PENDAHULUAN. (Damaskus : Dar al-fikr, 1968), halaman Musthafa Ahmad az-zarqa, al-madhkal al-fiqhy al-am,

1 PENDAHULUAN

Tafsir sebagi ilmu yang mengungkap kandungan al-Quran, dari sisi pembahasannya tidak selalu bertumpu pada ungkapan literal ayat al-Quran itu sendiri. Sebagaimana turunnya al-quran yang tidak vacuum dengan peristiwa sosial yang melingkarinya, maka pesan –pesan ayat maupun pemahamannya terhadap ayat alQuran tidak mungkin dilepaskan dari ruang realitas kehidupan. Para ulama telah sepakat adanya dua aspek pokok yang amat subtansial di dalam al-quran yaitu aspek ibadah dan aspek muamalah. Dalam bahasa modern aspek ini disebut dengan istilah theosentris untuk aspek ibadah dan antrophosentris untuk istilah aspek muamalah.1 Aspek ibadah mencakup psegala perintah ibadah yang ketentuannya telah diatur Allah swt tanpa dapat dilakukan perubahan. Seperti antara lain jumlah rakaat dalam salat, bilangan dan waktu dilakukannya ibadah puasa serta waktu pelaksanaan haji. Aspek muamalah (antrophosentris) merupakan ajaran yang terkait dengan aktifitas hubungan sosial antar sesame manusia. Seperti antara lain kegiatan transaksi jual beli, utang pitang, perkawinan, dan kegiatan soial lainnya

1

Musthafa Ahmad az-Zarqa, al-Madhkal (Damaskus : Dar al-Fikr, 1968), halaman 31.

1

al-Fiqhy

al-Am,

Pada aspek ibadah dalam makna pokoknya memang tidak ada perubahan. Tetapi dikaitkan dengan pelakunya sebagai mahluk sosial, perubahan terjadi dari sisi kebijakan syariah. Misalnya sesorang dibolehkan salat dalam keadaan duduk sampai tidur ketika uzur. Bahkan perubahan menyangkut prosedur bisa dilakukan sendiri oleh umat manusia dengan gaya–gaya baru seperti cara-cara pembagian zakat yang dilakukan oleh komunitas konglemerat. Tidak jarang cara yang disebut terakhir ini dapat menimbulkan musibah dengan merenggut nyawa manusia. Masih ingat bagaimana peristiwa kematian yang diakibatkan oleh cara orang-orang kaya mendistribusikan zakat di kediamannya di hadapan jumlah masa yang amat massif. Ini menunjukkan adanya realitas sosial tengah terjadi dengan membentangkan antara dua kutub antara yang sakral dengan aktifitas kemanusiaan. Beter L Berger seorang sosiolog Barat mengartikulasikan dalam bahasa yang disebutnya masa-masa manusia melakukan proses tahapan dari internalisasi menuju ekternalisasi.2 Pada tahap internalisasi seseorang tidak dapat diingkari adanya kemapanan prilaku untuk berbuat atau melakukan sesuatu sesuai dengan kaidah-kaidah (norma-norma agama) yang ditetapkannya dari dalam (internal). Di tahap berikutnya seseorang dengan sendirinya harus melakukan ekternalisasi, ia tidak lagi selamanya cukup bersentuhan dengan norma-norma internal tetapu juga akan bersentuhan (berinteraksi) dengan norma-norma yang timbul dari luar. Di sini kemudian aktifitas

2

Peter L berger, Piramida Pengorbanan Manusia : Satu jawaban Diantara Sosialisme dan Kapitalisme (Bandung : Iqra, 198), cetakan pertama, halaman 215.

2

seseorang yang bersifat sakral (ibadah) akan berhadapan dengan aktifitas yang bersifat profan. Oleh karena itu, tidak heran bila di tengah sosial kerap dijumpai aktifitas ibadah hampir ternafikan sisi sakralnya demi kepentingan profannya. Dalam ibadah zakat, seperti diterangkan di muka, terdapat sebagian pelakunya tidak merasa puas bila zakat tersebut sekedar didistribusikan tanpa mengundang masa dan di sorot kamera. Demikian juga sebagian pelaku ibadah puasa merasa tidak lengkap bila tidak mengundang segmentasi sosial untuk mengadakan kegiatan buka puasa bersama. Bahkan dalam ibadah umrah dan haji pun, tidak jarang seseorang yang melakukannya karena demi memenuhi kepentingan pengakuan sosial dan politik. Tafsir sosial (kajian ibadah dan kemanusiaan), dalam buku yang akan ditulis ini, sesungguhnya dimaksudkan akan memberikan penjelasan fanomena ibadah dan sosial yang terjadi di masyarakat disertai dengan gugahan sosial berdasarkan tafsir ayat-ayat terkait. Sejalan dengan arah pembahasan, maka juduljudul yang disajikan dalam buku ini antara lain dalam topik ibadah diuraikan tentang puasa emansipatoris, zakat bukan suap, aksiologi puasa, emosi haji dan etos ramadhan. Adapun dalam topik kemanusiaan antara lain diurai tentang keteladanan pemimpin, menolong kucing, bangsa pengejar kuantitas, menteri penjilat, penyakit hedonis, etika berdebat dan demontrasi. Adapun bahasan-bahasan supelmen dalam buku ini disertakan topik – topik ulasan tentang Tafsir di Indonesia dalam Tantangan Zaman dan Kebebasan Beragama : Antara Teks dan Realitas.

3

4

2 AL-QUR’AN DAN TAFSIR SOSIAL

A. Pengertian Al-qur’an Dari sisi bahasa al-Quran merupakan kata yang diderivasi dari qara’a, yaqrau, qiraatan wa quranan yang artinya bacaan. Pengertian ini mengandung makna bahwa al-Quran merupakan kitab yang dibaca. Dalam ajaran Islam membaca al-Quran brnilai ibadah dan bagi yang membacanya dengan baik dan benar akan memperoleh fahla. Amat wajar fahala yang diperoleh bagi pembaca al-Quran karena yang terkandung dalam al-Quran meliputi aspek-aspek ajaran yang dapat membentuk manusia bermoral dan berilmu pengetahuan. Quraish Shihab memaknai kata qaraa dengan menghimpun. Arti asal kata ini menunjukkan bahwa iqra yang diterjemahkan dengan bacalah tidak mengharuskan adanya suatu teks tertulis yang dibaca, tidak pula harus diucapkan sehingga terdengar oleh orang lain. Dalam kamus dijumpai aneka ragam arti qaraa antara lain menyampaikan, menelaah, membaca, mendalami, mengetahui cirri-cirinya dan sebagainya.3 Pengertian ini tampak lebih luas karena al-Quran tidak hanya kitab bacaan tetapi lebih dari tu mengandung ayat-ayat ilmu pengatahuan kawniyah dan ghairu kawniyah yang perlu diteliti/ditelaah lebih mendalam dan komperhensif. 3

H.M. Quraish Shihab, Tafsir Al Amanah ( Jakarta : Pustaka Kartini, 1992), halaman 10-11.

5

Dari sisi terminology (syar‘i), menurut Khalid Abdurrahman al-‗Ak, al-Quran didefinisikan dengan ktab yang berbahasa arab, tertulis dalam mushaf, yang tidak diragukan kebenarannya karena diteransmisi secara mutawatir.4 Surat yang pertama diturunkan, menurutnya, adalah surat al-‗Alaq yang berbunyi Iqra Bismi Rabbik. Permulaan diturunkannya surat al‗Alaq dengan kata iqra menunjukkan adanya doronganal-Quran yang amat kuat kepada umat manusia (yang beriman) untuk menggali ilmu pengetahuan. Semua definisi al-Quran di atas baik dari sisi bahasa maupun syar‘i dapat disimpulkan bahwa al-Quran adalah kitab yang berbahasa Arab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad berisi petujuk imu yang menuntut untuk dibaca, ditafsir dan diteliti secara mendalam agar yang membacanya mendapatkan fahla dan ilmu pengetahuan baik yang kauniyah (ilmu alam dan sosial) maupun yang non kawniyah. Kesimpulan definisi ini menunjukkan bahwa tafsir sosial berdasarkan ayat al-Quran dapat dilakukan dengan mengamati (mencermati) prilaku umat manusia dalam kaitan aktifitas ibadah maupun mumalahnya. B. Pengertian Tafsir dan Tafsir Sosial 1. Pengertian Tafsir Tafsir menurut penegrtian bahasa adalah mengungkapkan dan menjelaskan5. Firman Allah; ―…dan mereka (orang kafir) itu tidak akan datang padamu (membawa) dengan sesuatu yang aneh melainkan Kami datangkan kepadamu yang benar 4

Syaikh Khalid Abdurrahman al-‗Ak, Buhuts fi al-‘Ulum al-Quran : Ushul at-Tafsir wa Qawaiduh (Damsyiq : Dar an-Nafais, 2007), halaman 36. 5 I b I d., halaman 30

6

dan penjelasan yang paling baik (Q.S 25 :33). Tafsir juga istilah yang biasa digunakan dokter untuk menjelaskan dan mendiagnosa tanda-tanda penyakit yang terdapat dalam tubuh manusia.6 Menurut pengertian terminologi, tafsir ialah menjelaskan makna ayat, kedudukannya, kronologis serta sebab turunnya ayat berdasarkan dalil yang jelas. Ahmad Syarbashi menjelaskan dua makna tafsir menurut kalangan ulama, yakni pertama, keterangan atau penjelasan sesuatu yang tidak jelas di dalam alQuran yang dapat menyampaikan pengertian yang dikehendaki. Kedua, merupakan bagian dari ilmu Badi‘. yaitu salah satu cabang ilmu sastra Arab yang mengutamakan keindahan makna dalam menyusun kalimat7. Pengarang kitab Lisan al-‗Arab mendefinisikan tafsir secara singkat dengan kata Kasyf al-Mughaththa yang berarti penjelasan dari sesuatu hal yang masih tertutup. Penulis almajmu‘ al-wasith mengemukakan bahwa tafsir bererti menjelaskan atau membuka sesuatu yang tertutup, seperti penelitian seorang dokter atau mengungkap maksud yang dikehendaki suatu lafal yang musykil.8 Oleh karena yang dijelaskan dan dan yang diterangkan itu ayat-ayat al-Quran yang masih belum jelas, maka tafsir alQuran berarti menerangkan dan menjelaskan makna-makna yang sulit pemahamannya dari ayat-ayat al-Quran. 6

Dr. Maula Umar bin Hammad, Ilmu Ushul at-Tafsir : Muhawalah fi al- Bina (Fes : Dar as-salam, 2010), halaman 35. 7 Ahmad al-Syarbashi, sejarah Tafsir Al-Quran, terj. Tim Pustaka Firdaus (t.p. : Pustaka firdaus, 1994), halaman 5. 8 Abd Muin Salim, Berbagai Aspek Metodologi Tafsir al-Quran (Ujung Pandang Lembaga Studi Kebudayaan Islam, 1990), halaman 1.

7

Definisi tafsir di atas memperlihatkan bahwa tafsir pada dasarnya adalah alat ilmiah guna mengungkap dan memahami kandungan al-Quran dengan sistimatik dan luas. Tafsir juga pada akhirnya memproduk metode dan kaedah-kaedah yang digunakan untuk memproduk pemahaman komperhensif dari alQuran. 2. Pengertian Tafsir Sosial Tafsir sosial yang dimaksudkan di sini adalah tafsir prilaku manusia baik dari sisi ibadah maupun muamalah, yang dicoba diadaptasi dengan aya-ayat al-Qurang yang terkait dengan aktifitas dimaksud. Untuk jelasnya boleh disebut dengan tafsir yang bernuansa sentuhan sosial dan kritik sosial. Tentu kajiannya dalam tafsir sosial disini tidak secangih dengan apa yang disebut dengan tafsir ijtimai, seperti yang selama ini telah berkembang pada tafsir karya Muhammad Abduh, Rasyid Ridha dan Sayed Qutub. Meski tulisan ini tidak berada di level mufassir di atas, namun nuansa pembahasannya diupayakan bernuansa sentuhan dan keritik sosial yang diidentifikasi berdasarkan tafsir ayat alQuran dan hadits. Topik-topik yang diurai bernuansa sentuhan sosial dan keritik tercermin pada uraian mengenai zakat, puasa, haji, etika berdebat, Quran tek manusiawi menunjukan adanya tafsir sosial tersebut9.

9

Islah Gusmian, Hazanah Tafsir Indonesia : Dari Hermeneutika hingga Ideologi ( Teraju ; Jakarta, 2003) halaman235-237 . Lihat pula Hendra Riyadi, Melampaui Pluralisme : Etika Al-Quran tentang Keragaman Agama (RMBOOKS: Jakarta, 2007), cet. Pertama, halaman 214.

8

C. Al-Qur’an Kitab Berani Tidak dijumpai di dunia ini kitab suci manapun yanmg berani menunjukkan sifat dan keistimewaan dirinya selain alQur‘an. Penjelasan al-Qur‘an bahwa dirinya kitab cahaya (annur), petunjuk (hudan), peringatan/pelajaran (al-dzikr), kitab obat (asy-syifa) dan lain-lain, semuanya membuktikan keberanian al-Qur‘an dalam menunjukkan fungsi dan misinya mencerahkan peradaban masyarakat. Keberanian yang paling menyolok dari al-Qur‘an ialah mendeklarasikan dirinya sebagai kitab yang tidak bertentangan satu sama lain (QS. 4: 82) Bahkan al-Qur‘an menantang siapa saja yang mampu untuk membuat (menyusun) Qur‘an baru baik dalam jumlah ayat minimal maupun maksimal (QS. 10: 38). Dalam kitab-kitab klasik seperti ditulis antara lain oleh al-Jahizh (w.225 H/869 M) dalam b ukunya Hujjaj an Nubuwwah tantangan al-Qur‘an itu disebut dengan i‘jaz. Dari sini lalu lahir istilah mu‘jizat alQur‘an. Penulis lebih cenderung menyebut dengan ayat (bukti) karena istilah mu‘jizat tidak terdapat dalam al-Qur‘an. Pengakuan al-Qur‘an bahwa dirinya sebagai kitab cahaya (an-nur) bukan bualan semata tetapi merupakan sejarah kebenaran yang didukung oleh kondisi Nabi yang ummi di satu sisi, dan kesuksessan Nabi dalam mengubah peradaban masyarakat di sisi lain. Kondisi Nabi yang ummi (tidak tahu baca dan tulis) yang lahir dari keturunan bersahaja dengan starata sosial ekonomi yang tergolong rendah tidak berbanding lurus dengan struktur masyarakat yang berkebudayaan arogan dan keras. Sementara para pemimpinnya adalah musuh-musuh 9

Nabi yang terdiri dari para bangsawan kaya, feodal dan elit yang mempunyai pengaruh besar di lingungan masyarakat arab saat itu. Namun berkat cahaya al-Qur‘an, Nabi mampu menghadapi tantangan yang amat berat tersebut dengan membangun peradaban yang damai, terbuka dan bermoral (QS. 62: 2). Tidak sedikit tokoh Arab yang dahulunya sangat menentang keras kehadiran Nabi, kini tampil menjadi pembela utama Nabi, mereka antara lain Umar bin Khaththab dan Abu Sufyan. Al-Qur‘an juga mendeklarasikan dirinya sebagai kitab yang ayat-ayatnya satu sama lain tiak bertentangan (QS. 4: 82). Ini jelas merupakan bukti/tanda (ayat) keberanian yang memperlihatkan adanya potensi kekuatan dan keterbukaan dalam diri al-Qur‘an untuk diperiksa, diteliti, dan didiskusikan oleh para pembacanya. Al-Qur‘an tidak pernah takut menutupi dirinya dari siapa saja yang ingin menggali otentitas atau kebenaran al-Qur‘an. Dari sikapnya yang berani dan terbuka, alQur‘an telah mencetak banyak para ilmuwan (ulama) jenius yang berlatar belakang keilmuan berbeda. Sejak ilmuwan bidang tafsir, fikih, kalam, filsafat hingga ilmuwan bidang sains. Bahkan al-Qur‘an membiarkan para pembacanya untuk berfikir dan berargumentasi berbeda menyangkut keahliannya yang digali dari hasil pemahaman al-Qur‘an. Lebih hebatnya lagi di abad modern, al-Qur‘an berani dengan tenang menghadapi ilmuwan barat yang berlatar belakang sekuler untuk mencurigai al-Qur‘an dengan nada menghina dan menjulukinya sebagai kitab yang tidak sejalan dengan logika dan pengetahuan modern. Bahkan tidak sekedar menghina dengan tulisan tapi lebih sadisnya sebagian dari mereka kaum sekuler menginjak-injak, mencabik dan merobek10

robeknya dengan senjata tajam. Namun berkat keberanian pula, al-Qur‘an mendapat perhatian dan penilaian yang amat spektakuler dari ilmuwan (pemikir) barat setelah mereka dengan serius meneliti kandungan (isi) al-Qur‘an. Mereka para ilmuwan barat kemudian mengakuai dengan objektif kebenaran al-Qur‘an sebagai kitab yang tidak bertentangan dengan prinsi-prinsip kehidupan modern seperti penegakkan demokrasi dan kebangsaan. Mereka memilih jalan kebenaran Islam, antara lain Marcel A. Boisard. Ia ilmuwan kebangsaan Perancis yang tertarik kepada agama islam setelah ia membaca dan meneliti surat al-Hujurat yang menurutnya mengandung prinsip demokrasi dan kebangsaan (QS. 14 : 13). Kini lebih banyak lagi dari ilmuwan barat yang mengagumi al-Qur‘an sebut saja, misalnya, Arnold Toynbe yang memuja kesuksesan Nabi menerapkan cara-cara dakwah alQur‘an, Michel Hart yang memuji bukti petunjuk al-Qur‘an melalui pengaruh dakwah Nabi, Montgemory Watt yang membuktikan akhlak al-Qur‘an melekat pada cara kesuksesan Nabi membangun peradaban umat dan terakhir adalah Issa J. Baullata yang mengagumi al-Qur‘an dari sisi keistimewaan dan keindahan bahasanya. Issa J. Boullata, yang disebut terakhir ini, adalah pakar sastrar Arab dari Universitas London dan Guru Besar dari Hartford Seminary. Ia tertarik meneliti al-Qur‘an setelah meneliti bahasa al-Qur‘an dan kemampuannya merekam kondisi masyarakat Arab yang terkesima dengan keindahan bahasa alQur‘an dan jatuh limbug tidak mampu lagi menandingin bahasanya. Dalam bukunya I‘jaz al-Qur‘an al-Karim ‗Abra atTarikh, Issa J. Boullata mengulas bagaimana keberanian al11

Qur‘an menentang orang Arab jahiliyah sebagai wahyu dari Allah SWT untuk membuat satu surat sampai sepuluh surat. Masyarakat Arab tidak mampu menghadapi tantangan itu malah banyak yang masuk Islam karena terkesima dengan bahasa al-Qur‘an yang amat berbeda gaya bahasanya dengan syair-syair yang selama ini tumbuh dan berkembang. Bagi yang tidak percaya dengan Islam, kata Boullata, justru karena mereka takut pengaruh kedudukannya akan hilang sehingga melakukan kompensasi negatyif dengan melakukan provokasi kepada Nabi SAW. Mereka, demikian Boullata, menuduh wahyu yang dibawa oleh dan turun pada Nabi bukanlah dari Allah melainkan hanyalah legenda kisah lama dan buatan Nabi sendiri tak ubahnya sebagai ahli tenung dan mahir sihir. Al-Qur‘an tak membiarkan saja tuduhan itu, sebaliknya menjawab dengan tegas dan menolaknya dengan berani bahwa al-Qur‘an bukan kebohongan yang direkayasa, tapi al-haqq (QS. 69: 40-43). Sementara Nabi Muhammad dibantahnya bukan dukun, penyair, tukang sihir, dan orang gila (QS. 52: 29-31). Namun, sekuat dan sebesar apa pun tenaga yang dikeluarkan oleh kaum pembangkang untuk menghabisi alQur‘an dengan cara mencabik-cabiknya, tampaknya tidak akan berdaya lagi. Terbukti hingga di abad modern ini banyak umat manusia yang kehilangan akal untuk melenyapkan keunikan, keagungan dan kesucian al-Qur‘an dengna berbagai cara. Oleh karena itu umat Islam tidak sepatutnya mengedepankan emosi terorisme dalam membela kalam Tuhan. Al-Qur‘an telah memberi contoh cara menghadapinya itu dengan modal keberanian rasional dan kearifan.

12

Demikian al-Qur‘an merekam sendiri sejarah pembangkangan masyarakat Arab terhadap ayat-ayatnya. Lalu al-Qur‘an balik menantang para pembangkangnnya kemudian merancang, merumuskan dan mengulangi sendiri dengan jawaban-jawaban kreatif yang sangat berani, tegas, bertanggung jawab, logis dan rasional dengan fakta sosial yang terjadi. Pernyataan al-Qur‘an yang menentang tegas kepada para pembangkang untuk membuat Qur‘an baru termasuk pernyataannya seperti, "seandainya al-Qur‘an bukan kalam Allah niscaya akan banyak di dalamnya pertentangan satu sama lain", dan "seandainya al-Qur‘an ditulis oleh tangan Muhammad sendiri niscaya akan banyak yang meragukannya" adalah bukti (ayat bukan mukjizat) keberanian dan sekaliggus keunikan dan kekuatan logika al-Qur‘an yang dapat membungkam siapa saja penantang dan pembangkangnya. Keunikan inilah yang belum dan tidak pernah terjadi dalam kitab suci lainnya kapan dan dimana pun. Karena itulah, al-Qur‘an harus turun di bumi ini karena ia memang benar-benar berani.

D. Tafsir Indonesia dalam tantangan Jaman Perkembangan tafsir al-Qur‘an di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari sejarah lahirnya agama Islam di Indonesia yang melibatkan para pejuang Islam dan para ulama. Melalui para ulama tafsir al-Qur‘an pada mulanya diajarkan di surau-surau dan di masjid-masjid kemudian berkembang ke lembaga pesantren dan Peguruan Tinggi. Menurut Nashruddin Baidan,10 perkembangan tafsir di Indonesia ditandai oleh periode sejarah 10

Nashruddin Baidan, Perkembangan Tafsir Al-Qur’an di Indonesia (Solo : Tiga Srangkai Pustaka, 2003), hal. 31

13

perkembangan sistem pengajaran tafsir yang dimulai dari periode klasik (Abad VIII-XV), periode tengah (Abad XVIXVIII), periode pra modern (Abad XIX) dan periode Modern (Abad XX). Pada periode klasik tafsir al-Qur‘an boleh dikatakan masih berbentuk embrio karena yang dihadapi masyarakat yang baru mengenal Islam. Pada kondisi ini tafsir al-Qur‘an hanya memuat penjelasan-penjelasan umum dan sebatas materi-materi yang bersifat praktis. Pada periode tengah tafsir al-Qur‘an di Indonesia dikembangkan (diajarkan) dengan menggunakan kitab tafsir klasik Jalalain karya Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin AsSuyuthi yang penjelasannya masih bercorak ijmali (global). Pada periode pra modern kajian tafsir Indonesia tidak beranjak dari periode tengah yaitu menggunakan kitab klasik tersebut. Perbedaannya pada periode ini penerjemahan kajian tafsir dilakukan secara tertulis. Adapun pada periode modern di permulaan abad ke 19 kajian tafsir di Indonesia mulai ditambahkan dengan menggunakan tafsir karya pemikir Islam modern. Salah satu contohnya di Madarsah al-Irsyad Jakarta dan Normal Islam di Padang (1931 M) telah memakai kitab Tafsir karya Juz ‗Amma karya Muhamad Abduh. Uraian sepintas di atas memperlihatkan perkembangan kajian tafsir di Indonesia sangat dipengaruhi oleh situasi perubahan zaman. Kini intentitas perubahan zaman semakin kompleks, terutama, arus gelombang perubahan besar dari aspek sosial, kultur dan politik. Arus perubahan besar ini kemudian bergulir menjadi apa yang disebut dengan abad global. Jhon

14

Nistbitt11 menysinyalir abad global sebagai abad hubungan antar dunia yang tidak bisa lagi dibatasi oleh wilayah. Jarak antar dunia yang semakin mengecil ini dari sisi fragmatis berdampak positif bagi penguatan hubungan ekonomi, sosial dan budaya antar dunia. Namun dari sisi SDM bangsa yang masih rendah, terutama bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia, abad global telah membawa dampak negatif pada sebagaian bangsanya di bidang budaya pergaulan, budaya hukum dan budaya pemikiran. Dalam konteks budaya pemikiran inilah kajian Tafsir alQur‘an di Indonesia berhadapan dengan masalah dan isu-isu baru seperti masalah HAM, kebebasan beragama, isu jender, lingkungan hidup, pluralism, demokrasi, perkawinan antar agama dan perkawinan antar kaum lesbian dan lain lain. Menghadapi isu kontemporer ini, tafsir al-Qur‘an di Indonesia kerap kali disuguhi problem tersebut untuk mencari jawabannya yang tepat di tengah-tengah persoalan umat dan kebangsaan. Terkadang jawaban yang diketengahkan mengandung kontroversi dan tidak jarang menimbulkan konflik di kalangan umat.

11

Perubahan politik sebagai akibat runtuhnya rezim komunisme dan perkembangan ekonomi internasional telah membawa perubahan mendasar dalam tata kehidupan politik dunia . Isu hak-hak asazi, demokrasi bersama lingkungan hidup mencuat ke permukaan. Negara-negara maju (Amerika dan sekutunya, Barat) membuat kebijakan baru yaitu mengaitkan bantuan yang sangat dibutuhkan dunia ketiga dengan kondisi hak azasi dan demokrasi di negara bersangkutan. Kebijakan negara maju ini merupakan perubahan politik yang sangat mendasar di banding masa perang dingin. Abad global memang telah mendesakkan produk-produk masuk ke negara – negara berkembang baik makanan (food), fashion, hiburan bahkan pemikiran. Lihat Jhon Nisbit dan Apatricia Aburdence, Megatrend 2000.

15

Semua itu merupakan tantangan yang terjadi di zaman (era) baru yang selalu bersentuhan dengan masalah fundamental keagamaan. Al-Qur‘an sebagai sumber fundamental kehidupan, menurut Muhammad Yusuf Musa12 merupakan kitab yang tak penah kering menteransendensi (mengatasi) dan memecahkan segala problema kehidupan baru di tengah zaman yang baru. Sinyalemen ini tentu tidak boleh berhenti di ruang idealisme belaka tetapi membutuhkan pemahaman dan interpretasi mendalam terhadap doktrin (ajaran) Islam. Itu sebabnya para pengkaji al-Qur‘an (mufassir) sejak dahulu berupaya dengan kreatif memecahkan persoalan baru dengan terus mengembangkn metodologi tafsir sehingga kini muncul ilmu Ulumul Qur‘an. Di tengah-tengah perubahan abad global yang semakin komplek, justru gugatan dan kritik terhadap Ilmu Ulumul Qur‘an muncul dari para pemikir Islam modern. Mereka memandang Ilmu Ulumul Qur‘an klasik hanya cocok diterapkan untuk situasi kehidupan masa lalu. Guna memecahkan problem baru dibutuhkan rekontruksi terhadap metodologi tafsir yaitu dengan membuat Ilmu lumul Qur‘an baru. Para pemikir yang mengagas metode baru ini anatara lain Nasir Hamid. Al-Jabiri, Hasan Hanafi, Farid Esack dan Syahrur. Dari para pemikir inilah kemudian lahir metodologi tafsir baru yang dikenal dengan metodologi hermenetik. Kehadiran metdologi hermenetik ini, terutama di Indonesia, tidak hanya menjadi trend di kalangan pemikir muda tetapi juga dipandang oleh para ulama Indonesia merupakan 12

Muhammad Yuduf Mus, Al-Qur’an wa Falsafah (Mesir : Dar alMa‘arif, t.th), h. 32

16

metode yang sangat berbahaya dan bertentangan dengan ajaran. Para Ulama Indonesia memandang metode hermenetik akan membawa tafsir al-Qur‘an ke arah pemikiran liberal karena alQur‘an pada akhirnya tidak lagi diakui sebagai kitab wahyu (Kalam Allah) tetpi dinyatakan sebagai karya manusia (produk budaya). Makalah ini akan mencoba menjawab bebrepa persoalan bagaimana kondisi Tafsir al-Qur‘an Indonesia saat ini?, Persoalan kontemporer apa saja yang dihadapi oleh Tafsir AlQur‘an Indonesia, dan Bgaimana merumuskan metodologi Tafsir Al-Qur‘an Indonesia dalam menghadapi tantangan baru (zaman)?

E. Tafsir Generasi Pertama, Kedua dan Ketiga Dilihat dari perkembangannya, kondisi Tafsir al-Qur‘an di Indonesia mengalami kemajuan dari masa kemasa. Kemajuan ini berjalan sesuai dengan perubahan zaman yang dihadapinya. Howard M. Federspiel membagi perkembangan tafsir al-Qur‘an di Indonesia dalam tiga generasi. Generasi pertama muncul pada permulaan abad ke 20 sampai awal tahun 1960-an. Di abad ini tulisan tafsir terlihat masih merupakn penerjemahan dan penafsiran yang menonjolkan tafsir terpisah-pisah dan memilih pada surat-surat tertentu sebagai objek tafsir. Generasi kedua yang mencoba melengkapi generasi pertama lahir pada tahun 1960-an. Tafsir pada generasi ini ditandai dengan beberapa catatan kaki, terjemahan kata perkata dan terkadang disertai dengan indeks yang sederhana. Adapaun tafsir generasi ketiga

17

muncul pada tahun 1970-an merupakan penafsirtan lengkap, dengan elaborasi dan komentar yang luas terhadap teks.13 Katagorisasi rumusan Federspiel ini jelas memperlihatkan adanya kajian tafsir al-Qur‘an di Indonesia mengalami kemajuan dari format kajian yang sederhana sampai pada format kajian tafsir yang elaboratif. Penulis akan mencoba mengnalisis secara umum bebrapa tafsir karya orang Indonesia yang masing-masing ditulis sebanyak tiga puluh juz baik dari sisi metode, subtansi kandungan maupun respon pemikirannya terhadap perubahan sosial di mana tafsir itu ditulis. Untuk kemudian penulis bandingkan dengan tafsir kontemporer yang datang belakangan yang pada umumnya tidak ditulis dalam bentuk tiga puluh juz. Tafsir yang ditulis dalam bentuk tiga puluh juz antara lain tafsir Al-Furqan karya A. Hasan, Tafsir Al-Qur‘an karya Mahmud Yunus, Tafsir Al-Nur karya Hasbi Ash-Shiddieqi, dan Tafsir Al-Azhar karya Hamka. 1. Tafsir Al-Qur‘an Al-Karim Karya Mahmud Yunus Tafsir ini ditulis pada tahun 1950, sebagaimana diakui oleh penulisnya, bertujuan menjelaskan kepada umat tentang pemahaman yang salah terhadap al-Qur‘an. Pemahaman salah itu timbul dari tafsir israiliyat yang merusak pemikiran dan tatanan kehidupan umat. Dengan tafsir israiliyat, menurut mukadimah tafsir ini, umat menjadi digiring pemikirannya ke alam hayal yang tidak terpelajar (tidak berotak). Umat yang diharapkan oeh al-Qur‘an cerdas dan dinamis dalam menempuh 13

Howard Vederspiel, Kajian Al-Qur’an di Indonesia dari Muhammad Yunus hingga Quraish Shihab, (terj) Tajul ‗Arifin (Bandung : Mizan, 1996), halaman 129.

