1
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan sesuatu yang sangat penting bagi terwujudnya karakter pada sebuah peradaban dan kemajuanyang menyertainya. Tanpa adanya pendidikan, sebuah bangsa atau masyarakat tidak akan pernah mendapatkan kemajuannya sehingga menjadi bangsa atau masyarakat yang terpinggirkan dan tidak memiliki peradaban.1 Pendidikan yang bermutu merupakan harapan bagi bangsa ini, pendidikan diharapkan dapat melahirkan manusia Indonesia seutuhnya, demikian diamanatkan oleh aturan normatif kita. Pendidikan yang bermutu dapat terselenggara dengan komitmen bersama antara pemerintah, masyarakat dan keluarga. Pendidikan bermutu pada setiap jenis, jenjang dan jalur pendidikan harus dapat dijangkau oleh seluruh warga Indonesia.2 Dimungkinkan, meskipun pemerintah sudah melakukan upaya-upaya semaksimal mungkin agar pendidikan bisa terwujud kualitas /mutunya, namun kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa kualitas /mutu pendidikan kita masih jauh dari harapan. Tampaknya ada salah satu faktoryang selama ini belum mendapatkan perhatian yang setara dengan faktor-faktor lain, adalah pengorganisasian pendidikan. Istilah pengembangan dapat bermakna kuantitatif dan kualitatif. Secara kuantitatif bagaimana menjadikan pendidikan Islam lebih besar, merata dan
1
Abdul Munir, Menjadi Kepala Sekolah Efektif, (Jogjakarta: Ar- Ruzz Media, 2010), hlm. 5. Minnah El Widdah, Kepemimpinan Berbasis Nilai dan Pengembangan Mutu Madrasah, (Bandung: Alfabeta, 2012), hlm. 1. 2
1
2
meluas pengaruhnya dalam konteks pendidikan pada umumnya. Secara kualitatif bagaimana menjadikan pendidikan Islam lebih baik, bermutu dan lebih maju sejalan dengan ide-ide dasar atau nilai-nilai Islam itu sendiri yang seharusnya selalu berada di depan dalam merespon dan mengantisipasi berbagai tantangan pendidikan. Termasuk dalam pengertian kualitatif adalah bagaimana mengembangkan pendidikan Islam agar menjadi suatu bangunan keilmuan yang kokoh dan memiliki kontribusi yang signifikan terhadap pembangunan masyarakat nasional dan trans-nasional, serta pengembangan ipteks.3 Bagi keluarga Muslim, seharusnya sekolah yang dipilih bukan hanya sekolah yang lulusannya unggul dalam bidang menguasai ilmu pengetahuan, teknologi, ketrampilan dan pengalaman, melainkan juga unggul dalam bidang kepribadian dan akhlak mulia. Perkembangan madrasah di Indonesia saat ini, diharapkan menjadi pilihan utama. Hal ini perlu dilakukan, karenapersepsi masyarakat terhadap madrasah pada khusunya dan terhadap sekolah Islam pada umumnya masih belum memadai. Masih banyak dari kalangan masyarakat yang beranggapan bahwa seluruh madrasah di Indonesia masih terbelakang dibandingkan
dengan
sekolah
umum.
Masih
ada
masyarakat
yang
menggambarkan madrasah sebagai sekolah yang gurunyakurang bermutu, sarana dan prasarananya sangat minim, proses belajar mengajarnya tradisional,
3
Muhaimin, Pemikiran dan Aktualisasi Pengembangan Pendidikan Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2011), hlm. 1.
3
lingkungannya kumuh, manajemennya amburadul, lulusannya kurang gaul, dan seterusnya.4 Berdasarkan informasi sejarah, bahwa lahirnya madrasah di Indonesia dilatarbelakangi oleh keinginan yang kuat untuk memberikan pendidikan yang unggul untuk komunitas Muslim khusunya, dan bangsa Indonesia pada umumnya. Keinginan ini muncul sebagai akibat dari sikap pemerintah Belanda yang bersikap diskriminatif terhadap rakyat Indonesia pada umumnya. Pemerintah Belanda memberikan pendidikan yang unggul hanya untuk bangsanya sendiri dan kelompok-kelompok lain yang mendukung misi penjajahannya.5 Berbicara tentang sejarah pendidikan di Indonesia tidak lepas dari kebijakan-kebijakan
pemerintah
pada
masing-masing
periodenya.
Era
reformasi di Indonesia merupakan sebuah gerakan yang memiliki perspektif sejarah monumental karena era reformasi merupakan sebuah era pemerintahan substitusi pemerintahan orde baru. Gagasan reformasi memiliki momentum yang amat mendasar dan berbeda dengan gagasan era sebelumnya. Salah satu perubahan mendasar dari reformasi pendidikan adalah lahirnya UU No.22 tahun 1999, serta UU No.20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan Nasional (SISDIKNAS). Kedua undang-undang tersebut membawa perspektif baru yang amat revolusioner dalam konteks perbaikan sektor pendidikan, yang mendorong pendidikan sebagai urusan publik dan urusan masyarakat secara umum dengan mengurangi otoritas pemerintah baik dalam kebijakan 4
Abuddin Nata, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2012), hlm. 110. 5 Abuddin Nata, Kapita Selekta ..., hlm. 112.
