PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun1945 (untuk selanjutnya disingkat ”UUD 1945”) mengamanatkan bahwa negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara yang berkedaulatan rakyat yang dalam pelaksanaannya menganut prinsip kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan. Untuk melaksanakan kedaulatan rakyat berdasarkan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, perlu diwujudkan lembaga permusyawaratan rakyat, lembaga perwakilan rakyat, dan lembaga perwakilan daerah yang mampu mengejawantahkan nilainilai demokrasi serta dapat menyerap dan memperjuangkan aspirasi rakyat, termasuk kepentingan daerah, agar sesuai dengan tuntutan perkembangan kehidupan berbangasa dan bernegara.1 UUD 1945 secara tegas mengatur mengenai pembagian kekuasaan lembaga Negara. Diantara lembaga negara tersebut, setelah amandemen mengalami perubahan yang mendasar dari segi fungsi maupun wewenangnya. MPR sebagai lembaga pemegang kedaulatan tertinggi mengalami reduksi wewenang. Hadir pula DPD sebagai transformasi dari utusan daerah, dan berbagai lembaga lainnya yang disebutkan dalam UUD 1945 maupun yang tidak memiliki wewenang konstitusional namun hadir dalam sistem kelembagaan negara di Indonesia. Pada ranah legislatif
1
UU No. 27 Tahun 2009
1
terdapat DPR yang mengalami penguatan dari segi fungsi dan wewenangnya.2 Terdapat tiga fungsi utama DPR disamping hak dari DPR sebagai institusi maupun personal anggotanya, ketiga fungsi utama tersebut adalah Fungsi Legislasi, Fungsi Anggaran , dan Fungsi Pengawasan sesuai dengan isi Pasal 20A ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Pada hakikatnya ketiga fungsi DPR memiliki hubungan yang erat dan ketiga fungsi ini selalu bersentuhan dengan fungsi yang lainnya, misalnya ketika DPR menghasilkan Undang-Undang yang kemudian disetujui bersama dengan Presiden,
maka
DPR
harus
mengadakan
pengawasan
terhadap
pengeksekusian produk Undang-Undang oleh lembaga Eksekutif yakni Presiden. Mengenai fungsi pengawasan dan anggaran, bahwa pelaksanaan fungsi anggaran oleh DPR tentunya secara bersama-sama menjalankan pula fungsi pengawasan dimana di dalamnya harus terdapat sistem checks and balances. Selain ketiga fungsi di atas, secara konstitusional DPR memiliki hak yang melekat kepadanya. Dalam ketentuan UUD 1945 dimana yang menjadi hak Dewan Perwakilan Rakyat adalah Hak Interpelasi, Hak Angket, dan Hak Menyatakan Pendapat, sesuai dengan Pasal 20A ayat (2) UUD 1945. Ketiga hak ini biasanya memiliki korelasi erat dengan fungsi pengawasannya yang melekat pada Lembaga Perwakilan
Rakyat,
yang
tentunya
ditujukan
kepada
Lembaga
Kepresidenan. Hak angket sendiri dapat bermula ketika digunakannya hak
2
Dikutip dari, http://www.mpr.go.id/index.php?m=berita&s=detail&id_berita=1053
interpelasi (bertanya) kepada Pemerintah (Presiden) mengenai kebijakankebijakan yang dilakukan. Hak interpelasi dapat mucul sebagai respon dari kebijakan pemerintah pada bidang-bidang yang cukup strategis atau dengan kata lain memberikan implikasi yang luas terhadap pelaksanaan negara
dan
juga
mempunyai
dampak
luas
terhadap
kehidupan
bermasyarakat. Terkait dengan fungsi dan hak DPR, bahwa mengenai ketentuan pelaksanaannya, diatur secara jelas dalam Undang-Undang Susduk dan Peraturan Tata Tertib DPR. Untuk mengoptimalisasikan pelaksanaan fungsi dan hak DPR diperlukan adanya upaya yang maksimal agar setiap pelaksanaan tidak dipersoalkan dengan teknis prosedural. Pengaturan secara rinci dan tegas dalam UU tentang Susduk dan Peraturan Tata Tertib akan menjamin transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi dan hak DPR.3 Sebelum UUD 1945 diamandemen belum dikenal adanya istilah hak angket, istilah hak angket DPR baru mulai muncul setelah amandemen UUD 1945 yang ke-2. Latar belakang munculnya hak angket pasal 20 A dalam UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 karena UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebelum dan setelah
