TIRAKAT ZIARAH MLAKU KE MAKAM WALIYULLAH ( Tinjauan Fenomenologi Terhadap Musafir Di Makam Sunan Kalijaga, Syaikh Kholil Bangkalan, dan Syaikh Syamsuddin Batuampar Madura )
SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S.1) Dalam Ilmu Ushuluddin Jurusan Tasawuf dan Psikoterapi (TP)
Oleh : MUHAMMAD MAHBUB MAULANA NIM : 084411010
FAKULTAS USHULUDDIN INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG 2012
DEKLARASI Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab penulis Nama
: Muhammad Mahbub Maulana
NIM
: 084411010
Jurusan
: Tasawuf dan Psikoterapi (TP)
Menyatakan bahwa skripsi ini tidak berisi materi yang pernah ditulis oleh orang lain atau diterbitkan. Demikian juga skripsi ini tidak berisi pikiran orang lain, kecuali informasi yang terdapat dalam referensi yang dijadikan rujukan.
Semarang, 10 Juni, 2012 Peneliti
M. Mahbub Maulana
bahan
MOTTO ُسهُ فَقَ ْد ع ََرفَ َربّـَه َ َمنْ َع َرفَ نَ ْف Barangsiapa yang mengenal dirinya, maka pasti dia mengenal Tuhannya
∩⊇⊃∪ É=≈t6ø9F{$# ’Í<'ρT[{ ;M≈tƒUψ Í‘$pκ¨]9$#uρ È≅øŠ©9$# É#≈n=ÏF÷z$#uρ ÇÚö‘F{$#uρ ÏN≡uθ≈yϑ¡¡9$# È,ù=yz ’Îû āχÎ) ÏN≡uθ≈uΚ¡¡9$# È,ù=yz ’Îû tβρã¤6xtGtƒuρ öΝÎγÎ/θãΖã_ 4’n?tãuρ #YŠθãèè%uρ $Vϑ≈uŠÏ% ©!$# tβρãä.õ‹tƒ tÏ%©!$# ∩⊇⊇∪ Í‘$¨Ζ9$# z>#x‹tã $oΨÉ)sù y7oΨ≈ysö6ß™ WξÏÜ≈t/ #x‹≈yδ |Mø)n=yz $tΒ $uΖ−/u‘ ÇÚö‘F{$#uρ 190. Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orangorang yang berakal, 191. (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, Maka peliharalah Kami dari siksa neraka. (QS. Ali Imran: 190-191)
PERSEMBAHAN
رح ْي ِم ْ ِب ِ س ِم ﷲِ الﱠر ْح َم ِن الﱠ Alhamdulillah, puji syukur kepada Allah swt yang telah memberiku kukuatan dan kesehatan selama mengerjakan karya kecil ini. Sebuah karya yang mencoba megungkap perjalanan seorang musafir. Tanpa taufiq dan hidayahNya aku yakin karya ini tidak akan selesai. Karena selama perjalanan menggali informasi ke makam-makam para wali khususnya sewaktu berada di Madura, aku diberikan kemudahan-kemudahan yang mungkin tidak perlu dicertitakan di sini. Dan karya ini aku persembahkan untuk: Kedua orang tuaku, Drs. H. Ahmad Taqwim, MA dan Hj. Nurcahyati, yang dengan penuh kasih sayang, do’a dan biaya hingga akhirnya karya kecil ini selesai. Maafkan anakmu ini belum bisa memberi sesuatu yang berarti yang sesuai dengan pengorbananmu dan kasih sayangmu itu. Kepada adik-adikku, Arina Hudana Sani, S.PdI dan suaminya (Arba’i Syafi’i), Hamdan Habib Haidar, Elida Rifgana Nur dan Suaminya (Labibul Umam), dan Ahmad Askarul Afkar. Kalian semua yang telah mendorongku menyelesaikan karya ini. Kalian yang membuatku selalu semangat dalam segala langkahku. Dan kalian orang yang aku sayangi, adikku. Prof. Dr. HM Amin Syukur, MA dan Ibu Dra. Hj Fatimah Utsman, M.Si. yang sudah bagaikan kedua orang tuaku. Bimbingan dan arahan selama anakmu ini tinggal di Perum BPI Blok S 21, membuatku semakin dewasa. Anakmu ini sadar, selama ikut bapak dan ibu pasti banyak kesalahan, maafkan anakmu ini.
Dosen-dosen Ushuluddin, Khususnya Prof. Dr Ghazali Munir, MA, Dr. Sulaiman al Kumayi, M.Ag, Dr. Abdul Muhayya, MA, dan Dr. In’amuzzahidin, M.Ag. Kalian inspirasiku. Terimakasih Sahabatku, Hasisul Ulum Biliyahsi, yang tinggal bersamaku di S 21. Ahfas, dan Acep Husbanul Kamil, pria musholla (primus) al Amin perum Dolog. Kamu semua banyak membentu sahabat....dan selalu berusaha membuatku bahagia. Aku juga tidak lupa pada kawan-kawanku, Muhammad Zainal Abidin, Shonief Hidayat, Mustakhul ad-Demaki, dan Sakinah. Aku tidak akan melupakan jasa-jasamu sewaku membantuku di HMJ TP 2011. Terimakasih banyak. Begitu pula pada teman-temanku jurusan TP 2008, 2009, 2010 dan 2011. Aku merasa kalian adalah sahabatku, saudaraku, dan adikku, don’t forget me. Teman-temanku KMA angkatan 2008. Suka cita seangkatan telah kita rasakan selama kurang lebih 4 tahun, tak terasa secepat ini, masih teringat cerianya waktu OPAK. Semoga suatu saat, atau entah berapa tahun lagi, semoga kita bisa bertemu lagi di Ushuuddin tercinta ini. Dan saudaraku KKN Posko 58 desa Kaliwenang- Grobogan, ada Ummu Istnai, Sumaji, Septi, Syifa, Munir, dan lainnya, spesial buat pak Lurah (Markani). Spesial juga buat teman-teman musafir di manapun berada. Khususnya buat Habib Muhammad al-Qadri dari Surabaya, yang telah menemaniku selama di makam Syaikhona Kholil. Semoga kita bisa bertemu lagi Bib.
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN Penulisan ejaan arab dalam skripsi ini berpedoman pada keputusan menteri agama dan menteri departemen pendidikan republik indonesia nomor : 158 tahun 1987. Dan 0543/u/1987. Tentang pedoman transliterasi arab-latin, dengan beberapa modifikasi sebaga berikut : A. Translitasi ا ب ت ث ج ح خ د ذ ر ز س ش ص ض ط ظ ع
= a = b = t = ts = j = h = kh = d = dz = r = z = s = sy = sh = dh = th = zh = ‘…
B. Singkatan Cet H M ra SAW SWT tt
= Cetakan = Tahun Hijriyah = Tahun Masehi = رضي ﷲ عنه = صلي ﷲ عليه وسلم = سبحان ﷲ و تعاﻟي = tanpa tahun
غ ف ق ك ل م ن و ھه ء ي
= gh = f = q = k = l = m = n =w = h = …’ =y
Untuk Maad â = اalif panjang î = يpanjang û = وpanjang
tp
= tanpa penerbit
KATA PENGANTAR
رح ْي ِم ْ ِب ِ س ِم ﷲِ الﱠر ْح َم ِن الﱠ Segala puji bagi Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang, bahwa atas taufiq dan hidayah-Nya maka penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Skripsi ini berjudul ” Tirakat Mlaku Ke Makam Waliyullah (Tinjauan Fenomenologi Terhadap Musafir di Makam Sunan Kalijaga, Syaikh Kholil Bangkalan, Syaikh Syamsuddin Batuampar Madura)” disusun untuk memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Strata Satu ( S1) Fakultas Ushuluddin Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo Semarang. Dengan penyusunan skripsi ini penulis banyak mendapatkan bimbingan dan saran-saran dari berbagai pihak sehingga penyusunan skripsi ini dapat terselesaikan. Untuk itu penulis menyampaikan terima kasih kepada : 1. Allah SWT yang telah memberian taufiq dan hidayahNya, sehingga peneliti bisa melangkahkan kaki sampai pulau Madura dan bertemu orang-orang yang sangat berkesan. 2. Drs. H. Ahmad Taqwim, MA dan HJ. Nur Cahayati, yang selalu memberi dukungan hingga mencapai jenjang pendidikan yang setinggi ini. 3. Prof. Dr. H. Muhibbin, M.Ag., selaku Rektor beserta civitas Akademika IAIN Walisongo Semarang. 4. Yang Terhormat Bapak Dr. Nasihun Amin, M.Ag; selaku Dekan Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang, dan PD I, PD II, dan PD III Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang.
5. Ketua (Dr Sulaiman al Kumayi) dan Sekretaris (Fitriyati, S.Psi, M. Si) jurusan Tasawuf Psikoterapi Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang. 6. Bapak Dr H Muhayya, M.A, selaku pembimbing I, dan Bapak Dr. H In’amuzzahidin,M. Ag selaku pembimbing II, Penulis mengucapkan banyak terima kasih atas semua saran, arahan, bimbingan, keikhlasan serta kebijaksanaannya meluangkan waktu dalam membimbing penulis melakukan penelitian ini. 7. Segenap Bapak dan Ibu Dosen beserta seluruh karyawan di lingkungan Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang. 8. Juru kunci Makam Sunan Kalijaga, Makam Syaikhona Kholil bnagkalan dan Syaikh Syamsuddin Batuampar Madura. 9. Spesial untuk kawan-kawan di HMJ Jurusan Tasawuf Psikoterapi. Juga kepada semua teman-teman seangkatanku (KMA 2008) terima kasih atas persahabatan dan persaudaraan kita, sehingga aku banyak belajar dari kalian semua. 10. Serta kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, yang tidak bisa penulis sebutkan satu-persatu. Terima kasih atas semuanya. Peneliti tidak dapat memberikan sebagai balas budi atas kebaikan, kemudahan, bantuan serta dukungan kalian, selain ucapan do’a semoga Allah membalas nya, Amien … jazakumullah ahsanal jaza’.
Semarang, 10 Juni 2012 Salam Hormat, Peneliti
M. Mahbub Maulana
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL...................................................................................
i
PERSETUJUAN PEMBIMBING...............................................................
ii
HALAMAN PENGESAHAN.....................................................................
iii
HALAMAN DEKLARASI.........................................................................
iv
HALAMAN MOTTO .................................................................................
iv
HALAMAN PERSEMBAHAN .................................................................
vii
TRANSLITERASI ......................................................................................
viii
KATA PENGANTAR ................................................................................
ix
DAFTAR ISI ..............................................................................................
xi
ABSTRAK ..................................................................................................
xiv
BAB I
BAB II
: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ..............................................
1
B. Penegasan Judul ...........................................................
6
C. Batasan dan Rumusan Masalah ...................................
7
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ....................................
8
E. Tinjauan pustaka ..........................................................
8
F. Metode Penelitian ........................................................
12
G. Sistematika Penulisan ..................................................
19
: GAMBARAN UMUM TENTANG ZIARAH DAN TIRAKAT MLAKU A. Ziarah Kubur dalam Islam ...........................................
21
1. Landasan Normatif Ziarah Kubur..........................
22
2. Tujuan Ziarah ........................................................
27
B. Waliyullah ...................................................................
29
1. Memahami Kehidupan dan Tabaqat Waliyullah ...
29
2. Hubungan antara Kewalian dengan Karomah .......
38
C. Hakikat Tawassul .......................................................
43
D. Ziarah
Mlaku
Ke
Makam
Wali;
Sebagai Tirakat Menuju Allah SWT ...........................
56
E. Safar; Langkah Nyata Dalam Tirakat ..........................
60
1. Tinjauan secara Bahasa .........................................
60
2. Tinjauan istilah Fiqh dan Tasawuf ........................
61
3. Pandangan Ulama’ Tentang Tirakat Mlaku...........
61
4. Motivasi yang Melatarbelakangi safar secara umum dalam kitab
BAB III
Ihya’ulumuddin .....................................................
67
5. Tatakrama dalam Safar ..........................................
70
: FENOMENA PENGALAMAN BERAGAMA PARA MUSAFIR
BAB IV
A. Tempat Tujuan Musafir ...............................................
74
1. Sunan Kalijaga ........................................................
74
2. Madura; ’Surga Para Musafir’ ................................
78
a. Makam Syaikhona Kholil ...................................
81
b. Makam Syaikh Syamsuddin Batuampar.............
84
B. Motivasi Musafir berziarah Mlaku ............................
86
C. Pengalaman Beragama Para Musafir ...........................
92
: TINJAUAN TERHADAP MOTIVASI DAN PENGALAMAN BERAGAMA PARA MUSAFIR .........................................................
94
A. Pengalaman Universal dan Subjektif Para Musafir ................................................................
96
1. Pengalaman Universal Para Musafir .......................
96
2. Pengalaman Subjektif Para Musafir ........................
100
B. Maqâmat dan AhwâL Musafirl....................................
111
a. Maqâmat ...................................................................
111
1. Taubat. ..................................................................
113
2. Zuhud ...................................................................
114
3. Faqir .....................................................................
116
4. Wara’ ....................................................................
117
5. Sabar.....................................................................
117
6. Tawakal ................................................................
121
7. Ridho ....................................................................
122
8. Mahabbah .............................................................
123
9. Makrifat ................................................................
126
b. Ahwal........................................................................
129
C. Meninjau Kembali Motivasi Musafir ..........................
131
D. Keotentikan
Pengalaman
Beragama
Para Musafir ................................................................ BAB V
137
: PENUTUP A. Simpulan ......................................................................
147
a. Motivasi Tirakat Mlaku Para Musafir .....................
147
b. Pengalaman Beragama Para Musafir ......................
148
B. Saran-saran ..................................................................
149
BAGAN I …………………………. ................................................. ……. DAFTAR PUSTAKA DAFTAR RIWAYAT HIDUP FOTO-FOTO LAMPIRAN-LAMPIRAN
49
ABSTRAKSI
Keberadaan musafir, seorang pejalan kaki dari makam waliyullah ke makam yang lain sudah ada sejak lama, namun dari kalangan pesantren lebih fokus menjadikan tirakat ini sekitar tahun 1955. Namun sampai sekarang belum pernah ada penelitian mengenai hal ini. Penelitian yang menggunakan pendekatan fenomenologi untuk berupaya untuk memperoleh ‘esensi’ keberagamaan musafir dan motivasi menjalankan tirakat mlaku ini. Sebuah pendekatan yang akan tetap berbeda dari corak pendekatan teologi. Dan fenomenologi berusaha memperoleh gambaran yang utuh serta struktur fundamental dari keberagamaan manusia secara umum (universal, transcendental, inklusif), dan bukannya gambaran keberagamaan manusia yang bersifat partikuler-eksklusif. Selain itu, pendekatan ini memiliki tiga tugas yang harus dilakukan oleh fenomenologi agama. Pertama, ia harus mencari hakikat dari Yang Maha Suci. Kedua, ia harus memberikan teori evolusi (wahyu), dan yang ketiga, ia harus mempelajari tingkah -laku agamis (kegamaan). Oleh karena itu, fenomenologi di sini merupakan koreksi terhadap pendekatan berpikir ilmiah murni. Pendekatan ini harus ditambah dengan pendekatan dogma. Sebab tanpa pendekatan dogma, agama kehilangan kesuciannya. Sebaliknya juga bila pendekatan secara dogmatis saja, juga tidak bisa, sebab dengan dogma orang lain tidak bisa mengerti Penelitian ini dipusatkan pada tiga makam waliyyulah yang dipercaya sebagai tempat keramat dan tempat yang banyak barokah, dan menjadi tujuan utama musafir. Pertama, Sunan Kalijaga, yang disebut wali ing tanah jowo mempunyai pengaruh sangat di bumi Jawa ini. Kedua, Syaikhona Kholil Bangkalan, sebagai gurunya para ulama’di Nusamtara ini. Dan ketiga, Syaikh Syamsuddin, meskipun tidak diketahui secara pasti sebagaimana kedua tokoh di atas, tapi makam beliau diyakini sebagai tempat yang keramat dan beliau sendiri mengatakan, bahwa barang siapa saja yang menghatamkan al Qur’an di situ, pasti keinginannya akan di kebulkan oleh Allah SWT . Pada awalnya pelaku ziarah mlaku dari kalangan pesantren yang hanya mencari barokah dengan waliyyulah, sosok yang diyakini dekat dengan Allah SWT sehingga jika meminta untuk dido’akan (tawassul), lebih mudah dikabukan oleh Allah SWT. Namun seiring bergantinya tahun ke tahun, tidak hanya musafir yang mempunyai tujuan itu, tapi ada yang lain, diantaranya ‘merguru karo wong mati’, mencari jati diri, mencari ilmu hikmah atau kesaktian, dan melarikan diri dari tanggung jawab. Dari motivasi menjalankan tirakat mlaku itu, dalam mendapat pengalan beragama, musafir satu dengan yang lain berbeda-beda. Ada yang hanya merasa hatinya tenang sekali, merasa puas setelah berziarah, mendapat isyaroh berupa ayat-ayat al-Qur’an yang terlintas didepannya dan bahkan ada juga yang bertemu penghuni makam (waliyullah).
Dengan berbeda-bedanya musafir, berbeda pula tingkah laku mereka. Ada musafir yang cuman satu dua hari di makam, dan ada pula yang berbualan-bulan bahkan bertahun-tahun. Musafir yang sampai bermukim lama di makam tanpa tujuan yang jelas biasanya ruwet (bermasalah). Dari sini dapat disimpulkan terdapat tiga golongan musafir. Pertama, musafir yang mencintai waliyullah dan tugas dari kiai; kedua, terpaksa jadi musafir; dan ketiga, ikut-ikutan jadi musafir.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Memasuki era yang serba praktis dan rasional, tentu akan mendorong pada perubahan sikap kegamaan pada diri seseorang. Keinginan untuk cepat sukses, kaya, dan mencapai derajat yang tinggi di masyarakat dan bahkan disisi Allah merupakan fenomena yang biasa ditemukan dalam masyarakat modern saat ini. Kemampuan akal untuk mencerna tiap hadis dan ayat al-Qur’an yang seharusnya membuat setiap orang mampu termotivasi namun saat ini malah menjadi senjata guna mengotak-atik makna ibadah, amal, pahala, dan yang menyangkut tentang Rohman dan Rohim-Nya Allah SWT. Pemahaman tentang ayat “Minta ampunlah kepada Allah, karena sesungguhnya Allah Maha pengampun”(Qs. An Nuh: 10), ayat tentang amal yang nanti di akhirat akan ditimbang antara kebaikan dan keburukan (al Zazalah: 7-8). Begitu juga hadits yang mengatakan “ Barang siapa yang meninggal dan masih percaya bahwa tada Tuhan selain Allah, maka ia akan masuk surga”1, adanya syafa’at Nabi Muhammad SAW kelak di hari akhir, dan masih banyak lagi. Keterangan-keterangan seperti itu, dengan dipahami secara sekilas, sehingga hilanglah makna penghayatan terhadap sebuah ibadah dan ayat-ayat Allah SWT. Karen Armstrong mengatakan bahwa salah satu alasan mengapa agama tampak tidak relevan pada masa sekarang adalah karena banyak yang tidak lagi memiliki rasa telah dikelilingi oleh yang gaib. Kultur ilmiah telah mendidik manusia untuk memusatkan perhatian hanya kepada dunia fisik dan material yang hadir. Metode penyelidikan seperti itu memang telah membawa banyak hasil. Akan tetapi, salah satu akibatnya adalah hilangnya kepekaan tentang yang “spiritual” atau suci seperti yang melingkupi kehidupan masyarakat yang lebih tradisional pada setiap
1
Muslim, Abu al- Husayni ibn al-Hajjaj al-Qusayri al-Naysaburi. Shahih Muslim. Juz: 1. Beirut: Dar Ihya’ al-Turath al-‘Arabi, tt hlm 68-69
tingkatan dan yang dulunya merupakan esensial pengalaman manusia tentang dunia.2 Kebangkitan sufisme di lingkungan masyarakat modern menyerukan pertanyaan atas sejumlah asumsi yang umum diyakini tentang dampak modernitas terhadap Islam dan masyarakat muslim. Para orientalis dan ilmuan sosial yang mengkaji masyarakat Muslim sepanjang abad ke 20 menerima begitu saja bahwa tarekat sufi telah sirna dengan cepat dan memperoleh tumpuannya hanya pada golongan penduduk yang terbelakang, dan sering kali penduduk perkampungan. A.J Arberry menegaskan bahwa tarekat di banyak tempat tetap “menarik masyarakat bodoh, tetapi tak satupun orang yang terdidik perduli mendukung mereka”. Pernyataan Arberry ini kemudian tersebar luas karena tulisan berpengaruh Clifford Geertz dan Ernest Gellner, yang mengkaji peralihan yang nyata-nyata tak terelakan dari “gaya klasik” Islam kepada “skreptualisme” pada abad ke 19 dan ke 20.3 Sebenarnya pengalaman spiritual yang ada di Indonesia, terutama di Jawa, tidak sepenuhnya hilang. Hal ini disebabkan adanya Pondok Pesantren dan Kiai yang selalu mengajarkan nilai-nilai salafi yang digali dari kitab-kitab klasik. Sehingga dikenal istilah barokah dan karomah, yang sulit dibuktikan secara ilmiah, akan tetapi bisa dirasakan. Sangat berpengaruhnya model pesantren ini di masyarakat yang sudah mengakar sejak Sunan Malik Ibrahim Mendirikan pesantren pada awal abad ke 17, tepatnya tahun 16194, Selama kurang lebih 5 abad tradisi pesantren dan ajarannya berkembang di masyarakat. Tentunya sudah sangat mengakar, apalagi tradisi ini sudah merupakan akulturasi dengan budaya Jawa yang diramu oleh para wali, terutama oleh walisongo. Ini yang menjadi tesis para peneliti orientalis di Jawa terutama MR Woodward, yang mengatakan bahwa Islam di Jawa berbeda dengan di Islam Arab Badui, Islam Marxis Syiria, Muslim Hitam di Amerika dan teokrasi Sufi di
2
Karen Armstrong, Sejarah Tuhan, Bandung: Penerbit Mizan, 2004, hlm 28-29 Julia Day Howel da Martin van Bruinessen, Sufime dan Modern dalam Islam, dalam Urban Sufsm, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008, hlm 9 4 KH Sahal Mahfudz, Pesantran Membentuk Generasi Bertakwa, dalam Nuansa Fiqih Sosial, Yogyakarta: LKiS, 1994, hlm 342 3
Yogyakarta. Ia juga mengemukakan alasan, karena Islam Jawa unik bukan karena ia mempertahankan aspek budaya dan agama pra-Islam, melainkan karena konsep-konsep sufi mengenai kewalian, jalan mistik, dan kesempurnaan manusia ditetapkan dalam formulasi suatu kultus kraton (imperial cult)5 Salah satu tradisi pesantren yang sudah mengakar adalah ziarah kubur ke makam para wali dan kiai-kiai. Hal ini sebagai wujud penghormatan dan mengharap do’a sebagai wasilah (perantara) kepada Allah swt. Selain itu pengalaman spiritual masing masing peziarah telah membawa dampak positif bagi kehidupannya, atau lebih dikenal dengan istilah mendapat barokah, sehingga membuat para peziarah ini kembali berkali- kali ke makam seorang wali untuk membaca al Qur’an, tahlil atau berdo’a. Bahkan tidak jarang peziarah ini berombongan menggunakan bus berziarah ke makam Walisongo, Pamijahan, Habib Kwitang Jakarta, KH Hasyim Asy’ari-Jombang, Gus Mik- Kediri, KH Hamid-Pasuruhan, Mbah Dalhar-Gunung Pring Magelang, syaikh Kholil Bangkalan, Syaikh Syamsuddin -Batuampar Madura, dan sampai Sayidah Fatimah di Pulau Bali. Kepuasan spiritual itulah yang menjadi bagian dari pengalaman spiritual (Religious
Experience)
dan
kemudian
diajarkan
kepada
para
murid.
Ketertundukan murid atau santri terhadap kiai adalah suatu keharusan jika ingin ilmu yang didapatkannya mengandung nilai barokah dan manfaat. Ketertundukan ini berlaku di segala bidang, termasuk di dalamnya keilmuan dan perilaku kiai adalah standar ideal yang harus diturut.6 Oleh karena itu, tidak jarang seorang santri mengikuti tingkah laku gurunya untuk mencapai makam yang tinggi, salah satunya adalah tirakat ziarah mlaku, dari makam wali ke makam wali yang lain. Kemiripan kata antara tirakat dan tarekat, menjadikan sebuah persepsi, bahwa pada dasarnya kata tirakat diambil dari kata tarikat yang artinya jalan7. Namun karena kemudian nama tarikat ini digunakan untuk sistem pembelajaran 5
MR Woodward, Islam Jawa: Kesalehan Normatif versus Kebatinan, Yogyakarta: LKiS, 2006, hlm 364 6 Ahmad Gunaryo, Pesantren dan tasawuf, dalam Tasawuf dan Krisis, Pengantar; Prof. dr HM Amin Syukur, MA dan Dr Abdul Muhayya, MA, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001, hlm 158-159 7 www.kamusslang.com/arti/tirakat, diambil pada 27 maret 2012
tasawuf yang melembaga, maka kata tirakat dalam pengertian Jawa lebih dominan digunakan untuk sebuah riyadhah dan mujahadah secara umum, yang kebanyakan berakar dari pengalaman seorang sufi-ahli tasawuf kemudian diajarkan dan ditulis dalam kitab-kitab. Oleh karena itu, bentuk tirakat yang luas, di kemukakan oleh Sayyid Abi Bakar al-Maky ibn Sayyid Muhammad Syato dalam memberi penjabaran kitab nadham Hidayah al- Auliya’ ila at-thoriq al- auliya’oleh Sayyid Zain bin Ali al Malaibari, mengatakan bahwa setiap syaikh yang berjalan menuju Allah SWT berbeda-beda, karena banyaknya jalan menuju Allah SWT. Pertama, Seperti orang duduk diantara manusia untuk mengajar mereka tentang ibadah dan akhlak yang baik. Oleh al-Ghazali orang yang berilmu, beramalkan ilmunya, dan mengajarkannya di ibaratkan seperti seperti matahari yang menyinari yang lain dan dia sendiri memancarkan sinar, begitu pula seperti misik yang memberi bau harum, dan ia sendiri sudah harum. Kedua, orang yang memperbanyak membaca wirid, puasa, sholat, membaca al Qur’an, yang ini adalah derajatnya orang yang hanya beribadah dan para sholihin. Ketiga, orang yang bermengabdikan diri kepada fuqoha’, para sufi, dan kiai karena itu termasuk ibadah dan menolong orang muslim. Syaikh Abdul Qodir al-Jailani mangatakan, “Aku wushul kepada Allah bukan karena berjaga di malam hari, berpuasa atau di siang hari, akan tetapi karena aku memulyakan orang lain, rendah diri dihadapan orang, dan juga hatiku selamat”. Dan yang keempat, orang yang mencari kayu bakar (maksudnya mencari rizki) untuk bersodaqoh. Ini merupakan bentuk ibadah sunnah yang menghasilkan barokah do’a dari orang muslim.8 Dari keterangan di atas, tentu tidak menutup kemungkinan orang yang berziarah dengan jalan kaki dari makam wali ke makam yang lain ini merupakan metode tersendiri guna mencapai tingkatan spiritual yang tinggi dihadapan Allah SWT. Seseorang yang melakukan tarekat ziarah mlaku ini sering di sebut musafir, meskipun kalimat itu dalam maknanya adalah seseorang yang bepergian. Namun penyebutan ini sudah umum dikalangan masyarakat guna menyebut mereka. 8
Sayyid Abi Bakar Al Maky ibn Sayyid Muhammad Syato, Kifayah al- Atqiya’ wa Minhaj al- Ashfiya’, tp, t.th hlm 13
Tirakat semacam ini masih banyak kita lihat di makam-makam wali, terutama Walisongo. Padahal resikonya lebih besar dari pada pada masa sebelum dengan adanya alat transportasi yang canggih, seperti mobil, sepeda motor, kereta, dan kapal. Banyaknya mobil dan motor di jalan raya mengancam nyawanya, kedatangan musafir ini sering kali dicurigai, sehingga sulitnya mencari bekal di tengah jalan, membuat mereka semakin terpojok. Penulis sangat tertarik meneliti kehidupan dan spiritual mereka, karena ada sebagian dari musafir yang mengatakan tujuannya adalah “belajar karo wong mati” (belajar dengan orang mati). Kalimat ini tidak hanya bermakna berfikir tentang kematian, tetapi, ternyata pengalaman spiritual mereka mampu menembus alam lain, dan tidak sedikit dari mereka yang mampu berkomunikasi dengan orang yang sudah meninggal, yakni para wali yang mereka kunjungi. Kebanyakan musafir ini mengunjungi makam-makam kramat yang ada di berbagai daerah, khususnya di Jawa dan Madura. Tokoh spiritual Jawa adalah sunan Kalijaga. Geertz menyebut Sunan Kalijaga sebagai pahlawan kebudayaan Jawa yang meletakkan model varian Islam Jawa yang sintetik.9 Sedangkan Pengembaraan musafir ini sampai tanah Madura, karena di sana di makamkan Syaikhona Kholil di kabupaten Bagkalan dan Syaikh Syamsuddin di Batuampar kabupaten Pamekasan. Oleh sebab itu, penelitian ini memfokuskan di ketiga makam wali tersebut dengan harapan sudah memberi gambaran secara umum di makam-makam wali yang lain.
B. Penegasan Judul Supaya tidak ada kesalahpahaman dan mempermudah dalam memahami judul skripsi dengan “Tirakat Ziarah Mlaku Ke Makam Waliyullah (Tinjauan Fenomenologi Terhadap Musafir Di Makam Sunan Kalijaga, Syaikh Kholil Bangkalan, Dan Syaikh Syamsuddin Batuampar Madura)”, maka peneliti perlu menjelaskan secara ringkas kata perkata dari judul tersebut. 1. Tirakat adalah dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan menahan hawa nafsu (seperti puasa dan berpantang) dan mengasingkan diri ketampat 9
MR Woodward, Islam Jawa, hlm146
yang sunyi (di gunung dan sebagainya).10 Sedang asalnya dari bahasa arab thariqah yang artinya jalan atau bisa juga tindakan atau amalan rutin seperti bacaan doa, mantra, pantangan, puasa atau gabungan dari kelima unsur tersebut sebagai jalan untuk mencapai pencerahan spiritual atau mencari ilmu tertentu11. Dan ada yang mengambil istilah tirakat berakar dari kata taraka dalam bahasa arab, yang menunjuk pengertian meninggalkan, maksudnya meninggalkan keduniaan dunia.12 2. Ziarah adalah kunjungan ke tempat yang dianggap keramat atau mulia oleh masyarakat tertentu yang merupakan tradisi turun temurun, seperti makam, petilasan dan sebagainya.13 3. Mlaku barasal dari bahasa jawa yang berarti berjalan kaki 4. Makam atau Kubur adalah sebuah bangunan sebagai tanda akan adanya jasad seseorang yang “ditanam” didalamnya.14 Dalam penelitan ini ditentukan tiga makam yakni makam Sunan Kalijaga, Syaikhona Kholil Bangkalan, dan Syaikh Syamsuddin Batuampar Madura. 5. Waliyullah adalah seorang yang sibuk dengan Tuhan dan menghabiskan hidupnya untuk bergaul dengan-Nya. Sehingga ia memperoleh derajat yang tinggi dihadapan Allah SWT15. 6. Tinjauan adalah pandangan atau pendapat setelah menyelidiki dan mempelajari16.
10
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa DEPDIKBUD, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, 1990, hlm. 950 11 www.kamusslang.com/arti/tirakat, 12 http://abdurrahmanbinsaid . wordpress. com/ 2008/10/09/puasa- bukan-tirakat/, diambil pada 27 Maret 2012 13 Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa DEPDIKBUD, Kamus Besar Bahasa Indonesia, hlm 1018 14 Hasan Sadili, Ensiklopedia Indonesia, Ikhtiar Baru, Jakarta, 1980, hlm. 75 15 In’amuzzahidin, Dari Waliyullah menjadi Wali Gila; antara tasawuf dan psikologi, Semarang: Syifa Press, 2007, hlm 51 16
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa DEPDIKBUD, Kamus Besar Bahasa Indonesia, hlm 651
7. Fenomenologi adalah sebuah metode yang berusaha memperoleh gambaran yang lebih utuh dan bersifat fundamental tentang fenomena keberagamaan manusia17. 8. Musafir adalah orang yang meninggalkan negrinya selama tiga hari atau lebih dan disebut juga pengembara.18 Namun istilah ini juga sering digunakan untuk pelaku tirakat ziarah mlaku ke makam-makam waliyullah.
C. Batasan dan Rumusan Masalah Melihat latar belakang di atas, penelitian tentang tirakat ziarah mlaku ke makam- makam para wali ini perlu sekali di tuangkan secara keseluruhan. Dan Melihat begitu kompleksnya fenomena yang ada di dalam tarekat tersebut, maka peneliti akan membatasi masalah yang dibahas dalam penelitian ini yaitu: memahami kehidupan musafir, tujuan menjalani tirakat mlaku dan pengalaman yang didapat. Oleh karena itu peneliti merumuskan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut : A. Apakah motivasi musafir yang menjalankan tirakat mlaku? B. Pengalaman apakah yang diperoleh dari perjalanan tirakat mlaku?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian Penelitian ini bertujuan mendapatkan gambaran mengenai motivasi musafir menjalankan tirakat ziarah mlaku dan pengalaman spiritual yang didapatkan. Begitupula diharapkan penelitian ini bermanfaat baik sosial, kemasyarakatan dan keagamaan. 1. Keagamaan, Diharapkan penelitian ini untuk membuktikan manfaat dari ziarah, yang merupakan salah satu tradisi dalam Islam. Selain itu menambah
17
Amin Abdullah, Studi Agama; Normativtas atau Historisitas, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2004, hlm 11 18
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa DEPDIKBUD, Kamus Besar Bahasa Indonesia, hlm 601
wawasan mahasiswa dan masyarakat yang belajar tasawuf tentang tirakat mlaku. 2. Sosial, setidak-tidaknya dengan mengungkap fenomena pengalaman spiritual para musafir ini, akan lebih meningkatkan nilai spiritual di masyarakat, dengan semakin bertambahnya kunjungan wisata religious ke makam-makam wali. 3. Kemasyarakatan, dengan memahami para musafir ini, diharapkan masyarakat bisa mengerti kehidupan mereka. Sehingga mereka tidak dianggap sebelah mata seperti yang terjadi di sebagian masyarakat saat ini.
E. Tinjauan Pustaka Peneliti telah mencari buku, artikel, ataupun penelitian mengenai permasalahan ini, namun tidak ada yang mengkaji secara khusus pelaku tirakat ziarah mlaku ini. Namun terdapat penelitian yang memiliki relevansi dengan skripsi ini, antara lain: 1. Imam al Ghazali: Adab as- Safar dalam Ihya’ ulumuddin Imam al-Ghazali memberi pemahaman yang baik mengenai tata cara seorang dalam bepergian dan tujuan yang benar. Karena memang zaman dahulu belum ada alat transportasi seperti sekarang. Namun ia tidak mengungkapkan pengalaman sufistik yang didapat khususnya pada saat ziarah. Pengalaman sufistik al-Ghazali dan tokoh-tokoh sufi lainnya yang ingin di tiru musafir-musafir saat ini19. 2. Woodward: Tradisi Ziarah di Yogyakarta dan di Jawa Timur Wood, dalam bukunya Islam Jawa; Kesalehan Normatif Versus Kebatinan, mencatat beberapa perbedaan dalam tradisi ziarah kubur di makam keluarga keraton Yogyakarta dan tradisi ziarah pada umumnya yang berlaku di Jawa Timur Para peziarah, baik di Yogyakarta maupun di Jawa Timur, berharap mendapatkan 19
Al Ghazali, Ihya’ulumuddin , juz II, Bairut: Dar al Fikr, tt, hlm 243-261
berkah untuk mengatasi berbagai problem hidup yang mereka hadapi. Sebagian peziarah datang untuk memperoleh pengalaman spiritual dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT. Namun beberapa perbedaan ditemukan. Di Yogyakarta dan Surakarta tujuan para peziarah adalah makam para petinggi kerajaan Mataram. Para peziarah juga harus mematuhi ketentuan yang ditetapkan oleh pengelola makam misalnya hanya boleh berziarah pada hari tertentu atau jam-jam tertentu. Para peziarah di makam keluarga keraton juga harus mengenakan pakaian resmi dengan mengenakan pakaian adat Jawa. Para lelaki membawa keris di belakang mereka. Sementara para perempuan tidak mengenakan penutup kepala. Para peziarah yang datang juga harus ditemani oleh juru kunci yang telah ditunjuk di makam itu, dan proses peziarahan berlangsung singkat. Tradisi ziarah di keraton Yogyakarta itu berbeda dengan yang terjadi di Jawa Timur. Para peziarah tidak dibatasi oleh peraturan-peraturan tertentu. Makammakam yang diziarahi adalah makam para wali yang menyebarkan agama Islam di kawasan ini. Ribuan peziarah datang ke makam-makam para wali dengan bus-bus dari berbagai daerah di Jawa dan daerah lain di Indonesia. Tidak ada aturan khusus dalam berbusana pada saat berziarah. Para lelaki pada umumnya mengenakan kain sarung dan perempuannya menggunakan busana muslim yang menutupi rambut dan seluruh tubuh, selain muka dan telapak tangan. Para peziarah tidak dibatasi untuk melakukan ritual tertentu. Kebanyakan membacakan bagian dari al-Qur’an, terutama Surah Yasin. Masing-masing tradisi ziarah di dua tempat ini memuat unsur Islam dan unsur Jawa. Perbedaannya, pemegang otoritas keagamaan --dan pada beberapa aspek juga otoritas politik di Jawa Timur adalah para kyai, sementara di Yogyakarta, otoritas keagamaan dan politik dipegang oleh sultan. Jika di Yogyakarta dan Surakarta perilaku peziarah dikontrol oleh pihak istana, di Jawa
Timur, perilaku peziarah berdasar pada tradisi yang berlaku dalam masyarakat setempat20. 3. Badruddin : pandangan peziarah terhadap kewalian Kyai abdul hamid bin abdullah bin umar basyaiban Pasuruan jawa timur: persepektif fenomenologis (Disertasi, Program Pascasarjana IAIN Sunan Ampel, 2011). Penelitian yang difokuskan di makam KH Abdul Hamid Pasuruhan. Karena Kewalian Kyai Hamid bukan hanya dikenal semasa hidupnya. Sampai sekarang pun, makam beliau diziarahi masyarakat dari seluruh lapisan umur. Sulit untuk menyederhanakan motif dan tujuan peziarah yang mendatangi makam Kyai Hamid yang terletak di tengah Kota Pasuruan hanya sekedar untuk tujuan wisata. Berbagai teori ilmu pengetahuan sosial-budaya dapat digunakan untuk mengungkap
fenomena
peziarah.
Salah
satunya
adalah
dengan
teori
fenomenologi-konstruksionis, di mana setiap tindakan peziarah ketika berada di lokasi makam pada dasarnya adalah suatu representasi budaya penuh makna. Tindakan dan budaya adalah dua entitas yang tak terpisahkan. Kegiatan ziarah makam Kyai Hamid dan peziarahnya merupakan suatu kehidupan yang unik dan merupakan subkultur budaya yang khas. Dalam perspektif dunia fenomenologi yang empirik-transendental tentu ada seperangkat
keyakinan
bagi
para
peziarah
untuk
melihat
keistimewaankeistimewaan yang melekat pada diri Kyai Hamid yang diyakini sebagai waliyyullah (kekasih Allah) dan dapat diteliti, dikaji dan dipahami dengan menggunakan pisau bedah konstruksi-sosial fenomenologis21.
20
Mark R Woodward, Islam Jawa: Kesalehan Normatif versus Kebatinan, Yogyakarta:
LKiS, 2006 21
Badruddin : Pandangan peziarah terhadap kewalian Kyai Abdul Hamid bin Abdullah bin Umar Basyaiban Pasuruan Jawa Timur: persepektif fenomenologis, Disertasi, Program Pascasarjana IAIN Sunan Ampel, 2011. Di download dari pasca.sunan-ampel.ac.id/wpcontent/ringkasan Badruddin.pdf. pada 10 Maret 2012
4.
Moh. Royyan : Tradisi Ziarah Dalam Islam ; Studi Kasus di Makam Batu Ampar Proppo Pamekasan Madura, (E01207004, S1 - Aqidah Filsafat (AF), Undergraduate Theses from JIPTIAIN /
2011-11-
1508:56:32) Hasil penelitian di lapangan menunjukkan bahwa aktivitas yang dilakukan oleh para peziarah di Batu Amper adalah berdoa untuk mencapai tujuannya masing-masing. Akan tetapi sebelum mereka berdoa mereka akan membaca beberapa bacaan dan mendoakan pada buju’ Batu Ampar sebagai wasilah. Bacaan yang dibaca oleh para peziarah sangat variatif ada yang membaca Tahlil, Tasbih, shalawat, Yasin, Surat Ikhlas, dan juga ayat al-Qur’an lainnya, ada juga mengkhatamkan al-Qur’an. Setelah selesai berziarah, sebelum pulang mereka akan mengambil “Air Genthong” lalu meminumnya di tempat tersebut. Ada juga yang mengambilnya untuk dibawa pulang untuk diminum ke rumah. Selain air genthong ada juga “Air Barokah” air ini juga berasal dari tempat wudhu’nya Buju’ Syamsuddin atau Buju’ Latthong. sedangkan makna ziarah bagi para peziarah di Batu Ampar ada tiga, yaitu: makna religi; yang bermakna dapat memperteguh keimanan dan untuk mengingatkan diri akan kehidupan akhirat. Makna hiburan; peziarah yang datang ke tempat pesarean buju’ Batu Ampar ini tidak jarang dijadikan sebagai wahana untuk mengisi hari-hari liburnya. Dan makna ekonomi; dengan banyaknya peziarah yang datang ke pemakaman Batu Ampar dimanfaatkan oleh penduduk setempat untuk mengais rezeki dengan menjual berbagai kebutuhan para peziarah, ada juga yang meminta sedekah kepada para peziarah. Bagi peziarah, mayoritas mereka yang datang ke makam Batu
Ampar
ini
untuk
memohon
kepada
Tuhan
agar
disejahterakan
perekonomiannya. Para peziarah yang datang dengan motif ekonomi ini akan berdo’a dengan berwasilah kepada para buju’ Batu Ampar22.
F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian 22
Dikutip dari Digital Library IAIN Sunan Ampel http://digilib.sunan-ampel.ac.id/gdl.php? mod=browse&op=login, 10 Maret 2012
Jenis Penelitian ini adalah lapangan (field research) yang termasuk penelitian kualitatif. Dalam pengumpulan data, metode ini tidak bersifat kaku tetapi bisa disesuaikan dengan keadaan di lapangan. Demikian pula hubungan antara peneliti dengan yang diteliti bersifat interaktif dan tidak dapat di pisahkan.23 Oleh karena tidak menggunakan instrument penelitian yang tersruktur dan baku, seorang peneliti juga berfungsi sebagai instrument penelitian.24 Metode –metode kualitatif memungkinkan peneliti untuk mengkaji hal ihwal tertentu secara mendalam dan rinci. Metode ini menghasilkan sejumlah besar informasi rinci mengenai sejumlah kecil orang dan kasus. Hal ini meningkatkan pemahaman terhadap kasus-kasus dan situasi itu, namun juga mengurangi kemungkinan generalisasi.25
2. Pendekatan Penelitan ini menggunakan pendekatan Fenomenologi agama. Peneliti mencoba menjelaskan atau mengungkap makna konsep atau fenomena pengalaman yang didasari oleh kesadaran yang terjadi pada beberapa individu. Penelitian ini dilakukan dalam situasi yang alami, sehingga tidak ada batasan dalam memaknai atau memahami fenomena yang dikaji.26 Pada hakekatnya fenomenologi adalah upaya menjawab pertanyaan: Bagaimanakah sruktur dan hakekat pengalaman terhadap suatu gejala bagi sekelompok manusia?.27 Seperti yang telah diketahui, agama adalah ekspresi simbolik yang bermacam-macam dan juga merupakan respon seseorang terhadap sesuatu yang dipahami sebagai nilai yang tidak terbatas. Ekspresi simbolik merupakan karakteristik utama dalam memahami makna agama. Data-data yang digunakan diperoleh melalui pengamatan terhadap kehidupan dan kebiasaan keagamaan 23
Emy Susanti Hendarso, Penelitian Kualitatif: Sebuah Pengantar, dalam Metode Penelitian Sosial, (Ed) Bagong Suyanto dan Sutinah, cet II, Jakarta: Kencana Prenada Madia Group, 2007, hlm 169 24 Ibid, hlm 172 25 Dede Oetomo, Penelitian Kualitatif: Aliran & Tema, dalam Metode Penelitian Sosial, hlm 186 26 Iyan Afriani H.S, Metode Penelitian Kualitatif , www. Inparametic.com, di download 29 Desember 2010 27 Dede Oetomo, Penelitian Kualitatif: Aliran & Tema, hlm 178
manusia ketika mengungkapkan sikap-sikap keagamaannya dalam tindakantindakan seperti doa, ritual-ritual, konsep-konsep religiusnya, kepercayaan terhadap yang suci dan sebagainya.28 Istilah fenomenologi agama, pertama kali digunakan oleh Chantapie dela sausaye dalam bukunya Lehrbuch der Religiosgeschichte, 1887 lebih dulu dari perkembengan filsafat fenomenologi Husserl. Metode ini dimaksudkan sebagai usaha untuk melakukan investigasi terhadap esensi dan makna fenomena dalam pola yang tipologis, lepas dari ruang dan waktu.29 Meski ada yang lebih dulu dari Edmund Husserl, namun Joachim Wach menyebutnya sebagai pendiri aliran ini. Husserl memandang fenomenologi sebagai sebuah disiplin filsafat yang ketat bertujuan membatasi dan melangkapi penjelasan psikologi murni mengenai proses kejiwaan. Tujuan fenomenologi agama bagi Wach adalah memahami pemikiran perilaku, dan lembaga keagamaan tanpa mengikuti salah satu teori filsafat, teologi, metafisika ataupun psikologi30. Dalam pandangan Amin Abdullah, Pendekatan fenomenologi ini berupaya untuk
memperoleh
‘esensi’
keberagamaan
manusia.
Usaha
pendekatan
fenomenologi agaknya mengarah ke arah balik, yakni untuk mengembalikan studi agama yang bersifat historis-empirs ke pangkalannya agar tidak terlalu jauh melampaui batasan-batasan wewenang.31 Mukti Ali juga mengatakan hal yang senada dengan itu, ia mengambil pendapat Scheler yang menggunakan metode fenomenologi ini dengan membiarkan manifestasi-manifestasi pengalaman agama untuk bicara bagi dirinya sendiri ketimbang memaksakan menifestasi-manifestasi itu dimasukkan pada sesuatu skema yang sudah ditentukan terlebih dahulu. Ini berarti melindungi maksud dan tujuan manifestasi pengalaman agama itu. Tiga tugas harus dilakukan oleh fenomenologi agama. Pertama, ia harus mencari 28
Dikutip dari http://nazhroul. wordpress.com /2011/02/14/ pendekatan-fenomenologidalam -studi-islam/ 18 feb 2012 29 Ursla King, Debat Metodelogis Psaca Perang Dunia II, dalam Metodelogi Studi Agama, Pengantar: Amin Abdullah, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000, hlm 303 30 Joachim Wach, Ilmu Perandingan Agama; Inti dan Bentuk Pengalaman Keagamaan, Disuting dan dihantar: Joseph M. Kitagawa, trj. Damanhuri, Jakarta: CV Rajawali, 1989, hlm 3435 31 Amin Abdullah, Studi Agama; Normativtas atau Historisitas, dalam Metodelogi Studi Agama, hlm 11
hakikat dari Yang Maha Suci. Kedua, ia harus memberikan teori evolusi (wahyu), dan yang ketiga, ia harus mempelajari tingkah -laku agamis (kegamaan).32 Meskipun demikian, pendekatan fenomenologi tetap berbeda dari corak pendekatan teologi. Fenomenologi beruaha memperoleh gambaran yang utuh serta struktur fundamental dari keberagamaan manusia secara umum (universal, transcendental, inklusif), dan bukannya gambaran keberagamaan manusia yang bersifat partikuler-eksklusif.33 Dan Mukti Ali menambahkan bahwa fenomenologi di sini merupakan koreksi terhadap pendekatan berpikir ilmiah murni. Pendekatan ini harus ditambah dengan pendekatan dogma. Sebab tanpa pendekatan dogma, agama kehilangan kesuciannya. Sebaliknya juga bila pendekatan secara dogmatis saja, juga tidak bisa, sebab dengan dogma orang lain tidak bisa mengerti34. Menanggapi pandangan Mukti Ali yang perlu mengunakan pendekatan “dogmatis”, JB. Banawiratma, SJ menjabarkan dengan baik dan dibenarkan oleh Mukti Ali. Yang dimaksud Mukti Ali dengan pendekatan “dogmatis” adalah “pendekatan sintesis”, bukan istilah dalam kalangan Kristen yang berkonotasi negative, yaitu sikap kurang terbuka terhadap pengalaman-pengalaman baru dan terlalu berpegang teguh pada rumus-rumus ajaran. Menurut pendekatan tersebut , doktrin agama harus dimasukkan ke dalam penelitian ilmu-ilmu agama. Sebenarnya, hal itu sudah termasuk dalam ketegori ekspresi agama dalam ajaran35. Inilah yang dimaksud oleh Mukti Ali sebagai pendekatan religoscientific.
