Seminar NasionalKe – III FakultasTeknikGeologiUniversitasPadjadjaran
Pendekatan Geofisika untuk Menemukan Aliran Air Bawah Permukaan ke Lokasi Semburan Lumpur Panas di Wilayah Porong, Provinsi Jawa Timur Karit L. Gaol1,2, Andi A. Nur2 dan Yoga A. Sendjaja2 1
Pusat Penelitian Geoteknologi, LIPI 2 FakultasTeknik Geologi, UNPAD Email:
[email protected]
SARI Penelitian ini bertujuan untuk menemukan sumber pemasok air ke danau lumpur panas di wilayah porong Sidoarjo, karena diasumsikan bahwa volume air pembentuk lumpur yang sudah lebih dari ratusan juta meter kubik haruslah berasal dari luar wilayah tersebut. Air laut dari Selat Madura sebagai salah satu kemungkinan sumber, harus dikesampingkan karena data isotop air lumpur tersebut menunjukkan bahwa air itu tidak berasal dari air laut. Oleh karena itu, penelitian ini difokuskan untuk mengetahui struktur bawah permukaan wilayah sebelah barat dan selatan danau lumpur dengan menggunakan metoda gayaberat, Audio Magnetotellurik (AMT) dan Magnetotellurik (MT). Hasil pengukuran dan interpretasi data gayaberat berupa anomali Bouguer, data AMT dan MT menunjukkan bahwa terdapat suatu struktur patahan berarah NE-SW yang membentang dari daerah Desa Watukosek di kaki Gunung Penanggungan ke arah danau lumpur, yang diinterpretasikan sebagai zona permeable yang membentuk saluran air tanah sebagai pemasok air yang menyebabkan semburan lumpur terus berlangsung. Kata kunci: geofisika, struktur bawah permukaan, aliran air bawah permukaan ABSTRACT This study aims to find a source of water supply to the lake mud in Porong Sidoarjo region, because it is assumed that the volume of water forming sludge that has more than hundreds of millions of cubic meters must come from outside the region. The sea water from the Madura Strait as a possible source must be ruled out because of the muddy water isotope data showed that the water was not coming from the sea water. Therefore, this study focused to determine subsurface structure of the area west and south of the lake mud by using the gravity method, audio magnetotelluric (AMT) and magnetotelluric (MT).The results of the measurement and interpretation of gravity data in the form of Bouguer anomaly, the data AMT and MT indicates that there is a structural fault trending NE-SW that stretches from the village of Watukosek at the foot of Mount Penanggungan toward the lake mud, which is interpreted as a zone permeable form a channel groundwater as water supplier that caused the mudflow continues. Keywords: geophysics, subsurface structures, subsurface water flow I. PENDAHULUAN Sejak pertama kali semburan lumpur panas di daerah Sidoarjo/Porong terjadi pada 29 Mei 2006 hingga saat ini, tidak kurang dari 108 juta meter kubik lumpur panas telah disemburkan dari perut bumi. Lumpur ini telah menutupi wilayah hingga lebih dari
717.027 ha dengan kedalaman genangan mencapai beberapa meter. Bila dicermati, 70% dari lumpur yang dikeluarkan tersebut adalah air. Dengan demikian, maka volume air yang telah dikeluarkan tidak akan kurang dari 75 juta meter kubik. Volume air yang demikian besar masih belum diketahui dari mana sumbernya, apakah air tersebut berasal
“PeranGeologidalamPengembanganPengelolaanSumberDayaAlamdanKebencanaan”
Seminar NasionalKe – III FakultasTeknikGeologiUniversitasPadjadjaran
dari air tanah wilayah tersebut ataukah berasal dari daerah lain di luar daerah Sidoarjo (Gambar 1).
Gambar 1. Foto genangan lumpur panas Sidoarjo yang menenggelamkan kawasan pemukiman penduduk (sumber:http://img210.imageshack.us/img210/9894/lapindos z8.jpg)
Tetapi yang jelas, agar semburan lumpur tersebut dapat terus berlangsung seperti saat ini, maka diperlukan suatu sumber air yang memasok secara kontinyu wilayah semburan tersebut. Terdapat dua kemungkinan sumber air yang dapat berperan dalam memasok air ke wilayah Porong, yaitu air tanah dari wilayah sekitarnya, terutama dari daerah selatan yang lebih luas dan air laut yang berasal dari Selat Madura. Namun demikian, untuk kedua kemungkinan tersebut diperlukan adanya suatu zona berpori atau lapisan batuan di bawah permukaan yang bersifat permeable yang menghubungkan sumber air tersebut dengan daerah semburan atau lokasi danau lumpur. Oleh karena itu, untuk mengetahui sumber air yang berperan dalam menjaga kontinyuitas semburan di wilayah ini, diperlukan informasi geologi bawah permukaan untuk wilayah di sekitar daerah semburan sehingga dapat diketahui dari mana sumber air tersebut berasal. Dalam konteks inilah penelitian ini menekankan pada pendekatan geofisika untuk dapat memperoleh gambaran bawah permukaan wilayah Porong ini sehingga dapat diketahui apakah terdapat suatu channel aliran air tanah yang memasok air ke pusat semburan lumpur.
