MADRASAH DAN POLITIK SEKTARIAN Drs. H. Moh. As’ad Thoha, M.Ag. Dosen mata kuliah politik pendidikan, ketua STAI Qomaruddin Gresik
Abstrak Institusi pendidikan Islam selalu mengalami perkembangan selaras dengan kebutuhan dan perubahan masyarakat Muslim. Perkembangan dan kebutuhan masyarakat itu ditandai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan kebutuhan untuk mendakwahkan agama Islam. Abad ke-5 Hijriyah, pada saat berdirinya madrasah, perkembangan keilmuan masyarakat Muslim dapat dikatakan telah mencapai tahap sempurna, karena hampir seluruh ilmu baik alulum an-naqliyah maupun al-ulum al-aqliyah telah disusun dan disistematisasikan. Kondisi demikian seharusnya terrefleksikan ke dalam usaha pendidikan umat. Akan tetapi karena kepentingan politik pemerintah yang menjadikan pendidikan sebagai sarana untuk mencapai tujuan-tujuannya, maka materi pelajaran di madrasah sangat sarat dengan muatan politik atau tujuantujuan sektarian. Ideologisasi materi pelajaran di madrasah juga berimbas pada metode pembelajaran yang cenderung tertutup dan bersifat indoktrinasi, sehingga tidak memberikan ruang untuk pengembangan cara berfikir kritis dan bebas. Dalam kondisi yang demikian madrasah ketika itu berfungsi sebagai pusat transformasi ilmu keislaman paling dasar, pemeliharaan tradisi dan usaha untuk memproduksi ulama mazhab tertentu. Kondisi ini dalam realitas sejarah pendidikan Islam dapat dilihat dari beberapa madrasah yang didirikan oleh pemerintah yang beraliran Sunni (Bani Saljuk dan Bani Ayyubiyah) dan pemerintah penganut mazhab Syi’ah (Daulah Fathimiyah dan Buwaihiyah). Pendahuluan Madrasah merupakan institusi pendidikan Islam yang baru dikenal pada abad ke 5 Hijriyah (abad ke-11 M). Madrasah didirikan sebagai bangunan wakaf yang berada pada kontrol pendirinya yang diteruskan secara turun temurun. Hal ini berbeda dengan bangunan wakaf masjid yang bebas dari kontrol pendirinya (wakaf tahrir). Sebagai institusi pendidikan, madrasah merupakan bentuk baru yang berbeda dengan lembaga-lembaga pendidikan sebelumnya dan disepakati sebagai perkembangan dari masjid. Namun para pakar pendidikan Islam berbeda pendapat seputar proses transformasi dari masjid ke madrasah. Menurut Ahmad Syalabi (1978), transformasi lembaga pendidikan dari masjid ke madrasah terjadi secara langsung dan tanpa perantara. Menurutnya, ada
tiga kondisi yang mempengaruhi terjadinya transformasi tersebut, yaitu ; (a). kegiatan pendidikan di masjid telah mengganggu fungsi utama lembaga itu sebagai tempat shalat. Semakin besar minat belajar umat Islam, membuat masjid semakin penuh dengan halaqah-halaqah ilmiah. Dari setiap grup halaqah, terdengar suara dari seorang guru yang memberikan pelajarannya atau suara perdebatan dalam proses belajar mengajar. Sedikit banyak hal itu menimbulkan gemuruh yang mengganggu pelaksanaan shalat. Kondisi ini menyebabkan masjid sulit dijadikan sebagai tempat ibadah dan tempat belajar sekaligus, (b). Berkembangnya kebutuhan ilmiah, terutama al-ulum al-aqliyyah sebagai akibat dari perkembangan ilmu pengetahuan. Sementara kegiatan pendidikan di masjid pada umumnya lebih banyak diprioritaskan pada al-ulum an-naqliyah, dan (c). timbulnya orientasi baru dalam penyelenggaraan pendidikan. Sebagian guru mulai