4
kurikulum, manajemen maupun berbagai kebijakan pengembangan institusi itu sendiri.6 Menyikapi pendidikan di Indonesia yang dikuasai oleh kalangan tertentu maka KH. Imam Ghazali mendirikan sebuah organisasi Islam di Surakarta yang salah satunya bergerak dibidang pendidikan. Perguruan AlIslam didirikan pada tanggal 27 Romadhon 1346 (21 Maret 1928) atas rintisan KH. Imam Ghazali dibantu oleh KH. Abdussomad dan KH. Abdu Manaf. AlIslam pada awalnya adalah lembaga sosial keagamaan yang bertema sentral pemurnian ajaran Islam. Pada awal pendiriannya, Al-Islam bukan organisasi tetapi suatu gerakan yang bertujuan untuk menjembatai pertentangan internal umat Islam di Indonesia, khususnya Surakarta, yaitu kelompok modernis yang ingin melakukan pembaharuan pemikiran dan praktik keIslaman masyarakat dan kelompok tradisionalis yang ingin mempertahankan pola keberagamaan yang akomodatif terhadap budaya lokal, untuk mewujudkan persatuan umat Islam yang berakhlak al-karimah yaitu dengan melalui jalur utama pendidikan. Sebagai modal pertama didirikan sebuah madrasah bertingkat Ibtidaiyah (petang) dan Tsanawiyah (pagi) yang diberi nama Madrasah Dinil Islam.7Selain itu, karena kondisi saat itu di wilayah Surakarta hanya ada satu Madrasah yaitu Mabaul Ulum yang diperuntukan untuk kalangan abdi dalem kraton Surakarta, sedangkan dari kalangan masyarakat dapat masuk ke Mabaul Ulum jika quota masih terpenuhi, sehingga dengan berdirinya Madrasah
6 7
Dede Rosyada, Paradigma Pendidikan Demokratis, (Jakarta: Prenada Media, 2004), hlm.12. Nn, sejarah Perkembangan Perguruan Al-Islam Surakarta I, (Surakrta: tt, 1976), hlm. 1.
5
DinAl-Islam memberikan kesempatan yang luas kepada masyarakat untuk mengenyam pendidikan agama.8 Sejak berdirinya hingga zaman kemerdekaan madrasah merupakan pemindahan kegiatan pengajaran masjid di pondok pesantren Jamsaren yang kemudian diatur dengan kurikulum dan susunan pengajaran seperti lazimnya sekolahan, tetapi tujuan dan materi pengajarannya sama. Pada waktu itu tujuan pengajaran agama adalah mengutamakan ilmu-ilmu agama melalui pengajian pembacaan kitab-kitab tertentu yang diatur luas sempitnya ilmu atau besar kecilnya kitab yang dibaca menurut umur anak.9 Didorong oleh perkembangan di dalam bidang pendidikan yang di tangani oleh pemerintah Belanda di negara jajahan Indonesia pada masa itu dan kemajuan disemua sektor kehidupan bangsa Indonesia, oleh perguruan AlIslam
telah
diadakan
langkah-langkah
untuk
pengembangan
sistem
pendidikannya. Di madrasah diberi pelajaran-pelajaran umum, seperti berhitung, bahasa daerah, bahasa Melayu, Ilmu Bumi dan pengetahuan alam, walaupun relatif sangat terbatas. Mulai dari Ibtidaiyah hingga kelas IV Tsanawiyah hanya sedrajat dengan pelajaran-pelajaran SD. Pada waktu itu madrasah Alawiyah yang kemudian dinamakan Kuliyah diberi pula pelajaran umum, seperti Aljabar, Handasah, Jugrofiyah (Aljabar, Ilmu Bumi, Bahasa Arab, Bahasa Belanda, Bahasa Inggris, dan Ilmu Falak). 10
8
Wawancara pribadi dengan Dra. Chusniatun, M Ag (Pengurus Yayasan Perguruan Al Islam bidang Pendidikan), Surakarta 24 februari 2015. 9 Nn, sejarah Perkembangan Perguruan Al-Islam Surakarta I, (Surakrta: tt, 1976), hlm. 2. 10 Ibid., hlm. 3.
6
Cabang-cabang perguruan Al-Islam berkembang pesat antara 19561960 hingga memasuki daerah-daerah karisidenan Semarang, Madiun, Kediri dan Jember bahkan ada satu di Lampung. Di kabupaten sekurang-kurangnya ada tiga madrasah bahkan ada yang mencapai limabelas madrasah seperti di kabupaten Semarang(Salatiga) dan kabupaten Nganjuk.11 Melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri: Menteri Agama, Menteri Diknas dan Menteri Dalam Negeri yang dibuat pada tahun 1975 telah mengubah kurikulum Madrasah menjadi 30% Agama dan 70% umum. Mulai tahun 1978 kebijakan tersebut sudah ada tamatan Aliyah yang diterima di Perguruan Tinggi Umum.12 Pada tahun 1956 dan 1957 di Al- Islam telah diuji cobakan untuk mengikut sertakan siswa kelas III Aliyah dalam ujian SMA sebagai peserta extranei dan ternyata siswa-siswa dari Al-Islam mampu mengerjakan tes yang diujikan. Pada tahun 1958 secara formal perguruan Al-Islam mengajukan permohonan kepada Direktur SMA Negeri II Surakarta, agar siswa kelas III Aliyah Al-Islam dapat didaftar dalam ujian akhir 1958 sebagai peserta biasa. Pihak SMA Negeri II yang dipimpin oleh Bapak Priyatmo permohonan tersebut diterima dengan syarat harus melalui testing terlebih dahulu. Pada tahun itu juga siswa Madrasah Aliyah seluruhnya menerima brief test selama tiga hari mengenai mata pelajaran pokok, seperti bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Sejarah, Geografi, Tata Negara dan Ilmu pasti (aljabar). Hasil testing ternyata memuaskan, kemudian untuk selanjutnya madrasah Al-Islam didaftar 11
Ibid., hlm. 11. Abuddin Nata, Kapita Selekta ..., hlm. 113.
