I PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Sapi Pasundan merupakan sapi lokal di Jawa Barat yang diresmikan pada
tahun 2014 oleh Menteri pertanian (mentan), sebagai rumpun baru berdasarkan SK Nomor 1051/kpts/SR.120/10/2014. Sapi Pasundan secara historik lebih dikenal dengan sebutan sapi kacang atau sapi kacangan, sapi pekidulan, sapi rancah dan nama lokal lainnya. Sebaran sapi Pasundan salah satunya terdapat di wilayah buffer zone hutan priangan utara Jawa Barat terutama di Kabupaten Indramayu yaitu di Kecamatan Gantar dan Kecamatan Terisi yang merupakan Village Breeding Center (VBC) yaitu tempat pusat pengembangan bibit yang berbasis di pedesaan. Wilayah ini diketahui memiliki kondisi temperatur lingkungan yang tinggi, dan pada saat musim kemarau penyedian pakan hijauan sangat terbatas. Menurut Indrijani dkk, (2013) menyatakan bahwa diantara keunggulan dari sapi lokal, yaitu mudah beradaptasi dengan lingkungan sekitar, seperti terhadap pengaruh iklim (cekaman), lebih tahan terhadap penyakit di wilayah tropis seperti caplak, dan parasit cacing. Pemeliharaan secara ekstensif atau semi intensif yang hanya seadanya memanfaatkan pakan di sekitar wilayahnya dan penyesuaian dengan lingkungan tersebut menyebabkan performan dari sapi Pasundan secara eksterior kecil. Keadaan fenotipe tersebut menjadikan sapi ini mudah untuk dipelihara oleh peternak dan memberikan manfaat bagi masyarakat
2 karena tidak memerlukan input yang besar khususnya pakan dan pemeliharaannya yang mudah. Sebagai langkah awal dalam pengelolaan sapi Pasundan maka diperlukan upaya identifikasi karakter genetik sapi Pasundan terutama di wilayah sebaran utama geografis, salah satunya di Kabupaten Indramayu yaitu di Kecamatan Gantar dan Terisi. Identifikasi keragaman genetik dapat dilihat salah satunya melalui karakter alel dari lokus tertentu yang merupakan ekspresi dari gen, atau melalui identifikasi pola pita protein. Kajian untuk mendeskripsikan keberadaan suatu ternak secara interior pada suatu wilayah, salah satunya dengan mengetahui pita-pita protein albumin darah. Dalam menganilisis keadaan suatu populasi Johari, dkk (2009) menyatakan besar penyimpangan sifat atau keragaman genetik yang terjadi dapat dihitung melalui analisis protein darah. Protein adalah senyawa kimia yang tersusun dari berbagai asam amino, yang dibentuk dari berbagai molekul sesuai dengan fungsinya. Berbagai protein antara lain, protein hormon, protein enzim, protein darah, protein antibodi, dan lain-lain. Protein albumin darah merupakan protein yang selalu diproduksi dalam tubuh oleh sel darah sebagai fungsi menjaga tekanan osmotik tubuh, sistem transport nutrien, dan selalu ada pada semua individu (hewan dan manusia), sehingga keberadaannya selalu stabil dalam kondisi lingkungan apapun. Berdasarkan hal tersebut, protein albumin darah layak dijadikan sebagai marker keberadaan individu pada populasi secara genetis. Sampai saat ini belum ada informasi mengenai sebaran pola pita protein albumin darah dari sapi pasundan, sehingga diperlukan penelitian mengenai “Analisis Pola Pita Protein Albumin
3 Darah pada Sapi Pasundan di Village Breeding Center Kecamatan Terisi Kabupaten Indramayu”.
1.2.
Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut, maka identifikasi masalah pada
penelitian ini adalah bagaimana pola pita protein albumin darah pada sapi Pasundan di Village Breeding Center Dusun Sukasari Kecamatan Terisi Kabupaten Indramayu Jawa Barat.
1.3.
Maksud dan Tujuan Maksud dan tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pola pita
protein albumin darah pada sapi Pasundan di Village Breeding Center Dusun Sukasari Kecamatan Terisi Kabupaten Indramayu Jawa Barat.
1.4.
Kegunaan Penelitian Kegunaan dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi
dasar tentang karekteristik genetik populasi sapi Pasundan di Village Breeding Center (VBC) Dusun Sukasari Kecamatan Terisi Kabupaten Indramayu Jawa Barat secara deskriptif yang dapat digunakan untuk kegiatan pengembangannya.
1.5.