18

cita-cita perjuangan menjadi malas karena pengaruh pemahaman tafsir israiliyat. Mahmud Yunus mencontohkan tafsir israiliyat seperti guruh, petir ditafsirkan dengan suara malaikat, kilat ditafsirkan dengan cemeti malaikat untuk menghalau awan. Mahmud Yunus14 dengan tafsirnya tampaknya ingin berupaya mencerahkan umat agar berfikir rasional dan realistis dalam memahami hukum-hukum kehidupan dengan ilmu pengetahuan dan hukum sunatullah. Makna kilat yang dipahami tafsir israiliyat dengan cemeti malaikat untuk menghalau awan, jelas menafikkan berfikir ilmiah dan teori hukum (pengetahuan/ilmu) alam (sunatullah). Pemikiran ini diperkuat oleh tafsir Mahmud Yunus sendiri ketika menafsirkan surat alMukmin ayat 60. Dalam menafsirkan ayat ini Mahmud Yunus mengungkapkan bahwa kerap kali orang berdoa meminta sesuatu kepada Allah tapi doanya itu tidak dipenuhi. Menurut Yunus doa tidak serta merta dipenuhi tanpa usaha dengan gigih dan maksimal. Berdoa kepada Allah sesungguhnya sesajar dengan hukum sunatullah. Orang yang ingin sembuh dari penyakit hendaklan berobat ke dokter begitulah seterusnya. Dalam menafsirkan ayat 61 kelanjutan dari surat Mukmin yang artinya ―Allah menjadikan malam untuk bersenang-senang dan siang untuk melihat (berusaha)‖, Mahmud Yunus dengan lugas menyatkan ; ―Sungguh besar karunia Allah tapi kebanyakan manusia tiada berterimakasih kepada Allah. Dalam ayat ini terang bahwa waktu siang itu adalah untuk bekerja dan berusaha. Sebab itu haruslah kaum muslim rajin bekerja dan berusaha dan sekali-kali membuang-buang waktu dengan percuma. 14

Prof Dr. H. Mahmud Yunus, Tafsir Qur’an Karim, (Jakarta : PT. Adhikarya Agung, 2002), cetakan ke tujuh, halaman 699.

19

Anak-anak dari kecil harus dididik supaya rajin belajar dan menuntut ilmu pengetahuan serta bekerja, mengerjakan apaapa yang sesuai dan dapat dikerjakannya, supaya terdidik mereka dari kecil untuk bekerja dan berusaha. Mendidik anak dengan semata-mata belajar dan menuntut ilmu saja dengan tiada disertai kerja, akan menghasilkan pemuda yang banyak teori, tetapi tidak pandai bekerja‖. Uraian di atas memperlihatkan adanya respon tafsir Mahmud yunus yang sangat dinamik terhadap situasi di zamannya. Ketika tafsir itu di tulis memang telah berhadapan dengan kontek umat yang masih terbelakang (statis) dengan pendidikan. Sementara abad modern yang dikawal oleh barat semakin medesakkan kemajuannya di bidang pendidikan. Akan tetapi cara berfikir umat pada saat itu masih sempit dalam memahami takdir sehingga tidak perlu bekerja untuk meraih kesuksesan bila takdir belum menentukan. Bekerja maupun tidak bekerja, demikian pemikiran yang menonjol saat itu, yang menentukan keberhasilan adalah takdir. Oleh karena itu buat apa bekerja jika kepastian nasibnya ditentukan olah takdir. Lebih baik berdiam dengan bermalas-malasan atau bertopang dagu menunggu nasib dari takdir. Demikian respon tafsir Mahmud Yunus terhadap situasi umat yang belum berubah menghadapi tantanagn modern. Terlepas bahasa yang dikemukakannya sangat sederhana dan tidak dengan bahasa dan istilah yang muluk. Namun sentuhan tafsirnya telah berupaya mendorong umat unuk mengejar prestasi dan kemajuan menghadapai tantangan zaman baru.

20

2. Tafsir Al-Furqan Karya A. Hasan Ahmad Hasan merupakan tokoh yang sangat gigih membela ajaran Islam terutama dalam menentang tumbuhnya perilaku TBC (Tahayyul, Bid‘ah dan Churafat) di tengah masyarakat. Sebagai pemikir yang dikenal melakukan gerakan pemurnian, A. Hasan tampaknya tidak kaku dalam menafsirkan ayat al-Qur‘an bahkan terkesan menta‘wil ayat secara simantik yaitu dengan memahami makna simbolik dibalik kata yang terkandung dalam ayat. Seperti terlihat dalam menafsirkan Surat al-Baqarah ayat 19, A. Hasan menafsirkan kata Shayib (hujan lebat) sebagai gambaran rasa berat kaum kafir dalam menerima ajaran al-Qur‘an bagai meneriman hujan lebat, kata zulumat (gelap gulita) dimaknai dengan kepercayaan-kepercayaan ghaib yang menjerat kaum kafir, kata Ra’d (guruh) dimaknai perintahperintah al-Qur‘an yang dirasakan berat oleh kaum kafir seperti perang, larangan sembah berhala, buang adat-adat lama.15 Dalam menafsirkan Surat al-Baqarah ayat 197 tentang ibadah haji, A. Hasan lebih luas lagi penafsirannya dengan mengaitkan ibadah haji pada aktifitas sosial dan politik. Ia menafsirkan ayat yang melarang berbantah-bantah dalam haji ialah bahwa bila dipandang dengan pikiran maka ibadah haji merupakan mutamar atau kongres Islam sedunia yang berlangsung setiap tahun. Di sana para wakil atau para pemimpin Islam berkumpul merundingkan (musyawarah) untuk memecahkan permasalahan umat, yang tidak jarang dapat

15

A. Hasan , Al-Qur’an fi Tasir Al-Qur’an : Tafsir Qur’an AlFurqan (Surabaya : Al-Ikhwan, t.t),

21

menimbulkan berdebatan (konflik) pendapat. Lantaran itulah, nampaknya dilarang berbantah-bantah pada waktu ibadah haji.16 Uraian ini menegaskan bahwa tafsir A. Hasan yang rampng ditulis pada tahun 1953 itu telah menjelaskan dan menjawab pesoalan di zamannya. Meski ia seorang ulama yangn sangat strik dalam pemurnian akidah. Namun ia menafsirkan ayat-ayat al-Qur‘an tertentu secara kontekstual dan tidak selamanya terpaku pada tek. Penafsiran A. Hasan terhadap kata Ashayib, Zulumat dan al-Barq secara denotatif dan mengaitkan ibadah haji dalam tafsirnya dengan aktifitas sosial politik menunjukan kontektualitas pemikiran tafsir A. Hasan dalam merespon perubahan zaman. 3. Tafsir Al-Bayan Karya TM. Hasbi Ashshiddieqy Hasbi Ashshiddieqy lahir 10 Maret 1904, ia dikenal ulama yang menguasai dengan lengkap bidang hukum Islam. Gagasan pemikirannya di bidang hukum Islam yang paling spektikuler saat itu adalah perlunya membentk fikih yang sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia, yang kemudian dikenal dengan Fikih Indonesia. Dalam bidang tafsir ia menulis dua Kitab Tafsir An-Nur dan Kitab Tafsir Al-Bayan pada tahun 1960. Meski keahliannya di bidang Hukum Islam cukup progresif dan mengandung pembaharuan dalam mengagas fikih Indonesia, namun dalam kitab tafsirnya, Hasbi tidak menafsirkan ayat hukum dengan komentar yang kontektual dan luas. Dalam hal ini terlihat ketika ia menafsirkan Surat alMaidah ayat 5 tentang halalnya makanan dan menikahi Ahl alKitab. Ayat ini tidak diekplorasi oleh Hasbi bagaimana hukum 16

I b I d, halaman 58.

22

menikahi Ahl al-Kitab baik dengan dasar-dasar akli maupun argument naqli. Tidak diresponnya masalah Ahl-al-Kitab di dalam tafsirnya mungkin karena saat tafsirnya ditulis kasus menikahi Ahl al-Kitab pada saat itu belum mengemuka di kalangan umat. Ketika menafsirkan Surat al-Baqarah ayat 30, Hasbi sedikit luas menjelaskan perbedaan malaikat dengan manusia. Manusia (Adam) adalah khalifah pengganti malaikat karena malaikat adalah makhluk yang berdiam di bumi. Malaikat sujud kepada Adam bukan karena menyembah tetapi karena kemuliaan Adam dengan memperoleh ma‘rifat yang mendalam serta dapat melaksanakan segala kebijakan (hikmah).17 Akan tetapi yang sedikit mengagetkan ketika menafsirkan Surat al-Maidah ayat 38, Hasbi menyebutkan hukuman potongan merupakan praktek hukum kaum jahiliyah yang telah diadopsi Islam sesuai dengan beberapa persyaratan. Pernyataan Hasbi ini tergolong baru karena para mufassir Indonesia sebelumnya (mungkin juga sesudahnya) tidak pernah menyatakan demikian dalam kitab tafsirnya. 18 Dari aspek sosiologi, tafsir Hasbi tentang hukuman potong tangan yang diadopsi dari hukum jahiiyah adalah rasional bila dikaitkan dengan metode al-Qur‘an dalam merespon keberadaan tradisi Arab. Secara umum ada tiga cara al-Qur‘an dalam merespon keberadaan tradisi Arab yaitu Tahmil (menerima atau melanjutkan tradisi), Tahrim (melarang keberadaan tradisi) dan Taghyir (menerima dan merekonstruksi

17

Prof. TM. Hasbi Ashshiddieqy, Tafsir Al-Bayan (Jogjakarta: t.p, 1966), juz 1, 399. 18 I b I d., halaman 406

23

tradisi).19 Dalam kontek ini, maka aspek taghyir lebih tepat ditempatkan pada posisi pemikiran tafsir Hasbi dalam memahami hukum potong tangan tadi. Lebih luasnya taghyir adalah sikap al-Qur‘an yang menerima tradisi Arab, tetapi memodifikasinya sedemikian rupa sehingga berubah karakter dasarnya. Al-Qur‘an tetap menggunakan simbol-simbol atau pranata sosial yang ada, namun keberlakuannya disesuaikan dengan weltanschauung ajaran Islam sehingga karakter aslinya berubah. Al-Qur‘an mentransformasikan nilai-nilainya ke dalam tradisi yang ada dengan cara menambah beberapa ketentuan dalam tradisi tersebut. Diantara adat istiadat Arab yang termasuk kelompok ini adalah pakaian dan aurat perempuan, lembaga perkawian, anak angkat, hukum waris, qishas-diyat, dan potong tangan. Tampaknya inilah yang dimaksud dengan Hasbi sebagai adopsi hukum jahiliyah dengan menambah beberapa persyaratan.

19

Thoshihiko Izutsu mengkelasifikasikan konsep-konsep sistem sosial dalam A-Qur‘an ke dalam tujuh sub bidang. Ketujuh sub bidang tersebut adalah (1) hubungan perkawinan yang meliputi masalah perkawinan , (2) hubungan orang tua-anak yang mencakup kewajiban di antara keduanya dan aturan tentang adopsi, (3) hukum waris yang berhubungan dengan pembagian hata kekayaan , (4) hukum criminal yang menyangkut masalah pencurian, pembunuhan, dan pembalasan dendam, (5) hubungan bisnis yang berkaitan dengan perjanjian, utang, riba dan sistem profit sharing dalam perdagangan, (6) hukum tentang derma seperti shadaqah, infak, dan zakat, dan (7) hukum-hukum yang menyangkut perbudakan. Lihat Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia : Pendekatan Semantik terhadap Al-Qur‘an, terj. Agus Fahri Husein dkk. (Jogjakarta : Tiara Wacana, 2003), halaman 84-85: Selanjutnya lihat Ali Sodiqin, Antropologi Al-Qur’an : Model Dialektika Wahyu & Budaya (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2008), halman 116.

24

4. Tafsir Al-Azhar Karya Hamka Hamka lahir di maninjau 17 Pebruari 1908 M, ayahnya seorang ulama pemimpin pesantren Thawalib di Padang Panjang. Seusai belajar ke ayahnya (1915), Hamka belajar pada sebuah lembaga pendidikan . Tahun 1916 ia belajar di Sekolah diniyyah dan malam harinya rajin mengaji di Surau. Pada tahun 1918 ia masuk ke Sekolah Thawalib asuhan ayahnya. Tidak puas untuk menuntut ilmu, lalu ia menuju ke kota suci Mekkah meski setahuan kemudian kembali ke tanah air. Hamka dikenal sebagai sosok ulama, budayawan dan aktifis organisasi keagamaan Muhamadiyyah. Dengan bekal pendidikan dan pengalamannya bergaul dengan tokoh-tokoh Islam nasional seperti H.O.S Cokro Aminoto, KI Bagus Hdikusumo, H, fakhruddin dan tokoh Young Islamic Bond Syamsurizal membuat Hamka semakin luas wawasannya bukan saja bidang agama tetapi juga penguasaannya di bidang sosial, budaya dan politik. Tidak mengherankan kalau kemudian Hmaka bersinggungan dengan politik zaman Pemerintahan Orde Lama, pimpinan Persiden Soekarno sehingga ia pernah dijebloskan ke penjara. Di penjara inilah Hamka memetik berkah dengan menulis buah karya tafsir paling monumental sebanyak 30 juz yang kemudian dikenal dengan Tafsir AlAzhar. Dengan pengalaman dan wawasan keilmuannya yang sangat komplek itulah maka Tafsir yang ditulisnya pun bercorak sejarah dan sosial kemasyarakatan (Ijtimai‘). Untuk melihat corak dan pemikiran tafsir Hamka penulis perlu kemukakan contoh ketika ia menafsirkan ayat AL-Qur‘an surat An-Nisa ayat 3 tentang anak yatim dan Poligami. Sebelum menetapkan 25

pendapatnya tentang poligami, Hamka terlebih dahulu dengan cermat menjelaskan sosio tradisi lingkungan masyarakat Arab dalam menyikapi anak yatim yang ditinggalkan orang tuanya. Lalu dijelaskan pula sejarah peperangan di dunia yang berlansung ribuan tahun bahkn 1.200 tahun seusai trunnya ayat yang menyebabkan berlakunya tradisi perbudakan. Menurut Hamka, kebiasaan orang Arab Jahiliyah jika seseorang meninggal dunia dengan meninggalkan anak , yang berhak mendapatkan (menguasai) harta hanya pihak saudaranya saja. Sementara bagi anak yatim dibiarkan terlantar tanpa ada jaminan mendapatkan harta peninggalan. Surat An-Nisa ayat 3 ini, kata Hamka, merupakan deklarasi pertama bagi ajaran Islam di dalam memperhatian dan melindungi hak harta peninggalan anak yatim. Karena itu para wali berkewajiban memelihara hara anak yatim dengan sebaik-baiknya dan dengan sikap adli (jujur). Kenyataannya para wali pada saat itu bertintak tidak adil yaitu menukar hartanya yang tidak bermutu dengan harta anak yatim. Bahkan dengan kekuasaannya sang wali sampai hati menikahi anak yatim hanya untuk mendapatkan hartanya. Dalam kondisi ini ayat tentang poligami turun agar para wali menikahi wanita lain atau budak dengan cara poligami dari pada ia menikahi anak yatim tanpa mahar dan mezaliminya. Dengan mengacu pada kronologis ayat poligami ini, lalu Hamka menganilisis dengan cermat bahwa poligami dibolehkan oleh Allah hanya kepada manusia yang benar benr adil dan mampu menanggung seluruh beban biaya hidup para istri. Dengan kata lain bagi yang poligami tidak boleh menjadikannya para istri sebagai objek penganiayaan dan melampiaskan syahwat semata. Bila tidak adil lebih baik satu saja beristri atau budak saja 26

dikawini yang tidak bakal menanggung mahar dan persyaratan yang membebani dari pada mengawini anak yatim yang justru membebani dan memerasnya. Namun, kata Hamka, untuk menegakkan keadilan pada empat istri itu juga butuh perjuangan dan akal sehat. Kenyataannya pelanggaran sewenang-wenang, sebagaimana pada anak yatim, kerap kali terjadi pada istri yang dipoligami. Ini disebabkan suami tidak lagi sanggup memikul beban biaya dan pemikiran yang pusing serta melelahkan. Itulah sebabnya alQur‘an dalam ayat ini menyebut kalimat (yang demikian itu agar kalian tidak bertindak sewenang-wenang) Lalu Hamka mempertanyakan kenapa al-Qur‘an tidak melarang saja polgami dengan tegas. Hamka lagi-lagi menjawab dengan argumen kemasayarakatan bahwa ini adalah kebijakan al-Qur‘an, Islam tidak semata-mata mengatur ibadat tetapi juga memikirkan dan mengatur masyarakat. Betatapun kerasnya peraturan, namun kalau peraturan itu tidak sesuai dengan jiwa orang peraturan itu pasti akan dilanggar orang. Misalnya kalau Islam melarang keras poligami, pelanggaran pasti terjadi. Adalah satu kehinaan dan jatuh gengsi bagi pemerintahan yang undang-undangnya tidak ditaati, apa lagi peraturan agama.20 Selain tafsirnya yang berkaitan dengan poligami, Hamka juga menafsirkan secra ijtimai‘ surat al-maidah ayat 51 tentang larangan menjadikan orang yahudi dan Nasrani sebagai pemimpin. Menurut Hamka watak dasar Yahudi dalam sejarahnya selalu melakukan pelanggaran. Di zaman Nabi komunitas suku Yahudi dari Bani Nadhir menyambut manis 20

Prof. DR. Hamka, Tafsir Al-Azhar (Jakarta : Pustaka Panjimas, 1987), cet pertama, halaman 226-234.

27

kedatangan Nabi untuk memberikan tebusan diyat atas tindakan Amr bin Umaiyah membunuh dengan kehilafan, tapi setelah nabi duduk bersandar mereka berniat membunuhnya. Demikian juga komunitas yahudi Bani Quraizah mereka sering melanggar perjanjian dan menyerang hendak membunuh Nabi. Oleh karena itu kata Hamka sangat tepat al-Qur‘an melarang menjadikan kaum yahudi sebagai pemimpin umat Islam. Hamka

juga

menjelaskan

secara

historis

bagaimana

ketidakadilan kaum Nasrani pengaruh di zaman Belanda. Menurutnya di kota-kota besar bukan saja di Tanah Jawa yang telah lama pengaruh Belanda, bahkan di Sumatra Barat, Bukit Tinggi dan Payakumbuh telah penuh sesak sekolah-sekolah yang didirikan kristen yang dimasuki oleh anak-anak Islam. Melihat Sekolah Kristen telah mulai laku dan maju, mereka mulai berani mengatur agar anak-anak muslim yang belajar di Sekolah kristen turut serta melakukan cara peribadatan Kristen. Berdasarkan latar sejarah dan kontek sosiologis yang dihadapi, Hamka berpendapat dengan tegas bahwa haram umat Islam menjadikan kaum yahudi dan nashrani sebagai pemimpin karena dalam sejarahnya selalu berpenyakit hati melakukan kekerasan terhadap umat Islam. Tampaknya dalam pendapatnya ini Hamka tidak ingin memahami sejarah watak dasar Yahudi dan Nasrani sebagai sebab khusus. Padahal bila dilihat dari asbab nuzulnya ayat ini , seperti telah dijelaskan Hamka sendiri, adalah adanya kelompok yahudi di sekitar Madinah yang melanggar perjanjian perdamaian yaitu Qainuqa, bani Nazir dan Bani Quraizah. Nabi pada saat itu diserang oleh Bani Qainuqa setelah perang Badar, dan enam bulan setelah itu Bani Nazir melakukan pelanggaran yang sama. Bani nazir yang dalam 28

sejarah dikenal dengan Bani Quraizah adalah kelompok Yahudi yang paling keras memusuhi dan menyerang Nabi.21 Asbab Nuzul di atas tidak dijadikan dasar oleh Hamka sebagai kasus khusus yang hanya terjadi pada kelompok yahudi pada suatu waktu tetentu, dan boleh jadi tidak akan terjadi pada kelompok Yahudi lain. Namun tampaknya Hamka sependapat dengan Ibnu Jarir 22yang memandang pada umumnya yahudi berwatak menyerang dan melakukan kekerasan. Untuk memperkuat pendapatnya Hamka mengacu kepada adanya laranagn ayat yang menggunakan lafadz umum sehingga daya keberlakuannya pun bersifat umum karena, menurutnya, larangan Tuhan berlaku selama dunia berkembang bagi kepentingan penjagaan Islam sendiri. Hal ini sesuai dengan kaidah;23

5. Tafsir Al-Mishbah Karya M. Quraish Shihab M-Quraish Shihab lahir di Rapang Sulawesi Selatan 16 Pebruari 1944. Ia berayah ulama cendekiawan bernama Prof. 21

Wahbah Azzuhaeli, Tafsir Al-Munir fi Al-Aqidah wa Al-Syari’ah wa al-Manhaj (Damsyik : Dar-Al-Fikr, 1991) juz 5-6, halaman 577. 22 Ibnu jarir menyatakan sesungguhnya Allah Ta‘ala melarang seluruh umat beriman (mumin) untuk menjadikan Yahudi dan nashrani sebagai para penolong orang-orang yang beriman kepada Allah dan RasulNya. Allah menginformasikan bahwa siapa saja yang menjadikan mereka sebagai penolong/pemimpin, pembantu dan wali dengan mengesampingkan Allah dan Rasul-Nya maka dia tergolong orang yang memerangi Allah dan Rasul dan kaum mukmin. Ibnu Jarir menyebut ayat ini turun berkenaan dengan seorang munafik yang mengangkat pemimpin dari seorang yahudi dan nashrani untuk menghindari diri dari peperangan. Lihat Ahmad Mushthafa al-Maraghi, Tafsir AlMaraghi : t.tp, t.t), halaman136. 23 Op.Cit., halaman 280.

29

Abdurrahman al-Shihab, mantan rektor UMI dan IAIN Alaudin Ujung Pandang. Pendidikan pertamanya ia menempuh Sekolah Dasar di Ujung Pandang dan pendidikan menengahnya di Malang sambil menyantri di pesantren Dar al-Hadis alFaqihiyah pada tahun 1938. Pada tahun 1967 ia melanjutkan studinya ke Universitas al-Azhar, Mesir diterima di kelas II Tsanawiyah. Gelar S 1 ia raih dari Fakultas Ushuluddin Jurusan Tafsir Hadis Universitas Al-Azhar pada tahun 1967. Gelar S 2 ia tempuh pada tahun 1969 di Fakultas yang sama dan berhasil mempertahankan tesis bidang Tafsir al-Qur‘an dengan judul “AL-‘Ijaz al-Tasyri’iy Li al-Qur’an al-Karim. Pada tahun 1982 di fakultas yang sama ia memperoleh gelar doktor di bidang Tafsir al-Qur‘an dengan judul disertasi Nazham AL-Durar Li Al-Biqa’iy : Tahqiq wa Dirasah dengan nilai Summa Cam Laude Sebagai seorang cendekiawan dan ulama, aktifitas Quraish Shihab tidak hanya aktif dalam menulis dan mengajar. Ia juga aktif berorganisasi antara lain sebagai Wakil Ketua MUI da Dewan Pakar ICMI sejak tahun 1984. Dengan pengalaman keilmuan dan kredibilitas yang dimilikinya Qurais shihab dipercaya menjadi Rektor UIN Syahid Jakarta dan terakhir di zaman Pemerintahan Orde Baru ,di bawah kepemimpinan Persiden Soeharto, ia pernah diangkat menjadi Menteri Agama Republik indonesia pada tahun 1999. Di zaman Orde baru inilah Quraish Shihab banyak menulis buku tafsir yang cukup spektikuler. Diantara bukunya yang paling mobil yaitu Tafsir al-Mishbah, Membumikan alQur‘an dan Wawasan Al-Qur‘an merupakan tafsir kajian tematik. Gelombang politik yang dihadapi Quraish saat menulis kitab tafsir hampir mirip dengan yang dihadapi Hamka yaitu 30

sama-sama berhadapan dengan rezim yang sangat kuat. Bedanya Hamka pernah mengalami penjara krena kerap bersinggngan dengan politik Sukarno. Sementara Quraish berhubungan amat dekat dengan Periden Suharto. Oleh karena itu amat wajar bila tafsir yang ditulisnya amat hati-hati bila harus menyentuh dengan topic pembahasan yang terkait dengan politik. Meskipun dalam tulisannya itu ia tidak pernah mengurangi bobot atau kualitas ilmiah. Sesuai dengan perkembangan peradaban dan kemasyarakatan yang dihadapi, Quraish telah menyuguhkan gagasan dalam kitab tafsirnya bercorak ijtimai‘ yang dipaparkan dengan cara actual dan menarik dibaca. Quraish Shihab berbeda dengan Hamka dalam menafsirkan Surat al-Maidah ayat 51 tentang larangan menjadikan kaum Yahudi dan Nasrani sebgai pemimpin. Hamka memaknai kata Awliya dengan pemimpin, sedangkan Quraish memakanainya dengan teman dekat. Perbedaan dari sisi pemaknan kosa kata saja jelas membawa pemikiran yang berbeda ketika keduanya menentukan pendapat boleh tidaknya mengangkat Yahudi dan Nashrani sebagai pemimpin. Hamka dengan tegas menyatakan bahwa ayat tersebut berlaku umum sehingga dilarang bagi umat Islam mengangkat kaum Yahudi dan nashrani dalam kontek apapun selama mereka belum muslim. Sebaliknya Quraish menyatakan bahwa larangan tesebut tidak mutlak. Dengan mengutip Muhammad Sayyid Thanthawi ia mengemukakan tiga katagori kelompok non muslim. Pertama, adalah mereka yang tinggal bersama kaum muslimin, dan hidup damai bersama mereka, tidak melakukan kegiatan untuk kepentingan lawan Islam serta tidak juga Nampak dari 31

mereka tanda yang mengantar kepada prasangka buruk terhadap mereka. Kelompok ini mempunyai hak dan kewajiban sosial yang sama dengan kaum muslimin (Q.S 60: 8). Kedua, kelompok yang memerangi atau merugikan kaum muslimin dengan berbagai cara.Terhadap mereka tidak boleh dijalin hubungan harmonis, tidak boleh juga didekati (Q.S 60: 9). Ketiga, kelompok yang tidak secara terang-terangan memusuhi kaum muslimin , tetapi ditemukan pada mereka sekian indikator tidak bersimpati kepada kaum muslimin tetpi berpihak kepada musuh-musuh Islam. Terhadap mereka Allah memerintahkan kaum muslimin agar bersikap hati hati tanpa memusuhi mereka. Dari uraiannya jelas Quraish sama sekali tidak menyatakan larangan kepada kaum muslimin untuk menjadikan non muslim (Yahudi dan Nashrani) sebagai pemimpin, yang dilarang oleh al-Qur‘an menjadikan mereka sebagai temn setia. Itu pun bagi non muslim (Yahudi dan Nashrani) yang benarbenar memerangi dan mengadakan permusuhan yang merugikan umat Islam. Namun dengan mengutip Muhammad Sayyed Thanthawi, tampaknya mengisyarahkan adanya pendapat Quraish yang membolehkan mengangkat non muslim (Yahudi dan Nashrani) sebagai pemimpin. Terutama untuk kelompok non muslim katagori pertama, yaitu kelompok non muslim yang mau hidup bersama, tidak menentang dan dipastikan tidak berniat melakukan kejahatan buruk. Menurut Quraish kelompok ini mempunyai hak dan kewajiban sosial yang sama dengan kaum muslimin.24

24

M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah : Pesan, kesan dan Keserasian Al-Qur’an ( Jakarta : lentera Hati, 2006), cet V, halaman 125126. Selanjutnya lihat Muhammad Sayyed Thanthawi, AT-Tafsir Al-Wasith

32

Perbedaan Quraish dengan Hamka ini amat dipahami karena keduanya berbeda dari sisi pendekatan memahami ayat maupun dari sisi kondisi sosial yang dihadapi. Disamping hamka beralasan secara historis tentang watak kerasnya kaum Yahudi (Bani Quraizah) di zaman Nabi. Hamka juga berhadapan dengan pertama, kondisi lingkungan sejarah orang-orang Kristen Indonesia yang amat menentang diterapknnya kata syariah dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Kedua, Hamka berhadapan dengan Kristen yang memaksakan anakanak Islam yang belajar di sekolah Kristen agar mengikuti cara peribadatan Islam. Ketiga. Hamka menyaksikan kekejaman belanda terhadap orang-orang Islam yang tidak mau kompromi dengan kebijakan belanda. Berbeda dengan Hamka, Quraish merupakan tokoh yang sangat dekat dengan pemerintahan Orde baru dan lingkungan keberagamaan yang sedang marak dengan isu-isu HAM, pluralism dan multi kulturalisme. Dalam kontek ini, maka wajar bila dalam menafsirkan ayat ini Quraish terlihat hati-hati dan untuk tidak dikatakan akomodatif, ia lebih mengambil jalan tengah. Jalan tengah ini diambil Quraish tentu dilakukan berdasarkan kompetensi keilmuannya memahami al-Qur‘an dikaitkan dengan sosiologi kehidupan yang dihadapinya. Dalam hal ini penulis tidak sependapat dengan Islah Gusmian yang mengkritsi tulisan Quraish tentang keadilan dalam bukunya Wawasan AL-Qur‘an kajian tematik. Islah menilai Quraish telah kehilangan spritinya dalam mengeritik regim kekuasaan prihal keadilan. Seharusnya, kata Islah, Quraish tidak mampu melihat Al-Qur’an Al-karim : Tafsir Surat Al-Maidah (t.tp : Dar al-Saadah, 1986), jilid ke IV, halaman 195.