12
7
pada Departemen P&K sebagai SMA Al-Islam dan diperkenankan ujian negara sebagai peserta biasa hingga sekarang.13 Sejak tahun 1968 di Perguruan Al-Islam berlaku dua macam ujian negara, ialah ujian Tsanawiyah Negeri dan ujian SMP Negeri untuk Madrasah Tsanawiyah Al-Islam, dan ujian Aliyah Negeri dan SMA Negeri untuk Madrasah Aliyah Al-Islam. Melalui cara tersebut, siswa-siswa dapat melanjutkan studinya kesemua lembaga perguruan tinggi atau memasuki semua lapangan hidup dengan landasan agama yang cukup kuat.14 Akan tetapi karenakebijakan pemerintah, setiap sekolah atau lembaga pendidikan hanya boleh bernaung dalam satu departemen saja, yaitu Departemen Agama atau Departemen Pendidikan Nasional. Sehingga pada tahun 1989 Al-Islam hanya bernaung di bawah Departemen Agama.15 Beberapa lembaga pendidikan yang dibawah Yayasan Perguruan AlIslam dalam perkembangannya ada yang mengalami kemunduran diantaranya SD V Al-Islam, SMP II Al-Islam dan SMA II Al-Islam. Hal tersebut terjadi diduga karena jumlah lulusan jenjang sebelumnya belum memenuhi quota yang tersedia, serta tuntutan masyarakat yang menginginkan anaknya memiliki keahlian khusus setelah lulus sekolah, akan tetapi ada beberapa lembaga pendidikan yang mengalami kemajuan yang cukup pesat di era reformasi diantaranya TK 1 Al-Islam, SD 2 Al-Islam, SD 3 Al-Islam, SMP I Al-Islam, dan SMA I Al-Islam. Lulusannya pun mampu bersaing ke sekolah-sekolah
13
Nn, sejarah Perkembangan Perguruan Al-Islam Surakarta I, (Surakrta: tt, 1976), hlm. 9-10. Nn, sejarah Perkembangan Perguruan Al-Islam Surakarta II, (Surakrta: tt, 1976), hlm.19. 15 Wawancara pribadi dengan Dra. Chusniatun, M Ag (Pengurus Yayasan Perguruan Al Islam bidang Pendidikan), Surakarta 24 februari 2015. 14
8
Negeri atau ke Perguruan Tinggi Negeri. Selain itu Al-Islam juga telah mendirikan Mutiara Center untuk peserta didik yang berkebutuhan khusus.16 Oleh karena itu, dengan melihat sejarah berdirinya Yayasan Perguruan Al-Islam tersebut menarik untuk diteliti dan dikaji, serta bagaimana perkembangan lembaga tersebut di era reformasi sampai sekarang. Dilihat dari sejarahnya bahwa Perguruan Al-Islam berdiri sebelum kemerdekaancukup sukses dalam merintis lembaga pendidikan, bahkan tersebar di beberapa kota di Indonesia akan tetapi ada juga lembaga pendidikan yang mengalami kemunduran. Selain itu, dilihat dari tahun berdirinya sampai sekarang nampaknya belum ada perkembangan yang mencolok, khususnya dalam mengembangkan lembaga pendidikan, karena selama ini hanya terfokus pada lembaga pendidikan yang sudah berdiri saja dan belum sampai mendirikan lembaga pendidikan ke seluruh wilayah Indonesia dan perguruan tinggi, bahkan plosok-plosok desa, untuk itu kami ingin mengetahui bagaimana perkembangan lembaga-lembaga yang bernaung di Yayasan Perguruan AlIslam Surakarta pada umumnya, dan perkembangan era reformasi sampai sekarang pada khususnya serta faktor-faktor yang mempengaruhinya. Berdasarkan uraian tersebut, kami tertarik untuk mengembangkan kajian sejarah perkembangan Yayaysan Al-Islam di Surakarta dengan judul “SEJARAH PERKEMBANGAN YAYASAN PERGURUAN AL-ISLAM DI SURAKARTA ERA REFORMASI (1998-2015)”
16
Wawancara pribadi dengan Dra. Chusniatun, M Ag (Pengurus Yayasan Perguruan Al Islam bidang Pendidikan), Surakarta 24 februari 2015.
9
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimana sejarah perkembangan berdirinya Yayasan Perguruan Al-Islam di Surakarta pada era reformasi (1998-2015)? 2. Faktor-faktor
penghambat
dan
pendukung
yang
mempengaruhi
perkembangan Yayasan Perguruan Al-Islam di Surakarta pada era reformasi (1998-2015)?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan utama penelitian ini adalah: Penelitian sejarah perkembangan Yayasan Perguruan Al-Islam di Surakarta sangat menarik untuk dikaji. Hal ini bertujuan untuk mendeskripsikan
sejarah
dan
perkembangan
didirikannya
Yayasan
Perguruan Al-Islam di Surakarta, serta faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan Yayasan Perguruan Al-Islam pada era reformasi sampai tahun 2015. 2. Manfaat Penelitian Manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini antara lain sebagai berikut: a. Secara Teoritis Memberikan masukan yang positif dalam meningkatkan kualitas dan kuantitas Yayasan Perguruan Al-Islam sehinga dapat mencapai
10
tujuan yang dicita-citakan yaitu membentuk manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT, mengembangkan kemampuan intelektual, akal, fikir dan daya nalar yang bertanggung jawab serta membangun kehidupan sosial yang beradab dan berakhlak atas dasar persaudaraan dan persahabatan agar menjadi rahmat bagi seluruh alam. b. Secara Praktis Memberikan tambahan pengetahuan baik bagi Yayasan maupun masyarakat tentang pentingnya mengembangkan lembaga pendidikan yang bernuansa Islami. D. Kajian Pustaka Telaah pustaka adalah kajian hasil penelitian yang relevan dengan permasalahan. Fungsi telaah pustaka adalah mengemukakan secara sistematis hasil penelitian terdahulu yang ada hubungannya dengan penelitian yang dilakukan. Iis Setiani (UMS, 2011) dengan judul Profil SMP Al-Islam 1 Surakarta: Studi Filosofis Tentang Visi, Misi dan Tujuannya, menyimpulkan bahwa kesamaan hakikat pendidikan menurut SMP 1 Al-Islam Surakarta dengan penelitian menurut para tokoh filsafat pendidikan adalah keduanya menegaskan pemberdayaan pendidikan merupakan pemberdayaan atau aktualisasi potensipotensi manusia dalam membentuk ketaqwaan kepada Allah SWT dengan menjalankan amanah-amanah-Nya. 17 Perbedaan penelitian tersebut dengan penelitian yang kami ungkapkan terletak pada pendekatan yang digunakan, Iis 17
Iis Setiani, Profil SMP Al-Islam 1 Surakarta: Studi Filosofis Tentang Visi, Misi dan Tujuannya, (UMS: Skripsi, 2011)
11
Setiani menggunakan pendekatan filosofis, sedangkan kami menggunakan pendekatan sejarah. Selain itu, objek penelitian Iis Setiani hanya terfokus pada SMP 1 Al-Islam saja, sedangkan kami seluruh lembaga di Yayasan Al-Islam di Surakarta. Balai Penelitian Aliran Kerohanian / Keagamaan (BALITABANG Semarang, 1983) yang berjudulPotensi Lembaga Sosial Keagamaan Seri – IV (Al-Islam). Penelitian ini mengungkapkan tentnag Al-Islam dari aspek potensi sosial keagamaan. Penelitian tersebut bersifat penjajakan untuk memetakan potensi organisasi berupa struktur kelembagaan Al-Islam dan unit-unit pendukungnya, potensi usaha yang meliputi dakwah dan pendidikan, dan potensi kekayaan organisasi. Penelitian ini juga mengungkapkan sejarah dan pemahaman keagamaan Al-Islam.18 Perbedaan dengan penelitian terletak pada tahun penelitian, BALITABANG terfokufos pada tahun 1983 saja, sedangkan kami pada era reformasi sampai tahun 2015. Penelitian lainnya adalahSulthan M Nashier (UGM, 1992) yang berjudul Negara, Ulama dan Gerakan Pembaharuan Islam: Latar Belakang Munculnya Gerakan Al-Islam di Surakarta Tahun 1926-1930. Penelitian ini menitik beratkan pada pelacakan sejarah sosio-politik yang melatarbelakangi munculnya gerakan Al-Islam di Surakarta. Pendekatan yang dipilih Nashier membatasi kajiannya pada aspek sejarah, ekonomi, sosial dan politik waktu
18
BALITABANG, Potensi Lembaga Sosial Keagamaan Seri IV (Al-Islam), (Semarang: Depag, 1983).
