Pengantar Jurnal JIA Vol 2. Nomor 4 Desember 2012.
PEMERINTAH INDONESIA HARUS INTERAKTIF
Jurnal edisi ini mengetengahkan beberapa Tulisan sederhana namun menarik untuk disimak. Abubakar M. Nur mengetengahkan beberapa masalah klasik mengenai pembangunan yang selalu mengalami kegagalan peran. Makna Pembangunan tidak selamanya adalah industrialisasi, yang hanya menyentuh sektor kota dengan jargon modernisasi. Sedangkan pembangunan yang berarti kemajuan sering kali tidak seiring dengan perbaikannya kualitas hidup manusia Indonesia yang semakin terpuruk kehidupan ekonomi dan kesehatan. Perlu ada revitalisasi pemaknaan "membangun" manusia Indonesia seutuhnya. Fakul mencoba menggiring publik pembaca pada ranah tentang "rasa" yang seharusnya dibalutkan dalam luka dan borok pembangunan yang nyaris tenggelam di hiruk pikuk bising bangunan, teknologi dan fisik semata. Harapan menjadi manusia yang seutuhnya semakin sulit didatangkan. Entahlah, sudut pandang Fakul agak berbeda dengan daya tangkap publik. Namun Fakul mencoba meyakinkan pembaca, bahwa miskin dapat diatasi dengan struktural maupun kultural. Tulisan kedua diulas oleh Pangeran. Mempersoalkan Pemerintah yang ambigu dalam membangun infrastruktur publik. Tema besar tulisannya mengarah pada bagaimana memahami implementasi pertanahan dalam membangun infrastruktur publik yang dibiayai oleh Negara, demi kemaslahatan publik. Pemerintah dinilai Pangeran kurang serius dalam memperbanyak tempat publik. Pemerintah dianggap kurang pro publik. Berkaitan dengan gagasan ini, Muammil mengaitkan problem ini dengan fungsi-fungsi birokrasi dalam membangun ekonomi daerah. Memang, jika sepintas dilihat, tidak ada hubungan secara antara langsung antara birokrasi dan ekonomi. Namun jika ditelusuri secara runtut, pembaca dapat melihat secara nyata bahwa pemerintahan menjadi katalisator percepatan pembangunan ekonomi berbasis lokal, jika karakter birokrasi tidak kolaps, korup dan berbelit-belit. Ekonomi lokal harus didukung oleh regulasi pemerintah yang pro pasar meskipun sering kali ditolak oleh kelompok masyarakat tertentu yang beranggapan negara hanya menjadi kaki tangan pemodal asing. Muammil secara jujur mencoba menawarkan kepada pembaca, bahwa birokrasi idealnya tidak berbisnis namun menyediakan tempat, regulasi, sistem dan iklim bisnis yang sehat. Tulisan keempat ditawarkan oleh Mulyansyah mengenai birokrasi yang sedang sakit dan mirip orang yang sakit. Birokrasi dengan seluruh anatominya semakin tidak mendisiplinkan dirinya dalam mengaktifkan sekrup pemerintahannya. Birokrasi Maluku Utara memang malas; kurang berprestasi; lebih diramaikan oleh pemberitaan negatif korupsi, masalah proyek di berbagai media massa lokal. Mulyansyah mengkritik cara pandang birokrasi di Maluku Utara yang cenderung memposisikan sebagai raja dalam birokrasi karena memiliki sumber daya informasi, uang dan implementator. Nyaris latar sosiologis Maluku Utara yang etnis, terpisah oleh pulau, pelayanan yang lamban, biaya hidup yang mahal, dan model upeti liar tidak tersentuh oleh kasat mata publik. Tulisan kelima kembali digagas oleh Thamrin Husain dengan judul ’Kebijakan strategi Parlemen Indonesia menuju Komunitas ASEAN 2015’, tulisan ini menawarkan tiga strategi yang harus
dilakukan Indonesia untuk mendorong terwujudnya masyarakat ASEAN 2015, yaitu temukan identitas, kembangkan jaringan dan kuatkan komitmen pada bidang ekonomi, budaya dan politik. Semua gagasan itu membuka kesadaran tentang usulan sederhana. Saiful Deni menawarkan dengan sebuah pertanyaan, kapankah pemerintahan kita interaktif? Interaktif berarti ada aktivitas sinergitas pemerintahan, kekuatan ekonomi swasta dan masyarakat sipil sebagai penopang tegaknya negara. Komunikasi dan keterbukaan bukan langkah terakhir. Komunikasi dan keterbukaan hanya merupakan syarat masuk. Pemerintahan yang interaktif lebih hidup karena mengobati penyakit birokrasi yang stagnan dengan cara mengevaluasi kegagalan pemerintah dalam mendorong program kerja. Membuka interaksi politik dan ekonomi masyarakat secara transparan, dengan menggunakan instrumen media massa, internet, maupun jaringan sosial lainnya. Pemerintah kita memang belum rela membuka diri. Sifat kekuasaannya yang cenderung tertutup dan korup, sering kali menjadi penghalang utama. Maka kita memerlukan jejaring sosial yang lebih luas dalam mempertahankan elan vital birokrasi yang dipaksa bekerja secara marathon. Agar pemerintahan kita tidak kehilangan arahnya, perlu kompas interaktif sehingga mendialogkan kebutuhan masyarakat luas. Selamat membaca, semoga bermanfaat.
Ternate, 15 Desember 2012
Aji Deni Pimpinan Redaksi
Abstrak I Thamrin Husain Sebagai presiden organisasi antar parlemen se-Asia Tenggara, peran Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) untuk mendorong terwujudnya masyarakat ASEAN 2015 sangatlah penting. Salah satu cara mengoptimalkan peran Ketua DPR–RI adalah dengan memahami posisi strategis ASEAN di dunia internasional guna merumuskan dan merekomendasikan solusi yang tepat bagi pengembangan ekonomi, politik, dan budaya di kawasan Asia Tenggara. Karenanya, setelah mengerti kondisi negara-bangsanya, Indonesia mesti menjadi teladan pertama sekaligus pemimpin dari beragam gagasan strategis yang diusulkan seperti penemuan identitas, pengembangan ekonomi, dan penguatan komitmen. Tanpa fakta yang kasat mata, segala cita hanya akan berakhir duka. Akibatnya, negaranegara di Asia Tenggara semakin menderita termasuk Indonesia.
Abstract I Thamrin Husain As president of the inter-parliamentary organizations in Southeast Asia, the role of Chairman of the House of Representatives of the Republic of Indonesia (DPR-RI) to support the establishment of the ASEAN community by 2015 is essential. One of ways to optimize the role of Chairman of the House of Representatives is to understand the strategic position of ASEAN in the international community to formulate and recommend the right solution for the development of economy, politics, and culture in the Southeast Asian region. Therefore, after understanding the condition of the state-nation, Indonesia should be the first example of a leader as well as a variety of strategic ideas proposed as the discovery of identity, economic development, and strengthening commitment. Without a tangible fact, every dream will only end sorrow. As a result, countries in Southeast Asia including Indonesia increasingly suffer.
Abstrak II Saiful Deni Model pemerintahan interaktif merupakan sintesis dari perdebatan “ governance” dalam mengelola Negara, dimana konsep ini menekankan pada proses dari tiga aktor utama yaitu pemerintah(Negara), Swasta, dan Masyarakat (Civil Society). Peran yang dilakukan selama ini ansich didominasi oleh pemerintah sebagai bagian dari Negara, sedangkan masyarakat dan swasta perannya, belum dimasksimalkan secara subsansial. Dengan demikian kajian terhadap pemerintahan interaktif menjadi penting untuk di jelaskan kekurangan-kekurangan pada konsep governance. Hal ini dimaksudkan bahwa pemerintahan interaktif menekankan pada tata kelola pemerintahan dengan aktor yang kompleks, dan proses sosial yang plural, dengan tujuan untuk kepentingan formulasi, promosi secara objektif untuk mewujudkan ide, aturan dan pengembangan sumber daya dalam membangun pemerintahan yang demokratis.
Abstract II Saiful Deni Interactive government model is a synthesis of the debate "government" in managing the State, where the concept emphasizes in the process of the three main actors, namely the government (the State), Private, and Community (Civil Society). The role is performed during ansich is dominated by the government as part of the state, while the public and private roles, has not been maximized. Thus the study of interactive government is important to explain the deficiencies in the concept of government. It is intended that the government insists on the interactive government with a complex actor, and plural social processes, with a view to the interests of the formulation, promotion of objective to realize the ideas, rules and development of resources in building a democratic government.
Abstrak III Muammil Sunan Cukup banyak permasalahan dalam birokrasi pemerintah yang menjadi isu publik di Indonesia dewasa ini. Keberadaan sejumlah persoalan dalam birokrasi pemerintah yang dari tahun ke tahun menjadi isu publik merupakan indikasi dari lemahnya kinerja reformasi birokrasi. Hal ini karena pendekatan yang selama ini diterapkan untuk reformasi birokrasi tampaknya belum banyak menyentuh aspek penting dalam birokrasi: budaya birokrasi pemerintah. Namun, tidak mudah memahami fenomena reformasi birokrasi di
Abstract III Muammil Sunan Quite a lot of problems in the government bureaucracy that become a public issue in Indonesia today. The existence of numbers of issues in the government bureaucracy that over the years become a public issue is an indication of the poor performance of bureaucratic reform. This is caused by the approach has been applied to reform the bureaucracy seems to touch many important aspects of the bureaucracy: government bureaucratic culture. However, it is not easy to understand the phenomenon of
Indonesia. Para ahli administrasi publik di Indonesia juga berselisih pendapat dalam memahami fenomena yang ada. Strategi reformasi pemerintah pada kenyataannya juga diarahkan untuk melakukan perbaikan terhadap kedua aspek tersebut. Akan tetapi, fakta tentang kinerja reformasi birokrasi hingga waktu sekarang ini belum memuaskan. Pemberian otonomi daerah akan mengubah perilaku pemerintah daerah untuk lebih efisien dan profesional. Untuk itu, pemerintah daerah perlu melakukan perekayasaan ulang terhadap birokrasi yang selama ini dijalankan (bureaucracy reengineering). Hal tersebut karena pada saat ini dan di masa yang akan datang pemerintah (pusat dan daerah) akan menghadapi gelombang perubahan baik yang berasal dari tekanan eksternal maupun dari internal masyarakatnya. Dengan dilakukannya repositioning birokrasi, menjadikan organisasi birokrasi yang strukturnya lebih desentralistis, inovatif, fleksibel dan responsif sehingga usaha-usaha pembangunan yang dijalankan dapat lebih efektif dan efisien.
bureaucratic reform in Indonesia. Public administration experts in Indonesia also disagree in understanding the phenomenon. Reform strategy in fact also is directed to government to make improvements to both aspects. However, the facts about the performance of bureaucratic reform until the present time have not been satisfactory. Granting regional autonomy will change the behavior of local governments to be more efficient and professional. Therefore, local governments need to re-engineering the bureaucracy that has been executed (bureaucracy reengineering). This is because at this time and in the future the government (central and local) will face a wave of change both from external and internal pressures society. By doing repositioning bureaucracy, bureaucratic organizational structure makes more decentralized, innovative, flexible and responsive so that development efforts can be run more effectively and efficiently.
Abstrak IV Husnullah Pangeran Pembangunan infrastruktur memiliki keterkaitan yang kuat dengan pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan. Sebagaimana kecenderungan di banyak negara, kendala pendanaan infrastruktur publik di Indonesia dapat diatasi dengan melibatkan investasi sektor swasta melalui skema-skema Kerjasama Pemerintah dan Swasta (KPS) untuk membiayai, membangun, mengoperasikan fasilitas dan menyediakan layanan infrastruktur. Tetapi setelah lebih dari tiga dekade sejak pertama kali diterapkan pada tahun 1970-an di sektor minyak dan gas, indikator-indikator kinerja infrastruktur Indonesia belum mengalami peningkatan yang berarti. Salah satu permasalahan adalah tingginya tingkat ketidakpastian investasi di sektor infrastruktur, yang mana salah satunya berkenaan dengan pengadaan tanah. Pada dasarnya terdapat banyak pengaturan terkait pertanahan. Khususnya untuk sektor infrastruktur, sejumlah kebijakan terkait telah mengalami peninjauan dan perbaikan, salah satunya dengan disahkkannya UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum (termasuk di dalamnya untuk pembangunan infrastruktur). Namun kebijakan tersebut dalam realitasnya tidak cukup memperoleh penerimaan dari sejumlah kalangan masyarakat yang mempromosikan pembaruan agraria (land reform). Sebagai akibatnya, pengadaan tanah masih menjadi isu pelik dalam pembangunan infrastruktur di banyak tempat di Indonesia, terutama resistensi masyarakat untuk proyek-proyek infrastruktur skala besar yang melibatkan skema KPS. Resistensi umumnya disebabkan ketidaksesuaian persepsi di masyarakat
Abstract IV Husnullah Pangeran Infrastructure development has a strong relationship with economic growth and rising prosperity. As the trend in many countries, public infrastructure funding constraints in Indonesia can be overcome by involving private sector investment through the schemes of the Public Private Partnership (PPP) to finance, build, operate facilities and provide infrastructure services. But after more than three decades since it was first implemented in the 1970s in the oil and gas sector, infrastructure performance indicators Indonesia have not experienced a significant increase. One of the problems is the high level of uncertainty of investment in the infrastructure sector, one of which related to land acquisition. Basically there are many land-related settings. Particularly for the infrastructure sector, a number of related policies has undergone the review and improvement, one of them by legalized UU No. 2 Tahun 2012 on Land Procurement for Development for Public Interest (including for infrastructure development). But in reality this policy is not sufficient to obtain acceptance of a society which promotes agrarian reform (land reform). As a result, land acquisition remains a thorny issue in the development of infrastructure in many parts of Indonesia, especially public resistance to projects involving large-scale infrastructure PPP scheme. Resistance is generally due to a mismatch in the perception of the public regarding the context of the public interest and speculation of infrastructure, and lack of consistency and commitment of the government in implementing the policy.
mengenai konteks kepentingan umum dari infrastruktur dan spekulasi, serta kurangnya konsistensi dan komitmen pemerintah dalam menerapkan kebijakan. Abstrak V Aka Nuslullah Hakikat pembangunan adalah untuk kemajuan dan kesejahteraan rakyat secara holistic serta menjadikan masyarakat yang berperadaban, yakni suatu tatanan masyarakat yang selalu mempraktikkan nilai-nilai keadilan, ekualitas kebebasan, penegakkan hukum, dan jaminan kesejahteraan bagi semua warga. Namun realitas yang terjadi tidak seperti apa yang diharapkan, tetapi beberapa factor yang menghambatnya. pertama, faktor struktur
sosal, yang memaksa rakyat tidak berpeluang menggunakan sumber-sumber pendapatan yang tersedia. Kedua, faktor kultur, tuntutan tradisi atau adat-istiadat yang menjadi birokrasi hidup, prilaku masyarakat yang mengakses ekonomi secara konsumtif. Ketiga, faktor perbedaan dalam memahami definisi
kemiskinan. Olehnya itu, agar hakekat pembangunan dapat terlaksana dengan baik, maka ketiga factor tersebut dapat di jawab dengan maksud dan tujuan pembangunan yang dicita-citakan.
Abstract V Aka Nuslullah Nature of the development is to progress and welfare of the people holistically and makes civilized society, i.e a society that has always practiced the values of justice, equality liberty, rule of law, and guarantee prosperity for all citizens. But the reality of what happened is not what is expected, but some of the factors that discourage it. First, factor social structure, which is not likely to force people to use the resources available revenue. Second, cultural factors, demands of traditions or customs that become bureaucratic life, the economic behavior of people who access the consumer. Third, the difference in understanding the definition of the factors of poverty. In order that the nature of the construction can be done well, then all three of these factors can be answered by the goal and purpose of the aspired development.
Editorial (menunggu) Pembangunan dan Problematika Pengentasan Pemiskinan Abubakar Muhammad Nur/ Dosen Pascasarjana UMMU
Problematik Implementasi Kebijakan Pertanahan Dalam Pembangunan Infrastruktur Publik Moch Husnullah Pangeran/ Staf Pengajar Fakultas Teknik, UMMU
Repositioning Birokrasi dan Tantangan Pemerintahan Daerah Dalam Pembangunan Ekonomi Di Era Otonomi Daerah Muammil Sun’an / Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Khairun dan Dosen Pasca Sarjana UMMU
Kebijakan Strategis Parlemen Indonesia Menuju Komunitas ASEAN 2015 Thamrin Husain, S.IP.,M.Si / staf pengajar Pascasarjana UMMU
KRITIK PERILAKU BIROKRASI Tela’ah Sosiologis Atas Ketidakdisiplinan Birokrasi di Maluku Utara Muliansyah Abdurrahamn Ways/Alumni Pasca Sarjana S2 Sosiologi Politik-Universitas Muhammadiyah Malang (UMM)
Mewujudkan Pemerintahan Interaktif Dr. Saiful Deni/ Penulis adalah staf pengajar Pascasarjana UMMU
PEMBANGUNAN DAN PROBLEMATIKA PENGENTASAN PEMISKINAN
Oleh: Abubakar Muhammad Nur Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Maluku Utara Abstrak Hakikat pembangunan adalah untuk kemajuan dan kesejahteraan rakyat secara holistic serta menjadikan masyarakat yang berperadaban, yakni suatu tatanan masyarakat yang selalu mempraktikkan nilai-nilai keadilan, ekualitas kebebasan, penegakkan hukum, dan jaminan kesejahteraan bagi semua warga. Namun realitas yang terjadi tidak seperti apa yang diharapkan, tetapi beberapa factor yang menghambatnya. pertama, faktor struktur sosal, yang memaksa rakyat tidak berpeluang menggunakan sumber-sumber pendapatan yang tersedia. Kedua, faktor kultur, tuntutan tradisi atau adat-istiadat yang menjadi birokrasi hidup, prilaku masyarakat yang mengakses ekonomi secara konsumtif. Ketiga, faktor perbedaan dalam memahami definisi kemiskinan. Olehnya itu, agar hakekat pembangunan dapat terlaksana dengan baik, maka ketiga factor tersebut dapat di jawab dengan maksud dan tujuan pembangunan yang dicita-citakan.
Kata kunci : Pembangunan, Problematika Pengentasan Kamiskinan
Pendahuluan Istilah pembangunan, seakan menjadi kata kunci sebagai usaha untuk memajukan kehidupan masyarakat. Tentu atas nama kemajuan, seringkali diartikan sebagai kemajuan material. Jika secara material pembangunan telah tampak dalam kasat mata kehidupan masyarakat, maka pembangunan telah berhasil terlaksana. Namun kemajuan juga dapat diartikan sebagai arah menuju suatu peradaban kemanuasiaan, akan tetapi realitas social menunjukkan hal lain, bahwa di tengah keberlangsungan suatu pembangunan, justru pada masyarakat tertentu bukan mengalami proses kemajuan sebagai dampak proses pembangunan menggapai suatu peradaban, tetapi sebaliknya malah menjadi tambahan beban untuk maju, tidak bisa bergerak maju alias jalan di tempat yang bermuara pada kemiskinan bagi rakyat kecil. Adapun hakikat pembangunan harus dapat mengangkat derajat kesejahteraan masyarakat secara totalitas (lahir bathin) untuk semua lapisan masyarakat. Namun fakta social telah menunjukkan bahwa rakyat kecil seringkali mengalami korban atas pembangunan, dimana pembangunan sebagaimana di cerita oleh Bapak Selo Sumardjan; Bahwa seketika Ia pernah terdampar di sebuah kota kecil di luar Jakarta, dan sempat berdiskusi dengan masyarakat kecil dengan seorang penduduk miskin. Bahwa Ia sempat bertanya, dari mana bapak datang?. Jawab si penduduk tersebut: “saya dulu tinggal di Jakarta. Tetapi, karena pembangunan, saya terpaksa mengungsi ke daerah ini.” Bagi orang ini, dan mungkin banyak orang kecil yang senasib dengannya, pembangunan merupakan sebuah malapetaka, yang mendamparkan hidup mereka. (Arif Budiman, 2000).
Romo Mangunwijaya juga punya pengalaman yang hampir sama, bahwa ketika Romo berada di sebuah Desa di daerah Gunung Kidul. Dia bertanya, apakah pada umumnya orang desa disini dapat hidup dengan cukup? Jawab si orang desa: “Cukup pak, kalau tidak ada pembangunan” karena Romo Mangun tidak mengerti jawaban orang desa tersebut, orang tersebut menjelaskan: “kalau ada pembangunan, pak Lurah menyuruh saya kerja bakti membuat gapura, pagar desa, atau melebarkan jalan. Akibatnya, saya tidak dapat bekerja.” Bagi orang desa yang bekerja sebagai buru tani harian ini, tidak bekerja berarti tidak ada penghasilan untuk membeli makanan pada hari itu. Lalu bagaimana sesungguhnya pembangunan itu? Padahal hakikat pembangunan sebagaimana dikemukakan oleh para pakar pemerhati pembangunan adalah untuk kemajuan, kesejahteraan rakyat dan mungkin lebih dari itu sebagai peradaban kemanusiaan. Menurut Judistira, bahwa tujuan kemajuan adalah menuju kearah peradaban. (Judistira K.Garna, 2006). Masyarakat yang berperadaban adalah suatu tatanan masyarakat yang selalu mempraktikkan nilai-nilai keadilan, ekualitas kebebasan, penegakkan hukum, dan jaminan kesejahteraan bagi semua warga serta perlindungan terhadap kaum lemah dan kelompok minoritas. (Sofyanto, 2001). Masyarakat yang memiliki kemajuan itu senantiasa menjunjung tinggi kesamaan status, hak dan kewajiban yang dimiliki oleh sesama anggota masyarakat, olehnya itu esensi pembangunan juga mendorong memanusiakan manusia. Isu Pembangunan Pembangunan sebagai suatu fenomena sosial yang mencerminkan kemajuan peradaban manusia yang berbanding lurus dengan proses perubahan sosial yang mengikuti irama perkembangan zaman. Kemudian pembangunan juga berbanding lurus dengan perubahan ekonomi, sosial, politik yang sangat kompleks dan saling terkait satu sama lain. Secara defenisi menurut Johan Galtung, pembangunan merupakan upaya untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia, baik dengan cara-cara yang tidak menimbulkan kerusakan terhadap kehidupan sosial maupun lingkungan alam. (Trijono, 2007). Di sini dapat kita pahami, bahwa proses pembangunan harus mampu menjaga keseimbangan lingkungan social dengan lingkungan alam sekitar. Untuk dapat memelihara keseimbangan tersebut, maka pembangunan sumber daya manusia perlu diperhatikan secara paripurna sebagai investasi pembangunan yang bernilai produktivitas. Secara konvensional, pembangunan sumber daya manusia diartikan sebagai investasi human capital yang harus dilakukan sejalan dengan investasi physical capital. Cakupan pembangunan sumber daya manusia ini meliputi pendidikan dan latihan, kesehatan, gizi, penurunan fertilitas, dan pengembangan entrepreneurial, yang kesemuanya bermuara pada produktivitas manusia. (Tjokrowinoto, 2001). Pembangunan pada hakikatnya adalah merupakan salah satu upaya memajukan harkat, martabat, kualitas, dan kesejahteraan segenap lapisan masyarakat. Pembangunan juga adalah suatu proses perubahan diberbagai bidang kehidupan yang dilakukan secara sadar dan terencana, ditujukan untuk peningkatan kesejahteraan rakyat, baik secara material maupun spiritual. Suatu proses perubahan kearah peningkatan kesejahteraan masyarakat, bahwa pembangunan adalah perubahan dari sesuatu yang kurang berarti kepada sesuatu yg lebih berarti. Pembangunan juga dapat dipahami sebagai suatu usaha atau rangkaian usaha pertumbuhan dan perubahan yg berencana yang dilakukan secara sadar oleh suatu bangsa, negara dan pemerintah menuju modernitas dalam rangka pembinaan bangsa. Isu Kemiskinan Persoalan kemiskinan selalu menjadi isu sentral, terutama bagi para pengambilan kebijakan pembangunan, karena hakikat pembangunan itu sendiri dalam upaya mengangkat derajat orang miskin sehingga dapat memenuhi standar hidup minimum. Karena kemiskinan yang banyak terjadi sekarang ini pada umumnya didefenisikan sebagai ketidakmampuan untuk memenuhi standar hidup minimum.