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Geologi Regional Daerah Porong Daerah Porong, Sidoarjo di Propinsi Jawa Timur, dalam katalog peta geologi Indonesia termasuk ke dalam Peta Geologi Lembar Malang, Jawa yang dikeluarkan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi (P3G) pada tahun 1992. Berdasarkan peta tersebut dapat diketahui bahwa permukaan bumi wilayah Porong ditempati oleh tiga jenis batuan yang berbeda. Wilayah sebelah utara, dimulai dari sekitar aliran sungai Porong terus ke utara ditutupi oleh batuan aluvial sungai, yakni batuan-batuan lepas yang merupakan produk melalui mekanisme pengendapan sungai. Wilayah ke arah selatan sungai Porong didominasi oleh batuan gunungapi atau volkanik berumur Kuarter Atas yang terdiri dari breksi gunungapi, lava, tuf, breksi tufaan, agglomerat dan lahar. Semua produk volkanik ini membentuk morfologi tinggian yang dikenal dengan nama Gunung Penanggungan. Di dalam dominasi batuan volkanik berumur Kuarter Atas tersebut, terdapat juga batuan volkanik berumur Kuarter Bawah, yakni di sebelah timur Gunung Gajah Mungkur. Secara stratigrafi atau dalam penampang vertikal, wilayah Porong ini termasuk ke dalam Cekungan Jawa Timur, dan lebih spesifik lagi Cekungan Jawa Timur Utara (CJTU). Wilayah CJTU dibagi menjadi dua mandala geologi, yakni Mandala Rembang yang mencakup daerah dalam zona tektonofisiografi Rembang serta zona tektono fisiografi Randublatung, dan Mandala Kendeng yang meliputi daerah dalam zona tektonofisiografi Kendeng.Mandala Rembang yang berumur Eosen hingga Pleistosen Awal, umumnya mencerminkan karakter lingkungan paparan hingga daratan dengan litologi berupa batupasir kuarsa, batulempung karbonat, batugamping pasiran, batugamping terumbu, napal pasiran, batupasir gampingan, dan batubara. Ketebalan formasi ini mencapai
“PeranGeologidalamPengembanganPengelolaanSumberDayaAlamdanKebencanaan”
Seminar NasionalKe – III FakultasTeknikGeologiUniversitasPadjadjaran
5.000 meter. Sementara itu, Mandala Kendeng yang berumur lebih muda (Oligosen-Akhir sampai Pleistosen) dibentuk oleh litologi napal pasiran, batulempung, batupasir gampingan, batulanau, batugamping pasiran dan batupasir konglomeratan. Litologi yang mengisi stratigrafi Cekungan Jawa Timur Utara ini terdiri dari: batuan dasar (basalt), Formasi Ngimbang, Kujung, Prupuh, Tuban, Tawun, Ngrayong, Bulu, Wonocolo, Ledok, Mundu, Selorejo dan Lidah. Keberadaan jenis litologi di atas dengan ketebalan yang signifikan telah membuat wilayah ini memiliki potensi hidrokarbon yang cukup signifikan. Ditinjau dari aspek potensi hidrokarbon tersebut, Cekungan Jawa Timur Utara telah terbukti sebagai suatu wilayah yang kaya akan cekungan hidrokarbon. Sejak ditemukannya lapangan-lapangan minyak di lokasi yang lama maupun baru di wilayah Cepu dan Surabaya maka pencarian ladangladang minyak baru terus berlanjut. Saat ini, di Jawa Timur terdapat 34 wilayah kerja aktif, atau 15% dari jumlah seluruh wilayah kerja perminyakan di Indonesia, yang dioperasikan oleh berbagai kontraktor, baik perusahaan nasional maupun multinasional. Dari 34 wilayah kerja tersebut, 13 di antaranya merupakan wilayah kerja berstatus eksploitasi atau sedang dalam tahapan produksi migas. Luas wilayah kerja aktif ini meliputi 52% luas wilayah Cekungan Jawa Timur, sehingga masih terdapat peluang 48% wilayah cekungan ini yang belum tereksplorasi. Seiring semakin meningkatnya kebutuhan energi dalam negeri maupun dunia, pencarian ladang-ladang minyak di lokasi lama maupun baru terus di upayakan. Pada Akhir dasawarsa 1990 dan awal tahun 2000 penemuan lapangan minyak baru di sekitar Surabaya (Lidah,Kruka, dsb) masih terus berlanjut. Dengan penemuan lokasi-lokasi yang baru, maka kegiatan yang berkaitan dengan kegiatan pemboran-pemboran ladang minyak baru terus bertambah.
Pembahasan detil tentang cekungan ini yang menyangkut revisi stratigrafi karena penemuan sejumlah stratigrafi baru dan berujung pada pengusulan tata nama baru telah dilakukan oleh Pringgoprawiro (2008). Sementara itu, struktur bawah permukaan di daerah Bojonegoro-Tuban telah diungkap melalui pengukuran geofisika dengan metoda gaya berat oleh Kamtono dkk. Mengingat daerah (CJTU) mempunyai endapan prospek hidrokaron yang luas, maka penelitian untuk mendapatkan informasi struktur geologi bawah permukaan (subsurface) terus dilakukan. Namun keterbatasan kemampuan di kalangan industri perminyakan untuk mengungkap informasi geologi, terutama geologi bawah permukaan dan khususnya dalam teknik pengeboran, masih merupakan kendala yang cukup berarti. Pada tahun 2006, pemboran dalam upaya menemukan cadangan hidrokarbon yang baru, dilakukan di Porong Sidoarjo. Disinyalir akibat kesalahan teknis pemboran yang juga kemungkinan besar dipengaruhi oleh berbagai faktor lainnya telah memicu datangnya musibah dengan meluapnya lumpur panas dari perut bumi melalui sumur pemboran Banjar Panji 1. 2.2. Faktor Pemicu Semburan Lumpur Besarnya jumlah lumpur yang keluar dari ratusan ribu titik semburan (informasi terakhir berjumlah 180 ribu titik) di danau lumpur tersebut, mengisyaratkan bahwa bagian bawah dari lokasi tersebut kemungkinan besar disusun oleh formasi batuan sedimen dengan ketebalan yang cukup signifikan. Interpretasi tersebut selaras dengan hasil penelitian Hasan (2008) yang menyatakan bahwa pemodelan yang dilakukannya menunjukkan bahwa Jawa Timur memiliki cekungan sedimen Tersier yang tebalnya mencapai 6 km. Pusat cekungan terletak di tengah – tengah Jawa Timur berarah barat – timur, dan di antara bagian timur Jawa Timur dan selat Madura berarah barat laut – tenggara.
