individu tersebut juga memiliki kesadaran untuk berbuat yang terbaik atau unggul, dan individu juga mampu bertindak sesuai potensi dan kesadarannya tersebut. Karakteristik adalah realisasi perkembangan positif sebagai individu (intelektual, emosional, sosial, etika, dan perilaku).
Individu yang berkarakter baik akan selalu berusaha melakukan hal-hal yang terbaik terhadap Tuhan YME, dirinya, sesama, lingkungan, bangsa dan negara serta dunia internasional pada umumnya dengan mengoptimalkan potensi (pengetahuan) dirinya dan disertai dengan kesadaran, emosi dan motivasinya (perasaannya). Karena itu konsep pendidikan karakter sangat cocok diterapkan dalam pendidikan formal (sekolah). Karena pendidikan karakter menanamkan nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut. Pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai “the deliberate use of all dimensions of school life to foster optimal character development”. Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua komponen harus dilibatkan, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan etos kerja seluruh warga sekolah/lingkungan. Di samping itu, pendidikan karakter dimaknai sebagai suatu perilaku warga sekolah yang mengutamakan nilai-nilai berkarakter. David Elkind & Freddy Sweet Ph.D. (2004) memaknai pendidikan karakter sebagai berikut: “character education is the deliberate effort to help people understand, care about, and act upon core ethical values. When we think about the kind of character we want for our children, it is clear that we want them to be able to judge what is right, care deeply about what is right, and then do what they believe to be right, even in the face of pressure from without and temptation from within”. Lebih lanjut dijelaskan bahwa pendidikan karakter adalah segala sesuatu yang dilakukan guru, yang mampu mempengaruhi karakter peserta didik. Guru membantu membentuk watak peserta didik dengan keteladanan perilaku yang baik, berbicara atau menyampaikan materi dengan jelas dan sopan, guru bertoleransi bila terdapat beda pendapat, dan berbagai hal terkait lainnya yang terjadi selama proses pembelajaran. Jadi, semua perilaku guru dalam proses pembelajaran mencerminkan karakter yang nantinya akan ditiru oleh peserta didik. Sehingga perilaku negatif guru, seperti membentak, berkata kasar, marah, memukul, dan yang lain harus dihindari oleh seorang guru karena sangat berpengaruh terhadap pembentukan karakter anak. Perilaku negatif ini sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip pendidikan karakter karena karakter mulia seorang anak dapat beralih menjadi karakter jelek karena perilaku negatif guru di kelas. Inilah yang disebut dengan pembunuhan karakter peserta didik. Menurut T. Ramli (2003), pendidikan karakter memiliki esensi dan makna yang sama dengan pendidikan moral dan pendidikan akhlak. Tujuannya adalah membentuk pribadi anak supaya menjadi manusia yang baik, baik di lingkungan keluarga, masyarakat dan bangsa serta dalam kehidupan bernegara. Oleh karena itu, hakikat dari pendidikan karakter dalam konteks pendidikan di Indonesia adalah pendidikan nilai-nilai luhur yang bersumber dari budaya bangsa Indonesia sendiri, dalam rangka membina kepribadian generasi muda. Pendidikan karakter memiliki tujuan yang berpijak pada nilai-nilai karakter dasar. Para ahli psikologi berpendapat bahwa beberapa nilai karakter
dasar tersebut adalah: cinta kepada Allah dan ciptaan-Nya (alam dengan isinya), tanggung jawab, jujur, hormat dan santun, kasih sayang, peduli, dan kerja sama, percaya diri, kreatif, kerja keras, dan pantang menyerah, keadilan dan kepemimpinan; baik dan rendah hati, toleransi, cinta damai, dan cinta persatuan. Pendapat lain mengatakan bahwa karakter dasar manusia terdiri dari: dapat dipercaya, rasa hormat dan perhatian, peduli, jujur, tanggung jawab; kewarganegaraan, ketulusan, berani, tekun, disiplin, visioner, adil, dan punya integritas. Penyelenggaraan pendidikan karakter di sekolah harus berpijak kepada nilai-nilai karakter dasar, yang selanjutnya dikembangkan menjadi nilai-nilai yang lebih banyak sesuai dengan kebutuhan, kondisi, dan lingkungan sekolah itu sendiri. Pendidikan karakter di lingkungan sekolah sangat diharapkan oleh banyak orang tua anak disebabkan pada fenomena sosial yang berkembang yaitu meningkatnya kenakalan remaja dalam masyarakat, seperti perkelahian massal, pemerkosaan, pencurian dan berbagai kasus kemerosotan moral lainnya yang dilakukan oleh anak yang masih sekolah. Bahkan di kota-kota besar tertentu, gejala tersebut telah sampai pada taraf yang sangat meresahkan. Oleh karena itu, lembaga pendidikan formal sebagai wadah resmi pembinaan generasi muda diharapkan dapat meningkatkan peranannya dalam pembentukan kepribadian peserta didik melalui peningkatan intensitas dan kualitas pendidikan karakter. Para pakar pendidikan pada umumnya sependapat tentang pentingnya upaya peningkatan pendidikan karakter pada jalur pendidikan formal. Namun demikian, ada perbedaan-perbedaan pendapat di antara mereka tentang pendekatan dan modus pendidikannya. Berhubungan dengan pendekatan itu, sebagian pakar menyarankan penggunaan pendekatan-pendekatan pendidikan moral yang dikembangkan di negara-negara Barat, seperti: pendekatan perkembangan moral kognitif, pendekatan analisis nilai, dan pendekatan klarifikasi nilai. Sebagian yang lain menyarankan penggunaan pendekatan tradisional, yakni melalui penanaman nilai-nilai sosial tertentu dalam diri peserta didik. Berdasarkan grand design yang dikembangkan Kemendiknas (2010), secara psikologis dan sosio-kultural, pembentukan karakter dalam diri individu merupakan fungsi dari seluruh potensi individu manusia (kognitif, afektif, konatif, dan psikomotorik) dalam konteks interaksi sosio-kultural (dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat) dan berlangsung sepanjang hayat. Konfigurasi karakter dalam konteks totalitas proses psikologis dan sosio-kultural tersebut dapat dikelompokkan dalam: Olah Hati (Spiritual and Emotional Development), Olah Pikir (Intellectual Development), Olah Raga dan Kinestetik (Physical and Kinestetic Development), dan Olah Rasa dan Karsa (Affective and Creativity Development). Para pakar telah mengemukakan berbagai teori tentang pendidikan moral. Menurut Hersh, et. al. (1980), di antara berbagai teori yang berkembang, ada enam teori yang banyak digunakan; yaitu: pendekatan pengembangan rasional, pendekatan pertimbangan, pendekatan klarifikasi nilai, pendekatan pengembangan moral kognitif, dan pendekatan perilaku sosial. Berbeda dengan klasifikasi tersebut, Elias (1989) mengklasifikasikan berbagai teori yang berkembang
menjadi tiga, yakni: pendekatan kognitif, pendekatan afektif, dan pendekatan perilaku. Klasifikasi didasarkan pada tiga unsur moralitas, yang biasa menjadi tumpuan kajian psikologi, yakni: perilaku, kognisi, dan afeksi. Berdasarkan pembahasan di atas dapat ditegaskan bahwa pendidikan karakter merupakan upaya-upaya yang dirancang dan dilaksanakan secara sistematis untuk membantu peserta didik memahami nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat. B. Dasar Pendidikan Karakter di Madrasah Dasar-dasar pendidikan karakter di madrasah antara lain: 1. Komitmen nasional tentang perlunya pendidikan karakter, secara imperatif tertuang dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam Pasal 3 UU tersebut dinyatakan bahwa “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.” Jika dicermati 5 (lima) dari 8 (delapan) potensi peserta didik yang ingin dikembangkan sangat terkait erat dengan karakter. 2. Jauh sebelumnya, secara filosofis, “Bapak” Pendidikan Nasional- Ki Hadjar Dewantara- menyatakan bahwa pendidikan merupakan daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intellect) dan tubuh anak. Bagian-bagian itu tidak boleh dipisahkan agar kita dapat memajukan kesempurnaan hidup anak-anak kita. Hakikat, fungsi, dan tujuan pendidikan nasional tersebut menyiratkan bahwa melalui pendidikan hendak diwujudkan peserta didik yang secara utuh memiliki berbagai kecerdasan, baik kecerdasan spiritual, emosional, sosial, intelektual maupun kecerdasan kinestetika. Pendidikan nasional mempunyai misi mulia (mission sacre) terhadap individu peserta didik. 3. Dalam instrumentasi dan praksis pendidikan nasional sudah dikembangkan program rintisan, walaupun belum secara sistemik menyeluruh, dengan fokus dan muatan yang cukup beragam, misalnya: (1) pengembangan nilai esensial budi pekerti yang dirinci menjadi 85 butir (Dikdasmen: 1989 s/d 2007); (2) pengembangan nilai dan etos demokratis dalam konteks pengembangan budaya sekolah yang demokratis dan bertanggung jawab (Dikdasmen: 1991 s/d 2007); (3) pengembangan nilai dan karakter bangsa (Dikdasmen: 20012005); dan (4) pengembangan nilai-nilai anti korupsi yang mencakup jujur, adil, berani, tanggung jawab, mandiri, kerja keras, peduli, sederhana, dan disiplin (Dikdasmen dan KPK; 2008-2009); serta pengembangan nilai dan perilaku keimanan dan ketakwaan dalam konteks tauhidiyah dan religiositas-