Kemiskian setidaknya dapat ditinjau dari dua sisi, yaitu pertama, kemiskinan absolute, dimana dengan jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan tertentu. Kedua, kemiskinan relative amat erat kaitannya dengan distribusi pendapatan. Kemiskinan yang terjadi di Indonesia secara konseptual menurut Pheni, bahwa terbagi dalam tiga kategori. Pertama, Kemiskinan alamiah, yaitu kemiskinan yang timbul sebagai akibat sumber daya yang langkah jumlahnya, atau tingkat perkembangan teknologi yang sangat rendah. Termasuk di dalamnya adalah kemiskinan akibat jumlah penduduk yang melaju pesat di tengah-tengah sumber daya alam yang tetap. Kedua, kemiskinan structural, yaitu kemiskinan yang diderita oleh suatu golongan masyarakat karena struktur social sehingga mereka tidak dapat menggunakan sumber-sumber pendapatan yang sebenarnya tersedia bagi mereka. Kemiskinan structural ini terjadi karena kelembagaan yang ada membuat anggota atau kelompok masyarakat tidak menguasai sarana ekonomi dan fasilitas-fasilitas secara merata. Ketiga, kemiskinan cultural, yaitu kemiskinan yang muncul karena tuntutan tradisi/adat yang membebani ekonomi masyarakat, seperti upacara perkawinan, kematian atau pesta-pesta adat lainnya, termasuk sikap mentalitas penduduk yang lamban, malas, konsumtif, serta kurang orientasi ke depan. (Chalid, 2006). Jika pembangunan yang digalakan itu diperuntukan untuk rakyat, tetapi mengapa rakyat masih tetap dalam pelukan penderitaan? Dimanakah letak problematikanya? Apa yang menjadi kendala dalam pelaksanaan pembangunan dimaksud? Apakah faktor struktural, kultural ataukah perbedaan dalam memahami definisi kemiskinan dalam pembanguanan? Ataukah persoalan ketidakjujuran dalam proses pembangunan dimaksud? Sehingga membuat rakyat masih belum terangkat dari zona kemiskinan. Kalau kemiskinan dipahami sebagai ketidakmampuan untuk memenuhi standar minimum, maka pembangunan sebagai upaya untuk memenuhi standar minimum dimaksud. Indonesia mungkin merupakan salah satu contoh sempurna? Tikus wafat dalam lubung padi. Seperti apakah keadaan Indonesia? Negeri yang kaya dengan sumber daya alam, tetapi juga kaya dengan penghuni penduduk miskin. Apa yang menjadi problematikanya dalam pengantasan kemiskinan di negeri ini?. Realitas Indonesia Jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan) di Indonesia pada September 2011 mencapai 29,89 juta orang (12,36 %), turun 0,13 juta orang (0,13 %) dibandingkan dengan penduduk miskin pada Maret 2011 yang sebesar 30,02 juta orang (12,49 %). Selama periode Maret 2011–September 2011, penduduk miskin di daerah perkotaan berkurang 0,09 juta orang (dari 11,05 juta orang pada Maret 2011 menjadi 10,95 juta orang pada September 2011), sementara di daerah perdesaan berkurang 0,04 juta orang (dari 18,97 juta orang pada Maret 2011 menjadi 18,94 juta orang pada September 2011). (BPS, 2011). Dari data tersebut dapat diketahui, bahwa ternyata upaya pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan tidak berbanding lurus dengan yang diharapkan (hanya nol koma sekian-sekian persen). Jadi ternyata berbeda dengan kesan dan pengumuman yang dikeluarkan oleh penyelenggara pembangunan, yang sering menyebutkan, bahwa jumlah orang miskin di negeri ini turun secara dratis, tetapi dalam kenyataannya justru lebih banyak terjadi penambahan orang miskin yang secara realitas tampak di mana-mana oleh publik. Dalam kasat mata publik ternyata setiap saat muncul kelompok orang miskin baru, kendati tidak diakui secara terbuka oleh para birokrasi, fakta yang ada dengan jelas menunjukkan, bahwa kemiskinan dan kesenjangan yang merebak di berbagai wilayah pedesaan maupun perkotaan acapkali bersifat structural, sebagaimana yang dikatakan oleh Robert Chambers. ( Suyanto, 1996), bahwa inti dari masalah kemiskinan dan kesenjangan terletak pada apa yang disebut dengan deprivation trap atau “perangkap kemiskinan”.
Ternyata pemerintah memandang pertumbuhan ekonomi dan keberhasilan pembangunan hanya secara makro, namun secara mikro realitas menunjukkan, bahwa masih terlalu banyak orang hidup di bawa kolom jembatan, berteduh di emper-emper gedung kapitalis, terpaksa bertahan hidup di bantaran sungai (kondisi di Kota), disisi lain, masih terlalu banyak masyarakat tidak bisa menjangkau kebutuhan kesehatan, kebutuhan komunikasi dan transportasi, anak usia sekolah masih banyak tidak bisa menikmati pendidikan yang layak dan sebagainya (kondisi di Desa). Padahal Indonesia memiliki fasilitas/fasilitator pembanguanan, baik Lembaga Kementrian, non Kementrian, Lembaga Struktural (Komisi), Lembaga Pemerintah daerah, baik Privinsi, Kabupaten/Kota, Keluruhan/Desa paling terbanyak di Dunia bila dibanding dengan Negara –negara lainnya, sebagaimana tergambar pada table data berikut ( Said, 2012):
Obj100
Data table tersebut di atas, dapat dipahami, bahwa Negera Indonesia yang memiliki jumlah penduduk terbanyak di dunia seperti Cina, dan Negara-negara besar lainnya seperi Amerika Serikat, Australia, Jepang, Korea Selatan memiliki jumlah Kementrian/Lembaga Pembantu Presiden lainnya, dan jumlah Lembaga PEMDA, baik di tingkat Provinsi, Kabupaten/Kota, Kecamatan, Kelurahan/Desa lebih kecil dibanding Indonesia, tetapi dapat menyelenggarakan pembanguan serta berhasil mensejahterakan rakyatnya, mengapa Indonesia yang jumlah penyelenggara pembanguanan yang demikian banyak tetapi tidak berhasil mensejahterakan rakyatnya. Mengapa demikian? Berarti ada yang salah dalam penyelenggaraan pembangunan dimaksud. Padahal faktor pendukung pengentasan kemiskinan di negeri ini sangat tersedia, seperti SDM dan SDA, serta fasilitas lainnya yang telah diarahkan untuk mengatasi problematika kemiskinan dimaksud. Keadaan yang demikian dapat dikuatirkan, bahwa para penyelenggara pembangunan di Bumi Pertiwi ini, banyak orang pandai tetapi banyak juga yang kurang waras, sehingga pembangunan itu dilaksanakan hanya sekedar menggugurkan kewajiban sebagai penyelenggara pembangunan. Selanjutanya anggaran belanja untuk kepentingan lembaga dan pegawai lebih besar ketimbang belanja untuk kebutuhan rakyat, sebagaimana sampel pada data 15 Kabupaten di Indonesia yang dilansir oleh Oleh Sadu Wasistiono di Media Indonesia. (Masud Said, 2012.). Obj101
Dari sampel data sejumlah Kabupaten di atas, dapat diketahui, bahwa ternyata Anggaran Pendapatan Belanja Daerah selama ini, rata-rata di atas 70 % diperuntukan kepentingan Lembaga dan pegawai. Dana yang demikian besar selama ini dikucurkan oleh pemerintah untuk rakyat, ternyata lebih banyak bermuara/mendongrat ATM para elit penyelenggara pembangunan. Karena itu sangat beralasan kalau rakyat tidak dapat ter-entaskan dari zona kemiskinan. Keadaan daerah-daerah di Indonesia termasuk Maluku Utara, tidak jauh berbeda sebagaimana pada sampel 15 Kabupaten tersebut di atas. Keadaan Maluku Utara Garis Kemiskinan di bulan Maret 2011 mengalami kenaikan di banding bulan Maret 2010, yakni 5,76% Penduduk Miskin Maluku Utara: Maret 2010 = 91,07 ribu orang (9,42%); Maret 2011 = 97,31 ribu orang (9,18%). Naik 6,2 ribu orang. Maret 2010 – Maret 2011, penduduk miskin di perkotaan naik 6,5 ribu
orang & di perdesaan naik sebanyak 5,8 ribu orang. Maret 2011, 91,69 % dari total penduduk miskin (97,31 ribu orang) berada di perdesaan (baca : Maluku Utara dalam Angka 2011) ISSN : - No. Publikasi / Publication Number : 82000.1101. (BPS Maluku Utara, 2011).
Luas wilayah Maluku Utara per Kabupaten/Kota
No
Kabupaten/Kota
Luas km2
%
01
Halmahera Barat
2 612,24
5,80
Penduduk Orang 100 424
02 03 04 05 06 07 08 09
Halmahera Tengah Kepulauan Sula Halmahera Selatan Halamahera Utara Halmahera Timur Pulau Morotai Ternate Tidore Kepulauan Maluku Utara
2 276,83 9 632,92 8 779,32 3 132,40 6 506,20 2 314,90 250,85 9 564,00 45 069,66
5,05 21,37 19,48 6,95 14,44 5,14 0,56 21,22 100,00
42 815 132 524 198 911 161 847 73 109 52 697 185 705 90 055 1 038 087
% 9,67
Kepadatan Penduduk 38,44
4,12 12,77 19,16 15,59 7,04 5,08 17,89 8,68 100,00
18,80 13,76 22,66 51,67 11,24 22,76 740,30 9,42 23,03
Sumber : BPS Provinsi Maluku Utara Source : BPS - Statistics of Maluku Utara Province
Penduduk dan Ketenakerjaaan Penduduk Maluku Utara pada tahun 2010, berdasarkan hasil Sensus Penduduk 2010 tercatat sebesar 1.038.087 jiwa yang tersebar di 9 kabupaten/kota. Jumlah penduduk terbesar 198.911 jiwa mendiami Kabupaten Halmahera Selatan. Secara keseluruhan, jumlah penduduk laki-laki lebih banyak dari penduduk perempuan. Hal ini tercermin dari angka rasio jenis kelamin sebesar 104,87 yang berarti terdapat 105 laki-laki pada setiap 100 perempuan. Ketenagakerjaan. Penduduk Usia Kerja (PUK) didefinisikan sebagai penduduk yang berumur 15 tahun ke atas. Penduduk Usia Kerja terdiri dari Angkatan Kerja dan Bukan Angkatan Kerja. Mereka yang termasuk dalam Angkatan Kerja adalah penduduk yang bekerja dan yang sedang mencari pekerjaan. Sedangkan Bukan Angkatan Kerja adalah mereka yang bersekolah, mengurus rumahtangga atau melakukan kegiatan lainnya. Penduduk usia kerja di daerah Maluku Utara pada tahun 2010 berjumlah 672.360 jiwa. Dari seluruh penduduk usia kerja, yang termasuk angkatan kerja berjumlah 437.758 jiwa atau 65,11 persen dari seluruh Penduduk Usia Kerja. Dari seluruh angkatan kerja tercatat 26.397 jiwa yang diklasifikasikan sebagai penganggur, yaitu mereka yang sedang mempersiapkan usaha, mereka yang tidak mencari
pekerjaan karena merasa tidak mungkin mendapatkan pekerjaan, dan mereka yang sudah mempunyai pekerjaan tetapi belum mulai bekerja. Dari angka tersebut, diperoleh tingkat pengangguran terbuka di Maluku Utara pada tahun 2010 sebesar 6,03 persen. Dilihat dari segi lapangan usaha, sebagian besar penduduk Maluku Utara bekerja di sektor pertanian, perkebunan, kehutanan, perburuan dan perikanan yang berjumlah 238.792 orang atau 58,05 persen dari jumlah penduduk yang bekerja. Sektor lainnya yang juga menyerap tenaga kerja cukup besar adalah sektor perdagangan, rumah makan dan jasa akomodasi. Dari informasi BPS Nasional, maupun Maluku Utara tersebut, maka logika sederhana dapat mengatakan, bahwa kekayaan alam di negeri ini tidak berbanding lurus dengan derajat kehidupan masyarakat sebagaimana yang diharapkan oleh tujuan pembangunan itu sendiri. Keadaan yang demikian, maka hampir setiap saat muncul pertanyaan dari yang empunya negeri ini, bahwa apa yang menjadi barer dalam pelaksanaan pembangunan negeri ini sehingga problematika pengentasan kemiskian tidak terwujud. Problematika Pengentasan Kemiskinan di Indonesia Kemiskinan di Indonesia merupakan permasalahan yg dihadapi oleh semua daerah. Terutama di daerah-daerah terpencil, termasuk Maluku Utara, persoalan kemiskinan selalu menjadi isu sentral dalam kebijakan pembangunan. Kemiskinan cenderung bersifat multidemensi, karena banyakanya faktor yg berpengaruh terhadap sebab-sebab kemiskianan itu sendiri. Kemiskinan didefinisikan sebagai ketidakmampuan dalam mengakses satandar hidup minimum. Setiap daerah di Indonesia mempunyai karakteristik kemiskinan yang berbeda. Ada daerah yang diderita kemiskinan karena sumber daya alam yang langkah bila dibanding dengan pesatnya pertumbuhan penduduk. Ada daerah yang miskin sebagai akibat sumber daya manusia yang langkah bila disbanding dengan ketersediaan sumber daya alamnya. Ada daerah yang miskin karena tingkat perkembangan akses teknologi yang rendah. Disisi lain, kemiskinan terjadi karena faktor struktur sosal, yang memaksa rakyat tidak berpeluang menggunakan sumber-sumber pendapatan yang tersedia. Faktor lain juga yang membuat masysrakat di daerah-daerah tertentu tidak bisa bangkit dari ketidakberdayaan karena tuntutan tradisi atau adat-istiadat yang menjadi birokrasi hidup, dan bermuara pada beban ekonomi masyarakat itu sendiri. Prilaku masyarakat yang mengakses ekonomi secara konsumtif, juga merupakan aktor kemiskinan. P elaksanaan pembangunan melalui berbagai program di berbagai bidang, baik secara nasional maupun pelaksanaan pembangunan di daerah yang telah dilakukan, tetapi sulit untuk mengangkat tingkat kesejahteraan orang miskin. mengapa demikian? Selain beberapa faktor sebagaimana yang telah disebut sebelumnya, bahwa faktor-faktor yang menjadi barer untuk mengatasi kemiskinanan yang sudah merupakan kendala klasik, yaitu kendala struktural dan kultural serta kendala perbedaan definisi tentang kemiskinan.(Chalid, 2006). Kendala Struktural. Sentralisasi kebijakan yang bermuara pada semua program pembangunan bersifat top-down . Tidak terlaksananya good governance sebagaimana mestinya. Para elit pembangunan tidak bisa membedakan dimana terletak teritori pembangunan dan dimana teritori politik. Hal ini disebabkan karena para pelaksana pembangunan lebih mengutamakan kepentingan politik daripada pembangunan. Karena itu pembangunan yang dilaksanakan lebih bermuara pada ATM elit politik. Padahal siapa saja jika yang telah mendapat mandat dari rakyat, maka ia harus bertanggungjawab atas kemakmuran rakyat secara holistis, karena itu pembangunan yang dilaksanakan harus bermuara pada teritori pembangunan dan bukan teritori politik.
Teritori pembangunan, yaitu Provinsi, Kabupaten/Kota dan Kelurahan/Desa. Sementara teritori politik hanya bermuara pada dapil, yaitu kepentingan politik tertentu dan berlaku pada periode demokrasi tertentu pula (proses pembangunan berbasis dukungan politik). Sistem demokrasi yang dipraktikan oleh pelaku politik di negeri ini membuat rakyat semakin sulit menghadapi birokrasi kehidupan dan tidak berdaya diberbagai demensi kehidupan. Misalnya sistem politik dan pemilihan kepala negara dan atau/kepala daerah saat ini membuat kepala negara dan para kepala daerah terpilih lebih tunduk kepada kepentingan partai politik, pengalokasian fasilitas/aktor pembangunan berbasis TIM sukses. Kebutuhan rakyat direkapitalisasi kemudian disalurkan melalui teritori politik daripada teritori pembangunan. Ketiadaan akuntabilitas, eksekutif dan legislatif kurang tanggap terhadap keluhan masyarakat. Dilain sisi, para penyelenggara pembangunan di Indonesia, dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan pembangunan lebih banyak bersandar pada teori dan pengalaman yang telah mereka peroleh di luar negeri melalui studi banding, kemudian digeneralisasi teori dan pengalaman tersebut ke berbagai daerah di Indonesia, sementara secara sosiologis, baik masyarakat maupun geografis Indonesia jauh berbeda. Bagaimana mungkin menyelesaikan problemtika fenomena social budaya bangsa lain dengan referensi bangsa lain secara utuh. Jangan heran kalau para penyenggara pembangunan senang melakukan studi banding ke luar negeri, tetapi tidak berhasil merubah keterpurukan keadaan masyarakat. Karena teori dan pengalaman yang mereka peroleh kemudian menerapkan tidak sesuai dengan kearifan lokal di Indonesia. Sritua Arief, pernah menirukan nasehat pembimbingnya ketika bilau menyelesaikan Program Ph.D nya di Inggris, Professor. Rowena M. Lawson, dan sering beliau berinteraksi dengan pemikir ekonomi yang sangat dikaguminya, Professor Joan Robinson dan Professor Hans Singer. Mereka bertiga memberi nasihat dan berpesan kepada Sritua Arief, bahwa : Ilmu yang anda peroleh dari Barat jangan sekali-kali membuat anda menyembah Barat. Pakai otakmu dan lihat realitas social dan tanah airmu Indonesia dan berikan jawaban apakah teori-teori pembangunan yang anda pelajari di Barat cocok atau tidak dengan realitas social ini. Jika seandainya tidak cocok, campakkan teori-teori pembangunan Barat dan cari atau buat penyesuaian fundamental sehingga anda menelorkan pemikiran baru. Jangan sekali-kali anda menjadi naïf dan goblok, sehingga anda secara membabi buta percaya kepada istilah “borderless world” teori ekonomi khususnya teori ekonomi pembangunan diformulasikan sedemikan rupa sehingga berakar pada nasionalisme. Jangan mencampuradukkan globalisasi dalam pengertian komunikasi dengan globalisasi dalam pengertian ekonomi. Tidak ada suatu bangsa secara ikhlas membantu bangsa lain. (Arief, 1998). Pendapat yang sama pernah dikatakan oleh Professor DR. M. Din Syamsuddin, ketika mejawab pertanyaan penulis, pada saat banyak pengungsi dari berbagai darerah yang terkonsentrasi di Ternate dan daerah lain yang dianggap aman, sesuai dengan komunitasnya sebagai akibat dari konflik dan kekerasan horizontal di Maluku Utara, pada tahun 1999, menurut Din, bahwa bantuan asing melalui LSM itu, walaupun eksplisitnya bermotif bantuan, tetapi implisitnya pemberi bantuan lebih banyak memperoleh keuntungan secara tidak langsung, yang bagi masyarakat awam tidak paham adanya. Salah satunya melalui momen reralawan, mereka berkesmpatan banyak untuk bercokol dan memotret potensi SDA yang ada di negeri ini. Selanjutnya akan hadir perusahaan bertaraf internasional yang mengeksploitasi kekayaan yang ada di Pertiwi ini, masyarakat yang hidup di daerah/lingkungan yang kekayaannya dieksplotasi itu, mereka hanya menjadi tamu di rumah sendiri dan penonton di lapangan sendiri. Kalaupun diterima sebagai pekerja, maka mereka sangat bangga walaupun hanya sebagai kuli. Bagi masyarakat awam seakan sudah menjadi kultur kebanggaan, jika ada perusahaan asing yang hadir di negerinya. Kendala Kultural
Selain sistem ekonomi (pembangunan) yang tidak berpihak kepada rakyat yang membuat orang miskin, tetapi yang menjadi pahlawan kemiskinan juga adalah faktor “kultur” dari orang itu sendiri. Kehidupan sosial dan budaya setiap orang atau sekelompok orang kerap kali mempengaruhi perilakuperilaku ekonomi sosial manusia selanjutnya, seperti kesanggupan memiliki serta mengumpulkan harta benda yang berharga yang berfungsi komsumtif (tidak berproduktif). Akses pembangunan yang terlambat, bahkan terabaikan dalam kebutuhan masyarakat kecil, karena masi diselimuti oleh ketidak mampuan masyarakat yang peduli terhadap kualitas layanan publik yg diterimanya, serta kualitas masyarakat kita dalam menghadapi birokrasi hidup masih dalam pelukan tanda Tanya (?) besar. Cara berfikir dan perilaku masyarakat masih didominasi oleh perilaku konsumtif, dan tidak berdaya berfikir secara produktif, karena masih dipenjara oleh tradisi yang diimplementasikan melalui kegiatankegiatan sosial yang bersifat serimoni masih menjadi birokasi hidup. Misalnya masyarakat (beragama Islam) dalam pelaksanaan do’a selamatan haji, lebih banyak menguras pembiayaan yang lebih besar ketimbang ONH (Ongkos Naik Haji). Pelaksanaan tahlilan/Dinah untuk keluarga yang telah wafat, ketimbang biaya yang diperuntukkan mengatasi kematian (biaya pengobatan). Aqikah untuk setiap kelahiran anak atau sejenisnya, dan kegiatan lain seakan merupakan kewajiban/perintah agama yang diyakininya. Factor-faktor tersebut yang lebih banyak menguras pembiaayaan keluarga secara konsumtif. Kendala Perbedaan Definisi Kemiskinan Dalam sistem pemerintahan yang sentralistik, maka perbedaan angka makro tentang metode mengklasifikasikan orang miskin dapat mempengaruhi distribusi dan alokasi dana proyek ke daerah. Pada tingkat mikro di daerah, perbedaan angka dan jumlah orang miskin dapat melahirkan berbagai penafsiran yang berbeda, yang berimplikasi langsung pada ketidakadilan distribusi kue pembangunan . Perbedaan pendekatan kreteria indikator orang miskinan juaga membuat penentu kebijakan bimbang dalam menetapkan rasio pembagian kesejahteraan. Kreteria indikator orang miskin dengan pendekatan kuantitatif seperti ukuran jumlah kalori, pendapatan, atau pengeluaran, sementara kualitatif, dengan pendekatan sosial, budaya, dan bahkan agama. Dari kedua pendekatan tersebut dipastikan akan memperoleh data tentang orang miskin berbeda satu dengan yang lain. Demikian pula bagaimana menentukan kreteria keluarga miskin dan desa miskin, guna mengalokasikan dan menyalurkan bantuan kesejahteraan. Perbedaan definisi, dan atau pendekatan tentang orang miskin, keluarga miskian dan desa miskin tersebut, berdampak langsung pada ketidakadilan penetapan bagi yang berhak memperolah bantuan kesejahteraan. Kendala Korupsi Tindakan dalam beragai bentuk tidak terpuji, yang dilakukan oleh penyelenggara pembangunan dapat membunuh peradaban kemajuan, yang berdampak langsung pada proses kesengsaraan masyarakat dalam menghadapi birokrasi hidup. Kerugian Negara semakin menganga, dan seakan mengikuti irama perkembangan zaman, karena aksi ketidakjujuran yang diperankan oleh aktor pembangunan yang dilakukan secara berjamaah, dalam upaya meraup keuntungan, baik secara pribadi maupun kelompok, lebih-lebih lagi untuk kepentingan politik, telah merambah ke seluruh pelosok Bumi Pertiwi. Penyelenggara Negara di berbagai lembaga hampir seluruhnya tersandera oleh kasus hukum (korupsi). Kalau demikian keadaannya, bagaimana bisa mengurus rakyat?. Praktik ketidakjujuran dalam pelaksanaan pembangunan oleh para elit republik ini, berakibat tidak langsung, bahwa mereka telah menetipkan Pertiwi ini sementara berada di ruang ISU. Keadaan demikian, maka membuat negeri ini hampir sempurna jadi remuk.
