Buletin Al-Islamiyah Media Kajian dan Dakwah Universitas Islam Indonesia http://alislamiyah.uii.ac.id
TAFSIR SURAT AL-BAQARAH TENTANG KEKHALIFAHAN MANUSIA [caption id="attachment_254" align="alignleft" width="150"]
Kekhalifahan Manusia[/caption] Oleh: Supriyanto Pasir* Setelah membicarakan tentang kemahabesaran Allâh Azza wa Jalla sebagai Pencipta apa saja yang ada di bumi untuk manusia dan mengingatkan manusia untuk tidak lalai beribadah kepada-Nya, selanjutnya Allâh Azza wa Jalla perlu menjelaskan kepada manusia tentang tugas-tugas lain mereka di muka bumi yaitu menjadi khalifah Allâh Azza wa Jalla. ??????????? ??????? ??????????????? ?????? ??????? ??? ????????? ?????????? ???????? ?????????? ??????? ???? ???????? ??????? ?????????? ?????????? ???????? ??????????? ?????????? ??????????? ???? ????? ?????? ???????? ??? ??? ???????????? “30. Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan di muka bumi itu seorang khalifah." Mereka berkata: "Apakah Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku lebih mengetahui apa yang tidak kalian ketahui." (QS al-Baqarah [2]: 30) Terjemahan makna ayat 30 tersebut seringkali terlihat terdapat penambahan kata ingatlah , seperti terlihat di atas. Ada penjelasan untuk itu terkait dengan ilmu dalam bahasa Arab. Hal itu terkait erat dengan kata idz yang oleh sebagian orang dianggap sebagai huruf tambahan (zâ’idah). Jumhur Mufassir menyatakan bahwa huruf idz sesudah huruf wawu bukanlah tambahan. Huruf idz di ayat tersebut sesungguhnya digantungkan (mu’allaqah) dengan kata kerja (fi’l) yang muqaddar yang taqdirnya adalah wadzkur idz qâla.[1] Itulah mengapa sebabnya dalam terjemahan maknanya mendapat tambahan kata ingatlah meskipun di teks al-Qur’an-nya tidak terdapat kata udzkur dalam bentuk fi’l amr. Ayat tersebut di atas memerintahkan Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam untuk mengingat apa yang pernah disampaikan Allâh Azza wa Jalla kepada para Malaikat-Nya.[2] Hal ini sekaligus sebuah isyarat bagi Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam untuk
1 / 18
Buletin Al-Islamiyah Media Kajian dan Dakwah Universitas Islam Indonesia http://alislamiyah.uii.ac.id
menyampaikan dan mengingatkan kembali umatnya tentang tugas yang pernah dibebankan kepada manusia pada awal penciptaannya. Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam dan umatnya disuruh untuk mengingat suatu peristiwa ketika Allâh Azza wa Jalla berfirman kepada para Malaikat terkait rencananya menciptakan dan mengangkat seorang khalifah di muka bumi. Khalifah itu, dalam rencana Allâh Azza wa Jalla, dimaksudkan untuk menggantikan peran Allâh Azza wa Jalla dalam melaksanakan hukum-hukum-Nya. Khalifah itu adalah Adam‘alaihi alsalâm dan juga kaum-kaum sesudahnya yang sebagian menggantikan sebagian lainnya di kurun waktu dan generasi yang berbeda. Demikian penjelasan dari Muhammad Ali al-Shabuni dalam kitab tafsirnya, Shafwah al-Tafasir: Tafsir li al-Qur’an al-Karim.[3] Terkait rencana besar Allâh Azza wa Jalla itu para Malaikat mempertanyakannya kepada Allâh karena keheranan (al-ta’ajjub), keingintahuan (al-isti’lâm), dan keinginan membuka tabir kebijaksanaan Allâh (istiksyâf ‘an al-hikmah), bukan karena meragukan dan memprotes kebijakan Allâh Azza wa Jalla. Penulis tidak setuju dengan penafsiran sebagian orang yang menafsirkan bahwa para Malaikat memprotes Allâh atas kebijakan-Nya akan menciptakan khalifah di muka bumi. Sebagian yang lain bahkan menggunakan kata yang lebih ekstrim bahwa para Malaikat mendemo Allâh . Tidak! Sama sekali tidak seperti itu. Para Malaikat tidak sedang protes. Bagaimana mungkin mereka memprotes padahal mereka, seperti dinyatakan Allâh Azza wa Jalla sendiri dalam al-Qur’an sebagai makhluq yang tidak pernah membangkang perintah Allâh dan bahkan senantiasa taat melaksanakan apa pun yang diperintahkan Allâh bagi mereka.[4] Selain itu dapat diketahui dari penggunaan huruf alif sebelum fi’l mudhâri’ yang merupakan harf al-istifhâm yang berarti apakah, bukan mengapa. Para Malaikat bertanya apakah Allâh Azza wa Jalla perlu menciptakan khalifah jika dia dan keturunannya nanti menurut pemberitahuan Allâh kepada para Malaikat-Nya adalah akan berpotensi melakukan kerusakan di muka bumi.[5] Kalaulah yang Allâh inginkan adalah agar mereka beribadah kepada-Nya, bukankah selama ini para Malaikat senantiasa bertasbih dan mentaqdiskan (mensucikan) Allâh Azza wa Jalla ? Mufassir lain menganggap bahwa para Malaikat bertanya berdasarkan ketidaktahuan mereka sehingga mereka menduga-duga jangan-jangan makhluk itu tidak seperti mereka. Janganjangan mereka adalah makhluk yang durhaka (ma’shiyah) kepada Allâh Azza wa Jalla dan pada akhirnya hanya akan membuat kerusakan dan menumpahkan darah di muka bumi Allâh Azza wa Jalla dengan berperang dan saling berbunuhan. Hal itu didasarkan kepada dugaan yang mereka anggap sebagai pengetahuan spesifik (‘ilm khâssh) mereka bahwa jenis makhluq yang akan diciptakan Allâh itu memiliki kecenderungan melakukan kerusakan dan pertumpahan darah.[6] Sebagian Mufassir mendasarkan dugaan para Malaikat terhadap makhluq Allâh bernama Jinn yang pernah menghuni bumi terlebih dahulu dan mereka melakukan kerusakan di muka bumi. Keterangan seperti ini didasarkan kepada keterangan alDhahak yang bersumber kepada Ibn ‘Abbas dan keterangan Mujahid yang bersumber kepada Abdullah ibn ‘Amr.[7] Pertanyaan dan anggapan (bukan keraguan dan perasaan dengki) para Malaikat dijawab oleh Allâh Azza wa Jalla bahwa semua itu sudah diperhitungkan secara matang atas dasar Kemahatahuan-Nya yang melampaui pengetahuan semua makhluq-Nya, termasuk para Malaikat. Semua yang akan Allâh Azza wa Jalla lakukan atas makhluq-Nya sudah Allâh Azza wa Jalla skenariokan dengan penuh detil yang tidak ada cacatnya. "Sesungguhnya Aku