33

realitas kesejahteraan sosial (bangsa) yang selama ini masih timpang dan banyak yang belum mendapatkan keadilan ekonomi.25 Di muka telah diuraikan perkembangan tafsir Indonesi era generasi pertama, kedua dan ketiga dalam merespon stuasi di zamannya. Meski pola pembahasannya sebagian besar menggunakan metode ijmali, kecuali Hamka dan Quraish Shihab sebagai generasi ketiga yang menggunakan metode tahlili, namun semangat mereka sangat tinggi dalam upaya menafsirkan ayat al-Qur‘an di zaman yang dihadapinya. Kapasitas ilmu yang di miliki mereka cukup memadai terutama dari sisi penguasaan bahasa Arab dan ilmu-ilmu alat lain (ulum al-Qur‘an) yang dibutuhkan tafsir. Terbukti generasi ini berani dan semangat menafsirkan al-Qur‘an mencapai tiga puluh juz. Walaupun diakui mereka pada umumnya bersifat hati-hati dan tidak meledak-ledak dalam menerapkan teori-teori dan metode baru dalam menafsirkan ayat al-Qur‘an. Di era kontemporer ini kita berhadapan dengan situasi baru yang dipengaruhi abad global yang membawa permaslahan baru yang amat komplek. Abad global yang disinyalir para pakar sebagai abad yang tidak hanya membawa pngaruh di bidang ekonomi, sosial dan politik tetapi juga merambah pada gelombang pengaruh perubahan di bidang pemikiran keagamaan. Maka, pengaruh abad global yang memunculkan isu-isu pemikiran baru seperti isu gender, demokrasi, Ham, pluralism dan lain-lain telah memberi pengaruh pula pada metode pengkajian dan penulisan tafsir di indonesia. Pengkajian 25

Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia : Dari Hermenetika hingga Ideologi (Jakarta : Teraju, 2002), halaman 324.

34

dan penulisan tafsir yang dahulunya ditulis dengan model tiga pulu juz seperti yang ditulis oleh generasi pertama dan ketiga, kini muncul generasi baru yang berupaya menulis tafsir tidak sampai tiga pulu juz tetapi pada umumnya menulis tafsir dengan cara tematik. Tafsir tematik ini dipandang oleh sementara pakar sebagai metode tafsir yang dapat menjawab dan memecahkan persoalan-persoalan kontemporer. Tokoh tafsir tematik yang telah membuktikan menjawab isu kontemporer dengan tematik ini antara lain Musthofa Akkad dengan judul Perempun dalam al-Qur‘an, Al-Farmawi tentang anak yatim pemeliharaan dan pendidikannya dan Fazlurrahman tentang ekstalogi dan Ahl alKitab dan lain lin.26 Quraish Shihab penulis tafsir Qur‘an tiga puluh juz yang disebut Howard Federspiel sebagai generasi ketiga Indonesia yang paling berharga tulisannya, juga ikut menulis metode tafsir tematik. Hemat penulis Quraish merupakan mufassir Indonesia yang cukup memadai keilmuannya di bidang tafsir karena ia tidak hanya sanggup menulis dengan banyak tersebar aspek-aspek tertentu keilmuan tafsir, ia juga menulis tafsir tiga pulu juz lengkap dengan metode tahlili dan tafsir bercorak ijtimai‘ yang berjudul Tafsir Al-Mishbah. Tafsir ini boleh dikatakan tafsir yang sangat piawai menjelaskan makna kosa kata secara utuh dan aplikatif dalam memetakan uraian ayat terkait ke arah bangunan konstruksi analisanya. 26

Abbas Mahmoud Al-Akkad, Al-marat fi Al-Qur’an, terj Dra hadidjah Nasution, (Jakrta : Bulan Bintang, 1984), halman 22; selanjutnya lihat Dr. Abd al-Hay Al-farmawi, Al-Bidayah fi Al-Tafsir Al-Maudhui : Dirasah Manhajiyah Maudui’yah ( t.tp :, t.t), halaman 81-181; selanjutnya lihat fazlurrahman, Major Themes of the Qur’an, terj Anas Mahyuddin (Bandung : Pustaka ITB, 1983) halaman 1 dan seterusnya.

35

Tafsir tematik yang berjudul wawasan Al-Qur‘an ditulis Quraish telah memberikan jawaban terhadap masalah-masalah kontemporer. Hal ini dilihat dari objek pembahsannya telah menjawab persoalan kontemporer antara lain tentang ekonomi, seni, poltik, perempuan, ilmu teknologi, kebangsaan (kerukunan umat dn pluralitas) dan Demokrasi (musyawarah). Terlepas dari tulisannya tentang perempuan ditanggapi kalangan tertentu masih bias gender dan tentang keadilan ekonomi dinilai tidak bersemangat mengkritisi realitas kesejahteraan sosial Indonesia yang masing timpang dari sisi keadilan. Apapun keritik yang disampaikan kepada tafsir tematik Quraish27, yang jelas Quraish telah berupaya menjawab masalah baru dengan rumusam pemikiran tafsir indonesia yang segar, kreatif dan bernuansa baru. Oleh karena itu amat wajar kalau kemudian cara penulisan tafsir tematik ini diikuti oleh generasi berikutnya yang sebagian besar konon murid Quraish Shihab sendiri. Mereka antara lain adalah Nasaruddin Umar, Siti Musda Mulia dan Zaitunah Subhan. Selain mereka lahir penulis tafsir tematik oleh tokoh terkenal yang notabenenya bukan ahli di bidang tafsir yaitu Dawam Rahardjo. Untuk Nasaruddin Umar, Zaitunah Subhan maupun Siti Mulia dalam buku tafsir tematiknya sama27

Quraish Shihab pernah menerima pesan dari Prof Arkoun melalui Sutjipto Wirosarjono bawa dia mesti bersikap rendah hati dalam usahanya untuk menafsirkan al-Qur‘an dengan metode maudhui. Quraish Shihab tidak tahu persis apa maksud sebenarnya dari pesan tersebut. Namun akhirnya dia menduga-duaga bahwa professor Arkoen itu itu salah satu maksudnya mungkin dia jangan sampai tergelincir saat menangkap metode ini. Dengan kata lain dia tidak perlu muluk-mujluk dalam menetapkan target. Karena menurut pengamatannya , tafsir al-Qur‘an dengan metode maudhui akan memakan banyak waktu dan energi. Lihat M. Yudhie R. Haryono, Bahasa Politik al-Qur’an : Mencurigai Makna Tersembunyi di Balik Teks (PT. Gugus Press : Bekasi, 2002), halaman152

36

sama menyoroti tentang jender. Menurut mereka dalam menafsirkan al-Qur‘an tentang jender perlu memahami kondisi objektif dimana teks itu diturunkan. Tanpa itu, maka memahami masalah jender akan terjadi penyudutan terhadap fungsi perempuan. Para ulama klasik, masih kata mereka, kerap dipengaruhi oleh kontruksi pandang budaya masyarakat Arab yang masih memandang rendah wanita. Oleh karena itu, dalam menafsirkan kalimat para ulama terdahulu sering mengalami bias karena kata tersebut diartikan Adam, yang konsekwensinya membawa pemahaman bahwa wanita adalah rendah menjadi subordinat laki-laki. Konsekwensi selanjutnya, menurut Nasauddin Umar, Zaitunah Subhan dan Musda Mulia, dapat membawa implikasi psiologis bagi para wanita di dalam menjalankan peran dan mobilitas sosialnya di tengah-tengah publik.28 Berbeda dengan Nasaruddin, Zaitunah dan Musda Mulia, Quraish tidak menyatakan adanya implikasi psiologis itu, ia justru dengan urainnya yang tenang berupaya menempatkan pendapat para ulama yang memaknai kalimah nafsin wahidah dengan Adam dalam konteks menyatukan kesamaan antara keduanya dari segi kemanusiaan. Menurut Quraish, pasangan Adam diciptakan dari tulang rusuk Adam bukan berarti kedudukan wanita lebih rendah dibanding dengan laki-laki. lakilaki lahir dari pasangan pria dan wanita, begitu juga wanita. Karena itu tidak ada perbedaan keduanya dari sisi kemanusiaan. 28

Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender : Perspektif alQur’an (jakarta : Paramadina, 2001), halaman 243; lihat pula Zaitunah Subhan, Rekonstruksi Pemahaman Jender Dalam Islam : Agenda Sosio Kultural dan Politik Peran Perempuan (Jakarta : Al-Kahfi, 2002), halaman 61-65: lihat pula Musda Mulia, Islam Menggugat Poligami (Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, 2004), halaman 30.

37

Kekuatan laki-laki dibutuhkan oleh wanita kelemahlembutan wanita didambakkan oleh pria.

dan

Penegasannya bahwa yakni dari nafsin wahidah itu pasangannya; mengandung makna bahwa pasangan suami istri hendaknya menyatu sehingga menjadi diri yang satu, yakni menyatu dalam perasaan dan pikirannya, dalam cita dan harapannya, dalam gerak dan langkahnya bahkan dalam menarik dan menghembuskan nafasnya. Adapun Dawam Raharjo, sebagai diakuinya sendiri, merupakan tokoh yang tidak ahli dalam bidang tafsir. Ia, sebenarnya, ahli di bidang ilmu sosial ekonomi yang memberanikan diri menulis tafsir tematik. Dalam tafsir tematiknya yang berjudul Ensiklopedi Al-Qur‘an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci, Dawam mengakui tidak pandai berbahasa Arab sebagai salah satu sarat yang harus dikuasai untuk memahami kandungan al-Qur‘an. Akan tetapi ia merasa optimis dapat memahaminya dengan membaca bukubuku tafsir yang telah diterjemahkan oleh para penerjemah ahli sehingga ia dapat melakukannya dengan menulis buku tafsir tematik. Menurut Dawam, dalam perspektif metodologi, tafsir musalsal yang membahas dan memberi komentar ayat demi ayat menurut urutan seperti yang ada dalam al-Qur‘an dengan komentar naratif, surat demi surat dari surat al-Fatihah hingga surat al-Nas adalah kurang tepat untuk zaman sekarang. Tafsir- tafsir besar yang ditulis ulama besar yang memenuhi syarat Ulumul Qur‘an seperti tafsir Almanar karya Rasyid Ridha, tafsir Fizilal al-Qur’an karya sayyid Quthb dan tafsir al-Maraghi karya Mustafa Al-maraghi, seolah-olah ayatayat dalam semua surat-surat al-Qur‘an itu sambung38

menyambung. Padahal, demikian Dawam, yang dibahas dalam surat Alu Imran dan surat An-Naml umpamanya, adalah berbagai soal yang melompat dari ayat ke ayat atau dari kelompok ayat ke kelompok ayat.29 Bertitik tolak dari realitas inilah, menurut Dawam, merupakan kebutuhan mendesak di abad kontemporer ini untuk menyusun sebuah Ensiklopedi al-Qur‘an yang membahas temetema dan istilah-istilah dari berbagai bagian al-Qur‘an yang memerlukan penjelasan dari tema khusus al-Qur‘an. Tampaknya inilah yang melatarbelakangi Dawam menulis pilihan-pilhan tematiknya yang aktual untuk merespon atau menjawab perkembangan zaman, seperti membahas tema Syura, Ulul alAmri, Ummah dan Ahl Al-Kitab. Dari uraian ini semakin jelas bahwa tafsir tematik merupakan metode generasi baru yang paling tepat untuk menjawab persoalan baru yang muncul di abad modern. Pilihan generasi baru Indonesia terhadap motede tafsir tematik ini bukan tanpa persoalan karena masih mendapat kritik dara kalangan tertentu bahwa pertama, lahirnya tafsir tematik boleh jadi refleksi dari keletihan intelektual yang tidak sanggup lagi menjelaskan al-Qur‘an dalam versi tiga puluh juz yang membutuhkan waktu dan penguasaan perangkat keilmuan ulumul Qur‘an secara menyeluruh. Kedua, tafsir tematik tidak secara otomatis mampu menjawab persoalan baru karena penggalian dan pemahamannya diserahkan apa kata al-Qur‘an tanpa menganalisis siapa yang membuat teks dan sosiologi serta

29

Prof. M. Dawam Rahardjo , Ensiklopedi Al-Qur’an : Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci (Jakarta : Paramadina, 1996), halaman 33.

39

kebudayaan dibalik teks al-Qur‘an. Untuk menangulangi kelemahan tafsir tematik ini, maka muncul gagasan-- yang juga pelopornya sebagian besar dari kalangan muda—perlunya menafsirkan al-Qur‘an dengan metode tafsir hermeneutik. Gagasan tafsir hermeneutik ini –apa pun bentuknya— efek dari abad global yang memunculkan gelombang pemikiran di dunia (lintas negara). Sebut saja dominasi pemikir Barat yang mulai diserap dan dikagumi negara berkembang. Indonesia sebagai salah satu negara berkembang telah diperkenalkan dengan metode hermeneutik Barat melalui pemikiran Derrida, Faucult dan Saussure.30 Ketiga tokoh ini intinya memetakan hubungan bahasa sebagai sitim linguitik yang disebut dengan langue (tanda) dan parole (penanda). Tegasnya hubungan antara teks dengan gejala alam tidak dapat dipisahkan. Disinilah kemudian muncul istilah hubungan triadis antara pembuat tek, pembaca dan audiens (lingkungan teks). Model pemahman hermeneutik ini ditanggapi berbeda ada yang menolak karena pemahaman terhadap teks al-Qur‘an juga harus memahami pembuat teks itu sendiri, yaitu Allah. Hal ini tindakan yang tidak mungkin dilakaukan karena akan mengarah pada pandangan melecehkan kitab suci, yang ujungnya akan memandng al-Qur‘an sebagai produk pemikiran manusia. Namun, menurut Mamat S. Burhanudin, penulis buku Hermeneutika al-Qur‘an Ala Pesantren: Analisa Terhadap Tafsir Marah Labid Karya K.H. Nawawi Banten), metode ini tidak perlu dihuwatirkan karena tradisi hermetic pada dasarnya telah

30

Dr. Munzir Hitami, M.A., Pengantar Studi Al-Qur’an : Teori dan Praktek (Yogjakarta : LKIS, 2012), cetakan pertama, halaman 143-146.

40

dilakukan oleh ulama-ulama ulumul Qur‘an dengan munculnya konsep asabunnuzul, nasikh mansukh dan lain-lain. Di Indonesia, kata Mamat S Burhanuddin, terdapat tokoh ulama Banten abad 18, Syeikh nawawi al-bantani, yang telah melakukan pembacaan al-Qur‘an dengan metode hermeneutik. Nawawi menyatakan bahwa kalam Allah membutuhkan derivasi konkrit untuk bisa difahami oleh mahluk manusia. Agar pesan Allah dapat sampai pada manusia, katanya, maka kalam Allah harus disesuaikan dengan bahasa manusia. Sebagai contoh , Kalam Tuhan yang bertujuan menyampaikan pesan pada manusia untuk melakukan suatu perbuatan maka diperlukan derivasi kongkrit kalimat amara. Dan bila berkaitan dengan Tuhan melarang suatu perbuatan maka diperlukan kalimat naha.31 Dari pernayataan ini dapat dipahami bahwa menurut Nawawi. al-Qur‘an adalah sekumpulan I’tibari yang berada dalam batas-batas suara dan huruf yang memiliki kaitan penanda ( ) dengan Kalam Allah. Dengan simbolisasi Kalam Allah dalam bentuk al-Qur‘an maka ia dapat disentuh dan difahami oleh manusia. Melalui simbolisasi ini manusia dapat mengetahui kehendak Tuhan yang sejati.

F. Al-Qur’an Teks Manusiawi Al-Quran secara ethimologis berasal dari kata qara’a yaqra’u, qira’atan, qur’anan. Para ulama mendefinisikan kata

31

Mamat S. Burhanuddin, Hermenautika Al-Qur‘an Ala Pesantren: Analisa Terhadap Tafsir Marah labid Karya K.H. Nawawi Banten (Yogjakarta : UI Press, 2006), cetakan pertama, halaman 135-136.

41

qar‘a dengan menghimpun atau mengumpulkan. Nasir hamid tidak sepakat dengan makna mengumpulkan karena turunnya alQur‘an di tengah masyarakat yang berulang ulang menggunakan teradisi lisan. Ia cendrung memaknai kata qaraa dengan mengulang-ulang. Pendapat Nasir ini logis bila dipahami dari sisi penyampaian wahyu yang berulang kepada Nabi bahkan dari segi isinya pun kerap kali berulang.32 Misalnya al-Qur‘an berulangkali mengungkap kisah Nabi dengan tema yang sama dalam beberapa surat. Surat al-Fatihah bagian dari al-Qur‘an juga disebut dengan tujuh yang berlang-ulang karena kandungannya banyak tersebar pada batang tubuh -ayat alQur‘an Al-Qur‘an memang pedoman hidup umat manusia yang menggambarkan realitas yang selalu berulang. Nabi SAW sendiri sebagai penerima wahyu adalah mahluk realitas yang selalu berulang melakukan aktivitas sosial dan menyaksikan peristiwa baik dan buruknya kehidupan. Oleh karena itu Allah sebagai Zat Yang Maha Suci merindukan realitas kebaikan sehingga perlu mengutus Nabi (mahluk realitas) yang bertugas melakukan perbaikan dan mewujudkan tatanan realitas yang berkeadaban. Al-Qur‘an sebagai pedoman yang berhadapan dengan realitas berulang akan menyesuaikan isi dan pesannya dengan struktur pemahaman dan kebudayaan (peradaban) realitas itu sendiri. Pesan al-Quran itu dimaksudkan agar dapat dipahami oleh tingkatan-tingkatann manusia sesuai dengan batas-batas realitas yang dihadapinya. Nabi Muhammad orang pertama yang 32

DR. nasshir hamid, Mafhum An-Nash : Dirasat fi ulm al-quran (Beirut : Al-Markaz Al-Staqafi al-arabi , t.th), h. 52.

42

mendapat mandat/otoritas untuk menjelaskan pesan Al-Qur‘an sangat dibatasi oleh realitas dimana ia lahir dan bermukim. Ulama sebagai pelanjut tafsir mendapat batasan konteksi yang sama sebagaimana generasi umat berikutnya akan memahami alQur‘an sejalan dengan realitasnya. Inilah yang dimaksud dengan Ibnu Qayyem al-Jawziyyah bahwa syari‘at Islam merupakan syari‘at yang tepat dengan perkembangan zaman. Ketepatan Al-Qur‘an dengan perkembangan zaman ditandai oleh kesediaannya untuk ditafsir. Kebutuhan Al-Qur‘an pada tafsir sangat erat dengan seluruh kandungannya yang diberikan buat umat manusia. Semua kandungan al-Qur‘an baik yang berbentuk postulat, yang normative, kongkrit dan yang abstrak disediakan buat kepentingan manusia. Ajaran tentang yang ghaib seperti Allah, malaikat, akherat, surga, neraka, jin dan setan semuanya dijelaskan untuk kepentingan manusia. Apalagi ajaran kongkrit yang berkaitan dengan aspek kehidupan di dunia.33 Keseluruhannya bukan untuk Allah tetapi untuk umat manusia mencapai kejayaaannya sebagai ciptaan ALLah SWT. Oleh karena itu tidak ada yang namanya Qura‘n Allah yang ada Qur‘an untuk manusia. Sebagaimana tidak ada hukum Allah yang ada adalah hukum untuk manusia ( Q.S. 17 :9). Keleluasaan Al-Qur‘an ini merupakan hikmah dari Allah untuk mengundang para pemikir (penafsir) agar tidak takut menafsirkan (memahami) al-Qur‘an dari berbagai disiplin ilmu dengan metode yang baik dan benar. Para mufassir diperkenankan memahami tek al-Qur‘an apa adanya sebagaimana tek manusawi bukan tek untuk Allah. Pemahaman 33

DR. Kuntowijoyo, Paradigma Islam Interpretasi Untuk Aksi (Bandung : Mizan, 1991), h.328.

43

seperti ini akan membawa nuansa baru dalam kajian al-Qur‘an untuk mendapatkan rahasia dan segala dimensi keilmuan yang terkandung dalam al-Qura‘n. Bukan cara pemahaman seperti yang ditawarkan Imamm Humaeni agar para mufasir terlebihdahulu mampu memahami makna batin al-Qur‘an. Tawaran Humaeni ini untuk tahapan pengembangan keilmuan sulit dilakukan sampai kapan seseorang telah dipandang memahami batin al-Qur‘an. Apakah orang harus bertahun-tahun bersemedi mencari wangsit Tuhan sebelum menafsir al-Qur‘an. Stelah itu ia diklaim sebagai manusia sacral yang satu-satunya mendapat mandat paling istimewa untuk memahami al-Qur‘an. Cara ini justru akan semakin menambah kesulitan ketika adanya problem baru yang menuntut pemecahan cepat tidak dapat dilakukan karena harus menunggu kedatangan ulama yang sedang bertapa. Pertanyaan berikutnya adakah ulama bertapa yang suci itu akan semakin membawa persoalan pelik mengingat umatnya tidak bisa mendapat pencerahan sang ulama yang telah terbingkai oleh lilitan feodalisme keagamaan. Di zaman Nabi saja hingga para sahabat tak akan pernah dijumpai ulama tafsir yang menggendong jangkar feodalisme dalam soal tugas menalar al-Qur‘an. Tengok saja seperti mufasir besar Ibnu Mas‘ud, Ibu Abas dan Ibnu-Ibnu lainnya dalam jumlah berlapislapis mereka lebih elegan di tengah perwatakan egaliterianismenya dengan umat. Ada banyak ulama yang memberi kualifikasi kemudahan untuk menafsir al-Qur;an. AlGhozali cukup mensaratkan dengan menguasai lima ratus ayatayat bidang hukum. Yusuf Qardawi ulama modern yang paling produktif pun berobsesi bahwa di zaman realitas aneka 44

teknologi yang serba canggih ini, tidak ada kesulitan bagi para ulama untuk berijtihad—memahami al-Qur‘an. Tawaran ulama realitas ini logis karena di abad baru ini kita tidak akan menolak aneka rupa pemahaman al-Qur‘an. Kemunculan gagasan baru untuk melawan misteri al-Quran dengan aneka bentuk metodologi sah-sah saja. Apakah kita akan menghindar dari tahapan alamiah sunatullahnya berfikir dari gaya nalar modernism, neo modernism, postmodernisme hingga sampai dekontruksismenya ala derida foucult. Tentu saja kita tidak boleh memerahkan jagat muka kita terhadap lahirnya metode ini. Nabi Muhammad SAW telah mencontohkan kearifan metodologi nalar dengan membiarkan Mua‘z bin Jabal berdialektika dengan realitas baru (ijtihad) di kota Yaman ketika di sana akan menghadapi persoalan baru yang belum ada ketetapannya dalam al-Qura‘n dan Hadis. Tafsir sebagai ilmu yang menjelaskan dan memah`ami kandungan al-Qura‘n dengan menggunakan metode keilmuan al-Qur‘an tidak akan berhenti dalam sebuah metoda yang statusquo. Dalam sejarahnya selalu berkembang dari satu metode ke metedo hingga menemukan aneka macam metode keilmuan al-Qur‘an yang baru. Pada mulanya metode tafsir diajarkan melalui dialog face to face antara Nabi dan para sahabatnya. Sepeninggal Nabi untuk menyatukan umat islam atas inisiatif Usman, Al-Qur‘an menjadi bentuk mushaf. Di zaman Khalifah Ali muncul ilmu I‘rab al-Qura‘n yang meletakkan kaedah Nahwu dan cara pengucapan Al-Qura‘n secara baku dan tepat dengan tokohnya Abu Al-Aswad AdDu‘ali. Perkembangan selanjutnya pada abad 3 H, lahir Ilmu Asbab An-Nuzul yang menafsirkan berdasarkan latar belakang 45

dan kontek peristiwa turunnya ayat-ayat Al-Qura‘n dengan tokohnya Ali bin Al-Madany.34 Zaman terus bergulir keinginan umat untuk mengungkap misteri kandungan al-Qura‘n agar berdialog dengan realitas lebih banyak lagi sehingga pada saat itu muncul ilmu yang mengungkap keajaiban al-Qura‘n (Ajaib al-Qura‘n), ilmu yang mengungkap kesamaran al-Qura‘n (Mubhamat al-Qura‘n), ilmu yang mengungkap kata yang sukar dipahami (musykil alQura‘n), ilmu revisi ayat al-Qura‘n berdasarkan kontek realitas yang telah berubah (Nasikh mansukh) dan lain-lain. Kemunculan ilmu baru mengenai kajian al-Qur‘an sangat disadari para ulama di zaman itu sebagai reaksi terhadap perkembangan zaman dan realitas yang sangat niscaya sehingga tidak mungkin dihindari. Oleh karena itu penolakan ilmu-ilmu baru mengenai al-Qura‘n di zaman modern ini merupakan sikap pengingkaran terhadap realitas sejarah Bertolak dari sejarah tersebut, maka kemunculan ilmu baru mengenai kajian (tafsir) al-Quran yang digagas oleh tokohtokoh kontemporer separti antara lain Amin al-Khulli (kritik sastra al-Qura‘n), Nasir hamid (kajian hermeunitik dibalik empirik al-Qura‘n sebagai produk budaya), Abid al-Jabiri (perumusan kaidah baru pembentukan hukum Islam), Arkun (mengadopsi makna kalam Tuhan ke dalam realitas yang belum dan tak terpikirkan), Hasan hanafi (pembentukan turas baru islam),35 Muhammad Shahrur dengan teori barunya Nazariyat al-Hudud (teori batas bawah dan batas atas), dan masih banyak 34

Muhammad bin Muhammad Abu Syahbah, al-Madkhal li Dirasah al-Quran al-Karim (Beirut : Dar al-Jil, 1992), hal. 28. 35 Hasan hanafi, Min al-Nash ila alWaqi Muhawalat li I’adat Binai Ilmi Ushul al-Fiqhi (Libiya : Dar al-Kutub Wathaniyyat, 2005), hal. 9.

46

yang lain seperti tokoh yang termuda Talat Hasan, semuanya merupakan pemikir baru yang tidak boleh dinafikkan karena telah turut mempersegar pemahaman al-Qura‘n dalam upaya memecahkan problem kemanusian. Pemikiran baru seperti inilah sangat layak kita kembangkan karena telah meletakkan alQura‘n sebagai tek manusiawi.

47

48

3 TAFSIR SOSIAL TENTANG KEPEMIMPINAN

A. Ketauladanaan Kepemimpinan Suatu hari Umar bin Abdul Aziz menyewa seekor unta dari seorang pemilik unta untuk perjalanan ke luar kota. Di tengah perjalanan yang kanan dan kirinya penuh dengan pepohonan, tiba-tiba serban Umar tersangkut pohon dan jatuh ke tanah. Setelah satu kilometer, Umar baru diberi tahu bahwa serbannya terseret pohon. Lalu, Umar turun dari unta dan berjalan mengambil serbannya. ―Wahai Amirul Mukminin mengapa engkau mengambil sendiri serban itu? Bukankah kita bisa mengambilnya dengan mengendarai unta,‖ tanya sang pemilik unta kepada Umar terheran-heran. ―Tidak, saya menyewa unta hanya untuk pergi bukan untuk kembali,‖ ujar Umar. ―Mengapa engkau tidak menyuruhku mengambilnya,‖ tanya pemilik unta penasaran. ―Tidak juga, karena serban itu bukan milikmu, tapi milikku,‖ ujarnya dengan mantap. Kisah di atas menggambarkan keteladanan seorang pemimpin yang patut ditiru dalam memanfaatkan kedudukannya. Meski Umar berkedudukan sebagai khalifah, ia tidak ingin seenaknya memerintah atau memperlakukan rakyatnya tanpa kendali. Baginya, kedudukan bukanlah sekat atau struktur egoisme atau kesombongan, tapi menjadi jembatan untuk memberikan jalan terbaik bagi rakyatnya. Umar juga tak 49

pernah melampaui batas dalam menggunakan barang milik rakyat ketika dia harus menyewanya. Pendek kata, Umar Abdul Aziz adalah sosok pemimpin lurus (adil) yang tidak semaunya menggunakan tenaga kaum lemah. Ia tidak duduk terlena di atas tahta singgasana. Umar Abdul Aziz adalah pemimpin yang sangat cepat mencairkan kebekuan rakyat dengan jalan arif dan memudahkan. Pangkat dan kedudukannya tidak menjadikannya jadi penghalang untuk turun ke lapangan guna membantu dan menyelesaikan segala kesulitan yang dihadapi rakyat. ―Permudahlah urusan umat manusia dan jangnlah kalian persulit,‖ sabda Nabi SAW. Di abad modern ini, justru terjadi perbedaan yang sangat mencolok. Sebagian pemimpin kita masih saja senang berulah. Padahal, segala jabatan telah diraihnya. Harta berlimpah namun tetap saja merasa kekurangan. Kemudian, seenaknya mengambil harta negara. Baik dengan cara korupsi, mark up, mengemplang pajak, dan money laundry (pencucian uang). Bahkan, ada yang mengambilnya dengan cara memeras tenaga kaum lemah (buruh dan TKW). Tindakan hukum telah dikerahkan untuk mengatasinya. Ironisnya, kejahatan korupsi itu tetap saja menjadi-jadi. Imbasnya justru pemerintahan tidak memiliki wibawa untuk mencegah segala bentuk kriminalitas yang kian menjamur. Bukan hanya korupsi, kekerasan lain seperti pembunuhan sadis, perampokan, bahkan kekerasan geng motor pun semakin meningkat. Semua itu terjadi karena tiadanya keteladanan kepemimpinan. Di saat rakyat diperintah untuk menghemat energi, para pemimpin justru lebih senang bergelimang 50

kemewahan dengan harta hasil korupsinya. ―Negeri yang dahulunya aman dan berlimpah kemahmuran, tiba-tiba ditimpa bencana kelaparan dan ketakutan karena ulah perbuatan para pemimpinnya yang ingkar pada nikmat Tuhan-Nya.‖ (QS An Nahl: 112).