“PeranGeologidalamPengembanganPengelolaanSumberDayaAlamdanKebencanaan”
Seminar NasionalKe – III FakultasTeknikGeologiUniversitasPadjadjaran
Fenomena semburan lumpur di wilayah Cekungan Jawa Timur Utara, sebenarnya bukanlah sebuah fenomena yang baru, karena sebelum semburan lumpur panas di Sidoarjo terjadi, kawasan ini telah mengenal fenomena tersebut, yang sering disebut dengan Gunungapi Lumpur (Mud Volcano). Sejumlah Gunungapi Lumpur ini dapat dijumpai di wilayah Purwodadi, Sangiran, Tuban, Gunung Anyar, Mojokerto dan Bangkalan di pulau Madura (Gambar 2.1).
peserta pertemuan juga memperdebatkan faktor pemicu semburan lumpur tersebut dan perdebatan itu diakhiri dengan voting dan hasilnya sebagian besar peserta meyakini bahwa pemicu semburan lumpur tersebut adalah kesalahan dalam pemboran. Suatu penelitian yang dilakukan oleh Mazzini dkk. (2007) dengan menggunakan pendekatan geokimia dan isotop, juga terfokus pada upaya mencari aspek pemicu terjadinya semburan lumpur tersebut. Hasil penelitian tersebut menyimpulkan bahwa semburan air panas yang diikuti lumpur, uap air, CO2 dan CH4 di Sidoarjo, disebabkan oleh adanya perekahan (fracturing) yang diikuti oleh penurunan tekanan fluida pori bertemperatur di atas 100oC dari kedalaman yang lebih dalam dari 1700 meter. Menariknya, kesimpulan itu adalah kesimpulan final dari penelitian tersebut tanpa adanya suatu perhatian untuk mencari solusi bagaimana cara menghentikan semburan lumpur tersebut.
Gambar 2. 1. Lokasi penyebaran Gunung Api Lumpur di wilayah CJTU (diunduh dari http://hotmudflow.wordpress. com/maps/
Dalam konteks bencana yang ditimbulkan oleh semburan lumpur panas tersebut, banyak para pakar dari ilmu kebumian yang sudah mencoba mengkaji fenomena tersebut. Namun sayangnya, kebanyakan kajian tersebut lebih terkonsentrasi pada mencari kemungkinan-kemungkinan yang menyebabkan terjadinya semburan lumpur tersebut. Secara garis besar terdapat dua pendapat tentang penyebab terjadinya semburan lumpur pada 29 Mei 2006 tersebut, yaitu: (i) Semburan tersebut dipicu oleh gempa Yogyakarta yang terjadi pada tanggal 27 Mei 2006, dan (ii) Semburan tersebut terjadi karena kesalahan dalam proses pemboran sumur Banjar Panji-1. Namun yang menarik adalah, bahwa semua pakar seolah terobsesi untuk menemukan jawaban terhadap penyebab semburan lumpur tersebut. Obsesi ini tidak hanya terjadi di dalam negeri, bahkan pada pertemuan AAPG di Capetown, Afrika Selatan pada 28 Oktober 2008, para
Suatu tinjauan ilmiah tentang gunungapi lumpur yang diyakini terjadi melalui proses penetrasi lumpur (mud diapir) dari bawah permukaan bumi telah dipublikasikan pada bulan Mei 2008. Publikasi ini menyatakan bahwa mud diapir adalah suatu intrusi dari massa lumpur/serpih yang relatif mobile yang menerobos lapisan batuan yang sudah ada sebelumnya yang disebabkan oleh tekanan buoyancy dan differential. Bila mud diapir muncul di permukaan bumi karena adanya zona-zona lemah akibat adanya reaktivasi patahan (sesar) ataupun karena adanya migrasi material akibat kehilangan tekanan, maka di permukaan akan terbentuk Gunungapi lumpur (mud volcano). Hal tersebut dipahami sebagai suatu erupsi liar atau suatu proses ekstrusi dari lumpur yang kaya air yang seringkali diikuti dengan keluarnya gas metan. Gejala ini ditemukan pada peristiwa semburan lumpur Lapindo dimana gas metan keluar bersama-sama lumpur panas tersebut.