2 / 18
Buletin Al-Islamiyah Media Kajian dan Dakwah Universitas Islam Indonesia http://alislamiyah.uii.ac.id
mengetahui apa yang tidak kalian ketahui." Allâh Azza wa Jalla bermaksud menyadarkan para Malaikat-Nya bahwa sesungguhnya Dia mengetahui kemaslahatan dan hikmah sesuatu yang tidak mereka ketahui. Termasuk dalam penciptaan seorang khalifah, tentu ada suatu hikmah yang boleh jadi tidak mereka ketahui. ??????? ??????? ???????????? ???????? ????? ?????????? ????? ?????????????? ??????? ????????????? ??????????? ??????????? ???? ???????? ??????????? “31. Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama bendabenda itu jika kalian mamang orang-orang yang benar!" (QS al-Baqarah [2]: 31) Selanjutnya Allâh mengajarkan kepada Adam nama-nama. Dan adalah hak Allâh Azza wa Jalla sepenuhnya untuk mengajarkan sesuatu kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya. Oleh Allâh Azza wa Jalla, Adam as diajari oleh Allâh nama-nama ciptaan-ciptaan Allâh Azza wa Jalla (al-makhluqât). Setelah nama-nama itu dapat Adam ketahui dan ingat dengan baik, selanjutnya Allâh Azza wa Jalla perlu membuktikan apa yang pernah disampaikan-Nya kepada para Malaikat terkait kemahatahuan-Nya. Oleh Allâh Azza wa Jalla, nama-nama itu diajukan kepada Malaikat untuk mereka sebutkan satu persatu jika mereka benar-benar mengetahuinya. Hal ini penting karena akan berkait erat dengan pernyataan Allâh di ayat terdahulu, "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kalian ketahui." (#qä9$s% y7oY»ysö6ß™ Ÿw zNù=Ïæ !$uZs9 žwÎ) $tB !$oYtFôJ¯=tã ( y7¨RÎ) |MRr& ãLìÎ=yèø9$# ÞOŠÅ3ptø:$# ÇÌËÈ ???????? ??????????? ??? ?????? ????? ?????? ??? ???????????? ??????? ?????? ??????????? ??????????? “32. Mereka menjawab: "Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang Telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah Yang Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana." (QS al-Baqarah [2]: 32) Malaikat mengakui keterbatasan pengetahuan mereka. Mereka tidak mampu menyebutkan nama-nama yang ditunjuk oleh Allâh Azza wa Jalla. Mereka juga menyadari bahwa pengajar mereka adalah Allâh Yang Maha ‘Alim lagi Maha Hakim. "Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang Telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah Yang Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana." Semua makhluq Allâh diberi pengetahuan yang terbatas sifatnya, termasuk para Malaikat yang lebih banyak mengetahui hal-hal yang ghaib menurut pandangan manusia. Hanya Allâh sendirilah yang paling mengetahui apa saja yang ada di alam Allâh Azza wa Jalla, langit maupun bumi, dunia maupun akhirat. Karena Dia Yang Maha Tahu, maka banyak sekali kebijaksanaan-Nya (hikmah) yang tidak akan mampu ditembus oleh makhluq-Nya, kecuali jika Allâh sendiri yang berkenan memberitahukannya. Karena itu Allâh Azza wa Jalla disebut sebagai hakîm, Yang Maha Bijaksana, yang memiliki kebijaksanaan yang paling tinggi. Meskipun terkadang para Malaikat kurang mengerti. Meskipun terkadang akal manusia
3 / 18
Buletin Al-Islamiyah Media Kajian dan Dakwah Universitas Islam Indonesia http://alislamiyah.uii.ac.id
menemui kebuntuan dalam membaca kebijaksanaan-Nya. ????? ???????????????? ???????????? ??????????????? ???????? ???????????? ??????????????? ????? ?????? ?????? ?????? ?????? ???????? ?????? ????????????? ??????????? ?? ???????? ??? ?????????? ????? ???????? ???????????? 33. ”Allâh berfirman: "Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama benda ini." Maka setelah diberitahukannya kepada mereka nama-nama benda itu, Allâh berfirman: "Bukankah sudah Aku katakan kepada kalian, bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kalian lahirkan dan apa yang kalian sembunyikan?" Untuk membuktikan kebenaran Allâh Azza wa Jalla dan kesalahan mereka yang terkesan mengesampingkan kemahatahuan dan kebijakan-Nya, Allâh Azza wa Jalla memerintahkan Adam menyebutkan nama-nama itu. Adam pun dengan patuh menyebutkan nama-nama itu dengan sebaik-baiknya sehingga Allâh Azza wa Jalla perlu menyatakan kepada para Malaikat-Nya, "Bukankah sudah Aku katakan kepadamu, bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan?" Bukan hanya sekedar mengajarkan nama-nama yang tidak mereka ketahui kepada Adam. Apa saja yang ada di langit dan di bumi Allâh Azza wa Jalla mengetahuinya dengan baik. Pengetahuan Allâh Azza wa Jalla bahkan meliputi apa yang disampaikan para Malaikat dan apa yang disembunyikan di dalam diri mereka berupa persangkaan mereka terhadap bakal khalifah Allâh Azza wa Jalla di muka bumi. ??????????? ??????????????? ?????????? ???????? ??????????? ?????? ?????????? ????? ????????????? ??????? ???? ?????????????? “34. Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para Malaikat: "Sujudlah kalian kepada Adam!" Maka sujudlah mereka kecuali Iblis, ia enggan dan membesarkan diri dan adalah ia termasuk golongan yang Kafir.” (QS al-Baqarah [2]: 34) Setelah para Malaikat menyadari keagungan Allâh Azza wa Jalla dan mengetahui sebagian hikmah dari penciptaan seorang khalifah di muka bumi, selanjutnya Allâh Azza wa Jalla memerintahkan para Malaikat untuk sujud kepada Adam ‘alaihi al-salâm. Sujud yang dimaksud di sini bukanlah sujud sebagaimana layaknya sujudnya seorang hamba kepada Sang Pencipta (al-Khâliq).[8] Sujud yang diperintahkan Allâh Azza wa Jalla adalah sujud penghormatan (tahiyyah) dan pemuliaan (ta’zhîm) terhadap Adam sebagai makhluq ciptaan Allâh Azza wa Jalla yang memiliki kelebihan atas makhluq yang lain karena adanya karunia Allâh Azza wa Jalla,[9] bukan sujud memperhambakan diri (sujûd ’ibâdah). Kita semua telah sama-sama mafhum bahwa sujud memperhambakan diri itu hanyalah semata-mata untuk Allâh Azza wa Jalla, Tuhan Yang Maha Esa. Bukan untuk yang selain Allâh Azza wa Jalla. Menghadapi perintah Allâh Azza wa Jalla itu para Malaikat Allâh Azza wa Jalla sujud kepada Adam karena taat dan patuh melaksanakan perintah Allâh Azza wa Jalla. Namun ternyata ada yang tidak mau turut bersujud, yaitu Iblis. Penyebutan nama Iblis setelah
4 / 18
Buletin Al-Islamiyah Media Kajian dan Dakwah Universitas Islam Indonesia http://alislamiyah.uii.ac.id
penyebutan nama Malaikat dalam bentuk kalimat seperti dalam ayat tersebut di atas membawa kesan bahwa Iblis termasuk golongan dari Malaikat. Sebagian Mufassir menyatakan bahwa Iblis adalah termasuk golongan Malaikat. Sebagai bukti bahwa Iblis merupakan bagian dari Malaikat adalah karena perintah itu sejak awal adalah ditujukan kepada para Malaikat-Nya. Selanjutnya ada pernyataan tentang sujudnya para Malaikat-Nya dalam bentuk kata kerja lampau ( f’il mâdhi). Setelah adanya penjelasan adanya perbuatan sujud ternyata ada pengecualian yang ditunjukkan dengan huruf istitsnâ’ (exception, pengecualian).[10] Dan yang dikecualikan itu bernama Iblis. Dari sinilah muncul pemahaman jika Iblis itu termasuk dari golongan Malaikat. Apakah benar Iblis termasuk dari kalangan Malaikat? Para Mufassir berbeda pendapat. Setidaknya perbedaan pendapat mereka terbagi menjadi dua bagian. Pendapat pertama beranggapan bahwa Iblis termasuk dari golongan Malaikat dengan berdalil istitsnâ’ seperti telah diuraikan di atas. Pendapat kedua, bahwa istitsnâ’ di ayat itu adalah istitsnâ’ munqathi’ (pengecualian yang terputus, tidak berhubungan secara langsung dengan ism yang disebut sebelumnya), karena Iblis itu termasuk bangsa Jin, bukan Malaikat.[11] Madzhab yang mengatakan bahwa Iblis bukan golongan dari Malaikat ini adalah madzhab al-Hasan dan Qatadah. Demikian juga al-Zamakhsyari, ia lebih memilih pendapat yang kedua. Demikian pula Hasan al-Bashri, ia mengungkapkan argumentasinya untuk memperkuat pendapat kedua, sebagai berikut: pertama, Malaikat itu disucikan dari perbuatan maksiat (pembangkangan), sedangkan Iblis telah maksiat terhadap perintah Tuhan-Nya. Kedua, Malaikat itu tercipta dari cahaya (nûr), sedangkan Iblis tercipta dari api (nâr) sehingga tabiat keduanya berbeda. Ketiga, Malaikat itu tidak memiliki keturunan (dzurriyyah), sedangkan Iblis memiliki keturunan. Keempat, nash yang tegas (sharîh) dan jelas (wâdhih) dalam surat al-Kahfi menunjukkan bahwa Iblis termasuk golongan Jin maka cukuplah itu sebagai bukti (hujjah) dan petunjuk yang kuat (burhân).[12] Khawatir terjadi kerancuan dengan memasukkan Iblis menjadi kelompok Malaikat, pakar tafsir Indonesia M. Quraish Shihab mengartikan huruf illâ di ayat tersebut dengan ”tetapi”, bukan ”kecuali” karena merupakan huruf istitsnâ’ munqathi’.[13] Apa yang menyebabkan Iblis membangkang, tidak mau menjalankan perintah Allâh Azza wa Jalla sebagaimana Malaikat yang bersujud kepada Adam? Tidak lain dan tidak bukan karena adanya perasaan merasa lebih besar dan lebih hebat (takabbur) yang tertanam di dalam diri Iblis. Iblis merasa lebih besar dan lebih mulia dari Adam. Iblis merasa lebih mulia dari Adam karena ia tercipta dari api. Adapun Adam, dia tercipta dari tanah.[14] Di ayat lain dijelaskan bahwa bahan penciptaan Iblis yang termasuk bangsa Jinn adalah dari api yang sangat panas (nâr al-samûm).[15] Al-Qur’an dengan jelas telah menyatakan dasar-dasar keengganan Iblis yaitu kesombongan. Hal ini sekaligus menolak anggapan sebagian orang yang tidak mendasarkan diri kepada teks ayat al-Qur’an, bahwa Iblis menolak sujud karena ia hanya mau sujud kepada Allâh Azza wa Jalla, bukan kepada yang lainnya. Itu berarti, kata mereka, kita perlu berguru dan meniru Iblis dalam masalah kemurnian ketauhidannya. Sekali lagi, ini adalah pandangan yang tidak mendasarkan diri pada al-Qur’an dan penafsiran para Mufassir yang jelas-jelas menyebutkan bahwa sujud itu bukan sujud ibadah, melainkan sujud penghormatan. Sebagaimana halnya Ka’bah karena ia dimuliakan Allâh Azza wa Jalla, maka kita diperintahkan menghadap Allâh Azza wa Jalla dengan menghadapkan wajah kita ke arahnya ketika shalat. Hal sama juga terjadi pada sujudnya Nabi Ya’qub ‘alaihi al-salâm dan anak-anaknya terhadap Nabi Yusuf ‘a