B. Kisah Menteri Penjilat Suatu hari Abu Nawas diundang Sultan untuk mengikuti pertemuan di istana yang para mentrinya senang melakukan ma‘siyat dan cendrung korup. Sebelum pertemuan dilakukan, Abu Nawas dipanggil menghadap Sultan tepatnya di pagi hari. ―Wahai Abu Nawas maukah kau aku beri tugas‖ ?, Tanya Sultan. ―Siap Tuan‖ ujar Abu Nawas tegas. ―Apa hukumannya kalau kau gagal dalam melaksanakan tugas‖ ? ,Desak Sultan. ― Aku siap dihukum sepuluh kali cambukan‖, ujar Abu Nawas menantang. Tak pelak lagi Sultan memerintahkan para dayangnya untuk mempersiapkan pakaian ala kerajaan kepada Abu Nawas. Acara pertemuan segera dilakukan di esok harinya. Abu Nawas pun muncul di tengah pertemuan dengan berpakaian ala kerajaan kecuali pecinya saja yang kumal dan lusuh tetap di atas kepalanya. ―Wahai Abu Nawas ! kenapa di acara terhormat seperti ini kau pakai peci kumal‘?. Tegur Sultan heran. ―Asal Sultan tahu saja , peci yang saya pakai ini wasiat dari ayahku. Bagi siapa yang tidak pernah ma‘siyat ia akan mampu membuka peci ini dan akan merasakan di dalamnya bau harum surga‖ , Papar Abu Nawas dengan meyakinkan. ―Baik kalu itu benar saya 51

perintahkan saudara mentri untuk membukanya‖ Sultan menunjuk mentrinya yang di sebelah kanan. Mentri pun segera memenuhi perintahnya dan membukanya dengan gagap dan perasaan gemetar. Tak ada bau surga di dalam peci itu kecuali bau busuk yang menyengat. Tapi mentri menutupi kebohongannya dengan sikap berpura-pura di hadapan sultan. Lalu ia mengatakan pada sultan, ―Benar Tuan ! rasa bau surga di peci itu harum sekali‖, Sultan pun mangutmangut percaya. Tidak cukup dengan pengakuan sang mentri yang satu ini, Sultan memerintahkan kepada menteri yang duduk disebelah kiri. Sang mentri yang ini pun berupaya membukanya dengan rasa gagap dan gemetar. Sama dengan mentri sebelumnya ia pun tidak mendapatkan bau surga dalam peci itu kecuali bau busuknya saja yang amat menyengat. Namun ia berpura-pura mengatakan di hadapan Sultan, ―Aduhai enak sekali rasanya bau surga ini‖ Sultan pun terpana mendengar ucapan sang mentri. Mendengar pengakuan dua mentri ini, Sultan penasaran ia ingin merasakan sendiri bau surga itu. Lalu ia pun berusaha membuka peci Abu Nawas. Baru beberapa senti saja Sultan membuka peci Abu Nawas, ia tak tahan lagi merasakan bau busuk peci itu sehingga ia berbalik reflek dan melepaskan peci itu dengan cepat dari tangannya. Sultan kesal, geram dan marah kepada Abu Nawas dan terutama kepada para Mentrinya yang suka berbohong. Atas tindakan para menterinya yang culas (tidak jujur), maka tidak ada jalan lain yang harus diperbuat oleh sultan kecuali ia memberhentikan (memecat) kedua mentri tersebut dari 52

jabatannya. Sementara Abu Nawas karena indisipliner dikenai hukuman dengan hukuman cambuk sepuluh kali. Kisah di atas mempertontonkan dengan jelas bagaimana nasib naas itu menimpa kepada para menteri bejad dan pema‘siat yang suka menjilat kepada atasannya. Nasib naas berupa pemecatan kepada menteri penjilat sungguh logis (masuk akal) dan sesuai dengan hukum sunatullah. Mengapa? Karena tipe mentri penjilat diukur dari metrik apapun adalah sosok pejabat yang bermental lemah (soft culture). Mereka pasti malas dan tidak akan mampu berfikir tinggi/serius (high culture) apa lagi berbuat untuk kemajuan negara dan rakyatnya. Para mentri penjilat telah melunturkan idealisme, membunuh kreatifitas dan mematikan kerja keras. Mereka tak mau pusing dan masa bodoh menyaksikan persoalan kenegaraan yang menantang dan menuntut pemecahan. Bagi mereka watak penjilatan adalah media hipokrit (kemunafikan) untuk mencari selamat dan menjungngjung pimpinannya agar senang demi meraih kedudukan pribadi. Sementara urusan negara dan rakyat dimasabodohkan dalam titik nazdir kehancuran karena hati dan telinga mereka telah disumbat oleh hawa nafsu kesombongan dan keserakahan. ―Dan apabila dibacakan kepadanya ayat-ayat kami, dia berpaling dengan menyombongkan diri seolah-olah dia belum mendengarnya, seakan-akan ada sumbatan di kedua telinganya, maka gembirakanlah (informasikanlah) dia dengan azab yang pedih‖ (Q.S.31: 7).

53

Oleh karena itu marilah kita singkirkan watak penjilat ini dari negeri kita tercinta krena tidak sesuai dengan budaya dan peradaban kita yang bernilai luhur dan mulia. Semoga !

C. Bangsa Pengejar Kuantitas Hidup mengejar kuantitas yang diukur dengan angka atau jumlah bukanlah hal yang dilarang. Boleh saja setiap manusia mengejar setatistika hidup dengan mengumpulkan dan menghitung aneka rupa harta milik yang serba wah. Seperti rumah besar, kendaraan mewah, kebun yang luas , pabrik besar (perusahaan) dan lain-lain. Atau boleh saja orang memiliki sejagat kuantum symbol seperti gelar dan pangkat. Namun semua itu menjadi absurd bila yang bernama simbolitas angka itu tidak interaktif dengan nilai-nilai kehidupan umat. Agama mengajarkan perlunya umat manusia membangun hubungan dengan Allah dan menjaring kepedulian antara sesamanya (Q.S . 112 : 3). Mengomentari ayat ini Wahbah Zuhaili mengemukakan umat manusia akan terhempas selamanya dalam penderitaan (kehinaan) manakala sisi kehidupannya lebih mengutamakan hubungan matrial simbolik (al-mu’amalah al-ramziyah)). Sementara hubungan esensial (al-mu’amalah alMadhmuniyyah) berupa komitmennya dengan perintah Allah terlampau diabaikan. Kecendrungan hidup mengejar ―matrial simbolik‖ (angka) ketimbang kualitas tampaknya telah semakin merasuk ke sebagian elit bangsa. Demi suatu gengsi mereka mengejar trend hidup modern berupa harta setumpuk dengan mengukir 54

gaya konsumtif. Lalu mereka mendirikan perusahaan besar, rumah milik pribadi berarea ribuan meter lengkap dengan barang mewah, kendaraan mahal, kolem renang, kuda pilihan dan bahkan pagar berbetis tinngi yang dijaga ketat para pengawal keamanan. Luar biasa! dari sisi kuantum kemewahan mereka memang bangsa yang tengah mencapai puncak sukses. Namun dari sisi interaksi dan komitmennya menegakkan kondusifitas, kohesifitas dan kualitas kehidupan sosial patut dipertanyakan. Fanomenanya dapat kita rasakan bagaimana carut marutnya bangsa berada di tepi keresahan sosial dalam menggengam keadilan dan kesejahteraan hidup. Akibatnya di berbagai tempat terjadi kemerosotan indek kepuasan masyarakat yang berujung pada konflik mengerikan. Kasus demi kasus seperti konflik perebutan lahan antara perusahaan elit dengan rakyat di Mejusi dan di Bima yang menyebabkan nyawa manusia melayang. Belum lagi kasus penegakkan hukum yang hingga kini masih dirasakan menjepit rakyat kecil. Ini menunjukkan betapa rapuh dan limbungnya kualitas sebagian elit bangsa dalam mengatasi keresahan bangsa. Peristiwa ini amat menyakitkan rakyat karena ternyata para pengejar kuantitas dari kalangan elit bangsa itu tak bernyali (lumpuh) mengatasi penderitaan rakyat. Kemana saja nyali kemewahan mereka itu bersembunyi. Justru mereka lebih mampu mengatasi dirinya sendiri lewat symbol dan angkaangka kuantitas kemewahan dan kekuasaan yang tengah digenggamnya. Namun dengan kemewahan itu sebenarnya mereka telah menanggung ―dosa sosial‖ oleh sebab beban penederitaan generasi bangsa di sepanjang masa. Lantaran 55

mereka telah tega membiarkan rakyat dalam kondisi kehidupan terombang-ambing (menderita dan tertindas) Bagi para pengejar kemewahan (kuantitas) sadarlah bahwa kemewahan yang telah anda genggam bukan milik mutlak anda sendiri. Tetapi Allah yang telah memberikan kemewahan itu melalui rakyat kecil (buruh) yang telah bersusah payah membantu jabatan dan perusahaan anda. Oleh karena itu agar anda selamat, keturunan anda bahagia dan kondisi bangsa keluar dari jeritan penderitaan perkuatlah hubungan anda dengan Allah dan umat. Kejarlah harta itu dengan jalan yang benar dan halal lalu perdayakanlah harta tersebut untuk membangun umat menuju kualitas kemahmuran, kejayaan dan kedamaian bangsa. Jangan sampai masa tua anda bernasib amat mengenaskan seperti digambarkan dalam firman Allah, ―adakah salah seorang diantara kamu yang ingin memiliki kebun kurma dan anggur yang mengalir di bawahnya sungai (kolam renang), di sana dia memiliki segala macam buah-buahan, kemudian datanglah masa tuanya sedang dia memiliki keturunan (anak bangsa) yang lemah. Lalu kebun itu ditiup angin yang mengandung api sehingga terbakar (Q.S 266 : 2).

D. Partai Iblis Merupakan hukum sunatullah manakala di dunia ini umat manusia berhasrat mendirikan sebuah perkumpulan (organisasi) atau yang bernama partai. Ajaran agama memerintahkan kepada setiap manusia untuk berjuang ke jalan Tuhannya dengan mendirikan suatu barisan yang kokoh. Kata barisan (shaffan), menurut Raghib Al-asfihani, diartikan dengan 56

menjadikan sesuatu berada dalam sauatu garis yang sejajar. Pengerian ini menunjukkan bahwa apa yang namanya barisan harus menggambarkan suatu perkumpulan atau organisasi yang berdiri tegak dan sejajar dengan tujuan dan misi yang digariskan dengan norma (platform) yang berlaku Di negara kita telah berdiri suatu barisan atau perkumpulan yang disebut dengan partai. Dari sisi misi dan programnya partai tersebut sangat baik. Bagi para pendiri mengklaim partainya sebagai alat perjuangan untuk membangun peradaban dan kesejahteraan bangsa. Ajaran agama tentu sangat mentolerir perkumpulan berkualitas bukan sekedar kerumunan yang mengumbar pernyataan dan mengoceh yang berbau fitnah dan provokatif. Perkumpulan kualitas adalah perkumpulan yang mampu membangun negara dalam berbagai bidang demi kesejahteraan umatnya dengan adil, terbuka, bijaksana dan penuh kedamain. Sebagai bangsa yang demokratis kita wajar menyambut banyak partai di negeri ini dengan misi formal dan programprogramnya yang dikemas dengan baik. Namun kita prihatin misi dan program perkumpulan itu kini dicoreng oleh kaderkadernya yang bermental korup dan serakah. Ironisnya para kolega perkumpulan /partai yang harusnya meluruskan (menghukum) kesalahannya malah justru membela dengan tidak rasional. Bahkan pembelaan itu kerap mengundang debat kusir dan berwatak kalap seperti kesetanan. Akibatnya banyak kader partai yang berbicara merasa paling benar sementara perkumpulan lain di pandang salah. Klaim aroganisme ini jelas

57

amat berbahaya karena melahirkan sebuah keputusasaan yang tidak lagi berpihak kepada nilai-nilai kebenarana universal. Sayid Qutub, seorang pakar tafsir kontemporer, setelah mengomentari (Q.S 58 : 9) membagi partai dalam dua kelompok partai yaitu partai Allah dan partai setan. Partai Allah, kata Sayid Qutub, adalah partai yang bermisi mengembangkan panji kebenran ilahi demi berpihak kepada keadilan universal. Dalam penbelaan pada umat, Partai Allah steril dari sikap diskriminasi dan pertikaian kelompok (permusuhan). Partai ini akan membela keadilan tidak melihat siapa yang dibelanya apakah mereka dari etnis kulit hitam, kulit putih, suku, atasan, mertua, anak dan orang tuanya. Adapun Partai Setan, kata Sayid Qutub, adalah partai yang misinya menegakan panji kebatilan. Sesuai dengan kata setan yang berarti kejahatan maka partai ini akam terangterangan membabat kebenaran dari manapun datangnya. Tak peduli apakah kebenaran itu berasal dari Allah, negara, orang tua, anak dan teman. Partai Setan senang berkerumun untuk mendisain taktik jahat dalam rangka membuat keonaran dan permusuhan. Dalam hal interaksi, lanjut Qutub, Partai Setan bersikap eklusif dan menghindar dari seluruh komunitas dan sturktur yang berita-cita membangun tatanan sosial yang adil dan sejahtera. Bahkan dengan wataknya yang licik partai setan tidak berniat membantu segala kebaikan yang ditimbulkan negara. Partai setan tidak pernah berhenti menyebarkan virus ganas untuk menggerogoti aset negara tanpa sedikitpun yang disisakan untuk rakyat.

58

Inilah yang dimaksud dengan firman Allah, ―setan akan selalu mendorong kefakiran dan menyebarkan virus kejahatan dan mara bahaya, sedangkan Allah akan senantiasa merahmati ampunan dan anugrah (Q.S. 2 : 268 ). Sebagai bangsa yang beradab dan religius kita tidak berharap negara ini hancur oleh perkumpulan setan-setan ganas. Oleh karena itu marilah kita bangun perkumpulan (Partai) yang telah kita miliki ini dengan merakit barisan dan persatuan yang mengusung kekuatan demi kesejahteraan bersama. Jangan biarkan perkumpulan menjadi kerumunan yang berlubang adu domba dan perpecahan. Membiarkan perkumpulan terus berlubang akan menggampangkan musuh dari luar menyelusup ke lubang itu untuk menghancurkan negeri kita dari dalam. Nauzubillah !

59

60

4 TAFSIR SOSIAL TENTANG KEHIDUPAN DUNIA

A. Arogansi Lapar Bumi yang kita pijak ini telah disadari penuh dengan liku-liku kemanusiaan. Ada keriangan, kegelisahan, kepedihan, kelaparan dan ada juga kesengsaraan total. Lalu mengapa Ramadhan juga tiba di bumi yang penuh dengan iku-liku itu?. Bukankah Ramadhan dalam bahasa agamanya yang berarti terik matahari yang panas? Tidakkah kedatangannya berarti akan membuat bumi semakin panas karena sewaktu-waktu pasti ia akan menyemburkan apinya yang menyebabkan bumi mengalami kehangusan total. Ramadhan tidak tiba untuk menghanguskan bumi. Ia datang merupakan bulan suci yang di dalamnya umat manusia diperintahkan untuk beribadah puasa selama satu bulan. Suatu ibadah yang sangat pribadi dibanding dengan ibadah-ibadah lainnya. Karena ibadah ini dilakukan oleh seseorang berdasarkan realitas tanggung jawab dan disiplin yang tumbuh dari diri sendiri. Realitas disiplin diri ini tampak ketika pelaku puasa mampu menahan diri dari kelaparan dan kehausan tanpa kehadiran orang lain. Seandainya disiplin pribadi itu tidak kuat, ia akan melakukan kemunafikan dengan berpura-pura mengaku berpuasa di hadapan kawan, sanak dan kerabat. Sedangkan dalam kesendiriannya sebenarnya ia telah meneguk minuman. 61

Di era bumi yang penuh dengan kegalauan dan kemarahan sangat dibutuhkan adanya disiplin yang ditumbuhkan dalam pribadi. Kegalauan dan kemarahan adalah efek yang juga tumbuh dari pribadi yang penyebabnya bisa jadi oleh kelaparan dan kehausan. Kelaparan dan kehausan adalah dua sifat kembar yang suatu saat bisa menjadi hantu peledak yang mengerikan. Kelaparan dan kehausan ternyata mjuncul dalam fanomena bumi yang tidak cetak biru, keduanya bisa muncul dari alam yang tenang, ketidakmampuan sumber daya, tapi juga muncul dari energi egoism kerakusan pribadi. Maka corak kelaparan dan kehausan telah menggambarkan bentuknya masing-masing; ada gambar orang miskin, gambar orang tertindas, gambar perampok, gambar koruptor, gambar politikus dan mungkin gambar-gambar lain yang layarnya tidak terbuka. Gambar kelaparan orang miskin tidak banyak yang tergiur menonton disebabkan ia tidak punya sumber daya dan sumber penghasilan memadai. Kehadirannya dipandang masih meruwetkan dan merusak pandangan. Karena itu acapkali menjadi korban pengusiran. Kalaupun harus diperhatikan cukup dengan sekedar santunan. Itu pun terkadang hanya menjadi objek sosial. Gambar kelaparan lainnya adalah prampok dan koruptor. Keduanya sama-sama ditakuti. Yang satu umunya berasal dari kaum miskin yang cemburu melihat orang-orang kaya tak peduli, sehingga ia nekad berbuat sadis merampas harta orang-orang kaya bahkan sampai hati melakukan pembunuhan.Sedangkan koruptor lebih menggambarkan perampok super yang terdiri dari orang rakus yang ingin sepuaspuasnya merampok seluruh aset negara.

62

Adapun gambar kelaparan politik adalah gambar yang mencerminkan kehausan kemunafikan karena adagium-adagium yang ditampilkannya seringkali jomplang dengan hati nrani kebanyakan. Ia lebih membela kelompoknya demi mengejar kehausan daripada suara keadilan yang didengungkan umat. Politikus bersifat sangat lentur selentur hatinya yang selalu berubah demi target-target politik kekuasaan yang menjanjikan. Karena itu ia bisa banyak kawan karena kebaikan polotiknya dan bisa juga dimusuhi karena manuver-manuver politiknya yang menjijikan. Gambaran di atas intinya menjelaskan bahwa kelaparan adalah fanomena penyakit sosial yang sangat membahayakan publik. Hanya saja yang perlu dipertanyakan dari gambaran kelaparan tadi, ialah konstruksi (bangunan) kelaparan yang melekat pada manusia itu sendiri memang tidak sama. Ada kelaparan yang tumbuh karena penderitaan, ada kelaparan yang memang dibuat untuk merekayasa kerakusan. Kontruksi pertama dalah benih yang kapan saatnya menjadi hantu kelaparan. Sedangkan kontruksi kedua adalah benar-benar sudah menjadi hantu kelaparan yang berkuadrat mengerikan seperti kejahatan korupsi dan kejahatan politikus. Ibadah puasa yang di dalamnya diperintahkan menahan lapar adalah juga dalam upaya mewujudkan kelaparan. Tapi, ini sama sekali bukan untuk menyuburkan hantu dan aroganisme kelaparan. Ibadah puasa adalah perintah Tuhan Yang Maha kasih dan Maha Pemurah, yang hadir untuk membangun kecerahan batin dan mempertajam mata hati manusia. Dengan kata lain kelaparan yang dibuat dalam ibadah puasa sesungguhnya kelaparan mengolah batin untuk mempertajam 63

control terhadap tubuh yang mungkin sudah terlalu kenyang dengan kedengkian, kelicikan, kedendaman kejahtan, kerakusan dan kemasahbodohan sosial. Tegasnya semua kekenyangan negative itu akan ditangkal oleh amalan puasa yang menumbuhkan disiplin dari dorongan batin yang bening tanpa lagi diperbudak oleh bentukbentuk yang berwujud materi. Dengan segala amalan puasa yang intensif dan tidak manipulative, kelaparan puasa akan menjadi suara rohaniah yang sangat injektif dalam menentang dan memerangi aroganisme kelaparan. Ibadah puasa yang demikian inilah yang sesungguhnya tidak tersindir oleh hadis Nabi, ―berapa banyak orang yang melakukan ibadah puasa tidak menghasilkan apa-apa, melainkan hanya menahan kelaparan dan dahaga‖.

B. Penyakit Hedonis Baru-baru ini kita telah dihebohkan oleh adanya isu prilaku hedonisme yang mulai melanda di kalangan kaum elit (wakil rakyat). Apabila isu ini benar pertanda negara kita telah mendekati ambang kehancuan. Hedonisme adalah gaya hidup yang hanya mengutamakan kenikmatan bendawi sebagai satusatunya tujuan hidup. Ajaran agama menggambarkan kegandrungan gaya hidup hedonis dalam mengejar hidup hari ini tetapi dangkal di dalam memahami hidup hari depan (Q.S : 30 : 7). Dalam mindset hedonis, dunia hari ini merupakan wadah aji mumpung untuk mengoleksi hiasan hidup bermakna bendawi. Baginya setumpuk kemewahan dikuasai demi 64

memenuhi slera pribadi. Tak peduli kemewahan itu didapat dari mana dan dengan cara apa yang penting kelezatan hidup berada digenggamannya. Gaya hidup seperti ini amat naif karena apa yang selama ini diraihnya berupa kelezatan hidup diklaim berasal dari dirinya dan hanya untuk dirinya. Sementara dimensi spritual yang berfungsi sebagai lokomotif dan energi penggerak kehidupan hari depan sangat diremehkan. Peremehan terhadap dimensi spiritual ini dalam bahasa teologis disebut dengan istilah degaibisasi, yaitu sikap menafikan keyakinan terhadap adanya sesuatu yang ghaib seperti sikap tidak percaya adanya antara lain tuhan, akherat, surga, neraka dan hari kiamat. Sikap demikian sangat berbahaya karena mendorong tumbuhnya aroganisme individu yang tidak percaya lagi pada aturan normativ seperti undang-undang dan nilai agama. Akibatnya semua yang bernilai lahiri seperti status, harta dan kedudukan diterabas dan diraup tanpa mengindahkan norma dan undang-undang yang berlaku. Pokokoknya semua yang ada di dunia ini akan digasab tak peduli apakah milik orang atau milik negara. Watak hedonis ini jelas sangat berbahaya dan mengancam kemaslahatan umat. Al-Qura‘n menyebutnya sebagai mahluk Qarun yang sangat gemar dengan kepuasan dunia sesaat. Qarun adalah manusia hedonis yang sehari-harinya menimbun karungan harta dan emas di dalam istananya yang megah. Kunci-kunci pintu istanannya sangat besar sehingga tidak seorang pun mampu mengangkatnya (Q.S. 28 :76). Namun Qarun bersikap congkak pada rakyatnya yang selama ini telah memperjuangkannya menjadi orang terkenal. Setiap kali ia keliling untuk memamerkan hartanya di tengah rakyat, ia 65

mengklaim semua harta yang dimilikinya sebagai hasil usahanya sendiri (Q.S. 28 :78) Ia tidak percaya adanya Tuhan yang selama ini telah memberkahi hartanya melalui dukungan rakyat yang dipimpinannya. Qarun benar-benar tersihir oleh gelimang kemkmatan duniawi. Ia tidak mengetahui arti masa depan di akhirat kelak yang di Tangan Tuhanlah terbukti adanya kekuasaan abadi. Kecuali di tengah rakyatnya ia berlaga feodalis, gemar mencaci dan menghianati. Atas kesombobongan Qarun tersebut, maka Allah menghukumnya dengan cara menjungkirbalikkan istana megahnya sehingga Qarun pun terbenam dalam reruntuhan istana bersama timbunan hartanya. Tak satupun dari para kroni dan orang-orang di sekitarnya yang sanggup menolongnya (Q.S. 28 : 81). Inilah bahaya dan ancaman bagi seorang Qarun yang gemar bergelinjang dengan watak hedonismenya yang amat sesaat tapi gersang dalam menagkap hari depan. Oleh karena itu, bagi kaum elit yang telah diberi amanah memimpin atau mewakili rakyat hendaknya menjauhi prilaku hedonis sehingga di negeri kita ini tidak akan terisi oleh para pemimpin yang kerjanya hanya mengais harta dan mendatangkan malapetaka. Semoga !

C. Rutinitas Duniawi Alam kehidupan adalah dimensi yang terus bergerak dan menggebrak. Tidak satu pun di muka bumi ini yang mampu meynetop selama ysng diciptakan Tuhan masih berjalan dan tidak pernah berubah. Di sanalah gerak nadi jantung kehidupan terus berdetak. Schumecher, seorang ahli teologi Budhis, dalam 66

bukunya Small is Beautifull menggambarkan kehidupan alam sebagai sesuatu yang menggebrag langsung. Di dalam gerak cepat kehidupan itu, kata Schumecher, umat manusia tidak berwenang mengatakan ―stop atau nanti dulu saya tidak sanggup hidup‖. Dalam ajaran agama ada rumus dan hukum kehidupan yang harus dijalani. Hukum-hukum kehidupan itu bersifat tetap (tidak berubah) dan semua kondisi perjalanan manusia cepat atau lambat hidup matinya akan terikat dengan kaidah-kaidah hukum tersebut. Bahasa agama menyebutnya dengan sunatullah, yaitu hukum alam ciptaan Allah, dimana manusia secara alami tunduk dengan aturan-aturan itu. Sifat-sifat manusia seperti sedih, gelisah, senang, ingin mengejar kesuksesan adalah cermin dari gambaran ketundukkan manusia terhadap hukum sunatullah tadi (Q.S. 61 : 1). Akan

tetapi,

pada

perakteknya

umat

manusia

terlena/hanyut dalam sifat-sifat alami yang dimilikinya. Senang dan nafsu mengejar kesuksesan, mereka biarkan tumbuh dalam suasana monoton dan liar. Lalu oleh mereka dunia dijadikan tempat penafsu kesibukan demi kesibukan yang tanpa batas (Q.S. 88 : 3). Pagi dan sore mereka terperangkap dalam rutinitas yang tanpa kendali. Semua energy dikorbankan hanya demi kerja mendapatkan harga diri dan keuntungan, meski harus lupa dengan keluarga dan perinsip asasi kehidupan. Akibatnya mereka hidup hanya untuk hidup dan mendewakan segala kehidupan di atas tiranisme dan ,egoismenya. Mereka tidak tahu lagi apa yang namanya baik, ramah, kasih, santun dan kedamaian hati. Pokoknya segala yang menyangkut kedamaian 67

bersama hata dengan anak dan istri, mereka tak mau tahu lagi. Mereka ternyata tegak bukan dengan hukum sunatullah tetapi malah terjebak den disembelih dengan hukum-hukum rutinitasnya sendiri. Ibadah puasa diperintahkan Allah tidak lain berfungsi menjadi penyapa dan sekaligus perapi umat manusia untuk dapat menjalankan hukum sunatullah dengan benar dan baik. Lewat puasa kita bisa membebaskan diri dari sekian jeratan gravitasi kehidupan duniawi yang telah memenjarakan dan menjauhkan dari pusat pemilik hidup. Bulan ramadhan adalah bulan dekonstruksi kemapaman hidup yang cendrung pengap dan terkontaminasi, lalu kita rekonstruksi ulang untuk merevitalisasi kefitrian kita. Oleh karena itu di bulan ramadhan ini kita semua dianjurkan untuk melakukan koreksi diri terhadap semua prilaku lahir batin dengan memutuskan diri dari segala hgemoni dunia rutinitas , yang selalu memasang jebakan atas perjalanan hidup kita menuju Tuhan. Krisis ekonomi yang melahirkan krisis politik dan beranak-pinak pada krisis lain jika ditelusuri lebih dalam lagi berakar dan berbuah pada krisis nilai dan krisis makna hidup. Bangsa kita terputus dari sumber cahaya ilahi karena salah kaprah mengarungi hukum-hukum kehidupan berdasarkan sunatullah. Bulan ramadhan adalah bulan untuk melihat dan menata kembali landasan, pedoman dan tujuan hidup itu sendiri. Karena itu, bulan ramadhan juga disebut dengan bulan spiritual, bulan intrupsi dan evaluasi diri dari ketimpangan dan kesemerawutan 68

pribadi. Juga bulan persaudaraan serta bulan peduli terhadap keluarga sanak family, istri, fakir miskin dan yatim piatu. Melalui bulan ramadhan ini diharapkan berlangsung sebuah gerak hukum kehidupan sunatullah yang mampu mentransformasi diri dan sosial, yaitu dengan menyatunya orientasi kehidupan yang semula berkeping-keping dalam ranjau rutinitas, kini kita mampu menghalaunya. Lalu menjadi utuh kerena diikat oleh kesadaran batin dan sikap pasrah kepada Allah SWT. Semoga !

D. Idieolgi Popularisme Ideologi Popularisme dihadirkan oleh misi kapitalisme dalam menyebarkan industri budaya di seluruh dunia. Misi itu dilihat dari perkembangannya ternyata berhasil mencengangkan yang berefek melahirkan propoganda hidup konsumerisme. Indonesia sebagai negara religius tampaknya muali terkena misi ideologi tersebut dengan diintervensinya agama oleh barang barang konsumerisme dan komoditas. Lihat saja bagaimana tayangan televisi Ramadhan yang melibatkan tokoh agama baik dalam acara ceramah agama, sinetron maupun lawakan. Semuanya tidak dapat dipisahkan dar iklan komoditas yang bernuansa konsumerisme. Para tokoh agama itu dengan tenang menyiarkan pesan-pesan ramadhan didampingi artis dan para pelawak yang sengaja menyeretnya dalam gelak tawa yang sesekali terasa tidak wajar. Padahal tanpa disadari para tokoh agama itu sebenarnya sedang diekplotasi oleh iklan komoditas dan konsumerisme.

