PENDEKATAN NON-PENAL DALAM UPAYA MENCEGAH TERJADINYA TINDAK PIDANA ANTARA KEPALA DESA DAN BPD Oleh: M. Arief Amrullah
1
A. PENDAHULUAN Kita tidak dapat membayangkan bagaimana jika dalam suatu negara tidak ada hukum, atau lebih dikerucutkan lagi kita tidak dapat membayangkan bagaimana jika dalam suatu pemerintahan desa tidak ada aturan yang mengatur hubungan, tugas, fungsi, wewenang, hak dan kewajiban. Ungkapan di atas relevan bila dikaitkan dengan isu seputar pertentangan yang tidak sehat antara Badan Perwakilan Desa (BPD) dengan Kepala Desa. Bahkan menjurus kepada permusuhan. Memang dengan telah diundangkannya Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun 1999 No. 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839) terdapat sejumlah ketentuan baru di antaranya lembaga BPD yang sebelumnya berdasarkan Undang-undang No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa (Lembaran Negara Tahun 1979 Nomor 56, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3153) didak diatur. Kendati tujuan diadakannya lembaga BPD itu adalah dalam upaya untuk mewujudkan pemerintahan yang demokratis di tingkat desa, hal ini telah ditegaskan dalam Pasal 104 Undang-undang No. 22 Tahun 1999 bahwa BPD membuat Peraturan Desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat, 1
Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Jember
1
serta melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan Pemerintahan Desa. Ini merupakan implementasi dari legal spirit yang tercantum dalam Konsideran Undang-undang No. 22 Tahun 1999, di mana dalam penyelenggaraan Otonomi Daerah dipandang perlu untuk lebih menekankan pada prinsip-prinsip demokrasi, peranserta masyarakat, pemerataan dan keadilan, serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah. Akan tetapi, yang perlu dicermati bahwa betapapun baiknya suatu ide belum tentu diterima begitu saja, atau dengan dikeluarkannya undang-undang semuanya oke, melainkan harus diuji dalam praktek. Mengenai hal ini, Eugen Ehrlich pernah mengingatkan bahwa hukum positif hanya akan efektif apabila selaras dengan hukum yang hidup dalam masyarakat. Menurut Ehrlich, pusat perkembangan hukum bukan terletak pada badan-badan legislatif melainkan justru terletak di dalam masyarakat itu sendiri. 2 Hal itu terbukti, di mana seperti yang pernah disampaikan oleh kelompok POSPAD kepada Lembaga Pengabdian pada Masyarakat (LPM) Universitas Jember yang mengeluhkan adanya sikap “permusuhan” dari anggota BPD. Permusuhan itu tidak hanya sekedar “perang mulut”, tetapi sudah menjurus kepada tindakan kekerasan, yang seharusnya dalam pikiran normal hal itu tidak patut dilakukan. Karena, selain melanggar norma-norma hukum sebagaimana yang sudah dipositipkan dalam undang-undang, dan melanggar norma-norma kemasyarakatan, juga sebagai tokoh seharusnya dapat memberikan contoh yang
2
M. Arief Amrullah, Pengaruh Sanksi Pidana Dalam UU. No. 14 Tahun 1992 terhadap Kesadaran Hukum Berlalu lintas, Laporan Penelitian, Fakultas Hukum Universitas Jember, 1999, hal. 12.