Kendala Kerapuhan Struktur Sosial Masyarakat. Di Indonesia, setidaknya ada beberapa peralihan sistem pemerintahan (orde), selalu dirundung kerapuhan struktur sosial dalam masyarakat sejak bangsa ini masih dipenjara oleh penjajah, sebelum 1945, rakyat berupaya dengan berbagai daya untuk melepaskan diri dari penjara dimaksud, kemudian orde gejolak PKI, pasca 1945, era kekuasaan Presiden Soekarno (orde lama), selanjutnya peralihan dari kekuasaan Presiden Soekarno kepada Presiden Soeharto terjadi secara paksa yang ditandai dengan supersemart (dari orde lama ke orde baru), pada orde ini Soeharto berkuasa selama 33 tahun, kemudian beralih kekuasaan dari rezim Soeharto kepada Habibie, orde ini beralih secara paksa, terjadi pada tahun 1998 (dari orde baru ke orde reformasi). Setiap peralihan beberapa sistem kekuasaan di atas, semuanya berlangsung secara terpaksa yang ditandai dengan kekerasan. Kondisi tersebut membuat semua elemen bangsa kehabisan energi sehingga tak berdaya untuk bangkit. Memang perjuangan rakyat selama ini hampir tidak lebih dari sekedar bertahan hidup laksana pelaut yang terombang ambing di tengah samudera yang seakan tak bertepi. Pasaca kekuasaan Soeharto, berbarengan dengan runtuhnya rezim Orde Baru, Bangsa Indosia mengalami berbagai peristiwa yang sangat membahayakan eksistensi kehidupan berbangsa dan bernegara. Diberbagai pelosok nusantara misalnya, muncul polarisasi social politik atas dasar suku, agama, ras, maupun golongan. Tak jarang polarisasi baru tersebut menimbulkan kerapuhan struktur social dalam masyarakat yang bermuara pada pada konflik SARA, yang berdampak pada ribuan nyawa menjadi korban secara sia-sia. (Muhammad Nur, 2009). Upaya Pengentasan Kemiskinan Pembangunan diberbagai bidang telah dilakukan, namun belum dapat mengangkat derajat masyarakat lemah di Bumi Pertiwi untuk memenuhi standar hidup minimum. Mengapa demikian? Jawabannya, mungkin ada yang salah dalam proses pembangunan itu sendiri. Sehubungan dengan itu, maka sebelum pembangunan itu dilaksanakan, terlebih dahulu memotret kondisi objektif sosiologis penghuni pertiwi ini. Mengingat nusantara ini memiliki keadaan geografis yang berbeda antara satu daerah dengan daerah lain. Pertiwi ini juga dihuni oleh ratusan suku – bangsa, yang memiliki budaya yang berbeda pula. Masing-masing daerah mempunyai cara menghadapi birokrasi hidup yang berbeda. Karena itu kebutuhan masyarakat di daerah-daerah tersebut pun berbeda pula. Kondisi demikian, maka pembangunan dilaksanakan atas kepercayaan nasional dan di bawah kearifan local yang harus menjadi pertimbangan utama, sehingga terjadi penciptaan iklim keseimbangan kebutuhan masyarakat yang sesuai dengan potensi lokal. Penciptaan iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang (enabling). Penguatan potensi dan daya yang dimiliki oleh masyarakat (empowerng). Pemberdayaan yang juga berarti melindungi (protectint). Pada tingkat mikro di daerah, perbedaan angka dan jumlah orang miskin telah melahirkan berbagai penafsiran yang berbeda, bukan hanya berkaitan dengan pencapaian target, tetapi juga persepsi yang berbeda antara pelaksana proyek (penguasa), penerima manfaat (masyarakat). Secara sosiologis, derajat kemiskinan di kota dengan kemiskinan yang ada di pelosok desa itu berbeda. Kemiskian itu sangat nampak jika berada di tengah-tengah orang kaya, tetapi kalau berada di di lingkungan orang miskin maka kesenjangan itu kecil, walaupun sesungguhnya masyarakat yang hidup di daerah-daerah terpencil itu selalu terpenjara oleh ketidakberdayaan mengakses berbagai kebutuhan hidup. Pengalaman pelaksanaa model-model pengantasan kemiskinan yang pernah dipraktikkan oleh Pemerintah Orde Baru, seperti IDT, PPK, PDMDKE, P2KP, kemudian pemerintahan selanjutnya seiring dengan perubahan pemerintahan nasional di erah reformasi sampai sekarang dengan berbagai program
yang langsung diperuntukan rakyat guna pengentasan kemiskinan, seperti BLT (Bantuan Langsung Tunai) dan model bantuan lainnya, ternyata belum juga dapat mengangkat derajat masyarakat dari zona kemiskinan. Dalam teori pembangunan dengan pendekatan normatif, bahwa suatu proses pembangunan itu dianggap berhasil jika telah terpenuhi kebutuhan pokok manusia, antara lain : Kebutuhan pokok manusia mengandung dua elemen, pertama, mencakup kebutuhan minum tertentu keluarga untuk konsumsi pribadi; makanan yang cukup, rumah dan pakaian termasuk perlengkapan dan perkakas rumah tangga. Kedua, mereka mencakup pelayanan esensial yang disediakan oleh dan bagi komunitas pada umumnya, seperti air bersih untuk diminum, sanitasi, angkutan umum, fasilatas kesehatan, dan fasilitas pendidikan.(Hettne, 2001). Realitas masyarakat di Indonesia, yang memperoleh hasil pembangunan sebagai upaya pemenuhan kebutuhan pokok manusia seperti yang tersebut di atas masih jauh dari yang diharapkan. Apalagi jika kebutuhan tidak hanya terukur dari sekedar makan minum, akan tetapi harus juga memperhitungkan apakah yang akan dimakan, bagaimanakah ia akan makan dan minum, dengan siapa dan cara apa yang ia akan makan. Keadaan demikian karena pembangunan yang dilaksanakan selama ini masih lebih banyak berorientasi sekedar menggugurkan kewajiban. Anggaran pembangunan lebih banyak diperuntukkan lembaga-lembaga pemerintah dan kepentingan pegawai. Dana pembangunan yang telah dikucurkan untuk kebutuhan masyarakat itu merambah laksana Teori Ubi Maraya, Tanam di sini berbuah di sanan, artinya anggaran pembangunan yang demikian banyak didengar publik untuk kebutuhan rakyat, ternyata dana tersebut lebih banyak bermuara ke ATM para pelaksana pembangunan. Aksi ketidakjujuran oleh para aktor pembangunan masih menjadi kursi panas. Metodologi berfikir masyrakat masih tersandera pada birokrasi hidup secara konsumtif. Catatan Terakhir. Kemajuan dan kesejahteraan masyarakat merupakan kata kunci bagi keberhasilan proses pembangunan. Tujuan kemajuan menuju ke arah masyarakat yang berperadaban, yaitu suatu tatanan Masyarakat yang selalu mempraktikkan nilai-nilai keadilan, penegakkan hukum, dan jaminan kesejahteraan. masyarakat dengan mudah mengakses kebutuhan ekonomi, kesehatan, dan kebutuhan pendidikan, serta kebutuhan lainnya secara paripurna. Faktor-faktor yang menjadi aktor kemiskinan antara lain, pertama, faktor struktur sosal, yang memaksa rakyat tidak berpeluang menggunakan sumber-sumber pendapatan yang tersedia. Kedua, faktor kultur, tuntutan tradisi atau adat-istiadat yang menjadi birokrasi hidup, prilaku masyarakat yang mengakses ekonomi secara konsumtif, sekaligus menyalip kehendak kemajuan dalam perspektif berproduktif. Ketiga, faktor perbedaan dalam memahami definisi kemiskinan. Perbedaan angka makro tentang metode mengklasifikasikan orang miskin dapat mempengaruhi distribusi dan alokasi dana proyek ke daerah. Pada tingkat mikro di daerah, perbedaan angka dan jumlah orang miskin dapat melahirkan berbagai penafsiran yang berbeda, yang berimplikasi langsung pada ketidakadilan distribusi kue pembangunan. Problematika pengentasan kemiskinan di Indonesia, disalib oleh berbagai kendala yang seakan berlangsung secara massif, mengikuti irama perjalanan pembangunan. Kendala-kendala tersebut diantaranya : (1). Kendala Struktural, (2). Kendala kultur, (3). Kendala perbedaan defenisi kemiskinan, (4). Kendala korupsi, (5). Kendala kerapuhan struktur sosial dalam masyarakat. Praktik ketidakjujuran dan ketidakberpihakan kepada masyarakat oleh para penyelenggara pembangunan, membuat masyarakat masih tersandera dalam zona kemiskinan. Negeri ini seakan telah ditipkan sementara berada di ruang ISU. selanjutnya nusantara ini hampir sempurna jadi remuk.
Daftar Bacaan : Abubakar Muhammad Nur, 2009, Merajut Damai di Maluku Utara, “Telaah Konstruktif Konflik Malifut 19992000”, UMMU Press.
Arif Budiman, 2000, Teori Pembangunan Dunia Ketiga, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Bagong Suyanto, 2001, Kemiskinan dan Kebijakan Pembangunan, “Kumpulan Hasil Penelitian”, Aditya Media, Yogyakarta. Bjorn Hettne, 2001, Teori Pembangunan dan Tiga Dunia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Judistira K. Garna, 2006, Teori Sosial Pembangunan, Primoco, Akademika, Bandung. Lambang Trjono, 2007, Pembangunan Sebagai Perdamaian, Yayasan Ober Indonesia, Jakarta. Mulyarto Tjokrowinoto, 2001, Teori Pembangunan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Pheni Chalid, 2006, Teori dan Isu Pembangunan, UT, Jakarta. Sritua Arief, 1998, Teori dan Kebijaksanaan Pembangunan, Cides, Jakarta, h.xvi Sofyanto, 2001, Masyarakat Tamadun, LP2IF kerjasama Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Bacaan tambahan : Berita Resmi Statistik BPS. No. 45/07/th.XIV.1 Juli 2011 Berita Resmi Statistik BPS Maluku Utara, No. 27/07/82/Tahun X, Tggl 1 Juli 2011. Media Indonesia, Jumat 8 Oktober 2010, sumber Kemenkeu, dari Sadu Wasistiono, dikutip oleh M. Masud Said, dalam Makalah Reformasi Birokrasi, Akuntabilitas Pemerintahan dan pelayanan Publik, 2012. Makalah M. Mas’ud Said, Guru Besar Ilmu Pemerintahan UMM, Dewan Pakar Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia, pada Kuliah Tamu yang diselenggarakan oleh Program Pscasarjana Universitas Muhammadiyah Maluku Utara, pada Tanggal 18 Desember 2012.
Problematik Implementasi Kebijakan Pertanahan Dalam Pembangunan Infrastruktur Publik Oleh: Moch Husnullah Pangeran Staf Pengajar Fakultas Teknik, Universitas Muhammadiyah Maluku Utara, Email:
[email protected]
Abstrak Pembangunan infrastruktur memiliki keterkaitan yang kuat dengan pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan. Sebagaimana kecenderungan di banyak negara, kendala pendanaan infrastruktur publik di Indonesia dapat diatasi dengan melibatkan investasi sektor swasta melalui skema-skema Kerjasama Pemerintah dan Swasta (KPS) untuk membiayai, membangun, mengoperasikan fasilitas dan menyediakan layanan infrastruktur. Tetapi setelah lebih dari tiga dekade sejak pertama kali diterapkan pada tahun 1970-an di sektor minyak dan gas, indikatorindikator kinerja infrastruktur Indonesia belum mengalami peningkatan yang berarti. Salah satu permasalahan adalah tingginya tingkat ketidakpastian investasi di sektor infrastruktur, yang mana salah satunya berkenaan dengan pengadaan tanah. Pada dasarnya terdapat banyak pengaturan terkait pertanahan. Khususnya untuk sektor infrastruktur, sejumlah kebijakan terkait telah mengalami peninjauan dan perbaikan, salah satunya dengan disahkkannya UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum (termasuk di dalamnya untuk pembangunan infrastruktur). Namun kebijakan tersebut dalam realitasnya tidak cukup memperoleh penerimaan dari sejumlah kalangan masyarakat yang mempromosikan pembaruan agraria (land reform). Sebagai akibatnya, pengadaan tanah masih menjadi isu pelik dalam pembangunan infrastruktur di banyak tempat di Indonesia, terutama resistensi masyarakat untuk proyek-proyek infrastruktur skala besar yang melibatkan skema KPS. Resistensi umumnya disebabkan ketidaksesuaian persepsi di masyarakat mengenai konteks kepentingan umum dari infrastruktur dan spekulasi, serta kurangnya konsistensi dan komitmen pemerintah dalam menerapkan kebijakan.
Pendahuluan Kesejahteraan atau kekuatan ekonomi suatu bangsa dapat tercermin dari kuantitas dan kualitas infrastrukturnya (Hudson et.al, 1997). Hal ini merujuk pada fungsi infrastruktur untuk mendistribusikan berbagai sumber daya dan jasa bagi kebutuhan manusia, serta menyediakan berbagai pelayanan bagi manusia dan masyarakat. Dalam hal ini kualitas dan efisiensi infrastruktur mampu mempengaruhi kualitas kehidupan, kemapanan sistem sosial dan kontinuitas kegiatan ekonomi. Pembangunan dan pengelolaan infrastruktur publik idealnya tetap berada di dalam domain Pemerintah. Namun sejalan dengan berkembangnya cara-cara baru untuk mengorganisir dan mengelola organisasi, pemerintahan, dan perekonomian, maka penekanan-penekanan baru dalam persaingan sektor swasta telah meruntuhkan monopoli pemerintah. Hal ini dapat dilihat dari semakin berkembangnya model-model partisipasi pihak swasta melalui skema-skema Kerjasama Pemerintah dan Swasta (KPS) untuk tujuan pembangunan dan pengelolaan infrastruktur. Skema-skema KPS memungkinkan keterlibatan secara aktif dari pihak-pihak selain pemerintah untuk melakukan pembiayaan (financing), pembangunan (constructing), pengoperasian (operating) fasilitas dan penyediaan (providing) layanan infrastruktur publik (Pangeran, 2011). Partisipasi sektor swasta dalam pembangunan infrastruktur di Indonesia diterapkan pertama kali di Indonesia sejak tahun 1970-an di sub sektor infrastruktur minyak dan gas (UNESCAP, 2007), dan pernah mengalami booming di tahun 1990-an untuk sub sektor infrastruktur lainnya (transportasi, air minum dan sanitasi, kelistrikan) hingga sebelum krisis ekonomi tahun 1998. Namun secara keseluruhan belum terlihat peningkatan
1
investasi infrastruktur publik yang signifikan dalam satu dekade terakhir. Sejumlah studi (lihat Strong, et, al, 2004; Harris, et, al, 2003; Zhang, 2005) mengindikasikan bahwa belum pulihnya investasi infrastruktur publik skema KPS di banyak negara berkembang termasuk Indonesia pasca krisis tahun 1998, adalah karena semakin tingginya tingkat ketidakpastian investasi di sektor infrastruktur1. Salah satu ketidakpastian yang dipandang sebagai risiko utama investasi adalah ketidakpastian pengadaan tanah (land acquisition) untuk lokasi atau tempat di mana infrastruktur akan di bangun. Makalah ini membahas permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan implementasi kebijakan pertanahan untuk pembangunan infrastruktur publik di Indonesia. Untuk meletakan urgensi pembangunan infrastruktur yang menjadi obyek utama makalah ini, maka pembahasan diawali dengan konsepsi-konsepsi kunci mengenai keterkaitan antara infrastruktur, pembangunan ekonomi dan kesejahteraan. Selanjutnya adalah pembahasan mengenai kecenderungan global dalam skema-skema KPS untuk pembangunan dan pengelolaan infrastruktur publik, guna menyediakan pemahaman bahwa skema KPS bukanlah sebuah kasus khusus di Indonesia, melainkan salah satu pilihan dari sekian banyak alternatif skema pembiayaan infrastruktur publik yang telah diterapkan di banyak negara. Tidak semata proyek (jangka pendek), pembangunan infrastruktur adalah suatu investasi (jangka panjang). Oleh karena itu makalah juga membahas permasalahan ketidakpastian pengadaan lahan yang menjadi salah satu risiko utama dalam investasi infrastruktur di Indonesia, serta tinjauan terhadap kebijakan-kebijakan yang telah dibuat pemerintah untuk menghilangkan atau mengurangi ketidakpastian tersebut. Contoh kasus di beberapa tempat diberikan untuk menyediakan ilustrasi permasalahan pertanahaan dalam pembangunan proyek infrastruktur. Pembahasan terakhir adalah permasalahanpermasalahan yang diidentifikasi sering ditemui di lapangan berkenaan dengan pengadaan tanah untuk pembangunan infrastruktur, serta beberapa tantangan yang diproyeksikan tetap menyertai implementasi kebijakan pemerintah yang terkait pertanahan.
Infrastruktur, Pembangunan Ekonomi, dan Kesejahteraan Infrastruktur dapat didefinisikan dalam berbagai cara. Grigg (1988) mendefinisikan infrastruktur sebagai fasilitas fisik untuk kepentingan umum (publik) atau sering disebut sebagai public works (Grigg, 1988). American Public Works Association mendefinisikan infrastruktur sebagai struktur dan fasilitas fisik yang dikembangkan oleh badan pemerintah untuk menjalankan fungsinya dalam menyediakan layanan-layanan untuk memfasilitasi pencapaian tujuan sosial dan ekonomi. Associated General Contractors of America mendefinisikan infrastruktur sebagai suatu sistem fasilitas umum, baik yang didanai oleh pemerintah maupun swasta yang menyediakan pelayanan yang penting dan mendukung pencapaian standar kehidupan. Infrastruktur dapat dikarakterisasi ke dalam infrastruktur ekonomi (economic infrastructure) dan infrastruktur sosial (social infrastructure), yang meliputi fasilitas trasportasi (jalan dan jembatan, pelabuhan laut dan penyeberangan, dan bandar udara), bangunan-bangunan 1
Terdapat banyak definisi mengenai risiko dalam konteks investasi proyek infrastruktur, mulai dari definisi yang hanya melihat risiko sebagai ancaman (threat), bahaya (hazard), kehilangan (loss); definisi yang relatif netral yang melihat risiko sebagai kesempatan (chance) terjadinya sesuatu yang bisa mempengaruhi tujuan proyek, atau secara teknis, risiko merupakan produk dari probabilitas terjadinya (probability of occurence) dan konsekuensi terjadinya (consequence of occurence); hingga definisi yang melihat risiko tidak hanya dari sisi bawah risiko (downside risk) sebagai ancaman, tapi juga risiko positif sebagai peluang (opportunity) yang merupakan sisi atas risiko (upside risk). Risiko akan selalu terhubung dengan ketidakpastian (uncertainty) sebagai implikasi dari kata kemungkinan (possibility). Jika suatu peristiwa adalah pasti terjadinya, maka isu tersebut harus dikeluarkan dari konteks risiko. Ketidakpastian merujuk pada kemungkinan munculnya peristiwa yang tidak dapat ditentukan (indeterminate), dan dalam kondisi ketidakpastian yang rendah, perkiraan-perkiraan masih dapat dibuat, namun pada kondisi ketidakpastian yang tinggi membuat peristiwa di masa depan tidak dapat diidentifikasi (Pangeran, 2011).
2
institusional dan komersial (kantor, sekolah, rumah sakit, pusat perbelanjaan, dll), bangunan irigasi, drainase dan pengendali banjir, fasilitas air bersih dan air kotor, pembangkit tenaga dan distribusinya, fasilitas telekomunikasi, fasilitas olah raga dan rekreasi, serta infrastruktur kawasan permukiman. Sementara belum ada kejelasan batas mengenai sejauh mana pertumbuhan dapat memacu infrastruktur, atau sebaliknya infrastruktur memacu pertumbuhan, namun ada keyakinan mengenai keterkaitan yang kuat antara PDB (product domestic bruto) dengan tersedianya infrastruktur publik yang memadai (Dollar dan Kraay, 2001). Infrastruktur tidak dapat dipisahkan dari industri konstruksi. Dalam hal ini industri konstruksi memberikan sumbangan kepada pertumbuhan ekonomi melalui pekerjaan pembangunan fisik, baik di sektor pemerintah maupun di sektor swasta. Sebagai ilustrasi, pemerintah menghendaki untuk “Mengangkat Indonesia menjadi negara maju dan merupakan kekuatan 12 besar dunia di tahun 2025 dan 8 besar dunia pada tahun 2045 melalui pertumbuhan ekonomi tinggi yang inklusif dan berkelanjutan”. Pencapaian citacita ini perlu mendapat dukungan ketersediaan infrastruktur yang banyak dan berkualitas. Berdasarkan skenario pertumbuhan ekonomi lebih besar 6% maka diperlukan investasi infrastruktur sebesar 5% PDB. Dengan demikian Indonesia diperkirakan membutuhkan 1600 Trilyun rupiah investasi infrastruktur hingga tahun 2025 dan 7000 Trilyun rupiah hingga tahun 2045 (Suraji dan Pribadi, 2012). Infrastruktur juga berperan penting dalam mencapai target-target Millenium Development Goals (MDGs) atau Sasaran Pembangunan Milenium 2015, yang merupakan komitmen dari pemimpin-pemimpin dunia untuk mencapai delapan tujuan: (1) menanggulangi kemiskinan dan kelaparan; (2) mencapai pendidikan dasar untuk semua; (3) mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan; (4) menurunkan angka kematian anak; (5) meningkatkan kesehatan ibu; (6) memerangi penyakit menular; (7) memastikan kelestarian lingkungan hidup; dan (8) mengembangkan kemitraan global untuk pembangunan. Sebagaimana diilustrasikan pada Tabel 1, dalam banyak hal investasi infrastruktur mendukung hampir semua target MDG, termasuk mengurangi hingga separuh kemiskinan (khususnya yang berhubungan dengan penghasilan) di dunia pada tahun 2015 (Willoughby, 2004). Tabel 1. Kontribusi infrastruktur terhadap target-target MDG I
II
III
IV
V
VI
VII
VIII
Kemiskinan & Kelaparan
Pendidikan Dasar
Kesetaraan Gender
Kematian Anak
Kesehatan Ibu
Penyakit Menular
Lingkungan Hidup
Kemitraan
Transportasi (Lokal)
+++
++
++
+
+
+
+
Transportasi (Regional)
+++
+
+
++
+
+
--
+++
Energi moderen
+++
+
+
++
+
+
++
+
Telekomunikasi
++
+
+
+
+
+
+
++
Air (private use)
++
++
+
+++
+
+
+++
+
Sanitasi
+
+
++
+
+
+
++
+
+
+
MDGs=>
Pengelolaan Sumber Daya Air
+++
Sumber: Willoughby (2004
3
++
Sebagaimana tersaji, infrastruktur juga mempengaruhi aspek-aspek kemiskinan nonpenghasilan (non-income poverty). Dalam hal ini infrastruktur berkontribusi terhadap peningkatan kesehatan, gizi, pendidikan dan kohesi sosial. Infrastruktur jalan, misalnya, memberi kontribusi yang signifikan untuk menurunkan biaya transaksi (MDG I), mendorong peningkatan kehadiran anak-anak (perempuan) di sekolah (MDG II/III), meningkatkan akses untuk ke rumah sakit dan obat-obatan (MDG IV/V/VI), dan mendorong konektivitas wilayah (MDG VIII).