69

Di sinilah agama di bulan ramadhan telah didisain menjadi instrumen memasarkan komoditas konsumeris lewat para tokoh agamanya sehingga mereka pun menjadi populer seiring dengan populernya iklan konsumeris. Lalu tanpa disadari mereka sebenarnya telah terjebak ke dalam ideologi populrasisme. Dalam industri budaya, ideologi popularisme dikembangkan berdasarkan budaya yang berselera rendah (soft culture). Artinya adalah budaya yang mengutamakan penampilan ketimbang esensi, tanda (symbol) ketimbang makna. Tegasnya budaya rendah diciptakan hanya untuk merayakan citra (image clibration) berdasarkan mekanisme hasratnya yang tak terbendung (disire mechanism). Dalam bahasa agama mekanisme hasrat tak terbendung itu disebut oleh Ibnu Taymiyah dalam kitabnya Minhaju As-sunnah Annabawiyah dengan daya nafsu ofensif (Quwwatu asysyahwat/nafsu al-amarah). Ide dari culture soft itu yang penting adalah mencapai tingkat penampilan elite hidup yang segalanya serba ada dan menjadi populer tanpa mengutamakan makna esensinya dalam kehidupan. Pertanyaannya apakah para tokoh agama tersebut telah benar-benar menjadikan bulan Ramadhan sebagai ajang perhelatan ideologi popularisme?. Jawabannya tergantung pada tingkat komitmen mereka dalam menegakkan amaliyah ramadhan sebagai bulan ihtisab (bulan mawas diri). Apabila komitmen itu benar-benar telah ditegakkan, maka para tokoh agama yang ditampilkan dalam sinetron atau lawakan sejatinya mereka tidak membiarkan artis genit atau cantik mempertontonkan setengah pakaiannya dalam sinetron/lawakan. Ironisnya justru iklan-iklan yang mengiringi 70

sinetron/lawakan yang memerankan tokoh agma itu kerap tidak sejalan dengan norma agama. Peristiwa ini menggambarkan dengan jelas adanya misi ideologi popularisme secara pelanpelan memasuki ranah aktivitas ramadhan dengan cara mengekplotasinya lewat komoditas tontonan film, komedi dan musik. Oleh karena itu, untuk menghindari ideologi populrasime jadikanlah ibadah puasa ini sebagai ibadah pengukuhan konsistensi. Upaya ini sangat tepat dengan hadis Nabi yang menyatakan ―bahwa ibadah puasa adalah milik Allah Swt. dan Allahlah yang akan membalasnya‖. Maksud dari hadis ini bahwa tingkat konsistensi dan ketulusan seseorang dalam menjalankan ibdah puasa hanya Allah yang mengetahuinya. Manusia tidak memiliki otoritas untuk menilai apakah ibadah puasa seseorang telah dijalankan dengan tulus atau tidak. Berdasarkan hadis ini jelaslah bahwa ibadah puasa tidak dapat dinilai oleh orang lain karena hanya popularitas amalannya atau gaya hidup konsumerismenya melainkan konsistensinya dalam menegakkan amalan ibadah puasa. Dalam kontek ini, maka ibadah puasa yang berkualitas bukanlah ibadah puasa dengan menonjolkan amala-amalan Ramadhan sebatas ingin dikenal halayak. Penonjolan amalan ibadah puasa seperti caramah dan lain-lain ke ranah publik (tayangan televisi) lewat iklan komoditas film dan komedi komersial yang tidak mengindahkan moral, jelas merupakan cara-cara ideologi popularisme yang hanya ingin merayakan citra (image clabration) ketimbang makna, perayaan hasrat ketimbang mawas diri (desire clabration) kulit luar ketimbang isi, penampilan ketimbang esensi, populratitas ketimbang 71

intelektualitas dan pendangkalan pendidikan agama ketimbang pencerahan agama (religion enlightenment).

E. Kesaksian Wanita Di era reformasi ini, bangsa Indonesia boleh berbangga karena telah banyak wanita yang terlibat dalam tugas membangun bangsa. Diantara mereka ada yang menjadi mentri, pengusaha, hakim, politisi, pengamat, dai‘, polwan dan lain-lain. Keterlibatan para wanita dalam suatu posisi ini, menurut ajaran agama, dipandang telah menduduki posisi sebagai saksi di tengah umat/syuhada ala an-nas (Q.S . 22:78). Berdasarkan ayat ini baik laki-laki maupun wanita diperkenankan untuk menjadi saksi sebagai pemimpin dan pnyeru yang benar dan adil guna memperbaiki kehidupan umat. Raghib al-Ashfihani dalam bukunya Mu’jam Mufradat Alfadz Al-Quran menjelaskan pengertian saksi sebagai sosok yang hadir untuk menyaksikan sesuatu baik dengan penglihatan maupun dengan pemikiran cermat (benar). Ini menunjukkan bahwa siapa saja yang menjadi saksi sebagai pemimpin baik laki-laki maupun wanita harus memiliki pandangan tajam, pemikiran cermat (cerdas) dan sikap yang jujur (adil). Sarat ini wajib dimilki oleh setiap saksi karena ia harus melihat, menginformasikan dan merubah ketimpangan yang terjadi di lapangan dengan teliti, benar dan jujur. Lalu bagaimana dengan para wanita kita yang kini berada pada posisi penting? Sudahkah mereka menunjukkan kesaksian sikap dan pandangannya dengan baik di tengah masyarakat? Apakah kesaksian para wanita di posisi strategis 72

telah benar-benar menjadi saksi untuk melakukan perubahan terhadap ketimpangan yang terjadi di tengah masyarakat?. Dari sisi kuantum kita bangga terhadap wanita kita yang berperan pada posisi strategis telah bertambah dibanding dengan era sebelumnya. Akan tetapi dari sisi kualitas, akhir-akhir ini kita prihatin terhadap sebagian wanita yang tidak lagi berdaya menunjukkan posisi strategisnya sebgai saksi umat yang cermat, adil dan jujur. Para wanita yang diharapkan melakukan perubahan bangsa dari segala krisis yang melanda malah kini mereka menjadi bagian yang membuat krisis itu sendiri. Isu-isu yang tidak sedap kepada para wanita yang berposisi penting berupa keterlibatannya pada kriminalitas korupsi telah mencoreng citra wanita sebagai ibu pelembut kedamaian dan penjaga moral bangsa. Para wanita itu kini terseret ke sentrum perbincangan pejoratif yang ujung-ujungnya mereka tertuduh memasuki ranah hukum peradilan. Padahal posisi penting yang diraihnya hasil perjuangan letih ketika mereka menuntut kuota wanita di lembaga perwakilan rakyat. Bahkan tidak jarang perdebatannya menyangkut gender telah mengundang ketegangan yang meradang antara pemkir modern dengan pemikiri fanatic. Setelah posisi kuota itu kini setengahnya direbut ternyata dijungkirkan kembali secara sia-sia oleh segelintir wanita ―penting‖ yang tidak lagi berdaya meneguhkan kesaksian moralnya dengan jujur dan adil di tengah bangsa. Inikah sebenarnya pertanda kelemahan wanita karena kudratnya yang cepat melimbung dalam kepanikan. Lalu ia begitu saja menyerah dan terpelanting pada situasi terburuk sehingga harus berurusan dengan hukum demi mengejar 73

kepuasan sesaat yang menyilaukan. Inikah model wanita yang telah menciderai sederet perjuangan panjang wanita Indonesia yang dengan darah dan keringatnya telah memperjuangkan bangsa dari ketertindasan. Bagaimana jadinya nasib pendidikan anak-anak bangsa bila tangan lembut para wanita itu menjadi terjal sehingga tidak lagi mampu menyentuh anak-anak bangsanya ? Para Wanita yang diharapkan menjadi penyajuk laki-laki (suami) dan anakanaknya kini malah sebagian dari mereka berlomba dengan lakilaki melakukan kejahtan korupsi bersama. Dalam kondisi ini tentu kita berharap kepada para wanita Indonesia yang masih kredibel, kreatif dan peduli, untuk senantiasa memikirkan bangsanya dengan memberikan advokasi dan bantuan pendidikan kepada anak negeri yang tertindas. Para wanita Indonesia jangan sampai menjadi wanita Kisra Anusyirwan yang terkena ancaman Nabi Muhammad SAW ketika ia menjadi saksi (Penguasa) Imperium Persia. Nabi Muhammad SAW mengirim surat kepada Kisra dengan maksud mengajaknya memeluk Islam. Surat itu disampaikan oleh nabi Muhammad SAW melalui kurirnya dengan sopan tanpa sedikitpun dibubuhi nada yang mengancam. Rupanya Kisra adalah wanita yang bertemperamen buruk sehingga ia mengalami kepanikan dan merobek-robek surat yang dikirim oleh Nabi. Dalam kondisi seperti ini Nabi pun marah seraya berucap, ―Tidak akan sejahtera suatu kaum bila segala urusannya dipimpin (diserahkan) oleh seorang wanita yang bertemparemn buruk seperti ini‖. Mari kita renungkan ! Wallahu A’alam.

74

F. Umat Kata umat, seperti disebut ar-Raghib al-Ashfihani dalam bukunya Mu'jam Mufradat Alfadz Alquran, diartikan sebagai ''semua kelompok yang dihimpun oleh sesuatu, seperti agama yang sama, waktu atau tempat yang sama baik penghimpunannya secara terpaksa maupun atas kehendak mereka''. Definisi ini tampaknya ingin menjelaskan pengertian (cakupan) umat tidak hanya menunjuk kepada kelompok agama tertentu tetapi juga kepada agama lain. Alquran dan Hadis sendiri menggolongkan makhluk binatang ke dalam kategori umat. Tiada satu burung pun yang terbang dengan kedua sayapnya kecuali umat-umatmu juga seperti kamu (Q. S. 6: 38). ''Semua yang berkeliaran,'' sabda Nabi SAW, ''adalah juga umat dari umat-umat Tuhan'' (H.R. Imam Muslim). Selain kelompok umat di atas, Alquran menyebut seseorang yang terkumpul dalam dirinya sifat-sifat terpuji, seperti Nabi Ibrahim sebagai umat. Sementara Rasulullah juga menggolongkan manusia-manusia yang durhaka kepada agama sebagai umat. ''Semua umatku masuk surga kecuali yang enggan,'' kata Nabi SAW (H.R. Bukhari). Kata umat di dalam Alquran disebut sebanyak 52 kali dalam bentuk tunggal. Al-Damighani dalam kamus Alqurannya memerinci sembilan pengertian kata umat yang terdapat dalam Alquran, yaitu: kelompok, agama (tauhid), waktu yang panjang, kaum, pemimpin, generasi silam, umat Islam, orang-orang kafir, dan seluruh umat manusia.

75

Semua pengertian umat yang terungkap dalam tulisan ini, menunjukkan bahwa ajaran Islam adalah ajaran yang luwes, terbuka dan moderat, yang dapat menampung sekian himpunan umat yang hidup di bumi ini. Umat Islam, menurut Alquran, adalah Ummatan Wasathan (Q.S.2:143). Yusuf Qardawi dalam bukunya Al Khashais al-Ammah li al-Islam menjelaskan pengertian wasathan sama dengan tawazzun, yaitu keseimbangan antara dua arah atau jalan yang saling berhadapan atau bertentangan; tidak terpengaruh oleh kepentingan individu, kelompok, ras dan suku. Dengan demikian, Ummatan Wasathan adalah umat yang adil, toleran, senang berdialog, mau hidup rukun dan tidak bersikap ekstrem yang dapat memicu lahirnya konflik pribadi dan masyarakat. Ummatan Wasathan juga berarti umat yang posisinya selalu berada di tengah yang dapat dilihat oleh semua pihak. Mereka menjadi syuhada dalam arti saksi dan sekaligus disaksikan. Mereka adalah umat yang harus mampu menjadi teladan bagi yang lain dalam menegakkan keadilan, membela kebenaran, dan melenyapkan tindakan kekerasan, keterbelakangan, dan kemiskinan umat. Karena itu, dalam konteks negara kita yang sangat heterogen -- terdiri dari berbagai suku, ras, dan agama -- sudah barang tentu Islam senantiasa menempatkan perbedaan dan keanekaan ini dalam posisi umat yang potensial untuk diajak bersama-sama membangun bangsa dan menegakkan kebenaran Ilahi di muka bumi.

76

G. Membenamkan Mental Mumpungisme Beberapa waktu lalu ketika masyarakat banten mengharapkan pencerahan dari ketertindasan, para pejuang Banten yang berhati nurani telah menerjemahkan keinginan masyarakat dengan mendisain sebuah aktivitas nan mulia. Aktivitas itu dilaluinya dengan pengorbanan panjang yang kemudian melahirkan berkah/anugerah yang kini ternikmati, lahirnya sebuah provinsi bernama Banten. Anugerah ini sangat patut diterima masyarakat bukan karena kegigihan para pejuangnya semata, tetapi juga karena daya dukung historis maupun potensi kekayaan alamnya yang sangat menggiurkan banyak orang. Malangnya, setelah anugerah provinsi yang menggiurkan itu diterima, sedikit sekali yang menaruh perhatian kepada nasib kaum lemah. Mereka lebih tergiur untuk mendapatkan posisi dan aset-aset Banten ketimbang memikirkan nasib kaum misin. Maka dihembuskanlah isu-isu sensitive seperti dominasi proyek oleh kelompok tertentu, pemilihan gubernur tidak sah, kualitas DPR rendah karena dijerat politik uang, seleksi CPNS tidak tebuka (sarat muatan suap) dan lain-lain. Sementara di pihak lain telah bermunculan kelompok atau lembaga-lembaga prokontra yang mengadakan pembenaran dengan argument dan rasionya sendiri. Kemunculan reaksi sosial dengna isu-isu sensitive yang mewarnai pembentukan provinsi, di satu sisi adalah wajar sebagai sebuah dinamika yang mengawali perjuangan. Akan tetapi di sisi lain, terkesan pula adanya dinamika kepentingan sesaat yang mengarah kepada sikap mumpungisme, sebuah sikap yang mengutamakan kepuasan pribadi dengan menjadikan 77

kesempatan provinsi sebagai lahan empuk yang harus diraih segalanya. Sikap yang demikian tentu lebih mencerminkan ketamakan atau kerakusan ketimbang mendahulukan penghematan demi kebutuhan rakyat semesta (umat). Dalam diskursus pengamalan puasa, mumpungisme merupakan penyakit nafsu yang hanya berpihak pada kepentingan perut. Apa yang menjadi kemauan perut selalu diturut dengan menjejalkan ke dalamnya segala aneka materi (makanan dan minuman). Penyakit ini lam kelamaan dapat merusak hati seseorang menjadi kerdil dan mati. Seseorang yang bila hatinya sudah mati tidak lagi memiliki kearifan dan sensitive beragama. Akibatnya, seperti yang ditunjukkan Marshell Hudgson, seorang pakar antropologi agama, manusia yang demikian bisa menjadi mausia yang bermental/berkebudayaan lembek (soft culture), yaitu mental menerabas yang ingin cepat menguasai segalanya tanpa mengindahkan prosedur dan norma. Ibadah puasa diperintahkan Allah SWT kepada makhluknya, sesunguguhnya bertujuan mendidik agar makhluknya bersedia menata hawa nafsu dengan baik. Melalui penataan hawa nafsu, manusia dilatih untuk dapat bersabar dari melahap hidangan makan yang sudah tersedia ketika berbuka. Manusia berpuasa harus bersabar dalam memilih dan memilah makanan mana yang ahlal baik (bergizi). Ia tidak boleh asal makan dengan memperturutkan kemauan perutnya yang menyebabkan perut dan hatinya menjadi sarang/sumber penyakit. Perut akan menjadi sumber penyakit seperti maag, liver, dan jantung. Sedangkan dari hati bisa menjadi sumber penyakit 78

tamak, rakus, dan egois yang semuanya mencerminkan sikap mumpungisme. Inlah barangkali yang dimaksud dengan sabda Nabi, ―Janganlah kamu matikan perut dan hati Anda dengan segala macam makanan dan minuman karena keduanya dapat menjadi sumber penyakit‖. Karena itu, di bulan Ramadhan yang berkah ini, penulis mengajak kepada semua kalangan, khususnya para komponen masyarakat Banten untuk bersama-sama menghemat energy dan meniadakan aksi-aksi pemborosan. Di bulan Ramadhan saatnya bagi semua pihak menjadikan puasa sebagai bulan perenungan, pendidikan perilaku serta bulan pertobatan dan pengobatan seluruh penyakit kejiwaan. Aksi-aksi pemborosan yang selama ini tidak bermakna seperti aksi pemborosan bicara, aksi pengkotak-kotakan, aksi dominasi pengerukan aset banten yang tidak merakyat dan lain-lain. Semuuanya itu merupakan sikap mumpungisme yang dapat menumbuhkan anarkisme masyarakat. Hanya dengan menjadikan ibadah puasa sebagai bulan pertobatan dan pengobatan, penyakit mumpungisme dapat kita benam dari bumi tercinta ini.

H. Penyakit Deteritorialisme Ibadah puasa sengaja dihadirkanoleh Allah SWT untuk meruangi space batin umat manusia. Dalam bahasa filsafat agama space (ruang) batin dikenal dengan istilah inner being. Ruang ini berfungsi mengontro ldan sekaligus memfilter arus informasi yang bakal diterima (diserap). Fungsi yangdemikian massagable ini tidak akan berjalan dengan efektif manakala daya konstruk dan motoriknya dibiarkan melemah. 79

Pembiaran terhadap ruang ini membuat jati diri manusia terlepas dari wilayah ruangnya sendiri. Dalam kondisi ini kepribadian manusia mulai terpecah konsentrasinya dalam menerima pesan-pesan mana yang seharusnya dinilai positif dan negatif. Pada puncaknya manusia akan mudah tergoda rayuan luar yang tidak match dengan habitatnya sendiri. Inilah yang dimaksud dengan penyakit deteritorialisme. Ibadah puasa hadir setiap tahun sekali tidak lain untuk memeriksa kembali perkembangan (perubahan) ruang batin manusia, dan sekaliguss melakukan penyucian tehadapnya agar terhindar dari penyakit deteritorialisme tersebut. Di abad modern yang kompleks ini, penyakit deteritorialisme sungguh amat menggalaukan masyrakat karena kemunculannya merusak mesin keimanan dan membedol tali istikomah umat manusia. Penyakit seperti ini membentuk perilaku manusia dalam tiga tipe yaitu tipe perilaku tidak percaya diri, perilaku ketergantungan, dan pada akhirnya menuju pada perilaku nihilisme. Perilaku tidak percaya diri lahir dari kehampaan ruang eksistensi diri yang berpotensi namun tidak di-survive oleh daya-daya kualitas. Akibatnya ia merasa bahwa dalam dirinya lemah tak kuasa lagi bekerja menghadapi lingkungannya. Ketidakberdayaan membangkitkan dari potensi yang seseungguhnya ada ini menyebabkan dalam kiri manusia terjadi kegalauan eksistensial. Kegalauan ini ditandai oleh perilakunya menjadi penakut, kerap curiga dan berkeringat dingin apabila melihat orang lin sukses. Pada kondisi yang tak berdaya ini, ia kemudian dengan mudah tergantung kepada dunia luar yang dipandangnya mempunyai kekuatan magis. Dunia luar sebagai 80

kekuatan magis, dalam hal ini, bukan lagi kekuatan supranatural melainkan kecanggihan abad modern yang menjadi rujukan periakunya. Tipe perilaku ketergantungan ini dampaknya untuk sementara bisa bangkit mengejar hidup abad modern sekadar ingin hidup trendy seperti orang lain. Di tengah realitask ita amati tidak sedikit gaya hidup seperti ini terjadi pada seseorang yang dahulunya hidup biasa, patuh taat, dan penakut tiba-tiba mendadak ingin hidup serba instan. Untuk menggapainya ia menghalalkan segala cara, seroang pegawai rendahan yang dahulunya pemalu dan taat asas kini nekad menggerus moral untuk memperkaya diri dengan cara nenilep miliaran uang negara. Baginya yang penting mendapatkan kehidupan trendy yang lebih wah, necis, berkendaraan mewah dan ditangannya menggenggam handphone yang berganti-ganti merek. Tidak peduli apa kata lingungan yang mencemoohnya. Ironisnya di abad modern ini didapati juga orang-orang yang sebenarnya berstatus sosial tinggi, berlimpah dengan uang tapi masih tetap merasa kurang sehingga tanpa rasa malu merreka menguasai kekayaan milik rakyat dengan jalan korupsi. Pada akhirnya gaya hidup model ini dilucuti oleh perbuatannya sendiri kea rah nihilisme karena tidak lama kemudian merek mendekam di balik terali besi. Inilah gambaran hidup manusia yang terkena penyakit deteritorialisme yaitu suatu penyakit yang mempertontonkan kelumpuhannya dalam menyinggahi ruangannya sendiri. Padahal ia telah diberi Tuhan nikmat ruangan yang amat luas cakupannya baik dari sisi daya keluasan rasa, daya keluasan serap, daya keluasan pandang, maupun daya keluasan cerna. Ruangan luas itu dalam bahasa agama disebut dengan qalb 81

(taman hati). Di ruang inilah seharusnya manusia betah bermukim bagai rumahnya sendiri. Ia tidak boleh membiarkan rumahnya porak-poranda tanpa penghuni yang bersedia merawat, menata, membersihkan, dan memperintahnya. Manusia yang tidak betah bermukim di rumahnya berarti ia telah memandang rumahnya telah rapuh dan sangat kotor sehingga tidak layak lagi disinggahinya. Di sinilah pentingnya manusia beribadah puasa dengan menahan makan dan minum, dari terbut fajar hingga terbenam matahari selam astu bulan. Dengan ibadah puasa manusia dihentikan sementara dari pola makan dan minum bertimbun yang kelak akan mengotori dan merusak daya keluasan hati sebagai rumah atau ruang tempat persinggahannya. Manusia dengan ibadah puasa yang disertai dengan amalan-amalan zikir, shalat, tadarus, infak, zakat, sodaqah, serta amalan yang mampu menekan sifat dengki, dan bicara kotor, maka semua amal tersebut secara perlahan-lahan berfungsi menjadi pencuci kalbu (rumah/ruang batin). Bahkan menjadi bentung kuat yang membuat penghuninya enggan berpisah atau meninggalkannya lias terlepas dari ruang atau wilayahnya sendiri. Inilah yang dimaksud dengan hadits Nabi, ―puasa adalah benteng kaum mukmin‖.

82

5 TAFSIR SOSIAL TENTANG HARTA NEGARA DAN REKONFIGURASI SOSIAL

A. Harta Negara Dewasa ini mata bangsa masih terbelalak kepada ulah oknum yang gemar mempermainkan harta negara. Oknum itu dengan seenaknya me-mark up dan menyulap harta negara tanpa lagi peduli dengan nasib hidup rakyat yang kian menjepit. Padahal sebagai bangsa yang religiius telah mengetahui bahwa yang namanya harta negara adalah milik Allah SWT, ―Semua yang ada di langit dan di bumi adalah milik Allah SWT‖ (Q.S. 2 :284). Berdasarkan ayat ini tentu semua isi yang berupa kekayaan alam baik yang ada di permuakaan maupun di perut bumi, pemilik mutlaknya adalah Allah SWT. Umat manusia dengan ilmu dan keahliannya diperbolehkan mengekplotasi potensi alam sepanjang manfaatnya kembali kepada amanah kesejahteraan umat. Disinilah perlunya Negara melakukan pengawasan harta negara (kekayaan alam) agar tidak tejadi penyalahgunaan aset negara oleh oknum yang tidak bertanggungjawab. Al-Quran sebgai diamati Hasan hanafi dalam bukunya Ad-Din wa Ats-Tsaurah menyebutkan kata harta dalam dua bentuk . Sebagian dinisbahkan pada bukan pemilik dan sebagian 83

dinisbahkan kepada sesuatu (objek) seperti harta anak yatim, harta kamu dan lain-lain. Kebanyakan al-Quran menyebut kata harta dengan objeknya sejumlah 54 kali. Ini menunjukkan bahwa pengawasan harta harus dihidupkan dengan akitivitas ekonomi yang kredibel, jujur, professional dan berjiwa interperneurship. Harta negara tidak boleh dimatikan atau dihancurkan oleh pribadi yang bermental cengeng, penyulap dan korup. Harta negara yang dikelola baik oleh pribadi pengusaha dan pejabat negara dengan jujur, mandiri dan professional berarti dengan sendirinya telah melakukan pengawasan harta negara secara internal dan mulia. Buah dari kemandirian dan kejujurannya kemudian ia menjadi pribadi yang tidak lagi bernafsu merampas dan menguasai harta negara yang bukan haknya. Tetapi ia akan focus pada kemandiriannya menumbuhkembangkan potensi ekonomi ke arah yang lebih maju dan produktif. Bahkan ia akan turut dengan efektif membantu negara untuk mensejahterkan kaum lemah (yatim dan fakir miskin) . Dari sinilah sebenarnya pengawasan harta negara harus di mulai dengan ahlak yang tumbuh kuat baik dari dalam pribadi masing masing maupun dari dalam komponen pemimpin bangsa. Di era klasik tidak sedikit pemimpin yang menerapkan pengawasan harta negara dengan cara ketat dan konsisten. Nabi SAW ketika mengutus Muaz bin Jabal sebagai jabatan Gubernur di Yaman, sebelum ia sampai ke tempat bertugas diminta kembali datang menghadap kepada Nabi, ―tahukah kamu kenapa aku memanggilmu kembali wahai Muaz?. Tanya Nabi. ―Belum tahu ya Rasululullah‖. Muaz menjawab. ―saya ingatkan lagi 84

sejak engkau mengemban amanah ini jangan coba coba mengambil sesuatu (untuk kepentingan pribadi) tanpa seizinku‖. Tegas Nabi SAW. ―Barang siapa yang berbuat curang, pada hari kiamat kelak akan dibangkitkan dalam keadaan memikul beban kecurangannya‖. Lanjutnya Nabi bersabda. Cara nabi ini diikuti olen generasi berikutnya, umar bin Khaththab, seperti diceritakan Abdul Qadim Zallum dalam bukunya al-Amwal fi Dawlat al-Khilafah. Menurut Qadim Zallum Umar pernah dengan tegas mengambil harta negara dari tangan Abu Sufyan pemberian dari anaknya, Muawiyah, yang menjadi Gubernur Syam senilai 10.000 dinar. Harta itu ditarik dan diserahkan kembali oleh Umar ke Baitul Mal (negara) setelah terlebihdahulu diadakan penyidikan oleh lembaga pengawasan (KPK) yang bernama Al-muraqabah dan alMuhasabah al-Ammah (Badan Pengendali Harta Negara) . Ketegasan para pemimpin di atas ternyata hasilnya sangat efektif dalam menjaga harta negara dari para penyulap (koruptor) sehingga di sana tidak pernah dijumpai modus mafia pencurian harta negara secara berkesinambunagn. Rakyat pun dapat merasakan keadilan dan kesejahteraannya. Keberhasilan ini bukan karena ketegasan para pemimpin dalam menindak segala penyimpangan hukum tetapi juga karena komitmen moral dan kebersihan pribadi para komponen dan pemimpinnya dari segala perbuatan cela. Semoga langkah ini dapat dijadikan contoh oleh para pemimpin bangsa dan para generasi mendatang di dalam mengelola dan mengawasi harta negara.

85

B. Jasa kaum Duafa Suatu hari sang penjaga kebun Husain bin Ali Abi Thalib yang bernama Shafi menjaga kebun dengan anjingnya. Shafi dan anjing keduanya tampak akrab. Kemana saja mereka bertugas mengawasi di sekitar kebun tak pernah berpisah. Mereka selalu kompak dan berbagi tidak hanya dalam mengatur tugas, giliran beristirahat tetapi juga dalam hal makan mereka selalu berbagi. Shafi terkejut ketika Husain Bin Ali Abi Thalib datang dan menjenguknya dengan mendadak. Husain bahkan kagum memperhatikan Shafi dari jauh demikian bersahabat dan maumaunya memberi makan pada anjing sahabatnya. ―Hai Shafi bukankah engkau di terik matahari ini sangat lelah dan lapar‖?, Tanya Husain. ―Benar Tuan‖, ujar Shafi. ―Tapi kenapa makanan itu kau berikan semua pada anjing ini‖ ? Sergah Husain. ―Saya malu pada anjing yang selalu mengerti dan membantu tugasku sehari-hari di kebun ini‖, Shafi menimpalinya lirih. ―Sungguh engkau mulia‖ ujar Husain memujanya. Bayangkan seorang Shafi yang bertaraf penjaga kebun saja mau berbagi dengan seekor binatang yang bernama anjing. Shafi tipe manusia yang tidak ingin menghias garis demarkasi dengan anjing sahabatnya dalam hal kebaikan. Meski Shafi manusia ia tidak ingin membesarkan tarinngya sehingga dirinya merasa paling berkuasa, sedangkan anjing tidak lebih hanyalah binatang yang paling lemah dan tak berharga. Ia juga tidak bertindak sekehendaknya kepada yang lemah dengan cara menindas lalu tanpa menghitung sekecil apapun jasa yang telah disumbangkannya.