“PeranGeologidalamPengembanganPengelolaanSumberDayaAlamdanKebencanaan”
Seminar NasionalKe – III FakultasTeknikGeologiUniversitasPadjadjaran
Mud diapir dan Gunungapi lumpur umumnya terjadi pada cekungan “elisional” yang memenuhi sejumlah kriteria seperti penurunan tektonik yang stabil, pengendapan sedimen muda yang tebal dan berlangsung cepat, hadirnya lapisan batuan yang bersifat plastis di bawah permukaan, tekanan fluida yang berlebihan yang berada di bawah sedimen yang kompak/padat, potensi minyak bumi dan pasokan gas yang cukup, adanya produksi air dari suatu sekuen batu lempung yang terkubur, patahan dengan seismisitas yang tinggi dan kemungkinan gradien panasbumi/geothermal yang tinggi. Semua kriteria tersebut sepertinya terpenuhi oleh wilayah CJTU. Oleh karena itu, fenomena semburan lumpur panas Sidoarjo ini dapat
dilihat sebagai fenomena Gunungapi Lumpur yang mendapatkan pasokan material dan air yang kontinyu sehingga semburan tersebut berlangsung dalam waktu yang lama. Namun demikian, secara teoritis bila pasokan air yang menyebabkan terjadinya material plastis di bawah permukaan dapat dihambat atau dihentikan maka semburan akan dapat dihentikan karena massa lumpur yang ada akan kehilangan gaya bouyancy yang dimilikinya. Hasil penelitian berdasarkan data seismik di wilayah Porong mengungkap, bahwa, (i) terdapat patahan yg memotong puncak dari batugamping Formasi Kujung; (ii) adanya indikasi SLUMP (bisa jadi mewakili adanya mobile shale) dan (iii) terdapatnya collapse 1.1. Tujuan
Gambar 2. 2. Penampang seismik bawah permukaan wilayah Porong,diunduhdarialamat:http://rovicky.blogspot.com/2006/ 06/ada-apa-dengan-mud-flow-di-jawa-timur.html
zone yang mengindikasikan bahwa di lokasi tersebut pernah terjadi runtuhan pada masa lalu atau paleo-collapse (lihat Gambar 2.2.). Walaupun belum diketahui faktor penyebab terjadinya runtuhan purba tersebut, namun setidaknya hal itu menunjukkan bahwa batuan-batuan di bawah permukaan wilayah Porong relatif dinamis atau memiliki peluang pergerakan yang tinggi. Dengan demikian, kemungkinan terjadinya mekanisme diapir untuk membentuk gunungapi lumpur di permukaan semakin besar. III TUJUAN DAN MANFAAT
Tujuan penelitian ini adalah untuk menghasilkan suatu solusi alternatif dalam usaha menghentikan semburan lumpur panas di Sidoarjo. Pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini adalah dengan mencari sumber air yang memasok air sebagai komponen pembentuk lumpur panas tersebut. Pendekatan ini dipilih karena air merupakan komponen terbesar pembentuk lumpur tersebut (sekitar 70%), sehingga bila sumber air tersebut dapat ditemukan dan dihentikan maka semburan lumpur tersebut diharapkan juga akan berhenti. 1.2. Manfaat Penelitian ini memiliki manfaat yang besar bagi semua pemangku kepentingan, baik bagi pemerintah maupun masyarakat, karena bila semburan lumpur panas di Sidoarjo tersebut dapat dihentikan, maka biaya penanggulangan yang harus dikeluarkan pemerintah akan dapat dihemat dan dipergunakan untuk kepentingan umum lainnya. Di samping itu, wilayah tersebut akan dapat dikembalikan menjadi daerah produktif dan masyarakat akan dapat kembali memanfaatkan lahan tersebut.
“PeranGeologidalamPengembanganPengelolaanSumberDayaAlamdanKebencanaan”
Seminar NasionalKe – III FakultasTeknikGeologiUniversitasPadjadjaran
IV METODOLOGI Metodologi penelitian ini mencakup dua aspek besar, yakni kerangka pemikiran dan metode pengumpulan data. Dalam kerangka pemikiran akan diberikan konsep teoritis yang akan dipakai untuk mencapai tujuan penelitian, sedangkan pada metode pengumpulan data akan diuraikan cara untuk memperoleh data yang diperlukan dalam penerapan konsep teoritis tersebut. Dalam penelitian ini, fokus penelitian ditujukan untuk mengetahui aspek apa saja yang berperan dalam menjaga kontinyuitas semburan sehingga dapat dicarikan solusi alternatif untuk menghentikan semburan tersebut. Seperti telah disinggung pada Bab pendahuluan bahwa fraksi terbesar dari lumpur yang keluar dari perut bumi tersebut adalah air, yakni mencapai 70%. Oleh karena itu, secara teoritis dapat dikatakan bahwa semburan lumpur tersebut tidak akan dapat berlangsung secara kontinyu bila sumber air yang memasok air ke danau lumpur tersebut tidak ada. Secara geografis, wilayah danau lumpur tersebut terletak di sebelah barat Selat Madura dan di timur laut Gunung Penanggungan.
kuantitas air yang sudah dimuntahkan ke permukaan bumi begitu besar sehingga tidak mungkin bila hanya dipasok dari wilayah sekitar danau yang datar dan sudah tidak hijau lagi. Dari kedua kemungkinan tersebut, maka kemungkinan Selat Madura sebagai sumber air pemasok untuk semburan lumpur dapat diabaikan karena hasil penelitian Mazzini dkk. (2007) di atas menyimpulkan bahwa air yang membentuk lumpur Sidoarjo tersebut tidak memiliki isotop yang sama dengan air laut. Dengan demikian, maka alternatif air laut di Selat Madura sebagai sumber air untuk semburan lumpur tersebut terbukti tidak mendukung. Namun demikian, untuk memastikan bahwa tidak terdapat aliran air bawah permukaan yang menuju ke danau lumpur dari Selat Madura, pengukuran geofisika dengan metoda gayaberat dan AMT tetap dilakukan di sebelah timur danau untuk melengkapi pengukuran yang dilakukan di sebelah timur laut Gunung Penanggungan. Gambar 4.1. di atas menunjukkan bahwa danau lumpur tersebut berada di sebelah timur laut Gunung Penanggungan, sehingga bila sumber air tersebut berasal dari wilayah gunung ini maka daerah pengukuran geofisika tersebut merupakan jalan terpendek bagi aliran air menuju kawasan danau lumpur. 4.1. Metode Pengumpulan Data
Gambar 4.1. Citra daerah Jawa Timur yang memperlihatkan danau lumpur yang berada disebelah timur laut Gunung Penanggungan. Diambil dari Google Earth.