Kecenderungan Global dalam Skema Pembangunan Infrastruktur: Kerjasama Pemerintah dan Swasta Indonesia memerlukan investasi infrastruktur yang sangat besar, baik untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, maupun untuk mencapai target-target MDGs. Pemerintah terus mempromosikan skema-skema Kerjasama Pemerintah dan Swasta (KPS) guna menarik sebisa mungkin minat pihak swasta agar mau berinvestasi di sektor infrastruktur di Indonesia. Dari banyak pertimbangan yang melandasinya, setidaknya ada dua alasan investasi infrastruktur dengan skema KPS, yaitu, pertimbangan pendanaan untuk memobilisasi modal investasi pihak swasta, dan pertimbangan untuk meningkatkan efisiensi dan mengoptimalkan pelayanan yang ada (Abdel-Aziz, 2007). Jika alasan pertama untuk mengatasi kesenjangan fiskal Pemerintah untuk membiayai proyek infrastruktur, maka alasan yang kedua mengasumsikan bahwa dengan keahlian, keterampilan dan inovasi yang dimiliki, maka pihak swasta diharapkan bisa lebih efisien banding penyedia publik dalam menyelengarakan layanan yang sama. Gambar 1 mengilustrasikan cara pendang berbagai alternatif pengadaan proyek dengan investasi yang bersumber dari Pemerintah, KPS dan investasi secara penuh oleh swasta. Sebagai suatu continuum, pengadaan infrastruktur dimulai dari pendekatan pengadaan secara tradisional yang dibiayai sepenuhnya oleh Pemerintah mengunakan metode pengadaan yang memisahkan pengadaan untuk kegiatan disain dan pelaksanaan konstruksi atau DBB (design/bid/build), serta metode rancang bangun atau DB (design/build) yang menggabungkan pengadaan kegiatan disain dan konstruksi, hingga penyelenggaraan sepenuhnya oleh pihak swasta melalui divestasi yang merupakan bentuk dari privatisasi penuh (full privatization). Pemerintah
(D/B/B)
(D/B)
Perencanaan & Konstruksi (infrastruktur air baku, pengolahan, reservoir, jaringan transmisi & distribusi sampai ke pengguna akhir)
Kerjasama Pemerintah dan Swasta
Kontrak Pelayanan Jasa (Service Contract) Teknis Operasional & Pemeliharaan (pembacaan meter, pemeliharaan pipa, penagihan rekening, dll)
Kepemilikan aset
Kontrak Sewa (Lease Contract)
Kontrak Pengelolaan (Management Contract)
Manajemen Perusahaan (pengendalian langsung staf, mengatur kebijakan SDM, menetapkan proses bisnis)
Divestiture
Jika permintaan tidak bisa terpenuhi
Manajemen Perusahaan termasuk OM (Mengelola inventori, memelihara aset, memperbaharui fasilitas, tanggungjawab komersial pada pengguna )
Concession Contract
Investasi & Pendanaan (Menggunakan pendanaan sepenuhnya dari swasta, melakukan prediksi terhadap permintaan dan membuat perencanaan baru, membangun aset baru dan/atau meningkatkan fasilitas yang ada) Swasta kemudian Publik
Publik
Lingkup tanggung jawab swasta Sebagian sistem Sumber pendanaan investasi
Swasta BOT Contract
Swasta
Keseluruhan sistem Publik
Swasta
Gambar 1. KPS dalam continuum pendekatan pengadaan infrastruktur (Pangeran, 2011) 4
Skema KPS yang merupakan salah satu mekanisme partisipasi pihak swasta (private sector partcipation) dalam pembangunan infrastruktur telah menjadi kecenderungan global. Tahun 1990-an merupakan fase paling revolusioner dalam paradigma pengadaan infrastruktur yang secara tradisional menjadi domain Pemerintah melalui pendanaan APBN/D (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Daerah) dan melalui sumber-sumber pinjaman (loan). Dengan alasan semakin terbatasnya sumber-sumber pendanaan APBN/D dan pinjaman untuk proyek infrastruktur serta isu efisiensi penyedia publik dalam pelayanan infrastruktur, telah menjadi dasar yang kuat bagi keterlibatan pihak swasta dalam penyelenggaraan layanan infrastruktur. Keterlibatan tersebut tidak lagi bersifat konvensional seperti pada disain dan konstruksi, tapi termasuk pendanaan dan pengoperasiannya yang bersinggungan langsung dengan pengguna akhir (end user). Data yang dipublikasikan oleh PPI (private participation in infrastructure) database, menunjukkan bahwa hingga tahun 2008, investasi infrastruktur melalui berbagai mekanisme KPS yang tersedia telah dipraktekkan di 105 negara (sektor energi), 131 negara (sektor telekomunikasi), 81 negara (sektor transportasi), dan 60 negara untuk sektor air minum dan sanitasi. Adapun jumlah proyek yang berhasil sampai ke tahap financial closure untuk keseluruhan sektor mencapai lebih dari 4200 proyek pada tahun 2008, atau telah meningkat hampir 50 kali lipat jika dibandingkan dengan tahun-tahun awal KPS mulai dipromosikan di 1990-an.
Risiko Ketidakpastian Pengadaan Tanah dalam Pembangunan Infrastruktur: Tinjauan Kebijakan Pertanahan untuk Pembangunan bagi Kepentingan Umum Pada umumnya implementasi skema KPS, terutama untuk proyek-proyek infrastruktur skala besar bersandar pada pendekatan project finance, yang merupakan teknik pendanaan terstruktur yang digunakan terhadap suatu aset proyek yang memiliki aliran arus kas yang relatif terprediksi (predictable). Teknik pendanaan ini dapat digunakan untuk mengisolasi proyek dan memitigasi risiko-risiko sehingga pada gilirannya mengamankan pemberi pinjaman (lender). Pemberi pinjaman mengandalkan kemampuan proyek menghasilkan penghasilan dibandingkan dengan kekuatan neraca sponsor-sponsor proyek (project sponsor) tersebut. Secara ringkas, project finance dapat dipandang sebagai suatu kumpulan perjanjian antara pemberi pinjaman, sponsor proyek dan partisipan-partisipan proyek lainnya, yang membentuk suatu badan usaha proyek (project company). Badan usaha tersebut akan memiliki struktur modal yang terdiri dari pinjaman dan ekuitas pada saat awal pendirian dan akan beroperasi khusus untuk membangun dan mengoperasikan proyek tertentu saja. Teknik ini menghubungkan aktivitas komersial proyek dengan kewajiban finansial terhadap pemberi pinjaman. Rasio pinjaman dengan ekuitas dapat mencapai 70:30 atau bahkan lebih. Mobilisasi dana pihak ketiga, terutama perbankan untuk masuk dalam sektor infrastruktur dapat didorong dengan teknik ini. Akan tetapi project finance sangat bergantung pada sejauh mana risiko proyek berada pada tingkat yang dapat ditoleransi oleh pemberi pinjaman. Besarnya risiko investasi infrastruktur menyebabkan pemegang dana membatasi eksposur dan/atau meminta imbal hasil (rate of return) yang sangat tinggi. Berdasarkan pengalaman beberapa tahun terakhir (lihat misalnya: Wibowo, 2005; Rostiyanti, 2011), salah satu risiko terbesar (major risk) yang menghadang pembangunan infrastruktur di Indonesia adalah risiko pengadaan tanah. Hal ini disebabkan biaya pengadaan tanah memiliki persentase besar dari keseluruhan biaya (rata-rata biaya pengadaan tanah adalah 15% dari total biaya bahkan dapat mencapai 50% di beberapa tempat) dan lamanya proses pengadaan tanah.
5
Secara ringkas, hukum utama yang menjadi dasar pengadaan tanah di Indonesia adalah UU tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) 1960 dan UU No. 20/1961 tentang Pencabutan Hak-Hak atas Tanah dan Benda-Benda yang ada Di Atasnya. Kedua UU tersebut mengacu pada UUD 1945 Pasal 33 Ayat 3 yang menyatakan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Ayat ini mengandung arti bahwa Negara berhak menguasai bumi (dalam hal ini tanah atau lahan) yang dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat luas. Hal ini dijelaskan dalam Pasal 2 UUPA bahwa tanah pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara. Hak yang dimiliki negara ini memberikan negara kewenangan untuk mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, termasuk hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi. Selanjutnya pada Pasal 4 Ayat 1 ditetapkan bahwa hak menguasai dari Negara dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang lain serta badan-badan hukum. Pasal 9 menambahkan bahwa tiap-tiap warga negara Indonesia mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh sesuatu hak atas tanah. Pada Pasal 16 ditetapkan bahwa bentuk hak atas tanah dapat berupa hak milik, hak guna-usaha, hak guna-bangunan, hak pakai, hak sewa, hak membuka tanah, hak memungut-hasil hutan, dan hak-hak lain yang sifatnya sementara. Namun, untuk kepentingan umum termasuk kepentingan bangsa dan Negara serta kepentingan bersama dari rakyat, Pasal 18 UUPA dinyatakan bahwa hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan Undang-undang. Dari pasal ini kemudian dikeluarkan UU No. 20/1961 tentang Pencabutan Hak-Hak atas Tanah dan Benda-Benda yang ada Di Atasnya. Penjelasan pada UU No.20/1961 menyatakan bahwa sebelum pencabutan hak atas tanah terlebih dahulu harus diusahakan agar tanah itu dapat diperoleh dengan persetujuan pemiliknya melalui proses jual-beli, tukar-menukar dan lain sebagainya. Pada kondisi di mana cara ini tidak tercapai, atas dasar kepentingan umum harus didahulukan daripada kepentingan perorangan, maka harus ada wewenang pada Pemerintah untuk bisa mengambil dan menguasai tanah yang bersangkutan dengan pencabutan hak. Pencabutan hak adalah jalan terakhir untuk memperoleh tanah dan/atau benda lainya yang diperlukan untuk kepentingan umum. Pada proses pencabutan hak kepentingan dari pemiliknya, tidak boleh diabaikan. Pemilik tanah diberi jaminan berupa pemberian ganti kerugian yang layak dan yang caranya diatur dalam Undang-undang. Penjelasan lain adalah bahwa Undangundang Pokok Agraria tidak lagi didasarkan atas hak mutlak perseorangan atas pengertian bahwa hak atas tanah mempunyai fungsi sosial untuk kepentingan bersama yang harus didahulukan. Presiden sebagai lembaga eksekutif tertinggi (setelah mendengar pertimbangan instansi-instansi daerah, Menteri Agraria (sekarang Kepala Badan Pertanahan), Menteri Kehakiman dan Menteri yang bersangkutan) dapat menetapkan bahwa ada kepentingan umum yang mengharuskan dilakukannya pencabutan hak melalui keputusannya. Ikut sertanya menteri kehakiman dalam konteks ini adalah untuk memastikan bahwa hak asasi manusia dalam kepemilikan tanah dapat dijaga sehingga prosedur pencabutan tetap pada koridor hukum. Secara prosedur, UU mengatur dua kondisi untuk pencabutan hak atas tanah yaitu pada kondisi normal dan mendesak. Namun keduanya tetap menetapkan bahwa keputusan akhir ada di tangan Presiden sebagai lembaga eksekutif tertinggi. Dalam pelaksanaannya, tata cara pengadaan tanah untuk pembangunan infrastruktur di Indonesia saat ini diatur secara rinci pada Perpres No. 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Perpres ini merupakan
6
pengganti dari Keppres No. 55 Tahun 1993 tentang hal yang sama. Pada tahun 2006 Perpres ini diperbaharui menjadi Perpres No. 65 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Perpres No.36/2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Saat ini pemerintah (bersama-sama dengan DPR) telah mengeluarkan UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pangadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Dengan UU ini diharapkan dapat mempercepat proses peruntukan, penguasaan, pengalihan dan perolehan lahan bagi penyelenggaraan infrastruktur. Namun demikian, banyak pihak yang masih dalam posisi menunggu penyelesaian peraturan pelaksanaan dari UU tersebut. Secara keseluruhan, banyak pihak berharap bahwa ketersediaan kerangka regulasi dan manajemen pelaksanaan yang memadai akan bisa mengatasi besarnya risiko pengadaan tanah dalam pembangunan infrastruktur.
Problematik Implementasi Kebijakan Pertanahan dalam Konteks Pembangunan Infrastruktur Publik Jika dilihat dari sisi masyarakat, pengadaan tanah untuk proyek infrastruktur seringkali mengundang resistensi dari masyarakat Resistensi yang muncul disebabkan oleh beberapa hal, antara lain (Rostiyanti, 2011): (1) Masyarakat pada umumnya belum melihat pembangunan infrastruktur sebagai upaya pemerintah untuk mewujudkan pelayanan bagi kepentingan umum. Proyek infrastruktur, terutama yang menggunakan skema-skema KPS dianggap sebagai proyek swasta yang berorientasi pada keuntungan saja. Bahkan, persepsi ini juga terjadi di kalangan wakil rakyat; (2) Pemilik lahan cenderung menjadikan proyek infrastruktur sebagai sarana untuk menjual lahan dengan harga tinggi sebagai posisi tawar dari kebutuhan akan lahannya. Dengan posisi tawar yang tinggi, maka menyebabkan munculnya spekulan tanah; (3) Masyarakat umumnya menganggap bahwa perundangan yang ditetapkan oleh pemerintah untuk pengadaan lahan sebagai bentuk kekuasaan pemerintah yang bertujuan mengambil hak masyarakat atas lahannya. Pasal-pasal yang mengatur pencabutan hak atas tanah dianggap merupakan bentuk keberpihakan pemerintah kepada sektor swasta dengan mengorbankan hak rakyat. Masyarakat cenderung beranggapan bahwa pembangunan hanya untuk kepentingan beberapa pihak yang memiliki kekuasaan dan modal. Sementara jika dilihat dari sudut pandang sektor swasta, ketidakpastian proses pengadaan tanah menjadikan proyek infrastruktur tidak bankable. Meningkatnya biaya pengadaan tanah akibat harga yang tinggi dan proses yang berbelit pada gilirannya menyebabkan meningkatnya biaya investasi, yang pada akhirnya akan mempengaruhi penentuan tarif dan panjangnya periode konsesi. Masalah pengadaan tanah yang paling utama dalam perspektif sektor swasta berasal dari dimasukkannya unsur pembebasan tanah ke dalam variabel investasi. Pada saat badan usaha memasuki pelelangan, dokumen tender yang diterima oleh peserta lelang mencantumkan besaran prakiraan biaya pengadaan tanah yang didasarkan pada studi kelayakan. Pada saat perjanjian konsesi ditandatangani oleh pemenang lelang, biaya pengadaan tanah ini dimasukkan ke dalam dokumen kontrak. Namun saat proses pengadaan tanah dimulai, muncul kendala-kendala di lapangan yang merupakan akibat dari resistensi di sisi masyarakat. Kendala-kendala ini kemudian menyebabkan naiknya biaya pengadaan tanah yang dapat mencapai tiga kali lipat dari prakiraan yang tercantum di dalam dokumen kontrak (sebagai contoh adalah kasus pembangunan jalan tol DepokAntasari). Hal ini menyebabkan pembebasan tanah menjadi risiko yang tidak terukur besarannya (unlimited risk). Risiko ini menjadi risiko yang ditanggung oleh badan usaha dimana badan usaha tidak memiliki kontrol terhadap harga tanah dan waktu pembebasannya (Rostiyanti dan Tamin, 2010). 7
Permasalahan tanah seringkali berujung pada konflik antara individu atau kelompok dalam masyarakat dengan penerima konsesi (concessionaire), dan pemerintah. Sumber konflik berkisar pada pada masalah penguasaan/pemilikan tanah, penggunaan tanah, pembebasan tanah, dan perbedaan kepentingan politis maupun sektoral. Sejatinya, penyelesaian konflik pertanahan dapat ditempuh dengan jalan kompromi/musyawarah, proses hukum melalui badan peradilan, atau melalui kebijaksanaan politis untuk kasus yang bersifat politik. Namun kenyataan di lapangan penyelesaian konflik secara hukum biasanya memerlukan tahapan yang lama. Suatu perkara yang telah diputuskan badan peradilan belum tentu tuntas bagi para pihak yang berperkara. Ketidakpuasan bagi pihak yang kalah menjadikan proses penyelesaian peradilan menjadi berlarut-larut. Bahkan, perkara yang sudah berkeputusan tetap kadang-kadang sulit dilaksanakan atau tidak bisa dilakukan eksekusi karena adanya perlawanan fisik secara massal. Selain berdampak pada kerugian immaterial (waktu, tenaga, pikiran) yang menghilangkan kesempatan berkarya yang diperhitungkan sebagai biaya (opportunity cost), juga kerugian materil (kerugian secara finansial dan ekonomi karena infrastruktur tidak bisa dibangun atau dioperasikan). Pemerintah pada dasarnya sudah cukup berupaya untuk memformulasikan kebijakankebijakan yang komprehensif dalam rangka menciptakan iklim investasi infrastruktur yang kondusif, terutama untuk mendukung promosi besaran-besaran pemerintah atas usulan proyek-proyek infrastruktur bernilai ratusan trilyun rupiah melalui Indonesia Infrastructure Summit tahun 2005 dan Indonesia Infrastructure Exhibition tahun 2006 – kenyataan proyek yang sampai pada tahapan financial close tidak signifikan (Pribadi dan Pangeran, 2007). Salah satunya adalah dengan mengeluarkan Perpres No. 36/2005 tentang Pengadaan Tanah untuk Pembangunan bagi Kepentingan Umum, yang kemudian diubah menjadi Perpres No. 67/2006 tentang Perubahan atas Perpres No. 36/2005 tentang Pengadaan Tanah untuk Pembangunan bagi Kepentingan Umum. Pada tingkat yang paling tinggi, pencabutan hak atas tanah berada di tangan presiden melalui surat keputusan presiden. Hal ini ditegaskan baik di dalam UU No.20/1961 dan Perpres No. 36/2005. Namun sampai saat ini, presiden sebagai lembaga eksekutif tertinggi tidak menjalankan fungsinya dalam kaitannya dengan proses pengadaan lahan. Alih-alih memperoleh penerimaan yang baik, keberadaan peraturan-peraturan tersebut menuai gelombang protes dari sejumlah kalangan yang mempromosikan pembaruan agraria (land reform), mulai dari aktivis gerakan sosial, komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), tokoh-tokoh organisasi kemasyarakatan, aktivis mahasiswa, hingga akademisi perguruan tinggi (Rachman, 2012). Sebagai akibatnya, pengadaan tanah masih menjadi isu pelik dalam pembangunan infrastruktur, terutama resistensi masyarakat untuk proyek-proyek infrastruktur yang melibatkan skema KPS. Resistensi umumnya disebabkan ketidaksesuaian persepsi di masyarakat mengenai konteks kepentingan umum dari infrastruktur dan spekulasi (mengharapkan capital gain), serta inkonsistensi pemerintah dalam menerapkan kebijakan.
Kesimpulan Indonesia memerlukan investasi infratstruktur yang sangat besar, baik untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, maupun untuk mencapai target-target MDGs. Pemerintah terus mempromosikan skema-skema KPS guna menarik sebisa mungkin minat pihak swasta agar mau berinvestasi di sektor infrastruktur di Indonesia. Namun keberhasilan skema KPS sangat bergantung pada sejauh mana risiko proyek berada pada tingkat yang dapat ditoleransi. Salah satu risiko terbesar yang menghadang pembangunan infrastruktur di Indonesia adalah risiko pengadaan tanah.
8
Sejumlah kebijakan terkait telah mengalami peninjauan dan perbaikan, salah satunya dengan disahkkannya UU No 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum (termasuk pembangunan infrastruktur). Namun kebijakan tersebut tidak cukup memperoleh penerimaan dari sejumlah kalangan masyarakat yang mempromsikan pembaruan agraria (land reform). Sebagai akibatnya, pengadaan tanah masih menjadi isu pelik dalam pembangunan infrastruktur, terutama resistensi masyarakat untuk proyek-proyek infrastruktur yang melibatkan skema KPS. Resistensi umumnya disebabkan ketidaksesuaian persepsi di masyarakat mengenai konteks kepentingan umum dari infrastruktur dan spekulasi, serta inkonsistensi pemerintah dalam menerapkan kebijakan. Oleh karena itu apapun kebijakan yang diambil oleh pemerintah akan kembali kepada bagaimana kebijakan tersebut diimplementasikan di lapangan.
Daftar Pustaka Abdel-Aziz, A.M. (2007). Successful Delivery of Public-Private Partnerships for Infrastructure Development, Journal of Construction Engineering and Management, 133 (12), 918-931. Dollar, D and Kraay, A. (2001). Trade, Growth and Poverty, Policy Research Working Paper, 2615, World Bank. Grigg, N.S. (1988). Infrastructure Engineering and Management, John Willey & Sons, United States of America. Harris, C., Hodges, J.A., Schur, M., dan Shukla, P. (2003). Infrastructure Projects: A Review of Canceled Private Projects, World Bank Viewpoint Note No.252, World Bank, Washington, D.C. Hudson R.W., Haas, R., and Uddin, W. (1997). Infrastructure Management, McGrawHill. Pangeran, M.H. (2011). Model Public Sector Comparator dalam Tender Konsesi Infrastruktur Air Minum, Disertasi, Institut Teknologi Bandung. Pribadi, K.S., dan Pangeran, M.H. (2007). Important Risk on Public-Private Partneship Scheme in Water Suply Investment in Indonesia, Proceedings of The 1st International Conference of European Asian Civil Engineering Forum (EACEF), E.67-74. Rachman, N.F. (2012). Land Reform Dari Masa Ke Masa, Tanah Air Beta, Yogyakarta. Rostiyanti, S.F. dan Tamin, R.Z. (2010). Kerangka Institusional Pengadaan Tanah Pada Proyek Jalan Tol Di Indonesia: Beberapa Pembelajaran, Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil VI, G71-G80. Rostiyanti, S.F. (2011). Kajian Kinerja Sistem Penyelenggaraan Jalan Tol Melalui Kerjasama Pemerintah Swasta di Indonesia, Disertasi, Institut Teknologi Bandung. Strong, J.S., Guasch, J.L., Benavides, J. (2004). Managing Infrastructure Investment Risks in Latin America: Lessons, Issues, and Recommendations, The 2004 IDB Infrastructure Conference Series, Washington, Benavides, J., Eds. Suraji, A. dan Pribadi, K.S. (2012). Membangun Struktur Industri Konstruksi Nasional Yang Kokoh, Andal dan Berdayasaing Serta Memberikan Kesempatan Kepada Para Pelaku Usaha Tumbuh dan Berkembang Secara Adil Melalui Restrukturisasi Sistem, Jakarta. The United Nations Economic and Social Commission for Asia and the Pacific (UNESCAP). (2007). Public Private Partnership for Infrastructure Development: Indonesia Country Paper, High Level Expert Group Meeting UNESCAP, Republic of Korea. Wibowo, A. (2005). Private Participation in Transport: Case of Indonesia’s Build, Operate, Transfer (BOT) Toll Roads, Dissertation, Technische Universität Berlin. 9
Willoughby, C. (2004). Infrastructure and the MDGs, DFID. Zhang, X.Q. (2005). Critical Succes Factors for Public-Private Partnerships in Infrastructure Development, Journal of Construction Engineering and Management, 130 (5), 670-679.
10
REPOSITIONING BIROKRASI DAN TANTANGAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI DI ERA OTONOMI DAERAH O l e h:
Muammil Sun’an 1 ABSTRAK Cukup banyak permasalahan dalam birokrasi pemerintah yang menjadi isu publik di Indonesia dewasa ini. Keberadaan sejumlah persoalan dalam birokrasi pemerintah yang dari tahun ke tahun menjadi isu publik merupakan indikasi dari lemahnya kinerja reformasi birokrasi. Hal ini karena pendekatan yang selama ini diterapkan untuk reformasi birokrasi tampaknya belum banyak menyentuh aspek penting dalam birokrasi: budaya birokrasi pemerintah. Namun, tidak mudah memahami fenomena reformasi birokrasi di Indonesia. Para ahli administrasi publik di Indonesia juga berselisih pendapat dalam memahami fenomena yang ada. Strategi reformasi pemerintah pada kenyataannya juga diarahkan untuk melakukan perbaikan terhadap kedua aspek tersebut. Akan tetapi, fakta tentang kinerja reformasi birokrasi hingga waktu sekarang ini belum memuaskan. Pemberian otonomi daerah akan mengubah perilaku pemerintah daerah untuk lebih efisien dan profesional. Untuk itu, pemerintah daerah perlu melakukan perekayasaan ulang terhadap birokrasi yang selama ini dijalankan (bureaucracy reengineering). Hal tersebut karena pada saat ini dan di masa yang akan datang pemerintah (pusat dan daerah) akan menghadapi gelombang perubahan baik yang berasal dari tekanan eksternal maupun dari internal masyarakatnya. Dengan dilakukannya repositioning birokrasi, menjadikan organisasi birokrasi yang strukturnya lebih desentralistis, inovatif, fleksibel dan responsif sehingga usaha-usaha pembangunan yang dijalankan dapat lebih efektif dan efisien.