12
itu.19 Perbedaan dengan penelitian kami adalah pendekatan yang digunakan, M. Nashier menggunakan empat pendekatan yaitu pendekatan sejarah, ekonomi, sosial dan politik sedangkan kami hanya menggunakan pendekatan sejarah. Selain itu, materi yang dikaji pun berbeda. M. Nashier mengungkapkan latar belakang munculnya gerakan Al-Islam, sedangkan kami perkembangan Yayasan Al-Islam. Penelitian lain adalah tesis Almuntaqo Zainudin (UIN Sunan Kalijaga, 2009) yang berjudul Gerakan Purifikasi Islam di Surakarta (Studi Tentang AlIslam 1928-1960). Penelitian ini menitikberatkan pada sejarah sosial sebagai upaya penelusuran terhadap peristiwa masa lalu yang mengungkap aspek-aspek sosial dari peristiwa yang dikaji, termasuk aspek sosial keagamaan, hubungan sosial, konflik kepentingan dan status sosial. Penelitian Almuntaqo tersebut minim penggalian informasi dari aspek lembaga-lembaga yang bernaung di bawah Yayasan Pergurauan Al-Islam, yang sangat menonjol adalah buah dari hasil rintisan dan manajemen kepemimpinan tokoh central yaitu KH. Imam Ghazali.20 Perbedaan dengan penelitian yang kami lakukan terletak pada tahun pembahasannya, Almuntaqo meneliti tahun 1926-1960, sedangkan kami pada era reformasi. Aminuddin Faryabi (IAIN Surakarta, 2012) dengan judul Studi tentang menejemen kepemimpinan KH. Imam Ghozali bin Hasan Ustadz dalam membangun sistem pendidikan di Madrasah Al-Islam Surakarta. Penelitian ini 19
Sultan M. Nashier,Negara, Ulama dan Gerakan Pembaharuan Islam: Latar Belakang Munculnya Gerakan Al-Islam di Surakarta Pada Tahun 1926-1930.(Yogyakarta: Skripsi S1 Fakultas Sastra UGM Yogyakarta, 1992). 20 Almuntaqo Zainudin,Gerakan Purifikasi Islam di Surakarta,(Yogyakarta: Tesis S2 Magister Stusi Islam Program agama dan Filsafat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2009).
13
disimpulakn bahwa Al Ghazali dalam hal penuangan ide-ide pembaruannya di bidangpendidikan
dan
dakwah
pada
dasarnya
bertujuan
untuk
menciptakanmasyarakat Islam yang dinamis dan mampu berpikir kritisrasioanal. 21 Perbedaan penelitian Aminuddin dengan kami adalah materi kajiannya, Aminuddin membahas tentang kepemimpinan KH. Imam Ghazali selaku pendiri Al-Islam, sedangkan kami membahas tentang perkembangan lembaga-lembaga yang dimiliki Yayasan Al-Islam di Surakarta. kelima
penelitian
tersebut,
baik
yang
dilakukan
Iis
Setiani,BALITABANG Semarang, Sulthan M. Nashier, Almuntaqo, maupun Aminudin Faryabi tidak didapatkan penjelasan memadai tentang aspek sejarah perkembangan Yayasan perguruan Al-Islam di Surakarta, yang menjadikan Yayasan Al-Islam sebagai lembaga pendidikan yang berkembang pada awal berdirinya.Padahal, kalau diteliti secara seksama, ternyata ia cukup concern memberikan perhatiannya terhadap dinamika dan persoalan pendidikan Islam. Selain itu, tidak ada kesamaan baik dari segi pendekatan, kajian materi maupun tahun penelitian.