perubahan
mengandung beberapa
prinsip
yang memiliki
perbedaan-perbedaan mendasar. Perubahan atas sistem penyelenggaraan kekuasaan yang dilakukan melalui perubahan UUD 1945, adalah upaya
3
Loc.Cit
untuk menutupi berbagai kelemahan yang terkandung dalam UUD 1945 sebelum perubahan yang dirasakan dalam praktek ketatanegaraan selama ini. Karena itu arah perubahan yang dilakukan adalah antara lain mempertegas beberapa prinsip penyelenggaraan kekuasaan negara sebelum perubahan yaitu prinsip negara hukum (rechtsstaat) dan prinsip sistem konstitusional (constitutional system), menata kembali lembagalembaga negara yang ada dan membentuk beberapa lembaga negara yang baru agar sesuai dengan sistem konstitusional dan prinsip-prinsip negara berdasar atas hukum. Perubahan ini tidak merubah sistematika UUD 1945 sebelumnya untuk menjaga aspek kesejarahan dan orisinalitas dari UUD 1945. Perubahan terutama ditujukan pada penyempurnaan pada sisi kedudukan dan kewenangan masing-masing lembaga negara disesuaikan dengan perkembangan negara demokrasi modern.4 Berkaitan dengan urgensi bagaimana pengaturan hak angket DPR pasca amandemen UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam amandemen UUD 1945 yang pertama istilah hak angket belum dikenal, istilah hak angket baru mulai muncul setelah amandemen UUD 1945 yang ke-2 yang disahkan pada tanggal 18 Agustus 2002. Disebutkan dalam UU No. 22 Tahun 2003 tentang Susduk Pasal 27 huruf b dalam penjelasan Undang-Undang tersebut bahwa: “Hak angket adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap kebijakan pemerintah yang penting dan strategis serta 4
Hamdan Zoelva, Sistem Penyelenggaraan Kekuasaan Negara Setelah Perubahan UUD1945,dikutipdari,http://www.setneg.go.id/index.php?option+com_conten&task=view&id=1 1+ltemid+33
berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan”. Pasal 77 ayat (3) UU No. 27 Tahun 2009 menyatakan bahwa: “Hak Angket adalah hak DPR melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan”. Disini terdapat perbedaan dengan hak interpelasi. Dalam hak interpelasi, yang dilakukan adalah meminta keterangan mengenai kebijakan. Dalam hak angket, menyelidiki pelaksanaan undang-undang dan atau kebijakan. Disini kita dapat melihat bahwa sesungguhnya, sebelum hak angket dilakukan, dapat dilakukan terlebih dahulu hak interpelasi untuk menilai kebijakan. Menyangkut pelaksanaan undangundang dan/atau kebijakan ini terdapat dua persyaratan. Pertama, pelaksanaan undang-undang dan/atau kebijakan itu “berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara”. Kedua adalah pelaksanaan undang-undang dan/atau kebijakan harus ada dugaan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan. Jadi harus ada dugaan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan dalam melaksanakan UU dan/atau kebijakan itu.5 Untuk itu penulis membuat karya ilmiah ini dengan judul Untuk
itu
penulis
membuat
karya
ilmiah
ini
dengan
judul
“PENGATURAN HAK ANGKET DEWAN PERWAKILAN RAKYAT
5
Dikutip dari, http//facebook.com/topic.php?uid=16403684861&topic=13120
PASCA AMANDEMEN UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA”
