PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sistem politik demokratis, pemilihan umum (Pemilu) bebas dan adil (free and fair) adalah asas dasar dalam berdemokrasi. Pemilu merupakan sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat dimana rakyat dapat memilih pemimpin politiknya meliputih eksekutif dan legislatif baik ditingkat pusat maupun tingkat daerah secara langsung. Juga, nilai dasar demokrasi dapat dilihat dari sejauh mana kesadaran warga negara berpartisipasi untuk memberikan hak suara dalam pelaksanaan pemilu. Pemberian suara pada pemilu (voting) merupakan salah satu bentuk dari sekian bentuk partisipasi politik dalam berdemokrasi. Bagi negara termasuk di Indonesia, pemberian suara menjadi ukuran paling dasar dalam politik konvensional. Pengaruh voting dalam sistem politik adalah sangat besar jika dibandingkan dengan bentuk partisipasi politik konvensional lainnya. 1 Transisi demokrasi di Indonesia, berbagai fenomena praktek pemilihan umun lahir tidak mencerminkan asas-asas demokratis. Salah satu praktek tersebut adalah politik uang (money politics). Secara umum, pengertian politik uang dalam tulisan ini adalah terkait upaya mempengaruhi massa pemilu dengan imbalan materi berupa pemberian langsung uang tunai, pemberian bantuan/sumbangan barang, pemberian bahan pokok berupa sembako, dan memberi dan menjanjikan iming-iming „sesuatu‟ untuk mendapatkan keuntungan politik, atau juga disebut istilah politik transaksional.
1
Sigit Pamungkas, Pemilu, Perilaku Pemiliih & Kepartaian, Yogyakarta, 2012
1
Maraknya praktek politik uang berlangsung hampir seluruh tingkatan pemilihan umum sehingga menjadikan demokrasi melahirkan biaya yang tinggi. Tingkat kepercayaan terhadap kandidat mendorong relasi antara calon dan pemilih bersifat jangka pendek dan materialis. Politik uang adalah salah satu faktor penyebab demokrasi berbiaya tinggi. 2 Praktek ini juga merupakan bagian dari bentuk kegagalan menjalankan asas-asas demokratis dalam berdemokrasi. Fenomena politik uang juga dapat dikategorikan sebagai hybrid dalam demokrasi masa transisi. Fenomena hybrid ini merupakan percampuran elemen-elemen demokratis dengan elemen-elemen non demokratis yang dapat ditemui secara bersamaan dalam sebuah sistem politik. 3 Sehingga pada akhirnya praktek politik uang akan dapat merusak demokrasi, mengkhianati kepercayaan masyarakat, dan melahirkan demokrasi palsu. Penggunaan politik uang untuk mendapatkan kekuasaan telah terjadi sejak pemilu kepala daerah tahun 1999. Pemilukada dengan menggunakan sistem demokrasi parlemen untuk memilih pemerintah daerah (Gubernur,Walikota, Bupati), politik uang marak terjadi. Penelitian dilakukan pusat komunikasi pemantau pemilu (Puskom) di delapan wilayah Provinsi di Indonesia tahun 1999 menemukan politik uang. Jumlah uang yang besar menentukan kemenangan kandidat dalam pemilu. Uang memiliki peran sangat besar untuk mendulang perolehan suara dalam demokrasi sekarang ini. Politik uang jamak terjadi di masyarakat Indonesia bagaikan sebuah candu. Di satu sisi masyarakat akan dapat menikmatinya dalam jangka pendek, namun di sisi lain secara jangka panjang 2
AAGN Ari Dwipayana, Demokrasi Biaya Tinggi, Yogyakarta: Jurnal FISIPOL UGM, 2009 John Markoff, Gelombang Demokrasi Dunia : Gerakan Sosial dan Perubahan Politik. Yogyakarta, CCSS dan Pustaka Pelajar, 2002 3
2
praktek ini merugikan masyarakat. Fenomena politik uang dunia politik menjadi ancaman bagi proses pembangunan demokrasi. Sebagai bagian dari bentuk korupsi politik, praktek politik uang menjadi isu keprihatinan dan ancaman nyata dalam menjalankan sistem demokrasi. Politik uang merupakan fenomena praktek negatif dalam mekanisme elektoral sistem demokrasi. Dalam sistem demokrasi belum matang seperti di Indonesia, politik uang dijadikan alat untuk memobilisasi dukungan. 4 Impian politik berkualitas sesuai cita-cita demokrasi tidak lebih dari hanya sekedar utopia. Ini terbukti dari jumlah uang yang luar biasa besar digelontorkan oleh kandidat untuk biaya pemilu. Kuatnya pengaruh uang adalah label pemilu, baik tingkat bawah maupun dari tingkat untuk memenangkan kompetisi. Kondisi obyektif ini menyebabkan hilangnya kepercayaan terhadap sistem politik yang adil. Merebaknya politik uang sering kali ditemukan dan saat yang sama tidak mampu di kontrol, melahirkan pandangan masyarakat bahwa praktek politik uang merupakan sesuatu yang wajar. Hal ini didasari oleh survei yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Tahun 2013. Berdasarkan hasil survei KPK, sebanyak 71,72 persen masyarakat menganggap politik uang itu adalah praktek wajar.5 Kontestasi dalam perpolitikan selalu melahirkan dinamika. Secara global jajak pendapat lembaga Survei Indikator Politik Indonesia tahun 2013 memprediksi tingkat kepercayaan masyarakat terhadap partai politik menurun.
4
Halili, Praktik Politik Uang Dalam Pemilihan Kepala Desa, Jurnal Humaniora FIS UNY, Yogyakarta, 2009 5 http://www.republika.co.id/berita/nasional/politik/14/03/21/n2qtgp-politik-uang-musuhdemokrasi
3
Data tren menunjukkan bahwa tingkat afiliasi partai (party ID) terhadap pemilih Indonesia cenderung menurun. Party ID adalah perasaan seseorang bahwa partai tertentu adalah identitas politiknya. Tingkat kedekatan pemilih terhadap partai yang rendah sehingga memicu gejala deparpolisasi. Deparpolisasi atau party dealignment adalah gejala psikologis yang membuat publik kehilangan kepercayaan terhadap partai.6 Ini akibat masyarakat memandang komitmen dan pertanggungjawaban parpol sebagai institusi yang melahirkan calon pemimpin masih sangat minim sehingga membuat pemilih menjadi tidak respek. Ketidakpercayaan masyarakat terhadap calon pemimpin memberikan efek negatif bagi para elit politik dengan menghambur-hamburkan uang waktu sekejap untuk membeli suara pemilih demi mendapatkan kekuasaan. Saat yang sama, sebaliknya adalah sangat menggiurkan bagi sarana pemilih sebagai keuntungan ekonomi meskipun sesaat, karena itu pemilih merasa berhutang budi pada calon memberikan uang/materi tersebut. Lebih jauh, selain ketidakpercayaan masyarakat terhadap parpol dan elit-elit politik yang banyak tersandung hukum, aspek yang juga cukup menjelaskan maraknya politik uang adalah pergeseran nilai masyarakat kearah kapitalis. Budaya materialisme merebak di Indonesia menunjukkan betapa uang menjadi sumber daya paling tinggi nilainya. Dalam sistem masyarakat kapitalis, uang sangat menentukan strata otoritas politik seseorang. Uang merupakan faktor urgen yang berguna untuk mendongkrak kharisma personal seseorang melalui pencitraan dan sekaligus berfungsi mengendalikan wacana strategis terkait dengan 6
Survey Indikator Politik Indonesia, Sikap dan perilaku pemilih terhadap money politics, Jakarta, 2013
4
sebuah kepentingan politik dan kekuasaan. Seseorang memiliki keleluasaan untuk mempengaruhi dan memaksakan kepentingan pribadi dan kelompoknya pada pihak lain melalui berbagai sarana, termasuk uang. 7 Dari sisi masyarakat, pandangan perspektif sosiologi politik, fenomena politik uang dipahami sebagai wujud sistem pertukaran sosial terjadi dalam realitas politik antara kandidat dengan masyarakat (voters). Interaksi dalam politik ini meniscayakan sikap saling ketergantungan (simbiosis mutualisme). Dengan kata lain, relasi hubungan antara pemilih dan kandidat merupakan dasar bagi terciptanya sistem pertukaran sosial yang seimbang. Penggunaan uang sebagai alat untuk meraih tujuan kekuasaan politik sebenarnya bukan sesuatu hal yang baru. Machiavelli asal Italia abad XV pernah menulis bahwa untuk mencapai kekuasaan, segala cara bisa dilakukan termasuk pula uang. Suburnya praktek politik uang pesta demokrasi juga tidak lepas dari cara pandang masyarakat permisif terhadap hal tersebut. Makna uang berkembang dari sekedar alat transaksi dan akumumulasi surplus ekonomi, menjadi alat memperoleh non-financial benefit kekuasaan. 8 Politik uang sebagai produk sosial dan kultural dalam masyarakat. Hubungan patron-klien akan menjadi humus yang menyuburkan maraknya politik uang. Patron memberikan barang atau uang untuk mengikat loyalitas klien. Dalam konteks ini, hubungan timbal balik menjadi basis kultural menopang maraknya praktek politik uang. Politisi tidak bisa mendapat dukungan jika tidak disertai uang atau pemberian. 9
7
Heru Nugroho, Uang, Rentenir dan Hutang Piutang di Jawa, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001 Haryatmoko, Dominasi penuh muslihat, Grahamedia, Jakarta, 2010 9 Ibid 8
5
Intervensi uang kehidupan politik merupakan fenomena universal di Indonesia. Hubungan antara aspek ekonomi dan politik adalah ciri di balik model pembangunan negara menganut sistem demokrasi. Karena uang merupakan medium atau alat yang sangat signifikan untuk menguasai energi dan sumber daya. Maka sejak awal uang memiliki karakteristik yang khas, yaitu dapat dipindahkan dan dipertukarkan (konvertibel).10 Hal inilah dapat menjadi sebuah keuntungan nyata dalam politik. Di lain sisi, terjadinya praktek politik uang dipengaruhi oleh faktor kondisi kekurangan ekonomi dan wawasan berpolitik masyarakat, hingga akhirnya pemilih bertindak pragmatis. Praktek politik uang dipengaruhi oleh sikap pragmatisme partai politik dalam memposisikan masyarakat untuk menjadi pendukung mereka.11 Pemilukada akhir-akhir ini, asas jujur dan adil hanyalah sebuah slogan belaka karena pada dasarnya politik uang merupakan sebuah sistem tidak hilang dalam proses demokrasi di Indonesia. Hal ini terus terjadi dan dilakukan oleh para calon kandidat serta tim sukses masing-masing calon guna mencari perhatian serta suara dari para calon pemilih untuk memenangkan kontestasi. Walaupun adanya partai politik berasaskan Islam, akan tetapi praktek politik uang ini tetap ada dan dikemas dalam agenda sangat rapi. Merebaknya politik uang membawa implikasi bagi demokrasi dan penguatan negara bangsa. Melalui praktek politik uang kedaulatan bukan lagi ditangan rakyat tetapi berada ditangan uang.
10
Alexander E. Herbert, Financing Politics : Politik uang dalam Pemilu Presiden Secara Langsung, Pengalaman Amerika Serikat, (Terj). Yogyakarta: Narasi, 2003 11 Muh Masnur Zamanil Baddi, Pelanggaran money politics pada pemilu 1999 (studi kasus di wilayah matraman dalam DKI Jakarta), Tesis Magister, (Jakarta: FISIP UI, 2006)
6
Melihat kenyataan politik uang telah begitu melekat dalam tatanan kehidupan masyarakat pesta demokrasi, mulai dari tingkat bawah hingga tingkat atas. Persoalan politik uang terkesan begitu remeh namun memiliki dampak sangat besar bagi perkembangan sistem demokrasi dan penegakan hukum di Indonesia. Akibat politik uang membuat proses politik menjadi bias. Dengan politik transaksional ini, proses pemilu sistem demokrasi sulit menampakkan ciri kejujuran, keadilan serta persaingan yang adil. Sehingga berdampak hasil dari pemilu dimana pada akhirnya menciptakan pemerintah tidak lagi memikirkan nasib dan kesejahteraan rakyat namun memikirkan kehidupan pribadinya pun kelompoknya. Dengan situasi serba sulit seperti saat ini, politik uang merupakan alat kampanye cukup ampuh untuk mempengaruhi masyarakat guna memilih calon pemimpin. Sumber daya calon seperti halnya kecerdasan intelektual tidak menjadi tolak ukur kelayakan untuk dipilih, akan tetapi kekayaan finansial menjadi penentu pemenangan pemilu. Hasil akhir contrengan/pilihan lebih ditentukan oleh transaksi bentuk politik uang atau sejenisnya. Artinya, jika selama kampanye seorang kandidat tidak memberikan suatu imbalan kepada pemilih, kecil kemungkinan kandidat itu mendapatkan dukungan suara pemilih dari tingkat elit sampai akar rumput (grass root). Dalam realitas pelaksanaannya, pemilukada memunculkan suatu fenomena patut digaris bawahi, terbentuk akibat tuntutan aspek legal dan pendekatan pragmatik ditempuh para kandidat. Ketentuan yang berlaku memberikan kewenangan sangat besar kepada parpol untuk memberi warna kepada kepala
7
daerah terpilih, apakah kepala daerah itu berkualitas ataukah tidak. Dengan syarat, sebagaimana ditentukan oleh UU tersebut, parpol melakukan perekrutan kandidat melalui mekanisme internal yang demokratis dan transparan. Namun demikian, dalam realitasnya perekrutan kandidat itu umumnya berlangsung dalam mekanisme demokrasi semu (pseudo democracy) dan tidak transparan. Hal ini disebabkan mekanisme yang terdistorsi oleh kepentingankepentingan pragmatik elite parpol, sehingga kualifikasi kandidat berkaitan dengan kompetensi, kredibilitas, dan akuntabilitas calon tenggelam kepentingankepentingan jangka pendek elite parpol. Dalam rekrutmen tersebut banyak terjadi negoisasi menyangkut kontribusi calon terhadap partai. Akibatnya calon kandidat dimunculkan adalah calon berhasil memenangkan negoisasi itu, dengan tolok ukur utamanya adalah berupa materi. Tahun 2013 merupakan tahun politik bagi masyarakat daerah Sulawesi Selatan. Di provinsi ini terdapat beberapa kabupaten melakukan pemilihan umum kepala daerah. Dalam pemilukada dibeberapa wilayah sulsel terindikasi terjadi praktek politik uang. Salah satu pemilukada terindikasi terjadinya politik uang adalah pemilihan umum kepala daerah Enrekang tahun 2013. Pemilukada yang dilaksanakan Agustus 2013 ini banyak diwarnai kecurangan-kecurangan yang salah satunya adalah praktek politik uang. Berbagai cara dilakukan oleh kandidat untuk mendulang suara dengan menggunakan politik uang. Berawal untuk maju sebagai kontestan calon kandidat, praktek politik uang sudah terindikasi terjadi. Kandidat terpilih mengeluarkan uang “mahar” kepada parpol sebagai kendaraan maju dan ikut berkompetisi.
8
Pemilukada Enrekang 2013, kontestasi dimenangkan oleh pasangan H. Muslimin Bando – H. Amiruddin. Pasangan ini memiliki suara terbanyak disemua kecamatan yang ada dikabupaten tersebut. Pemilukada kabupaten Enrekang tahun 2013 ini diikuti oleh empat pasangan calon bupati dan wakil bupati. Masingmasing tersebut adalah H. Mustamin Amir - H. Mahmud Kammane, H. Ridwan Abdullah - Muzakkir, H. Saleh Rahim - Kasmin Karumpa, dan kandidat terpilih H. Muslimin Bando - H. Amiruddin. Dalam pemilukada Enrekang, disinyalir berbagai cara dan bentuk praktek politik uang dilakukan oleh kandidat, tim sukses, maupun simpatisannya. Praktek tersebut dengan cara konvensional seperti: pemberian uang secara langsung, pemberian uang kepada massa kampanye, pemberian uang saat rapat tim sukses, pemberian sembako, dan pemberian bantuan dana rumah ibadah. Praktek pembagian uang secara langsung dilakukan oleh tim sukses kepada pemilih pada masa tenang. Praktek ini dilakukan saat minus dua hari dan malam pencoblosan yang juga disebut „serangan fajar‟ atau „operasi malam‟ yang dilakukan secara „door to door or man to man‟. Praktek ini semata-mata dengan tujuan agar pemilih akan memilih kandidat tersebut. Selain itu, dalam pemilukada 2013 yang diikuti empat pasangan ini, praktek politik uang tidak hanya dilakukan secara konvensional, tapi juga berupa janjijanji politik. Praktek ini lebih bersifat jangka panjang dengan menyalahgunakan kebijakan programatik, seperti bantuan sosial atau hibah maupun dana proyek untuk kepentingan pendukung baik secara kelompok maupun secara individu. Politik uang tidak saja pada politisi dengan rakyat, namun juga melibatkan elit-elit
9
birokrat. Praktek politik uang ini antara kandidat dengan elit birokrat lebih pada transaksi jabatan birokrasi ketika terpilih nantinya. Dalam situasi pemilukada Enrekang 2013 yang serba sulit, praktek politik uang merupakan sumber daya cukup ampuh mempengaruhi masyarakat untuk memilih calon pemimpin politik. Sumber daya seperti halnya kecerdasan intelektual kandidat seakan bukan indikator kelayakan kandidat untuk dipilih, akan tetapi magnet finansial yang menjadi penentu pemenangan dalam pemilukada tersebut. Hasil akhir contrengan lebih ditentukan oleh seberapa besar pemberian dalam bentuk instan. Artinya jika dalam kampanye kandidat tidak memberikan imbalan kepada pemilih, kecil kemungkinan kandidat itu akan mendapatkan dukungan suara. Problematika yang lahir dengan adanya praktek politik uang dalam proses pemilihan kepala daerah dengan tujuan yang jelas telah mencederai proses-proses dalam demokratisasi. Praktek politik uang merupakan pelanggaran dalam pemilu yang tidak hanya mengabaikan prinsif berdemokrasi, tapi juga telah mengabaikan muatan etika dan moralitas dalam demokrasi sendiri, sehinggah ujung dari problema ini adalah tidak adanya aspek yang jujur dan adil sebagaimana asas yang paling mendasar dalam sistem demokrasi. Jujur dan adil hanya menjadi retorika politik, sementara cara untuk menjadi penguasa didapatkan dengan menghalalkan segala cara. Memandang pemilu sekarang tidak lain adalah alat untuk mendapatkan kekuasaan, alat elit-elit politik bersandiwara untuk mendapatkan legitimasi dari rakyat untuk mendapatkan kekuasaan. Karena sifatnya yang destruktif, bermaksud mempengaruhi pilihan politik pemilih dengan imbalan tertentu. Politik uang
10
banyak membawa pengaruh peta perpolitikan serta proses yang terjadi dalam pesta politik yang berdampak pada harapan dan realitas tidak terlahir sesuai citacita demokrasi dalam memilih pemimpin. Politik uang yang berlangsung hampir setiap tingkatan pemilihan umum di Indonesia menjadikan demokrasi elektoral menjadi bias. Politik uang seakan menjadi hal yang utama dalam mendapatkan suara pemilih untuk meraih kekuasaan politik. Untuk memahami lebih jauh efektivitas kuasa politik uang dalam pemenangan kontestasi pemilu di Indonesia khususnya didaerah, maka dalam penelitian ini akan mengkaji sejauh mana politik uang mempengaruhi perilaku memilih dalam masyarakat dan lebih jauh untuk memotret bagaimana politik uang mempengaruhi perilaku memilih dalam sistem demokrasi elektoral di Indonesia seperti halnya yang terjadi pada pemilukada Enrekang tahun 2013. 1.2 Rumusan Masalah Menguatnya fenomena praktek politik uang (money politics) dalam politik di Indonesia menjadi ancaman serius bagi proses keberlanjutan pembangunan tata politik yang demokratis. Keprihatinan terhadap pembajakan demokrasi melalui politik uang dalam pesta demokrasi mendorong lebih jauh memahami politik transaksional ini yang terjadi dalam sistem pemilu di Indonesia. Berangkat dari paparan diatas mengantarkan pada refleksi rumusan masalah: Bagaimana pengaruh politik uang (money politics) terhadap perilaku memilih pada pemilukada Enrekang tahun 2013 ?
11
1.3 Tujuan Penelitian Politik uang (money politics) merupakan praktek dalam pemilu yang dapat membunuh tatanan sistem demokrasi di Indonesia. Praktek politik uang berkembang bukan saja secara konservetif tapi juga berbagai cara dengan modus yang bersifat transaksional. Misi penulisan tesis ini bertujuan untuk memotret fenomena politik uang di Indonesia dengan mengetahui bagaimana pengaruh politik uang (money politics) terhadap perilaku memilih masyarakat pada pemilukada Enrekang Tahun 2013. 1.4 Kerangka Teori Untuk membahas terkait politik uang terhadap perilaku memilih dalam pesta demokrasi maka pada bagian ini diuraikan teori-teori yang relevan untuk membahas pokok permasalahan yang dikaji, seperti: Demokrasi, politik uang (money politics), perilaku memilih (voting bihavioralisme), dan uang dalam kontestasi politik. 1.4.1 Demokrasi Istilah demokrasi berasal dari bahasa Yunani (dēmokratía) „kekuasaan rakyat‟, yang dibentuk dari kata dêmos „rakyat‟ dan kratos „kekuasaan‟, merujuk pada sistem politik yang muncul pada pertengahan abad ke-5 dan ke-4 SM di Yunani Kuno, khususnya Athena, menyusul revolusi rakyat pada tahun 508 SM. Demokrasi secara harfiah diartikan sebagai sistem politik dimana kedaulatan berada ditangan rakyat. Hampir semua negara di dunia menyakini demokrasi sebagai tolak ukur tak terbantah dari keabsahan politik. Keyakinan bahwa kehendak rakyat adalah dasar utama kewenangan pemerintah menjadi basis bagi
12
tegak kokohnya sistem politik demokrasi. Dengan hal itu menunjukan bahwa rakyat di letakkan pada posisi penting walaupun secara operasional implikasinya diberbagai negara tidak selalu sama. Demokrasi secara mendasar dapat dipahami sebagai suatu sistem politik di mana semua warga negara memiliki hak untuk memilih dan dipilih dalam pemilu yang diadakan secara periodik dan bebas, yang secara efektif menawarkan peluang pada masyarakat untuk mengganti elit yang memerintah. Menguatnya tuntutan demokrasi dipandang sebagai sistem yang mampu mengantar masyarakat ke arah transformasi sosial politik yang lebih ideal. Demokrasi dinilai lebih mampu mengangkat harkat manusia, lebih rasional, dan realistis, untuk mencegah munculnya suatu kekuasaan yang dominan. Demokrasi adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warga negara) atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut. Salah satu pilar demokrasi adalah prinsip trias politica yang membagi ketiga kekuasaan politik negara (eksekutif, yudikatif dan legislatif) untuk diwujudkan dalam tiga jenis lembaga negara yang saling lepas (independen) dan berada dalam peringkat yang sejajar satu sama lain. Kesejajaran dan independensi ketiga jenis lembaga negara ini diperlukan agar ketiga lembaga negara ini bisa saling mengawasi dan saling mengontrol berdasarkan prinsip checks and balances. Dalam konsep demokrasi dimana kedaulatan ditangan rakyat itu masih menjadi perdebatan diantara para ahli politik didunia. misalnya Joseph A. Schumpeter yang mengatakan, pemerintahan yang dibentuk melalui pemilu yang
13
bebas dan adil merupakan pengertian demokrasi. 12 Demikian juga dijelaskan Samuel P. Huntington bahwa suatu sistem dikatakan demokratis sejauh para pembuat keputusan kolektif yang paling kuat dalam sistem itu dipilih melalui pemilu yang adil, jujur dan berkala didalam sistem itu para calon bebas bersaing untuk memperoleh suara dari hampir semua penduduk dewasa yang berhak memberikan hak suara.13 Dengan melihat pandangan kedua ilmuan politik ini dapat digolongkan kedalam persfektif demokrasi prosedural, karena menekankan pemilu yang bebas dan adil sebagai dasar dari pengertian demokrasi. Dengan devenisi ini yang kurang memuaskan sehingga melahirkan kritik dari ahli politik lain. Lyman Tower misalnya menyebutkan ciri-ciri demokrasi meliputih: keterlibatan warga negara dalam pembuatan keputusan politik, tingkat persamaan tertentu diantara warga negara, tingkat kebebasan atau kemerdekaan tertentu yang diakui oleh warga negara, suatu sistem perwakilan dan suatu sistem pemilihan kekuasaan mayoritas. 14 Demikan halnya David Beetham bahwa masyarakat demokratis haruslah mencakup empat hal: pemilu bebas dan jujur, keterbukaan dan akuntabilitas pemerintahan, jaminan terhadap kebebasan politik, dan tersedianya masyarakat kewargaan (civil society).15 Dalam perdebatan terkait demokrasi menurut Robert Dahl bahwa demokrasi sebagai poliarchy, yaitu sebagai suatu siset tatanan politik yang pada tingkat
12
Schumpeter, Josep A, Capitalism, Socialism and Democracy, George Allen agwin Ltd, London : 1956 13 Huntington, Samuel P, Gelombang Demokratisasi Ketiga, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 1995 14 Sargment, Lyman Tower, Contemporary Political Ideologis, A Comparative Analysis, Illionis : The Dorscy Press, 1978. 15 Beetham, David, Defining and Measuring Democracy, Sage Publication, London, 1994.