berfikir untuk mendapatkan penghasilan yang layak melalui kegiatan pendidikan. Untuk menjamin hal tersebut, dibangunlah madrasah karena jaminan seperti itu tidak mungkin diperoleh di masjid. Berbeda dengan Ahmad Syalabi, George Maqdisi sebagaimana di kutip Maksum (1999) mengajukan tesis bahwa transformasi lembaga pendidikan dari masjid ke madrasah terjadi secara tidak langsung, tetapi melalui tahapan perantara yaitu "masjid khan" (masjid yang dilengkapi dengan bangunan asrama atau pemondokan). Menurut dia, asal muasal pertumbuhan madrasah merupakan hasil tiga tahap; tahap masjid, tahap masjid khan, dan tahap madrasah. Tahap masjid berlangsung pada abad ke-8 dan 9 M, tahap masjid khan mencapai perkembangan pada abad ke-10 dan baru kemudian pada abad ke-11 Masehi (ke-5 Hijriyah) muncul madrasah yang khusus diperuntukkan sebagai lembaga pendidikan. Terlepas dari perbedaan-perbedaan pendapat tersebut, kebangkitan madrasah merupakan era baru dalam dinamika pendidikan Islam. Era baru ini ditandai dengan adanya ketentuan-ketentuan formal yang jelas berkaitan dengan komponen-komponen pendidikan. Ketentuan inilah yang membedakan antara madrasah dengan lembaga-lembaga pendidikan sebelumnya, terutama dalam aspek pengelolaan. Pada lembaga-lembaga pendidikan sebelumnya seseorang dapat bebas dan tidak terikat dalam memilih guru atau halaqah sehingga guru dan
murid dengan leluasa melaksanakan proses belajar-mengajar. Adapun madrasah sudah memiliki administrasi pendidikan yang teratur sehingga pelaksanaan pendidikan mengikuti aturan yang telah ditentukan oleh pengelola madrasah. Di madrasah juga sudah dibedakan tingkatan dan tugas pengajar antara mudarris (guru), mu'id (asisten) dan wu'adz (tutor). Di samping itu, madrasah sudah mengenal nadzir atau wali yang mempunyai tanggung jawab terhadap aktivitas pendidikan di madrasah yang dipilih dari orang-orang yang ahli di bidangnya. Selain itu, harus pula dipahami bahwa madrasah merupakan organisasi yang memadukan antara lingkungan tempat belajar dengan peserta didik dalam satu komunitas intelektual. Kondisi ini sangat mendukung asimilasi peserta didik ke dalam kehidupan akademis dan dunia intelektual sehingga terjadi proses transmisi ilmu, sekaligus menjadikan madrasah sebagai institusi pendidikan yang memiliki fungsi
signifikan
bagi
transmisi
ilmu
pengetahuan
dalam
Islam
dan
penyebarannya dalam sebuah sistem akademik.
Tradisi Keilmuan Pertumbuhan dan perkembangan pendidikan Islam sangat dipengaruhi oleh dua arus pergumulan yang saling berkelindan dan saling mengambil keuntungan, yaitu politik dan pemikiran dalam Islam. Dominasi politik telah menentukan bentuk pendidikan dan corak ilmu yang diajarkan dan dikembangkan. Demikian juga perkembangan pemikiran dalam Islam baik di bidang kalam, fikih, filsafat maupun tasawuf. Dalam hal ini, pendidikan dijadikan sebagai sarana pergumulan itu. Berdasarkan arus pergumulan ini para pakar pendidikan Islam berbeda-beda dalam mengklasifikasi pola-pola pendidikan Islam. Majid Irsan al-Kailani (1985) membaginya menjadi empat sesuai perkembangan aliran pemikiran dalam Islam, yaitu ; Madrasah al-Fuqaha' wal Muhadditsin, Madrasah al-Shufiyah, Madrasah al-Falasifah wa al-Ulum al-Thabi'iyah, dan Madrasah al-Ushuliyyin wal ilm alKalam.