2
baik kepada masyarakat, serta mengayomi. Bahkan seharusnya menjadi panutan. Apabila hubungan tersebut tidak berjalan dengan baik sebagaimana yang dikehendaki oleh pembentuk undang-undang, maka jalannya pemerintahan desa dikhawatirkan akan terganggu, dan pada akhirnya akan merugikan masyarakat. Pertanyaan yang muncul kemudian, apakah yang menyebabkan timbulnya permusuhan tersebut? apakah karena undang-undangnya atau para karena aparatnya yang belum siap mengimplementasi ide yang cemerlang itu? Apabila memperhatikan konteks permasalahan yang terjadi antara Kepala Desa yang tergabung dalam POSPAD dengan BPD, maka sebenarnya faktor kesiapan untuk menerima hal yang baru itulah sebagai indikasi terjadinya pertentangan tersebut. Undang-undang No. 22 Tahun 1999 yang mengatur hal-hal baru di antaranya lembaga BPD, akan tetapi ide diadakannya lembaga BPD belum dipersiapkan sebelumnya, sehingga ketika hal itu diberlakukan, mereka belum siap. Akibatnya, timbul berbagai persepsi seolah BPD sangat powerfull, sedangkan Kepala Desa di bawah BPD, sehingga apabila Kepala Desa tidak becus, maka BPD setiap saat dapat menurunkannya. Anggapan-anggapan yang demikian membuat Kepala Desa marah dan memandang BPD berbuat seenaknya sendiri, sehingga muncul usulan agar BPD dibubarkan. Di samping itu, masih ada faktor pemicu lainnya yang menimbulkan disharmoni tersebut yang
dalam tulisan ini
belum dapat dimunculkan, karena tulisan ini lebih menekankan pada alternatif penedekatan
yang
akan
digunakan
dalam
menghadapi
permasalahan
sebagaimana dikemukakan di atas. Namun, terlepas dari itu, yang jelas apabila suatu kebijakan tidak direncanakan dengan baik justru akan menimbulkan faktor
3
kriminogen dan viktimogen, dan itu sudah dibuktikan sehubungan dengan adanya konflik antara Kepala Desa dengan BPD. Oleh karena itu, dalam menyikapi kasus seperti itu, barangkali sebagian orang ada yang menghendaki agar diserahkan saja kepada pihak berwajib untuk menyelesaikannya. Artinya, dimasukkan ke dalam “pintu gerbang” sistem peradilan pidana, yaitu kepolisian untuk memprosesnya guna diteruskan sampai ke pengadilan. Jika jalur ini diambil, menunjukkan sarana penal (hukum pidana) hendak dikedepankan untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Memang apabila kita berpikir bahwa apa yang telah terjadi itu sudah merupakan tindak pidana, akan tetapi perlu pula pertimbangan lain: apakah dengan menghukum (penjatuhkan pidana kepada pelaku) permasalahannya akan segera selesai. Ini dilema, disatu sisi ada tuntutan bahwa hukum pidana harus ditegakkan sebagaimana juga dalam asas: meskipun langit akan runtuh hukum pidana harus ditegakkan, tapi disisi
lain
yang
menjadi pertimbangan apakah dengan
menggunakan sarana hukum pidana permasalahan akan selesai. Sehubungan dengan upaya mengatasai permasalahan yang timbul antara PBD dan Kepala Desa, maka dengan mengingat hukum pidana itu mempunyai keterbatasan-keterbatasan, tentunya perlu ditunjang dengan pendekatan nonpenal, yaitu pendekatan tanpa menggunakan hukum pidana.
B. METODE PENYELESAIAN MASALAH Upaya untuk mengatasi permasalahan yang terjadi antara PBD dan Kepala Desa, hukum pidana (penal) bukan merupakan satu-satunya sarana, akan tetapi
4
masih ada sarana lain yang dapat menunjang bekerjanya hukum pidana, yaitu sarana non-penal. Mengingat sarana non-penal ini lebih bersifat tindakan pencegahan, maka sasaran utamanya adalah menangani faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya tindak pidana (kejahatan). Faktor-faktor kondusif itu antara lain berpusat pada masalah-masalah atau kondisi-kondisi sosial yang secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan kejahatan. Dilihat dari sudut politik kriminal (kebijakan penanggulangan kejahatan), maka upaya-upaya nonpenal menduduki posisi kunci dan strategis dalam menanggulangi sebab-sebab dan kondisi-kondisi yang menimbulkan kejahatan. Dalam kaitan ini, Packer menulis
3
bahwa jika membicarakan mengenai
penjatuhan sanksi, maka kita berhadapan dengan issue besar dari sanksi, yaitu aturan ketertiban hukum yang menentukan akibat dari pelanggaran norma penting sebagai sarana mengatur perilaku. Untuk diskusi tersebut, Packer mengusulkan empat penggolongan sanksi dan dibedakan berdasarkan tujuan atau pengaruh yang menonjol. Salah satunya adalah regulasi sebagai kontrol atas perbuatan yang akan datang untuk tujuan umum, termasuk perhatian terhadap kepentingan yang dapat bermanfaat bagi pelaku. Arah dari tujuan umum ini, lebih terpokus pada kepentingan publik daripada kepentingan pribadi. Contoh untuk regulasi ini, adalah pembuat undang-undang menetapkan peraturan yang mewajibkan kepada semua pengendara untuk mempunyai surat izin mengemudi. Jadi, sifatnya umum.