Selat Madura dan gunung api merupakan sumber air yang paling mungkin memasok air ke wilayah danau lumpur, mengingat
Untuk mendapatkan data yang diperlukan dalam mengungkap geologi bawah permukaan wilayah sekitar daerah semburan lumpur Sidoarjo, maka pengukuran dilakukan dengan mengombinasikan tiga metoda geofisika yang memiliki keunggulan masingmasing, sehingga hasil yang diperoleh dapat diharapkan memberikan informasi yang valid, akurat dan jelas. Metoda geofisika dimaksud adalah metoda Gayaberat. Magnetotelluric (MT) dan Audio Magnetotelluric (AMT). 4.1.1. Metode Gayaberat Gayaberat adalah merupakan salah satu metode geofisika yang sering digunakan dalam kegiatan eksplorasi, mulai dari
“PeranGeologidalamPengembanganPengelolaanSumberDayaAlamdanKebencanaan”
Seminar NasionalKe – III FakultasTeknikGeologiUniversitasPadjadjaran
hidrokarbon, panasbumi, mineral, airtanah sampai kepada studi struktur kerak bumi. Prinsip metode ini berdasarkan kepada anomali gayaberat yang muncul karena adanya keanekaragaman kerapatan batuan (rock density inhomogeneity) di bawah permukaan. Keanekaragaman kerapatan batuan tersebut boleh jadi mencirikan adanya suatu struktur geologi atau batas lapisan, serta bahan-bahan penyusun lapisan tersebut, termasuk kehadiran fluida di dalamnya. Kerapatan batuan yang belum terkompaksi akan lebih kecil nilainya dibandingkan dengan batuan yang terkompaksi dengan baik (well compacted). Dengan kata lain, anomali gayaberat batuan sedimen tebal yang tidak terkompaksi akan lebih kecil daripada batuan sedimen tipis yang kompak. Perbedaan nilai kerapatan tersebut berkisar antara 0.3 sampai 0.7 g/cm3. 4.1.2. Audio Magnetotelluric (AMT) dan Magnetotellurik Metoda AMT dan MT adalah metoda sounding elektromagnetik (EM) untuk mengetahui struktur tahanan jenis bawah permukaan dengan cara melakukan pengukuran pasif komponen medan listrik (E) dan medan magnet (H) alam yang berubah terhadap waktu. Medan EM mempunyai kawasan frekuensi dengan rentang band frekuensi panjang yang mampu untuk investigasi dari kedalaman beberapa puluh meter hingga ribuan meter di bawah muka bumi. Makin rendah frekuensi yang dipilih makin dalam jangkauan penetrasi. Sumber energi gelombang EM yang digunakan dalam pengukuran AMT adalah sumber dari alam dengan frekuensi yang diambil berada pada frekuensi audio (30.000 - 1Hz), yang diperhitungkan dapat menembus kedalaman <1000 meter. Sedangkan sumber energi gelombang EM yang digunakan dalam pengukuran MT pada prinsipnya sama, hanya perbedaan frekuensi yang digunakan pada frekuensi audio antara ( 0,001 – 10KHz) yang diperhitungkan dapat menembus kedalaman >
6000 meter lebih.Pengukuran data AMT dan MT dilakukan dengan jarak antar titik ukur 1000 meter yang dibuat dalam lintasan terpilih. Perkiraan jumlah titik ukur AMT dan MT masing-masing sekitar 1 titik ukur/hari. 4.1.3.Teknik Pelaksanaan Pengumpulan Data Metode pengumpulan data yang dipilih dalam penelitian ini adalah survey lapangan, analisis di laboratorium dan studio. Survey lapangan berupa pengukuran geofisika dengan metoda gayaberat, AMT dan MT. Sedangkan pekerjaan studio di lakukan berupa pengolahan data, pembuatan peta kontur anomali Bouguer, peta anomali sisa orde 1, 2 dan 3, model penampang 2-D bawah permukaan, model dekonvolusi kedalam struktur gayaberat, model tahanan jenis AMT/MT 2-D. Studi pemetaan bawah permukaan dan model bawah permukaan dimaksudkan untuk memperoleh data berupa penampang geologi yang menggambarkan struktur bawah permukaan wilayah penelitian. Kriteria dan lokasi penelitian adalah untuk mendapatkan gambaran yang dibutuhkan agar tercapai sasaran, maka dicari lokasi penelitian yang tepat sasaran. Lokasi pengambilan data dipilih pada lintasan yang berhadapan dengan arah lokasi semburan lumpur agar data yang diperoleh memiliki validitas yang layak (Gambar 4.2.).
Gambar 4. 1. Peta yang menunjukkan lokasi-lokasi lintasan pengukuran dengan metoda Gravity, AMT dan MT di wilayah yang berhadapan dengan danau lumpur.
“PeranGeologidalamPengembanganPengelolaanSumberDayaAlamdanKebencanaan”
Seminar NasionalKe – III FakultasTeknikGeologiUniversitasPadjadjaran
V HASIL DAN PEMBAHASAN Pada Bab ini akan disajikan hasil kegiatan lapangan berupa, pengukuran dengan metode gayaberat atau, AMT dan MT serta analisis dan interpretasi terhadap semua data tersebut. Berdasarkan semua analisis dan pembahasan pada bab ini, maka akan dapat ditarik kesimpulan pada bab selanjutnya. 5.1. Data Gayaberat Penyajian dan pembahasan data gayaberat dibagi menjadi empat bagian, yakni Anomali Bouguer, Anomali Sisa, Model 2D Anomali Bouguer Gaya Berat dan Dekonvolusi Anomali Bouguer. 5.1.1. Anomali Bouguer Pengukuran gayaberat telah dilakukan di daerah Porong Sidoarjo dan telah merekam data sebanyak 161 titik ukur dengan interval jarak antara dua titik ukur kira-kira 1km. Setelah terlebih dahulu dilakukan koreksikoreksi terhadap data tersebut maka disajikan dalam bentuk peta kontur anomali Bouguer (Gambar 5.1.).
