SUBSTITUSI LPG TERHADAP MINYAK TANAH SEBAGAI ENERGI ALTERNATIF PADA KONSUMEN RUMAH TANGGA
TESIS
Diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan dalam menyelesaikan studi pada Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik Universitas Indonesia
Oleh:
MAULl DAR 0606036863
MAGISTER PERENCANAAN DAN KEBIJAKAN PUBLIK PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK, 2007
LEMBAR PENGESAHAN
Nama
: Maulidar
Tempat/tanggal lahir
: Banda Aceh, 8 April 1974
NPM
: 0606036863
Judul Tesis
: Substitusi LPG Terhadap Minyak Tanah Sebagai Energi Alternatif Pada Konsumen Rumah Tangga
Depok,
November 2007
Mengetahui : Magister Perencanaan Dan Kebijakan Publik Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
Mahi) NIP. 131 923 199
STATEMENT OF AUTHORSHIP "Saya yang bertandatangan di bawah ini menyatakan bahwa tesis terlampir adalah murni hasil pekerjaan saya sendiri. Tidak ada pekerjaan orang lain yang saya gunakan tanpa menyebutkan sumbernya". Materi ini tidak/belum pernah disajikan/digunakan sebagai bahan untuk tesis pada mata ajaran lain kecuali saya menyatakan dengan jelas bahwa saya menyatakan menggunakannya. Saya memahami bahwa tesis ini dapat diperbanyak dan dikomunikasikan untuk tujuan mendeteksi adanya plagiarisme".
Nama
Maulidar
NPM
0606036863
Judul Tesis
Substitusi LPG Terhadap Minyak Tanah Sebagai Energi Alternatif pada Konsumen Rumah Tangga
Dosen Pembimbing
Dr. Nuzul Achjar
Depok, Nopember 2007
Maulidar
ABSTRAK TESIS
SUBSTITUSI LPG TERHADAP MINYAK TANAH SEBAGAI ENERGI ALTERNATIF PADA KONSUMEN RUMAH TANGGA MAULl DAR
0606036863 Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik Program Pascasarjana Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
Bahan
Bakar
Minyak
(BBM)
mempunyai
peranan
penting
terutama sebagai sumber energi di dalam negeri, sumber penerimaan negara dan devisa, juga sebagai bahan baku industri. BBM menjadi suatu komoditas yang sangat strategis dalam perekonomian di Indonesia, baik bagi masyarakat (sektor rumah tangga), sektor transportasi maupun bagi sektor industri. Dibandingkan dengan konsumsi energi lain, ternyata minyak tanah
merupakan
energi
yang
paling
tinggi
jumlah
konsumsinya.
Peningkatan konsumsi telah membuat pemerintah terpaksa mengimpor minyak tanah, akibat terbatasnya produksi minyak tanah yang dihasilkan kilang-kilang dalam negeri. Akibatnya beban keuangan negara semakin berat kalau subsidi BBM terus dipertahankan. Pengurangan subsidi BBM ini berdampak pada semua sektor, juga pada
konsumen
rumah tangga yang
sebagian
besar menggunakan
minyak tanah untuk memasak menjadi semakin sulit untuk mendapatkan minyak tanah dengan harga murah. Selain itu dengan jumlah cadangan BBM
yang
semakin
menurun
menunjukkan
sinyal
untuk
mulai
memanfaatkan energi lain, yang salah satunya adalah LPG. Untuk mengetahui kemampuan LPG sebagai energi alternatif pengganti minyak tanah untuk memasak bagi konsumen rumah tangga
maka dilakukan penelitian ini, dimana seperti diketahui bahwa konsumsi energi dipengaruhi oleh tingkat harga energi itu sendiri, harga energi lain yang terkait dan tingkat pendapatan. Penelitian ini dilakukan dalam dua tahap. Pertama, penelitian dilakukan pada demand energi rumah tangga di empat provinsi yang ada di pulau Jawa (DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur) yang dianggap sebagai representatif permintaan energi secara umum (agregat). Kedua, penelitian terhadap demand energi rumah tangga pada kelompok berpendapatan rendah. Penelitian menggunakan model demand energi rumah tangga yang paling umum dengan menggunakan data sekunder konsumsi dan harga tahun 1993-
2003. Hasil
penelitian
menunjukkan
bahwa
berdasarkan
angka
elastisitas silang (cross price elasticity), LPG signifikan mensubstitusi minyak tanah pada rumah tangga di empat provinsi sampel, namun tidak pada rumah tangga kelompok miskin. Bagi kelompok miskin LPG masih merupakan barang mewah. Angka elastisitas harga (own price elasticity) menunjukkan bahwa LPG merupakan barang normal untuk memasak pada rumah tangga provinsi sampel. Kenaikan harga minyak tanah dan tingkat pendapatan (income elasticity) akan meningkatkan pemakaian LPG. Seiring dengan kenaikan pendapatan (income) maka konsumen rumah tangga akan beralih ke LPG sebagai energi alternatif untuk memasak karena faktor efisiensi dan kenyamanan.
II
KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufik, hidayah dan inayahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan Tesis yang berjudul "Substitusi LPG Terhadap Minyak Tanah Sebagai Energi Alternatif Pada Konsumen Rumah Tangga" sebagai salah satu syarat kelulusan pada Program Studi Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik Universitas Indonesia. Penulis telah banyak mendapat bimbingan, dukungan dan kritik yang membangun dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada: •
Bapak Dr. Robert A. Simanjuntak selaku Ketua Tim Penguji tesis.
•
Bapak Dr. Nuzul Achjar selaku pembimbing tesis dan pengajar selama
penulis
menyelesaikan
studi,
yang
telah
banyak
memberikan waktu, bimbingan serta dukungan kepada penulis sehingga tesis ini dapat diselesaikan. •
Bapak Dr. Jossy P. Moeis selaku penguji dan pengajar selama penulis menyelesaikan studi.
•
Bapak Dr. B. Raksaka Mahi dan Ibu Hera Susanti, SE., M.Sc selaku Ketua dan Sekretaris Program Studi MPKP Universitas Indonesia yang
telah
memberikan
kesempatan
kepada
penulis
untuk
menempuh studi 52 di MPKP UI. •
Bapak Dr. Djoni Hartono, Pak Andri Yudhi dan Pak Ibra yang telah membantu penulis dengan masukan-masukan yang membangun.
•
Segenap dosen
pengajar MPKP UI yang tidak dapat penulis
sebutkan satu persatu, Mbak Siti, Keke, Mbak Ira, Mas Haris serta seluruh staf akademik MPKP FEUI. •
Kepala
Pusbindiklatren
BAPPENAS beserta
timnya
yang
telah
memberikan bantuan beasiswa kepada penulis untuk melanjutkan studi di Program MPKP FEUI.
Ill
•
Pemerintah Kota Banda Aceh yang telah memberikan bantuan materil dan izin kepada penulis untuk menempuh pendidikan 52 di MPKP Ul.
•
Mbak Epi Sulandari, Nana, Annaka, Endang dan semua rekan-rekan seperjuangan angkatan XV PS BAPPENAS yang penulis banggakan.
•
Akhirnya rasa terima kasih yang tak terhingga penulis haturkan kepada ibu, bapak (aim) dan ibu mertua yang tidak pernah Ieiah dalam
berdoa
dan
memberikan
restu
sehingga
penulis
mendapatkan kemudahan dalam menempuh dan menyelesaikan studi. Begitu pula kepada suamiku tercinta Kanda Fajri Salimi, SP yang
telah
banyak berkorban
dan
membantu
penulis dalam
menyelesaikan studi, serta kedua buah kasih kami Muhammad Rizqi Aulia dan Muhammad Naufal Hidayat yang selalu setia menemani penulis dalam suka dan duka ...... terima kasih atas ketulusan, kasih dan sayang yang telah kalian curahkan selama ini. •
Tak lupa penulis menghaturkan terima kasih kepada saudarasaudaraku Juliana, SP; Zulfan, ST; Khairuman, ST; Husnawati, SSi dan
M.
Fadhil
(dalam : kenangan)
yang
selalu
memberikan
dukungan moril dan doa. •
Serta semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Penulis menyadari bahwa tesis ini masih banyak keterbatasan dan
kekurangan. Untuk itu penulis sangat berterima kasih atas kritik dan saran demi perbaikan dan kesempurnaan di masa mendatang. Penulis berharap
tesis
ini
dapat
bermanfaat
dan
menyumbangkan
suatu
pemikiran bagi perkembangan Ilmu Ekonomi secara umum.
Depok,
November2007
Penulis
IV
1(p:rya ini {upersem6aliiJtn {epada:
:Nurain~· 1(flntfa
scp tfan kJaua 6uah, liati{u yang sangat
{usayangi }luCia tfan :Naufal. tz'erima {asih atas curalian aoa tiatfa lienti yano sefama ini iJttian panjatiJtn untu{ mengantarkg,n{u
.
mencapat semua tnt ......... .
v
DAFTAR ISI
Halaman LEMBAR PENGESAHAN ~EI!;lr~tc
lrl:!;l!; •••..•••••.••.••••.••.•..•.•..••••••••.•..•.•..••..•.•••..••....•
KATA PENGANTAR ..................... ..................... .................... [)~f=T~Ft
I!ii ..................... ..................... ..................... .........
DAFTAR TABEL ..................... ..................... ..................... ....
DAFTAR GAMBAR ..................... ..................... ..................... DAFTAR BAB I
BAB II
BAB III
LAMPI~N
iii vi viii ix
..................... ..................... ..................
X
PENDAHULUA N 1.1. Latar Belakang .............................................................. 1.2. Perumusan Masalah ................................................... 1.3. Hipotesis ........................................................................ 1.4. Tujuan Penelitian ......................................................... 1.5. Metodologi ...................................................................... 1.6. Sistematika Penulisan ...................................................
1 13 14 15 15 16
TINJAUAN LITERATUR 2.1. Peranan LPG pada Rumah Tangga, Industri dan Transportasi ...... ...................................................... 2.2. Sifat Menarik Gas Bumi (LPG) .................................... 2.3. Studi Terdahulu ............................................................ 2.4. Elastisitas Supply dan Demand................................. 2.4.1. Elastisitas Harga (Own Price Elasticity) ...... 2.4.2. Elastisitas Pendapatan (Income Elasticity) 2.4.3. Elastisitas Silang (Cross Price Elasticity) 2.5. Aplikasi Konsep Elastisitas Energi ........................ 2.6. LPG Sebagai Sumber Energi Pengganti BBM ...... 2.7. Konsumsi Energi oleh Konsumen Rumah Tangga
18 22 23 26 31 33 35 35 36 37
METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Metode Analisis ............................................................ 3.2. Data dan Sumber Data ................................................ 3.3. Identifikasi Variabel ...................................................... 3.4. Data Panel ..................................................................... 3.5. Data Deret Waktu (Time Series).............................. 3.6. Regresi Linier Berganda ............................................. 3. 7. Ordinary Least Square................................................... 3.7.1. Multikolinieritas (Multicolinearit y) .................. 3.7.2. Heteroskedasti sitas (Heteroscedast icity) 3.7.3. Otokorelasi (Autocorelation ) ........................... 3.8. Uji Signifikansi ...............................................................
42 45 46 47 51 53 56 57 58 58 59
BAB IV
BAB V
BAB VI
PERKEMBANG AN PRODUKSI GAS (LPG) DI INDONESIA PERIODE 1993-2003 4.1. Cadangan Gas Bumi (LPG) .. .. .. .. ...... ...... .. ......... 4.2. Perkembangan Produksi Gas Bumi (LPG) .. .... .... .. 4.3. Perkembangan Ekspor LPG ....................................... 4.4. Perkembangan Konsumsi LPG .................................... 4.5. Perkembangan Harga Energi ......................................
62 65 68 69 77
HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN 5.1. Pada Rumah Tangga di Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur ............ 5.2. Pada Rumah Tangga Kelompok Miskin ...............
79 83
KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan ..................... ..................... . . 6.2. Saran ..................... ..................... ......... .
87 88
DAFTAR PUSTAKA LAMPI RAN TABEL FAKTOR KONVERSI
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1.1
Perkembangan Subsidi BBM (dalam Triliun Rupiah) ...........
5
Tabel 1.2
Perbandingan Kinerja Energi untuk Memasak .. .. .... .... .. ..
7
Tabel 2.1
Konsumsi LPG pada Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, Jaw a Tengah dan Jaw a Timur ..................................................
22
Tabel 2.2
Nilai Elastisitas .............................................................................
27
Tabel 4.1
Cadangan Minyak Mentah dan gas Tahun 1995-2006 ......
64
Tabel 4.2
Perkembangan Cadangan Gas Indonesia 1990-2005 .. .....
65
Tabel 4.3
Perkembangan Produksi dan Pemanfaatan Gas Bumi 1991-2002 ............................... ............................... ..
67
Tabel 4.4
Perkembangan Ekspor LPG Indonesia 1990-2005 ...........
69
Tabel 4.5
Pemakaian LPG dan Gas di Sektor Industri 1990-2005 ....
71
Tabel 4.6
Penghematan Penggunaan BBM di Sektor Industri jika Disubstitusi dengan Batubara dan Gas .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .
72
Pemakaian:Energi Final di Sektor Rumah Tangga 1990-2003 . .. ... ... .. . . . . ... ... ... .. . . . ... ... . .. ... .. . . . .. .. . . .. .. . . . . . . . .
74
Konsumsi Energi Final di Sektor Rumah Tangga 1990-2003 ............................. ............................... .. ..
75
Pertumbuhan Energi pada Sektor Rumah Tangga ( 0/o) 1990-2003 . ............. ............... ............... .. .. ... .............
76
Tabel 4.7
Tabel 4.8
Tabel 4.9
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 2.1
Pergeseran Kurva Permintaan ...................... .........
29
Gambar 2.2
Pergerakan Sepanjang Kurva Permintaan ....................
30
Gambar 2.3
Kurva Indifferen untuk Barang Normal dan Barang Inferior ... .. . . .. . ... . .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . .. . . . . . .. . . . . . . .. . . . . . . .. . .
34
Gam bar 2.4
Perubahan Harga dan Perilaku Substitusi ............. ..
37
Gambar 2.5
Household Energy Ladder Model...................................
41
Gambar 3.1
Kerangka Pikir Model Penelitian ....................................
61
Gambar 4.1
Perkembangan Produksi Gas Bumi di Indonesia Tahun 1991-2002 .... .. .. .. . . .. . ......... .................. .. .. .
67
IX
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1
Harga dan Konsumsi Energi rumah Tangga di Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur
Lampiran 2
Konversi Logaritma Natural Data Harga dan Konsumsi Energi di Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur
Lampiran 3
Harga dan Konsumsi Energi Rumah Tangga pada Kelompok Miskin
Lampiran 4
Interpolasi Linier Data Harga dan Konsumsi Energi Rumah Tangga Kelompok Miskin
Lampiran 5
Konversi Logaritma Natural Hasil Interpolasi Linier Data Harga dan Konsumsi Energi Rumah Tangga Kelompok Miskin
Lampiran 6
Hasil Regresi Software Eviews 4
X
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia
memiliki
berbagai
jenis
sumber
daya
energi
di
antaranya minyak dan gas bumi, yang merupakan bahan galian vital dan strategis.
Dalam
pembangunan
nasional,
minyak
dan
gas
bumi
mempunyai peranan penting terutama sebagai sumber energi di dalam negeri, sumber penerimaan negara dan devisa, juga sebagai bahan baku industri. Peranan
Bahan
Bakar
Minyak
(BBM)
yang
begitu
besar
menjadikannya sebagai suatu komoditas yang sangat strategis dalam perekonomian di Indonesia, baik bagi masyarakat (sektor rumah tangga), sektor transportasi maupun bagi sektor industri. Di sektor rumah tangga BBM terutama minyak tanah masih merupakan energi yang sangat penting dan paling banyak digunakan oleh masyarakat terutama untuk memasak. Sedangkan di sektor industri, BBM seperti minyak diesel, minyak solar banyak digunakan untuk pembangkit energi pabrik selain juga sebagai bahan bakar utama kendaraan (Sagir, 1983 dalam Muliansyah, 2006). Selain di sektor rumah tangga, minyak tanah juga digunakan oleh sektor industri terutama industri kecil. Penggunaan minyak tanah sebagai sumber energi untuk rumah tangga atau industri kecil ini lebih kurang 12 juta kiloliter per tahun (Faizal, 2004). Dibandingkan dengan konsumsi energi lain, ternyata minyak tanah merupakan energi yang paling tinggi jumlah konsumsinya. Tingginya konsumsi minyak tanah ini tidak terlepas dari masih adanya subsidi harga oleh pemerintah. Masih menu rut Faizal (2004 ), untuk industri besar dan sedang saja setiap tahun konsumsi minyak tanah bersubsidi sekitar 12 juta
kiloliter. Jadi dapat kita bayangkan betapa beratnya beban Anggaran Penerimaan
dan
Belanja
Negara
(APBN)
kalau
subsidi
BBM
terus
dipertahankan. Padahal peningkatan konsumsi minyak tanah ini telah membuat pemerintah terpaksa
mengimpor minyak tanah.
Akibat terbatasnya
produksi minyak tanah yang dihasilkan kilang-kilang dalam negeri, maka sebagian minyak tanah yang dikonsumsi dalam negeri didatangkan dari luar negeri, antara lain dari Singapura, India, dan Timur Tengah. Saat ini Indonesia mengimpor kurang lebih 190.000 kiloliter minyak tanah per bulan atau 2,28 juta kiloliter per tahun (19 persen dari total konsumsi minyak tanah dalam negeri). Jadi, pemerintah setiap tahun mengeluarkan biaya untuk impor minyak tanah lebih kurang Rp 5,8 triliun (asumsi harga minyak tanah impor US$ 45 per barrel). Harga minyak tanah impor tersebut sangat tergantung dari harga minyak mentah (crude oil). Harga minyak tanah impor akan membumbung tinggi saat harga minyak mentah juga tinggi. Peningkatan konsumsi minyak tanah ternyata tidak diimbangi dengan
peningkatan
jumlah
produksinya.
Cadangan
minyak
yang
penggunaannya setiap tahun terus meningkat menyebabkan cadangan yang
ada
semakin
mengantisipasinya
berkurang.
dengan
Sehingga
memanfaatkan
pemerintah
berbagai
sumber
harus energi
alternatif lain untuk menggantikan minyak tersebut dengan sumber energi lain yang cadangannya relatif lebih banyak dibandingkan dengan minyak tanah, sebab sudah menjadi tanggung jawab pemerintah untuk memberikan kemakmuran dan kesejahteraan kepada rakyatnya. Sesuai dengan ketentuan Pasal 33 UUD 1945 dan UU Nomor 22 tahun 2001 yang menyebutkan bahwa minyak dan gas bumi merupakan
sumber daya a/am strategis tidak terbarukan yang dikuasai oleh negara serta merupakan komoditas vital yang menguasai hajat hidup orang banyak dan mempunyai peranan penting dalam perekonomian nasional
2
sehingga pengelolaannya harus dapat secara maksimal memberikan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat (Dirjen Migas, 2002). Selain cadangan minyak yang dari tahun ke tahun terus menipis ketersediaannya, tingginya penggunaan BBM terutama minyak tanah pada
masyarakat
selaku
konsumen
rumah
tangga
juga
telah
mengakibatkan beban anggaran negara terus meningkat. Hal ini tentunya akan memperburuk kondisi perekonomian negara. Di masyarakat, BBM terutama minyak tanah dijadikan sebagai sumber energi utama untuk memasak. Sehingga apabila terjadi kenaikan harga BBM akibat pengurangan subsidi tentu akan sangat terkait erat dengan terjadinya kenaikan harga-harga di masyarakat. Disamping itu pula, pengurangan subsidi BBM juga membawa dampak pada semua lapisan masyarakat terutama pada rumah tangga berpendapatan rendah (miskin). Salah satu dampak yang sangat terasa adalah sulitnya membeli minyak tanah untuk memasak dengan harga murah bagi masyarakat berpendapatan rendah (miskin). Sulitnya masyarakat terutama konsumen rumah tangga dalam memperoleh minyak tanah membuat mereka harus mencari sumber energi lain atau energi alternatif sebagai pengganti minyak. Gas bumi yang salah satu produknya adalah LPG merupakan satu-satunya energi alternatif yang dapat mensubstitusi Bahan Bakar Minyak (BBM) yang disubsidi oleh pemerintah (DESDM, 2002). Substitusi tersebut dapat dilaksanakan dengan atau tanpa subsidi. Pada
saat
ini
harga
LPG
mungkin
masih
sedikit
mahal
dibandingkan minyak tanah, sehingga kelompok berpendapatan rendah masih sulit beralih ke LPG, mereka lebih memilih menggunakan kayu bakar yang harganya relatif lebih murah ketika harga BBM terutama minyak tanah melambung. Namun bila dilihat dari segi penghematan biaya dan kebersihan serta kenyamanan LPG lebih unggul dibandingkan dengan kayu bakar dalam hal memasak. Disamping itu penggunaan kayu bakar tentu terkendala dengan masalah pelestarian lingkungan dimana
3
pemerintah telah lama melarang aksi penebangan hutan secara terus menerus yang berakibat pada rusaknya ekosistem lingkungan sehingga mau tidak mau penggunaan kayu bakarpun menjadi sangat terbatas. Yang tidak dapat dipungkiri adalah bahwa konsumen rumah tangga tentu akan memilih sumber energi yang menurut mereka lebih murah untuk memasak, terutama bagi konsumen rumah tangga yang tinggal di daerah perkotaan dimana untuk mendapatkan kayu bakar sangatlah sulit. Sehingga mereka harus mencari sumber energi alternatif lain yang lebih murah dan efisien. Selama ini konsumen rumah tangga secara umum menggunakan minyak tanah dengan harga subsidi sebagai sumber energi
untuk
memasak. Subsidi harga BBM sendiri mulai diterapkan sejak tahun 1994/95 dan terus meningkat dalam jumlah nominal, namun agak sedikit menurun persentasenya terhadap pengeluaran negara secara total. Pada tahun 2002 dan 2003, jumlah subsidi mengalami penurunan seiring dengan relatif stabilnya harga minyak mentah di pasar internasional, yakni rata-rata US$ 24,0/barel pada tahun 2002 dan US$ 22,0/barel pada tahun 2003 dibandingkan dengan patokan APBN 2002 sebesar US$ 22,0/barel dan APBN 2003 sebesar US$ 20,0. Selama tahun 2004, harga minyak mentah dunia cenderung meningkat melebihi harga rata-rata tahun sebelumnya (rata-rata harga minyak mentah dunia tahun 2004 adalah US$ 48/barel, sedangkan tahun 2003 rata-rata US$ 23,5/barel). Kenaikan
harga
minyak
mentah
dunia,
disatu
sisi
dapat
meningkatkan pendapatan negara dari hasil ekspor minyak bumi, namun disisi lain akan semakin meningkatkan subsidi BBM karena sekitar 30% input kilang dalam negeri berasal dari impor. Sehingga subsidi BBM pada
tahun 2004 meningkat secara signifikan melebihi subsidi energi tahun 2001. Besarnya subsidi BBM dalam beban anggaran Indonesia dari tahun ketahun dapat dilihat pada Tabel 1.1 berikut.