3
Herbert L. Packer, The Limits of the Criminal Sanction, Stanford University Press, Stanford, California, 1968, hal. 23-26.
5
Sesusi dengan yang dikemukakan oleh Packer di atas, maka dalam upaya mencegah terjadinya pertikaian antara BPD dan Kepala Desa, regulasi itu adalah pembuatan Tata Tertib BPD. Dengan adanya Tata Tertib BPD tersebut diasumsikan akan dapat mencegah terjadinya “perkelahian” antara BPD dan Kepala Desa. Karena, apabila Tata Tertib BPD dibuat atau disusun, mereka akan mengetahui :
Fungsi, tugas dan wewenang, hak dan kewajiban BPD;
Pelaksanaan fungsi, tugas dan wewenang, hak dan kewajiban BPD;
Rapat-rapat dan pengambilan keputusan BPD;
Penetapan dan pemberhentian Kepala Desa;
Pertanggungjawaban Kepala Desa;
Penetapan Peraturan Desa; Metode yang digunakan adalah dengan memberikan penataran kepada BPD
dan penyuluhan kepada Kepala Desa yang tergabung dalam POSPAD. Khusus kepada BPD materi penataran yang diberikan adalah mengenai penyusunan Tata Tertib BPD. Penyampaian materi tersebut sesuai dengan hasil Kongres PBB ke-6 Tahun 1980 yang diselenggarakan di Caracas, Venezuaela, bahwa strategi pencegahan kejahatan harus didasarkan pada penghapusan sebab-sebab dan kondisi-kondisi yang menimbulkan kejahatan. Demikian juga dalam Kongres PBB ke-7 Tahun 1985 yang diselenggarakan di Milan, Italia, bahwa kebijakan-kebijakan mengenai pencegahan kejahatan dan peradilan pidana harus mempertimbangkan sebab-
6
sebab struktural, termasuk sebab-sebab ketidakadilan yang bersifat sosioekonomi, di mana kejahatan sering hanya merupakan gejala.
C. HASIL DAN PEMBAHASAN Sejalan dengan Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, di mana dalam Pasal 104 dinyatakan bahwa Badan Perwakilan Desa atau yang disebut dengan nama lain berfungsi mengayomi adat istiadat, membuat Peraturan Desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat, serta melakukan
pengawasan
terhadap
penyelenggaraan
Pemerintahan
Desa.
Selanjutnya dalam Penjelasan Umum Undang-undang No. 22 Tahun 1999 dinyatakan bahwa sebagai perwujudan demokrasi, di desa dibentuk Badan Perwakilan Desa yang sesuai dengan budaya yang berkembang di desa yang bersangkutan, yang berfungsi sebagai lembaga legislasi dan pengawasan dalam hal pelaksanaan Peraturan Desa, Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa, dan Keputusan Kepala Desa. Berdasarkan ketentuan tersebut menunjukkan, bahwa kebijakan yang tertuang dalam Undang-undang No. 22 Tahun 1999 telah menempatkan BPD dalam posisi yang sejajar dengan Kepala Desa, di mana kendati Kepala Desa bertanggung jawab kepada BPD, akan tetapi BPD tidak dapat memberhentikan Kepala Desa. Ketentuan seperti ini sebelumnya berdasarkan Undang-undang No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa tidak diatur demikian.