5 / 18
Buletin Al-Islamiyah Media Kajian dan Dakwah Universitas Islam Indonesia http://alislamiyah.uii.ac.id
laihi al-salâm. Apalagi jika kita baca penjelasan dari Muhammad ibn Umar Nawawi al-Jawi dalam kitab tafsirnya, bahwa sujud untuk memuliakan Adam ‘alaihi al-salâm tersebut adalah tanpa meletakkan dahi di atas bumi.[16] Jadi, apakah Iblis tetap khawatir melakukan perbuatan sujud kepada selain Allâh Azza wa Jalla jika demikian adanya? Karena keingkarannya menjalankan perintah Allâh Azza wa Jalla menyebabkan Iblis dicap Allâh Azza wa Jalla sebagai mereka yang ingkar kepada Allâh Azza wa Jalla dan karenanya berhak menyandang predikat Kafir yang lebih berhak menjadi penghuni neraka untuk selama-lamanya. ????????? ??? ?????? ??????? ?????? ?????????? ?????????? ??????? ??????? ??????? ?????? ????????? ????? ???????? ?????? ??????????? ??????????? ???? ?????????????? “35. Dan kami berfirman: "Hai Adam, diamilah oleh kamu dan isterimu surga ini, dan makanlah oleh kalian berdua makanan-makanannya yang banyak lagi baik dimana saja yang kalian berdua sukai, dan janganlah kalian berdua dekati pohon ini, yang menyebabkan kalian berdua termasuk orang-orang yang zalim.” (QS al-Baqarah [2]: 35) Selanjutnya Adam mendapat izin dari Allâh Azza wa Jalla untuk tinggal di dalam syurga bersama isterinya, Hawa. Dan yang tinggal di syurga hanya Adam dan isterinya, bukan yang lainnya. Hal itu dapat diketahui dari pengulangan kata anta setelah fi’l amr (kalimat perintah) uskun yang di dalamnya ada dhamîr mustatir (kata ganti yang tersembunyi) yaitu anta (engkau). Tidak sekedar izin tinggal, mereka berdua juga mendapat kesempatan menikmati makanan yang mereka yang sangat banyak dan bermutu yang bisa mereka dapatkan di mana saja di dalam dalam syurga. Namun dalam suatu kebebasan selalu ada batasannya. Dan seringkali batasan itu dimaksudkan sebagai ujian bagi manusia, meskipun suatu kebebasan juga bisa menjadi sebuah ujian. Sebagai ujian, Adam dan Hawa tidak diperkenankan mendekati sebuah pohon. Apalagi menikmati buahnya. Mendekati saja tidak diperbolehkan. Pohon yang dilarang Allâh Azza wa Jalla mendekatinya tidak dapat dipastikan, sebab al-Quran dan al-Hadist tidak menerangkannya. Ada yang menamakan pohon khuldi (yang kekal) sebagaimana tersebut dalam surat Thaha ayat 120,[17] tapi itu adalah nama yang diberikan Syaitan. Pohon itu dinamakan syajarah al-khuldi (pohon kekekalan), karena menurut Syaitan, orang yang memakan buahnya akan kekal, tidak akan mati.[18] Allâh Azza wa Jalla sudah mewanti-wanti Adam dan Hawa untuk mematuhi aturan yang ditetapkan-Nya. Jika tidak, maka siapa saja yang tidak patuh (ma’shiyah) kepada aturan Allâh Azza wa Jalla dia termasuk orang-orang yang aniaya (zhâlim). Seluruh aturan Allâh Azza wa Jalla pada prinsipnya adalah untuk kebaikan manusia itu sendiri. Jika dia tabrak aturan itu maka manusia itu sendiri yang akan menerima akibatnya. ?????????????? ???????????? ??????? ??????????????? ?????? ????? ?????? ????????? ?????????? ?????????? ???????? ??????? ???????? ??? ????????? ??????????? ????????? ????? ??????
6 / 18
Buletin Al-Islamiyah Media Kajian dan Dakwah Universitas Islam Indonesia http://alislamiyah.uii.ac.id
“36. Lalu keduanya digelincirkan oleh syaitan dari surga itu dan dikeluarkan dari keadaan semula dan Kami berfirman: "Turunlah kalian! Sebagian kalian menjadi musuh bagi yang lain, dan bagi kalian ada tempat kediaman di bumi, dan kesenangan hidup sampai waktu yang ditentukan." (QS al-Baqarah [2]: 36) Demikianlah adanya. Adam dan Hawa ternyata tidak mampu mematuhi aturan Allâh berupa satu larangan. Hanya satu larangan. Dengan tipu dayanya, Syaithan[19] mampu mempengaruhi keduanya untuk melakukan pelanggaran terhadap aturan Allâh Azza wa Jalla. Adam dan hawa tidak sekedar mendekati pohon terlarang itu, bahkan telah memakannya yang menjadikan mereka termasuk orang-orang yang berbuat aniaya. Akibat dari perbuatan aniaya itu adalah turunnya murka Allâh Azza wa Jalla dan selanjutnya mengakibatkan keduanya dikeluarkan dari surga dan segala kenikmatannya. Sebagai gantinya Allâh Azza wa Jalla memerintahkan mereka turun ke dunia.[20] Khithâb dalam fi’l amr (kata perintah) ihbithu dalam ayat tersebut di atas ada tiga sebagaimana dimaksudkan dengan huruf wâwu jamâ’ah di dalamnya. Tiga yang mendapat khithab itu adalah Adam, Hawa’ dan Iblis. Ketiga-tiganya diusir dari syurga karena pelangaran yang mereka lakukan. Adam dan Hawa karena mendekati dan bahkan memakan buah terlarang. Sedangkan Iblis, telah membangkang perintah Allâh Azza wa Jalla bersujud kepada Adam dan bahkan selanjutnya merayu Adam dan Hawa melakukan kemaksiatan kepada Allâh Azza wa Jalla dengan memakan buah terlarang agar mereka berdua dapat kekal di dalam syurga dan bahkan selanjutnya menjadi Malaikat Allâh Azza wa Jalla. Ketiganya terusir dari tempat yang penuh kenyamanan, syurga. Tidak hanya sampai di situ. Setelah ketiganya terusir ke dunia maka permusuhan di antara mereka pun berlangsung. Iblis dendam terhadap Adam dan anak keturunannya sebagai sebab adanya murka Allâh padanya. Maka Iblis meminta izin kepada Allâh untuk menggoda Adam dan keturunannya kelak agar mereka menjadi teman bagi Iblis dan keturunannya di neraka. Peristiwa itu terjadi sesaat setelah Allâh mengusir Iblis dengan perintah, "Turunlah kamu dari surga itu; karena kamu tidak sepatutnya menyombongkan diri di dalamnya, maka keluarlah! Sesungguhnya kamu termasuk orang-orang yang hina".