14
paling umum dibedakan oleh dua ciri: kewarganegaraan diperluas sampai mencakup pada bagian yang relatif tinggi dari orang dewasa dan hak-hak kewarganegaraan mencakup kesempatan untuk menentang dan memberhentikan pejabat tinggi dalam pemerintahan dengan melalui pemberian suara.16 Konsep Poliarchy dalam demokrasi terdiri dari lembaga-lembaga politik seperti: para pejabat negara yang dipilih, pemilihan umum yang bebas, adil dan berkala, kebebasan berpendapat, sumber informasi alternatif, otonomi asosiasional, dan hak kewarganegaraan yang inklusif. 17 Gagasan Poliarchy ini mencoba mengatasi perdebatan antara demokrasi langsung yang digagas oleh Jean Jacques Rousseau dengan demokrasi perwakilan pemikiran John Stuart Mill. Menurut J.J Rousseau bahwa demokrasi yang ideal adalah demokrasi langsung, tanpa kelompok-kelompok perantara, tiada tingkatan, kelas, badan hukum, sindikat, maupun partai politik. 18 Tujuan utama demokrasi adalah harus mampu mewujudkan kehendak masyarakat umum tanpa adanya diskriminasi. Sedangkan Robert Dahl berpendapat bahwa demokrasi langsung seperti pemikiran Rousseau kurang realistis diterapkan dalam konteks negara bangsa (nation state).19 Namun Dahl menganggap pula demokrasi perwakilan sebagaimana pemikiran John Stuart Mill dapat mereduksi subtansi demokrasi. Pasca Orde Baru, perdebatn antara demokrasi langsung dengan demokrasi perwakilan juga mewarnai perkembangan pemikiran sistem demokrasi di
16
Dahl, Robert A., Demokrasi dan para pengkritiknya (Jilid II), Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1992 17 Ibid 18 Rousseau, Jean Jacques, Perihal Kontrak sosial atau Prinsip-Prinsip Hukum Politik, Jakarta: Dian Rakyat, 1989. 19 Ibid
15
Indonesia. Setelah praktek demokrasi perwakilan melalui pemilu tahun 1999 kurang memuaskan, sehingga hal tersebut mendorong pelaksanaan pemilihan secara langsung. Dengan pemilihan umum dan pemilukada secara langsung, Indonesia disebut mengadopsi demokrasi campuran. Dari uraian diatas, meskipun terdapat perbedaan dalam mendefenisikan demokrasi, namun para ahli politik tetap beranggapan pemilu merupakan syarat minimal yang harus tersedia dalam negara yang menganut demokrasi. Secara teoritis, mekanisme pemilihan secara langsung baik pemilihan umum presiden dan maupun pemilukada bersifat lebih demokratis, karna memberikan hak kepada setiap warga negara untuk menentukan pilihan politiknya secara langsung. 1.4.2 Uang Dalam Kontestasi Politik Dalam peradaban kehidupan dunia, sejarah membuktikan uang dan politik tidak dapat dipisahkan. Kontestasi dalam pertarungan politik di panggung demokrasi membutuhkan kapasitas pembiayaan yang tidak sedikit. Menurut Nassmacher menyatakan bahwa, uang memperkuat pengaruh politik bagi mereka yang
memilikinya
atau
mereka
yang
memiliki
wewenang
untuk
mendistribusikannya. 20 Ilmuan lain, Alexander menegaskan “So money is but one element in the equation of political power. But it is the common denominator in the shaping of the many factor comprising political power, because it buys what is not or cannot be volunteered”.21 Dengan logika tersebut,
20
maka uang dapat
Nassmacher, Karl-Heinz (ed), Foundations for Democracy, Baden-baden: Nomos Verlagsgesselschaft, 2001 21 Herbert E. Alexander, Financing Politics: Money, Election, and Political Reform, CQ Press, Washington DC, 1980
16
dijadikan sebagai sumber daya politik yang ditempatkan untuk alat mobilisasi dalam mempengaruhi masyarakat guna memperoleh kekuasaan. Masyarakat manapun di dunia sekarang ini, kekuatan uang adalah sumber daya yang mampu mengendalikan energi dan sumber daya lain. Kekuatan uang dalam mengendalikan sumber daya politik terletak pada karakter yang melekat yakni sifatnya yang likuid, transferable (mudah dipindahkan), serta tidak beridentitas.22 Karakter uang yang mudah ditransformasi membuatnya mudah dalam sarana pertukaran ekonomi menjadi sarana pertukaran politik dan juga hal lain bersifat materi. Demikian pula dengan sumber daya kekuasaan lain dapat pula diubah menjadi uang melalui keuntungan yang dimiliki orang atau kelompok yang memiliki kekuasaan. Dengan uang, ditengah arus kapitalisme akan dengan mudah mengantarkan kepada kekuasaan politik. Pesta demokrasi selalu melahirkan dinamika. Dalam konteks politik persaingan elektoral, uang dapat dipahami sebagai sumber daya yang menjadi penentu bagi tiga faktor pemenangan kandidat lainnya yakni profil kandidat, program kerja dan isu yang diangkat serta organisasi kampanye. 23 Dapat dikatakan, tanpa uang maka ketiga faktor tersebut menjadi sulit jadi daya tarik bagi pemilih. Hal ini ditegaskan oleh Jacobson: Money is not sufficient, but it is necessary for successful campaign. Money is necessary because campaigns do have impact on election results and campaign cannot be run without it? 24
22
Ibid Ibrahim Fahmi Badoh & Adnan Topan Husodo, Memantau Korupsi Pemilu, ICW & TIFA Foundation, 2009 24 Garry C. Jacobson, Money in Congressional Elections, Yale University Press, New Haven, 1980 23
17
Berangkat dari logika demikian, dapat dikatakan uang sebagai sarana mobilisasi untuk faktor-faktor pemenangan lainnya. Pada kontes pemilu, konvertibilitas uang dengan mudah membantu para aktor dalam melakukan proses transaksi. Ketika para pelaku membangun kesepakatan, spektrum yang bekerja adalah spektrum kekuasaan, dan bukan spektrum ekonomi. 25 Penggunaan uang sebagai alat mencapai kekuasaan dalam politik, telah meminggirkan uang sebagai alat akumulasi sumber daya ekonomi. Dengan konteks ini, penggunaan uang tidak lagi menjadi sarana akumulasi kekayaan namun telah menjadi tujuan, dimana fokus utamanya tidak diletakkan pada uang/materi itu sendiri, melainkan pada kekuasaan. Sebagai sarana pertukaran sumber daya, uang memudahkan perpindahan sumber daya ekonomi (uang) dan politik (kekuasaan) antar pelaku yang menciptakan pemusatan maupun penyebaran. 26 Daya konvertibilitas pada gilirannya akan semakin mendorong lebarnya ketimpangan-ketimpangan distribusi sumber daya. Dalam prakteknya, uang cenderung bekerja dalam stuktur ekonomi politik yang timpang atau mengalami transisi. Sehingga pertukaran sumber daya ekonomi ataupun politik yang bekerja melalui uang justru semakin massif dan disaat yang bersamaan konvertibilitas mampu menyebarkan sumber daya melalui pertukaran sumber daya dalam masyarakat. Hal ini mengantarkan bagi setiap pelakunya membangun posisi tawar dalam melakukan transaksi politik menuju tahta
25
Ibid Fati Gama Abisono, Uang dalam kontestasi politik : Study Etnografi Praktek Politik Uang Dalam Pemilukada Di Kota Yogyakarta Tahun 2011, Tesis Magister, (Yogyakarta : FISIPOL UGM 2012) 26
18
kekuasaan. Ditengah arus globalisasi yang berorientasi pada materialis, sifat uang yang universal merupakan element dalam menatap tahta kekuasaan politik. 1.4.3 Politik Uang (Money Politics) Tidak dapat dipungkiri politik memang membutuhkan dana. Belanja politik yang direncanakan dan digunakan untuk berbagai kegiatan program-program kampanye. Untuk membangun komunikasi politik dengan konstituen, serta menyerap dan mengartikulasikan kepentingan masyarakat. Politisi dalam kompetisi untuk meraih dukungan pemilih, tanpa dana hampir dapat dipastikan akan kalah. Tetapi dalam kontestasi, dana politik (financing politics) dan politik uang jelas berbeda. Letak perbedaan adalah modus dalam pengunaan dana yang digunakan untuk menggalang dukungan pemilih. Realitas politik menunjukan, bahwa politisi yang tidak punya dana sudah hampir dapat dipastikan akan kalah dalam kontestasi. Fakta politisi tidak hanya memerlukan dana kampanye yang cukup besar untuk meraih dukungan dari para konstituen. Umumnya politisi sebelumnya membutuhkan dana untuk meraih restu dan dukungan walaupun tidak resmi dari elite partai yang mengusung. Dalam pelaksanaannya, pemilu di Indonesia sering terlihat tidak sehat. Pemilihan umum yang dinilai sebagai pesta demokrasi pun ternyata belum bisa mengimplementasikan sistem demokrasi yang sesungguhnya. Karena dalam proses pelaksanaannya, pemilu masih disuguhi kecurangan yang dilakukan oleh elit-elit politik itu sendiri. Salah satu kecurangan pada pemilu adalah politik uang yang memaksa masyarakat untuk memilih menentukan peserta pemilu dengan melakukan adanya politik uang tersebut.