3. Setting dan Subjek Penelitian a. Setting penelitian dalam penelitian kualitatif merupakan hal yang sangat penting dan telah ditentukan ketika menentukan fokus penelitian. Setting penelitian ini menunjukkan komunitas yang akan diteliti dan sekaligus
32
Mukti Ali, Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia, Yogyakarta: IAIN Sunan kalijaga Perss, 1988, hlm 63 33 Amin Abdullah, Studi Agama; Normativtas atau Historisitas, hlm 11 34 Mukti Ali, Jawaban Prof. DR H. A Mukti Ali, dalam Ilmu Perbandingan Agama (Beberapa Permasalahan), jilid VII, Jakarta: INIS, 1990, hlm 126 35 JB. Banawiratma, SJ, Ilmu Perbandingan Agama atau lmu Agama-Agama?, dalam Ilmu Perbandingan Agama), hlm 29
kondisi fisik dan sosial mereka dan mencerminkan lokasi yang telah ditetapkan sejak awal36. Penelitian terhadap musafir ini di mulai pada 10 maret 2012 sampai 30 maret 2012 di makam Sunan Kalijaga, Syaikh Kholil Bangkalan, dan Syaikh Syamsuddin Batuampar Madura. Namun pengalaman peneliti dan berkumpul bersama musafir ini sudah di mulai sejak tahun 2002. b. Penelitian kualitatif tidak bermaksud untuk membuat generalisasi dari hasil penelitian. Oleh karena itu, pada penelitian kualitatif tidak dikenal adanya populasi dan sampel. Subjek penelitian yang telah tercermin dalam fokus penelitian ditentukan secara sengaja. Sedangkan subjek penelitian ini menjadi informen yang akan memberikan berbagi informasi yang diperlukan selama proses penelitian meliputi beberapa macam, seperti : 1. Informen kunci (key informen), yaitu mereka yang mengetahui dan memiliki berbagai informasi pokok yang diperlukan. Dalam hal ini adalah orang-orang yang sudah sangat lama mengetahui bahkan menjalankan tirakat mlaku ini. Peneliti bertemu dua informen kunci yakni pertama, Habib Muhammad alQadri. Ia salah seorang ulama’ asal Surabaya yang pernah menjalankan tirakat mlaku di tahun 70-an dan sering berada di makam syaikhona Kholil Bangkalan. Kedua, Pak Yono. Ia salah seorang warga Surabaya yang sudah lama tinggal di makam sunan Ampel. 2. Informen Utama, yaitu mereka yang terlibat langsung dalam interaksi sosial yang diteliti. Pada hal ini peneliti bertemu empat musafir di makam sunan Kalijaga, sepuluh musafir di makam syaikhona Kholil, dan enam musafir di makam Syaikh Syamsuddin Batuampar. 3. Informen tambahan, yaitu informrn yang dapat memberikan informasi walaupun tidak langsung terlibat dalam interaksi sosial yang diteliti.37 Informen ini adalah musafir yang peneliti temui sebelum penelitian (pra36 37
Emy Susanti Hendarso, Penelitian Kualitatif: Sebuah Pengantar, hlm 171 Ibid, hlm 172
penelitian) sebanyak empat orang, Dosen satu orang, Kiai dua orang dan 11 orang yang tirakat di ketiga makam itu, dan tiga orang juru kunci.
4. Metode Pengumpulan Data Untuk memoperoleh data yang valid, peneliti menggunakan dua metode pengumpulan data, yaitu: a. Wawancara Wawancara merupakan alat re-cheking atau pembuktian terhadap informasi atau keterangan yang diperoleh sebelumnya. Tehnik wawancara yang digunakan dalam penelitian kualitatif adalah wawancara mendalam. Wawancara mendalam (in–depth interview) adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dengan informan atau orang yang diwawancarai, dengan atau tanpa menggunakan pedoman (guide) wawancara, di mana pewawancara dan informan terlibat dalam kehidupan sosial yang relatif lama. Keuntungan cara wawancara langsung ini adalah peneliti dapat menagkap suasana batin responden, seperti gelisah, takut, terkejut, gembira, sedih, atau jawaban yang tidak wajar38.
b. Observasi Dalam penelitian ini,
peneliti menggunakan Observasi partisipasi
(participant observation) adalah metode pengumpulan data yang digunakan untuk menghimpun data penelitian melalui pengamatan dan pengindraan dimana observer atau peneliti benar-benar terlibat dalam keseharian responden.39 c. Dokumen Sejumlah besar fakta dan data tersimpan dalam bahan yang berbentuk dokumentasi. Sebagian besar data yang tersedia adalah berbentuk surat-surat, catatan harian, cenderamata, laporan, artefak, foto, dan sebagainya. Sifat utama data ini tak terbatas pada ruang dan waktu sehingga memberi peluang kepada 38
Bagog Suyanto & Karnaji, Penyusunan Instrumen Penelitian, dalam Metode Penelitian Sosial, hlm 169 39 Ibid
peneliti untuk mengetahui hal-hal yang pernah terjadi di waktu silam. Secara detail bahan dokumenter terbagi beberapa macam, yaitu otobiografi, surat-surat pribadi, buku atau catatan harian, memorial, klipping, dokumen pemerintah atau swasta, data di server dan flashdisk, data tersimpan di website, dan lain-lain.40 Namun sayangnya peneliti tidak menemukan data berupa catatan pribadi atau dokumen yang lainnya.
5. Metode Analisis Data Penelitian kualitatif merupakan proses penelitian yang berkesinambungan sehingga tahap pengumpulan data, pengolahan data dan analisis data bisa dilakukan secara bersamaan selama proses penelitian.
Dalam metode ini,
pengolahan data tidak harus dilakukan setekah data selesai terkumpul, atau analisis data tidak mutlak dilakukan setelah pengolahan data selesai. Pada saat menganalisis data, peneliti bisa kembaki ke lapangan untuk memperoleh tambahan data yang dianggap perlu dan mengolahnya kembali41. Karena penelitian ini menggunakan pendekatan fenomenologi. Maka langkah-langkah analisis data pada studi fenomenologi agama, yaitu: a. Peneliti perlu memahami perspektif filosifis dibalik pendekatan itu, khususnya konsep tentang mempelajari bagaiman orang mengalami femomena. Konsep epochè adalah penting, dimana peneliti mengurung gagasan-gagasan yang telah terbentuk sebelumnya tentang suatu fenomena untuk memahaminya melalui suara-suara informen. b. Peneliti menulis pertanyaan-pertanyaan penelitian yang mengeksplorasi makna dari
suatu
pengalaman
bagi
individu
da
meminta
individu
untuk
menggambarkan pengalaman hidup mereka sehari-hari. c. Peneliti kemudian mengumpulkan dara dar individu yang engalami fenomena yang sedang diteliti. Khususnya, informasi ini dikumpulkan melaui wawancara yang panjang (ditambah refleksi diri dan dikripsi-diskripsi yang dikembangkan
40
Doddy S. Singgih, Penggunaan Metode Kualitatif untuk Mengidentifikasi Tipe Komunitas, dalam Metode Penelitian Sosial, hlm 139 41 Emy Susanti Hendarso, Penelitian Kualitatif: Sebuah Pengantar, hlm 172
sebelumnya dari karya-karya artistic) dengan inforen yang terdiri dari 5 sampai 25 orang d. Rancangan prosedur untuk menganalisis dibagi kedalam pertanyaan-pertanyaan atau horisonalisasi. Kemudian unit-unit ditransformasikan ke dalam cluster of meanings (kumpulan makna) yang diekspresikan
dalam konsep-konsep
psikologi atau fenomenologis. Terakhir, transfrmasi-transformasi ini diikat bersama-sama untuk membuat diskripsi umum tentang pengalaman diskripsi tekstural tentang apa yang dialami dan diskripsi structural tentang bagaimana ia dialami. Semabgian fenomenolog membuat varisasi dari pendekatan ini dengan memasukkan makna pengalaman personal,dengan menggunakan analisis subjek-tunggal sebelum analis antar-subjek, dan dengan menganalisis peran konteks dalam prosesnya. e. Laporan fenomenologis diakhiri dengan pemahaman yang lebih baik dari pembaca tentang struktur (esensi) yang esensial, tidak berubah dari pengalaman, sembari mengakui bahwa makna tunggal yang utuh dari pengalaman itu eksis. Sehingga pembaca memahami dan mengatakan “ saya memahami lebih baik tetang seperti sesorang yang mengalaminya”42
G. Sistematikan Penulisan Dalam Penelitian ini, penulis menggunakan sistematika pembahasan dengan membaginya ke dalam lima bab. Untuk lebih jelasnya, sistematikia tersebut dikemukakan sebagai berikut: Bab I
: Pendahuluan; Dalam bab ini diuraikan hal-hal yang berkaitan dengan latar belakang, penegasan judul, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, telaah pustaka, kerangka teoritik, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
42
Rusli, Pendekatan Fenomenologi Dalam Studi Agama; konsep, Kritk, dan Aplikasi, dalam Teologia, volume 19, nomor 1, Januari 2008, hlm 14-15
Bab II : Landasan Teori yang menguraikan 1) Ziarah kubur dalam Islam, 2) Waliyullah, 3) Hakikat Tawasul, 4) Ziarah Mlaku ke makam wali; sebagai tirakat menuju Allah SWT Bab III : Hasil Penelitian. Mengungkap mengenai 1) Tempat dan Tujuan musafir. Pada sub bab ini dibicarakan tempat-tempat yang menjadi tujuan musafir, terutama yang menjadi fokus penelitian, yakni di makam Sunan Kalijaga, Makam Syaikh Kholil Bangkalan, dan Makam Syaikh Syamsuddin Batuampar. Dan 2) Memberikan datadata dilapangan menegenai Motivasi dan Pengalaman Beragama Para Musafir Bab IV : Analisis Data dengan pendekatan fenomenologi. Diuraikan 1) Dari bab III di simpulkan, motivasi musafir menjalankan Tirakat Mlaku yaitu Mencari Barokah, Menacari jati diri, Meengamalkan ilmu Hikmah, Merguru karo wong Mati, dan Melarikan diri dari Tanggung Jawab. 2) pengalaman subyektif dan universal. Yang mengungkap pengalaman yang tidak dialami oleh setiap orang dan pengalaman yang dialami oleh orang-orang pada umumnya ketika berziarah. Bab V : Penutup; Bab ini berisi kesimpulan dari hasil penelitian, saran-saran dan kata penutup.
BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG ZIARAH DAN TIRAKAT MLAKU
A. Ziarah Kubur Dalam Islam Pernyataan C Snouck Hurgronje dan R.J Wilkinson yang di amini oleh Ignaz Goldziher membuat peneliti geram. Mereka mengatakan, pemujaan Islam terhadap para wali itu membuka keleluasaan yang luas bagi manifestasimanifestasi popular dari pengaruh Hindu terhadap sacra Islam. Kedalam kultus inilah unsure-unsur India setiap hari menyatakan dirinya. Terutama di dalam paham syi’ah di India, unsure-unsur itu telah melahirkan beberapa fenomena yang istimewa. Dewa-dewa India berubah menjadi wali-wali Muslim, dan tempattempat suci India dengan sendirinya ditafsirkan baru dengan semangat Muslim. Dari seluruh wilayah yang ditaklukkan Islam, tidak ada yang memberikan contohcontoh yang begitu mencolok tentang dilestarikannya unsur-unsur paganisme, seperti halnya India dan Nusantara43 . Melihat kesalahan persepsi di atas,
Peneliti hanya akan memulai
menggambarkan secara umum tradisi ziarah bukan datang dari Hindu atau bahkan ziarah ke makam wali disamakan dengan pemujaan dengan para Dewa di India. Ziarah ke makam-makam para wali merupakan praktik yang sudah umum di seluruh dunia muslim. Diantara para wali yang paling umum diharap berkahnya adalah para wali pendiri ordo Sufi, para syuhada, dan raja-raja yang shalih44. Sebelum Islam datang, kuburan atau makam dijadikan tempat berpesta, berzina, memainkan alat musik atau permainan lainnya di areal makam, sebagaimana pada hari besar. Rasulullah SAW memberikan peringatan terhadap perlakukan umat Islam supaya tidak mengikuti jejak umat terdahulu. Sebagaimana hadith yang datang dari Abu Hurairah berikut ini:
43 44
Ignaz Goldziher, Pengantar Teologi Dan Hukum Islam, Jakarta: INS, 1991, hlm 250 MR Woodward, Islam Jawa, hlm 265
صلﱠى ﷲُ َعلَي ْه َو َسل ﱠ َم الَتَتﱠ ِخ ُذوْ ا قَب ِْري ِع ْيدًا َوال َ ِال َرسُوْ ُل ﷲ َ َال ق َ َض َي ﷲُ َع ْنھُ ق ِ أبِي ھُ َر ْي َرةَ َر ص َالتَ ُك ْم تَ ْبلُ ُغنِي َ ي فَا ِ ﱠن َ َتَجْ َعلُوا بُيُوْ تَ ُك ْم قُبُوْ رًا َو َح ْيثُ َما ُك ْنتُ ْم ف ص ﱡلوْ ا َعلَ ﱠ
45
Ada banyak pendapat mengenai maksud dari hadits tersebut, al Hafidz Zaki ad Din al-Mundziri dan Taqiuddin as-Subki, mengatakan bahwa pengertian hadits itu untuk mempebanyak ziarah ke makam Nabi saw, tidak hanya satu tahun dua kali seperti di hari raya. Namun ada juga yang memahami bahwa maknanya adalah mencegah berbuat tidak terpuji ketika ziarah seperti bermain musik dan bermain sebagaimana ketika hari raya. Sebaiknya ziarah memberi salam, berdo’a di hadapan Nabi, mengharap barokahnya dan do’a dari jawaban salamnya, serta menjaga tata krama sebagaimana bertemu dengan Nabi SAW46.
1. Landasan Normatif Ziarah Kubur Kata ziyarah secara harfiyah berarti kunjungan. Apabila yang dimaksud sebagai kunjungan ke sebuah makam seorang suci (wali), kata itu menjadi berarti seluru rangkaian perbuatan ritual yang telah ditentukan47. Sudah berlangsung berabad-abad, bahkan sejak Nabi Muhammad SAW bersabda “Saya pernah melarang kalian ziarah kubur” Hadist ini tidak jelas motif pelarangannya. Akan tetapi, larangan itu disebabkan kekhawatiran akan terjadi perbuatan syirik (menyekutukan Allah SWT) dan pemujaan terhadap kuburan atau pemujaan pada orang-orang mati, karena seorang yang ditimpa musibah kematian salah seorang anggota keluarga terdekatnya, bisa jadi ia akan mempertaruhkan “cinta kepada yang mati” dan “iman kepada Allah SWT” yang letak keduanya sangat tipis untuk bisa dibedakan dalam batin seseorang yang ketika itu baru memeluk Islam. 45
Ahmad bin Hanbal, Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal, hadist ke 8790, Juz. II, Kairo: Mu’assasah Qurtubah, th, hlm 367. 46 Muhammad bin Alwi al-Maliki al- Hasani, az -Ziarah an Nabawiyah; Baina Syariyyah wa al Bidah, Birut: Kulliah Ad Dakwah Al Islamiyah, 1420 H, hlm 136-138. Sayyida muhammad engatakan bahwa Hadits ini para ulama’ hadits berbeda pendapat tentang riwayat dari Abdullah bin Nafi’ as-Shonigh. Imam Ahmad Bin Hambal dan Abu Hatim ar Rozi mengatakan hadits itu dho’if, Yahya bin Muin. Menganggapnya kuat, sedangkan pendapat Abu Zar’ah, tidak ada masalah dengannya, begitu pula al Mundzir di dalam muhtasornya. Namun dalam Mujma’ az Zawaid, hadis yang sama diriwayatkan oleh Abu Ya’la, dan Abu Hafs ibn Ibrahim Al Ja’fari, Ibn Abi Hatim tidak menyebutkan ada Jarh (kecacatan). 47 Dr. F de Joung, Hari-Hari Ziarah Kairo, dalam Studi Belanda Konteporer Tentang Islam, Dibawah redaksi Herman Leonard Beck dan Niko Keptein, Jakarta: INIS, 1993, hlm 2
Rasulullah SAW sangat menguatirkan sesuatu yang baru ditanamkan ke dalam jiwa para pengikutnya, ialah akidah Islam. Akan tetapi setelah keimanan para sahabat dirasakan oleh Nabi SAW begitu kuat dan tidak akan goyah sebab kematian, maka Nabi SAW pun menyatakan: “ فزوروھاmaka, sekarang lakukanlah ziarah kubur, karena ziarah kubur itu dapat mengingatkan pada akhirat.” Redaksi hadist selengkapnya sebagai berikut:
عن سليمان بن بريدة عن أبيھا قال قال رسول ﷲ صلى ﷲ عليھا وسلم قد كنت نھيتكم عن 48
زيارة اﻟقبور فقد أذن ﻟمحمد في زيارة قبر أمه فزوروھا فإنھا تذكر اآلخرة
Diriwayatkan dari Sulaiman bin Baridah dari Bapaknya. Rasulullah berkata “ Dulu aku mencegah kalian berziarah kubur. Selanjutnya Muhammad diberi izin untuk menziarahi ibunya. Maka berziarahlah kalian, karena disitu kalian akan ingat akhirat Rasulullah SAW sendiri sering melakukan ziarah kubur, utamanya di malam hari. Ia sering mendatangi pekuburan Baqi‘ al-Gharqad dan disaksikan oleh ‘Aishah RA sebagaimana diriwayatkan dalam hadist ini:
ِ كلما كان ﻟَ ْيلَتھا من رسول ﷲ- كان رسول ﷲِ صلى ﷲُ عليھا وسلم: أنھا قاﻟت،َعن عائشة اﻟسالم عليكم دار قوم: فيقول، يخرج من آخر اﻟليل إﻟى اﻟبقيع- صلى ﷲُ عليھا وسلم اغفر، اﻟلھم، بكم َالحقون،ُ إن ﺷاء ﷲ، وإنا، » مؤجلون، وأتاكم ما توعدون غدا،مؤمنين (49رواه مسلم.) ألھل بقيع اﻟغرقد Diriwayatan dari ‘Aisyah, Dia berkata bahwa Rasulullah terkadang pada akhir dari malam hari keluar untuk pergi ke Baqi’. Beliau berkata “ Semoga keselamatan tercurah pada kalian, wahai penghuni rumah kaum mukmin. Kami dan kalian akan bertemu esok hari (hari Kiamat), dan sebagian dari kita akan mengharapkan syafaat dari sebagian yang lain. Insya Allah, kami akan menyusul kalian. Ya Allah, ampunilah penghuni Baqi’ Al-Gharqad” Masih banyak lagi hadits-hadits yang menjelaskan disyari’atkannya ziarah kubur. Namun ada juga yang mengatakan bahwa hadits-hadits tentang ziarah sebagian besar adalah hadits da’if. Sayyid Muhammad bin Alwi al Maliki al Hasani membantah tuduhan itu dengan mengatakan banwa para hafidz hadits dan 48
Muhammad bin Isa bin Saurah bin Musa bin Dihak al-Tirmidhi, Sunan al-Tirmidhi, Juz. IV Beirut: Dar al-Gharb al Islami, 1998, hlm 311 49 Muslim, Abu al- Husayni ibn al-Hajjaj al-Qusayri al-Naysaburi. Shahih Muslim. Juz: 1. ,hlm 669
para Imam Hadits yang terpercaya, begitu pula Imam empat (Imam Syafi’i, abu Hanifah, Malik dan Hambal) menyebut di dalam kitab-kitab mereka bahwa ziarah Nabi Muhammad SAW termasuk syari’at. Hadits yang menunjukkan itu termasuk golongan hadits hasan, namun ada yang mengganggap sohih seperti Ibn Sakan, as- Subki, dan as- Suyûti.50 Kalangan fuqaha’ mazhab Hanafi, Shafi‘i, Maliki dan Hambali berpendapat bahwa hukum ziarah ke makam Rasululullah SAW adalah sunnah. Sayyid Abu Bakr bin Muhammad Shata al-Dimyati (w. 1302 H.), yang dikenal dengan panggilan al-Bakri, dalam kitabnya I‘anah al-Tâlibin menyatakan: Disunahkan Berziarah dimakam Nabi SAW karena itu termasuh mendekatkan diri pada Allah yang paling agung, baik bagi leki-laki atau perempuan. Sebagian Ulama’ seperti Ibnu Rif’ah dan al Qomuli, juga mengatakan hal itu. Begitu pula berziarah ke makam nabi-nabi, para ulama’ dan para wali. Karena berziarah kemakam mereka tidak sama dengan jika berziarah kemakam kerabat. Berziarah makam mereka bertujuan untuk mengagungkannya. Sehingga diharapkan mendapat perkara ukhrowi (akhirat.)51 Hal yang senada juga dikatakan oleh Iman Nawawi dalam al- Majmu’ syarh al-Muhadzab, kitab al-Idhah fil Manasik, Imam Al-Mahalli dalam Syarah al Minhaj, Imam Zakaria al-Anshori dalam Fath al-Wahâb ‘ala Manhaj at- Thulâb, Ar-Romli dalam Nihâyah al-Mutaj fi Syarh al-Minhaj, Khatib As- Syarbini dalam Mughni al-Muhtaj fi Syarh al-Minhaj, Ibnu Hajar al-Haitami dalam Tuhfah alMinhaj syarah al-Manhaj52, dan seluruh ulama sepakat (ijma’) bahwa ziarah ke makam nabi (khususnya), orang-orang saleh, para syahid, ulama, para wali dan kerabat hukumnya sunnah53. Kemapanan disyari’atkannya ziarah ini berlangsung kurang lebih sudah 14 abad sejak Rasulullah, yang kemudian para ulama’ ijma’ mengenai hal tersebut. Sehingga pada awal abad empat belas di Syiria (Syam) muncul kaum fanatik yang
50
Muhammad bin Alwi al-Maliki al-Hasani, az Ziarah an Nabawiyah, hlm 9 Lihat: Sayyid Abu Bakr Muhammad Shata al-Dimyati, I‘anah alTalibin ‘ala Hall Alfaz Fath al-Mu‘in, juz 2, Beirut: Dar Ibnu ‘Ashomah, 2005, hlm 162 52 Muhammad bin Alwi al Maliki al Hasani, Syifa’ al Faur fi Zizarah Khoir al Ibad, hlm, 71-72. 53 - Sayyid Abu Bakr Muhammad Shata al-Dimyati, I‘anah at-Talibin ‘ala Hall Alfaz Fath al-Mu‘in, juz 2, hlm 161 51
tidak banyak jumlahnya, tampillah Taqi ad- Din ibn Tamiyyah54 sebagai juru bicara
yang
lantang
dalam
khotbah-khotbahnya
dan
tulisan-tulisannya
menempatkan negara Islam yang berkuasa sibuk memilah-milah antara sunah dan bid’ah. Beliau menentang segala macam “pembaharuan”, yang telah mengubah konsep asli Islam baik dalam doktrin maupun praktik. Dengan semangat yang sama ditentangnya pengaruh-pengaruh filasafat yang telah berhasil menyusupi Islam (termasuk dalil kalam Asy’ariah). Juga ditentangnya kultus terhadap Nabi dan wali-wali. Ia mencela sebagai bertentangan dengan iman. Berziarah ke makam Nabi yang diberi nilai keagamaan yang tinggi dan dipandang sebagai pelengkap ibadah haji ke makah, dengan keras ditentangnya55. Akan tetapi Sayyid Muhammad bin Alwi al-Maliki al-Hasani menukil kitab Ibnu Taimiyah yang berjudul Iqtidho as-Sirot al-Mustaqim yang menunjukkan bahwa sebenarnya ia bukan penentang ziarah secara mutlak dan mengakui keramat-keramat waliyullah : Kejadian yang di luar kebiasaan yang terjadi di kuburan para nabi dan orang-orang shalih seperti turunnya cahaya dan malaikat di kuburan tersebut, setan dan binatang menjauhi tempat itu, api terhalang untuk membakar kuburan dan orang yang berada di dekatnya, sebagian dari para nabi dan orangorang shalih memberi syafaat kepada orang-orang mati yang menjadi tetangga mereka, kesunnahan mengubur jenazah di dekat kuburan mereka, memperoleh kedamaian dan ketenteraman saat berada di dekatnya, dan turunnya adzab atas orang yang menghina kuburan tersebut, maka hal-hal ini adalah benar adanya dan tidak termasuk dalam topik bahasan tentang diharamkannya menjadikan kuburan sebagai masjid. Apa yang terjadi pada kuburan para nabi dan orang-orang shalih dari kemuliaan dan rahmat Allah SWT dan apa yang diperoleh di sisi Allah SWT dari kehormatan dan kemuliaan itu berada di atas anggapan banyak orang.56
54
Nama lengkapnya Taqiy ad Din al Abbas Ahmad bin Abd al Halim bin Abd as Salam bin Abdullah ibn Muhammad bin Taimiyyah al Harrani. Ia dilahirkan pada hari senin, 10 rabi’ al awwal 661 H/ 22 Januari 1263 M di Harran, dekat damaskus. Dan wafat di damaskus pada malam Senin 20 Zulkhidjah 728 H/ 26 September 1328 M; Lihat: Syarodin, Metode Pemahaman Hadits Ibn Taimiyah, Skripsi S 1, Fak Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang, 1999, hlm 112 55 Ignaz Goldziher, Pengantar Teologi Dan Hukum Islam, hlm 235 56 Muhammad bin Alwi al Maliki al Hasani, az- ziarah an- nabawiyah, hlm 84-85
Tuntutan Ibn Taimiyah tidak berhasil. Karena tokoh alim ulama dengan gelar Hujjah al-Islam, Abu Hamid Muhammad al-Ghazali telah berhasil menemukan formula untuk menyelaraskan antara ritualisme, rasionalisme, dogmatism, dan mistikisme. Sistem al- Ghazali ini telah menjadi khazanah umum bagi Islam Suni sebelumnya. Karena kontroversinya itu, kemudian Ibnu Taimiyah di seret ke depan mahkamah alim Ulama’ yang satu ke yang lain dan meninggal di penjara tahun 1328. Pada zaman berikutnya tema literature agama yang menonjol ialah mempertanyakan apakah Ibnu Taimiyah seorang bid’ah atauklah seorang fanatikus sunah yang tegar57. Selama empat abad pengaruh Ibn Taimiyah terpendam namun tetap terasa. Karta-karyanya dibaca dan diteliti; banyak kalangan islam karya-karyanya itu menjadi kekuatan diam-diam, yang setiap saat akan melontarkan ledakan permusuhan terhadap bid’ah. Pada abad ke delapan belas, muncul Muhammad ibn Abd al-Wahab (1787 M) yang diilhami oleh studi yang mendalam terhadap tulisan-tulisan Ibn Taimiyah meneruskan perjuangannya kembali58. Sebenarnya Ibn Abd al-Wahhab juga tidak senantiasa mengharamkan ziarah kubur, mengkafirkan orang yang bertawasul dengan orang-orang yang sholih, dan mengkafirkan Ibn Arobi. Ia mengingkari hal itu dalam ar-Risalah al-Ula, yang dinukil oleh Sayyid Muhammad bin Alwi al-Maliki al-Hasani : Sulaiman bin Suhaim memfitnah Ibnu Abdul Wahab dengan mengatakan bahwa dia menganggap sesat semua kitab madzhab empat, bahwa manusia semenjak 600 tahun yang silam tidak menganut agama yang benar, mengklaim mampu berijtihad dan lepas dari taqlid. Perbedaan para ulama adalah malapetaka dan Ibnu Abdul Wahab mengkafirkan orang yang melakukan tawassul dengan orang-orang shalih, dan saya mengkafirkan Imam Al-Bushoiri karena ucapannya : Wahai Makhluk paling mulia. Ibnu Abdul Wahab difitnah lagi ingin meruntuhkan kubah Rasululllah SAW dan jika mampu mengambil talang Ka’bah yang terbuat dari emas selanjutnya akan menggantinya dengan talang kayu. Mengharamkan ziarah ke makam Nabi SAW, mengingkari ziarah ke makam kedua orang tua dan makam orang lain, mengkafirkan orang yang bersumpah dengan selain 57 58
Ignaz Goldziher, Pengantar Teologi Dan Hukum Islam, hlm 235 Ibid, hlm 236
Allah, mengkafirkan Ibnu Faridl dan Ibnu ‘Araby, dan bahwasanya saya membakar kitab Dalailul Khairatt dan Raudlul Rayaahin yang kemudian saya namakan Raudlul Syayaathiin. Jawaban Ibnu Abdul Wahab atas tuduhan telah mengucapkan perkataan-perkataan di atas adalah : ÒΟŠÏàtã í≈tGöκæ5 #x‹≈yδ y7oΨ≈ysö6ß™ Maha suci Engkau (ya Tuhan kami), ini adalah Dusta yang besar. 59 2. Tujuan Ziarah Selanjutnya mengenai tujuan ziarah kubur salah satunya adalah mendo’akan orang yang diziarahi dan minta do’a kepadanya khususnya para nabi, wali-wali, dan orang-orang sholih. Para ulama’ ahl as-Sunnah sepakat tentang bermanfaatnya do’a kepada orang yang sudah meninggal walaupun yang berdo’a adalah orang kafir.60. Begitu pula az-Zuhaili menulis dalam kitabnya al- Fiqh alIslam wa Adillatuhu, bahwa para ulama sepakat bermanfaatnya kepada orang yag sudah meninggal, do’a, istighfar seperti “allahummaghfirlahu warhamhu wa ‘afihi wa’fuanhu”, sodaqah, menjalankan kewajiban-kewajiban badaniyah dan maliyah yang belum dikerjakan mayit sebagai ganti, seperti haji. Karena ada firman Allah : Ç≈yϑƒM}$$Î/ $tΡθà)t7y™ šÏ%©!$# $oΨÏΡ≡uθ÷z\}uρ $oΨs9 öÏøî$# $uΖ−/u‘ šχθä9θà)tƒ öΝÏδω÷èt/ .ÏΒ ρâ!%y` ô Ÿ šÏ%©!$#uρ ∩⊇⊃∪ îΛÏm§‘ Ô∃ρâu‘ y7¨ΡÎ) !$oΨ−/u‘ (#θãΖtΒ#u tÏ%©#Ïj9 yξÏî $uΖÎ/θè=è% ’Îû ö≅yèøgrB Ÿωuρ 10. dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa: "Ya Rabb Kami, beri ampunlah Kami dan saudara-saudara Kami yang telah beriman lebih dulu dari Kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati Kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb Kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang."61 Namun Para ulama berbeda pendapat tentang sampainya pahala ibadah badaniyah al -mahdhoh (yang dilakukan dengan badan sendiri), seperti sholat dan membaca ql Qur’an untuk orang yang tidak melakukannya. Ada dua pendapat, 59
Muhammad bin Alwi al Maliki al Hasani, Mafahim Yajib Antusohhiha,cet 11, tp, 1425 H, hlm 83-84 60 Syaikh Ibrahim al- Baijuri, Hasyiah ‘ala Jauhari at- Tauhid, Semarang, tt, hlm 91 61 Qs Al Hasyr: 10
pandangan madzhab Hanafi, Hambali, ulama syafi’iyah yang terakhir, dan Maliki mengatakan bisa sampai pahala bacannya jika ditujukan pada mayit, dan berdoa setelahnya meskipun ghoib (tidak berada dikuburannya). Karena membaca al Qur’an akan turun rahmat dan barokah, juga dengan berdo’a bisa diharapkan dikabulkan do’anya62, apalagi jika berada di makam waliyullah, yang diyakini mereka adalah orang-orang yang dekat dengan Allah SWT dan dilimpahi berkah serta karomah dari Allah SWT.
B. Waliyullah a) Memahami Kehidupan dan Thabaqât Waliyullah Keberadaan waliyullah diyakini di sepanjang masa, karena ini merupakan bukti kelanjutan dari tradisi kenabian. Artinya, seorang yang berada dalam wilayah kewalian mempunyai kualitas batiniyah, hakikat jati diri, seperti seorang nabi63, di mana pikiran, perilaku dan ucapannya senantiasa berhubungan dengan ketuhanan. Karena itu, wali dianggap sebagai pewaris spiritual nabi64. Dan tidak sedikit di antara para wali yang diizinkan untuk menampilkan karamat sebagaimana seorang nabi diizinkan untuk menampilkan mu’jizat yang mampu melemahkan segala sikap dan tindakan batil dari para penantangnya. Hubungan khusus yang dimiliki wali sama dengan hubungan khusus para nabi, sebagaimana pernyataan Islaminis, Joh L. Esposito yang dikutip oleh Sulaiman al-Kumayi65 : Penghormatan kepada Muhammad dan para wali sufi sebagai perantara antara Allah dan manusia. Muhammad telah menekankan 62
Wahbah az Zuhaili, al Fiqh al Islam wa adilatuhu, juz 2, Bairut: Dar Al fikr, 2008, hlm 483-484 63 Ibn ‘Araby, al-Futuhat al-Makiyyah, Juz III , Beirut: Dar al- Kutub al -Islami, 2006, hlm 37 64 Abu Abd al-Rahman Muhammad bin Husain al-Sulamy, Tabaqat al-Sufiyyah, Kairo, Matba’ al Matba’ al Madani, 1987, hlm 1 65 Sulaimkan al Kumayi, Kewalian Dalam Perspektif Islam Lokal; Studi kasus Kotawaringin Barat, dalam jurnal Teologia, Semarang: fak. Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang, Volume 21 Nomor 1 Januari 2010, hlm 189
bahwa ia hanyalah manusia biasa. Muhammad sebagai perantara antara manusia dan Allah. Dan mukjizat yang dinisbatkan kepadanya, disebabkan oleh kedekatannya dengan Tuhan. Keajaiban-keajaiban ini juga diturunkan kepada para wali Allah. Kekuatan-kekuatan penuh mukjizat (menyambuhkan orang sakit, ada di dua tempat yang berbeda pada saat yang sama, membaca pikiran, melipatgandakan makanan) dan serangkaian kesempurnaan kewalian yang berlimpahlimpah. Mempunyai hubungan khusus sebagaimana para nabi tentunya ia sangat dekat dengan Allah SWT. Yusuf bin Ismail an Nabhani dalam kitabnya, Jami’ Karamat al-Auliya, yang dikutip oleh Majdi Muhammaf asy-Syahawi, mengatakan bahwa wali dari segi bahasa artinya dekat. Apabila seseorang dekat kepada Allah SWT disebabkan ketaatannya dan keikhlasannya, dan Allah SWT pun dekat kepadanya dengan melimpahkan rahmat, kebajikan, dan karunia-Nya, maka pada saat itulah terjadi kewalian. Atau dengan kata lain, orang itu telah menjadi wali66. Dari sini kemudian berkembang makna baru seperti pendukung, pembela, pelindung, yang mencintai, lebih utama, dan lain-lain yang semuanya diikat oleh benang merah kedekatan67. Kedekatan Allah SWT kepada makhluk-Nya dapat berarti pengetahuan-Nya yang menyeluruh tentang mereka dan dapat juga, disamping itu, dalam arti cinta, pembelaan, dan bantuan-Nya. Yang petama berlaku terhadap segala sesuatu. Sedangkan yang berarti cinta, bantuan perlindungan, dan rahmat-Nya adalah kepada hamba-hamba-Nya yang taat lagi mendekat kepadanya. Penggunaan kata wali jika menjadi sifat Allah SWT hanya ditunjukkan kepada orang-orang yang beriman. Karena itu, kata wali bagi Allah diartikan dengan pembela, pendukung, dan dejenisnya, tetapi pembelaan dan dukungan yang berakibat positif serta kesesudahan baik68 Sedangkan kata wali itu sendiri, menurut al-Qusyairi yang dikutip In’amuzzahidin, dapat diartikan dengan dua pengertian. Pertama bisa dibentuk fa’il dan bermakna fa’il (pelaku pekerjaan), dengan menggunakan arti mubalaghah (sangat menekanan). Wali berarti orang yang betil-betul selalu taat 66
Majdi Muhammad Asy- Syahawi, Karamah, Jakarta: Sahara Publishers, 2003, hlm 17-18 M. Quraish Shihab, Tafsir Al Misbah, Ciputat: Lentera Hati, 2001, hlm 449 68 ibid, hlm 449 67
kepada perintah Allah SWT, tanpa disertai maksiat. Kedua, dapat berbentuk fa’il dengan makna maf’ul (orang yang dikenai pekerjaan). Dimana wali adalah orang yang selalu mendapat penjagaan dari Allah SWT69. Fatwa syaikh Sa’id dalam kitabnya Syikh Ihsan bin Dahlan al-Jampesi, mengatakan bahwa auliya’ adalah jamaknya wali, yaitu orang yang makrifat terhadap Alah dan sifat-sifatnya dengan istiqomah menjalani taat, menjauhi larangan dan berpaling dari bujukkan kenikmatan dunia dan syahwat.70 Abu alAla Afifi, yang di kutip In’amuzzahidin, lebih jauh menerangkan bahwa wali adalah seseorang yang sibuk dengan Tuhan. Dan menghabiskan hidupnya untuk bergaul dengan-Nya, serta menghilangkan syahwat dan hubungan dengan diri dan lingkungan sosialnya. Ia memperoleh maqam (station) dekat dari Allah swt dengan kesucian dan kewira’iannya serta fana’ fi Allah, atau majdzub fi al hub Allah (dikuasai mahabbah ilahiyah, yang tidak meninggalkan tempat tersisa dalam hatinya, selain kekasihnya, Allah).71 Menurut Ibn Taymiyah (w. 728 H. / 1328 M.), wali merupakan suatu peristilahan umum untuk orang-orang yang mempunyai kedekatan dengan Allah SWT, termasuk para Nabi, Rasul dan orang-orang saleh. Para wali Allah yang paling utama adalah para Nabi-Nya. Dari para Nabi yang paling utama adalah para Rasul-Nya. Dari para Rasul Allah SWT yang paling utama adalah yang bergelar Ulu al-‘azm; mereka adalah Nuh, Ibrahim, Musa, Isa dan Muhammad.72 Istilah wali juga banyak di sebutkan dalam al-Qur’an, terutama yang sering menjadi rujukan adalah surah Yunus ayat 62, Allah berfirman : ∩∉⊄∪ šχθçΡt“øts† öΝèδ Ÿωuρ óΟÎγøŠn=tæ ê’öθyz Ÿω «!$# u!$uŠÏ9÷ρr& āχÎ) Iωr& 62. Ingatlah, Sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati73.
69
In’amuzzahidin, Dari Waliyullah Menjadi Wali Gila; Antara Tasawuf dan Psikologi, Semarang: Syifa Press, 2007, hlm 50 70 Ihsan Dahlan Al Jampesi, Sirajut Talibin, juz I, Bairut: Dar al Fikr, juz 1, 1997, hlm 17 71 In’amuzzahidin, Dari Waliyullah Menjadi Wali Gila, hlm 51 72 Ibn Taymiyah, Wali Allah; Kriteria & Sifat -Sfatnya, trj. Arief B. Iskandar, Jakarta: Lenera Basrima, 2000, hlm 6. 73 QS: Yunus: 62
Al-Tabari (w. 310 H. / 923 M.), dalam tafsirnya yang berjudul Jami‘ alBayan fi Ta’wil al-Qur’an menyatakan:
ألن ﷲ، الخوف عليھم( في األخرة من عقاب ﷲ،))أآل إن أوﻟياء ﷲ( أآل إن أنصار ﷲ 74 رضي عنھم فآمنھم من عقابھ )والھم يحزنون( على ما فاتھم من اﻟدنيا Menurut ath-Thabari, awliya (para wali Allah) adalah orang-orang yang dijamin dengan penjagaan dan terhindar dari hal yang menakutkan di kehidupan akhirat dan tidak akan pernah menemukan penyesalan dan kesedihan karena perbuatan yang telah dijalaninya semasa kehidupannya di dunia. Demikian itu dikarenakan apa yang telah diperbuat di dunia, tidak ada yang bertentangan dengan ketentuan Allah SWT. Atau dengan kata lain, semua yang telah diperbuatnya semasa hidup di dunia berada dalam bingkai rida dan izin Allah SWT75. Kata ( ) خوفkhauf atau takut adalah keguncangan hati menyangkut sesuatu yang negatif di masa akan datang, dan sedih adalah kegelisahan menyangkut sesuatu yang negatif yang pernah terjadi. Firmannya ( ) الخوفtidak ada ketakutan atas mereka dan seterusnya bukan berarti bahwa rasa takut mereka hilang sama sekali. Karena, ini adalah naluri manusia mustahil terjadi walau pada diri para nabi sekalipun. Bukankah nabi Musa as dilukiskan oleh al-Qur’an bahwa dia takut?. Jika demikian, bisa jadi sesekali mereka takut, tetapi ketakutan itu tidak mengatasi kemampuan mereka untuk bertahan dan tidak juga meliputi seluruh jiwa raga mereka. Itulah agaknya yang diisyaratkan oleh kata (‘ )عليھمala/ atas pada firmannya : tidak ada ketakutan atas mereka. Demikian juga dengan kesedihan. Sebagai manusia, mereka tentu saja tidak dapat luput dari kesediahan, tetapi kesediahn itu tidak berlanjut. Dan ini pulalah yang diisyaratkan oleh pengguna bentuk kata kerja masa kini dan masa datang (mudhori’) dalam firmannya ( ) يحزنونyahzanûn. Rasul pun bersedih sewaktu putra beliau Ibrahim
74
Abu Ja‘far Muhammad bin Jarir al-Tabari, Tafsir al Tabari al-Musamma Jami‘ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an Beirut:Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2005, hlm 574. 75 Tafsir yang serupa juga di ungkapkan oleh Muhammad Ali as Shobuni dalam karyanya Shofwah At Tafasir, juz 1, Kairo,:Dar at Turats Al Arabi, 1993, hlm 589. Senada dengan itu juga penafsiran dari as-Showi yang menjelaskan bahwa para wali dijaga di dunia dari perkara-perkara yang membuat mereka takut, dan di jaga dari kecemasan di akhirat, sebagaimana hadits “ Mereka tidak takut ketika semua orang takut, mereka tidak cemas ketika semua orang cemas”. lihat Tafsir As Showi Khasiyah ala tafsir Al Jalalain, juz II, Surabaya: Al Hidayah, tt, hlm 244
meninggal dunia. Air mata beliau bercucuran sambil bersabda “sesungguhnya air mata bercucuran, sesungguhnya hati bersedih, tetapi kita tidak mengucapkan kecuali apa yang diridhai Allah SWT”76 Demikian pula Komentar Abu Turab an-Nakhsyabi tentang sifat wali yang tidak takut dan tidak cemas, karena perasaan cemas itu berasal dari penantian akan terjadinya sesuatu yang tidak disenangi pada masa mendatang atau penyesalan akan hilangnya kesenagan pada masa-masa yang sudah lewat. Sedangkan para wali adalah anak waktu, ia tidak pernah berandai-andai tentang masa mendatang. Sebagaimana tidak mempunyai rasa cemas, seorang wali juga tidak mempunyai harapan. Karena namanya harapan adalah sebuah penantian akan tercapainya kesenangn atau akan hilangnya kesusahan77 Keterangan yang diungkapkan al-Yuusi mengenai syarat-syarat wali seakan akan berbeda dengan keterangan diatas, terutama mengenai “ ’Alâ Innâ Awliya’ Allah La Khawf ‘Alayhim wa Lâ Hum Yahzanun”. Ia mengutip pendapat sebagian imam bahwa seorang tidak mencapai derajat wali kecuali dengan empat syarat. Pertama, mengetahui “ushul ad-din”, sehingga bisa membedakan antara pencipta dan makhluk yang diciptakan. Juga antara nabi dan orang yang mengaku nabi. Kedua, mengetahui hukum-hukum syari’at, baik secara naqli (al- Qur’an dan hadits) maupun pemahaman dalil dengan perumpamaan. Seandainya Allah mencabut ilmu penduduk bumi, niscaya akan bisa ditemukan pada orang tersebut. Ketiga, mempunyai sifat-sifat terpuji. Seperti wira’i dan ikhlas dalam setiap amal. Keempat, selama lamanya dalam keadaan takut, tidak pernah merasa tenang sekejappun. Karena ia merasa tidak tahu apakah tergolong orang yang beruntung ataukah yang celaka.78 Keterangan yang keempat sebenarnya tidak bertentangan dengan ayat diatas. Bahkan Allah berfirman :
76
M. Quraish Shihab, Tafsir Al Misbah, hlm 451 Ihsan Dahlan Al Jampesi, Sirajut Talibin, juz I, , hlm 18 78 M. Ridwan Qoyyum Sa’id, Fiqih klenik; Fatwa-fatwa Ulama Menyorot Tarekat dan Mistik, Lirboyo: Mitra Gayatri, 2004, hlm 23 77
ÍνÏŠ$t6Ïã ôÏΒ ©!$# y´øƒs† $yϑ‾ΡÎ) 3 šÏ9≡x‹x. …çµçΡ≡uθø9r& ì#Î=tFøƒèΧ ÉΟ≈yè÷ΡF{$#uρ Å_U!#uρ¤$!$#uρ Ĩ$¨Ζ9$# š∅ÏΒuρ ∩⊄∇∪ î‘θàxî ͕tã ©!$# āχÎ) 3 (#àσ‾≈yϑn=ãèø9$# 28. dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun79. Suatu sikap mental merasa takut kepada Allah karena kurang sempurna pengabdiannya. Takut dan khawatir kalau-kalau Allah tidak senang padanya. Oleh karena adanya perasaan seperti itu, maka ia selalu berusaha agar sikap dan laku perbuatannya tidak menyimpang dari yang dikehendaki Allah. Sikap metal ini merangsang seseorang melakukan hal-hal yang baik dan mendorongnya untuk menjauhi perbuatan maksiat. Peranan khauf timbul karena pengenalan dan kecintaan kepada Allah SWT sudah mendalam sehingga ia merasa khawatir kalau-kalau Allah SWT melupakannya adatu takut kepada siksaan Allah SWT .80 Mengenai hal ini al-Ghazali mengatakan bahwa seseorang yang hatinya sedang asyik bercengkrama dengan yang dicintainya, ia akan takut berpisah dengannya. Dan itu akan mmbuat kecintaannya berkurang, padahal keabadian bercengkrama (al-Syuhud) adalah puncaknya maqamat (station dalam tasawuf)81. Selanjutnya al-Gahzali mengutip perkataan dari abu al-Qasim al-Hakim, “Barangsiapa takut terhadap sesuatu, maka ia akan lari darinya. Dan barangsiapa akan takut terhadap Allah SWT maka ia akan lari kepadanya”.82 Keadaan yang sedemikian rupa itu membuat para wali tidak mengetahuai apakah ia termasuk kekasih Allah SWT atau bukan. Abu Qasim al-Qusyairi mengatakan bahwa para ulama’ berbeda pendapat, apakah seorang wali mengetahui bahwa dirinya itu termasuk wali atau tidak?. Sebagian ulama’ mengatakan, mereka tidak tahu. Karena seorang wali selalu memandang rendah dirinya. Dan jika Nampak karomah pada diri mereka, justru menimbulkan rasa 79
QS: al- Fathir: 28 A. Rivay Siregar, Tasawuf; dari sufisme klasik ke neo sufisme, , Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002, hlm 133-134 81 Al Ghazali, ihya’ ulumuddin, juz 4, hlm 152 82 Ibid, hlm 153 80
takut, jangan-jangan termasuk tipudaya setan. Tetapi ada sebagin ulama yang mengatakan mereka bisa mengetahuinya kalau dirinya seorang wali83. Syaikh Abdillah bin Sahal ketika dianya, bagaimana wali itu dikenal?. Ia menjawab “ Sesungguhnya Allah SWT tidak akan memberitahu keadaan mereka kecuali kepada sesama mereka atau kepada yang dikehendaki Allah SWT untuk memetik manfaat darinya. Seandainya Allah SWT memperlihatkannya, sehingga manusia mengenalinya niscaya ia akan menjadi bukti atas kesalahan manusia kelak di hari kiamat dan orang-orang yang mengingkarinya niscaya akan kufur. Begitu juga orang-orang yang tidak menghiraukannya niscaya akan berdosa. Allah SWT merahasiakannya semata-mata hanya kasihan kepada makhlukNya. Begitu pula pendapat syaikh Abul Abbas al Mursiyyi yang mengatakan, “ Mengenali seorang wali itu lebih sulit dari pada mengenal Allah, karena Allah itu bisa dikenali dengan sifat-sifatnya yang sempurna dan indah. Sedangkan para wali bisa engkau jumpai kapan saja atau dimana saja, berupa makhluk yang sama seperti keadaanmu. Ia makan dan minum seperti halnya dirimu”84. Abu Qasim al-Junidi mendengar dari Syaikh Aba Abdirahman as Sulami, ia mendengar dari Mansur bin Abdillah, dari Pamannya al Bastami, dari bapaknya, dan dari Abu Yazid al-Bustami mengatakan “ para Wali Allah SWT laksana pengantin-pengantin Allah SWT. Pengantin-pengantin itu tidak bisa dilihat kecuali muhrimnya. Mereka ditidurkan di sisi Allah SWT dalam tirai kerinduan, dan mereka tidak bisa dilihat oleh seseorang baik di dunia dan di akhirat85 Syaikh Acmad Asrori al- Ishaqi mengklasifikasi wali menjadi tujuh: 1.
Para wali Allah SWT yang hanya diketahui oleh orang-orang istimewa.
2.
Para wali Allah SWT yang diketahui oleh orang-orang tertentu dan orang umum.
3.
Para wali Allah SWT yang tidak dapat diketahui oleh orang-orang istimewa dan orang umum.
4.
Para wali Allah SWT yang ditampakkan oleh Allah SWT pada awal pendakiannya, dan disamarkan oleh Allah pada puncak pendakiannya. 83
Ihsan Dahlan Al Jampesi, Sirajut Talibin, juz I, hlm 16 Muhammad bin Ibrahim, Syarah al Hikam, juz 2, Surabaya: al Hidayah, tt, hlm 2 85 Ihsan Dahlan Al Jampesi, Siraj ath Thalibin, juz I, hlm 17 84
5.
Para wali Allah SWT yang disamarkan oleh Allah Kepada makhluk dalam awal pendakiannya dan ditempatkan oleh Allah SWT kepada makhluk dalam puncak pendakiannya.