Kerangka Pemikiran Sapi Pasundan merupakan salah satu pilihan bibit sapi yang tepat untuk
memenuhi kebutuhan protein hewani untuk saat ini, karena performa eksterior dari sapi Pasundan yang kecil menyebabkan sapi ini mudah untuk dipelihara
4 dengan lahan terbatas dan kondisi pakan yang terbatas. Hal ini sesuai dengan pendapat Indrijani, dkk (2013) mengenai fenotip eksterior sapi Pasundan mempunyai penampilan yang lebih kecil jika dibandingkan dengan sapi Bos indicus (sapi Brahman, sapi Sahiwal, sapi Peranakan Ongole (PO) dan lain-lain) dengan Bos taurus (sapi Simental, sapi Limosin, sapi Angus, dan lain-lain) menjelaskan bahwa sapi Pasundan merupakan hasil dari proses cross breeding yang panjang beberapa bangsa, antara lain sapi Sumba Ongole, sapi Bali, sapi Madura, dan sapi Jawa. Lebih lanjut hasil keturunannya terjadi inbreeding secara terus-menerus. Kemudian pengaruh inbreeding tersebut disebabkan oleh pola perkawinan secara tidak teratur, tanpa adanya seleksi yang tepat, oleh karena itu dalam penyelamatan dan peningkatan populasi serta produktivitas sapi Pasundan diperlukan suatu kajian untuk menggambarkan kondisi populasi sapi Pasundan di suatu wilayah. Menurut Wongsosupantio (1992), teknik elektroforesis digunakan untuk menentukan polimorfisme protein yang didasarkan pada mobilitas molekul didalam suatu medan listrik yang ditentukan oleh ukuran, bentuk, besar muatan dan sifat kimia molekul. Warwick, dkk (1995) menyatakan polimorfisme merupakan perbedaan-perbedaan sifat biokimia yang diatur secara genetik dan banyak ditemukan dalam cairan tubuh dan sel-sel ternak. Selanjutnya menurut Harper (1980) polimorfisme dapat digunakan untuk menganalisis keadaan genetik suatu populasi. Protein disintesis oleh asupan nutrisi dan metabolisme DNA melalui proses kimiawi hasil ekspresi gen dalam kromosom. Susunan basa yang berbeda pada setiap individu akan menyebabkan perbedaan pola pada suatu protein yang dihasilkan. Identifikasi protein tersebut memerlukan suatu teknik biomolekuler, yaitu teknik elektroforesis sistem vertikal.
5 Protein yang digunakan dalam penelitian ini adalah protein albumin dalam darah. Irsan, dkk. (2008) menyatakan bahwa albumin merupakan protein plasma yang paling banyak dalam tubuh manusia, yaitu sekitar 55–60 % dari protein serum yang terukur. Albumin yang terdapat pada hewan menurut Kaneko (1980) bahwa salah satu jenis protein di dalam plasma darah yang berjumlah antara 3–5% dari total volume darah atau sekitar 35-50% dari total protein plasma. Lebih lanjut dijelaskan bahwa albumin mempunyai peranan penting dalam pengangkutan berbagai
macam
asam
amino
ke
berbagai
jaringan
mempertahankan keseimbangan tekanan osmotik darah.
tubuh
dan
ikut
Oleh karena itu,
keberadaan protein ini akan selalu ada selama ternak tersebut hidup. Hal ini yang menjadi dasar dalam analisis bahwa protein albumin dapat digunakan untuk mengidentifikasi ternak secara kualitatif. Berdasarkan penelitian Johari,dkk (2008), keragaman dari karakter alel lokus protein tertentu yang merupakan ekspresi dari gen tertentu yang dapat dihitung nilai frekuensi gen dan genotip dengan melihat jarak migrasinya, heterozigositas dan karakteristik spesifik gen. Jarak migrasi merupakan jarak yang ditempuh oleh molekul bermuatan dalam gel elektroforesis selama dilakukan running dan diukur dari anoda ke arah pita (mengarah ke katoda) menggunakan skala milimeter (mm). Arifin (2004) menyatakan bahwa jarak migrasi yang didapatkan akan menjadi penanda kemunculan pita protein sebagai gen yang dimiliki suatu individu. Jarak terdekat atau angka skala terkecil menunjukkan profil molekul protein tersebut memiliki berat molekul yang tinggi dengan muatan positif yang kecil dan sebaliknya apabila berat molekulnya rendah tetapi muatan positifnya besar maka mobilitasnya semakin cepat sehingga akan menghasilkan jarak yang relatif lebih jauh.
6 Penentuan lokus protein didasarkan pada kecepatan mobilitas relatif sampel terhadap protein yang dipakai sebagai standar. Lokus protein yang ditunjukkan dengan gambar satu band pada satu protein maka diasumsikan bahwa protein adalah homosigot dengan alel kembar atau bergenotipe sama. Bila terbentuk lebih dari satu band maka diasumsikan bahwa protein tersebut adalah heterosigot dengan alel dan genotipe yang berbeda. Menurut Haris (1989), adanya perbedaan mobilitas akan terbentuk pola-pola protein hasil elektroforesis pada gel yang berbeda sehingga dapat diperoleh informasi secara tidak langsung mengenai susunan gen-gen yang mengkode protein tersebut. Berdasarkan kerangka pemikiran di atas, maka diharapkan penelitian ini dapat menjelaskan bagaimana karakter genetik populasi sapi Pasundan di Kecamatan Terisi secara kualitatif, yaitu berdasarkan pola pita protein albumin darahnya.
1.6.
Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada 15 Mei – 7 Juni 2015, pengambilan
sampel darah dilakukan di Village Breeding Center (VBC) Dusun Sukasari Jalan Cikamurang Desa Cikawung Kecamatan Terisi Kabupaten Indramayu Jawa Barat. Hasil sampel darah kemudian diuji di Laboratorium Riset dan Pengujian MeatMilk Pro Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran.