ESENSI MANUSIA DALAM AL QUR’AN (PENDALAMAN AYAT-AYAT TENTANG MANUSIA PADA MATA KULIAH TAFSIR)
Oleh : Rivai Bolotio1
Abstrak Al Qur’an adalah wahyu Allah Swt yang mengandung petunjuk dan rahmat bagi manusia, menempati keudukan sebagai sumber utama yang paling otentik dan azasi. Doktrinnya universal dan menyentuh berbagai aspek, terutama yang berkaitan dengan esensi manusia sebagai objek utama Qur’an diturunkan. Dengan demikian, eksistensinya wajib dipedomani dan diamalkan dalam berbagai aktifitas hidup dan kehidupan. Kata Kunci : Manusia dalam pandangan Qur’an adalah khalifah, makhluk sosial dan pengemban amanah.
A. Pendahuluan Al Qur’an sebagai sumber utama ajaran Islam, banyak menyoal tentang masalah-masalah yang erat kaitannya dengan hidup dan kehidupan manusia. Bahkan dapat dinyatakan bahwa tidak satupun persoalan yang dihadapi oleh manusia luput dari pengamatan Al Qur’an. Hal ini dikarenakan oleh sifat universal, kosmopolit dan eternalnya2. Sejalan dengan hal ini, Mensinor Gustave Gebbon menyatakan bahwa: “ Al Qur’an mengandung undang-undang dasar yang pokok, bukan saja sekedar sebagai sumber hukum-hukum agama, melainkan juga hukum pidana dan perdata serta sumber hukum lainnya yang berkaitan dengan 1
Dosen Tetap Mata Kuliah Tafsir Pada Jurusan Tarbiyah Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Manado 2
Malik Fadjar, Reorientasi Pendidikan Islam, (Jakarta ; Fajar Dunia, 1999),
h. 40.
1
kehidupan manusia dan aturan-aturan yang mengatur tentang kehidupan
manusia”3.
Demikian
pula
seorang
oakar
berkebangsaan Jerman Rudolf Kreh, menegaskan bahwa: “Al Qur’an itu memuat peraturan-peraturan yang lengkap tentang masalah agama dan tingkah laku perbuatan. Lagi pula di dalamnya menjelaskan tentang soal pendidikan, masalah orang banyak seperti pemerintahan, militer, buruh (fakir miskin) dan juga masalah keadilan4. Pernyataan-pernyataan di atas, menegaskan bahwa Al Qur’an
merupakan
rujukan
hidup
satu-satunya
yang
membincangkan banyak hal tentang aspek hidup dan kehidupan manusia. Terlepas dari kekaguman dari yang meyakini akan kesahihan dan keindahan struktur bahasanya, Al Qur’an juga membuat banyak pakar terkagum-kagum karena validitas informasi tentang sains dan teknologi yang disampaikan Al Qur’an. Misalnya tentang microbiologi, psikologi, astronomi dan berbagai dimensi keilmuan lainnya. Unsur penting lainnya yang diinformasikan Al Qur'an melalui banyak ayatnya adalah keakuratan standar moral yang kemudian dengan hal tersebut memotifasi manusia untuk mematuhi segala bentuk aturan dan perundang-undangan hidup5.