PROLOG Pembangunan merupakan kata kunci dalam membandingkan suatu negara dengan negara-negara lain. Sejak lama kita tahu ada negara-negara tertentu yang dikatakan lebih maju daripada yang lain (mereka diberi label negara-negara maju), dan ada pula yang dikatakan kurang maju (mereka biasa disebut sebagai negara-negara berkembang) [Erik Lane & Ersson, 1990]. 1
Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Khairun dan Dosen Pasca Sarjana Universitas Muhammadiyah Maluku Utara
1
Pembangunan dengan demikian adalah proses pembaharuan yang kontinu atau terus-menerus dari satu keadaan tertentu kepada satu keadaan lain yang lebih baik (Bintoro, dalam Susetyo, 2006). Di samping itu juga pembangunan dapat diartikan sebagai perubahan sosial yang besar dari satu keadaan dengan keadaan yang lainnya yang dipandang lebih bernilai. Prinsip pokok pembangunan mengacu kepada kondisi rakyat yang hendak atau sedang dibangun. Kenyataan pertama yang harus dipegang adalah bahwa pembangunan yang kita selenggarakan hari ini tidaklah hadir di dalam ruang kosong (atau tidak ada ceteris paribus-nya). Oleh karena, inti dari pembangunan pada dasarnya adalah penggerakan ekonomi rakyat. Ada pepatah mengatakan bahwa negara dalam kondisi paling berbahaya jika rakyatnya miskin (Nugroho, 2003). Dengan demikian pembangunan “terpaksa” harus memiliki prioritas-prioritas. Pemahaman ini mempunyai pengertian bahwa pemerintah menyadari sepenuhnya bahwa pembangunan adalah kegiatan yang harus dimenejemeni, sehingga harus memiliki prioritas agar dapat mencapai hasil yang efektif. Pembangunan harus dipahami sebagai suatu proses yang multidimensional, yang melibatkan segenap pengorganisasian dan peninjauan kembali atas sistem-sistem ekonomi dan sosial secara keseluruhan. Selain peningkatan pendapatan dan output, proses pembangunan itu juga berkenaan dengan serangkaian perubahan yang bersifat mendasar atas struktur-struktur kelembagaan, sosial, dan administrasi, sikap-sikap masyarakat dan bahkan seringkali juga merambah adat-istiadat, kebiasaan, dan system kepercayaan yang hidup dalam masyarakat yang bersangkutan (Todaro, 2000). Dalam dunia nyata, tidak ada negara yang benar-benar otonom dan sepenuhnya mandiri, dan tidak ada negara yang pembangunannya dapat dipahami semata-mata sebagai refleksi dari apa yang terjadi di luar batas-batas nasional mereka (Hettne, 2001). Namun pembangunan harus diprakarsai oleh negara dan tak dapat dicangkokkan dari luar. Kekuatan luar seyogyanya merangsang dan membantu kekuatan nasional. Ia hanya bersifat membantu, tidak mengganti. Bantuan luar negeri hanya dapat mengawali atau merangsang pembangunan dan tidak untuk mempertahankannya (Jhingan, 1996).
Teori-Teori Pembangunan Ekonomi 1. Teori Pembangunan Adam Smith Menurut teori ini, masyarakat akan bergerak dari masyarakat tradisional ke masyarakat modern yang kapitalis. Dalam prosesnya, pertumbuhan ekonomi akan semakin terpacu dengan adanya system pembagian kerja antarpelaku ekonomi. Dalam hal ini Adam Smith memandang pekerja sebagai salah satu input (masukan) bagi proses produksi. Pembagian kerja merupakan titik sentral pembahasan dalam teori Adam Smith, dalam upaya meningkatkan produktivitas tenaga kerja.
2
Dalam pembangunan ekonomi, modal memegang peranan yang penting. Menurut teori ini, akumulasi modal akan menentukan cepat atau lambatnya pertumbuhan ekonomi yang terjadi pada suatu negara. 2. Teori Pembangunan Karl Marx Karl Marx dalam bukunya Das Kapital membagi evolusi perkembangan masyarakat menjadi tiga, yaitu dimulai dari feodalisme, kapitalisme, dan kemudian yang terakhir adalah sosialisme. Masyarakat feodalisme mencerminkan kondisi di mana perekonomian yang ada masih bersifat tradisional. Dalam tahap ini tuan tanah merupakan pelaku ekonomi yang memiliki posisi tawar menawar tertinggi relatif terhadap pelaku ekonomi lain. Perkembangan teknologi yang menyebabkan terjadinya pergeseran di sektor ekonomi, di mana masyarakat yang semula agraris-feodal kemudian mulai beralih menjadi masyarakat industri yang kapitalis. Sepanjang teori pembangunan yang dikemukakannya, Marx selalu mendasarkan argumennya pada asumsi bahwa masyarakat pada dasarnya terbagi menjadi dua golongan, yaitu: masyarakat pemilik tanah dan masyarakat bukan pemilik tanah, masyarakat pemilik modal dan masyarakat bukan pemilik modal. Oleh karena itu dalam pola berpikirnya, Marx selalu mendasarkan teorinya pada kondisi pertentangan antarkelas dalam masyarakat. Menurut Marx, kemampuan para pengusaha untuk melakukan akumulasi modal terletak pada kemampuan mereka dalam memanfaatkan nilai lebih dari produktivitas buruh yang dipekerjakan. Nilai buruh dinyatakan dalam bentuk upah merupakan jumlah tenaga kerja yang diperlukan untuk menghasilkan tenaga buruh tersebut. 3. Teori Pembangunan Arthur Lewis Teori pembangunan Arthur Lewis pada dasarnya membahas proses pembangunan yang terjadi antara daerah kota dan desa, yang mengikutsertakan proses urbanisasi yang terjadi di antara kedua tempat tersebut. Perekonomian Tradisional Dalam teorinya Lewis mengasumsikan bahwa di daerah perdesaan, dengan perekonomian tradisionalnya, mengalami surplus tenaga kerja. Surplus tersebut erat kaitannya dengan basis utama perekonomian yang diasumsikan berada dari perekonomian tradisional adalah bahwa tingkat hidup masyarakat berada pada kondisi subsisten pula.hal ini ditandai dengan nilai produk marginal dari tenaga kerja yang bernilai nol, artinya fungsi produksi pada sector pertanian telah sampai pada tingkat berlakunya hokum law of diminishing return. Perekonomian Industri Perekonomian ini terletak di perkotaan, di mana sector yang berperan penting adalah sector industri. Cirri dari perekonomian ini adalah tingkat produktivitas yang tinggi dari input yang digunakan, termasuk tenaga kerja. Hal ini menyiratkan bahwa nilai produk marginal terutama dari tenaga kerja, bernilai positif. Dengan demikian, perekonomian perkotaan akan merupakan
3
daerah tujuan bagi para pekerja yang berasal dari perdesaan, karena nilai produk marginal dari tenaga kerja yang positif menunjukkan bahwa fungsi produksi belum berada pada tingkat optimal yang mungkin dicapai. 4. Teori Pola Pembangunan Chenery Analisis pattern of development memfokuskan terhadap perubahan struktur dalam tahapan proses perubahan ekonomi, industri dan struktur institusi dari perekonomian negara sedang berkembang, yang mengalami transformasi dari perekonomian tradisional beralih ke sektor industri sebagai mesin utama pertumbuhan ekonominya. Penelitian yang dilakukan Hollis Chenery tentang transformasi struktur produksi menunjukkan bahwa sejalan dengan peningkatan pendapatan perkapita, perekonomian suatu negara akan bergeser dari semula mengandalkan sektor pertanian menuju ke sektor industri. Peningkatan peran sector industri dalam perekonomian sejalan dengan peningkatan pendapatan per kapita yang terjadi di suatu negara, berhubungan erat dengan akumulasi capital dan peningkatan sumberdaya manusia (human capital). 5. Teori Dependensia Teori dependensi berusaha menjelaskan penyebab keterbelakangan ekonomi yang dialami oleh negara-negara berkembang. Asumsi dasar teori ini adalah pembagian perekonomian dunia menjadi dua golongan, yang pertama adalah perekonomian negara-negara sedang berkembang. Andre Gunder Frank (1996) mengelompokkan negara maju ke dalam negara-negara metropolis maju (developed metropolitan countries) dan negara sedang berkembang dikelompokkan ke dalam negara satelit yang terbelakang. Interaksi yang terjadi antara negara maju dengan negara miskin lebih bersifat eksploitasi negara maju terhadap negara miskin. Dominasi perekonomian dunia oleh negara-negara core dan rekayasa eksploitasi yang dilakukan oleh mereka, pada akhirnya justru menjadikan negara-negara pinggiran ini semakin tergantung kepada negara-negara pusat.
Dilema Pembangunan Pengkajian secara diakronis terhadap perkembangan masyarakat di negara-negara seluruh dunia mengungkapkan pergeseran ayunan pendulum di antara dua kutub paradigma pembangunan, antara market driven development dan state-led development. Era sebelum depresi dunia pada tahun 1930 amat dipengaruhi oleh pemikiran mazhab ekonomi neo-klasik ortodoks seperti David Ricardo, J.B. Say, Thomas Malthus, Vilfredo Pareto, dan terutama Adam Smith. Pemikiran ekonomi neo-klasik tadi merefleksikan alur piker market-driven development. Thesa utama mereka adalah, apabila pasar dibiarkan berfungsi secara otonom dan spontan, pasar akan mengatur masyarakat sedemikian rupa sehingga meningkatkan kesejahteraan manusia secara maksimal. Pasar bebas ini
4
terdiri dari individu-individu yang otonom yang paling mengetahui kebutuhannya dan melalui kontrak-kontrak dengan individu lain dalam mekanisme pasar mereka masing-masing berusaha mencukupi kebutuhannya (Preston, 1996:61). Apabila semua individu berusaha memenuhi kepentingan dan kebutuhan pribadinya, maka masyarakat secara keseluruhan akan memperoleh manfaatnya. Karenanya fungsi negara harus dibatasi, terbatas pada fungsi-fungsi mempertahankan kedaulatan Negara, perlindungan hak-hak warganegara, dan penyediaan public goods (Rapley, 1996:7). Namun depresi ekonomi yang melanda dunia pada tahun 1930-an agaknya mendemistifikasikan pandangan ekonomi neo-klasik ortodoks ini. Pemikiran Keynes ini agaknya didorong oleh kepeduliannya pada meningkatnya pengangguran yang diakibatkan oleh depresi 1930-an. Keynes berpendapat bahwa apabila pasar dibiarkan berfungsi berdasarkan prinsip laissez faire, maka hal ini akan menimbulkan akibat-akibat negatif seperti (i) pengangguran yang berkelanjutan; (ii) penyalahgunaan sumber-sumber yang ada, dan (iii) kecenderungan timbulnya monopoli. Meskipun Keynes masih dapat menerima prinsip pasar bebas, namun dia berpendapat bahwa negara harus melakukan intervensi-intervensi tertentu terutama sekali untuk menjamin tercapainya fullemployment. Singkatnya, Keynes berpendapat bahwa regulasi negara yang memadai dan intervensi negara melalui kebijaksanaan moneter dan fiscal dipandang akan dapat mewujudkan full-employment dan pertumbuhan yang cepat. Reinventing Government Di masa depan, negara menjadi terlalu besar untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan kecil tetapi terlalu kecil untuk dapat menyelesaikan semua masalah yang dihadapi oleh masyarakat. Pendapat yang tidak jauh berbeda juga disampaikan oleh sejumlah ilmuwan di bidang manajemen dan administrasi publik seperti Osborne dan Gaebler (1992) dengan konsepnya “reinventing government”. Perspektif baru pemerintah menurut Osborne dan Gaebler tersebut adalah: 1. Pemerintahan katalis: fokus pada pemberian pengarahan bukan produksi pelayanan publik. Pemerintah wirausaha memfokuskan diri pada pemberian arahan, sedangkan produksi pelayanan publik diserahkan pada pihak swasta dan/atau sektor ketiga (lembaga swadaya masyarakat dan nonprofit lainnya). Pemerintah hanya memproduksi pelayanan publik yang belum dapat dilakukan oleh pihak non-pemerintah. 2. Pemerintah milik masyarakat: memberdayakan masyarakat daripada melayani Pemerintah memberikan wewenang kepada (memberdayakan) masyarakat sehingga mereka mampu menjadi masyarakat yang dapat menolong dirinya sendiri (self-help community). Sebagai misal, untuk dapat lebih mengembangkan
5
usaha kecil, pemerintah memberikan wewenang yang optimal pada asosiasi pengusaha kecil untuk memecahkan masalah yang sedang dihadapi. 3. Pemerintah yang kompetitif: menyuntikkan semangat kompetisi dalam pemberian pelayanan publik Pemerintah wirausaha berusaha menciptakan kompetisi karena ompetisi adalah satu-satunya cara untuk menghemat biaya sekaligus meningkatkan kualitas pelayanan. Dengan kompetisi, banyak pelayanan publik yang dapat ditingkatkan kualitasnya tanpa harus memperbesar biaya. 4. Pemerintah yang digerakkan oleh misi: mengubah organisasi yang digerakkan oleh peraturan menjadi organisasi yang digerakkan oleh misi Apa yang dapat dan tidak dapat dilaksanakan oleh pemerintah diatur dalam mandatnya. Namun tujuan pemerintah bukanlah mandatnya tetapi misinya. 5. Pemerintah yang berorientasi pada hasil: membiayai hasil bukan masukan Pemerintah wirausaha berusaha mengubah bentuk penghargaan dan insentif dengan cara membiayai hasil dan bukan masukan. Pemerintah mengembangkan suatu standar kinerja yang mengukur seberapa baik suatu unit kerja mampu memecahkan permasalahan yang menjadi tanggungjawabnya. Semakin baik kinerjanya, semakin banyak pula dana yang akan dialokasikan untuk mengganti semua dana yang telah dikeluarkan oleh unit kerja tersebut. 6. Pemerintah berorientasi pada pelanggan: memenuhi kebutuhan pelanggan, bukan birokrasi Pemerintah wirausaha akan berusaha mengidentifikasikan pelanggan yang sesungguhnya. Dengan cara seperti ini, tidak berarti bahwa pemerintah tidak bertanggungjawab pada dewan legislatif, tetapi sebaliknya, ia menciptakan sistem pertangungjawaban ganda (dual accountability): kepada legislatif dan masyarakat. 7. Pemerintahan wirausaha: mampu menciptakan pendapatan dan tidak sekedar membelanjakan Pemerintah daerah wirausaha dapat mengembangkan beberapa pusat pendapatan dari proses penyediaan pelayanan publik, misalnya: BPS dan Bappeda, yang dapat menjual informasi tentang daerahnya kepada pusat-pusat penelitian; BUMN/BUMD; pemberian hak guna usaha yang menarik kepada para pengusaha dan masyarakat; penyertaan modal; dan lain-lain. 8. Pemerintah antisipatif: berupaya mencegah daripada mengobati Pemerintah wirausaha tidak reaktif tetapi proaktif. Pemerintah tidak hanya mencoba untuk mencegah masalah, tetapi juga berupaya keras untuk mengantisipasi masa depan melalui perencanaan strategisnya. 9. Pemerintah desentralisasi: dari hierarkhi menuju partisipatif dan tim kerja Pemerintah wirausaha memberikan kesempatan pada masyarakat, asosiasi-asosiasi, pelanggan, dan lembaga swadaya masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembuatan keputusan.
6
10. Pemerintah berorientasi pada (mekanisme) pasar: mengadakan perubahan dengan mekanisme pasar (sistem insentif) dan bukan dengan mekanisme administratif (sistem prosedur dan pemaksaan) Pemerintah wirausaha menggunakan mekanisme pasar sebagai dasar untuk alokasi sumberdaya yang dimilikinya. Pemerintah wirausaha tidak memerintahkan dan mengawasi tetapi mengembangkan dan menggunakan sistem insentif agar orang tidak melakukan kegiatan-kegiatan yang merugikan masyarakat. Reinventing government memang merupakan konsep yang monumental, akan tetapi tanpa diikuti dengan perubahan-perubahan lain seperti dilakukannya bureaucracy reengineering, rightsizing, dan perbaikan mekanisme reward and punishment, maka konsep reinventing government tidak akan dapat mengatasi permasalahan birokrasi selama ini. Penerapan konsep reinventing government membutuhkan arah yang jelas dan political will yang kuat dari pemerintah dan dukungan masyarakat. Selain itu, yang terpenting adalah adanya perubahan pola pikir dan mentalitas baru di tubuh birokrasi pemerintah itu sendiri karena sebaik apapun konsep yang ditawarkan jika semangat dan mentalitas penyelenggara pemerintahan masih menggunakan paradigma lama, konsep tersebut hanya akan menjadi slogan kosong tanpa membawa perubahan apaapa. Tantangan Bagi Pemerintah Daerah Salah satu kunci keberhasilan penyelenggaraan pemerintahan dalam menghadapi era global adalah dengan mengembangkan otonomi daerah dan desentralisasi. Dalam era penguatan otonomi dan desentralisasi, diharapkan mekanisme perumusan kebijakan yang akomodatif terhadap aspirasi masyarakat daerah dapat dibangun, sehingga keberadaan otonomi daerah akan lebih bermakna dan pada akhirnya akan meningkatkan mutu pelayanan kepada masyarakat. Sejalan dengan itu, pemerintah daerah harus dapat mendayagunakan potensi dan sumber dana daerah secara optimal. Dalam konteks ini, usulan David Osborne, dan Ted Gaebler dalam bukunya Reinventing Government (1993) untuk entrepreneural spirit dalam sektor publik perlu kita simak. Menurut semangat wirausaha tidak hanya para pelaku bisnis, tetapi juga dapat diterapkan bagi para birokrat dan lembaga lainnya. Dalam konteks pemerintah daerah, semangat wirausaha dapat diwujudkan dengan mengubah gaya manajemen yang hierarkis-birokratis menjadi gaya manajemen yang lebih partisipatif atau participatory management dan teamwork organization (Kuncoro, 1997). A k h i r n y a , dengan s e m a k i n berkurangnya tingkat ketergantungan pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat, meningkatnya profesionalisme aparatur pemerintah daerah, dan reformasi manajemen k e u a n g a n daerah diharapkan akan memacu mewujudnya otonomi daerah yang nyata, d i n a m i s ,
7
serasi, dan bertanggung jawab serta memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa dalam menyongsong era perekonomian global. Dari pandangan tersebut sangat jelas bahwa peningkatan peran pemerintah bukan diarahkan pada upaya "penguatan" pemerintah secara sentralistis, melainkan dengan cara memberikan peranan yang lebih besar kepada daerah dan masyarakat melalui strategi dan pola terarah dari konsep desentralisasi. Suatu pola elegan (indah/ideal) dengan filosofi "tut wuri handayani" (mengikuti dan menguatkan dari belakang) atau yang dalam istilah Gaebler dan Osborne disebut dengan "steering rather than rowing' (bersifat mengarahkan ketimbang melaksanakan sendiri). Di dalam konteks kecenderungan liberalisasi ekonomi sebagaimana dapat kita cermati pada dasawarsa terakhir ini, entrepreneurial bureaucracy harus mampu melakukan intervensi pasar secara selektif berdasarkan atas pertimbangan-pertimbangan yang bersifat ad-hoc untuk menjamin berfungsinya pasar secara sehat dan menghindari “the blindforce of the market”sebagaimana telah disebutkan diatas. Repositioning Birokrasi Di dalam pemikiran seperti ini, perlu pemikiran tentang penentuan kembali posisi birokrasi agar krisis ekonomi dan moneter yang pernah terjadi dapat dihindari. Negara tidak hanya melakukan liberalisasi pasar, akan tetapi secara proaktif melakukan intervensi untuk membatasi distorsi pasar. Posisi negara yang demikian oleh Johnson (1983) disebutkan sebagai “capitalist developmental state” yang ciri-cirinya antara lain: (i) memberikan prioritas tinggi pada pembangunan ekonomi sebagaimana diukur dari pertumbuhan ekonomi, peningkatan produktivitas dan daya saing; (ii) mengarahkan berfungsinya pasar melalui berbagai instrumen untuk dapat mewujudkan prioritas pembangunan tadi; (iii) di dalam perumusan dan implementasi kebijakan selalu melakukan konsultasi dan koordinasi dengan sektor swasta; (iv) intervensi terhadap pasar dibatasi oleh komitmennya untuk menjamin berfungsi pasar dengan baik serta hak milik pribadi. “capitalist developmental state” yang demikian memerlukan suatu tipe birokrasi tertentu yang disebut entreprenurial bureacracy, suatu birokrasi yang mempunyai ethos entreprenurial tertentu seperti kejelian untuk mendapatkan keuntungan (Kizner, 1973:35); dorongan untuk selalu mencari perubahan dan menjadikannya sebagai peluang (Drucker, 1985:28); adanya kemampuan untuk mendefinisikan risiko dan meminimumkan risiko (Osborn & Gaebler, 1992). Bintoro Tjokroamidjojo (1995) merumuskan karakteristik entreprenurial bureacracy tadi sebagai berikut: • Kebijaksanaan-kebijaksanaan menciptakan lingkungan ekonomi makro yang stabil untuk mengurangi risiko investasi jangka menengah dan panjang antara lain dengan mengupayakan agar laju inflasi tidak terlalu tinggi dan mengupayakan agar pasar menjaga meningkatnya permintaan dan penawaran secara stabil;
8
•
Program deregulasi dan debirokratisasi untuk mengurangi high-cost economy dengan kelancaran proses usaha dan reduksi biaya administrasi teruatama yang menyangkut perdagangan, investasi dan kegiatan usaha ekonomi pada umumnya; • Mengarahkan kebijaksanaan moneter dan fiskal untuk mendukung iklim usaha yang sehat dan bergairah dengan tetap memperhatikan upaya mempertahankan stabilitas ekonomi. Dalam kaitannya dengan penyelenggaraan pemerintahan, birokrasi sebagai ujung tombak pelaksana pelayanan publik mencakup berbagai programprogram pembangunan dan kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah. Tetapi dalam kenyataannya, birokrasi yang dimaksudkan untuk melaksanakan tugastugas umum pemerintahan dan pembangunan tersebut, seringkali diartikulasikan berbeda oleh masyarakat. Birokrasi di dalam menyelenggarakan tugas pemerintahan dan pembangunan (termasuk di dalamnya penyelenggaraan pelayanan publik) diberi kesan adanya proses panjang dan berbelit-belit apabila masyarakat menyelesaikan urusannya berkaitan dengan pelayanan aparatur pemerintahan. Akibatnya, birokrasi selalu mendapatkan citra negatif yang tidak menguntungkan bagi perkembangan birokrasi itu sendiri (khususnya dalam hal pelayanan publik). Oleh karena itu, guna menanggulangi kesan buruk birokrasi seperti itu, birokrasi perlu melakukan beberapa perubahan sikap dan perilakunya antara lain : a) Birokrasi harus lebih mengutamakan sifat pendekatan tugas yang diarahkan pada hal pengayoman dan pelayanan masyarakat; dan menghindarkan kesan pendekatan kekuasaan dan kewenangan. b) Birokrasi perlu melakukan penyempurnaan organisasi yang bercirikan organisasi modern, ramping, efektif dan efesien yang mampu membedakan antara tugas-tugas yang perlu ditangani dan yang tidak perlu ditangani (termasuk membagi tugas-tugas yang dapat diserahkan kepada masyarakat). c) Birokrasi harus mampu dan mau melakukan perubahan sistem dan prosedur kerjanya yang lebih berorientasi pada ciri-ciri organisasi modern yakni: pelayanan cepat, tepat, akurat, terbuka dengan tetap mempertahankan kualitas, efesiensi biaya dan ketepatan waktu. d) Birokrasi harus memposisikan diri sebagai fasilitator pelayan publik dari pada sebagai agen pembaharu (change of agent) pembangunan Birokrasi harus mampu dan mau melakukan transformasi diri dari birokrasi yang kinerjanya kaku (rigid) menjadi organisasi birokrasi yang strukturnya lebih desentralistis, inovatif, fleksibel dan responsif. Membangun Ekonomi Lokal Di dalam kemelut ekonomi yang terjadi akhir-akhir ini sangat relevan untuk mempertanyakan kembali posisi birokrasi di dalam konteks
9
pembangunan ekonomi. Hal ini akan menjadi landasan bagi pemikiran tentang repositioning birokrasi di dalam pembangunan ekonomi era otonomi daerah dan globalisasi. Melalui otonomi daerah, pembangunan daerah yang dilakukan oleh masyarakat lokal dipandang merupakan strategi atau cara yang paling efektif dibandingkan strategi pembangunan yang bersifat sentralistis yang dilakukan pusat. Desentralisasi berarti penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah dilakukan oleh pemerintah daerah dan masyarakat setempat secara otonom melalui pelimpahan atau penyerahan sebagian wewenang pemerintahan. Namun, dimensi otonomi daerah tentu tidak hanya sekadar pelimpahan sebagian wewenang penyelengaraan pemerintahan dari pusat ke daerah. Dimensi ekonomi otonomi daerah sangat luas. Karena tujuan dari otonomi daerah adalah mempercepat peningkatan kesejahteraan masyarakat, baik materi maupun psikis. Oleh sebab itu, seiring dengan upaya membangun ekonomi local lewat desentralisasi, pengembangan institusi masyarakat (institutional empowerment) sangat penting, termasuk pemberdayaan DPRD di masa depan. Desentralisasi dan otonomi daerah yang luas, nyata, dan bertanggung jawab disertai perimbangan keuangan pusat-daerah merupakan suatu proses dengan banyak segi. Otonomi daerah mencakup banyak aspek yang masingmasing saling berkaitan dan melibatkan beberapa variabel, seperti aspek keuangan seperti Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), administrasi aparatur, ekonomi swasta, potensi sumber daya alam, kondisi demografis, dan partisipasi masyarakat (Hadi S, 1999). Melalui perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah merupakan momentum yang sangat baik bagi setiap daerah dalam melaksanakan pembangunan dalam segala aspek, termasuk pembangunan ekonominya. Dana perimbangan (DAU, DAK, Bagi hasil) diharapkan digunakan seefesien dan seefektif mungkin oleh pemerintah daerah dengan melibatkan seluruh unsur masyarakat dalam upaya membangun daerahnya. Dengan kewenangan yang telah diberikan kepada daerah dalam mengelola sendiri rumah tangganya, maka melalui repositioning birokrasi diharapkan dapat menjalankan usaha-usaha pembangunan yang lebih berkualitas melalui berbagai kebijakan publik yang dijalankan. Poros kesejahteraan sosial merupakan badan kebijakan yang tidak bisa ditawar lagi. Setidaknya terdapat tiga sumbu yang harus dikerjakan oleh pemerintah untuk menjelmakan poros kesejahteraan sosial tersebut (Yustika, 2007: 128). Pertama, mengembalikan watak kebijakan publik kepada tempatnya semula, yakni bukan hanya mendapatkan legitimasi rasional, tetapi juga memperoleh pembenaran etis. Pada aras ini, setiap kebijakan pembangunan tidak dibolehkan meninggalkan kepentingan rakyat, walaupun secara ekonomi bakal memberikan kerugian bagi pemerintah (negara). Kedua, cita-cita kesejahteraan sosial jalur teoritis setidaknya bisa dicapai melalui dua ruas: (i) mengagendakan strategi pembangunan ekonomi yang memberi nisbah secara proporsional bagi seluruh
10
rakyat sehingga setiap hasil yang diperoleh benar-benar jatuh kepada sebagian besar masyarakat. Kebijakan yang hanya dibuka untuk memfasilitasi sebagian pelaku ekonomi, misalnya, dengan sendirinya harus minggir demi pencapaian tujuan kesejahteraan sosial; dan (ii) memberi penekanan terhadap penciptaan fasilitas publik yang ditujukan bagi sebagian rakyat harus direncanakan, mengingat setiap proses pembangunan – betapapun baiknya – diandaikan selalu menyisakan sebagian rakyat dalam posisi yang tidak beruntung. Ketiga, dalam konteks pengembangan ekonomi rakyat, secara umum ada dua poros strategi ekonomi kelembagaan yang bisa diupayakan untuk meredam pembengkakan kaum miskin, yakni kebijakan tidak langsung dan langsung. Kebijakan tidak langsung (indirect policies) dengan jalan mengembangkan ekonomi rakyat melalui jalur politik. Pengembangan ini meliputi penanganan masalah ketidaksepadanan antarpelaku ekonomi, baik oleh karena kemampuan nilai tawar yang berbeda maupun kepemilikan asset produktif yang tidak proporsional. Sementara itu, kebijakan langsung (direct policies) yang mengaitkan kelembagaan dengan strategi pengurangan kemiskinan (poverty reduction) melalui pengembangan ekonomi kerakyatan.