(SW), di sekitar daerah Watukosek di kaki gunung Penanggungan. Anomali ini ditafsirkan sebagai tinggian anomali gayaberat isostasi sedang. Sementara itu, pola kedua, merupakan anomali yang diwakili oleh nilai anomali -20 sampai -36 dan menempati wilayah sebelah Timurlaut (NE) di sebelah Timur komplek Porong Lapindo. Anomali ini ditafsirkan sebagai anomali gayaberat isostasi rendah, yang diperkirakan sebagai endapan sedimen Tersier dan Kuarter yang cukup tebal. Kedua pola ini menunjukkan adanya perbedaan kedalaman batuan dasar (basement) antara bagian Baratdaya (SW) dengan Timurlaut (NE) daerah penelitian. Lebih dari itu, kontrol struktur geologi diduga sangat kuat mempengaruhi distribusi anomali gayaberat di daerah penelitian. 5.1.2. Anomali Sisa Anomali sisa gayaberat diperoleh dengan cara memisahkan pengaruh anomali lokal dari pengaruh anomali regional. Pada umumnya, solusi yang dihasilkan akan tergantung pada kualitas informasi tambahan dalam mendekatkan sumber anomali lokal yang benar-benar mewakili obyek batuan penyebab anomali. Dari hasil studi pemisahan anomali sisa, diperoleh gambaran anomali sisa ordesatu (Gambar 5.2.) yang lebih representatif dan diharapkan dapat mencerminkan konfigurasi geologi bawah permukaan daerah penelitian.
Gambar 5. 1. Peta kontur anomali Bouguer daerah Porong, Sidoarjo Jawa Timur berikut titik-titik ukur gayaberat, interval 2 mGal, linkaran putih posisi semburan lumpur dari sumur bor Lapindo, garis merah putus-putus adalah lintasan pengukuran MT
Peta kontur anomali Bouguer tersebut secara kualitatif dapat diinterpretasikan adanya dua pola anomali di wilayah tersebut yaitu, pola pertama yang diwakili oleh anomali dengan nilai anomali berkisar antara +4 sampai -16 mGal yang menempati daerah Baratdaya
Gambar 5. 2. Peta anomali sisa orde-satu yang memperlihatkan kemiripan dengan peta anomali Bouguer
“PeranGeologidalamPengembanganPengelolaanSumberDayaAlamdanKebencanaan”
Seminar NasionalKe – III FakultasTeknikGeologiUniversitasPadjadjaran
Membandingkan anomali Bouguer dengan anomali sisa, maka terlihat bahwa peta anomali Bouguer sangat mirip dengan peta anomali sisa orde satu. Oleh karena itu dapat ditafsirkan bahwa batuan dasar sangat berpengaruh dalam membentuk pola anomali Bouguer tersebut diatas. Kuatnya pengaruh tersebut mencerminkan bahwa batuan penutup batuan dasar relatif tipis atau batuan dasar sangat dalam. Berdasarkan pola penyebaran maupun bentuk dari anomali yang diperoleh, dapat ditafsirkan beberapa kelurusan yang diperkirakan sebagai garis patahan dan umumnya diinterpretasikan sebagai sesar geser (Gambar 5.1). Arah pergerakan ditafsirkan dari bentuk ketidak lurusan pola anomali. Minimal Ada 2 buah kelurusan yang teridentifikasi dengan pergeseran berarah relatif baratlaut-tenggara. Beberapa tonjolan-tonjolan anomali positif membentuk kontur melingkar ditengah-tengah lokasi penelitian yang letaknya hampir sejajar dari barat ke timur membentuk punggungan. 5.1.3. Model 2-D Gayaberat
Anomali
Bouguer
Hasil pemodelan gayaberat didasarkan pada satu lintasan terpilih berarah utara selatan yang memotong pola umum struktur Cekungan Jawa Timur Utara (CJTU). Model ini dibuat berimpit dengan model penampang tahanan jenis magnetotellurik (MT). Hal ini dilakukan untuk mempertegas keberadaan struktur yang diharapkan, dengan menerapkan metode yang berbeda. Model lintasan ini (Gambar 5.3.) dimulai dari Porong, sebelah utara wilayah penelitian, menerus ke selatan sampai daerah Desa Watukosek dengan panjang lintasan sekitar 10km. Hasil pemodelan menunjukkan penampang gayaberat terdiri atas 3 lapisan. Lapisan pertama dengan nilai kerapatan batuan 2.10 gr/cm3, diinterpretasikan sebagai batuan sedimen dengan ketebalan sekitar 0-1km menipis ke arah selatan. Batuan sedimen ini tidak dapat dipisahkan dengan data yang ada, apakah terdiri dari batuan sedimen berumur
Tersier sampai Kurter maupun endapan permukaan.
Gambar 5. 3. Model 2-D Anomali Bouguer daerah Porong, Sidoarjo.
Lapisan kedua memiliki kerapatan batuan 2.25 gr/cm3 dan diinterpretasikan sebagai batuan sedimen yang berumur lebih tua dengan ketebalan sekitar 0.5km di mulai pada kedalam antara 0,7 sampai 1,2km dan menunjukkan penipisan kearah selatan Porong Sidoarjo. Lapisan ketiga yang merupakan lapisan paling bawah ditempati oleh batuan dengan nilai kerapatan batuan 2.50 gr/cm3, yang diinterpretasikan sebagai batu gamping Formasi Kujung. Batuan tersebut tampak keberadaannya cukup dalam. Dalamnya batuan dasar diperkirakan telah mendominasi efek anomali tinggi daerah penelitian dibandingkan dengan batuan sedimen, batu gamping maupun batuan volkanik yang menutupinya. 5.1.4. Dekonvolusi Anomali Bouguer Dekonvolusi merupakan salah satu metode interpretasi dalam eksplorasi geologi bawah permukaan yang diterapkan pada data potensial gayaberat. Dalam berbagai versi, metode ini telah diaplikasikan pada data gayaberat dan magnetik untuk menentukan posisi dan kedalaman sumber anomali. Prinsip metode ini adalah memisahkan bentuk benda penyebab anomali dari data medan potensial gayaberat yang didasarkan pada
“PeranGeologidalamPengembanganPengelolaanSumberDayaAlamdanKebencanaan”
Seminar NasionalKe – III FakultasTeknikGeologiUniversitasPadjadjaran
pendekatan dari pengukuran anomali gayaberat maupun medan magnetik dalam suatu jendela bergerak. Dalam jendela tersebut, anomali diasumsikan sebagai refleksi dari satu sumber anomali dengan kerapatan atau kemagnetan yang seragam dengan karakteristik posisi dan kedalaman dari sumber anomali yang lebih dekat atau yang memberikan efek lebih besar.
memiliki arah dan pola yang sama juga terdapat di tengah dan di sebelah barat daerah penelitian dengan kedalaman serta panjang struktur yang bervariasi. Sesar-sesar tersebut tampak jelas dari kelurusan titik-titik kedalaman yang dibuat dari solusi dekonvolusi Euler.