sosial (Dikdasmen: 1998-2009). Di luar kegiatan tersebut, sudah banyak juga sekolah-sekolah unggulan yang mengembangan karakter secara terpadu dalam pelaksanaan pendidikannya. Banyak juga sekolah yang sederhana; pondok pesantren di daerah pedesaan yang mampu menumbuhkembangkan karakter peserta didik budaya sekolah melalui pembiasaan dalam kehidupan keseharian di sekolah/pondok yang ternyata teladan guru/ustadz sebagai kunci sukses. Sudah banyak diketahui bahwa ternyata banyak sekolah yang telah mengembangkan pendidikan karakter dan ternyata juga dapat meningkatkan prestasi belajar siswa (Balitbang Diknas:2010). Tantangan ke depan adalah bagaimana berbagi kesuksesan itu untuk membangun pendidikan karakter yang mampu menyentuh semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan di tanah air Indonesia ini. 4. Secara akademik, pendidikan karakter dimaknai sebagai pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti, pendidikan moral, pendidikan watak, yang tujuannya mengembangkan kemampuan peserta didik untuk memberikan keputusan baik-buruk, memelihara apa yang baik, dan mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati. Karena itu muatan pendidikan karakter secara psikologis mencakup dimensi moral reasoning, moral feeling, dan moral behaviour (Lickona:1991), atau dalam arti utuh sebagai morality yang mencakup moral judgment and moral behaviour baik yang bersifat prohibition-oriented morality maupun pro-social morality (Piager, 1967; Kohlberg; 1975; Eisenberg-Berg; 1981). Secara pedagogis, pendidikan karakter seyogyanya dikembangkan dengan menerapkan holistic approach, dengan pengertian bahwa “Effective character education is not adding a program or set of programs. Rather it is a tranformation of the culture and life of the school” (Berkowitz: dalam goodcharacter.com: 2010): Sementara itu, Lickona (1992) menegaskan bahwa: “In character education, it’s clear we want our children are able to judge what is right, care deeply about what is right, and then do what they believe to be right-even in the face of pressure form without and temptation from within. 5. Kebutuhan akan pendidikan karakter ternyata terjadi juga di USA pada saat memasuki abad 21, karena beberapa alasan mendasar sebagai berikut (Lickona, 1991: 20-21) a. There is a clear and urgent need. b. Transmitting values is and always has been the work of civilisation. c. The school’s role as moral educator becomes more vital at a time when millions of children get little moral teaching from their parents and when value-centered influence such as church or temple are also absent from their lives. d. There is a common ethical ground even in our values-conflicted society. e. Democracies have a special need for moral education. f. There is no such thing as value-free education. g. Moral questions are among the great question facing both the individuals and human race. h. There is a broad-based, growing support for values education in the schools
Dari situasi tersebut, diketahui bahwa pendidikan nilai/moral memang sangat diperlukan atas dasar argumen: adanya kebutuhan nyata dan mendesak; proses transmisi nilai sebagai proses peradaban; peranan sekolah sebagai pendidik moral yang vital pada saat lemahnya pendidikan nilai dalam masyarakat; tetap adanya kode etik dalam masyarakat yang sarat konflik nilai; kebutuhan demokrasi akan pendidikan moral; kenyataan yang sesungguhnya bahwa tidak ada pendidikan yang bebas nilai; persoalan moral sebagai salah satu persoalan dalam kehidupan, dan adanya landasan yang kuat dan dukungan luas terhadap pendidikan moral di sekolah. Semua argumen tersebut tampaknya masih relevan untuk menjadi cerminan kebutuhan akan pendidikan nilai/moral di Indonesia pada saat ini. Proses demokrasi yang semakin meluas dan tantangan globalisasi yang semakin kuat dan beragam di satu pihak dan di pihak lain, dunia persekolahan dan pendidikan tinggi yang lebih mementingkan penguasaan dimensi pengetahuan dan mengabaikan pendidikan nilai/moral saat ini, merupakan alasan yang kuat bagi Indonesia untuk membangkitkan komitmen dan melakukan gerakan nasional pendidikan karakter. Lebih jauh dari itu yakni Indonesia dengan masyarakatnya yang ber-Bhinneka Tunggal Ika dan dengan falsafah negaranya Pancasila yang sarat dengan nilai dan moral, merupakan alasan filosofis-ideologis, dan sosio-kultural tentang pentingnya pendidikan karakter untuk dibangun dan dilaksanakan secara nasional dan berkelanjutan. 6. Dalam konteks kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara Indonesia, diyakini bahwa nilai dan karakter yang secara legal-formal dirumuskan sebagai fungsi dan tujuan pendidikan nasional, harus dimiliki peserta didik agar mampu menghadapi tantangan hidup pada saat ini dan di masa mendatang akan datang. Karena itu pengembangan nilai yang bermuara pada pembentukan karakter bangsa yang diperoleh melalui berbagai jalur, jenjang, dan jenis pendidikan, akan mendorong mereka menjadi anggota masyarakat, anak bangsa, dan warga negara yang memiliki kepribadian unggul seperti yang diharapkan dalam tujuan pendidikan nasional. Sampai saat ini, secara kurikuler telah dilakukan berbagai upaya untuk menjadikan pendidikan lebih mempunyai makna bagi individu yang tidak sekedar memberi pengetahuan pada tataran koginitif, tetapi juga menyentuh tataran afektif dan konatif melalui mata pelajaran Pendidikan Agama, Pendidikan Kewarganegaraan, Pendidikan IPS, Pendidikan Bahasa Indonesia, dan Pendidikan Jasmani. Namun demikian harus diakui karena kondisi zaman yang berubah dengan cepat, maka upaya-upaya tersebut ternyata belum mampu mewadahi pengembangan karakter secara dinamis dan adaptif terhadap perubahan tersebut. Oleh karena itu, pendidikan karakter perlu dirancang-ulang dan dikemas kembali dalam wadah yang lebih komprehensif dan lebih bermakna. Pendidikan karakter perlu direformulasikan dan direoperasionalkan melalui transformasi budaya dan kehidupan sekolah. Untuk itu, wacana dan sistem pendidikan karakter perlu dibangun sesuai dengan konteks sosio-kultural Indonesia yang ber-Bhineka Tunggal Ika dengan nilai-nilai Agama dan Pancasila sebagai sumber nilai dan rujukan utamanya.
7. Kebutuhan tersebut bukan hanya dianggap penting tetapi sangat mendesak mengingat berkembangnya godaan-godaan (temptations) dewasa ini marak dengan tayangan dalam media cetak maupun noncetak (televisi, jaringan maya, dan lain-lain) yang memuat fenomena dan kasus perseteruan dalam berbagai kalangan yang memberi kesan seakan-akan bangsa kita sedang mengalami krisis etika dan krisis kepercayaan diri yang berkepanjangan. Pendidikan karakter bangsa diharapkan mampu menjadi alternatif solusi berbagai persoalan tersebut. Kondisi dan situasi saat ini tampaknya menuntut pendidikan karakter yang perlu ditransformasikan sejak dini, yakni sejak pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi secara holistik dan bersinambungan. 8. Urgensi dari pelaksanaan komitmen nasional pendidikan karakter dapat diuraikan sebagai berikut: a. “Pendidikan budaya dan karakter bangsa merupakan bagian integral yang tak terpisahkan dari pendidikan nasional secara utuh. b. Pendidikan budaya dan karakter bangsa harus dikembangkan secara komprehensif sebagai proses pembudayaan. Oleh karena itu, pendidikan dan kebudayaan secara kelembagaan perlu diwadahi secara utuh. c. Pendidikan budaya dan karakter bangsa merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah, masyarakat, sekolah dan orang tua. Oleh karena itu, pelaksanaan budaya dan karakter bangsa harus melibatkan keempat unsur tersebut. d. Upaya merevitalisasi pendidikan dan budaya karakter bangsa memerlukan gerakan nasional guna menggugah semangat kebersamaan dalam pelaksanaan di lapangan.” Tujuan Pendidikan Karakter Kegiatan Pengembangan Pendidikan Karakter melalui pendidikan secara nasional bertujuan untuk: 1. Mengembangkan Grand Design Pendidikan Karakter yang akan menjadi rujukan konseptual dan operasional pengembangan, pelaksanaan, dan penilaian pada setiap jalur dan jenjang pendidikan; 2. Mengembangkan Rencana Aksi Nasional (RAN) Pendidikan Karakter sebagai wujud komitmen seluruh komponen bangsa; dan 3. Melaksanakan Pendidikan Karakter secara nasional, sistemik, dan berkelanjutan. Hasil yang diharapkan dari kegiatan tersebut adalah sebagai berikut: 1. Grand Design Pendidikan Karakter yang akan menjadi rujukan konseptual dan operasional pada setiap jalur, jenjang pendidikan, dan jenis pendidikan; 2. Rencana Aksi Nasional (RAN) Pendidikan Karakter sebagai wujud komitmen seluruh komponen bangsa Republik Indonesia; dan 3. Gerakan Nasional Pendidikan Karakter oleh seluruh komponen bangsa dan negara Republik Indonesia. Perangkat Nilai Substansi Pendidikan Karakter A. Nilai-nilai Dasar yang termuat dalam Standar Kompetensi Lulusan
(SKL) Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah. 1. Dalam Permendiknas N0.23/2006 tentang Standar kompetensi lulusan secara formal sudah digariskan untuk masing-masing jenis atau satuan pendidikan sejumlah rumusan Standar Kompetensi Lulusan (SKL). Jika dicermati secara mendalam, sesungguhnya hampir pada setiap rumusan SKL tersebut implisit atau eksplisit termuat substansi nilai/karakter. Berikut ini dicoba untuk menangkap substansi nilai/karakter yang ada pada setiap SKL tersebut.
2. Substansi Nilai/Karakter yang ada pada SKL SD/MI/SDLB*/Paket A. No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15.
16. 17.
Rumusan SKL Nilai/Karakter Menjalankan ajaran agama yang dianut sesuai dengan Iman dan takwa tahap perkembangan anak. Mengenal kekurangan dan kelebihan diri sendiri. Jujur Mematuhi aturan-aturan sosial yang berlaku dalam Disiplin lingkungannya. Menghargai keberagaman agama, budaya, suku, ras, dan Terbuka, nasionalistik golongan sosial ekonomi di lingkungan sekitarnya. Menggunakan informasi tentang lingkungan sekitar Bernalar, kreatif secara logis, kritis, dan kreatif. Menunjukkan kemampuan berpikir logis, kritis, dan Bernalar, kreatif kreatif, dengan bimbingan guru/pendidik. Menunjukkan rasa keingintahuan yang tinggi dan Terbuka, bernalar menyadari potensinya. Menunjukkan kemampuan memecahkan masalah Bernalar sederhana dalam kehidupan sehari-hari. Menunjukkan kemampuan mengenali gejala alam dan Terbuka, bernalar sosial di lingkungan sekitar. Menunjukkan kecintaan dan kepedulian terhadap Peduli, tanggung jawab lingkungan. Menunjukkan kecintaan dan kebanggaan terhadap Nasionalistik bangsa, negara, dan tanah air Indonesia. Menunjukkan kemampuan untuk melakukan kegiatan Kreatif, tanggung jawab seni dan budaya lokal. Menunjukkan kebiasaan hidup bersih, sehat, bugar, Bersih, tanggung jawab aman, dan memanfaatkan waktu luang. Berkomunikasi secara jelas dan santun. Santun Bekerja sama dalam kelompok, tolong-menolong, dan Gotong royong, peduli menjaga diri sendiri dalam lingkungan keluarga dan teman sebaya. Menunjukkan kegemaran membaca dan menulis. Gigih Menunjukkan keterampilan menyimak, berbicara, Bernalar membaca, menulis, dan berhitung.
3. Substansi Nilai/Karakter yang ada pada SKL SMP/MTs/SMPLB/Paket B. No. Rumusan SKL Nilai/Karakter 1. Mengamalkan ajaran agama yang dianut sesuai dengan Iman dan takwa tahap perkembangan remaja. 2. Menunjukkan sikap percaya diri. adil 3. Mematuhi aturan-aturan sosial yang berlaku dalam disiplin lingkungan yang lebih luas. 4. Menghargai keberagaman agama, budaya, suku, ras, dan nasionalistik golongan sosial ekonomi dalam lingkup nasional. 5. Mencari dan menerapkan informasi dari lingkungan Bernalar, kreatif sekitar dan sumber-sumber lain secara logis, kritis, dan kreatif. 6. Menunjukkan kemampuan berpikir logis, kritis, kreatif, bernalar, kreatif
7. 8. 9. 10. 11.
12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19.
20.
dan inovatif. Menunjukkan kemampuan belajar secara mandiri sesuai Gigih, tanggung jawab dengan potensi yang dimilikinya. Menunjukkan kemampuan menganalisis dan bernalar memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari. Mendeskripsi gejala alam dan sosial. Terbuka, bernalar Memanfaatkan lingkungan secara bertanggung jawab. Tanggung jawab Menerapkan nilai-nilai kebersamaan dalam kehidupan Nasionalistik, gotong bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara demi royong terwujudnya persatuan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Menghargai karya seni dan budaya nasional. Peduli, nasionalistik Menghargai tugas pekerjaan dan memiliki kemampuan Tanggung jawab, kreatif untuk berkarya. Menerapkan hidup bersih, sehat, bugar, aman, dan Bersih dan sehat memanfaatkan waktu luang. Berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dan santun. Santun, bernalar Memahami hak dan kewajiban diri dan orang lain dalam Terbuka, Tanggung pergaulan di masyarakat. jawab Menghargai adanya perbedaan pendapat. Terbuka, adil Menunjukkan kegemaran membaca dan menulis naskah Gigih, kreatif pendek sederhana. Menunjukkan keterampilan menyimak, berbicara, Gigih, kreatif membaca, dan menulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris sederhana. Menguasai pengetahuan yang diperlukan untuk mengikuti Bervisi, bernalar pendidikan menengah.
4. Substansi Nilai/Karakter yang ada pada SKL SMA/MA/SMALB*/Paket C. No. Rumusan SKL Nilai/Karakter 1. Berperilaku sesuai dengan ajaran agama yang dianut Iman dan takwa sesuai dengan perkembangan remaja. 2. Mengembangkan diri secara optimal dengan adil memanfaatkan kelebihan diri serta memperbaiki kekurangannya. 3. Menunjukkan sikap percaya diri dan bertanggung jawab Tanggung jawab atas perilaku, perbuatan, dan pekerjaannya. 4. Berpartisipasi dalam penegakan aturan-aturan sosial. disiplin 5. Menghargai keberagaman agama, bangsa, suku, ras, dan nasionalistik golongan sosial ekonomi dalam lingkup global. 6. Membangun dan menerapkan informasi dan pengetahuan bernalar secara logis, kritis, kreatif, dan inovatif. 7. Menunjukkan kemampuan berpikir logis, kritis, kreatif, bernalar dan inovatif dalam pengambilan keputusan. 8. Menunjukkan kemampuan mengembangkan budaya bervisi belajar untuk pemberdayaan diri.
9. 10. 11. 12. 13.
14. 15. 16. 17. 18. 19. 20.
Menunjukkan sikap kompetitif dan sportif untuk gigih mendapatkan hasil yang terbaik. Menunjukkan kemampuan menganalisis dan bernalar memecahkan masalah kompleks. Menunjukkan kemampuan menganalisis gejala alam dan bernalar sosial. Memanfaatkan lingkungan secara produktif dan Tanggung jawab bertanggung jawab. Berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat, nasionalistik berbangsa, dan bernegara secara demokratis dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Mengekspresikan diri melalui kegiatan seni dan budaya. peduli Mengapresiasi karya seni dan budaya. kreatif Menghasilkan karya kreatif, baik individual maupun Kreatif kelompok. Menjaga kesehatan dan keamanan diri, kebugaran bersih jasmani, serta kebersihan lingkungan. Berkomunikasi lisan dan tulisan secara efektif dan santun. Santun Memahami hak dan kewajiban diri dan orang lain dalam Tanggung jawab pergaulan di masyarakat. Menghargai adanya perbedaan pendapat dan berempati Terbuka, peduli terhadap orang lain
5. Substansi Nilai/Karakter yang ada pada SKL SMK/MAK No. Rumusan SKL Nilai/Karakter 1. Berperilaku sesuai dengan ajaran agama yang dianut Iman dan takwa sesuai dengan perkembangan remaja. 2. Mengembangkan diri secara optimal dengan Gigih, adil memanfaatkan kelebihan diri serta memperbaiki kekurangannya. 3. Menunjukkan sikap percaya diri dan bertanggung jawab Tanggung jawab atas perilaku, perbuatan, dan pekerjaannya. 4. Berpartisipasi dalam penegakan aturan-aturan sosial. disiplin 5. Menghargai keberagaman agama, bangsa, suku, ras, dan nasionalistik golongan sosial ekonomi dalam lingkup global. 6. Membangun dan menerapkan informasi dan pengetahuan kreatif secara logis, kritis, kreatif, dan inovatif. 7. Menunjukkan kemampuan berpikir logis, kritis, kreatif, Bernalar, kreatif dan inovatif dalam pengambilan keputusan. 8. Menunjukkan kemampuan mengembangkan budaya Peduli,tanggung jawab belajar untuk pemberdayaan diri. 9. Menunjukkan sikap kompetitif dan sportif untuk Gigih, adil mendapatkan hasil yang terbaik. 10. Menunjukkan kemampuan menganalisis dan bernalar memecahkan masalah kompleks. 11. Menunjukkan kemampuan menganalisis gejala alam dan bernalar sosial. 12. Memanfaatkan lingkungan secara produktif dan Peduli, tanggung
13.
14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22.
23.
bertanggung jawab. jawab Berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat, nasionalistik berbangsa, dan bernegara secara demokratis dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Mengekspresikan diri melalui kegiatan seni dan budaya. Peduli, kreatif Mengapresiasi karya seni dan budaya kreatif Menghasilkan karya kreatif, baik individual maupun kreatif kelompok. Menjaga kesehatan dan keamanan diri, kebugaran Bersih, peduli jasmani, serta kebersihan lingkungan. Berkomunikasi lisan dan tulisan secara efektif dan Santun santun. Memahami hak dan kewajiban diri dan orang lain dalam Terbuka, adil pergaulan di masyarakat. Menghargai adanya perbedaan pendapat dan berempati Terbuka, adil terhadap orang lain. Menunjukkan keterampilan membaca dan menulis Gigih,terbuka naskah secara sistematis dan estetis. Menunjukkan keterampilan menyimak, membaca, Gigih, bernalar menulis, dan berbicara dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Menguasai kompetensi program keahlian dan Bervisi, gigih, kewirausahaan baik untuk memenuhi tuntutan dunia kerja tanggung jawab maupun untuk mengikuti pendidikan tinggi sesuai dengan kejuruannya.
B. Konfigurasi Nilai/karakter untuk semua Satuan Pendidikan Secara psikologis dan sosio-kultural pembentukan karakter dalam diri individu merupakan fungsi dari seluruh potensi individu manusia (kognitif, afektif, konatif, dan psikomotorik) dalam konteks interaksi sosio-kultural (dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat) dan berlangsung sepanjang hayat. Konfigurasi karakter dalam konteks totalitas proses psikologis dan sosio-kultural tersebut dapat dikelompokan dalam: Olah Hati (Spiritual and Emotional Development), Olah Pikir (Intellectual Development), Olah Raga dan Kinestetik (Physical and Kinestetic Development), dan Olah Rasa dan Karsa (Affective and Creativity Development). Kerangka Proses Pembudayaan dan Pemberdayaan Karakter A. Strategi Pengembangan Pendidikan Karakter pada Konteks Makro. 1. Pengembangan nilai/karakter dapat dilihat pada dua latar/domain, yaitu pada latar makro dan latar mikro. Latar makro bersifat nasional yang mencakup keseluruhan konteks perencanaan dan implementasi pengembangan nilai/karakter yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan pendidikan nasional. a. Secara makro pengembangan karakter dapat dibagi dalam tiga tahap, yakni perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi hasil. b. Pada tahap perencanaan dikembangkan perangkat karakter yang digali,
dikristalisasikan, dan dirumuskan dengan menggunakan berbagai sumber, antara lain pertimbangan: (1) filosofis – Agama, Pancasila, UUD 1945, dan UU N0.20 Tahuin 2003 beserta ketentuan perundang-undangan turunannya; (2) pertimbangan teoritis- teori tentang otak, psikologis, nilai dan moral, pendidikan (pedagogi dan andragogi) dan sosio-kultural; dan (3) pertimbangan empiris berupa pengalaman dan praktek terbaik (best practices) dari antara lain tokoh-tokoh, sekolah unggulan, pesanren, kelompok kultural dll. 2. Pada tahap implementasi dikembangakan pengalaman belajar (learning experiences) dan proses pembelajaran yang bermuara pada pembentukan karakter dalam diri individu peserta didik. Proses ini dilaksanakan melalui proses pembudayaan dan pemberdayaan sebagaimana digariskan sebagai salah satu prinsip penyelenggaraan pendidikan nasional. Proses ini berlangsung dalam tiga pilar pendidikan yakni dalam sekolah, keluarga, dan masyarakat. Dalam masing-masing pilar pendidikan akan ada dua jenis pengalaman belajar (learning experiences) yang dibangun melalui dua pendekatan yakni intervensi dan habituasi. Dalam intervensi dikembangkan suasana interaksi belajar dan pembelajaran yang sengaja dirancang untuk mencapai tujuan pembentulkan karakter dengan menerapkan kegiatan yang terstruktur (structured learning experiences). Sementara itu dalam habituasi diciptakan situasi dan kondisi (persistence life situation) yang memungkinkan peserta didik di sekolahnya, di rumahnya, di lingkungan masyarakatnya membiasakan diri berperilaku sesuai nilai dan menjadi karakter yang telah diinternalisasi dan dipersonalisai dari dan melalui proses intervensi. Kedua proses tersebut- intervensi dan habituasi harus dikembangkan secara sistemik dan holistik. 3. Pada tahap evaluasi hasil, dilakukan asesmen untuk perbaikan berkelanjutan yang sengaja dirancang dan dilaksanakan untuk mendikteksi aktualisasi karakter dalam diri peserta didik sebagai indikator bahwa proses pembudayaan dan pemberdayaan karakter itu berhasil dengan baik. B. Strategi Pengembangan Budaya dan Karakter pada Konteks Mikro 1. Pada konteks mikro pengembangan karakter berlangsung dalam konteks suatu satuan pendidikan atau sekolah secara holistik (the whole school reform). Sekolah sebagai leading sector, berupaya memanfaatkan dan memberdayakan semua lingkungan belajar yang ada untuk menginisiasi, memperbaiki, menguatkan, dan menyempurnakan secara terus menerus proses pendidikan karakter di sekolah. a. Secara mikro pengembangan nilai/karakter dapat dibagi dalam empat pilar, yakni kegiatan belajar-mengajar di kelas, kegiatan keseharian dalam bentuk budaya sekolah (school culture); kegiatan ko-kurikuler dan/atau ekstra kurikuler, serta kegiatan keseharian di rumah, dan dalam masyarakat. b. Dalam kegiatan belajar-mengajar di kelas, pengembangan nilai/karakter dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan terintegrasi dalam semua mata pelajaran (embeded approach). Khusus untuk mata pelajaran Pendidikan Agama dan Pendidikan Kewarganegaraan, karena memang misinya adalah mengembangkan nilai dan sikap maka pengembangan
nilai/karakter harus menjadi fokus utama yang dapat menggunakan berbagai strategi/metode pendidikan nilai (value/character education). Untuk kedua mata pelajaran tersebut nilai/karakter dikembangkan sebagai dampak pembelajaran (instructional effects) dan juga dampak pengiring (nurturant effects). Sementara itu untuk mata pelajaran lainnya, yang secara formal memiliki misi utama selain pengembangan nilai/karakter, wajib dikembangkan kegiatan yang memiliki dampak pengiring (nurturant effects) berkembangnya nilai/karakter dalam diri peserta didik. c. Dalam lingkungan sekolah dikondisikan agar lingkungan fisik dan sosiokultural sekolah memungkinkan para peserta didik bersama dengan warga sekolah lainnya terbiasa membangun kegiatan keseharian di sekolah yang mencerminkan perwujudan nilai/karakter. d. Dalam kegiatan ko-kurikuler, yakni kegiatan belajar di luar kelas yang terkait langsung pada suatu materi dari suatu mata pelajaran, atau kegiatan ekstra kurikuler, yakni kegiatan sekolah yang bersifat umum dan tidak terkait langsung pada suatu mata pelajaran, seperti kegiatan Dokter Kecil, Palang Merah Remaja, Pecinta Alam dll, perlu dikembangkan proses pembiasaan dan penguatan (reinforcement) dalam rangka pengembangan nilai/karakter. e. Di lingkungan keluarga dan masyarakat diupayakan agar terjadi proses penguatan dari orang tua/wali serta tokoh-tokoh masyarakat terhadap perilaku berkarakter mulia yang dikembangkan di sekolah menjadi kegiatan keseharian di rumah dan di lingkungan masyarakat masing-masing. 2. Konteks mikro pengembangan nilai/karakter merupakan latar utama yang harus difasilitasi bersama oleh Pemerintah Daerah dan Kementrian Pendidikan Nasional. Dengan demikian terjadi proses sinkronisasi antara pengembangan nilai/karakter secara psiko-pedagogis di kelas dan di lingkungan sekolah, secara sosio-pedagogis di lingkungan sekolah dan masyarakat, dan pengembangan nilai/karakter secara social-kultural nasional. Untuk itu sekolah perlu difasilitasi untuk dapat mengembangkan budaya sekolah (school culture). Pengembangan budaya sekolah ini perlu menjadi bagian integral dari pengembangan sekolah sebagai entitas otonom. Dengan demikian setiap satuan pendidikan secara bertahap dan sistemik ditumbuh-kembangkan menjadi sekolah-sekolah yang dinamis dan maju (self-renewal schools). Desain Pendidikan Karakter A. Kerangka Pengembangan budaya sekolah Budaya sekolah memiliki cakupan yang sangat luas, pada umumnya mencakup kegiatan ritual, harapan, hubungan sosio-kultural, aspek demografi, kegiatan kurikuler, kegiatan ekstrakurikuler, proses pengambilan keputusan, kebijakan maupun interaksi sosial antar komponen di sekolah. Budaya sekolah adalah suasana kehidupan sekolah di mana peserta didik berinteraksi dengan sesamanya, guru dengan guru, konselor dengan peserta didik, antar tenaga kependidikan, antara tenaga kependidikan dengan pendidik dan peserta didik, dan antar anggota kelompok masyarakat dengan warga sekolah sekolah. Interaksi internal kelompok dan antar kelompok terikat oleh berbagai aturan, norma, moral serta etika bersama
yang berlaku di suatu sekolah. Kepemimpinan, keteladanan, keramahan, toleransi, kerja keras, disiplin, kepedulian sosial, kepedulian lingkungan, rasa kebangsaan, dan tanggung jawab merupakan nilai-nilai yang dikembangkan dalam budaya sekolah. Selain itu, budaya sekolah diyakini merupakan salah satu aspek yang berpengaruh terhadap perkembangan anak. Menurut penelitian Dr. Teerakiat Jareonsttasin (2000) tentang pengaruh sekolah terhadap perkembangan anak, ditemukan empat hal utama (input dan output) yang saling mempengaruhi. Yang terpenting adalah iklim atau budaya sekolah. Jika suasana sekolah penuh kedisiplinan, kejujuran, kasih sayang maka hal ini akan menghasilkan output yang diinginkan berupa katakter yang baik. Pada saat yang sama, guru akan merasakan kedamaian dan suasana sekolah seperti itu akan meningkatkan pengelolaan kelas. Dengan pengelolaan kelas yang baik maka akan menyebabkan prestasi akademik yang tinggi. Sebuah temuan penting lainnya adalah bila siswa memiliki karakter yang baik, maka hal ini akan berpengaruh langsung terhadap prestasi akademik yang tinggi. Karena itu langkah pertama dalam mengaplikasikan pendidikan karakter di sekolah adalah menciptkan suasana atau iklim sekolah yang cocok yang akan membantu transformasi guru-guru dan siswa, juga staf-staf sekolah. Hal ini termasuk di dalamnya adalah objektif atau tujuan yang tepat untuk sekolah, misi sekolah, kepemimpinan sekolah, kebijakan dan visi pihak manajemen moral para staf dan guru, serta partisipasi orang tua dan siswa. Sesunngguhnya, semua langkah dalam model pembelajaran nilai-nilai karakter ini akan berkontribusi terhadap budaya sekolah. Sebagai salah satu contoh kecil tentang kebersihan lingkungan sekolah, baik di kamar mandi/WC, di ruang kelas, di lorong-lorong maupun di luar gedung sekolah/taman sekolah. Hal itu hanya dapat dilakukan di sekolah dengan dukungan manajemen sekolah yang mempunyai kepedulian yang tinggi terhadap kebersihan lingkungan. Kondisi sekolah seperti itu dilaksanakan melalui program sekolah bersama antara manajemen sekolah, guru, siswa dan orang tua siswa. Di setiap sudut ruang, terdapat tempat sampah yang dapat digunakan untuk menyimpan sampah kering dan basah serta sampah yang dapat di daur ulang. Siswa dikondisikan untuk membuang sampah ke tempat yang sesuai dengan jenis sampah dan melalui pembiasaan seperti itu diharapkan kepedulian siswa menjadi lebih tinggi terhadap kebersihan lingkungan. B. Integrasi Nilai dalam Kegiatan Intrakurikuler dan Kokurikuler Perencanaan dan pelaksanaan pendidikan budaya dan karakter bangsa dilakukan oleh kepala sekolah, guru, tenaga kependidikan (konselor) secara bersama-sama sebagai suatu komunitas pendidik diterapkan ke dalam kurikulum melalui kegiatan-kegiatan sebagai berikut: Program Pengembangan Diri Dalam program pengembngan diri, perencanaan dan pelaksanaan pendidikan budaya dan karakter bangsa dilakukan melalui pengintegrasian ke dalam kegiatan sehari-hari sekolah yaitu melalui hal-hal sebagai berikut: a. Kegiatan rutin sekolah
Kegiatan rutin merupakan kegiatan yang dilakukan peserta didik secara terus menerus dan konsisten setiap saat. Contoh kegiatan ini adalah: upacara pada hari besar kenegaraan, pemeriksaan kebersihan badan (kuku, telinga, rambut dan lainlain) setiap hari Senin, beribadah bersama/sembahyang bersama setiap dhuhur (bagi yang beragama Islam), berdoa waktu mulai dan selesai pelajaran, mengucap salam bila bertemu guru/tenaga kependidikan yang lain dan sebagainya. b. Kegiatan spontan Kegiatan spontan yaitu kegiatan yang dilakukan secara spontan pada saat itu juga. Kegiatan ini dilakukan biasanya pada saat guru dan tenaga kependidikan yang lain mengetahui adanya perbuatan yang kurang baik dari peserta didik yang harus dikoreksi pada saat itu juga. Apabila guru mengetahui adanya perilaku dan sikap yang kurang baik maka pada saat itu juga guru harus melakukan koreksi sehingga peserta didik tidak akan melakukan tindakan yang tidak baik tersebut. Contoh kegiatan tersebut adalah: membuang sampah tidak pada tempatnya, berteriakteriak sehingga mengganggu pihak lain, berkelahi, melakukan bullying, memalak, berlaku tidak sopan, mencuri, berpakaian tidak senonoh dan sebagainya. Kegiatan spontan berlaku untuk perilaku dan sikap peserta didik yang tidak baik dan yang baik sehingga perlu dipuji, misalnya: memperoleh nilai tinggi, menolong orang lain, memperoleh prestasi dalam olahraga atau kesenian, berani menentang/mengkoreksi perilaku teman yang tidak terpuji dan sebagainya. c. Teladan Keteladanan adalah perilaku dan sikap guru dan tenaga kependidikan yang lain dalam memberikan contoh terhadap tindakan-tindakan yang baik sehingga diharapkan menjadi panutan bagi peserta didik untuk mencontohnya. Jika guru dan tenaga kependidikan yang lain menghendaki agar peserta didik berperilaku dan bersikap sesuai dengan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa maka guru dan tenaga kependidikan yang lain adalah orang yang pertama dan utama memberikan contoh bagaimana berperilaku dan bersikap sesuai dengan nilai-nilai tersebut. Misalnya berpakaian rapi, datang tepat pada waktunya, bekerja keras, bertutur kata sopan, kasih sayang, perhatian terhadap peserta didik, jujur, menjaga kebersihan dan sebagainya. d. Pengkondisian Untuk mendukung keterlaksanaan pendidikan budaya dan karakter bangsa maka sekolah harus dikondisikan sebagai pendukung kegiatan tersebut. Sekolah harus mencerminkan kehidupan sekolah yang mencerminkan nilai-nilai dalam budaya dan karakter bangsa yang diinginkan. Misalnya toilet yang selalu bersih, bak sampah ada di berbagai tempat dan selalu dibersihkan, sekolah terlihat rapi dan alat belajar ditempatkan teratur. C. Pengintegrasian dalam Semua Mata Pelajaran Pengembangan nilai-nilai dan karakter diintegrasikan dalam setiap pokok bahasan dari setiap mata pelajaran. Nilai-nilai tersebut dicantumkan dalam Silabus dan Rencana Program Pembelajaran (RPP). Pengembangan nilai-nilai tersebut dalam
Silabus ditempuh melalui cara-cara sebagai berikut: a. mengkaji Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD) untuk menentukan apakah kandungan nilai-nilai dan karakter yang secara tersirat atau tersurat dalam SK dan KD di atas sudah tercakup di dalamnya. b. menggunakan tabel 1 yang memperlihatkan keterkaitan antara SK/KD dengan nilai dan indikator untuk menentukan nilai yang akan dikembangkan. c. mencantumkankan nilai-nilai dan karakter bangsa dalam tabel 1 tersebut ke dalam silabus. d. mencantumkan nilai-nilai yang sudah tercantum dalam silabus ke RPP. e. mengembangkan proses pembelajaran peserta didik aktif, inovatif, kreatif, efektif dan menyenangkan yang memungkinkan peserta didik memiliki kesempatan melakukan internalisasi nilai dan menunjukkannya dalam perilaku yang sesuai. f. memberikan bantuan kepada peserta didik yang mengalami kesulitan untuk internalisasi nilai maupun untuk menunjukkannya dalam perilaku. Praktik pendidikan karakter di sekolah bukan hanya menjadi tanggung jawab mata pelajaran Agama atau Pendidikan Kewarganegaraan (PKn). Selama ini ada kesan mata pelajaran yang lain hanya mengajarkan pengetahuan sesuai dengan bidangnya ilmu, teknologi atau seni. Padahal seharusnya proses pembelajaran nilai-nilai karakter idealnya diintegrasikan di dalam setiap mata pelajaran atau mengintegrasikan nilai-nilai karakter ke dalam antar mata pelajaran. Fenomena seperti itu yang tampaknya menjadi alasan Charles Handy, seorang bussiness philosopher, yang menganjurkan untuk merombak total pendidikan. Dalam artikel berjudul Finding Sense in Uncertainty, dia menjelaskan pendidikan selama ini berangkat dari asumsi yang keliru, yaitu bahwa semua problema di dunia ini telah diketahui dan guru mengetahui cara pemecahannya. Jadi tugas guru dipersepsikan hanya menyampaikan problema serta cara pemecahannya, dan setelah itu pendidikan dianggap selesai. Padahal senyatanya, problema itu terus berubah dan tentu guru belum mengetahui, apalagi cara pemecahannya. Belajar tentang ilmu pengetahuan tetap penting, tetapi hal itu kini lebih mudah dilakukan, karena banyak sumber informasi yang dapat dipelajari. Oleh karena itu, pendidikan seharusnya diarahkan untuk membantu siswa belajar bagaimana memperoleh ilmu pengetahuan itu dan yang tidak kalah penting adalah apa yang harus dilakukan dengan ilmu pengetahuan itu. Di situ tersirat perlunya karakter sebagai wahana perwujudan dimensi aksiologi dari berilmu. Dari situ dapa disimpulkan bahwa pendidikan seharusnya diarahkan untuk mengembangkan kemampuan siswa dalam memperoleh pengetahuan dan bagaimana menggunakannya guna memecahkan problema kehidupan dengan arif, kreatif, dan bertanggung jawab. Persoalannya kini adalah bagaimana hubungan antara pendidikan karakter dengan mata pelajaran? Keduanya tetap diperlukan dan harus saling melengkapi. Dalam pengembangan pendidikan karakter, seharusnya mata pelajaran dipahami sebagai pesan dan alat (as medium and message) yaitu sebagai wahana pembudayaan dan pemberdayaan individu. Misalnya Guru Fisika harus sadar bahwa pembahasan materi Fisika diarahkan untuk mengembangkan kemampuan siswa dalam memahami fenomena alam dari sudut pandang teori Fisika, menggali
berbagai sumber informasi dan menganalisisnya untuk menyempurnakan pemahaman tersebut, mengkomunikasikan pemahaman tersebut kepada orang lain, dan memahami bahwa fenomena seperti itu tidak lepas dari ”peran” Sang Pencipta. Pengembangan pendidikan karakter seperti itu, dapat dilakukan melalui metoda pembelajaran yang dipilih guru. Misalnya, untuk mengembangkan kecakapan berkomunikasi, guru dapat memilih metoda diskusi atau siswa diminta presentasi. Untuk mengembangkan kecakapan bekerja sama, disiplin, kerja kelompok dalam praktikum dapat diterapkan. Yang penting adalah bahwa aspekaspek tersebut sengaja dirancang dan dinilai hasilnya sebagai bentuk hasil belajar pendidikan karakter. Ada banyak cara mengintegrasikan nilai-nilai karakter ke dalam mata pelajaran, antara lain: Mengungkapkan nilai-nilai yang dalam mata pelajaran, pengintegrasian langsung di mana nilai-nilai karakter menjadi bagian terpadu dari mata pelajaran, menggunakan perumpamaan dan membuat perbandingan dengan kejadian-kejadian serupa dalam hidup para siswa, mengubah hal-hal negatif menjadi nilai positif, mengungkapkan nilai-nilai melalui diskusi dan brainstroming, Menggunakan cerita untuk memunculkan nilai-nilai, menceritakan kisah hidup orang-orang besar, menggunakan lagu-lagu dan musik untuk mengintegrasikan nilai-nilai, menggunakkann drama untuk melukiskan kejadiankejadian yang berisikan nilai-nilai, menggunakan berbagai kegiatan seperti kegiatan pelayanan, field trip dan klub-klub atau kelompok kegiatan untuk memunculkan nilai-nilai kemanusiaan. D. Integrasi Nilai dalam Kegiatan Ko-Kurikuler dan Ekstrakurikuler. Kegiatan ko-kurikuler dan ekstrakurikuler akan semakin bermakna (meaningful learning) jika diisi dengan berbagai kegiatan bermuatan nilai yang menarik dan bermanfaat bagi siswa. Kecenderungan saat ini adalah munculnya gejala keengganan siswa untuk terlibat dalam kegiatan kesiswaan. Masih banyak siswa yang hanya belajar saja, tanpa menghiraukan kegiatan ko-kurikuler apalagi kegiatan ekstra kurikuler. Alasannya malas, mengganggu konsentrasi belajar, hanya membuang waktu, atau tidak bermanfaat. Tidak sedikit juga kegiatan siswa yang tidak mendukung peningkatan personal growth and development. Misalnya kegiatannya bagus yaitu seminar ilmiah, namun siswa banyak yang berkerumun di luar ruangan karena menjadi panitia logistik, penerima tamu. Akhirnya siswa yang berorganisasi menjadi panitia tidak mendapatkan pembelajaran dari seminar tersebut. Padahal pekerjaan teknis sebenarnya dapat disederhanakan. Hal ini terpulang kembali pada ada tidaknya pendampingan oleh guru yang membimbing kegiatan kesiswaan. Jadi kegiatan yang bagaimana yang akan mengembangkan Pendidikan Karakter? Kegiatan yang terencana, terprogram dan tersistem. Setiap kegiatan harus ada coach atau mentornya yang membimbing ke mana arah kegiatan tersebut akan dilaksanakan, walau tidak harus setiap saat ada. Program ini disajikan dengan sangat menarik, mengikutsertakan teknik-teknik simulasi, role play dan diskusi. Pada peningkatan learning skills, peserta didik mendapatkan teknik belajar, pemetaan pikiran, dan teknik membaca. Sedangkan thinking skills difokuskan pada peningkatan kemampuan menyelesaikan persoalan, pengambilan keputusan. Sementara living skills lebih ditekankan pada beberapa hal di
antaranya manajemen diri, membangun impian, teknik berkomunikasi, mengelola konflik dan mengelola waktu. Lain halnya dengan lembaga yang sudah beberapa tahun memiliki program Siswa Unggulan. Siswa yang menjadi peserta adalah siswa pilihan dari berbagai sekolah yang dinyatakan berprestasi. Program ini diisi dengan caring and sharing antara pakar/praktisi dengan siswa seputar isu-isu aktual. Keuntungan program ini adalah dapat menjaring future leader dan membinanya dari sejak awal sebelum mereka lulus. Kemampuan yang ingin ditingkatkan adalah wawasan yang luas, saling menghormati satu sama lain, berjiwa entrepreneur, berpikir kreatif dan kemampuan belajar yang lebih baik. Sebenarnya kegiatan pengembangan Pendidikan Karakter tidak akan optimal bila hanya dilakukan melalui pelatihan, seminar dan workshop. Pengembangan Pendidikan Karakter dipraktekkan berulang-ulang dan didampingi oleh mentor. Seorang pakar dalam bidang pengembangan pendidikan Christoph Hanssert dari Jerman menyarankan agar pengembangan Pendidikan Karakter untuk siswa Indonesia dilakukan dengan cara menjalin jejaring kerja (networking) guru Indonesia dengan guru luar negeri yang melibatkan siswa, misalnya dalam bidang penelitian. Dengan jejaring ini, mau tidak mau siswa akan terpaksa berkomunikasi tulisan dengan menggunakan bahasa asing. Suatu saat siswa ini difasilitasi untuk bertemu bertukar pikiran, saling menghargai pendapat, mempelajari budaya orang lain dan belajar bekerja sama dalam tim. Berbagai kegiatan Unit Kegiatan Siswa seperti yang diselenggarakan oleh berbagai sekolah lainnya, sudah banyak muatan Pendidikan Karakter yang dapat dikembangkan oleh siswa. Hal ini akan berhasil guna jika program yang digulirkan lebih terarah untuk mengembangkan atribut tertentu sesuai dengan kebutuhan populasinya. Unit kegiatan karate saja, apabila dihayati dan benarbenar ditujukan untuk pengembangan pendidikan Karakter siswa, dapat diarahkan untuk memperkuat atribut komitmen, bersemangat, mandiri, dan ketangguhan. Kegiatan pelatihan harus terprogram dengan baik, ada durasi, capaian dan keberlanjutan. Apakah pelatihan akan diarahkan pada transformasi keyakinan, motivasi, karakter, impian. Lantas tidak hanya berhenti di pelatihan tanpa adanya coaching oleh para coach yang tangguh, sampai akhirnya dalam durasi tertentu akan terjadi transformasi diri yang seutuhnya. Prijosaksono dalam buku terbarunya berjudul the Power of Transformation (2005) menuliskan bahwa Transformasi Diri 90 hari akan mampu membangun kebiasaan-kebiasaan baru yang lebih baik. Dalam buku itu juga diuraikan bahwa ada 5 prinsip transformasi yaitu: (1) meyakini dan mendayagunakan kekuatan dan anugrah Tuhan dalam diri; (2) membuat pilihan dan keputusan dalam diri; (3) melakukan kebiasaan-kebiasaan baik secara terus menerus dalam kehidupan ini; (4) mampu membangun interaksi dengan orang lain; (5) mampu bekerja secara sinergis dan kreatif dengan orang lain dalam organisasi. Dalam pelaksanaan pelatihan harus diperhitungkan efisiensi dan efektivitasnya. Sangat tidak efisien kalau pesertanya terlalu banyak dengan fasilitas yang seadanya/terbatas. Untuk itu, perlu dilakukan Multi Level Training (MLT) yaitu pelatihan yang dilakukan secara bertingkat. Mulanya hanya 20-30 orang siswa pilihan yang memiliki kemauan dan kemampuan dalam memimpin,
berbagi pengalaman dan pengetahuan. Setiap satu orang diwajibkan memiliki anggota 3-5 orang dalam durasi tertentu (misalnya 1-2 bulan). Orang baru tersebut dipanggil front liners. Front liners ini melakukan hal yang sama yang dilakukan oleh Up liners. Kegiatan dalam kelompok kecil itu masing-masing adalah pertemuan rutin, sharing, membuat program kecil seperti mengubah kebiasaan yang dinilai buruk selama ini menjadi kebiasaan yang lebih produktif. Dalam kelompok kecil itu lebih banyak dilakukan coaching oleh up liners. Apabila hal ini dilakukan terus menerus, maka metoda training yang efisien akan terwujud tanpa mengurangi kualitas hasil pelatihan tersebut. Masih banyak metoda yang mungkin dapat dilakukan oleh para pendidik kita untuk siswanya. Untuk itu, perlu digali potensi-potensi yang ada di tiap sekolah. Terkadang, apa yang bagus dan dapat diterapkan di satu sekolah dalam pengembangan Pendidikan Karakter belum tentu dapat diterapkan begitu saja di sekolah lainnya. Boleh jadi strategi dan tekniknya akan bervariasi tergantung pada visi sekolah, Pendidikan Karakter yang dimiliki oleh siswa saat ini dan harapan pengembangan Pendidikan Karakter dari siswa, kebutuhan Pendidikan Karakter para pengguna lulusan dan coach dan mentor serta sarana prasarana yang dimiliki sekolah. E. Pembiasaan Perilaku Bermuatan Nilai Dalam kehidupan sehari-hari di sekolah, sekolah harus menerapkan totalitas pendidikan dengan mengandalkan keteladanan, penciptaan lingkungan dan pembiasaan melalui berbagai tugas dan kegiatan. Sehingga seluruh apa yang dilihat, didengar, dirasakan dan dikerjakan oleh siswa adalah pendidikan. Selain menjadikan keteladanan sebagai metode pendidikan utama, penciptaan miliu juga sangat penting. Lingkungan pendidikan itulah yang ikut mendidik. Penciptaan lingkungan disekolah dapat dilakukan melalui: 1) penugasan, 2) pembiasaan, 3) pelatihan, 4) pengajaran, 5) pengarahan, serta 6) keteladanan.Semuanya mempunyai pengaruh yang tidak kecil dalam pembentukan karakter anak didik. Pemberian tugas tersebut disertai pemahaman akan dasar-dasar filosofisnya, sehingga anak didik akan mengerjakan berbagai macam tugas dengan kesadaran dan keterpanggilan. Setiap kegiatan mengandung unsur-unsur pendidikan, sebagai contoh dalam kegiatan kepramukaan, terdapat pendidikan kesederhanaan, kemandirian, kesetiakawanan dan kebersamaan, kecintaan pada lingkungan dan kepemimpinan. Dalam kegiatan olahraga terdapat pendidikan kesehatan jasmani, penanaman sportivitas, kerja sama (team work) dan kegigihan untuk berusaha. Pengaturan kegiatan di sekolah ditangani oleh organisasi pelajar yang terbagi dalam banyak bagian, seperti Ketua, Sekretaris, Bendahara, Keamanan, Pengajaran, Penerangan, Koperasi Pelajar, Koperasi Dapur, Kantin Pelajar, Bersih Lingkungan, Pertamanan, Kesenian, Keterampilan, Olahraga, Penggerak Bahasa. Kegiatan kepramukaan juga ditangani oleh Koordinator Gerakan Pramuka dengan beberapa andalan; Ketua Koordinator Kepramukaan, Andalan Koordinator Urusan Kesekretariatan, Andalan Koordinator Urusan Keuangan, Andalan Koordinator Urusan Latihan, Andalan Koordinator Urusan Perpustakaan, Andalan Koordinator Urusan Perlengkapan, Andalan Koordinator Urusan Kedai Pramuka, dan Pembina Gugusdepan. Pendidikan organisasi ini sekaligus untuk kaderisasi kepemimpinan melalui pendidikan self government. Sementara itu pada level
asrama ada organisasi sendiri, terdiri dari ketua asrama, bagian keamanan, penggerak bahasa, kesehatan, bendahara dan ketua kamar. Setiap klub olah raga dan kesenian juga mempunyai struktur organisasi sendiri, sebagaimana konsulat (kelompok wilayah asal santri) juga dibentuk struktur keorganisasian. Seluruh kegiatan yang ditangani organisasi pelajar ini dikawal dan dibimbing oleh para senior mereka yang terdiri dari para guru staf pembantu pengasuhan santri, dengan dukungan guru-guru senior yang menjadi pembimbing masing-masing kegiatan. Secara langsung kegiatan pengasuhan santri ini diasuh oleh Bapak Pimpinan Pondok yang sekaligus sebagai Pengasuh Pondok. Pengawalan secara rapat, berjenjang dan berlapis-lapis ini dilakukan oleh para santri senior dan guru, dengan menjalankan tugas pengawalan dan pembinaan, sebenarnya mereka juga sedang melalui sebuah proses pendidikan kepemimpinan, karena semua sisswa, terutama siswa senior dan guru adalah kader yang sedang menempuh pendidikan. Pimpinan pondok membina mereka melalui berbagai macam pendekatan; pendekatan program, pendekatan manusiawi (personal) dan pendekatan idealisme. Mereka juga dibina, dibimbing, didukung, diarahkan, dikawal, dievaluasi dan ditingkatkan. Demikianlah pendidikan karakter yang diterapkan d sekolah melalui berbagai macam kegiatannya. Kegiatan yang padat dan banyak akan menumbuhkan dinamika, dinamika yang tinggi akan membentuk militansi dan militansi yang kuat akan menimbulkan etos kerja dan produktivitas. Pada akhirnya anak didik akan mempunyai kepribadian yang dinamis, aktif, dan produktif dalam segala kebaikan. Kehidupan sehari-hari di rumah dan di masyarakat perlu juga mendapat perhatian dalam rangka pendidikan karakter. Banyak manfaat yang bisa diperoleh oleh sekolah dari masyarakat dan sebaliknya yang bisa diperoleh oleh masyarakat dari hadirnya sekolah itu. Antara sekolah dan masyarakat harus mengadakan banyak interaksi. Beberapa komponen masyarakat yang bisa terlibat dalam proses belajar d sekolah yaitu: orang tua, masyarakat. Peran Orang tua. Agar model pembelajaran nilai-nilai karakter bisa berhasil dengan baik, kita membutuhkan orang tua yang benar-benar menjadi partner yang berkomitmen tinggi terhadap proses belajar anak-anak mereka. Orang tua adalah guru di rumah, karenanya mereka harus menganut visi yang sama dengan sekolah demikian pula dengan tujuan sekolah. Orang tua mesti setuju dengan tujuan sekolah untuk menghasilkan anak-anak yang baik yang memiliki nilai-nilai kemanusiaan. Sekolah seyogyanya memberikan pelatihan mengenai human values parenting atau menjadi orang tua yang baik kepada semua ayah, ibu atau yang mengantar anak-anak ke sekolah. Ketika siswa berada di rumah, orang tua mesti meluangkan waktu bertemu bersama anak-anak mereka dan memberikan cinta kasih dan kehangatan. Orang tua dan guru mesti mengadakan pertemuan reguler untuk mendiskusikan masalahmasalah yang dihadapi siswa dan mesti membuat terencana untuk membantu memecahkan masalah-masalah itu. Para orang tua harus berpartisipasi dalam berbagai kegiatan di sekolah dan membagikan pengetahuan dan pengalaman mereka kepada para siswa dan guru. Komunitas atau masyarakat sekitar memiliki peran penting dalam pembentukan karakter anak. Sekolah harus dipandang sebagai suatu sistem hidup yang terus menerus tumbuh dan berkembang. Sekolah juga sedang dalam proses
belajar karena selalu ada interaksi antara setiap orang di sekolah dan komunitas. Guru dan siswa selalu berhubungan dengan orang tua dan kerabat mereka di masyarakat. Berbagai kegiatan yang dilakukan orang tua dapat memainkan peranan penting dalam pengembangan sekolah. Setiap orang di sekolah termasuk semua staf sangat dipengaruhi oleh tempat-tempat ibadah, komunitas pasar, perkantoran dan lain sebagainya. Sebagai bagian dari pembelajaran, siswa harus belajar melayani komunitas atau masyarakat dalam pengembangannya. Mereka mesti turut serta dalam kegiatan pelayanan yang diadakan di tempat-tempat ibadah. Sekolah mesti membantu komunitas untuk mengembangkan dan membantu pendidikan orang-orang dalam komunitas. Ketika komunitas tersebut menjadi sebuah komunitas belajar atau learning communities, maka sekolah akan mendapatkan manfaat besar dari komunitas seperti ini. Rencana aksi pendidikan karakter di sekolah (bagaimana memulainya, bagaimana menjaga kontinuitas Proses ”Pengembangan Pendidikan Karakter” yang menjadi tanggung jawab Kementerian Pendidikan Nasional (Kemdiknas) dan Kementerian Agama (Kemenag), menyangkut tiga komunitas, yakni adalah para murid pada semua jenjang pendidikan (sekolah dasar, sekolah menengah tingkat pertama dan sekilah menengah tingkat atas) di samping juga para guru dan tenaga administratif. Demikian juga beberapa Kementerian yang melakukan proses pendidikan. Dalam konteks ini, maka pengembangan karakter bangsa lebih ditekankan pada kegiatan internalisasi dan pembentukan tingkah laku. Dan untuk kepentingan ini, maka tidak relevan untuk menciptakan kurikulum baru tentang pengembangan karakter, namun lebih menekankan dengan menciptakan lingkungan dan tingkah laku. Dengan mengacu pada referensi Pusat Organisasi, maka setiap sekolah diwajibkan untuk mempunyai statuta yang di dalamnya dicantumkan secara eksplisit dan jelas tentang pengembangan karakter di sekolah tersebut. Dengan statuta tersebut maka kegiatan pengembangan karakter dapat dituntun dan diketahui oleh Pengelola Sekolah, baik oleh Kepala Sekolah maupun oleh Komite Sekolah. Setiap statuta sekolah akan mencantumkan nilai-nilai dasar (core values) yang merupakan ciri khas karakter Bangsa Indonesia, yang bersumbar dari nilainilai agama maupun dari jiwa nasionalisme atau patriotisme. Nilai-nilai dasar tersebut adalah jujur, dapat dipercaya, kebersamaan, peduli kepada orang lain, adil, demokratis, toleransi. Nilai-nilai yang substantif tersebut kemudian dikembangkan dalam satuan-satuan pendidikan sesuai dengan ”local wisdom”, selaras dengan nilai-nilai lokal setempat dalam pola-pola yang lebih detail. Misalnya, cara menghormati atau cara bersopan santun kepada orang lain, cara bertata krama, cara guru memberikan sangsi kepada murid, dan sebagainya. Dalam hal ini, maka perhatian kepada siswa menjadi sangat urgen sebab mereka yang segera akan turun dalam dunia nyata yang berupa masyarakat. Nilai-nilai semacam tersebut di atas harus dilakukan berulang-ulang agar menjadi kebiasaan, dan kebiasaan inilah yang akan menjadi budaya setempat. Untuk kepentingan ini maka tiap satuan pendidikan, harus memiliki buku saku yang berupa pedoman ringkas sehingga bersifat mengikat (otoritatif) sebab disusun dengan kesepakatan bersama. Dengan demikian maka para murid, para guru, para orang tua akan melakukan hal tersebut secara sinergis. Di setiap satuan
pendidikan akan memiliki ”code of conduct”, ”manner management” serta ”organizational culture” yang diperlukan dalam proses pengambangan karakter tersebut. Rencana Aksi Nasional: Gerakan Nasional Pendidikan Karakter Sasaran Sasaran Aksi Nasional Pendidikan (RAN) Pendidikan Karakter adalah seluruh pemangku kepentingan pendidikan dalam konteks sistem pendidikan nasional, dengan fokus utama pada sekolah (peserta didik, pendidik, tenaga kependidikan), keluarga (anak, orang tua, saudara, pembantu); masyarakat (orang-orang di sekitar peserta didik), dan lingkungan. Strategi Dasar Pada dasarnya strategi yang dipakai adalah dengan Intervensi dan habituasi untuk, sekolah, keluarga, masyarakat. Intervensi dapat dilakukan dengan berbagai modus pembelajaran, seperti advokasi, konsultasi, pelatihan dan, refleksi kelompok, diskursus sosio-kultural, sarasehan, seminar, sedangkan habituasi dilakukan dengan pendemonstrasian berbagai contoh teladan sebagai langkah awal pembiasaan, penguatan dalam berbagai bentuk, penataan lingkungan belajar yang menyentuh dan membangkitkan karakter. Secara rinci strategi gerakan pendidikan karakter untuk masing-masing pilar pendidikan karakter (sekolah, keluarga, dan masyarakat) digambarkan sebagai berikut: KARAKTER UTAMA Jujur
KARAKTER
INTERVENSI
HABITUASI
Tujuan: Seluruh anggota keluarga memiliki persepsi, sikap, dan pola tindak yang sama dalam pengembangan karakter Strategi: Orang tua kepada anak: Penegakan tata tertib dan etiket/budi pekerti dalam keluarga Penguatan perilaku berkarakter Pembelajaran kepada anak Sekolah kepada keluarga: Pertemuan orang tua Kunjungan ke rumah Buku penghubung Pelibatan orang tua dalam kegiatan sekolah Pemerintah terhadap keluarga: Fasilitasi pemerintah untuk keluarga
Tujuan: Terbiasanya perilaku yang berkarakter dalam kehidupan sehari-hari Strategi: Keteladanan orang tua Penguatan oleh keluarga Komunikasi antar anggota keluarga Cerdas Tanggung jawab Peduli dan kreatif
INTERVENSI
HABITUASI
UTAMA Jujur
KARAKTER UTAMA Jujur
Tujuan Tujuan Terbiasanya perilaku Terbentuknya karakter peserta didik melalui berbagai kegiatan yang berkarakter di sekolah Strategi: sekolah Keteladanan KS, Strategi: Pendidik, tenaga kependidikan Sekolah terhadap siswa Budaya sekolah yang Intra dan kokurikuler secara terintegrasi pada semua mata bersih, sehat, tertib, disiplin, dan indah pelajaran Menggalakkan kembali Ekstrakurikuler melalui tradisi yang berbagai kegiatan antara lain: KIR, berbagai pramuka, kesenian, olahraga, membangun karakter seperti: hari krida, upacara, piket kelas, dokter kecil, PMR bersama, doa Budaya sekolah dengan ibadah menciptakan suasana sekolah yang (perenungan), hormat orang tua, hormat guru, hormat mencerminkan karakter bendera, program 5 S, cerita Pemerintah terhadap sekolah kepahlawanan Kebijakan Cerdas Pedoman Tanggung jawab Penguatan Peduli dan kreatif Pelatihan INTERVENSI
HABITUASI
Tujuan: Tujuan: Terbangunnya kerangka sistemik Terciptanya suasana perencanaan, pelaksanaan dan penilaian yang kondusif dalam pendidikan karakter secara nasional masyarakat yang Terciptanya suasana kondusif mencerminkan koherensi dalam masyarakat yang mencerminkan pembangunan karakter kepekaan kesadaran kemauan dan secara nasional tanggung jawab untuk membangun Tumbuhnya karakter utama keteladanan dalam masyarakat Strategi: Dari pemerintah: Strategi: Pengembangan grand design Keteladanan dan pendidikan karakter penguatan dalam kehidupan Pencanangan nasional pendidikan masyarakat karakter Cerdas Pengembangan perangkat Tanggung jawab pendukung pendidikan karakter, antara Peduli dan kreatif lain: iklan layanan masyarakat, sajian multimedia (poster, siaran tv, siaran radio) Dalam masyarakat: Pengembangan peranan komite sekolah dalam pembangunan karakter berbasis PAIKEM.
Perintisan berbagai kegiatan kemasyarakatan, pengabdian kepada masyarakat yang melibatkan peserta didik Pelibatan semua komponen bangsa dalam pendidikan karakter, al: media massa
Prinsip dan Pendekatan dan Program Pengembangan Pendidikan Karakter Secara prinsipil, pengembangan karakter tidak dimasukkan sebagai pokok bahasan tetapi terintegrasi ke dalam mata pelajaran, pengembangan diri dan budaya sekolah. Oleh karena itu guru dan sekolah perlu mengintegrasikan nilainilai yang dikembangkan dalam pendidikan budaya dan karakter bangsa ke dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP, silabus dan RPP) yang sudah ada. Prinsip pembelajaran yang digunakan dalam pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa mengusahakan agar peserta didik mengenal dan menerima nilai-nilai budaya dan karakter bangsa sebagai milik mereka dan bertanggung jawab atas keputusan yang diambilnya melalui tahapan mengenal pilihan, menilai pilihan, menentukan pendirian, dan selanjutnya menjadikan suatu nilai sesuai dengan keyakinan diri. Dengan prinsip ini peserta didik belajar melalui proses berpikir, bersikap, dan berbuat. Ketiga proses ini dimaksudkan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik dalam melakukan kegiatan sosial dan mendorong peserta didik untuk melihat diri sendiri sebagai makhluk sosial. Berikut prinsip-prinsip yang digunakan dalam pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa: 1. Berkelanjutan mengandung makna bahwa proses pengembangan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa merupakan sebuah proses panjang dimulai dari awal peserta didik masuk sampai selesai dari suatu satuan pendidikan. Sejatinya, proses tersebut dimulai dari kelas satu SD atau tahun pertama dan berlangsung paling tidak sampai kelas 9 atau kelas terakhir SMP. Pendidikan budaya dan karakter bangsa di SMA adalah kelanjutan dari proses yang telah terjadi selama 9 tahun. 2. Melalui semua mata pelajaran, pengembangan diri, dan budaya sekolah mensyaratkan bahwa proses pengembangan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa dilakukan melalui setiap mata pelajaran, dan dalam setiap kegiatan kurikuler dan ekstra kurikuler. 3. Nilai tidak diajarkan tapi dikembangkan (value is neither cought nor taught, it is learned) mengandung makna bahwa materi nilai-nilai dan karakter bangsa bukanlah bahan ajar biasa. Tidak semata-mata dapat ditangkap sendir atau diajarkan, tetapi lebih jauh diinternalisasi melalui proses belajar. Artinya, nilainilai tersebut tidak dijadikan pokok bahasan yang dikemukakan seperti halnya ketika mengajarkan suatu konsep, teori, prosedur, atau pun fakta seperti dalam mata pelajaran agama, bahasa Indonesia, PKn, IPA, IPS, matematika, pendidikan jasmani dan kesehatan, seni, keterampilan, dan sebagainya. Materi pelajaran biasa digunakan sebagai bahan atau media untuk mengembangkan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa. Oleh karena itu guru tidak perlu mengubah pokok bahasan yang sudah ada tetapi menggunakan materi pokok bahasan itu untuk mengembangkan nilai-nilai dan karakter bangsa. Juga, guru tidak harus
mengembangkan proses belajar khusus untuk mengembangkan nilai. Suatu hal yang selalu harus diingat bahwa satu aktivitas belajar dapat digunakan untuk mengembangkan kemampuan dalam ranah kognitif, afektif dan psikomotor. Konsekuensi dari prinsip ini nilai-nilai budaya dan karakter bangsa tidak ditanyakan dalam ulangan ataupun ujian. Walaupun demikian, peserta didik perlu mengetahui pengertian dari suatu nilai yang sedang mereka tumbuhkan pada diri mereka. Mereka tidak boleh berada dalam posisi tidak tahu dan tidak paham makna nilai tersebut. 4. Proses pendidikan dilakukan peserta didik secara aktif dan menyenangkan. Prinsip ini menyatakan bahwa proses pendidikan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa dilakukan oleh peserta didik bukan oleh guru. Guru menerapkan prinsip ”tut wuri handayani” dalam setiap perilaku yang ditunjukkan peserta didik. Prinsip ini juga menyatakan bahwa proses pendidikan dilakukan dalam suasana belajar yang menimbulkan rasa senang dan tidak indoktrinatif yang dikembangkan dalam PAIKEM. Diawali dengan perkenalan terhadap pengertian nilai yang dikembangkan maka guru menuntun peserta didik agar secara aktif (tanpa mengatakan kepada peserta didik bahwa mereka harus aktif tapi guru merencanakan kegiatan belajar yang menyebabkan peserta didik aktif merumuskan pertanyaan, mencari sumber informasi dan mengumpulkan informasi dari sumber, mengolah informasi yang sudah dimiliki, merekonstruksi data/fakta/nilai, menyajikan hasil rekonstruksi/proses pengembangan nilai) menumbuhkan nilai-nilai budaya dan karakter pada diri mereka melalui berbagai kegiatan belajar yang terjadi di kelas, sekolah, dan tugas-tugas di luar sekolah. Pengembangan Proses Pembelajaran Pembelajaran Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa menggunakan pendekatan proses belajar peserta didik belajar aktif dan berpusat pada anak, dilakukan melalui berbagai kegiatan di kelas, sekolah, dan masyarakat . 1. Di Kelas dilaksanakan melalui proses belajar setiap mata pelajaran atau kegiatan yang dirancang khusus. Setiap kegiatan belajar mengembangkan kemampuan dalam ranah kognitif, afektif, dan psikomotor. Oleh karena itu tidak selalu diperlukan kegiatan belajar khusus untuk mengembangkan nilainilai pada pendidikan budaya dan karakter bangsa. Meski pun demikian, untuk pengembangan nilai-nilai tertentu seperti kerja keras, jujur, toleransi, disiplin, mandiri, semangat kebangsaan, cinta tanah air, dan gemar membaca dapat dikembangkan melalui kegiatan belajar yang biasa dilakukan guru. Untuk pengembangan beberapa nilai lain seperti peduli sosial, peduli lingkungan, rasa ingin tahu, dan kreatif memerlukan upaya pengondisian sehingga peserta didik memiliki kesempatan untuk memunculkan perilaku yang menunjukkan nilai tersebut. 2. Di Sekolah melalui berbagai kegiatan sekolah yang diikuti seluruh peserta didik, guru, kepala sekolah dan tenaga administrasi di sekolah tersebut, direncanakan sejak awal tahun pelajaran, dan dimasukkan ke Kalender Akademik dan yang dilakukan sehari-hari sebagai bagian dari budaya sekolah. Contoh kegiatan yang dapat dimasukkan ke dalam program sekolah adalah
lomba vokal group antar kelas tentang lagu-lagu bertema cinta tanah air, pagelaran seni, lomba pidato bertema budaya dan karakter bangsa tertentu, pagelaran bertema budaya dan karakter bangsa, lomba olahraga antara kelas, lomba kesenian antara kelas, pameran hasil karya peserta didik bertema budaya dan karakter bangsa tertentu, pameran foto hasil karya peserta didik bertema budaya dan karakter bangsa tertentu, lomba membuat tulisan, lomba mengarang lagu, melakukan wawancara kepada tokoh yang berkaitan dengan budaya dan karakter bangsa, mengundang berbagai nara sumber untuk berdiskusi atau berceramah yang berhubungan dengan karakter bangsa. 3. Di Luar sekolah melalui kegiatan ekstra kurikuler dan kegiatan lain yang diikuti oleh seluruh/sebagian peserta didik, dirancang sekolah sejak awal tahun pelajaran, dan dimasukkan ke dalam Kalender Akademik. Misalnya kunjungan ke tempat-tempat yang menumbuhkan rasa cinta terhadap tanah air, menumbuhkan semangat kebangsaan, melakukan pengabdian masyarakat untuk menumbuhkan kepedulian dan kesetiakawanan sosial seperti membantu mereka yang tertimpa musibah banjir, memperbaiki atau membersihkan tempat-tempat umum, membantu membersihkan/mengatur barang di tempat ibadah tertentu. Penilaian Hasil Belajar Penilaian pencapaian nilai-nilai budaya dan karakter didasarkan pada indikator. Sebagai contoh, indikator untuk nilai jujur di suatu semester dirumuskan dengan “mengatakan dengan sesungguhnya perasaan dirinya mengenai apa yang dilihat/diamati/dipelajari/dirasakan” maka guru mengamati (melalui berbagai cara) apakah yang dikatakan seorang peserta didik itu jujur mewakili perasaan dirinya. Mungkin saja peserta didik menyatakan perasaannya itu secara lisan tetapi dapat juga dilakukan secara tertulis atau bahkan dengan bahasa tubuh. Perasaan yang dinyatakan itu mungkin saja memiliki gradasi dari perasaan yang tidak berbeda dengan perasaan umum teman sekelasnya sampai bahkan kepada yang bertentangan dengan perasaan umum teman sekelasnya. Penilaian dilakukan secara terus menerus, setiap saat guru berada di kelas atau di sekolah. Model anecdotal record (catatan yang dibuat guru ketika melihat adanya perilaku yang berkenaan dengan nilai yang dikembangkan) selalu dapat digunakan guru. Selain itu guru dapat pula memberikan tugas yang berisikan suatu persoalan atau kejadian yang memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk menunjukkan nilai yang dimilikinya. Sebagai contoh, peserta didik dimintakan menyatakan sikapnya terhadap upaya menolong pemalas, memberikan bantuan terhadap orang kikir, atau hal-hal lain yang bersifat bukan kontroversial sampai kepada hal yang dapat mengundang konflik pada dirinya. Dari hasil pengamatan, catatan anekdotal, tugas, laporan, dan sebagainya guru dapat memberikan kesimpulannya/pertimbangan tentang pencapaian suatu indikator atau bahkan suatu nilai. Kesimpulan/pertimbangan tersebut dapat dinyatakan dalam pernyataan kualitatif sebagai berikut ini. BT: Belum Terlihat (apabila peserta didik belum memperlihatkan tandatanda awal perilaku yang dinyatakan dalam indikator). MT: Mulai Terlihat (apabila peserta didik sudah mulai memperlihatkan adanya tanda-tanda awal perilaku yang dinyatakan dalam indikator tetapi
belum konsisten) MB: Mulai Berkembang (apabila peserta didik sudah memperlihatkan berbagai tanda perilaku yang dinyatakan dalam indikator dan mulai konsisten) MK: Membudaya (apabila peserta didik terus menerus memperlihatkan perilaku yang dinyatakan dalam indikator secara konsisten).
Indikator Sekolah dan Kelas Terdapat 2 (dua) jenis indikator yang dikembangkan dalam pedoman ini. Pertama adalah indikator untuk sekolah dan kelas. Kedua adalah indikator untuk mata pelajaran. Indikator sekolah dan kelas adalah penanda yang digunakan oleh kepala sekolah, guru dan personalia sekolah dalam merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi sekolah sebagai lembaga pelaksana pendidikan budaya dan karakter bangsa. Indikator ini berkenaan juga dengan kegiatan sekolah yang diprogramkan dan kegiatan sekolah sehari-hari (rutin). Indikator mata pelajaran menggambarkan perilaku afektif seorang peserta didik berkenaan dengan mata pelajaran tertentu. Indikator dirumuskan dalam bentuk perilaku peserta didik di kelas dan sekolah yang dapat diamati melalui pengamatan guru ketika seorang peserta didik melakukan suatu tindakan di sekolah, tanya jawab dengan peserta didik, jawaban yang diberikan peserta didik terhadap tugas dan pertanyaan guru, serta tulisan peserta didik dalam laporan dan pekerjaan rumah. Perilaku yang dikembangkan dalam indikator pendidikan budaya dan karakter bangsa bersifat progresif. Artinya, perilaku tersebut berkembang semakin kompleks antara satu jenjang kelas dengan jenjang kelas di atasnya ( 1-3; 4-6; 7-9; 10-12) dan bahkan dalam jenjang kelas yang sama. Guru memiliki kebebasan dalam menentukan berapa lama suatu perilaku harus dikembangkan sebelum ditingkatkan ke perilaku yang lebih kompleks. Misalkan,”membagi makanan kepada teman” sebagai indikator kepedulian sosial pada jenjang kelas 1 – 3. Guru dapat mengembangkannya menjadi “membagi makanan”, membagi pensil, membagi buku, dan sebagainya. Indikator berfungsi bagi guru sebagai kriteria untuk memberikan pertimbangan apakah perilaku untuk nilai tersebut telah menjadi perilaku yang dimiliki peserta didik. Untuk mengetahui bahwa suatu sekolah itu telah melaksanakan pembelajaran yang mengembangkan karakter dikembangkan instrumen asesmen yang akan dijelaskan di bawah ini. Asesmen Asesmen dilakukan dengan observasi, dilanjutkan dengan monitoring pelaksanaan dan refleksi. 1) 2) 1) 2) 3) 1) 2) 3)
Menaati peraturan perundang-undangan dan ketentuan lainnya Menunjukkan perilaku disiplin Bertutur kata secara santun Berpenampilan (fisik) secara sopan Berperilaku santun Menunjukkan diri sebagai pendidik Menunjukkan komitmen terhadap tugas sebagai pendidik Menjaga kode etik profesi pendidik
1) Menaati tata tertib secara konsisten 2) Memiliki disiplin diri secara konsisten 1) Melaksanakan tugas secara mandiri 2) Mengambil keputusan secara mandiri 3) Menilai diri sendiri (melakukan refleksi diri) 1) Bekerja keras 2) Melaksanakan tugas secara bertanggung jawab 3) Mengembangkan diri secara terus menerus sebagai pendidik 1) Bertindak atas dasar kemanfaatan peserta didik 2) Bertindak atas dasar kemanfaatan sekolah 3) Bertindak atas dasar kemanfaatan masyarakat 1) Menerima kritik dan saran untuk perbaikkan 2) Menempatkan diri secara proporsional 1) Mengemukakan pendapat yang berpengaruh positif terhadap peserta didik 2) Menunjukkan tindakan yang berpengaruh positif terhadap peserta didik 1) Berperilaku yang dihormati oleh peserta didik 2) Berperilaku yang dihormati oleh sejawat 3) Berperilaku yang dihormati oleh masyarakat 1) Menghargai ajaran agama 2) Menerapkan ajaran agama 3) Menerapkan norma kejujuran 4) Menunjukkan keikhlasan 1) Bertutur kata sopan sehingga menjadi teladan 2) Berperilaku bersih sehingga menjadi teladan 3) Berperilaku disiplin sehingga menjadi teladan Berperilaku jujur sehingga menjadi 4) Berperilaku peduli sehingga menjadi teladan 5) Berperilaku terpuji sehingga menjadi teladan 1) Mengomunikasikan dan memaknai pesan (message) secara santun 2) Mengembangkan hubungan atas dasar prinsip saling menghormati 3) Mengembangkan hubungan atas dasar prinsip keterbukaan 4) Mengembangkan hubungan berasaskan asah, asih, asuh 1) Bekerja sama atas dasar prinsip saling menghormati 2) Bekerja sama atas dasar prinsip keterbukaan 3) Bekerja sama atas dasar prinsip saling memberi dan menerima
Pelaksanaan intervensi dan habituasi dilakukan secara bertahap tahunan (multiyears). Hal itu dapat dibagankan sebagai berikut: 1. Pelatihan dilakukan untuk: guru, orang tua, dan masyarakat (perangkat desa/kelurahan). 2. Tahun pertama–ketiga, pelatihan dilakukan untuk guru SD dan orang tua murid SD. 3. Tahun keempat, pelatihan dilakukan untuk guru SMP dan SMA serta tenaga kependidikan. 4. Tahun kelima untuk dosen dan tenaga kependidikan. Model yang digunakan adalah ToT (Trainer of Trainer). Setiap peserta yang sudah dilatih wajib melatih lima orang lain dan melaporkan hasil evaluasi, demikian seterusnya Pada masa-masa antara dilakukan monitoring dan evaluasi terhadap kegiatan tersebut.