6. Para wali Allah yang hanya diketahui oleh Allah dan tidak ditmpakkan kecuali pada malaikat hafidhoh al kirom yang diberi mandat untuk menjaga sirri (rahasia). 7. Para wali Allah SWT yang hanya diketahui oleh Allah SWT dan hakikat kewaliannya tiak ditampakkan kepada malaikat hafidhoh al kirom, mereka dengan apa yang telah dititipkan dihati mereka itu menjadi saksi alam malakut yang luhur dan sisi kanan ‘arasy, yakni para wali yang arwah mereka dicabut langsung oleh Allah SWT (tapa perantara malikat Izrail as)86 Derajat yang demikian tinggi dihadapan Allah SWT, menurut Syaikh Achmad Asrrori al-Ishaqy merupakan limpahan cahaya yang berasal dari kilauan sinar cahaya kenabian. Perumpamaan hakikat nur Nabi Muhammad SAW laksana matahari, sedangkan hati para wali Allah laksana rembulan. Sehingga terangnya rembulan karena sinar matahari yang menghadap dan membentang padanya. Maka selalu bersinar di siang hari dan terang di malam hari, tidak akan pernah padam. Oleh karenanya, nur para wali Allah SWT senantiasa langgeng karena langgengnya nur Rasulullah SAW.87 Sebagaimana dikatakan di atas, kewalian hanya limpahan cahaya kenabian. Sehingga seseorang untuk menjadi Nabi tidak mungkin bisa diusahakan dengan jalan khusus seperti kholwat (menyepi), selalu beribadah, makan makanan yang halal. Adapun untuk mencapai kewalian ada dua jalan. Pertama dengan usaha, yaitu menjalankan menjalankan perintah-perinyah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, ini dinamakan al-wilayah al ‘ammah (kewalian yang umum). Yang
86
Achmad Asrori al Ishaqy, Untaian Mutiara; Dalam Ikatan Hati dan Jalinan Rohani, jilid 1, Surabaya: kantor Tariqoh al Qadiriyah wa Naqsabandiyah al Utsmaniyyah, cet ke 2, 2010, hlm 86-87 87
ibid, hlm 73-74
kedua, kewalian merupakan pemberian dari Allah SWT, seperti Ilmu ladunni, melihat lauh al-mahfudz dan lainnya.88 Derajat kenabian yang tidak bisa di lakukan dengan ‘uzlah. Ini bisa di pahami dari cerita Nabi Muhammad SWT sebagai sayyidul anbiya’ wa al mursalin (pemimpinnya para nabi dan rasul) : Pada tahun 610 di malam ke tujuh belas bulan Ramadhan, tatkala Muahmmad dibangunkan dari tidur dan merasakan dirinya didekap oleh kehadiran ilahiyah yang dasyat. malaikat menampakkan diri kepadanya dan memberinya sebuah perintah “bacalah !” (iqra’ !). seperti halnya nabi-nabi Ibrani yang sering merasa berat mengucapkan firman Tuhan, Muhammad menolak dan memprotes, “Aku bukan pembaca !”. dia bukanlah seorang kahin, seorang peramal ekstatik Arab yang mengaku fasih membaca nubuat-nubuat yang diilhamkan Muhammad merasa dirinya berada dalam ketakutan dan perubahan, bergidik memikirkan bahwa dia mungkin telah menjadi sekedar seorang kahin tak terhormat yang dimintakan pendapatnya oleh orang-orang ketika mereka kehilangan unta. Seorang Kahin diduga dikuasai oleh jin, sejenis makhluk halus yang dipercayai menghuni daratan Arab, yang bisa berubah-ubah wujud dan menyesatkan manusia. Muhammad mengira bahwa dia mungkin telah menjadi majnun, dikuasai jin, memenuhi dirinya dengan rasa putus asa seakan-akan keinginannya untuk hidup pupus sudah. Dia sangat tidak menyenagi para kahin itu.89 b) Hubungan antara Kewalian dengan Karamah Bagi Nurcholish Majid, kekuatan supra alami (khoriq al-‘adad) yang sesungguhnya bersifat nisbi belaka, karena sesungguhnya kekuatan itu pada hakikatnya
masih
alami,
kecuali
bahwa jalan
untuk
mengetahui
dan
menggunakannya rumit. Walaupun begitu, ia tetap terbuka bagi siapa saja untuk memperolehnya, asal bersedia menempuh jalan yang telah ditentukan. Dengan kata lain, ada jenis-jenis kemampuan “supra alami” yang dapat dipelajari, di ulang, dan dibuktikan secara lazim perkara ilmiah, meskipun metodelogi dan prosesnya berbeda. Kekuatan supra alami yang benar-benar diluar kapasitas manusia untuk mencapainya yaitu mukjizat dpada para nabi dan karamah para wali. Hakikatnya sebagi kekuatan supra alami karena ia muncul tidak dari gejala 88
Syaikh Ibrahim al Baijuri, Hasyiah ala Jauhari at Tauhid, Semarang:” Karya Toha Putra, tt, hlm 75 89 Karen Armstrong, Sejarah Tuhan, hlm 192-194
alami yang dikenal, yang bersifat lahiriyah,
malainkan dari sumber-sumber
kemampuan yang bersifat ruhani. Oleh karena iti tidak bersifat ilmiah lahiriyah, tidak dapat ditiru, dan tidak dapat diulang (dengan sengaja). Mukjizat para nabi dan karamah para wali bersifat unik90 Dalam dunia nyata, para sufi atau lebih tepat mereka yang dianggap mempunyai kedudukan sebagai wali, memiliki mukjizat-mukjizat atau anugrah khusus dari Tuhan (karamat) yang merupakan tanda dari kewalian mereka. Teoriteori khusus disusun untuk membedakan secara cermat antara mukjizat-mukjizat tersebut dengan mukjizat para nabi agar keduanya tidak dianggap sebagai saingan terhadap satu sama lain.91 Sebenarnya, para nabi harus menunjukkan mukjizatmukjizatnya, untuk mendapat pengakuan dari rakyat jelata. Mukjizat yang seperti ini biasanya bersifat fisik seperti yang dilakukan nabi Musa, Isa, Muhammad SAW dan nabi-nabi lainnya. Kemampuan untuk menunjukkan mukjizat membuat rakyat yang buta huruf percaya bahwa pengetahuan dan keketan nabi-nabi ini berasal dari sumber di luar relitas fisik. Orang ini mengharapkan nabi dapat mengubah batu menjadi emas sebalum ia mempercayai kenabiannya. Sebaliknya, orang yang sadar menerima nabi-nabi itu bukan dikarenakan mukjizat-mukjizat mereka, tetapi karena inti pesan mereka.92 Kata karamah yang mempunyai kata dasar karuma, secara etimologis dapat berarti dalam kemulyaan, diberi kemudahan, terjaga dan bersih dari maksiat. Jika dikaitkan dalam persoalan kewalian, karamah berarti sesuatu yang luar biasa atau keluar dari hukum kausalitas, yang berasal dari seeorang, tanpa dibarengi dengan dakwah kenabian. Atau ada yang mendefinisikannya dengan sesuatu yang keluar dari adat kebiasaan, yang berasal dari seorang hamba yang taat (shalih), selalu mengikuti syari’at Nabi, dan diiringi dengan keyakinan (‘aqidah) yang benar dan amal yang shalih.93
90
Nurchalish Majid, Masyarakat Religius, Jakarta: Paramadina, 2000, hlm 171 Fazlurrahman, Islam, hlm 196 92 Ali Syariati, Membangun Masa depan Islam, trj. Rahmani Astuti, Bandung, Mizan, 1989, hlm 104 93 In’amuzzahidin, Dari Waliyullah menjadi Wali Gila, hlm 57 91
Kalangan sufi bersepakat menetapkan tentang adanya keramat para wali. Mereka mengkategorikan keramat para wali ini termasuk mukjizat. Para sufi menganggap cerita-cerita ajaib yang dialami oleh seseorang sufi haruslah dianggap sebagai cerita-cerita yang benar94. Alasan para sufi ini, karena al-Qur’an mengilustrasikan mengenai adanya “makhluk yang diberi ilmu dari kitab Allah SWT” sehingga mampu memindahkan singasana dari suatu tempat ketempat yang lain. Dalam al-Qur’an disebutkan “ Berkatalah seseorang yang mempunyai ilmu dari al-Kitab: Aku akan membawa singasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip…”95 .Juga kisah Maryam (ibu Nabi Isa as) ketika ditanya oleh Zakaria: “ Hai Maryam, darimana kamu memperoleh makanan ini?, Maryam menjawab: makanan ini dari sisi Allah…”96 Menurut Fazlurahman, pada abad ke-5/11 M, kepercayaan kepada keramat para wali telah tersebar luas. Ortodoksi (ulama’) dengan hati-hati juga menerimanya., Seabad kemudian ibnu Sina terpaksa harus menciptakan doktrin yang rasional untuk mengakomodasi paling tidak keramat yang dapat diterangkan oleh psikologi ilmiah. Dalam pengaruh sugesti, al-Ghazali sendiri menyusun sebuah teori yang terperinci untuk membuktikan adanya ‘alam al-mitsal sebagai suatu penengah antara alam spiritual dan alam materi.97 Sedangkan Woodward, peneliti Islam di Jawa, mengartikan keramat adalah suatu ajektif yang mencirikan pencapaian religious para wali. Kramatan biasanya adalah suatu makam suci atau tempat keramat lainnya dimana wali bisa menjadi tempat memohon dengan khusyuk. Kekeramatan dalam bahasa arab berarti : “keajaiban-keajaiban yang dimiliki oleh para wali untuk kebaikan orang maupun bukti kewalian yang mereka miliki”98. Pengertian keramat- bagi Woordward- secara superficial berkaitan dengan kesaktian. Kramat bisa diperoleh melalui pembersihan jiwa dan pengembangan hubungan yang akrab dengan Allah SWT. Keramat merupakan salah satu diantara
94
Sulaiman al Kumayi, Kewalian dalam perspektif Islam Lokal, hlm 190 QS an- Naml :40 96 Qs Ali Imran:37 97 Fazlurrahman, Islam, hlm 221-222 98 MR Woodward, Islam Jawa, hlm 258 95
jalan pendahuluan menuju ke kesatuan mistik. Kebanyakan kesaktian wali berasal dari kemampuan mereka untuk memohon pengampunan atas nama Allah SWT bagi orang yang tingkat pecapaian spiritualnya rendah. Keramat dan kesaktian bisa digunakan untuk banyak tujuan yang kurang lebih sama, tetapi kesakten selalu berbahaya dan sebagian besar bersifat jahat,sementara keramat suci tidak mendua. Keduanya juga dikembangkan dengan cara yang berbeda-beda. Keramat diolah melalui ibadah, seperti zuhud dan meditasi yang berfokus pada Allah SWT. Ia meliputi praktik-praktik keras dikenal sebagai tarekat, diantaranya adalah puasa, berdiri sepanjang malam di sungai, makan hanya nasi putih atau tumbuhtumbuhan liar, tidak tidur semalam suntuk di sebuah tempat kramatan, dan lainlain. Berbagai praktik yang seperti ini juga bisa disebut tapa99. Senada dengan Word, Suliman al-Kumayi mengatakan bahwa dalam konteks Islam lokal, definisi keramat mungkin berbeda dengan teks sufi stadar. Ia mengutip penelitiannyanya Alfani Daud terhadap orang-orang Banjar yang menunjukkan bahwa mereka mengkeramatkan kuburan tokoh ulama’, tokoh rajaraja banjar, tokoh-tokoh pejuang kemerdekaan, dan tokoh cikal bakal desa. Ada pula kuburan orang yang semasa hidupnya kelakuannya aneh, bahkan sebagian orang memandang gila, sesudah meninggal kuburannya dikeramatkan. Dan untuk menentukan kekeramatan ini, orang-orang Banjar mempunyai dua cara. Pertama, secara diam-diam meletakkan langit-langit kain kuning di atas kuburan tersebut, dan setelah beberapa waktu pasti akan diikuti oleh pemasangan langit-langit atau kelambu kuning berikutnya. Cara kedua ialah meletakkan anai-anai yang ada ratunya diatas kuburan tersebut, sehingga setelah beberapa waktu tumbuh busut anai-anai di atas kuburan tersebut. Apabila tumbuh busut dapat dipastikan akan ada orang yang meletakkan langit-langit atau kelambu kuning di atasnya. 100 Sementara itu –masih menurut Sulaiman -, Muslim Kotawaringin barat mempunyai cara sendiri untuk menentukan apakah seseorang yang dimakamkan di suatu tempat itu urung keramat (orang keramat) atau tidak. Ada tiga cerita yang mereka pakai untuk hal ini. Cerita pertama, keramat memang sudah ada sejak 99
ibid, hlm 289 Sulaiman al Kumayi, Kewalian dalam perspektif Islam Lokal, , hlm 191
100
makam ditemukan dan yang dimakamkan memang dikenal kesalehannya selama hidupnya dan menunjukkan kesaktian-kesaktiannya semasa hidup dan matinya. kriteria ini biasanya terdapat dalam cerita-cerita lisan yang mereka lihat pada jarak dua nisan kubur. Jarak dua nisan kubur tersebut panjangnya tidak normal atau melebihi nisan-nisan orang biasa, maka mereka menganggapnya sebagai makam keramat. Cerita ini terlihat di makam kiai Gede yang jarak antara nisan satu dengan yang lainnya 7 hasta, jarak yang dianggap tidak wajar dan berbeda dengan makam-makam disekitarnya. Karenanya mereka mengganggap makam tersebut sebagai bukti kekeramatan kiai Gede. kriteria kedua, kesaktian-kesaktian yang diperlihatkan semasa hidupnya, tempat-tempat peninggalannya seperti masjid dan kuburannya tidak tergenag air ketika banjir serta kalau berhajat kepadanya terkabul. Penentuan ketiga melalui alamat yang diterima oleh seseorang. Misalnya kasus makam kramat di samuda yang sekarang ramai di kunjungi orang. Menurut penuturan masyarakat setempat, makam ini ditemukan oleh seorang penebang kayu garubuya (kayu ramin), pohonnya besar-besar. Di tengah-tengah melakukan penebangan kayu, ia menemukan sebuah pekuburan terbuat dari kayu bulat. Penebang kayu kaget, “ Apa ini kuburan atau hanya kayu biasa?”. Ia pulang ke rumah dan
malam harinya ia bermimpi ditemui oleh seseorang yang
memberitahunya bahwa kuburan itu adalah kuburan kramat yang sudah lama berada disana, dan ia meminta supaya merawat kubururan tersebut dengan baik. Niscaya dibuatkan yang baru dan diberi kubah sehingga banyak diziarahi.101 Salah satu ciri aneh pemujaan para wali Jawa kedang-kadang ditemukannya tempat keramat baru. Ada prinsip sufisme yang telah diterima luas bahwa tidak semua wali sadar akan status khusus mereka. Karena itu, tidak aneh banyak yang tidak mendapat penghormtan selama mereka masih hidup. Pada waktu ruh wali yang meninggal itu akan mengirim pesan kepada seseorang, biasanya melalui mimpi atau trance meditasi bahwa kuburannya adalah tempat yang suci dan karena itu harus dihormati.102
101 102
Ibid, hlm 192 MR Woodward, Islam Jawa, hlm 261
Di kalangan pesantren, pemujaan terhadap wali memiliki banyak bentuk, di mana salah satunya adalah pembacaan riwayat hidup wali atau yang lebih popular disebut manaqib. Pembacaan ini akan terasa lebih intens jika dihubungkan
dengan
aspek
praktikal
tasawuf
tarekat.
Dalam
tarekat
Naqsabandiyah misalnya, untuk menyudahi serangkaian amalan-khataman, satu amalan terpenting dalah membaca manaqib syeh Abdul Qadir al-Jailani yang dilakukan oelh para khalifah dan dipimpinan oleh seorang guru. Manaqib-an ini dilakukan sebagi salah satu ritual yang tidak boleh ditinggalkan103. Fazlurrahman mendiskripsikan Kepercayaan kepada karamah para wali, dalam kenyataannya adalah bagian dari suatu konsep yang lebih luas tentang kekuasaan para wali yang disampaikan melalui penganut-penganut sufi. Kekuasaan ini memancar dari sang pemimpin spiritual dan mempengaruhi nasib baik spiritual maupun material dari pengikutnya. Kekuasaan barakah atau fayd, atau ‘karunia’. Kepercayaan yang tersebar luas tentang barakah ini menjurus kepada penghormatan, pemujaan makam para wali, dan peninggalan-peninggalan lain yang berasal dari mereka104. Pendapat Fazlurrahman itu, bisa dipahami jika seseorang meyakini bahwa karamahnya para wali tidak hanya pada waktu masih hidup, tetapi juga setelah meninggal, sebagaimana diyakini oleh mayoritas ulama’ ahl as-sunnah. Begitu pula dikatakan asy-Sya’rani yang diberitahu oleh guru-gurunya, bahwa Allah SWT menempatkan malaikat di kuburannya untuk menyampaikan permohonan do’a peziarah, dan kadang wali itu keluar untuk memenuhi kebutuhan peziarah pada Allah SWT.105 Inilah yang disebut tawassul, sebagai perantara kepada Allah SWT.
C. Hakikat Tawassul Meminta pertolongan kepada Allah SWT melalui orang-orang yang di kasihiNya tidak menjadi perdebatan yang serius dikalangan ulama’, sampai pada abad ke 14 M. Karena banyak ulama’ yang berpegang pada hadits-hadits yang 103
Ahmad Gunaryo, Pesantren dan Tasawuf, dalam Tasawuf dan Krisis, hlm 165 Fazlurrahman, Islam, hlm 222 105 Syaikh Ibrahim al Baijuri, Hasyiah ala Jauhari at Tauhid, hlm 90 104
menjelaskan diperbolehkannya tawassul kepada selain amal sholih seperti yang diriwayatkan oleh ‘Utsman bin Hanif :
سمعت رسول ﷲ صلى ﷲ عليه وآﻟه وسلم وجاءه: عن عثمان بن حنيف رضي ﷲ عنه قال فقال،ي يا رسول ﷲ !ﻟيس ﻟي قائد وقد ﺷق عل ﱠ: فقال،رجل ضرير فشكا إﻟيه ذھاب بصره ائت اﻟميضأة فتوضأ ﺛم صل ركعتين ﺛم قال اﻟلھم إني: "رسول ﷲ صلى ﷲ عليه وآﻟه وسلم أسأﻟك وأتوجه إﻟيك بنبيك محمد صلى ﷲ عليه وآﻟه وسلم نبي اﻟرحمة يامحمد إني أتوجه بك فوﷲ ما: "قال عثمان،ي وﺷفعني في نفسي اﻟلھم ﺷفعه ف ﱠ،إﻟى ربك فيجلي ﻟي عن بصري 106 تفرقنا وال طال بنا اﻟحديث حتى دخل اﻟرجل وكأنه ﻟم يكن به ضر "Dari Utsman bin Hunaif, bahwa seorang lelaki buta mendatangi Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, lalu berkata: “Berdoalah kepada Allah agar Dia menyembuhkanku”. Beliau bersabda: “Jika engkau mau aku akan berdoa, tetapi jika engkau mau bersabar, itu lebih baik bagimu.” Lelaki tadi berkata: “Doakanlah kepadaNya”. Maka beliau memerintahkannya untuk berwudhu’ dengan membaguskan wudhu’nya, lalu shalat dua raka’at, lalu berdoa dengan doa: “Wahai Allah, sesungguhnya aku memohon kepadaMu, dan aku menghadapMu dengan wasilah NabiMu, Muhammad, Nabi pembawa rahmat. Sesungguhnya aku menghadap Rabbku dengan wasilah engkau (Nabi Muhammad), maka tiba-tiba aku melihat. Ya Allah, tolonglah diriku. Utsman berkata, “Demi Allah, tidak lama setelah itu, lelaki itu masuk, seakan-akan ia sudah tidak ada yang sakit (sembuh)." Ajaran Nabi ini tidak hanya terjadi pada masanya saja, tetapi setelah itu Sahabat ‘Uthman bin Hanif RA, yang meriwayatkan hadith di atas dan yang telah menjadi saksi peristiwa bagaimana Rasulullah SAW mengajarkan kepada orang buta berdoa dan bertawasul dengan dirinya, ia juga mengajarkan kepada seseorang yang punya kepentingan, kepada ‘Utsman bin Affan, di masa kekhilafahannya, di mana pada saat itu orang tersebut mengalami kesulitan untuk menjumpai Khalifah, kemudian ia melakukan apa yang diajarkan oleh bin Hanif sehingga terlaksana keinginannya.107 Sayyid Muhammad al-Maliki menjelaskan bahwa tawassul kepada Nabi SAW merupakan perbuatan yang agung dalam merangka mendekatkan diri dan taat kepada Allah SWT. Ini disebabkan tawassul kepada Nabi SAW atau selainnya seperti para Nabi dan para wali termasuk perkara yang diperbolehkan, bahkan disunnahkan. Alasannya, karena ini dianggap adab (tata krama) do’a dan 106 107
Ahmad bin Hanbal, Musnad , Juz. IV, hadits ke 16604, hlm 134., Muhammad bin Alwi al Maiki al Hasani, Mafahim Yajib Antusohhiha, hlm 138
meminta kepada Allah sebab kedudukan mereka, dan tawajjuh (menghadap Allah SWT) dengan perantara kemulyaan mereka. Selain itu, tawassul kepada seseorang yang mulia lebih utama dari pada tawassul kepada amal sholih. 108 Ini bisa dicerna ketika dipahami bahwa yang menjalankan amal shalih adalah orang yang diperintahkan Allah SWT untuk bertaqwa sebagaimana firman-Nya : öΝà6‾=yès9 Ï&Î#‹Î6y™ ’Îû (#ρ߉Îγ≈y_uρ s's#‹Å™uθø9$# ϵø‹s9Î) (#þθäótGö/$#uρ ©!$# (#θà)®?$# (#θãΖtΒ#u šÏ%©!$# $y㕃r'‾≈tƒ šχθßsÎ=øè? 35. Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan109. Quraish Shihab mengartikan Kata ( ) وسيلةwasilah mirip makananya dengan ( ) وصلwashila yakni “sesuatu yang menyambung sesuatu yang lain” sedangkan wasilah adalah “sesuatu yang menyambung dan mendekatkan sesuatu dengan yang lain, atas dasar keinginan kuat untuk mendekat”110. Tidak berbeda dengan fatwanya Syaikh al Mufti Muhammad Abdul Qoyyum al Qadiri, bahwa tawasul secara bahasa berarti menjadikan sesuatu sebagai perantara dan menjadi sebab tercapainya maksud. Sedangkan secara ishtilahi syara’ (terminology), menjadikan sesuatu yang mempunyai kekuasaan dan pangkat disisi Allah sebagai wasilah guna diterimanya do’a. maka tasawul seperti ini diperbolehkan, baik dengan dzat (orang) atau amal sholih111 Selanjutnya, Quraish Shihab mengatakan, ada banyak cara yang dapat digunakan untuk mendekatkan diri kepada ridha Allah SWT, namun kesemuanya haruslah yang dibenarkan oleh-Nya. Ini bermula dari rasa kebutuhan kepada-Nya. Demikian Ibn Abbas menafsirkan. Memang jika seseorang merasa kebutuhan
108
Muhammad bin Alwi al Maliki al Hasani, Syifa al Fuad bi ziarah Khoiri al Ibad, Makkah:Addaulah Al Imarot al Arabiyah al Muttahidah, 1991, hlm 156 109 QS: Al Maidah : 35 110 M. Qurais Shihab, Tafsir al Misbah, Volume 3, hlm 82 111 Syah Fadl Rasul al Qadiri al Badayuni, Saiful Jabbar;al masul ala a’dai al abrar, dalam fitnah al wahabi, Istambul: Hakikat Kitabefi, 2004, hlm 166
kepada sesuatu, dia akan menempuh segala cara untuk meraih ridhanya serta menyenagkannya. Demikian juga dengan Allah SWT112. Ahmad Bin Muhammad As-Showi menjelaskan maksud s's#‹Å™uθø9$# ϵø‹s9Î) (#þθäótGö/$#uρ adalah mencintai para nabi dan para wali Allah SWT, Bersedekah, Ziarah kepada kekasih-kekasih Allah SWT, memperbanyak do’a, shilaturahim, memperbanyak dzikir dan lain-lain. Bahkan menurutnya, orang yang tersesat dan rugi adalah mereka yng mengkafirkan ziarah para wali. Karena ziarah dianggap bukan beribadah pada Allah SWT. Sebenarnya ziarah merupakan bagian dari kecintaaan kepada Allah SWT113 Ibnu Taimiyyah menjelaskan dalam kitab Qaidah Jalilah fi at Tawassiul wal Wasilah -yang dinukil sayyid Muhammad al Maliki- bahwa maksud
s's#‹Å™uθø9$#
mencari jalan menuju Allah SWT dengan perantara imannya Nabi Muhammad SAW dan yang mengikutinya. Tawasul dengan iman kepada Nabi dan mentaatinya, merupakan sebuah kewajiban (fardhu) bagi setiap orang secara dhohir dan batin, baik ketika Nabi SAW masuh hidup atau sudah meninggal, dalam keadaan ada (terlihat) ataupun tidak adanya Nabi SAW114. Selanjutnya dijelaskan dalam kitab al-Fatawi al Kubro, ketika Ibnu Taimiyah ditanya permasalahan tawasul, ia menjawab “ Alhamdulillah, adapun tawasul dengan beriman pada Nabi SAW, mencintainya, taat kepadnya, sholawat serta salam kepadanya, dengan do’anya, syafa’atnya, dan yang seperti itu, adalah perbuatannya (nabi SAW), dan perbuatan umat yang diperintah menjalankannya dengan haknya beliau (nabi SAW). Ini adalah perkara yang disyari’atkan sesuai kesepakatan orang-orang muslim115 Sedangkan menurut sayyid Muhammad al-Maliki, yang dimaksud washilah adalah setiap sesuatu yang dengan sebab itu Allah SWT menjadikannya, dan menjadi tersampaikannya kebutuhan hajatnya. Karena dengan adanya wasilah itu, 112
M. Quraish Shihab, Tafsir al Misbah, volume 3, hlm 82 Lihat: Ahmad Bin Muhammad As-Showi, Tafsir As Showi Khasiyah ala tafsir Al Jalalain, jilid 1, Surabaya: al Hidayah, tt, hlm 382-383 114 Muhammad bin Alwi al Maliki al Hasani, Mafahim Yajib Antusohhiha, hlm 142 115 ibid , hlm 143 113
sebagai penghormatan dan bukti kekuasaan kepada yang diwashilahi (Allah SWT). Selanjutnya dijelaskan, bahwa lafaadz washilah dari ayat diatas sangat umum. Oleh karenanya bisa mencakup pada seseorang yang mulia seperti para nabi dan orang-orang sholih baik pada waktu masih hidup atau sudah meninggal116. Pendapat ini sesuai hadits qudsi yang diriwayatkan oleh alBukhari: Nabi bersabda:” Sesungguhnya Allah yang Maha Mulia lagi Maha Agung berfirman: ‘ Barangsiapa yang memusuhi waliku (orang yang dekat kepadaku) maka sesungguhnya aku telah menyatakan perang beginya. Tidaklah seorang hambaku mendekatkan diri kepadaku, dengan sesuatu yang lebih aku senangi daripada melaksanakan apa yang aku fadhukan atasnya. Dan tidak pula hambaku senantiasa mendekatkan diri dengan melaksanakan amalan-amalan sunnah, sehingga Aku mencintainya. Dan apa bila aku mencintainya, menjadilah aku telinganya yang ia gunakan untuk mendengar, matanya yang ia gunakan untuk melihat, tangannya yang dengannya ia menghajar, dan kakinya yang dengannya ia berjalan. Apabila ia memohon kepadaku maka pasti Aku kabulkan permohonannya, apabila ia meminta perlindungan pasti ia ku lindungi”.117 Pendapat imam Syaukani dalam makalahnya yang berjudul al Durr al Nadid fi Ikhlash kalimah al Tawhid yang dinukil oleh syaikh Muhammad Hisyam al Kabbani mengatakan: “Seseorang yang datang ke kuburan nabi, wali, atau ulama’ sebagai peziarah tidak ada ruginya. Karena bertawasul melalui dan meminta kepada Allah semata dengan berwashilah kepada orang yang berada di dalam kubur itu, adalah laksana orang yang mengatakan,” Ya Allah, aku memohon kepada Mu dengan apa yang dimiliki hamba Mu yang saleh ini, seperti ibadah kepada Mu, berjuang karena Mu”. Jadi tak diragukan lagi bahwa tawasul seperti itu diperbolehkan” 118 Praktik ini juga diakui oleh Sulaiman al-Kumayi yang mengadakan penelitian Muslim di Kotawaringin Barat. Keparcayaaan kepada orang-orang sholih yang mempunyai kemampuan khusus membantu proses hubungan dengan Tuhan dalam kehidupan sehari-hari serta mampu meramalkan baik buruk suatu pekerjaan. Konsekuensi logis dari adanya kepercayaan ini adalah munculnya 116
ibid, hlm 126 Al Bukhori, Shohih al Bukhori bi Khasiyati al Imam as Sanadi, jilid 4, Bairut: Dar al Kutub al Alamiyah, hadits : 6501 118 Syaikh Muhammad Hisyam Kabbani, Syafa’at, Tawasul dan Tabaruk, Bandung: Serambi, 2010, hlm 95 117
tokoh-tokoh spiritual (cultural hero), yang menjelaskan kepada suatu sistemsistem hubungan yang berlapis sesuai dengan pemaknaan realitas-realitas itu sendiri, yaitu realitas teologis (manusia-Tuhan), realitas psikologis (manusia – cultural hero), dan realitas empiric (manusia-pimpinan upacara). Dalam realitas teologis, manusia mempercayai bahwa hanya Tuhanlah yang menjadi pusat tujuan bergantung, dan dari Allah pula suatu harapan (do’a) dikabulkan, ditunda, atau di ubah sesuai kapasitas manusia memintanya. Hubungan teologis ini berjalan atau dijalankan dalam kehidupan sehari-hari, dalam kehidupan pribadi atau besama di dalam keadaan biasa (normal). Tapi ketika manusia khusus atau harapan-harapan khusus, maka manusia akan menghampiri tokoh-tokoh spiritual yang diyakini memiliki hubungan yang lebih dekat karena kesuciannya kepada Tuhan untuk secara khusus meng-apel-kan keadaan, harapan, atau keinginan itu. Realitas demikian inilah yang disebut dengan realitas psikologis. Sedang untuk menghubungi tokoh-tokoh spiritual agar berkenan menjadi “perantara” dirinya, dibutuhkan suatu tata cara khusus.pengetahuan dan ketrampilan demikian itu dipercayakan kepada pimpinan-pimpinan ritual. Inilah suatu realitas empiris dalam kehidupan sosialnya119.
BAGAN I TUHAN Perkenanan Tuhan
WALI UMAT
Sumber permohonan
Mediator;orang yang taat
Umat yang mempunyai keinginan kepada Tuhan
Pemahaman yang benar mengenai tawasul ini, sayyid Muhammad al Maliki memberi penjelasan yang sistematis tentang tawasul ini. Ia membagi menjadi empat bagian. 1. Tawasul adalah salah satu cara untuk berdo’a, salah satu bab dari beberapa bab untuk bertawajjuh (menghadap) kepada Allah SWT. Oleh karena itu 119
Sulaimkan al Kumayi, Kewalian Dalam Perspektif Islam Lokal; hlm 197-198. Bagan sesuai dengan yang di gambarkan oleh sulaiman al- Kumayi.
maksud asal yang hakiki adalah Allah SWT. Sedangkan mutawassil bih (yang menjadi perantara) adalah sebagai penghubung dan penghantar untuk mendekatkan diri pada Allah SWT. Barangsiapa yang tidak mempunyai keyakinan seperti ini adalah syirik. 2. Meyakini kalau yang dijadikan perantara (mutawassil) adalah orang yang mencintai Allah SWT, begitu juga Allah SWT mencintainya. Apabila tidak demikian, maka manusia telah jauh dan sangat dibenci. 3. Tidak meyakini bahwa yang dijadikan wasilah bisa memberi manfaat dan derita bagi dirinya sendiri dengan manyamakan sebagaimana Allah SWT. 4. Bahwasannya bertawasul bukan sesuatu yang pasti dan pokok, dan bukan sesuatu yang pasti diterima do’anya. Tetapi hanya sebatas do’a kepada Allah SWT sebagaimana ayat120 : ( Èβ$tãyŠ #sŒÎ) Æí#¤$!$# nοuθôãyŠ Ü=‹Å_é& ( ë=ƒÌs% ’ÎoΤÎ*sù Íh_tã “ÏŠ$t6Ïã y7s9r'y™ #sŒÎ)uρ ∩⊇∇∉∪ šχρ߉ä©ötƒ öΝßγ‾=yès9 ’Î1 (#θãΖÏΒ÷σã‹ø9uρ ’Í< (#θç6‹ÉftGó¡uŠù=sù 186. dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, Maka (jawablah), bahwasanya aku adalah dekat. aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran121. Dalam kitab Saif al Jabbad, mengumpulkan pendapat-pendapat ulama’ terkemuka sekitar tahun 1981. Antara lain : 1. Syaikh al Kabir al Alamah Ahmad Hasan Toha, pengajar di Kuliah Syari’ah di Bagdad yang menyatakan diperbolehkannya tawassul. Beliau mengirim surat kepada ulama’ ulama di Syiria, Libanon, Indonesia, dan Pakistan yang menyatakan diperbolehkannya tawasul. 2. Fatwa Sayyid Muhammad Asyiq ar Rahman, diperbolehkannya tawasul, bahkan disunahkan. Dalil dari firman Allah : 120 121
Muhammad bin Alwi al Maliki al Hasani, Mafahim Yajib Antusohhiha,hlm 123-124 QS: al Baqarah: 186
(#ρãxøótGó™$$sù x8ρâ!$y_ öΝßγ|¡àΡr& (#þθßϑn=¤ß ŒÎ) öΝßγ‾Ρr& öθs9uρ 4 «!$# ÂχøŒÎ*Î/ tí$sÜã‹Ï9 āωÎ) @Αθß™§‘ ÏΒ $uΖù=y™ö‘r& !$tΒuρ ∩∉⊆∪ $VϑŠÏm§‘ $\/#§θs? ©!$# (#ρ߉y`uθs9 ãΑθß™§9$# ÞΟßγs9 txøótGó™$#uρ ©!$# 64. dan Kami tidak mengutus seseorang Rasul melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah. Sesungguhnya Jikalau mereka ketika Menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.122 Dan didukung beberapa hadits yang di riwayatkan oleh an Nasa’i, dan atTarmidzi dan di sohihkan oleh al-Baihaqi. Dapat diambil kesimpulan bahwa wasilah pada nabi baik masih hidup atau sudah meninggal adalah boleh, karena keutamaan Nabi SAW tidak terputus sebab meninggalnya sebagaimana Ayat : ∩⊇⊃∠∪ šÏϑn=≈yèù=Ïj9 ZπtΗôqy‘ āωÎ) š≈oΨù=y™ö‘r& !$tΒuρ 107. dan Tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam123. 3. Fatwa al-Ustadz KH Ahmad Syaikhu, pimpinan pusat Ittihad alMubalighin, Jakarta, mengatakan bahwa tawassul, minta pertolongan (al istighosah), minta syafa’at pada nabi saw adalah diperbolehkan, dan dianggap baik. Karena merupakan perbuatannya para nabi, rasul, para salaf as-shalih, ulama’ dan orang-orang awamnya para muslim. Tidak ada yang mengingkarinya sama sekali, dan tidak pernah didengar dari beberapa zaman, sampai datangnya Ibnu Taimiyah. Pendapatnya yang mengatakan tidak diperolehkannya minta tolong (istighosah) dan tawasul, di tolak oleh orang-orang alim sebelumnya. 4. Fatwa Syaikh al-Alamah al-Mufti Muhammad Abdul Qayyum al-Hazarawi al-Bakistan merupakan salah satu dosen di Universitas Nidhamiyah ar radwiyah di Lahore. Yang menafsiri ayat: s's#‹Å™uθø9$# ϵø‹s9Î) (#þθäótGö/$#uρ, 122 123
QS An Nisa’ : 64 QS: al Anbiya’ : 107
dengan makna
mendekatkan diri, sebagimana pendapatna para mufassir yang lain. Kata ( مرقبmuroqqib) dengan makna isim fa’il ( مرقب/muraqqabun) menjadi yang didekati, dan secara hakiki yang didekati adalah Allah SWT, tetapi bukan ini yang dimaksud di ayat ini. Atau bermakna isim maf’ul
( )راقب
mendekat pada Allah SWT. Makna mendekat dapat mencakup dua hal, yakni dengan dzat (orang) atau amal sholih. Karena kedua-duanya bisa mendekatkan pada Allah SWT. Secara akal, tawassul pada nabi diperbolehkan karena beliau diutus untuk mendekatkan umatnya pada Allah SWT, di mana ini adalah mendekatkan diri pada Allah SWT adalah tujuan manusia, dan dicari manusia di dalam ibadahnyadan amalnya. Karena bahagiaan dan keselamatan di dunia dan akhirat, tidak bisa hasil kecuali dengan taqarrub (mendekatkan diri peda Allah SWT). Dan taqarrub tidak bisa hasil kecuali dengan wasilah (perantara Nabi SAW)124 Salah satu majlis dzikir yang lebih fokus untuk berwasilah, khususnya 50 wali agung yang termaktup dalam kitab pegangan yang bernama Dzikrul Ghofilin. Kiai Hamim Dzajuli atau lebih popular Gus Mik, sebagai tokoh sentral majlis ini mendirikannya dengan nama terebut. Sebagaimana ditulis oleh M. N Ibad, inti ajaran Dzikrul Ghofilin adalah mendekatkan diri pada Allah SWT dengan cara berdzikir. Menurut Gus Mik, fadhilah utama Dzikrul Ghafilin adalah murni akhirat, murni kebahagiaan di akhirat, dan biasanya orang-orang yang menata akhiratnya, urusan duniawnya pun akan ikut tertata. Dalam rangka ini, cara termudah yang diresepkan Gus Mik adalah dengan mencintai para kekasih Allah SWT dan orang -orang sholih. Jika kita mencintai auliya’ dan sholihin, maka kelak kita akan dikumpulkan bersama mereka (liman ahabba anyakhsara ma’al al auliya wa shalihin125). Jalan untuk mencapai kedekatan itu itu adalah dengan tawassul dan bertabarruk (mencari barokah) kepada Rasullullah SAW dan semua keturunannya, para kekasih allah, orang-orang sholih, dan semua kaum
124
Muhammad Asyiqurrahman al Qadiri al Habibi, Saifullah al Ajillah Bimadadi Mujahadah al Millah, Istanbul: Hakikat Kitabevi, 2004, hlm 151- 172 125 Kitab Dzikrul Ghafilin
muslimin126. Metode ini yang oleh Ibad di sebut “Jalan Trabas” atau jalan pintas. Karena orang-orang yang banyak bertawasul pada mereka, nanti di akhirat akan diberi syafa’at (pertolongan) dan akhirnya dikumpulkan bersama waliyullah yang dibuat tawasul. Tawasul merupakan salah satu hubungan personal santri dan guru yang telah dibangun tidak berakhir dengan adanya kematian. Dalam gambaran Ahmad Gunaryo, hubungan ini akan terus berlangsung meskipun kiai tersebut telah meninggal dunia. Dengan kata lain, kiai yang telah meninggal dunia masih tetap diharapkan barakah dan syafaatnya. Memang barakah dan syafaat pada dasarnya hanyalah kepunyaan nabi. Namun komunitas pesantren percaya bahwa kelebihan itu dapat diturunkan kepada beberapa pengikutnya yang khusus dan terus-menerus bahkan saat sekarang. Inilah yang mendasari para santri untuk membiasakan diri melakukan ziarah kubur. Lebih jauh, kiai yang mendapat predikat wali, meskipun sudah meninggal masih tetap diharapkan memberi bimbingan dan barakah melalui lembaga wasilah atau perantara, yakni perantara seseorang dengan Allah SWT, karena kedekatannya dengan Allah SWT. Oleh karena itu minta pertolongan kepada orang dekat dengan Allah SWT adalah suatu kebaikan. Dan ditegaskan bahwa fungsi wasilah dalam hal ini adalah penerang, sebagaimana fungsi kacamata. Kacamata dalam hal ini adalah medium yang membikin tulisan tidak jelas menjadi jelas, atau membikin mata yang tadinya tidak dapat membaca huruf yang kecil menjadi dapat membaca. Dalam arti demikian ini, maka posisi kewalian dengan wasilahnya lalu semakin menjadi kokoh127. Dalam Dzikrul Ghofilin, tawasul diwujudkan dalam dua bentuk. Pertama, tawasul melalui orang-orang dekat dan dikasihi oleh Allah SWT, yaitu Rasulullah SAW, para malaikat muqarrabin, para rasul, para nabi, para wali, para syuhada’, para guru, dan orang-orang shalih. Tawasul ini diwujudkan dalam bentuk mengirimkan atau menunjukkan bacaan fatikah, ayat kursi, tahlil, istighfar, dan terutama rasa cinta yang mendalam (mahabbah) kepada mereka. Dengan tawasul bentuk ini diharapkan agar aras cinta jama’ah Dzikrul Ghafilin kepada kekasih 126
M. N Ibad, Dzikir Agung para Wali Allah; sejarah Dzikrul Ghafilin dan fadhilah bacaan-bacaannya, Yogyakarta: Pustaka Pesantran, 2012, hlm 65 127 Ahmad Gunaryo, Pesantren dan Tasawuf, hlm 164
Allah SWT, bisa mendekatkan mereka ke Allah SWT. Ketika kedekatan semacam ini tercapai, diharapkan agar dosa mereka terampuni dan do’a mereka terkabul. Kedua, tawasul melalui amal-amal kebaikan, seperti membaca al-Fatihah (seratus kali), ayat kursi, istighfar, shalawat, dan lain-lain. Tawasul dalam bentuk ini dimungkinkan karena masing-masing amalan tersebut memiliki rahasia dan fadhilah tersendiri di sisi Allah SWT.128 KH Ali Maksum dalam kitab Hujjah Ahl as-Sunnah, mendata para tokoh penting yang pernah bertawasul. Rasulullah SAW pernah berdo’a dengan bertawasul kepada para Nabi sebelumnya ketika mendo’akan Ummu Fatimah binti As’ad. Umar bin Khattab r.a pernah bertawasul kepada sahabat Abbas ketika memohon turunnya hujan saat terjadi kemarau panjang. Imam Syafi’i juga berziarah ke makam Imam Hanafi dan betawasul kepadanya. Imam Abu Hasan asy-Syadzili menganjurkan orang-orang agar bertawasul kepada Imam al-Ghazali ketika mempunyai hajat (kebutuhan). Syaikh Bakri bin Muhammad Syata, pengarang I’anah ath-Thâlibin, bertawasul dan bertabarruk kepada Rasullullah SAW. Abd. Rauf al-Manawi, pengarang Faidh al Qadir, bertawasul kepada Rasulullah SAW. Tharabulisiy, pengarang al-Hushain al-Hamidiyah, bertawasul dengan dzat, asma, dan sifat Allah SWT. Para kiai dan ulama’ Indonesia hampir seluruhnya adalah ziarah kubur dan sering bertawasul kepada rasul SAW, waliyullah,
dan
para
ulama’
terdahulu.
Shalawat
Badar
yang
biasa
dikumandangkan kaum muslim Indonesia, baik Nahdiyin atau bukan, merupakan bentuk tawasul kepada para syuhada’ perang Badar. Demikian pula halnya para imam madzhab seperti Syafi’i ketika memohon hajatnya bertawasul kepada Abu Hanifah dan juga Ahl al-Bait Nabi SAW. Imam Ahmad ibn Hambal bertawasul kepada Imam Syafi’i. orang-orang daerah Maghrib bertawasul kepada imam Malik. Imam Ibn Hajar al Haitami dalam kitabnya al Jawâhir al Munazham menyaakan bahwa dalam bertawasul tidak ada bedanya antara memakai kata tawasul atau kata syafa’at dan memakai kata istighasah atau tawajjuh.129
128 129
M. N Ibad, Dzikir Agung para Wali Allah, hlm 67-68 Lihat: KH Ali Maksum, Hujjah Ahl AsSunnah, tp, t.th, hlm 100-105
Para
ulama
sudah
bersepakat
(ijma’)
mengenai
diperbolehkannya
bertawasul pada para nabi, waliyullah, dan orang-orang sholeh. Oleh karena itu menjadi mengherankan jika Muhammad ibn Abdul Wahab melarangnya. Namun ternyata, seperti dinukil sayyid Muhammad al-Maliki, ia tidak melarang untuk melakukan tawassul. Ibn Abdul Wahab ketika ditanya (mengenai hadits Umar ibn Kahttab bertawassul pada paman Nabi saw, Abbas) meminta hujan (istisqa’) ia menjawab: ”Tidak masalah bertawasul pada orang-orang sholih”. Selanjutnya di katakan oleh Ibnu Abdul Wahab “ Perbedaan yang sangat mencolok, saya tidak pernah mengatakan begitu (melarang tawasul). Sebagian ulama’ membebaskan tawasul pada orang-orang shalih, dan sebagian yang lain khusus pada Nabi SAW, namun sebagian besar ulama’ mencegahnya bahkan menghukumi makruh. Tetapi saya tidak mengingkari (melarang) perbuatan itu (tawasul). Saya tidak mengingkari permasalahan-permasalahan ijtihad, tetapi yang saya ingkari adalah seseorang terlalu mengagungkan makhluk dalam berdo’a dari pada berdo’a pada Allah SWT, terlalu menghormati kuburannya Syaikh Abdul Qadir atau yang lain dengan memintanya terbebas dari kesusahan, minta perolongan, memberi sesuatu yang disukai. Bagimana seseorang bisa berdo’a pada Allah SWT dengan murni karena agamanya (mukhlishon lahu din). Sama sekali tidak berdo’a pada Allah SWT. ”130 Dalam pandangan Quraish Shihab, ulama-ulama yang melarang bertawassul, baik dengan nama nabi SAW lebih-lebih wali (orang yang dekat kepada Allah SWT), karena khawatir hal tersebut tidak dipahami oleh masyarakat awam yang seringkali atau boleh juga menduga bahwa nabi dan wali –baik yang wafat atau masih hidup- yang mengabulkan permohonan, atau bahwa mempunyai peranan yang mengurangi peranan Allah SWT dalam pengabulan permohonan, atau dapat memperoleh sesuatu yang tidak wajar. Keyakinan semacam ini jelas terlarang bahkan salah satu bentuk mempersekutukan Allah SWT.131 D. Ziarah Mlaku ke Makam Wali; Sebagai Tirakat menuju Allah SWT
130 131
Muhammad bin Alwi al maliki al Hasani, Mafahim Yajib Antusohhiha, hlm 149 M. Quraish Shihab, Tafsir Al Misbah, hlm 83
Manusia adalah makhluk yang diciptakan dalam bentuk yang sebaikbaiknya132. Ia dibekali dengan akal, hati, jiwa, raga, ruh, dan nafsu. Bahkan Allah SWT
memulyakan
manusia
dengan
meminta
para
malaikat
bersujud
dihadapannya133. Kemulyaan manusia tidak terlepas dari peran Allah SWT meniupkan ruh ketuhanan-Nya dalam diri manusia: ∩⊄∪ tωÉf≈y™ …çµs9 (#θãès)sù Çrρ•‘ ÏΒ ÏµŠÏù àM÷‚xtΡuρ …çµçF÷ƒ§θy™ #sŒÎ*sù 29. Maka apabila aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniup kan kedalamnya ruh (ciptaan)-Ku, Maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud (penghormatan)134. Ada perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam mengartikan Çrρ•‘. Kaum teolog mengartikan lafadz tersebut dengan ruh ciptaan-Ku, sedangkan kaum sufi lebih cenderung mengartikan dengan –ruh Ku, karena itulah kaum sufi berpendapat bahwa manusia memiliki aspek ilahiyah. Terlepas dari perbedaan penafsiran, jika dilihat dari struktur bahannya, antara lafadz ني
dengan makna
mutakallim wahdah, mununjukkan adanya hubungan langsung dan erat diantara keduanya (ruh dengan Ku, Allah SWT). Dan ini menunjukkan bahwa unsur ruh yang ada dalam manusia memiliki hubungan langsung dengan Allah SWT, karena ruh (spiritual) merupakan unsur terpenting dalam pribadi setiap manusia.135 Dengan bahasa lain, KH Asrori al-Ishaqi, mengatakan bahwa manusia diciptakan dari dua alam, yaitu rohani (alam kasat mata) dan alam jasmani (alam kasyaf mata). Keberadaan hati dalam diri manusia menjadi cermin bagi kedua alam tersebut. Oleh karena itu, segala sesuatu yang berada di hadapan cermin, maka bayangannya akan tampak dalam cermin tersebut. Berbeda dengan malaikat, sebab malaikat tercipta dari alam kasat mata. Keutuhan malaikat adalah nur cahaya, lahir batinnya bening dan jernih, dan malikat laksana kaca yang sinarnya jernih. Oleh kareanya, cermin tidak dapat menampilkan bayangan malaikat yang 132
Qs at Tin:4 Qs al Baqarah: 34 134 Qs al Hijr:29 135 Abdul Muhaya, Peran tasawuf dalam Menggulangi Krisis Spiritual, dalam Tasawuf dan krisis, dalam Tasawuf dan Krisis, Pengantar; Prof. dr HM Amin Syukur, MA dan Dr Abdul Muhayya, MA, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001, hlm 17 133
ada dihadapannya. Karena malaikat tidak memiliki jasad yang kasyf mata yang bisa terpantul bayangannya di hadapan cermin. Inilah sirri rahasia yang terpendam dalam pantulan yang berhadapan.136 Senada dengan al-Qur’an, ahli sufi mengakui adanya dualitas dalam diri manusia, yaitu materi dan imateri (jasad dan ruhaniyah). Meski demikian, mereka lebih ertarik membicarakan hal-hal yangberhubungan dengan spiritualitas. Hal itu dapat diketahui misalnya dalam pemikiran al-Hallaj, Suhrawardi al-Maqtul, dan tokoh-tokoh lainnya. Dalam pandangan al-Hallaj, yang di kutip Muhayya, Allah SWT dan manusia masing- masing memiliki aspek lahut dan nasut. Nasut Allah SWT berada dalam bentuk Adam yang dimiliki-Nya, sedangkan lahut manusia berwujud ruh yang berasal dari-Nya. Manakala seorang sufi sudah suci jiwanya, maka nasut Allah SWT akan bertempat pada diri manusia yang bercampur dangan ruh (lahut) manusia. Percampuran ini yang disebut Hulul137. Pendangan yang sama juga dikemukkan KH Asrori, baginya hakikat manusia adalah rohani yang bersemi dan bersemayam di dalam jasad yang kasat mata. Kondisi rohani dalam diri manusia keberadaannya kasat mata, berupa nurcahaya rabbaniyah (ketuhanan), lahutiyyah, dan jabarutiyyah. Kemudian alam tersebut terdinding, tertutup dan terhalang oleh sifat-sifat basyariyah (sifat kemanusiaan) yang tidak kasat mata. Seorang yang sifat kemanusiaannya mengalahkan (menguasai) rohaniyah atau lathifah-Nya, maka ia selamanya akan terpenjara (terkungkung) dalam keterdindingan dan terbelengu dalam bentuk fisiknya (hawa nafsu, kenikmatan-kenikmatan duniawi dan kebiasaan yang dilakukan sebelumnya. Sebaliknya, seseorang yang sifat rohaniyahnya atau lathifahnya mengalahkan sifat kemanusiaannya, maka ruhnya akan sampai bersimpah di sisi Allah Yang Maha Suci dan Agung. Dan ruhnya dapat kembali ke asalnya tanpa terhalangi oleh bumi, langit, Arsy, Kursy, dan lain sebagainya.138 Untuk mencapai derajat yang tinggi di hadapan Allah SWT, maka seseorang harus melakukan usaha menahan hawa nafsu (seperti puasa dan berpantang) dan 136
Achmad Asrori al Ishaqy, Untaian Mutiara; hlm 213 Abdul Muhaya, Peran tasawuf dalam Menggulangi Krisis Spiritual, hlm 19 138 Achmad Asrori al Ishaqy, Untaian Mutiara; hlm 213-214 137
mengasingkan diri ketampat yang sunyi (di gunung dan sebagainya)139, ini yang disebut tirakat. Istilah ini asalnya dari bahasa arab thariqah yang artinya jalan atau bisa juga tindakan atau amalan rutin seperti bacaan doa, mantra, pantangan, puasa atau gabungan dari kelima unsur tersebut sebagai jalan untuk mencapai pencerahan spiritual atau mencari ilmu tertentu140. Namun karena kemudian nama tarikat ini digunakan untuk sistem pembelajaran tasawuf yang melembaga, maka kata tirakat dalam pengertian Jawa lebih dominan digunakan untuk sebuah riyadhah dan mujahadah secara umum, yang kebanyakan berakar dari pengalaman seorang sufi-ahli tasawuf kemudian diajarkan dan ditulis dalam kitab-kitab mereka. Ada juga yang menganggap kata tirakat berasal dari kata taraka dalam bahasa arab, yang menunjuk pengertian meninggalkan, maksudnya meninggalkan keduniaan dunia.141 Oleh karena itu ada banyak tirakat yang jika diamati banyak dilakukan dengan keprihatinan jiwa dan badan untuk mencapai sesuatu dengan jalan mendekatkan diri kepada Allah SWT seperti : 1. Tidak tidur semalam suntuk/ pati geni tidak boleh keluar kamar semalam suntuk, tidak boleh tidur dan makan minum. 2. Puasa senin kamis 3. Mutih mulai dari kemampuan satu hari hingga 40 hari hanya makan nasi putih dan minum air putih sedikit pada saat matahari terbenam. 4.