[21] Di ayat yang lain dengan redaksi, "Keluarlah dari surga, karena sesungguhnya kamu terkutuk! Dan sesungguhnya kutukan itu tetap menimpamu sampai hari kiamat".[22] Iblis menjawab: "Beri tangguhlah saya sampai waktu mereka dibangkitkan".[23] Iblis meminta ia dan keturunannya untuk tidak dimatikan dahulu sampai hari kiamat sehingga ia dan keturunannya berkesempatan menggoda Adam dan anak cucunya. Allâh berfirman: "Sesungguhnya kamu termasuk mereka yang diberi tangguh".[24] Iblis menjawab: "Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus,[25] kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (taat).[26] Allâh berfirman: "Keluarlah kamu dari surga itu sebagai orang terhina lagi terusir. Sesungguhnya siapa saja di antara mereka mengikuti kamu, benar-benar Aku akan mengisi neraka Jahannam dengan kamu semuanya".[27] Demikian pula Adam dan Hawa, mereka merasa dijebak oleh Iblis yang menyebabkan mereka terusir dari syurga dan segala kenikmatannya. Inilah makna dari ayat Allâh ”sebagian menjadi
7 / 18
Buletin Al-Islamiyah Media Kajian dan Dakwah Universitas Islam Indonesia http://alislamiyah.uii.ac.id
musuh untuk sebagian yang lain”.[28] Adam dan Hawa terus mengingat apa yang pernah dilakukan Iblis. Kisah itu dilukiskan dalam al-Qur’an, ”Maka syaitan membisikkan pikiran jahat kepada keduanya untuk menampakkan kepada keduanya apa yang tertutup dari mereka yaitu auratnya. Dan syaitan berkata: "Tuhan kamu tidak melarangmu dan mendekati pohon ini, melainkan supaya kamu berdua tidak menjadi malaikat atau tidak menjadi orang-orang yang kekal (dalam surga)".[29] ”Dan dia (syaitan) bersumpah kepada keduanya. "Sesungguhnya saya adalah termasuk orang yang memberi nasehat kepada kamu berdua".[30] Maka syaitan membujuk keduanya (untuk memakan buah itu) dengan tipu daya. Tatkala keduanya telah merasai buah kayu itu, nampaklah bagi keduanya aurat-auratnya, dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun surga. Kemudian Tuhan mereka menyeru mereka: "Bukankah Aku telah melarang kalian berdua dari pohon kayu itu dan Aku katakan kepadamu: "Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu berdua?"[31] Sebagai ganti dari kenikmatan tinggal di syurga, Adam dan Hawa mendapat tempat tinggal yang sementara di bumi dan dengan segala kesenangannya yang terbatas sifatnya. Kehidupan syurga memang sedemikian menggairahkan kenikmatannya. Bagi Adam dan keturunannya, bukan berarti tertutup kesempatan mereka untuk mendapatkannya kembali. Untuk menggapai syurga kembali maka mereka perlu mencari ampunan Allâh dan tunduk taat mengikuti petunjuk dan aturan Allâh Azza wa Jalla. ?????????? ??????? ???? ??????? ????????? ??????? ???????? ??????? ???? ??????????? ??????????? “37. Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, Maka Allâh taubatnya. Sesungguhnya Allâh Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.
menerima
Adam menerima kalimat dari Allâh Azza wa Jalla. Mengapa hanya Adam yang menerima kalimat itu sedangkan Hawa tidak? Bisa jadi karena Adam adalah Nabi sedangkan Hawa bukan. Atau karena Adam adalah suami yang bertanggung untuk menyampaikan ajaran Allâh Azza wa Jalla kepada isterinya. Hal itu sebagai sebuah petunjuk bahwa kewajiban suamilah mendidik isterinya dalam masalah menjalankan agama. Tentang beberapa kalimat (ajaran-ajaran) dari Tuhan yang diterima oleh Adam sebahagian ahli tafsir mengartikannya dengan kata-kata untuk bertaubat yaitu, "Ya Tuhan kami, kami Telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi.”. Dan itu terdapat dalam alQur’an surat al-A’raf.[32] Sesungguhnya Allâh Azza wa Jalla adalah Tauwwâb dan Rahîm. Allâh Azza wa Jalla adalah Tauwwab dalam artian memberikan curahan ampunan dan berkah-Nya kepada seseorang yang diberinya karunia dapat bertaubat, yaitu kembali ke jalan Allâh Azza wa Jalla.[33] Kata tâbayatûbu-taubatan sendiri artinya adalah kembali (raja’a). Maka tauwwab adalah yang menerima kembali orang-orang yang hendak kembali. Seperti Adam dan Hawa yang menyesal dan berusaha kembali taat kepada Allâh Azza wa Jalla setelah melakukan kesalahan dan perbuatan dosa, dan selanjutnya Allâh Azza wa Jalla menerima keinginan mereka itu maka Dia adalah Tauwwâb. Allâh tidak hanya sekedar menerima taubat namun Dia juga adalah Maha
8 / 18
Buletin Al-Islamiyah Media Kajian dan Dakwah Universitas Islam Indonesia http://alislamiyah.uii.ac.id