86

Shafi adalah kaum yang lemah tetapi dengan daya spritualnya ia cerdas menangkap mahluk lemah sebagai yang telah turut mengakses sekecil apapun dalam kehidupannya. Ia tidak mau mencampakkan secuil jasa yang datang dari alam hewani sejenis anjing yang menjijikan. Shafi paham betul bahwa kehidupan ini tiada akan menjelma tanpa kita saling membantu, berbagi dan mengasihi sesama mahluk ilahi. ―Jadilah kalian semua hamba Tuhan yang saling bersaudara (bekerjasama)‖, sabda nabi SAW. Bagi insan yang telah diberi derajat tinggi tentu harus malu dan belajar dari cara shafi, si petukang kebun, dalam memperlakukan dan menghargai mahluk lemah. Tak terhitung jumlahnya di muka bumi ini orang pintar lahir, kaum kaya maju, pejabat tinggi mujur, jembatan-jembatan besar membujur, pabrik-pabrik dan gedung-gedung tinggi menjulang berkat keringat dan darah kaum lemah. Lalu kenapa diantara mereka itu masih saja bertindak tidak manusiawi kepada orang-orang lemah yang selama ini telah membantunya dengan keringat darah?. Tidakkah mereka sadar bahwa kedudukan yang selama ini diraihnya tak akan mungkin terwujud tanpa menggunakan jasa-jasa kaum lemah? (Q.S. 6 :165). Sudahkah mereka memperlakukan dengan adil kepada para buruh yang kerja keras seharian di perusahaannya, kepada para petukang yang mengendus rizki di terik matahari dengan memanjat dan membersihkan gedung-gedung tinggi, kepada para pembantu yang mengerjakan setiap hari setumpuk pekerjaan rumah dan kepada para pedagang kecil yang telah mengakses sayur-mayur bergizi.

87

Jasa kaum lemah memang masih dipinggirkan dan sangat mengenaskan nasibnya dibanding dengan sikap sebagian para tuannya yang bergaya feodalis, tidak peduli dan hedonis. Bahkan mereka tega bersikap bengis kapada para pembantunya dengan cara memukul, menendang, menyiram dengan air panas dan terkadang menyetrikanya. Baru-baru ini kita juga menyaksikan betapa biadabnya perlakuan oknum yang menjual organ tubuh para buruh kita. Kezaliman ini harus segera kita akhiri bukan hanya dengan supermasi atau ketegasan hukum saja, tetapi juga kesadaran kaum elit itu sendiri dalam berupaya merubah ketandusan dan ketumpulan moralnya di hadapan kaum lemah. Negeri ini akan dihancurkan oleh Tuhan manakala orang-orang mewah yang hidup di dalamnya sudah tidak lagi bertaqwa dan tidak mempedulikan jasa (nasib) kaum lemah (Q.S 17 : 16 ). Nauzubillah !

C. Manusia Tuhan Semua manusia yang hidup di muka bumi ini tidak dapat dipisahkan dari fitrahnya untuk merasakan adanya sesuatu yang maha tinggi. Tumbuhnya kepercayaan kepada benda-benda yang dianggap agung dan suci seperti aliran animism, politheisme, dan lain-lain, adalah bukti adanya keterkaitan manusia dengan yang maha tinggi. Bahkan komunisme yang selama ini dipandang tak bertuhan pun sebenarnya mereka merasakan adanya yang maha agung. Perasaan itu mereka tunjukkan ketika melakukan penghormatan sakrat pada upacara-upacara kematian para pembesar mereka. 88

Ajaran agama mengakui adanya fitrah sebagai naluri suci yang entitas pada setiap manusia. ―Sesungguhnya setiap manusia,‖ kata Nabi SAW, ―dilahirkan dalam keadaan fitrah‖. Kesucian fitrah itu merupakan benih yang tidak sertamerta tumbuh dengan subur tanpa dipupuk dan disirami dengna baik. Fitrah suci manusia akan terkontaminasi oleh kotoran dan noda, tanpa manusia sendiri menjaga kesuciannya dengan perilaku yang bermatabat dan mulia. Dalam ajaran agama, perilaku yang bermartabat itu adalah tingkat komitmen manusia dalam mengamalkan perintah/ajaran agama. Seseorang yang dilahirkan dalam keadaan fitrah, kata Nabi SAW, bisa saja menjadi penganut Yahudi dan Nasrani jika kedua orangtunya (lingkungannya) turut mempengaruhinya. Adanya kepercayaan politheisme dan animism di muka bumi merefleksikan betapa fitrah suci menjadi ternoda oleh besarnya desakan lingkungan yang mempengaruhinya. Islam mengajarkan bagaimana pola pembinaan fitrah suci manusia itu agar tetap tercerahkan dan selalu mendapat bimbingan/petunjuk Ilahi. Kemudian setiap saat mnausia akan selalu merasakan kehadiran Tuhan di sisinya. Syariah Islam mewajibkan penganutnya untuk selalu mendekatkan diri kepada Tuhannya, Zat yang Maha Kuasa, yaitu agar dengan konstan melakukan shalat lima waktu, mendermakan sebagian hartanya, dan agar senantiasa berperilaku baik dengan sesamanya. Namun amalan-amalan yang disebut di atas kelihatannya masih dapat dimanipulasi oleh para pelakunya. Ia bisa saja memamerkan amalan shalat, zakat/derma sosial di khalayak ramai meskipun hati yang 89

sebenarnya tidak melakukan amalan tersebut. Sehingga rasa kehadiran Tuhan pun pada sisinya praktis tiidak akan tumbuh kuat. Berbeda dengan amalan itu, maka ibadah puasa sesungguhnya ddapat memperkuuat tumbuhnya rasa kehadiran Tuhan di sisinya. Puncak kedahsyatan rohaniah dalam ibadah puasa setiap saat muncul karena ibadah puasa merupakan perintah yang sangat pribadi. Benar dan tidaknya seseorang melakukan ibadah puasa, tidak dapat dideteksi oleh orang lin. Karena puasa atau tidaknya sangat ditentukan oleh kejujuran yang bersangkutan ketika berada dalam kesendirian. Sementara pelaku shalat, gerakgeriknya dapat diperlihatkan di mata umum dengan penuh kepura-puraan. Bagi pelaku puasa yang mengajarkan dengan sungguhsungguh, kelebihannya adalah kedahsyatan rohani yang melimpah dapat memperteguh pendirinya untuk tetap komitmen dengan perintah puasa. Dalam ibadah itu ia hanya bersama dengan Tuhannya, sehingga ia tidak akan tergoda oleh rayuan apapun yang mempengaruhinya. Setiap amalan puasa yang tubuh karena cinta dan patuhnya pada tuhan. Ia tidak butuh lagi dengan sanjungan atau papun bentuknya dari manusia, yang sifatnya dapat memperburuk citra keihlasan berpuasa. Di sini dia benar-benar berpuasa dan benar-benar merasakan kehadiran Tuhan di sisinya. Inilah yang disebut dengan fitrah usci, yang dalam alqur‘an disebut dengan fitrah hanif, yaitu fitrah yang selalu cenderung pada kebenaran. Firman Allah: ―Maka hadapkanlah 90

wajahmu kepada agama fitrah/hanif dengan tulus dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang musyrik‖ (QS. 10: 105). Maka ibadah puasa sebagai perintah agama adalah tempat penempatan dan media penyemaian atau penumbuh subur fitrah suci manusia. Dengan demikian, manusia yang berpuasa untuk mensucikan fitrahnya di bulan Ramadhan berarti ia telah menghadap dan bertemu dengan wajah Tuhan yang sebenarnya. Dan di sana pula lah dia bersama puasanya telah menghadirkan Tuhan sebagai pembimbing satu-satunya. Dengan merasakan kehadiran Tuhan dalam dirinya inilah, manusia sepanjang kehidupannya akan selalu menjalankan kebaikan-kebaikan sejati, dan sekuat mungkin menghindari sikap kemunafikan dan kepura-puraan. Ia akan bersama Tuhannya menegakkan kebenaran dan menebarkan rakhmah dan kasih di muka bumi, dengan cara patuh dan pasrah dengan perintah-perintah-Nya. Apabila Tuhan bersifat lembut dan kasih dengan selalu member rezeki pada makhluk-Nya, maka manusia pun sebagai makhluk-Nya akan berusaha bersifat toleran dan memberikan derma kepada sesamanya. Inilah yang dimaksud dengan ―manusia Tuhan‖. Inilah pula yang dimaksud dengan sabda Nabi SAW: ―Berakhlak kalian seperti akhlak Allah‖.

D. Demonstrasi Demonstrasi dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah muzhaharah. Kata dasarnya adalahzhaahara yang artinya menunjukkan fakta. Dilihat dari makna kata dasarnya, tersimpul 91

pengertian bahwa demonstrasi adalah aksi untuk menunjukkan fakta dan data-data akurat yang disertai argumentasi yang kuat. Dalam bahasa agama, demonstrasi seperti ini disebut dengan al-burhan. Ibnu Taimiyah memahami kata alburhan dengan bukti-bukti yang didemonstrasikan secara empiris. Firman Allah SWT, "Katakanlah (hai Muhammad), tunjukkanlah bukti-bukti kebenaranmu jika kalian termasuk orang yang benar." (QS Albaqarah [2]: 111). Ayat ini turun berkenaan dengan sekelompok orang Yahudi dan Nasrani yang mendebat Nabi SAW. Orang-orang tersebut mengklaim dirinya yang paling baik dan akan masuk surga. Namun, mereka tidak mampu menunjukkan bukti-bukti yang kuat sehingga klaimnya dinilai Alquran sebagai anganangan kosong (amani). Berdasarkan ayat ini, kita boleh saja berdemonstrasi untuk menuntut hak, menyampaikan aspirasi, atau melontarkan kritik kepada pemerintah, baik melalui tulisan, turun di jalan, forum dialog, maupun seminar. Namun, semua itu harus disampaikan dengan cara-cara yang beradab. Akhir-akhir ini, kita sering menyaksikan betapa maraknya aksi demonstrasi di negeri ini. Sebagian dilakukan dengan cara-cara elegan dan damai. Namun, sebagian lainnya dilakukan dengan kekerasan. Cara-cara kekerasan dalam berdemonstrasi jelas sangat berbahaya. Karena, selain mengancam persatuan bangsa, juga melanggar prinsip demokrasi itu sendiri. Bahkan, melanggar norma-norma agama. Karena itu, mari kita mengambil pelajaran dari Allah SWT saat memerintah Musa AS untuk mencegah ulah Firaun 92

yang membahayakan masyarakat di negerinya. Dalam misi besarnya itu, Musa diperintahkan untuk berkata lembut dan sopan. Firman-Nya, "Pergilah kamu berdua (Musa dan Harun) kepada Firaun. Sesungguhnya, dia telah melampaui batas. Maka, berkatalah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut." (QS Thaha [20]: 43-44).

E. Etika Berdebat Dalam bahasa Arab, perdebatan dikenal dengan istilah al-mujadalah. Kata al mujadalah seakar dengan kata aljidalyang artinya perdebatan sengit. Pendapat lain mengartikannya dengan tali yang terikat kokoh. Dari sini, kataal-jidal mengandung arti debat yang dilakukan dengan cara yang baik dan didasari dalil yang kuat dan benar. Firman Allah SWT, ''Dan, ajaklah mereka berdebat dengan cara yang baik.'' (QS Annahl [16]: 125). Mengomentari ayat ini, Wahbah Zuhaili menunjukkan perlunya berdebat dengan berkata lemah lembut, berhati bersih, dan berupaya menghindari katakata yang bernada menghina atau mencerca. Pendapat senada diutarakan oleh Ali Jaritsah dalam kitabnya Adab al-Hiwar wa Al-Munazarah (Etika Dialog dan Berdiskusi). Ia memaparkan kiat-kiat untuk menciptakan nuansa diskusi yang baik. Pertama, dilakukan dengan tertib. Kedua, pembicaraan disampaikan dengan bahasa yang tidak bertele-tele. Ketiga, menghindari pembicaraan di luar konteks. Tertib artinya tidak tergesa-gesa dalam berpendapat. Sebuah masalah dipahami dahulu dengan cermat dan matang. Setelah dirasakan matang, 93

peserta diskusi boleh menyampaikan mengajukan gagasan yang aktual.

pendapat

dengan

Demikian pula peserta yang bertanya. Hendaknya, ia mengajukan pertanyaan dengan terlebih dahulu melakukan penyaringan informasi yang akurat. Pertanyaannya pun harus disampaikan dengan kata-kata sopan yang tidak menyinggung dan menyudutkan orang lain. Dengan cara-cara demikian, perdebatan akan terhindar dari pembicaraan yang bertele-tele atau gugatan yang bernada cercaan dan mengundang kemarahan. "Bukanlah orang beriman, yang suka mencerca, melaknat, berbicara kotor, dan menyakiti," sabda Nabi SAW. Namun, amat disayangkan, kita masih menjumpai orang yang belum menjunjung tinggi etika berdebat dalam musyawarah. Untaian kata-kata kotor dan tidak pantas sering diucapkan oleh mereka yang seharusnya memberikan keteladanan. Ironisnya, kata-kata kotor itu justru keluar saat mereka hendak memutuskan kebijakan mulia untuk memenuhi hajat umat. Entah bagaimana jadinya nasib bangsa ini ke depan jika nilai-nilai luhur dan kepribadian bangsa dicabik oleh anak bangsa sendiri. Dalam situasi negeri yang carut-marut karena krisis multidimensi ini, kita membutuhkan ketenangan dan solusi arif bagi aneka persoalan yang melilit. Maka, sudah sepatutnya segenap kaum elite menjunjung tinggi etika. Yang utama adalah sikap jujur, bertanggung jawab, amanah, dan santun dalam berbicara agar tidak memancing kemarahan umat.

94

F. Rekonfigurasi Silaturrahim Kata itu muncul setelah perintah bertakwa kepada Allah SWT yang telah menciptakan manusia dari seorang diri, lalu menciptakan pasangannya, kemudian menyebarkan jenis lakilaki dan perempuan. Selain itu, ―al-arham‖ juga muncul setelah perintah bertakwa pada Allah dari situasi sosial kehidupan yang saling meminta (menuntut) (Q.S.4:1). Mencermati ayat ini, tampak bahwa perintah silaturrahim sangat melekat dengan tiga kesadaran manusia, yaitu kesadaran sejarah biologis, kesadaran pluralisme, dan kesadaran interaksi sosial. Pertama, kesadaran sejarah biologis. Kesadaran ini mendorong manusia untuk menyadari bahwa dirinya berasal dari seorang diri (Adam) dan dibuat dari tanah. Kesadaran ini juga membuat yang bersangkutan mengakui kelemahannya sebagai manusia yang tidak pernah luput dari kekurangan karena ia berasal dari bahan rendah (tanah). Adam pernah khilaf dari perintah Tuhan dan dijatuhi hukuman turun ke bumi. Artinya, manusia pun mempunyai kelemahan seperti Adam; mempunyai potensi untuk jatuh. Dengan adanya kesadaran teologis ini, manusia dapat menginsafi dirinya untuk tidak berlaku congkak (sombong) dengan sesamanya. Sebaliknya, ia akan berupaya menjaring persahabatan dengan siapa pun tanpa memandang status, golongan, dan latar belakang kehidupan. Pada kondisi ini, seharusnya manusia membangun silaturrahim dengan penuh ketulusan tanpa didongkrak oleh kepentingan temporer. Dengan kata lain, silaturrahim yang dibangun bukan berdasarkan hormat atas pristise atasan atau karena jabatan seseorang sehingga ia menjadi inten dikunjungi bawahannya. Tetapi, sejatinya, 95

silaturrahim berjalan konstan karena dibangun atas dasar prinsip martabat manusia yang sama-sama diciptakan Tuhan. Kedua, kesadaran pluralism. Kesadaran ini adalah suatu yang sangat entitas di alam hidup kemanusiaan. Al-Quran jelas mengisyaratkan akan terjadi kegagalan dalam kehidupan umat tanpa pengakuan terhadap keragaman. Amat mustahil jalan kehidupan ditempuh dengan cara monoton, rijid, dan ekslusif. Semua susunan dan dinamika hidup sejak umat manusia, hewan, hingga tumbuh-tumbuhan berkembang dan berjalan dalam keragaman. Oleh karena itu, jelas keragaman adalah prasyarat dan hikmat menuju keseimbangan, kematangan, dan kesuksesan. Segenap nikmat hidup yang telah kita gapai dari berbagai aspeknya telah membutuhkan dan melibatkan semua komponen yang beraneka ragam. Sejak membangun kehidupan rohani, pemikiran, fisik hingga berbentuk peradaban besar, semua unsur dan komponen yang berbeda dengan sendirinya, telah terlibat dan mengambil peran ke dalamnya. Berdasarkan realitas ini, ajaran agama memberikan reward kepada umat manusia yang saling tolong menolong, saling menghormati, dan menjalin kerjasama antara sesamanya. Sebaliknya, agama memberikan kecaman pada umat manusia yang berbuat kekerasan dan anti keragaman. Terakhir, interaksi sosial. Hal ini merupakan suatu wujud kegiatan umat manusia sebagai konsekuensi dari adanya keragaman yang satu sama lain saling membutuhkan. Prinsip ini membangun keyakinan bahwa siapa pun manusianya tidak akan mencapai tujuan hidup tanpa mengaitkan dirinya dengan eksistensi lain, seberapa pun derajat atau nilai dari eksistensi itu. Interaksi meniscayakan kesadaran semua pihak untuk tidak 96

saling mengecilkan dan melemahkan. Sebaliknya, masingmasing pihak sesuai dengan kondisi dan fungsinya bersikap proporsional dan wajar. Silaturrahim semestinya berjalan dalam bingkai tiga kesadaran ini sehingga saatnya kita menata ulang kembali konfigurasi silaturrahim yang selama ini berjalan. Upaya ini perlu dibangun dalam rangka meningkatkan kepekaan semua umat dalam menanggulangi gejolak sosial yang semakin menuntut di antara mereka. Selama ini kegiatan silaturahim bergerak dalam ruang yang disekat kepentingan formalitas. Nuansanya sekedar memperlihatkan bahwa dirinya terbuka. Selain banyak teman, ia juga bersedia dikunjungi semua orang. Contohnya, model silaturahim yang lagi ngetren di abad modern ini adalah silaturrahim dalam bentuk kegiatan open hause yang digalang oleh para pejabat. Di samping itu, banyak bentuk silaturrahim yang berjalan berdasarkan struktur kelembagaan, sekte, dan kelompok. Misalnya, silaturrahim seremonial yang dimeriahkan oleh instansi, organisasi sosial, organisasi keluarga dan atau organisasi yang bersifat kedaerahan. Sepintas gaya silaturrahim model ini berjalan cair dengan segala riuh gemuruhnya manusia dari berbagai strata berdatangan dan berkumpul. Senyum kemegahan, kehangatan, peluk cium, dan berjabat tangan pun tampak sumingrah bahagia. Namun, perhelatan bahagia itu sekelebat cepat menghilang. Kini suasananya mengental kembali dibelakang layar silaturrahim dalam bentuk perkumpulan yang sangat adhoc, elitis, klenik, keronik dan bahkan politis. Suasana rohaniah yang dahulu mencair dalam bentuk puasa, bayar zakat, peluk cium dengan

97

sesamanya kini berubah bentuknya menjadi berwajah tebal dan individual, tak tahu lagi makna pergaulan universal. Silaturrahim yang sejatinya mampu merajut umat dalam suatu kebersamaan, namun dari sisi sosial kehidupan tampaknya masih terjadi perbedaan taraf hidup yang mencolok. Adalah logis kalau selama ini di berbagai tempat selalu muncul gejolak sosial, konflik dan perbuatan keriminal yang sulit dibendung. Belum lagi kejahatan teror dan musibah lain yang kesemuanya hampir terjadi dilatarbelakangi ketidakdewasan pemimpin dan komponen elit menyikapi rakyat kecil sehingga muncul ketidakpuasan rakyat. Oleh karena itu kegiatan silaturrahim sebagai bagian dari perintah agama yang selama ini kehadirannya dibutuhkan untuk menyambung tali ikatan (komunikasi) batin antara sesama umat manusia, perlu dikonfigurasikan kembali kepada suatu wujud perbuatan yang dapat dirasakan kongkrit oleh rakyat. Wujud perbutan itu, paling tidak, sejalan dengan tiga kesadaran yang diisyarahkan dalam ayat al-Quran di atas, yaitu mengubah silaturrahim dalam konfigurasi kegiatan sosial interaktif (kesadaran biologis dan pluralism) yang dapat memecahkan secara langsung problem yang dirasakan masyarakat aneka bangsa. Wujudnya tetap melanggengkan kegiatan seremonial seperi tradisi open hause, halal bihalal, dan lain lain tetapi di dalamnya ditambah dengan komitmen bersama mengatasi penderitaan yang dihadapi bangsa. Seperti tekad bersama menanggulangi kejahatan korupsi dan kriminal lainnya, mengatasi kemiskinan, membantu penderitaan buruh, dan membantu masalah pendidikan dan kesehatan bagi yang tidak mampu. 98

6 TAFSIR SOSIAL TENTANG IBADAH

A. Aksiologi Berpuasa Kegairaham masyarakat banten dalam menyambut kedatangan bulan Ramadhan bukan barang baru. Bulan ini sudah dikenal dan berulang hadir setahun sekali dalam lingkungan rutinitas ibadah. Sejak yang bersifat formalism ritual, ceremonialisme hingga pada soal-soal yang bersifat konsumtif digelar masyarakat banten dalam suasana kemeriahan. Potensi keislaman banten tentu tidak lahir atas dasar warisan sejarah belaka dari para sulthan dahulu. Tidak juga berasal dari mukjizat yang jatuh seketika. Tapi tumbuh melalui proses pemerasan tenaga maupun pengerahan intelektual para pejuang Banten. Proses kreatif ini seharusnya menjadi pemicu sepirit bagi generasi Banten untuk menerima Islam secara intelektual dan diamalkan dengan nyata (Q.S. 7 : 184). Maka ibadah puasa pun pengamalannya perlu ditonjolkan dalam medium medium yang tepat dan dalam ruang pengaruh yang kuat. Selama ini perjalanan ibadah puasa di Banten diakui cukup semarak. Di berbagai lini kota dan pusatpusat perkantoran, perusahaan, kalangan ormas, politisi, pejabat, artis dan lain-lain telah menghiasi ibadah puasa dengan aneka dimensi aktivitas.

99

Dipandang dari sudut spirit formal, kegiatan semacam itu kesannya memang mampu mendudukkan praktek peribadatan ke dalam ruang yang harus dijunjung, dipuji dan dihormati. Apalagi muatan formalnya adalah ibadah puasa yang secara imperative terbit dari perintah Tuhan (Q.S. 2: 183). Namun untuk menjunjung printah melalui makna yang menyentuh dasar hati kemanusiaan dan daya gerak implikasinya, kegiatan semacam itu masih membutuhkan ruang perenungan, penalaran, ketulusan sanubari dalam aksiologis.

amaliah

Bahkan harapan yang lebih jauh menuntut puasa dapat menciptakan kesadaran peradaban rohaniah dari individu ke dalam rohaniah kolektif. Bukan sekedar euphoria rohaniah individualistic. Pandangan ini tidak bermaksud menafikkan segala aktivitas penyambutan Ramadhan yang sudah menjadi blue print tradisi. Akan tetapi ia harus ditegakkan intinya, raga dan jiwanya (Q.S. 2 : 177). Apakah serangkaian aktivitas penyambutan ramadhan yang selama ini diragakan takaran manfaatnya sudah menjangkau ke seluruh segment umat. Dengan kata lain apakah buka puasa bersama di kantor-kantor dan di kalangan para pejabat tersebut memiliki raga untuk membangun peradaban umat. Ataukah hanya harapan sesaat dari yang bersangkutan untuk mencengkramkan jari-jari formalism kerakyatan, keramahan dan kehormatan yang dimilikinya. Kalau itu yang menjadi target berarti peribadatan puasa hanya bergerak sebatas dinamika simbol yang tidak memiliki akar peradaban umat. Ibadah puasa adalah media peribadatan atau pencerahan kolektif yang harus menetes ke segala lapisan sosial baik yang 100

peradaban kerohaniahan, keterampilan dan kebudayaannya terpinggirka (Q.S. 92 :4). atau sengaja meminggirkan diri. Kelompok sosial yang demikian bisa muncul dari kaum lapar, penghuni kolong jembatan, kaum PSK, para penjahat jalanan, koruptor, pejabat, pengusaha, politikus dan bisa juga dari seorang ustad atau kiyai. Para pejabat, koruptor, pengusaha dan ulama/kiyai adalah sosok elit yang satu sama lain berbeda dalam spesialisasi kemampuan. Para pejabat, politisi dan pengusaha adalah type manusia yang profesinya selalu dekat dengan kekuasaan dan harta. Mereka bisa meminggirkan diri dari peradaban keterampilannya dengan berlapang dada pada tahta dan harta bisa juga di saat lain tergoda. Sementara koruptor adalah sosok manusia yang bukan saja mingir dari budaya rohaniah tetapi sudah membelot untuk bersenggama dengan harta dan berejakulasi menikmati betapa seksinya sang harta yang maha bendawi. Adapun ulama atau kiyai adalah sosok terpandang karena kekayaan amal rohaniahnya. Namun dari sisi labelitas manusiawinya bisa memingirkan dari dari kekayaan rohaniahnya untuk sedikit pamit, dan, atau boleh jadi banyak berkolaborasi dengan keburukan dan kejahatan. Sementara kaum penghuni kolong jembatan, WTS/PSK adalah kaum ―profesionalisme pinggiran‖ yang pasrah dengan bidangnya. Mereka bersedia berbuat apa adanya dengan moral yang bejat sekalipun. Tetapi akses profesi mereka tidak bersayap dan selalu berjalan di tempat, karena itu ia tidak akan membuat keserakahan yang menindas rakyat. Paling-paling mereka hanya sebatas pemandangan yang meruwetkan dan sekedar

101

meresahkan. Kalaupun mereka tersangkut dengan hukum sudah pasti bukan karena KKN kelas tinggi. Lalu siapa yang mampu mencetak peradaban puasa di antara kaum itu?. Kaum pejabatkah, pengusahakah, ulamakah, koruptorkah, politiskah atau kaum penghuni jembatankah?. Sebenarnya ibadah puasa itu urusan pribadi. Ia barang yang sangat gampang untuk dilaksanakan dan dipamerkan dalam ukuran-ukuran kapasitas kemanusiaan. Karena itu, para pejabat, politisi, pengusaha dan pemimpin ormas bisa saja berpusa dalam studum/drajat keikhlasan atau bisa juga terjerumus dalam kemunafikan dan keriaan yang meninggi. Dengan akses kekuasaan dan hartanya mereka mengundang para kolega dan segenap komunitas dalam jumlah masal untuk berbuka puasa. Segala aneka konsumsi pun dihidangkan buat menjamu para tamu. Namun sampai di situ karakter berpuasa terbentuk. Puasa mereka telah menyuarakan pergaulan dan menebarkan kepuasan rakyat. Tapi, dalam lingkup sekat-sekat dan kedalaman psikologisme tertentu. Tidak menyuarakan peradaban bagaimana seharusnya aksiologi berpuasa mampu mengubah realitas sosial dari kemiskinan, kelaparan, kebodohan, kebejatan moral dan bahkan ketertindasan. Inilah barangkali yang dimaksud dengan hadis Nabi SAW, ―Berapa banyak umat manusia yang berpesta ria dengan buka puasa sekedar untuk beriang gembira mengakhiri dari rasa dahaga dan lapar‖. Wallahua‘lam!

102

B. Makna Berkurban Pada hari ini umat islam patut bersyukur ke hadirat Allah SWTyang telah memberikan nikmat kehidupan untuk bertemu kembali dengan Hari Raya Iedul Adha.Hari bahagia bagi umat Islam karena selain mereka dapat mengenang dan memetik kembali hikmah sejarah pengorbanan Nabi Ibrahim dan Ismail, juga mereka kembali melaksanakan ibadah salat Iedul Adha dan menunaikan ibadah haji di kota suci bagi yang mampu sekaligus melaksanakan badah kurban. Idul Adha merupakan hari raya yang tidak dapat dipisahkan dengan kisah Nabi Ibrahim bersama anaknya Ismail. Kisah itu digambarkan demikian dramatis dan histeris terutama dirasakan oleh para pelakunya, karena Allah melalui mimpi Nabi Ibrahim memerintahkan untuk meynembelih anaknya yang bernama Ismail. Sipapun manusianya tentu akan keberatan manakala anak yang sangat dicintainya diperintahkan untuk dibunuh. Apalagi anak yang akan dibunuhnya bukan saja seorang anak yang masih belia muda, ganteng dan sangat menyenangkan tetapi juga seorang anak yang diharapkan kelak menjadi tokoh besar pengganti bapaknya, Ibrahim. Demikian ujian berat yang diberikan Allah pada Nabi Ibrahim dan anaknya, Ismail. Betapapun ujian (perintah) Allah tersebut dirasakan begitu berat oleh Ibrahim dan Ismail, namun Ibrahim dan Ismail sangat percaya terhadap kehendak Allah Yang Maha Suci, yang tidak mungkin akan menzalimi mahluk-Nya. Maka dengan hati yang tulus (ihlas) Ibrahim memenuhi perintah Allah hingga akhirnya Ismail bersedia disembelih. Dengan kekuasaan dan kearifan Allah, Ismail yang disembelih tadi berubah menjadi 103

seekor kambing besar yang siap untuk dikorbakan. Kisah ini diabadikan dalam al-Quran Surat : “Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku Sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku Termasuk orang-orang yang sabar". Dari kisah ini paling tidak terdapat beberapa hal yang patut dijadikan ibrahim bagi kehidupan umat manusia yaitu hakekat dan subtansi perintah itu sendiri , kondisi sosial ketika Nabi Ibrahim menerima perintah, dan solusi dari perintah itu sendiri. Perintah Allah SWT kepada Ibrahim yang berkualitas berat pada hakekatnya mengandung ujian yang berharga. Ujian ini sengaja didisain Allah untuk seorang Nabi Ibrahim sebagai seorang tokoh atau pemimpin umat agar tidak boleh lemah menghadapi persoalan yang akan timbul lebih besar lagi. Demikian juga ujian untuk Ismail sebagai generasi yang kelak menjadi pemimpin umat. Sebagaimana kita tahu bahwa untuk mejadi seorang pemimpin tidak bisa ditempuh dengan cara gratis hanya mengandalkan popularitas keturunan atau dengan cara propaganda berbasis baligo. Seorang pemimpin yang sukses perlu sejak dini dibekali dengan kebiasaan menghadapi tantangan besar dan cara-cara bagaimana ia mengendalikan nafsu dengan moralitas dan konsistensi yang tinggi. Pengalaman integritas ini penting untuk menjaga pribadi pemimpin dari godaan dan intrik yang setiap saat bisa terjadi.