4
Tabel 1.1 Perkembangan Subsidi BBM (dalam Triliun Rupiah) Porsi Subsidi Terhadap Belanja Negara (Ofo)
Tahun Anggaran
Subsidi BBM
Total Subsidi Energi
Belanja Negara
1994/1995
0,68
0,68
?
?
1995/96
0
0
?
0
1996/97
1,41
1,41
90,61
1,5
1997/98
9,81
9,81
101,08
9,7
1998/99
28,60
30,35
104,45
29,2
1999/00
39,89
44,24
156,75
28,2
2000
53,81
57,73
162,57
35,5
2001
68,38
72,99
322,2
22,6
2002
31,16
35,89
341,6
10,5
2003
30,02
35,11
378,8
8,7
2004
78,35
81,82
435,7
18,7
Sumber : Nota Keuangan Tahun 1994/95-2004, Departemen Keuangan RI
Subsidi harga BBM terutama minyak tanah selama, bertahuntahun ternyata bukan hanya dinikmati oleh masyarakat berpendapatan rendah semata namun lebih banyak dinikmati oleh masyarakat dengan kategori 20 persen penduduk terkaya dimana pemakaian pada tahun 1999 mencapai 55,16 liter (Hidayat, 2003). Pada tahun 2003 pemakai rata-rata perkapita tertinggi untuk minyak tanah adalah kelompok 150% dari garis kemiskinan-20.01% terkaya dengan pemakaian sebesar 60,62 liter (DESDM, 2004). Melihat fenomena yang ada tentu sangat disayangkan bila subsidi harga terus dilakukan oleh pemerintah maka yang sejahtera bukanlah rakyat yang
berpendapatan rendah melainkan mereka yang kaya
menjadi semakin kaya. Untuk itu pemerintah melakukan upaya agar masyarakat
dan
konsumen
rumah
tangga
khususnya
dapat
memanfaatkan sumber energi yang diyakini dapat menggantikan minyak
5
tanah tadi sebagai energi alternatif untuk memasak, yang salah satunya adalah LPG. Keinginan pemerintah agar masyarakat beralih ke LPG (Liquified Petroleum Gas) 1 sebagai pengganti minyak tanah di sektor rumah tangga disampaikan oleh pemerintah melalui Wakil Presiden Yusuf Kalla awal Mei 2006 lalu (Tambang, 2006). Pemerintah berupaya mencari sumber energi alternatif
yang
penggunaan tangga.
cadangan
minyak tanah
Sebab
kalau
tidak
serta
fungsinya
dapat
menggantikan
untuk memasak bagi konsumen subsidi
yang
harus
dikeluarkan
rumah oleh
pemerintah akan semakin besar di tengah harga BBM yang terus melambung. Minyak tanah merupakan salah satu komoditi yang menjadi kebutuhan pokok untuk memasak serta digunakan oleh konsumen rumah tangga
secara
umum
terutama
oleh
konsumen
pada
kelompok
berpendapatan rendah. Dapat dibayangkan betapa besar jumlah minyak tanah yang dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia. Saat ini konsumsi minyak tanah dalam negeri diperkirakan mencapai 14 juta kilo liter per tahun. Dengan patokan harga di dalam negeri sebesar Rp. 2.250, sedangkan harga di pasar dunia mencapai Rp. 6.000. Dan angka subsidi minyak tanah diperkirakan kurang lebih hampir 40 trilyun 2 (Tambang, 2006). Hal ini tentu akan sangat memberatkan anggaran
pemerintah.
mendiversifikasikan
Untuk
sumber
energi
itu lain
pemerintah yang
dirasa
harus cocok
mulai untuk
menggantikan minyak tanah dan energi yang dipilih tersebut adalah LPG. LPG dipilih karena pemerintah melihat akan ada penurunan subsidi secara signifikan jika energi alternatif ini dapat dipergunakan secara lebih luas oleh masyarakat untuk menggantikan minyak tanah. 1LPG
(Liquified Petroleum Gas) atau "gas minyak bumi yang dlcairkan" merupakan campuran dari berbagai unsur hidrokarbon yang berasal dari gas alam sebagal hasil penyulingan minyak mentah. 2Artikel
tentang subsldi mlnyak tanah dapat dillhat pada Majalah Tambang edisi Juni 2006/Thn II.
6
Disamping itu, pemerintah juga ingin memberikan comfortability dalam pemakaian energi (Tjetjep, 2006). Masyarakat akan merasa lebih nyaman bila memakai LPG daripada memakai minyak tanah. Hal ini disebabkan oleh beberapa kelebihan yang dimiliki oleh LPG (gas minyak cair). Tabel 1.2 berikut menunjukkan beberapa kelebihan LPG dibandingkan dengan jenis energi lain dalam hal memasak.
Tabel 1.2 Perbandingan Kinerja Energi untuk Memasak No
Jenis Energi
Efisiensi Tungku
Harga Peralatan
Kebersihan
Kenyamanan
1
LPG
60%
Mahal
Bersih
Baik
2
Gas
60%
Mahal
Bersih
Baik
3
Minyak Tanah
35%
Sedang
Sedang
Sedang
4
Briket
30%
Murah
Sedang
Rendah
5
Arang
25%
Murah
Sedang
Rendah
6
Kayu
20%
Murah
Kotor
Rendah
Sumber : Winarno, dalam Tampubolon (2006)
Dengan penggunaan LPG dapat terjadi penurunan yang sangat signifikan terhadap BBM. Untuk subsidi 1 kg LPG sama nilainya dengan subsidi 1, 7 liter minyak tanah, padahal penggunaan 1 kg LPG jauh lebih efektif dan hemat daripada penggunaan 1, 7 liter minyak tanah. Substitusi minyak tanah dengan LPG mungkin dilakukan karena LPG lebih murah dibandingkan dengan minyak tanah sebab 1 tabung LPG 3 kg setara dengan 5,22 liter minyak tanah, artinya masyarakat dapat menghemat lebih kurang Rp.
3.000,- perminggu dibandingkan bila
menggunakan minyak tanah. Perbandingan antara LPG dengan minyak tanah adalah satu banding dua dilihat dari masing-masing kalori. Satu liter minyak tanah equivalen dengan setengah kilo LPG. Harga setengah kilo LPG tanpa subsidi sekitar Rp. 3000-an. Harga itu tidak jauh dari satu liter minyak tanah bersubsidi sebesar 2.250 atau harga yang sampai ke tangan
7
masyarakat sekitar 2.500-2.600 (harga minyak tanah tanpa subsidi sekitar Rp. 6.000). Menurut Tjetjep (2006) dengan perbandingan harga yang tidak begitu jauh tadi memungkinkan masyarakat untuk beralih dari minyak tanah ke LPG karen a faktor kenyamanan. Disamping itu pula, jika substitusi LPG terhadap minyak tanah dapat dilaksanakan secara baik maka akan menguntungkan pemerintah dan konsumen (warga). Pemerintah bisa menghemat subsidi bahan bakar minyak senilai Rp. 22 triliun per tahun. Untuk tiap kepala keluarga bisa menghemat belanja senilai Rp 20.000 hingga Rp 25.000 per bulan (Zahidayat, 2007). Sebab penggunaan LPG jauh lebih murah ketimbang minyak tanah. Dimana satu kilogram LPG setara dengan 3 liter minyak tanah. Saat ini harga LPG Rp 4.250/kg dan minyak tanah Rp 2.000 per liter (Pikiran Rakyat, 2006). Untuk mendidihkan air dan menanak nasi ternyata LPG lebih hemat dibandingkan dengan minyak tanah. Untuk air 2,5 liter biaya konsumsi minyak Rp 225 sedangkan LPG hanya Rp 151. Sehingga penggunaan LPG merupakan salah satu terobosan yang coba dilakukan oleh pemerintah dalam rangka menekan jumlah subsidi terhadap minyak tanah yang semakin memberatkan APBN dan untuk mendiversifikas ikan
penggunaan
energi
alternatif yang
jumlah
dan
ketersediaanny a relatif lebih banyak dibandingkan dengan minyak tanah. Apabila rencana pemerintah dalam mengkonversi penggunaan LPG ini berhasil, maka dalam tempo empat tahun kedepan 80°/o kebutuhan minyak tanah di Indonesia akan dapat digantikan oleh LPG (Berita Jakarta, 2007). Selama ini masyarakat selalu menentang kenaikan harga BBM yang dilakukan oleh pemerintah, hal ini wajar karena adanya kerancuan dalam pemahaman pemberian subsidi. Masyarakat memahami bahwa pemberian
subsidi tersebut
adalah
secara
finansial,
bukan
subsidi
ekonomi seperti yang sekarang dilakukan oleh pemerintah. Sehingga apabila ada isu akan kenaikan harga BBM maka masyarakat akan menolaknya, salah satunya dengan melakukan demontrasi.
8
Walaupun subsidi telah diberikan namun kenyataannya, tetap saja sebagian besar masyarakat tidak merasakan hasil dari pemberian subsidi tersebut, sehingga pemberian subsidi sering dianggap salah sasaran. Akibatnya masyarakat yang berpenghasilan rendah tetap saja sulit untuk mengkonsumsi BBM terutama minyak tanah untuk memasak. Padahal tujuan pengurangan subsidi BBM yang dilakukan oleh pemerintah sebenarnya adalah untuk mengurangi beban APBN yang semakin berat. Namun
kadangkala
pengurangan
subsidi
ini
sulit
dipahami
oleh
masyarakat yang tingkat pendidikannya berbeda-beda. Sehingga dalam pelaksanaan program nantinya sangat diperlukan kampanye berupa sosialisasi bahkan keterlibatan langsung masyarakat dalam kegiatan. Hal ini bertujuan agar masyarakat sadar tentang urgensi hemat energi dan menghilangkan paradigma yang selama ini berkembang bahwa pengguna LPG merupakan segmen menengah ke atas. Sebenarnya
LPG
bukan
barang
mewah
yang
hanya
layak
digunakan oleh kaum menengah ke atas, namun juga oleh masyarakat menengah kebawah, apalagi mulai tahun 2007 ini pemerintah telah \membagikan kompor dan tabung gas berukuran 3 kg gratis kepada masyarakat dalam rangka program konversi penggunaan minyak tanah ke LPG. Diharapkan melalui program ini konsumsi minyak tanah akan berkurang seiring dengan semakin baiknya kesadaran masyarakat untuk mulai memanfaatkan energi bersih dan ramah lingkungan. Dibandingkan dengan jenis energi lain, dari segi penggunaan bahan bakar gas relatif lebih mudah dan hemat dari bahan bakar cair walaupun mungkin dalam penyimpanannya (kemasan) membutuhkan biaya tambahan. Oleh sebab itu maka LPG dapat dijadikan sebagai energi alternatif pengganti
minyak tanah
karena
lebih
hemat dan
bersih
dibandingkan dengan minyak tanah sendiri serta memiliki pembakaran yang lebih sempurna. Namun sayangnya selama ini masyarakat telah keliru dalam menggunakan energi untuk memasak. Minyak tanah yang merupakan
9
bahan bakar pesawat dengan harga yang lebih mahal telah dijadikan sebagai pilihan untuk memasak. Selain itu kekeliruan juga terjadi karena orang kaya memasak lebih murah dari pada orang miskin. BBM yang digunakan selama ini penyediaannya oleh pemerintah sangat dipengaruhi oleh produksi kilang dalam negeri dan impor. Jadi, harga BBM dipengaruhi oleh perubahan nilai tukar mata uang atau naiknya harga BBM di pasar internasional. Bagi masyarakat dengan tingkat pendapatan menengah ke atas, harga BBM yang tinggi mungkin masih mampu untuk dibeli, meskipun harga BBM disesuaikan dengan harga pasar internasional, namun bagi masyarakat berpendapatan rendah tidaklah demikian. Mereka tidak mampu untuk membeli minyak tanah sebagai
sumber
energi
untuk
memasak,
akibatnya
kelompok
berpendapatan rendah ini akan mencari sumber energi lain dengan harga yang relatif terjangkau oleh pendapatan mereka. Jika di negara-negara maju perumusan kebijakan energi nasional mereka dipicu oleh kelangkaan minyak dunia pada tahun 1973, lain lagi dengan Indonesia, dimana kebijakan energi nasional justru dilakukan saat membanjirnya minyak dunia tahun 1981. Tahun 1979 harga minyak mulai merosot dan mencapai titik terendah dibawah US$ 10/barel (bbl) pada tahun 1981, dan pada saat itulah Indonesia mengeluarkan kebijakan energinya, sebagaimana dikutip Tampubolon (2006), yaitu : •
Menggalakkan pencarian sumber-sumber energi baru
•
Menghemat penggunaan sumber energi
•
Menganekaragamkan penggunaan sumber energi
•
Menciptakan sistem energi yang ramah lingkungan.
Dari evaluasi kebijakan energi nasional yang dilakukan pada tahun 2003, disimpulkan bahwa upaya pencarian sumber-sumber energi baru adalah yang paling berhasil, sebab pencarian terhadap cadangan gas bumi, batu bara
meningkat
jumlahnya,
sedangkan
kebijakan
lain
masih
menunjukkan hasil yang kurang menggembirakan.
10
Penyebab kegagalan terbesar dalam pelaksaaan kebijakan energi adalah masih sulitnya pencabutan subsidi. Padahal subsidi menyebabkan beberapa hal yang kurang menguntungkan, diantaranya : •
Subsidi tidak memberikan sinyal yang tepat kepada konsumen mengenai kelangkaan atau nilai ekonomisnya, sehingga konsumen mengkonsumsi energi secara tidak tepat dan efisien.
•
Subsidi menyebabkan hilrga energi khususnya BBM lebih rendah dari
harga
eceran
di
negara
lain,
sehingga
kemungkinan
penyelundupan dapat terjadi. •
Subsidi mengakibatkan ketidakadilan, karena subsidi lebih banyak dinikmati oleh kelompok yang bukan berendapatan rendah.
• Oleh
Subsidi mengurangi insentif pengembangan sumber energi lainnya. sebab
itulah
maka
pemerintah
mengambil
kebijakan
untuk
mencabut subsidi tersebut yang bertujuan untuk : •
Menganekaragamkan penggunaan energi
•
Mengurangi terjadinya penyelundupan
•
Mendorong konsumen untuk menghemat energi
•
Mengurangi beban APBN
Produksi minyak bumi Indonesia tahun 2003 sebesar 383,7 juta barel, terdiri dari 339,1 juta barrel minyak mentah dan 44,6 juta juta barrel kondensat. Jumlah tersebut menunjukkan penurunan dari tahun sebelumnya yang mencapai 351,9 juta barrel minyak mentah dan 45,4 juta
barrel
kondensat.
Sementara
untuk tahun
2004
diperkirakan
produksi minyak mentah mencapai 301,9 juta barrel dan kondensat mencapai 41,2 juta barrel. Dalam lima tahun terakhir (sejak tahun 2000) produksi minyak mentah dan kondensat juga menunjukkan kecenderungan menurun dengan penurunan sebesar 8, 70 persen per tahun untuk min yak mentah
II
dan 4,72 persen per tahun untuk kondensat (Statistik Pertambangan Minyak dan Gas Bumi 2003-2004, BPS). Detail data cadangan minyak mentah dan gas dari tahun 1995-2006 dapat dilihat pada BAB IV. Jumlah cadangan minyak bumi terus mengalami penurunan akibat intensifnya
produksi
minyak
bumi
untuk
memenuhi
kebutuhan
pembangunan nasional dan permintaan luar negeri (Purwanto, 2003). Jumlah cadangan minyak yang semakin menurun menunjukkan sinyal untuk mulai memanfaatkan energi lain yang bukan berasal dari minyak bumi. Hal ini sangat rasional mengingat Indonesia memiliki cadangan energi yang besar selain minyak bumi seperti gas, panas bumi dan batu bara. Dilihat dari rasio cadangan dibagi produksi (RIP Ratio), menurut Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, sebagaimana dikutip Tampubolon (2006), gas masih mampu digunakan selama lebih dari 43 tahun, sedangkan minyak bumi selama 16 tahun. Untuk memilih suatu sumber energi yang mampu menggantikan sumber energi yang lain, yang harus diketahui adalah daya substitusi dari energi tersebut. Salah satu cara untuk menghitung daya/kemampuan substitusi
dari
suatu
sumber
energi
adalah
dengan
menghitung
elastisitasnya, dalam hal ini elastisitas silangnya (cross price elasticity). Selain daya substitusi, banyak faktor lain yang mempengaruhii substitusi dari suatu sumber energi ke energi lain, begitu pula dengan substitusi minyak tanah. Salah satunya adalah pendapatan konsumen, terlebih bagi konsumen yang tingkat pendapatannya rendah sebab dengan keterbatasan pendapatan tentunya akan mempengaruhi pola konsumsi energi terutama untuk memasak. Sehingga dalam penelitian ini nantinya akan dianalisa bagaimana perilaku konsumsi terhadap besarnya pendapatan. Dalam menggunakan energi untuk memasak tentu masyarakat menghendaki bahan bakar dengan harga yang murah dan efisien, terlebih
12
bagi masyarakat yang pendapatan rendah, pasti mereka akan mencari energi alternatif yang lebih murah. Yang dimaksud dengan masyarakat yang pendapatan rendah adalah mereka yang status kesejahteraannya secara materi berada di bawah suatu batas minimal tertentu. Batas minimal ini disebut Garis Kemiskinan
(Moeis,
2007).
Garis
kemiskinan
berguna
untuk
mengklasifikasikan individu atau rumah tangga miskin dan tidak miskin. Besarnya garis kemiskinan ditentukan oleh pemerintah dan hampir setiap tahun berubah. Dengan diketahui tingkat kesejahteraannya (Y), maka bila Y
Y~
GK disebut tidak miskin.
Menurut BPS, masyarakat dikatakan miskin bila salah satu atau beberapa dari komponen kebutuhan dasarnya tidak terpenuhi. Komponen dasar terse but adalah:
pang an, dinyatakan dengan
kebutuhan gizi
minimum yakni perkiraan kalori dan protein; sandang, dinyatakan dengan indikator pengeluaran rata-rata untuk keperluan pakaian, alas kaki dan tutup kepala; perumahan, dinyatakan dengan indikator pengeluaran ratarata untuk sewa rumah, listrik, minyak tanah dan air; pendidikan, dinyatakan dengan indikator pengeluaran rata-rata untuk keperluan biaya sekolah; kesehatan, dinyatakan dengan indikator pengeluaran rata-rata untuk penyediaan obat-obatan di rumah, ongkos dokter, perawatan. Menurut Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) yang digolongkan masyarakat berpendapatan rendah yakni mereka yang memiliki tingkat konsumsi 2100 kalori/kapita/hari atau income sebesar USD 2/kapita/hari.
1.2
Perumusan Masalah Semenjak subsidi minyak tanah dicabut oleh pemerintah pada
Oktober 2005 dan harga BBM terus melambung, semua sektor mengalami dampaknya, sebab tak dapat dipungkiri bahwa BBM merupakan salah satu komoditas utama dalam suatu proses ekonomi. Sehingga konsumen rumah tangga yang biasa menggunakan minyak tanah untuk memasak
13
juga mengalami kesulitan. Sehubungan dengan hal tersebut muncul beberapa pertanyaan yaitu: •
Bagaimana demand LPG sebagai energi rumah tangga akibat adanya kenaikan harga minyak tanah dan perubahan pendapatan?
•
Bagaimana perilaku demand minyak tanah terhadap perubahan pendapatan, harga energi dan munculnya supply energi alternatif LPG?
•
Dapatkah LPG mensubstitusi minyak tanah dan seberapa besar kemampuan LPG mensubstitusi minyak tanah?
•
Bagaimana pula demand LPG dan minyak tanah pada kelompok masyarakat
berpendapatan
mensubstitusi
minyak
rendah
tanah
(miskin)?
pada
Dapatkah
kelompok
LPG
masyarakat
berpendapatan rendah (miskin)?
1.3 Hipotesis Pengurangan subsidi BBM dalam hal ini minyak tanah tentunya akan memaksa kelompok berpendapatan rendah untuk beralih ke energi alternatif lain untuk memasak. Kenaikan harga minyak tanah tentu membuat konsumen rumah tangga berinisiatif untuk beralih ke energi lain yang
salah
satunya
adalah
LPG.
Namun
ada
beberapa
hal
yang
menentukan terjadinya peralihan (switching) energi ini, diantaranya adalah harga energi tersebut dan pendapatan konsumen. Ada beberapa hipotesis yang dapat dikemukakan di sini yaitu : •
Kenaikan harga minyak tanah dan pendapatan akan meningkatkan pemakaian LPG karena konsumen rumah tangga akan beralih ke energi alternatif yang lebih efisien, bersih dan nyaman.
•
Diduga price elasticity of demand minyak tanah akan turun (bernilai negatif) apabila terjadi perubahan terhadap harga minyak tanah. Diduga income elasticity of demand minyak tanah akan berada
14
antara
0
dan
1
(normal
necessities).
Sedangkan
elastisitas
permintaan minyak tanah bersifat inelastis. •
Diduga LPG dapat mensubstitusi minyak tanah dalam jangka pendek dimana sebelum besarnya pendapatan disesuaikan dengan kenaikan harga-harga.
Kenaikan
harga
minyak
tanah
akan
menambah
permintaan LPG. •
Diduga
LPG
belum
dapat
mensubstitusi
minyak
tanah
pada
konsumen rumah tangga berpendapatan rendah.
1.4 Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini antara lain: 1. Menganalisa subsitusi minyak tanah oleh LPG terhadap permintaan LPG pada rumah tangga. 2. Mengetahui elastisitas harga, elastisitas pendapatan dan elastisitas silang minyak tanah dengan LPG dalam jangka pendek.
1.5. Metodologi Dalam penelitian ini nantinya akan dilihat bagaimana demand LPG dan minyak tanah pada konsumen rumah tangga provinsi DKI Jakarta, Jawa
Barat,
permintaan
Jawa energi
Tengah
dan
konsumen
Jawa rumah
Timur tangga
sebagai
representatif
secara
keseluruhan
(nasional) dan demand LPG dan minyak tanah pada konsumen rumah tangga berpendapatan rendah. Perincian secara detail tentang metodologi yang digunakan dan kerangka pemikiran model penelitian dapat dilihat pada Bab III.
15
1.6 Sistematika Penulisan Tesis ini akan dijabarkan secara bertahap dan dikelompokkan pada setiap bab yang terdiri dari: Bab
I
merupakan
pendahuluan
yang
menjabarkan
latar
belakang
penelitian, perumusan masalah, hipotesa, tujuan dan manfaat penelitian serta
sistematika
penulisan.
Bab
ini juga
memuat kerangka
pikir
konseptual penelitian. Bab II menjabarkan tinjauan literatur tentang LPG, juga menyajikan beberapa hasil penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan studi. Bab III merupakan metodologi penelitian,
yang
akan
menjabarkan
tentang data serta sumber data yang digunakan beserta metode yang dipergunakan. Bab IV memuat perkembangan gas (LPG) di Indonesia selama kurun waktu 1993-2005. Bab V merupakan hasil analisa dan pembahasan dengan menggunakan hasil regresi sebagai tolok ukur. Bab
VI
merupakan
kesimpulan
dan
saran
penulis
yang
dibuat
berdasarkan hasil analisa.
16
BAB II TINJAUAN LITERATUR
Bahan Bakar Minyak (BBM) merupakan salah satu sumber energi yang masih sangat dominan digunakan oleh semua sektor, baik sektor industri, sektor transportasi bahkan juga oleh sektor rumah tangga. Dominannya terlepas
adanya
karena
di
BBM
penggunaan
subsidi
masyarakat tidak
tengah-tengah harga
oleh
pemerintah
sehingga
menyebabkan masyarakat pada semua sektor tadi sulit untuk beralih ke energi alternatif lain. Bila dilihat dari sisi pemakainya, sektor transportasi merupakan pemakai BBM terbesar yakni 47,1 persen pada tahun 2000 dan terus mengalami peningkatan setiap tahun. Kemudian disusul oleh sektor rumah tangga sebesar 22,2 persen, sektor industri sebesar 21,7 persen dan pembangkit listrik sebesar 9,0 persen pada tahun 2000. Penggunaan BBM oleh sektor-sektor tersebut yang mengalami peningkatan setiap tahunnya juga tidak terlepas karena adanya subsidi oleh pemerintah. Kebijakan pemerintah memberikan subsidi BBM yang dimulai sejak tahun anggaran 1977/1978 dimaksudkan untuk menjaga stabilitas nasional melalui penciptaaan stabilitas harga BBM sebagai komoditas yang strategis. Namun
seiring
dengan
berjalannya
waktu
dan
berbagai
permasalahan yang ditimbulkannya seperti pemborosan penggunaan BBM oleh masyarakat dan adanya indikasi bahwa alokasi subsidi BBM lebih banyak dinikmati oleh kelompok masyarakat yang seharusnya tidak perlu mendapat subsidi membuat pemerintah mulai mengurangi pemberian subsidi
terhadap
mengarahkan
BBM
dan
pemanfaatan
sebagai
gantinya
sumber-sumber
pemerintah
energi
alternatif
mulai yang
potensinya masih besar, seperti LPG. LPG menjadi pilihan terutama di sektor rumah tangga disebabkan karena pemakaiannya yang fleksibel serta kemudahan dan kenyamanan
17
yang ditawarkan sehingga membuat permintaan LPG pada konsumen rumah tangga semakin meningkat. Meskipun seandainya gas bumi (LPG) harus disubsidi, jumlah subsidi akan jauh lebih rendah dibandingkan dengan subsidi untuk BBM (20%-30%
dari
sybsidi
BBM).
Dengan
demikian
peningkatan
pemanfaatan gas bumi sebagai bahan bakar akan mengurangi subsidi pemerintah terhadap BBM sebesar Rp. 3,6 triliun per tahun. Selain itu, menurut DESDM (2002) peningkatan pemanfaatan gas bumi sebagai bahan baku akan menimbulkan efek ganda yang lebih tinggi dibandingkan dengan energi lain (faktor penggandaan bisa mencapai lebih dari 2 kali dan faktor tenaga kerja bisa mencapai 24 kali).
2.1 Peranan LPG pada Rumah Tangga, Industri dan Transportasi Elpiji merupakan merk dagang dari LPG atau Liquified Petroleum Gas,
yang
berarti
"gas
minyak
bumi
yang
dicairkan"
merupakan
campuran dari berbagai unsur hidrokarbon yang berasal dari gas alam sebagai hasil penyulingan minyak mentah. Atau dengan kata lain Liquified Petroleum Gas (LPG) adalah gas yang dihasilkan kilang BBM dan pemurnian (purification) gas (LNG Plant). Dengan menambah tekanan dan menurunkan suhunya, gas berubah menjadi cair.
Komponennya didominasi propana (C3Ha) dan butana
(C 4 H10 ) atau campuran keduanya (Indonesia's Energy Economy Statistics, 2004). LPG juga mengandung hidrokarbon ringan lain dalam jumlah kecil, misalnya etana (C 2 H6 ) dan pentana (C 5 H12 ). Atau dengan kata lain LPG adalah unsur-unsur propana dan/atau butana dari minyak bumi atau gas bumi yang dimampatkan (diberi tekanan tertentu) menjadi cairan dalam suhu kamar. LPG butana umumnya berasal dari minyak bumi, sedangkan LPG propana umumnya berasal dari gas bumi.
LPG merupakan produk
samping dari kilang minyak dan kilang LNG, sehingga besarnya volume
18
LPG yang diproduksi akan bergantung dari volume minyak bumi ataupun gas bumi yang diolah dalam kilang minyak atau kilang LNG. Disamping itu LPG dihasilkan juga dari kilang yang khusus menghasilkan LPG dari gas bumi (DESDM, 2002). Dalam kondist atmosfer, LPG akan berbentuk gas. Volume LPG dalam bentuk cair lebih kecil dibandingkan dalam bentuk gas untuk berat yang sama. Karena itu LPG dipasarkan dalam bentuk cair dalam tabungtabung logam bertekanan. Untuk memungkinkan terjadinya ekspansi panas (thermal expansion) dari cairan yang dikandungnya, tabung LPG tidak diisi secara penuh, hanya sekitar 80-85% dari kapasitasnya. Rasio antara volume gas bila menguap dengan gas dalam keadaan cair bervariasi tergantung komposisi, tekanan dan temperatur, tetapi biasanya sekitar 250:1. LPG lebih berat dari udara dengan berat jenis 2,01 ( dibandingkan dengan udara), tekana uap gas LPG cair dalam tabung/tangki antara 5,0 sampai dengan 6,2 kg/cm 2 • Tekanan dimana LPG berbentuk cair, dinamakan tekanan uapnya, juga bervariasi tergantung. komposisi dan temperatur; sebagai contoh, dibutuhkan tekanan sekitar 220 KPa (2.2 bar) bagi butana murni pada 20 °C (68 °F) agar mencair, dan sekitar 2.2 MPa (22 bar) bagi propana murni pada 55°C (131 °F). Menurut spesifikasinya, LPG dibagi menjadi tiga jenis yaitu LPG campuran, LPG propana dan LPG butana. Spesifikasi masing-masing LPG tercantum dalam keputusan Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Nomor: 25K/36/DDJM/1990. LPG yang dipasarkan Pertamina adalah LPG campuran 1 • Selama ini dari konsumsi sebesar 100.000 metrik ton (MT) per bulan di tahun 2004, LPG lebih banyak digunakan oleh sektor rumah tangga (69 persen), hotel berbintang dan restoran (13 persen) dan industri sebanyak 18 persen (Sinaga, 2003). Di Indonesia LPG terutama 1
Wikipedia Indonesia. Elpiji.
19
digunakan sebagai sumber energi/bahan bakar alat dapur (terutama kompor
gas).
LPG
umumnya
digunakan
oleh
tingkat
masyarakat
menengah, dimana terjadi peningkatan pemakaian dari tahun ke tahun, hal ini disebabkan karena sifat LPG yang ramah lingkungan. Selain sebagaj bahan bakar alat dapur, LPG juga cukup banyak digunakan sebagai bahan bakar kendaraan bermotor (walaupun mesin kendaraannya harus dimodifikasi terlebih dahulu). Bahkan saat ini utilisasi dari LPG diperluas hingga ke pembangkit-pembangkit listrik milik PLN. LPG umumnya juga digunakan sebagai bahan bakar untuk pemanas ruangan. Di Indonesia LPG lebih banyak digunakan sebagai kompor yang merupakan bahan bakar alternatif bagi rumah tangga setelah minyak tanah. Sebagai bahan bakar kompor, LPG biasa dikemas dalam tabung seberat 14,5 kg tetapi untuk keperluan lain dapat dikemas dalam tabung yang lebih besar atau lebih kecil. Disamping manfaatnya yang begitu besar, LPG juga memiliki sifat yang harus diketahui agar manfaat yang diberikan dapat digunakan secara optimal. Sifat LPG terutama adalah sebagai berikut: •
Cairan dan gasnya sangat mudah terbakar.
•
Gas tidak
beracun,
tidak
berwarna
dan
biasanya
berbau
menyengat. •
Gas dikirimkan sebagai cairan yang bertekanan di dalam tangki atau silinder.
•
Cairan dapat menguap jika dilepas dan menyebar dengan cepat.
•
Gas ini lebih berat dibanding udara sehingga akan banyak menempati daerah yang rendah. Selain
memiliki
manfaat,
LPG
juga
memiliki
resiko
dalam
penggunaannya. Salah satu resiko penggunaannya adalah terjadinya kebocoran pada tabung atau instalasi gas sehingga bila terkena api dapat menyebabkan kebakaran. Pada awalnya, gas LPG tidak berbau, sehingga akan sulit dideteksi apabila terjadi kebocoran pada tabung gas. Menyadari
20
hal itu maka Pertamina menambahkan gas mercaptan, yang baunya khas dan menusuk hidung. Langkah itu sangat berguna untuk mendeteksi bila terjadi kebocoran tabung gas. Tekanan LPG cukup besar (tekanan uap sekitar 120 psig), sehingga kebocoran LPG akan membentuk gas secara cepat dan merubah volumenya menjadi lebih besa~. Untuk kawasan industri, LPG digunakan sebagai energi alternatif non minyak, sebagai produk substitusi Freon, Aerosol, Refrigerant/Coo ling Agent, sebagai bahan kosmetik, dapat juga digunakan sebagai bahan baku produk khusus 3 • Selain itu LPG juga digunakan sebagai
bahan
bakar dan sekaligus berfungsi sebagai alat penekan atau penyemprotan. Bagi konsumen rumah tangga, LPG digunakan sebagai sumber energi untuk memasak. Kebersihan, efisiensi tungku serta kenyamanan yang diberikan LPG membuat masyarakat tertarik untuk menggunakan LPG. Pada Tabel 2.1 ditunjukkan detail data konsumsi LPG di masingmasing provinsi yang dijadikan sebagai sampel penelitian ini. Dari Tabel
2.1 tersebut terlihat bahwa terjadi
peningkatan
konsumsi LPG dari tahun ke tahun pada empat provinsi tersebut. Hal ini kuat dugaan disebabkan karena beberapa kelebihan yang dimiliki oleh LPG dibandingkan dengan minyak tanah. Dengan berbagai kelebihan tersebut membuat masyarakat yang telah mengetahui LPG sebagai salah satu sumber energi alternatif yang hemat, nyaman dan efisien tentu akan merasa lebih baik tetap terus mengkonsumsi LPG apalagi bila terjadi lonjakan harga minyak tanah. Sebab LPG jauh lebih hemat dibandingkan dengan minyak tanah tanpa subsidi.
2
3
Wikipedia Indonesia. Elpiji. Pertamina (dalam www.Pertamina. com).
21
Tabel 2.1 Konsumsi LPG pada Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah dan lawa Timur Tahun 1990-2003 (SBM} Tahun
DKI Jakarta
lawa Barat
lawa Tengah
lawa Timur
1990
261,326
605,039
112,760
148,634
1991
270,637
626,345
116,675
154,989
1992
273,800
636,621
118,779
154,989
1993
281,149
652,476
121,664
156,292
1994
357,375
827,798
154,606
159,878
1995
435,304
1,008,856
187,934
203,434
1996
515,584
1,194,149
223,806
248,176
1997
602,673
1,395,946
261,518
344,468
1998
644,186
1,494,227
277,678
368,175
1999
681,487
1,583,056
296,721
387,612
2000
737,058
1,712,406
321,206
420,768
2001
691,629
1,602, 793
298,755
394,462
2002
854,920
1,983,142
373,407
487,988
1,011,880
2,349,467
439,287
575,484
2003
..
Sumber : DltJen M1gas, DESDM
2.2 Sifat Menarik Gas Bumi (LPG} Sebagai bahan energi, gas bumi merupakan bentuk bahan energi yang sangat menarik karena berupa fluida dan memberikan dampak polusi yang sangat minimal. Kecuali itu, gas bumi merupakan sumber daya alam yang makin penting sebagai bahan baku proses-proses yang menyediakan material sintetik dengan sifat-sifat yang makin berkembang keunggulan dan kegunaannya. Satu-satunya sifat yang agak kurang menguntungkan adalah kerapatan (density) yang kecil karena berbentuk gas. Hal ini menjadi masalah dalam penyimpanan dan transportasi jarak jauh. Sifat gas alam sebagai bahan baku industri proses penghasil material sintetik yang bersih membuat gas dapat dimanfaatkan sebagai
22
komoditi ekspor dalam bentuk gas alam cair atau diekspor setelah melalui proses nilai tambah untuk dijadikan metanol, pupuk, monomer, polimer dan sebagainya. Dalam telaah jangka panjang peran gas alam di dunia, diperkirakan
Indonesia
dapat menjadi
salah
satu
pemasok
utama
monomer dan polimer di dunia (J. F, Mathis, 1984).
2.3 Studi Terdahulu Penelitian mengenai substitusi energi telah banyak dilakukan, diantaranya substitusi energi untuk memasak seperti yang dilakukan oleh Joint
UNDP/World
Bank
Energy
Sector
Management
Assistance
Programme (ESMAP) tahun 2003, dimana dilakukan penelitian peralihan energi untuk memasak (switching cooking fuel) pada rumah tangga di Guatemala. Bahan bakar yang paling banyak digunakan untuk memasak di Guatemala adalah kayu bakar dan LPG. Penggunaan bahan bakar untuk memasak (cooking fuel) diregresi menggunakan data primer dan model ekonometri: In qi = ln\Pi
+ In Pj + In Y + In Z
dimana j adalah bah an bakar substitusi, Y adalah income per kapita dan Z merupakan karakteristik setiap daerah. Jenis energi yang digunakan oleh rumah tangga yang diteliti ialah arang, kayu bakar, minyak tanah, LPG dan listrik. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa: •
Besarnya income sangat signifikan dalam pemilihan bahan bakar.
•
Besarnya demand minyak tanah bergantung pada harga LPG baik di desa maupun di kota dan minyak tanah merupakan substitusi LPG,
tetapi
LPG
tidak
mensubstitusi
minyak
tanah
karena
penggunaan LPG yang lebih dominan di Guatemala. •
Harga LPG dan kayu bakar tidak menunjukkan kompetisi, hal ini mungkin disebabkan LPG sangat cocok untuk memasak sehingga
23
variasi ha·rga tidak menjadi penyebab utama substitusi bahan bakar. •
Minyak tanah merupakan barang inferior di kota tetapi merupakan barang normal didesa.
•
Besarnya income lebih berpengaruh dari harga pada substitusi antara LPG dan kayu bakar.
•
Di desa, penggunaan kayu bakar sangat dipengaruhi oleh harga minyak tanah, penggunaan minyak tanah tidak dipengaruhi oleh harga kayu bakar.
•
Di kota, penggunaan energi listrik memasak sangat bergantung pada harga LPG.
•
Arang dan kayu bakar saling mensubstitusi secara signifikan di desa.
•
Arang dan LPG saling mensubstitusi secara signifikan di kota.
•
Arang dan minyak tanah adalah komplementer secara signifikan baik di desa maupun di kota. Alan S. Manne (1976) dalam Tampubolon (2006) juga melakukan
penelitian
tentang
substitusi
antar energi
listrik dan
non-listrik di
Amerika, dengan memasukkan own dan cross price elasticities of demand pada model pengamatan, sehingga terlihat pengaruh harga-harga energi dalam substitusi antar energi (interfuel substitution). Dari hasil penelitian Manne dapat disimpulkan bahwa: •
Energi non listrik yang dapat dianggap mensubstitusi listrik adalah minyak, gas dan bahan bakar sintesis selain batubara. Batubara dikeluarkan dari model penelitian karena kebijakan pemerintah yang sangat ketat pada emisi gas buang terhadap lingkungan.
•
Harga energi yang paling mahal akan menjadi energi yang akan sangat dihemat pemakaian dan dipertinggi efisiensinya.
24
•
Perbandingan
harga
energi
yang
tinggi
terhadap
energi
alternatifnya merupakan insentif terjadinya substitusi antar energi. Studi lain tentang substitusi energi dalam hal ini gas bumi sebagai bahan bakar alternatif pengganti BBM juga pernah dilakukan oleh Endriana (2003) yang menggunakan data hasil Survei Industri Besar dan Sedang tahun 1979-2000 menggunak an Almost Ideal Demand System {AIDS), dari hasil penelitian tersebut terlihat bahwa: •
Dari sisi elastisitasnya gas bumi memiliki respon permintaan yang lebih besar dibandingkan dengan BBM dalam hal perubahan pendapatan, dimana perubahan pendapatan yang relatif kecil akan mengakibat kan perubahan konsumsi yang relatif besar.
•
Pada industri besar gas bersifat sebagai substitusi untuk solar, bensin, dan minyak tanah, sedangkan untuk minyak diesel gas berfungsi sebagai komplemen ter.
•
Sedangkan pada industri sedang, gas bersifat substitusi untuk bensin dan solar, dan sebagai komplemen ter untuk minyak tanah dan minyak diesel. Penelitian tentang permintaan energi sektor rumah tangga ini
juga pernah dilakukan oleh Baskara (2006) 4 , yang menyimpulk an bahwa: •
Selama periode pengamatan rentang waktu 1988-2004, elastisitas harga LPG, minyak tanah dan listrik adalah negatif. Hal ini menggamba rkan bahwa ketiganya merupakan barang normal.
•
Secara
umum,
selama
periode
1988-2004
LPG
merupakan
substitusi bagi minyak tanah. Sebaliknya, minyak tanah merupakan komplemen bagi LPG. •
LPG dan listrik masih tetap kelompok barang mewah dengan elastisitas pendapatan lebih besar dari satu, sedangkan minyak
4
www.ugm.ac.i d
25
tanah
menjadi
barang
inferior dengan
elastisitas pendapatan
negatif dalam rentang waktu 2005-2010. Penelitian tentang elastisitas silang dari berbagai sumber energi dengan menggunakan data perkembangan konsumsi dan harga dari sumber-sumber energi komersial (LPG, minyak tanah, gas dan listrik) juga pernah dilakukan oleh Hirman Effendi dkk (1987). Dari hasil penelitian tersebut disimpulkan bahwa : •
LPG dapat mensubstitusi minyak tanah.
•
Usaha pensubstitusian minyak tanah oleh
LPG dapat dicapai
dengan menaikkan harga minyak tanah sampai pada taraf tertentu. •
Pemerintah
harus
meningkatkan
penyediaan
LPG
sampai
ke
daerah-daerah beserta peralatannya. Faktor lain yang menunjang substitusi minyak tanah oleh LPG adalah efisiensi. LPG lebih efisien daripada minyak tanah baik untuk penerangan maupun memasak. •
Elastisitas gas kota terhadap minyak tanah bernilai negatif, hal ini berarti b9hwa jika ada kenaikan harga minyak tanah, konsumen minyak tanah tidak memilih gas kota, tetapi memilih sumbersumber energi yang lain.
•
Koefisien elastisitas silang antara LPG dan listrik bernilai negatif.
2.4 Elastisitas Supply dan Demand Elastisitas menggambarkan sensitivitas sebagai respon suatu variabel
terhadap
variabel
lainnya
yang
dinyatakan
dengan
rasio
persentase perubahan suatu variabel terhadap persentase perubahan suatu variabel lainnya dimana faktor-faktor lain berada dalam keadaan konstan (Pindyck, 2001). Bentuk persamaan elastisitas dapat ditulis sebagai berikut:
26
EQP. =
,,
~Q/Q ~;IP;
.
; d1mana Pi, Y = konstan
Respon tingkat permintaan akibat perubahan pendapatan atau perubahan harga dapat dilihat dari elastisitas permintaan, yang dapat diturunkan dari fungsi permintaan terhadap pendapatan atau harga. Dalam ilmu ekonomi, elastisitas permintaan atau price elasticity of demand (PED) adalah ukuran kepekaan perubahan jumlah permintaan
barang terhadap perubahan harga. Elastisitas permintaan mengukur seberapa besar kepekaan perubahan jumlah permintaan barang terhadap perubahan harga. Ketika harga sebuah barang turun, jumlah permintaan terhadap barang tersebut biasanya naik, semakin rendah harganya, semakin banyak benda itu dibeli. Elastisitas
permintaan
ditunjukkan
dengan
rasio
persen
perubahan jumlah permintaan dan persen perubahan harga. Ketika elastisitas permintaan suatu barang menunjukkan nilai lebih dari 1, maka permintaan terhadap barang tersebut dikatakan elastis di mana besarnya jumlah barang yang diminta sangat dipengaruhi oleh besar-kecilnya harga. Sementara itu, barang dengan nilai elastisitas kurang dari 1 disebut barang inelastis, yang berarti pengaruh besar kecilnya harga terhadap jumlah permintaan tidak terlalu besar. Elastisitas suatu barang dibagi menjadi beberapa kelompok seperti ditunjukkan pada Tabel 2.2.
Tabel 2.2 Nilai Elastisitas I In= 0
Koefisien
II
Elastisitas
I
JIInelastis sempurna
I
lo < n < 1
IIInelastis
[n = 1
IIEiastis uniter
I
[1 < n < oo [n = oo
IIEiastis JIEiastis sempurna
I
J I
27
Untuk barang-barang normal, penurunan harga akan berakibat pada
peningkatan jumlah
permintaan.
Permintaan terhadap sebuah
barang dapat dikatakan inelastis bila jumlah barang yang diminta tidak dipengaruhi oleh perubahan harga. Barang dan jasa yang tidak memiliki subtitusi biasanya tergolong inelastis. Permintaan terhadap antibiotik, misalnya, dikatakan sebagai permintaan inelastis karena tidak ada barang lain yang dapat menggantikannya. Daripada mati terinfeksi bakteri, pasien
biasanya
lebih
memilih
untuk membeli obat ini
berapapun
biayanya. Sementara itu, semakin banyak sebuah barang memiliki barang substitusi, semakin elastis barang tersebut. Meskipun
permintaan
inelastis
sering
diasosiasikan
dengan
barang 11 kebutuhan, II ban yak juga barang yang bersifat inelastis meskipun konsumen
mung kin
tidak
llmembutuhkannya. 11
Permintaan
terhadap
garam, misalnya, menjadi permintaan inelastis bukan karena konsumen sangat membutuhkannya,
melainkan karena
harganya
yang
sangat
murah.
Demand adalah demand schedule yang merupakan list reporting kuantitas yang diinginkan terhadap har.ga yang ditawarkan di pasar pada; suatu waktu. demand/kurva
Demand schedule dapat digambarkan menjadi kurva permintaan
(demand
curve).
Kurva
demand
dapat
dihasilkan melalui pengujian dua hipotesa, yaitu besarnya harga yang dapat dibayar oleh konsumen jika kuantitas suatu komoditi dipasar adalah given dan besarnya kuantitas yang dibeli konsumen jika harga suatu komoditi dipasar adalah given.
Demand dikatakan
berubah jika
kurva
demand
mengalami
pergeseran (shifting). Jadi bila yang berubah adalah faktor-faktor non harga,
maka
kurva
permintaan
akan
bergeser
(shifting),
seperti
ditunjukkan pada Gambar 2.1. berikut.
28
Pergeseran Sepanjang Kurva Permintaan p
D1 E
DE2
DE3 Q
Gambar 2.1 Pergeseran Kurva Permintaan Demand dikatakan tidak berubah jika kuantitas demand hanya bergerak
(moving)
disepanjang
kurva
demand
akibat
sensitivitas
(elastisitas) terhadap harga. Jadi yang berubah hanya faktor harga komoditas tersebut saja, sedang yang lain pada kondisi ceteris paribus, seperti ditunjukkan oleh Gambar 2.2. Sensitivitas yang dimaksud ini ialah besarnya persentase perubahan kuantitas yang diinginkan terhadap persentase perubahan harga pada saat faktor lain dalam keadaan konstan. Perubahan demand schedule bergantung pada jumlah substitution dan income effect. Substitution effect ialah perubahan konsumsi terhadap suatu barang akibat perubahan harga barang tersebut, dengan tujuan mempertahankan
consumer
utility
level
seperti
semula,
sehingga
melakukan substitusi barang tersebut dengan barang lainnya, dimana semua harga-harga barang lainnya dan real income dalam keadaan konstan. Sedangkan income effect ialah perubahan demand (shifting) sebagai akibat perubahan real income, dimana semua harga-harga dalam keadaan konstan (Griffin, 1986).
29
Pergerakan Sepanjang Kurva Permintaan p
p
1
·r·-------- ... •
.
p2
- - - - - - - - ... - - -: - ... - - ... ... •
:~ E
L-----------~------------------C
Gambar 2.2 Pergerakan Sepanjang Kurva Permintaan Bila diperhatikan, permintaan energi sangat unik. Sebagai salah satu faktor produksi, permintaan energi merupakan permintaan turunan (derived demand), yaitu permintaan yang besarnya ditentukan oleh permintaan barang/jasa lain. Energi merupakan suatu komoditi yang mengikuti law of demand, yaitu pada kondisi ceteris paribus, jika kondisi harga suatu komoditi semakin menurun, maka kuantitas yang diinginkan semakin besar. Peningkatan konsumsi energi terjadi akibat pertumbuhan jumlah penduduk dan peningkatan jumlah output. Energi merupakan barang inferior berdasarkan efisiensi konversi energi sehingga meningkatnya income konsumen pada saat harga-harga energi konstan maka konsumen akan beralih mengkonsumsi energi yang mempunyai efisiensi yang lebih besar. Seperti halnya demand maka supply pun merupakan list reporting kuantitas yang diproduksi terhadap harga yang diinginkan di pasar pada suatu waktu. Supply schedule dapat digambarkan menjadi kurva supply.
30
supply suatu komoditi secara tepat dapat diketahui pada saat kondisi ceteris paribus, yaitu supply hanya dipengaruhi oleh harga dan kuantitas komoditi tersebut, tidak dipengaruhi oleh faktor-faktor lain (kondisi faktor-faktor lain konstan). Kurva supply dapat dihasilkan melalui pengujian dua hipotesa, yaitu besarnya harga yang diinginkan produsen jika kuantitas suatu komoditi dipasar adalah given dan besarnya kuantitas yang diproduksi jika harga suatu komoditi dipasar adalah given. Jika terjadi peningkatan
demand maka produsen membutuhkan sejumlah waktu tertentu untuk melakukan penambahan supply.
Supply
dikatakan
berubah
jika
kurva
supply
mengalami
pergeseran (shifting). Supply dikatakan tidak berubah jika kuantitas
supply hanya
bergerak (moving)
disepanjang
kurva
supply akibat
sensitifitas ( elastisitas) terhadap harga. Sensitifitas yang dimaksud ini ialah besarnya persentase perubahan kuantitas yang diinginkan terhadap persentase perubahan harga.
2.4.1 Elastisitas Harga (Own Price Elasticity) Sensitivitas suatu komoditi terhadap harga komoditi itu sendiri disebut own price elasticity. Elastisitas harga sendiri (own price elasticity) merupakan hasil penurunan fungsi permintaan terhadap harga komoditas itu sendiri, yang menunjukkan respon permintaan konsumen terhadap komoditas sebagai akibat terjadinya perubahan harga komoditas itu sendiri. Atau dengan kata lain elastisitas harga mengukur berapa persen permintaan terhadap suatu barang berubah bila harganya berubah sebesar satu persen (Rahardja, 2004). Angka elastisitas bernilai negatif. Semakin besar nilai negatifnya, semakin elastis permintaannya, sebab perubahan permintaan jauh lebih besar dibandingkan perubahan harga.
31
Kohler
Menurut
tiga
ketersediaan
pertama
yaitu
elastisitas
ada
(1992)
menentukan
yang
faktor
substitusi
barang
akan
mempengaruhi besarnya own price elasticity. Komoditi yang mempunyai banyak close substitute relatif akan mempunyai own price elasticity yang lebih besar jika dibandingkan dengan komoditi yang memiliki substitusi lebih sedikit. Kedua,
besarnya
anggaran
konsumen.
konsumen
Respon
terhadap perubahan harga cenderung lebih tinggi terhadap komoditi yang dianggap
'penting'
sehingga
mendapatkan
prioritas
utama
dalam
anggaran, dan prioritas yang lebih rendah terhadap komoditi 'kurang penting'. Ketiga, jangka waktu, dimana respon konsumen terhadap harga besar
cenderung
lebih
banyaknya
barang
pada
substitusi
panjang,
jangka yang
muncul
hal
pada
ini
disebabkan
jangka
panjang.
Sedangkan dalam jangka pendek respon konsumen terhadap harga cenderung lebih kecil. Jadi konsumen akan merespon berapapun perubahan harga yang terjadi pada suatu komoditi.
Ada beberapa faktor yang menentukan \
elastisita harga : • Tingkat substitusi. Semakin sulit mencari substitusi suatu barang, permintaan makin inelastis. • Jumlah pemakai. Semakin banyak jumlah pemakai, permintaan akan suatu barang makin inelastis. • Proporsi kenaikan harga terhadap pendapatan konsumen. Bila proporsi tersebut
besar,
maka
permintaan
cenderung
lebih
elastis. • Jangka waktu. Jangka waktu permintaan atas suatu barang juga berpengaruh terhadap elastisitas harga.
32
2 .4.2 Elastisitas Pendapatan (Income Elasticity) Elastisitas pendapatan merupakan suatu ukuran kepekaan dari kuantitas yang diminta terhadap perubahan harga, sedangkan faktor lain pada kondisi ceteris paribus. Menurut Arsyad (2000) dalam Hutabarat -'
(2007), pendapatan dan jumlah produk yang dibeli biasanya bergerak dengan arah yang sama. Artinya, semakin besar jumlah pendapatan, maka produk yang dibeli semakin bertambah. Menurut Arief (1999) jika nilai dari elastisitas pendapatan positif artinya barang tersebut merupakan barang normal, sedangkan jika elastisitas pendapatan tersebut tinggi sekali maka barang tersebut merupakan barang mewah dan sebaliknya jika nilainya rendah sekali maka barang tersebut termasuk barang kebutuhan pokok. Sedangkan jika elastisitas pendapatan negatif, maka termasuk barang inferior. Jadi
elastisitas demand terhadap
income
akan
positif jika
komoditi tersebut merupakan barang normal (normal goods) dan negatif jika komoditi tersebut merupakan barang inferior (inferior goods). Dalam ilmu ekonomi, barang normal adalah semua barang yang permintaannya
akan
bertambah
ketika
pendapatan
masyarakat
bertambah (yang juga berarti bahwa barang tersebut memiliki elastisitas permintaan positif). Istilah normal tidak merujuk pada kualitas barang tersebut. Menurut kurfa indifferen, jumlah permintaan suatu barang bisa bertambah,
berkurang,
atau
tetap
ketika
pendapatan
masyarakat
bertambah. Hal tersebut seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.3. Dijelaskan dalam gambar tersebut bahwa barang Y adalah barang normal karena jumlah barang yang diminta meningkat dari Yl ke Y2 seiring dengan kenaikan pendapatan (BCl ke BC2). Barang X adalah barang inferior karena jumlah barang yang dlminta turun dari Xl ke X2 ketika pendapatan masyarakat bertambah.
33
Good X
Y2
Yl
Gambar 2.3
C~t:x"Xl
y
Kurva Indifferen untuk barang normal dan barang inferior
Barang inferior adalah barang yang jumlah permintaannya akan turun seiring dengan peningkatan pendapatan masyarakat. Salah satu contoh barang inferior adalah singkong. Ketika tingkat pendapatan masyarakat rendah, tingkat permintaan terhadap barang tersebut akan tinggi.
permintaan
tingkat
ketika
Namun atas
barang
pendapat
tersebut
akan
masyarakat
meningkat,
karena
masyarakat
turun
meninggalkannya dan memilih untuk membeli makanan yang lebih berkualitas meskipun dengan harga yang lebih mahal. Barang permintaannya meningkat,
superior (Qd)
barang
naik ini
adalah hanya
barang-barang apabila
termasuk tipe
yang
pendapatan
barang
normal
jumlah
masyarakat dalam
teori
konsumen. Elastisitas pendapatan dari barang superior adalah lebih dari satu. Barang superior biasanya berupa barang- barang mewah, yang memang hanya ditujukan untuk masyarakat ekonomi kelas atas. Karena harganya yang sangat tinggi membuat barang superior hanya mampu dikonsumsi oleh masyarakat berpendapatan tinggi.
34
2.4.3 Elastisitas Silang (Cross-Price Elasticity) Elastisitas silang (cross price elasticity) merupakan sensitivitas suatu
komoditi
mensubstitusinya.
terhadap Atau
harga
dengan
komoditi
kata
lain
lain cross
yang price
dapat elasticity
menunjukkan respon permintaan konsumen terhadap komoditas sebagai akibat terjadinya perubahan harga komoditas lain. Komoditi
yang
saling
mensubstitusi mempunyai
cross price
elasticity positif dan negatif bila merupakan komoditi komplemen. Jika
permintaan terhadap barang Pi dan harga barang Pj bergerak dalam arah yang sama maka nilai elastisitas silang bernilai positif atau merupakan barang yang dapat saling dipergantikan (substitusi). Semakin tinggi nilai elastisitas
silang
antara
dua
komoditi
maka
semakin
tinggi
pula
arah
yang
persaingan antara keduanya. Sedangkan
bila
kedua
barang
bergerak
pada
berlawanan, atau memiliki nilai elastisitas yang negatif, maka barang tersebut dinamakan barang komplemen.
2.5 Aplikasi Konsep Elastisitas Energi Sebagai bilangan yang menunjukkan tingkat sensitivitas suatu barang dikaitkan dengan variabel-variabel yang mempengaruhinya, maka aplikasinya sangat luas, khususnya dalam kebijaksanaan penentuan harga. Manusia diasumsikan sebagai makhluk rasional, dimana manusia akan merespon insentif ekonomi dan keputusan yang dibuat didasarkan pada analisis marjinal, maka dinamika perkembangan konsumsi energi dapat diperkirakan dengan menganalisa perubahan variabel-variabel yang dianggap mempengaruhi konsumsi energi. Ketika terjadi kenaikan harga terhadap suatu jenis energi, maka dapat diperkirakan bagaimana dampaknya terhadap jumlah energi yang dikonsumsi. Begitu pula bila terjadi perubahan terhadap pendapatan,
35
dapat diperkirakan dampaknya pada penggunaan energi. Bila energi tersebut merupakan energi normal, maka peningkatan pendapatan akan meningkatkan jumlah
energi
yang
dikonsumsi.
Namun
bila
energi
tersebut merupakan energi inferior maka peningkatan pendapatan akan menurunkan konsumsi energi tersebut. Kenaikan harga suatu energi dapat juga diperkirakan bagaimana dampaknya terhadap penggunaan energi lain. Hal ini terkait erat pada hubungan antara keduanya, saling menggantikan (substitusi) atau saling melengkapi (komplemen).
2.6 LPG Sebagai Sumber Energi Pengganti BBM Substitusi suatu komoditi dengan komoditi lain dipengaruhi oleh banyak faktor. Begitu pula halnya dengan peralihan dari BBM dalam hal ini minyak tanah tentunya juga sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti yang telah disebutkan di atas, diantaranya adalah faktor harga, dengan harga dalam hal ini harga keekonomian LPG yang semakin murah dibandingkan dengan harga minyak tanah tentunya menjadi salah satu \
penyebab konsumen rumah tangga berpindah (switching) dari yang sebelumnya menggunakan minyak tanah, untuk selanjutnya beralih menggunakan LPG untuk memasak. Secara sederhana dapat dijelaskan dengan menggunakan Gambar 2.4. Gambar 2.4 menunjukkan bahwa kurva indifference U yang menggambarkan
tingkat
kesejahteraan
masyarakat
dengan
mengkombinasi konsumsi LPG dan BBM. Pada rasio awal (r 1 ), kombinasi konsumsi LPG sebanyak B1 dan BBM sebanyak M1 • Jika harga BBM menjadi lebih murah yang ditunjukkan oleh garis rasio yang semakin landai (r2 dan r
3 ),
maka untuk mencapai tingkat kepuasan yang sama,
masyarakat akan menambah konsumsi BBM dan mengurangi LPG.
36
Perubahan Harga dan Perilaku Subsitusi BBM
M
2
----
.
M3 .............. -: ......... -: ...............
Gambar 2.4 Perubahan Harga dan Perilaku Substitusi Karena tingkat kepuasan yang ingin dijangkau sama sementara yang berubah adalah rasio harga, maka garis anggaran (budget line) L1 , L2, dan L3 adalah sama besar. Sehingga akibat perubahan harga maka porsi anggaran yang disediakan untuk LPG menjadi lebih kecil. Untuk itu sekali lagi harga komoditi suatu energi sangat menentukan terjadinya switching energi, sebab masyarakat tentunya akan
mencari energi
alternatif yang harganya terjangkau oleh mereka untuk dapat mencapai tingkat kepuasan yang optimal.
2.7 Konsumsi Energi oleh Konsumen Rumah Tangga Yang dimaksud dengan konsumsi energi rumah tangga adalah seluruh konsumsi energi untuk keperluan rumah tangga tidak termasuk konsumsi untuk kendaraan pribadi. Konsumsi untuk kendaraan pribadi dimasukkan kedalam kelompok penggunaan oleh sektor transportasi. Pada dasarnya konsumen rumah tangga sangat selektif dalam memilih sumber energi yang akan digunakan. Banyak faktor yang
37
mempengaruhi konsumen rumah tangga dalam menentukan jenis energi yang dipakai. Energi yang memiliki efisiensi paling besar menjadi plihan pertama bagi konsumen. Pada rumah tangga, maka yang menentukan efisiensi energi tersebut adalah jenis bahan bakar dan kinerja peralatan yang digunakan. Hal ini seperti dikemukakan oleh Dzioubinski dan Ralph Chipman (1999) dalam penelitiannya bahwa faktor-faktor yang menentukan energy demand rumah tangga di negara berkembang adalah: a. Disposable income rumah tangga b. Harga bahan bakar dan peralatannya c. Ketersediaan bahan bakar dan peralatannya d. Kebutuhan pokok e. Kebudayaan Sehingga berfluktuasi dan bervariasinya energi yang digunakan oleh
rumah
tangga
sangat
dipengaruhi
oleh
tingkat
kebiasaan,
ketersediaan jenis energi dan yang sangat menentukan adalah tingkat pendapatan rumah tangga tersebut. Jadi wajar bila konsumen rumah tangga sangat selektif dalam memilih sumber energi yang akan mereka pakai, hal ini juga tidak terlepas dari tingkat pendapatan yang mereka miliki. Sehingga wajar rasanya bila perubahan harga energi merupakan hal yang sangat sensitif bagi masyarakat terutama bagi kelompok masyarakat berpendapatan rendah. Selama ini penggunaan minyak tanah dan kayu bakar sebagai sumber energi untuk memasak pada konsumen rumah tangga terlebih pada konsumen rumah tangga berpendapatan rendah sangatlah tinggi dibandingkan dengan konsumsi energi lain. Pada tahun 2000 konsumsi minyak tanah sebesar 50.094.878 SBM, sedangkan konsumsi kayu bakar sebesar 202.015.388 SBM. Fenomena ini menjadi menarik sebab ternyata pemakai
rata-rata
perkapita
tertinggi
untuk
minyak
tanah
adalah
38
kelompok penduduk dengan kategori 20 persen penduduk terkaya dengan pemakaian sebesar 55,16 liter pada tahun 1999 (Hidayat, 2003). Masih menurut Hidayat, ada beberapa faktor yang menyebabkan pola konsumsi pada sektor rumah tangga lebih terkonsentrasi pada minyak tanah dan k~yu bakar. Seperti telah disebutkan di atas bahwa hal ini dapat terjadi karena pertama faktor harga. Minyak tanah dan kayu bakar merupakan energi yang harganya relatif lebih murah dibandingkan dengan energi tertentu lain yang digunakan untuk keperluan yang sama. Hal ini tentunya tidak terlepas oleh adanya harga subsidi dari pemerintah. Hingga tahun 2000, harga minyak sekitar Rp 350 perliternya, padahal bila dperhatikan biaya produksi untuk menghasilkannya, idealnya kurang lebih Rp 2350 perliter. Jadi ada subsidi sebesar Rp 2000 perliternya (Warta, 2001). Kedua, faktor pendapatan. Sebagian besar rumah tangga di Indonesia
merupakan
kategori
rumah
tangga
dengan
pendapatan
menengah dan rendah. Sehingga energi yang dapat dijangkau oleh mereka adalah minyak tanah dan kayu bakar. Ketiga, fakto.r geografis. Tingginya pemakaian, kayu bakar juga berkaitan
erat
dengan
lokasi
penduduk/rumah
berpendapatan rendah/di bawah garis kemiskinan
tangga
yang
berada. Sebagian
besar yakni 25,2 juta jiwa (67,6 persen) berada di pedesaan, sedangkan 12,1 juta jiwa (22,4 persen) berada di perkotaan. Bagi penduduk miskin yang tinggal di perkotaan, minyak tanah tetap menjadi energi utama yang mereka gunakan karena sulit untuk mendapatkan
kayu
bakar.
Bagi
penduduk
miskin
yang
tinggal
di
pedesaan, kayu bakar menjadi sumber energi alternatif bagi mereka sebab komoditi tersebut dapat dengan mudah diperoleh. Keempat, alasan kepraktisan.
Masyarakat telah begitu lama
menggunakan minyak tanah dan kayu bakar yang mereka anggap lebih prakstis dibandingkan energi alternatif lain.
39
Kelima, kurangnya sosialisasi pemanfaatan energi non minyak. Program pemanfaatan beragam energi yang dicanangkan pemerintah ternyata belum banyak diketahui oleh masyarakat luas. Hal ini juga menjadi salah satu penyebab keengganan masyarakat untuk beralih ke energi lain. Selain faktor-faktor di atas ternyata perubahan harga terhadap suatu
berpendapatan pendapatan
sangat berdampak pada
akan
energi
karena
rendah/miskin, rendah
yang
tentunya
kelompok masyarakat
mereka
dengan
tingkat
kemampuan
mereka
untuk
bagi
mengkonsumsi energi terutama untuk memasak sangat rendah terlebih lagi bila terjadi kenaikan harga terhadap jenis energi yang sering mereka gunakan. Namun
seiring
dengan
peningkatan
disposable income dan
perubahan gaya hidup, rumah tangga cenderung meninggalkan energi yang menurut mereka kurang baik (misalnya biomass) dan menggantinya dengan
energi
yang
lebih
baik walaupun
harganya
sedikit
mahal
(misalnya minyak tanah, LPG, listrik). Untuk
itu
ketersediaan/cadangan
suatu
energi
kadangkala
menjadi salah satu pertimbangan konsumen ketika menggunakan energi tersebut. Dengan ketersediaan yang cukup rumah tangga tidak perlu melakukan pembelian cadangan energi tersebut dalam jumlah besar demi mengatasi kelangkaan. Menurut analisa UNDP/World Bank Energy Sector Management Assistance Programme (2003) dalam Tampubolon (2006 ), pemilihan bahan bakar oleh rumah tangga dilakukan melalui beberapa tahapan yang disebut energy ladder model. Dalam model "energy
ladder'~
transisi energi akan berlangsung
dari tahapan pertama yaitu tahap tradisional dimana rumah tangga menggantungkan nasibnya pada energi biomass yang berada di alam sekitarnya seperti kayu bakar dan sisa panen.
40
Selanjutnya tahapan kedua rumah tangga mengkonsumsi bahan bakar transisi (intermediate)
seperti minyak tanah, briket batubara dan
arang. Sedangkan pada tahapan ketiga yakni pada saat income rumah tangga mencukupi, maka rumah tangga akan beralih ke energi yang bersih dan efisien
s~perti
LPG, gas kota, atau listrik.
Energy ladder model memperlihatkan bahwa
rumah tangga
sangat bergantung pada besarnya income dalam memilih bahan bakar sehingga besarnya income sangat signifikan dalam pemilihan bahan bakar. Konsumen rumah tangga tentunya akan memilih bahan bakar yang sesuai dengan income yang mereka peroleh. Bahan bakar dengan harga terlalu tinggi tentu bukan merupakan pilihan yang layak mereka konsumsi. Menurut model ini, rumah tangga akan beralih menggunakan energi
lebih
modern
sejalan
dengan
meningkatnya
pendapatan.
Household energy ladder ditunjukkan pada Gambar 2.5.
Lingkungan
Transisi
Batubara
Bersih dan efisien
Minyak tanah
Gas kota
Sumber: UNDP, dalam Tampubolon (2006)
Gambar 2.5 Household Energy Ladder Model
41
BAB Ill METODOLOGI PENELITIAN
Studi yang dilakukan dalam penelitian ini adalah studi empiris dengan menggunakan data sekunder. Untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaan dan permasalahan yang terdapat dalam penelitian ini maka akan
dicoba
pendekatan
dengan
pendekatan
ekonometrika
ekonometrika.
Dimana
melalui
ini diharapkan nantinya dapat menjawab
beberapa pertanyaan yang telah dikemukakan sebelumnya sebab pada dasarnya pendekatan ekonometrika dapat memberikan besar dan arah hubungan antara variabel-variabel yang diteliti.
3.1 Metode Analisis Permintaan rumah tangga terhadap energi (Q) tergantung dari harga energi tersebut ( P;), harga energi lain ( ~) yang dapat digunakan sebagai pengganti (substitusi) dan pendapatan rumah tangga (Y). Model
demand energi rumah tangga yang digunakpn adalah: (a)
Kemudian model tersebut dilinierkan dengan mentransformasikan ke dalam bentuk logaritma natural, sehingga didapat persamaan:
Dimana: : kuantitas energi yang dikonsumsi (SBM)
r
: harga energi tersebut (Rp/SBM)
pi
: harga energi lain (Rp/SBM)
I
I
: income/pendapatan (Rp)
42
pj pj pY
elastisitas harga energi tersebut elastisitas harga energi lain elastisitas pendapatan
p
: gal at (error)
t
:
waktu Untuk melihat pengaruh
secara
konsumsi
spesifik terhadap
pendapatan dan harga energi tersebut serta harga energi lain yang dapat maka
mensubstitusinya,
kuantitas
yang
diamati
dijadikan
sebagai
variabel terikat pada model. Untuk melihat konsumsi LPG akibat adanya kenaikan harga minyak tanah dan perubahan
pendapatan maka persamaan
model
menjadi :
LnQLPG =Po+ A In P,LPG + P2 ln P,MT + P3 ln PDRB, + f.l
untuk
Sedangkan
melihat
perilaku
demand
(Model I)
minyak
tanah
terhadap perubahan pendapatan, h(\rga energi dan munculnya supply energi alternatif LPG maka dibuat model sebagai berikut :
own price elasticity of demand (c) dan cross price
Persamaan
elasticity of demand (d) adalah sebagai berikut :
E. = dIn Qi = ' d In Pi
.
c
/3, ( )
E .. = dIn Qi = f3. (d) 1 dIn Pj I)
43
Penelitian ini juga melihat bagaimana konsumsi LPG dan minyak tanah pada masyara kat berpendapatan rendah (miskin) . Persamaan yang digunakan untuk melihat demand LPG dan minyak tanah pada kelompok miskin tersebu t sama seperti persamaan demand LPG dan minyak tanah di atas, hanya saja variabel PDRB diganti dengan Income Kelompok Miskin (IKM). Sehingga persamaan demand LPG pada kelompo k miskin adalah sebagai berikut :
LnQ,
LPG
= f3o +A ln P,
LPG
+ {32 ln P, Mr + {33 ln IKM, + p,
(Model Ill}
Sedangkan persamaan demand minyak tanah pada kelompo k miskin adalah:
LnQ,Mr = f3o +A ln P,LPG + /32 In P,Mr + {33 In IKM, + p
(Model IV)
Pada persamaan demand LPG dan minyak tanah pada kelompok miskin, karena keterbatasan series data yang diamati (::530 observasi), juga karena konsumsi LPG pada konsumen kelompo k miskin dibawah I
tahun 1993 bernilai nol dan tidak dapat di ln-kan, maka digCmakan interpolasi linier data, dari data tahunan diubah menjadi data kuartal. Maksud interpola si linier data adalah mengisi kekosongan data dengan metoda tertentu dari suatu kumpula n data untuk menghasilkan sebaran yang kontinyu (Hartan to, 2006). Atau dengan kata lain interpolasi linier adalah menent ukan titik antara dari 2 buah titik dengan menggunakan garis lurus. Persamaan garis lurus yang melalui 2 titik P1(x1,Yl) dan P2Cx2,Y2) dapat ditulis dengan:
v-v,
= x-x,
44
Sehingga diperoleh persamaan dari interpolasi tinier sebagai berikut :
Interpolasi tinier data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan
software Microsoft'Office Excell 2003. 3.2 Data dan Sumber Data Data yang dipakai dalam penelitian ini merupakan data sekunder, maksudnya
adalah
data
dari
diperoleh
yang
hasil
publikasi
yang
diterbitkan oleh Biro Pusat Statistik Indonesia (BPS), Pusat Data dan Informasi Energi dan Sumber Daya Mineral, Dirjen Migas Departemen ESDM, PT. PERTAMINA dan institusi-institusi yang berkaitan dengan bahan bakar minyak dan energi. Dari data sekunder akan dilihat bagaimana permintaan energi rumah tangga di Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa
Timur.
Provinsi-provinsi
ini
diambil
sebagai
sampel
karena
mempunyai jumlah penduduk yang relatif besar di Indonesia sehingga dapat
dijadikan
sebagai
representatif
permintaan
energi
secara
keseluruhan (nasional). Selain itu pula kayu bakar sebagai pengganti minyak tanah relatif lebih sulit untuk didapat di Pulau Jawa, maka daerah yang dijadikan sampel adalah Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Data harga energi yang digunakan dalam penelitian ini adalah data tahunan (1993-2003), dengan tahun dasar 1993 (1993 = konstan),
income rumah tangga yang digunakan adalah data PDRB masing-masing Provinsi yang menjadi sampel dalam penelitian ini. Satuan jumlah energi per unit terlebih dahulu dikonversi kedalam SBM (Setara Barel Minyak) dan harga energi kedalam Rp/SBM.
45
Data yang dipergunakan dalam penelitian ini meliputi: 1. Harga dan konsumsi beberapa energi dalam kurun waktu 1993-2003. harga
Oimana
masing-masing
energi
yang
dipergunakan
telah
dikonversikan dalam satuan yang sama yaitu SBM (Setara Barel Minyak), dan dihitung berdasarkan harga konstan 1993. 2. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) masing-masing provinsi yang sebagai
dijadikan
sampel
penelitian
selama
tahun
1993-2003.
Sedangkan Income Kelompok Miskin (IKM), merupakan income per kapita dimana diasumsikan berada pada garis kemiskinan dikalikan dengan jumlah penduduk miskin setiap tahunnya sehingga didapat agregat income pertahun. Pengolahan data menggunakan perangkat lunak Microsoft Office Excell 2003, sedangkan untuk regresi digunakan perangkat lunak Eviews 4. Hasil penelitian secara detail dapat dilihat pada Lampiran. Sedangkan kerangka pemikiran model penelitian dapat dilihat pada Gambar 3.1 di akhir bab ini.
3.3 Identifikasi Variabel Variabel yang digunakan di dalam penelitian ini terdiri dari beberapa varia bel yaitu: QLPG
Permintaan LPG
Q Mr
Permintaan minyak tanah
PMr
Harga minyak tanah
pLPG
Harga LPG
PDRB
Produk Domestik Regional Bruto
IKM
Income Kelompok Miskin Penelitian ini menggunakan data panel untuk melihat pengaruh
demand permintaan LPG dan minyak tanah di Provinsi DKI Jakarta, Jawa
46
Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sedangkan demand permintaan LPG dan minyak tanah terhadap kelompok berpendapatan rendah (miskin) menggunakan data deret waktu (time series), yaitu dimulai dari kuartal pertama tahun 1993 sampai dengan kuartal keempat tahun 2003.
3.4 Data Panel Menurut Nachrowi (2006), yang dimaksud dengan data panel adalah data dari beberapa individu yang dikumpulkan dari waktu ke waktu. Atau dengan kata lain data panel merupakan gabungan dari data cross section dan data time series. Karena data panel merupakan gabungan dari data cross section dan data time series, jumlah pengamatan menjadi sangat banyak dan ini merupakan keuntungan (data banyak) tetapi model yang menggunakan data ini menjadi lebih kompleks (parameternya banyak). Mengingat data panel merupakan gabungan dari data cross section dan data time series, maka modelnya dituliskan dengan : Yit
=
a+
{JXit
+
&it
i = 1, 2, .... N
t = 1, 2, .... T
\
Dimana: N
= banyaknya observasi
T
= banyaknya waktu
NxT
= banyaknya data panel
Selain harus memenuhi asumsi klasik seperti non otokorelasi, non heteroskedastisitas dan non multikolinearitas, terdapat beberapa asumsi tambahan untuk model regresi data panel. Asumsi tersebut adalah : 1. Tidak ada hubungan antar individu i 2. a i dan 3.
&it
& it
bersifat independen
tidak berkorelasi dengan
Xit.
Jika semua asumsi tersebut terpenuhi maka metode OLS dapat digunakan untuk data panel yang disebut dengan pooled estimation
47
dimana asumsi intercept dan slope yang konstan mungkin tidak masuk akal. Sehingga sebagai alternatif terdapat beberapa metode yang dapat dilakukan antara lain metode Fixed Effect (FE) dan Random Effect (RE). Dalam membuat pilihan alternatif antara Fixed Effect dan Random Effect harus diguRakan uji lebih lanjut. Jika asumsi Random Effect dan Fixed Effect tetap digunakan, maka parameter yang dihasilkan tetap konsisten akan tetapi tidak lagi efisien. Cara yang paling mudah dilakukan untuk membedakan antara penggunaan Fixed Effect (FE) dan Random Effect (RE) terletak pada data yang digunakan. Bila data merupakan random sample dari suatu populasi dan yang diteliti adalah populasi maka Random Effect (RE) lebih cocok digunakan. Bila data terdiri dari populasi dan yang diteliti ada pada tingkat individu (cross sectional units) maka sebaiknya digunakan Fixed Effect (FE). Unsur lain dari pemilihan antara FE dan RE terletak pada asumsi tidak berkorelasi dengan
&it
Xit·
Atau untuk pemilihan model yang tepat pada data panel juga dapat dilakukan dengan beberapa teknik yang ditawarkan, yaitu : 1. Ordinary Least Square (OLS)
Teknik ini sama dengan membuat regresi dengan data cross section atau time series, namun untuk data panel kita harus menggabungkan data cross section dengan data time series (pool data).
Kemudian data gabungan ini diperlakukan sebagai satu
kesatuan pengamatan yang digunakan untuk mengestimasi model dengan metode OLS. 2. Model Efek Tetap (Fixed Effect) Adanya
variabel-variabel
yang
tidak semuanya
masuk dalam
persamaan model memungkinkan adanya intercept yang tidak konstan. Atau dengan kata lain, intercept ini mungkin berubah
48
untuk setiap individu dan waktu. Pemikiran inilah yang menjadi dasar pemikiran pembentukan model tersebut.
3. Model Efek Random (Random Effect) Bila pada Model Efek Tetap, perbedaan antar individu dan antar waktu diceJrminkan lewat intercept, maka maka pad Model Efek Random, perbedaan tersebut diakomodasi lewat error. Teknik ini juga
memperhitungkan
bahwa
error
mungkin
berkorelasi
sepanjang time series dan cross section. Pemilihan Metode Efek Tetap (MET) atau Metode Efek Random (MER) dapat dilakukan dengan pertimbangan tujuan
analisis,
atau
berdasarkan data yang digunakan sebagai dasar pembuatan model hanya dapat digunakan salah satu metode saja. Pertimbangan itu menyebutkan bahwa MER mempunyai parameter lebih sedikit;
akibatnya derajat
bebasnya lebih besar, dibandingkan MET yang mempunyai parameter lebih banyak sehingga derajat bebasnya lebih kecil. MET juga dapat membedakan efek individual dan efek waktu, juga tidak perlu mengasumsikan bahwa komponen error tidak berkorelasi dengan variabel bebas yang mungkin sulit dipenuhi. Namun beberapa ahli ekonometri membuktikan secara matematis bahwa : •
Jika data panel yang dimiliki mempunyai jumlah waktu (T) lebih besar dibandingkan jumlah individu (N) maka disarankan untuk menggunakan MET. T > N-+ gunakan MET
•
Jika data panel yang dimiliki mempunyai jumlah waktu (T) lebih kecil dibandingkan jumlah individu (N) maka disarankan untuk menggunakan MER. T < N-+ gunakan MER
49
Secara matematis Model Efek Tetap {MET) dinyatakan sebagai berikut :
Di mana : Yit
= variabel terikat untuk individu ke-i dan waktu ke-t
X it
= variabel bebas untuk individu ke-i dan waktu ke-t
Wit dan Zit variabel dummy yang didefinisikan sebagai berikut : Wit= 1; untuk individu i; i = 1,2, ... ,N
= 0; lainnya Zit
= 1; untuk periode t; t = 1,2, ... ,T = 0; lainnya
Pemilihan antara FE dan RE juga dapat dilakukan dengan Hausman Test. Uji ;tersebut didefinisikan sebagai berikut :
Dimana :
Adapun variabel I
didapatkan melalui matrlks kovarians dari
parameter estimasi dengan FE dan matriks kovarians dari parameter estimasi dengan RE tanpa konstanta. Hasil dari Hausman Test tersebut dibandingkan dengan tabel X2
pada derajat kebebasan n - K. Jika
hipotesis nol diterima, dimana tidak terdapat korelasi antar individual effect dengan variabel bebas, maka yang harus digunakan adalah Random Effect. Berdasarkan pengujian Hausman, diketahui bahwa model yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan Fixed Effect, dimana
50
terdapat korelasi antara
&it
dan
Xit
serta data yang digunakan merupakan
data populasi, bukan data sampel. 3.5 Data Deret Waktu (Time Series) Menurut Gujarati (1995) data deret waktu yang menggunakan variabel makroekonomi, cenderung tak stationer. Jika data tidak stationer kemudian
dijalankan dengan menggunakan model OLS maka akan
menghasilkan spurious regression (regresi palsu). Perhitungan yang spurious yaitu hasil regresi yang memiliki tingkat kekuatan yang tinggi
tapi tidak memiliki arti apa-apa. Selain itu, proses yang bersifat random atau stokastik merupakan kumpulan dari variabel random dari proses stokastik. Suatu data hasil proses random dikatakan stationer jika memenuhi 3 (tiga) kriteria yakni : •
Rata-rata konstan sepanjang waktu
•
Varian konstan sepanjang waktu
•
Kovarian antara dua data deret waktu hanya tergantung dari kelamb~nan
dua periode tersebut.
Secara statistik dapat ditulis sebagai berikut : E(Yt)
= 1J
Var (Yt) ak
= E(Yt- 1J) 2 = cJ2 = E[(Yt- IJ)(Yt+k- IJ)]
Suatu data deret waktu dikatakan stationer jika rata-rata, varian dan kovarian pad a setiap lag adalah tetap sam a pad a setiap waktu. Jika data deret waktu tidak memenuhi kriteria di atas, maka dikatakan tidak stationer. Dengan kata lain, data deret waktu dikatakan tidak stationer
jika rata-rata maupun variannya tidak konstan atau berubah-ubah sepanjang waktu (time-varying mean and variance). Untuk mengetahui apakah data yang kita miliki adalah stationer atau
tidak,
maka
dilakukan
pengujian.
Oleh
karena
penelitian
ini
51
data
menggunakan
perhitungannya
proses
dan
waktu
deret
menggunakan regresi, maka uji stationer sangat perlu dilakukan. Apabila uji ini tidak dilakukan, maka hasil perhitungan tidak memiliki arti apaapa. Persamaan :
Yt
=Yt-1 + IJt
fl. Yt = a +i5Yt-1 + IJt fl. Yt = a +13t+i5 Yt-1 + IJt
Dikenal
persamaan
dengan
Persamaan
Fuller.
Dickey
ini
digunakan untuk menguji data deret waktu terhadap sifat stationemya. Persamaan Dickey Fuller mengasumsikan bahwa error M1 tidak berkorelasi (tidak ada korelasi serial). Pada kenyataannya banyak data deret waktu yang saling berkorelasi serial. Selanjutnya Dickey Fuller mengembangka n uji statistik yang dkenal dengan nama Augmented Dickey-Fuller (ADF) Test. Persamaan ADF adalah :
\
Dengan
kata
lain
Augmented
Dickey-Fuller
(ADF)
Test
mengasumsikan bahwa fl. Yt tidak hanya berupa random walk dengan drift dan bersifat trend saja tetapi juga fungsi dari different masa-masa lalu. Pengertian different masa lalu adalah : fl. Yt -1 = (Yt-1-Yt-2), fl. Yt -2 = (Yt-rYt-3), fl. Yt -3 =(Yt-rYt-4)
dan seterusnya. Hipotesis yang dikembangkan pada pengujian ADF adalah : H0 : i5 = 0 dan hipotesis alternatifnya H1
:
i5
*
0. Pengujian
stationer dilakukan dengan membandingka n nilai absolut t (~) hasil regresi prsamaan terhadap nilai tabel distribusi
~.
Bila It I> 1~1 maka reject
Ho, artinya data stationer. Sebagaimana
telah
dijelaskan
bahwa
bila
data
yang
tidak
stationer dilakukan regresi maka akan menghasilkan perhitungan yang spurious. Menurut Granger dan Newold, jika R2 >Statistik Durbin Watson,
52
kita
bahwa
mencurigai
harus
merupakan
hasilnya
regresi
palsu
(Nachrowi, 2006). Untuk itu perlu dilakukan perbaikan data dengan metode selisih pertama (the fisrt difference method). Caranya adalah dengan mencari nilai selisih antara Yt dengan Yt- 1
•
Setelah didapatkan
nilai selisih pertama, lalu dilakukan kembali uji stationer dengan metode ADF.
3.6 Regresi Linier Berganda Regresi linier berganda adalah model regresi yang menggunakan lebih dari satu variabel bebas. Ada beberapa asumsi yang harus dipenuhi dalam melakukan regresi : 1. Homoskedastisitas, yaitu gangguan varians tidak berbeda dari satu observasi
ke
lainnya.
observasi
Tiap
observasi
mempunyai
reabilitas yang sama, artinya tingkat konsistensl dan keandalan dari setiap observasi adalah sama baik. 2. Rata-rata gangguan sama dengan nol. Asumsi lni menginginkan model yang dipakai dapat secara tepat menggambarkan rata-rata variabel terikat dalam setiap observasi. Sehingga, bila sampel diulang-ulang dalam jumlah tak terhingga banyaknya dan dengan nilai variabel bebas yang tetap, maka kesalahan rata-rata tiap observasi sama dengan nol. 3. Non
otokorelasi,
yaitu
gangguan
pada
satu
observasl
tidak
berkoreasi dengan gangguan pada observasi lainnya. Dengan demikian, nilai variabel terikat hanya dapat dijelaskan secara matematis oleh variabel bebas, bukan oleh gangguan. 4. Gangguan tidak bekorelasi dengan variabel bebas. Implikasinya, nilai variabel bebas tidak berubah dari satu sampel ke sampel lainnya.
Hal ini penting,
karena
yang
hendak dilihat adalah
pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat.
53
5. Gangguan terdistribusi normal. Asumsi ini diperlukan terutama untuk peramalan dan pengujian hipotesis. 6. Nilai variabel bebas berbeda dari satu observasi ke observasi lainnya. Dalam hal lebih dari satu variabel bebas 1 maka semua variabel bebas diasumsikan independen satu terhadap lainnya. Selain asumsi-asumsi teoritis di atas 1 ada syarat-syarat teknis yang juga harus dipenuhi dalam melakukan regresi 1 antara lain : a.
Jumlah observasi sebaiknya
~30
ini disebut sebagai regresi
dengan sampel besar. Bila ternyata sampel yang tersedia <30 1 maka regresi dapat digunkan dengan sampel kecil 1 dimana jumlah sampel harus
~15.
Jika jumlah sampel 15-29 1 maka harus
dilakukan uji normalitas. Secara teknis 1 uji normalitas dilakukan dengan Statistik Jaque-Berra (Statistik J-B). Jika angka statistik J-B :S 2 1 5 1 maka sampel dinyatakan terdistribusi normal. b.
Jumlah variabel bebas yang digunakan sebaiknya disesuaikan dengan jumlah observasi. Ada dua pendapat tentang hal ini. Pertama 1 jumlah variabel bebas harus lebih kecil dari jumlah observasi.
Kedua 1
jumlah
variabel
bebas
yang
digunakan
mengikuti rumus : 1/4n 1 dimana n= jumlah observasi. Berdasarkan pendapat pertama 1 jika jumlah observasi adalah 15 1 maka jumlah variabel bebas yang digunakan adalah lebih kecil dari Berdasarkan digunakan
pendapat adalah
15 1
kedua 1 maka
jika
jumlah
jumlah
15.
observasi
yang
bebas
yang
variabel
digunakan maksimal adalah 3 (tiga) variabel. Untuk penelitian ini maka pendapat kedua yang digunakan. Dalam regresi linier berganda diasumsikan adanya hubungan linier dalam hal parameter1 yang secara sederhana dapat dinyatakan dalam model sebagai berikut :
54
Y = a o +a 1 X1 + a 2 X2 + ... + a nXn a +E
Dimana : vari9bel terikat (dependent variabel) yaitu varia bel yang
Y=
besarnya ditentukan oleh besarnya variabel-variabel lain yang dianggap berpengaruh
Xt =
variabel bebas (independent variabel) ke-t
a =
koefisien
regresi
yang
menunjukkan
basar dan
arah
hubungan antara variabel terikat dengan variabel bebas ke-t, ceteris paribus
a o = konstanta
yang
menunjukkan
berapa
besar
variabel
terikat, jika semua variabel bebas nilainya sama dengan no I E
= gangguan atau kesalahan dalam persamaan (error term),
yang tidak dapat dijelaskan oleh variabel-variabel bebas. Jika nilai kesalahan (E) makin kecil, maka hasil regresi dinilai semakin baik. Besar dan arah hubungan antar variabel terikat dengan variabel bebas ditunjukkan dari nilai , karen a l1YI l1Xt = at, sehingga : a. Jika l1Y/l1Xt>O, maka arah hubungan antara variabel terikat dengan variabel bebas adalah positif. Dalam arti, bila variabel terikat ke-t
(Xt) bertambah 1 unit, maka variabel terikat akan bertambah sebesar at unit. b. Jika l1Y/l1Xt <0, maka arah hubungan antara variabel terikat dengan variabel bebas adalah negatif. Dalam arti, bila variabel terikat ke-t (Xt) bertambah 1 unit, maka variabel terikat akan berkurang sebesar at unit.
55
Untuk mendapatkan hasil regresi yang lebih baik lagi dapat digunakan model regresi logaritma ganda (double log), dimana variabel bebas dan beberapa
variabel terikat dinyatakan dalam nilai keuntungan
dengan
menggunakan
model
Jogaritma. Ada logaritma
ini,
diantaranya : a. Nilai variabel menjadi jauh lebih kecil, maka varians atau deviasi standar variabel-variabel yang diteliti akan menjadi sangat kecil, sehingga hasil regresi dapat menjadi jauh lebih baik dan signifkan. b. Angka koefisien regresi sekaligus menunjukkan angka elastisitas, yakni angka yang menunjukkan berapa persen variabel terikat berubah jika variabel bebas berubah sebesar 1 persen. Misalkan ll.LYI flLXt= at dibaca sebagai : "Bila varia bel bebas Xt berubah sebesar 1 persen, ceteris paribus, maka variabel terikat Y akan berubah sebesar at %". c. Model logaritma ganda dapat mentransformasikan suatu fungsi non liner menjadi fungsi linoier dalam hal parameter. Misalkan, fungsi non linier; Y = AKa L13 dapat ditransformasi menjadi : log'( = logA
+ a logK + r3 logl. 3. 7 Ordinary Least Square Untuk menjawab permasalahan yang telah dikemukakan dalam bab I maka metode pendekatan yang akan dilakukan untuk penelitian ini adalah metode Ordinary Least Square ( OLS). Ada beberapa asumsi-asumsi dasar yang harus dipenuhi bila menggunakan metode OLS yaitu: 1. Variabel bebas tidak berkorelasi dengan galat (c).
2. Tidak
ada
kolinieritas
yang
eksak
antar
variabel
penjelas
(multikolineiritas).
56
ada
3. Tidak
korelasi
cov(e;.ei) = 0 untuk i
'* j
dua
antara
galat
(non-autocorrelation),
atau galat e; dan ei independent.
4. Galat mempunyai distribusi normal dengan rerata sama dengan nol (f(e;)
= 0) dan varians setiap gal at
yaitu var(e;) = E[t:; - E(t:; )f Indikasi pelanggaran
(e;) konstan atau homoskedastis
- f(e/) = a 2 •
asumsi dasar adalah
adanya
multikolinieritas,
heteroskedastisitas dan otokorelasi pada data.
3.7.1 Multikolineiritas (Multicolienarity) Multikolineiritas timbul bila variabel-variabel bebas mempunyai hubungan yang tidak bebas linier,
sehingga
menyebabkan adanya
informasi pad a varia bel bebas yang mubazir. Adanya hubungan tinier yang signifikan antara beberapa variabel bebas dalam model regresi menyebabkan koefisien penduganya cenderung memiliki galat yang besar sehingga nilai penduga akan lebih besar dari nilai sebenarnya. Beberapa indikasi adanya multikolinieritas: 1. Nilai F dan R2 yang dihasilkan signifikan dan tinggi, namun varians
penaksiran dan standard error dari estimator OLS cenderung terlalu besar sehingga secara individual variabel-variabel bebas banyak yang tidak signifikan atau koefisien mempunyai tanda yang salah atau besaran yang keliru. 2. Jika koefisien korelasi antara dua regresor lebih besar dari 0,8 atau 0,9 (Gujarati, 1999). Namun aturan ini mempunyai kelemahan jika hubungannya lebih kompleks, yaitu antara tiga atau lebih variabel. Masalah multikolinieritas dapat diatasi dengan: 1. Mengurangi satu atau lebih jumlah variabel bebas dalam model,
namun
hal
ini
terkadang
bertentangan
dengan
teori
yang
dipergunakan.
57
2. Menambah data atau memilih sampel baru. 3. Mengubah bentuk model. 4. Mentransformasi peubah. Pada
nilai
digunakan
ini,
penelitian
koefisien
untuk
korelasinya
menentukan apakah model mengandung multikolinieritas atau tidak.
3.7 .2 Heteroskedastisitas (Heteroscedastisity) Heteroskedastisitas merupakan varians galat yang tidak konstan dari satu observasi ke observasi lainnya. Adanya heteroskedastisitas menyebabkan
uji
t
dan
yang
R2
signifikan
tidak
berguna.
Heteroskedastisitas pada umumnya terdapat pada data kerat lintang akibat adanya perbedaan selera antar individu atau akibat perbedaan ukuran (scale effect) seperti perbedaan jumlah anggota dalam satu keluarga atau besar kecilnya perusahaan. Heteroskedastisitas biasanya tidak terjadi pada data deret waktu karena perubahan dari variabel terikat dan perubahan dari satu atau lebih variabel bebas mempunyai laju pertambahan yang sama. Masalah heteroskedastisitas diatasi dengan kuadrat terkecil
metoda
terbobot
(weighted least\ square)
dengan
membagi setiap observasi (baik variabel bebas maupun terikat) dengan standar deviasi dari galat untuk observasi tersebut.
3.7.3 Otokorelasi (Autocorelation) Otokorelasi terjadi bila galat suatu observasi (atau pada suatu periode) mempunyai hubungan atau mempengaruhi galat observasi lainnya. Otokorelasi umumnya terjadi pada deret waktu ketika galat suatu observasi
pada
waktu
tertentu
membawa
pengaruh
pada
periode
berikutnya. Namun otokorelasi dapat juga muncul pada data kerat lintang yang dikenal sebagai spasial correlation (Gujarati, 1999). Otokorelasi akan menghasilkan koefisien estimasi yang linier dan tidak bias tetapi tidak efisien (mempunyai varians yang besar) sehingga estimatornya tidak BLUE. Otokorelasi dideteksi dengan uji Durbin-Watson
58
(DW) yang dilakukan dengan membandingkan nilai statistik DW yang dihitung dengan batas atas (du) dan nilai batas bawah (d1) dari tabel Durbin-Watson, dengan memperhatikan jumlah observasi dan jumlah variabel bebas (tanpa nilai konstanta).
3.8 Uji Signifikansi merupakan
kuadrat-terkecil
Prosedur
pencarian
penduga
koefisien-koefisien regresi yang meminimumkan jumlah kuadrat galat. Setelah semua asumsi dasar terpenuhi, maka parameter-parameter yang telah diestimasi dengan metode di atas akan diuji secara statistik untuk melihat apakah suatu hipotesa dapat diterima atau tidak. Uji statistik tersebut adalah uji nilai t, F dan R2 • Uji
t
suatu
merupakan
pengujian
untuk
bertujuan
yang
mengetahui apakah koefisien regresi signifikan atau tidak. Sebelum melakukan pengujian, biasanya dibuat hipotesis terlebih dahulu, yang lazim untuk uji t berbentuk1
:
Ho : 13 = 0 H1 :
13
:1=
0
Uji t dilakukan untuk melihat apakah nilai koefisien yang dihasilkan tidak sama dengan nol. Umumnya dilakukan pada tingkat kepercayaan 1%, 5°/o, dan 10°/o. Nilai t; didistribusikan dengan t derajat bebas n- 2 Jika t; > ttabet
maka
t;
adalah signifikan.
Uji F merupakan uji tingkat signifikansi sekelompok variabel bebas secara bersama-sama terhadap variabel terikatnya dilakukan uji F. F
terdistribusi dengan derajat bebas (1,n- 2). Jika
variabel-variabel
bebas
terikatnya.
=
F(k 1 N k)
-' -
secara
R 2 (~- k)
(1 - R )( k - 1)
bersama
Fhitung > ttabet
mempengaruhi
maka
variabel
dimana n adalah jumlah observasi dan
k adalah jumlah varia bel penjelas termasuk intersep. 1
Nachrowi D Nachrowi dan Hardius Usman, 2005. Hal: 24-28.
59
Uji R2 ialah cara untuk mengukur keberhasilan model dalam menerangkan variasi variabel terikat, dimana batasan nilai R2 adalah 0 ;5; R2
;5; 1.
Semakin
besar
nilai
R2
maka
semakin
kuat
model
menerangkan variasi variabel terikat. Namun meskipun nilai R2 kecil, model dinyatakan baik bila regresinya telah memenuhi semua prosedur yang benar.
60
SUBSTITUSI LPG TERHADAP MINYAK TANAH SEBAGAI ENERGI ALTERNATIF PADA KONSUMEN RUMAH TANGGA
Latar Belakang
1------to
Pengurangan subsidi BBM dalam hal ini minyak tanah telah ' ' menyebabkan masyarakat terutama konsumen rumah
'
j:angga sulit mengkonsumsi minyak tanah untuk memasak, sehingga mereka harus mencari energi alternatif dengan harga dan efisiensi yang lebih baik. /
~
Tujuan
''------------------- -,------------------ -----'/
~
• Kenaikan harga minyak tanah dan pendapatan akan meningkatkan pemakaian LPG. • Diduga price elasticity of demand minyak tanah akan turun (bernilai negatif) apabila terjadi perubahan terhadap harga minyak tanah. Diduga income elasticity minyak tanah akan berada antara 0 dan 1 (normal necessities). • Diduga LPG dapat mensubstitusi minyak tanah. • Diduga LPG belum dapat mensubstitusi minyak tanah pada konsumen rumah tangga berpendapatan rendah.
Hipotesis
'
!' Pembuktian Hipotesis
Permintaan LPG merupakan fungsi dari :
f--.
Qi
~
= f (r, pi, r)
' ~ HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Analisis regresi sederhana /
\..
I
Data harga dan konsumsi LPG dan minyak tanah
f+'-
/
KESIMPULAN DAN SARAN
Gambar 3.1 Kerangka Pikir Model Penelitian
61
BAB IV PERKEMBANGAN PRODUKSI GAS {LPG) DI INDONESIA PERIODE 1993-2003 4.1 Cadangan Gas Bumi {LPG)
Pada saat ini, pemakaian energi di Indonesia masih sangat tergantung pada Bahan Bakar Minyak (BBM) dan diperkirakan dalam kurun waktu ± 15 tahun Indonesia akan menjadi net-oil importer. Hal ini tidak dapat dipungkiri lagi bila konsumsi BBM terus meningkat dari tahun ketahun.
Dimana peningkatan konsumsi ini tidak diimbangi dengan
jumlah produksi yang ada. Padahal kalau diperhatikan Indonesia memiliki sumber energi lain yang tak kalah besar dan potensial seperti gas bumi. Gas bumi hingga saat ini masih dijadikan andalan untuk dimanfaatkan sebagai sumber energi alternatif selain minyak. Gas bumi dimana salah satu produknya adalah LPG memiliki cadangan yang sangat besar di Indonesia. Cadangan gas yang dimiliki Indonesia mencapai lebih dari 100 TCF (triliun kaki kubik). Dimana cadangan tersebut adalah ± 3 (tiga) kali lebih besar dari cadangan minyak bumi. Sehingga jika dihitung berdasarkan pemanfataan rata-rata gas bumi sampai saat ini, maka produksi gas bumi dapat mencapai ± 50 tahun lagi (DESDM, 2002). Cadangan tersebut terpencar di seluruh Indonesia terutama di Sumatera bagian Utara, Sumatera bagian Tengah, Sumatera Selatan, Kalimantan Timur, Natuna, Jawa sebelah tenggara, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan. Angka cadangan ini akan terus meningkat karena bagian terbesar kawasan Timur Indonesia baik darat maupun di lepas pantai, relatif masih banyak yang belum diselidiki. Sekitar 22 cekungan yang sebagian besar terletak di kawasan timur Indonesia belum dibor (Sinaga, 2003).
62
Sehingga bila dilihat dari cadangan yang ada, maka gas bumi yang salah satu produknya adalah
LPG dapat dimanfaatkan untuk
menggantikan minyak bumi yang cadangannya semakin menipis. Namun
sayangnya
cadangan
yang
besar
ini
belum
sepenuhnya
dimanfaatkan oleh masyarakat terutama konsumen rumah tangga. Dalam beberapa tahun terakhir, perkembangan cadangan minyak bumi mengalami fluktuasi. Pada tahun 1995 cadangan minyak bumi sebesar 9.10 miliar barel, terdiri atas cadangan terbukti sebesar 4.98 miliar barel dan cadangan potensial sebesar 4.12 miliar barel, namun pada tahun 1996 cadangan minyak bumi mengalami penurunan menjadi sebesar 8. 98 miliar barel, terdiri atas cadangan terbukti sebesar 4. 73 miliar barel dan cadangan potensial sebesar 4.25 miliar barel. Tahun berikutnya mengalami sedikit kenaikan menjadi 9.09 miliar barel. Namun sejak tahun 2001 cadangan minyak bumi mengalami penurunan dari 9. 75 mliar barel menjadi 8.80 miliar barel {Tabel 4.1). Sebaliknya cadangan gas terus mengalami peningkatan. Pada tahun 1995 cadangan gas bumi sebesar 123.57 triliun kaki kubik dan terus mengalami pening~atan sehingga pada tahun 2003 mencapai sebesar 178.13 triliun kaki kubik. Detail data perkembangan cadangan gas bumi seperti ditunjukkan pada Tabel 4.1. Hingga tahun 2003, cadangan gas baru terdapat di daerah operasi hulu Sumatera Tengah (blok Jambi Barat) sebesar 2,2 triliun kaki kubik, di Sumatera Selatan 1,6 triliun kaki kubik, di Jaw a barat 0, 7 triliun kaki kubik dan di Jawa timar 1,3 triliun kaki kubik yang diusahakan oleh Pertamina (Purwanto, 2003).
63
Tabel 4.1 Cadangan Minyak Mentah dan Gas Tahun 1995- 2006
Year
Oil
Gas
[Billion Barrel Oil]
[Trilllion Cubic Feet]
Proven
Potential
Total
Proven
Potential
Total
1995
4.98
4.12
9.10
72.26
51.31
123.57
1996
4.73
4.25
8.98
77.19
58.73
135.92
1997
4.87
4.22
9.09
76.17
61.62
137.79
1998
5.10
4.59
9.69
77.06
59.39
136.45
1999
5.20
4.62
9.82
92.48
65.78
158.26
2000
5.12
4.49
9.61
94.75
75.56
170.31
2001
5.10
4.65
9.75
92.10
76.05
168.15
2002
4.72
5.03
9.75
90.30
86.29
176.59
2003
4.73
4.40
9.13
91.17
86.96
178.13
2004
4.30
4.31
8.61
97.81
90.53
188.34
2005
4.19
4.44
8.63
97.26
88.54
185.80
2006
4.39
4.32
8.71
-
-
-
Sumber: Stat1st1k Ekonom1 Energi Indones1a, Ditjen M1gas, 2006
Tahun 2005, dalam catatan
BP Miga:;, total cadangan gas
Indonesia adalah 185,8 trillion cubic feet {TCF), terdiri atas 97,26 TCF cadangan terbukti, dan 88,54 TCF potensial, dapat diproduksi dalam jangka waktu 64 tahun. Sehingga sampai tahun 2005 produksi gas Pertamina di lapangan milik sendiri sebesar 1,127 MMSCFD. Detail data perkembangan cadangan gas seperti terlihat pada Tabel 4.2.
64
Tabel 4.2 Perkembangan Cadangan Gas Indonesia 1990-2005 (Triliun Kaki Kubik)
Terbukti
Gas Potensial
Jumlah
1990
67.50
27.70
95.20
1991
65.30
39.00
104.30
1992
64.40
37.30
101.70
1993
67.50
46.70
114.20
1994
78.90
45.90
124.80
1995
72.26
51.31
123.57
1996
77.19
58.73
135.92
1997
76.17
61.62
137.79
1998
77.06
59.39
136.45
1999
92.48
65.78
158.26
2000
94.75
75.56
170.31
2001
92.10
76.05
168.15
2002
90.30
86.29
176.59
2003
91.17
86.96
178.13
2004
97.81
90.53
188.34
2005
97.26
88.54
185.80
Tahun
Sumber : : DG 011 and Gas, Departemen ESDM : Data Per 1 January Note
4.2 Perkembangan Produksi Gas Bumi (LPG) Melihat jumlah cadangan gas yang ada, seharusnya pemanfaatan gas harus dilakukan secara optimal. Optimalisasi gas sebagai pengganti minyak bumi ini sangat diperlukan untuk mengurangl beban yang ditanggung minyak dalam memenuhi kebutuhan energi nasional. Dimana dengan semakin menipisnya cadangan minyak yang dlmiliki Indonesia membuat
pemanfaatan
energi
alternatif
lain
harus
terus
lebih
ditingkatkan. Produksi gas sendiri dari tahun ketahun semakln menlngkat jumlahnya. Produksi dan pemanfaatan gas bumi dalam periode 1991-
65
1997 mengalami kenaikan dalam enam (enam) tahun pertama, yaitu yang diproduksi sebesar 2,461,833.9 MMSCF dan dimanfaatkan sebesar 2,258,884.1 MMSCF pada tahun 1991. Kemudian pada tahun 1992 yang diproduksi 2,365,262.1
sebesar 2,582,640.8 MMSCF.
Pada
MMSCF dan
tahun
1993
dimanfaatkan
sebesar
diproduksi
sebesar
yang
2,661,878.3 MMSCF dan yang dimanfaatkan sebesar 2,450,386.9 MMSCF. Kemudian pada tahun 1994 yang diproduksi sebesar 2,941,622.0 MMSCF dan yang dimanfaatkan sebesar 2,760,076.2 MMSCF. Pada tahun 1995 yang diproduksi sebesar 2,999,229.4 MMSCF dan yang dimanfaatkan sebesar 2,839,002.1 MMSCF. Kemudian pada tahun 1996 yang diproduksi sebesar 3,164,016.2 MMSCF dan yang dimanfaatkan sebesar 2,991,774.7 MMSCF.