Ngeruh yaitu hanya boleh makan sayur dan buah , dilarang yang bernyawa.
5. Ngebleng yaitu tidak keluar kamar sehari semalam , tidak ada lampu, hanya keluar saat buang air kecil, tidak boleh tidur, makan dan minum 6. Nglowong hanya makan tertentu dengan waktu tertentu tidur hanya 3 jam 7. Ngrowot hanya boleh makan satu jenis buah maksimal 3 buah dari subuh sampai magrib. 139
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa DEPDIKBUD, Kamus Besar Bahasa Indonesia, hlm 950 140 www.kamusslang.com/arti/tirakat 141 http://abdurrahmanbinsaid.wordpress.com/2008/10/09/puasa-bukan-tirakat/
8. Nganyep/ ngasrep boleh makan sembarang tapi yang tidak ada rasanya dan harus didinginkan sedingin dinginnya. 9. Ngidang hanya boleh minum air putih dan daun. Lainnya tidak boleh. 10. Ngepel hanya makan nasi sehari satu kepal sampai 3 kepal saja. 11. Wungon tidak boleh makan minum dan tidak tidur selama 24 jam 12. Ngalong , puasa ngrowot sambil menggantung di atas pohon dengan posisi kaki diatas kepala dibawah / sungsang. 13. Topo jejeg yaitu tidak boleh duduk selama 12 jam 14. Lelono melakukan perjalanan malam jam 12 sampai jam 3 untuk mawas diri atas kesalahan yang diperbuat selama ini. 15. Kungkum yaitu puasa bersila dalam sungai yang ketemu dua arusnya mulai jam 12 malam sampai jam 3 atau jam 4 pagi. 16. Topo pendem / ngluwang yaitu puasa dikubur hidup-hidup hanya deberi jalan nafas, biasanya selama 3 hari atau 7 hari, pertaruhannya nyawa dan hasilnya adalah mampu menghilangkan tubuh dari pandangan orang atau melihat jelas dengan mata telanjang orang/ mahluk – mahluk ghoib142.
E.Safar; Langkah Nyata dalam Tirakat a. Tinjauan Secara Bahasa. Safar
secara
memiliki
makna
membuka,
menampakkan,
menjelaskan,memperlihatkan dan juga berarti menempuh suatu jarak perjalanan. Sebuah perjalanan disebut dengan safar yang berarti “membuka” karena dalam perjalanan akan terbuka atau akan nampak akhlaq, perilaku, atau sifat yang sebenarnya dari seseorang, karena safar akan mendatangkan ujian dalam berbagai bentuknya. Ada masa senang, ada masa bosan, ada masa susah, serta adapula masa lapang dan sempit. Dalam kondisi-kondisi seperti itu, seseorang mengalami ujian dan cobaan atas sikap dan perilaku terhadap segala hal yang ia temui dan
142
http://budayajawa.wordpress.com /2010/03/02/tirakat- jawa-general-pray-ofjava-people/, di ambil 20 Maret 2012
rasakan sepanjang perjalanan. Kondisi seperti itu, tentunya akan “membuka” atau akan memperlihatkan kepribadian seseorang yang sesungguhnya143. Perjalanan yang dilakukan seseorang benar-benar akan menjadi ujian tersendiri atas hakikat akhlaknya. Sebab, perjalanan (safar) akan menampakkan karakter pribadi dirinya yang sebenarnya. Beliau Imam al-Ghazali pun menandaskan bahwa perjalanan itu dinamakan safar sebab dapat memperlihatkan akhlak seseorang. Oleh karena itu, dalam sebuah riwayat dijelaskan, bahwa sahabat Umar bin Khattab pernah berkata kepada penyeleksi para saksi-saksi (muzakki):“Apakah kamu sudah pernah menjadi teman perjalanan mereka,yang–perjalanan tersebut–-dapat kamu jadikan pijakan untuk mengetahui sejauh mana budi-pekerti mulianya? si muzakki menjawab: tidak. Lalu Umar berkata “aku menilai, bahwa engkau belum mengenal mereka144” b. Tinjauan Istilah Fiqih dan Tasawuf. Sedangkan dalam terminologi fiqih, safar memiliki arti keluar dari negeri tempat bermukim menuju suatu tempat yang jarak dari perjalanan tersebut membolehkan seseorang untuk mengqasar atau menjama' shalatnya, yaitu jarak 89 kilometer atau satu hari satu malam, atau dua hari dua malam, atau tiga hari tiga malam sesuai dengan perbedaan pendapat para ulama tentang batas jarak safar ini145. Safar model diatas sama saja yang dikatakan Abu Bakar Aceh adalah keluar dari tempat tinggal dan mengembara146. Ini yang disebut merupakan safar badan bagi al-Ghazali. Sedangkan safar yang paling utama ialah safarnya hati dari tempat yang rendah (dunia) ke tempat yang tinggi (alam kerajaan langit)147. Atau bisa dikatakan, berpindah dari akhlak yang buruk menuju akhlak yang baik148. c. Pandangan Ulama’ Tentang Tirakat Mlaku 143
Abdul Kholiq El-Qudsy, Fiqih Safar; Makna Dan Hikmah Yang Terkandung Dibalik Perjalanan, di download dari www. ppsarang.com, 20-03-2012 144 Al Ghazali, Ihya’ulumuddin , juz 2 hlm 240 145 Wahbah Az-Zuhaili, al- Fiqh al Isam Wa Adillatuhu, juz II, hlm 320 146 Abu Bakar Aceh, Pengantar Ilmu Tarekat, Solo: Ramadhani, 1996, hlm 148 147 Al Ghazali, Ihya’ulumuddin, juz 2, hlm 244 148 Abu Bakar Aceh, Pengantar Ilmu Tarekat, hlm 148
Untuk mencapai kedekatan dengan Allah SWT banyak sufi yang mencari jalan keluar atau bahasa kasarnya melarikan diri dari godaan dunia yang berat, yaitu melakukan pengembaraan (safar) untuk beruzlah dan berkhalwat di suatu tempat, seperti di masjid dan makam-makam para wali. Karena ketika seseorang sudah bertekat bulat melarikan diri dari berkumpul dengan keluarga, teman, dan orang-orang yang membuatnya terganggu menuju Allah SWT, maka ia akan nekat melakukan apapun dan godaan-godaan akan diterjangnya dengan sekuat tenaga. Ini berbeda dengan ketika tidak menjauh dari hiruk pikuk dunia ini dan berada dilingkaran itu, terasa sangat berat sekali. Sebagai mana orang ketika berpuasa dibulan ramadhan yang begitu nikmat dijalani, karena situasi dan kondisi ikut mendukung. Seluruh orang muslim berpuasa, warung-warung pada tutup, dan tidak ada masakan di dapur. Ini berbeda jika berpuasa pada bulan-bulan yang lainlain tanpa didasari niat dan tekat yang bulat, niscaya akan kadas dijalan tujuan itu. Oleh karena itu bisa dipahami jika al-Ghazali mensyaratkan uzlah dan kholwat untuk mencapai tingkatan yang tinggi dihadapan Allah SWT : Puncak dari Riyadhah adalah hatinya selalu bersama Allah SWT. Hal itu tidak mungkin terjadi kecuali dengan berkholwat (menyepi) dari yang lain. Berkholwat tidak akan mendapat apa-apa kecuali tanpa disertai mujahadah yang lama. Ketika hatinya sudah bersama Allah SWT, maka akan terbuka (mukasyafah) baginya keagungan ketuhanaNya, tampak jelas (tajalli) Allah Yang Maha Haq, dan kelihatan rahasia-rahasia (lathaaif) Allah SWT149. Bagitu juga yang dikatakan Syaikh Muhammad Amin al-Kurdi, dalam kitab Tanwir al -Qulub : Ketahuilah, tidak mungkin wusul mencapai makrifat al ushul, dan tersinarinya hati untuk musyahadah kepada dzat yang dicintai kecuali dengan kholwat. Pada khususnya untuk orang yang mengharapkan dipetunjukkan ke dzat yang di maksud (Allah SWT)150. Mengetahui hal itu, banyak aliran-aliran thoriqoh (lembaga) yang memasukkan ‘uzlah dan kholwat sebagai bagian dari pendidikan ruhaniyah di dalamnya. Selain itu banyak juga sufi yang menjalankan tuntunan ini, di antaranya seperti Hujjah al-Islam (al-Ghazali) yang banyak iqâmah (tidak pergi kemana149
Al Ghazali, Ihya’ulimuddin, juz 4, hm 76 Muhammad Amin al Kurdi, Tanwir al Qulub fi Muamalat al-‘alami al- Guyub, Bairut: Dar al Fikr,1995 hlm 430 150
mana) dan tidak safar kecuali ada kepentingan, Sebagian sufi lain ada yang menghabiskan waktunya hingga meninggal dalam bersafar, seperti Abi Abdillah al-Maghrabi dan Ibrahim bin Adham. Namun ada juga yang lebih banyak iqâmah seperti al-Junaidi, Sahl bin Abdillah, Abi Yazid al-Bustami, Abi Hafsin dan lainnya meski kebanyakan para sufi bersafar pada masa mudanya kemudian mereka berhenti di akhir ahwalnya, seperti Said bin Islail al-Hairi dan Dalfi asSyibli. Mereka membangun jalan sendiri untuk mencapai Allah SWT. 151 Bagi al-Ghazali jika seseorang dalam berkumpul dengan orang lain (mukhâlatah) mempunyai niat untuk mengagungkan agamanya dengan cara memperbanyak pengikut (artinya menjadi da’i atau kiai), maka uzlah lebih baik baginya walupun berada di kuburan (para wali atau orang-orang shalih). Dan sebenarnya jika seseorang itu mempunyai niat untuk riyadhah an-nafs ketika ‘uzlah, itu lebih baik baginya dari pada hanya sekedar ‘uzlah152. Namun di sisi lain, al-Ghazali mensyaratkan seorang yang menempuh perjalanan beruzlah harus mempunyai ilmu agama yang banyak. Tidak diperkenankan baginya orang awam dan orang bodoh menempuh jalan ini, karena ia tidak tahu apa yang membuat ibadahnya menjadi baik dan apa yang harus dilakukannya. Ibrahim an-Nakha’i dan lainnya mengatakan,
“
Pahamilah (ilmu-ilmu agama), dan kemudian pergilah beruzlah. Karena seseorang yang beruzlah sebelum ia mempelajari ilmu agama (dengan matang), maka kebanyakan waktunya akan diisi dengan tidur dan pikirannya selalu gelisah”153. Hal ini juga diceritakan oleh al-Ghazali dalam karyanya “ Beberapa jalan menuju kesufian”, menceritakan pengalamannya menjadi musafir : Bagiku, ilmu lebih mudah daripada mengamalkannya. Aku pertama kali mengkaji kitab-kitab mereka seperti Qut al Qulub milik Abi Thalib alMaki, beberapa kitabnya al-Harits al Muhasibi, beberapa serpihan yang 151
Abi Qasim Adil Karim bin Hawaz al -Qusyairi an- Naisaburi, ar- risalah al Qusyairiyah, juz 1, Bairut: Dar al Khoir, tt, hlm 289 152 Al Ghazali, Ihya’ulumuddin, juz 2, hlm 238 153 ibid, hlm 236
berpisah-pisah dari perkataannya al Junaidi, as- Syibli, abi Yazid alBustami - semoga Allah SWT mensucika arwahnya- , dan selain mereka dari perkataan guru-guru mereka. Kemudian aku pelajari maksud-maksudnya secara ilmiah, dan aku mendapati jalan mereka dari belajar dan mendengar. Maka jelas bagiku, kekususan-kekhususan (tingkatan yang paling tinggi) mereka tidak mungkin didapat dengan hanya belajar, tetapi didapat dengan rasa, hal, dan mengganti sifat-sifat buruk ke yang baik. Kemudian al-Ghazali mulai mengalami guncangan hebat dalam jiwanya, ia mengakui banyak mengarang ilmu syari’at dan pemikiran tentang iman. Ia mulai berpikir untuk pergi menjauh. Bahkan ia sempat menyesal, “ Ketika aku banyak berhadapan dengan ilmu yang tidak penting dan bermanfaat guna mencapai akhirat. Aku juga berniat untuk memperdalam ilmu, tapi tiba-tiba bagiku itu tidak murni karena Allah SWT. Itu hanya dorongan untuk mencari pangkat dan ketenaran. aku mencari kesembuhan di dalam api (memasukan dirinya dalam api), apabila terus begini”. Aku belum beruzlah. Aku berpikir terus untuk itu. Aku terus berusaha. Tekatku bulat untuk keluar dari Baghdad. Di Hari yang berpisah dengan keadaan-keadan itu, hari yang membuat tekatku bulat, di situ aku berjalan kaki. Keinginan nafsu dunia merasukiku, tapi Iman memanggilku “ pergilah !!, Pergilah !!!”. umurku tinggal sedikit, namun dihadapanku ada perjalanan yang sangat panjang. “Apabila kamu tidak menyelamatkan diri sekarang, kapan lagi?, apa bila kalu tidak memutus hubungan dengan hawa nafsu dunia, kapan kamu memutusnya?!!!” Syaitan kembali merasukiku. Sampai aku dalam keadaan ragu antara syahwat dunia dan akhirat selama 6 bulan. Kemudian tekatku sangat bulat untuk keluar menuju Makkah. lalu aku masuk negara Syam dan berdiam disana kurang lebih selama 2 tahun. Aku tidak sibuk apa-apa kecuali uzlah, khalwat, riyadhah, dan mujahadah. Aku juga sibuk tazkiyah an nafs, memperbaiki akhlak, membersihkan hati dengan berdzikir pada Allah SWT. Oleh karena itu aku mendapat ilmu tasawuf. Aku i’tikaf selama itu di masjid Damsyik, naik di menaranya pada siang hari. Dan aku menutup pintunya sendiri. Selanjutnya aku pergi ke Bait al Muqaddas, tiap hari menutup pintunya sendiri. Aku melanjutkan perjalanan guna memenuhi panggilan kewajiban haji, dan mendapatkan barokahnya kota makkah dan madinah, ziarah makam rasulullah setelah selesai ziarah, aku jalan ke Hijaz.154
154
Lihat selengkapnnya : Al Ghazali, Turuq as Shufiyah, dalam Majmu’ al Risalah al Ghazali, Bairut: Dar al Kutub al ‘Alamiyah, 2006, hlm 56-65
Perjalanan al -Ghazali untuk mendapat kemakrifatan dari Allah SWT, hal ini tidak lepas dari banyaknya ilmu yang ia miliki dan al- Ghazali juga menjalankan serangkaian aturan dan tatakrama (adab) selama safar, dan ia kemukakan dalam kitab Ihya’ulumuddin. Al- Ghazali berpesan supaya selalu ingat gurunya, orang-orang tasawuf yang faqir-faqir, jangan sampai tidak berziarah di makamnya orang-orang shalih sewaktu melewati suatu daerah atau Negara, jangan memperlihatkan hajatnya kecuali dalam keadaan sangat terpaksa, dan selalu membaca al Qur’an. Selanjutnya ia memperingatkan, “ Barang siapa yang safar tidak menambah keagamaannya, maka ia hanya menghinakan dirinya. Dan barangsiapa yang hanya mengikuti hawa nafsunya selama perjalanan, maka ia akan hina baik pada waktu itu atau yang akan datang”155 Disyari’atkan ziarah, maka sudah barang tentu berjalan menuju kebaikan itu adalah merupakan perkara yang baik pula, apalagi jika dengan beruzlah dan berkholwat . Sayyid Muhammad dengan tegas mengatakan bahwa “Tidak ada salah satu pun dari golongan ahl as-sunnah wal al-jama’ah yang mengingkari disyari’atkannya ziarah ke makam rasulullah SAW, dan begitu juga pergi (safar) dengan tujuan ziarah kemakam beliau156. Karena hal ini pernah dilakuan oleh sahabat Bilal bin Robah, salah seorang mu’adzinnya nabi saw. Ia berjalan dari Syam ke Madinah hanya untuk berziarah. Sampai di depan makan nabi, Bilal menagis dan kemudian ia diciumi oleh cucunya nabi SAW, Hasan dan Husain ra157. Mengenai hal ini banyak ulama’ merujuk pada hadits yang berkaitan dengan perjalanan untuk melakukan ziarah ini :
صى َ ْج ِد األَ ْق ِ ْج ِدى ھَ َذا َو ْاﻟ َمس ِ ْج ِد ْاﻟ َح َر ِام َو َمس ِ َمس: اج َد ِ الَ تُ َش ﱡد اﻟرﱢ َحا ُل إِالﱠ إِﻟَى ﺛَالَﺛَ ِة َم َس
155
156
Al Ghazali, Ihya’ulumuddin, juz 2, hlm 257 Muhammad bin alwi al Maliki al Hasani, az Ziarah; Baina Syar’iyah wa Bid’ah, hlm
29 157
Ibid, hlm 35
Janganlah kamu memasang pelana (bepergian) kecuali di tiga masjid, yaitu masjid Haram, masjid ini (Nabawi), dan masjid al Aqso158. Menurut al-Ghazali, hadits di atas sebagai dalil sebaian ulama’ dengan tidak diperbolehkannaya
berziarah ke makam rasul SAW. Namum bagi al
Ghazali sendiri, ziarah adalah perkara yang diperintahkan. Sehingga makna hadits di atas bukan untuk ziarah. Meski begitu, al- Ghazali membolehkan bepergian untuk berziarah ke makam-makam para wali, ulama’, dan orang-orang sholeh159. Sedang Ibnu Hajar al- Asqalani ketika memberi penjelasan (syarah) hadits tersebut, bahwa memang terdapat perselisihan dalam hal bepergian ke masjid Nabawi dengan bertujuan untuk berziarah makan Nabi SAW. Begitu pula berziarah orang-orang shalih yang masih hidup atau sudah meninggal, bertujuan ke tempat-tempat yang utama dengan niat mendapatkan barokah, dan sholat di dalamnya. Syaikh Abu Muhammad al-Juwaini mengharamkan bepergian dengan tujuan selain tiga masjid itu karena melihat dhohirnya hadits. Fatwa yang shohih dari Imam Haramin dan yang lainnya dari Madzhab Syafi’i, bahwa mereka tidak mengharamkan bepergian dengan tujuan lain ke tiga masjid itu. Makna hadis ini tidak berkutat pada masjid itu, namun juga berlaku pada masjid-masjid yang lain. Adapun jika bertujuan lain seperti berziarah orang-orang shalih, saudara, dan sahabatnya. Begitu juga mencari ilmu dan berdagang, maka hal itu tidak masuk dalam larangan160. Sayyid Muhammad menukil pendapat Ibnu Taimiyah memahami hadits di atas bahwa, pertama, bepergian (safar) ke makamnya Nabi SAW, adalah pada hakikatnya pergi ke masjidnya nabi. Ini adalah kesunahan yang terdapat dalam nash dan ijma’. Kedua, pergi ke kuburan beliau Saw adalah pergi ke masjid pada saat beliau masih hidup dan sesudah dikubur serta sebelum dan sesudah kamar masuk dalam bagian masjid. Berarti pergi ke kuburan beliau SAW adalah pergi ke masjid baik di situ ada kuburan atau tidak. Maka bepergian ke 158
Al Bukhori, Shohih al Bukhori bi Khasiyati al Imam as Sanadi, jilid 1, Bairut: Dar al Kutub al Alamiyah, 2003, hlm 401 159 Al Ghazali, Ihya’ulumuddin, juz 1, hlm 245 160 Ibnu Hajar al Asqalani, Fath al Bari, juz 3, Bairut: Ihya’ at Turats al Arabi, 1988, hlm 50
kuburan yang tidak ada masjidnya tidak bisa disamakan dengan bepergian ke kuburan Nabi SAW. Selanjutnya Ibnu Taimiyyah mengatakan, Keenam : “Bepergian menuju masjid Nabi Saw – yang disebut bepergian untuk berziarah kepada kuburan beliau – adalah ijma’ ulama dari generasi ke generasi. Adapun bepergian untuk berziarah ke kuburan-kuburan lain maka tidak ada status hukum yang dikutip dari para sahabat, bahkan dari atba’ at-tabi’in. Kemudian Ibnu Taimiyyah berkata, “Maksudnya adalah bahwa kaum muslimin tidak henti-hentinya pergi menuju masjid Nabi Saw dan tidak pergi ke kuburan para nabi seperti kuburan Nabi Musa dan Nabi Ibrahim al- Khalil. Tidak ada informasi dari salah seorang sahabat bahwa ia bepergian ke kuburan Nabi Ibrahim meskipun mereka seringkali pergi ke Syam dan Baitul Maqdis. Maka bagaimana mungkin pergi ke masjid Rasulullah SAW yang disebut sebagian orang dengan ziarah ke kuburan beliau, sama dengan pergi ke kuburan para nabi?”161 Menaggapi pendapat Ibnu Taimiyah, Imam Taqiyyudin as-Subki dan al Hafidz Syamsuddin bin Abdul Hadi mengingkari pendapat Ibnu Taimiyah yang mengharamkan berjalan menuju Makam Nabi SAW untuk berziarah.162 Begitu juga sayyid Muhammad al-Maliki yang mengatakan “ Banyak orang yang salah dalam memahami hadis tersebut. Mereka menjadikan hadis ini sebagai dalil diharamkannya bepergian (safar) untuk berziarah ke makam nabi SAW. Perjalanan ini dianggap perjalanan yang maksiyat. Ini adalah pendapat yang ditolak, karena dibangun dengan pemahaman yang batil163.”
d. Motivasi Yang Melatarbelakangi Safar Secara Umum dalam Kitab Ihya’ulumuddin Secara garis besar, perjalanan (safar) seorang musafir dalam menjalani serangkaian perjalanannya, tidaklah terlepas dari dua kriteria dasar, yang dengan begitu safar sendiri dapat diklasifikasian menjadi dua kelompok besar: Pertama, Perjalanan untuk meninggalkan daerah asal oleh karena sebab tidak adanya rasa aman, sebagaimana rasa cemas, jengkel ataupun adanya 161
Muhammad bin Alwi al Maliki al Hasani, Mafahim Yajib Antusohhiha, hlm 287-288 Ibnu Hajar al Asqalani, Fath al Bari, juz 3, hlm 51 163 Muhammad bin Alwi al -Maliki al Hasani, Mafahim Yajib Antusohhiha, hlm 283 162
gangguan-ganguan lainnya. Intinya, daerah asal sudah tidak layak lagi sebagai tempat tinggal yang nyaman, baik kenyamanan ini dipandang dari sisi material ( duniawi) maupun sisi spiritualnya (ad-din).
1. Sisi material (duniawi) diatas dapat dicontohkan sebagaimana timbulnya wabah penyakit di daeral asal, adanya rasa ketakutan dan kecemasan sebab fitnah dan permusuhan, harga bahan pokok dari kebutuhan hidup melambung tinggi di daerah asal164. 2. Sedangkan sisi spiritualnya (ad-din) dapat dicontohkan sebagaimana upaya diri untuk menghindar dari tawaran jabatan dan pangkat, ataupun imingimingan tawaran materi
yang gemerlap dan melimpah-ruah,
yang
kesemuanya ini dapat menjadikan keterlenaan diri dari kewajiban-kewajiban penghambaan pada sang maha pencipta Allah SWT. Menghindar dari hal-hal ini, merupakan perbuatan para nabi dan rasul. Karena bisa mengganggu kosongnya hati selain Allah SWT.165. Kedua, Perjalanan untuk meraih sebuah harapan atau cita-cita. Perjalanan dengan kategori ini juga diperinci menjadi menjadi dua bagian, sebagaimana perincian sebelumnya, yakni sisi material (duniawi) dan sisi spiritual (ad-din). 1. Sisi material (duniawi) ini dapat dicontohkan sebagaimana perjalanan untuk mencari pekerjaan, jabatan-jabatan, mengukir dan merajut karier di belantara kehidupan sosial166. 2. Sedangkan sisi spiritualnya (ad-din) dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok Pertama, perjalanan untuk mencari ilmu meliputi ilmu agama, ilmu mengetahui akhlaknya sendiri dan sifat-sifatnya, dan ilmu mengetahui tanda-tanda kebesaran Allah SWT pada bumi ini dan keajaiban-keajaibannya seperti Dzul Qarnain yang selalu mengitari bumi167.
164
Al Ghazali, Ihya’ulumuddin, juz 2,hlm 244 Ibid, hlm 248 166 ibid, hlm 244 167 ibid, hlm 243-245 165
Bepergian dalam mencari ilmu, ada kalanya wajib dan ada kalanya sunnah. Sa’id bin Musayyab melakukan perjalanan berhari-hari hanya untuk mencari sebuah hadits. As Sya’bi mengatakan “ Apabila seseorang berjalan dari Syam menuju akhir Negara Yaman demi satu kalimat, itu menunjukkan ia mendapat hidayah (petunjuk)”. Begitu pula diceritakan bahwa Jabir bin Abdullah berjalan bersama sepuluh sahabat selama satu bulan untuk menemui Abdullah bin Unais al-Ansari, demi sebuah hadits dari Rasulullah SAW. Dan perjalanan untuk melihat tanda-tanda kebesaran Allah SWT di dalam bumi ini. Di situ ada gunung, hutan, laut, bermacam-macam binatang dan tumbuhtumbuhan. Selama itu, ia hanya menyaksikan Allah dengan sifat Maha Esa dan memuji Allah dengan lisannya. Hal ini tidak bisa diketahui kalau hanya mendengar, namun harus dengan melihat sendiri kebesaran Allah SWT. Sehingga dengan ini safar dhahir (badan) bisa menjadi safar batin, jika mau mempelajari tanda-tanda kebesaran Allah SWT di dalam Bumi168. Banyak ayat-ayat yang memerintahkan untuk meneliti, mengamati, memikirkan dan mempelajari alam semesta seperti : tÏ%©!$#
∩⊇⊃∪ É=≈t6ø9F{$# ’Í<'ρT[{ ;M≈tƒUψ Í‘$pκ¨]9$#uρ È≅øŠ©9$# É#≈n=ÏF÷z$#uρ ÇÚö‘F{$#uρ ÏN≡uθ≈yϑ¡¡9$# È,ù=yz ’Îû āχÎ)
$tΒ $uΖ−/u‘ ÇÚö‘F{$#uρ ÏN≡uθ≈uΚ¡¡9$# È,ù=yz ’Îû tβρã¤6xtGtƒuρ öΝÎγÎ/θãΖã_ 4’n?tãuρ #YŠθãèè%uρ $Vϑ≈uŠÏ% ©!$# tβρãä.õ‹tƒ ∩⊇⊇∪ Í‘$¨Ζ9$# z>#x‹tã $oΨÉ)sù y7oΨ≈ysö6ß™ WξÏÜ≈t/ #x‹≈yδ |Mø)n=yz 190. Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, 191. (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, Maka peliharalah Kami dari siksa neraka169. Kelompok kedua adalah berupa perjalanan dengan tujuan beribadah, sebagaimana ibadah haji dan umrah serta jihad atau ziarah dengan mengunjungi situs-situs Islami seperti kota Makkah, Madinah dan Baitul Maqdis. Adapun 168 169
Ibid, hlm 245 QS. Ali Imran: 190-191
ziarah mengunjungi para wali dan ulama’ yang sudah meninggal, dengan tujuan mencari barokahnya. Sedangkan mereka yang masih hidup, maka mencari barokahnya dengan bertemu mereka dan akan mendapat faidah dari melihat tingkah mereka, sehingga semakin kuat kecintaan pada mereka dalam mengikuti semua perintahnya170. Sebenarnya tidak ada perbedaan dalam segi keutamaannya berziarah di makam para nabi, para wali, dan para ulama’, meskipun mereka memiliki derajat yang berbeda-beda di hadapan Allah SWT. Bagi al-Ghazali, mengunjungi orang yang mesih hidup lebih utama dari pada berziarah pada orang mati. Karena jika orang yang masih hidup, bisa dimintai barokah do’a, dan barokah melihat mereka. Sebab dengan melihat wajahnya para ulama dan orang-orang yang sholih, itu merupakan bentuk ibadah. Sehingga timbul untuk mengikuti langkah mereka, berakhlak dan mempunyai etika seperti mereka171.
e. Tatakrama Dalam Safar Setelah membahas berbagai persoalan tentang safar, selanjutnya akan diterangkan tatakrama (adab) safar supaya selama menjalankan safar dari mulai mau pergi sampai kembali tidak sia-sia dan hanya mendapatkan lelah fisik. Mengenai hal ini, al-Ghazali dalam Ihya’ulumuddin menerangkan dengan jelas yang berkaitan dengan persoalan ini. Pada hakikatnya safar dibagi menjadi dua bagian. Pertama safar Badan, dan kedua safar batin. Untuk tatakrama safar batin sudah banyak diterangkan di atas, maka untuk kali ini akan banyak mengungkapkan tatakrama dalam safar secara dhohir antara lain: 1. Istikharah. Bila seseorang mempunyai keinginan untuk melakukan suatu perjalanan, maka disunnahkan baginya untuk meminta petunjuk pada Allah SWT, yakni dengan cara melakukan shalat dua raka'at. Untuk raka'at pertama, surat yang dibaca setelah Fatihah adalah surat al-Kafirun. Sedangkan untuk
170 171
Ibid, juz 2, hlm 245 ibid, hlm 246-247
raka'at kedua adalah surat al-Ikhlas. Yang dimaksud istikhoroh disini bukan berarti boleh apa tidak melakukan safar, tapi lebih ke tujuannya mana dan waktunya kapan. 2. Minta pengarahan dan pertimbangan (musyawarah) pada orang yang berpengalaman serta dapat dipercaya keberagamaannya, disaat akan melakukan suatu perjalanan. 3. Bertaubat dari semua maksiat,
perkara-perkara yang yang tidak
menyenangkan, keluar dari perkumpulan orang-orang yang dholim, mencari halal terhadap setiap orang selama bergaul, dan menulis wasiat 4. Ijin terlebih dulu pada kedua orang tua dan suami atau istri untuk mintai ridlo dan restunya. 5. Memberi nafaqah yang cukup pada keluarganya sampai ia pulang dari safar. 6. Membawa banyak bekal, supaya tidak mudah thoma’ (mengharap pemberian orang lain). 7. Mempelajari apa yang dituju selama perjalanan. Seperti untuk uzlah, kholwat, mendapatkan barokah, atau tujuan yang lain. 8. Mencari teman yang bisa dipercaya dan membimbingnya dalam perjalanan. Sebagaimana banyak hadits yang menganjurkan mencari taman dalam perjalanan. Dan Rasulullah tidak suka ada orang bepergian sendirian. 9. Tujuan safar hanya untuk beribadah, tidak untuk tujuan yang lain seperti berdagang. 10. Ketika menghendaki keluar rumah, hendaknya Berangkat di waktu pagi hari, kalau bisa pada hari kamis dan kalau tidak bisa pada hari senin. Karena sebagaimana diceritaka dalam hadits yang diriwayatkan Bukhori Muslim, bahwa “rasulullah sedikit sekali keluar kecuali pada hari kamis”. 11. Melakukan shalat dua raka'at sebelum keberangkatan. Adapun surat-surat yang dibaca adalah surah al kafirun pada rakaat pertama, dan al. Ikhlas pada rakaat kedua. Disunahkan setelah sholat membaca ayat kursi, li ilafi Quraisin, dan Muawidzatain. 12. Berpamitan terlebih dulu pada anggota keluarga, tetangga serta teman dekat. Dan jangan lupa untuk meminta do'a keselamatan dari mereka.
13. Berdo’a ketika keluar rumah. 14. Melangsungkan perjalanan di pagi hari pada hari kamis. 15. Bila keberangkatannya itu bersama rombongan, maka disunnahkan untuk mengangkat salah satu diantara mereka, agar bersedia menjadi pimpinan rombongan. Dan sosok pemimpin ini haruslah seorang figur yang paling utama diantara mereka. 16. Menumbuhkan sikap solidaritas terhadap teman seperjalanan, dengan memberikan bantuan dan pertolongan padanya. 17. Memperbanyak do'a bagi dirinya, kedua orang tuanya, orang-orang yang dicintainya, wali-wali, dan orang-orang muslim, sepanjang waktu selama perjalanan berlangsung, dikerenakan do'anya para musafir itu cepat dikabulkan oleh Allah SWT. 18. Membawa alat-alat yang dibutuhkan di jalan. Karena al-Khowas saja tidak meninggalkan empat hal, yaitu tali, jarum, dan gunting, padahal ia termasuk orang-orang yang bertawakkal pada Allah SWT. 19. Disunnahkan ketika pulang dari perjalanan, untuk membawa oleh-oleh bagi keluarga di rumah.172
172
Lihat: Al Ghazali, Ihya’ulumuddin, juz 2, hlm 250-256 . Keterangan tatakrama safar juga dikemukakan oleh Imam Yahya bin Syarofan an Nawawi, Kitab al Idhoh fi manasik al Hajji wa Umrah, Makkah: al Maktabah al Imdadiyyah, 1995, hlm 45-73 dan DR Wahbah az Zuhaili, al Fiqh al Islam wa Adillatuhu, juz 3, hlm 240-355. Namun kedua referensi itu, lebih cenderung untuk ibadah haji.
BAB III Fenomena Pengalaman Beragama Para Musafir A. Tempat Tujuan Musafir Telah dikatakan pada bab II, ziarah ke makam-makam para wali merupakan praktik yang sudah umum di seluruh dunia muslim. Dan merupakan bentuk peribadatan kepada Allah SWT yang dianggap sebagai jalan pintas supaya cepat mencapai derajat yang tinggi dihadapan Allah SWT. Selain itu, karena makammakam wali bagi sebagian umat Islam tidak hanya sekedar sebuah tempat di mana jasad manusia dikubur, tetapi dibalik itu semua mengandung unsur-unsur kekudusan dan keilahiahan sehingga berada di sini memberikan kondisi khusus berbeda dengan tempat-tempat lain173. Mengetahui banyaknya makam para wali di tanah Jawa ini yang dijadikan tempat persinggahan para musafir, peneliti memfokuskan obyek penelitian di tiga makam wali yang banyak dikunjungi oleh para musafir, sehingga diharapkan menjadi gambaran umum pelaku tirakat ini. Pertama, makam sunan kalijaga, kedua makam syaikhona Kholil Bangkalan, dan ketiga, makam Syaikh Syamsuddin Batuampar, Madura.
1. Makam Sunan Kalijaga Makam Sunan Kalijaga terletak di kelurahan Kadilangu, Kabupaten Demak, Jawa Tengah, Indonesia. Makam ini tidak pernah sepi tiap harinya, terutama pada malam jum’at kliwon. Ribuan peziarah dari berbagai kota selalu memasukkan dalam daftar tempat yang harus di ziarahi. Peziarah tidak hanya ke makam sunan kalijaga, namun kurang lebih 1 km dari situ, terdapat masjid agung Demak. Masjid ini diyakini dibangun oleh walisongo174. Di belakang masjid yang 173
Sulaiman al-Kumayi, Islam Bubuhan Kumai; Perpektif Varian Awam, Nahu dan
Hakekat, Kementrian Agama RI, 2011, hlm 422 174
Menurut Habib Muhammad al-Qadri, “Sebenarnya walisongo tidak satu angkatan.” Keterangan itu diperkuat dengan buku Haul Sunan Ampel Ke-555 yang ditulis oleh KH. Mohammad Dahlan, majelis dakwah yang secara umum dinamakan Walisongo, sebenarnya terdiri
dari beberapa angkatan. Para Walisongo tidak hidup pada saat yang persis bersamaan, namun satu sama lain mempunyai keterkaitan erat, baik dalam ikatan darah atau karena pernikahan, maupun dalam hubungan guru-murid. Bila ada seorang anggota majelis yang wafat, maka posisinya digantikan oleh tokoh lainnya: •
Angkatan ke-1 (1404 – 1435 M), terdiri dari Maulana Malik Ibrahim (wafat 1419), Maulana Ishaq, Maulana Ahmad Jumadil Kubro, Maulana Muhammad Al-Maghrabi, Maulana Malik Isra'il (wafat 1435), Maulana Muhammad Ali Akbar (wafat 1435), Maulana Hasanuddin, Maulana 'Aliyuddin, dan Syekh Subakir atau juga disebut Syaikh Muhammad Al-Baqir.
•
Angkatan ke-2 (1435 - 1463 M), terdiri dari Sunan Ampel yang tahun 1419 menggantikan Maulana Malik Ibrahim, Maulana Ishaq (wafat 1463), Maulana Ahmad Jumadil Kubro, Maulana Muhammad Al-Maghrabi, Sunan Kudus yang tahun 1435 menggantikan Maulana Malik Isra’il, Sunan Gunung Jati yang tahun 1435 menggantikan Maulana Muhammad Ali Akbar, Maulana Hasanuddin (wafat 1462), Maulana 'Aliyuddin (wafat 1462), dan Syekh Subakir (wafat 1463).
•
Angkatan ke-3 (1463 - 1466 M), terdiri dari Sunan Ampel, Sunan Giri yang tahun 1463 menggantikan Maulana Ishaq, Maulana Ahmad Jumadil Kubro (wafat 1465), Maulana Muhammad Al-Maghrabi (wafat 1465), Sunan Kudus, Sunan Gunung Jati, Sunan Bonang yang tahun 1462 menggantikan Maulana Hasanuddin, Sunan Derajat yang tahun 1462 menggantikan Maulana ‘Aliyyuddin, dan Sunan Kalijaga yang tahun 1463 menggantikan Syaikh Subakir.
•
Angkatan ke-4 (1466 - 1513 M, terdiri dari Sunan Ampel (wafat 1481), Sunan Giri (wafat 1505), Raden Fattah yang pada tahun 1465 mengganti Maulana Ahmad Jumadil Kubra, Fathullah Khan (Falatehan) yang pada tahun 1465 mengganti Maulana Muhammad AlMaghrabi, Sunan Kudus, Sunan Gunung Jati, Sunan Bonang, Sunan Derajat, dan Sunan Kalijaga (wafat 1513).
•
Angkatan ke-5 (1513 - 1533 M), terdiri dari Syekh Siti Jenar yang tahun 1481 menggantikan Sunan Ampel (wafat 1517), Raden Faqih Sunan Ampel II yang ahun 1505 menggantikan kakak iparnya Sunan Giri, Raden Fattah (wafat 1518), Fathullah Khan (Falatehan), Sunan Kudus (wafat 1550), Sunan Gunung Jati, Sunan Bonang (wafat 1525), Sunan Derajat (wafat 1533), dan Sunan Muria yang tahun 1513 menggantikan ayahnya Sunan Kalijaga.
•
Angkatan ke-6 (1533 - 1546 M), terdiri dari Syekh Abdul Qahhar (Sunan Sedayu) yang ahun 1517 menggantikan ayahnya Syekh Siti Jenar, Raden Zainal Abidin Sunan Demak yang tahun 1540 menggantikan kakaknya Raden Faqih Sunan Ampel II, Sultan Trenggana yang tahun 1518 menggantikan ayahnya yaitu Raden Fattah, Fathullah Khan (wafat 1573), Sayyid Amir Hasan yang tahun 1550 menggantikan ayahnya Sunan Kudus, Sunan Gunung Jati (wafat 1569), Raden Husamuddin Sunan Lamongan yang tahun 1525 menggantikan kakaknya Sunan Bonang, Sunan Pakuan yang tahun 1533 menggantikan ayahnya Sunan Derajat, dan Sunan Muria (wafat 1551).
•
Angkatan ke-7 (1546- 1591 M), terdiri dari Syaikh Abdul Qahhar (wafat 1599), Sunan Prapen yang tahun 1570 menggantikan Raden Zainal Abidin Sunan Demak, Sunan Prawoto yang tahun 1546 menggantikan ayahnya Sultan Trenggana, Maulana Yusuf cucu Sunan Gunung Jati yang pada tahun 1573 menggantikan pamannya Fathullah Khan, Sayyid Amir Hasan, Maulana Hasanuddin yang pada tahun 1569 menggantikan ayahnya Sunan Gunung Jati, Sunan Mojoagung yang tahun 1570 menggantikan Sunan Lamongan, Sunan Cendana yang tahun 1570 menggantikan kakeknya Sunan Pakuan, dan Sayyid Shaleh (Panembahan Pekaos) anak Sayyid Amir Hasan yang tahun 1551 menggantikan kakek dari pihak ibunya yaitu Sunan Muria.
• Angkatan ke-8 (1592- 1650 M), terdiri dari Syaikh Abdul Qadir (Sunan Magelang) yang menggantikan Sunan Sedayu (wafat 1599), Baba Daud Ar-Rumi Al-Jawi yang tahun 1650 menggantikan gurunya Sunan Prapen, Sultan Hadiwijaya (Joko Tingkir) yang tahun 1549
bersejarah ini terdapat makam sultan Patah (pendiri kerajaan Demak), sunan Ngudung (ayah Sunan Kudus), Raden Patiunus , dan Trenggono (1521-1546), Putri Campa (Ibu dari Raden Patah), dan beberapa makam lain yang diyakini sebagai tokoh-tokoh agama pada waktu kerajaan Demak masih berdiri175. Sosok sunan kalijaga yang di sebut oleh Greerz sebagai pahlawan kebudayaan Jawa dengan meletakkan model varian Islam Jawa yang sinkretik. Ia adalah contoh ideal bagi Islam Jawa176. Ketokohan kanjeng sunan dalam spiritual Jawa membuat tempat ini dijadikan sebuah areal keramat. Tidak jarang orang yang berkunjung ketempat ini tidak hanya bertujuan untuk berziarah untuk mengirim do’a, tetapi terlihat sedang mengamalkan sebuah ilmu kebatinan dan seakan-akan sedang bertapa177. Selain itu, kepercaaan dengan barokahnya sunan Kalijaga, banyak peziarah ketika masuk dan keluar makam sambil memegang pintunya, dan banyak juga yang membawa botol untuk mengambil air gentong di samping makam kanjeng sunan, yang menurut cerita dua gentong di situ adalah peninggalan sunan. Suyitno, salah satu juru kunci makam mengatakan, “Gentong ini sudah 526 tahun yang lalu, makanya di beginikan (di semen). Yang satu dulu untuk tempat wudhu dan yang satu untuk dalingan (tampat beras). Sedangkan airnya dipikul dari sungai. Karena pernah kejadian, airnya tidak diambilkan dari sungai dengan tujuan lebih bersih, tapi gentongnya tidak mau. Setelah dari sungai, lalu menggantikan Sultan Prawoto, Maulana Yusuf, Sayyid Amir Hasan, Maulana Hasanuddin, Syekh Syamsuddin Abdullah Al-Sumatrani yang tahun 1650 menggantikan Sunan Mojoagung, Syekh Abdul Ghafur bin Abbas Al-Manduri yang tahun 1650 menggantikan Sunan Cendana, dan Sayyid Shaleh (Panembahan Pekaos). (www. Id.wikipedia.org/ wiki/ walisongo, di ambil 27 April 2012) 175 Observasi, 20 Maret 2012 176 MR Woodward, Islam Jawa: Kesalehan Normatif versus Kebatinan, hlm 146. Sunan Kalijaga diyakini pada waktu itu sebagai wali qutub. Diantara auliya ada yang disebut dengan istilah wali Qutub. Mereka adalah wali-wali yang menguasai segenap ahwal dan maqamat (tahapan-tahapan dan pengalaman spiritual dalam dunia tasawuf). Wali yang mempunyai derajat ini hanya satu pada setiap zaman. Wali Qutub juga disebut wali muqarabin dan sekaligus menjadi pimpinan mereka. Wali Qutub ini ada yang mengasai pemerintahan dhohir dan juga pemerintahan bathin seperti Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Hasan, Muawiyah bin Yazid, Umar bin Abdul Aziz. Kemudian ada yang mengasai khilafah bathin saja seperti Ahmad bin Harun Ar-Rasyid, as- Satbi, Abi Yazid Al Bustami. Namun kebanyakan wali-wali Qutub ini tidak menguasai pemerintahan dhohir. Lihat: Yusuf bin Ismail an Nabhani, Jami’ Karomahtul Auliya, jilid 1, hlm 69 177 Observasi, 20 Maret 2012
dimasukkan ke penampungan ini dan di filter. Dulu gak ada filter ya terkadang keruh.178 Melihat makam sunan Kalijaga merupakan tempat yang ramai peziarah, baru sekitar tahun 2011 perbaikan dan peremajaan jalan menuju makam dilakukan oleh pemerintah Demak. Sehingga pedagang-pedagang di sekitar makam lebih tertata rapi. Hal ini yang dikatakan Kholis “Sejak renovasi jalan-jalan masuk sini, lebih terlihat rapi dan nyaman. Berbeda dengan empat tahun lalu.”179 Meski mengadakan renovasi di sekitar makam, namun keberadaan musafir ditempat itu masih belum diperhitungkan. Ini terbukti dengan tidak adanya tempat khusus yang digunakan musafir sebagai persinggahan untuk beberapa hari di sana. Yang ada tempat peristirahatan peziarah yang terletak di samping bangunan jaga juru kunci. Sehingga kebanyakan musafir ini kalau istirahat berada di masjid Kadilangu yang terletak disamping areal makam, atau berada di sekitar makam pangeran Wijil ke V yang berada sekitar 200 m dari makam180. Keadaan ini yang disayangkan oleh Khanafi ketika peneliti bertemu dia dan tiga musafir yang lain di makam pangeran Wijil V, “ Dari pada tidur di masjid, katanya kurang aman. Selain itu, tempat sebesar ini tidak di sediakan untuk musafir. Tidak seperti di Kiai Kholil Bangkalan”181 Penuturan musafir tidak dapat tempat khusus, di sanggah oleh Suyitno, salah seorang abdi yang menunggu air gentong di makam sunan Kalijaga. “ Musafir dipesilahkan singgah di makam sunan. Tapi yang jadi masalah, musafirmusafir yang tidak jelas. Dulu di makam pangeran Wijil makam dan musollanya di buka. Tapi setelah juru kunci sana tidak bisa mengatasi kelakuan musafirmusafir yang tidak jelas itu, sekarang di tutup. Lha mereka pada pindah ke makam Gili.”182 178
ibid Wawancara dengan Kholis, salah seorang peziarah dari Pati, 20 Maret 2012 180 Wawancara dengan Suyitno, abdi yang menunggu air gentong di makam Sunan kalijaga, 20 Maret 2012 181 Wawancara dengan Khanafi, salah seorang musafir yang berasal dari BangkalanMadura, 20 Maret 2012 182 Wawancara dengan Suyitno, 20 Maret 2012 179
Keterbukaan pada musafir juga ditunjukkan oleh salah satu sesepuh jurukunci makam sunan kalijaga, bapak Suprayitno, “ Biasanya musafir-musafr itu ada yang di makam dan masjid. Sekarang yang di dekat makam ada lima orang, di tempat istirahat ada kalau tiga orang.”183 Sikap terbuka pihak pengelola makam terhadap musafir membuat salah seorang musafir yang bernama Muhammad Ghazali merasa senang, “ Aku sudah 12 hari di sini. Kemarin-kemarin aku di petilasan-petilasan sunan Kalijaga di Jawa Barat sana. Ya kalau ditanya kenapa di sini, aku jawab, karena di sini rumahnya (pusatnya). Tapi aku juga ke makam-makam lain nanti. Mau berhenti selema puasa di makam mana belum tahu.“184 Pernyataan yang sama juga di ungkapkan Mansur, “ Di sini salah satu tujuanku. Nanti setelah beberapa hari jalan lagi mau ke Cirebon.”185 Bagi musafir yang mempunyai tujuan jelas, makam sunan kalijaga hanya salah satu makam yang menjadi tujuan perjalanan mereka. 2. Madura; ‘Surga Para Musafir’ Pulau yang terdiri dari empat kabupaten ini, yaitu Bangkalan, Sampang, Pamekasan, dan Sumenep selalu menjadi tempat paling mengesankan bagi para peziarah mlaku. Etnis yang terkenal dengan caroknya ini, ternyata menyimpan sebuah kelembutan yang unik di mata musafir. Perlakuan yang sangat istimewa ketika menginjakkan kaki di pulau yang memiliki luas keseluruhan 5.304 km² 186, baik pakai transportasi kapal dengan lewat pelabuhan Ujung-Surabaya, atau lewat jembatan Suramadu yang memiliki panjang 5,5 Km,187 membuat musafir ini betah tinggal di sana bertahun-tahun. Bahkan tidak jarang ada yang menikah dengan orang sana dan kemudian menetap di sana. Sebut saja namanya Saiful yang peneliti temui. Ia berasal dari Banyuwangi, dan sudah berjalan ke makam-makam menjadi musafir selama tujuh tahun. Kemudian ia menikah dengan orang 183
Wawancara dengan Suprayitno, salah satu sesepuh Juru kunci mkam Sunan kalijaga, 21 Maret 2012 184 Wawancara dengan Muhammad Ghozali, musafir asal Bandung, 20 Maret 2012 185 Wawancara dengan Mansur, musafir asal Sukabumi, 20 Maret 2012 186 A. Latief Wiyata, Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura, Yogyakarta: LKiS, 2002, hlm 31 187 Menurut penuturan dari Ahmad Mukarrom, musafir dilarang melewati jembatan Suramadu. Wawancara 11 Maret 2012 di makam syaikhona Kholil.