104

Di negara yang kita cintai ini telah banyak memperoduk pemimpin dari berbagai latarbelakang dengan status dan posisi yang bervaryasi. Di antara pemimpin itu ada yang memang tinggi dalam memegang moral karena dengan bekal ilmu dan pengalaman yang penah dihadapinya. Sementara terdapat juga pemipin instan yang berasal dari habitat lemah yang sama sekali tidak teruji moralitas dan pengalaman-pengalaman kerjanya. Akibatnya dalam memipin ia tidak brdaya mengatasi segala persoalan yang muncul di hadapannya. Tidak sedikit kasus melawan hukum seperti korupsi, teroris dan tindakan criminal lainya yang hingga kini tidak bisa deselesaikan oleh pemimpin tadi dengan tindakan hukum yang tegas, adil dan tuntas. Kondisi ini jelas memicu kemarahan masal yang berbuntuk semakin berlarurnya krisis dan konflik antar bangsa. Ini semua disebakan oleh kondisi sebagian pemimpin kita yang belum teruji moralitas , keteladanan dan pengurbanannya. Inilah hikmahnya Allah SWT menguji Nabi Ibrahim dan Ismail dengan perintah yang berat untuk mengurbankan nyawanya yang kemudian diganti dengan hewan sembelihan berupa kambing besar. Ujian ini membuktikan telah memberikan pelajaran yang besar bagi Ibrahim dalam mendidik keturunannya terutama Ismail. Ibrahim sangat berharap agar Ismail kelak menjadi pemipin yang bermoral, cerdas dan tidak bermental cengeng (bermanja-manja). Ibrahim sangat mendambakkan betul anaknya mampu menjadi pemimpin yang tidak zalim, adil, bersih, ihlas berkorban dan tidak bertendensi koruptif. (gampang menerima godaan materi). Hal ini digambarkan dalam firman Allah SWT Surat al-Baqarah ayat 124 : 105

“….dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji[87] Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: "Sesungguhnya aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia". Ibrahim berkata: "(Dan saya mohon juga) dari keturunanku"[88]. Allah berfirman: "Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zalim". Ayat ini jelas menggambarkan konsistensi Nabi Ibrahim dalam mengangkat seorang pemimpin yang berkualitas. Ibrahim tidak berharap adanya pemimpin instan yang lahir berdasarakan nepotisme (keteurunan) dengan habitat yang tidak cakap baik ilmu, pengalaman dan moralnya. Perintah berkurban pada Ibrahim dan Ismail terjadi pada saat kondisi masyarakat yang masih primitive.

C. Emosi Haji Seruan perintah haji oleh Allah SWT melalui Nabi Ibrahim ternyata efektif mengundang masa ibadah haji yang tidak pernah surut. Setiap tahun umat Islam dari belahan dunia datang ke kota suci Mekah dengan menelan emosi masa yang berjumlah besar. Kondisi ini memancing L. Stoddard, seorang cendekiawan Barat, dalam bukunya The Rising Tide of Colour bersinyalemen bahwa siapapun tidak akan mampu membendung pelaksanaan ibadah haji di kota suci tersebut. Sinyalemen ini bukan omong kosong karena meski berkali-kali terjadi bencana tragis yang merenggut banyak nyawa manusia, ibadah haji di kota suci tetap berjalan dan tidak pernah berkurang. Ini suatu bukti panggilan Allah telah berhasil menggerakkan hati umat Islam untuk beribadah haji. Mereka 106

jama‘ah haji yang terdiri dari segmen yang tertinggi hingga yang terendah pergi meninggalkan sanak keluarga dan rela melepaskan uang banyak demi memenuhi ibadah yang paling bergengsi. Bahkan demi ibadah haji terdapat jama‘ah yang rela menjual satu dua petak sawah padahal satu-satunya modal penyambung hidup. Emosi jama‘ah haji semakin tak terbendung ketika sudah berada di zona-zona peribadahan. Sebut saja ketika menjalani ritual lempar jumrah dengan jumlah masa yang demikian massif dan berjubel, mereka saling menerobos tanpa rasa takut ditimpa tragedi dan bencana. Padahal di tempat itu seringkali jama‘ah haji terkena bahaya yang amat mengenaskan. Begitu pun ketika ritual tawaf dengan masa bertimbun padat mereka saling berebut mengejar batu hajar aswad hanya untuk menciumnya tanpa peduli kepalanya terkena benturan. Demikian emosi ibadah haji ini membara dalam luap dan gerak refleksi para jama‘ah di luar dimensi kesadaran berfisik. Mereka tak peduli apa dan siapa yang menyentuh bahkan yang menerjang fisiknya, kecuali tersekap kepuasan rohaniah di genggaman kenikmatan beribadah haji. Oleh karena itu, tidak perlu heran bila terdapat orang yang berkecanduan ibadah haji dengan menunaikannya berulang-ulang hingga puluhan kali. Barangkali Inilah yang dimaksud dengan firman Allh SWT; ―Serulah olehmu ke dalam ibadah haji niscaya mereka akan datang dari berbagai penjuru, baik melalui jalan kaki maupun dengan kendaraan onta kurus‖ (Q.S. 22:27). Gambaran emosi ibadah haji di atas dari sisi ritual amat masuk akal karena sejalan dengan sistem keyakinanannya dalam mematuhi perintah ibadah. Hal ini secara simbolik mungkin 107

dapat memelihara kesinambungan kepuasan ritual ibadah. Namun secara simbolik, ritual saja tidak cukup tanpa berbanding lurus dengan realitas prilaku keseharian hidup para jamaah usai menunaikan ibadai haji. Kepuasan ibadah yang diukur dengan selera nafsu (emosi) belaka membuat efek ibadah haji berhenti di permukaan. Sementara sisi kedalamannya, yaitu untuk merubah kehidupan ke arah yang lebih bermakna (haji mabrur), tidak terwujud. Itu sebabnya banyak produk haji yang kita miliki belum bisa merubah kebiasaan buruknya. Ironisnya, tidak sedikit yang sudah menunaikan haji yang kini duduk di lembaga publik justru menjadi bagian yang tersandung hukum. Oleh karena itu mari kita hindari ncaman sabda Nabi SAW berikut ini, ―sekiranya seseorang bernafsu meletakkan kepalanya di atas Hajar Aswad, lalu puasa di siang hari penuh dan salat semalam suntuk, tentu Allah akan membangkitkan orang tersebut di hari kiamat bersama hawa nafsunya‖ (H.R. Ad-Darimi).

D. Kisah Menolong Kucing Sang sufi besar yang bernama Abu Bakar al-Syibli konon setelah wafatnya hadir dalam mimpi temannya berdialog dengan Allah SWT. ―Apa yang menyebabkan dosamu diampuni oleh Aku ?‖. Tanya Allah SWT pada Syibli. ―Salat tepat pada waktunya‖, jawab Syibli. ―Bukan‖ kata Allah SWT menimpali. ―Zakat, puasa dan hajiku yang menyebabkan dosaku diampuni‖. lanjut Syibli menambahi jawaban. ―Bukan juga‖, cetus Allah SWT. Syibli pun heran, ―kalau semua ibadah yang telah aku jalankan tidak menghapus dosaku lalu apa yang telah Kau ridhai dariku‖ Tanya Syibli penasaran. ―Aku meridhai dan mengampuni seluruh dosamu lantaran engkau telah menolong 108

seekor kucing yang sedang kedinginan dan kelaparan‖ Demikian Allah SWT menutup dialognya dengan Syibli. Kisah di atas dimonumentalkan oleh Nawawi al-Bantani, seorang ulama besar dalam kitab syarah Nashaih al-I’bad. Benar dan tidaknya kisah ini dari sisi ilmiah bukan hal penting. Pelajaran dari kisah itulah sesungguhnya yang patut kita petik. Utamanya untuk menyikapi situasi kehidupan umat manusia yang semakin hari dirasakan jauh dari rasa kasih dan kekeluargaan. Padahal undang-undang apapun yang terkait dengan penegakakan kasih dan persatuan antara sesama bangsa telah kita miliki. Sejak yang brasal dari ajaran agama, undangundang produk kenegaraan hingga apa yang disebut undangundang berlevel dunia seperti HAM. Namun di berbagai tempat kita sangat miris dengan adanya aneka prilaku yang tidak lagi mencintai bangsa dan aset negaranya sendiri sebagai anugrah/mahluk Allah. Lihat saja apa yang namanya kebrutalan dan kepanikan masyarakat sudah tidak bisa lagi dikendalikan. Seakan masyarakat telah tercerabut dari tuntunan keadaban yang berakar dari nilai kemanusiaan dan moral agama. Dengan begitu tanpa rasa kasih mereka nekad membunuh sesamanya dengan sadis. Tidak peduli apakah yang dibunuh itu rakyatnya, atasannya, teman dekatnya, keluarganya bahkan anak dan orang tuanya sendiri. Bahkan kekerasan itu merambah dengan mencuatnya kerusuhan yang merugikan aset negara seperti pembakaran pabrik, kantor dan rumah pejabat. . Mengapa kekerasan ini bertubi-tubi ―menjadi‖ dan tak pernah ada yang mampu ―mengatasi‖? Jawabannya terpulang kepada para komponen elite bangsa itu sendiri dalam memberikan keteladanan kasih sayang 109

kepada rakyatnya. Apakah kaum elit yang selama ini sok bermoral (agamis) menyuarakan keadilan demi pengabdian pada Tuhannya benar-benar telah dibuktikannya untuk membela negara dan rakyatnya. Justru rakyat kecil marah dan frustrasi karena kelompok elit tanpa sadar sebenarnya telah melakukan dosa kekerasan demi kekerasan. Berapa banyak peraturan yang mereka ligitimasi akhirnya digerus oleh tangan besi yang berdarah kolusi century. Harta rakyat disulap dengan cek pelawat demi kekuasaan sesaat. Rakyat menjadi malang karena dihadang oleh kasus hambalang dan tanah tambang. Akhirnya konflik antara bangsa terus berulang tanpa bisa dihalau oleh kekuasaan. lantaran telah hilangnya rasa kasih sayang antara sesama mahluk Allah SWT. Padahal, kata Nabi SAW. ,―Seluruh mahluk adalah keluarga Allah SWT dan yang paling dicintaiNya adalah yang paling bermanfaat‖. Oleh karena itu kisah sufi di atas menjadi ibrah kita yang amat berharga buat membiasakan diri menanamakan kasih sayang yang bermanfaat kepada siapapun mahluk Allah SWT. Dengan ibadah simbolik saja yang kita lakukan tanpa diimbangi dengan amal kemanusiaan tidaklah Tuhan akan mengampuni dan meridhai. Rasa kasih sang Sufi di atas yang dicurahkan kepada seekor kucing mengetuk kita semua untuk berlaku sayang dan adil kepada apa dan siapapun umat manusia tanpa diskriminasi. Rasa kasih sayang seperti inilah kelak akan mengantarkan bangsa (negeri) kita menjadi negeri yang kuat (tanpa konflik), selamat, aman, damai, maju dan beradab. Semoga !

110

E. Etos Ramadhan Kalimat-kalimat motivatif mengenai Ramadan seperti kalimat Ramadan bulan penuh rahmat, Ramadan bulan pendidikan moral, Ramadan bulan pembebasan dosa dan lainlain. Kalimat-kalimat itu telah didengar oleh seluruh umat Islam bahkan mungkin oleh umat nonmuslim. Dari sisi subtansi, kalimat itu sebenarnya berasal dari hadis Nabi, walaupun secara implisit dalam hadis tidak dinyatakaan demikian. Dari sisi misinya, kalimat itu amat dinamik karena mengandung pesan edukatif yang mendorong pelaku puasa untuk mengisi Ramadan dengan kegiatan-kegiatan produktif dan positif. Dalam kondisi tertentu, sepertinya umat Islam terpengaruh oleh kalimat mulia itu karena pada tahap permukaan umat Islam secara masif berdatangan salat berjamaah di masjid. Di sanalah mereka secara kompak mengamalkan aneka ritus berupa kalimah istighfar, tahlil, tasbih, tahmid, dan amalanamalan lainnya. Bahkan jamaah dengan intens mendengarkan tausiyah profetik dari para penceramah yang menggugah umat untuk melakukan kegiatan amaliyah yang lebih baik dalam kehidupan. Namun kegiatan tersebut telah berhenti di batas ritual sesaat tanpa imajinasi kreatif yang dirasakan secara aplikatif oleh umat. Padahal kalimat motivatif Ramadan pada level implisitnya berasal dari sabda Nabi Muhammad SAW yang mengandung imajinasi Ramadan yang berdaya kreatif tinggi. Sebut saja, misanya, kata i‘tqu min an-nar (bulan bebas dari api neraka). Secara semantik kata bebas dari api neraka memiliki makna dan imajinasi yang dalam. Tidak boleh dipahami secara simbolik sehingga menyikapinya hanya sebatas amal ritual per111

mohonan ampun pada Allah yang signifikansi praksisnya juga sangat terbatas. Kata itu harus dipahami secara luas ke arah makna penginsafan dosa dari segala dimensi kehidupan sosial ekonomi dan politik. Pemahaman yang terakhir di atas itulah yang mengandung implikasi luas ke arah imajinasi pembebasan dosa dari segala aktivitas peradaban yang cela. Dengan amalan Ramadan kita berarti harus melakukan pembebasan dosa antara lain dari dosa terhadap negara, prilaku aroganisme, kebodohan, kemiskinan, intoleransi, kebahilan, dosa etos kerja, dan pembebasan dari dosa penataan lingkungan hidup. Selama ini pengetahuan sebagian umat tentang hukuman dosa hanya pada mereka yang meninggalkan kewajiban ibadah mahdah seperti salat, puasa, zakat, dan haji. Sementara mereka yang tidak peduli dengan kemiskinan dan kebodohan, melanggar disiplin, perilaku sektarianisme, tidak suka melakukan penelitian (tidak cinta ilmu), merusak lingkungan, dan melanggar undangundang negara, jarang dikecam sebagai perbuatan dosa. Itu sebabnya setiap kali momentum ibadah Ramadan muncul, selalu saja berhenti pada kegiatan ritual monoton. Ironisnya kegiatan ritual yang pada awalnya terlihat masif semakin hari semakin menyusut. Pada akhirnya ibadah Ramadan hanya terlihat beberapa orang saja yang melaksankan salat tarawih berjamaah. Dampaknya hingga kini amalan Ramadan belum memiliki imajinasi kreatif yang berupaya memperbaiki realitas sosial dan citra peradaban umat dengan konkrit. Fakta yang terjadi malah masih banyak pasca-Ramadan, orang-orang yang tidak merasa berdosa ketika bersikap masa 112

bodoh atau tidak peduli dengan masalah sosial (kemanusiaan) moral, pendidikan dan lingkungan. Di bidang kemanusiaan, misalnya masih didapati orang yang membiarkan umat yang telantar tidak mendapatkan bantuan pendidikan, padahal mereka tergolong anak cerdas. Di bidang etos kerja dan moral didapati para pegawai negara yang tidak disiplin dalam bekerja tepat waktu dan mengelola keuangan negara. Di bidang ilmu masih didapati plagiator ilmiah dan malas melakukan penelitian. Di bidang ketertiban dan penataan lingkungan masih didapati orang yang membuang sampah seenaknya dan melanggar ketertiban lalu lintas. Bahkan hidup saling menghormati dan toleransi antara sesama umat nyaris tercabik-cabik oleh aroganisme kelompok dan perbedaan satus sosial dan agama. Saatnya pelaku yang disebut di atas dikenakan hukuman ―dosa besar‖, karena Tuhan tidak butuh lagi pada mereka yang berpuasa tapi mencelakakan peradabanya sendiri. Barangkali inilah yang dimaksud dengan hadis Nabi, ―barangsiapa yang tidak mengamalkan kalimat-kalimat motivatif dalam ibadah Ramadan dengan konkrit, maka Allah tidak berkebutuhan padanya dari sekadar meninggalkan makanan dan minuman‖.

F. Ramadhan Emansipatoris Bulan Ramadhan sebagai bulan suci, kehadirannya tidak dapat disangsikan telah mendapat sambutan yang begitu semarak oleh kaum muslimin baik dalam level dunia maupun level nasional. Khusus di negeri kita hampir semua komunitas muslim menyambutnya dengan tingkat mobilitas kegiatan keagaman 113

yang amat berbeda dengan bulan bulan biasa. Utamanya menyangkut antusiasisme aktifitas keagamaan yang dilakukan, tampak kepermukaan menonjol. Tidak saja dalam kegiatankegiatan yang sekalanya terbatas pada space sosial tertentu tetapi juga kerap pada kegiatan keagamaan yang melampaui batas lintas kultur. Dalam space tertentu sebut saja, misalnya, yang paling normatif adalah salat jamaah tarawih bersama, kontemplasi ibadah melalui tahajud, i‘itikaf, kultum, buka bersama, bazar amal, dan diskusi-diskusi keagamaan. Sementara yang sifatnya paling kongkrit adalah gerakan pengumpulan zakat, infak dan sedekah baik oleh lembaga resmi maupun oleh lembaga soaial yang didirikan di masjid-masjid. Bahkan dalam bulan Ramadhan ini, tidak jarang diadakan pula kegiatan yang bersifat dialog keagamaan dengan melibatkan pemeluk agama non muslim untuk diajak bersama memecahkan problem sosial keagamaan. Pada batas yang paling formal antusiasisme keagamaan di atas, amat baik setidaknya umat Islam secara simbolik telah meletakkan keagungan Ramadhan sebagai syiar. Artinya umat Islam mampu mendeklarasikan Ramadhan di tengah-tengah umat dengan eneka kegiatan dan dengan pesertanya dalam jumlah massif. Tegasnya Ramadhan berhasil digerakkan umat menjadi media kolektif (bersama) dalam memperoleh inspirasi (pelajaran) agama, menggagas dan memecahkan persoalan pendidikan dan pembiasaan-pembiasaan disiplin. Termasuk dalam hal penggalangan solidaritas sosial islamiyah. Firman Allah SWT, ―Demikianlah (perintah Allah) dan barang siapa

114

mengagungkan syiar-syiar Allah, maka itu sesungguhnya timbul dari ketakwaan hati ( Q.S. 22 : 32). Dari segi kemampuannya menggalang kegiatan umat secara massif, dalam diskursus sosiologi agama, Ramadhan dapat menjadi penggerak emansipatoris di tengah-tengah monumentalitas umat. Emansipatoris, sebagaimana menurut James Hastings, dalam bukunya Encyclopedia of Religion and Ethic artinya suatu pembebasan dari hidup pembekuan intelektual (kebodohan), kemiskinan, pemihakan individu, kekuasaan, dan golongan. Dengan kata lain emansipatoris adalah gerakan bersama membebaskan kezaliman (penindasan), sifat individualism, dan aroganisme dalam upaya mewujudkan persamaan hak dalam berbagai aspek kehidupan bermasyarakat. Kita cermati bagaimana Ramadhan menjadi lokomatif kegiatan rohaniah. Dengan tarawih bersama, secara psilologis umat didorong dapat melakukan temu sosial dan silaturahmi dalam batas dan lingkup kohesifitas masyarakat. Dengan kultum, umat sekali waktu diketuk dan disentuh batinnya dengan pesan pesan agama mengenai disiplin hidup, tentang persatuan, perdamaian, pencerahan dan perubahan hidup. Dengan diskusi umat diajak berfikir memperoleh wawasan rasional dan kreatif untuk memecahkan persoalan aktual kehidupan. Dengan menghimpun zakat, infak dan sedekah umat didorong bersatu padu menggalakkan kepekaan sosial dalam membantu kaum lemah (duafa) tanpa melihat latar belakang sosial dan kebudayaan. Pokoknya dengan mobilitas Ramadhan, momentum kegiatan keagamaannya sangat praksis dalam menggerakkan dan menggiring umat di atas kesatuan rohaniah,

115

persamaan derajat kedudukan, dan hak - hak bersama membebaskan penindasan (pembodohan dan pemiskinan). Inilah pentingnya kita lestarikan Ramadhan dalam nuansa emansipatoris. Pertanyaanya seberapa jauh nuansa ini dapat berjalan konsisten di tengah-tengah kehidupan umat. Amat disayangkan pembinaan Ramadhan yang begitu survive di masanya kini mati dan membeku kembali dalam sisa dan puingpuing realitas kehidupan umat terutama setelah masa Ramadhan berhenti. Nuansa pembiasaan menggalang hidup bersama yang dahulu sangat kolektif egaliter kini menyempit bersifat ad hoc dan rontok setelah umat memburu kepentingan sesaat. Hidup saling menghujat, mengadu domba dan mencela masih tetap bercokol dalam lembaga-lembaga yang seharusnya menjaga kedamaian dan saling tolong-menolong. Seperti kerap terjadi di partai politik, kantor maupun organisaasi sosial keagamaan. Teror bom masih saja terjadi oleh kelompok tertentu. Hidup saling tolong-menolong dan peduli umat tidak tumbuh karena anak yatim dibiarkan tidak sekolah dan tidak sedikit kaum elit mengusir para pengemis. Bahkan disiplin menghargai waktu di kantor-kantor tidak dilaksanakan karena para pegawai sering masuk kantor terlambat. Hidup selingkuh menyakiti suami dan istri masih terjadi di mana mana. Celakanya mereka masih memandang semuanya sebagai hal yang biasa dan lumrah terjadi dalam suatu kehidupan. Ironisnya nuansa hidup yang tidak emansipatoris ini justru masih terjadi pula dalam hal hal yang sangat sepele, misalnya umat masih meributkan perbedaan ritual yang bersifat furui‘yyah.

116

Suasana keberagaman semacam ini jelas merusak citra ibadah puasa dan bertentangan dengan tujuan, visi dan misi ibadah Ramadhan yang sangat emansipatoris. Untuk menghindari kondisi yang tidak kondusif bagi kehidupan keberagamaan masa depan, maka upaya menghidupkan semangat Ramadhan emansipatoris secara berkesinambungan merupakan suatu keniscayaan.

G. Berlatih di zona letih Anugerah berupa nafsu yang diberikan Allah kepada umat manusia merupakan ikon strategis setelah nyawa hidupnya. Tanpa nafsu bahkan kehidupan tak lagi berdimensi dan beraktifitas. Nafsu menjadi penting untuk menciptakan kreasi dan menggerakan roda cita-cita dalam mencapai segala target kehidupan. Manusia dengan nafsu dapat merencanakan apa saja yang dikehendaki guna memenuhi karsa dan hajat kehidupan. Namun nafsu yang tak terkontrol dengan baik membuat pengguna nafsu itu teriduksi ketahanan mentalnya (Q.S. 12:53). Itu sebabnya dari harapan ke harapan , ia lalu berambisi agar segala kelezatan yang telah diraihnya tetap bertengger dalam dirinya. Konsekwensinya manusia ingin selalu berada dalam zona kenyamanan (camfort Zone) dengan segala kemewahan materi sebagai teman kesayangannya. Dalam kondisi itu, maka manusia pemburu nafsu mulai tidak ingin keluar dari zona kenyamanan yang telah didekapnya. Sebagai contoh tidak sedikit manusia yang tidak ingin kehilangan dari tahta yang telah lama didudukinya, dari harta yang telah digenggamnya dan dari kehormatan yang telah lama 117

dielu –elukan oleh lingkungannya. Pendek kata semua jenis kenyaman yang telah menghilang dari dirinya tidak mampu diterima dengan rela dan lapang dada. Sebaliknya, justru ia merasa tertekan, histeris, letih dan putus asa dari perjuangan hidup. Coba lihat saja klimak nafsu di jalan raya seringkali dijumpai para pengendara mobil panik ketika menghadapi kemacetan lalu ia berbuat tidak beraturan dengan menabrak aturan lalu lintas. Setelah dicari pokok masalahanya, ternyata terdapat dari mereka adalah orang yang selalu melewati jalan yang yaman, mreka panik dan marah karena polisi untuk sementara mengarahkannya ke jalur macet. Gambaran di atas terlihat betapa umat manusia yang telah mendekam lama dengan kenyamanan enggan keluar darinya bahkan sebagian dari mereka terjerumus dalam situasi kebermenakan. Mereka tidak mau bergeser setapak pun dalam situasi letih guna menapaki perjuangan. Pada ujungnya yang dikejar mereka hanyalah serba kemudahan menggapai kelezatan meterial duniawai bergaya hedonis konsumtif. Gaya hidup yang serba instan ini dapat ditangkal dengan pembiasaan diri bersabar dan berjuang dengan letih guna menghadapi situasi sulit. Manusia tidak boleh dibiarkan hidupnya larut diserap oleh kenyamanan dan kesenangan tanpa berjuang keras mengahadapi dan memecahkan kesulitan. Ibadah puasa hadir untuk menguji dan mlatih umat beriman agar terbiasa menghadapi situasi letih berupa ketandusan perut dari makanan dan minuman. Keletihan seseorang yang disertai lapar dan haus di dalam ibadah puasa boleh jadi ia merasakan sangat kesal dan menggangu ruangruang kelincahan bergerak. Itu berarti tanda –tanda keimanan 118

telah sejak lama disinggahi dan digerogoti virus rasa nyaman sehingga berlimbung diri dalam kegontaian yang pasif. Ibadah puasa sesungguhnya mencabut pasivitas keperibadian menuju dunia aktif yang menyerukan gerak amaliah ruhaniah yang sustainable. Dengan demikian statitsme hidup yang terjerumus dalam dunia (zona) kenyamanan tadi akan tergerus dan berganti dengan zona letih yang terukur menuju prestasi yang terus bergerak dan tumbuh. „Barangsiapa yang berpusa dengan iman dan dengan kesungguhan amal yang terukur (ihtisab), Sabda Nabi Saw, ―akan diampuni dari segala dosa baik yang lama maupun yang baru― Kata ihtisab dalam hadis tersebut dimaknai dengan kesungguhan yang terukur , mawas diri dan teruji. Artinya amal puasa harus dilakukan dengan sungguh tanpa rasa pamrih, malas dan rasa letih. Tetpi dapat dilakukannya dengan keteraturan juga tidak boleh berlebih dengan mengedepankan amalan eporia yang berhiaskan pernik – pernik dan tendensi kepentingan semu. Yusuf Qardawi dalam bukunya Riayah al-biah fi syari’at alislam mengemukakan bahwa amalan yang semata-mata diukur dari sisi imbalan (ala miqdar al-ujrah) tapa didukung dengan kerja-kerja keras yang berkualitas akan membawa kesiaa-siaan dan merampas optimisme hidup. Dalam kontek ini, maka jelaslah ibadah puasa selama satu bulan dengan disertai amalan – amalan ihklas karena Allah (tanpa pamrih) dan siap berlatih dalam zona letih, maka dengan sendirinya akan membentuk pelaku puasa yang berkarakter tangguh (optimis dalam hidup) dan tidak bermanja-manja dalam kenyamanan yang beroreintasikan resapan cinta kebendaan (materi). Sikap yang terlalu cinta kepada materi 119

dikecam al-Quran sebagai manusia paling buruk (pengikut berhala) karena kekafirannya pada Pencipta Yang Maha kuasa, Allah SWt. Mari kita renungkan Firman Allah SWT, dan ingatlah ketika Kami mengambil janji kamu dan Kami angkat gunung (Sinai) di atasmu (seraya berfirman), „pegang teguhlah apa yang Kami berikan kepadamu dan dengarkanlah !― Mereka Menjawab. ami mendengarkan tetapi kami tidak menaati―. Dan diresapkanlah ke dalam hati mereka itu (kecintaan menyembah patung) anak sapi karena kekafiran mereka. Katakanlah, ―sangat buruk apa yang diperintahkan oleh kepercayaanmu kepedamu jika kamu orang-orang yang beriman― (Q.S. 2 : 93).

H. Membangun Konsistensi Perintah beribadah puasa selamasatu bulan, bukan wkatu yang sedikit bagi umat Islam untuk memanfaatkan momentum ini sebagai media pembinaan kemanusiaan. Menurut teori pendidikan, waktu sebulan kelihatannya memang tidak memadai buat mengubah manusia dari alam kebodohan kea lam kecerdikan. Perubahan ke arah itu membutuhkan proses metodologi dan waktu yang tidak singkat di samping butuh biaya dan energy. Lalu, selama satu bulan mejadi efektif membangun kepribadian manusia. Terutama sisi penting pembangunan kepribadian manusia di bidang konsistensi menegakkan amanah kehidupan. Sementara itu, media mendidikan agama atau lembagalembaga elite pendidikan pun banyak bermunculan. Tak terkecuali dengan produk-produknya yang ebrgelar canggih. 120

Bahkan lembaga-lembaga itu dikelola oleh orang-orang canggih pula. Namun, mengapa di dunia ini masih banyak pula orangorang yang tidak konsisten menjalani moral kehidupan. Di mana-mana semakin tumbuh saja para pengingkar janji dan penyeleweng pembangunan. Kemunculan orang-orang yang tidak konsisten tidak lain disebabkan oleh minimalnya intensitas suatu media pendidikan menyelenggarakan pendidikan kalbu (hati). Padahal, hati dalam diskursus ilmu tasawuf merupakan inti (sumber) petunjuk kebenaran bagi setiap manusia, yang oleh filosof muslim, seperti Ibnu Maskawih, di sebut al-hikmah al-khalidah. Manusia yang dengan sendirinya berbekal bimbingan hati akan dapat terkendalikan dan terjaga dari segala perbuatan zalim. Kecenderungan hati nurani adalah mencari kebenaran. Kemundian dorongan halus kepada kebenaran tersebut lebih populer dengan istilah kerinduan eksistensial, yakni kerinduan untuk selalu menyembah zat yang menurutnya lebih tinggi. Namun begitu, perlu diingatkan bahwa pada sisi lain sesungguhnya manusia itu bersifat lemah (QS. An-Nisa: 28), yaitu dengan hawa nafsu yang dimilikinya manusia akan tergoda melakukan keburukan dengna kata lain, hawa nafsu yang ada pada manusia itu berpotensi menjadi sumber kejahatan. Dalam pada itu, al-Qur‘an juga mengakui sisi positif hawa nafsu manusia dalam upayanya menerima kebaikan dan melawan belenggu kejahyatan, apabila hawa nafsu tersebut mendapat rahmat Allah. Ibadah puasa selama satu bulan itu telah menetapkan komponen-komponen kurikulum pendidikan kerohanian tadi dengan alokasi waktu yang tersedia. Tidak sedikit hadits Nabi 121

yang menggambarkan pendidikan kerohanian yang harus ditegakkan oleh para pelaku puasa. Pendidikan itu antara lain mencakup larangan berkelahi, larangan berdusta, menahan amarah, menghindari sikap dengki, tidak makan dan minum serta tidak melakukan hubungan seksual antara suami itri dikala siang hari. Di samping komponen pendidikan lain, seperti penegakkan shalat tarawih bersama dan tadarusan (kaji alqur‘an) Semua komponen pendidikan kerohanian di atas hendaknya dilakukan oleh para pelaku puasa dengan penuh keikhlasan, berkelanjutan, intensif dan tanpa terputus-putus. Sebab menurut al-Kalabazi dalam bukunya Taaruf al-Tasawwuf, untuk mencapai puncak kerohanian yang tinggi seseorang tidak dapat menempuhnya dengan langkah pendek seperti ingin menghilangkan rasa lapar dan kehausan hanya dengan sesuap nasi dan seteguk air. Akan tetapi, demikian Kalabazi, ia mengalami pengembaraan panjang dengan amalan-amalan yang kontinyu dan ajeg. Dengan pengembaraan dan pendidikan kerohanian melalui ibadah puasa melalui ibadah puasa yang panjang itulah (selama satu bulan), akan tumbuh dalam hati manusia sikap kearifan dan rasa sensitivitas di dalam menerima dan memluk kebenaran yang terkandung dalam ajaran agamam. Dalam istilah tasawuf, rasa sensitivitas itu disebut dengan zauk, yaitu rasa kemantapan/ketenangan dan kestabilan hati. Dari sini ia mulai mendapatkan kejiwaan yang kukuh, tegar, dan tidak gampang digoyah. Dengan demikian, berarti puasa selama satu bulan telah menghasilkan jiwa kemanusiaan yang konsisten. Jiwa dan tekad 122

kemanusiaan yang tidak terombang-ambing oleh perubahan situas keduniaan yang mempengaruhi. Tegasnya ibadah puasa mampu dengan efektif membangun konsistensi kemanusiaan. Semoga!