E. Kerangka Teoritik Secara etimologis, kata sejarah berasal dari bahasa Arab, yaitu syajarah, artinya pohon kehidupan, akar, keturunan, dan asal usul. Dinamakan demikian karena fokus awal dari pembahasan sejarah pada masa klasik adalah menelusuri asal-usul dan geneologi (nasab; keturunan), yang umumnya 21
Aminuddin Faryabi, Study tentnang Kepemimpinan KH. Imam Ghazali bin hasan Ustad dalam Membangun Sistem Pendidikan di Madrasah Al-Islam Surakarta, (Surakarta: Tesis S2 Magister Managemen Pendidikan Islam di IAIN Surakarta, 2012)
14
digambarkan seperti “pohon keturunan atau keluarga” (mulai akar, cabang, daun hingga buah).22 Sejarah disebut histore (Prancis), gaschite (Jerman), histoire atau geschiedenis (Belanda). Akar kata history berasal dari historia (Yunani) yang berarti inkuiri (inquiry), wawancara (interview), introgasi dari saksi mata, laporan mengenai hasil-hasil tindakan:saksi, hakim dan orang yang tahu atau pengetahuan tentang gejala-gejala alam, terutama mengenai umat manusia yang bersifat kronologis, sedangkan yang tidak bersifat kronologis dipakai kata scientia atau science. Istilah historia masuk ke bahasa lain, terutama melalui bahasa Latin maka dikenalkan beberapa istilah sampai sekarang, yaitu history, historie, histoire, storia, istoria, historia.23 Dilihat dari penjelasan tersebut, dapat dipahami bahwa berbicara masalah sejarah tidak dapat dipisahkan dari cerita tentang peristiwa dan kejadian dalam dimensi waktu atau masa yang telah berlalu, yang disusun secara kronologis tentang potret kehidupan manusia. Sesuatu yang berkaitan dengan masa lampau sangat luas dan tidak terbatas. Masa lampau adalah peristiwa atau kejadian pada waktu dahulu, bahkan kejadian yang terjadi pada detik yang baru dilalui dapat tergolong sebagai masa lampau. Karena luasnya pembatasan masa lampau yang menyangkut dimensi waktu, disepakati dalam ilmu sejarah bahwa zaman sejarah bermula ketika bukti-bukti tertulis telah ditemukan. Sejarah merupakan kejadian atau peristiwa yang benar-benar terjadi pada masa lampau atau peristiwa penting yang benar-benar terjadi. Definisi tersebut 22
Sulaiman, Metodologi Penelitian Sejarah, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2014), hlm. 15. Ibid., hlm. 15.
23
15
terlihat menekankan kepada materi peristiwanya tanpa mengaitkan dengan aspek lainnya, sedangkan dalam pengertian yang lebih komprehensif suatu peristiwa sejarah perlu juga dilihat siapa yang melakukan peristiwa tersebut, dimana, kapan dan mengapa peristiwa tersebut terjadi. Dengan kata lain, didalam sejarah terdapat objek peristiwanya (what), orang yang melakukannya (who), waktunya (when), tempatnya (where), dan latar belakangnya (why). Seluruh
aspek
tersebutselanjutnya,
disusun
secara
sitematik
dan
menggambarkan hubungan yang erat antara satu bagian dengan bagian yang lainnya.24 Sejarah adalah topik ilmu pengetahuan yang menarik. Tidak hanya itu, sejarah juga mengajarkan hal-hal yang sangat penting, terutama keberhasilan dan kegagalan para pemimpin sistem perekonomian yang pernah ada, bentuk pemerintahan, dan hal penting lainnya dalam kehidupan manusia. Melalui sejarah kita dapat mempelajari hal-hal yang mempengaruhi kemajuan dan jatuhnya sebuah negara atau peradaban. Kita juga dapat mempelajari latar belakang alasan kegiatan politik, pengaruh filsafat sosial, serta sudut pandang budaya dan teknologi yang bermacam-macam sepanjang zaman.25 Sejarah memiliki manfaat ekstrinsik yang mendekati aspek pendidikan, karena sejarah dapat digunakan sebagai liberal education. Secara umum sejarah mempunyai fungsi sebagai berikut: (a) pendidikan moral; (b) pendidikan penalaran; (c) pendidikan politik; (d) pendidikan kebijakan; (e) pendidikan perubahan; (f) pendidikan masa depan; (g) pendidikan keindahan; 24
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam..., hlm. 362. Ibid., hlm. 22.
25
16
(h) pendidikan ilmu bantu; (i) sejarah sebagai latar belakang; (j) sejarah sebagai rujukan, dan (k) sejarah sebagai bukti.26 Pendidikan sebagai sebuah praktik pada hakikatnya merupakan peristiwa sejarah, karena praktek pendidikan tersebut terrekam dalam tulisan yang selanjutnya dapat dipelajari oleh generasi selanjutnya. Sejarah memiliki informasi tentang kemajuan dan kemunduran pendidikan di masa lampau. Kemajuan dalam pendidikan di masa lalu dapat dijadikan pelajaran dan bahkan perbandingan untuk pendidikan di masa sekarang dan yang akan datang. Kemunduran dalam bidang pendidikan di masa lalu dapat dijadikan bahan peringatan, agar tidak terulang kembali di masa sekarang dan yang akan datang.27 Untuk meminimalisir sebuah kemunduran suatu lembaga pendidikan perlu adanya wadah organisasi yang menaunginya. Berorganisasi adalah kodrat alamiah manusia yang pada hakikatnya manusia merupakan makhluk sosial, ia tidak akan mampu hidup tanpa manusia lainnya yang ada disekitarnya. Manusia sendiri memerlukan komunitas untuk berinteraksi guna memenuhi hidupnya. Manusia sebagai makhluk individual yang memiliki dua misi di dunia yaitu misi dimensi vertikal berupa ketundukan sang Khalik dan misi dimensi horisontal berupa hubungan antara manusia dan alam lingkungan. Dimensi horisontallah yang mencerminkan dimana manusia menjadi kontrol sosial bagi dirinya dengan lingkungan masyarakat, maka manusia berperan dalam sebuah gerakan yang disebut organisasi, karena
26 27
Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2005), hlm. 13. Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam..., hlm. 79.