Melajeh, Bangkalan. Sewaktu peneliti bertemu di rumahnya bersama temanteman musafir yang berada di makan Syaikhona Kholil, diminta kerumahnya, karena anak pertamanya meninggal sewaktu melahirkan188. Kebaikan orang-orang Madura ini peneliti rasakan langsung ketika berjalan dari pelabuhan Kamal bersama Habib Abdullah asal Medan menuju makam Syaikhona Kholil, di tengah perjalanan peneliti kehausan dan mampir di warung. Sewaktu membayar, ternyata tidak dihitung semua apa yang kami makan. Bahkan pemilik warung bermaksud memberi tiga botol aqua untuk bekal189. Cerita seperti ini juga dialami oleh Kholik, yang pernah jalan pada tahun 2007. Ia menceritakan sewaktu memasuki pulau ini, bekalnya hanya sedikit. Tetapi ketika keluar meninggalkan pulau Madura, uangnya tambah banyak sekaligus mendapat banyak bekal dari mayarakat sana. Begitu juga ketika peneliti di makam syaikhna Kholil dan makam Syaikh Syamsuddin- Batuampar, banyak yang memberi makan pada musafir. Begitu pula saat menjelang maghrib, makan sudah disediakan oleh pihak keluarga keturunan syaikh Syamsuddin190. Kata Ahmad Rosyidi, “ Pada bulan puasa musafir-musafir mendapat makan buka puasa dan sahur.191” Satu prinsip yang menjadi fenomena orang Madura, ialah dikenal sebagai orang yang mampu mengambil dan menarik manfaat yang dilakukan dari hasil budi orang lain, tanpa mengorbankan kepribadiannya sendiri. Demikian pula orang Madura pada umumnya menghargai dan menjunjung tinggi rasa solidaritas kepada orang lain. Sikap hidup semacam ini, menjadikan orang-orang Madura diluar Madura mudah dikenal, supel serta menunjukkan sikap toleran terhadap sesama. Kadang kontradiktif bila melihat penampilan fisik bila dibandingkan kenyataan hidup yang sebenarnya. Sebagai contoh, bila satu rumah tangga kedatangan tamu (apalagi tamu jauh), dapat dipastikan mereka sangat dihormati. 188
Wawancara dengan Saiful, 13 Maret 2012 di Melajeh- Bangkalan. Saiful adalah salah seorang yang pernah menjalankan tirakat mlaku. Namun ketika sampai di Bangkalan, ia kecantol (jatuh cinta) dengan wanita situ, akhirnya mniah dan menetap di situ. 189 Observasi 09 Maret 2012 190 Wawancara dengan Kholik, salah seorang mahasiswa Ushuluddin angakatan 2011, 01 Maret 2012. Ia pernah menjadi musafir pada tahun 2007 setelah selesai mencari ilmu di pondok Kencong- Pare-Kediri. 191 Wawancara dengan Ahmad Rosyidi di makam Batuampar-Madura, 15 Maret 2012. Ahmad Rosyidi adalah musafir yang sudah berada di makam Batuampar selama 4 tahun. Ia berasal dari Demak.
Mereka berani berkorban untuk menjamu sang tamu, meski hanya secangkir air. Kalaupun dapat, mereka berusaha memuaskan dengan jamuan lebih, bahkan berani mencari hutang demi menghormati tamu192. Menurut cerita-cerita dari Habib Abdullah, orang Madura kebanyakan mempunyai rumah dua. Yang satu memang dipersiapkan jika suatu saat ada tamu yang mampir menginap. Tapi sebaliknya apabila penghargaan itu ditolak atau meski sedikit tidak mau dicoba suguhannya, maka tamu tersebut berarti dianggap menginjak penghargaan tuan rumah. Dan kemungkinan semacam ini akan tumbuh benih-benih rasa benci dan dendam193. Habib Abdullah menambahi, bahwa masyarakat Madura dikenal sangat fanatik terhadap agamanya (Islam). Sekalipun kefanatikan ini pada tingkatan ajaran agama atau kepatuhan terhadap kiai sebagai pimpinan agama. Sehingga tidak heran jika pondok-pondok pesantren besar seperti Lirboyo, Sarang, dan bahkan sampai Medan yang memiliki jumlah santri dari daerah ini sangat banyak.194 Kehidupan keagamaan keseharian mereka sangat dikendalikan oleh para ulama atau kyai. Dan, lebih spesifik ulama dan kyai Pengasuh Pondok Pesantren yang umumnya bermadzhab Syafi’iyah. Oleh karena itu, mereka sangat tawadlu’ dan menghormati para ulama dan kyai, berikut institusinya. Kefanatikan terhadap agama ini juga mempengaruhi struktur politik masyarakat Madura. Ini terlihat pada pemilihan kepala daerah (Bupati) di di Kab. Bangkalan, masyarakat menobatkan KH. Fuad Amin, yang masih cicit Syaikh Kholil, selama dua periode. Bahkan
Habib
Muhammad
al-Qadri
mengatakan,
“Berkat
jasa-jasanya
membangun masjid agung, dan sekarang baru pembangunan makam kakeknya itu,
192
Wawancara dengan Hamzah, 05 Maret 2012. Ia salah seorang warga keturunan Madura. Sekarang Mahasiswa Ushuluddin angkatan 2010 193 Wawancara dengan Habib Abdullah Siregar dari Medan, 09 Maret 2012. Ia Bukan seorang keturunan Rasulullah, dan ia seorang guru di pondok pesantren besar di Medan. 194 Ibid
akan
menjadi bupati Bangalan sampai Pilkada kembali digelar, padahal
sebenarnya masa jabatannya sudah habis”195. Dari gambaran di atas, tidak salah jika Bangkalan (Madura) sejak awal penyebaran Islam terkenal dengan sebutan “serambi Mekkah kedua” setelah Aceh, atau ada juga yang menyebutnya “serambi Madinah”196. Di pulau ini banyak waliyullah di makamkan, diantaranya Syaikhona Kholil di Bangkalan, dan Syaikh Syamsuddin di Batuampar.
a. Makam Syaikhona Kholil Kemasyhuran Syaikhona Kholil Bangkalan dalam penyebaran Islam di tanah Jawa dan khususnya di pulau Madura tidak bisa dilupakan jasanya. Sebutan “Syaikhona” yang artinya “guru kita”, merupakan sebuah bentuk pengakuan yang menunjukkan bahwa beliau gurunya umat Islam di Indonesia. Tercatat beliau memiliki murid-murid seperti KH. Hasyim Asy’ari pendiri Jam’iyah Nahdlatul Ulama (organisasi terbesar di Indonesia), Kiai Abdul Wahab Hasbullah (Jombang), Kiai Bisri Syansuri (Jombang), Kiai Abdul Manaf (Lirboyo-Kediri), Kiai Maksum (Lasem), Kiai Munawir (Krapyak-Yogyakarta), Kiai Bisri Mustofa (Rembang Jateng), Kiai Nawawi (Sidogiri), Kiai Ahmad Shiddiq (Jember), Kiai As’ad Syamsul Arifin (Situbondo), Kiai Abdul Majjid (Bata-Bata Pamekasan), Kiai Toha (Bata-Bata Pamekasan), Kiai Abi Sujak (Astatinggi Kebun Agung, Sumenep), Kiai Usymuni (Pandian Sumenep), Kiai Muhammad Hasan (Genggong Probolinggo), Kiai Zaini Mun’im (Paiton Probolinggo), KH Zainuddin-Nganjuk (Gurunya KH Djazuli, pendiri pondok Ploso-Kediri), Kiai Khozin (Buduran Sidoarjo). Bahkan Ir. Soekarno Presiden RI pertama, menurut penuturan Kiai Asa’ad Samsul Arifin, Bung Karno meski tidak resmi sebagai
195
Wawancara dengan Habib Muhammad al- Qadri, 10 Maret 2012. Beliau adalah salah seorang ulama’ asal Surabaya yang dulunya ketika masih muda pernah manjalankan tirakat mlaku yang sekurun dengan Mbah Sobib asal Jepara. Beliau memang sering sekali berada di makam Syaikhona Kholil untuk tirakat selama 41 hari. Musyarrofah, Ibadah haji; Fenomena Eskatologi Pelaksanaan Haji dalam Masyarakat Madura, paramedia, Vol. 7, No. 4, Oktober 2006, di download dari ejournal.sunanampel.ac.id/index.php/paramedina/article/view/172, pada 28 Maret 2012 196
murid Kiai Kholil, namun ketika sowan ke Bangkalan, syaikhona Kholil memegang kepala Bung Karno dan meniup ubun-ubunya197. Makam yang terletak di desa Matajasah, Kecamatan Kota, Kabupaten Bangkalan tidak pernah sepi dari peziarah. Menurut Umar bin Smith, “Makam syaikhona tidak pernah sepi, apalagi pada hari sabtu dan minggu seperti ini, kebanyakan mereka berasal dari luar Madura. Tempat parkir ini sampai penuh bus.”198 Padahal tempat sekitar makam Syaikhona Kholil sudah mengalami perubahan dan pembangunan total setelah keturunannya menjadi Bupati Bangkalan. Habib Muhammad al-Qadri menceritakan, “ Setelah KH Fuad Amin dipilih menjadi Bupati Bangkalan, ia membeli tanah-tanah warga disekitar makam dengan harga sampai sepuluh kali lipatnya. Pembangunan besar-besaran ini menghabiskan dana miliaran. Itu belum termasuk keramik masjid yang disumbang oleh Syaikh Puji. Karena memang sejarahnya tanah-tanah di sekitar situ dahulunya milik syaikhona Kholil. Kemudian oleh beliau, masyarakat boleh mamakai, sampai sekarang. ”199 Menurut cerita Habib Muhammad al-Qadri, “Dulu Syaikhona sebelum meninggal berpesan pada muridnya supaya dimakamkan di tempat itu. Dengan ditandai batu yang sekarang menjadi makam beliau”200. Padahal antara makam dengan pondok pesantrennya Syaikhona Kholil sekitar dua kilometer kearah kota Bangkalan. Kemungkinan besar syaikhona ingin di makamkam di sana karena di tempat itu terdapat mata air yang dahulunya bisa menyembuhkan segala penyakit. Namun sekarang mata air itu ditutup dan oleh pihak pengelola dikemas seperti aqua.201
197
Moh. Riwann Rifa’I, S. Pdi, resensi buku KH. M. Kholil Bangkalan Biografi Singkat 1835-1925, penulis: Muhammad Rifa’i. di ambil dari http: // www.nu. or.id/ page/id/dinamic_detil /12/34865/Buku/Syaikhona_ Kholil_Gurunya_Para_Kiai.html. 19 April 2012 198 Wawancara dengan Umar bin Smith, salah seorang penjual celurit di sekitar parkir makam syikhona Kholil, 11 Maret 2012 199 Wawancara dengan Habib Muhammad al Qadri, 11 Maret 2012. Syaikh Puji adalah sebuah panggilan untuk seorang pengusaha kuningan asal Semarang. Ia sempat menghebohkan, gara-gara menikahi gadis di bawah umur. 200 ibid 201 Observasi, 11 maret 2012
Ada kemungkinan juga Syaikhona dimakamkan di situ, karena sejak kecil beliau sering melewati tempat itu menuju makam Buju’ Sara. Kata al-Qadri, “Sejak kecil Syaikhona sering kesini untuk berkholwat. Dan di sini Syaikhona bertemu Nabi Khidzir.”202 Sebanarnya Syaikhona Kholil sewaktu kecil tidak hanya berkholwat di Buju’ Sara, ia juga banyak meneghabiskan waktunya di masjid Tiban. “Masjid ini sudah ada sebelum Syakhona lahir. Menurut cerita
202
Wawancara dengan Habib Muhammad al Qadri di Buju’ Sara. 12 Maret 2012. Di buju’ Sara itu peneliti diberitahu tempat bertemunya nabi Khidzir dan Syaikhona Kholil. Di situ sudah di abadikan oleh almarhum bapak Bakri, selaku juru kunci pertama di makam itu. Namun jika bukan orang situ, atau musafir lama maka tidak ada yang menyangka tempat mirip kursi dan ada mejanya itu merupakan tempat yang sakral. Ada satu lagi tempat yang sakral, yaitu dibelakang makam Buju’ Sara. Di situ tempat bapaknya Syakhona Kholil, KH Abdul Latif meminta anak yang sholeh. Jika para nabi bertemu dengan malaikat Jibril, maka para wali akan bertemu dengan Nabi Khidzir as yang diyakini masih hidup dan pembawa stempel kewalian. (wawancara dengan Habib Muhammad al Qadri 12 Maret 2012). Terlepas benar tidaknya atau nyata tidaknya keberadaan nabi Khidir sebagai pemangku pengetahuan dan penghulu para wali. Sebagai contoh pertemuan kiai Munawir dengan Nabi Khidzir dilukiskan oleh Mark R Woodward dalam Islam Jawa ( hlm 171) sebagai berikut: Dalam suatu perjalanan dari makah menuju Madinah, beliau berjumpa dengan seorang tua yang tidak beliau kenal, lalu mengajak beliau berjabat tangan. ketika itu, beliau minta do’a agar menjadi seorang yang benar-benar hafidz al Qur’an. Lalu dijawab oleh orang itu,”Insya Allah” Begitu pula yang Gus Mik. Seorang wali nyentrik asal Kediri dan tokoh sentral Dzikrul Ghofilin, yang dikatakan oleh MN Ibad, sudah sejak dini memfokuskan diri untuk menemukannya. Dan setelah melalui berbagai proses yang panjang dengan berbagai penderitaan, akhirnya dia bisa menemukan dan belajar kepada nabi tersebut. Karena seseorang yang mampu menemukan dan belajar pada Nabi Khidzir secara otomatis ia kan bisa menguasai segala imu pengetahuan, baik melalui proses belajar maupun dengan tanpa melalui proses belajar. Lihat: MN Ibad, Suluk Jalan Terabas Gus Miek, Yogyakarta: Pustaka Pesantren, cet III, 2012, hlm 13 Banyak sufi yang menyatakan menjadi murid langsung dari Nabi khidir dari siapa mereka menerima tugas untuk memberikan bimbingan kepada umat manusia. (Fazlurrahman, Islam, Bandung: Penerbit Pustaka, 1984, hlm 196). Hal ini juga diakui oleh Ibnu Arabi. Bagi Ibnu Arabi, ia lebih senang menyebut dirinya murid Khidir. Tradisi Muslim telah menjadikan Khidir sebagai guru bagi semua pencari kebenaran mistik, yang secara inhern lebih unggul dari pada, dan sangat berbeda dari bentuk-bentuk harfiyah dan lahiriyah. Dia tidak mengarahan murid-muridnya untuk sampai pada persepsi tentang Tuhan yang sama bagi semua orang, melainkan kepada Tuhan yang subjektif dalam pengertian paling dalam dari kata tersebut. Lihat: Karen Armstrong, Sejarah Tuhan, hlm 314-315 Oleh karena itu tidak salah yang dikatakan oleh Habib Muhammad al Qadri, “Setelah seorang berguru dan mencapai tingkatan yang tinggi yakni makam makrifat, maka ia sampai ia bertemu Nabi Hidzir dan dibimbing olehnya, maka hubungan guru murid sudah selesai, karena dianggap sudah menjadi muridnya nabi Khidzir as. Sebagaimana sunan Bonang mengatakan pada sunan Kalijaga, “ aku sudah bukan gurumu lagi”, begitu pula Abdussalam ibn Masyis kepada Abu Hasan asy- Syadzali”. (wawancara dengan Habib Muhammad al Qadri, 12 Maret 2012).
orang tua-tua dulu, masjid ini berasal dari Malaya (sekarang Malaysia). Dan memang benar, ketika dicek, di sana kehilangan masjid.”203 Di makam syaikhona ini, musafir mendapat khusus untuk menginap, namun sebalumnya harus lapor dan menyerahkan KTP pada juru kunci. Bangunan yang terdiri dari tiga lokal itu agak jauh dengan lokasi makam Syaikhona. “ Saya senang di sini. Bebas, dan juru kuncinya bersahabat. Tidak seperti ketika saya di makam sunan Ampel. Di situ musafir hanya boleh tidur di masjid yang dekat makam mbah Sholeh” kata Sa’id.204
b. Syaikh Syamsuddin Batuampar Ketenaran makam keramat yang terletak di Batuampar- Proppo-PemekasanMadura, mungkin diawali karena adanya kisah mbah KH. Mohammad Ma’roef dari Kedungo-Kediri, salah seorang wali terkemuka.
Ketika berguru kepada
Syaikh Kholil Bangkalan, KH Ma’roef sering berziarah ke makam-makam wali. Namun maksudnya belum tercapai. Dengan rasa putus asa ia kembali ke pondok dan terus menangis. Syakh Khalil mengetahui apa yang dirasakan muridnya kemudian beliau bertanya kepada Mbah Ma’roef. “Ma’roef, sudah berminggu-minggu kamu tidak berada di pondok, pergi kemana saja kamu?” Tanya Syaikh Khalil. “Saya riyadhah di kuburan wali-wali, mereka semua tidak bisa memberi saya ilmu laduni. Terakhir saya riyadhah di Buju’ Sangkak, katanya saya bisa mendapatkan ilmu laduni, tapi riyadhah saya masih kurang. Riyadhah yang bagaimana lagi yang mesti saya lakoni, padahal semua riyadhah sudah saya jalankan.” “Ada satu makam lagi yang belum kamu datangi yakni makam Mbah Abu Syamsuddin di Batu Ampar. Beliau wali besar. Semalam saya bertemu Mbah Abu Syamsuddin, beliau menyuruh saya menulis di kuburannya. “Siapa yang bisa mengkhatamkan al-Qur’an sekali duduk205, apapun 203
Wawancara dengan Habib Muhammad al-Qadri, 11 Maret 2012. Penaliti sempat di ajak kesana. Memang benar, aura di dalam masjid yang terletak di desa Melajeh ini luar biasa. 204 Wawancara dengan Sa’id di makam Syaikhona Kholil, 13 Maret 2012. Dia musafir dari Probolinggo dan telah berjalan selama 7 tahun. 205 Mengenai berapa kali khataman al Qur’an, peneliti meriwayatkan dari berbagai sumber. Yang peneliti peroleh dari Drs. H. Ahmad Taqwim, MA (bapak peneliti, dan juga dosen Ushuluddin) memperoleh ini ijazah dari KH Mahrus Aly, sewaktu masih menjadi santri di Lirboyo-Kediri, mengatakan tujuh kali khataman al Qur’an. Sedangkan yang tiga kali khataman,
keinginannya akan tercapai“. Mbah Ma’roef langsung berangkat ke Batu Ampar dan mengkhatamkan al-Qur’an dari Shubuh sampai Ashar sekali duduk. Selesai mengkhatamkan al-Qur’an, seketika itu datang angin Lysus menerjang tubuh beliau. perasaan beliau, saat itu kepalanya dipegang dan ditumpahi nasi kuning hingga beliau muntah berak. Sepulang riyadhah di makam Mbah Abu Syamsuddin, segala kitab yang ada di pondok Kyai Khalil beliau kuasai. Tercapailah sudah keinginan Mbah Ma’roef untuk memiliki ilmu seluas bumi dan langit tanpa harus belajar206. Untuk mencapai makam ini, dari Bangkalan bisa memakai bus umum atau mobil Daihatsu (seperti mobil trevel) turun di terminal Pemekasa. Kemudian naik ojek Rp20.000 sampai Batuampar. Karena selain angkotnya yang jarang, juga tempatnya yang jauh dari kota dan medannya cukup sulit. Di makam ini banyak pelaku tirakat al-Qur’an, yang rata-rata selama 41 hari. Mereka datang dari berbagai pondok pesantren. Setelah menghatamkan hafalan al-Qur’an di pesantrennya, gurunya akan meminta untuk tirakat di makam Batuampar. Sampai sana, mereka sowan dulu minta izin pada kiai-kiai keturunan Syaikh Syamsudin yang rumahnya di sekitar makam. Biasanya sowan kepada kiai Abdul Qadir atau kepada kiai Romli207. Ketika sampai sana, peneliti hanya bertemu 5 musafir dan yang lainnya hanya sekedar tirakat al-Qur’an. Kata Ahmad Rosyid “ Kamu salah datang pada bulan ini (Ba’da al-Maulud). Kebanyakan musafir yang datang kesini pada bulan Sya’ban, Romadhon dan Syuro “208
Sebenarnya di makam Batuampar tidak
hanya Syaikh Syamsuddin yang termasuk waliyullah. Tapi bapaknya (Buju’ Tumpeng), dan kakeknya (Buju’ Kosambi) terkenal dengan tirakat bertapa sampai bertahun-tahun. Dan ada pula Syakh Husain (putra Syaikh Syamsuddin), Syekh Muhammad Ramly (Putra Syaikh Husain), dan Syekh Damanhuri (putra Syaih
peneliti memperoleh riwayat dari KH Masgudi, salah seorang Kiai al-Qur’an dari Purworejo. Ia muridnya KH Arwani Kudus. 206 http: //pengamalwahidiyah. org/sejarah.htm, di ambil 25 Maret 2012 207 Observasi 14 Maret 2012. Sampai di Batuampar, peneliti langsung diajak Hamzah sowan Kiai Abdul Qadir. Hamzah adalah salah seorang mahasiswa FUPK Fak. Ushuluddin IAIN Walisongo, yang kebetulan waktu itu di sana dan hampir pulang setelah menyelesaikan 41 hari yang diperintahkan oleh gurunya. 208 Wawancara dengan Ahmad Rosyidi di makam Batuampar, 15 Maret 2012
Ramly). “Satu keturunan ini oleh masyarakat Madura dianggap sebagai waliyullah”, kata Bapak Asyiq.209
B. Motivasi Musafir Berziarah Mlaku Keberadaan musafir menjalankan tirakat mlaku itu, tentu tidak lepas dari berbagai motif atau tujuan yang mendorongnya berbuat suatu hal yang dianggap tabu pada masa sekarang ini. Sebuah perjalanan yang panjang dari makam ke makam para wali dengan berbagi resiko dan cobaan yang berat, tidak akan mungkin terlaksana tanpa adanya tekat yang bulat dan niat yang tulus. Hal ini yang di katakana oleh Mukhlis atau lebih popular dikalangan musafir dengan nama mbah Ompong “ Saya jadi musafir sejak tahun 1978. Saya sudah keliling sampai mana-mana. Bekalnya hanya bismillah.”210 Begitu pula yang dikatakan oleh Trisnomukti atau lebih popular dengan nama mak Kuwu, “ Saya ini di suruh jalan oleh guru, hanya di kasih bekal baju dan celana hitam ini. Sedangkan kami disuruh ke makam-makam wali yang menjadi keturunan sunan Gunung Jati untuk mengamalkan surah al-ikhlash sebanyak 3313 setelah jam 12 malam”211. Menaggapi perkataan Trisnomukti itu, memang ketika peneliti di makam syaikhona Kholil bertemu dengan orang tiga orang yang selalu berpakaian hitam, mereka adalah mbah Ompong, mak Lugu atau Ucok Malihuddin, dan mak Kuwu, yang kesemuanya berasal dari Cirebon. Kata Trisnomukti, “Di Cirebon ada sebuah
pesantren
yang
selalu
memberangkatkan
santri-santrinya
untuk
menjalankan tirakat ini. gurunya hanya memberi pakaian hitam dan celana hitam. 209
Wawancara dengan Bpk. Asyiq, 15 Maret 2012. Ia adalah salah seorang tukang ojek yang juga Khodam (pesuruh Kiai) kiai-kiai keturunan Syaikh Syamsuddin. 210 Wawancara dengan Mbah Ompong di makam Syaikhona Kholil, 10 maret 2012. Musafir ini berasal dari Cirebon. Dikalangan musafir memang lebih banyak memakai nama julukan seperti mbah Brewok dari Bawen-Semarang, mak kuwu dari Cirebon, mak Lugu dari Cirebon, Sunan Wungkul dari Bandung, Gondrong dari Kediri dan lainnya. 211 Wawancara dengan Trisnomuti, 11 maret 2012. Di makam syaikhona Kholil. Ia orang asli Cirebon. Untuk amalan surah al-ikhlas sebanyak 3313 kali, peneliti juga mendapatkannya dari Habib Muhammad al Qadri pada 12 maret 2012. Sedang al Qadri mendapatkan ijazah itu dari KH Kholirurrahman (ra Lilur), salah seorang cucu Syaikhona Kholil yang dianggap Jadzab (Wali Gila).
90% yang dari sana ingin menjadi dukun. Sedang gurunya menyesuaikan kondisi kejiwaan santrinya. Mereka ada yang ditugaskan di wilayah Sumatra dengan pertimbangan santri tersebut berwatak keras dan lebih tangguh menghadapi medan yang banyak sulit. Dan ada yang di Jawa Madura, karena ilmunya belum tinggi”. 212 Salah seorang musafir yang peneliti temui dengan julukan Sunan Wungkul dari Bandung juga terlihat mempunyai motivasi menjadi orang sakti. Ia banyak bercerita mengenai pengalaman bapaknya yang sakti. katanya “Dahulu bapakku juga pernah berjalan bertahun-tahun. Aku ini diberi amanat untuk menjalankan tirakat ini, meskipun orang tuaku sudah meninggal lama, tapi aku terus dipantau”213. Motivasi seperti ini tidak hanya dua orang tadi, namun menurut keterangan dari Habib Muhammad al- Qadri banyak musafir-musafir sekarang yang menjalankan tirakat supaya sakti. “ Banyak musafir yang jalannya sudah tidak lurus. Termasuk yang mencari kesaktian itu”.214 Perkataan yang senada juga dilontarkan oleh bapak Yono, bahkan ia menunjukan orang-orang yang tirakat untuk kesaktian ketika berada di masjid Sunan Ampel, “ Orang itu katanya kalau pulang akan mempunyai ribuan murid”.215
Meski begitu, tetapi al-Qadri
mengatakan lagi, “ Namun tidak semua musafir yang menjalankan laku (tirakat) ilmu hikmah itu salah. Karena dari Banten, Cirebon dan berapa tempat yang lain, setelah belajar syari’at disuruh jalan (safar) dengan mengamalkan ilmu-ilmu dari wali seperti Hizib Nasor milik Abi Hasan asy-Syadzili, Ismu al-Iqbal yang menjadi andalan kiai-kiai dari Sunda, dan lain sebagainya. ”216 Tidak seperti di atas, masih banyak juga musafir menjalankan tirakat ini didasarkan hanya mencari barokah. Seperti Hakim dari Pacitan, Habib Abdullah dari Medan, Nasrullah dari Lampung, Yoyok dari Tasikmalaya, Imam Bukhori 212
ibid Wawancara dengan Sunan Wungkul di makam Syaikhona Kholil, 10 Maret 2012 214 Wawancara dengan Habib Muhammad al-Qadri, 10 Maret 2012 215 Wawancara dengan Bapak Yono di makam Sunan Ampel, 08 maret 2012 216 Wawancara dengan Habib Muhammad al Qadri, 10 Maret 2012 213
dari Jember, Ahmad Rosyidi dari Demak, dan Imam dari Kediri. Tapi bisanya musafir-musafir model ini ditugaskan oleh gurunya, atau mereka mengikuti jejak gurunya. Seperti yang dikatakana oleh Habib Muhammad al-Qadri, “Musafir ini dimulai sekitar tahun 1955. Kebanyakan hanya mencari barokah, karena mereka rata-rata santri dari Kediri, Blitar, Tulungagung, dan Banten yang dianjurkan oleh kiainya217. Keterangan ini juga diungkapkan oleh Ahmad Taqwim, “ Dulu kiai-kiai Pondok Lirboyo Kediri, khususnya Kiai Makhrus Aly, selalu mengingatkan santri-santrinya untuk menjalankan ziarah dengan jalan kaki (mlaku) ke makammakam wali. Bagi santri yang mlaku, maka ia diperbolehkan tidak puasa, tapi jika ia menggunakan kendaraan, dianjurkan untuk berpuasa”.218. Sedangkan waktu yang ditentukan menjalankan tirakat ini berbeda-beda sesuai tujuannya. Musafir yang hanya tabarrukan dan mendapat tugas dari guru, ada yang empat puluh satu hari ziarah di makam Walisongo sudah harus selesai. Ini yang dilakukan pak Hakim dari pondok Termas Pacitan219. Karena itu, ia tidak lama-lama bermukim di makam, paling lama hanya dua hari. Pengalaman yang berbeda dikemukakan Habib Muhammad al-Qadri, dulu ia diperintah gurunya tiga bulan harus sudah berziarah ke makam-makan wali yang telah ditentukan220. Tetapi banyak juga yang tidak dibatasi waktu seperti Habib Abdulllah yang sudah berjalan selama tiga tahun221, Sa’id dari Probolinggo yang sudah berjalan sekitar tujuh tahun222, mbah Brewok selama tujuh tahun, dan yang paling lama mbah Ompong, ia sudah sejak 1978.223 Sebagian musafir yang tidak terikat oleh waktu, ada yang menyampatkan bertawajjuh di tempat-tempat keramat yang diyakini pernah menjadi tempat
217
Ibid Wawancara dengan Drs H. Ahmad Taqwim, MA, 30 Maret 2012 219 Peneliti bertemu dan berkumpul sejak dari makam sunan Kudus sampai akhirnya ikut berjalan sampai makam Sunan Kalijaga. Peristiwa ini terjadi pada tahun 2004. 220 Wawancara dengan Habib Muhammad al Qadri, 10 Maret 2012 221 Wawancara dengan Habib Abdullah, 09 maret 2012 222 Wawancara dengan Sa’id di Makam Syaikhona Kholil, 13 Maret 2012 223 Wawancara dengan mbah Ompong, 10 maret 2012 218
bertapa atau tirakat para wali. Kata Habib Muhammad al Qadri, “Meski hanya sebuah tempat, tapi setelah ditempati wali, daya kekuatan gaibnya sangat besar”224. Selama peneliti berkumpul dengan musafir-musafir, ternyata ada juga yang bertujuan tidak sebagaimana di atas. Mereka hanya ingin menenagkan diri di makam-makam para wali. Karena memang benar yang dikatakan oleh Chambertloir dan Guilliot, sebagimana dikutip Sulaiman al-Kumayi, bahwa makam wali sebagai tempat kebebasan. Disebut tempat kebebasan, karena di makam-makam wali
inilah
tempat
mengungkapkan
semua
dambaan
hati
masyarakat.
Dibandingkan dengan masjid yang seakan mencekam karena kosong. Selain itu, makam wali adalah kawasan yang penuh kedamaian di tengah hiruk pikuk duniawi.225 Peneliti bertemu salah seorang musafir di masjid Agung Demak yang berasal dari Sukabumi, Setelah peneliti telusuri, sebelum ia menjalankan tirakat mlaku ini, ia bekerja di Malaysia. Namun karena di PHK, ia memutuskan pulang ke kampung halaman. “ Setelah di PHK saya pulang dari Malaysia. Padahal saya sudah mempunyai istri dan dua orang anak”. 226. Sewaktu peneliti di makam syaikhona Kholil, peneliti juga bertemu seseorang yang berasal dari Padang yang mengaku bernama Basrol. Ia sendiri tidak menyangka bisa sampai Madura. Pada awalnya ia ingin bekerja di Jakarta, namun baru beberapa saat bekerja di Jakarta, ia mengalami goncangan jiwa yang sangat hebat. Ia takut akan kematian yang selalu mengantuinya, sementara ia belum mempersiapkan diri untuk itu. “ Saya di Jakarta melihat kehidupan yang seperti itu dan sibuk dengan kerja. Saya takut begaimana kalau nanti meninggal. Kemudian saya ikut orang sampai Surabaya. Di sana berada di makam sunan
224
Wawancara dengan Habib Muhammad al-Qadri, 12 Maret 2012 Sulaiman al Kumayi, Islam Bubuhan Kumai; Perpektif Varian Awam, Nahu dan Hakekat,, hlm 422 226 Wawancara dengan Udin dari Sukabumi di masjid agung Demak, 21 Maret 2012. 225
Ampel. Awalnya saya bingung yang dibaca apa di kuburan. Karena di daerah saya (Padang), tidak ada yang pergi ke kuburan untuk berziarah” kata Basrol227. Ketika peneliti tiba di makam Sunan Ampel, sekitar pukul 17.30, peneliti langsung bertemu pak Yono yang sudah lama berada di masjid sunan Ampel. Menurut keterangannya, “Musafir yang masih menjalankan tirakat jalan dan tidak lama tinggal di makam, itu masih termasuk golongannya musafir yang baik. Dibandingkan dibandingkan musafir yang tidak tahu asalnya, tiba-tiba bermukim di makam seorang wali sampai bertahun-tahun, terkadang ruwet (tidak teratur)”228. Hal ini juga dikatakan Suyitno, “Biasanya musafir asli yang sampai sini (sunan kalijaga), izin ke juru kunci, lalu satu atau dua hari sudah hilang. Sudah lupa dengan wajahnya. Kalau yang lama-lama itu biasanya di Kuburan Gili, sebrang kuburan Betengan. Kalau siang pada kumpul, tapi kalau malam begini ya berpencar. ”229 Peneliti memeng melihat sendiri. Kebetulan waktu itu malam jum’at, banyak peziarah yang datang di makam sunan Ampel. Ada salah seorang yang sudah lama tinggal di masjid situ, ternyata ketika ada tamu, ia memanfaatkan situasi dengan bercerita macam-macam yang ujung-ujungnya minta uang230. Selain di makam sunan ampel, peneliti ketika tiba di makam Batuampar juga bertemu dengan dua orang tua yang ternyata ketika ditelusuri, mereka berasal dari Bayuwangi dan Surabaya. Penelusuran peneliti terhadap orang tua dari Banyuwangi, ternyata keluarganya sendiri sudah tidak menghendakinya tinggal dirumahnya, karena memang orang ini mudah sekali marah. Ia mengaku dulunya seorang pereman231. Bahkan menurut bapak Yono, “Tidak jarang makam sebagai tempat pelarian para napi dan orang-orang yang terlilit hutang. Orang yang seperti ini, bagi mereka orang sudah tidak pantas disebut seorang Musafir. Karena pada 227
Wawancara dengan Basrol, di makam KH Kholil Bangkalan Madura, 10 Maret 2012 Wawancara dengan Bapak Yono, di makam sunan Ampel, 09 Maret 2012 229 Wawancara dengan Suyitno, Jurukunci makam Sunan Kalijaga, 20 Maret 2012 230 Observasi di makam Masjid Sunan Ampel, 09 Maret 2012 231 Obsevasi dimakam Batuampar, 13-15 Maret 2012. 228
hakikatnya mereka sudah keluar dari rel seorang musafir232. Pernyataan ini juga diakui oleh Suyitno, “ Saya sendiri pernah tahu, ada musafir yang sudah lama disini, kalau mandi kelihatan tatonya. Dan sering di Kuburan Gili itu ada oprasi polisi, tapi anehnya saat oprasi orang-orang seperti itu langsung tidak ada.”233 Habib Muhammad al Qadri mengatakan, “Musafir saat ini sangat berbeda dengan masa masa dulu, sekitar tahun 80 an. Pokoknya yang saya ketahui, dari tahun-tahun awal (1955) sampai tahun 1985, musafir-musafir masih murni ngolek barokah (mencari barokah). Karena tuntunan guru atau karena kecintaannya pada waliyullah. Setelah itu sampai sekarang, kok ya macam-macam modelnya.”234 Keterangan yang lain dari Saiful, “Ada juga musafir yang melarikan diri dari tanggung jawab keluarganya. Pernah ada seorang musafir sudah pamitan mau kembali kerumah, lha satu bulan kemudian sudah muncul lagi. Katanya sampai rumah dimarahi istrinya. Diminta tanggungjawab nafkah anak-anaknya.”235 Pengalaman peneliti dengan musafir nakal seperti itu pernah dialami pada tahun 2005. Musafir yang mengaku dari Tasikmalaya ingin beristirahat di pondok. Setelah lama bercerita, ternyata ujung-unjungnya ia meminta zakat fitrah dari santri-santri, namun keinginan itu peneliti tolak.236 Perilaku mengemis yang dilakukan musafir juga membuat geram musafir dengan Julukan Sunan Wungkul, “Pernah aku ketemu musafir minta-minta kerumah-rumah.
Mau ku ajak
bertengkar. Bikin malu musafir saja.”237 Selama dari tanggal 10 Maret 2012 sampai penulisan penelitian ini dibuat, peneliti tidak menemukan salah seorang musafir yang bertujuan untuk merguru karo wong mati (berguru pada orang yang sudah meninggal) secara khusus. Namun sebelum penelitian ini, peneliti pernah bertemu musafir di makam KH Mutamakkin Kajen pada tahun 2003, dan di makam Sunan Katong, Kaliwungu,
232
Wawancara Bapak Yono, 09 Maret 2012 Wawancara dengan Suyitno, 20 maret 2012 234 Wawancara dengan Habib Muhammad al Qadri, 11 Maret 2012. 235 Wawancara dengan Siful, 13 maret 2012 236 Pengalaman sekitar tahun 2005. 237 Wawancara dengan Sunan Wungkul, 10 Maret 2012 233
Kendal pada tahun 2008. Sulitnya mengungkap motivasi ini, mungkin bisa jadi sebagaimana yang dikatakan Habib Muhammad al-Qadri, “ Itu bukan tujuan, tapi merupakan anugerah jika wali yang diziarahi bisa menemui, oleh karena itu jangan di obral”.238 C. Pengalaman Beragama Para Musafir Pengalaman beragama yang dialami musafir kebanyakan sesuai dengan motivasi mereka dalam menjalankan safar. Seperti Khanafi, karena tidak ada tujuan yang jelas maka ia hanya merasa bebas dan tentu mendapatkan ketanangan, “Saya lebih bebas, tidak tertekan dan yang pasti lebih tenang dari pada dirumah”.239 Berbeda lagi dengan Yoyok, “Saya terkadang bingung, yang menjadi pengalaman spiritual yang mana. Kalau cuman merasa lebih tenang, iya. Karena tidak berpikir kebutuhan seperti kalau di rumah.”240 Pengalaman manjadi musafir juga pernah penaliti alami sendiri pada tahun 2004. Saat bulan ramadhan, peneliti memiliki nadzar untuk berziarah ke makam walisongo, kecuali sunan Gunung Jati karena jaraknya yang jauh. Nadzar tersebut terkait jika peneliti lulus Tsanawiyah di Madrasah Mathali’ul Falah, Kajen Pati. Perjalanan yang paling mengesankan ketika peneliti sampai di makam sunan Muria, di sana bertemu seseorang musafir yang berasal dari Batang. Seketika itu, setelah sholat terawih, peneliti dan musafir tersebut berjalan menuju makam sunan Kudus. Sesampai di simpang tujuh, peneliti bertemu banyak musafir yang berasal dari berbagai daerah. Kemudian setelah sahur dan sholat subuh, peneliti bertemu Gus Hakim dan seorang santrinya dari Pondok Termas. Selesai berziarah di makam sunan Kudus, sore harinya sekitar jam 16.00, peneliti dan tiga orang musafir tadi, berjalan melanjutkan perjalanan ke makam sunan Kalijaga. Tiba di sana sekitar jam 23.00 malam. Pengalaman peneliti ketika ikut bersama musafir yang lain menjalankan tirakat ini, merasa sangat tenang hatinya. Karena mengikuti pola hidup dan pola 238
Wawancara dengan Habib Muhammad al Qadri, 12 Maret 2012. Wawancara dengan Khanafi di makam masjid agung Demak, 20 Maret 2012 240 Wawancara dengan Yoyok di makam Syaikhona Kholil, 12 Maret 2012 239
pikir mereka. Peneliti seakan-akan sudah tidak ingat lagi dengan perkara dunia. Pengalaman seperti ini tidak peneliti temui tanpa mengikuti menjadi musafir dan berkholwat bersama mereka. Pengalaman beragama yang berbeda dialami oleh Sa’id, salah seorang musafir dari Probolinggo yang sudah berjalan selama tujuh tahun, menceritakan pengalamannya ketika berada di makam Syaikh Syamsuddin Batuampar. Katanya “Tiba-tiba
saya mendengar perintah untuk melakuan selametan dengan
menyembelih ayam putih dan membeli jajanan pasar. Saya juga juga diperintahkan selalu sholat tahajud dan memberbanyak membaca al-Qur’an. Saya yakin kalau itu syaikh Syamsuddin”.241 Pada tahun 2008, peneliti juga bertemu salah seorang Musafir di makam Sunan Katong. Kemudian sekitar jam 01.00 malam, peneliti diajak berziarah kemakam salah seorang pengeran yang jaraknya jauh dari makam Sunan Katong. Di sana ia mau mangajak peneliti berkomunikasi penghuni makam. Tapi katanya, penghuni makam tidak mau berkomunikasi dengan peneliti. Sedangkan ia berkomunikasi dengan baik dengan penghuni makam.242 Pengalaman ini sering disebut pengalaman mukasyafah, yaitu sebuah pengalaman tersingkapnya alam ghaib.243
241
Wawancara dengan Sa’id di makam Syaikhona Kholil, 13 Maret 2012 Pengalaman pribadi dengan salah seorang Musafr di makam sunan Katong Kaliwungu Kendal pada tahun 2008 243 Al Ghazali, Ihya’ulumuddin , juz 1, hlm 21. 242
BAB IV
Tijauan Terhadap Motivasi Dan Pengalaman Beragama Para Musafir Berbicara soal tasawuf, Sa’id Agil Siraj menggambarkan, seakan-akan hendak memasuki lautan tak berantai, atau seperti hendak mengukur ujung alam semesta ini. Sebab, berbeda dengan ilmu-ilmu lain yang tertata sitematika dan metodeloginya, tasawuf tidaklah demikian. Karena tasawuf berhubungan dengan dzauq, yang tidak dapat diukur obyektifitasnya, apalagi secara kuantitatif. sebab itulah seringkali seorang sufi dengan lainnya senantiasa berbeda. Sa’id Agil mengutip pendapatnya Imam Junaidi yang perna mengatakan (w.297H), “al-;ârif kal mai lâ-launa lahu, launuhu launu ina’ihi”. Seorang sufi seperti air tidak punya warna terentu. Warnanya tergantung tempatnya. Dalam bejana merah air akan tampak merah, dalam bejana hijau akan tampak hijau.244 Untuk mengetahui pengalaman beragama yang tidak dapat diukur tadi, Abdul Jamil menjelaskan bahwa kata kunci pengalaman beragama adalah titik tolak (point of departure)) istiah ini. Kata ini dipakai dalam banyak uraian pada disiplin yag berbeda-beda. Wiliam James dalam karta monuentalnya The Varieties of Relgious Experience memakai istilah pengalaman beragama sebagai pijakan untuk menguraikan fenomena tentang realitas gaib yang dengannya manusia mengadakan bermacam- macam bentuk. Pengalaman beragama juga menjadi salah satu isu paling penting pada kajian Ilmu Jiwa Agama karena menyangkut perilaku nyata pada orang beragama. Istilah ini juga dipakai pada kajian Sosiologi Agama, karena Pengalaman beragama akan terekspresikan dalam bentuk kolektif oleh umat beragama245. Penggunaan istilah keberagaman mengindikasian keinginan melalui “dunia lain” (agama) secara objektif melalui ungkapannya, baik secara perorangan yang biasanya menjadi bidang kajian psikologi agama maupun bersama-sama yang 244
Sa’id Agil Siraj, Tasawuf Sebagai Manifestasi Spiritual Islam Dalam Sejarah, dalam Manusia Modern Mendamba Allah: Renungan Tasawuf Postif, hlm 55 245 Abdul Jamil, Agama Yang Santun Dalam Perilaku Individu Dan Kehidupan Beragama; Kajian Pengaaman Beragama dalam Islam, dalam Islam Agama Satun, Semarang: Fak. Ushuluddin IAIN Walisongo, 2011, hlm 26
biasanya menjadi kajian sosiologi agama. Apabila ditelusuri, kata “pengalaman”, memiliki dua makna; pertama, menunjukkan pengertian praktis yang diperoleh lewat percobaan atau eksperimen sehingga empiri merupakan alat untuk merekam pengalaman tersebut. Kedua, merupakan hasil pegetahuan yang didapatkan oleh seseorang. Jika pengetahuan dasar ini dikaitkan dengan agama maka ia akan memiliki dua pengertian yaitu adanya pengetahuan dan kesadaran akan dunia lain dan perilaku beragama baik individu maupun kolektif yang merupakan bukti empirik dari pengalaman spiritual246. Dari dua makna di atas, pengertian pertama telah dialami peneliti sendiri yang sudah sejak tahun 2003 sering berkumpul dan pernah ikut berjalan dengan para musafir pada tahun 2004, sebagaimana di ceritakan pada bab III. Sedangkan pengertian kedua yang merupakan pengalaman para musafir. Peneliti peroleh dari wawancara atau observasi di lapangan yang telah peneliti kemukakan pada bab III. Yang menghasilkan kesimpulan :
NO
MOTIVASI
PENGALAMAN KEBERAGAMAAN
1
Mencari Barokah
Mendapat Ketenangan
2
Mengamalkan Ilmu Hikmah
Merasa Allah selalu menjaganya
3
Mencari Jatidiri
Do’anya mudah dikabulkan
4
Merguru Karo Wong Mati
Bertemu orang yang sudah meninggal
5
Melarikan diri dari tanggungjawab
Mendapat Isyarah Ghaib
A. Pengalaman Universal dan Subjektif Para Musafir Pegalaman beragama selama menjadi musafir baik yang dialami para sufi di atas, ataupun musafir yang peneliti temui, bagaikan lautan tak berpantai. Ini sebagaimana yang dikemukakan Wiliam James bahwa salah satu kriteria 246
ibid, hlm 26-27
pengalaman spiritual adalah tidak bisa diungkapkan. Tanda paling mudah yang bisa dipakai untuk mengkasifikasikan suatu pola pikir tertentu sebagai yang bersifat mistik adalah tanda negative. Orang yang mengalaminya mengatakan bahwa itu tidak bisa diungkapkan. Tidak ada uraian manapun yang memadai untuk bisa mengisahkannya kata-kata. Ini berarti bahwa kualitas semacam ini harus dialami secara langsung, dan tidak bisa diberikan kepada orang lain247. Pengalaman beragama dialami seorang musafir yang berbeda-beda, sehingga mendorong mereka melakukan tirakat ziarah mlaku ini dengan berbagai tampilan dan amalan. Begitu pula pengalaman itu yang membuat mereka sangat merasa nyaman di satu makam wali, tapi tidak untuk musafir yang lain. Cara pendekatan pengalaman beragama yang bertitik tolak dari lingkungan pengalaman perorangan itu berlangsung, memang dapat menimbulkan anggapan adanya subjektivisme, karena kata “Pengalaman” lebih mengacu pada perbuatan manusia dan bahkan perbuatan Tuhan. Dengan kata lain kata “Pengalaman” itu cenderung memusatkan pada subjek yang mengalami daripada obyek yang dialami248.
1. Pengalaman Universal Para Musafir Pada dasarnya, sebagaimana kata Joachim Wach, bahwa pengalaman keagamaan yang murni, tidak terbatas oleh ruang dan waktu. Pengalaman adalah universal249. Pengalaman seperti ini yang dirasakan sebagian besar pezirah ke makam wali. Mereka berkeyakinan dengan berziarah ke makam wali akan mendapat banyak hal, antara lain : a.
Do’anya lebih mudah terkabul, karena peziarah wasilah pada wali untuk di do’akan pada Allah SWT. Menurut sayyid Muhammad al Maliki, yang dimaksud wasilah adalah setiap sesuatu yang dengan sebab itu Allah SWT menjadikannya, dan menjadi tersampaikannya kebutuhan hajatnya. Karena
247
William James, Perjumpaan Dengan Tuhan, ter. The Varies of Religious Experience, cet I, Bandung: Mizan Pustaka, 2004, hlm 506-507 248 Abdul Jamil, Agama Yang Santun, hlm 27-28 249 Joachim Wach, Ilmu Perbandingan Agama, hlm 56
dengan adanya wasilah itu, sebagai penghormatan dan bukti kekuasaan kepada yang diwashilahi (Allah SWT)250. b.