I. Zakat bukan suap Kehadiran zakat dalam doktrin Islam bukanlah suatu yang hampa (vacuum) dengan realitas. Ia hadir dalam upaya mereaksi kepongahan sosial dan ketimpangan akidah di tengahtengah arus masyarakat animis (primitif) dan masyarakat dominasi kekuatan feodalisme imperium Romawi dan Persia. Pada masyarakat yang animis, kondisinya dicoraki sistem keyakinan yang percaya pada kekuatan dewa yang mampu memberi keselamatan dan keberkahan hidup. Dewa menjadi Tuhan sakral yang ditunduki sekaligus ditakuti masyarakat sehingga demi mendapat perlindungannya mereka dengan segala cara melakukan sesembahan. Tanpa sesemabahan tersebut, dampaknya membuat dewa akan marah dan menyengsarakan kehidupan mereka sendiri. Oleh karena itu, guna menjinakkan dewa agar memberi keselamatan (jaminan kelangsungan hidup), manusia harus memberi upeti pada dewa dengan cara sesembahan berupa pemberian sesajen pada dewa. Sementara dalam masyarakat feodal yang didominasi oleh kekuatan adidaya imperium Romawi dan Persia, rakyatnya dipaksa untuk tunduk kepada raja-raja yang berwatak feodal dan pemeras melalui kebijakan-kebijakan yang dibuatnya. Rakyat sama sekali tidak diberi kebebasan mendapat hak dari pemerintahan, kecuali kewajiban rakyat memenuhi kehendak 123

para raja yang memerintah dengan tangan besi. Segala yang menyangkut hasil kerja jerih payah rakyat baik yang digali dari sumber pemilikan tanah maupun dari aset lain, tidak mendapat perlindungan raja secara adil, tetapi sebagian besar dari penghasilannya dipaksa menjadi upeti yang diserahkan untuk kenikmatan hidup para raja. Sebaliknya rakyat hidup tak berdaya sembari bertekuk lutut meratapi sabda sabda penyengsaraan sang raja adikuasa. Gambaran di atas memperlihatkan adanya ketimpangan sosial ekonomi yang sangat mencolok antara penguasa dan rakyatnya. Disparitas sosial antara kelas kuat dengan kelas lemah sulit dihindari karena tidak adanya pengimbang kekuatan yang membangun misi kemanusiaan. Konsekwensinya berpuncak pada konflik antar suku dan kelas yang berujung pada kehancuran tatanan sosial. Dalam suasana seperti itu Islam datang melalui Nabi Muhammad SAW membawa misi kemanusiaan dengan cara mengubah sistem keyakinan, membangun hidup saling tolong menolong, menegakkan prinsip hidup bersama dan mengikis perbedaan hidup yang berlandaskan kepentingan kelompok, suku dan kelas sosial. Salah satu upayanya adalah dengan menerapkan doktrin zakat. Dengan konsep zakat ini, Nabi bermaksud mengubah agar sistem pendistribusian atau pemilikan aset ekonomi tidak hanya mengalir ke kalangan elite —sebagai halnya sesajen yang diberikan untuk menyuap dewa atau upeti kepada raja— melainkan dinikmati pula oleh rakyat kecil (Q.S 59 :7). Dalam al-Quran rakyat kecil ini dikenal dengan kaum mustad‘afin, yaitu orang yang taraf hidupnya dalam memenuhi kebutuhan 124

ekonominya tergolong lemah. Kaum mustad‘afin yang wajib diperhatikan dan berhak memperoleh bagian (distribusi ekonomi) dari harta zakat, sebagai disebut dalam al-Quran, terdiri dari delapan golongan antara lain ; fakir, miskin,, para mualaf, budak, dan Ibnu Sabil (Q.S. 9 : 60), Pada mereka inilah harta zakat dari orang orang yang mampu disalurkan dengan penuh ketulusan hati dan bertujuan membebaskan (mensucikan) harta (zakat mal) dan badannya dari kotoran dosa (zakat fitrah). (Q.S. 60 :103). Mengomentari ayat ini Prof. Dr. Sya‘rawi pakar tafsir dari mesir, dalam sebagian pikirannya yang tertuang dalam buku ―Khawathir al-Quran al-Karim li Sya;rawi‖ mengeksplorasi kata tuthahhirhum dengan membersihkan seluruh segi yang terkait dengan kotoran (noda) yang ada pada tubuh manusia dan hartanya. Sedangkan kata tuzakkihim dari segi harta mengandung arti mencerahkan, mengembangkan hartanya menjadi suci dan berlipat ganda. Dari aspek fisik (anggota badan) bukan saja pencerahan atau perubahan kesehatan jiwa menjadi tenang tetapi juga pola sikap menjadii semangat berusaha dan konsisten menanamkan kebaikan di tengah-tengah soial kehidupan. Sikap hidup muzaki (pemberi zakat) yang dahulunya labil dengan sifat kikir, pemarah, arogan, tidak toleran berubah dengan konsisten menjadi dermawan (penolong), pemaaf, mencintai keadilan, perdamaian.dan peradaban (muzakki). Dengan konsep zakat, Nabi Muhammad SAW bermaksud mengubah agar sistem pendistribusian atau pemilikan aset ekonomi tidak hanya mengalir ke kalangan elite sebagai halnya sesajen yang diberikan untuk menyuap dewa 125

atau upeti kepada raja melainkan dinikmati pula oleh rakyat kecil (Q.S 59 :7). Dalam al-Quran rakyat kecil ini dikenal dengan kaum mustad‘afin, terdiri dari delapan golongan antara lain ; fakir, miskin,, para mualaf, budak, dan Ibnu Sabil (Q.S. 9 : 60), Pada mereka inilah harta zakat dari orang orang yang mampu disalurkan dengan penuh ketulusan hati yang bertujuan membebaskan (mensucikan) harta (zakat mal) dan badannya dari kotoran dosa (zakat fitrah). (Q.S. 60 :103). Dapat dibayangkan seandainya para muzakki seperti ini tumbuh subur di masyarakat kita, sudah barang pasti kondisi stabilitas keamanan masyarakat akan terjamin. Tidak akan muncul di dalamnya keserakahan pribadi, konflik masyarakat dan kejahatan kriminal yang dapat menggangu ketenangan dan kedamaian sosial. Kehidupan kini dan ke depan akan tampak beradab, sejahtera, maju dan sama sederajat. Tidak ada saling tekan dan jurang perbedaan antara si kaya dan di miskin. Kita masih menaruh harapan optimis terhadap bangsa kita yang telah banyak berbuat baik untuk menzakatkan (mendermakan) sebagian hartanya ke pada kaum fakir miskin. Namun amat disayangkan dengan cara pembagiannya yang terkesan massif dan ugal-ugalan sehingga terjadi kekisruhan yang berujung nyawa umat manusia melayang. Misi dan tujuan zakat guna membangun masyarakat sejahtera dan beradab menjadi musnah dan tak bermakna. Ironisnya di samping peristiwa tadi, masih didapati pula dari sebagian elit kita yang membayar zakat sebatas ingin menyenangkan Tuhan agar terbebas dari dosa semata (tathhir) 126

tapi mengenyampingkan sisi pencerahan hidup (tazkiyyah) ke depan. Akibatnya mereka terbebani oleh sublimasi sesaat tanpa melakukan perubahan sikap hidup dengan berzakat (berderma) kembali dan melakukan kebaikan-kebaikan dengan konsisten. Perbuatan demikan jelas tak ubahnya seperti gaya amalan kaum primitif yang ingin menjinakkan dan menyuap Tuhan Dewa dengan cara mempersembahkan sesajen. Atau sama dengan memberikan upeti kepada raja-raja tiran karena takut dari bayangan kekuasaannya yang berwatak menindas. Perilaku berzakat seperti ini bukan saja membahayakan kemaslahatan pribadi (tathhir) yang bersangkutan tetapi tujuan berzakat dalam upaya membangun kesejahteraan dan peradaban umat tidak akan tercapai (tazkiyyah). Oleh karena itu untuk meletakkan misi berzakat sesuai dengan maksud Allah, yaitu untuk membangun kemaslahatan umat manusia sebagai mahluknya, maka mengaplikasikan misi tathhir dan tazkiyyah (bersih diri dan pencerahan sosial) dalam berzakat amat diperlukan . Guna mewujudkan misi pencerahan di atas, maka cara pendistribusian zakat yang masih terbawa arus primitif agar segera dicegah dengan kebijakan kontstitutif yang elegan. Sikap feodalisme keagaman yang masih menjadikan tokoh agama sebagai pusat penerima zakat dipandang tidak proporsional lagi karena dapat menghilangkan dimensi sosial dan terkesan merupakan perpanjangan tangan para dewa dan para raja (primitif). Pemberdayaan lembaga zakat baik oleh lembaga pemerintah maupun masyarakat yang kredibel (tathhir), professional dan terpercaya (tazkiyyah) masih tetap dibutuhkan (condition sine quanone). 127

J. Tarhib Ramadhan Bulan Ramadhan kini tiba kembali. Umat islam memandangnya sebagai bulan yang penuh berkah dan azali. Kehadirannya selalu dipatri di alam kalbu suci dan kepergiannya di kenang kaum beriman. Itulah selintas hakekat penyambutan Ramadhan yang tergambar dalam cara pandang dan reaksi kepedulian insan beriman terhadap kehadiran dan kepergian Ramadhan. Sambutan demikian mengingatkan kepada ucapanucapan Nabi SAW yang mengagungkan bulan Ramadhan. Nabi menyebut Ramadhan dengan ucapan –ucapan istimewa seperti Ramadhan sebagai bulan berkah (syahrun Mubarakun), bulan ampunan (syahr al-maghfirah), bulan pembebasan dari api neraka (‗itqu al-nar) dan bulan yang di dalamnnya lebih baik dari seribu bulan (al-Baihaqi dalam salman al-Farisi). Dalam Bahasa arab penyambutan Ramadhan ini disebut dengan Tarhib al-Ramadhan. Setidaknya dengan kegiatan tarhib terhadap Ramdhan terdapat makna filosofi yang perlu ditumbuhkan dalam suatu kehidupan. Pertama, dengan mengagungkan bulan Ramadhan mengindikasikan bahwa yang disambut dalam Ramadhan itu sesungguhnya terkandung halhal yang baik dan istimewa, karena pada kenyataannaya yang disambut adalah hal yang baik dan istimewa. Kedua, penyambutan dimaknai sebagai responitas yang amat cepat terhadap momentum sehingga dengan momentum itu segera ditindaklanjuti dengan reaksi yang tepat dan cerdik, yaitu tanpa ditunda lagi untuk melakukan perbaikan dan perubahan di dalamnya. Karena momentum tidak selalu datang 128

membawa kemuliaan. Perubahan dimaksud adalah yang tidak kontraktual dalam memanfaatkan bulan Ramadhan dengan perbuatan-perbuatan baik sesaat. Tetapi kebaikan-kebaikan positif yang langgeng (konsisten). Dengan begitu ia akan memilikii daya respon terlatih yang disiagakan bukan hanya untuk momentum ramadhan tatapi juga untuk segala saat dan tempat. Respon terlatih iniah pada puncaknya akan berefek pada pembiasaan disiplin melakukan hal yang positif, melawan yang negatif, dan bersedia bersaing (kpmpetisi) dalam mengejar ketertinggalan dan menjemput kemajuan di segala tempat dan zaman. Ketiga, penyambutan (tarhib) dimaknai sebagai memancangkan niat (motivasi) dan membangun komitmen. Komitmen ini penting karena pangkalan kegiatan untuk menentukan kualitas dan tidaknya suatu pekerjaan. „segala perbuatan, kata Nabi SAW, tergantung pada niatnya― (H.R. Bukhari). Para ulama memamahami niat sebagai syahnya suatu perbuatan, sebgai sempurnanya perbuatan, dan ada juga yang memahaminya sebagai peggerak perbuatan (munjid al-amal). Tidak dijamin akan terwujud suatu perbuatan yang rapi dan tertib tanpa diawali dengan niat yang berperan sebagai pencetusnya. Oleh karena itu, martabat ramadhan sebagai bulan berkah akan tergantung peran niat para pelaku puasa itu sendiri di dalam menyambut dan menyikapi ramadhan. Apabila Ramadhan di sambut atau disikapi denga reaksi keterpaksaan tanpa niat yang benar, maka yang didapat dari Ramadhan sudah barang tentu hanyalah kenihilan dari sebuah kelaparan yang diderita dan keletihan yang mendera. Sebaliknya bagi pelaku puasa yang berniat dengan benar dan tulus, tak lagi kenihilan 129

yang diembannya melainkan kelaparan evaluatif dan kontemplatif yang bereaksikan peduli dan bermurah hati terhadap penderitaan kaum miskin. Keempat, penyambutan (tarhib) bermakna langkah awal menuju perestasi. Al-quran menyebutnya la‘allakum tataqun (al-Baqarah ayat 183). Imam Tanthawi, mufasir dan mantan Imam al-Azhar, dalam tafsir ayat al-shaum menyatakan bahwa dalam ayat tersebut terdapat seruan indah yang bermakna menggelorakan kesungguhan menuju puncak keimanan sejati. Kaum beriman, dengan ayat ini ln kata Thanthawi, diketuk sekuatnya untuk bangkit membangun langkah langkah prestatif tidak boleh statis. Langkah itu, lanjut Thanthawi, agar digelorakannya dengan gerakan yang berpuncak pada taqwa yang mengkongkritkan amal nyata bukan amal semu yang bernuansa kemalasan dan kepalsuan. Dalam bahasa Ibnu al-Qayim al-jauziyyah di dalam kitab Madarij al-salikin adalah puncak ketakwaan yang mengkonsistensikan pernyataan (al-shidq al-Qaul), penanaman motivasi dan tujuan yang benar (sidq fi al-niyyat), dan kongkritisasi pernyataan dan perbuatan di lapangan (sidq alamal) . Keempat makna penyambutan Ramadhan ini amat penting untuk dijadikan panduan bagi pelaku puasa, karena meenyambut bulan ramadhan tidak boleh sekedar dinyatakan dalam pernyatan sambutan yang berbasa basi tanpa amal yang teruji. Selama ini yang terjadi, ramdan disambut dengan gemuruh amalan-amalan rutin yang bersekat feodalisme dan formalisme keagamaan yang terserak. Seperti berjalannya sekat antar penceramah dan pendengar dalam acara kultum dan buka 130

puasa bersama, berjajarnya formalisme antara imam dan jamaah dalam salat taraweh. Serta terkatagorisasinya antara muzakki dan mustahik. Hal-hal itulah yang kini terlihat dan menjadi pemandangan indah dalam menyambut ramadhan, setelah usai ramadhan gemuruh dan semangat itu pun pada akhirnya kelam dan menjadi suram.

K. Bagasi Ramadhan Bagasi merupakan ruang khusus yang sengaja disediakan untuk menyimpan barang bawaan para penumpang pesawat terbang. Ruang ini terletak di dasar (bagian bawah) pesawat yang bisa menampung barang baik berukuran kecil maupun besar. Namun dengan kondisi bagasi yang amat terbatas dan bersifat sensitif, tentu tidak semua barang dipaksakan harus diletakkan di bagasi. Bgasi harus steril dari barang yang diprediksi akan membawa bahaya pesawat terbang. Untuk itu aturan yang diberlakukan adalah larangan membawa barang cairan atau mahluk berbahaya di bagasi. Ketentuan ini diberlakukan agar tidak menimbulkan hal-hal di luar dugaan seperti terjadinya kerusakan arus listrik yang menyebabkan pesawat tidak bisa take of dan atau mengalami kebakaran. Perut manusia yang berukuran kecil dari sisi penampung benda makanan boleh diibaratkan seperti bagasi pesawat. Sebagai benda jasadi ciptaan Allah , perut berfungsi sangat unik dan berisi amat komplek. Sejak berisi urat-urat kecil, usus besar hingga otot besar semuanya bergerak dan berfungsi dalm sistem perencanaan. Ada yang bergek menyalurkan nutrisi, mengadukaduk makanan sampai lembut yang dalam bahasa kedokteran 131

dikenal dengan gerak peristalitik. Blum lagi fungsi sejenis cairan enzim yang amat membantu tidak tersumbatnya makanan untuk buang air besar (bab). Begitu intennya organ-organ perut ini bekerja, kondisinya akan mengalami hal yang sama dengan bagasi pesawat bila ia dibiarkan tanpa aturan (kontrol) menenampung sluruh jenis makanan. Dalam kondisi ini, manusia pemilik perut perlu mawasdiri agar tidak memperlakukan perut dengen seenaknya. Memperdayakan perut dengan memasukkan aneka rupa makanan tanpa diidentifikasi kualitas dan dijadwal cara memakannya akan menyebabkan perut tersebut mengalami intoksikasi (keracunan). Ajaran agama mengajarkan agar kita mengatur pola makan dengan cara mengutamakan makanan yang halal (kualitas) dan tidak boleh berlebihan (Q.S : 7 ;31). Mengomentari ayat ini Abdul basith Muhammad as-Sayyed, Guru Besar biofisika dan biokimia, dalam bukunya atTaghdziyah an-Nabawiyah menyatakan bahwamakanan berlebihan tanpa olahraga, banyak tidur membuat tubuh bertimbun lemak di bagian pantat, kedua ginjal, jaringan usus, dada dan otot tubuh‗ Semua itu, demikian Abdul basith, akan berdampak munculnya penyakit pada alat pencernaan, pernapasan, peredaran darah, jantung, penyakit kelenjar endorin dan gangguan (terpuus) haid pada wanita. Jauh

sebelum

pernyataan

ini,

Rasulullah

Saw

mengungkapkan adanya hak pada tubuh manusia yang harus dipenuhi dengan check and balance (HR. Buhkari Muslim). Artinya tubuh manusia sebagai organ bermartabat hak-haknya perlu dipenuhi dan pelihara secara berkeadilan dan berkeseimbangan. Hak itu bukan saja dalam bentuk pemberian 132

sisi materi berupa pola makan yang teratur, halal, bergizi, dan sehat, tetapi juga perawatan dari aspek ketahanan mental rohaniahnya. Inilah keseimbangan penting untuk saling menjaga dan mengisi antara materi dan ketahanan rohani agar tidak terjadi kerusakan. Ramadaan hadir sebagai bagasi tempat pencerah yang diagendakan Allah Swt dengan kurikulum pendidikan berupa evaluasi , penyucian dan kontrol diri. Semua itu berarti benda yang masuk dan keluar harus benar-benar steril agar tidak merusak ruang yang disinggahi. Dengan kata lain perut yang mencerminkan bagasi itu merupakan ruang persinggahan makanan yang suci, halal dan tidak overloud. Makanan halal dan terjadwal masuk dalam perut pada efeknya akan membentuk bukan saja kesehatan fisik melainkan juga kesehatan rohani. Perut manusia, demikian Nabi Saw, adalah sumber penyakit. Penyakit fisik terjadi akibat pola makanan yang dijejallkan ke dalam perut tanpa lagi memperhatikan kandungan yang ada pada makanan itu sendiri. Padahal pola makan yang baik adalah menyeimbangkan antara kandungan kolestrol dan atau perotein yang terdadapat dalam makanan. Apabila kebanyakan kolestrol dalam makanan yang masuk dalam perut, maka akan berdampak pada terganggunya saraf otak dan jantung yang menyebabkan struk atau mungkin kematian. Sebaliknya apabila yang masuk dalam perut adalah makanan yang banyak mengandung protein, maka dampak yang ditimbulkan berupa penyakit rematik dan asam urat. Sementara dari sisi rohani, pola makan semacam ini mengundang penyakit psiologis seperti mudah kufir nikmat, mudah marah dan putus asa karena

133

menghadapi jenis penyakit yang dideritanya sebelum kemudian diakhiri dengan kemungkinan kematian. Oleh karena itu berbahagialah bagi yang berpuasanya mampu menjadikan bagasi perutnya dengan hawa nafsu yang terkontrol serta pola makanan yang teridentifikasi dengan baik teratur dan terjadwal. Amin

134

7 PENUTUP

Indonesia merupakan negara yang kaya dengan pemikiran keislaman, tidak akan dapat dipisahkan dengan kajian tafsir sebagai sumber acuan umat Islam yang menduduki posisi terbesar di Indonesia. Dari uraian ini membuktikan adanya dinamika perkembangan kajian tafsir Indonesia dalam merespon perubhan zaman. Sejak munculnya methode tafsir ijmali, tahlili, maudui hingga kemunculan tafsir tematik dan dengan berbagai coraknya di Indonesia merupakan bukti dinamika kajian tafsir yang tidak pernah surut di Indonesia. Perubahan metode tafsir dari satu metode ke metode lain, pada dasarnya suatu keniscayaan yang entitas terjadi pada setiap kurun para pemikir atau ulama Islam, terutama ulama Indonesia seiring dengan perubahan realitas. Perubahan metode tersebut sesungguhnya tidak perlu dikhawatirkan sepanjang metode tersebut sejalan dengan bingkai yang telah ditetapkan oleh kaidah-kaidah tafsir. Para ulama Tafsir sejak sebermula sangat cerdas merumuskan kaidah-kaidah itu dengan utuh dan dengan bahasa yang berbasis tekstual, realitas dan kontekstual seperti kaidah kebahasaan, asbab nuzul, kaidah nasikh mansukh, munasabat ayat dan lain lain. Semuanya itu merupakan karya terbesar yang belum ada tandingannya di abad ini. Munculnya metode hermeneutik 135

sesunguhnya hanyalah ide korelatif saja dengan produk ulama tafsir yang secara kreatif telah mendahuluinya. Oleh karena itu suatu gagasan alami manakala kajian tafsir di Indonesia yang berbasis tekstual, realitas dan kontekstual dapat ditumbuhkembangkan di perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI). Sudah saatnya para pemikir/ ulama di perguruan tinggi bekerjasama dengan tokoh-tokoh dsiplin ilmu lain untuk menyusun kaidah-kaidah penafsiran al-Qur‘an melaui respon Studi Al-Qur‘an ini, terutama kaitannya memecahkan perubahan sosial budaya dan ilmu pengetahuan dan teknologi. Upaya ini merupakan kerja berat yang tidak mungkin dapat diselesaikan dalam waktu singgkat. Namun apapun resikonya sebuah kerja berat, segala upaya yang berkaitan dengan misi menjaga kesakralan, keontentikan dan kontekstualitas al-Qur‘an pasti tiada akan pernah sirna di telan zaman.

136

DAFTAR PUSTAKA

al-‗Ak, Syaikh Khalid Abdurrahman, Buhuts fi al-‘Ulum alQuran : Ushul at-Tafsir wa Qawaiduh (Damsyiq : Dar an-Nafais, 2007) Al-Akkad, Abbas Mahmoud, Al-marat fi Al-Qur’an, terj Dra hadidjah Nasution, (Jakrta : Bulan Bintang, 1984) Al-Farmawi, Abd al-Hay, Al-Bidayah fi Al-Tafsir Al-Maudhui : Dirasah Manhajiyah Maudui’yah (t.tp :, t.t) al-Maraghi, Ahmad Mushthafa, Tafsir AlMaraghi : t.tp, t.t) Al-Syarbashi, Ahmad, sejarah Tafsir Al-Quran, terj. Tim Pustaka Firdaus (t.p. : Pustaka firdaus, 1994) Ashshiddieqy, Hasbi, Tafsir Al-Bayan (Jogjakarta: t.p, 1966), juz 1 Azzuhaeli, Wahbah, Tafsir Al-Munir fi Al-Aqidah wa AlSyari’ah wa al-Manhaj (Damsyik : Dar-Al-Fikr, 1991) juz 5-6, Az-Zarqa, Musthafa Ahmad, al-Madhkal al-Fiqhy al-Am, (Damaskus : Dar al-Fikr, 1968) Baidan, Nashruddin, Perkembangan Tafsir Al-Qur’an di Indonesia (Solo : Tiga Srangkai Pustaka, 2003) Berger, Peter L, Piramida Pengorbanan Manusia : Satu jawaban Diantara Sosialisme dan Kapitalisme (Bandung : Iqra, 1998)

137

Burhanuddin, Mamat S., Hermenautika Al-Qur‘an Ala Pesantren: Analisa Terhadap Tafsir Marah labid Karya K.H. Nawawi Banten (Yogjakarta : UI Press, 2006) Fazlurrahman, Major Themes of the Qur’an, terj Anas Mahyuddin (Bandung : Pustaka ITB, 1983) Gusmian, Islah, Khazanah Tafsir Indonesia : Dari Hermenetika hingga Ideologi (Jakarta : Teraju, 2002) Hamid, Nasshir, Mafhum An-Nash : Dirasat fi ulm al-quran (Beirut : Al-Markaz Al-Staqafi al-arabi , t.th) Hamka, Tafsir Al-Azhar (Jakarta : Pustaka Panjimas, 1987) Hanafi, Hasan, Min al-Nash ila alWaqi Muhawalat li I’adat Binai Ilmi Ushul al-Fiqhi (Libiya : Dar al-Kutub Wathaniyyat, 2005) Haryono, M. Yudhie R., Bahasa Politik al-Qur’an : Mencurigai Makna Tersembunyi di Balik Teks (PT. Gugus Press : Bekasi, 2002) Hasan, A., Al-Qur’an fi Tasir Al-Qur’an : Tafsir Qur’an AlFurqan ( Surabaya : Al-Ikhwan, t.t) Hitami, Munzir, Pengantar Studi Al-Qur’an : Teori dan Praktek (Yogjakarta : LKIS, 2012) Islah Gusmian, Hazanah Tafsir Indonesia : Dari Hermeneutika hingga Ideologi ( Teraju ; Jakarta, 2003) halaman235237 . Lihat pula Hendra Riyadi, Melampaui Pluralisme : Etika Al-Quran tentang Keragaman Agama (RMBOOKS: Jakarta, 2007).

138

Izutsu, Toshihiko, Relasi Tuhan dan Manusia : Pendekatan Semantik terhadap Al-Qur‘an, terj. Agus Fahri Husein dkk. (Jogjakarta : Tiara Wacana, 2003) Kuntowijoyo, Paradigma Islam Interpretasi Untuk Aksi (Bandung : Mizan, 1991) Mulia, Musda, Islam Menggugat Poligami (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2004)

PT

Mus, Muhammad Yusuf, Al-Qur’an wa Falsafah (Mesir : Dar al-Ma‘arif, t.th) Rahardjo, Dawam, Ensiklopedi Al-Qur’an : Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci (Jakarta : Paramadina, 1996) Shihab, Quraish, Tafsir Al Amanah (Jakarta : Pustaka Kartini, 1992) Umar, Maula, Ilmu Ushul at-Tafsir : Muhawalah fi al- Bina (Fes : Dar as-salam, 2010) Salim, Abd Muin, Berbagai Aspek Metodologi Tafsir al-Quran (Ujung Pandang Lembaga Studi Kebudayaan Islam, 1990) Shihab , M. Quraish, Tafsir Al-Mishbah : Pesan, kesan dan Keserasian Al-Qur’an ( Jakarta : lentera Hati, 2006) Sodiqin, Ali, Antropologi Al-Qur‘an : Model Dialektika Wahyu & Budaya (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2008) Subhan, Zaitunah, Rekonstruksi Pemahaman Jender Dalam Islam : Agenda Sosio Kultural dan Politik Peran Perempuan (Jakarta : Al-Kahfi, 2002) 139

Syahbah, Muhammad bin Muhammad Abu, al-Madkhal li Dirasah al-Quran al-Karim (Beirut : Dar al-Jil, 1992) Thanthawi, Muhammad Sayyed, AT-Tafsir Al-Wasith Al-Qur’an Al-karim : Tafsir Surat Al-Maidah ( t.tp : Dar al-Saadah, 1986) Umar, Nasaruddin, Argumen Kesetaraan Jender : Perspektif alQur’an (jakarta : Paramadina, 2001) Vederspiel, Howard, Kajian Al-Qur’an di Indonesia dari Muhammad Yunus hingga Quraish Shihab, (terj) Tajul ‗Arifin (Bandung : Mizan, 1996) Yunus, Mahmud, Tafsir Qur’an Karim, (Jakarta : PT. Adhikarya Agung, 2002)

140