PROPOSAL Peringatan Lima Tahun Semburan Lumpur Lapindo Di Porong Sidoarjo
Minggu ,29 Mei 2011 Di Tanggul Lumpur
FORUM KOMUNIKASI KORBAN LUMPUR LAPINDO Sekretariat : Jl.Bringin Timur RT.08/RW.03 Pamotan ,Telp. 031-83376674
Proposal Peringatan Lima Tahun Semburan Lumpur Lapindo a.
Pendahuluan Telah Lima tahun semburan lumpur Lapindo menenggelamkan 645 ha area di tiga kecamatan, Kabupaten Sidoarjo. Walau sudah lima tahun, luapan lumpur Lapindo tak ada tanda tanda segera tertutup. Ada dugaan berbagai upaya penutupan sumber lumpur Lapindo yang dilakukan oleh PT Lapindo Brantas dan pemerintah berlangsung tidak maksimal. Situasi semakin meluasnya daerah terdampak luapan lumpur Lapindo secara otomatis memunculkan problem ekologis dan sosial semakin komplek. Pemerintah memang telah membuat kebijakan, berupa Perpres No. 14 tahun 2007 yang ditujukan untuk penyelesaian luapan lumpur Lapindo. Bukannya menjadi rute penyelesaian kasus luapan lumpur Lapindo secara menyuluruh, kebijakan ini justru menimbulkan problema baru. Komnas Ham menyatakan Perpres No. 14 tahun 2007 adalah bentuk kebijakan yang menimbulkan pelanggaran HAM serius. Secara empiris, memang kebijakan ini menimbulkan masalah masalah baru yang tak kalah rumitnya dengan penanganan penutupan sumber lumpur Lapindo. Beberapa problema baru yang muncul adalah; pertama; pemerintah membatasi tanggungjawab PT Lapindo Brantas, dan sebagian problemnya menjadi beban pemerintah. Pembuatan peta area terdampak per 22 Maret 2007 memberi keringanan kepada Lapindo Brantas untuk membeli tanah warga. Setidaknya hanya 5 Desa yang menjadi tanggungan Lapindo, yakni Desa Siring (timur), Jatirejo (timur), Kedung Bendo, Renokenongo, dan Dusun Risen, (Desa Glagah Arum.) Padahal kerusakan ekologis tidak hanya merusak desa desa diatas. Setidaknya ada 16 desa lainnya, diluar desa diatas yang mengalami kerusakan ekologis. Sebanyak 16 desa itu justru menjadi beban pemerintah untuk mengurusnya. Dan itu artinya, seluruh rakyat Indonesia ikut menanggung penanganan lumpur Lapindo yang diakibatkan oleh PT Lapindo Brantas melalui APBN. Kedua; melalui kebijakan ini, pemerintah juga membatasi biaya pembuatan tanggul bagi PT Lapindo Brantas. PT Lapindo Brantas hanya menanggung pembuatan tanggul yang melingkar di pusat semburan hingga keselatan. Sisanya lingkar tanggul lainnya menjadi beban pemerintah. Bahkan belakangan, kebijakan ini direvisi, dimana semua penanggulan menjadi beban pemerintah. Ketiga; bagi desa desa yang ada didalam area terdampak yang menjadi tanggungjawab PT Lapindo Brantas, untuk menyelesaikan problem sosialnya, korporasi dibawah Bakrie Grup itu juga tak kunjung mencarikan solusi bagi warga yang ada didalamnya. Setidaknya masih terdapat 700 an kepala keluarga didalam area peta terdampak per 22 Maret 2007 yang belum setuju atas mekanisme yang dibuat oleh pemerintah. Serta masih menyisakan pekerjaan bagi penyelesaian pelunasan pembayaran bagi 12.000 kepala keluarga lainnya. Keempat; terjadi kelemahan kontrol impelementasi Perpres No. 14 tahun 2007, khususnya menyangkut tanggungjawab PT Lapindo Brantas di dalam area peta
terdampak. Seringkali ditemukan manipulasi data atas aset warga, molornya pembayaran transaksi pembayaran aset warga dari PT Minarak Lapindo Jaya, serta pembiaran oleh pemerintah atas munculnya taktik adu domba terhadap warga yang dilakukan oleh PT Minarak Lapindo Jaya. Kelima; Bagi desa desa luar peta terdampak luapan lumpur Lapindo yang menjadi tanggungan pemerintah belum ada skema penyelesaian yang kongkrit. Telah belasan kali anggota DPR dan pejabat pemerintah berkunjung ke desa desa ini. Sumber sumber pangan yang ada di ke 6 desa tersebut sebagiannya telah sirna. Bahkan sebagian diantaranya telah tenggelam luapan lumpur Lapindo. Lebih para lagi, muncul gelembung gelembung gas beracun yang mudah terbakar muncul diberbagai titik. Setidaknya muncul 90 titik gelembung gelembung gas beracun, dan penurunan lapisan tanah di desa desa luar peta ini. Akibat situasi ini, ratusan rumah warga dinding rumahnya retak dan