Mendapat banyak limpahan berkah yang membuat hidup mereka lebih mudah, seperti tanpa disadari rizki yang mereka dapatkan tidak mudah habis, padahal kalau dihitung-hitung dengan nalar pikiran antara pengelauaran dan pemasukan kelihatannya banyak pengeluaran. Menurut sayyid Muhammad bin Alwi al-Maliki, pada dasarnya tabarruk itu adalah sebuah bentuk tawassul kepada Allah SWT251. Dan Sebagian ulama menyatakan bahwa tabarruk adalah wujud penghormatan kepada kekasih Allah SWT dan upaya pencaran limpahan berkah yang sama sekali jauh dari peilaku syirik. Allah SWT sendiri mengagungkan rasul dengan berbagai penghormatan. Maka sudah semestinya bagi kaum muslim untuk mengagungkan orang yang diagungkan oleh Allah SWT. Pengagungan itu tidak bisa ditafsirkan sebagai pengagungan ketuhanan (rububiyyah). Oleh karena itu, pengagungan terhadap para wali bisa merupakan bagian dari ibadah dan ketaatan mendalam kepada Allah SWT.252 Jika seperti itu, maka seorang muslim yang bertabarruk pada seseorang, supaya tidak mengagungkan sifat rububiyyah, dan ia harus meyakini bahwa orang tersebut mempunyai keutamaan dan dekat dengan Allah SWT. Begitu juga ia juga meyakini kalau orang tersebut mempunyai kelemahan untuk mendatangkan kebaikan dan menolak keburukan. Semua itu hanya bisa diperoleh jika mendapat izin dari Allah SWT.253.
c. Ketika berada di makam wali, rasanya tenang, damai, dan senang karena melihat, mendengar, dan merasakan puluhan bahkan ratusan orang-orang sedang membaca al -Qur’an, tahlilan atau ada yang sedang wiridan. Hal ini sebagaimana yang di katakana Sulaiman al-Kumayi, bahwa penjelajahan Chambertr –Loir dan Guillot terhadap tradisi ziarah di negeri250
Muhammad bin Alwi al -Maliki al -Hasani, Mafahim Yajib Antusohhiha, hlm 126 Ibid, hlm 232 252 . MN Ibad, Dzikir Agung para Wali Allah;,, hlm 74-75 253 Muhammad bin Alwi al Maliki al Hasani, Mafahim Yajib Antusohhiha ,hlm 232 251
negeri Muslim memberikan informasi tambahan, dimana para peziarah menjadikan makam-makam wali sebagai tempat pengungkapan semua dambaan hati masyarakat. Di bandingkan dengan masjid yang seakan-akan mencekam karena kosong, makam-makam wali menghibur karena kehadiran kekeramatan. Selain itu, makam wali adalah kawasan yang penuh kedamaian di tengah hiruk pikuk duniawi254. Selanjutnya Sulaiman menukil perkataan sayyid Hoessen Nasr yang menegaskan bahwa kaum Muslim berziarah ke Makam-makam wali bertujuan untuk mengambil makanan ruhani dari ziarah tersebut. Mekam-makam ini dalam satu pengertian merupakan perluasan dari makam Nabi di Madinah dan menghubungkan orang-orang yang saleh dengan sosok fundamental agama mereka dan melalui beliau kepada Allah SWT.. Makam-makam tersebut merupaka refleksi dari taman Surgawi255. d.
Ada perasaan puas ketika sudah berziarah, karena dengan ziarah, para zairin dan zairat mencurahkan segala permasalahannya pada wali tersebut. Curahan hati yang bebas tanpa malu-malu ini, membuat meraka hatinya lega,
apalagi
jika
dengan
keyakinan
setelah
berziarah,
segala
permasalahannya akan terselesaikan. Ziarah kubur merupakan perbuatan yang dianjurkan dalam Islam. Siapapun yang mau mengambil ‘ibrah (pelajaran), bahwa hidup seseorang tidak hanya di dunia fana ini, melainkan akan berlanjut sampai di akhirat dan kematian merupakan pintu gerbang menuju ke sana, maka ziarah kubur dan mengingat kematian dapat dijadikan sebagai media untuk introspeksi diri terhadap apa yang telah dilakukannya selama ini. Sebagimana diriwayatkan al-Hakim dalam al-Mustadrak sebagai berikut:
ت َْذ ُكر اﻟجنة واﻟنار فال: كان عثمان بن عفان إذا وقف على قبر بَكى حتى يب ّل ﻟحيته فيقال ﻟه إن اﻟقبر أول منازل: إن رسول ﷲ صلى ﷲ عليھا وسلم قال: فيقول، وتبكي ِمن ھذا؟،تبكي
254 255
Sulaiman al-Kumayi, Islam Bubuhan Kumai, hlm 422 Ibid, hlm 424
وقال رسول: قال. وإن ﻟم ينج منه فما بعده أﺷد منه، فإن نجا منھا فما بعده أيسر منھا،اآلخرة 256
, ما رأيت منظرا إال واﻟقبر أفظع منه: ﷲ صلى ﷲ عليه وسلم
Sayyidina ‘Uthman bin ‘Affan RA, ketika berada di atas kuburan ia selalu menangis dan air matanya sampai membasahi jenggotnya, maka ditanyakan kepadanya, kamu mengingat surga dan neraka tidak menangis, mengapa saat ini engkau mengais?. Utsman menatakan,” karena ia teringat penjelasan Rasulullah SAW, “kubur merupakan manzilah (persinggahan) pertama dari kehidupan akhirat. Jika seseorang selamat dari siksa kubur, maka untuk seterusnya akan mudah baginya.begitu pula jika disitu tidak selamat, maka selanjutnya akan tersa berat” Para musafir juga mengalami hal yang sama sebagaimana di atas. Dan pengalaman peneliti ketika ikut bersama teman musafir yang lain menjalankan tirakat ini, tidak hanya sekedar apa yang dikemukakan di atas. Peneliti merasa sangat tenang hatinya, karena saat mengikuti pola hidup dan pola pikir mereka, peneliti seakan-akan sudah tidak ingat lagi dengan perkara dunia. Bagi sebagian musafir yang benar-benar manjalankan tata krama sebagaimana yang dijelaskan pada bab II, mereka sudah terbiasa tidak makan selama
satu hari, atau
menghadapi cobaan hinaan dari orang lain. Kehidupan zuhud benar-banar dijalankan sebagaimana yang telah dijalankan seorang sufi. Pengalaman ini tidak peneliti temui tanpa mengikuti menjadi musafir dengan berkholwat bersama mereka. Mungkin ini yang dikatakan oleh Imam Al Ghazali : Puncak dari Riyadhah adalah hatinya selalu bersama Allah SWT. Hal itu tidak mungkin terjadi kecuali dengan berkholwat (menyepi) dari yang lain. Berkholwat tidak akan mendapat apa-apa kecuali tanpa disertai mujahadah yang lama. Ketika hatinya sudah bersama Allah SWT, maka akan terbuka (mukasyafah) baginya keagungan ketuhanaNya, tampak jelas (tajalli) Allah Yang Maha Haq, dan kelihatan rahasia-rahasia (lathaaif) Allah SWT257. Bagitu juga yang dikatakan Syaikh Muhammad Amin al-Kurdi, dalam kitab Tanwir al -Qulûb : Ketahuilah, tidak mungkin wusul mencapai makrifat al ushul, dan tersinarinya hati untuk musyahadah kepada dzat yang dicintai kecuali 256
Abu ‘Abdillah al-Hakim al-Naysaburi, al-Mustadrak ‘ala al-Sahihain, Juz I, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2002, hadith ke 1373, hlm 526 257 Al Ghazali, Ihya’ulimuddin, juz 4, hm 76
dengan kholwat. Pada khususnya untuk orang yang mengharapkan dipetunjukkan ke dzat yang di maksud (Allah SWT)258. Karen Armstrong mengatakan bahwa al-Ghazali berpendapat kalau pengalaman keagamaan merupakan satu-satunya cara memverifikasi realitas yang berada di luar jangkauan akal manusia dan proses pemikiran259. Pengalamanpengalaman universal yang telah diakui dan dirasakan peziarah dan musafir seperti di atas, ternyata membuat gelombang besar pada masa sekarang. Puluhan bus yang bertujuan berwisata religious ke makam-makam para wali terutama walisongo tidak pernah sepi, apalagi kalau saat liburan. Yang sekarang peneliti lihat banyak sekolah-sekolah yang mempunyai tujuan utama berziarah.
2. Pengalaman Subjektif Para Musafir Sedangkan pengalaman spiritual yang subjektif bagi musafir, bukan sematamata refleksi dari keadaan yang bersifat fisik tetapi termasuk pula emosi yang melibatkan kemauan (volitiori). Lebih dari itu ia berwatak yang bersifat transsubjektif. Ekspresi yang bermacam-macam ada pemeluk agama yang sama, merupakan bukti bahwa dilihat dari aspek potensi pada orang beragama, pengalaman beragama memang memiliki tendensi subjektif260. Trans-subjektif yang dialami musafir seperti merguru karo wong mati memang tidak bisa dipukul rata bahwa semua musafir mengalami hal tersebut. Kemauan mereka yang keras (volitiori) mendasari tujuan menjalani tirakat ini. Sehingga pengalaman model ini yang bagi William James, termasuk kualitas neotik. Sebuah pengalaman yang sangat mirip dengan situasi perasaan, bagi orang yang mengalaminya situasi mistik itu juga adalah situasai berpengetahuan. Dalam situasi ini, orang mendapatkan wawasan tentang kedalaman kebenaran yang tidak bisa digali melalui intelek yang bersifat diskursif. Semua ini merupakan peristiwa pencerahan dan pewahyuan yang penuh dengan makna dan arti, tetapi tidak bisa
258
Syaikh Muhammad Amin al Kurdi, Tanwir al Qulub, hlm 430 Karen Armstrong, Sejarah Tuhan, hlm 257 260 Abdul Jamil, Agama Yang Santun, hlm 28 259
dikatakan meskipun tetap dirasakan. Umumnya pengalaman ini juga membawa perasaan tentang adanya otoritas yang melampaui waktu261. Situasi berpengetahuan yang dikatakan James, menjadi persoalan yang berkepanjangan dalam dunia ilmu pengetahuan. Karena metode kasyf yang menurut Mukti Ali merupakan salah satu metode yang digunakan oleh kalangan sufi guna mendapatkan ilmu262. Cara intuitif ini, sekalipun dikategorikan sebagai pendekatan “non ilmiah” dalam tataran positivistik dan rasionalistik, tetapi keberadaannya, masih diakui sebagai metode untuk memperoleh kebenaran atau pengetahuan263. Annemarie Schimmel mengatakan bahwa seorang mistik zaman belakangan, menggolongkan wahyu (kasf) berdasarkan peristilahan tradisional sebagi berikut: a) Kasyf kauni, wahyu pada tingkat benda-benda ciptaan, adalah hasil dari tindakan-tindakan yang saleh dan penyucian jiwa bahwa; wahyu dinyatakan dalam impian-impian dan kewaskitaan. b) Kasyf ilahi, wahyu ilahi adalah buah dari hasil pemujaan yang terusmenerus dan penggosokan mengkilat dari hati; hasilnya adalah pengetahuan tentang dunia jiwa-jiwa dan dalam kardiognasi (“membaca jiwa”) sehingga seorang mistik melihat segala seuatu yang tersembunyi dan membaca pikiran-pikiran yang tersembunyi. c) Kasyf ‘aqli, wahyu melalui akal, sebetulnya adalah pengetahuan intuitif yang paling rendah: wahyu ini dapat diperoleh dengan mengkilapkan kemampuan-kemampuan moral, dan wahyu ini dapat pula dialami oleh para filusuf. d) Kasyf imani, wahyu melalui iman kepercayaan adalah buah hasil iman kepercayaan yang sempurna yaitu sesudah manusia hampir mendekati kesempurnaan kenabian; maka ia kan mendapat rahmat karunia dengan teguran-teguran ilahi; ia akan berbicara dengan para malaikat, berjumpa 261
Wliam James, Perjumpaan Dengan Tuhan, hlm 507 Simuh, Persoalan Tasawuf, Makalah, tp, tt, hlm 3 263 Abdullah Hadzik, Rekonsiliasi Psikologi Sufistik dan Humanistik, ed. Muhammad Nor Ichwan, Semarang: RaSAIL, 2005, hlm 34 262
dengan para nabi, melihat malam kekuasaan dan rahmat bulan Ramadhan dalam wujud manusia di ‘alam al mithal.264 Kemampuan kasyf yang dikemukakan oleh Schimmel di atas, menurut pandangan Mehdi Ha’iri Yazd, yang dikutip oleh In’amuzzahidin, bahwa pengalaman mistik merupakan sebuah pengalaman yang obyektif. Baginya, tidak ada alasan untuk mengingkari objektifitas jenis pengetahuan, hanya karena ia tidak memiliki objek luar. Baginya, pengalaman mistik merupakan pengalaman objektif, bukan halusinasi, seperti anggapan sebagian ilmuan sekuler.265 Yang menjadi permasalahan adalah ternyata banyak juga orang yang tidak memakai jalan para sufi namun anehnya mereka juga mancapai mukasyafah. Ini yang peneliti temukan ketika wawancara dengan bapak Mulyono. Katanya “Dalam perguruan ilmu kebatinan Jawa, guru dan teman-teman yang sudah mencapai tingkatan yang tinggi, bisa mengetahui apakah wali yang diziarahi ada ditempat atau sedang pergi. Kalau wali sedang tidak ada ditempat, biasanya ziarahnya hanya sebentar, bahkan kadang langsung pulang.”266 Pengalaman sufistik seperti itu banyak dipertanyakan banyak orang. Termasuk dalam Kumpulan Hasil Kesepakatan Muktamar dan Musyawarah Besar Jam’iyah Ahli Thariqah al-Mu’tabarah Nahdlatul Ulama 1957-2005 M, yang menanyakan, “Bagaimana pengakuan orang yang bertemu dengan sebagian para wali atau nabi secara terang-terangan? Termasuk talbiskah atau haq? Juga wali yang dibayangkan itu dzatnya atau khadimnya?” Pertanyaan tersebut dijawab, pengakuan orang tadi itu haq (banar), sebab setan tidak bisa pura-pura sebagai wali yang sempurna. Keterangan ini di dasari dari kitab Tanwir al-Qulub yang berbunyi: Sebagian ulama kasyaf mengatakan bahwa Allah SWT menugaskan malaikat di makam wali untuk memenuhi kebutuannya dan kadangkadang wali tersebut keluar dari makamnya kemudian memenuhi 264
Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik Dalam Islam, hlm 244 In’amuzzahidin, Mukasyafah Dalam Tasawuf, hlm 235 266 Wawancara dengan Mulyono, salah seorang pengikut kebatian Jawa, 25 Februari 2012 265
kebutuhannya dengan sendiri. Sesungguhnya setan tidak bisa menyerupai para wali yang sempurna sebagaimana ia tidak bisa menyerupai Nabi SAW267. Dalam mengukur capaian mukasyafah yang sempurna, maka seseorang harus melewati lima macam alam yang dijelaskan oleh KH Asrori al- Ishaqy : 1. Alam Mulki, yaitu segala yang bisa dilihatoleh penglihatan dhohir. Juga disebut alam Nsut (alam kemanusiaan) 2. Alam Malakut atau alam kemalaikatan, yaitu segala yang bisa dilihat oleh penglihatan hati. Juga disebut dengan alam Ghaib atau alam Hati. 3. Alam Jabarut, yaitu segla yang bisa dilihat oleh penglihatan hati pada saat melihat keagungan Allah SWT. Menurut Syaikh Abu Tholib al-Makki, alam ini dinamakan Alam al-‘Adzomah. Sedangkan menurut mayoritas ulama dinamakan Alam wasth atau Alam Ruh. 4. Alam Lahut, yaitu segala yang bisa dilihat dilihat dan disaksikan oleh penglihatan lubuk hati yang paling dalam pada saat melihat dan menaksikan penampakan kebesaran, keagungan dan kemulyaan Allah SWT. Juga disebut Alam Sirri. 5. Alam al-Amri, yaitu sesuatu yang berada disisi Allah SWT dengan tanpa perantara apapun (tanpa begini, tanpa begitu, tanpa bagaimana dan dimana).268 Selain keteragan di atas, Tamami menjelaskan juga bahwa Haqiqah alMuhammadiyah memunculkan segala alam seperti : 1. Alam Jabarut, puncak tertinggi dari pembagian kekuasaan Tuhan atas alam, yang meliputi semua aturan yang ditentukan-Nya bagi seluruh alam. 2. Alam Malakut, alam malaikat yang terdiri dari nur. 3. Alam Mitsal, alam kesempurnaan yang menjadi tujuan. Jika dalam hidup terdapat berbagai kekurangan, hal ini pertanda bahwa di balik alam
267
KH A Aziz Masyhuri, Permasalahan Thariqah, Hasil Kesepakatan muktamar & Musyawarah Besar Jam’iyah Thariqah al Mu’tabarah Nahdlatul Ulama (1957-2005 M), Surabaya: Khatulistiwa, 2006, hlm 162-163. Lihat:, Muhammad Amin Al Kurdi, Tanwir al Qulub fi Mu’âmalati Ulum al Guyûb, hlm 410 268 KH. Asrori al-Ishaqy, Untaian Mutiara, hlm 209-210
sekarang yang didiami searang, ada alam yang lebih tinggi dan dicitacitakan untuk menemuinya. 4. Alam Arwah, alam kejiwaan (spiritual), suatu kondisi ketika manusia mengadakan perjanjian premodial dengan Tuhan, untuk hanya berteologis kepada Tuhan, sebagaimana tersurat dalam al-Qur’an surat al-A’raf ayat ke 72. 5. Alam Ajsam, alam tubuh, yakni hidup di alam nyata dan diwajibkan untuk berdaya guna (beramal saleh) untuk mencapai manusia sempurna. 6. Alam Barzah, masa peralihan, alam sesudah mati sampai menunggu masa bangkit, dan alam khulud, adalah alam kekekaan269. Pengalaman mukasyafah dengan bertemu roh para wali, ada kalanya pertemuan itu hanya berlangsung sesaat, dan tidak bisa diulangi. Begitu pula jika pertemuan itu hanya lewat mimpi. Untuk bisa bertemu ruh suci itu, dalam tradisi Islam selain pengalaman kasyaf, juga dikenal adanya ru’yah as Shadiqah (mimpi baik yang bisa dipercaya), dan mi’raj. Hal ini sebagaimana yang dikatakan M. N Ibad menukil dari al-Qunyawi yang menerangkan bahwa Ibnu Arabi, gurunya, dalam mencari ilmu memiliki kemampuan berdialog dengan arwah para nabi dan arwah para wali melalui tiga cara. Pertama, dengan mendatangkan mereka ke alam mimpi (ru’yah). Kedua, menghadirkan ruh mereka kedunia (mukasyafah). Dan ketiga, Ia keluar sendiri dari jasadnya untuk menemui mereka (mi’raj)270. Ibnu Arabi menyatakan bahwa kapan saja ia membutuhkan bantuan syaikhnya, seperti syaikh Yusuf al Kumi, baik untuk membantu maupun menjawab sebuah persoalan yang sedang dihadapinya, ia bisa memunculkan (secara ruhani) ruh syaikh itu. Dalam kesempatan lain Ibnu Arabi menyatakan, yang dikitip dari Ibad : Ada kalanya aku menyendiri di pemakaman. Aku mendengar guruku, Yusuf ibn Yakhlaf, menyatakan bahwa Fulan Bin Fulan (dia menyebut namaku, Ibnu Arabi) tak lagi bersahabat dengan orang-orang yang 269
Tamami HAG, Psikologi Tasawuf, hlm 118 M.N Ibad, Outboun Keal am Ruhani; Menyibak ketersingkapan Spiritual , menurut ajaran Islam, Mistik Jawa, dan sains Barat, Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2011, hlm 9-10 270
masih hidup. Karena dia memilih bersahabat dengan orang-orang yang sudah mati271. Terkadang pengalaman pertemuan yang masih hidup dengan yang mati lewat mimpi, seperti yang diungkapkan di atas. Syaikh Ali Ahmad Abdul athThahawi juga menjelaskan secara mendetail mengenai mungkinnya pertemuan antara orang-orang yang masih hidup dengan ruh orang yang telah mati. Dalil mengenai perkara ini sangat banyak diantaranya adalah ayat : $pκön=tæ 4|Ós% ÉL©9$# ÛÅ¡ôϑçŠsù ( $yγÏΒ$oΨtΒ ’Îû ôMßϑs? óΟs9 ÉL©9$#uρ $yγÏ?öθtΒ tÏm }§àΡF{$# ’®ûuθtGtƒ ª!$# ∩⊆⊄∪ šχρã©3xtGtƒ 5Θöθs)Ïj9 ;M≈tƒUψ šÏ9≡sŒ ’Îû ¨βÎ) 4 ‘‡Κ|¡•Β 9≅y_r& #’n<Î) #“t÷zW{$# ã≅Å™öãƒuρ |Nöθyϑø9$# 42. Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya; Maka Dia tahanlah jiwa (orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang ditetapkanSesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda- tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berfikir. Menaggapi ayat tersebut, ath-Thahawi menukil pendapat Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa arwah orang mati dan orang hidup bisa beretemu dalam tidur (mimpi), kemudian mereka saling bertanya. Karena Allah SWT menahan ruh orang yang mati dan melepas ruh orang yang hidup. Dari sini ath- Thahawi menyimpulkan bahwa terdapat dua kematian, yaitu kematian kecil dan kematian besar. Kematian kecil yaitu tidur, dan kematian besar yaitu maut.272. Pengalaman sesaat seperti di atas, dalam bahasa Willam James disebut Situasi Transien. Yakni keadaan mistik yang tidak bisa dipertahankan dalam waktu yang cukup lama. Kecuali pada kesempatan-kesempatan yang jarang terjadi273. Situasi Transien ini juga dialami Habib Abdullah yang mengisahkan kalau ia sering mendapat kilauan cahaya putih dan terkadang tiba-tiba muncul ayat-ayat al Qur’an dihadapannya. 274
271
Ibid, hlm 70 Syaikh Ali Ahmad Abdul al Ath- Thahawi, Misteri Ruh, Mimpi, dan Orang-orang yang hidup setelah Mati (trj). Ru’ya al Hayat’ lil Amwat. Penterjemah: Masrohan Ahmad, Yogyakarta: PT Buku Kita, 2008, hlm 68-69 273 William James, Perjumpaan Dengan Tuhan, hlm 508 274 Wawancara dengan Habib Abdullah, 10 Maret 2012 272
Dalam pandangan Joachim Wach, pengalaman keagamaan yang simbolis dan tidak konseptual sebagaimana yang dialami Habib Abdullah bisa memberikan kebebasan bagi pengertian yang banyak. Sebab simbol memberikan lingkup interpretasi dan reinterpretasi yang luas275. Begitu pula informasi yang di dapat dari roh para wali. Menurut keterangan M.N Ibad, simbol-simbol atau kata-kata kiasan untuk memahaminya dibutuhkan perenungan. Dalam perenungan inilah kesalahan sering terjadi salah tafsir pesan. Di samping itu, isi pesannya pun berbanding lurus dengan tingkat batiniyah pelaku trawangan atau mukasyafah. Bila pelaku mempunyai tingkat batiniah yang tinggi, pesan-pesan yang disampaikan pun biasanya bernilai tinggi.demikian halnya untuk yang rendah276. Sedangkan situasi mistik yang bisa dikondisikan oleh beberapa tindakan pendahuluan yang dilakukan secara sengaja, seperti melakukan pemusatan pikiran, gerakan tubuh tertentu, atau menggunakan cara-cara yang diuraikan dalam berbagai buku panduan mistisme, James menyebutnya dengan istilah kepasifan277. Kondisi seperti ini juga bisa dialami oleh sebagian musafir untuk bertemu roh-roh wali dan mempertanyakan masalah atau minta do’anya, sebagaimana yang peneliti kemukakan pada bab III . Orang-orang seperti ini yang telah berhasil melakukan mukasyafah atau trawangan, sekali saja, biasanya akan mudah melakuan trawangan lagi. Demikian juga orang yang berhasil melakukan komunikasi melalui meditasi278. Kemamapuan kasyaf
yang sempurna, sebagaimana dimiliki oleh para
sahabat atau wali adalah sebagian dari karomah279. Oleh karena itu, bagi Ibnu Khaldun, sebagaimana di kutip In’amuzzahidin, ia lebih menjunjung tinggi kontunitas ibadah dan keistiqomahannya. Karena inti kasyf yang benar adalah kasyf yang tumbuh dan keluar dari kontunitas ibadah, dan kejernihan moral. Selain itu, kasyf juga dapat datang pada orang yang lapar dan menyendiri,
275
Joachim Wach, Ilmu Perandingan Agama, hlm 95 M.N Ibad, Outbound ke Alam Ruhani, hlm 92 277 William James, Perjumpaan Dengan Tuhan, hlm 508 278 M.N Ibad, Outbound ke Alam Ruhani, hlm 84 279 In’amuzzahidin, Mukasyafah Dalam Tasawuf: Studi Pemikiran Mukasyafah Ibn ‘Athaillah al Sakandari, Disertasi, hlm 105 276
meskipun moralnya rusak, tidak beribadah. Selain itu, kasyaf juga bisa datang pada tukang sihir dan orang-orang yang mengamalkan latihan-latihan rohani280. Pengalaman rohani seperti tersingkapnya alam ghoib bisa disebabkan karena amalan-amalan khusus dengan disertai puasa dengan tujuan mendapatkan pengalaman tersebut, bukan mukaysfah yang dikenal para sufi. Karena untuk mencapainya, seorang sufi harus menjalani beberapa maqâmât-maqâmât (station dalam tasawuf) tertentu. Namun kasyf yang diperoleh bukan dengan jalan sufi, istilah yang banyak berlaku dalam dunia mistik adalah dengan nama ilmu terawangan. Niels Mulder menyatakan bahwa menempuh jalan mistik ini sungguh berat dan mensyaratkan bertekat bulat atas tujuan itu. Orang harus berlatih guna mengatasi aspek-aspek lahirnya dengan cara tapa (asketisme) yang bisa terdiri dari puasa, beribadah, berpantang melakukan hubungan seksual, meditasi, banguan sepanjang malam, berjaga dikuburan orang sakti, atau menyepi di gunung dan di gua. Karena sebanarnya tujuan tapa adalah pensucian guna mencapai semedi, yakni keadaan pikiran yang biisa digambarkan sebagai sebuah konsentrasi lepas di dunia. Di situ orang menjadi terbuka untuk menerima tuntutan ilahiyah dan pada akhirnya, penyingkapan misteri kehidupan, pengungkapan dari asal tujuan. Meskipun demikian, para mistikus berpengalaman akan menekankan disiplin yang diperlakukan untuk mencapai semedi, mereka juga pasti memperingatkan akan bahayanya “penjelajahan” alam ghaib jika hasil dari praktik asketis masih belum cukup terkendali, atau jika praktik sendiri dimaksudkan untuk mencapai tujuan-tujuan magis281. Niels juga mengatakan, melalui tapa dan semedi orang bisa menembus semesta alam dan memperoleh kekuasaan serta inspirasi dari kekuatan-kekuatan sakti. Dengan sadar ia juga bisa menghubungi makhluk-makhluk natural tingkat rendah seperti jiwa nenek moyang, bermacam-macam jagoan pewayangan, setan dan malaikat, para dewa, hantu dan arwah. Bahkan ketika bersusah payah mengusahakan pengalaman mistik murni, bisa saja pelaku semedi atau tapa 280 281
hlm 69
ibid, hlm 115 Niels Mulder, Mistisme Jawa; Ideologi Di Indonesia, cet 3, Yogyakarta: LKiS, 2009,
tersesat dalam perjalanannya. Ini mungkin karena orang tersebut dipandu oleh motif-motif tidak bersih dari luar kesadran, atau karena lakunya masih penuh dengan keinginan, atau tapanya dilakukan untuk penyucian diri kurang memadai282. Pengalaman yang demikian inilah yang bisa membingungkan, apakah yang diperoleh dengan tapa atau amalan-amalan khusus dengan tujuan terbukanya alam ghaib itu juga termasuk trawangan atau benar-benar telah mencapai mukasyafah?. Secara garis besar, metode pengaktifan mata batin dapat dikelompokkan ke dalam dua cara, M.N Ibad menjelaskan secara panjang lebar dua cera tersebut. Yaitu (pertama) dengan upaya yang dilakukan sendiri dan (kedua) melalui bantuan guru. Cara pertama dapat dilakukan dengan meditasi terus menerus dan dibantu berbagai amalan seperti rangkaian mantra-mantra atau puasa. Dalam proses ini, biasanya pengaktifan mata batin diupayakan hanya untuk menyingkap misteri dari sebuah eksistensi yang dituju283. Sebagai contoh, seorang santri atau musafir yang ingin bertemu dengan salah seorang arwah wali. Ia melakuan ritual yang panjang dengan datang menziarahi wali tersebut, membaca ayat-ayat al-Quran seperti surat Yasin sebanyak empat pulih satu kali284, surat al- Muluk sebanyak enam puluh kali285, dan amalan-amalan yang lain. Sedang untuk hasilnya, apakah saat itu juga atau setelah beberapa hari musafir bisa menemui arwah yang dituju, hal itu tergantung nasibnya. Bila tidak bertemu, dan ia masih ingin bertemu, maka amalan tersebut dapat diulang lagi. Ada juga yang sebatas barmeditasi di samping makam wali yang dituju untuk beberapa waktu sampai arwah wali itu menemuinya, atau sampai ia bosan sendiri karena merasa telah gagal. Hal itu disebabkan arwah wali yang dituju memeng tidak mau bertemu dengan pengamal tersebut, sebagaimana
282
Ibid, hlm 70-71 MN. Ibad, Outboun Ke al am Ruhani; hlm 79 284 Peneliti terima ijazah ini dari KH Ali dari Kebumen, yang katanya ia mendapat dari Gus Malik –Kediri. Kata Kiai Ali, “jika ingin cepat mencapai tingkat yang tinggi, seseorang harus rela dikubur kecuali kepalanya”. 285 Peneliti terima ijazah ini dari Mbah Lakir, salah seorang paranormal terkenal di Purworejo. 283
yang peneliti peroleh keterangannya dari musafir di makam Sunan Katong, Kaliwungu, Kendal286 dan Juru Kunci makam Mbah Banten, Kudus287. Upaya pembukaan mata batin dengan metode seperti ini biasanya hanya bersifat sesaat dan terbatas, tidak bertujuan untuk mempertajam mata batin secara permanen. Oleh karena itu, untuk tujuan yang lain atau menemui sosok ruh yang lain, seseoang harus mengulang lagi amalan tersebut dari awal. Pada dasarnya, amalan tersebut bukan untuk membuka kunci mata batin, melainkan dengan kekuatan magic yang dimunculkan oleh amaln dan ayat-ayat dalam al-Qur’an tersebut hanya untuk menarik keluar ruh sosok tertentu agar mau menemuinya288. Berbeda dengan orang yang mata batinnya belum terbuka, yang masih memerlukan berbagai proses ritual atau meditasi, orang yang telah memiliki keajaman mata batin cukup dengan memfokuskan konsentrasinya atau tanpa proses meditasi yang panjang mampu melihat kegaiban (menerawang) dimanapun dan kapanpun ia inginkan. Adapun mengaktifkan mata batin melalui bantuan seorang guru bergantung pada kekuatan magic guru tersebut untuk menyingkap tabir yang menutupi mata batin muridnya. Meski demikian, hal itu berbanding lurus dengan kekuatan batin dari muridnya, yang bisanya dipengaruhi oleh kekuatan amaliyah yang telah dimiliki sebelum mata batinnya dibuka dan faktor genetic (keturunan) yang diwarisi dari leluhurnya. Tersingapnya tabir mata batin murid ini, ada yang berlangsung sesaat, ada juga yang berahan selamanya289. Peneliti juga mendapat keterangan lain mengenai ilmu untuk menembus alam ghaib versi Jawa : Dalam dunia ilmu jawa atau ilmu kejawen, secara umum cara menembus untuk menyingkap rahasia alam gaib ada dua macam, trawangan dan rogosukmo. Cara paling mudah adalah terawangan. Terawangan adalah nama atau sebutan dari sebuah ilmu yang merupakan suatu proses lelaku yang meliputi penjelajahan spiritual dari dunia nyata untuk pergi menembus alam gaib yang biasanya
286
Pengalaman ini telah peneliti tulis sebalumnya. Wawancara dengan Juru Kunci Makam Mbah Banten di Kudus, 05 Februari 2012 288 MN Ibad, Outboun Ke al am Ruhani, hlm 80 289 ibid, hlm 81 287
dilakukan oleh seorang ahli supranatural atau paranormal, atau seseorang yang gemar lelaku (mempelajari ilmu gaib). Terawangan ini biasanya menggunakan kekuatan jin atau makhluk gaib sejenisnya untuk menembus alam gaib. Guru tersebut akan memberikan inventaris makhluk halus untuk dimasukkan atau disatukan dengan jiwa raga seorang murid. Biasanya dengan cara memberikan air minum yang dibumbui minyak dan mantra, rajah gaib, atau media spiritual lainnya. Murid yang sudah diberi minum air berisi mantra ini akan secara instan memiliki kekuatan atau getaran gaib saat itu juga tanpa melalui puasa atau tirakat apapun, dan ini bisa dilakukan oleh siapa saja. Namun orang tersebut tidak bisa melihat makhluk halus yang sudah menyatu dengan tubuhnya, melainkan hanya bisa merasakan bahwa ada kekuatan gaib dalam dirinya. Hanya orang lain yang memiliki mata batin lebih tinggi yang akan bisa melihat kekuatan gaib yang bersemayam di dalam diri orang tersebut.290 Dari keterangan di atas sudah jelas, antara trawangan dan mukasyafah samasama bisa melihat alam gaib, namun tentu ada perbedaan yang sangat mendasar. Kasyaf, bisa dikatakan murni anugerah Allah SWT kepada seseorang hamba yang memiliki kedekatan dengan-Nya, sementara trawangan dihasilkan dari upaya sungguh-sungguh untuk menguasainya. Kasyaf, dengan sendirinya menjadi tanda akan ketinggian derajat seorang hamba. Adapun trawangan, tak lebih dari ketrampilan yang bisa dicapai siapapun , asal mau kerja keras.291
B. Maqâmât dan Ahwâl Musafir Hakikat pengalaman keagamaan musafir tidak hanya bisa diketahui hanya dari faktor batin saja. Namun badan, akal dan jiwa juga terlibat dalam tercapainya pengalaman puncak yang transenden. Oleh karena itu, seperti yang dikatakan al Ghazali di atas, bahwa untuk mencapai puncak riyâdah, harus dengan manjalankan Kholwât292. Sebab berkholwat yang dijalani musafir dengan sendirinya akan menuntut untuk masuk dalam sebuah maqâmât para sufi yang di susun oleh Abu Qasim Abdul Karim al-Qusyairi seperti taubat, zuhud, wara’, faqir, sabar, Tawakal, dan 290
http://kangjem. blogspot.com/2012/05/ cara-menembus-alam-gaib-versi-jawa.html, diambil 10 Mei 2012 291 MN Ibad, Outboun Kealam Ruhani, hlm 148 292 Al Ghazali, Ihya’ulimuddin, juz 4, hm 76
Ridha. Tahapan ini akan berbeda jika dibandingkan dengan Abu Bakar Muhammad al- Kalabadzi dalam karyanya at -Ta’ruf li Ma’hab ahl al Tasawuf yang dirumuskan menjadi, Taubat, zuhud, sabar, faqir, rendah hati, taqwa, tawakal, ridha, mahabbah, dan makrifat. Sedang al-Ghazali -sebagaimana ditulis Muslim A Kadir- merumuskan menjadi taubat, sabar, faqir, uhud, tawakal, cinta atau mahabbah, dan makrifat. Ini berbeda yang ditulis Ahmad Rafiq, yang memahami dari kitab Ihyaulumuddin juz 4, al Ghazali melakukan elaborasi dari maqamat yaitu, 1. Taubat, 2. Sabar wa Syukur, 3. Khauf wa Raja’, 4. Faqir wa zuhud, 5 tauhid wa tawakal, 6. mahabbah, syauq, uns wa ridha, 7. Niat, ikhlas wa as-sidq, 8. Muraqabah wa muhâsabah, 9. Tafakur dan 10. Zikr al maut wa ma ba’dahu293. a. Maqâmât Para ulama’ yang menjelaskan hakikat maqâmât banyak jumlahnya. AlQusyairi misalnya, mendefinisikan dengan sejenis etika (adab), dimana seorang hamba dapat menempati jenjang-jenjang tertentu yang dapat menghantarkannya pada Allah SWT dengan kesungguhan usaha (riyâdhah). Menurutnya seorang tidak akan naik dari maqâm satu ke maqâm yang lain, sebelum ia menyempurnakan maqam itu sendiri294. Hal ini digambarkan oleh Amin Syukur, sebagai jiwa seseorang yang dipandang sebagai suatu organism hidup, seperti benih yang bersemi atau seperti anak kecil yang kesempurnaannya bersandar pada pertumbuhan dan kematangan, sejalan dengan sisitem dan tatanan tertentu.295 Padahal berakaitan dengan maqâm itu sendiri, masing-masing ulama’ mempunyai pendapat sendiri-sendiri. Di satu pihak ada yang memasukan term tertentu pada maqâm, tapi di pihak lain ada yang memasukan sebagai hal (state atau keadaan spiritual). Namun demikian ada beberapa ajaran yang bisa dimasukan dan dikategorikan oleh para ulama sebagi maqam. Antara lain adalah taubat, zuhud, sabar, tawakal, dan ridha296. Inilah yang menyulitkan ulama’ sufi
293
Lihat: Muslim A Kadir, dan Ahmad Rafiq dalam Tasawuf dan Krisis. In’amuzzahidin, Dari Waliyullah menjadi Wali Gila, hlm 30 295 Amin Syukur, Zuhud Di Abad Modern, hlm 64 296 In’amuzzahidin, Dari Waliyullah menjadi Wali Gila, hlm 31 294
dalam mengkonstruksi urutan-urutan maqam dalam tasawuf. Namun hal ini akan dijembatani oleh syaikh (guru) tasawuf untuk memberi petunjuk kepada murid297. Mengetahui perbedaan pendapat tersebut, akan tetapi ada beberapa sufi yang berpendapat bahwa sesudah ridha masih ada maqam yang lebih tinggi, yaitu mahabbah, makrifat dan ittihad.298 Untuk memperoleh sebuah maqâm, bukan sesuatu yang mudah. Jalan yang ditempuh penuh rintangan. Agar bisa pindah dari satu maqam ke maqam yang lain, calon sufi butuh benyak waktu. Kadang-kadang ia harus tinggal bertahuntahun dalam satu maqâm, dengan penuh perjuangan spiritual yang sunguhsungguh. Mengenai hal ini, Ibn Qayyim al Jauziyah-yang dikutip In’ammenerangkan, sebagian maqam ada yang terkumpul dalam dua maqam, bahkan lebih. Oleh Karena itu, pemiliknya tidak berhak menyandang predikat maqâm tersebut, kecuali ketika seluruh maqâm telah terkumpul pada dirinya. Misalnya maqâm taubat berkumpul dengan maqâm muhâsabah (intropeksi diri) dan Khawf (takut tidak diterima amal kebajikan atau takut dari siksaan Allah SWT). Demikian halnya dengan maqâm tawakal, berkumpul dengan maqam tafwidl (menyerahkan diri secara total pada Allah swt), isti’anah (mohon pertolongaan pada Allah SWT), dan ridha (rela menerima terhadap pemberian Allah SWT). Dan seterusnya. Ketika satu maqâm sudah sempurna, baru bisa naik ke jenjang berikutnya299 1. Taubat Maqâm pertama yang harus dilalui musafir adalah taubat. Taubat sebagai lagkah pertama dalam maqâmat, sudah barang tentu menjadi syarat mutlak guna membersihkan hati. Apalagi seorang musafir yang dibimbing seorang guru, ia akan di bai’at dan di tuntut untuk banyak beribadah. Dikatakan oleh sayyid Bakar bin Muhammad Syato ad-Dimyati, ini adalah pemulaan wasiat, pokok agama yang paling penting, awal derajat para sâlikin, asal maqâm para pencari
297
Amin Syukur, Zuhud Di Abad Modern, hlm 64 A. Rivary Siregar, Tasawuf : dari Sufisme Klasik ke Neo Sufisme, hlm 114 299 In’amuzzahidin, Dari Waliyullah menjadi Wali Gila, hlm 31-32 298
(makrifat). Secara bahasa taubat berarti kembali, dan secara syara’ bermakna kembali dari perbuatan tercela -secara syari’at- ke perbuatan terpuji300. Sedangkan dalam pandangan Muhayya, taubat secara etimologis berarti kembali, merupakan amalan yang menekankan kesadaran untuk kembali kepada sesuatu yang positif yang merupakan fitrah dari ruh (spirit). Dalam tahapan ini, seseorang tidak cukup kembali dari kejelekan menuju kebaikan, tapi dituntut kembali yang baik menuju yang lebih baik (inti dari inabah).301 Taubat yang dimaksud adalah taubat an-nasuha, yaitu taubat yang membuat orangnya menyesal atas dosa-dosanya yang lampau dan betul-betul tidak berbuat dosa lagi walau sekecil apapun. Jelas usaha ini memakan waktu yang panjang302. Menurut mayoritas ulama’, taubat adalah awal dan akhir dari setaip maqam, bahkan ia selalu bersama atau menyertai setiap maqam. Eksistensinya bagaikan bumi bagi sebuah bangunan. Barang siapa tidak mempunyai tanah, maka ia tidak bisa membangun. Demikian juga dengan taubat itu sendiri303. Bagi al Ghazali, taubat hukumnya fardhu ‘ain bagi setiap orang. Ia harus selalu bertaubat baik dalam keadaan apapun. Karena setiap orang tidak akan lepas dari maksiat dengan anggota badanya, sebagai mana para nabi juga begitu, seperti yang tertera dalam al-Qur’an dan hadits. Mereka berbuat salah tetapi selanjutnya bertaubat dan menangis menyesali kesalahan mereka. Apabila bukan anggota badan yang berbuat maksiat, maka prasangka-prasangka buruk dalam hati. Jika tidak demikian, maka godaan syaitan yang mengajak untuk tidak berdzikir (mengingat) Allah SWT. Apa bila tidak begitu, maka dia akan lupa dan mengabaikan ilmu, sifat-sifat, dan pekerjaannya (af’al) Allah SWT.304
2. Zuhud 300
Sayyid Abi Bakar Al Maky ibn Sayyid Muhammad Syato, Kifayatul Atqiya’ wa Minhajul Ashfiya’ , hlm 14 301 Abdul Muhaya, Peran tasawuf dalam Menggulangi Krisis Spiritual, hlm 27 302 Harun Nasution, Tasawuf, dalam Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah, ED: Budhy Munawar-Rahman, Jekarta: Yayasan Paramadina, 1995, hlm 166 303 In’amuzzahidin, Dari Waliyullah menjadi Wali Gilahlm 32 304 Al Ghazali, ihya’ulumuddin , juz 4, hlm 9
Maqâm zuhud bagi seorang musafir, bisa digambarkan dengan tetap bertahannya mereka selama bertahun-tahun menjalani tirakat ini. Keasyikan tanpa memikirkan gemerlapnya dunia ini, membuat hati mereka tenang. Karena pada hakekatnya zuhud bukan berpaling dari dunia dalam arti materi, tapi berpaling dari keinginan dan orientasi kekinian305. Sehingga bagi mereka, zuhud harta sudah terbiasa. Seperti mak Kuwu yang menceritakan kalau dirinya hanya diberi pakaian hitam oleh gurunya, tanpa diberi bekal uang sepeserpun306. Secara etimologi zuhud berarti ragaba ‘ansai’in wa tarakahu, artinya tidak tertarik terhadap sesuatu dan meninggalkannya. Zahada fi al-dunya, berarti mengosongkan diri dari kesenangan dunia untuk ibadah. Orang yang melakukan zuhud disebut zâhid, zuhhad, atau zâhidûn. Zâhidah jamaknya zuhdan, artinya kecil atau sedikit307. Dan zuhud dalam pengertian barat sering dialih bahasakan dengan istilah asketisme dan diberi pengertian sebagai suatu sikap memetikan kesenangan dunia. Abdul Jamil mengambil kesimpulan bahwa pengertian ini diambil dari pengalaman sejarah dimana pera zahid itu menolak segala bentuk kemewahan dalam rangka melenyapkan keterikatan hati terhadap dunia seisinya. Apa bila dilacak dari sudut etimonologi asal asketisme berasal dari bahasa Grika yang artinya latihan untuk menggambarkan orang dari “penjara”. Latihan ini dalam agama Hindu disebut sebagi tapa, sedangkan dalam self morfication yakni suatu upaya pemadaman nafsu yang ada pada diri sendiri seperti yang diperlihatkan oleh Ibrahim bin Adham308. Al-Ghazali membagi tiga derajat kezuhudan. Pertama, mamaksakan diri untuk menjauhi keduniaan dengan memerangi hawa hafsu. Padahal ia sangat menginginkannya. Ini adalah orang yang memaksakan diri berlaku zuhud, dan kadang-kadang melakukan secara terus menerus sehingga me ncapaikezuhudan. Kedua,
menjauhkan
diri
dari
keduniaan
secara
sukarela
karena
ia
merendahkannya untuk memperoleh apa yang sangat diharapkannya, seperti orang
305
Amin Syukur, Masa Depan Tasawuf, Dalam Tasawuf Dan Krisis, hlm 43 Wawancara dengan mbah Kuwu di makam Syaikhona Kholil Bangkalan, 11 Maret 2012 307 Amin Syukur, Zuhud Di Abad Modern, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004, hlm 1 308 Abdul Jamil, Aktualisasi Tasawuf Untuk Masyarakat Konteporer, dalam Jurnal Teologia, Semarang: Fak. Ushuluddin IAIN Walisongo, 17 Februari 1993, hlm 9 306
yang meninggalkan satu dirham untuk memperoleh dua dirham. Ini tidak menyusahkannya. Namun ia tidak luput dari perhatian terhadap apa yang ditinggalkannya dan perhatiannya terhadap dirinya. Di dalam hal ini pun terdapat kekurangan. Ketiga, adalah derajat yang paling tinggi, berupa zuhud secara sukarela dan menjauhkan diri di dalam kezuhudannya. Sehingga ia tidak merasa meniggalkan sesuatu karena mengetahui bahwa dunia tidak ada nilainya. Maka ia seperti orang yang meninggalkan tembikar (khozafah) dan mengambil mutiaranya309. Sedang Imam Ahmad bin Hanbal membagi zuhud ke dalam tiga tingkatan atau derajat. Pertama, zuhudnya orang ‘awam yaitu meninggalkan sesuatu yang diharamkan. Kedua, zuhudnya orang khawâsh (orang khusus, orang istimewa), yaitu meninggalkan barang halal, jika barang halal itu dipandangnya telah berlebih dari kebutuhan dasarnya. Dan ketiga, zuhudnya orang ’arif (orang yang mengetahui hakikat Allah SWT), yaitu meninggalkan segala sesuatu yang membuatnya sibuk dan lalai dari mengingat Allah SWT 310. Menurut Abdul Jamil, jika diteliti lebih lanjut, maka batasan yang diberikan oleh Imam Ahmad tersebut memiliki nilai-nilai yang kondusif bagi kehidupan modern. Ia tidak mengajarkan supaya meninggalkan kekayaan dalam kehidupan duniawi, malah sebaliknya justru menganjurkan untuk menghilangkan kemiskinan. Meninggalkan apa saja yang dapat memalingkan diri dari Allah SWT memiliki cakupan yang cukup luas dan bersifat plastis, sehingga tidak harus berupa kehidupan yang serba melarat311. Oleh karena itu, pada hakekatnya zuhud bukan berpaling dari dunia dalam arti materi, tapi berpaling dari keinginan dan orientasi kekinian. Sebab menurut Sufyan al-Tsauri, Shibli, dan al-Makki, seperti yang dikutip Muhayya, obyek zuhud adalah syahwat dan bukan berpaling dari meteri.312.
3. Faqir
309
Al Ghazali, ihya’ulumuddin juz 4, hlm 220 Amin Syukur, Masa Depan Tasawuf, Dalam Tasawuf Dan Krisis, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001, hlm 43 311 Abdul Jamil, Aktualisasi Tasawuf Untuk Masyarakat Konteporer, hlm 9 312 Abdul Muhaya, Peran tasawuf dalam Menggulangi Krisis Spiritual, hlm 27 310
Setelah masuk maqâm zuhud, yang terlintas dalam pikiran, bahwa setiap zâhid (orang yang zuhud) adalah faqir, yang secara harfiyah diartikan sebagai orang
yang
berhajat,
membutuhkan,
atau
orang
miskin313.
Al-Ghazali
mendefinisikan, faqir adalah suatu ibarat dari tidak adanya sesuatu yang sedang dibutuhkan. Apabila tidak ada sesuatu, tetapi sesuatu itu tidak dibutuhkan, berarti itu bukan faqir. Begitu pula ada sesuatu, namun sesuatu itu tidak dibutuhkan, berarti itu juga bukan faqir. Bagi al-Ghazali, ada lima keadaan faqir : 1. Derajat yang paling tinggi ialah Orang yang membenci keberadaan harta. Ia lari darinya. Inilah orang yang zuhud. 2. Orang yang tidak suka dengan harta walaupun ia mendapatkan, dan ia juga tidak membenci harta. Ia orang yang menjauhi harta meskipun harta itu datang padanya. Inilah orang yang ridha 3. Orang yang adanya harta lebih ia sukai daripada tidak adanya. Tetapi ia tidak sampai bersusah payah mencarinya. Ini adalah orrang yang qona’ah 4. Orang yang menginginkan harta, namun ia kesulitan mencarinya, meskipun sudah dengan bersusah payah, kemudian tidak mencarinya. Inilah yang dinamakan al hârits 5. Orang yang tidak ada harta akan membahayakannya seperti orang lapar yang tidak mendapatkan roti, orang yang telanjang yang tidak dapat pakaian.