19
Meskipun politik uang sudah lama terjadi namun sampai saat ini perdebatan tentang definisi, batasan, dan politik uang masih dalam sengketa kebenaran. Karena itu belum ada kesimpulan tegas mengenai politik uang. Tidak ada batas yang jelas antara praktik jual beli suara dan pengeluaran uang untuk keperluan yang kongkrit dalam pemilihan umum. Garis dan batasan antara money politics and political financing atau pembiayaan kegiatan politik masih sangat kabur. Namun secara common sense yang berkembang dan masih terdapat kekaburan bahwa, praktek politik uang dapat dikatakan sebagai suatu usaha dalam upaya membeli dukungan atau mempengaruhi pemilih dengan imbalan materi ataupun janji-janji guna mendapatkan kekuasaan. Walaupun batasan politik uang masih dalam sengketa, namun banyak Ilmuan memberikan defenisi terkait hal tersebut. Seperti yang dimuat dalam koran Jawa pos 19 Februari 1999, menurut pakar hukum tata negara Universitas Indonesia, Yusril Ihza Mahendra, definisi money politics sangat jelas, yakni upaya mempengaruhi massa pemilu dengan imbalan materi. Sementara pemahaman tentang money politics sebagai tindakan membagi-bagi uang (entah berupa uang milik partai atau pribadi) untuk membeli suara antara lain dilontarkan oleh Afan Gaffar.27 Praktek politik uang juga dapat disamakan dengan sogok alias suap. Istilah politik uang (money politics) merupakan sebuah istilah yang dekat dengan istilah korupsi politik (political corruption) dalam pemilu. Apabila penggunaan uang pribadi dalam kampanye disebut sebagai money politics, maka tidak ada orang atau partai politik yang bersih dari korupsi. Indra J. Piliang, menyatakan
27
Ibid
20
bahwa dalam sejumlah penelitian tentang pemilihan umum, penggunaan uang untuk mengadakan perhelatan, makan bersama, dan lain-lainnya sudah menjadi kebiasaan untuk memperoleh dukungan. Pada titik inilah terjadi bias antara politik uang (money politics) dengan biaya politik (cost politics). Indra Ismawan (1999), menyatakan bahwa politik uang biasa diartikan sebagai upaya mempengaruhi perilaku orang dengan menggunakan imbalan tertentu. Ada pula yang mengartikan politik uang sebagai tindakan jual beli suara pada sebuah proses politik dan kekuasaan.28 Pemberian uang, barang atau memberi iming-iming sesuatu, kepada massa (voters) secara berkelompok atau individual, untuk mendapatkan keuntungan politis dapat disebut politik uang. Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menerbitkan aturan tentang politik uang. Politik uang yang dimaksud mempunyai pengertian tindakan membagi-bagikan uang baik sebagai milik partai atau pribadi untuk membeli suara. Melalui peraturan nomor 1 tahun 2013 tentang pedoman kampanye, KPU telah dengan tegas melarang setiap peserta pemilu menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada peserta kampanye. Praktik politik uang paling marak terjadi pada saat momentum kampanye. Kampanye merupakan bagian penting dalam proses pemilihan umum yang melibatkan dua unsur penting, yaitu peserta pemilihan umum dan warga yang mempunyai hak pilih. Analoginya adalah peserta pemilu merupakan penjual, dan warga adalah pembeli yang dapat melakukan deal politik berkat ketertarikan visi,
28
Ibid
21
program, dan/atau janji berupa uang dan barang. 29 Politik uang dapat dilakukan baik oleh aktor secara langsung ataupun tidak langsung, misalnya melalui tim sukses ataupun kolega-koleganya kandidat itu sendiri. Dari perspektif ekonomi, politik transaksional muncul karena adanya hubungan simbiosis mutualisme antara pelaku, baik kandidat, tim sukses dan korban (rakyat). Interaksi keduanya saling mendapatkan keuntungan dengan mekanisme politik uang. Bagi kandidat, politik uang merupakan media instan yang dengan cara itu suara konstituen akan dapat dibeli. Sebaliknya pula, bagi pemilih, bahwa politik uang ibarat merupakan bonus di masa pemilu yang lebih riil dibandingkan dengan program-program yang dijanjikan. Bagi negara yang sebagian besar rakyatnya miskin, politik uang adalah teknik rekruitmen massa yang cukup efektif bagi aktor politik. Dalam konteks Indonesia, realitas tersebut sangat potensial untuk terjadi. Dalam teori pertukaran yang dirumuskan dalam kajian sosiologinya Peter Blaw bahwa, tingkah laku individu (individual action) itu dipaksa oleh perolehan imbalan, tetapi proses psikologi untuk memantapkan tindakan tidak cukup menguraikan wujud relasi pertukaran.30 Konsep psikologi tersebut adalah rasa saling terikat sebagaimana tersirat diantara para individu dan keinginan mereka dalam berbagai bentuk imbalan. Menurut Blau, bahwa sistem pertukaran sosial meniscayakan terlibatnya aspek kepatuhan individu dan rasa hutang budi. Selain itu, pertukaran sosial akan terjadi jika telah terjadi kesepahaman antara kedua belah pihak tanpa adanya 29
Robi Cahyadi Kurniawan , Kampanye Politik: Idealis dan Tantangan. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM 2009 30 Judistira Garna, Ilmu-Ilmu Sosial, Dasar Konsep dan Posisi, Bandung : Primako Akademika, 2001
22
paksaan. Proses pertukaran itu memiliki sifat asal sebagai sifat dialektika, yang berarti terdapatnya proses untuk memberi dan menerima. Proses pertukaran sosial tersebut akan melahirkan kekuasaan yang berbeda akibat mekanisme sumbangan yang tak seimbang. Sebagaimana dalam dunia politik, tidak ada komoditas yang benar benar memiliki nilai sama, dari ketidaksamaan tersebut maka lahirlah kekuasaan pada pihak yang memberikan komoditas yang lebih. 1.4.4 Pengaruh Politik Uang dan Perilaku Politik Studi pemilu dari masa ke masa diidentikkan dengan persoalan partisipasi. Partisipasi politik masyarakat, khususnya partisipasi pada pemilu dalam ilmu politik terangkum sebagai bagian dari kajian perilaku politik. perilaku memilih tidak lepas dari tinjauan perilaku politik itu sendiri. Hal ini didasari bahwa perilaku memilih merupakan bagian dalam budaya perilaku politik. Perilaku pemilih merupakan tingkah laku dalam menentukan pilihannya yang dirasa paling disukai atau paling cocok. Perilaku merupakan tanggapan yang diaplikasikan lewat tindakan terhadap sesuatu yang dirasakan oleh setiap individu pada pesta demokrasi tersebut. Menurut Samuel P. Huntington, partisipasi politik adalah kegiatan warga negara pribadi yang bertujuan mempengaruhi pengambilan keputusan oleh pemerintah.31 Perilaku memilih jika dikaitkan dengan devenisi perilaku diatas maka dapat kita artikan bahwa perilaku memilih merupakan suatu tanggapan dalam mendukung sebuah partai politik atau kandidat yang diimplementasikan lewat pemberian suara dalam pemilu.
31
Huntington, Samuel P. dan Juan Nelson, Partisipasi Politik di Negara Berkembang, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1994
23
Dalam pandangan lain ilmuan politik lainnya, McClosky menekankan kesukarelaan dalam mendefenisikan bahwa partisipasi politik adalah kegiatan sukarela dari warga masyarakat melalui mana mereka mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa, dan secara langsung atau tidak langsung dalam proses pembentukan kebijakan umum. 32 Sedangkan Nie dan Verba bahwa partisipasi politik adalah kegiatan pribadi warga negara yang legal dan sedikit banyak langsung bertujuan untuk mempengaruhi seleksi pejabat-pejabat negara dan atau tindakan yang diambil oleh mereka.33 Kegiatan mengikuti pemilihan termasuk di dalamnya bekerja dalam suatu pemilihan, mencari dukungan bagi seorang calon, mengorganisir sumbangan untuk kampanye hanyalah salah satu bentuk partisipasi politik diantara beberapa partisipasi politik lainnya. Nilai budaya politik atau civic culture dalam demokrasi merupakan basis yang membentuk perilaku politik. Salah satu aspek dari kebudayaan politik dunia yang baru ini dapat lihat ialah bahwa ia akan menjadi kebudayaan politik dalam berpartisipasi. 34 Perilaku politik sebagai kegiatan yang berkenaan dengan proses pembuatan dan keputusan politik. Perilaku politik adalah tindakan atau kegiatan seseorang atau kelompok dalam kegiatan politik. Perilaku politik meliputi tanggapan internal seperti persepsi, sikap, orientasi dan keyakinan serta tindakantindakan nyata seperti pemberian suara, protes, lobi dan sebagainya. Persepsi politik berkaitan dengan gambaran suatu obyek tertentu, baik mengenai
32
Herbert McClosky dalam Miriam Budiardjo (penyunting), Partisipasi Politik, Sebuah Bunga Rampai, Jakarta: PT. Grahamedia, 1982 33 Ibid 34 Gabriel A. Almond, Sidney Verba, Budaya Politik : Tingkah laku politikdan Demokrasi di Lima Negara, Bumi Aksara, Jakarta, 1990
24
keterangan, informasi dari sesuatu hal maupun gambaran tentang obyek atau situasi politik dengan cara tertentu.35 Terdapat beberapa budaya politik, satu diantaranya adalah budaya politik partisipatif atau disebut juga budaya politik demokrasi yakni suatu kumpulan sistem keyakinan, sikap, norma, persepsi dan sejenisnya yang menopang terwujudnya partisipasi. Untuk terwujudnya partisipasi itu warga negara harus yakin akan kompetensinya untuk terlibat dalam proses politik dan pemerintah memperhatikan kepentingan rakyat agar rakyat tidak kecewa dan apatis terhadap pemerintah. Dalam studi yang dilakukan oleh Almond dan Verba ditemukan bahwa negara-negara yang mempunyai budaya politik yang sudah matang akan menopang demokrasi yang stabil. Sebaliknya, negara-negara yang memiliki derajat budaya politik yang belum matang tidak mendukung terwujudnya demokrasi yang stabil. Kematangan budaya politik tersebut ditunjukkan dengan peluang yang diberikan oleh negara kepada masyarakat untuk mandiri, sehingga akhirnya memiliki tingkat kompetensi yang tinggi. Kontestasi dalam pemilu, uang dan perilaku politik tidak dapat dipisahkan. Pemenangan dalam pertarungan politik membutuhkan kapasitas pembiayaan yang memadai. Uang sebagai sumber daya politik ditempatkan sebagai alat mobilisasi untuk mempengaruhi pemilih guna mendapatkan, memperoleh, mempertahankan kekuasaan. Namun, sejauh mana politik uang mempengaruhi perilaku politik tidak dapat diukur secara pasti. Hal ini karena perilaku politik masyarakat dapat berubah-ubah sesuai dengan preferensi, misalnya kondisi sosio-ekonomi yang 35
Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, Grahamedia, Jakarta, 1999
25
melatarinya. Pemilu yang merupakan arena dalam kontestasi mendapatkan kekuasaan politik, resaurce seperti uang hanyalah merupakan salah satu variabel. Dalam pengertian ini bahwa, uang hanyalah sebuah instrumen atau alat, dan memiliki arti penting untuk mengetahui bagaimana sumber daya ini digunakan orang untuk mencoba mendapatkan pengaruh, atau diubah menjadi sumber dayasumber daya yang lain, atau dipergunakan secara berkombinasi dengan sumber daya-sumber daya yang lain dalam rangka meraih kekuasaan politik. 36 Perubahan perilaku politik masyarakat, khususnya dalam konteks partisipasi politik banyak ditunjukan oleh perubahan tatanan sistem politik. Seperti hal tumbuhnya kesadaran kelas, termasuk orang yang berpengaruh pada suatu partai politik, berkurangnya tingkat ketergantungan seseorang, dan program yang ditawarkan pasangan calon.37 Pemilihan umum sebagai salah satu instrument demokrasi berjalan beriringan dengan perilaku politik uang yang pada dasarnya merusak tatanan demokrasi itu sendiri. Maka rasionalitas pemilih menjadi layak untuk dipertanyakan. Pemilih tidak memilih calon berdasarkan program dan visi yang ditawarkan tapi hanya berdasar jumlah uang yang diterima menjelang pemilihan. Dengan hal ini maka maka perilaku pemilih di Indonesia sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor non demokratis. 38 Partisipasi politik yang ditunjukkan dalam angka penggunaan hak pilih tersebut adalah partisipasi semu. Perilaku yang relatif otonom seperti saat pemilihan dalam pemilukada, membuat pemilih dengan leluasa menjadi swingns voters. Maksudnya, ia bisa saja pada pemilihan tahun ini memilih calon tertentu, 36