Dari
klasifikasi
pola
pendidikan
tersebut,
diketahui
terdapat
keanekaragaman jenis madrasah sebagai lembaga pendidikan yang dibangun oleh masing-masing aliran pemikiran dengan karakternya sendiri-sendiri. Namun ada
semacam kesepakatan bahwa madrasah lebih banyak diabdikan kepada al-ulum an-naqliyyah. Maksudnya, madrasah dianggap sebagai lembaga pendidikan yang khusus mentransmisikan ilmu-ilmu agama, terutama pada bidang fikih, tafsir dan hadis. Itulah sebabnya George Makdisi menyebutnya sebagai "college of law". Menurut Azyumardi Azra (1999) ada tiga alasan mengapa madrasah lebih menfokuskan pada pembelajaran al-Ulum an-Naqliyyah, yaitu; Pertama, ini berkaitan dengan pandangan tentang ketinggian ilmu-ilmu keagamaan yang dianggap mempunyai supremasi lebih dan merupakan jalan cepat menuju Tuhan. Kedua, secara institusional madrasah memang dikuasai oleh mereka yang ahli dalam bidang agama. Ketiga, berkenaan dengan kenyataan bahwa hampir seluruh madrasah didirikan dan dipertahankan dengan dana wakaf dari penguasa politik atau dermawan kaya karena didorong oleh adanya motivasi kesalehan. Dengan sturktur kurikulum yang terfokus pada bidang keagamaan, ilmuilmu profan (non-agama) sejak awal perkembangan madrasah sudah berada dalam posisi marjinal. Kondisi ini terutama berlangsung pada madrasah-madrasah Sunni yang mengharamkan beberapa bidang ilmu pengetahuan seperti; filsafat, ilmu pasti, ilmu kealaman, kimia, fisika dan lainnya. Sedangkan pada beberapa madrasah di Persia, ilmu-ilmu tersebut tetap diajarkan. Terlepas dari semua itu, agaknya supremasi dan dominasi ilmu-ilmu agama (al-ulum an-naqliyyah) dalam batas tertentu mengandung implikasi positif. Karena dengan demikian madrasah telah menjadikan transmisi syariah (fikih) dari generasi awal Muslim kepada generasi berikutnya menjadi terjamin. Di samping itu, secara sosial keagamaan dan ekonomi madrasah justru dapat diterima luas di kalangan masyarakat karena empat hal, yaitu; Pertama, materi pokok yang diajarkannya adalah fikih. Materi ini dianggap memenuhi kebutuhan masyarakat dan dapat diberikan pada anggota masyarakat dalam segala tingkatan umur. Kedua, ajaran yang diberikan dalam madrasah adalah ajaran Sunni yang dianut oleh kebanyakan umat Islam. Ketiga, para pengajar di madrasah terdiri dari para ulama yang notabene merupakan panutan masyarakat, pembela kepentingan mereka dan memiliki kedudukan khusus dalam pemerintahan. Keempat, madrasah adalah lembaga pendidikan yang menjanjikan pekerjaan,
karena dengan menguasai ilmu fikih seseorang akan dibutuhkan di dalam masyarakat waktu itu, terutama dalam lapangan hukum dan pengadilan (Maksum, 1999). Melihat kenyataan di atas, jelas bahwa madrasah dalam pendidikan Islam mempunyai peranan yang penting, terutama dalam menentukan perkembangan ilmu pengetahuan Islam. Di antara madrasah juga ada yang secara khusus membuka spesialisasi disiplin ilmu tertentu, seperti madrasah fikih, madrasah tafsir, madrasah hadis, dan madrasah nahwu. Hal ini membawa perkembangan dan kemajuan bidang-bidang ilmu tersebut. Para lulusan yang dihasilkan madrasah turut pula mengembangkan ilmu-ilmu tersebut dalam kariernya di berbagai lembaga maupun kehidupan bermasyarakat.