B. Rumusan Masalah 1. Bagaiman pengaturan hak angket pasca amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945?
C. Tujuan Penelitian 1. Untuk
mengetahui
bagaimana
pengaturan
hak
angket
pasca
amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
D. Tinjauan Pustaka Secara terminologis konstitusi adalah segala ketentuan dan aturan tertentu ketatanegaraan (undang-undang dasar, dan lain sebagainya); undang-undang dasar suatu negara.6 Istilah konstitusi berasal dari bahasa Perancis “constituer” yang berarti membentuk. Pemakaian istilah konstitusi yang dimaksudkan ialah pembentukan suatu negara atau menyusun dan menyatakan suatu negara.7 Konstitusi dengan istilah lain Constitution atau Verfasung dibedakan dari Undang-Undang Dasar atau Grundgesetz. Karena suatu 6
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional RI, Balai Pustaka, 2001, Jakarta, Edisi ketiga, hlm.590 7 Wirjono Projodikoro, Asas-asas Hukum Tata Negara di Indonesia, sebagaimana dikutip oleh, Dahlan Thaib, Jazim Hamidi, Ni’matul Huda, Teori dan Hukum Konstitusi, Rajawali Pers, 2008, Jakarta, hlm.7
kekhilafan pandangan orang mengenai konstitusi pada negara-negara moderen, maka pengertian konstitusi itu kemudian disamakan dengan undang-undang dasar. Kekhilafan ini disebabkan oleh pengaruh faham kodifikasi yang menghendaki agar semua peraturan hukum ditulis, demi mencapai kesatuan hukum, kesederhanaan hukum dan kepastian hukum. Begitu besar pengaruh faham kodifikasi, sehingga setiap peraturan hukum karena pentingnya itu harus ditulis, dan konstitusi yang ditulis itu adalah Undang-Undang Dasar.8 Di negara-negara yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa nasional, dipakai istilah Constitution yang dalam bahasa Indonesia disebut konstitusi.9 Pengertian konstitusi, dalam praktik dapat berarti lebih luas daripada pengertian Undang-Undang Dasar, tetapi ada juga yang menyamakan pengertian Undang-undang Dasar. Bagi para sarjan ilmu politik istilah Constitution merupakan sesuatu yang lebih luas, yaitu keseluruhan dari peraturan-peraturan baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis yang mengatur secara mengikat cara-cara bagaimana sesuatu pemerintahan diselenggarakan dalam suatu masyarakat.10 Dalam bahasa Latin, kata konstitusi merupakan gabungan dari dua kata, yaitu cume dan statuere. Cume adalah sebuah preposisi yang berarti 8
Moh. Kusnardi dan Haramily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan CV Sinar Bakti, 1988, Jakarta, hlm.64 9 Sri Soemantri M, Susunan Ketatanegaraan menurut UUD 1945 dalam Ketatanegaraan Indonesia Dalam Kehidupan Politik Indonesiai, sebagaimana dikutip oleh, Dahlan Thaib, Jazim Hamidi, Ni’matul Huda, Teori dan Hukum Konstitusi, Rajawali Pers, 2008, Jakarta, hlm.7 10 Dahlan Thaib, Jazim Hamidi, Ni’matul Huda, Teori dan Hukum Konstitusi, Rajawali Pers, 2008, Jakarta, hlm.7
“bersama dengan...”, sedangkan statuere berasal dari kata sta yang membentuk kata kerja yang berarti berdiri. Atas dasar itu, kata statuere mempunyai arti “membuat sesuatu agar berdiriatau mendirikan / menetapkan”. Dengan demikian bentuk tunggal (constutio) berarti menetapkan
sesuatu
secara
bersama-sama
dan
bentuk
jamak
(constitusiones) berarti segala sesuatu yang telah ditetapkan.11 UUD 1945 termasuk konstitusi yang rigid, konstitusi tertulis dalam arti dituangkan dalam dokumen, konstitusi yang menganut sistem pemerintahan campuran. Karena dalam UUD 1945 di samping mengatur ciri-ciri sistem pemerintahan presidensial, juga mengatur beberapa ciri pemerintahan parlemen. Di sinilah keunikan negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.12 Penjelasan mengenai hal tersebut diatas akan dijelaskan pada bab selanjutnya. Indonesia adalah negara hukum (Rechtssstaat) bukan negara kekuasaan
(Machtstaat).