17
merupakan wadah untuk menyelaraskan dan menyeimbangkan (equilibrium) misi berjuang atau jihad untuk memakmurkan dunia.28 Pengertian organisasi menurut beberapa tokoh antara lain, menurut Wibowo organisasi adalah unit sosial yang secara sadar dikoordinasikan, terdiri dari dua orang atau lebih yang berfungsi secara relatif berkelanjutan untuk mencapai tujuan bersama atau serangkaian tujuan.29 Menururt Haidar Nawawi, organisasi
adalah
suatu
kombinasi
orang-orang,
peralatan,
alat-alat,
perlengkapan-perlengkapan, ruang kerja serta ruang perlengkapan yang diperlukan, dihimpun menjadi satu di dalam hubungan-hubungan yang sistematisdan efektif untuk mengerjakan beberapa tujuan yang dimaksudkan.30 Menurut Wahyudi, organisasi ditinjau dari segi dinamikanya dapat diartikan sebagai proses kerja sama yang serasi, sistematis diantara orang-orang di dalam suatu ikatan yang bersifat formal dan hirarkis dan bertindak sesuai ketentuan yang disepakati untuk mencapai tujuan yang ditetapkan secara efisen dan efektif. 31 Sehingga dapat disimpulakan bahwa organisasi adalah kerja sama yang dilakukan oleh beberapa orang untuk mencapai suatu tujuan yang telah di tentukan. Suatu lembaga dapat dikatakan berhasil jika memenuhi perspektif berikut, pertama perspektif pelanggan, dalam perspektif ini ditekankan
28
Veithzal Rivai, Pemimpi dan Kepemimpinan dalam Organisasi, (Jakarta: PT Raja Gravindo Persada, 2013), hlm. 57. 29 Wibowo, Perilaku Dalam Organisasi, (Jakarta: PT Raja Gravindo Persada, 2013), hlm. 1. 30 Haidar Nawawi, Organisasi Sekolah dan Pengelolaan Kelas, (Jakarta: Gunung Agung, 2000), hlm. 51. 31 Wahyudi, Kepemimpinan Kepala Sekolah dalam Organisasi Pembelajaran, (Bandung: Alfabeta, 2009), hlm. 1.
18
bagaimana lembaga diklat mampu memberikan pelayanan prima kepada peserta diklat sehingga kompetensi dan profesionalitas peserta dapat ditingkatkan.Perspektif ini berfokus pada upaya menyajikan pelayanan diklat yang bermanfaat bagi peserta diklat secara langsung dan membawa manfaat bagi satuan kerja asal peserta diklat.Kedua, perspektif internal proses, pengukuran pada perspektif ini mengacu pada proses kerja yang dilakukan dalam lembaga diklat. Apakah lembaga diklat telah melakukan proses pembelajaran yang memotivasi kreativitas peserta?Apakah lembaga pengajar yang
menyampaikan
materi
pembelajaran
kompeten
dan
sesuai
bidangnya?Apakah kurikulum diklat relevan dengan kebutuhan peserta?Ketiga, perspektif pertumbuhan dan pembelajaran, perspektif ini memiliki penekanan yang sama dengan BSC sector bisnis, yaitu mampukah lembaga diklat menjadi lembaga organization, dimana orang secara terus menerus memperluas kapasitas mereka untuk mewujudkan tujuan organisasi.32 Uraian-uraian di atas jelas pula bahwa dalam menyelenggarakan fungsi yang diembannya, suatu lembaga termasuk lembaga pendidikan pada dasarnya merupakan usaha menyelesaikan suatu masalah sosial. Di lingkungan pendidikan maslah itu berbentuk mencari cara yang efisien dalam membantu, menolong dan mengarahkan anak-anak agar dapat memasuki masyarakatnya sebagai manusia dewasa, sesuai dengan perkembangan masyarakat yang bersifat dinamis. Menjalankan fungsinya tersebut, suatu lembaga pendidikan dapat belajar dari sejarah proses perkembangan lembaga pendidikannya sendiri 32
Mahmud Syarif Nasution,Pengukuran (http://sumut.kemenag.go.id/,2014), hlm. 4-5.
Keberhasilan
Kinerja
Lembaga
Dikat,
19
maupun lembaga pendidikan yang lain, agar fungsi dan tujuannya dapat tercapai secara maksimal. Terlepas dari sejarah berdirinya suatu lembaga pendidikan, ketika berbicara tentang Yayasan Perguruan Al-Islam tidak lepas dari ideologi yang dimilikinya, yaitu sebagai penengah antara golongan tradisionalis dengan golongan modernis. Golongan tradisionalis diwakili oleh kubu NU, sedangkan golongan modernis diwakili oleh kubu Muhammadiyah. Kedua golongan tersebut merupakan organisasi terbesar yang ada di Indonesia. Berbicara tentang Islam di Indonesia sebagai agama yang dianut oleh mayoritas penduduknya, tentu tidak terlepas dari membahas Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU), dua organisasi Islam terbesar yang mewakili dua kutub berbeda. Muhammadiyah yang berdiri pada 1912 mewakili kutub Islam modernis, sedangkan NU yang didirikan pada 1926 mewakili kutub Islam tradisionalis. Sejak didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan, Muhammadiyah merupakan organisasi Islam yang telah berorientasi dan bergerak dibidang sosial, pendidikan dan keagamaan. Hal ini berarti, sejak awal Muhammadiyah berpijak pada paradigma sebagai gerakan kuktural, dan bukan paradigma gerakan struktural. 33 Kehadiran perserikatan Muhammadiyah merupakan jawaban konkret atau tanggapan atas situasi dan kondis yang merupakan tantangan dan kekuatan objektif yang ada disaat itu. Kondisi objektif yang dimaksud adalah persoalan keumatan dan kebangsaan yang berada pada titik menghawatirkan. Persoalan 33
Suwarno, Relasi Muhammadiyah, Islam dan Negara, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm. 148
20
keumatan ditangkap secara cerdas oleh KH. Ahmad Dahlan untuk dicarikan solusi yang tepat dan akurat dengan mengembalikan kepada ajaran yang murni berdasarkan al-Qur’an dan as-Sunnah. Persoalan keumatan ada dua, yakni yang bersifat internal dan eksternal. Persoalan internal, KH. Ahmad Dahlan dihadapkan pada pengamalan ajaran Islam yang telah bercampur dengan ajaran –ajaran non-Islam atau ditambah-tambahi dengan sesuatu yang tidak ada dasarnya sehingga Islam yang diamalkan tidak murni lagi. TBC atau tahayul, Bid’ah dan Churofat telah melembaga dan membudaya dalam pribadi dan komunitas umat Islam di Indonesia, sampai tidak bisa membedakan antara ajaran agama dan budaya.34 NU didirikan di Surabaya pada tanggal 31 Januari 1926 oleh para ulama yang pada umumnya menjadi pengasuh pondok pesantren. Kelahiran NU merupakan muara dari rangkaian kegiatan yang mempunyai mata rantai hubungan dengan berbagai keadaan, peristiwa yang dialami bangsa Indonesia sebelumnya, dengan latar belakang tradisi keagamaan, masalah sosial politik dan kultural yang terjalin dalam suatu keterkaitan. Para ulama pada umumnya telah memiliki jamaah (komunitas warga yang menjadi anggota kelompoknya) dengan ikatan hubungan yang akrab, yang terbentuk pola hubungan santri-kyai, terutama pada masyarakat di lingkungan pondok pesantrennya. Pola hubungan santri-kyai ini telah mampu mewarnai, bahkan menjadi subkultural tradisionalis Islam tersendiri di Indonesia. Oleh karena itu, kehadiran NU dapat dipandang 34
sebagai
upaya
untuk
mewadahi,
melembagakan
dan
Sudarno Shobron, Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama dalam Pentas Politik Nasional, (Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2003), hlm. 17.