Peranan Pemerintah Sebagai institusi pendidikan, madrasah lahir karena kondisi sosial politik yang berkembang pada masa itu. Pendidikan menjadi fungsi negara untuk kepentingan politik para penguasanya. Konflik antar-aliran keagamaan yang dianut oleh penguasa menjadikan madrasah dilembagakan untuk tujuan pendidikan sektarian dan indoktrinasi politik. Itulah sebabnya sehingga dapat dikatakan bahwa madrasah didirikan karena suatu pertimbangan politik untuk mempertahankan kekuasaan, melawan mazhab lain dan
melestarikan ajaran
mazhab yang diikuti masing-masing penguasa. Dari sisi ini dapat dikatakan bahwa madrasah memiliki fungsi ganda yaitu, sebagai pusat pembelajaran (learning center), sekaligus sebagai basis pengkaderan, baik secara politis, akidah maupun ibadah. Sejarah mencatat bahwa Dinasti Saljuk yang beraliran Sunni berobsesi mendirikan madrasah sebanyak mungkin untuk memperkuat paham yang dianutnya sekaligus melawan Dinasti Buwaihi dan Dinasti Fathimiyah yang beraliran Syi'ah. Pertimbangan ini dilakukan karena Dinasti Buwaihi yang menguasai kekhalifahan Abbasiyah sebelumnya menganut aliran Syi'ah dan berusaha menanamkan pengaruh aliran yang diikutinya di tengah-tengah masyarakat melalaui propaganda dan indoktrinasi secara sistematik, termasuk
melalui aktivitas kependidikan. Demikian juga yang dilakukan oleh Dinasti Fathimiyah yang menganut mazhab Syi’ah Ismailiyah dengan mendirikan madrasah Al-Azhar di Mesir. Dengan motivasi yang sama, ketika Dinasti Ayyubiyah berkuasa di Mesir juga mendirikan beberapa madrasah di Mesir dan sekitarnya untuk menyebarkan mazhab Sunni yang dianutnya. Sudah barang tentu kepentingan politik aliran ini tidak menafikan faktor-faktor internal dan eksternal lainnya yang melatar belakangi lahirnya madrasah, seperti motivasi agama dan motivasi ekonomi karena berkaitan dengan ketenagakerjaan. Intinya, motivasi politik dan doktrin keagamaan sangat dominan pada tujuan berdirinya madrasah yang dimotori oleh Dinasti Saljuk. Motivasi lain yang tidak kalah pentingnya adalah pengembangan kebudayaan Turki yang menggantikan pengaruh kebudayaan Arab dan Persi di wilayah kekhalifahan Abbasiyah. Keterlibatan pemerintah Bani Saljuk dengan berbagai kepentingannya dalam aktivitas pendidikan merupakan fenomena yang menarik, apalagi madrasah sebagai institusi pendidikan memang cukup fenomenal pada masa itu. Dikatakan demikian karena selain pemerintah, masyarakat juga berpartisipasi dalam membantu mendirikan madrasah, bahkan mereka berlomba menyediakan tanah dan infak untuk kepentingan siswa dan guru madrasah. Madrasah didirikan secara besar-besaran di seluruh wilayah kekuasaan Bani Saljuk, terutama di kota-kota yang menjadi titik pusat perkembangan peradaban Islam, seperti Bagdad, Naisapur, Balk, dan lain-lain.
Nizhamiyah versus Al-Azhar Dari beberapa uraian yang telah lalu diketahui bahwa madrasah sudah menjadi fenomena yang menonjol sejak abad ke-5 H/11-12 M, terutama ketika wazir Bani Saljuk Nizam al-Mulk mendirikan Madrasah Nizhamiyah di Bagdad. Walaupun bukan berarti ia adalah orang pertama yang mendirikan madrasah, namun ia berjasa dalam mempopulerkan pendidikan madrasah bersamaan dengan reputasinya sebagai wazir. Di samping itu madrasah ini dianggap sebagai prototype pembangunan lembaga pendidikan tinggi sesudahnya (Charles Michael Stanton, 1994).