7
Oleh karena itu dalam Undang-undang No. 22 Tahun 1999 telah memberikan kewenangan kepada BPD untuk melakukan kontrol terhadap Kepala Desa yang meliputi pengawasan dalam hal : a. pelaksanaan Peraturan Desa; b. Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa; dan c. Keputusan Kepala Desa. Mengingat
kewenangan
yang
melekat
pada
BPD,
maka
dalam
pelaksanaannya terjadi bias, sehingga apabila ditangkap secara sekilas seolah BPD bertindak “arogan” yang bebas untuk memberhentikan Kepala Desa. Akan tetapi, jika ditelusuri lebih lanjut bahwa terjadinya sikap seperti itu, karena dilatarbelakangi oleh kurangnya sosialisasi yang menyangkut fungsi, wewenang. hak dan kewajiban BPD. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, maka agar semuanya dalam melaksanakan
tugas tidak menyimpang atau kemungkinan menyalahgunakan
wewenang, perlu ada aturan yang dapat dipakai sebagai pedoman dalam melaksanakan tugas dimaksud. Untuk keperluan itu, perlu adanya instrumen hukum yang dapat mencegah terjadinya pertentangan antara Kepala Desa dengan BPD. Instrumen hukum itu adalah dengan pembuatan Tata Tertib BPD yang merupakan aturan tertulis dan secara hukum mengikat semua anggota maupun pimpinan BPD. Sehubungan dengan upaya mencegah terjadinya pertentangan yang menjurus
kepada
hal yang
tidak
diinginkan, maka
pendekatan
dengan
menggunakan sarana hukum pidana (penal) tidak selalu harus diutamakan, karena
8
sebagaimana telah dikemukakan di atas, bahwa sesuai dengan asas ultimum remedium (sarana yang terakhir), di mana apabila tidak perlu sekali hendaknya jangan menggunakan pidana sebagai sarana, atau dengan kata lain, karena mengingat sanksi dalam hukum pidana itu adalah sanksi yang negatif, maka hendaknya ia bari diterapkan apabila sarana lain sudah tidak memadai lagi. Memang, Muladi pernah mengatakan bahwa dalam hal-hal tertentu hukum pidana dapat saja lebih fungsional daripada sekedar hanya berfungsi subsidiair, akan tetapi Muladi mengingatkan agar penggunaan hukum pidana sebagai primum remedium
harus
dilakukan
dengan
hati-hati
dan
selektif,
yaitu
dengan
mempertimbangkan, baik kondisi obyektif (yang berkaitan dengan perbuatan) maupun hal-hal subyektif (yang berkaitan dengan pelaku), kesan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan, serta tujuan pemidanaan yang hendak dicapai. 4 Kaitannya
dengan
permasalahan
antara
BPD
dan
Kepala
Desa
sebagaimana telah dikemukakan di atas, substansi permasalahannya adalah lebih pada ketidaksiapan BPD dan Kepala Desa dalam melaksanakan instrumen hukum yang baru, sehingga memunculkan berbagai interpretasi dan pada akhirnya menjadi misinterpretasi. Sesuai dengan substansi permasalahan tersebut, maka pendekatannya pun harus disesuaikan, di mana
dalam kegiatan pengabdian pada masyarakat ini,
sarana yang digunakan adalah melalui jalur non-penal yang sifatnya lebih
4
M. Arief Amrullah, Politik Hukum Pidana dalam Rangka Perlindungan Korban Kejahatan Ekonomi di bidang Perbankan, Disertasi, 2002, hal. 225.
9
menekankan sebelum
pada aspek prevensi (pencegahan/penangkalan/pengendalian) tindak
pidana
terjadi
daripada
represif
(penindasan/pemberantasan/penumpasan). Oleh karena itu, dengan sifatnya yang lebih menekankan pada aspek pencegahan, maka dalam pengabdian pada masyarakat materi yang disampaikan adalah seputar penyusunan tata tertib BPD yang antara lain meliputi : 1. Ruang lingkup a. Kedudukan, susunan, dan keanggotaan BPD; b. Fungsi, tugas dan wewenang, hak dan kewajiban BPD; c. Pelaksanaan fungsi, tugas dan wewenang, hak dan kewajiban BPD; d. Rapat-rapat dan pengambilan keputusan BPD; e. Penetapan dan pemberhentian Kepala Desa; f. Pertanggungjawaban Kepala Desa; g. Penetapan Peraturan Desa; h. dll. 2. Prinsip dan proses penyusunan Tata Tertib BPD a. Tidak bertentangan dengan tugas, fungsi, wewenang, hak dan kewajiban BPD; b. Tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya; c. Mencerminkan aspirasi masyarakat; d. Responsif terhadap perkembangan sosial budaya lingkungan setempat;