ambles. Serta tercemarnya sumber sumber mata air yang selama ini menjadi tumpuan hidup warga mengkonsumsi air bersih. Keenam; BPLS secara sengaja atau tidak, membuat taktik pecah belah terhadap desa desa diluar peta terdampak. Strategi ini tampak didahulukannya Desa Besuki, Pajarakan, dan Kedung Cangkring mendapatkan jatah “penyelesaian” di dalam mata anggaran (APBN) perubahan tahun 2008 ini. Sementara sisa desa lainnya masih belum mendapatkan kepastian. Perbedaaan penanganan ini menimbulkan sekat perjuangan dan kecemburuan sesama warga desa diatas. Tindakan yang sama akan di ulangi lagi oleh BPLS dengan hanya mengusulkan 9 RT untuk masuk kawasan Peta Area Terdampak (PAT) baru, padahal kawasan yang rusak mencapai lebih dari 54 RT. Ketujuh; penggunaan aparat keamanan, khususnya polisi dan intelejen untuk meredam gerakan gerakan sporadis yang tumbuh dari masing masing warga desa. Dalam hal penanganan aksi massa yang dilakukan oleh warga seringkali jumlah polisi disiagakan 3 kali lipat dari jumlah massa. Situasi ini membuat mental warga jatuh saat merencanakan aksi, hingga berlangsungnya aksi. Aparat intelejen juga tidak kalah “over preventive” meredam aksi warga. Mereka mendatangi langsung tokoh tokoh warga desa yang dianggap sebagai patron gerakan massa disetiap desa. Seolah tak mau kalah untuk mendisiplinkan jajarannya, setiap pegawai negeri sipil (pns) juga mendapat tekanan yang serius dari atasan mereka agar tidak terlibat dalam setiap gerakan gerakan protes, walau para pns tersebut ikut menjadi korban Lapindo. Kedelapan; penggunaan aparat birokrasi mulai dari level desa hingga pemerintah pusat secara politis dan dikriminatif dalam hal penanganan tanggap darurat hingga skema penyelesaian jangka panjang. Fakta ini terlihat upaya diskriminasi jajaran birokrasi terhadap kelompok kelompok warga yang dianggap mengajukan skema tuntutan sendiri, diluar lay out yang dibuat oleh pemerintah. Contoh nyata terlihat perlakuan birokrasi terhadap pengungsi di Pasar Baru Porong. Program program pemerintah terhadap korban lapindo seringkali tidak dialokasikan terhadap mereka. Tetapi diutamakan kepada warga yang taat terhadap Perpres No. 14 tahun 2007. Kesembilan; Diduga ada langkah pembiaran dari BPLS, khususnya bagi desa desa luar peta terdampak. Strategi ini ditempuh untuk “melumpuhkan” terlebih dahulu
stamina warga dalam menggalang gerakan protes. Sehingga grafik tuntutan itu kian melemah. Pada posisi lemah itulah pemerintah baru menggulirkan kebijakan yang relative meringankan tanggungjawabnya, tetapi beresiko bagi ancaman kehidupan warga di masa depan. b.
Tujuan 1. Memupuk mental dan spiritual para korban Lapindo khususnya yang berada didalam peta maupun diluar peta area terdampak. 2. Membangun kekompakan dan solidaritas bagi suluruh korban lumpur lapindo. 3. Mengkampanyekan kepada publik tentang tragedi lima tahun lumpur lapindo. 4. Mengevaluasi kinerja pemerintah dalam penanganan dampak luapan lumpur
c.
Bentuk Kegiatan: Aksi Massa, Teaterikal, Pentas Seni dan Doa Bersama
d.
Waktu dan Tempat Pelaksanaan Hari/Tanggal
: Minggu , 29 mei 2011
Pukul
: 08.00 WIB (pagi) s/d Selesai
Tempat
: Tanggul Lumpur Lapindo
Jumlah peserta : ± 1.000 orang e.
Bantuan Anggaran: Nomor Rekening BRI Unit Porong 315701020361531 Atas nama Harwatik
f.
Susunan Anggaran (terlampir)
g.
Susunan Kepanitiaan: Ketua Panitia
: ACH.JAINUL ARIFIN
(Reno Kenongo)
Wakil Ketua Panitia
: ABDUS SALAM
(Ketapang)
Sekretaris
: JOKO SUGITO
(Pamotan)
Bendahara
: 1. Hj.NUR AINI
(Jatirejo)
2. SRI UTAMI
(Glagaharum)
: 1. HARTO
(Jatirejo)
Seksi Keamanan
2. SAMAN
(Jatirejo)
3. BASOR
(Pamotan)
4. UNTUNG
Seksi Acara
(Reno Kenongo)
5. RUDI
(Jatirejo)
6. SADAM
(Glagaharum)
: 1. SUWARNO
(Kedung Bendo)
2. ROKHIM
(Besuki Timur)
3. BUDIONO
(Bangun Sari)
Seksi Perlengkapan
4. KAMINAH
(Reno Kenongo)
: 1. EDI SISWANTO
(Mindi)
2. SUHADI 3. ARIFIN Seksi Humas
Seksi Kosumsi
: 1. HARI SUSILO
(Glagaharum) (Mindi) (Mindi)
2. AJI SELAMET
(Mindi)
3. IRSYAD
(Besuki Timur)
:
1. BAMBANG
(Siring)
2. HARWATI
(Siring)
3. SUTRIS
(Kedung Bendo)