Ada beberapa motif didirikannya Madrasah Nizhamiyah oleh Nizham alMuluk, di antaranya adalah; 1. Pendidikan; Sebagaimana diketahui dalam sejarah bahwa Nizham alMuluk
adalah
seorang
penguasa
yang
sangat
peduli
dengan
pengembangan ilmu pengetahuan. Ia menyadari bahwa aktivitas pendidikan di masjid kurang efektif karena masjid bukan merupakan tempat khusus pendidikan, tetapi tempat serba guna yang multi-fungsi. 2.
Konflik antar-kelompok keagamaan; Karier politik Nizham al-Mulk secara langsung berkaitan dengan kondisi politik pada masa itu yang ditandai dengan konflik antar-kelompok keagamaan dalam Islam, terutama antara kelompok Sunni dan Syi’ah. Ketika kekhalifahan Abbasiyah melemah, kekuasaan atas sebagian besar wilayah khalifah Abbasiyah dipegang oleh Dinasti Buwaihi yang menganut aliran Syi’ah Ismailiyah. Sementara itu di Mesir berdiri Daulah Fathimiyah yang juga beraliran Syi’ah. Keduanya sangat berambisi untuk menanamkan aliran Syi’ah di tengah-tengah masyarakat baik melalui propaganda maupun aktivitas pendidikan. Karena itu,
ketika Bani
Saljuk berhasil
mengalahkan Bani Buwaihi mereka berkeinginan untuk menghidupkan kembali ajaran Sunni. Untuk kepentingan tersebut, didirikanlah madrasah-madrasah sebagai alat propaganda dan indoktrinasi ideologi di seluruh wilayah kekuasaan mereka. Tokoh yang paling berjasa dalam pendirian madrasah adalah perdana Menteri Nizham al-Mulk. Untuk pertama kalinya ia mendirikan madrasah di Nisyapur untuk Syekh alJuwaini. Kemudian ia mendirikan madrasah Nizhamiyah di Bagdad. Di madrasah inilah Syaikh Abu Ishaq al-Syirazi memberi kuliah. Ia adalah pengarang kitab al-Tanbih, kitab fikih bermazhab Syafi’i. 3. Politik ; Sebagaimana kita ketahui bahwa persoalan politik di kalangan umat Islam sangat berpengaruh terhadap perkembangan pemikiran Islam, terutama di bidang teologi yang melahirkan beberapa aliran, seperti; Khawarij, Syi’ah, Jabbariyah, Qadariyah, Muktazilah dan Ahlus Sunnah. Faktor politik juga mempunyai pengaruh yang sangat signifikan
terhadap perkembangan pendidikan dan ilmu pengetahuan dalam Islam. Berkaitan dengan hal tersebut, diketahui bahwa Madrasah Nizhamiyah yang didirikan oleh perdana Menteri Nizham al-Mulk juga tidak terlepas dari faktor politik. Hal ini dapat dilihat dari tujuan berdirinya madrasah itu sendiri. Menurut Maksum (1999), setidaknya ada tiga tujuan utama didirikan Madrasah Nizhamiyah, yaitu; (a). Menyebarkan pemikiran Sunni untuk menghadapi tantangan pemikiran Syi’ah, (b). Menyediakan guru-guru Sunni yang cakap untuk mengajarkan mazhab Sunni dan penyebarannya ke tempat-tempat lain, (c). Membentuk kelompok pekerja Sunni untuk berpartisipasi dalam menjalankan pemerintahan, memimpin kantornya, terutama di bidang peradilan dan manajemen. Dari aspek muatan kurikulum, agaknya Madrasah Nizhamiyah lebih memusatkan pada kajian ilmu-ilmu agama, terutama bidang ilmu fikih. Dengan demikian, Madrasah Nizhamiyah mempunyai peran sangat signifikan, sekaligus berfungsi sebagai pusat pengajaran fikih, terutama