Penyayang kepada hamba-hamba-Nya yang pernah bersalah dan berdosa namun selanjutnya menyadari kesalahannya dan dosanya dan mati dalam keadaan bertaubat kepada Allâh Azza wa Jalla. ??????? ?????????? ??????? ????????? ???????? ??????????????? ?????? ????? ?????? ?????? ??????? ????? ?????? ?????????? ????? ???? ???????????? “38. Kami berfirman: "Turunlah kalian semuanya dari surga itu! Kemudian jika datang petunjukKu kepada kalian, maka siapa saja yang mengikuti petunjuk-Ku maka tidak akan ada kekhawatiran atas mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati." (QS al-Baqarah [2]: 38) Perintah untuk turun ke bumi diulang kembali oleh Allâh Azza wa Jalla. Pengulangan itu perlu adalah dengan maksud untuk menguatkan (li al-ta’kîd) dan sebagai sebuah penjelasan bahwa kedudukan Adam dan keturunannya adalah di bumi, bukan di syurga. Demikian penjelasan Imam Jalaluddin al-Suyuthy dan Jalaluddin al-Mahally dalam kitab Tafsir al-Qur’an al-’Azhim atau yang lebih dikenal kaum Muslim dengan Tafsir al-Jalalain. Hal itu juga sesuai dengan skenario awal Allâh Azza wa Jalla terkait tugas kekhalifahan Adam adalah di muka bumi, bukan di syurga.[34] Pendapat lain dikemukakan oleh Muhammad ibn Umar Nawawi alJawi, bahwa Allâh Azza wa Jalla mengulangi perintahnya dua kali adalah untuk memberitahukan kepada keduanya bahwa perintah Allâh azza wa Jalla turun ke muka bumi itu tetap berlaku dan tidak dibatalkan karena adanya taubat mereka karena perintah itu adalah pengukuhan untuk janji yang terdahulu (tahqîq li al-wa’di al-mutaqaddim).[35] Di bumi nanti segalanya menjadi tidak pasti. Di antara ketidakpastian itu cenderung membuat siapa pun terdorong melakukan sesuatu dengan memperturutkan keinginan diri. Dan itu adalah awal dari kesesatan seseorang. Kesesatan itu pada akhirnya akan menjadi sebab kekhawatiran dan kesedihan hati, di dunia dan di akhirat. Agar kesesatan yang berakhir dengan Kekhawatiran dan kesedihan itu tidak terjadi, Adam dan keturunannya diberi tuntunan Allâh Azza wa Jalla berupa petunjuk Allâh Azza wa jalla berikut perintah mengikutinya. Demikianlah makna dari firman Allâh , ”Kemudian jika datang petunjuk-Ku kepada kalian, maka siapa saja yang mengikuti petunjuk-Ku maka tidak akan ada kekhawatiran atas mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati." Keturunan Adam harus pula mengingat bahwa Iblis dan keturunannya tidak akan pernah membiarkan mereka mengikuti petunjuk Allâh. Karena itu Allâh senantiasa mengingatkan anak keturunan Adam, ”Hai anak Adam, janganlah sekali-kali engkau dapat ditipu oleh Syaitan sebagaimana ia telah mengeluarkan kedua ibu bapakmu dari surga, ia menanggalkan dari keduanya pakaiannya untuk memperlihatkan kepada keduanya auratnya. Sesungguhnya ia dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dan suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka. Sesungguhnya Kami telah menjadikan Syaitan-syaitan itu pemimpin-pemimpin bagi orang-orang yang tidak beriman”.[36] Anak keturunan Adam harus selalu mengingat bahwa Syaithan akan selalu menggoda mereka dengan cara-cara yang licik untuk menyesatkan mereka. Seperti dinyatakan Allâh Azza wa Jalla saat mereka berkata, "Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan ma'siat) di muka bumi,
9 / 18
Buletin Al-Islamiyah Media Kajian dan Dakwah Universitas Islam Indonesia http://alislamiyah.uii.ac.id
dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya,[37] kecuali hamba-hamba Engkau yang mukhlis di antara mereka".[38] Allâh berfirman: "Ini adalah jalan yang lurus, kewajiban Aku-lah (menjaganya). Sesungguhnya hamba-hamba-Ku tidak ada kekuasaan bagimu terhadap mereka, kecuali orang-orang yang mengikut kamu, yaitu orang-orang yang sesat.[39] Jelas, bahwa siapa saja yang mengikuti petunjuk Allâh Azza wa Jalla, yang petunjuk itu selanjutnya disampaikan melalui al-kitab dan para rasul-Nya,[40] maka dia tidak akan tersesat. Syaithan pun tidak akan mampu mempengaruhi ataupun menggoda orang-orang yang berpegang teguh kepada ajaran Allâh dan beriman dengan sungguh-sungguh kepada-Nya. ????????????????????????????????????????????????????????????????????????????? ??????? ??????????? “39. Adapun orang-orang yang kafir dan mendustakan ayat-ayat kami, mereka itu penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” (QS al-Baqarah [2]: 39) Bagi siapa saja yang mengikuti petunjuk Allâh Azza wa Jalla, mereka akan mendapatkan ketenangan. Sebaliknya, siapa saja—baik dari kalangan manusia maupun jin—yang ingkar dan mendustakan ayat-ayat Allâh Azza wa Jalla dengan jalan mengabaikan atau membuang ajaran tersebut maka mereka akan mendapatkan tempat yang menyedihkan. Mereka akan ditetapkan oleh Allâh Azza wa Jalla sebagai penghuni neraka oleh sebab kekafiran dan kedustaan mereka. Di neraka itu, mereka pun tidak tinggal untuk sementara waktu. Mereka tinggal di dalamnya untuk selama-lamanya. Mereka, kata Abu Thahir Ya’qub alFairuzabadi dalam kitab tafsir Tanwir al-Miqbas min Tafsir ibn ’Abbas, tidak akan mati dan tidak akan keluar dari dalam neraka untuk selama-lamanya.[41] Bayangkan! Kekekalan dalam siksa adalah sesuatu yang tidak ada siapapun yang berkenan menerimanya. Namun bagi mereka yang hanya mementingkan hawa nafsu, sewaktu di dunia dulu mereka tidak pernah mau menerima adanya kemungkinan buruk tersebut. Dan setelah mereka mati, barulah mereka merasakan ketakutan yang amat sangat. Namun semua itu terlambat. Tidak ada waktu lagi untuk memperbaiki perilaku. Akhirnya, cukuplah neraka itu bagi mereka. Dan mereka tidak akan pernah bisa keluar darinya untuk selama-lamanya. Na’ûdzu billâhi min dzâlik! [ ]