Ibid Leo Agustino, Pilkada dan Dinamika Politik Lokal, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009 38 Ibid 37
26
tapi di saat lain ia menjatuhkan pilihannya kepada calon yang lain. Hal ini menjadi sangat wajar oleh karena tidak ada ideologi yang konkrit. Dalam hal ini, yang memiliki kecenderungan muncul adalah pragmatisme politik. Yang artinya bagaimana seorang kandidat bersama dengan tim suksesnya untuk meramu pemasaran politik (political marketing) yang cocok untuk memenangkan kontestasi pemilukada. Ditengah kondisi hal demikian dengan tujuan kekuasaan, salah satu cara yang ampuh dengan menanggalkan aturan-aturan yang ada dengan menggunakan finansial dengan bentuk politik uang. Pemilu dengan sistem demokrasi, entitas uang dan janji merupakan instrument politik yang strategis untuk meningkatkan preferensi pemilih. Hal tersebut juga dapat dijadikan sebagai alat untuk menanggulangi persoalan (problem solving) yang akan memberikan sentuhan warna pendekatan pemilih. Uang dan janji merupakan sumber kekuatan politik untuk mengatasi beberapa titik kritis dalam tindakan politik. Kekuatan uang dapat disejajarkan dengan kekuatan janji dalam memperkuat strategi politik simpati (political sympathy) yang cukup efektif untuk mengekstrasikan masyarakat. Pemilu dengan sistem demokrasi “one person, one vote”, dapat juga digambarkan kaitan antara sikap pemilih dalam menentukan pilihan terhadap kandidat. Dapat dijelaskan bahwa penentuan sikap sangat tergantung pada tiga hal yaitu, persepsi, kepribadian, dan motivasi. Persepsi merupakan aktivitas pikiran seseorang secara aktif dalam memberikan tanggapan, pandangan atau respon terhadap objek atau stimulus. Perbedaan-perbedaan latar belakang pengetahuan, kondisi psikologis, pengaruh lain kelompok dan sebagainya akan membedakan
27
pandangan-pandangan tertentu dalam menentukan sikap dan tindakan seseorang. Materi kampanye, termasuk penggunaan politik uang dalam kampanye untuk menarik simpatik pemilih akan membentuk persepsi seseorang terhadap kandidat yang melakukan kampanye tersebut, namun belum tentu dapat mempengaruhi perubahan sikap dalam menentukan pilihan terhadap kandidat walaupun menggunakan politik uang. 39 Hal tersebut menggambarkan politik uang bukanlah hal yang mendasar dalam preferensi pemilih untuk menentukan pilihan politik, namun dapat dikatakan politik uang adalah salah satu bagian instrumen dalam kontestasi dipanggung demokrasi untuk mendapatkan suara pemilih. 1.4.5 Perilaku Memilih (Voting bihavioral) Pada dasarnya teori perilaku dalam ilmu sosial diilhami oleh B.F. Skinner. Skinner dan para penganut teori perilaku secara umum tertarik pada hubungan antara manusia dengan lingkungan mereka yang terdiri dari bermacam-macam obyek sosial dan non sosial. Mereka berargumentasi bahwa perilaku individu merupakan hasil dari interaksi individu dengan lingkungannya. Penganut teori perilaku beranggapan bahwa individu tidak memiliki kesadaran dalam merespon stimuli. Respon stimuli ditentukan oleh stimuli eksternal atau lingkungan sekitarnya (Ritzer, 1992). Perilaku pemilih merupakan tingkah laku seseorang dalam menentukan pilihannya yang dirasa paling disukai atau paling cocok. Perilaku merupakan tanggapan yang diaplikasikan lewat tindakan terhadap sesuatu yang dirasakan oleh setiap individu. Bicara tentang perilaku memilih jika dikaitkan dengan
39
LIPI , Jurnal penelitian Politik, Vol 4, no. 1, Demokrasi mati suri, Jakarta, 2007
28
dengan devenisi perilaku diatas maka dapat kita artikan bahwa perilaku memilih merupakan suatu tanggapan dalam mendukung sebuah partai politik atau kandidat yang diimplementasikan lewat pemberian suara dalam pemilu. Dalam teori perilaku memilih terdapat tiga pendekatan yaitu pendekatan sosiologis, pendekatan psikologis dan pendekatan pilihan rasional. Penjelasan mengenai masing-masing faktor tersebut akan dijabarkan sebagai berikut. 1. Pendekatan Sosiologis Pendekatan sosiologis berasal dari Eropa disebut juga dengan mazhab Columbia (Columbia school), kemudian di Amerika Serikat dikembangkan oleh para ilmuan sosial yang mempunya latarbelakang pendidikan Eropa yang dipelopori oleh kajian Lazersfeld (1948). Pendikatan sosiologis dalam perilaku memilih menyebutkan bahwa faktor yang paling mempengaruhi pilihan masyarakat dalam pemilu adalah karakteristik dan pengelompokan sosial. Perilaku pemilih seseorang berkenaan dengan kelompok sosial dari mana individu itu berasal. 40 Hal itu berarti karakteristik sosial menentukan kecenderungan politik seseorang. Pengelompokan sosial yang dimaksud disini adalah usia, jenis kelamin, agama, pekerjaan, kelas sosial ekonomi, kedaerahan, latar belakang keluarga, kegiatan-kegiatan dalam kelompok-kelompok formal dan informal. Kelompokkelompok sosial ini dipandang berpengaruh besar dalam keputusan memilih karena kelompok-kelompok tersebut berperan dalam pembentukan sikap, persepsi dan orientasi seseorang. Penerapan pendekatan sosiologis dalam perilaku memilih di Indonesia awalnya pernah dilakukan oleh Afan Gaffar. Hasil studinya 40
Dieter Roth, Studi Pemilu Empiris: Sumber, Teori, Instrumen, dan Metode, (Jakarta: FriedrichNaumann Stiftung fur die Freiheit, 2008)
29
menekankan pentingnya karakteristik sosial, khususnya orientasi sosio-religius dalam melihat perilaku pemilih di pulau Jawa. 41 Penelitian lainnya mengenai perilaku memilih di Indonesia dilakukan dengan melihat pemilu 1999. Hasilnya menyebutkan bahwa ikatan sosial terutama faktor etnis penting untuk diperhatikan saat ingin mengamati perilaku memilih masyarakat Indonesia. Dari penjelasan ini bahwa inti dari pendekatan sosiologis adalah menggunakan variabel-variabel pengelompokan sosial untuk menjelaskan perbedaan perilaku pemilih. 2. Pendekatan Psikologis Pendekatan kedua adalah pendekatan psikologis yang dipelopori oleh August Campbell dari Universitas Michigan Amerika Serikat. Munculnya pendekatan ini merupakan reaksi atas ketidakpuasan terhadap pendekatan sosiologis. Pendekatan sosiologis dianggap secara metodologis sulit diukur, seperti bagaimana mengukur secara tepat sejumlah indikator kelas sosial, agama dan sebagainya. Pendekatan sosiologis umumnya hanya sebatas menggambarkan dukungan suatu kelompok pada suatu partai politik atau kandidat itu sendiri. 42 Menurut pendekatan psikologis, sosialisasilah sebenarnya yang menentukan perilaku memilih (politik) seseorang, bukan karakter sosiologis. 43 Pendekatan Psikologis tersebut menekankan pada pentingnya aspek identifikasi partai dalam mempengaruhi keputusan memilih masyarakat. Dengan adanya teori identifikasi partai ini seolah-olah perilaku memilih itu tetap. Pemilih dianggap akan selalu memilih kandidat atau partai yang sama tiap kali pemilu dilaksanakan. Dengan 41
Ibid Asfar Muhammad, Pemilu dan Perilaku Memilih 1955-2004, Surabaya : Pusdeham-Eureka, 2006 43 Ibid 42
30
kata lain pemilih memiliki pilihan yang menetap tanpa dipengaruhi oleh sosialisasi dan komunikasi politik. Kavanagh menjelaskan konsep identifikasi partai sebagai semacam kedekatan psikologis seseorang dengan satu partai tertentu. Ia menambahkan bahwa, konsep identifikasi partai ini mirip dengan loyalitas partai atau kesetiaan seorang pemilih terhadap partai tertentu.44 Seiring bertambahnya usia, identifikasi partai menjadi bertambah stabil dan intensif. Identifikasi partai merupakan orientasi yang permanen dan tidak berubah dari masa pemilu ke pemilu. Identifikasi partai hanya dapat berubah jika seseorang mengalami perubahan pribadi yang besar atau situasi politik yang luar biasa. 45 Dari hasil penelitiannya itu, Campbell menemukan bahwa ada hubungan yang erat antara identifikasi partai dengan kehendak untuk memilih kandidat dari partai dimana sang individu mengidentifikasi dirinya. Mengenai orientasi isu dan kandidat, logika yang digunakan hampir mirip. Pada orientasi isu, semakin sang pemilih menganggap penting isu-isu tertentu, maka kemungkinan ia akan berpartisipasi dalam pemilu akan lebih besar. Apabila solusi yang diberikan oleh sebuah partai lebih mendekati cara pandang pemilih, semakin besar pula kemungkinan ia akan memilih partai yang bersangkutan. Dalam orientasi kandidat berlaku hal yang serupa. Semakin sering pemilih mengambil posisi terhadap kandidat-kandidat yang ada, semakin besar pula kemungkinan bahwa ia akan berpartisipasi dalam pemilu. Bila pandangan pemilih
44
Denis Kavanagh, Political Science and Political Behaviour (London: George Allen & Unwin, 1983), hlm. 88 45 Angus Cambell, The American Voter , (USA: Jhon Wiley and Sons, Inc, 1966), hlm. 133
31
semakin dekat dengan kandidat dari partai tertentu, maka semakin besar pula kemungkinan ia akan memilih kandidat tersebut.46 Menurut Cambel yang dikutip Muh. Aspar bahwa sikap seseorang sebagai refleksi dari kepribadian seseorang merupakan variabel yang cukup menentukan dalam mempengaruhi perilaku politik seseorang. Oleh karna itu, pendekatan psikologis menekankan pada tiga aspek psikologis sebagi kajian utama, yaitu ikatan emosional pada suatu partai politik, orientasi terhadap isu-isu dan orientasi terhadap kandidat. Hal disebabkan oleh fungsi sikap itu sendiri, yang menurut greenstein (dikutip Muh. Aspar) mempunyai tiga fungsi, yaitu sikap merupakan fungsi kepentingan, sikap merupakan fungsi dari penyesuaian diri, dan sikap merupakan fungsi eksternalisasi dan pertahanan diri. Dari proses sosialisasi inilah kemudian berkembang ikatan psikologis yang kuat antara seseorang dengan partai politik atau kandidat. Ikatan psikologis inilah yang kemudian dikenal sebagai identifikasi partai pun identifikasi kandidat. Menurut pendekatan psikologis, konseb identifikasi partai dan kandidat ini dijadikan variabel sentral untuk menjelaskan perilaku memilih seseorang. Dengan memahami kedua pendekatan tersebut bahwa secara ringkas perbedaan esensial mendasar antara pendekatan sosiologis dan psikologis adalah pada kelompok Columbia lebih melihat perilaku politik dari sudut luar kedirian seseorang dan kemudian mengkaitkannya dengan perilaku pemilih. Sementara Kelompok Michigan lebih melihat perilaku politik dari persepsi seseorang mengenai masalah-masalah politik. Kelompok ini menganggap perasaan,
46
Ibid
32
pengalaman, dan interpretasi dari kejadian-kejadian politik secara signifikan mempengaruhi perilaku politik. 3. Pendekatan Rational Choice Pilihan adalah mengenai komitmen memilih antara dua atau lebih kandidat, dan sering terbawa bersamanya. Suatu pertimbangan tentang mengapa salah satu terpilih di antara yang lain. Dalam hal ini, pilihan adalah suatu pengambilan tindakan yaitu memutuskan pilihan. Secara umum teori pilihan rasional diadopsi oleh ilmuwan politik dari ilmu ekonomi. Karena didalam ilmu ekonomi menekankan modal sekecil-kecilnya untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Hal ini senada dengan perilaku politik yaitu seseorang memutuskan memilih kandidat tertentu setelah mempertimbangkan untung ruginya sejauh mana program-program yang disodorkan oleh kandidat tersebut akan menguntungkan dirinya, atau sebaliknya malah merugikan. Max Weber mengemukakan bahwa rasionalitas nilai adalah pengambilan keputusan berdasarkan nilai yang dipegang teguh. Dalam kaitannya dengan pemilu, rasionalitas nilai adalah bagaimana pemilih menjatuhkan pilihan pada calon yang diyakini memiliki kesamaan nilai dengan dirinya, baik itu agama, ras, etnis, dan lain-lain. Para pemilih akan cenderung memilih kandidat yang kerugiannya paling minim. Dalam konteks teori semacam ini, sikap dan pilihan politik tokoh-tokoh populer tidak selalu diikuti oleh para pengikutnya kalau ternyata secara rasional tidak menguntungkan. Beberapa indikator yang biasa dipakai oleh para pemilih untuk menilai seorang kandidat mencalonkan, diantaranya kualitas, kompetensi, dan integrasi kandidat.