Pernyataan ini sangat erat
3
Disadur dari Syahminan Zaini, Kewajiban Orang Beriman Terhadap Al Qur’an, (Surabaya; Al Ikhlas, 1990, h. 3. 4
Ibid., h. 30. Duaa Anwar, The Everything Koran Book, dialih bahasakan oleh Muh. Anwar Abdullah dengan judul, Memahami Segalanya Tentang Al Qur’an, (Batam Centre: PN. Karisma Publishing Group, 2007), h. 11. 5
2
kaitannya dengan fungsi dan peran manusia dalam berbagai aspek. Mencermati berbagai pernyataan di atas, jelas dipahami bahwa Al Qur’an adalah Kitab Suci yang sangat paripurna, dalam arti bahwa Al Qur’an bukan saja memuat persoalanpersoalan keagamaan (ubudiyah), tetapi juga menyangkut masalah-masalah keduaniaan. Hal inilah yang kemudian oleh Al Qur’an sendiri secara umum menyebutnya dengan konsep “hablun minallah wa hablun minannas”. Diantara sekian banyak persoalan yang harus dipahami oleh manusia adalah masalah esensi hidup dan kehidupannya yang lebih khusus berkaitan dengan fungsi dan perannya dalam menjalankan roda kehidupan baik dalam posisinya sebagai khalifah, makhluk sosial maupun sebagai makhluk pengemban amanah. Tulisan inilah kemudian akan menyoal bagaimana pandangan Al Qur’an tentang esensi manusia khususnya yang berhubungan dengan persoalan fungsi dan perannya
dan
sekaligus sebagai uraian pendalaman terhadap materi ayat-ayat tentang manusia yang terdapat dalam mata kuliah tafsir. B. Al Qur’an dan Esensi Hidup Manusia Manusia diciptakan sebagai sebuah bukti tentang keMaha Kesempurnaan Allah Swt. Kehebatan ciptaan Allah Swt. tersebut, dalam proses awal penciptaannya telah disaksikan oleh para malaikat dan jin. Ketika itu pula Allah telah 3
memperlihatkan kepada para malaikat dan jin akan kehebatanNya dalam menciptakan manusia sebagai makhluk yang sempurna. Untuk membuktikan kesempurnaan penciptaan baru tersebut, di saat yang bersamaan Allah Swt. menguji kemampuan para malaikat dan jin melalui perintah kepada mereka untuk menyebutkan satu persatu nama-nama benda yang ada di alam ini. Namun, para malaikat dan jin tidak sanggup menyebutkannya dan bahkan mereka hanya bisa berkata “subhaanaka laa `ilma lanaa illa maa `allamtanaa innaka anta-l`aliimu-lhakiim”. Akan tetapi ketika Allah mengalihkan pertanyaan itu kepada manusia yang baru saja diciptakan-Nya, dengan mudah manusia menjawabnya.6 Hal ini dikarenakan oleh kemampuan dan kesempurnaan yang berikan Allah kepada ciptaan-Nya yang baru itu yakni manusia. Berkorelasi dengan pernyataan di atas, Imam Ar-Raziy menegaskan bahwa : Tuhan yang mulia telah menganugerahi akal dan membuat kita menjadi hidup dengan maksud agar dapat mencapai manfaat bagi kehidupan di dunia dan di akhirat, suatu tujuan yang pada intinya merupakan tujuan hidup kita. Akal merupakan anugerah Allah yang paling bermanfaat, paling besar dan paling berharga bagi kita. Dengan akal kita dapat mencari apa yang sekiranya bermanfaat bagi diri kita dan manusia lain pada umumnya, serta membuat hidup kita bertambah baik dan menyenangkan. Dengan akal pula kita dapat sampai pada 6
Dialog ini dapat dijumpai pada firman Allah Swt. Qs. Al Baqarah (2) : 30
s/d 34.
4
tujuan kita, dapat mengetahui berbagai hal yang tertutup dan jauh dari kita, dan dengannya pula kita dapat mengetahui siapa Tuhan kita Yang Maha Mulia itu suatu pengetahuan yang paling penting dan paling bermanfaat bagi kita”7. Pendapat yang dikemukakan oleh Ar-Raziy di atas, dipahami secara jelas bahwa kesempurnaan manusia terletak dan sangat tergantung pada akal (pikiran). Karena dengannya manusia dapat dan sanggup menciptakan suatu kehidupan yang bermanfaat seperti kesejahteraan, kedamaian dan ketenteraman yang antara lain, menciptakan teknologi yang bermanfaat bagi kehidupan manusia pada umumnya. Pemahaman di atas didasarkan pada informasi Allah dalam Al Qur’an yang tersebut di dalam surat at-Tiin (95) : 4, sebagai berikut: Terjemahan: “Sesungguhnya kami Telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya “ (Qs. 95:4).