mazhab Syafi’i. Studi fikih diuraikan oleh seorang Syaikh dalam satu silabus yang disebut dengan ta’liqah. Ta’liqah berisi rincian materi pelajaran yang disusun berdasarkan catatan sewaktu menjadi mahasiswa, bacaan dan kesimpulan pribadi tentang topik yang terkait. Dari aspek tenaga kependidikan, Perdana Menteri Nizham al-Mulk mempunyai peran penting dalam menetapkan jabatan dan personalia di Madrasah Nizhamiyah. Jabatan kependidikan ketika itu dibedakan menjadi; mudarris (staf pengajar yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan pembelajaran), wa’idh (yang bertugas memberi ceramah umum di madrasah), mutawalli al-kutub (petugas perpustakaan), muqri’ (guru al-Qur’an) dan nahwi (guru gramatika bahasa Arab). Dalam menentukan personalia, terutama untuk jabatan mudarris, wa’idh dan mutawalli al-kutub, Nizham al-Muluk menggariskan bahwa mereka harus berasal dari penganut mazhab Syafi’i, karena merekalah yang memiliki otoritas penuh dalam menetapkan arah dan kebijakan Madrasah Nizhamiyah. Dalam konteks ini, Charles Michael Stanton (1994), menuturkan bahwa; a.
Nizhamiyah merupakan wakaf yang disediakan untuk kepentingan penganut mazhab Syafi’i dalam fikih dan ushul fikih
b.
Harta benda yang diwakafkan kepada Nizhamiyah adalah untuk kepentingan penganut mazhab Syafi’i dalam fikih dan ushul fikih
c.
Pejabat-pejabat utama Nizhamiyah harus bermazhab Syafi’i dalam fikih dan ushul fikih, termasuk mudarris, wa’idz dan pustakawan
d.
Setiap staf menerima bagian tertentu dari penghasilan yang diperoleh dari harta wakaf Nizhamiyah.
Uraian di atas menunjukkan adanya patronase penguasa yang sangat dominan terhadap perkembangan dan keberlangsungan Madrasah Nizhamiyah. Dukungan penuh dari Nizham al-Mulk baik moril maupun materiil melapangkan jalan dan mempercepat laju perkembangan madrasah ini ke berbagai wilayah, dan yang lebih penting lagi adalah intensitas madrasah ini dalam mengembangkan dan melestarikan ajaran mazhab Syafi’i dan teologi Asy’ariyah. Politik aliran juga menjadi motif utama berdirinya Madrasah Al-Azhar oleh Dinasti Fathimiyah di Kairo, Mesir. Nama Al-Azhar dinisbatkan kepada gelar Fathimah az-Zahra, puteri Rasulullah saw. dan istri Ali bin Abi Thalib. Madrasah yang merupakan pengembangan fungsi masjid Al-Azhar ini didirikan sebagai wahana penyebaran ajaran Syi’ah Ismailiyah sekaligus diproyeksikan sebagai lambang kebesaran Dinasti Fathimiyah dalam rangka menyaingi popularitas Abbasiyah di Bagdad yang telah banyak mendirikan lembaga pendidikan (Armai Arief, 2004). Sebagai gerakan politik dan keagamaan, Fathimiyah menaruh perhatian khusus untuk menyebarkan ajaran Syi’ah Ismailiyah melalui para kader muballig. Untuk kepentingan tersebut, pada masa pemerintahan al-Aziz Billah masjid AlAzhar ditingkatkan perannya bukan saja sebagai masjid, tetapi juga sebagai lembaga pendidikan yang terorganisasi di bawah kontrol khalifah. Selain itu AlAzhar juga digunakan sebagai tempat pertemuan negarawan Fathimiyah dalam membicarakan
masalah-masalah keagamaan.