33
Ramlan Surbakti menyatakan bahwa pilihan rasional melihat kegiatan perilaku memilih sebagai produk kalkulasi antara untung dan rugi. 47 Ini disebabkan karena pemilih tidak hanya mempertimbangkan ongkos memilih dan kemungkinan suaranya dapat mempengaruhi hasil yang diharapkan, tetapi juga perbedaan dari alternatif-alternatif berupa pilihan yang ada. Pemilih di dalam pendekatan ini diasumsikan memiliki motivasi, prinsip, pendidikan, pengetahuan, dan informasi yang cukup. Pilihan politik yang mereka ambil dalam pemilu bukanlah karena faktor kebetulan atau kebiasan melainkan menurut pemikiran dan pertimbangan yang logis. Berdasarkan informasi, pendidikan dan pengetahuan yang dimiliki pemilih memutuskan harus menentukan pilihannya dengan pertimbangan untung dan ruginya untuk menetapkan pilihan atas alternatifalternatif yang ada kepada pilihan yang terbaik dan yang paling menguntungkan baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan umum. Fenomena terjadinya perubahan pilihan dari pemilu ke pemilu yang lain menunjukkan bahwa terdapat variabel-variabel lain yang mempengaruhi, seperti faktor situasional. Faktor ini turut mempengaruhi pemilih ketika menentukan pilihan politiknya pada pemilu. Hal ini disebabkan seorang pemilih tidak hanya pasif, terbelenggu oleh karakteristik sosiologis dan faktor psikologis akan tetapi juga merupakan individu yang aktif dan bebas bertindak. Menurut teori rasional, faktor-faktor situasional berupa isu-isu politik dan kandidat yang dicalonkan memiliki peranan yang penting dalam menentukan dan merubah referensi pilihan politik seorang pemilih karena melalui penilaian terhadap isu-isu politik dan
47
Ibid
34
kandidat dengan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang rasional, seorang pemilih akan dibimbing untuk menentukan pilihan politiknya. Orientasi isu berpusat pada pertanyaan apa yang seharusnya dilakukan dalam memecahkan persoalan-persoalan yang sedang dihadapi olah masyarakat, bangsa dan negara. Sementara orientasi kandidat mengacu pada persepsi dan sikap seorang pemilih terhadap kepribadian kandidat itu sendiri tanpa memperdulikan label dari partai yang mengusung kandidat tersebut. Dalam menilai seorang kandidat menurut Him Melweit, terdapat dua variabel yang harus dimiliki oleh seorang kandidat. Variabel pertama adalah kualitas instrumental yaitu tindakan yang diyakini pemilih akan direalisasikan oleh kandidat apabila ia kelak menang dalan pemilu. Variabel kedua adalah kualitas simbolis yaitu kualitas keperbadian kandidat yang berkaitan dengan integrasi diri, ketegasan, kejujuran, kewibawaan, kepedulian, ketaatan pada norma dan aturan dan sebagainya. Pendapat Ramlan Surbakti dan Him Melweit tersebut senada dengan apa yang dikemukakan oleh Dan Nimmo 48 dalam bukunya Komunikasi Politik: Khalayak dan Efek yang mengatakan: “Pemberi suara yang rasional pada hakikatnya aksional diri, yaitu sifat yang intrinsik pada setiap karakter personal pemberi suara yang turut memutuskan pemberian suara pada kebanyakan warga negara”. Menurutnya bahwa orang yang rasional adalah : 1. Selalu dapat mengambil keputusan bila dihadapkan pada alternatif
48
Dan Nimmo, Komunikasi Politik: Khalayak dan Efek, CV. Remaja Karya, Bandung
35
2. Memilah alternatif-alternatif sehingga masing-masing apakah lebih disukai, sama saja atau lebih rendah bila dibandingkan dengan alternatif yang lain 3. Menyusun alternatif-alternatif dengan cara yang transitif; jika A lebih disukai daripada B, dan B daripada C, maka A lebih disukai daripada C 4. Selalu memilih alternatif yang peringkat preferensi paling tinggi 5. Selalu mengambil putusan yang sama bila dihadapkan pada alternatifalternatif yang sama, dan bahwa pemberi suara rasional selalu dapat mengambil keputusan apabila dihadapkan pada altenatif dengan memilah alternatif itu, yang lebih disukai, sama atau lebih rendah dari alternatif yang lain, menyusunnya dan kemudian memilih dari alternatif-alternatif tersebut yang peringkat preferensinya paling tinggi dan selalu mengambil keputusan yang sama apabila dihadapkan pada alternatif-alternatif yang sama. Dalam perjalanan analis perilaku pemilih sebagaimana Campbell, et.al. (1960) mengatakan, sering membuat suatu perbedaan antara kekuatan jangka panjang dan jangka pendek yang mempengaruhi keputusan memilih dalam momentum pemilihan. Kekuatan jangka panjang merefleksikan pertimbanganpertimbangan dan informasi yang tersedia untuk pemilih sebelum kampanye presiden dimulai. Kekuatan jangka panjang biasanya mengacu pada sikap politik, (misal: identifikasi partai dan pilihan ideologi) dan faktor demografis (misal: ras, keanggotaan religius / agama, dan keanggotaan serikat pekerja) yang kesemuanya relatif stabil dalam perjalanannya. Kekuatan jangka panjang termasuk juga catatan
36
(record) masing-masing kandidat yang sebelumnya pernah duduk dalam pemerintahan, misal: anggota kongres, gubernur, atau presiden yang sedang berusaha untuk terpilih kembali. Periode ketika duduk dalam pemerintahan disebut sebagai “long campaign”, dan untuk menunjukkan arti penting dalam pemilihan berikutnya (Box-Steffensmeier and Franklin, 1995). Kekuatan jangka panjang ini menentukan keputusan pemilih dan sering mengarahkan pemilih untuk mengembangkan sebuah pola kebiasaan dalam memilih partai yang sama setiap empat tahun.49 Penerapan teori rational choice dalam ilmu politik salah satunya adalah untuk menjelaskan perilaku memilih suatu masyarakat terhadap kandidat atau partai tertentu dalam konteks pemilu. Teori pilihan rasional digunakan untuk menjelaskan variasi perilaku memilih pada suatu kelompok yang secara psikologis memiliki persamaan karakteristik. Pergeseran pilihan dari satu pemilu ke pemilu yang lain dari orang yang sama dan status sosial yang sama tidak dapat dijelaskan melalui pendekatan sosiologis maupun psikologis. Dua pendekatan terakhir tersebut menempatkan pemilih pada situasi dimana mereka tidak mempunyai kehendak bebas karena ruang geraknya ditentukan oleh posisi individu dalam lapisan sosialnya. Sedangkan dalam pendekatan rasional yang menghasilkan pilihan rasional pula terdapat faktor-faktor situasional yang ikut berperan dalam mempengaruhi pilihan politik seseorang, misalnya faktor isu-isu politik ataupun kandidat yang dicalonkan. Dengan demikian muncul asumsi bahwa para pemilih mempunyai kemampuan untuk menilai isu-isu politik 49
Box-Steffensmeier, Janet M., and Kimball, David, , The Timing of Voting Decisions in Presidential Campaigns, 1999
37
tersebut. dengan kata lain pemilih dapat menentukan pilihannya berdasarkan pertimbangan-pertimbangan rasional. 1.5 Hipotesis Dalam konsep dasar pengujian hipotesis ada tiga bentuk rumusan hipotesis seperti yang dijelaskan sugiono (2007) yakni: hipotesis deskriptif, hipotesis komparatif, dan hipotesis hubungan (asosiatif). Berdasarkan dari tujuan yang akan dicapai seperti yang dijelaskan sebelumnya, maka penulis berkesimpulan bahwa rumusan hipotesis yang digunakan adalah hipotesis hubungan (asosiatif). Hipotesis asosiatif adalah merupakan suatu peryataan yang menunjukan dugaan tentang hubungan antara dua variabel atau lebih. Berdasarkan penjelasan diatas maka hipotesis sementara dalam penelitian ini adalah: pengaruh politik uang (money politics) berpengaruh positif dan signifikan terhadap perilaku memilih dalam menentukan pilihan pada pemilihan bupati Enrekang 2013. 1.6 Defenisi Konseptual Perilaku memilih merupakan suatu tanggapan dan aktifitas mendukung sebuah pertai politik atau kandidat yang diimplementasikan lewat proses pemberian suara dalam pemilu. Pada penelitian ini akan dijelaskan pendekatanpendekatan dalam memilih dan bagaimana bagaimana politik uang mempengaruhi pemilih. Namun dalam politik uang masih terdapat kekaburan terkait hal tersebut. Guna menghindarkan kekaburan tersebut, pengertian politik uang (money politics) dalam penelitian ini adalah praktek upaya mempengaruhi massa pemilu dengan imbalan materi berupa pemberian langsung uang tunai, pemberian sumbangan barang, pemberian bahan pokok berupa sembako, dan menjanjikan materi untuk 38
mendapatkan keuntungan, atau secara umum dapat disebut politik transaksional. Pengkajian dalam penelitian ini adalah menitiberatkan pada pendekatan dalam memilih dan bagaimana pengaruh politik (money politics) terhadap perilaku memilih pada pemilukada Enrekang tahun 2013. 1.7 Defenisi Operasional Dalam melaksanakan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui bagaimana pengaruh politik uang (money politics) terhadap perilaku memilih pada Pemilukada 2013 tersebut, seperti yang telah dijelaskan pada kerangka teori dan definisi konseptual, bahwa perlu diturunkan poin-poin dalam kategori dan indikator perilaku memilih dan politik uang (money politics) yang dimaksud dalam penelitian ini adalah: 1.7.1 Perilaku memilih a. Pendekatan Psikologis 1. Keputusan memilih berdasarkan kedekatan kandidat 2. Keputusan memilih berdasarkan kedekatan tim sukses kanidat 3. Keputusan memilih berdasarkan kedekatan/emosional partai 4. Keputusan memilih berdasarkan kedekatan partai kandidat b. Pendekatan Sosiologis 1. Keputusan memilih berdasarkan usia 2. Keputusan memilih berdasarkan jenis kelamin 3. Keputusan memilih berdasarkan agama 4. Keputusan memilih berdasarkan pekerjaan 5. Keputusan memilih berdasarkan kelas sosial
39
6. Keputusan memilih berdasarkan ikatan keluarga 7. Keputusan memilih berdasarkan kesamaan daerah c. Pendekatan Rational Choice 1. Keputusan memilih berdasarkan visi-misi 2. Keputusan memilih berdasarkan orientasi isu 3. Keputusan memilih berdasarkan orientasi kandidat 4. Keputusan memilih berdasarkan program kerja ditawarkan 1.7.2 Politik Uang a. Pemberian langsung uang tunai 1. Keputusan memilih berdasarkan pemberian langsung uang tunai secara personal 2. Keputusan memilih berdasarkan pemberian langsung uang tunai secara kelompok/organisasi 3. Keputusan memilih berdasarkan pemberian langsung uang tunai untuk mesjid 4. Keputusan memilih berdasarkan pemberian langsung uang tunai untuk jalan b. Sumbangan barang 1. Keputusan memilih berdasarkan bantuan jalan 2. Keputusan memilih berdasarkan bantuan mesjid 3. Keputusan memilih berdasarkan bantuan pertanian (pupuk, bibit, dll) 4. Keputusan memilih berdasarkan bantuan alat olah raga
40
c. Pemberian bahan pokok berupa sembako 1. Keputusan memilih berdasarkan pemberian beras 2. Keputusan memilih berdasarkan pemberian telur 3. Keputusan memilih berdasarkan pemberian minyak goreng 4. Keputusan memilih berdasarkan pemberian bahan pokok lainnya d. Menjanjikan
“sesuatu”
dalam
bentuk
materi
untuk
mendapatkan
keuntungan politik 1. Keputusan memilih berdasarkan janji pekerjaan (PNS) 2. Keputusan memilih berdasarkan janji pekerjaan (honor) 3. Keputusan memilih berdasarkan janji pemberian uang tunai (personal) 4. Keputusan memilih berdasarkan janji pemberian uang tunai (kelompok) 5. Keputusan memilih berdasarkan janji bantuan pertanian 6. Keputusan memilih berdasarkan janji hewan ternak 7. Keputusan memilih berdasarkan janji jabatan 8. Keputusan memilih berdasarkan janji perbaikan jalan 9. Keputusan memilih berdasarkan janji perbaikan mesjid 10. Keputusan memilih berdasarkan janji perbaikan pasilitas umum desa/kampung 1.8 Metode Penelitian 1.8.1 Jenis Penelitian Dalam menjawab permasalahan penelitian yang ilmiah digunakan sebuah metode. Metode penelitian dapat diartikan sebagai langkah-langkah atau cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu. Berangkat
41
dari rumusan masalah bagaimana pengaruh politik uang terhadap perilaku memilih pada pemilukada Enrekang 2013, maka dalam mencapai hasil maksimal, secara teknis penulis menggunakan metode kuantitatif dengan pendekatan survey, dimana penulis mencari keterangan dengan cara mengambil sampel dari populasi. Juga untuk mendapatkan data yang dibutuhkan, peneliti melakukan wawancara dan mencari keterangan dari pelaku-pelaku politik. Populasi dalam penelitian ini adalah semua warga Enrekang yang masuk dalam pemilih. Spesifikasi penelitian yang digunakan ini adalah analisis deskriptif inferensial. Statistik inferensial adalah jenis statistik yang menganalisis data sampel, dan membuat generalisasi diberlakukan secara umum pada populasi. Statistik ini digunakan jika sampel diambil pada populasi yang jelas dan pengambilan sampel secara acak. Statistik inferensial bertujuan untuk membuat deskripsi atau gambaran mengenai hasil lapangan, fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antara fenomena yang diteliti. 1.8.2 Sumber Data Berangkat dari jenis dan metode penelitian yang digunakan, maka penelitian ini akan membutuhkan 2 jenis data, yaitu : 1. Data Primer a. Data yang diperoleh dari hasil kusioner yang dibagikan kepada masing-masing sampel dalam penelitian ini. b. Untuk mempertajam analasis dan mendapatkan kesimpulan yang memuaskan, maka data primer yang akan digunakan adalah data hasil wawancara, dan juga hasil pengamatan/observasi penulis.