Konteks ayat di atas, disimpulkan dari penjelasan Imam Al Qurthubiy adalah “sederhana kecantikannya”. Demikian pendapat umum mufassirin. Manusia adalah sebaik-baik ciptaan dari segala ciptaan yang ada. Karena sesungguhnya semua sesuatu diciptakan berpaling dari wajahnya. Bagi manusia terdapat lidah yang bicara, terdapat pula jari jemari 7
Disadur dari Maftuh Ahnan, Filsafat Manusia, (Surabaya; Bintang Pelajar, t.th.), h. 90
5
yang bisa menggenggam. Menurut Abu Bakar bin Thahir, manusia dihiasi dengan akal yang berfungsi sebagai pembeda. Juga manusia itu mulia karena dapat berdiri dengan tegak dan dapat mengambil makanan dengan tangannya sendiri. Ibnul ‘Arabiy juga menjelaskan bahwa tidak ada bagi Allah ciptaan yang lebih baik dari pada manusia, hal itu disebabkab karena Allah
menciptakannya
berpengatahuan,
dalam
berkehendak,
keadaan
hidup
berkemauan,
dan
berbicara,
mendengar, melihat, berpikir dan bijaksana. Dan sifat-sifat tersebut merupakan sifat Allah Swt. dan dari sinilah sebahagian ulama menjadi bersyukur8. Seirama dengan penjelasan di atas, Imam Al Maraghiy juga berkesimpulan yang sama tentang ayat di atas. Secara garis besar pendapat Al Maraghiy dapat disimpulkan bahwa Allah dengan secara sungguh-sungguh telah menciptakan manusia
dalam
bentuk
yang
seindah-indahnya.
Allah
menciptakannya dalam keadaan tegak berdiri dan berpakaian. Manusia mengambil yang ia makan dengan tangannya sementara
hewan
mengambilnya
dengan
menggunakan
mulutnya, juga manusia dikhususkan dengan akal yang dapat dipakai untuk membedakan sesuatu dan bisa menerima pengetahuan serta pemahaman. Manusia dapat menggali suatu
8
Muhammad Abdullah bin Anshori al Qurthubiy, Tafsir al Qurthubiy, Juz XX, (Kairo; Daru-l Kutubi-l ‘Arabiy-l Thaba’ati, 1967), h. 114.
6
kekuasaan yang dapat menjadikan ia menjadi berkuasa atas semua sesuatu yang ada9. Mencermati penjelasan para mufassir di atas, dapat disimpulkan bahwa manusia adalah makhluk ciptaan Allah yang paling sempurna, karena telah difasilitasi selain panca indra seperti yang telah diberikan Allah kepada makhluk ciptaan lainnya, juga manusia telah disempurnakan dengan akal (pikiran) yang tidak diberikan kepada makhluk lainnya. Selanjutnya Yusuf Al Qardhawiy berpendapat bahwa: “Manusia itu adalah makhluk yang mulia dan terhormat pada sisi Tuhan. Manusia diciptakan Tuhan dengan bentuk yang amat baik. Dan sesudah ditiupkan roh kedalam tubuhnya, para malaikat disuruh sujud (memberi hormat) kepadanya. Tuhan memberi manusia berupa ilmu pengetahuan dan kemauan, dijadikan khalifah (penguasa) di bumi dan menjadikan pusat kegiatan dalam alam ini. Segala apa yang di langit dan di bumi, semuanya bekerja untuk kepentingan manusia. Dan kepadanya diberikan nikmat lahir dan bathin”10. Penegasan Al Qardhawiy di atas, secara gamblang dipahami
bahwa
manusia
dengan
potensi
akal
yang
dianugerahkan Allah kepadanya, membuktikan bahwa dia adalah makhluk yang sangat sempurna. Dengan akal yang 9
Ahmad Mustafa Al Maraghiy, Tafsir al Maraghiy, Juz XXX, Cet. I, (Mesir; Maktabah Mustafa al Babi-l Halabi wa Auladuhu, 1966), h. 195. 10
Yusuf Qardhawiy, Al Imanu wal Hayat, diterjemahkan oleh Fakhruddin HS., dengan judul, Iman dan Kehidupan, Cet. II, (Jakarta; Bulan Bintang, 1983), h. 58.
7
dimilikinya dia mampu berkuasa (khalifah) untuk memenej alam baik yang terdapat di langit maupun di bumi dan untuk kepentingan manusia itu sendiri. Jika manusia sebagai khalifah11, maka dia diberikan tanggung jawab sebagai pengatur, pengelola dan penata serta membangun dunia dalam berbagai aspek kehidupan. Untuk lebih memperjelas pemahaman tentang esensi manusia dalam pandangan Al Qur’an, berikut ini secara sitematis akan dikemukakan penjelasan singkat tentang beberapa fungsi dan peran manusia diciptakan sebagai berikut : 1. Manusia Sebagai Khalifah Suatu hal yang tidak dapat dipungkiri bahwa penciptaan
manusia
adalah
untuk
menjadi
khalifah
sekaligus penguasa tunggal dan perkasa. Dalam hubungan ini, Ibrahim el Khouly menyatakan: Manusia diciptakan untuk menjadi khalifah di muka bumi, penguasa tunggal dan perkasa. Aspek paling luar biasa dari kekhalifahannya dan salah satu fungsi terpenting ialah mengelola atau memakmurkan bumi. Dengan sendirinya penyembahan kepada Allah merupakan satu-satunya tujuan akhir penciptaan manusia12.
11
Disini diisyaratkan juga tiga konsep khalifah yaitu, tugas kekhalifahan terhadap diri sendiri, kekhalifahan dalam keluarga (rumah tangga) dan kekhalifahan dalam masyarakat. Lihat, Abu Bakar Muhammad, Membangun Manausia Seutuhnya Menurut Al Qur’an, (Surabaya; Al Ikhlas, t.th.), h. 203. 12
Ibrahim El Khouly, Islam Dalam Masyarakat Kontemporer, Cet. I, (Bandung; Gema Risalah Press, 1988), h. 39.
8
Pernyataan di atas, memberikan suatu pengertian bahwa manusia adalah penguasa yang paling tunggal dan memiliki keperkasaan dari pada makhluk lainnya yang ada di bumi. Karena memang manusia diciptakan Allah terdiri dari roh dan jasad serta dilengkapi dengan akal dan nafsu. Akal dipergunakan untuk berpikir dan menganalisa berbagai persoalan baik yang tampak di hadapannya ataupun
tidak,
sementara
nafsu
digunakan
untuk
menyalurkan naluri kemanusiaannya, seperti seks, sandang, pangan, papan dan sebagainya. Selanjutnya Endang Saifuddin Anshari menyatakan: “Sebagai khalifah Allah di muka bumi, manusia dilengkapi Allah dengan pelbagai macam hidayah (instink, indria, akal, agama dan hidayah taufiq). Kepada manusia dianugerahkan Tuhan limited freewill, dengan konsekuensi tanggung jawab individual pada hari akhirat, dimana segala indria dan alat badani lainnya dijaadikan sebagai saksi”13. Nampaknya pemikiran-pemikiran di atas merupakan pemahaman lanjut dari Qs. Al Baqarah (2) : 30, sebagai berikut: Terjemahan: “ Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." (Qs.2:30). 13
Endang Saifuddin Anshari, Kuliah Al Islam, Cet. I, (Jakarta: Rajawali, 1986), h. 119.
9
Dengan demikian, semakin transparanlah bahwa makhluk yang bernama manusia adalah memiliki fungsi dan peran utama sebagai khalifah di muka bumi. Dalam kaitannya dengan fungsi kekhalifahannya, manusia dapat menjadi stabilisator terhadap makhluk ciptaan Allah lainnya. Akan tetapi, jika manusia tidak dapat menjalankan fungsinya tersebut dengan seharusnya, maka kedudukan menusia sebagai makhluk yang diciptakaan sempurna akan berbalik menjadi makhluk yang lebih jelek dan terhina. Dalam kaitan ini Allah Swt. berfirman dalam Qs. Al A’raf (7) : 179, sebagai berikut : Terjemahan: Dan Sesungguhnya kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayatayat Allah). mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. mereka Itulah orang-orang yang lalai.(Qs.7: 179)
Ayat di atas, menjelaskan bahwa apakah manusia dapat mempertahankan eksistensinya sebagai khalifah ataukah dia akan menjadi lebih buruk dari pada binatang yang pada gilirannya akan menghantarkannya ke jurang kehidupan nista dan sengsara, maka hal demikian sangatlah 10
tergantung
pada
kemampuan
kekhalifahannya
dengan
fasilitas-fasilitas
hidup
menjalankan
memanfaatkan yang
telah
secara
diberikan
fungsi baik Tuhan
kepadanya. Jika manusia meyakini bahwa hidup ini ada batasan panjang pendeknya kesempatan untuk beraktifitas di bumi, maka semua kesenangan yang tersedia di muka bumi akan berkesudahan walapun dengan cara secanggih apapun yang memungkinkan dia dapat bertahan dan menikmati seluruh kesenangan yang ada. Karena kehidupan ini kesempatan satu-satunya
yang
tersedia
bagi
manusia
untuk
menjalankan roda aktifitas kehidupannya adalah ketika diberikan kesempatan oleh Tuhannya untuk menjadi khalifah. Karena ketika manusia sudah lenyap (punah) maka kesempatan yang demikian berharga itu tidak akan perna kembali lagi14. Demikian juga sebagai khalifah, manusia dibebani tanggung jawab yang dipikulkan Tuhan kepadanya dan beban kewajiban tersebut mengharuskan manusia mengetahui dengan jelas apa yang semestinya dia lakukan sebagai khalifah di bumi ini15. 2. Manusia Sebagai Makhluk Sosial
14
Ibrahim El Khouly, Op. Cit., h. 45
15
Abbas Mahmud Al Aqad, Manusia Diungkap Al Qur’an, Cet. I, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986), h. 28.
11
Sistem sosial di dalam masyarakat manusia adalah suatu hal yang wajib dipertahankan dan dilestarikan sebagai wahana interaksi dalam kehidupan di bumi. Karena manusia sebagai makhluk sosial yang terjadi sejak manusia terlahir ke dunia inimerupakan salah satu fitrah manusia. Dalam artian bahwa manusia tidak dapat hidup selayaknya ketika tidak ada interaksi dengan kehidupan manusia lainnya. Sistem sosial yang paling sempurna dan lengkap dalam kehidupan manusia adalah sistem sosial yang dimiliki oleh Islam. Dalam kaitan ini Fuad Ansyari menyatakan “bila pemimpin Islam (umat) tidak peka akan ketidak beradaannya prinsip sosial islami di negaranya (yang berganti dengan keberadaannya prinsip non Islam dalam
kehidupan
sosialnya),
maka
tunggu
saja
kemunduran Islam di negara, dan Allah meminta pertanggung jawabannya. Kekokohan aspek ritual akan merapuh dan menjadi roboh bila tidak didukung oleh kekokohan Islam dalam dimensi sosialnya”16 Saat ini prinsip sosial dimaknakan sebagai prinsip pada objek-objek sosial. Objek sosial dimaksud boleh jadi dari diri kita sendiri, atau orang lain17. Dalam kaitan ini 16
Fuad Ansyari, Islam Di Indonesia Suatu Filter Mengaca Diri, Cet. I, (Jakarta: Rajawali, 1986), h. 210. 17
Jalaluddin Rahmat, Islam Alternatif, Cet. I, Bandung: Mizan, 1987), h.
139.
12
Allah Swt. berfirman dalam Al Qur’an surat al Dzariyat (51) : 21, sebagai berikut :
Terjemahan: “Dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tidak memperhatikan?” (Qs. 51:21).
Ayat di atas memberikan pengertian bahwa sebelum menjalin hubungan sosial dengan orang lain, maka diharuskan untuk berinteraksi terlebih dahulu dengan diri sendiri sebagai objek pertama, kemudia barulah berinteraksi dengan orang lain dan makhluk yang ada di sekitar kehidupannya. Dalam berinterkasi kaum muslimin dengan kelompok lainnya, baik yang ada di wilayah kekuasaan kaum muslimin, maupun yang berada di luar daulah, berproses pada prinsip saling menghargai dan memberikan kebebasan dan kemerdekaan serta menghormati hak hidup manusia lainnya. Asas ini mendasari semua bentuk perhubungan, serta patokan bagi langkah-langkah
penyelesaian
apabila
terjadi
permasalahan di dalamnya18. Interaksi semacam ini merupakan penjabaran dari nila-nilai doktrinal secara hakiki, Islam menghendaki kedamaian diantara manusia, sebagai suatu penghargaan terhadap freewill manusia, dan tidak patut untuk melakukan tindakan pemaksaan terhadap 18
A.M. Saefuddin, et.al., Desekulerisasi Pemikiran Landasan Islamisasi, Cet. I. (Bandung: Mizan, 1987), h. 194
13
kemerdekaan orang lain
19
dalam kaitan ini Allah Swt.
berfirman dalam Al-Qur’an surat al-Baqarah (2) ayat 256, sebagai berikut : Terjemahan: Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya Telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia Telah berpegang kepada buhul tali yang amat Kuat yang tidak akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui. (Qs. 2:256).
Ayat di atas memberikan pemahaman kepada manusia di dalam memilih agama dan tidak boleh ada pemaksaan atau intimidasi dari siapapun, karena hal itu merupakan pernyataan seseorang untuk memilih agama. Begitu pula menyangkut hal-hal lain tidak boleh seseorang memaksakan kehendaknya kepada orang lain dalam bentuk yang bagaimnapun, sebab yang demikian itu tidak mencerminkan
penghargaan
terhadap
kemerdekaan
seseorang. 3. Manusia Sebagai Makhluk Pengemban Amanah Di dalam Al-Qur’an telah disebutkan bahwa tatkala Al-menciptakan sesuatu yang ada di bumi dan langit, lalu 19
Ibit., h. 195.