Dalam metode ini, harga kerapatan batuan maupun kerentanan magnetik tidak perlu diketahui atau dihitung. Karena itu, metode dekonvolusi ini sangat bermanfaat untuk memperoleh informasi yang cepat pada daerah yang kurang data atau informasi lainnya.
Pengukuran data magnetotellurik (MT) menghasilkan sebanyak 9 titik ukur yang dibuat berbentuk penampang tahanan jenis MT, dengan interval antar titik ukur kira-kira 1km. Lintasan ini dibuat pada arah dari baratdaya ke timurlaut, atau sepanjang penampang dari Desa Watukosek di kaki Gunung Penanggungan sampai dengan daerah Porong (Gambar 5.5.)
Hasil dari dekonvolusi Euler (Gambar 5.4.) memperlihatkan beberapa kelurusan dari struktur yang berarah baratdaya - timurlaut, yaitu di sebelah timur kaki Gunung Penanggungan dengan kedalaman 0.2 - 0.7 km. Pola yang mirip diidentifikasi juga lebih kearah timur lagi yaitu disekitar pemboran sumur Lapindo Brantas daerah Porong dengan kedalaman 1,5 – 3 km.
5.2.
Data Magnetotellurik
Gambar 5. 5. Distribusi batuan berdasarkan tahanan jenis dan penafsiran struktur berdasarkan penampang model 2-D tahanan jenis MT daerah Porong, Sidoarjo.
Gambar 5. 4. Peta dekonvolusi daerah Porong, Sidoarjo yang menunjukkan sejumlah kelurusan struktur yang berarah NE-SW yang salah satunya menerus dari kaki Gunung Penanggungan ke arah danau lumpur.
Dari pola data dekonvolusi Euler ini diinterpretasikan adanya kelurusan kontrol struktur yang menerus dari kaki Gunung Penanggungan kearah sebelah timurlaut Porong. Beberapa struktur lainnya yang
Hasil dari studi model ini menghasilkan beberapa lapisan kelompok tahanan jenis yaitu pertama (warna biru) kelompok tahanan jenis 1- 80 Ohm-m, kedua (warna putih) kelompok tahanan jenis 80-200 Ohm-m, ketiga (warna merah muda) kelompok tahanan jenis 200-5000 Ohm-m dan keempat (warna merah tua) kelompok tahanan jenis 5000-10000 Ohm-m. Lapisan pertama menempati wilayah mulai dari titik ukur MT4 sampai dengan MT-9. Pada titik ukur MT-3 lapisan ini muncul mulai dari permukaan dengan kisaran ketebalan 0-500 meter hingga pada titik MT-5. Dari titik MT-5, lapisan ini
“PeranGeologidalamPengembanganPengelolaanSumberDayaAlamdanKebencanaan”
Seminar NasionalKe – III FakultasTeknikGeologiUniversitasPadjadjaran
kembali agak menipis dengan kisaran ketebalan 0-100 meter pada titik MT-7 kemudian agak menebal kembali, mulai dari 0 - 400 meter pada titik MT-8. Dari titik MT-8 ke arah titik MT-9, lapisan ini kembali agak menipis dengan ketebalan mulai dari 0 - 200 meter. Lapisan kedua tersebar mulai dari titik ukur MT-2 sampai dengan titik ukur MT-9. Pada umumnya ketebalan lapisan ini hampir homogen di bawah lapisan pertama serta menunjukkan pola yang menerus sampai titik ukur MT-9. Tebal lapisan kedua ini diperkirakan rata-rata 200 meter. Lapisan ketiga terdistribusi mulai dari titik ukur MT-1 sampai dengan MT-9. Pada titik ukur MT-1 dan 2 lapisan ini tampak muncul di dekat permukaan, kemudian menerus dibawah lapisan pertama dan kedua sampai titik ukur MT-9. Antara titik ukur MT-2 dan MT-3, pada lapisan ini dijumpai zona tahanan jenis yang melemah yang menerus mulai dari kedalaman 250 meter sampai kedalaman 1500 meter lebih. Kemudian, mulai dari titik MT-4 sampai dengan titik MT-9 diperkirakan ratarata ketebalan lapisan batuan ini adalah 300 meter dengan kedalaman bervariasi mulai dari 600 meter pada titik MT-4 sampai 1200 meter pada MT-5 dan pada titik MT-7 kembali lebih dangkal sampai kedalaman 400 meter dari permukaan. Pola ini mengalami perulangan yang sama sampai titik MT-9 mengikuti pola lapisan di atasnya. Lapisan keempat dijumpai pada titk MT-1 mulai kedalaman 400 meter dari permukaan sampai kedalaman lebih dari 1500 meter. Kemudian, pada titik MT-4 lapisan ini terdapat mulai pada kedalaman 1000 meter dari permukaan menerus naik sampai kedalaman 600 meter pada titik MT-7 dan terus mengalami perulangan mengikuti lapisan di atasnya sampai titik MT-9. Pola tahanan jenis yang melemah ini mengindikasikan bahwa zona tersebut adalah zona yang telah berkurang kekompakan batuannya dan ini dapat diakibatkan oleh gerakan atau deformasi yang terjadi disebabkan adanya struktur patahan. Patahan ini sepertinya merupakan ujung selatan