21
mengembangkan langkah kegiatan serta gerakan para ulama yang telah dilakukan dan berlangsung sebelumnya. Para ulama pondok pesantren yang tergabung dalam NU secara umum dapat dikatakan memiliki kesamaan wawasan pandangan dan tradisi keagamaan yang berlandasan paham Ahl alsunnah wal al-jamaah. Dengan demikian, pembentukan NU dan proses kelahirannya tidak bisa terlepas dari usaha para ulama untuk mempertahankan dan mengembangkan paham keagamaan ahlal-sunnah wa al-jamaah, perkembangan dunia Islam pada umumnya, terutama dengan perkembangan gerakan modernisasi Islam serta situasi kolonialisme Belanda di Indonesia.35 Perbedaan Muhammadiyah dan NU (1) aspek sejarah, memurnikan ajaran Islam (purifikasi) memberantas Tahayul, Bid’ah dan Khurofat, memahami Islam dengan kaca mata modern, sedangkan NU, reaksi dari pemurnian ajaran Islam, akomodatif dengan tahayul, bid’ah dan khurofat, memahami Islam secara tradisionali; (2) Identitas, Muhammadiyah merupakan gerakan Islam, dakwah amar ma’ruf nahi munkar, menciptakan lembaga pendidikan modern, sedangkan NU Jam’iyyah diniyah, dakwah di pedesaan dengan mempertahankan lembaga pendidikan Islam tradisional (pesantren); (3) Paham keagamaan, Muhammadiyah kembali kepada al-Qur’an dan as-Sunnah, melakukan ijtihad qiyas dan ijma sebagai metode ijtihad, tidak bermazhab, sedangkan NU penganut Ahl as sunnah wal jama’ah secara eksklusif,
35
Rozikin Daman, Membidik NU Dilema percaturan Politik NU Pasca Khittah, (Yogyakarta: Gama Media, 2001), hlm. 43.
22
bermadzhab terutama pada madzhab Syafi’i, ijma dan qiyas sebagai sumber ajaran Islam.36
F. Metode Penelitian Untuk melakukan penelitian diperlukan metode penelitian yang tersusun secara sistematis dengan tujuan agar data yang diperoleh valid. Sehingga penelitian ini layak diuji kebenarannya. 1. Jenis dan Pendekatan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian lapangan (field research)yang bersifat kualitatif karena didasarkan pada data-data yang terkumpul dari lapangan secaralangsung. Penelitian kulitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fonomena tentang apa-apa yang dialami oleh subyek penelitian, misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dll. Secara holistik dengan cara deskriptif dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang dialami dengan memanfaatkan beberapa metode alamiah.37 Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan sejarah, adalah suatu pendekatan yang memfokuskan kajiannya pada data-data empirisyang dapat dilacak dalam sejarah, baik yang berupa karya tulis, peninggalan berupa lembaga maupun pendidikan dengan berbagai aspeknya.38Hal ini data dapat diperoleh melalui dokumentasi dan wawancara, untuk memperoleh data-
36
Ibid., hlm. 163-164. Lexy J Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (ed. Revisi). (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), hlm. 1. 38 Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam ..., hlm. 3. 37
23
data mengenai latar belakang berdirinya Yayasan Perguruan Al-Islam di Surakarta dan perkembangannya. 2. Subyek Penelitian Subjek penelitian adalah sumber utama data penelitian, yaitu yang memiliki data mengenai variabel-variabel yang diteliti.39 Subjek penelitian ini adalah ketua Yayasan Perguruan Al-Islam, pengurus Yayaysan Perguruan Al-Islam, kepala sekolah,serta guru di Yayasan Perguruan AlIslam yang mengetahuai perkembangan yayasan tersebut. Selain itu jugamenggunakan dokumentasi berupa data-data tertulis seperti data guru,karyawan dan siswa, prestasi akademik dan non-akademik, faktorfaktor penghambat dan pendorong, sarana dan prasarana dan lain-lain. 3. Metode Pengumpulan Data a. Metode Dokumentasi Metode Dokumentasi yaitu mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat, agenda, dan sebagainya. 40 Sumber dokumentasi dalam penelitian ini digunakan untuk memperoleh data-data tentang sejarah berdirinya lembaga atau Yayasan Perguruan Al-Islam di Surakarta, keadaan pegawai, prestasi akademik dan non-akademik, faktor pendorong dan penghambat, sarana dan prasarana, dan lain-lain.
39 40
Lexy J Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif ..., hlm. 15. Ibid., hlm. 20.
24
b. Metode Wawancara Wawancara adalah suatu cara pengumpulan data yang digunakan untuk memperoleh informasi langsung dari sumbernya. Teknik wawancara yang penulis gunakan adalah teknik wawancarabebas terpimpin, yaitu yang dalam pelaksanaannya pewawancaramembawa pedoman yang hanya merupakan garis besar tentang hal-halyang ingin ditanyakan.41 Metode wawancara dalam penelitian ini dipakai untuk memperoleh data dari pengurus Yayasan mengenai sejarah berdiri, latar belakang berdirinya dan Kepala Sekolah, guru dan tenaga Tata Usaha mengenai perkembangan Yayasan Perguruan Al-Islam di Surakarta baik dari segi jumlah siswa, jumlah guru dan karyawan, kualitas SDM, kondisi sarana prasarana, prestasi akademik maupun non akademik, program yang ingin dicapai, kendala yang di hadapai di lembaga Yayasan Perguruan AlIslam serta upaya untuk menghadapi kendala tersebut dari tokoh-tokoh yang berperan ataupun yang mengetahui tentang sejarahnya. c. Metode Observasi Metode observasi yaitu pengamatan dan pencatatan secara sistematik terhadap gejala yang tampak pada objek penelitian.42Menurut Margono, observasi adalah cara untuk mengumpulkan data dengan mengamati atau mengobservasi obyek penelitian atau peristiwa baik
41
Riduwan, Metode Dan Teknik Menyusun Proposal Penelitian, (Bandung: Alfa Beta, 2010), hlm. 74. 42 Margono, Metodologi Penelitian Pendidikan. (Jakarta: Rineka Cipta, 2004), hlm. 158.
25
berupa manusia, benda mati, maupun alam.43Observasi secara langsung dilakukan untuk mengetahui letak geografis Yayasan Pergurauan AlIslam, lembaga-lembaga yang didirikannya dan kondisi lembagalembaga di Yayasan Perguruan Al-Islam Surakarta. d. Validitas Data Validitas data merupakan derajat ketepatan antara data yang terjadi pada obyek penelitian dengan data yang dapat dilaporkan, dengan demikian data yang valid adalah data “yang tidak berbeda” antara data yang dilaporkan.44 Validitas data dapat diketahui dengan menggunakan triangulasi. Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain. Teknik triangulasi yang paling banyak digunakan ialah pemeriksaan melalui sumber atau triangulasi sumber.45 Triangulasi sumber adalah membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam penelitian kualitatif. Hal itu dapat dicapai dengan jalan diantaranya sebagai berikut. 1) Membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil wawancara. 2) Membandingkan apa yang dikatakan orang di depan umum dengan apa yang dikatakannya secara pribadi.
43
Ibid., hlm. 25. Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif, ( Bandung: Alfa Beta, 2007), hlm. 117. 45 Lexy J Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif ..., hlm. 330. 44
26
3) Membandingkan apa yang dikatakan orang-orang tentang situasi penelitian dengan apa yang dikatakannya sepanjang waktu. 4) Membandingkan keadaan dan perspektif seseorang dengan berbagai pendapat dan pandangan orang seperti rakyat biasa, orang yang berpendidikan menengah atau tinggi, orang berada atau orang pemerintahan. 5) Membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang berkaitan46 Validitas data menggunakan teknik triangulasi sumber yaitu dengan melakukan perbandingan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang berkaitan dan membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil wawancara. Jadi peneliti membandingkan hasil wawancara yang dilakukannya dengan pengurus Yayasan Perguruan AlIslam dan kepala sekolah-kepala sekolah di bawah lembaga Yayasan Perguruan Al-Islam Surakarta tentang perkembangan Yayasan Perguruan Al-Islam era reformasi (1998-2015) dengan isi dokumen-dokumen yang berkaitan tentang itu. 4. Metode Analisis Data Menurut Sugiyono, analisis data adalah proses dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan dan
46
Ibid., hlm. 330.
27
hasil-hasil lain, sehingga mudah dipahami dan temuannya dapat diinformasikan kepada orang lain.47 Data penelitian dianalisa dengan menggunakan metode deskripstif kualitatif, yaitu setelah data yang diperlukan telah terkumpul kemudian disusun
dan
diklasifikasikan,
selanjutnya
dianalisa
dan
diinterpretasikandengan kata-kata sedemikian rupa untuk menggambarkan subyek penelitiaan saat dilakukan penelitian, sehingga dapat diambil kesimpulan yang sistematis dan logis. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif yang terdiri dari tiga kegiatan, yaitu:pertama, setelah pengumpulan data selesai kemudian dilakukan reduksi data yaitu menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu dan pengorganisasian sehingga data terpilahpilah. Kedua, data yang direduksi akan disajikan dalam bentuk narasi. Ketiga, penarikan kesimpulan dari data yang disajikan pada tahap yang kedua dengan menarik kesimpulan.
G. Sistematika Penulisan Tesis Suatu sistem dalmkarya ilmiah yang disajikan akan bervariasi sesuai dengan aspirasi peneliti. Kami mencoba mendeskripsikan sistematika pembahasan yang terdiri dari lima bab, yaitu,
47
Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif..., hlm. 117.
28
Secara umum bab pertama tentang pendahuluan yang menjelaskan latar belakang dan perumusan masalah yang akan diteliti, kemudian juga dapat ditentukan tujuan dan manfaat penelitian. Kami menjadikan penelitianpenelitian tredahulu sebagai bahan rujukkan dan acuan. Pokok-pokok masalah yang akan diteliti akan dijelaskan dalam kerangka teoritik dengan metodologi penelitian, kemudian disederhanakan secara global melalui sistematika pembahasan. Bab kedua beris tentang teori-teori yang dikemukakan oleh para tokoh dan para ilmuwan. Kajian teori ini merupakan proposisi yang akan memberikan penjelasan atas suatu teori gambaran umum tentang latar belakang berdirinya Yayasan Perguruan Al-Islam di Surakarta, gambaran pendiri Yayasan Al-Islam, kebijakan pemerintah pada era reformasi, organisasi Islam di Indonesia serta perkembangan suatu lembaga pendidikan berdasarkan literatur yang ada. Bab ketiga memuat data-data yang ditemukan di lembaga-lembaga AlIslam di Surakarta. Bab ini terdiri dari perkembagan lembaga-lembaga AlIslam Surakarta pada era reformasi dan kondis Yayasan Perguruan Al-Islam di Surakarta saat ini. Bab keempat tentang analisa perkembangan Yayasan Perguruan AlIslam di Surakarta era reformasi, memuat tentang sejarah berdirinya Yayasan Perguruan Al-Islam, perkembangan Yayasan Perguruan Al-Islam di Surakarta dan faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan Yayasan Perguruan AlIslam di Surakarta. Agar data yang diperoleh memiliki makna, maka data
29
tersebut perlu diolah dan disusun. Penyusunan data dilakukan dengan menggunakan teknisk analisa data yang sesuai. Bab kelima adalah penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran tentang perkembangan Yayasan Perguruan Al-Islam di Surakarta, faktor pendukung dan penghambat pengelolaan Yayasan perguruab Al-Islam. Kesimpulan, merupakan hasil pengolahan dan analisa data yang disesuaikan dengan rumusan masalah.