Dengan demikian Al-Azhar
merupakan lembaga yang multi-fungsi, sebagai pusat kegiatan keagamaan sekaligus menjadi lembaga pendidikan (madrasah tinggi). Ekslusifisme Al-Azhar sebagai lembaga pendidikan yang mengajarkan doktrin-doktrin Syi’ah Ismailiyah nampak jelas dari larangan mempelajari mazhab
selain mazhab Syi’ah. Sedemikian ketatnya, sampai ada mahasiswa yang dikenai sanksi dan dipenjara ketika diketahui bahwa yang bersangkutan menyimpan kitab koleksi hadis, al-Muwattha’ karya monumental Imam Malik. Untuk memperkuat pengaruh mazhab Syi’ah, atas izin Khalifah al-Aziz Billah telah dibuka forum diskusi ilmiah yang menghadirkan para fukaha. Forum diskusi ini dipimpin langsung oleh Ya’kub bin Kallis, seorang menteri pada masa al-Aziz Billah, juga seorang ulama yang mempunyai pengaruh cukup besar dalam membangkitkan pemikiran keagamaan di Mesir. Ia juga memiliki prestasi dalam studi fikih Syi’ah Ismailiyah dan seorang ulama produktif yang telah menyusun beberapa kitab, seperti Kitab fi al-Fiqih (kitab dalam ilmu fikih). Sikap responsif khalifah al-Aziz Billah terhadap penyelenggaraan pendidikan di Al-Azhar menempatkannya sebagai guru besar pertama, sekaligus menandai peran Al-Azhar sebagai madrasah tinggi (ma’had jami’) pertama di dunia Islam yang memiliki peran strategis sebagai pusat pengembangan intelektual dan perkembangan ilmu pengetahuan. Perubahan orientasi Al-Azhar terjadi ketika kekuasaan beralih dari Dinasti Fathimiyah ke Dinasti Ayyubi. Setelah berhasil mengambil-alih kekuasaan di Mesir dari Dinasti Fathimiyah pada tahun 567 H/1171 M, Shalahuddin al-Ayyubi menetapkan kebijakan baru dengan mengembangkan paham Sunni yang sejatinya merupakan paham yang diikuti oleh mayoritas masyarakat Mesir. Untuk kepentingan tersebut, ia membekukan semua aktivitas Al-Azhar, baik dari kegiatan keagamaan maupun kegiatan pendidikan. Sebagai gantinya, ia mendirikan madrasah-madrasah yang dijadikan sebagai pusat pembelajaran dan pengembangan mazhab Syafi’i dan teologi Asy’ariyah. Tindakan serupa dilakukan oleh para penggantinya dengan mendirikan beberapa madrasah di Mesir. Dinamika perkembangan Al-Azhar sebagai madrasah tinggi mulai nampak kembali setelah Dinasti Mamalik berhasil mengambil alih kekuasaan di Mesir dari Dinasti al-Ayyubi. Atas inisiatif Sultan al-Zahir Baybars, Al-Azhar dibuka kembali untuk aktivitas pendidikan maupun kegiatan keagamaan dan keilmuan. Sejak itu kegiatan belajar-mengajar dan diskusi-diskusi ilmiah tentang tafsir alQur’an, hadis dan fikih berlangsung secara efektif. Banyak ulama dan ilmuwan Muslim dari berbagai penjuru dunia Islam yang datang ke Al-Azhar, sehingga
posisi Al-Azhar menjadi penting, semakin popular dan ramai dengan kegiatan ilmiah. Hanya saja kurikulum di Al-Azhar masih terkonsentrasi pada al-ulum aldiniyah, terutama mazhab Sunni yang menjadi mazhab resmi Negara.