Pada tahun
1997 yang
diproduksi sebesar 3,166,034.9 MMSCF dan yang dimanfaatkan sebesar 2,975,183.90 MMSCF. Data perkembangan produksi dan pemanfaatan gas bumi di Indonesia dari tahun 1991 sampai dengan tahun 2002 dapat dilihat pada Tabel 4.3 dan Gambar 4.1. Selama ini Pertamina merupakan perusahaan nasional yang ditunjuk oleh Pemerintah untuk mengelola serta memasarkan produk LPG. LPG yang diproduksi sebagian besar di ekspor ke luar negeri, hal ini akibat masih minimnya pemakaian di dalam negeri. Jumlah pengguna LPG di pasar domestik masih sangat kecil dibandingkan dengan pengguna LPG di negara tetangga. Hal ini mungkin karena masyarakat masih dengan mudah mendapatkan minyak tanah berharga subsidi, sehingga sulit untuk melakukan peralihan ke energi alternatif seperti LPG yang ternyata lebih bersih dan efisien.
66
Tabel 4.3 Perkembangan Produksi dan Pemanfaatan Gas Bumi (Natural Gas) 1991-2002 MMSCF
Tahun
Produksi
Pemanfaatan
Persentase
1991
2,461,833.9
2,258,884.1
91.8
1992
2,582,640.8
2,365,262.1
91.6
1993
2,661,878.3
2,450,386.9
92.1
1994
2,941,622.0
2, 760,076.2
93.8
1995
2,999,229.4
2,839,002.1
94.7
1996
3,164,016.2
2,991, 774.7
94.6
1997
3,166,034.9
2,975,183.9
94.0
1998
2,978,851.9
2,785,114.0
93.5
1999
3,022,053.1
2,897' 785.1
95.9
2000
2,901,301. 7
2, 734,069.6
94.2
2001
2,807,150.0
2,623, 725.0
93.5
2002
3,041,852.0
3,011,581.0
99.0
Sumber : Ditjen Migas, Departemen ESDM
Perkembangan Produksi Gas ~umi (Natural Gas) Di Indonesia Tahun 1991.:.2002 (MMSCF)
3500 3000 ~ urJ'J 2500 :; :; 2000 1500 ,.0 ..... 1000 ~ 500 0
-
......
-
-....-----
•
=
-
~
(j\ (j\ ~
N
(j\ (j\
c() (j\ (j\
~ (j\ (j\
LO
\0
(j\ (j\
['..... (j\ (j\
00
(j\ (j\
(j\ (j\ (j\
~
~
~
~
~
~
~
~
(j\ (j\
0 0 0 N
~
0 0 N
N 0 0 N
I-+- Prod uksi I Gambar 4.1 Perkembangan Produksi Gas Bumi (Natural Gas) di Indonesia Tahun 1991-2002 (MMSCF)
67
Produksi LPG Direktorat Hulu tahun 2001 dihasilkan dari Limau Timur sebanyak 59.400 ton per tahun, Air Serdang 66.000 ton per tahun dan Rantau (Aceh) 13.200 ton per tahun. Untuk pangsa pasar LPG sekitar 68 persennya dipegang oleh bagian Hilir Pertamina, 11 persen oleh Hulu Pertamina dan 21 persen sisanya adalah total market produsen swasta.
4.3 Perkembangan Ekspor LPG Selain
dikonsumsi
oleh
konsumen
dalam
negeri,
LPG juga
diekspor ke beberapa negara seperti Jepang yang merupakan pembeli terbesar LPG Indonesia dengan jumlah seluruhnya di tahun 1996 sebesar 2.100.000 ton
per tahun,
selain
itu juga
diekspor ke Singapura,
Hongkong dan negara lainnya. Selama beberapa tahun terakhir ini dari tahun 1997 ekspor LPG mengalami penurunan, hal ini disebabkan berkurangnya produksi LPG dari kilang Arun. Menurunnya ekspor LPG terjadi terutama sejak tahu 1997 dari 2,132,917 ton (1997) menjadi 1,761,304 (1998). Dan terus mengalami penurunan hingga sebesar 1,015,366 ton pada tahun 2005. Detail data perkembangan ekspor LPG ditunjukkan pada Tabel 4.4 berikut. Penurunan volume ekspor ini selain disebabkan karena adanya penurunan produksi, juga disebabkan oleh meningkatnya kebutuhan LPG di dalam negeri. Ada kecenderungan pada masyarakat perkotaan untuk beralih ke LPG sebagai bahan bakar untuk memasak dengan alasan lebih efektif penggunaannya dibandingkan dengan minyak tanah (Purwanto, 2003). Hal ini terutama mengakibatkan peningkatan pemakaian LPG di dalam negeri.
68
Tabel 4.4 Perkembangan Ekspor LPG Indonesia 1990-2005 LPG
Tahun (M Ton)
US
$/ Ribu ton
1990
2,602,057
145,35
1991
2,528,844
136,54
1992
2,470,334
143,99
1993
2,548,056
129,00
1994
2,566,495
133,57
1995
2,493,301
187,50
1996
2,709,320
202,04
1997
2,132,917
242,06
1998
1,761,305
145,97
1999
1,745,383
194,57
2000
1,307,317
294,86
2001
1,484,503
252,97
2002
1,269,712
246,41
2003
1,106,423
278,42
2004
1,034,270
332.52
2005
1,015,366
443,02
Sumber : Indonesia 011 and Gas Statistics, DG Oil & Gas (1990-1999); 2000-2005 Bank Indonesia
4.4 Perkembangan Konsumsi LPG Seiring
dengan
perkembangan
industrialisasi,
peningkatan
kegiatan ekonomi dan pertambahan penduduk, kebutuhan akan energi di Indonesia cenderung mengalami peningkatan. Dalam kurun waktu 19802001, minyak bumi senantlasa menjadi lead energy paling dominan dipakai, yaitu rata-rata 65,2 persen dari total pemakaian energi primer (Ladyna, 2006). Yang dimaksud dengan energi primer di sini adalah energi yang masih belum mengalami proses pengolahan. Namun disisi
69
lain, jumlah kandungan minyak bumi terbatas karena mempunyai sifat tidak dapat diperbaharui (non renewable). Selama kurun waktu tersebut total konsumsi energi primer pada umumnya mengalami kenaikan. Hanya pada tahun 1998 mengalami penurunan sebesar 567.793 ribu SBM dari 576.333,9 SBM pada tahun 1997 akibat adanya krisis. Periode tahun 1990-2000 rata-rata tingkat pemakaian energi non minyak terhadap total energi final yang dikonsumsi di sektor industri adalah 47 persen pertahunnya (Hidayat, 2003). Sebagai salah satu energi yang dipakai oleh sektor industri, ada kecenderungan terjadi peningkatan pemakaian LPG dari tahun ke tahun. Rata-rata pertumbuhan pemakaian LPG adalah sebesar 11,8 persen pertahunnya dalam periode 1990-2000. Pemakaian LPG oleh sektor industri pada tahun 1990 baru 95.000 ton, dan tahun 2000 menembus angka 280.000 ton (Warta Pertamina, 2006). Pada tahun 2005 meningkat menjadi 298.000 ton. Tabel 4.5 memberikan data pemakaian LPG dan gas di sektor industri dari tahun 1990 sampai dengan tahun 2005. Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 telah membuat collapse beberapa industri, sehingga permintaan energi pada tahun 1998 mengalami penurunan termasuk LPG dan gas. Pertumbuhan pemakaian LPG yang negatif pada tahun 1998 juga terjadi karena adanya kenaikan harga LPG untuk sektor industri sebesar 50 persen, yaitu dari Rp 1000 per kg menjadi Rp 1500 per kg. Bila dilihat pola konsumsi antara minyak bumi, LPG, dan gas pada beberapa tahun terakhir menunjukkan arah yang berlawanan, bisa jadi bagi sektor industri, LPG dan gas mempunyai hubungan substitusi dengan energi minyak (Hidayat, 2003).
70
Tabel 4.5 Pemakaian LPG dan Gas di Sektor Industri Tahun 1990-2005
Tahun
LPG
Pertumbuhan
Gas*
Pertumbuhan
(Ribu Ton)
(%)
(MMSCF)
(%)
243.884
1990
95
1991
109
14,7
241.262
-1.1
1992
124
13,4
256.198
6.2
1993
142
15,2
267.001
4.2
1994
166
16,4
273.966
2.6
1995
190
14,7
290.973
6.2
1996
216
13,5
305.160
4.9
1997
232
7,7
337.549
10.6
1998
207
-11,0
305.209
-9.6
1999
230
11,3
417.623
36.8
2000
280
21,7
465.379
11.4
2001
291
3.9
496.789
6.7
2002
308
5.8
521.058
4.9
2003
309
0.3
502.907
-3.5
2004
325
5.2
544.531
8.3
2005
298
-8.3
549.504
0.9
*) Termasuk pemakaian gas untuk penggunaan non-energi Sumber: Ditjen Migas (dalam www.esdm.go.id) diolah.
Seharusnya pemakaian energi non minyak pada sektor industri harus lebih diintensifkan,
mengingat semakin menipisnya cadangan
minyak yang dimiliki Indonesia, juga alasan efisiensi baik dalam level mikro yakni bagi sektor industri sendiri maupun dalam level makro perekonomian nasional. Selain itu pula akan terjadi penghematan, baik dalam artian cadangan BBM maupun biaya total produksi yang dikeluarkan oleh sektor industri
dengan
mengintensifkan
pemakaian
energi
alternatif tadi,
besarnya penghematan yang bisa dilakukan jika ada substitusi dengan batubara dan atau gas adalah seperti terlihat pada Tabel 4.6.
71
Tabel 4.6 Penghematan Penggunaan BBM di Sektor Industri jika disubstitusi dengan Batubara dan Gas (Milyar Rp) Minyak Tanah disubstitusi dengan
Tahun
Minyak Diesel disubstitusi dengan
Minyak Solar disubstitusi dengan
Batubara
Gas
Batubara
Gas
Batubara
Gas
1996
93
99
510
540
1453
1.528
1998
75
8
724
416
2354
1.497
2002
157
158
1.268
1.271
9.752
9.773
2003
203
112
1.205
1.025
10.164
8.684
Sumber:
Hasil Perhitungan Agus Syarip Hidayat, Mahasiswa Graduate School for International Development and Cooperation (IDEC) Hiroshima University.
Pada sektor transportasi konsumsi energi final 1 selalu mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Konsumsi energi sektor transportasi merupakan keseluruhan konsumsi energi yang digunakan oleh sarana trasportasi
darat,
laut,
udara
dan
Angkutan
Sungai,
Danau
dan
Penyeberangan {ASDP). Penghitungan besarnya jumlah energi yang dikonsumsi pada sektor industri dihitung dari BBM yang dipakai oleh perusahaan transportasi \jan penjualan di Sarana Pengisiari Bahan Bakar Umum (SPBU). Berdasarkan proporsi pemakaian energi final, sektor transportasi merupakan sektor pemakai terbesar ketiga setelah sektor rumah tangga dan industri (Hidayat, 2003). Sebelum tahun 1986, jenis energi yang paling banyak di gunakan di sektor transportasi berasal dari minyak bumi seperti bensin, solar, avgas, avtur, minyak tanah, minyak diesel dan minyak bakar. Namun seiring dengan program diversifikasi energi di bidang minyak dan gas bumi yang dirintis oleh pemerintah mulai 3 Januari 1986, maka Badan Koordinasi Energi Nasional {BAKOREN) memutuskan pemanfaatan Bahan Bakar Gas (BBG) untuk kendaraan bermotor pengganti bensin atau solar. Program ini belumlah dilaksanakan secara nasional, tapi masih dalam
1
Energi final merupakan sumber energi dari hasil pengolahan energi primer
72
bentuk "Pilot Project" yang khusus digunakan pada taksi dan mikrolet di DKI Jakarta. Selain BBG, pada bulan Agustus 1995 ditetapkan juga pemanfaatan LPG untuk sektor transportasi (Warta, 2001). Dilihat dari sisi harga, bahan bakar gas relatif lebih murah sekitar Rp 450 per LSP (Liter Setara Premium). Dari kegunaannya, BBG lebih irit daripada premium. Bila diasumsikan bahwa satu LSP BBG memberikan manfaat yang sama dengan satu liter premium, maka ada selisih harga sekitar Rp 4.050 per liter, karena saat ini premium dijual dengan harga sekitar
Rp
4.500
per
liter.
Bisa
kita
bayangkan
berapa
besar
penghematan pemakaian bahan bakar di sektor transportasi jika upaya diversifikasi pemakaian BBG ini berjalan sukses. Namun selama
ini yang
menjadi masalah adalah
peralatan
pendukung yang relatif mahal dan juga keamanan dari peralatan tersebut yang belum sepenuhnya terjamin. Disamping itu, ketersediaan stasiun BBG juga masih terbatas, ditambah lagi proses pengisian yang butuh waktu lama. Hal ini merupakan beberapa penyebab mengapa pemakai BBG dan LPG di sektor transportasi masih sedikit. Pada tahun 2003 menurut catatan Pertamina, kendaraan yang sudah menggunakan BBG sekitar 4500 mobil yang terdiri dari taksi 4000 mobil dan kendaraaan pribadi 500 mobil. Sementara yang menggunakan LPG sekitar 2000 mobil, yang terdiri dari taksi 1500 mobil dan kendaraan pribadi 500 mobil (Hidayat, 2003). Sedangkan di sektor rumah tangga, jumlah pemakaian energi final cenderung fluktuatif dari tahun ke tahun. Perkembangan pemakaian energi final oleh rumah tangga seperti terlihat pad a Tabel 4. 7.
73
Tabel 4.7 Pemakaian Energi Final di Sektor Rumah Tangga Tahun 1990-2003 Jumlah Rumah Tangga (Ribu)
Pertumbuhan Jumlah Rumah Tangga
1990
39,695
-
227.49
-
1991
40,815
0.03
231.61
1.81
1992
41,844
0.03
235.81
1.81
1993
42,913
0.03
240.30
1.90
1994
44,060
0.03
244.75
1.85
1995
45,653
0.04
249.55
1.96
1996
47,195
0.03
254.12
1.83
1997
48,281
0.02
263.41
3.66
1998
49,383
0.02
270.68
2.76
1999
50,343
0.02
275.91
1.93
2000
52,008
0.03
284.14
2.98
2001
54,316
0.04
292.05
2.78
2002
55,041
0.01
299.61
2.59
2003
56,623
0.03
306.94
2.45
Tahun
Pemakaian Energi Final (Juta SBM)
(%)
Pertumbuhan Pemakaian Energi Final (%)
Sumber : Ditjen Migas,Departemen ESDM
Pada tahun 2001, ketika pertumbuhan rumah tangga cukup tinggi yakni 0.04 persen, namun pertumbuhan pemakaian energi final justru menu run yaitu 2. 78 persen. Selain minyak tanah, energi lain yang dikonsumsi oleh rumah tangga adalah LPG, listrik, briket, gas kota, arang dan kayu bakar. Pemilihan jenis energi yang dikonsumsi oleh rumah tangga ini sangat dipengaruhi oleh tingkat pendapatan yang diperoleh oleh konsumen rumah tangga tersebut. Sedangkan pangsa konsumsi sektor rumah tangga untuk energi alternatif (non minyak) mencapai kurang lebih 82 persen dari total energi
74
final yang dikonsumsi rumah tangga {Tabel 4.8). Untuk pertumbuhannya dapat dilihat pad a Tabel 4. 9. Tabel 4.8 Konsumsi Energi pada Sektor Rumah Tangga (SBM) Tahun 1990-2005 Tahun
LPG
Briket
Gas alam
Listrik
Arang
Kayu bakar
1990
948,235
-
39,253
5,519,182
6,527,479
174,968,652
1991
1,201,925
-
39,804
6,329,691
6,619,065
177,423,581
1992
1,523,194
-
40,355
7,154,446
6,706,651
179,878,538
1993
1,930,374
1,426
40,906
8,082,613
6,802,273
182,334,471
1994
2,551,986
11,028
48,994
8,969,275
6,805,739
184,500,218
1995
3,198,935
20,701
57,750
10,458,19,7
6,803,883
186,351,563
1996
3,871,566
30,435
68,459
11,984,659
6,796,518
187,874,458
1997
3,855,983
46,865
73,605
13,914,040
5,499,560
193,551,043
1998
3,786,611
61,259
75,713
15,243,152
4,206,726
198,328,596
1999
3,660,835
72,880
74,499
16,474,240
2,968,324
201,807,664
2000
3,843,042
75,051
81,573
18,735,376
2,958,584
205,650,963
2001
4,027,953 • 77,225
88,761
20,437,285
2,935,772
209,387,522
2002
4,226,389
79,605
96,310
20,838,052
2,906,716
231,557,856
2003
4,327,667
81,952
103,958
21,916,618
2,859,617
217,517,280
2004
4,405,688
84,026
111,383
23,614,273
2, 789,274
220,636,196
2005
4,462,117
90,440
118,608
25,246,557
2,697,890
223,060,198
Sumber : Ditjen Migas, Departemen ESDM
75
Tabel 4.9 Pertumbuhan Energi pada Sektor Rumah Tangga (Ofo) Tahun 1990-2003 LPG
Briket
Gas alam
Listrik
Arang
Kayu bakar
1991
26.75
-
1.40
14.69
1.40
1.40
1992
26.73
-
1.38
13.03
1.38
1.38
1993
26.73
-
1.37
12.97
1.37
1.37
1994
32.20
-
19.77
10.97
0.05
1.19
1995
25.35
87.70
17.87
16.60
-0.03
1.00
1996
21.03
47.02
18.54
14.60
-0.11
0.82
1997
-0.40
53.98
7.52
16.40
-19.08
3.02
1998
-1.80
30.71
2.86
9.55
-23.51
2.47
1999
-3.32
18.97
-1.60
8.08
-29.44
1.75
2000
4.98
2.98
9.49
13.73
-0.33
1.90
2001
4.81
2.90
8.81
9.08
-0.77
1.82
2002
4.93
3.08
8.50
1.96
-0.99
1.99
2003
2.40
2.95
7.94
5.18
-1.62
1.85
2004
1.80
2.53
7.14
7.75
-2.46
1.43
2005
1.28
7.63
6.49
6.91
-3.28
1.10
Tahun
1990
Sumber : Ditjen Migas, Departemen ESDM
Bila diperhatikan pada tabel terlihat bahwa pemakaian LPG masih relatif kecil. Bahkan sejak tahun 1995 proporsi penggunaan LPG tidak mengalami perubahan. Hal ini disebabkan oleh adanya paradigma dalam masyarakat bahwa LPG hanya cocok digunakan oleh masyarakat yang tingkat pendapatannya menengah ke atas. Sebenarnya potensi pasar LPG di Indonesia cukup menjanjikan dengan kecenderungan konsumsi yang terus meningkat. Konsumsi LPG
76
telah mengalami peningkatan dari 83 ribu Metrik ton per bulan pada 2003 menjadi 100 ribu Metrik ton pada 2004. Meskipun mengalami kenaikan, angka konsumsi per kapita penduduk masih jauh lebih rendah dibanding negara tetangga. Malaysia mengkonsumsi LPG 5% dari jumlah penduduk, Thailand yang kondisi ekonominya relatif sama dengan Indonesia saat ini telah mengkonsumsi 2°/o dari jumlah penduduk. Konsumsi LPG di Indonesia saat ini baru sekitar 0.5% dari jumlah penduduk (Anonim, 2004). Hal ini mengidentifikasikan bahwa pemanfaatan energi alternatif LPG harus terus di support dengan cara menghapus subsidi pemerintah terhadap minyak tanah yang dapat menambah beban APBN dan menggantinya dengan energi alternatif yang jauh lebih hemat dan efisien seperti LPG.
4.5 Perkembangan Harga Energi Harga BBM selalu menjadi acuan pemerintah dalam penetapan harga berbagai energi, dan pada saat harga minyak tanah mengalami kenaikan maka otomatis akan berpengaruh terhadap kenaikan hargaharga energi lain. Disamping itu pula kenaikan harga BBM akan sangat terkait erat dengan terjadinya kenaikan harga-harga di masyarakat. Bila pemerintah tidak segera melakukan campur tangan tentu akibatnya sangat fatal terhadap perekonomian dan masyarakat selaku konsumen. Berdasarkan PERPRES No. 5 tahun 2005, mulai 1 Oktober 2005 pemerintah menaikkan harga premium sebesar 87,5 persen, minyak tanah sebesar 185,7 persen dan min yak solar sebesar 104,7 persen. Jadi kenaikan yang terbesar adalah pada minyak tanah, akibatnya masyarakat yang kebanyakan sebagai konsumen minyak tanah tentu akan merasakan betapa
sulitnya
mengkonsumsi
minyak
tanah
sejak
pemerintah
mengeluarkan kebijakan tersebut. Pada dasarnya kenaikan harga BBM ini mengacu pada harga "keekonomian" yang dihitung setiap bulan berdasarkan harga Mid Oil
77
Platts Singapore (MOPS) rata-rata pada satu bulan sebelum ditambah 15 persen (5 persen untuk biaya distribusi dan 10 persen untuk PPN). Berdasarkan mekanisme tersebut disimpulkan bahwa harga BBM dalam negeri tidak sepenuhnya diserahkan kepada mekanisme pasar melainkan diatur oleh pemerintah (Kurtubi, 2005). Di Indonesia perubahan harga nominal energi relatif stabil, bahkan pada periode 1993-2001 harga energi secara riil cenderung mengalami penurunan, hal ini disebabkan oleh adanya kebijakan subsidi BBM sehingga akibatnya intervensi pasar dalam penentuan harga sangat kecil. Sedangkan untuk harga LPG, penetapan harga pada awalnya ditetapkan oleh
pemerintah tetapi
pada
perkembangan selanjutnya
penetapan harga LPG ditetapkan oleh PERTAMINA, dan satuan yang digunakan adalah rupiah. Dibandingkan dengan BBM ternyata gas lebih ekonomis yakni US$ 2/juta British Thermal Unit (MMBTU). Harga BBM untuk tiap MMBTU mencapai US$ 5 sedangkan harga gas hanya berkisar US$ 3 (Soekarni, 2003). Perbandingan harga yang jauh ini tentu merupakan salah setu pilihan untuk menjadikan gas sebagai energi alternatif di berbagai sektor.