Didalamnya
terkandung
makna
adanya
pengakuan terrhadap supermasi hukum dan konstitusi, prinsip pemisahan dan kekuasaan menurut sistem konstitusional,adanya jaminan hak-hak azasi manusia, adanya prinsip peradilan yang bebas dan tidak memihak yang menjamin persamaan setiap warga negara di dalam hukum, serta
11
Koerniatmanto Soetoprawiro, Konstitusi: Pengertian dan Perkembangannya, sebagaimana dikutip oleh, Dahlan Thaib, Jazim Hamidi, Ni’matul Huda, Teori dan Hukum Konstitusi, Rajawali Pers, 2008, Jakarta, hlm.8 12 Dahlan Thaib, Jazim Hamidi, Ni’matul Huda, Op.Cit, hlm.29
menjamin keadilan setiap orang termasuk penyalahgunaan wewenang oleh pihak yang berkuasa.13 Setelah UUD 1945 diamandemen, terdapat perubahan sistem pemerintahan Negara Republik Indonesia yang cukup fundamental. Perubahan tersebut dapat diilustrasikan sebagai berikut:14 1. Sistem Pemerintahan negara mempergunakan sistem presidensiil murni; 2. Presiden dan/ atau Wakil Presiden serta Parlemen yang terdiri dari dua kamar dipilih langsung oleh rakyat melalui Pemilihan Umum. 3. Di bidang politik, kedudukan Presiden dan/ atau Wakil presiden serta Parlemen sama-sama kuat. Artinya antara kedua lembaga ini tidak bisa saling menjatuhkan; 4. Dikenal adanya peradilan konstitusi, yakni Mahkamah Konstitusi yang mempunyai impeachment kepada Presiden dan/ atau Wakil Presiden, apabila ditengarai/ diduga telah melakukan pelanggaran hukum berat. Hal ini berarti Presiden dan atau Wakil Presiden hanya dapat dijatuhkan. Apabila melakukan perbuatan yang berkaitan dengan hal-hal yang bersifat yuridis; 5. Pertanggungjawaban yang dibebankan kepada Presiden dan/ atau Wakil Presiden kepada Parlemen harus diawali dengan adanya pertanggungjawaban hukum (yuridis). Sedangkan untuk pertanggung jawaban politis merupakan konsekuensi logis, apabila Presiden dan/ atau Wakil Presiden telah melaksanakan pertanggungjawaban hukum tersebut. Hal ini berarti telah mengubah paradigma yang selama ini mewarnai sistem pertanggungjawaban Presiden dan/ atau Wakil Presiden kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat. Dalam paradigma lama, pertanggungjawaban Presiden dan/ atau Wakil Presiden lebih menekankan pada pertanggungjawaban politis. Kekuasaan legislatif adalah kekuasaan yang berwenang untuk membuat garis kebijakan kekuasaan yang lain, namun demikian tidak berarti fungsi ini lebih dominan, melainkan fungsi ini dijalankan sesuai 13
Megawati dan Ali Murtopo, Parlemen Bikameral Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia: Sebuah Evaluasi, UAD Press, 2006, Yogyakarta, hlm.26 14 B. Heru Cipto Hndoyo, Hukum Tata Negara, Kewarganegaraan dan Hak Asasi Manusia, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2003, Yogyakarta, hlm.118
dengan konstitusi yang telah memberikan dan mengatur tentang kewenangannya tersebut.15 Telah dijelaskan dalam UUD 1945 Pasal 20A ayat (2) bahwa Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai Hak Interpelasi, Hak Angket, dan Hak Menyatakan Pendapat. Sebelum UUD 1945 diamandemen belum dikenal adanya istilah hak angket, istilah hak angket DPR baru mulai muncul setelah amandemen UUD 1945 yang ke-2 dan selanjutnya diatur dalam Undang-Undang tentang Susduk (Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD) Nomor 22 Tahun 2003. Dalam UU No. 22 Tahun 2003 Pasal 27 dinyatakan DPR mempunyai hak yaitu interpelasi, angket, dan menyatakan pendapat. Hak angket sebagaimana dimaksud dalam UU No. 22 Tahun 2003 adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap kebijakan pemerintah yang penting dan strategis aserta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Berdasarkan Pasal 77 ayat (3) UU No. 27 tahun 2009 Hak Angket adalah Hak DPR RI untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/ atau kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
15
Megawati dan Ali Murtopo, Op.Cit, hlm.7
Penyelidikan ini memang bukan penyelidikan sebagaimana tugas penyidik pro justitia dari aparat penegak hukum (misalnya kepolisian atau KPK) untuk menentukan suatu peristiwa merupakan tindak pidana atau bukan sehingga diperlukan penyidikan. Hak Angket berdasarkan UU tersebut haruslah diusulkan oleh paling sedikit 25 (dua puluh lima) orang anggota DPR dan lebih dari 1 (satu) fraksi. pengusulan ini harus memuat:16 a. Materi kebijakan dan/atau pelaksanaan undang-undang yang akan diselidiki; dan b. Alasan penyelidikan. Usul tersebut menjadi hak angket DPR apabila mendapat persetujuan dari rapat paripurna DPR yang dihadiri lebih dari 1/2 (satu perdua) jumlah anggota DPR dan keputusan diambil dengan persetujuan lebih dari 1/2 (satu perdua) jumlah anggota DPR yang hadir. Apabila usul ini diterima maka DPR akan membentuk panitia angket yang mempunyai kewenangan untuk memangil dan melakukan penyelidikan terhadap pemerintah, dan saksi, pakar, organisasi profesi dan lain-lain. Ketika Panitia Angket sudah menyelesaikan tugasnya, semuanya akan tergantung pada fakta-fakta dan bukti-bukti yang terungkap selama penyelidikan dan tergantung pula pada analisis Panitia Angket terhadap fakta-fakta dan bukti-bukti yang berhasil diungkapkan. Jika penyelidikan yang dilakukan Panitia Angket menyimpulkan telah terjadi kebijakan yang merugikan negara, merugikan rakyat serta bertentangan dengan peraturan perundang16
Dikutipdari,http://idanswer.yahoo.com/question/index?qid=20091205234537AAphtM
3
undangan yang berlaku, apalagi melanggar ketentuan UUD 1945, laporan Panitia Angket harus disampaikan ke rapat paripurna DPR untuk mendengarkan pendapat fraksi-fraksi sebelum laporan itu diputuskan untuk diterima atau ditolak, baik secara aklamasi maupun melalui pemungutan suara. Keputusan DPR tersebut disampaikan kepada Presiden. Selanjutnya DPR dapat menindaklanjuti keputusan itu sesuai kewenangan DPR. Tindak lanjut atas keputusan DPR tentang penggunaan hak angket diatur dalam Pasal 184 ayat (1a) ialah menyampaikan “Hak Menyatakan Pendapat” atas keputusan hasil penyelidikan melalui penggunaan hak angket, atau langsung menggunakan ketentuan Pasal 184 ayat (1b) yakni Hak Menyatakan Pendapat untuk menduga bahwa “Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela maupun tidak memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden”. Penggunaan ketentuan pasal ini yang merupakan ketentuan yang bersumber dari ketentuan Pasal 7B ayat17 Hak Angket diatur dalam Pasal 20A ayat (2) UUD 1945: “Dalam melaksanakan fungsinya, selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain UndangUndang Dasar ini, Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat.” Ketentuan tersebut dielaborasi lebih lanjut dalam UU No. 27 tahun 2009 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah 17
Loc.Cit
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor123; Tambahan Lembaran
Negara
Republik
Indonesia
Nomor
5043).
Pasal 77 ayat (3) UU No. 27 tahun 2009 menentukan bahwa hak angket adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.18 Landasan
untuk
memahami
peranan
DPR
dalam
mengaktualisasikan aspirasi rakyat tidak lain merupakan perwujudan dari tiga fungsi utama dan strategis yang dimilikinya, yaitu di bidang perundang-undangan,
di
bidang
anggaran,
maupun
di
bidang
pengawasan.19 Dari defenisi Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009, hak angket adalah hak untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu Undang-Undang dan/atau kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal penting , strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Penyelidikan sendiri tidak didefenisikan. Apakah penyelidikan dalam pengertian dari UU No. 27 tahun 2009 sama dengan pengertian penyelidikan dalam KUHAP?
18
Pasal 179 dan Pasal 180
http//facebook.com/topic.php?uid=16403684861&topic=13120, Loc.Cit Risalah sidang Dewan perwakilan Rakyat Indonesia (Laporan Pelaksanaan Fungsi, Tugas dan Wewenang DPR RI Pada Sidang Tahunan MPR RI) Tahun Kelima 2003-2004, dikutip dari, http://www.parlemen.net/privdoc/8bb6b3e7b567b459523def37c7c74819.pdf 19
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD menentukan bahwa: Pasal 179 “Panitia angket sebagaimana dimaksud dalam Pasal 178 ayat (2), dalam melakukan penyelidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (3), selain meminta keterangan dari Pemerintah, dapat juga meminta keterangan dari saksi, pakar, organisasi profesi, dan/atau pihak terkait lainnya.” Pasal180 “(1) Dalam melaksanakan tugasnya, panitia angket dapat memanggil warga negara Indonesia dan/atau orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia untuk memberikan keterangan. (2) Warga negara Indonesia dan/atau orang asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi panggilan panitia angket. Pelaksanaan angket, jika disetujui dilakukan oleh Panitia Angket. Yang dilakukan oleh Panitia Angket adalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 179 dan Pasal 180 ayat (1) dan (2) tersebut.” Jadi yang dimaksud dengan penyelidikan dalam Undang-Undang tersebut adalah meminta keterangan dari pemerintah, saksi, pakar, organisasi profesi dan/atau pihak terkait lainnya. Untuk mendapatkan keterangan itu DPR panitia angket dapat memanggil Warga Negara Indonesia dan/atau orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia. Sebagaimana ditentukan dalam Pasal 77 ayat (3) UU No. 27 tahun 2009, yang diselidiki adalah pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Jadi yang diselidiki itu pelaksanaan, dan bukan kebijakan atau undang-undang.
Disini terdapat perbedaan dengan hak interpelasi. Dalam hak interpelasi, yang dilakukan adalah meminta keterangan mengenai kebijakan. Dalam hak angket, menyelidiki pelaksanaan undang-undang dan atau kebijakan. Disini kita dapat melihat bahwa sesungguhnya, sebelum hak angket dilakukan, dapat dilakukan terlebih dahulu hak interpelasi untuk menilai kebijakan. Menyangkut pelaksanaan undang-undang dan/atau kebijakan ini terdapat dua persyaratan. Pertama, pelaksanaan undang-undang dan/atau kebijakan itu “berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara”.
Kedua
adalah
pelaksanaan
undang-undang
dan/atau
kebijakan harus ada dugaan pelanggaran terhadap peraturan perundangundangan. Jadi harus ada dugaan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan dalam melaksanakan UU dan/atau kebijakan itu. Persoalan yang sangat penting menjadi perhatian dari defenisi hak angket itu adalah siapa pemerintah atau pemerintah yang mana yang dimaksudkan.20 Penjelasan Pasal 77 ayat (3) menyatakan: “Pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan Pemerintah dapat berupa kebijakan yang dilaksanakan sendiri oleh Presiden, Wakil Presiden, menteri negara, Panglima TNI, Kapolri, Jaksa Agung, atau pimpinan lembaga pemerintah nonkementerian.” Pasal 188 UU No. 27 tahun 2009 selanjutnya menentukan bahwa dalam hal pendapat DPR mengenai adanya perbuatan-perbuatan Presiden
20
http//facebook.com/topic.php?uid=16403684861&topic=13120, Loc.Cit
dan/atau Wakil Presiden yang melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, ataupun tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden, DPR menyelenggarakan rapat paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada MPR. Jadi disini, dihubungkan dengan usulan hak angket kasus Bank Century, kita melihat bahwa muara dari hak angket adalah pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden, sebagaimana diatur dalam Pasal 7B ayat (1) UUD 1945.
E. Metode Penelitian 1. Obyek penelitian a. Pengaturan Hak Angket Dewan Perwakilan Rakyat pasca amanndemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 2. Sumber data a. Sumber data skunder Data sekunder (library research) yaitu data yang diperoleh dengan cara mempelajari berbagai literatur yang berkaitan dengan masalah yang diteliti, terdiri dari: a) Bahan Hukum Primer yaitu peraturan perundang-undangan. b) Bahan hukum Sekunder yaitu buku-buku, makalah dan situssitus internet yang berhubungan dengan penelitian.
c) Bahan hukum tertier yaitu kamus. 3. Teknik pengumpulan data Data penelitian dikumpulkan dengan cara studi pustaka. Studi ini dimaksudkan untuk mengumpulkan atau memahami data–data skunder dengan berpijak pada berbagai literatur dan dokumen yang berkaitan dengan obyek penelitian. 4. Metode Pendekatan Pendekatan yuridis normatif, yaitu data yang diperoleh kemudian dianalisis dari sudut pandang peraturan perundang-undangan yang berlaku. Setelah di analisis, selanjutnya hasil analisis tersebut akan diwujudkan dalam bentuk deskripsi dengan ringkas dan jelas sehingga mudah dimengerti dan dipahami. 5. Analisis Data Data yang diperoleh dengan metode deskriptif kualitatif, yaitu data yang diperoleh disajikan secara deskriptif dan dianalisis secara kualitatif dengan langkah–langkah sebagai berikut : a. Data penelitian diklasifikasikan sesuai dengan permasalahan penelitian. b. Hasil klasifikasi data selanjutnya disistematisasikan. c. Data yang telah disistematisasikan kemudian dianalisis untuk dijadikan dasar dalam mengambil kesimpulan.