Marâji’ Al-Baidhawi, Nashiruddin. 2003. Tafsir Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil. Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah: Beirut, Lebanon, Jilid 1. Al-Fairuzabadi Abu Thahir Ya’qub. 1995. Tanwir al-Miqbas min Tafsir ibn Abbas. Dar al-Fikr: Beirut, Lebanon. Al-Jawi, Muhammad ibn Umar Nawawi. 2003. Marah Labid li Kasyfi Ma’na al-Qur’an al-Majid. Dar al-Kutub al-Ilmiyyah: Beirut, Lebanon, Jilid 1. Al-Shabuni, Muhammad Ali. 1999. Shafwah al-Tafasir: Tafsir li al-Qur’an al-Karim. Dar al-Kutub
10 / 18
Buletin Al-Islamiyah Media Kajian dan Dakwah Universitas Islam Indonesia http://alislamiyah.uii.ac.id
al-Islamiyyah: Jakarta, Indonesia. Jilid 1. Al-Suyuthy Jalaluddin & Jalaluddin al-Mahally. 2003. Tafsir al-Jalalain. Dar al-Kutub al-’Ilmiyyah: Beirut, Lebanon. Al-Tsa’alabi, Abdurrahman. 1996. Al-Jawahir al-Hisan fi Tafsir al-Qur’an. Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah: Beirut, Lebanon. Jilid 1. Muhammad Ali al-Shabuni. 1999. Shafwah al-Tafasir: Tafsir li al-Qur’an al-Karim. Dar al-Kutub al-Islamiyyah:Jakarta, Indonesia. Jilid 1 Sabiq, Al-Sayyid. 1992. Al-‘Aqa’id al-Islamiyyah. Dar al-Fikr: Beirut, Lebanon. Shihab, M. Quraish. 2000. Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an. Lentera: Jakarta. Vol. 1. Katsir, Abu al-Fida’ al-Hafizh ibn. 1997. Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim. Dar al-Fikr: Beirut, Lebanon. Jilid 1.
* Dosen Program Studi Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Agama Islam Universitas Islam Indonesia dan Kepala Divisi Pendidikan dan Pengembangan Dakwah DPPAI
[1] Abdurrahman al-Tsa’alabi. 1996. Al-Jawahir al-Hisan fi Tafsir al-Qur’an. Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah: Beirut, Lebanon, Jilid 1, hlm. 58
[2] Malaikat (malâikah, b. Arab) adalah bentuk plural (jama’) dari kata tunggal (mufrad) malak. Adalah makhluq Allâh yang tercipta dari cahaya (nûr). Ia adalah sesuatu yang ghaib yang tidak tersentuh oleh indera manusia karena tidak berwujud jasmani, hanya Allâh Azza wa Jalla yang mengetahui hakikat sebenarnya Malaikat. Tidak seperti manusia, mereka tidak makan dan tidak pula minum karena mereka disucikan dari syahwat binatang (syahawât hayawâniyyah) dan juga terbebas dari kecenderungan nafsu (al-muyûl al-nafsiyyah), serta bersih dari dosa dan kesalahan. Mereka juga tidak disifatkan dengan sifat lelaki maupun perempuan. Lihat al-Sayyid Sabiq. 1992. Al-‘Aqa’id al-Islamiyyah. Dar al-Fikr: Beirut, Lebanon, hlm. 111-129
11 / 18
Buletin Al-Islamiyah Media Kajian dan Dakwah Universitas Islam Indonesia http://alislamiyah.uii.ac.id
[3] Lihat Muhammad Ali al-Shabuni. 1999. Shafwah al-Tafasir: Tafsir li al-Qur’an al-Karim. Dar al-Kutub al-Islamiyyah:Jakarta, Indonesia, Jilid 1, hlm. 48
[4] Lihat Q.S. al-Tahrim [66]: 6 ?????????????????????????????????????????????????????????????????????????????? ???????? ?????????????? ????????? ??????????? ??????? ??????? ??? ?????????? ????? ??? ?????????? ?????????????? ??? ???????????? “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allâh terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.”
[5] Qatadah termasuk diantara tokoh yang menjelaskan bahwa Allâh sudah memberitahu para Malaikat terkait kemungkinan-kemungkinan khalifah bebuat kerusakan dan berperang menumpahkan darah. Lihat Abu al-Fida’ al-Hafizh ibn Katsir. 1997. Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim. Dar al-Fikr: Beirut, Lebanon, Jilid 1, hlm. 83
[6] Abu al-Fida’ al-Hafizh ibn Katsir. 1997. Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim. Dar al-Fikr: Beirut, Lebanon, Jilid 1, hlm. 83
[7] Lihat Abu al-Fida’ al-Hafizh ibn Katsir. 1997. Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim. Dar al-Fikr: Beirut, Lebanon, Jilid 1, hlm. 85
12 / 18
Buletin Al-Islamiyah Media Kajian dan Dakwah Universitas Islam Indonesia http://alislamiyah.uii.ac.id
[8] ?????? ?? ????? ??? ?????? ??? ??? ??????? , dalam pandangan syara’, sujud adalah meletakkan dahi (di bumi) dengan tujuan ibadah. Lihat Nashiruddin al-Baidhawi. 2003. Tafsir Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil. Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah: Beirut, Lebanon, Jilid 1, hlm. 52
[9] Terutama karena Adam dianugerahi ilmu dan mendapat tugas mengelola bumi
[10]Dalam kaedah bahasa Arab, istitsnâ’ ada dua macam, muttashil dan munqathi’. Dalam istitsnâ’ muttashil, yang dikecualikan adalah bagian dari kelompok atau jenis yang sama dengan sebelumnya. Sedangkan istitsnâ’ munqathi’, yang dikecualikan tidak termasuk bagian dari kelompok atau jenis yang disebut sebelumnya.
[11] Q.S. al-Kahfi [18]: 50 ????????????? ??????????????? ?????????? ???????? ??????????? ?????? ?????????? ????? ???? ???????? ???????? ???? ?????? ??????? ??????????????????? ?????????????? ??????????? ???? ??????? ?????? ?????? ??????? ?????? ??????????????? ??????? “Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: "Sujudlah kalian kepada Adam, maka sujudlah mereka kecuali Iblis. Dia adalah dari golongan Jin, maka ia mendurhakai perintah Tuhannya. Patutkah kalian mengambil dia dan turunan-turunannya sebagai pemimpin selain daripada-Ku, sedang mereka adalah musuhmu? Amat buruklah Iblis itu sebagai pengganti (dari Allâh ) bagi orang-orang yang zalim.”