struktur patahan yang teridentifikasi pada metode dekonvolusi, di kaki Gunung Penanggungan (lihat Gambar 5.4 ). VI KESIMPULAN Berdasarkan pembahasan dan analisis dari semua data yang sudah dikumpulkan di lapangan dan pemodelan yang dilakukan dengan simulasi komputer maka dapat disimpulkan: a) Terdapat tiga pola kelurusan struktur yang berarah NE-SW di wilayah Porong, Sidoarjo, yang salah satunya membentang dari daerah desa Watukosek di kaki Gunung Penanggungan ke arah danau lumpur di Sidoarjo. Kelurusan struktur ini yang ditafsirkan sebagai zona patahan dengan kedalaman antara 0.2 hingga 0.7km di daerah desa Watukosek dan semakin dalam di daerah danau lumpur (1.5 hingga 3 km), merupakan zona permeable yang dapat berperan sebagai saluran air bawah permukaan (subsurface water channel). Saluran inilah yang diinterpretasikan sebagai jalan pasokan air ke danau lumpur sehingga semburan lumpur terus berlangsung hingga saat ini. b) Walaupun data pada peta dekonvolusi menunjukkan kedalaman struktur patahan yang lebih dangkal (antara 0.2 hingga 0.7km), namun besar kemungkinan struktur ini menerus hingga kedalaman yang lebih dalam, seperti yang terlihat pada penampang tahanan jenis 2-D MT (Gambar 5.7). Hal ini berarti bahwa saluran pasokan air dari daerah Watukosek ke lokasi danau lumpur dapat berlangsung dari kedalaman 200 meter hingga 1500 meter. PUSTAKA Blakely, R.J., 1995. Potential Theory in Gravity and Magnetic Applications, Cambridge University Press, USA
“PeranGeologidalamPengembanganPengelolaanSumberDayaAlamdanKebencanaan”
Seminar NasionalKe – III FakultasTeknikGeologiUniversitasPadjadjaran
Dahrin, D., Kadir, W.G.A. dan Fatkhan, 1995. Analisa Metode Dekonvolusi Euler dan Analisa Spektral Untuk Penentuan Posisi Benda Anomali dari Medan Gravitasi Studi Kasus Selat Sunda, OFP-Institut Teknologi Bandung Kamtono dkk., (2005) Penelitian geologi dan geofisika daerah Bojonegoro-Tuban Cekungan Jawa Timur Utara (CJTU), Laporan Penelitian, Puslit Geoteknologi LIPI, Bandung. Kerugian Lumpur Lapindo Sangat Besar, diunduh pada tanggal 8 Juni 2010 pada alamat: http://metrotvnews.com/index.php/metr omain/newsvideo/2010/05/31/106282/K erugian-Luapan-Lumpur-LapindoSangat-Besar. Kronologi Bencana Lumpur Lapindo, diunduhpadaalamat: http://www.media indonesia.com/read/2010/07/27/158098/ 89/14/Kronologi-Bencana-LumpurLapindo Kusumastuti, A., P. Van Rensbergen and J. K. Warren, (2002) Seismic Sequence Analysis and Reservoir Potential of Drowned Miocene Carbonate Platforms in the Madura Strait, East Java, Indonesia, AAPG Bull, vol 86/2, p. 220. Mazzini, A., Svensen, H., Akhmanov, G.G., Aloisi, G., Planke, S., MaltheSorenssen, A. and Istadi,B. (2007) Triggering and dynamic evolution of the LUSI mud volcano, Indonesia, Earth and Planetary Science Letters, vol. 261, Issues 3-4, p. 375-388. Muhammad Adib Hasan, Pemodelan Model Zona Subduksi dan Struktur Bawah Permukaan Jawa Timur Berdasarkan Kajian Anomali Gravitasi, http://eprints.undip.ac.id/2663/1/ Penyebab Semburan Lumpur Sidoarjo, diunduhdarialamat: http://miningundana07.wordpress.com/2 009/10/08/penyebab-semburan-lumpursidoarjo/
Pringgoprawiro, H., (1983) Biostratigrafi dan paleogeografi cekungan Jawa Timur Utara, suatu pendekatan baru, Disertasi, ITB. Pringgoprawiro, H., (2008) Revisi Stratigrafi Cekungan Jawa Timur Utara dan Paleogeografinya, Disertasi, ITB. http://digilib.itb.ac.id/gdl.php?mod=bro wse&op=read&id=jbptitbpp-gdlharsonopri-28536 Santosa dan T. Suwarti, (1992) Geologi Lembar Malang, Jawa, Pusat Penelitian dan Pengembang Geologi, Bandung. Satyana, A.H. dan Paju, J.A., (2010) Optimalisasi sumber daya migas cekungan Jawa Timur, Blog IAGI, http://geologi.iagi.or.id/2010/06/29/opti malisasi-sumberdaya-migas-cekunganjawa-timur/ Satyana A.H. dan Satnidar, (2008) Mud Diapirs and Mud Volcanoes in Depression of Java to Madura: Origins, Natures and Implications to Petroleum System, Prosiding IPA. Telur Naga Meredam Semburan yang diunduhdarialamat: http://www.gatra.com/2007-0521/artikel.php?id=102872 Wardhana, D.D. dan Gaol, K. L., (2003) Aplikasi Metode Dekonvolusi Euler Terhadap Anomali Gayaberat Untuk Studi Struktur Regional Jawa Tengah. Jurnal Geofisika (HAGI), Ed.Tahun 2003-No.2, p.2-7.
“PeranGeologidalamPengembanganPengelolaanSumberDayaAlamdanKebencanaan”