10
e. Disusun melalui proses musyawarah sesuai dengan aturan main dan mekanisme yang disepakati; f. Mengikutsertakan masyarakat dalam proses penyusunan, pembahasan, dan penetapan maupun dalam penegakan Tata Tertib. Dengan diadakannya penataran kepada para anggota BPD, mereka semuanya menerima kegiatan tersebut sebagai sesuatu yang sangat bermanfaat, dan bahkan menghendaki agar kegiatan serupa diadakan tiap bulan. Dengan juga halnya dengan penyuluhan kepada Kepala Desa yang tergabung dalam POSPAD. Respon tinggi yang diberikan oleh, baik BPD maupun Kepala Desa menunjukkan bahwa sebelum diakannya kegiatan pengabdian kepada masyarakat telah terjadi suatu kesenjangan komunikasi (gap communication) dalam sosialisasi Undangundang No. 22 Tahun 1999. Padahal komunikasi itu,seperti halnya juga bahasa merupakan sarana penghubung antara pemberi pesan dengan yang menerima pesan. Jika sejak awal komunikasi itu sudah diberikan oleh pemerintah, paling tidak akan dapat mengurangi tingkat penolakan terhadap keberadaan lembaga BPD. Antony Allot 5 sudah pernah menyatakan bahwa hukum yang efektif adalah hukum yang dapat dilaksanakan sesuai dengan maksud dan tujuannya, dan apabila terjadi kegagalan harus ada kemungkinan dan cara-cara untuk memperbaikinya. Menurut Allot, apabila hukum harus dilaksanakan dalam situasi yang berbeda atau baru, maka hukum harus mampu mengadakan penyesuaian-penyesuaian.
5
Antony Allot, The Limits of Law, Butterworths, London, 1980, hal. 29.
11
D. KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan paparan di atas, maka dapat ditarik suatu kesimpulan sebagai berikut : a. Kebijakan legislatif (formulasi) merupakan tahap strategis bagi kebijakan selanjutnya, karena itu suatu kebijakan tanpa dirancang secara rasional justru akan menimbulkan faktor kriminogen dan viktimogen. b. Konflik yang terjadi antara Kepala Desa dan BPD lebih disebabkan oleh kurangnya sosialisasi atau persiapan-persiapan yang harus dilakukan, serta antisipasi sehubungan dengan adanya lembaga BPD yang diatur dalam Undang-undang No. 22 Tahun 1999. c. Upaya mengatasi permasalahan antara Kepala Desa dan BPD dilakukan melalui pendekatan non-penal yang sifatnya lebih berorientasi pada aspek prevensi. Untuk itu, instrumen hukum yang memuat hak dan kewajiban BPD merupakan sarana yang diperlukan untuk mencegah para anggota BPD bertindak di luar jalur kewenangannya. d. Instrumen hukum dimaksud adalah penyusunan Tata Tertib BPD yang disampaikan melalui penataran para anggota BPD, di samping juga memberikan penyuluhan kepada Kepala Desa. Untuk lebih memberikan penguatan kepada Kepala Desa dan BPD dalam menjalan roda pemerintahan di tingkat desa, maka untuk ke depan hendaknya komunikasi, baik antara Kepala Desa dan BPD, Camat, Bupati, jangan sampat tersumbat. Karena itu, pendampingan-pendampingan dari Perguruan Tinggi atau pun LSM sangat diperlukan sebagai media.
12
DAFTAR PUSTAKA Allot, Antony, 1980, The Limits of Law, London: Butterworths. M. Arief Amrullah, 1999, Pengaruh Sanksi Pidana Dalam UU. No. 14 Tahun 1992 terhadap Kesadaran Hukum Berlalu lintas, Laporan Penelitian, Fakultas Hukum Universitas Jember. M. Arief Amrullah, 2002, Politik Hukum Pidana dalam Rangka Perlindungan Korban Kejahatan Ekonomi di bidang Perbankan, Disertasi, Surabaya: Program Pascasarjana Universitas Airlangga. Packer, Herbert L., 1968, The Limits of the Criminal Sanction, Stanford University Press, California: Stanford. Kongres PBB ke-6 Tahun 1980 tentang The Crime Preventionm and the Treatment of Offenders, Diselenggarakan di Caracas, Venezuaela. Kongres PBB ke-7 Tahun 1985 tentang The Crime Preventionm and the Treatment of Offenders, Diselenggarakan di Milan, Italia,
13