Ini
namanya
orang
yang
dalam
keadaan
bahaya
(al
mudhtorrûn)314 Berkaitan dengan musafir, sudah barang tentu seorang musafir akan selalu berusaha berlatih menjadi orang yang faqir. Mereka menyadari kalau diri mereka sedang tirakat. Sehingga jangan sampai mengumbar nafsu makan, apa lagi menghias diri. Situasi yang sulit semacam itu, membuat kehidupan musafir yang sedang berusaha menjalankan jalannya seorang sufi dengan menjadi seorang yang faqir, tanpa harta yang dibawanya kemana-mana. Sampai suatu ketika Habib Abdullah diberhentikan pemuda-pemuda pemabuk pada malam hari. Tapi setelah digeledah, memang ia tidak membawa 313 314
Tamami HAG, Psikologi Tasawuf , hlm 177 Al Ghazali, Ihya’ulumuddin, juz 4, hlm 186
dan memiliki apa-apa, yang akhirnya ia dilepas.315 Begitu pula musafir yang lain juga benyak bercerita pada peneliti bahwa mereka sering kali tidak makan seharian, hanya minum air secukupnya. Dan ada seorang musafir yang peneliti temui di makam sunan Katong, yang dulunya ia sudah terbiasa mencari makanan di tempat sampah, sampai akhirnya ia pada waktu itu sudah bisa mengambil barang gaib dan selanjutnya dijual.316 4. Wara’ Saat peneliti bertemu Habib Abdullah, peneliti melihat ia sambil berjalan terkadang mengambil besi-besi bekas yang ditemuan di jalan. Kalau sudah banyak ia jual tanpa melihat harga pasaran besi bekas. Intinya, ia tidak meminta-minta pada orang lain dan ada usaha untuk memiliki uang317. Inilah sikap wara’ yang dipraktikkan musafir, jangan sampai mempunyai rasa thoma’ (ingin diberi). Pada awalnya bagi mereka hanya sebuah latihan zuhud dan thoma’, tapi setelah bertahun-tahun tentunya tidak lagi hanya sekedar latihan. Praktik seperti ini menurut Habib Muhammad al-Qadri juga dilakukan sufi-sufi zaman dahulu yang dating ke Nusantara seperti Maulana Malik Ibrahim. “ Setelah selesai mendalami ilmu syari’at dan tasawuf, mereka disuruh gurunya untuk mengambara. Lha supaya tidak minta-minta mereka ada yang berdagang.”318 Sikap hati-hati yang dimiliki sufi ini di sebut wara’. Secara harfiyah al wara’ artinya saleh, menjauh diri dari perbuatan dosa. Kata ini selanjutnya mengandung arti menjauhi hal-hal yang tidak baik. Dalam pengertian sufi, al wara’ adalah meninggalkan segala yang di dalamnya terdapat keragu-raguan antara halal dan haram.319 Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dari Nu’man bin Basyir RA berkata: Aku telah mendengar Nabi Muhammad SAW bersabda, “Sesungguhnya perkara yang halal itu telah jelas dan perkara yang haram itu telah
315
Wawancara Habib Abdullah, 10 Maret 2012 Pengalaman pribadi dengan musafir di makam sunan Katong pada tahun 2008 317 Wawancara Habib Abdullah, 09 Maret 2012 318 Wawancara dengan Habib Muhammad al-Qadri, 13 Maret 2012 319 Tamami HAG, Psikologi Tasawuf, hlm 171-172 316
jelas dan di antara keduanya terdapat perkara-perkara yang masih samar yang tidak diketahui oleh sebagian besar orang, maka barangsiapa yang menjaga dirinya dari perkara-perkara yang syubhat (antara halal dan haram) maka dia telah menjaga agama dan kehormatan dirinya dan barangsiapa yang terjatuh dalam perkara yang syubhat maka sungguh dia telah terjatuh dalam perkara yang haram, sama seperti penggembala yang menggembala di sekitar perbatasan yang hampir saja memasuki ladang orang lain dan ketahuilah bahwa setiap raja itu memiliki batas-batas dan batasan-batasan Allah SWT adalah segala perkara yang diharamkannya”320. Begitu pula yang dikatakan Al- Ghazali yang mengutip dari kitab Taurat, “Barang siapa tidak perduli darimana asalnya ia makan, maka Allah SWT pun tidak perduli darimana orang itu akan masuk pintu neraka321. Mengenai tingkatan wara’, al-Ghazali membagi menjadi empat. Pertama, orang yang adil, yakni orang ini mengikuti fatwa-fatwanya para fuqaha’ menganai perkara-perkara yang haram. Kedua, wara’nya orang-orang shalih yaitu menjauhkan diri dari mencri jalan yang memungkinkan diharamkan. Walaupun ahli fatwa memberikan keringanan terhadap hal itu berdassrkan aspek lahir, namun hal itu termasuk syubhat. Ketiga, wara’nya para muttaqin yakni apa yang diharamkan ahli fatwa dan tidak ada keraguan tentang kehalalannya, namun dikhawtirkan membawa pada yang haram, maka itu ditinggalkan karena khawatir terhadap sesuatu yang tidak boleh dikerjakan. Dan keempat, wara’nya para siddiqîn adalah sesuatu yang pada asalnya boleh dan tidak dikhawatirkan membawa pada yang tidak boleh, namun digunakan untuk selain Allah SWT dan tidak dengan niat taqwa dalam beribadah kepada-Nya, atau membawa pada sebabsebab yang memudahkannya pada perbuatan yang makruh atau kemaksiatan.322
5. Sabar Musafir yang sejati, sudah kebal dengan berbagai cobaan dan rintangan. Kesabaran yang menjadi maqâm berikutnya, telah melekat dalam kehidupan 320
Abi Zakariya Yahya bin Syarof an Nawawi ad Damsyiqi, Riyadhah As Sholihin, Bairut: al Maktabah al ‘ilmiyah, tt, hlm 262 321 Al Ghazali, ihya’ulumuddin, juz 2, hlm 92 322 ibid, hlm 95
mereka. Karena tidak jarang keberadaan mereka di mata masyarakat di pandang sebelah mata. Pernah suatu ketika peneliti dan salah seorag musafir yang dari Batang mau membeli sarung di salah satu toko dekat makam sunan Kudus, dan ternyata karena melihat yang mau membeli musafir dengan pakaian tidak terlalu rapi, maka tanggapannya pemilik toko tidak menyenangkan. Padahal sebenarnya, ia membawa uang yang cukup. Karena sedang menjalankan tirakat ini, jadi uang tersebut dikeluarkan hanya untuk keperluan yang pokok saja. Begitu pula peneliti sempat bertemu dengan sebagin musafir yang memang ditugaskan gurunya untuk ziarah dari Sumatra sampai makam sunan Ampel. Setelah sampai sunan Ampel, kata mereka, nanti pulangnya kalau tidak pakai kereta yang bus323. Maqam sabar ini hanya diperuntuhkan bagi manusia saja. Karena bagi al Ghazali, hewan dan malaikat tidak memiliki sifat ini. Hewan selalu dikuasai oleh syahwatnya dan malaikat memang diciptakan untuk selalu mengabdi dan mencintai Allah SWT, ia tidak memiliki syahwat sehingga tidak mungkin melawan Dzat yang Maha Agung (Allah SWT).324 Di sisi lain, Secara bahasa sabar adalah menahan atau bertahan. Tamami menukil beberapa pendapat ‘ulama seperti Zun an-Nun al- Mishr, yang mengartikan sabar adalah menjauhan diri dari hal-hal yang bertentangan dengan kehendak Allah SWT, tetapi tenang ketika mendapat cobaan, dan menampakkan sikap cukup walaupun sebenarnya berada dalam kefakiran dalam bidang ekonomi. Selanjutnya Ibn Atma mengatakan sabar artinya tetap tabah dalam menghadapi cobaan dengan sikap yang baik. Ibn Utsman al Hariri mengatakan, sabar adalah orang mampu memasung dirinya atas segala sesuatu yang kurang menyenagkan325. Dan Imam Ahmad Ibn Hambal mangatakan bahwa kata sabar disebut dalam al- Qur’an ada di Sembilan puluh tempat326
323
Pengalaman peneliti dengan musafir dari Sumatra pada tahun 2003 di simpang tujuh,
Kudus. 324
Al Ghazali, Ihya’ulumuddin ,juz 4, hlm 62 Tamami HAG, Psikologi Tasawuf, hlm 179 326 Ibn al Qayim al Jauziyyah, Madarij as Salikin, jilid II, Bairut: Dar al Fikr, 1992, hlm 152 325
Sulitnya mencapai kesabaran dalam ketaatan, al-Ghazali memberi resep yang harus dilakukan dalam tiga tahap. Pertama, tahap sebelum melakukan ketaatan. Salik harus membenarkan niat dulu, ikhlas, dan sabar supaya tidak tercampur dengan riya’, begitu pula supaya tidak ada keburukan yang masuk (dalam hati). Ini merupakan sabar yang paling berat bagi orang yang mengerti hakikatnya niat, ikhlas, bahayanya riya’, dan tipu daya nafsu. Tahap kedua, selama proses melakukan amal salik tidak terlena dengan pujian karena amalnya, tidak malas untuk melakukan adab, sunah dan selalu dalam syarat-syarat adab amal tersebut sampai akhir. Tahap ketiga, setelah selesai melakukan amal, salik harus tetap bersabar supaya tidak memperlihatkan amalnya pada orang lain, karena disitu ada sum’ah (ingin didengar), dan riya’ (pamer). Beitu pula jangan sampai melihat amalnya dengan ‘ujub (sombong) dan sesuatu yang membuat amalnya batal sebagaimana firman Allah SWT “ Janganlah kamu membatalkan amalmu” dan ayat
“ Jangan membatalkan
sodaqahmu dengan
selalu
membicarakannya dan kejelekan”.327
6. Tawakal Banyaknya rintangan yang dihadapi, telah membuat seorang musafir masuk ke maqam tawakkal. Ia menyerahkan diri sebulat-bulatnya kepara kehendak Allah. Ia tidak memikirkan hari esok baginya cukup apa yang ada untuk hari ini. Sehingga masuk di maqam ridha, yang baginya sudah tidak lagi menentang percobaan dari Allah, bahkan ia meneruma dengan senang hati. Di dalam hatinya tidak ada perasaan benci, yang ada hanyalah perasaan senang. Kesabaran dalam beribadah dan menjauhi larangan-Nya juga dibutuhkan sikap tawakkal pada-Nya. Secara umum pengertian tawakal adalah pasrah dan mempercayakan secara bulat kepada Allah SWT setelah melaksanakan suatu rencana dan usaha. Salik tidak boleh bersikap a posteriori terhadap suatu rencana yang telah disusun, tetapi harus bersikap menyerahkan kepada Allah SWT.
327
Al Ghazali, Ihya’ulumuddin, juz 4, hlm 68-69
Manusia hanya merencanakan dan mengusahakan, tetapi Allah SWT yang menetukan hasilnya.328 Secara harfiyah tawakal berarti bersandar atau mempercayai diri. Apabila dikembangkan etimologinya, tawakal bermakna mempercayai diri secara utuh tanpa keraguan.329 Selain itu jika dilihat susunan Kata tawakal diambil dari akar kata wakalah. ”Dia mewakilkan urusannya kepada si fulan”. Kata mewakilkan di sini berarti menyerahkan atau mempercayakan. Tawakal berarti menggantungkan hati hanya kepada al- wakil (tumpuan perwakilan)
330
. Oleh karena itu, jika
dikomparasikan tawakal mempunyai makna menyerahkan dan mempercayakan perkaranya dengan sepenuh hati pada Allah SWT. Dzun an-Nun al-Mishr mengatakan bahwa tawakal adalah meniggalkan perintahnya nafsu dan melepas kekuasaan dan kekuatan dirinya, karena dia tidak melihat sama sekali seseorang punya kemampuan dan kekuatan untuk diserahi urusan kecuali Allah SWT (lâ haula wa lâ quwwata illâ billah).331 Begitu juga di dalam Risalah al Qusyairiyah, Sahl bin Abdullah mengatakan “ Tawakkal adalah keadaan Nabi SAW, dan berusaha adalah kesunahanya. Maka barang siapa yang menalaksanakan
keadaan
nabi
tersebut,
maka
jangan
meninggalkan
kesunahannya”332.
7. Ridha Setelah musafir masuk maqam tawakkal tentu musafir sudak masuk dalam maqam ridha, sebagaimana yang dikatakan Dun an- Nun al-Misri, yang dikutip oleh Rivay Siregar, bahwa ridha ialah menerima tawakal dengan kerendahan hati. Dan menurut Dzun Nun, tanda-tanda orang yang sudah ridha itu ada tiga, yakni mempercayakan hasil usaha sebelum terjadi ketentuan, lenyapnya resah gelisah sesudah terjaji ketentuan, dan cinta yang bergelora dikala turunnya malapetaka. 328
A Rivary Siregar, Tasawuf : Dari Sufisme Klasik ke Neo Sufisme, hlm 121 Tamami HAG, Psikologi Tasawuf, h 184 330 Sayyid Abi Bakar Al Maky ibn Sayyid Muhammad Syato, Kifayatul Atqiya’ wa Minhajul Ashfiya’,hlm 29 331 ibid,, hlm 30 332 Al Qusyairi, Risalah al Qusyairiyah, Dar al Mahjah al Baida’, 2008, hlm 283 329
Nampaknya pengertian ridha yang demikian merupakan perpaduan antara sabar dan tawakal sehingga melahirkan sikap[ mental yang merasa tenang dan senag menerima segala situasi dan kondisi. Oleh karena sikap mental ridha ini sudah mendekati sifat kesempurnaan, maka kalangan sufi sendiri berbeda pendapat, apakah tergolong maqamat atau ahwal. Sedang bagi al-Ghazali, ridha merupakan manifestasi dari mahabbah, kecintannya hamba pada Tuhannya. Jadi ini merupakan maqam yang tertinggi.333 merupakan wujud dari ridha hambaNya
Dan sebenarnya ridha Allah SWT 334
. Yang dalam al-Qur’an Allah SWT
berfirman : ∩⊇⊇∪ çµ÷Ζtã (#θàÊu‘uρ öΝåκ÷]tã ª!$# zÅ̧‘ 119. Allah ridha terhadap mereka dan mereka juga ridha pada Allah.335 Harun Nasution mangatakan bahwa maqâm-maqâm yang dilalui tadi, yakni dari taubat sampai ridha, baru merupakan tempat penyucian diri untuk orang yang memasuki jalan tasawuf, ia sebenarnya belum menjadi sufi, tapi baru menjadi zâhid atau calon sufi. Ia menjadi sufi setelah mencapai mâqam berikutnya dan memperoleh pengalaman-pengalaman tasawuf 336. Oleh karena itu, musafir yang peneliti temui dilapangan baru sekedar calon sufi, yang belum mencapai tingkat mahabbah, dan makrifat. Maka tidak heran jika ada sebagian musafir yang berbuat menyalahi syari’at. Apalagi sebagian besar dari mereka masih terhitung masih muda.
8. Mahabbah Al Ghazali mensyaratkan bagi orang yang mencintai Allah SWT harus melakukan empat hai ini, jika tidak maka dia merupakan orang yang berbohong. Pertama, orang yang mencintai surga, tapi tidak menjalankan amal shalih dengan taat maka dia bohong. Kedua, orang yang menganggap mencintai nabi SAW tapi tidak mencintai ulama’, dan para fuqara’, maka dia bohong. Ketiga, Orang yang 333
ibid, hlm 333 Al Ghazali, Mukasyafah al Qulub, Surabaya, Haramain, tt, hlm 244 335 Al Maidah: 119 336 Harun Nasution, Tasawuf, hlm 167 334
takut (khaûf) dari neraka tapi tidak meninggalkan maksiat, itu pembohong, dan Keempat, orang yang mencintai Allah SWT tapi tetap mengeluh dari cobaan, maka dia bohong. Karena tanda-tanda cinta adalah seorang yang mencintai akan selalu sesuai dengan yang dicintainya, dan tidak akan berbeda dengan yang dicintainya.337 Keadaan seperti inilah yang dilakukan musafir. Ia mencintai ulama’, dan kekasih Allah SWT (waliyullah) sebagai sebuah wujud cinta mereka pada Allah SWT. Dan karena dengan dekat pada waliyullah, tentu akan membuatnya dekat dengan Allah SWT. Begitu pula cobaan-cobaan dari Allah SWT, akan diterima dengan ikhlas, dan mereka akan berusaha menjadi fuqara’.
Oleh karena itu
mereka mampu bertahan bertahun-tahun menghadai cobaan dari Allah SWT. Secara harfiyah, mahabbah atau cinta sering diartikan dengan cinta dan kasih sayang. Mahabbah adalah usaha mewujukan rasa cinta dan kasih saying yang ditunjukkan kepada Allah SWT. Mahabbah juga dapat diartikan sebagi luapan hati dan gejolaknya ketika dirundung keinginan untuk bertemu dengan kekasih, yaitu Allah SWT.338 Sebagaimana yang dikisahkan
dalam hadits
masyhur disebutkan bahwa Nabi Ibrahim as berkata peda malaikat maut ketika datang hendak mencabut ruhnya, “Apakah engkau melihat seorang kekasih mencabut nyawa kekasihnya?”, maka Allah SWT mewahyukan kepada malaikat maut, “Apakah engkau melihat seorang kekasih membenci pertemuan dengan kekasihnya?”. Maka Ibarahim berkata, “ Wahai malaikat maut, cabutlah ruhku”339. Dan pernyataan seorang sufi perempuan yang pertama kali memperkenalkan paham mahabbah ini, yaitu Rabi’ah al-Adawiyah, ia berkata : “Tuhanku, bila aku mengabdi pada-Mu karena takut NerakaMu, maka campakkanlah aku di sana. Andaikata aku mengabdi hanya karena mengejar surgaMu, jangan beri aku surga. Tapi wahai Tuhanku, bila ternyata menembahMu hanya karena kasihku pada Mu, jangan tutup wajahMu dari pandanganku.”340 337
Al Ghazali, Mukasyafah al Qulub, hlm 27 Tamami HAG, Psikologi Tasawuf, hlm 192 339 Al Ghazali, ihya’ulumuddin, juz 4, hlm 287 340 Harun Nasution, Tasawuf, hlm 168 338
Kondisi cinta yang tanpa pamrih demikian hanya akan tercapai melalui proses panjang dan berat (tirakat) sehingga pengenalannya kepada Allah SWT menjadi sangat jelas dan pasti. Yang dihayati dan dirasakan bukan lagi cinta tetapi diri yang dicintai. Oleh karena itu, menurut al-Ghazali mahabbah itu adalah pintu gerbang mencapai makrifat kepada Tuhan341. Mahabbah ini yang diartikan oleh para sufi menjadi tiga bagian. Pertama, memeluk kepatuhan kepada Tuhan dan membenci sikap melawan kepada-Nya. Kedua, menyerahkan seluruh diri kepada Yang Dikasihi. Ketiga Mengosongkan hati dari segala-galanya kecuali Diri Yang Dikasihi342. Karena sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Attaillah as-Sakandari, “ Tidak ada orang yang mencintai berharap dari yang dicintainya sebuah balasan, atau mencari sesuatu yang diharapkannya. Sesungguhnya orang yang mencintai itu memberi untuk kekasihnya, tidak untuk diberi.343” Sedangkan ciri-ciri yang lain, yang dikemukakan sayyid Muhammad bin Alwi al-Maliki, jika seorang benar-benar mencintai Allah SWT , maka ia akan lebih mendahulukan Allah SWT dari pada yang lain. Berjalan di jalan yang mendekatkan pada-Nya dan mendapat Ridha-Nya, bersunguh-sungguh dalam taat pada-Nya, menyerahkan diri sepenuhnya untuk melayani-Nya (beribadah), meninggalkan perkara yang membuat lupa untuk mengingatNya, dan selalu berhubungan baik denganNya di setiap hal. Lebih lanjut sayyid Muhammad mengatakan, bahwa sesuatu yang sangat agung sehingga menunjukkan kecintaannya pada Allah SWT adalah selalu mengikuti Nabi Muhammad SAW dengan baik344, sebagaimana firman Allah SWT : ∩⊂⊇∪ ÒΟ‹Ïm§‘ Ö‘θàxî ª!$#uρ 3 ö/ä3t/θçΡèŒ ö/ä3s9 öÏøótƒuρ ª!$# ãΝä3ö7Î6ósム‘ÏΡθãèÎ7¨?$$sù ©!$# tβθ™7Åsè? óΟçFΖä. βÎ) ö≅è%
341
Al Ghazali, ihya’ulumuddin, juz 4, hlm 293 Harun Nasution, Tasawuf, hlm 167 343 Muhammad bin Ibrahimal Ma’ruf Ibn Ibad an Nafzi, Syarh al Hikam, Surabaya:al Hidayah, tt, hlm 62 344 Sayyid Muhammad bin Alwi al Maliki al Hasani, Qul Hazhihi Sabili, Riyadh: Percetakan Sendiri, 1999, hlm 114 342
31. Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah Aku (Muhammad saw), niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Qs. Ali Imran: 31) Kecintaannya yang mendalam membuat mahabbah yang tadinya di dalam posisi maqâmat lalu berubah pada posisi hâl (kondisi spiritual yang mendalam). Oleh karena itu, ketika sudah menjadi kondisi hâl seperti ini, mahabbah membuat ego sudah melebur dengan ruh. Ia tidak mengenal dirinya, dan mengatakan bahwa “milikku” adalah syirik yang tersembunyi, yang ingin melenyapkan dirinya. Orang yang dalam tingkatan ini sudah berada dalam tingkatan kondisi fana’ fillah.345 Seperti yang dikatakan In’amuzzahidin, bahwa mahabbah merupakan awal terjadinya fana’ , dan akhirnya menjadi bukit tempat penurunan pada maqam al mahw (pengosongan/peleburan diri). Ia menjadi awal terjadinya fana’. Karena dapat menghilangkan sesuatu yang ada dalam hati pecinta dengan selain kekasih. Selain itu, jika hati seorang kekasih telah tertarik/ terpesona (injadzaba) kepada kekasihnya secara total, maka segala keinginan hatinya pun ikut tertarik padanya346.
9. Makrifat Al-Ghazali mengatakan bahwa mahabbah itu adalah pintu gerbang mencapai makrifat kepada Tuhan. Dan ia juga menyebutkan, dengan terbukanya rahasia hati kemudian mengetahui alam kemalikatan (‘alam al-malakut), disebut makrifat dan wilâyah (kewalian). Orang yang mempunyai itu dinamakan wali dan ‘arif. Ini adalah permulaan maqam (derajat) para nabi yang menjadi akhir maqam para wali.347 Dan sebanarnya makrifat tidak bisa dihasilkan kecuali mendapat anugerah dari Allah SWT.348 Sebagaimana pengalaman makrifat yang ditonjolkan oleh Dzun an Nun al-Misri ketika ditanya, bagaimana ia memperoleh makrifat. Ia menjawab, “Aku melihat dan mengetahui Tuhan dengan Tuhan, dan sekiranya 345
Tamami HAG, Psikologi Tasawuf, hlm 78 In’amuzzahidin, Dari Waliyullah menjadi Wali Gila, hlm 42-43 347 Al Ghazali, Ihya’ulumuddin, juz 3, hlm 371 348 Sayyid Abi Bakar Al Maky ibn Sayyid Muhammad Syato, Kifayatul Atqiya’ wa Minhajul Ashfiya’, hlm 111 346
tidak karena Tuhan aku tidak melihat Tuhan dan tidak tahu Tuhan”. Dapat dimengerti bahwa makrifat adalah anugerah Tuhan kepada sufi yang dengan ikhlas dan sungguh-sunguh mencintai Tuhan. Karena cinta ikhlas dan suci itulah Tuhan mengungkapkan tabir dari pendangan sufi. Dan dengan terbukanya tabir itu sufi pun dapat menerima cahaya yang dipancarkan Tuhan dan sufi melihat keindahan-Nya yang abadi.349. Oleh karena itu, tidak heran jika ada sebagian sufi tidak memasukkan dalam maqamat, dan dimasukkan pada ahwâl (pengalaman spiritual). Makrifah dari kata ‘arafa –ya’rifu- ma’rifatan, secara etimilogi berarti mengenal, menegetahui, dan boleh pula diartikan dengan menyaksikan. Istilah makrifah dalam tasawuf sering dikonotasikan pada panggilan hati melalui berbagai bentuk tafakur untuk menghayati nilai-nilai kerinduan (as-syauq) yang terhasil dari kegiatan-kegiatan dzikir, sesuai dengan tanda-tanda pengungkapan (hakikat) yang terus menerus. Maksudnya, hati menyaksikan kekuasaan Tuhan dan merasakan besarnya kebesaran-Nya dan mulianya kehebatan-Nya yang tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata. Dari aspek lain, makrifah juga berarti mengetahui apa saja yang dibayangkan dalam hati tanpa menyaksikan sendiri berdasarkan pengetahuan Tuhan.350 Bagi kalangan sufi banyak memberi definisi, seperti Sayyid Abi Bakar al-Makki mengatakan, “Makrifat adalah Allah SWT meletakkan cahaya didalam hati seorang hamba. Dengan cahaya tersebut ia dapat melihat asror (sesuatu yang lembut) kerajaan Allah SWT, menyaksikan sesuatu yang samar dari kerajaan-Nya, dan merasakan sifat-sifat kebesarannya Allah SWT.”351 Bagi Reynold A. Nicholson, makrifat dalam pengertian sufisme adalah “geneosis” dari teosofi Hellenistik352, yaitu pengetahuan langsung tentang Tuhan 349
Harun Nasution, Tasawuf, hlm 169 ibid, hlm 194-195 351 Sayyid Abi Bakar Al Maky ibn Sayyid Muhammad Syato, Kifayatul Atqiya’ wa Minhajul Ashfiya’, hlm 111 352 Hellenisme adalah pemikiran Yunani.interaksi intlektual orang-orang Muslim dengan duni pemikiran Hellenik terutama terjadi antara lain di Iskandaria (Mesir), Damaskus, Antioch, dan Ephesus (Syiria), Harran (Mesopotamia), dan Jundaisapur (Persia). Ditempat-tempat itulah 350
berdasarkan atas wahyu atau petunjuk Tuhan, ia bukanlah hasil atau buah proses mental, tetapi sepenuhnya amat tergantung pada kehendak dan karunia dari-Nya, yang Dia memang sudah menciptakan manusia dengan kapasitas kemampuan untuk menerimanya. Inilah sinar ilahi yang menyinari kedalam hati manusia dan melimpahkan setiap bagian tubuh dengan berkas cahaya yang menyilaukan353. Dalam pandangan Amin yukur dan Masharuddin,
Penyaksian tersebut
melalui nur (nubuwah) yang dianugerahkan Tuhan kepada orang-orang yang dikehendakinNya. Nur (nubuwah) ini – kata al-Ghazali- merupakan kunci pembuka sebagian besar pengetahuan “ma’rifah”. Dari uraian ini menjadi jelas bahwa pengetahuan makrifah sebagai pengalaman sufistik yang dicapai kaum sufi dalam pemikiran tasawuf al-Ghazali didapat melalui ilham, yakni suatu “nur” (nubuwah) yang dilimpahkan Tuhan ke dalam kalbu seorang sufi (al ‘arif) untuk mengenali suatu “pengalaman” dalam kondisi dan kesadaran yang lebih tinggi dari kesadaran rasio354. Berdasarkan pendapat A. Mukti Ali, yang di nukil oleh Simuh, bahwa inti ajaran tasawuf adalah mengandalkan dalil kasyfi. Yang dimaksud adalah kasyfu al mahjûb. Yakni tersingkapnya tabir yang menutup penghayatan gaib dan wajah Tuhan, sehingga alam gaib dan wajhullah (hakikatnya Allah SWT ) bisa dihayati
lahir dorongan pertama untuk kegiatan penelitian dan penerjemahan Yunani Kuna, yang kelak kemudian didukung dan di sponsori oleh penguasa Muslim. Keterangan Nurchalich Majid ini, dibagian Penutup mengemukakan, bahwa mustahil melihat falsafah Islam sebagai carbon copy Hellenisme. Misalnya, meskipun terdapat variasi, tetapi semua pemikir Muslim berpandangan bahwa wahyu adalah sumber ilmu pengetahuan, dank arena itu, mereka membangun berbagai teori tentang kenabian seperti yang dilakukan Ibn Sina dengan risalahnya yang terkenal, Itsbat al Nubuwwat. Mereka juga mencurahkan banyak tenaga untuk membahas kehidupan sesudah mati, suatu hal yang tidak ada dalam Hellenisme, kecuali dengan sendirinya pada kaum Hellenis Kristen. Para failusuf Muslim juga membahas masalah baik dan buruk, pahala dan dosa, tanggung jawab pribadi di hadapan Allah, kebebasan dan keterpaksaan (determinologisme), asal usul penciptaan, dst., yang kesemuanya itu merupakan bagian integral dari ajaran Islam, dan sedikit sekali terdapat hal serupa dalam Hellenisme.. Lihat: Nurchalich Majid, Falsafah Islam: Unsurunsur Hellenisme di Dalamnya, dalam Islam; Doktrin dan Peradaban, cet I, Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1992, hlm 218 353 Reynold A. Nicholson, Tasawuf; Menguak Cinta Illahiah, Jakarta: Rajawali Pers, 1979, hlm 68 354 Amin Syukur dan Masharuddin, Intlektualisme Tasawuf, Semarang: Lembkota, 2002, hlm 165
langsung oleh kaca hatinya. Penghayatan makrifat hanya bisa tercapai sewaktu sang sufi mengalami ecstasy atau al fana’355. Pemahaman makrifat yang diungkapkan di atas memang terlihat sangat tinggi, sehingga selama perkenalan peneliti dengan musafir-musafir, tidak bertemu dengan orang yang mengalami makrifat sebagaimana pengertian di atas. Atau bisa saja peneliti bertemu dengan mereka, tetapi karena kedangkalan ilmu dan belum tercapainya maqam, sehingga peneliti tidak mengetahui hal tersebut. Namun ada sebuah hadits yang sangat terkenal, berbunyi “ Barangsiapa yang mengenal dirinya maka ia juga mengenal Tuhannya (man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa rabbahu).”
356
Menaggapi hadits ini, Syaikh Muhammad Amin al-Kurdi
dalam kitab Tanwîr al-Qulûb mengatakan, “Ketahuilah, bahwa pengenalan diri adalah suatu urusan yang penting untuk setiap pribadi. Karena sesungguhnya siapa yang mengenal dirinya, maka ia juga mengenal Tuhannya. Yaitu mengenal bahwa dirinya orang yang hina, lemah dan fana. Dengan itu di dapat mengenali Tuhannya yang bersifat mulia, kuasa dan kekal abadi (baqa’). Siapa yang tidak mengerti terhadap dirinya, berarti di juga tidak mengerti Tuhannya.357” Jika pemahaman makrifat seperti ini, peneliti bertemu sebagian besar musafir yang sedang belajar memahami Allah SWT dengan memahami dirinya, dan ciptaanNya.
b. Ahwâl Kalaupun maqâm adalah tingkatan pelatihan (riyâdhah) dalam membina sikap hidup yang hasilnya dapat dilihat dari perilaku seseorang, maka kondisi mental al-hâl bersifat abstrak. Ia tidak dapat dilihat mata, hanya difahami dan dirasakan oleh orang yang mengalaminya atau memilikinya. Oleh karena itu tidak 355
Simuh, Persoalan tasawuf, Makalah, hlm 3 Hadits ini oleh sebagian ulama’ dianggap tidak ada asalnya (la aslalahu), sebagaimana dikatakan oleh al Hafidz as Sakhawi dalam kitab al Maqasid, hlm 198. Bu Mudzfar bin as Samani, “ tidak diketahui sebagai hadits marfu’. ini ceritakan dari Yahya bin Muadz ar Razi. Begitu pula yang dikatakan oleh an Nawawi, “Hadits itu sahih (tsabit)”. Imam Suyuti dalam kitab Dzaili al Maudu’at, hlm 203; juga menukil perkataan an Nawawi, bahkan menetapkannya. Begitu pula as Suyuti mengatakan dalam kitab al Qaul al Asybah, juz 2, hlm 351 dalam kitab al Hawi lil fatawi. Lihat: Muhammad Nasiruddin al Bani, Silsilah al Ahadits ad Dhaifah wa al Maudhuat wa Atsaruha as Sayi’ fi al Ummati, jilid I, Bairut: al Maktab al Islami, 1980, hlm 96 357 Syaikh Muhammad Amin al Kurdi, Tanwir al Qulub, hlm 408 356
dapat diinformasikan melalui bahasa tulisan atau bahasa lisan358. Namun yang pasti, ahwal ini merupakan keadaan yang diberikan oleh Tuhan ditengah-tengah seseorang melakukan perjalanan kerohanian melalui maqam tertentu. Ketika Tuhan memanifestasikan diri dalam jiwa dan hati bersih manusia, baik dalam bentuk
keagungan
maupun
keindahan-Nya.
Seseorang
akan
mencintai
manifestasinya tersebut dan merasakan kegembiraan-kegembiraan tertentu359. Secara normatif, terdapat perbedaan antara maqâm dan hal. Yang pertama merupakan hasil usaha serius dan intensif, dan yang kedua merupakan dari pemberian dan anugerah Allah SWT semata. Dalam bahasa as- Suhrawardi, hal disebut keadaan (al- hâl) adalah karena dimensi keberubahannya (li tahawwih), sedangkan maqam disebut tingkatan (al maqâm) karena ketetapan dan permanennya (li thubutih wa istiqrarih)360. Dapat dikatakan bahwa seseorang pemilik maqâm terentu adalah aktif dan dinamis dalam berekspresi, sedangkan yang pemilik hâl tertentu adalah pasif, khususnya pada hal yang tenah didapatinya. Namun demikian, perbedaan ini hanyalah berlaku pada aspek teoritis saja dan tidak dapat digeneralisir pada aspek praktis. Sebab pada dimensi praktis persoalannya akan lebih kompleks. Menurut as-Suhrawardi, sebagaimana dikutip Imam Taufik, antara maqâm dan hâl tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Baginya, keduanya memiliki dua sisi yang sama, yaitu given (mawahib) dan ikhtiar (makasib). Sesuatu yang diperoleh dari usaha keras (maqâm) mengandung unsur pemberian. Dan anugerah (hâl) itu sendiri berasal dari upaya kreatif seseorang untuk mencapai sesuatu. Hasilnya, sebagaimana yang diungkapkan al- Kalabadhi bahwa tingkatan memiliki awal dan akhir, dan diantara keduanya terdapat beraneka keadaan psikologis (hâl)361. Sebagimana maqâmat, dalam jumlah dan formasi ahwal ini juga terdapat perbedaan pendapat dikalangan sufi. Diantara sekian banyak nama dan sifat hal, 358
A Rivary Siregar, Tasawuf : Dari Sufisme Klasik ke Neo Sufisme, hlm 132 Imam Taufiq, Maqamat dan Ahwal, dalam Tasawuf dan krisis, hlm 129 360 ibid, hlm 133 361 Ibid, hlm 133-134 359
yang terpenting serta yang paling banyak penganutnya adalah al-muraqabah, al khauf, al- raja’, al- thuma’ninah, al- musyahadah, dan al- yaqin. Ada juga sebagian sufi yang menempatkan al- makrifat dan al- mahabbah sebagai bagian dari hâl.362 Dan ada juga yang mencantumkan al- Syauq, al- Uns, tawadhu’, taqwa, ikhlas, dan syukur. Perbedaan ini karena berbeda pula pengalaman spiritual yang didapatkan seorang sufi ketika menjalankan riyadhah atau tirakat dengan menaiki tangga maqâmât. Peneliti juga tidak bisa melihat kondisi spiritual (hâl) yang sebenarnya pada setiap musafir. Karena telah di kemukakan pada bab II mengenai kewalian, bahwa seorang wali tidak bisa diketahui kecuali oleh wali yang lain. Dan statemen lain yang mengatakan bahwa mengetahui seorang wali itu lebih sulit dari pada mengetahui Allah SWT, apalagi hal ini didukung statemen lain sebagaimana yang dikatakan di atas, bahwa al -hâl bersifat abstrak. Namun meski begitu, dalam mengungkap kebenaran ahwâl dan maqâmat musafir secara jelas, bisa diketahui dengan motivasinya menjalani tirakat mlaku ini. Karena sebagaimana yang diterangkan pada awal bab ini, dalam menjalani tirakat ini satu musafir dengan musafir yang lain mempunyai tujuan yang berbeda.
C. Meninjau Kembali Motivasi Musafir Hubungan antara perbuatan dengan aktifias mental (pengalaman beragama) dapat dilihat pada berbagai pemeluk yang perbuatannya merupakan cerminan dari agama yang dipelukya363. Untuk melihat hal di atas, perlu kiranya digali dahulu sikap keagamaan seorang musafir. Pengertian secara umum yang diungkapkan Jalaluddin mengenai sikap, dipandang sebagai seperangkat reaksi-reaksi afektif terhadap obyek tertentu berdasarkan hasil penalaran, pemahaman, dan penghayatan individu. Dengan
362 363
A Rivary Siregar, Tasawuf : dari Sufisme Klasik ke Neo Sufisme,hlm 132-133 Abdul Jamil, Agama Yang Santun, hlm 33
demikian sikap terbentuk dari hasil belajar dan pengalaman seseorang dan bukan sebagai pengaruh bawaan seseorang, serta tergantung obyek tertentu.364 Lebih lanjut, Jalaluddin mengutip pendapat Mar’at yang merangkum 11 rumusan dari 13 rumusan yang dihimpun oleh Allport. Rumusan umum tersebut adaah 1. Sikap merupakan hasil belajar yang diperoleh melalui pengalaman dan interaksi yang terus menerus dengn lingkungan (attitude are learned) 2. Sikap selalu dihubungkan dengan obyek seperti manusia, wawasan, peristiwa, ataupun ide (attitudes have referent) 3. Sikap diperoleh dalam berinteraksi dengan manusia lainnya baik di rumah, sekolah, tempat ibadah, maupun tempat lainnya melalui nasihat, teladan, atau percakapan (attitude are social learnings) 4. Sikap sebagai wujud dari kesepian untuk bertindak dengan cara-cara tertentu terhadap obyek (attitudes have readiness to respond) 5. Bagian yang dominan dari sikap adalah perasaan dan afektif seperti yang tampak dalam menentukan pilihan apakah positif, begatif, atau ragu (attitudes are affective) 6. Sikap memiliki tingkat intensitas terhadap obyek tertentu yakni kuat atau lemah (attitudes are very intensitive) 7. Sikap bergantung kepada situasi dan waktu, sehingga dalam situasi dan saat tertentu mungkin sesuai, sedangkan di saat dan situasi yang berbeda belum entu cocok (attitudes have a time dimension) 8. Sikap dapat bersifat relative consistent dalam sejarah hidup individu (attitudes have duration factor) 9. Sikap merupakan bagian dari konteks persepsi ataupun kognisi individual (attitudes are complex) 10. Sikap merupakan penilaian terhadap sesuatu yang mungkin mempunyai konsekuensi terentu bagi seseorag atau yang bersangkutan (attitudes are evaluations) 364
hlm 201
Jamaluddin, Psikologi Agama;edisi revisi, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001,
11. Sikap merupakan penafsiran dan tingkah laku yang mungkin menjadi indicator yang sempurna, atau bahkan tidak memadai (attitudes are inferred) Rumusan tersebut menunjukan bahwa sikap merupakan predisposisi untuk bertindak senang atau tidak senang terhadap obyek terentu yang mencakup komponen kognisi, afeksi dan konasi. Dengan demikian sikap merupakan interaksi dari komponen-komponen tersebut secara kompleks. Merujuk kepada rumusan di atas, terlihat bagaimana hubungan sikap dengan pola tingkah laku seseorang. Tiga komponen psikologis yaitu kongnisi, afeksi, dan konasi yang bekerja secara kompleks merupakan bagian yang menentukan sikap seseorang terhadap obyek, baik yang berbentuk kongrit maupun obyek abstrak. Komponen kognisi akan menjawab tentang apa yang dipikirkan atau dipersepsikan tentang obyek. Komponen afeksi dikaitkan dengan apa yag dirasakan tentang obyek (senang atau tidak senang). Sedangkan komponen konasi berhubungan dengan kesediaan atau kesiapan untuk bertindak terhadap obyek365. Obyek yang dimaksud dalam penelitian ini adalah makam-makam wali. Sehingga menghasilkan kongnisi berupa persepsi bahwa dengan berziarah kemakam wali akan mendapat limpahan berkah, lebih mudah mencapai apa yang dikehendaki, dan lebih cepat wusul kepada Allah SWT. Karena persepsi musafir, wali adalah orang suci, dan makamnya adalah tempat keramat. Aspek afeksi yang dirasakan musafir selama menjalani tirakat ini berbedabeda, namun kebanyaan mereka merasa senang, karena tidak ada tuntutan duniawi yang harus mereka penuhi. Selain itu, siraman rohani membuat hatinya tenang, dan selalu merasa ingin dekat lagi tidak hanya kepada kekasih Allah (waliyullah) tetapi dekat dengan Allah SWT, sebagimana mereka yang mampu berkomunikasi dengan wali-Nya.
365
Ibid,, hlm 201-202
Nilai konasi bagi musafir berupa kesediaannya menjalani tirakat ini yang penuh dengan perjuangan dan penderitaan. Mereka sudah sepenuhnya menyerahkan jiwa dan raganya demi tercapainya motif yang telah ditentukan. Sedangkan menurut pandangan psikologi, sikap mengandung unsur penilaian dan reaksi afektif sehingga menghasilkan motif. Motif menentukan tingkah aku nyata (overt behavior), sedangkan reaksi afektif bersifat tertutup (cover)366. Selain pengukuran di atas, yang digunakan al-Ghazali-sebagaimana yang dikutip Abdullah Hadzik- untuk mengukur seberapa tinggi penilaian subjek terhadap nilai kongnisi, afeksi, dan konasi, sehingga memunculkan tingkah laku psikologis manusia yang cenderung baik dan terpuji. Hal ini lebih disebabkan oleh tiga faktor pendorong sabagai berikut: (a) pendorong ke arah kebutuhan akan penghargaan yang berupa perolehan pahala dan surga dari Allah SWT, (b) pendorong ke arah kebutuhan akan sanjungan dari Allah SWT, dan (c) pendorong ke arah kebutuhan akan keridhaan dan kedekatan dengan-Nya367. Selanjutnya Abdullah Hadziq menjelaskan bahwa dalam pemikiran alGhazali, motivasi tingkah laku psikologis yang didasari atas kebutuhan akan penghargaan berupa pahala dan nikmat surga didudukkan dalam peringkat paling dasar, sebagaimana motivasi orang awam dan mayoritas umat manusia. Sedangkan motivasi yang didasarkan atas kebutuhan sanjungan dari Allah diposisikan dalam peringkat sedang, seperti motivasinya orang-orang shalih, sekalipun jumlahnya sedikit. Dan yang terakhir dan peringkat paling tinggi adalah yang didasarkan pada keridhaan Allah SWT dan dekat dengan-Nya, ini peringkatnya para shiddiqin dan para Nabi368. Memang dalam kenyataannya, motivasi musafir dalam melakuan tirakat ini, sangat menentukan pola tingkah laku mereka, Musafir yang mencari barokah (tabarrukan), biasanya mereka lebih aktif berada di makam untuk membaca alQur’an sampai khatam berkali-kali, atau membaca wirid yang amalnya ditujukan untuk wali tersebut. Sedangkan musafir yang sedang mengamalkan ilmu hikmah 366
ibid, hlm 203 Abdullah Hadziq, Rekonsiliasi Psikologi Sufistik dan Humanistik, hlm 130 368 Ibid, hlm 130-131 367
atau kesaktian, lebih terlihat tertutup dan berperilaku aneh. Mereka biasanya suka menyendiri dan kalau bercerita terlalu tinggi, mengenai pengalaman gaibnya atau tentang ilmu-ilmu hikmah. Padahal sebanarnya pengertian Ilmu Hikmah adalah suatu amalan spiritual yang berupa ayat al-Qur’an, doa-doa tertentu, hizib atau mantra-mantra suci yang berbahasa Arab dan diimbangi dengan laku batin untuk mendekatkan kepada Allah dan membersihkan jiwa dari berbagai penyakit hati369. Jika mengenal musafir yang sedang mencari jati diri, terkadang labih banyak bertanya-tanya mengenai berbagai permasalahan yang dihadapinya atau curhat kepada musafir lain. Ia merasa bingung dengan keadaan dirinya, sehingga selama menjadi musafir ini, hanya menegikuti kehandak hati atau mengikuti kemana teman musafirnya pergi. Sehingga musafir yang seperti ini tidak tentu arah dan dia tidak tahu kapan selesai mejalankan tirakat ziarah mlaku. Berbeda dengan musafir yang mukaysfah. Biasanya tidak lama di makam, kemudian pindah ke makam yang lain. Namun juga ada musafir yang bertujuan ingin bertemu wali di makam itu, sehingga mereka menunggu sampai ditemui, meskipun berhari-hari, dengan amalan-amalannya sudah amalan yang paling disenangi wali tersebut. Karena memang belum dibuka penglihatan ghaibnya (mukasyafah). Dan tidak tahu kapan mendapat isyarah atau bertemu dalam mimpi sosok wali yang diharapkan370. Pengalaman ini yang dicari olah Mbah KH. Mohammad Ma’roef RA, seorang waliyullah dari Kabupaten Kediri ketika menimba ilmu pada Kyai Khalil yang masyhur sebagai auliya keramat. Selama
menjadi santri Kyai Khalil,
kegandrungannya dalam hal riyadhah semakin menjadi-jadi. Di Bangkalan ini pula beliau mempunyai kebiasaan baru yaitu berziarah ke makam-makam keramat para auliya se-Madura. Di makam tersebut, beliau bukan sekedar ziarah biasa tetapi makamnya disowani dan ditirakati sehingga beliau bisa berdialog langsung dengan si penghuni makam. Tujuan beliau riyadhah di makam-makam keramat 369
http://ilmuhikmahnur.blogspot.com/2012/06/pengertian-ilmu-hikmah.html, di ambil 28 Maret 2012 370 Observasi selama penelitian
tersebut tiada lain karena beliau ingin memiliki ilmu “Sak mlumahe bumi lan sak mengkurepe langit” yaitu ingin memiliki ilmu seluas bumi dan langit tanpa harus belajar. Artinya, beliau ingin mendapat ilmu laduni371 Namun ada sebagian musafir mengobral pengalaman spiritual yang mereka dapat dan merupakan anugerah dari Allah SWT. Cerita mereka mengandung kesombongan, sampai-sampai saat peneliti di makam syaikhona Kholil, Habib Muhammad al-Qadri mau menegur keras terhadap musafir itu372. Bagi al-Qadri, keistimewaan seperti itu ibarat sebuh intan permata, tidak perlu dipamerkan373. Oleh karena itu, sebagaimana yang di tulis In’amuzzahidin yang mengutip alGhazali, bahwa tidak membicarakan isi kasyf itu kepada orang lain adalah paling utama. Ini disebabkan, pada hakikatnya semua kebaikan dan keburukan adalah kehendak Allah SWT dan telah digariskan oleh-Nya. Bahkan ada statemen sebagian masyayih yang mengatakan, bahwa menyebarkan rahasia ketuhanan (ifsya’ sir ar- rububiyah) termasuk perbuatan kufur. Karena perbuatan ini dapat menimbukan fitnah, bagi mereka yang tidak mempunyai ilmu atau maqam yang sama. Dan bisa saja apa yang diungkapkan oleh seorang mukasyafah itu tidak sesuai dengan keinginan mukhotob (yang diajak berbicara), atau tidak tepat atau meleset dari kenyataan yang ada, atau fitnah lainnya.374 Untuk mengetahui apakah sebuah pengalaman spiritual yang dialami musafir sendiri benar-benar pemberian Allah SWT atau bukan, memang sulit
371
http: //pengamalwahidiyah. org/sejarah.htm, di ambil 25 Maret 2012 Berkaitan dengan Ilmu Laduni, Taftazani memberi komentar bahwa pengetahuan para wali Allah atau para sufi diperoleh langsung dari Allah tanpa perantara. Namun pengetahuan itu berbeda dari pengetahuan kenabian, sebab hanya berupa ilham atau inspirasi dalam qalbu yang tidak diketahui sang sufi bagaimana memperolehnya dan dari mana datang. Sementara pengetahuan para nabi merupakan wahyu yang diperoleh seorang nabi, dan nabi tersebut tahu penyebabbya, yaitu turunnya malaikat kepadanya. Sekalipun begitu nabi atau wali sepenuhnya yakin bahwa ilmu tersebut datang dalam dua keadaan itu, dari Allah SWT. Lihat: Abu al Wafa al Ghanimi al Taftazami, Madkhal ila al Tasawuf al Islam, terj. Ahmad Rafi Utsmani, Bandung: Pustaka, 1985, hlm 174-175 372 Observasi di makam syaikhona Kholil, 13 maret 2012 373 Wawancara dengan Habib Muhammad al-Qadri, 13 maret 2012 374 In’amuzzahidin, Mukasyafah Dalam Tasawuf, hlm 123
dibuktikan. Sehingga, tidak jarang ada mengobral pengalaman pribadinya pada orang lain, namun ternyata kejadian istimewa itu hanyalah tipu daya (al-Ghurur). D. Keotentikan Pengalaman Beragama Para Musafir Keontetikan pengalaman beragama dapat diketahui lewat sejumlah kriteria sehingga ia bukan hanya sekedar pengambangan emosi, kemauan dan prasangka sosial375. Karena bagi Joachim Wach, pengalaman keagamaan merupakan pengalaman yang terstruktur. Ia jauh dari suatu bentuk perluasan emosi yang belum sempurna dan samar-samar, pendeknya pengalaman keagamaan adalah pengalaman yang teratur376. Setidaknya ada empat kriteria untuk mengetahui pengalaman beragama itu. Kriteria Pertama berangkat dari asumsi bahwa pengalaman beragama itu merupakan tanggapan terhadap realitas mutlak atau respon manusia terhadap dunia spiritual377. Pengalaman yang memberi kesan dan menatang, sehingga akan dapat dikatakan bahwa pengalaman mengenai sesuatu yang bersifat terbatas tidak akan dapat dianggap sebagai suatu pengalaman keagamaan, melainkan hanya sekedar sebuah pengalaman pseudo-agama. Lebih lanjut, kata Wach, karena telah mendefinisikan pengalaman keagamaan sebagai tanggapan, maka pengalaman keagamaan semestinya tidak bersifat subjektif semata378. Sebanarnya pengalaman keagamaan seorang musafir tidak ada yang bersifat subjektif. Meskipun peneliti membagi pada pembahasan sebalumnya ada pengalaman universal dan subjektif, dengan dimaksudkan bahwa pengalaman universal memang benar-benar dirasakan seluruh peziarah ke makam wali dan musafir pada umumnya. Sedangkan pengalaman subjektif merupakan pengalaman pribadi musafir yang jarang dialami oleh musafir lain, namun tentunya tidak dapat dipungkiri pengalaman yang sama juga dialami oleh orang lain meskipun bukan
375
Abdul Jamil, Agama Yang Santun, hlm 29 Joachim Wach, Ilmu Perandingan Agama, hlm 44 377 Abdul Jamil, Agama Yang Santun, hlm 29-30 378 Joachim Wach, Ilmu Perandingan Agamahlm 44 376
musafir. Sehingga pengalaman mukasyafah dengan bertemu roh wali. Ini bisa dikatakan pengalaman universal, karena sudah dialami lebih dari satu orang. Pengalaman secara subjektif ataupun universal yang dialami musafir dan peziarah di makam wali, adalah hal yang mendorong mereka melakukan ziarah mlaku. Ini merupakan tanggapan terhadap apa yang dihayati sebagai realitas mutlak. Dengan selalu dekat dengan waliyullah, diharapkan bisa juga lebih dekat dengan Allah SWT yang menjadi kekasih dan yang mengasihi wali tersebut. Kriteria kedua, berangkat dari totalitas manusia dalam memberikan tanggapan terhadap Tuhan yang ternyata bukan hanya sekedar fikiran, perasaan, atau kehendak saja. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa pengalaman beragama merupakan suatu susunan bertingkat yang terdiri dari tiga unsur yaitu akal, kehendak, dan perasaan. Di sinilah ia berbeda dengan pengalamanpengalaman parsial yang hanya berkaitan dengan satu bagian saja dari eksistensi manusia. Kenyataan adanya totalitas manusia dalam menaggapi Tuhan tersebut tercermin dalam keterlibatannya pada agama yang dipeluknya secara total menyangkut seluruh kehidupan379. Oleh karena itu, penyerahan jiwa dan raga seorang musafir di jalan Allah SWT benar-benar total. Mereka sudah bertekat bulat untuk menjalankan tirakat ini sampai waktu yang teah ditentukan atau waktu yang tak terbatas. Meskipun terkadang dirinya sakit ditengah jalan, tidak mempunyai biaya, dan problematika yang lain. Semua yang dilakukan itu berdasarkan akal pikiran yang bersih, yang mereka hasilkan dari hasil intropeksi diri atau tutunan guru. Ini merupakan kecerdasan Intlektual (IQ) yang musafir dapatkan. Dari hasil IQ itu, musafir ingin memngaplikasikan ilmu yang didapat atau hasil dari pengalaman guru, para sufi atau diri mereka sendiri. Kehendak ini yang dimaksud dengan Kecerdasan Emosi (EQ). Sebuah pola pikir yang asosiatif, yang
379
Abdul Jamil, Agama Yang Santun, hlm 31
tebentuk dari kebiasaan, dan menumpukan dengan pola-pola emosi380. Setelah menjalankan langsung tirakat ziarah mlaku, musafir sendiri dengan sendirinya akan merasakan adanya Dzat yang Maha Agung dan merasa tenang, karena selalu berkholwat untuk munajat kepada-Nya. Pengalaman semacam ini, merupakan jenis dari Kecerdasan Spiritual (SQ). Kriteria ketiga, berangkat dari kedalaman beragama, artinya orang yang beragama memiliki pengalaman yang mendalam “pertemuannya” dengan Tuhan. Intensitas pengalaman beragama tersebut terlihat pula sakralasi perilaku seharihari sehingga banyak aktifitas duniawi terwarnai oleh spirit keagamaan seseorang381. Secara potensial pengalaman keagamaan tersebut adalah merupakan pengalaman yang paling kuat, menyeluruh, mengesankan, dan mendalam yang dimiliki manusia382. Perjalanan keagamaan yang seperti di atas, dialami pula oleh sebagian musafir. Meski bagi umat manusia tidak mungkin bertemu dengan Tuhan, namun realitas keberadaan-Nya bisa dirasakan. Diantaranya adalah dengan bisa melihat alam ghaib (mukasyafah) dan mempu berkomunikasi dengan kekasih Tuhan, itu merupakan pengalaman yang luar biasa bagi musafir. Disinilah terkadang musafir sudah merasa puas, karena seakan-akan ia telah diberi anugrah yang besar dari Allah SWT. Padahal Ibnu Ataillah mengingatkan, sebagaimana dinukil Inamuzzahidin, bahwa penyingkapan alam ghaib yang diberikan kepada salik adalah bagian dari cobaan baginya dalam proses perjalanannya menuju Allah SWT. Oleh karenanya, hendaknya seorang salik saat menjalankan perjalanan spiritualnya menuju Allah SWT, jangan berhenti pada saat ia menemukan pengetahuan-pengetahuan ilahiyyah (al- ma’arif)383. Dalam kasus trawangan, sulitnya membandingkan apakah yang ditemuinya berupa sosok wali yang dituju atau hanya jin yang berubah menjadi wali tersebut. 380
Danah Zohar dan Ian marshall, SQ; Kecardasan Spiritual, Bandung: MIZAN Pustaka, 2007, hlm 35 381 Abdul Jamil, Agama Yang Santun, hlm 32 382 Joachim Wach, Ilmu Perandingan Agama, hlm 53 383 In’amuzzahidin, , Mukasyafah Dalam Tasawuf hlm 106
Peneliti sempat menanyakan pada salah seorang musafir ketika singgah di makam KH Mutamakkin, Kajen, Pati. Ia menceritakan apabila yang ditemuinya rasanya panas, maka itu jin. Namun jika rasanya dingin dan tenang, maka itu betul wali yang dituju384. Sedangkan M.N Ibad mengambil keterangan dari pakar trawangan, bahwa menurutnya seorang wali telah memiliki derajat kesucian yang tidak mungkin ditiru oleh jin atau roh halus. Karena api kesucian yang terpancar dari sang wali itu akan membakar jin atau roh halus yang ia tiru.385 Namun Muhammad al-Qadri ketika ditanya hal ini, ia mengatakan, “ Jin tidak menyarupai persis wajah dan fisik wali atau nabi. Cuman jin mengaku saja sebagai mereka. Tapi kalau nabi Muhammad SAW jin langsung kebakar. Karena hakikat alam raya ini dari nur Muahmmad SAW.”386 Yang berbahaya lagi adalah ketika yang ditemuinya sebenarnya bukan sosok wali, tapi hanya sekedar orang sakti atau roh orang-orang tua dahulu, kemudian ia mengikuti siapapun yang disampaikan oleh sosok gaib tersebut sebagai sebuah kebenaran mutlak yang harus dipenuhi. Sehingga terbentuklah sebuah keparcayaan, bahwa apapun yang disampaikannya itu benar. Tanpa disadari, sososk gaib itu perlahan-lahan menguasai jiwanya. Setelah jiwa pelaku terawangan dipegang sepenuhnya, informasi yang diberikan adalah informasi yang sesat. Kemudian, Pada tahap selanjutnya, dalam menghadapi berbagai permasalahan hidup, pelaku trawangan akan selalu mengandalkan informasi dari sosok gaib tersebut. Mulailah ia melupakan Allah yang maha Kuasa387. Gambaran diatas itulah yang akan ditemui musafir-musafir yang menjalani tirakat mlaku dengan tujuan mengamalkan ilmu hikmah. Karena sebagaimana ditulis Nileis Mulder yang mengingakan bahwa menempuh jalan mistik adalah pekerjaan yang berbahaya dan sukar. Bisa-bisa seorang dikuasai kekuatan jahat, menjadi gila, ataupun tersesat. Tentu saja orang tidak boleh berkecimpung di dalamnya pada usia muda, ketika ia dipandang tidak mampu menegakkan disiplin 384
Pengalaman peneliti dengan musafir di makam KH Ahmad Mutamakkin, Kajen, Pati, pada tahun 2003 385 M.N Ibad, Outboun Ke alam Ruhani, hlm 91 386 Wawancara dengan Habib Muhammad al-Qadri, 13 maret 2012 387 Ibid, hlm 95
yang dibutuhkan atas jiwa dan raga. Maka dari itu, orang ini dianjurkan untuk mengabungkan diri dengan seorang guru, seorang master yang dipandang sudah jauh meniti jalannya, dan bersedia menuntun orang lain dalam meraih gelar ngelmu (pengetahuan esotorik) nya. 388 Pada hakikatnya, para ulama’ zaman dahulu banyak menyimpan ilmu rahasia yang secara diam-diam di ajarkan kepada sembarang orang389. Ilmu hikmah yang diamalkan ulama’-ulama’ diambil dari kitab klasik yang disusun oleh para wali. Seperti kitab syams al-ma’ârif wa Lathâif al-‘Awârif dan Manba’ Ushul al-Hikmah tulisan Imam Abu al-Abbas Ahmad bin Ali al-Bunî, Kitab Fath al-Malik al-Mjîd al-Muallaf li Nafi’ al-Abid tulisan Syaikh Ahmad ad-Dahlabi, Khozînah al-Asrâr Jalilah al-azkâr tulisan as-Sayyid Haqi an-Nâzîli, Syumûs alAnwâr wa Kunûz al-Asrâr tulisan Ibn al-Haj at-Tilamsani al-Maghrabi, alJawâhir al-Lumâ’ah fi Istihdhar Mûluk al-Jin fi al-Waqt as-Sa’ah tulisan Syaikh ‘Ali Abu Hayyullâh al-Marzuqî, Dalâil al-Khoirât tulisan Imam Abu ‘Abdillah Muhammad bin Sulaiman, al-Aufâq tulisan Imam al-Ghazali, at-Tashîl al Manâfi’ fi ath- Thib wa al-Hikmah tulisan Syaikh Ibrahim bin Abd –ar-Rahman al-Azraq, ath-Thib an-Nawawi tulisan Syaikh Muhammad bin Ahmad adz-Dzalabî, arRahman fi ath-thib wa al-Hikmah tulisan Syaikh Jalaluddin abd-ar-Rahman asSuyuti, as-ir al-Jalil fi Khawadh Hasbunallâh wa Ni’m al-Wakîl tulisan Sayyid Abu al-Hasan asy-Syadzili, dan lain-lain.390 Pengalaman menempuh ilmu hikmah juga pernah dialami seorang ulama’ ari Jawa Timur yang terkenal dengan banyaknya kitab Jawahir al-Hikmah yang memuat mengenai ilmu Hikmah dan manaqib Jawahir al- Ma’any. Menurut cerita Habib Muhammad al Qadri, “KH Ahmad Jauhari Umar dulu angkatan atas saya waktu jadi musafir dan tirakat di makam Buju’ Sara. Di sana yang mengasih makan dia adalah burung-burung. Dari situ dia dapat manaqib itu”.391 Setelah
388
Niels Mulder, Mistisme Jawa, hlm 72-73 Athoullah Ahmad, Rahasia Kesaktian Para Jawara, Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2011, hlm 22 390 Ibid, hlm 12-13 391 Wawancara dengan habib Muhammad al-Qadri, 12 maret 1012 389
berguru mulai dari Kyai Syufaat Blok Agung Banyuwangi, KH. Dimyathi Pandegelang Banten, KH. Hayatul Maki Bendo Pare Kediri, KH. Marzuki Lirboyo Kediri,KH. Dalhar Watu Congol Magelang, KH. Khudlori Tegal Rejo Magelang,
KH. Dimyathi Pandegrlang Banten, KH. Ru’yat Kaliwungu, KH.