[12] Lihat dalam Muhammad Ali al-Shabuni. 1999. Shafwah al-Tafasir: Tafsir li al-Qur’an alKarim. Dar al-Kutub al-Islamiyyah: Jakarta, Indonesia, Jilid 1, hlm. 52
13 / 18
Buletin Al-Islamiyah Media Kajian dan Dakwah Universitas Islam Indonesia http://alislamiyah.uii.ac.id
[13] M. Quraish Shihab. 2000. Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an. Lentera: Jakarta, Vol. 1, hlm. 150-151
[14] Lihat Q.S. al-A’raf [7]: 12
????????????????????????????????????????????????????????????????????????????? ???? ????? ???????????? ??? “Allâh berfirman: menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu Aku menyuruhmu?" menjawab Iblis "Saya lebih baik daripadanya: Engkau ciptakan saya dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah."
[15] Lihat Q.S. al-Hijr [15]: 27
[16] Muhammad ibn Umar Nawawi al-Jawi. 2003. Marah Labid li Kasyfi Ma’na alQur’an al-Majid. Dar al-Kutub al-Ilmiyyah: Beirut, Lebanon, Jilid 1, hlm. 16
[17] Lihat Q.S. Thaha [20]: 120 ?????????? ???????? ???????????? ????? ??? ?????? ???? ????????? ????? ???????? ????????? ???????? ?????????? “Kemudian syaitan membisikkan pikiran jahat kepadanya, dengan berkata: "Hai Adam, maukah saya tunjukkan kepada kamu pohon khuldi dan kerajaan yang tidak akan binasa?"
14 / 18
Buletin Al-Islamiyah Media Kajian dan Dakwah Universitas Islam Indonesia http://alislamiyah.uii.ac.id
[18] Lihat Q.S. al-A’raf [7]: 20 ?????????? ??????? ???????????? ?????????? ??????? ??? ?????? ????????? ???? ??????? ????????????????????????????????????????????????????????????????????????????? ?????????? ????????????? ???? ?????????????? “Maka syaitan membisikkan pikiran jahat kepada keduanya untuk menampakkan kepada keduanya apa yang tertutup dari mereka yaitu auratnya dan syaitan berkata: "Tuhan kamu tidak melarangmu dan mendekati pohon ini, melainkan supaya kamu berdua tidak menjadi malaikat atau tidak menjadi orang-orang yang kekal (dalam surga)."
[19] Yang dimaksud dengan syaitan di sini ialah Iblis yang disebut dalam surat al-Baqarah ayat 34 di atas. Iblis, karena kejahatannya maka disebut Syaithan. Demikian halnya manusia, jika ia jahat maka juga disebut sebagai syaithan.
[20] Dunia adalah sesuatu yang identik dengan kerendahan karena makna awalnya adalah sesuatu yang rendah. Salah satu kerendahan itu adalah perasaan bermusuhan dan peperangan.
[21] Lihat Q.S. al-A’raf [7]: 13
[22] Lihat Q.S. al-A’raf [7]: 34-35
[23] Lihat Q.S. al-A’raf [7]: 14
15 / 18
Buletin Al-Islamiyah Media Kajian dan Dakwah Universitas Islam Indonesia http://alislamiyah.uii.ac.id
[24] Lihat Q.S. al-A’raf [7]: 15
[25] Lihat Q.S. al-A’raf [7]: 16
[26] Lihat Q.S. al-A’raf [7]: 17
[27] Lihat Q.S. al-A’raf [7]: 18
[28] Lihat Q.S. al-An’am [6]: 112 ??????? ???? ????????? ??????? ??????? ???????? ??????????? ????????? ?????????? ??????? ?????????? ????? ?????? ???????? ????????? ????????? ??????????? ??????? ??? ?????????? ?????????? ????? ???????????? “Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu syaitan-syaitan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia). Jikalau Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan.”
[29] Lihat Q.S. al-A’raf [7]: 20
16 / 18
Buletin Al-Islamiyah Media Kajian dan Dakwah Universitas Islam Indonesia http://alislamiyah.uii.ac.id
[30] Lihat Q.S. al-A’raf [7]: 21
[31] Lihat Q.S. al-A’raf [7]: 22
[32] Lihat Q.S. al-A’raf [7]: 23 ????? ???????? ????????? ??????????? ?????? ???? ????????????? ????????????? ????????????? ???? ?????????????? “Keduanya berkata: "Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi.”
[33] Muhammad ibn Umar Nawawi al-Jawi. 2003. Marah Labid li Kasyfi Ma’na alQur’an al-Majid. Dar al-Kutub al-Ilmiyyah: Beirut, Lebanon, Jilid 1, hlm. 17
[34] Jalaluddin al-Suyuthy & Jalaluddin al-Mahally. 2003. Tafsir al-Jalalain. Dar al-Kutub al-’Ilmiyyah: Beirut, Lebanon, hlm. 7
[35] Muhammad ibn Umar Nawawi al-Jawi. 2003. Marah Labid li Kasyfi Ma’na alQur’an al-Majid. Dar al-Kutub al-Ilmiyyah: Beirut, Lebanon, Jilid 1, hlm. 17
17 / 18
Buletin Al-Islamiyah Media Kajian dan Dakwah Universitas Islam Indonesia http://alislamiyah.uii.ac.id
[36] Lihat Q.S. al-A’raf [7]: 27
[37] Lihat Q.S. al-A’raf [7]: 39
[38] Lihat Q.S. al-A’raf [7]: 40
[39] Lihat Q.S. al-A’raf [7]: 41-42
[40] Abu Thahir Ya’qub al-Fairuzabadi. 1995. Tanwir al-Miqbas min Tafsir ibn Abbas. Dar alFikr: Beirut, Lebanon, hlm. 7
[41] Abu Thahir Ya’qub al-Fairuzabadi. 1995. Tanwir al-Miqbas min Tafsir ibn Abbas. Dar alFikr: Beirut, Lebanon, hlm. 7
18 / 18 Powered by TCPDF (www.tcpdf.org)