EPILOG Pemberian otonomi kepada daerah pada dasarnya merupakan upaya pemberdayaan daerah dalam rangka mengelola pembangunan di daerahnya. Kreativitas, inovasi, dan kemandirian diharapkan akan dimiliki oleh setiap daerah, sehingga dapat mengurangi tingkat ketergantungannya pada pemerintah pusat. Dan yang lebih penting adalah bahwa dengan adanya otonomi daerah, kualitas pelayanan yang dilakukan oleh pemerintah kepada masyarakatnya akan meningkat, baik pelayanan yang sifatnya langsung diberikan kepada masyarakat maupun pelayanan yang tidak langsung diberikan, seperti pembuatan dan pembangunan fasilitas-fasilitas umum dan fasilitas sosial lainnya. Dengan kata lain, penyediaan barang-barang publik (public goods) dan pelayanan public (service goods) dapat lebih terjamin. Pembangunan harus dipahami sebagai suatu proses yang multidimensional, yang melibatkan segenap pengorganisasian dan peninjauan kembali atas sistem-sistem ekonomi dan sosial secara keseluruhan. Selain peningkatan pendapatan dan output, proses pembangunan itu juga berkenaan dengan serangkaian perubahan yang bersifat mendasar atas struktur-struktur kelembagaan, sosial, dan administrasi, sikap-sikap masyarakat dan bahkan seringkali juga merambah adat-istiadat, kebiasaan, dan system kepercayaan yang hidup dalam masyarakat yang bersangkutan. Di dalam kemelut ekonomi yang terjadi akhir-akhir ini sangat relevan untuk mempertanyakan kembali posisi birokrasi di dalam konteks kecenderungan liberalisasi ekonomi. Hal ini akan menjadi landasan bagi
11
pemikiran tentang repositioning birokrasi di dalam era globalisasi dan liberalisasi ekonomi. Dengan memperhatikan situasi dan kondisi yang berlaku, negara merumuskan kombinasi yang optimum antara kebijaksanaan “mengarahkan pasar” (leading the market), yaitu apabila negara mengambil prakarsa untuk menentukan produk apa dan teknologi mana yang harus didorong serta mengupayakan mobilisasi sumber dan dukungan publik untuk mewujudkannya, serta kebijaksanaan “mengikuti pasar” (following the market), yaitu apabila negara mengadopsi apa yang diusulkan sektor swasta tentang pilihan produk yang akan dihasilkan dan pilihan teknologi yang akan digunakan. Kearifan yang demikian tidak menempatkan paradigma marketdriven development dan state-led development di dalam posisi dikhotomis “eitheror”, akan tetapi di dalam posisi komplementer yang titik tekannya dapat bervariasi tergantung pada permasalahan yang dihadapi pada suatu waktu dan tempat tertentu. Untuk itu birokrasi harus (i) sensitive dan responsive terhadap peluang-peluang dan tantangan-tantangan baru yang timbul sebagai akibat dari liberalisasi perdagangan; (ii) tidak hanya terpaku pada kegiatan-kegiatan rutin yang terkait dengan fungsi instrumental birokrasi akan tetapi harus mampu melakukan terobosan-terobosan (breakthrough) melalui pemikiran yang kreatif dan inovatif, (iii) mempunyai wawasan yang futuristic dan sitemik; (iv) mempunyai kemampuan untuk memperhitungkan resiko dan meminimumkan resiko tadi; (v) bersifat jeli terhadap sumber-sumber baru yang bersifat potensial; dan (vi) mempunyai kemampuan untuk mengkombinasikan sumber menjadi resource mix yang mempunyai produktivitas tinggi.
12
DAFTAR PUSTAKA Arsyad, Lincolin. 1999. Pengantar Perencanaan dan Pembangunan Ekonomi Daerah, Edisi Pertama. BPFE, Yogyakarta. Drucker, Peter F. 1985. Innovation and Entrepreneuship: Practices and Principles. London: Heinemann. Erik Lane, Jane & Ersson, Svante. 1990. Comparative Political Economy. Publisher Limited. Diterjemahkan oleh Haris Munandar. Penerbit PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta. Fakih, Mansoer. 2002. Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi. Penerbit INSIST Press bekerjasama dengan Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Hadi S, Sri Sayekti. Otonomi Daerah, Prospek dengan BanyakSegi. Harian Suara Pembaruan, 16 Februari 1999. Hettne, BjÖrn. 2001. Teori Pembangunan dan Tiga Dunia. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Jhingan, M.L. 1996. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan. PT Rajawali Press, Jakarta. Kizner, I.M. 1973. Competition and Entrepreneurship. Chicago: University of Chicago Press. Kuncoro, M., 1997. “Otonomi Daerah dalam Transisi”, pada Seminar Nasional Manajemen Keuangan Daerah dalam Era Global, 12 April, Yogyakarta. Nugroho, D. Riant. 2003. Reinventing Pembangunan, Menata ulang paradigma pembangunan untuk membangun Indonesia Baru dengan keunggulan global. Penerbit PT Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia, Jakarta. Osborne, David and Ted Gaebler. 1992. Reinventing Government: How the Entrepreneurial Spirit is Transforming the Public Sector. Penguins Books, New York. Preston,
P.W. 1996. Development Theory: Massachusetts: Blackwell Publisher.
An
Introduction.
Cambridge,
13
Rapley, John. 1990. Understanding Development: Theory and Practice in the Third World. Boulder & London: Lynne Rienner Publisher. Shah, Anwar. l997. Balance, Accountability and Responsiveness, Lesson about Decentralization, World Bank, Washington D.C. Susetyo, Benny. 2006. Teologi Ekonomi. Penerbit Averroes Press, Malang. Tjokroamidjojo, Bintoro. 1995. “Reformasi Administrasi Pemerintahan/Birokrasi menghadapi Era Perdagangan Bebas Regional dan Global” dalam buku Bintoro Tjokroamidjojo, Pembangunan Indonesia: Tantangan dalam Tataran Nasional dan Global. Todaro, P. Michael. 2000. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. Edisi Ketujuh. Penerbit Erlangga, Jakarta. Yustika, Erani A. 2002. Pembangunan dan Krisis, Memetakan Perekonomian Indonesia. Penerbit PT Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta.
14
Kebijakan Strategis Parlemen Indonesia Menuju Komunitas ASEAN 2015 Oleh Thamrin Husain, S.IP.,M.Si staf pengajar Pascasarjana UMMU
1
ABSTRAK` Sebagai presiden organisasi antar parlemen se-Asia Tenggara, peran Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) untuk mendorong terwujudnya masyarakat ASEAN 2015 sangatlah penting. Salah satu cara mengoptimalkan peran Ketua DPR–RI adalah dengan memahami posisi strategis ASEAN di dunia internasional guna merumuskan dan merekomendasikan solusi yang tepat bagi pengembangan ekonomi, politik, dan budaya di kawasan Asia Tenggara. Karenanya, setelah mengerti kondisi negara-bangsanya, Indonesia mesti menjadi teladan pertama sekaligus pemimpin dari beragam gagasan strategis yang diusulkan seperti penemuan identitas, pengembangan ekonomi, dan penguatan komitmen. Tanpa fakta yang kasat mata, segala cita hanya akan berakhir duka. Akibatnya, negara-negara di Asia Tenggara semakin menderita termasuk Indonesia. Kata Kunci: DPR-RI, AIPA, dan Gagasan Strategis Pendahuluan
Kekerasan yang terjadi pada warga minoritas Rohingya di perbatasan Myanmar-Bangladesh menyisakan lara mendalam bagi kelangsungan peradaban manusia. Tampaknya, penghargaan kepada manusia hanya sebatas slogan yang disuarakan para pemimpin negara tanpa pembuktian nyata. Negara sepertinya kehilangan nyali untuk menyelesaikan sengketa kemanusiaan yang terjadi di wilayahnya, tidak terkecuali negara-negara ASEAN, khususnya Myanmar atas peristiwa Rohingnya. Indonesia dan Malaysia pun seringkali dihadapkan pada situasi masalah yang sama. Selain perebutan pulau di wilayah perbatasan semisal Sipadan-Ligitan, lagu rasa sayang e yang jelas-jelas berdialek Ambon-Maluku nyaris diakui Malaysia sebagai bagian dari budaya dan identitasnya. Kami masyarakat di Provinsi Maluku Utara yang berdekatan dengan Provinsi Maluku paham betul bahwa dialek Ambon bukanlah dialek Siti Nurhaliza pelantun lagu Cindai yang kesohor itu. Namun, Indonesia rupanya baru merasa kehilangan setelah terlanjur diklaim Malaysia. Kedua realitas sosial tersebut paling tidak mengisyaratkan tantangan yang harus dihadapi negara-negara ASEAN dalam pergaulan mereka. Posisi Strategis ASEAN
Posisi strategis ASEAN seperti Singapura, Malaysia, Indonesia, Thailand, Filipina, Brunai Darussalam, Vietnam, Laos, Myanmar, dan Kamboja bagi negara-negara di wilayah ASIA oleh Huntington serupa dengan posisi Uni Eropa bagi negara-negara di Eropa. Huntington menulis” Pada akhir abad XX, Eropa terikat oleh sebuah ikatan institusi-institusi international yang begitu kompleks antara lain: Uni Eropa, NATO, Uni Eropa Barat, Dewan Eropa, dan lain-lain. Asia Timur tidak memiliki organisasi-organisasi yang sepadan dengan apa yang terdapat di Eropa kecuali ASEAN yang tidak melibatkan kekuatan-kekuatan utama dan karenanya menghindarkan diri dari persoalan-persoalan keamanan serta bergerak ke arah bentuk-bentuk integrasi ekonomi yang sangat primitif (2003:408). Kalaupun sepadan dengan Uni Eropa dalam hal organisasi, cara berorganisasi ASEAN dinilai monoton dan tidak kompetitif. Sebagaimana Huntington, Soedjatmoko pun mengajukan tesis yang sama. Menurutnya, terdapat kesadaran yang meningkat di Asia untuk perlunya organisasi regional dan bentukbentuk kerjasama yang dapat menjembatani perbedaan ideologis dalam menuju kepentingan bersama. Tanpa organisasi regional yang efektif, mungkin praktis mustahil bagi
beberapa negara-negara Asia yang lemah dan kecil untuk dapat didengar dan dianggap serius oleh setiap sistem international. Konsep ASEAN untuk menjadikan Asia Tenggara sebagai daerah damai dan netral, serta konsep samudera hindia sebagai wilayah bebas nuklir, merupakan contoh dari usaha-usaha kearah itu (2001:98). Atau bila meminjam bahasa Ali Moertopo, maka posisi ASEAN bisa menghasilkan sinergitas diantara negara-negara anggotanya asalkan mampu mengakomodasi semua kepentingan mereka. Menurut Moertopo, kesatuan dalam rangka ASEAN harus mampu bersiap untuk mengolah bersama pengaruh dan akibat dari konflik-konflik kepentingan ekonomi negara-negara yang menguasai perekonomian dunia. Persaingan antar negara-negara ASEAN ini pada akhirnya merugikan negara-negara itu sendiri. Sebab dalam struktur perekonomian dunia, tidak ada satu unit ekonominya yang tertutup kecuali unit ekonomi negara-negara komunis, tetapi jelas tidak negara-negara berkembang dengan struktur ekonominya yang begitu terbuka dan rawan. Persaingan dalam ASEAN sendiri tidak mengenal zero sum game, sebab persaingan dalam ASEAN berarti kelemahan ASEAN dan keuntungan akan ditampung oleh kerangka kerjasama yang lain, mungkin unit ekonomi Afrika atau Amerika Latin. Itulah sebabnya, dalam rangka ini, negara ASEAN secara bersama harus meletakkan dasar yang kuat mengenai kedudukan ekonomi mereka dealam rangka perekonomian dunia secara keseluruhan (174:132). Dengan melihat posisi strategis ASEAN bagi dunia internasional, kehadiran ASEAN bagi negara-negara di wilayah Asia Tenggara sedapat mungkin berpengaruh positif terhadap perkembangan masing-masing negara dalam konteks ekonomi, politik, dan budaya. Lantas bagaimanakah posisi Indonesia diantara negara-negara ASEAN, mari kita cermati bersama. Fakta Ekonomi, Politik dan Budaya Indonesia
Dalam bidang ekonomi, studi Basri dan Rahardja (2010) menunjukkan bahwa pendorong utama ekspor kita adalah produk dan pasar lama. Dekomposisi pertumbuhan ekspor dari tahun 1990 hingga 2008 menunjukkan sebagian besar peningkatan ekspor Indonesia dalam 18 tahun terakhir didorong oleh produk yang sama yang dijual ke pasar yang sama. Penemuan baru (new discovery) kurang dari 5 persen. Bahkan kontribusi produk baru untuk pasar yang baru dalam pertumbuhan ekspor kita nyaris tidak ada. Artinya, kita memang tak berubah banyak. Ironis, di dunia yang terus berkembang, produk ekspor dan pasar ekspor tetap primitif (kompas, 27/07/10). Di bidang politik, pelaksanaan pemerintahan yang sarat korupsi masih terus terjadi. Data Governance and Decentralization Survey 2002 yang diterbitkan oleh Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada (UGM) menunjukkan bahwa, praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) dalam kegiatan pemerintahan umumnya terjadi dalam rekrutmen pegawai, tender proyek, penyusunan perda, penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, dan pengembangan usaha kecil menengah. Dalam dunia usaha, KKN terjadi melalui potongan nilai proyek dan suap dalam pelaksanaan berbagai proyek-proyek pemerintah. Provinsi Sumatera Utara memiliki potongan yang paling tinggi, sedangkan Provinsi Lampung yang paling rendah. Disamping itu, para pengusaha juga masih harus membayar berbagai jenis suap kepada para pejabat publik dari Bupati/Walikota, DPRD, 3
sekretaris daerah, sampai dengan staf pelaksana di kabupaten atau kota tempat mereka menjalankan kegiatan usahanya. Adapun aktor diluar pemerintah seperti aktifis LSM, wartawan, dan partai politik pun rentan terhadap praktik KKN. Selain itu, money politics menjadi fenomena yang semakin umum terjadi di setiap kegiatan politik di daerah (2003:127128). Sedangkan di bidang kebudayaan, Soedjatmoko secara tegas dan bernas mengatakan, tak usah kita sangsikan bahwa pangkal sifat Indonesia dari kebudayaan kita tidak akan dapat menyatakan satu jawaban terhadap masalah pembangunan. Oleh sebab itu, kita tidak perlu bersikap normatif terhadap sifat dan corak kebudayaan kita yang baru itu. Kita tidak perlu takut dan menolak suatu hal hanya karena ia asing bagi perasaan kita. Kebudayaan hanya mempunyai arti bagi kita jika ia dapat mempertahankan tempat kita di dunia ini, dan menjadi penjelmaan kita sendiri. Oleh sebab itu, kita harus berani dalam menghadapi masalah pembangunan masyarakat baru ini, bersifat pragmatis, berani mencoba jalan-jalan baru dan kalau ternyata tidak sesuai atau tidak mencukupi, berani pula membuangnya dan mencoba jalan-jalan lain (2001:178-179). Senada dengan Soedjatmoko, Radhar Panca Dahana memberikan catatan penting mengenai proses memaknai kebudayaan secara arif dan bijaksana. Bagi Radhar, ketika fakta sejarah, adab, dan budaya yang mengisinya kita pahami hanya dengan perangkat akal (rasional), bisa dipastikan ia akan menuju jalan buntu. Artinya, tanpa melibatkan daya mental-spritual dan fisikal, kita akan selalu gagal memahami kebudayaan dan jati diri bangsa ini. Kebudayaan tidak bisa hanya dimengerti, tetapi juga dialami dan dilakoni (Kompas,07/05/12). Bagi Soedjatmoko dan Radhar, cara berkebudayaan orang Indonesia terlalu formalis dan idealis sehingga menafikan potensi kreatif dan daya cipta yang merupakan substansi atau inti dari budaya itu sendiri. Apa yang harus dilakukan Indonesia?
Ada tiga strategi utama yang relevan dilakukan oleh Indonesia untuk mendorong terwujudnya masyarakat ASEAN 2015 yaitu penemuan identitas, pengembangan jaringan dan penguatan komitmen pada bidang ekonomi, politik dan budaya. Untuk tiga langkah strategis tersebut, Indonesialah yang harus menjadi pemimpin dan teladan terbaik masyarakat ASEAN. Temukan Identitas.
Pentingya identitas ekonomi baru bagi Indonesia perlu segera ditemukan. Munculnya produkproduk inovatif dari kerajinan tangan dan ekonomi kreatif lainnya serta temuan-temuan terikini di bidang otomotif seperti mobil listrik dan mobil Esemka patut diapresiasi dan dijadikan gerak baru ekonomi Indonesia. Namun, khusus pengelolaan industri otomotif, hendaknya sedini mungkin belajar dari industri pesawat terbang baik kelebihan maupun kekurangannya agar lebih sukses. Selain itu, perilaku korupsi aparat pemerintahan perlu ditindak secara tegas. Dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Mahkamah Konstitusi (MK) menjadi terobosan dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Banyaknya aparat pemerintah di pusat dan daerah yang diproses oleh KPK menunjukkan masih adanya harapan baru citra Indonesia yang bebas dari korupsi. Dalam konteks budaya, menemukan kembali ruh kebudayaan Indonesia yang dinukil dalam berbagai sastra lisan maupun tulisan dan tindakan atau kebiasaan yang berasaskan kearifan lokal menjadi kunci pembuka realitas 4
kebudayaan yang selama ini tenggelam dan nyaris hilang di tengah arus globalisasi budaya, Tidak ada gunanya khazanah budaya bila hanya jadi pajangan. Kembangkan Jaringan
Setelah menemukan identitas ekonomi, politik, dan budaya, langkah strategis selanjutnya adalah mengembangkan jaringan antar negara ASEAN. Jaringan tersebut dibutuhkan untuk memasuki dunia internasional. Dalam konteks ekonomi kreatif misalnya, Indonesia dapat memulai kerjasama dengan negara-negara ASEAN yang memiliki basis ekonomi kreatif yang sama untuk menembus pasar internasional. Dengan sektor riil yang kuat, instrument moneter yang dibentuk dapat bekerja secara maksimal untuk meminimalisir resiko krisis di wilayah ASEAN. Dalam bidang politik, jaringan penanganan koruptor antar negara urgen dibentuk. Kasus Nazaruddin yang sempat mampir di Singapura tidak bisa dipaksa pulang ke Indonesia karena belum adanya kesepakatan bersama antar kedua negara dalam penyelesaian kasus tersebut. Di bidang budaya, pengembangan jaringan dibutuhkan untuk saling mengenalkan khazanah kebudayaan yang menjadi identitas masing-masing negara. Intensitas pengenalan budaya dengan sendirinya dapat menjawab sekaligus mengklarifikasi asal muasal kebudayaan yang ditampilkan. Kuatkan Komitmen
Penguatan komitmen dilakukan dengan terlebih dahulu merumuskan nilai-nilai dasar yang dapat menjadi pijakan dan rujukan bersama antar negara. Rumusan nilai-nilai dasar ekonomi, politik, dan budaya dapat menjadi perekat pergaulan antar sesama masyarakat. Penanaman nilai-nilai dasar tersebut dapat dilakukan melalui pendekatan struktural maupun kultural. Secara struktural, nilai-nilai dasar tersebut perlu memperoleh legitimasi dari masing-masing negara, sedangkan secara kultural, dalam setiap gerak penemuan identitas dan pengembangan jaringan, nilai-nilai dasar yang dirumuskan dapat langsung dipraktekkan. Jika Dewan Perwakilan Rakyat dapat menjadikan Indonesia sebagai teladan dan berinsiatif memimpin tiga gagasan strategis yang telah dirumuskan bagi negara-negara di kawasan Asia Tenggara, masyarakat ASEAN tidak hanya akan terwujud pada tahun 2015 namun dapat tetap lestari hingga akhir zaman.
Daftar Pustaka Basri, Faisal.H (2002) Perekonomian Indonesia, Tantangan dan Harapan Bagi Kebangkitan Ekonomi Indonesia, Erlangga, Jakarta.
5
Dwiyanto, Agus, et.al (2003), Reformasi Tata Pemerintahan dan Otonomi Daerah, Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM, Kerjasama dengan PEG-USAID dan The World Bank, Yogyakarta. Huntington, Samuel, P (2003), Benturan Antar Peradaban dan Masa Depan Politik Dunia, Edisi Bahasa Indonesia, Qalam, Yogyakarta. Moertopo, Ali, (1974), Strategi Politik Nasional, Center for Strategic and International Studies (CSIS), Jakarta. Soedjatmoko, (2001), Kebudayaan Sosialis, Melibas, Jakarta Timur.
Publikasi Lainnya: Basri, Muhammad Chatib, 2010, Ekspor Yang Primitif, Opini Harian Kompas, 27 juli Dahana, Radhar Panca, 2012, Kejayaan Itu dari Timur, Opini Harian Kompas 7 Mei
6
KRITIK PERILAKU BIROKRASI Tela’ah Sosiologis Atas Ketidakdisiplinan Birokrasi di Maluku Utara Oleh: Muliansyah Abdurrahamn Ways Alumni Pasca Sarjana S2 Sosiologi Politik-Universitas Muhammadiyah Malang (UMM)
ABSTRACK A measurable sociological facts of local government bureaucracy in the province of North Maluku discipline behavior SKPD leaders and regular employees in the institution of the State which is actually a government bureaucracy daearah. Problems is a study of the concept of Max Weber's bureaucracy in menela'ah fact, where Weber emphasizes the bureaucratic system of the region is characterized by division of labor and specialization, impersonal orientation, hierarchical authority, rules, long career, effective and efficient. Finally, if the ideal concept is used in the local or regional government of North Maluku, the government has become a modern local government, serving, accountable, disciplined and well.
