1
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Sapi bali merupakan komoditas ternak unggul di Propinsi Bali dan merupakan salah satu plasma nutfah yang dipertahankan keberadaan dan kemurniaanya (Suwiti et al,. 2010). Di Indonesia, jumlah sapi bali adalah yang tertinggi bila dibandingkan dengan sapi lainnya seperti sapi ongole, sapi peranakan ongole (PO), dan sapi madura. Populasi sapi bali mencapai sekitar 4,5 juta ekor (Ditjen Bina Produksi Peternakan, 2002). Sapi bali memiliki ciri khas yang berbeda dengan sapi lainnya.
Sapi bali banyak diminati oleh peternak
karena mempunyai banyak keunggulan, diantaranya memiliki efisiensi reproduksi tinggi, cepat berkembang biak, memiliki potensi sangat baik dalam menghasilkan daging dengan karkas yang cukup tinggi dan juga memiliki daya adaptasi yang baik terhadap lingkungan baru (Purwantara et al,. 2012). Sapi bali merupakan salah satu jenis sapi sebagai penyumbang terbesar
perkembangan industri
peternakan di Indonesia (Entwistle dan Lindsay, 2002). Di Indonesia kebutuhan akan konsumsi terhadap sapi bali cukup tinggi, baik dari konsumsi daging, maupun organ-organ tertentu seperti hati. Namun di beberapa pasar tertentu, terkadang daging ataupun organ-organ sapi bali yang diperolah sudah dalam keadaan yang kurang baik. Hal ini diakibatkan karena pengaruh dari segi kesehatan sapi tersebut maupun lama waktu pemotongan (Lukman,
2013).
Salah satu perubahan yang terjadi pada daging atau organ-organ yang lain adalah terjadinya autolisis. Banyak pakar yang mendefenisikan tentang arti dari autolisis. Berata et al., (2011) menyatakan bahwa autolisis adalah peristiwa mencerna sendiri oleh enzim-enzim yang dihasilkan oleh sel/jaringan setelah kematian sel. Sumber lain mengatakan bahwa autolisis merupakan fase yang terjadi setelah terjadinya fase rigor mortis yang ditandai otot/organ sangat lembek yang disebabkan karena aktivitas enzim yang semakin meningkat yang selanjutnya menghasilkan substansi yang baik bagi pertumbuhan bakteri (Bradley et al., 1996). Autolisis pada daging dan organ-organ lainnya tergolong dalam kerusakan secara kimiawi yang juga sering disebut dengan souring.
Souring adalah
perubahan yang menimbulkan bau/rasa asam, yang disebabkan asam volatil, seperti asam format, asetat, butirat, dan propionat. Dampak autolisis bagi kualitas daging dan organ-organ pada sapi bali yang telah dipotong adalah mempermudah mikroorganisme untuk tumbuh pada organ/jaringan tersebut sehingga jika dikonsumsi dapat memberikan dampak buruk bagi kesehatan (Lukman, 2013). Dalam Ilmu Kedokteran Hewan khususnya pada bidang patologi, ketepatan diagnosa berkaitan dengan autolisis sangat penting. Autolisis sering disamakan dengan nekrosis, padahal dasarnya autolisis berbeda dengan nekrosis. Nekrosis merupakan kematian sel/jaringan akibat proses degenerasi yang irreversibel.
Pada nekrosis, masih ada sel-sel hidup di sekitar jaringan yang
2
mengalami nekrosis, sedangkan pada kejadian autolisis tidak terdapat sel-sel hidup di sekitar jaringan (Berata et al., 2011). Pengetahuan tentang perbandingan tingkat autolisis antara otot dan hati pada sapi bali dengan
waktu tertentu setelah pemotongan sangat terbatas
informasinya. Oleh karena itu, autolisis pada otot dan hati sapi bali sesuai dengan tingkatan waktu yang berbeda perlu diteliti dan dipelajari untuk mengetahui perbandingan autolisis yang terjadi. Studi ini perlu dilakukan untuk melengkapi informasi mengenai pengetahuan tentang gambaran histologi pada bidang patologi yang berkaitan dengan autolisis pada otot dan hati yang sampai saat ini relatif masih sangat minim pengkajiannya bahkan belum ada yang melakukan penelitian sebelumnya. 1.2 Rumusan masalah Dari latar belakang di atas , maka dapat dirumuskan masalah pada penelitian ini adalah : 1. Bagaimanakah tingkat autolisis otot sapi bali pada 0, 2, 4, 6, 8, 10 dan 12 jam setelah pemotongan? 2. Bagaimanakah tingkat autolisis hati sapi bali pada 0, 2, 4, 6, 8, 10 dan 12 jam setelah pemotongan? 3. Apakah ada perbedaan tingkat autolisis antara otot dan hati sapi bali pada 0, 2, 4, 6, 8, 10 dan 12 jam setelah pemotongan ? 1.3 Tujuan penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah :
3
1. Mengetahui tingkat autolisis otot sapi bali pada 0, 2, 4, 6, 8, 10 dan 12 jam setelah pemotongan. 2. Mengetahui tingkat autolisis hati sapi bali pada 0, 2, 4, 6, 8, 10 dan 12 jam setelah pemotongan. 3. Mengetahui perbedaan tingkat autolisis antara otot dan hati sapi bali pada 0, 2, 4, 6, 8, 10 dan 12 jam setelah pemotongan. 1.4 Manfaat penelitian Penelitian ini bermanfaat untuk memberikan informasi tentang tingkat autolisis dan perbedaan antara otot dan hati sapi bali pada 0, 2, 4, 6, 8, 10 dan 12 jam setelah pemotongan. 1.5 Kerangka konsep Autolisis merupakan proses mencerna sendiri oleh enzim-enzim yang dihasilkan oleh sel/jaringan setelah kematian sel. Pada proses autolisis, terdapat variasi kecepatan diantara jaringan untuk proses autolisis akibat kandungan enzim proteolitiknya. Autolisis terjadi pada sel/jaringan setelah pemotongan. Berata et al (2011) menyatakan bahwa organ hati lebih cepat mengalami proses autolisis bila dibandingkan dengan jaringan otot pada hewan sakit/mati pasca dinekropsi. Organ atau jaringan yang mengalami autolisis khususnya pada otot akan memberikan dampak yang buruk bagi kesehatan jika dikonsumsi. Hal ini disebabkan karena jaringan atau organ yang mengalami autolisis akan mempermudah pertumbuhan mikroorganisme pada jaringan atau organ tersebut. Hogland dan Braid (1987) menyatakan bahwa mikroorganisme mudah tumbuh pada
jaringan/organ
yang
mengalami
4
autolisis
karena
proses
autolisis
menghasilkan substansi yang digunakan oleh mikroorganisme itu sendiri sebagai sumber makanan. Jika diamati secara makroskopis, analisis tentang autolisis yang terjadi pada otot dan hati sulit untuk diamati. Oleh sebab itu Analisis dilakukan dengan pengamatan secara mikroskopis. Autolisis pada otot dan hati sapi bali secara umum dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor tersebut antara lain kandungan enzim proteolitik dalam masing-masing sel, spesies hewan, umur, jenis kelamin, suhu, status hewan (sehat/sakit) dan lain-lain. 1.6 Hipotesis Ada perbedaan tingkat autolisis antara otot dan hati sapi bali, dimana hati lebih cepat mengalami autolisis dibanding otot.
5