42
2. Data Sekunder Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah data tertulis yang meliputih : a. Data yang diperoleh dari hasil perolehan suara pemilihan bupati Enrekang 2013 tahun 2013, juga jumlah pemilih, dan jumlah TPS b. Sumber lain dari kepustakaan yang diperlukan untuk mendukung analisis dalam penelitian ini. 1.8.3 Populasi dan Sampel Populasi adalah serumpun atau sekelompok objek yang menjadi sasaran penelitian. 50 Dalam penelitian ini, populasinya pemilih dalam pemilukada Enrekang tahun 2013 dan menggunakan hak pilihnya pada momentum tersebut. Dari populasi tersebut akan diambil sampel untuk mewakili populasi dalam penelitian ini dengan menggunakan teknik penarikan sampel yang akan dijelaskan dalam sub bab berikutnya. Besar sampel dalam penelitian ini adalah 276 responden, yang berarti tingkat kepercayaannya 94% dan errornya 6%. Rumus besar sampel dan margin of error (MoE) dapat dilihat dan diaplikasikan dalam penelitian ini dapat dilihat sebagai berikut : n = N / N.d² + 1 Di mana : n : Jumlah Sampel N : Banyak Anggota Populasi d : Margin of error
50
Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Kuantitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik Serta Ilmu-Ilmu Sosial Lainnya , Jakarta: Kencana, 2008
43
Berangkat dari rumus diatas, hasil perhitungan sebagai berikut : = 147.380/(147.380).(0,06)² + 1 = 276,255 = 276 Di peroleh sampel sebesar 276,255 atau dibulatkan dibulatkan menjadi 276 orang. Penggunaan rumus ini diaplikasikan apabila jumlah anggota populasi sudah diketahui dan sudah ditentukan MoE yang diinginkan. Dalam penelitian ini, jumlah anggota populasi sudah jelas, yaitu pemilih yang terdaftar di DPT pemilukada Enrekang 2013 yang jumlahnya 147.380 0rang. Margin of Error yang diinginkan adalah 6% atau 0,06. Dengan rumus ini dapat dihasilkan jumlah sampel sebanyak 276 sampel. 1.8.4 Penentuan Besar Sampel Pada penelitian ini, peneliti akan mengumpulkan sampel dengan cara Multistage random sampling. Jumlah masyarakat Enrekang yang telah memiliki hak pilih dan terdaftar dalam daftar pemilih tetap (DPT) pemilukada Enrekang 2013 adalah 147.380 orang. DPT tersebut yang menjadi Sampling Frame dalam penelitian ini. Karena DPT bukanlah satu tabel yang memuat 147.380 nama tersebut, melainkan terpecah berdasarkan kecamatan, kelurahan/desa dan TPS, maka penting untuk mengetahui jumlah kecamatan, desa dan TPS di kabupaten tersebut untuk memudahkan melakukan pengacakan dan pengambilan sampel dengan cara multistage random sampling. Kabupaten Enrekang terdiri dari 12 kecamatan, dimana masing-masing kecamatan tersebut memiliki 5 hingga 22 desa. oleh karena itu sampel akan diambil di semua kecamatan yang ada, kemudian di tiap-tiap kecamatan akan
44
diambil beberapa desa untuk mewakili sesuai dengan proporsi jumlah pemilih di kecamatan yang ada dengan cara acak sederhana (SRS), sehingga total akan ada 50 desa terpilih. Dari masing-masing desa terpilih kemudian dipilih 2 TPS dengan metode acak sederhana. Pengacakan atau randomasi bertujuan agar setiap anggota semesta memiliki probabilitas yang sama besar untuk dipilih sebagai TPS target. Dengan begitu akan ada 100 TPS terpilih, di setiap TPS itu diambil 3 dan ada yang 4 responden di TPS. Maka setelah proses pengacakan tersebut, jumlah responden terpilih adalah 276 orang. Untuk lebih jelasnya mengenai tahapan-tahapan dalam multistage random sampling pada penelitian yang dilakukan terhadap populasi masyarakat Enrekang yang telah memiliki hak pilih pada saat pemilukada Enrekang 2013 berlangsung, dapat dilihat dalam gambar berikut :
45
Gambar 1.1 Proses pengambilan sampel
Populasi Kab. Enrekang
Kec.
Kec.
Kec.
...........dst 1
Desa 1
2
12
Desa
Desa
...........dst
7
2
TPS
TPS
Terpilih
Terpilih
2
1
Gambar di atas menunjukkan teknik pengambilan sampel hingga sampai ke responden. Dari gambaran tersebut bahwa semua kecamatan diambil sebagai daerah sampel, lalu dari kecamatan tersebut diambil beberapa desa secara acak sederhana (SRS). Kemudian di tiap desa diambil 2 TPS secara acak sederhana
46
juga, lalu di tiap TPS diambil 3 dan 4 responden berdasarkan data DPT di TPS terpilih. Responden yang dipilih adalah nomor urut pertama, tengah, dan akhir dari daftar urut nama daftar pemilih tetap (DPT ) yang ada. Untuk lebih jelasnya, berikut adalah daftar nama-nama desa/kelurahan dikabupaten Enrekang yang terpilih melalui metode acak sederhana dan akan menjadi tempat pengambilan sampel dalam penelitian ini. seperti telah dipaparkan sebelumnya, jumlah desa terpilih adalah 50, yang tersebar di seluruh kecamatan yang ada di Enrekang namun jumlah desa terpilih di masing-masing kecamatan berbeda-beda. Hal itu karena disesuaikan dengan proporsi jumlah pemilih di kecamatan yang bersangkutan. Tabel.1.1 Desa Terpilih No Kecamatan 1
Enrekang
Jumlah Pemilih 22. 875
Jumlah Desa/Kelurahan Terpilih 7
2
Maiwa
19. 428
6
3
Anggeraja
18. 480
6
4
Alla
16. 062
5
47
Nama Desa/Kelurahan Terpilih Tallu Bamba Tungka Ranga Cemba Leoran Kaluppini Pinang Bangkala Batu Mila Botto Mallangga Boiya Matajang Puncak Harapan Bamba Puang Mampu Singki Lakawan Batu Noni Mindatte Bolang Pana
5
Cendana
6. 924
3
6
Baroko
7. 752
3
7
Curio
10. 623
4
8
Masalle
10. 107
4
9
Bungin
3.460
2
10
Malua
5. 991
2
11
Baraka
15. 588
5
12
Buntu Batu
9. 988
3
Sumillan Buntu Sugi Taulo Lebang Karrang Kabere Tongko Baroko Benteng Alla Buntu Barana Pebaloran Parombean Mandalan Batu Kede Masalle Rampunan Mundan Baruka Bungin Malua Tangru Bone-Bone Baraka Balla Parinding Salukanan Pasui Buntu Mandong Latimojong
Sumber: Data diola, 2014
1.8.5 Teknik Pengumpulan Data Dalam penulisan penelitian ini, digunakan beberapa teknik pengumpulan Data. Teknik pengumpulan data tersebut sebagai berikut : 1. Angket (kusioner) Bentuk kusioner ini adalah dengan menyusun daftar pertanyaan yang relevan dengan subyek penelitian, dan dibagikan kepada masing-masing sampel yang telah ditentukan sebelumnya. Pertanyaan dalam kuesioner bersifat terbuka dan
48
tertutup yang digunakan untuk mendapatkan data tentang dimensi-dimensi dari konstruk-konstruk yang sedang dikembangkan dalam penelitian ini. Pada lembar kusioner juga terdapat biodata dari masing-masing sampel seperti, umur, jenis kelamin, dan pekerjaan. 2. Interview (wawancara) Sebagaimana untuk mendapatkan hasil yang maksimal, maka pada penelitian ini juga menggunakan teknik pengumpulan data melalui wawancara. Untuk itu, peneliti melakukan wawancara pada responden yang dianggap bisa memberikan penjelasan lebih detail tentang masalah yang hendak diteliti. Pengumpulan data dengan menggunakan metode wawancara diawali terkait fenomena umum obyek penelitian. Hal ini dalam rangka membangun hubungan (relasi) dan mencari informan kunci yang tepat. Selanjutnya wawancara mendalam tentang pokok permasalahan penelitian dengan para informan kunci. Wawancara mendalam digunakan untuk orang-orang atau pihak yang menjadi pelaku politik seperti, tim sukses, politisi, birokrat, yang paham dan kompeten untuk berbicara tentang pemilukada ini. Dalam wawancara ini, adapun nama-nama target yang ingin diwawancarai adalah sebagai berikut : 1. Drs. H. Muslimin Bando (Bupati terpilih) 2. H. Amiruddin SH (Wakil Bupati terpilih) 3. Drs. H. Mustamin Amir (Kandidat Bupati Enrekang 2013) 4. Drs. Muzakkir (Kandidat wakil Bupati 2013) 5. Hairul Latanro (SEKDA Enrekang)
49
6. Idris Sadik ( Anggota DPR/Politisi Golkar) 7. Andi Henra (Anggota DPR/Politisi Hanura) 8. Andi Sahar SH, M,Si (Politisi PAN) 9. Muh. Adnan Syah (Politisi PBB) 10. Asman (Anggota DPR/Politisi NASDEM) 11. Suparman (Birokrat) 12. Oji Ismail ( Tim Sukses kandidat Bupati 2013) 13. Rahmawati karim (Anggota KPUD. Enrekang) 14. Responden yang kapabelmemahami tentang perilaku memilih diwilayah sekitarannya. Adapun jenis wawancara yang digunakan adalah wawancara terstruktur, agar materi wawancara dapat terfokus. Selain itu peneliti juga menggunakan wawancara bebas atau wawancara non struktur, agar dapat mengungkap temuan secara lebih luas dan komprehensif, sehingga memungkinkan adanya peluang untuk menemukan hal-hal baru yang belum pernah terungkap selama ini. Jenis wawancara bebas yang terkesan santai ini akan menghilangkan kekakuan komunikasi dan yang terpenting adalah meminimalkan kesan rekayasa jawaban yang diberikan oleh subyek penelitian. 3. Studi Dokumentasi Dalam studi teknik dokumentasi ini, yang menjadi sumber data adalah buku tentang Enrekang, dan catatan-catatan lain. Namun yang tidak kalah pentingnya adalah dokumen hasil perolehan suara pemilihan bupati kabupaten Enrekang 2013 dari KPUD Kab. Enrekang.