Keywords: Sosiologis, Perilaku Birokrasi dan Pemerintahan Daerah
Pendahuluan Catatan kecil dari Maluku Utara untuk persoalan yang tidak pernah selesai dari kebiasaan hidup pribadi hingga berkembang menjadi perilaku birokrasi. Birokrasi di Negeri ini masih mengalami pasang surut sebuah tradisi yang menghambat proses berjalanya birokrasi yang ideal dan taat kepada norma serta aturan yang berlaku. Kita sedikit skeptis terhadap problem yang muncul dari beberapa pihak serta melihat fenomena dalam
penyelenggaraan birokrasi di Indonesia. Dalam bahasa kita yang tidak lagi percaya ada semacam ide yang bisa memberikan tawaran solusi bagi penciptaan birokrasi yang menaati aturan kedisiplinan, ramah dan penyelenggaraan pemerintahan yang bertanggungjawab. Akan tetapi semua ini lahir dari realitas dimana para birokrasi yang seharusnya menjadi birokrat yang berdisiplin dan berperilaku dengan melayani yang baik serta dianggap sebagai sebuah kewajaran
sistemik dalam perspektif birokrasi di Indonesia. Secara teoritik dan normative birokrasi lahir dalam masyarakat modern yang mencoba menawarkan sebuah ide agar menjadikan system dan struktur social dalam kenegaraan yang menganut paham birokrasi yang melayani serta taat kedisiplinan. Apapun bentuk struktur birokrasinya, tentu secara ideal birokrasi harus wajib melayani dan menjadi pelayan yang baik di masyarakat maupun menjaga kedisiplinan dalam pekerjaanya, karena struktur tersebut dibangun atas dasar kesepakatan dan melahirkan sebuah tatanan social dalam pemerintahan yang baik dan bertanggungjawab. Sudah menjadi sebuah rahasia umum bahwa berurusan dengan birokrasi merupakan sebuah kondisi yang mengharuskan untuk kita menunggu waktu dan menjaga kosaka bahasa yang baik, agar kita dilayani dengan alasan bahwa kita tidak sembarangan dan bisa menunggu kinerjanya para birokrasi setempat. Bila kita mendapatkan pelayanan publik yang cepat dan memuaskan, maka kita harus kembali pada hakekat pemerintahan sebagai sebuah organisasi pelayanan public, dimana realitas yang terjadi di Indonesia pastilah hal yang tidak masuk dalam definisi kewajaran penyelenggaraan pemerintahan baik pemerintah pusat maupun daerah atau dari birokrasi pusat hingga birokrasi di daerah. Pelayanan publik adalah sebuah konsep yang didasarkan pada tujuan meringankan penderitaan masyarakat dan memudahkan segala bentuk persoalan yang dihadapininya. Namun kita melihat yang terjadi di Indonesia justru sebaliknya, dimana pelayanan publik
tidak lagi dianggap sebagai terminology solutif melainkan sebuah mimpi buruk bagi rakyat ketika harus berurusan dengan pemerintah yang notabene adalah birokrasi setempat. Berbicara birokrasi juga kita telah temukan beberapa pemikir kritis mencoba mengibaratakan serta menjustise bahwa “birokrat brengsek” sebagaimana ketika kita merasakan dipingpong dari satu pejabat ke pejabat berikutnya, tanpa memperoleh informasi yang kita inginkan; bilamana formolirformolir yang sangat panjang harus diisi berkali-kali dan dikembalikan begitu saja kepada kita hanya karena lupa menambahkan suatu informasi yang sangat sepele; bilamana lamaranlamaran kita di tolak karena alas an teknis, dan disaat-saat itulah kita berfikir tentang birokrasi. (Blau & Meyer, 200; 3). Dalam pandangan lain berbicara tentang birokrasi di dalam kinerja pemerintahan maka konsep birokrasi dimaknai sebagai proses dan system yang diciptakan secara rasional untuk menjamin mekanisme dan system kerja yang teratur, pasti dan mudah dikendalikan. (Said, 2007; 1) Secara normative Pemerintah Pusat sudah mengatur UU No. 22 tahun 1999 dan UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaiman pembagian urusan kewenangan secara penuh yang disalurkan kepada Pemerintah Daerah. Agar supaya Pemerintah Daerah mengatur, mengurus, menjalankan dan mengelolah sumber kekayaan alam yang ada di daerah masing-masing, tentu bidang-bidangnya sudah diatur dalam Undang-Undang tersebut, kemudian pelaksanaannya sesuai dengan kekuasaan/kewenangan yang sudah dilimpahkan oleh Pemerintah
Pusat kepada Pemerintah Daerah dalam bentuk birokrasi di daerah setempat. Bidang-bidang tertentu yang tidak boleh diambil alih oleh pemerintah daerah di antaranya, dalam bidang politik luar negeri, pertahanan dan keamanan, kebijakan moneter dan fiskal, yistisi dan keagamaan, karena bidang ini merupakan urusan kekuasaan/kewenangan Pemerintah Pusat. Penyesuaian kewenangan dan fungsi penyediaan pelayanan antar pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota sudah memuat tujuan yang sudah diatur oleh masing-masing birokrasi serta secara teknis dan politis. Dimana desensentralisasi kewenangan pada masing-masing daerah juga menjadi perwujudan dari suatu tuntutan reformasi seperti direfleksikan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Baik secara teknis masih terdapat sejumlah besar persiapan yang harus dilakukan untuk menjamin penyesuaian kewenangan dan fungsifungsi itu secara efektif. Birokrasi atau dalam hal ini birokrasi publik adalah sebuah ‘mesin’ yang secara substansial baik fungsi maupun strukturnya adalah tangan panjang sebuah Negara dalam keberlangsunganya. Adapun unsur-unsur seperti hirarki jabatan, impersonalitas, model struktur jabatan relative sama baik di birokrasi Negara maju maupun berkembang seperti di Indonesia. Namun apakah daya kerja masingmasing birokrasi adalah sama jika diukur dari tingkat kepuasan para ‘konsumen’ yang dilayani. Budaya birokrasi menentukan definisi posisi seorang birokrat terhadap konsumen publiknya, apakah posisi mereka sebagai ‘pelayan’ atau ‘yang dilayani’, di
antaranya dapat kita telusuri dalam konteks budaya perilaku birokrasi yang ada. Terlihat birokrasi yang mempersulit, panjang, ribet, sukar, banyak uang keluar dan yang berkantong tipis tidak mampu berbuat apa-apa. Padahal budaya birokrasi diperlukan untuk menunjang pelaksanaan organisasi fungsional yang ditandai luasnya pekerjaan rutin dengan banyak peraturan, kebijakan dan prosedur, pembuatan keputusan tersentralisasi dan terorganisasikan sepanjang garis departemen fungsional. Didalama birokrasi yang paling utama dan diutamakan adalah efektifitas dan efisiensi yang akan melahirkan budaya birokrasi yang berdisiplin, berbudaya dan beretika. Dimana kadang birokrasi ada yang penting dan ada yang tidak penting misalnya manusia PNS yang hanya datang di kursi empuk yang tanpa memikirkan kepentingan yang besar dan PNS yang kadang tidak berdisiplin datang ke kantor. Contoh yang konkrit ketika Gubernur Maluku Utara Drs. H. Thaib Armaiyn meminta pimpinan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) untuk hidup sederhana, permintaan tersebut disampaikan Gubernur Maluku Utara pada rapat harian yang berlangsung pada hari rabu, tanggal 21 Januari 2011 di ruang kerja Gubernur. Lewat Kepala Biro Humas dan Protokoler Maluku Utara, permintaan tersebut merupakan tindaklanjut dari kontrak kerja yang ditandatangani pimpinan SKPD beberapa waktu lalu. Menurut Gubernur Maluku Utara bahwa “Kunci reformasi birokrasi harus diawali dari dalam diri sendiri, dengan cara merubah perilaku dari tidak disiplin menjadi disiplin. (Monitor, 2011).
Kemudian lain hal dengan kedisiplinan para pegawai negeri, dimana menurut Abubakar Abdullah selaku juru bicara Gubernur melihat tentang disiplin pegawai pemerintah provinsi Maluku Utara yang masih menjadi masalah serius dalam penyelenggaraan aktivitas pemerintah provinsi. Bahkan diperkirakan jumlah pegawai yang masuk kantor setiap hari rata-rata tidak mencapai 50 persen. Oleh karena itu kondisi kerja seperti ini tampaknya sudah menjadi hal biasa lantaran tidak ada punishment (hukuman) yang tegas bagi para abdi Negara yang malas berkantor. (Malut Post, 2012). Begitulah dua contoh kecil di dalam pemerintahan daerah yang notabene menjalankan birokrasi di tingkat daerah, namun dilanda banyak problem yang dapat menjadi catatan kecil pula untuk dikaji ulang. Namun bicara lagi tentang birokrasi sering kali kita asumsikan dengan urusan yang berbelit-belit, prosedur yang panjang dan memakan waktu yang lama, pokoknya selalu mendapat “tanda” negatif dari pendengarnya. Hal ini akan menjadi lebih transparan apabila kita memantau birokrasi yang berhubungan atau berurusan dengan organisasi formal, negeri maupun swasta. Pembahasan birokrasi selalu menarik untuk dibicarakan baik sebagai bahan diskusi maupun sebagai bahan kajian ilmiah untuk diperdebatkan dengan tujuan mencari solusinya. Birokrasi selalu menghambat kemudahan, kemajuan, dan kadang ketidakdisiplinan maupun perilaku yang melawan etika manusia. Tulisan ini mencoba menjabarkan dan mendialekkan birokrasi berkaitan dengan konsep yang ideal dan melihat
persoalan yang ada didalam birokrasi tersebut. Memang sering terjadi budaya turun-temurun dalam praktek ini, ternyata semua itu juga menciptakan akar yang sangat mendalam di paradigma masyarakat memandang birokrasi. Apakah ini merupakan sebuah kewajaran ataukah sebuah kesalahan? Ataukah ini adalah kesalahan yang diwajarkan atau kewajaran yang disalahkan? Apapun itu, fenomena ini tetap menjadi bukti gagalnya penyelenggaraan Negara dan pemerintahan di Indonesia.
Problematika Birokrasi Membincangkan masalah birokrasi di Negara ini, tampaknya tetap merupakan topik bahasan yang menarik untuk dicermati. Olehnya itu, berangkat dari argumen awal bahwa birokrasi adalah institusi modern yang wajib ada dalam Negara yang modern dan di dalam khazanah penyelenggaraan pemerintah di pusat maupun daerah. Kita patut mencermati baik secara teoritik maupun empiric, pencermatan terhadap kinerja birokrasi inilah, yang nantinya bisa membawa kita pada sebuah penilaian menyangkut orientasi apa yang sesungguhnya di emban oleh birokrasi. Hal ini perlu digaris bawahi, mengingat meskipun birokrasi di yakini sebagai organisasi pelayanan public dan taat aturan, tak seorangpun bisa menjamin bahwa ia mungkin saja berubah menjadi problem yang menyengsarakan publik. Seperti yang terjadi soal kedisiplinan para PNS setingkat SKPD maupun pegawai biasa yang terjadi di Maluku Utara. tidak sekedar soal disiplin, akan tetapi perilaku budaya negative yang terjadi, apabila pimpinan
tidak hadir maka hampir semua PNS pun ikut tidak hadir. Tentu ini menjadi kajian manarik dalam konteks sosiologis, adapun persoalan tersebut diakibatkan berbagai macam hal, namun dalam kajian sosiologis terkait dengan birokrasi yang ideal. Birokrasi dalam keseharian kita selalui dimaknai sebagai institusi resmi yang melakukan fungsi pelayanan terhadap kebutuhan dan kepentingan masyarakat. Segala bentuk upaya pemerintah dalam mengeluarkan produk kebijakannya, semata-mata dimaknai sebagai manifestasi dari fungsi melayani urusan orang banyak. Akibatnya, tidak heran jika kemudian muncul persepsi bahwa apapun yang dilakukan oleh pemerintah adalah dalam rangka melayani kepentingan masyarakat, yang diwakili institusi yang bernama birokrasi tersebut. Walaupun persepsi ini mengandung titik-titik kelemahan yang bisa jadi menyesatkan, namun sampai saat ini pemerintah yang diwakilkan oleh institusi birokrasi tetap saja sebagai motor pengggerak pembangunan. Bila baiknya sebuah pemerintahan di daerah, maka baik pula semua pelayanan birokrasi dari tingkat pimpinan daerah hingga setingkat lurah maupun pimpinan desa, supaya masyarakat juga ikut tahu bahwa dimanakah letak kinerja pemerintahan yang baik dan tidak baik. Namun kehidupan birokrasi yang tidak berdisiplin dan masih mempertahankan perilaku yang tidak baik serta ditumpangi oleh dominasi muatan-muatan politis oleh penguasa setempat. Maka tujuan birokrasi akan melenceng dari arah yang semula dikehedaki ke arah yang jauh dari ciriciri birokrasi yang ideal. Akibatnya, orientasi pelayanan public yang
semestinya dijalankan, menjadi bergeser kearah orientasi yang sifatnya politis. Dalam kondisi ini, birokrasi tidak lagi akrab dan ramah dengan kehidupan masyarakat, namun justru menjaga jarak dengan masyarakat sekelilingnya. Performance birokrasi yang kental dengan aspek-aspek politis inilah, yang pada gilirannya melahirkan stigma “politisasi birokrasi”. Kita ketahui bersama bahwa pada umumnya budaya birokrasi dalam masyarakat modern adalah efisiensi, efektivitas, produktivitas, dan modern. Namun budaya tersebut hanya sekedar menjadi symbol sesaat, tetapi yang terjadi malah sebaliknya, antara lain adalah perilaku birokrasi dalam ketidakdisiplinan masuk kantor dan melayani masyarakat dengan tidak baik, sehingga apa yang menjadi kebutuhan masyarakat tidak dapat terselesaikan secara efektif dan efisiensi. Problematika diatas inilah menjadi kajian utama dalam konsepsi birokrasi yang benar-benar ideal dan dapat menjadi objek yang patut di kaji dengan perspektif sosiologi kritis. Konsep Birokrasi Yang Ideal Dari begitu banyak problematika birokrasi di Indonesia khusunya di Maluku Utara, maka dalam konteks ini kita sedikit melihat dan mengenal apa yang dimaksud dengan birokrasi. Dalam kamus Akademi Perancis tahun 1798, Birokrasi diartikan sebagai “kekuasaan, pengaruh dan para kepala dan star biro pemerintahan, namun menurut kamus bahasa Jerman edisi 1813, birokrasi di definisikan sebagai “wewenang atau kekuasaan dari berbagai departemen pemerintahan.” (Dara, 2012;3). Serta peletak dasar birokrasi menurut Max
Weber bahwa birokrasi sebagai suatu sistem organisasi yang formal dimunculkan pertama sekali pada tahun 1947, menurutnya birokrasi merupakan tipe ideal bagi semua organisasi formal. Ciri organisasi yang mengikuti sistem birokrasi ini dicirikan dengan pembagian kerja dan spesialisasi, orientasi impersonal, kekuasaan hirarkis, peraturan-peraturan, karir yang panjang, dan efisiensi. Kemudian sejarah telah mencatat bahwa timbulnya birokrasi dalam organisasi pemerintahan diitanah air ini dimulai sejak zaman kerajaan dahulu. Barangkali warisan sejarah ini bisa dipakai sebagai penyebab pertama timbulnya masalah pada birokrasi kiita dewasa ini. Dahulu raja-raja jawa khususnya dan raja-raja dinusantara ini pada umumnya membentuk birokrasi itu bukan untuk kepentingan rakyat. Para punggowo dan semua orang yang bekerja dikerajaan disebut sebagai abdi dalem atau abdi raja, bukan abdi rakyat. Birokrasinya disebut birokrasi abdi delem. Keberdaannya dalam suatu system untuk kepentingan memperkuat kekuasaan raja. Karena coraknya seperti ini ketergantungan pada kekuasaan tungggal raja sangat besar. Sifatnya seperti ini selalu membuat birokrasi kerajaan sangat paternalistik. Terikat pada tata cara tradisi yang telah diggariskan pada raja. Kepada rakyat bukan melayani akan tetapi cenderung menekan melalui upeti, srahsrahan atau pajak. Namun ketika Belanda datang ke Indonesia, mereka juga tidak merubah dan struktur seperti ini, bahkan diperkuat dan dipertahankan karena dirasakan tidak bertentangan niat dan system birokrasinya. Belanda hanya melakukan perubahan disesuaikan dengan aspirasi birokrasi modern pada
tingkat diatas (setingakat residen dan gubernur). Struktur birokrasi kerajaan yang membawahi adipati/bupati sampai ke desa-desa tidak berubah. Itulah sebabnya tataran birokrasi setingkat desa di Indonesia sebelum diikeluarkannya UU Nomor 5 Tahun 1979 mempunyai corak yang tidak seragam. Di jawa ada desa, di bali ada banjar, di Sumatera Barat ada nagari, di Sulawesi dan di Sumtera barat ada kampong, sekarang semuanya menjadi seragam, disebut desa dan sistemnya banyak tidak sesuai dengan partikular masing-masing tempat. Dengan melihat sejarah birokrasi, barangkali ada kaitan sistem birokrasi yang di bangun saat ini dengan yang dahulu diatas. Maka usaha membanngun birokrasi yang modern telah dilakukan, akan tetapi bersamaan dengan hal itu disana-sini kita masih sering mengamalkan sikap dan perilaku warisan lama. Selain itu berkaitan dengan birokrasi juga telah tertanam yang namanya struktur birokrasi menurut Max Weber sebagai berikut, birokrasi adalah system adminstrasi rutin yang dilakukan dengan keseragaman, diselenggarakan dengan cara-cara tertentu, didasarkan aturan tertulis oleh orang-orang yang berkompoten di bidangnya (Said, 2007; 2). Artinya berbicara dengan birokrasi berarti orang-orang yang ditempatinya sesuai dengan keahlianya dan mampu menyelenggarakan secara rutin dari setiap agenda yang sudah menjadi aturan baku oleh para birokrat. Dalam pandangan lain birokrasi berada pada ruang institusional, dimana kerangka istitusional selalu membicarakan proses berjalanya semua norma tentang aktivitas kelembagaan atau proses institusionalisasi atau dalam bahasa lain
bisa disamakan dengan birokrasi. (Deni, 2010; 45). Konsep birokrasi dari Weber yang menjadi tipe-ideal dari struktur birokrasi; 1). Berbagai aktivitas regular yang diperlukan untuk pencapaian tujuan-tujuan organisasi yang didistribusikan dengan suatu cara yang baku sebagai kewajiban-kewajiban resmi. 2). Organisasi kantor-kantor mengikuti prinsip hirarki. 3). Operasioperasi birokratis diselenggarakan melalui suatu system kaidah abstrak yang konsisten. 4). Pejabat yang ideal mejalakan kantornya berdasarkan impersonalitas formalistic. 5). Perekrutan dalam organisasi birokrasi didasarkan pada kualifikasi-kualifikasi teknis. 6). Pengalaman secara universal cenderung memperlihatkan bahwa tipe organisasi yang murni dan birokratis (Blau & Meyer, 2000; 23-27). Dibawah ini sedikit kita jelaskan tentang cita-cita utama dari sistem birokrasi adalah mencapai efisiensi kerja yang seoptimal mungkin. Kemudian menurut ide besar Max Weber bahwa organisasi birokrasi dapat digunakan sebagai pendekatan efektif untuk mengontrol pekerjaan manusia sehingga sampai pada sasarannya, karena organisasi birokrasi punya struktur yang jelas tentang kekuasaan clan orang yang punya kekuasaan mempunyai pengaruh sehingga dapat memberi perintah untuk mendistribusikan tugas kepada orang lain. Ciri-ciri birokrasi menurut Max Weber adalah: 1). Jabatan administratif yang terorganisasi/tersusun secara hirarkis. (Administratice offices are organized hierarchically). 2). Setiap jabatan mempunyai wilayah kompetensinya sendiri (Each office has its own area of competence).
3). Pegawai negeri ditentukan, tidak dipilih, berdasarkan pada kualifikasi teknik yang ditunjukan dengan ijazah atau ujian. (Civil cervants are appointed, not electe, on the basis of technical qualifications as determined by diplomas or examination). 4). Pegawai negeri menerima gaji tetap sesuai dengan pangkat atau kedudukannya. (Civil servants receive fixed salaries according to rank). 5). Pekerjaan merupakan karir yang terbatas, atau pada pokoknya, pekerjaannya sebagai pegawai negeri. (The job is a career and the sole, or at least primary, employment of the civil servant). 6). Para pejabat tidak memiliki kantor sendiri. (The official does not own his or her office). 7). Para pejabat sebagai subjek untuk mengontrol dan mendisiplinkan. (the official is subject to control and discipline). Dan 8). Promosi I didasarkan pada pertimbangan kemampuan yang melebihi rata-rata. (Promotion is based on superiors judgement). Dengan delapan ciri tersebut, dapat menjadikan konsep dan ide besar dari birokrasi yang ideal, karena birokrasi yang ideal adalah birokrasi yang benar-benar bertanggungjawab, efektif, efiien, berdisiplin dan menjadi tauladan bagi masyarakat sekitarnya. Oleh karena itu, konsep birokrasi menurut Weber sangat tepat bila dipakai pada birokrasi diaras local khususnya pemerintah daerah Maluku Utara, sehingga problematika birokrasi tersebut dapat dijadikan pedoman dan karakter birokrasi yang ideal dan bergerak dengan efektif dan efisien.
Solusi Untuk Budaya Birokrasi Yang Baik Belajar dari catatan kecil problematika birokrasi di Maluku Utara, dapat menghantarkan kita pada tatanan solutif yang kita belajar dari berbagai mata rantai konsep dan perilaku budaya birokrasi. Birokrasi adalah institusi pelayanan public yang tidak pernah mengenal pilih kasih dalam melaksanakan kewajibannya serta sebagai organisasi yang rasional dan mengedepankan efisiensi administrative, birokrasi perlu dipelihara dan dipertahankan eksistensinya, terutama dalam mewujudkan good governance. Apalagi dalam kondisi budaya birokrasi yang belum sepenuhnya menjalankan fungsi-fungssi profesionalisme, kapabilitas, maupun kompetensi, maka kinerja birokrasi partisan cenderung korup dan akan tetap dipandang sebagai perpanjangan tangan dari hegemoni kuasa. Secara defenisi birokrasi adalah rasional hadir dalam sebuah organisasi, termasuk organisasi pemerintahan yang kita temukan, namun karakteristik utama birokrasi tampil dalam lima hal yang mampu mengubah citra negative birokrasi. Karakteristik tersebut, yakni, pembagian kerja yang jelas, hierarkhi wewenang yang jelas, aturan dan prosedur formal, impersonal atau tanpa pandang bulu, karir berbasis prestasi dan golongan. Andai lima karakteristik birokrasi telah dikemukakan ada dan dijalankan dalan sebuah organisasi secara benar maka hasilnya tidak lain efektifitas dan efisiensi kerja dan jauh dari keribetan penyimpangan pelaksanaan birokrasi yang tepat. Begitu pula dengan keutamaan birokrasi yang bersih, berdisiplin dan berperilaku sebagai para birokrat sejati,
maka kebiasaan para SKPD dan PNS biasa penting untuk dikonstruksi fremnya, supaya efektifitas dan efesiensi penyelenggara pemerintah daerah berjalan sesuai dengan aturan dan norma yang berlaku. Adapun bentuk problematika yang disebutkan diatas, tentu penulis menjadikan sebuah fakta social untuk melakukan efaluasi dan perbaikan demi kepentingan bersama. Sekiranya inilah sedikit bentuk solusi untuk menjadikan catatan pinggir penulis dan mengelaborasi dengan konsepsi peletak birokrasi Max Weber, agar menjadikan good governance di tatanan pemerintahan local Maluku Utara. Kesimpulan Dari sekian banyak problematika tentang perilaku birokrasi; yang tergambar darai realitas social di pemerintahan provinsi Maluku Utara, maka pada penulisan itu dapat disimpulkan bahwa; Pertama, perilaku birokrasi setingkat SKPD dan pegawai biasa masih terkonstruk dengan budaya ketidakdisiplinanya, sehingga dapat menghambat proses kerja-kerja birokrasi yang mengutamakan kepentingan masyarakat. Kedua, konsep birokrasi modern dalam perspektif Max Weber masih dalam genggaman kuasa yang dipolitisir, sehingga cirri-ciri birokrasi yang menjalankan pemerintahan yang baik juga masih tersendat. Ketiga, hal ini menjadi sebuah kritik konstruktif untuk membangun pemerintahan daerah yang tertib, akuntabel, efektifitas dan efesien.