Kesimpulan Tercatat dalam sejarah bahwa segera setelah Rasulullah saw. wafat, persoalan pertama yang timbul dalam Islam adalah persoalan politik. Dari persoalan politik itu kemudian berkembangan menjadi persoalan teologi. Ini berarti bahwa yang mendorong perkembangan pemikiran dalam Islam adalah masalah politik. Latar belakang sejarah yang demikian itu ternyata sangat mempengaruhi perkembangan pendidikan dan ilmu pengetahuan dalam Islam. Dengan kata lain, dominasi kepentingan politik telah menentukan bentuk pendidikan dan corak ilmu pengetahuan yang dikembangkan dan diajarkan di dalamnya. Dalam sejarah Islam, madrasah sebagai lembaga pendidikan sudah menjadi fenomena yang menonjol sejak awal abad ke-5 Hijriyah/11 Masehi. Kebanyakan penulis bersepakat bahwa madrasah sebagai lembaga pendidikan merupakan salah satu bentuk khas dari tradisi pendidikan dalam Islam terutama di kalangan kaum Sunni. Dalam rentang perjalanan sejarahnya yang panjang, madrasah dipandang sebagai lembaga pendidikan Islam par-exellence dan menjadi tren di hampir semua wilayah kekuasaan Islam. Di samping itu, para pakar pendidikan Islam juga membuktikan bahwa madrasah pada masa Islam klasik merupakan manifestasi dari gerakan keagamaan yang saling berhadapan antara golongan Syi’ah dan Sunni. Golongan Syi’ah dipelopori oleh dua dinasti besar, yaitu Dinasti Fathimiyah yang menguasai Mesir dan Afrika Utara dan Dinasti Buwaihiyah yang menguasai Irak dan Iran. Kebangkitan Syi’ah bukan semata mewujud dalam gerakan politik, tetapi juga merupakan gerakan ilmu pengetahuan melalui aktivitas pendidikan dengan mendirikan beberapa madrasah yang bertujuan mengajarkan dan mentransmisikan pemikiran keagamaan Syi’ah serta mencetak kader-kader mubalig yang andal. Sementara golongan Sunni diwakili oleh dua dinasti besar, yaitu Bani Saljuk dan
Bani Ayyubiyah. Para penguasa Bani Saljuk dan Bani al-Ayyubi berupaya membendung gerakan Syi’ah dengan mendirikan beberapa madrasah. Dinasti Bani Saljuk yang terkenal memiliki komitmen berpegang teguh pada teologi Asy’ariyah dan mazhab Syafi’i mendirikan beberapa madrasah, seperti madrasah Nizhamiyah di Baghdad dan di kota-kota lain seperti Basrah, Mosul (Irak), Isfahan, Naisyapur, Merv, Balkh dan Herart (Iran), sementara Dinasti al-Ayyubi mendirikan beberapa madrasah di Mesir, Baitul Maqdis, dan Damaskus. Madrasah-madrasah ini selain berfungsi sebagai pusat transmisi ilmu, juga pusat reproduksi ulama Sunni, dan bahkan menjadi pusat bagi kebangkitan doktrin Sunni. Sudah
barang
tentu,
sejalan
dengan
perkembangan
zaman
dan
perkembangan masyarakat, eksistensi madrasah di dunia Islam tidak lepas dari penyesuaian-penyesuaian baik dari sudut kelembagaan, metodologi, maupun kurikulum dan pengelolaannya.
Bahan Bacaan Ahmad
Syalabi,
At-tarbiyah
al-Islamiyah,
Nidhamuha,
Falsafatuha
wa
Tarikhuha, Maktabah an-Nahdlah al-Mishriyah, 1978. Armai Arief, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga Pendidikan Islam Klasik, Angkasa, Bandung, 2004. Azyumardi Azra, Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, Logos, Jakarta, 1999. Charles Michael Stanton, Pendidikan Tinggi dalam Islam, terjamahan H. Afandi dan Hasan Asari, Logos, Jakarta, 1994. Majid Irsan Kailani, Tathawuru Mafhum an-Nadhariyyah at-Tarbawiyah alIslamiyah, Maktabah Dart Turas, Madinah, 1985. Maksum, Madrasah, Sejarah dan Perkembangannya, Logos, Jakarta, 1999. Suwito, dkk., Sejarah Sosial Pendidikan Islam, Prenada Media, Jakarta, 2005.