14
Allah Swt menawarkan kepada langit untuk menerima amanah itu, akan tetapi langit enggan menerima amanah tersebut. Begitu pula bumi dan gunung-gunung; maka amanah itu diserahkan kepada manusia, maka manusia lalu menerimanya. Sehubungan dengan itu Allah Swt. berfirman dalam Al-Qur’an surat al-Ahzab (33) ayat 72, sebagai berikut: Terjemahan : Sesungguhnya kami Telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, Maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh (Qs. 33:72).
Konteks ayat tersebut terlihat dengan jelas, bahwa pada mulanya amanah tersebut diserahkan kepada mahkluk-mahkluk selain mansia. Tapi karena keengganan mereka untuk memikul tanggung jawab tersebut, maka diserahkanlah amanah itu kepada manusia, dengan harapan nantinya manusia dapat melaksanakannya dengan sebaik-baiknya. C. Kesimpulan Bertolak dari tiga fungsi dan peran utama kehadiran manusia di bumi ini sebagaimana telah diuraikan di atas, maka 15
disimpulkan bahwa esensi dari eksistensi manusia akan dapat termanifestasi secara baik dan tepat, ketika manusia itu mampu memainkan fungsi dan peranannya sejalan dengan tujuan penciptaan manusia itu sendiri oleh Allah Swt. Maksudnya, ketika manusia sadar akan jati dirinya sebagai khalifah Allah fil ardhi, sebagai bagian dari kehidupan makhluk lain di dunia ini, dan juga sadar akan tanggung jawab atas seluruh amanah yang dibebankan Allah pada dirinya, kemudian dia aplikasikan seluruhnya untuk kehidupan yang bermanfaat, maka itulah manusia yang telah menemukan esensi diri yang sebenarnya dan pada gilirannya dia merupakan makhluk terbaik untuk dirinya, orang (makhluk) lain dan utamanya terbaik dalam pendangan Allah Swt.-
DAFTAR PUSTAKA Abbas Mahmud Al Aqad, Manusia Diungkap Al Qur’an, Cet. I, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986) Abu Bakar Muhammad, Membangun Manausia Seutuhnya Menurut Al Qur’an, (Surabaya; Al Ikhlas, t.th.) Ahmad Mustafa Al Maraghiy, Tafsir al Maraghiy, Juz XXX, Cet. I, (Mesir; Maktabah Mustafa al Babi-l Halabi wa Auladuhu, 1966) A.M. Saefuddin, et.al., Desekulerisasi Pemikiran Landasan Islamisasi, Cet. I. (Bandung: Mizan, 1987), h. 194 Duaa Anwar, The Everything Koran Book, dialih bahasakan oleh Muh. Anwar Abdullah dengan judul, Memahami Segalanya Tentang Al Qur’an, (Batam Centre: PN. Karisma Publishing Group, 2007) Endang Saifuddin Anshari, Kuliah Al Islam, Cet. I, (Jakarta: Rajawali, 1986) Fuad Ansyari, Islam Di Indonesia Suatu Filter Mengaca Diri, Cet. I, (Jakarta: Rajawali, 1986)
16
Ibrahim El Khouly, Islam Dalam Masyarakat Kontemporer, Cet. I, (Bandung; Gema Risalah Press, 1988) Jalaluddin Rahmat, Islam Alternatif, Cet. I, Bandung: Mizan, 1987), h. 139. Maftuh Ahnan, Filsafat Manusia, (Surabaya; Bintang Pelajar, t.th.) Malik Fadjar, Reorientasi Pendidikan Islam, (Jakarta ; Fajar Dunia, 1999) Muhammad Abdullah bin Anshori al Qurthubiy, Tafsir al Qurthubiy, Juz XX, (Kairo; Daru-l Kutubi-l ‘Arabiy-l Thaba’ati, 1967) Syahminan Zaini, Kewajiban Orang Beriman Terhadap Al Qur’an, (Surabaya; Al Ikhlas, 1990) Yusuf Qardhawiy, Al Imanu wal Hayat, diterjemahkan oleh Fakhruddin HS., dengan judul, Iman dan Kehidupan, Cet. II, (Jakarta; Bulan Bintang, 1983)
17