50
1.8.6 Teknik Pengolahan Data Sebelum data dianalisis maka data yang didapat dilapangan harus diolah terlebih dahulu. Teknik pengolahan data merupakan tahapan dimana data dipersiapkan, klasifikasikan, dan diformat menurut aturan tertentu untuk keperluan proses berikutnya yakni analisis data. Data yang didapat akan diolah melalui beberapa proses, yaitu: 1. Coding, pengolahan data berdasarkan kategori-kategori tertentu dan memberikan kode-kode tertentu pada masing-masing kategori. 2. Editing, semua data yang peroleh diteliti sesuai dengan analisis yang dibutuhkan. 3. Tabularing, membuat tabel-tabel yang sesuai dengan analisis yang dibutuhkan. 1.8.7 Metode Analisa Data Menurut Sugiono (2010), teknik analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan dokumentasi, dengan cara mengorganisasikan data ke dalam kategori, menjabarkan ke dalam unit-unit, melakukan sintesa, menyusun ke dalam pola, memilih mana yang penting dan yang akan dipelajari, dan membuat kesimpulan sehingga mudah dipahami oleh diri sendiri maupun orang lain. Untuk menjawab permasalahan dan mencapai tujuan dari penelitian ini, maka untuk teknik analisis data, penulis menggunakan regresi linier berganda dengan bantuan software Statistical package for the social sciences (SPSS 17). Sebelum
51
melakukan analisis regresi linier berganda, maka dipersyaratkan untuk melakukan uji pra-syarat berupa uji asumsi klasik. 1. Uji Asumsi Menurut Gujarati (2006) agar model regresi tidak bias atau agar model regresi BLUE (Best Linear Unbiased Estimator) maka perlu dilakukan uji asumsi klasik terlebih dahulu. Beberapa uji asumsi yang dilakukan, diantaranya adalah sebagai berikut: a. Uji Normalitas Uji asumsi normalitas untuk menguji apakah dalam sebuah model regresi, variabel dependen dan variabel independen atau keduanya mempunyai distribusi normal atau tidak. Model regresi yang baik adalah distribusi data normal atau mendekati normal. 51 Mendeteksi data berdistribusi normal dapat melihat pada nilai sig Kolmogorov-Smirnov. Jika nilai sig >0,05 maka data dapat dikatangan berdistribusi normal. 52 b. Uji Heteroskedastisitas Uji asumsi ini digunakan untuk mengetahui apakah dalam suatu model regresi terjadi ketidaksamaan varian dari residual dalam suatu pengamatan ke pengamatan yang lain, jika varian dari residual dalam satu pengamatan ke pengamatan yang lain tetap maka disebut homoskedostisitas. Jika varian berbeda disebut
heteroskedostisitas.
Model
regresi
yang
baik
tidak
terjadi
heteroskedastisitas.53 Mendeteksi heterokedasitas dapat dilakukan dengan melihat 51
Santoso, S. (2002). Statistik Parametrik. Cetakan Ketiga. Jakarta: PT Gramedia Pustaka. Utama. Sujarweni, V. W. (2008). Belajar Mudah SPSS Untuk Penelitian Cetakan Pertama. Yogyakarta: Penerbit Ardana Media. 53 Ibid 52
52
gambar scatterplot, jika titik yang ada menyebar dan tidak membentuk pola tertentu, maka data tidak mengalami heterokedasitas. 54 c. Uji Multikolinearitas Uji multikolinearitas artinya antara variabel independen yang satu dengan varaibel dependen yang lain dalam model regresi tidak saling berhubungan secara sempurna
atau
mendekati
sempurna.
Untuk
mengetahui
ada
tidaknya
multikolinearitas dapat dilihat dari nilai VIF (varian inflation factor). Jika VIF yang dihasilkan diantara 1-10 maka tidak terjadi multikolinieritas.55 d. Uji Autokorelasi Autokorelasi adalah korelasi yang terjadi antar observasi dalam satu variabel. Menurut Santoso (2002), ada beberapa kriteria yang mendekati autokorelasi yaitu pertama apabila DW dibawah -2 berarti ada autokorelasi positif, kedua apabila DW diantara -2 sampai +2 berarti tidak ada autokorelasi, ketiga apabila DW diatas +2 berarti autokorelasi negatif. 2. Regresi Linier Sederhana Dalam penelitian ini penulis menggunakan analisis regresi linier berganda. Analisis ini fungsi utamanya untuk mengetahui pengaruh variabel X (dua atau lebih dari dua) terhadap variabel Y. Adapun model penelitian yang dibangun dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Ŷ = b0 + b1.X Keterangan: Ŷ 54 55
: Perilaku memilih
Ibid Ibid
53
X
: Politik uang
b
: Konstanta
b1
: Koefisien regresi
a. Uji Koefisien Regresi Secara Individu (t-test) Secara parsial, pengujian hipotesis dilakukan dengan uji t-test. Menurut Ghozali (2005) “uji statistik t pada dasarnya menunjukkan seberapa jauh pengaruh
satu
variabel
penjelas/
independen
secara
individual
dalam
menerangkan variabel dependen”. Kriteria hipotesis yang diajukan adalah : Ho
:
bi
= 0 (tidak ada pengaruh antara variabel independen terhadap variabel dependen secara parsial)
Ha
: bi
0 (ada pengaruh antara variabel independen terhadap variabel dependen secara parsial)
Dengan menggunakan taraf signifikansi () = 5%, sehingga kriteria pengujiannya adalah: 1) Apabila sig. t < 0,05, maka Ho ditolak. 2) Apabila sig. t > 0,05, maka Ho diterima 3. Analisis Koefisien Determinasi (R2) Koefisien determinasi( R2) pada intinya mengukur seberapa jauh kemampuan model dalammenerangkan variasi variabel dependen. Nilai (R 2) yang kecil berarti kemampuan variabel-variabel independen memberikan variasi variabel dependen. Secara umum koefisien determinasi untuk data silang (crossection) relatif rendah karna adanya variasi yang besar antara masing-masing
54
pengamatan, sedangkan untuk data runtun waktu (time series) biasanya mempunyai nilai koefisien determinasi yang tinggi. 1.9 Sistematika Penulisan Tesis ini ditulis dalam lima bab. Lima bab tersebut di gambarkan kemasingmasing sebagai berikut: Bab I, merupakan pendahuluan atau berupa proposal tesis. Bagian pertama yakni latar belakang, mengurai tentang topik penelitian. Bagian permasalahan berisi uraian mengenai pokok-pokok permasalahan penelitian. Bagian tujuan penelitian berisi maksud dan tujuan penulisan tesis. Pada bagian kerangka teori, menyajikan teori-teori yang relevan dengan pokok permasalahan. Berangkat dari latar belakang arena penelitian, pada bagian selanjutnya terdapat hipotesis sebagai asusmsi dasar untuk memudahkan dan memahami nalar atau lokus pada kajian penelitian ini. Pada sub selanjutnya terdapat bagian devenisi konseptual dan devenisi operasional untuk mempermudah kerangka penelitian ini. Selanjutnya pada bagian metodologi penelitian, menjelaskan bagaimana penelitian ini dilakukan yang berisi teknik pengambilan data, teknik pengolahan data dan bagaimana data dianalisis, lalu ditutup dengan bagian sistematika penulisan yang menguraikan susunan penulisan tesis ini. Bab 2 adalah bab yang diberi judul pelaksanaan pemilukada tahun 2013 di kabupaten Enrekang. Bab ini merupakan gambaran umum mengenai kabupaten Enrekang yang menjadi daerah penelitian ini. Gambaran tersebut meliputi kondisi demografis obyek penelitian. Bagian ini berguna dalam memberikan kondisi daerah yang dijadikan area penelitian. Setelah gambaran umum tersebut akan
55
dipaparkan juga dalam bab ini mengenai pelaksanaan Pemilukada yang meliputih dinamika proses pemilukada, penjelasan tentang populasi masyarakat Enrekang yang meliputih tingkat usia, pendidikan, pekerjangan dan penghasilan. Selanjutnya akan uji asumsi data yang meliputih uji normalitas, uji heteroskedastisitas, uji multikolinearitas, uji autokorelasi, dan regresi liniar sederhana. Pada bab ini juga akan mengurai uji hipotesis baik secara uji koefisien individual maupun koefisien determinasi. Diakhir bab ini akan dijelaskan tentang analisis deskriftif variabel yang mana akan menguji tentang tanggapan responden terhadap variabel perilaku memilih dan tanggapan responden terhadap variabel politik uang. Bab 3 adalah partisipasi politik dan perilaku pada pemilukada Enrekang 2013. Pada bagian ini menjelaskan tentang gambaran umum partisipasi politik pada pemilukada Enrekang 2013. Bagian ini pula menjelaskan tentang derajat partisipasi politik masyarakat Enrekang dengan indikator seperti tanggapan responden tentang pemilihan jujur dan adil pada pemilukada, figur pasangan calon, mengukur pilihan pasangan calon responden, mengetahui dayang tarik pasangan pemilih, dan mengetahui partisipasi masyarakat dalam kampanye. Di dalam bab ini juga menjelaskan tentang perilaku memilih masyarakat dalam pemilukada Enrekang 2013. Hal ini akan menjelaskan perilaku memilih masyarakat dalam menentukan pilihannya. Juga pada akhir bagian ini akan mengukur derajat pendekatan masyarakat dalam menentukan pilihannya seperti halnya pendekatan sosiologis, pendekatan psikologis, dan rational choice yang meliputih beberapa indikator-indikator yang telah ditentukan.
56
Bab 4 adalah politik uang dalam pemilukada Enrekang tahun 2013. Dalam bab ini akan dijelaskan mengenai lalu lintas terjadinya politik uang dan akan dijelaskan pula tentang praktek-praktek politik uang yang mempengaruhi perilaku pemilih sehingga menghasilkan analisa yang komprehensif, bukan saja dari penjelasan angka tetapi juga penjelasan yang mengetahui perihal kondisi pemilukada tersebut. Pada bagian akhir bab ini pula akan dijelaskan secara lebih dalam antara tautan faktor politik uang dan faktor-faktor lainnya dalam menentukan/mempengaruhi pilihan pemilih. Bab 5, bagian penutup berisi kesimpulan dari hasil penelitian dilakukan. Ini merupakan jawaban dari pertanyaan penelitian yang dikemukakan dalam bagian permasalahan. Selain simpulan, pada bab ini juga akan berisi tentang implikasi dari penelitian terhadap teori digunakan dalam tulisan ini.
57