Ma’sum Lasem, KH. Baidhawi Lasem, KH. Masduqi Lasem, KH. Imam Sarang, KH. Kholil Sidogiri, dan KH Abdul Hamid Abdillah Pasuruan. Selesai beliau mendatangi para ulama, maka ilmu yang didapat dari mereka beliau kumpulkan dalam sebuah kitab Jawâhirul Hikmah. Kemudian beliau mengembara ke makammakam para wali mulai dari Banyuwangi sampai Banten hingga Madura. Sewaktu beliau berziarah ke makam Syaikh Kholil Bangkalan Madura, Syaikh Ahmad Jauhari Umar bertemu dengan Sayyid Syarifuddin yang mengaku masih keturunan Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani RA. Kemudian Sayyid Syarifuddin memberikan ijazah kepada Syaikh Ahmad Jauhari Umar berupa amalan Manakib Jawahirul Ma’any.392 Sedangkan
musafir
yang
mengalami
goncangan
jiwa,
selenjutnya
meghantarkan seseorang itu menjalani tirakat mlaku seperti yang di alami oleh al Ghazali. Tamami menganggap, Konversi al-Ghazali yang kemudian hari menjadi bagian penting pengkajian psikologi agama. Konversi al-Ghazali tidak dipahami sebagai proses perpindahan dari satu agama ke agama lain, tetapi merupakan proses kematangan keberagamaan. Model konversi al-Ghazali ternyata cukup menarik bagi William Jams, seorang tokoh perintis ilmu Psikoligi agama, yang didiskripsikan dalam ruang khusus di buku monumentalnya yang berjudul The varieties of Religious Experience393. Karen Armstrong menulis bahwa al-Ghazali kehilangan gairah, kehilangan selera makan, dan dibelit rasa putus asa. Akhirnya sekitar tahun 1094, di merasa tidak mampu lagi untuk berbicara atau member kuliah: Tuhan telah melumpuhkan lidahku sehingga aku tak bisa lagi mengajar. Aku pernah memaksakan diri untuk mengajar murid392 393
http://pecintarasulullah.blogdetik.com/page/299/, 25 Maret 2012 Tamami, Psikologi Tasawuf , hlm 91-92
miridku di suatu hari, namun lidahku tak mampu mengucap sepatah kata pun. Al-Ghazali
mengalami
depresi
klinis.
Para
dokter
dengan
tepat
mendiagnosis adanya konflik batin mendalam dan mengatakan jika dia tidak bebas dari kecemasan tersembunyinya, dia tidak akan pernah sembuh. Khawatir akan ancaman neraka jika tidak berhasil mengobati keimanannya, al-Ghazali memutuskan untuk meninggalkan jabatan akademisnya yang prestisius dan menempuh jalan kaum sufi. Di sanalah dia menemukan apa yang dicarinya selama ini. Tanpa mengabaikan akal al-Ghazali selalu tidak mempercayai bentuk-bentuk sufisme yang lebih mencolok- dia menemukan bahwa latihan mistik menghasilkan pemahaman langsung dan intuitif mengenai sesuatu yang di sebut “Tuhan”394. Gejolak batin al-Ghazali tersebut, berdasarkan temuan psikologi agama, latar belakang psikologis baik diperoleh berdasarkan factor intern maupun hasil pengaruh lingkungan memberi ciri pada pola tingkah laku dan sikap seseorang dalam bertindak. Pola seperti itu memberi bekas pada sikap seseorang terhadap agama. William James melihat adanya hubungan antara tingkah laku keagamaan seseorang dengan pengalaman keagamaan yang dimilikinya itu395. Jamaluddin menyimpulkan bahwa James menilai secara garis besar siap dan perilaku keagamaan itu dapat dikelompokkan menjadi dua tipe, yaitu: 1). Tipe orang yang sakit jiwa; dan 2) tipe orang yang sehat jiwa. Menurut William James, sikap keberagamaan orang yang sakit jiwa ini ditemui pada mereka yang pernah mengalami latar belakang kehidupan keagamaan yang terganggu. Maksudnya orang tersebut meyakini suatu agama dan melaksanakan ajaran agama tidak didasari atas kematangan beragama yang berkemang secara bertahap sejak usia kanak-kanak hingga menginjak usia dewasa seperti lazimnya yang terjadi pada perkembangan secara normal. Mereka ini meyakini suatu agama dikarenakan oleh adanya penderitaan batin yang antara lain mungin diakibatan oleh musibah, 394 395
Karen Aremstrong, Sejarah Tuhan, hlm 256 Jamaluddin, Psikologi Agama,, hlm 119
konflik batin atau sebab lainnya yang sulit diungkapan secara ilmiah. Latar belakang inilah yang kemudian menjadi peyebab perubahan sikap yang mendadak terhadap keyakinan agama. Mereka beragama akibat dari suatu penderitaan yang mereka alami sebelumnya. James menggunakan istilah the suffering. Merek yang pernah megalami penderitaan ini terkadang secara mendadak dapat menunjukkan sikap yang taat hingga ke sikap yang fanatik terhadap agama yang diyakininya396. Kriteria keempat, berangkat dari perbuatan nyata yang diperlihatkan oleh umat beragama, baik secara individual ataupun kolektif397. Karena pengalaman keagamaan yang murni adalah pengalaman tersebut dinyatakan dalam perbuatan. Penglaman itu melibatkan sesuatu yang bersifat imperatif. Ia adalah sumber motivasi dan perbuatan yang tidak tergoyahkan398. Di kriteria inilah musafir yang bertujuan mencari barokah. Mereka tidak akan mensia-siakan waktunya untuk perkara yag melenceng dari tuntunan syari’at. Karena kebanyakan yang peneliti lihat, musafir pencari barokah ini paling banyak santri-santri dari pondok pesantren. Sehingga dalam kesehariannya sudah sesuai ilmu yang mereka dapatkan di sana. Apalagi apabila perjalanan mereka merupakan perintah dari Kiai, tentu mereka akan lebih hati-hati sehingga tidak melanggar batas-batas yang diarahkan kiainya itu. Menjadi musafir pencari barokah juga pernah dialami oleh Gus Dur. Ia ketika masih menjadi santri KH Ali Ma’sum, Krapyak, Yogyakarta, bersumpah untuk melakukan ziarah dengan berjalan kaki ke makam-makam di selatan Jombang, dengan puncaknya di daerah yang tidak rata dan berpenduduk jarang di pantai selatan Jawa. Gus Dur berhasil dan berangkat melakukan ziarah pribadinya sambil menuju arah selatan lewat jalan-jalan yag tidak banyak ditempuh orang karena ia kuatir dikenali dan kemudian diberi tumpangan. Perjalanan kaki ini menempuh jarak lebih dari 100 km, dan memerlukan beberapa hari. Bagi Gus Dur perjalanan ini benar-benar di luar kemampuan manusiawi tubuhnya yang kurang atletis, namun kekerasan hatinya yang membuatnya dapat menempuh jarak sejauh 396
Ibid, hlm 20 Abdul Jamil, Agama Yang Santun, hlm 33 398 Joachim Wach, Ilmu Perandingan Agama, hlm 52-53 397
itu. Namun demikian, ketika baru mulai perjalanan pulangnya ia dikenali oleh beberapa orang yang menumpang mobil dan dengan gembira ia menerima tawaran tumpangan untuk kembali ke Jombang.399 Pengalaman lain juga dilakukan oleh Mbah Sobib. Seorang ulama khos Mursyid Thoriqoh Naqsyabandiyah asal Menganti, Bugel, Jepara, diketahui pernah melakukan tirakat ziarah mlaku di makam-makam wali. Tidak diketahui mulai kapan dan sampai tahun berapa ia menjalankan tirakat ini. Namun salah seorang teman musafirnya, Habib Muhammad al-Qadri menceritakan, sewaktu mbah Shobib berada di makam Syaikh Jumadil Qubro, Trowulan Mojokerto Jawa Timur, ia dibangunkan dari tidur oleh salah seorang musafir yang lain untuk menjalankan sholat jum’at. Sampai teman-temannya sudah pergi dan sholat siap didirikan, mbah Shobib belum juga bangun dari tidur. Tapi anehnya, saat sholat jum’at, mbah Shobib sudah berada di samping teman musafir yang membangunkannya tadi. Setiba dari sholat jum’at, ternyata temannya mendapati mbah Shobib masih tidur. Ketika bangun ditanya mengenai kejadian tadi, jawabannya “Iku foto copyanku”400. Bagi musafir yang lari dari tanggung jawab, mereka sudah benar-benar tersesat. Karena niat mereka yang menjadikan makam-makam wali yang penuh barokah sebagai tempat persembunyian untuk lari dari tanggung jawab memberi nafkah keluarganya. Kedaan ini sudah sangat jauh dari aturan-aturan sebagaimana pada bab I. Al-Ghazali sendiri sudah menetapkan bahwa seorang musafir harus sesuai tatakrama safar diantaranya : 1. Ijin terlebih dulu pada kedua orang tua dan suami atau istri untuk mintai ridlo dan restunya. 2. Memberi nafaqah yang cukup pada keluarganya sampai ia pulang dari safar.
399
ibd, hlm 50-51 Wawancara dengan Habib Muhammad al- Qadri di makam Syaikhona Kholil Bangkalan, 10 Maret 2012. Beliau salah satu teman musafir mbah Sobib. Peneliti juga bertemu musafir di makam Sunan Katong Kaliwungu –Kendal pada tahun 2008. Ia mengatakan, “Di makam ini mbah Shobib lama tinggal untuk tirakat”. 400
3. Tujuan safar hanya untuk beribadah, tidak untuk tujuan yang lain seperti berdagang, apalagi untuk melarikan diri dari tagging jawab Al-Ghazali menjelaskan bahwa orang yang memahami tawakal dengan meniggalkan usaha badan (kerja), tidak mempunyai angan-angan dalam hatinya (berdo’a), lontang-lantung di bumi, seperti sesuatu yang dibuang, dan baikan aging di atas meja makan, ini adalah pemahaman yang bodoh, dan itu perbuatan yang haram secara syara’. Karena sebenarnya syara’ memuji orang-orang yang bertawakal, bagaimana mereka mencamai maqam ini dengan meakukan keharaman dalam agama. Sebanarnya sudah jelas bahwa tawakal itu seorang hamba bergerak dan jalan menggunakan ilmunya untuk mencapai maksud yang dituju. Berjalannya seorang hamba itu merupakan ikhtiyar (usaha), baik ada kalanya untuk mendapatkan kemanfaatan dari sesuatu yang tidak ada seperti bekerja, dan menjaga sesuatu yang bermanfaat sekali. Seperti sesuatu yang sudah ada dengan menyimpan, atau menolak keburukan sehingga tidak ada orang yang berniat buruk, pencuri atau hewan401.
401
Al-Ghazali, Ihya’ulumuddin, juz 4, hlm 258-259
BAB V PENUTUP A.
Kesimpulan
Perjalanan musafir ke makam-makam pera wali untuk berziarah dan berkholwat di sana, sudah dilakukan sejak dulu oleh para sufi. Karena pada dasarnya ziarah adalah sebuah ibadah yang disyari’atkan oleh agama. Bahkan sebagian ulama’ mengatakan hal tersebut adalah sebaik-baiknya bentuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Atas dasar inilah, perjalanan yang panjang dan membutuhkan waktu berhari-hari, hingga bertahun-tahun mereka jalani dan dalam pandangan ulama’ merupakan bentuk kesunahan. a. Motivasi Tirakat Mlaku Para Musafir Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa motivasi musafir dalam melakukan tirakat ziarah mlaku ke makam-makam waliyullah ini berbagai macam. Yang sesuai dengan kriteria dan petunjuk para ulama’ hanya berapa kelompok saja. Mereka adalah orang yang mencari barokah, merguru karo wong mati, dan mencari jati diri. 1. Musafir yang mencari barokah dengan berziarah ke makam waliyullah sebenarnya tidak hanya dilakukan oleh sekelompok musafir. Tapi pada umumnya orang yang berziarah bertujuan seperti itu. Sebab seseorang yang dekat dengan Allah SWT (waliyullah) diyakini memiliki karomah yang diberikan oleh Allah SWT pada hambanya yang taat. Inilah bentuk awal mula perjalanan seorang santri dari Kediri, Banten, Tulungagung dan berapa pesantren lain yang di mulai sekitar tahun 1955. 2. Seorang musafir yang mencari jati diri tidak lain sebagai mana yang dialami al-Ghazali. Namun bedanya musafir-usafir yang peneliti temui, mereka banyak yang tidak mempunyai landasan agama yang kuat. Mereka hanya ikut-ikutan saja atau hanya sekedar mencari ketenagan. Sedagkan konversi
al-Ghazali dalam mencari jati diri, ia benar-banar dilandasi ilmu yang banyak dan merasa tidak puas dengan ilmu yang ia miiki. 3. Motivasi yang ketiga ini juga merupakan bentuk dari pengalaman keberagamaan yang subjektif, artinya hanya orang-orang tertentu saja yang mengalaminya. Kebaradaan roh wali yang masih hidup dan bisa diajak komunikasi, inilah yang dibuktikan oleh sebagian musafir yang memang bertujuan untuk merguru karo wong mati. Pengalaman seperti ini memang rill adanya. Pertemuan itu ada kalanya lewat mimpi, atau pun langsung. Pertemuan secara langsung, memang bisa jadi karena kedudukannya yang sudah tinggi dihadapan Allah SWT, sehingga ia dibukakan alam gahib (mukasyafah), dan ada pula yang lewat usaha dengan amalam-amalan tertentu, ini yang biasa disebut ilmu trawangan. Berbeda lagi mengenai musafir yang bertujuan mengamalkan ilmu hikmah atau kesaktian. Ini dibagi menjadi dua macam. Ada yang tidak sesuai dengan tuntunan syari’at dan ada yang sesuai. Musafir yang tidak sesuai tuntunan syari’at karena tujuan tirakatnya bukan karena Allah SWT. Sedangkan musafir yang sesuai
syari’at,
kebanyakan
mereka
ditugaskan
oleh
gurunya
setelah
memperdalam ilmu agama. Ilmu hikmah tersebut merupakan amalan-amalan yang susun oleh waliyullah sebagai pelengkap dari ilmu agama dengan tujuan mampu mengalahkan musuh atau untuk mengobati. Musafir yang melarikan diri dari tanggung jawab sudah benar-benar jauh dari tutuan para ulama’. Karena pada hakikatnya tirakat ziarah mlaku ini untuk tirakat, atau riyâdhah an- nafs dengan menaiki tangga-tangga maqâmât. Sehingga diharapkan setelah menjalankan tirakat ini seseorang tersebut menjadi insan kamil atau setidak-tidaknya mempunyai akhlaq al -Karimah. b. Pengalaman Beragama Para Musafir 1. Pengalaman universal yang dialami musafir kebanyakan sama dengan yang dialami peziarah, yaitu mengalamai ketenangan ketika berada di makam para waliyullah, merasa do’anya lebih cepat terkabulkan, dan merasa hidupnya lebih barokah, merasa puas setelah ziarah. Namun yang tidak di dapatkan
oleh peziarah lainnya adalah ketenangan yang luar biasa. Sikap zuhud, wara’, faqir, sabar, dan tawakkal terwujudkan dengan menjadi musafir. Meski begitu, mereka hanya calon sufi yang belum masuk ke mâqam makrifat. 2. Pengalaman subyektif merupakan sebuah pengalaman yang dialami sebagian musafir. Dari penelitian ini hanya ditemukan satu orang yang mengalami pertemuan dengan roh waliyullah, dan satu orang yang sering diberi isyaroh atau symbol setelah berziarah kemakam wali.
B.
Saran-saran
Keberadaan makam waliyullah tidak hanya sebagai tempat untuk menyimpan jasat seseorang, namun di situ terdapat seorang yang dianggap dekat dengan Allah SWT dan di cintai Allah SWT. Perjalanan seorang musafir ke makam-makam waliyullah tidak hanya dalam rangka ingin dekat dengan waliyullah, tetapi kepada Allah SWT. Beberapa saran yang penulis kemukakan disini adalah sebagai berikut: 1. Kepada musafir, hendaknya perjalanan yang panjang jangan disia-siakan, sehingga yang di dapat hanya capek. Dan jangan sampai terjadi ada musafir yang memalukan musafir-musafir yang lain dengan melakukan perbuatan yang tercela, atau mengemis pada warga. 2. Kepada pengelola makam-makam waliyullah. Musafir yang datang ke makam-makam wali itu juga tamunya wali itu. Maka hormatilah dan dibina dengan baik. 3. Kepada masyarakat. Hendaknya bisa mengerti keadaan musafir. Tidak semua musafir mempunyai maksud buruk. 4. Kepada dosen Fakultas Ushuluddin. Penelitian lapangan bukanlah hal yang mudah. Hendaknya metode untuk mendalami pengalaman beragama bisa diajarkan di semua jurusan.
5. Mahasiswa Tasawuf dan Psikoterapi. Penelitian mengenai pengalaman sufistik seperti ini masih banyak. Oleh kerana itu penelitian semacam ini perlu ditingkatkan, tidak hanya sebagai sebuah syarat kelulusan. Namun karena kebutuhan masyarakat modern pada pendekatan tasawuf yang terkadang belum bisa diungkap secara ilmiah. 6. Peneliti selanjutnya. Dalam penelitian ini mungkin masih banyak yang belum terungkap. Oleh karena itu, peneliti selanjutnya yang berminat menelusuri kehidupan musafir bisa lebih melegakapi. Dan disadari bahwa keberadaan musafir di zaman modern seperti ini mempunyai tujuan yang berbeda -beda.
Daftar Pustaka Buku dan Kitab Az -Zuhaili, Wahbah, al Fiqh al Islam wa adilatuhu, Bairut: Dar Al fikr, 2008 Al-Badayuni , Syah Fadl Rasul al Qadiri, Saiful Jabbar;al masul ala a’dai al abrar, dalam fitnah al wahabi, Istambul: Hakikat Kitabefi, 2004 Al-Kumayi , Sulaiman,, Islam Bubuhan Kumai; Perpektif Varian Awam, Nahu dan Hakekat, Kementrian Agama RI, 2011 Al- Bani Muhammad Nasiruddin, Silsilah al Ahadits ad Dhaifah wa al Maudhuat wa Atsaruha as Sayi’ fi al Ummati, jilid I, Bairut: al Maktab al Islami, 1980 Al-Kabbani, Muhammad Hisyam, Syafa’at, Tawasul dan Tabaruk, Bandung: Serambi, 2010, Az-Zubaidi,
Muhammad bin Muhammad al Husaini, Ittihaf as Sadah al
Muttaqin; Syarah Ihya’ulumuddin,juz 6, Bairut:Dar al Fikr, tt Al- Kurdi , Muhammad Amin, Tanwir al Qulub fi Muamalati Ulum al Guyub, Bairut: Dar al Fikr,1995 Al- Hasani, Muhammad bin Alwi al Maliki, az Ziarah an Nabawiyah; Baina Syariyyah wa al Bidah, Birut: Kulliah Ad dakwah Al Islamiyah, 1420 ---------------, Mafahim Yajib Antusohhiha,cet 11, Makkah: Percetakan pengarang, 1425 ----------------, Syifa al Fuad bi ziarah Khoiri al Ibad, Makkah: Addaulah Al Imarot al Arabiyah al Muttahidah, 1991 ---------------- Qul Hadzihi Sabili,Jeddah: Dar Ats Tsaruq, 1987 -----------------, Syarofu Ummati Muahmmadiyah, tp, 1990
Asy -Syahawi, Majdi Muhammad, Karamah, Jakarta: Sahara Publishers, 2003 As- Shobuni, Muhammad Ali, Shofwah At Tafasir, juz 1, Kairo,:Dar at Turats Al Arabi, 1993 An-Nafzi, Muhammad bin Ibrahim al Ma’ruf Ibn Ibad, Syarh al Hikam, Surabaya:al Hidayah,tt Al- Habibi, Muhammad Asyiqurrahman al Qadiri, Saifullah al Ajillah Bimadadi Mujahadah al Millah, Istanbul: Hakikat Kitabevi, 2004 Al-Tirmidhi, Muhammad bin Isa bin Saurah bin Musa bin Dihak, Sunan alTirmidhi, Juz. IV Beirut: Dar al-Gharb al Islami, 1998 Al -Bagdadi, Kholid, al Iman wa al Islam, Istambul:Hakikat Kitabevi, 2004 Al- Jauziyyah, Ibn al Qayim, Madarij as Salikin, jilid II, Bairut: Dar al Fikr, 1992, Al-Asqalani, Ibnu Hajar, Fath al Bari, juz 3, Bairut: Ihya’ at Turats al Arabi, 1988 Al- Baijuri, Ibrahim, Hasyiah ala Jauhari at Tauhid, Semarang Al-Qusyairi, Abi Qasim Adil karim bin Hawaz, ar risalah al Qusyairiyah, juz 1, Bairut: Dar al Khoir, tt Al-Sulamy, Abu Abd al-Rahman Muhammad bin Husain, Tabaqat al-Sufiyyah, Kairo, Matba’ al Matba’ al Madani, 1987 Al-Hakim, Abu ‘Abdillah, al-Mustadrak ‘ala al-Sahihain, Juz I, Beirut: Dar alKutub al-‘Ilmiyyah, 2002 Ath- Thahawi, Ali Ahmad Abdul, Misteri Ruh, Mimpi, dan Orang-orang yang hidup setelah Mati (trj). Ru’ya al Hayat’ lil Amwat. Penterjemah: Masrohan Ahmad, Yogyakarta: PT Buku Kita, 2008
Al-Maky , Abi Bakar, ibn Sayyid Muhammad Syato, Kifayatul Atqiya’ wa Minhajul Ashfiya’,ta’liqot Al-Tabari , Abu Ja‘far Muhammad bin Jarir, Tafsir al Tabari al-Musamma Jami‘ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an, Beirut:Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2005 As- showi, Ahmad Bin Muhammad, Tafsir As Showi Khasiyah ala tafsir Al Jalalain, juz II, Surabaya: Al Hidayah, tt Al- Taftazami, Abu al Wafa al Ghanimi, madkhal ila al Tasawuf al Islam, terj. Ahmad Rafi Utsmani, Bqandung: Pustaka, 1985 Al-Dimyati, Abu Bakr Muhammad Shata, Sayyid, I‘anah alTalibin ‘ala Hall Alfaz Fath al-Mu‘in, juz 2, Beirut: Dar Ibnu ‘Ashomah, 2005 Al- Ishaqy, Achmad Asrori, Untaian Mutiara; dalam ikatan hati dan jalinan rohani, jilid 1, Surabaya: kantor Tariqoh al Qadiriyah wa Naqsabandiyah al Utsmaniyyah, cet
ke 2, 2010
---------------, Nuqthoh dalam Hakikat Makna Robithoh, Surabaya: Kantor Thoriqoh al Qadiriyyah wa Naqsabandiyah al Utsmaniyah, 2010 Al -Ghazali, Ihya’ulumuddin , Bairut: Dar al Fikr, tt ------------, Turuq as Shufiyah, dalam Majmu’ al Risalah al Ghazali, Bairut: Dar al Kutub al ‘Alamiyah, 2006 Al -Bukhori, Shohih al Bukhori bi Khasiyati al Imam as Sanadi, jilid 1, Bairut: Dar al Kutub al Alamiyah, 2003 Al -Jampesi , Ihsan Dahlan, Sirajut Talibin, juz I, Bairut: Dar al Fikr, juz 1, 1997 Al- Baijuri ,Ibrahim, Hasyiah ala Jauhari at Tauhid, Semarang: Toha Putra,tt Al -Asqalani,Ibnu Hajar, Fath al Bari, juz 3, Bairut: Ihya’ at Turats al Arabi, 1988
An -Nawawi ,Abi Zakariya Yahya bin Syarof ad Damsyiqi, Kitab al Idhoh fi manasik al Hajji wa Umrah, Makkah: al Maktabah al Imdadiyyah, 1995 ---------------, Riyadhah As Sholihin, Bairut: al Maktabah al ‘ilmiyah, tt An- Nabhani, Yusuf bin Ismail, Jami’ Karomahtul Auliya, jilid 1, Bairut: Dar al Fikr, 1993 Al- Ayani ,Ali bin Nafi’ , Al Tabarruk al Masyru’ wa al Tabarruk al mamnu’, Jakarta Timur: Pustaka al Kautsar, 1992
Ali,Mukti, Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia, Yogyakarta: IAIN Sunan kalijaga Perss, 1988 Ahmad ,Athoullah, Rahasia Kesaktian Para Jawara, Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2011 Aceh, Abu Bakar, Pengantar Ilmu Tarekat, Solo: Ramadhani, 1996 Abdullah, Amin, Studi Agama; Normativtas atau Historisitas, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004 Armstrong, Karen, Sejarah Tuhan, Bandung: Penerbit Mizan Barton, Greg, Biografi Gus Dur; The Autorized Biography of Abdurrahman Wahid, Yogyakarta: LKiS, 2002 Banawiratma, JB., SJ, Ilmu Perbandingan Agama atau lmu Agama-Agama?, dalam Ilmu Perbandingan Agama (Beberapa Permasalahan), ), jilid VII, Jakarta: INIS, 1990 Chodjim, Achmad, Mistik dan Makrifat Sunan Kalijaga, Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2003 Fazlurrahman, Islam, Bandung: Penerbit Pustaka, 1984
Goldziher, Ignaz, Pengantar Teologi Dan Hukum Islam, Jakarta: INS, 1991 Gunaryo ,Ahmad, Pesantren dan tasawuf, dalam Tasawuf dan Krisis, Pengantar; M Amin Syukur dan Abdul Muhayya, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001 Hidayat, Komaruddin, Insan Kamil sebagai Makhluk Multidimensi, dalam Manusia Modern Mendamba Allah,(ED) ahmad Najib Burhani, Jakarta: Mizan Media Utama, 2002, Hadisutiro, Budiono, Islam Kejawen, Yogyakarta: Eule Book, 2009 Hendarso, Emy Susanti, Penelitian Kualitatif: Sebuah Pengantar, dalam Metode Penelitian Sosial, Ed Bagong Suyanto dan Sutinah, cet II, Jakarta: Kencana Prenada Madia Group, 2007 Howel, Julia Day dan Bruinessen, Martin van, Sufime dan Modern dalam Islam, dalam Urban Sufism, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008 Hadziq,Abdullah, Rekonsiliasi Psikologi Sufistik dan Humanistik, ed. Muhammad Nor Ichwan, Semarang: RaSAIL, 2005 Ibnu Hambal, Ahmad, Musnad Ahmad Ibnu Hambal, Juz III, Bairut: Dar al Fikr, In’amuzzahidin, Dari Waliyullah menjadi Wali Gila; antara tasawuf dan psikologi, Semarang: Syifa Press, 2007 ---------------Mukasyafah Dalam Tasawuf: Studi Pemikiran Mukasyafah Ibn ‘Athaillah al Sakandari, Disertasi, Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, 2010 Ibad , M. N, Dzikir Agung para Wali Allah; sejarah Dzikrul Ghafilin dan fadhilah bacaan-bacaannya, Yogyakarta: Pustaka Pesantran, 2012
--------------, Outboun Kealam Ruhani; Menyibak ketersingkapan Spiritual , menurut ajaran Islam, Mistik Jawa, dan sains Barat, Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2011 ---------------, Suluk Jalan Terabas Gus Miek, Yogyakarta: Pustaka Pesantren, cet III, 2012 Ibn Taymiyah, Wali Allah; Kriteria & Sifat -Sifatnya, Jakarta: Lenera Basrima, 2000 Jamil , Abdul, Agama Yang Santun Dalam Perilaku Individu Dan Kehidupan Bersama, dalam Islam Dan Agama Santun, Semarang : fak. Ushuluddin IAIN Walisongo, 2011 --------------, Aktualisasi Tasawuf Untuk Masyarakat Konteporer, dalam Jurnal Teologia, Semarang: Fak. Ushuluddin IAIN Walisongo, 17 Februari 1993, Joung, F de, Hari-Hari Ziarah Kairo, dalam Studi Belanda Konteporer Tentang Islam, Dibawah redaksi Herman Leonard Beck dan Niko Keptein, Jakarta: INS, 1993 Jamaluddin, Psikologi Agama;edisi revisi, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001 James , William, Perjumpaan Dengan Tuhan, ter. The Varies of Religious Experience, ce I, Bandung: Mizan Pustaka, 2004 Kadir,Muslim A, Konfigurasi Iman Menuju “Tasawuf Modern”, dalam Tasawuf dan Krisis, Pengantar; M Amin Syukur, dan Abdul Muhayya, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001 King ,Ursla, Debat Metodelogis Psaca Perang Dunia II, dalam Metodelogi Studi Agama, Pengantar: Amin Abdullah, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000
Masyhuri, A. Aziz, Permasalahan Thariqah, Hasil Kesepakatan muktamar & Musyawarah Besar Jam’iyah Thariqah al Mu’tabarah Nahdlatul Ulama (1957-2005 M), Surabaya: Khatulistiwa, 2006 Maksum, Ali, KH, Hujjah Ahl AsSunnah, tp, tt Muhaya , Abdul, Peran tasawuf dalam Menggulangi Krisis Spiritual, dalam Tasawuf dan krisis, dalam Tasawuf dan Krisis, Pengantar; M Amin Syukur, dan Abdul Muhayya, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001 Muslim, Abu al- Husayni ibn al-Hajjaj al-Qusayri al-Naysaburi. Shahih Muslim. Juz: 1. Beirut: Dar Ihya’ al-Turath al-‘Arabi, tt Majid , Nurchalich, Falsafah Islam: Unsur-unsur Hellenisme di Dalamnya, dalam Islam;Doktrin dan Peradaban, cet I, Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1992, --------------, Masyarakat Religius, Jakarta: Paramadina, 2000 Mulder, Niels, Mistisme Jawa; Ideologi Di Indonesia, cet 3, Yogyakarta: LKiS, 2009 Mahfudz , Sahal, , Pesantran Membentuk Generasi Bertakwa, dalam Nuansa Fiqih Sosial, Yogyakarta: LKiS, 1994 Nasution, Harun, Tasawuf, dalam Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah, ED: Budhy Munawar-Rahman, Jekarta: Yayasan Paramadina, 1995 Nazir,Moh., Metode Penelitian Jakarta: PT. Ghalia Indonesia, 2003 Nicholson , Reynold A., Tasawuf; Menguak Cinta Illahiah, Jakarta: Rajawali Pers, 1979 Oetomo, Dede, Penelitian Kualitatif: Aliran & Tema, dalam Metode Penelitian Sosial, (Ed) Bagong Suyanto dan Sutinah (ed), Jakarta : kencana Prenada Media Group, 2005
Rahmat, Jalaluddin, Berbagai jalan menuju Tuhan, dalam Manusia Moren Mendamba Tuhan: Renungan tasawuf Positif, (ED) ahmad Najib Burhani, Jakarta: Mizan Media Utama, 2002 Syukur, Amin, Zuhud Di Abad Modern, Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2004 Syukur, Amin dan Masharuddin, Intlektualisme Tasawuf, Semarang: Lembkota, 2002 Shihab, Alwi, Akhlak Sebagai Sasaran Tasawuf, dalam Manusia Modern Mendamba Allah: Renungan Tasawuf Positif. (ED) ahmad Najib Burhani, Jakarta: Mizan Media Utama, 2002, Schimmel, Annemarie, Dimensi Mistik Dalam Islam, Pustaka Firdaus Syariati, Ali, Membangun Masa depan Islam, trj. Rahmani Astuti, Bandung, Mizan, 1989 Siregar, A. Rivary, Tasawuf : dari Sufisme Klasik ke Neo Sufisme, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002 Suyanto, Bagobg & karnaji, Penyusunan Instrumen Penelitian, dalam Metode Penelitian Sosial, Bagong & Sutinah (ed), Jakarta : kencana Prenada Media Group, 2005 Singgih, Doddy S., Penggunaan Metode Kualitatif untuk Mengidentifikasi Tipe Komunitas, dalam Metode Penelitian Sosial, Bagong & Sutinah (ed), ), Jakarta : kencana Prenada Media Group, 2005 Shihab, M. Quraish , Tafsir Al Misbah, Ciputat: Lentera Hati, 2001 Sa’id, M. Ridwan Qoyyum, Fiqih klenik; Fatwa-fatwa Ulama Menyorot Tarekat dan Mistik, Lirboyo: M, itra Gayatri, 2004, Syarodin, Metode Pemahaman Hadits Ibn Taimiyah, Skripsi S 1, Fak Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang, 1999
Simuh, Persoalan Tasawuf, Makalah, Yogyakarta, 1991 Siraj, Sa’id Agil, Tasawuf Sebagai Manifestasi Spiritual Islam Dalam Sejarah, dalam Manusia Modern Mendamba Allah: Renungan Tasawuf Postif Taufiq, Imam, maqamat dan ahwal, dalam Tasawuf dan krisis, dalam Tasawuf dan Krisis, Pengantar; Prof. Dr HM Amin Syukur, MA dan Dr Abdul Muhayya, MA, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001 Tamami, Psikologi Tasawuf, Bandung: CV Pustaka Setia, 2011 Wiyata,
A.Latief
, Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura,
Yogyakarta: LKiS, 2002 Wach, Joachim, Ilmu Perandingan Agama; Inti dan Bentuk Pengalaman Keagamaan, Disuting dan dihantar: Joseph M. Kitagawa, trj. Damanhuri, Jakarta: CV Rajawali, 1989 Woodward, MR, Islam Jawa: Kesalehan Normatif versus Kebatinan, Yogyakarta: LKiS, 2006 Zohar, Danah dan Marshall, Ian, SQ; Kecardasan Spiritual, Bandung: MIZAN Pustaka, 2007 Kamus dan Jurnal Al-Kumayi , Sulaiman, Kewalian Dalam Perspektif Islam Lokal; Studi kasus Kotawaringin barat, dalam jurnal teologia, semarang: fak. Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang, Volume 21 Nomor 1 Januari 2010, Rusli, Pendekatan Fenomenologi Dalam Studi Agama; konsep, Kritk, dan Aplikasi, dalam Teologia, volume 19, nomor 1, Januari 2008 Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa DEPDIKBUD, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, 1990
Hasan Sadili, Ensiklopedia Indonesia, Ikhtiar Baru, Jakarta, 1980 Internet: http://kangjem.blogspot.com/2012/05/cara-menembus-alam-gaib-versi-jawa.html, diambil 10 Mei 2012 Badruddin : Pandangan peziarah terhadap kewalian Kyai Abdul Hamid bin Abdullah bin Umar Basyaiban Pasuruan Jawa Timur: persepektif fenomenologis, Disertasi, Program Pascasarjana IAIN Sunan Ampel, 2011.
Di
download
dari
pasca.sunan-ampel.ac.id/wp-
content/ringkasan Badruddin.pdf. pada 10 Maret 2012 http://digilib.sunan-ampel.ac.id/gdl.php? mod=browse&op=login, 10 Maret 2012 Abdul Kholiq El-Qudsy, Fiqih Safar; Makna Dan Hikmah Yang Terkandung Dibalik Perjalanan, di download dari www.ppsarang.com Musyarrofah, Ibadah haji; Fenomena Eskatologi Pelaksanaan Haji dalam Masyarakat Madura, paramedia, Vol. 7, No. 4, Oktober 2006, di download
dari
ejournal.sunanampel.
ac.id/index.php/paramedina
/article/ view/172, pada 28 Maret 2012 Moh. Riwann Rifa’I, S. Pdi, resensi buku KH. M. Kholil Bangkalan Biografi Singkat 1835-1925, penulis:
Muhammad Rifa’i. di ambil dari
http://www.nu.or.id/page/id/dinamic_detil /12/34865/Buku/Syaikhona_
Kholil_Gurunya_Para_Kiai.html.
di
ambil 19 April 2012 http://pengamalwahidiyah.org/sejarah.htm, di ambil 25 Maret 2012 Iyan Afriani H.S, Metode Penelitian Kualitatif , www. Inparametic.com, di download 29 Desember 2010 http://nazhroul.wordpress.com/2011/02/14/pendekatan-fenomenologi studi-islam/ 18 feb 2012
-
dalam-
www.kamusslang.com/arti/tirakat, diambil 27 maret 2012 Error! Hyperlink reference not valid., diambil pada 27 Maret 2012 Sri Munawarah, Hubungan Madura dan Jawa, FIB UI, 2007, di download dari repository.upi.edu/ operator/upload/pro_2011_kimli_eddy_sugiri.pdf , 28 maret 2012 http://ilmuhikmahnur.blogspot.com/2012/06/pengertian-ilmu-hikmah.html, di ambil 28 Maret 2012
Dokumentasi Foto-Foto
Bersama Habib Muhammad al-Qadri
Makam Syaikh Syamsuddin Batuampar Musafir
Seseoran Sedang semedi di batu Kalijaga tempat duduk sunan Kalijaga
Berada di Makam Syaikhona Kholil
Tongkat dan Caping
Air barokah di dekat makam Sunan
Seseorang sedang melakukan gerakan Mirip penyembahan di makam sunan Kalijaga.
Makam Pangeran Wijil V. Musafir sering di sini
Nama-Nama Responden a. Makam Syaikhona Kholil NAMA
ASAL
KETERANGAN
Habib Muhammad al-Qadri
Surabaya
Tirakat
M. Mukarrom
Bangkalan
Tirakat
Nur Malik
Jepara
Tirakat
Badri
Pamekasan
Tirakat
Anom Pengalasan (julukan)
Musafir
Imam Bukhori
Jember
Musafir
Sa’id
Probolinggo
Musafir
Mbah Ompong (Mukhlis)
Cirebon
Musafir
Basrol
Padang
Musafir
Yoyok
Tasikmalaya
Musafir
Mak Lugu (Ucok)
Cirebon
Musafir
Sudi
Jember
Musafir
Mak Kuwu (Trisnomukti)
Cirebon
Musafir
Sunan Wungkul (julukan)
Bandung
Musafir
b.Sunan Kalijaga
Suyitno
Demak
Abdi Makam
Suprayitno
Demak
Sesepuh Jurukunci
Kholis
Pati
Peziarah
Khanafi
Bangkalan
Musafir
Mbah Brewok (julukan)
Bawen-Semarang
Musafir
Gondrog (Julukan)
Blitar
Musafir
Pak Sukabumi
Sukabumi
Musafir
Muhammad Ghazali
Bandung
Musafir
Ali
Cirebon
Musafir
Mansur
Sukabumi
Musafir
Linbat (julukan)
Musafir yang Puasa Mbisu
c. Makam Batuampar NAMA
ASAL
KETERANGAN
Ahmad Rosyidi
Demak
Musafir dan jurukunci
Kamaluddin
Tegal
Tirakat al Qur’an
Nasrullah
Lampung
Musafir
Ainul Yakin
Purworejo
Tirakat al Qur’an
M. Aufa
Purwokerto
Tirakat al Qur’an
Imam Syafi’i
Trenggalek
Tirakat al Qur’an
Parjan
Bojonegro
Musafir
Mukhlish
Bangkalan
Tirakat al Qur’an
Mbah Hendro
Bayuwangi
Musafir
Asyif
Batuampar
Ojek
Kang Imam
Kediri
Musafir
Brewok Jowo
Kediri
Musafir
d. Tambahan Yang Bukan Di Onjek Penelitian Ahmad Taqwim
Purworejo
Dosen FU
Kholik
Kendal
Pernah jadi Musafir
Hamzah
Semarang
Etnis Madura
KH Masgudi
Purworejo
Ulama’
Bapak Yono
Surabaya
Tinggal di masjid Ampel
Mas Sepi
Pacitan
Musafir di Makam Ampel
Daftar Riwayat Hidup 1. Data Pribadi
Nama
: Muahammad Mahbub Maulana
Tempat/tanggal Lahir : Purworejo, 24 November 1986 Agama
: Islam
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Alamat
: Butuh, Rt 01 Rw 06, Kec Butuh, Kab. Purworejo
2. Pendidikan Formal SD ABEAN, Butuh, Purworejo
Lulus 1999
MTS Mathali’ul Falah, Kajen, Pati
Lulus 2004
MA Al Falah, Ploso, Kediri
Lulus 2007
3. Pendidikan Non Formal Pesantren Maslakul Huda, Kajen, Pati Pesantren Al Falah, Ploso, Kediri
4. Pengalaman Organisasi a. Pengurus PMII Rayon Ushuluddin
Th, 2009-2010
b. Ketua HMJ Tasawuf dan Psikoterapi
Th. 2011
c. Pengurus Nasional Ikatan Lembaga Mahasiswa Psikologi Indonesia ( ILMPI) Th. 2011