Daftar Pustaka Aisyah, Dara, 2012, Hubungan Birokrasi Dengan Demokrasi, Jurusan Ilmu Adminitrasi Negara-FISIP, Universitas Sumatera Utara, Medan. Blau, M Peter & Meyer, W Marshal, 2000, Birokrasi Dalam Masyarakat Modern, Penerbit Prestasi Pustakaraya, Jakarta. Deni, Saiful, 2010, Korupsi Birokrasi; Konsekuensi, Pencegahan & Tindakan Dalam Etika Admnistrasi Publik, Naufan Pustaka, Yogyakarta. Deni, Saiful, 2012, Selingkuh Birokrasi; Korupsi, Dilema, dan Harapan Inovasi Pemerintahan. Naufan Pustaka, Yogyakarta. Denhardt, Robert, 1984, Theories of Public Organization, Monterey, CA:Brooks/Cole Publishing Company.
Effendy, Muhadjir, 1995, Birokrasi Pemerintahan Menyongsong Era Pasar Bebas: (dalam Jumal Bestari), Januari-April, Yogyakarta. Etzioni, Eva & Halevy, 1983, Bureaucracy and Democracy; A Poltical Dilemma, Routledge & Kegan Paul, London. Said, Mas’ud M, 2007, Birokrasi Di Negara Birokratis; Makna, Masalah dan Dekonstruksi Birokrasi di Indonesia, UMM Press, Malang.
Media Massa: Monitor (Edisi: Kamis, 27 Januari 2011). Malut Post (Edisi: Selasa, 26 Oktober 2010).
Mewujudkan Pemerintahan Interaktif
Dr. Saiful Deni Penulis adalah staf pengajar Pascasarjana UMMU
Abstrak Model pemerintahan interaktif merupakan sintesis dari perdebatan “ governance” dalam mengelola Negara, dimana konsep ini menekankan pada proses dari tiga aktor utama yaitu pemerintah(Negara), Swasta, dan Masyarakat (Civil Society). Peran yang dilakukan selama ini ansich didominasi oleh pemerintah sebagai bagian dari Negara, sedangkan masyarakat dan swasta perannya, belum dimasksimalkan secara subsansial. Dengan demikian kajian terhadap pemerintahan interaktif menjadi penting untuk di jelaskan kekurangan-kekurangan pada konsep governance. Hal ini dimaksudkan bahwa pemerintahan interaktif menekankan pada tata kelola pemerintahan dengan aktor yang kompleks, dan proses sosial yang plural, dengan tujuan untuk kepentingan formulasi, promosi secara objektif untuk mewujudkan ide, aturan dan pengembangan sumber daya dalam membangun pemerintahan yang demokratis. Kata-kata Kunci: Pemerintahan Interaktif.
Latar Belakang Masalah Ide tentang pemerintahan yang baik merupakan tujuan bagi majunya suatu Negara dalam mewujudnyatakan nilai-nilai demokrasi pada level praksis. Hal ini teruatama pada membangun masyarakat sebagai bagian dari elemen-elemen Negara. Masyarakat sebagai elemen Negara juga diberi fungsi seimbang dalam proses penyelenggaraan pemerintahan. Sebab aktivitas pemerintahan yang baik harus di pahami sebagai sebuah proses untuk membangun mekanisme dan jejaring bagi lembaga pemerintahan, swasta maupun masyarakat. Masalah yang kita hadapi sekarang ini adalah bahwa peran dalam mengelola Negara ansich lebih didominasi oleh pemerintah sebagai bagian dari Negara. Seringkali Negara tidak memperhitungkan masyarakat sebagai salah satu aktor yang juga memiliki peran yang sama dalam membangun Negara. Berbagai aktivitas perencanaan pemerintahan dari pusat sampai di daerah selalu didominasi oleh pemerintah(misalnya musrenasmusrenbang dan semacamnya). Dimana mulai dari memformulasi kebijakan pembangunan dan diakhiri dengan monitoring dan evaluasi tentang keberhasilan dan kegagalan proyek pembangunan selalu mengandalkan pemerintah hingga saat ini. Ketimpangan dalam 1
pengelolaan pemerintahan di Indonesia berwujud pada persepsi terhadap kualitas dan kinerja tata kelola pemerintahan yang buruk. Misalnya ada beberapa persoalan yang dihadapi pemerintah dalam mengelola Negara. Governance and Decentralization Survey (GDS) di tahun 2002 memaparkan bahwa secara keseluruhan praktik tata pemerintahan di Indonesia masih amat jauh dari yang diharapkan, seperti penegakkan hukum, transparansi, pemerintah yang efisien, adil, dan bebas dari KKN, belum banyak mengalami perbaikkan. Rendahnya transparansi dalam pemerintah juga terkait dengan masih rendahnya partisipasi masyarakat dalam proses kebijakan pembangunan di daerah. Aktivitas NGO, wartawan, asosiasi profesi , dan pengusaha (swasta) pada umumnya memiliki keterlibatan yang rendah dalam proses kebijakan yang terjadi di Kabupaten Kota. Aspirasi mereka belum banyak diperhatikan oleh pejabat birokrasi dalam pengambilan keputusan. Governance Assesment Survey (GAS 2006) menemukan (Dwiyanto, et.al 2006) mengungkapkan bahwa berbagai aspek kinerja tata pemerintahan di Indonesia di tahun 2006 ditemukan bahwa (1) proses transformasi menuju kualitas tata pemerintahan pada arena transparansi dalam berbagai hal masih rendah, akses informasi sangat terbatas, konsolidasi belum sinergis di daerah, (2) pemerintah provinsi dan kabupaten masih belum mampu menghindari bercokolnya unsur-unsur subjektivitas bagi kehidupan birokrasi publik, (3) ketidakpuasaan warga dan pemangku kepentingan dalam krisis kepercayaan kepada lembaga-lembaga pemerintah, (4) ketidak pastian regulasi, dan birokrasi yang korup menjadi faktor utama penyebab kegagalan usaha di daerah, (5) semakin rendahnya kepercayaan publik terhadap aktor dan pemangku kepentingan di daerah. Indonesia Governance Index (IGI 2008) mengungkapkan ada beberapa provinsi di Indonesia dianggap belum mampu mengelola pemerintahannya dengan baik. Arena yang dijadikan sebagai indikator Indeks pemerintahan di Indonesia yaitu pemerintah (political office, birokrasi (bureaucracy), masyarakat sipil (civil society), dan masyarakat ekonomi (economy society). Penilaian terhadap governance dituangkan dalam suatu indeks yang memungkinkan perbandingan antar provinsi yang setara dengan rangking seluruh provinsi. Indeks terpuruk yang hanya mencapai di bawah indeks tengah dari 33 Provinsi di Indonesia adalah Provinsi Sulawesi tengah (indeks, 4,66), Jawa Tengah (indeks, 4,63), Sulawesi Tenggara (indeks,4,48), Bangka Belitung (indeks,4,44), Banten (indeks, 4,42)Papua Barat (indeks, 4,37) Sulawesi Barat (indeks, 4,36), , Maluku Utara (indeks, 4,29), Kalimantan Barat (indeks, 4,15), dan yang paling terpuruk adalah Sumatera Utara (indeks 3,55). Secara real juga dapat diperparah oleh praktek pemerintahan dengan modus korupsi. Di tahun 2009 peringkat korupsi Indonesia ke-111 dari 180 negara dan sementara itu di tahun 2010 peringkat korupsi Indonesia ke-110 dari 178 Negara (Deni, 2012;34). Bahkan data korupsi pemerintahan di tahun 2011 pelaku tersangka di dominasi oleh Birokrasi Pemerintahan (Pegawai Negeri) dengan 239 kasus (data ICW tahun 2011). 2
Data ini menunjukkan bahwa proses tata kelola yang rendah dalam membangun jejaring dan pembagian peran dari masing-masing aktor pemangku kepentingan di beberapa provinsi yang terpuruk dalam indeks pemerintahan di Indonesia. Di sisi lain bahwa asumsi dominasi aktor pemerintah yang mewakili Negara memiliki peran yang lebih strategis dibandingkankan dengan aktor lain dalam pemerintahan. Atau seakan-akan pemerintah menjadi tumpuan harapan Negara satu-satunya. Itu artinya “share role” gagal dibangun oleh pemerintah. Lalu pertanyaannya adalah apakah pemerintah bisa berfungsi tanpa adanya swasta dan masyarakat ? jawabannya adalah tidak mungkin bisa terjadi karena jika masyarakat tidak memiliki bagian dari Negara, maka masyarakat mengabaikan untuk berpartisipasi dalam pembangunan. Hilangnya kontrol dari masyarakat dan swasta mengindikasikan rendahnya kualitas pemerintahan yang demokratis. Di sinilah perlu adanya pemerintahan yang interaktif dalam proses mewujudkan Negara yang demokratis.
Menuju Pemerintahan Interaktif Keberhasilan membangun pemerintahan yang baik mengindikasikan banyak faktor yang mempengaruhinya. Aktor dalam penyelenggaraan pemerintahan tidak hanya pemerintah saja yang mengatur dari atas ke bawah dengan tahapan-tahapan yang telah diatur, adanya prosedur dan petunjuk di Indonesia ada yang disebut sebagai Juklak dan Juknis atau (top down governing) akan tetapi harus merubah paradigm dari bawah ke atas, dimana terjadinya proses tawar menawar berbagai aktor seperti aktor masyarakat dan swasta atau (down-up governing) (Tiihonen,2004). Hal ini menekankan pada keterlibatan warga Negara menjadi ukuran dalam penyelenggaraan pemerintah. Dimana dalam bentuk penghargaan terhadap demokrasi, hak-hak asasi manusia, kemampuan publik, dan efisiensi ekonomi. Ide tentang jejaring ini didukung oleh (Resenau and Czempiel 1992) dalam bukunya yang terkenal “Governance Without Government” setiap penyelenggaraan pemerintahan, masyarakat dan swasta harus menjadi bagian dari tiga pilar dalam good governance. Menurut Rosenau dan Czempiel bahwa ada tiga indikator dari sistem yang digunakan pada governance; (1) adanya pekerjaan kelembagaan; yakni dalam bentuk taat norma, perlu konsultasi frekuensi suatu keputusan, dan adanya aksi-aksi yang diwujudkan; (2) gagasan konsensus pada tugas dan fungsi pemerintah, (3) otoritas dan legitimasi dapat dimanfaatkan secara kolektif. Ketiga indikator dari gagasan governance model Rosenau dan Czempiel menegaskan adanya proses pembagian peran antara fungsi kelembagaan dan konsensus dengan pihak di luar pemerintah yakni masyarakat dan swasta, sebagai suatu legitimasi secara hukum dalam penyelenggaraan pemerintahan. Aktivitas pemerintahan yang dijalanakan adalah sebagai bukti dari demokratisasi administrasi publik yang bermaksud membangun kondisi-kondisi yang kreatif dimana masyarakat atau warga negara dan pejabat publik bisa kerjasama untuk 3
mempertimbangkan penentuan implementasi dari kerja aparatur birokrasi. Menurut King dan Stivers bahwa pemerintah adalah kita atau dalam bahasa “Government is Us” menuju pemerintahan yang demokratis meliputi aktivitas kewarganegaran dan aktivitas administrasi (aparatur birokrasi). Kedua penulis ini mengemukakan bahwa aktivitas administrasi atau kerja-kerja aparatur birokrasi adalah tidak sekedar perubahan dari kekuasaan yang birokratis, tetapi digunakan untuk kebebasan untuk menentukan kekuasaan dan mengembangkan kerja aparatur birokrasi yang kolaboratif dengan warga negara atau masyarakat(King and Stivers, 1998;195). Kerja-kerja para aparatur birokrasi harus membiasakan diri untuk berfikir bahwa; melihat warga negara sebagai warga Negara; pembagian kekuasaan; mengurangi aparatur birokrasi dan mengendalikan organisasi; kepercayaan pada kemanjuran kolaborasi; adanya keseimbangan pengalaman dengan ilmu pengethuan dan kemampuan profesionalitasnya. Memang pencapaian tujuan untuk melakukan kolaborasi peran dan fungsi bagi suatu pemerintahan yang baik memiliki syarat dan model dari tata kelola kepemerintahannya. Karena dengan memberikan peluang pada masyarakat berarti adanya share kekuasaan untuk mengelola Negara. Negara harus memiliki pandangan bahwa tanpa masyarakat, Negara tidak memiliki fungsi apa-apa, karena kekuasaaan Negara itu berasal dari rakyat untuk kepentingan rakyat dan memperoleh kekuasaan pun melalui pemilihan yang dipilih oleh rakyat. Tata kelola pemerintahan secara ideal melibatkan masyarakat sebagai salah satu komponen atau pilar penting dalam memberikan input perencanaan pembangunan. Konkritnya tindakan interaktif harus dimulai sejak pemerintah melakukan perumusan kebijakan pembangunan, memasukan ke agenda kebijakan, menentukan implementasi sampai pada bagaimana sebuah kebijakan itu di evaluasi untuk mencapai outcome yang dirasakan masyarakat (Deni, 2008). Tentunya bahwa outcome harus di awali dengan program sebagai input dalam perencanaan pembangunan, dengan cara diorganisir dan dikelola untuk mencapai tujuan publik. Pemerintahan yang baik meniscayakan adanya jejaring dari aktor pemerintah untuk melakukan negosiasi dan implementasi secara nyata (Frederickson et.al, 2012) adalah merupakan bagian dari aktivitas dari pemerintahan interaktif. Adalah mengharapkan muncullanya aktor pembangunan dari grass-root atau bottom-up approach sebagai bentuk partisipasi kekuasaan dari bawah dengan tujuan mengelola Negara secara efektif untuk mencapai pemerintahan yang demokratis. Pemerintahan interaktif merupakan model yang menekankan pada kerja pemerintahan yang memberikan jalan keluar mempengaruhi kepentingan masyarakat secara langsung dan berkelanjutan. Pemerintahan interaktif dimaksudkan adalah tata kelola pemerintahan yang dihadapi secara kompleks melalui suatu proses sosial yang plural (banyak) dan aktor-aktor politik dengan perbedaan-perbedaan kepentingan untuk formulasi, promosi, dan kegiataan secara objektif dengan maksud untuk memobilisasi seperangkat ide, aturan, dan 4
sumberdaya (Torfing, et.al, 2012). Konsep pemerintahan interaktif masih berkenaan pada argumen bahwa pemerintah harus mengarahkan masyarakat (civil society) dan ekonomi(economy society-pihak swasta) tetapi pendekatan dari masalah ini melalui perbedaan praksis di lapangan dibanding dengan asosiasi pengelolaan dalam bentuk tradisional. Point secara fundamental dari pemerintahan interaktif memungkinkan adanya hirarki bayangan dalam pemerintahan sebagai bentuk pembagian dan manfaat yang dilegitimasi. Untuk memperjelas hubungan antara bentuk-bentuk pemerintahan adalah sebagaiman tergambar pada skema berikiut ini ;
Metagovernance Interactive governancee Government
Transformation
Governing Governing
Society/ Economy
Gambar. 1. Hubungan antara bentuk-bentuk pemerintahan(Torfing, et.al,2012). Skema diatas mengambarkan pusat pemerintahan Negara secara tradisional dan bentuk-bentuk pemerintahan interaktif. Kerangka model pemerintahan menunjukkan eksistensi dan cenderung sebagai bentuk pemerintahan tradisional melalui pemerintah dan didukung oleh bentuk-bentuk pemerintahan interaktif. Dapat dianalisis bahwa keduanya antara government dan Interactive governance memungkinkan adanya kontribusi untuk governing masyarakat dan ekonomi (swasta) di dalam mengidentifikasikan masalah-masalah, tantangan-tantangan, dan formulasi serta melakukan kegiatan secara objektif. Karena jika aktivitas Negara dikurangi perannya ,maka akan terjadi peran yang krusial dalam mengelola interactive governance (metagoverning) . hal ini dimaksudkan 5
adalah adanya pembagian peran struktural dan kondisi-kondisi kelembagaan dan desain, pengelolaan, dan secara langsung dapat berinteraksi diarena. Pemerintah juga dapat berpengaruh pada kreasi untuk membagi peran dan atau mengurangi peran pemerintah atau Negara. Akan tetapi Transforming berperan dan berfungsi sebagai tindakan Negara atau memperkenalkan wajah Negara pada batas-batas tertentu dan partisipasi yang dibutuhkan di dalam pembuatan regulasi sebagai bentuk tindakan dari arena pemerintahan interaktif. Sehingga pemerintahan interaktif dapat dipahami sebagai share role yang memiliki cakupan yang luas untuk memformulasi dan mengimplementasi kebijakan publik. Bentuk-bentuk dari pemerintahan interaktif seperti; pertama, Quasi Pasar, yang memberi isyarat bahwa keduanya antara Manajemen Publik Baru dan konsep Governance memiliki argumentasi bahwa pemerintah harus “mengemudi bukannya mendayung” dalam mengelola Negara. Konsep mengemudi dimaksudkan menetapkan sasaran kebijakan secara luas. Sementara mendayung benarbenar melakukan aksi yang memenuhi sasaran kebijakan tersebut. Memang pemerintah interaktif harus memastikan semua aktor dalam pembangunan termasuk swasta diberi fungsi yang optimal. Konsep mendayung sebaiknya diserahkan kepada aktivitas swasta (entrepreunerial) dalam jaringan kebijakan yang relevan daripada langsung dikendalikan oleh pemerintah (Osborne and Gaebler, 1992). Bentuk jejaring lain dari aktivitas pemerintah interaktif adalah adanya interaksi yang inovatif, kompetitif, dan metode solusi kreatif. Merespon semua masalah dengan membangun relasi arena baru untuk bertukar ide dan pengalaman dalam membangu kepercayaan dan hubungan kerja sama untuk mengelola pemerintahan. Jadi konsep governance lebih menekankan pada proses sedangkan manajemen publik baru menekankan pada hasil atau produk. Kedua; Partnership juga merupakan bentuk jejaring pemerintah interaktif yang menekankan pada kerjasama struktural kelembagaan antara kelompok swasta dan publik dalam merencanakan, merekonstruksi dan atau mengeksplor fasilitas infrastruktur, dimana pembagian alokasi, biaya, manfaat, sumber daya dan responsibilitas. Ketiga; governance networking. Bentuk pemerintahan interaktif dari membangun jejaring pemerintahan adalah governance networking dikaji dari beberapa hal yaitu tujuan jejaring untuk kerjasama fasilitas dari istilah sharing pengetahuan. Selain itu tujuan jejaring menekankan pada koordinasi dalam memaksimalkan usaha-usaha kerjasama atau kolaborasi melalui definisi dan solusi dari masalah dan tantangan-tantangan. Di sisi lain jejaring dibentuk dalam organisasi publik (Jejaring antar organisasi internal) dengan organisasi publik (Kerjama dengan pemerintah) atau antara aktor-aktor publik dan swasta dalam jejaring kebijakan yang mempunyai kewenanagan masing-masing atau otoritasnya (Torfing, 2012). Ketiga bentuk jejaring pemerintahan interaktif tersebut, menggambarkan adanya peran penting dari masing-masing aktor yang memiliki otoritas yang mampu mengkomunikasikan atau memediasi pembuatan kebijakan publik di lingkungan pemerintah. Aktor jejaring yang diutamakan adalah pemerintah dan masyarakat. 6
Pemerintah sebagai aktor berusaha untuk bekerja dalam pembuatan kebijakan publik. Otoritas pemerintahan (pemerintah, swasta dan masyarakat) menekankan pada kolaborasi dan kreatifitas untuk membagi persoalan-persoalan yang dihadapi. Otoritas pemerintahan juga penting dalam pengelolaan pemerintahan yang baik karena untuk menghindari konflik dari aktor-aktor pemerintahan lainnya. Otoritas pemerintahan kita pahami sebagai pemikiran ke arah kolaborasi yang kita butuhkan dimana dengan cara mengkombinasi interaksi dan membagi solusi dari persoalan yang dihadapi pemerintahan dengan asumsi dan prediksi ke depan (Hajer, 2009). Maka orientasi dari tata kelola kepemerintahan baik mengahasilkan hubungan masyarakat dan Negara untuk membangan jejaring dari pada hirarki dalam dominasi pembuatan kebijakan publik. Mewujudkan pemerintahan yang interaktif juga di tandai dengan gambaran akan adanya perubahan budaya dan peran serta batas Negara dalam masyarakat. Bentuk dari perubahan peran Negara terutama memfasilitasi interaksi penyelenggaraan kebijakan dari berbagai kepentingan. Sementara itu, pemerintahan berperan memperluas koordinasi dan pengendalian. Pemerintahan yang interaktif dapat diwujudkan melalui proses tata kelola pemerinatahan yang di kenal dengan banyak aktor dan pengetahuan serta memiliki kemampuan sumber daya untuk memberikan solusi dari berbagai persoalan yang di hadapi Negara (Lyall, Papaioannou dan Smith, 2009).
Kesimpulan Penulis menyimpulkan beberapa pilar pemerintahan interaktif dalam membangun penyelenggaraan pemerintahan yang baik. Pertama, pemerintahan yang baik harus di pahami sebagai proses untuk membangun mekanisme dan jejaring bagi lembaga pemerintahan, swasta maupun masyarakat. Kedua, transparansi, akuntabilitas dan tingkat kinerja dalam tata kelola kepemerintahan masih rendah, dengan fenomena dan beberapa laporan dari Indonesia Governance Indeks (Kemitraan dan Paternership Indonesia). Ketiga, pemerintahan interaktif mengindikasikan adanya proses pembagian peran dan fungsi kelembagaan serta konsensus pihak masyarakat dan swasta, sebagai suatu penguatan legitimasi hukum dalam penyelenggaraan pemerintahan. Keempat, Intinya bahwa pemerintahan interaktif memiliki hirarki bayangan dalam pemerintahan sebagai bentuk dari share role yang dapat memanfaatkan potensi, pengetahuan, pengalaman yang dilegitimasi oleh Negara.
7
Kelima, Transformasi fungsi-fungsi lembaga diluar pemerintah, pemerintah hanya sebagai nahkoda yang mengarahkan arah tujuan Negara, sementara itu fungsi lainya dalam implementasi kebijakan pemerintah dilakukan oleh struktur lembaga swasta dan masyarakat, dalam bentuk merencanakan pembangunan, merekonstruksi dan atau mengeksplor fasilitas infrastruktur. Keenam. Pemerintahan interaktif diarahkan pada pembagian arena, pemanfaatan biaya, sumber daya serta memiliki daya untuk melakukan akuntabilitas publik. Daftar Pustaka Deni, Saiful, 2008. Reform Administrasi Publik, penerbit Setara Press dan SCDP. Cetakan 1 Malang. ………………2012. Selingkuh Birokrasi: Korupsi, Dilema, dan Harapan Inovasi Pemerintahan. Yogyakarta, Naufan Pustaka. Dwiyanto, dkk, 2002. Reformasi Tata Pemerintahan dan Otonomi Daerah, PSKK UGM Yogyakarta. (Governance Decentralization Survey 2002) Dwiyanto,dkk, 2006. Kinerja tata Pemerintahan Daerah Di Indonesia, PSKK UGM Yogyakarta. Governance Assesment Survey 2006). Frederickson, George H, 2012. The Public Administration Theory Primer, Second Edition. Colorado, Westview Press. Hajer, A Maarten, 2009. Authoritative Governance: Policy-making in the Age of Mediatization, Oxford Universty Press. New York. Indonesia Governance Indeks, 2008, Kemitraan Partnership, Jakarta. King, Simrell Cheryl, and Stivers Carmilla, 1998. Government is Us: Public Administration in an AntiGovernment Era, London New Delhi. Sage Publication. Lyall.C, Papaioannou.T, and Smith J, 2009. The Limits to Governance: The Challenge of Policy-Making for the New Life Sciences. Ashgate, Osborne, David dan Ted Gaebler, 1992. Reinventing Government, Reading, MA. Addison-Wesley. Rosenau, N,J. and Czempiel E.O, 1992. Governance without Government: Order and Change in World Politics, New York, Chambridge University Press. Tiihonen, Seppo, 2004. From Governing to Governance: a Process of Change, Tempere University Press. Torfing, Jacob, et.al, 2012. Interactive Governance: Advancing the Paradigm, New York. Oxford University Press.
8
9