78
BABV HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN 5.1 Pada Rumah Tangga di Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur
Demand LPG dan demand minyak tanah di Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur ditunjukkan oleh Lampiran 6 dan 7. Pada Lampiran 6 terlihat bahwa pada Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, Jaw a Tengah dan Jaw a Timur, harga minyak tanah (PMT) signifikan terhadap demand LPG (QLPG) pada tingkat kepercayaan 10%. Hasil regresi persamaan model demand LPG (QLPG) adalah sebagai berikut :
=
Ln QLPG
{Jo + 0.189 Ln Minyak Tanah- 0.319 Ln PLPG + 0. 708 Ln PDRB
SE
(0.102)
(0.087)
(0.173)
t
(1.860)
( -3.651)
(4.093)
R2
= 87%
Dimana :
{Jo DKI
=
11.982
{Jo JTG = 11. 543
{Jo JBR
=
11.963
{Jo JTM
=
11.921
Berdasarkan hasil regresi data panel dengan menggunakan Fixed
Effect pada Lampiran 6 dapat dilihat bahwa permintaan LPG pada provinsi sampel secara bersama-sama dipengaruhi oleh harga minyak tanah, harga LPG sendiri dan pendapatan/income. Dari hasil regresi tersebut terlihat bahwa nilai elastisitas harga sendiri (own price elasticity) demand LPG pad a em pat provinsi yang dijadikan sampel semuanya signifikan pada tingkat kepercayaan 10% dan bernilai negatif (EQLPG-PLPG = -0.319). Artinya kenaikan 1 persen harga LPG akan menurunkan permintaan LPG sebesar 0.319 persen (dapat dilihat pada nilai koefisien PLPG) dengan asumsi faktor-faktor lain dianggap tetap. Hal ini menunjukkan bahwa kenaikan harga LPG akan menurunkan kuantitas demand LPG pada semua provinsi yang dijadikan sebagai
79
sampel, dan hasilnya signifikan pada tingkat kepercayaan 10%. Sehingga dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa LPG merupakan barang normal bagi konsumen rumah tangga pada provinsi sampel. Elastisitas harga sendiri (own price elasticity) menunjukkan respon
permintaan
konsumen
terhadap
komoditas
sebagai
akibat
terjadinya perubahan harga komoditas itu sendiri. Jadi bila terjadi kenaikan harga LPG maka konsumen rumah tangga akan mengurangi permintaan
terhadap
LPG.
Ini
ditunjukkan
dengan
koefisien
yang
bertanda negatif (- ). Nilai elastisitas harga silang (cross price elasticity) demand LPG terhadap minyak tanah pada empat provinsi yang dijadikan sampel semuanya signifikan dan bernilai positif (EQLPG-PMT = 0.189). Artinya kenaikan 1 persen harga minyak tanah akan meningkatkan permintaan LPG sebesar 0.189 persen (dapat dilihat pada nilai koefisien PMT). Hal ini menunjukkan bahwa
kenaikan harga minyak tanah akan meningkatkan
kuantitas demand LPG pada semua provinsi yang dijadikan sebagai sampel, dan hasilnya signifikan pada tingkat kepercayaan 10%. Sehingga tlapat disimpulkan bahwa LPG dapat mensubstitusi minyak tanah pada konsumen rumah tangga pada empat provinsi tersebut. Di keempat provinsi ini ternyata harga minyak tanah sangat signifikan mempengaruhi demand LPG. Artinya bila terjadi lonjakan harga minyak tanah, maka konsumen rumah tangga pada provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur akan beralih ke LPG sebagai energi untuk memasak. Elastisitas demand LPG terhadap income (dalam hal ini PDRB) pad a em pat provinsi adalah positif (EQLPG-PDRB = 0. 708). Artinya kenaikan 1 persen harga LPG akan meningkatkan permintaan LPG sebesar 0. 708 persen. Ini berarti bahwa bila terjadi peningkatan pendapatan/income maka konsumen
rumah tangga
meningkatkan permintaan
LPG.
pada empat provinsi sampel akan Sehingga dapat disimpulkan
bahwa
kenaikan income akan meningkatkan kuantitas demand LPG.
80
Bila dilihat dari elastisitas pendapatan maka LPG digolongkan barang normal (normal goods) sebab elastisitas pendapatan lebih besar dari nol. Hal ini disebabkan karena pada empat provinsi tersebut LPG sudah merupakan barang kebutuhan untuk memasak yang dianggap nyaman dan efisien, juga disebabkan oleh selisih harga antara LPG dan minyak tanah tidak begitu besar. Dimana harga setengah kilo LPG tanpa subsidi sekitar Rp. 3000-an, sedangkan harga satu liter minyak tanah bersubsidi sebesar Rp.
2.250 atau
harga yang
sampai
ke tangan
masyarakat sekitar Rp. 2.500-2.600. Sedangkan harga minyak tanah tanpa subsidi sekitar Rp. 6.000 (Tjetjep, 2006). Untuk melihat bagaimana demand minyak tanah akibat adanya perubahan pendapatan dan munculnya supply energi alternatif LPG maka model diubah dengan mengganti demand LPG (QLPG) dengan demand minyak tanah (QMT)· Hasil regresi tersebut ditunjukkan oleh Lampiran 7. Hasil regresi persamaan modelnya adalah sebagai berikut : Ln QMT SE
= flo - 0.123
Ln Minyak Tanah (0.066)
+
0.300 Ln PLPG (0.099)
+
0.261 Ln PDRB (0.115)
I
( -1.850)'
t
(3.015)
(2.268)
R2 = 99%
Dimana :
{Jo DKI
=
8.128
{Jo JTG
=
12.811
{Jo JBR
= 13.226
{Jo JTM
=
13.182
Dari hasil regresi tersebut terlihat bahwa nilai elastisitas harga sendiri (own price elasticity) demand minyak tanah pada empat provinsi yang dijadikan sampel semuanya signifikan dan bernilai negatif -0.123).
Artinya
kenaikan
1
persen
harga
minyak
(EQMT-PMT
tanah
=
akan
mengurangi permintaan minyak tanah sebesar 0.123 persen. Hal ini menunjukkan bahwa
kenaikan harga minyak tanah akan menurunkan
kuantitas demand minyak tanah pada semua provinsi yang dijadikan sebagai sampel, dan hasilnya signifikan pada tingkat kepercayaan 10%. Sehingga
dalam
hal
ini
dapat
disimpulkan
bahwa
minyak
tanah
81
merupakan barang normal (normal goods) bagi konsumen rumah tangga pada provinsi sampel. Elastisitas harga sendiri (own price elasticity) respon
permintaan
konsumen
terhadap
komoditas
menunjukkan
sebagai
akibat
terjadinya perubahan harga komoditas itu sendiri. Jadi bila terjadi kenaikan harga minyak tanah maka konsumen rumah tangga akan mengurangi permintaan terhadap minyak tanah. Hal ini ditunjukkan dengan koefisien yang bernilai negatif (-). Elastisitas demand minyak tanah terhadap income pada empat Provinsi adalah positif (EQMT-PDRB = 0.261). Artinya kenaikan 1 persen harga
minyak tanah
sebesar 0.261
akan
persen.
Ini
meningkatkan permintaan minyak tanah berarti
bahwa
bila
terjadi
peningkatan
pendapatan/income maka konsumen rumah tangga pada empat provinsi sampel akan meningkatkan permintaan minyak tanah. Elastisitas demand minyak tanah terhadap income yang positif menunjukkan minyak tanah termasuk barang kebutuhan pokok (normal necessities goods), dimana peningkatan income pada konsumen rumah tangga pada provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tel'ilgah dan Jawa Timur menyebabkan demand minyak tanah meningkat. Hal ini di duga disebabkan karena konsumen rumah tangga di Indonesia telah sangat lama bergantung pada energi minyak tanah untuk memasak, dimana harganya yang relatif murah akibat mendapat subsidi harga
dari pemerintah, sehingga
konsumen
rumah tangga
enggan
meninggalkan komoditi tersebut. Jadi bila akan melakukan switching (peralihan) energi dari minyak tanah ke energi alternatif lain sebagai penggantinya, maka minyak tanah bersubsidi
harus
langsung
distop/dihentikan
dilakukan secara bertahap (Kompas, 2006).
pasokannya,
jangan
Namun agaknya hal ini
masih sulit dilakukan karena masih rendahnya kesadaran dan kemauan berbagai lapisan masyarakat untuk menggunakan energi alternatif. Selain itu pula masyarakat masih beranggapan bahwa minyak tanah jauh lebih
82
murah dibandingkan dengan LPG. Disamping masih adanya paradigma dalam masyarakat bahwa LPG hanya layak dan sesuai digunakan oleh segmen masyarakat kelas atas. Bila diperhatikan maka besarnya income lebih berpengaruh dari harga pada substitusi antara LPG dan minyak tanah. Jadi seandainya terjadi kenaikan income pada konsumen rumah tangga pada empat provinsi yang dijadikan sampel penelitian sebesar 1 persen maka permintaan
terhadap
LPG
lebih
besar
dibandingkan
peningkatan
permintaan bila terjadi kenaikan harga minyak tanah.
5.2 Pada Rumah Tangga Kelompok Miskin Untuk melihat apakah LPG dapat mensubstitusi minyak tanah pada konsumen rumah tangga kelompok miskin, maka dibuat model demand LPG sebagai berikut : 11 In pLPG + f3 In pMT + f3 In IKM + " LnQ1LPG = P' no+ PI 1 21 3 1r
Demand LPG pada rumah tangga kelompok miskin ditunjukkan oleh
Lampiran 8 dan 9. Hasil regresi persamaan model
demand
LPG (QLPG)
pada rumah tangga kelompok miskin adalah sebagai berikut : Ln QLPG
= -167.777
- 5.326 Ln Minyak Tanah
+ 0.635 Ln PLPG + 7.876 Ln IKM
SE
(16.337)
(1.143)
(1.609)
(0.491)
t
(-10.269)
( -4.661)
(0.395)
(16.029)
Pada Lampi ran 8 terlihat bahwa harga minyak tanah (PMT) pada rumah tangga kelompok miskin sangat signifikan terhadap demand LPG (QLPG) pada tingkat kepercayaan 10%. Namun ternyata pada kelompok miskin LPG belum dapat mensubstitusi minyak tanah. Pad a kelompok miskin elastisitas harga silang
(cross price
elasticity) LPG terhadap minyak tanah adalah negatif (EQLPG-PMT = -5.326),
83
hal ini berarti bahwa jika ada kenaikan harga minyak tanah, konsumen minyak tanah yang terdapat pada kelompok miskin tidak memilih LPG sebagai energi alternatif untuk memasak, tetapi memilih sumber-sumber energi lain. Jadi bagi konsumen rumah tangga kelompok miskin LPG belum menjadi sumber energi alternatif untuk memasak. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya adalah belum siapnya masyarakat pada kelompok ini. Masyarakat belum siap untuk beralih ke LPG dengan alasan keengganan karena LPG dianggap mahal, kurang fleksibel dan berbahaya {TEMPO, 2007). Pemakaian minyak tanah yang telah bertahun-tahun dengan harga yang murah dan sangat dominan sebagai sumber energi untuk memasak juga dapat menjadi penyebab mengapa konsumen pada rumah tangga miskin sulit untuk beralih ke LPG. Elastisitas harga sendiri (own price elasticity) demand LPG adalah positif
(EQLPG-PLPG
=
0.635),
namun
tidak
signifikan
pada
tingkat
kepercayaan 10%, sedangkan elastisitas demand LPG terhadap income (dalam hal ini IKM) adalah positif (EQLPG-IKM = terjadi
7.876). Artinya apabila
kenaikan penpapatan/income pada konsumen rumah tangga
kelompok miskin maka mungkin saja konsumen rumah tangga pada kelompok miskin menggunakan LPG. Elastisitas pendapatan pada konsumen rumah tangga kelompok miskin bernilai positif, ini menunjukkan bahwa LPG tergolong barang normal, namun nilainya > 1, ini artinya bagi konsumen kelompok miskin LPG
merupakan
barang
lux/mewah
(normal
luxurius
goods).
LPG
merupakan barang mewah bagi kelompok miskin, sehingga pembeliannya dapat ditunda bila harganya naik. Jadi hanya bila terjadi peningkatan pendapatan/income
yang
membuat
konsumen
rumah
tangga
pada
kelompok miskin ini meningkatkan permintaan terhadap LPG bukan pada saat terjadi kenaikan harga minyak tanah. Untuk melihat bagaimana demand minyak tanah pada konsumen rumah tangga kelompok miskin maka model diubah dengan mengganti
84
demand LPG (QLPG) dengan demand minyak tanah (QMT)· Hasil regresi
persamaan model minyak tanah (QMr) adalah sebagai berikut : LN QMT
= 17.234- 0.285 Ln
Minyak tanah- 0.157 Ln PLPG + 0.103 Ln IKM
SE
{2.823)
{0.111)
{0.184)
{0.047)
t
(6.106)
(-2.568)
(-0.854)
(2.209)
R2
= 99% Elastisitas harga silang (cross price elasticity) minyak tanah
terhadap LPG adalah negatif (EQMT-PLPG = -0.157), namun hasilnya tidak signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa kenaikan harga LPG tidak akan mempengaruhi konsumsi minyak tanah, sebab seperti paradigma dalam masyarakat bahwa LPG hanya menjadi konsumsi kalangan menengah atas. Sehingga kenaikan LPG tidak akan terlalu berdampak pada demand energi yang mereka gunakan untuk memasak. Minyak tanah merupakan barang yang inelastis bagi konsumen kelompok miskin akibat sedikitnya substitusi pada komoditi tersebut. Hal lain yang menyebabkannya adalah minyak tanah masih dapat diperoleh dengan harga subsidi oleh masyarakat kelompok 'miskin. Bagi mereka, bila masih dengan mudah mendapatkan sumber energi bersubsidi, dalam hal ini minyak tanah maka substitusi terhadap energi alternatif lain sulit dilakukan tanpa adanya kenaikan pendapatan/income. Elastisitas harga sendiri (own price elasticity) demand minyak tanah adalah negatif (EQMT-PMT = -0.285). Artinya apabila terjadi kenaikan 1 persen harga minyak tanah, maka permintaan minyak tanah pada konsumen rumah tangga kelompok miskin akan turun sebesar 0.285 persen. Elastisitas harga sendiri yang negatif ini menunjukkan bahwa minyak tanah merupakan barang normal untuk memasak bagi konsumen rumah tangga kelompok miskin. Dimana apabila terjadi kenaikan harga minyak tanah maka permintaannya akan berkurang, dan konsumen
85
rumah tangga kelompok miskin akan mencari energi alternatif lain untuk memasak. Elastisitas demand minyak tanah terhadap income adalah bernilai positif dan relatif kecil (EQMT-rKM = 0.103). Hal ini menunjukkan bahwa minyak tanah merupakan barang normal bagi rumah tangga kelompok miskin. Sehingga sangat kecil pengaruh perubahan income terhadap
demand minyak tanah.
86
BABVI KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil regresi dari persamaan model demand energi rumah tangga pada empat provinsi sampel dan
pada kelompok miskin,
maka dapat disimpulkan: 1. LPG dapat mensubstitusi minyak tanah secara signifikan pada
rumah tangga provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur, tetapi tidak pada rumah tangga kelompok miskin. Hal ini disebabkan karena pemakaian minyak tanah yang sangat dominan pada kelompok ini. Dimana konsumsi terhadap minyak tanah sebagai energi untuk memasak telah berlangsung selama bertahun-tahun, selain itu pula LPG masih merupakan barang mewah bagi mereka. 2. Kenaikan harga minyak tanah akan meningkatkan pemakaian LPG pada rumah tangga Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Bagi konsumen rumah tangga pada empat provinsi ini LPG merupakan barang normal yang dapat mereka gunakan untuk memasak. 3. Perbedaan besarnya real income rumah tangga merupakan insentif terjadinya substitusi pada permintaan (demand) energi rumah tangga. Seiring dengan kenaikan
pendapatan (income)
maka
konsumen rumah tangga akan beralih ke LPG sebagai energi alternatif untuk memasak karena faktor efisiensi dan kenyamanan.
87
6.2. Saran Melihat kemampuan LPG dalam mensubstitusi minyak tanah yang selama ini disubsidi maka ada beberapa saran yang dapat diajukan: 1. Pemerintah
seyogyanya
menetapkan
kebijakan
energi
secara
tersendiri terkait dengan substitusi energi ini, sebab berdasarkan pengalaman negara lain bahwa transisi ke energi yang lebih modern memerlukan waktu hingga puluhan tahun, 5 sehingga pemerintah diharapkan dapat lebih bijaksana dan selektif dalam melaksanakan program konversi nantinya. Masyarakat kecil tetap dibiarkan memilih untuk sementara waktu, apakah menggunakan minyak tanah atau LPG. Sementara itu, bagi masyarakat yang mampu diharuskan memakai LPG. Bila pemerintah mengharapkan agar seluruh konsumen rumah tangga nantinya beralih ke LPG maka orang miskin tetap berhak mendapat subsidi atau jaring pengaman sosial. Karena hanya dengan
pendapatan/income
yang
lebih
baik dapat membuat
mereka beralih ke LPG secara bertahap. 2. Pemerintah harus menyerahkan harga LPG dan minyak tanah kepada mekanisme pasar, sehingga konversi energi dapat lebih mudah dilaksanakan. 3. Perlu dilakukan sosialisasi kepada masyarakat secara menyeluruh dan
intensif.
Dengan sosialisasi yang baik diharapkan dapat
menghapus paradigma masyarakat terutama kelompok miskin terhadap LPG hanya layak di"gunakan oleh mereka yang berduit". 4. Pemerintah sebaiknya harus menjamin pasokan LPG dalam negeri (pasar domestik) agar masyarakat tidak perlu mengeluh lagi terhadap pendistribusiannya, ditambah dengan terus memperbaiki tingkat layanan dan efisiensi terhadap masyarakat pengguna. 5
Zahidayat
88
5. Perlu dilakukan studi-studi lebih lanjut yang dapat menjelaskan permasalahan substitusi sumber energi ini dalam lingkup yang lebih luas dengan menggunakan data bulanan, hal ini mungkin dilakukan karena nantinya harga energi akan ditetapkan setiap awal bulan sesuai mekanisme pasar yang berlaku.
89
DAFTAR PUSTAKA Arief, Sritua, Teori Ekonomi Mikro dan Makro Lanjutan, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1999. ASEAN - EC. Energy Management Training And Research Centre. Asean Energy Review 1995. Anonim, Harga LPG, Pertamax dan Pertamax Plus Naik, 2004. Baltagi, Badi H Econometric Analysis of Panel Data, Second Edition, John Wiley & Sons, West Sussex, England, 2001. Barlian, Mohamad, Ana/isis Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Permintaan BBM di Indonesia Periode 1995-2002: Pendekatan Panel Data, Tesis Program Pasca Sarjana Universitas Indonesia, 2005. Biro Pusat Statistik. Statistik Indonesia Tahun 2004. Biro Pusat Statistik, Ana/isis dan Penghitungan Tingkat Kemiskinan Tahun 2005. Be rita Jakarta, 8 Agustus 2007, Dalam Empat Tahun, Masyarakat akan Beralih ke LPG. I
Case, Karl E. & Fair, Ray C. Principles of Economics (5th ed.). PrenticeHall, 1999. Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral, Laporan Akhir: Evaluasi Pemasaran Mineral dan Batubara, 2004. Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral, Laporan Akhir: Evaluasi Kelayakan Harga Mineral dan Batubara, 2004. Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral, Indonesia's Economy Statistics 2004, hal 187, Jakarta, 2004.
Energy
Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi. Data dan Informasi Minyak dan Gas Bumi, Jakarta, Edisi ke-6, 2002. Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi. Data dan Informasi Minyak dan Gas Bumi, Jakarta : belum dipublikasikan, 2005.
Dzioubinski, Oleg and Ralph Chipman, Consumption and Production : Household Energy Consumption, Economic and Social Affair, United Nations, 1999. J. F. Mathis dan Brownstein, A. M, Current Outlook of Chemical Production Tecnologies, Chern, Eng, Prog. 80 (12), 22-28, 1984. KOMPAS, 21 Juni 2006, Konversi Minyak Tanah Pertamina Pertimbangkan Cut Off Langsung.
17
di
Kota,
Endriana, Lilia, Prospek Pemanfaatan Gas Bumi Sebagai Bahan Bakar Alternatif Pengganti BBM di Sektor Industri. Skripsi Sekolah Tinggi Ilmu Statistik Jakarta, 2003. Effendi, Hirman dkk, Substitusi Sumber Energi Komersial di Indonesia Sektor Industri dan Rumah Tangga, Hasil-hasil Seminar Energi Nasional III Komite Nasional Indonesia, Jakarta 21-24 Juli 1987. Faizal, Ahmad, Saatnya Beralih ke Elpiji untuk Menghemat BBM. Kompas, 18 September 2004. Gujarati, Damodar N, Basics Econometric, 3rd Edition, McGraw-Hill, New York, USA, 1995. Gujarati, Damodar N, Basics Econometrics, Hal. 378. McGraw-Hill, 2003. \
Griffin, M. James and Henry B. Steele, Energy Economics and Policy, hal. 49. Academic Press College Division, 1986. Hidayat, Agus Syarip, Perkembangan Konsumsi Minyak Bumi dan Energi Alternatif Pengganti Minyak Bumi dalam Pengembangan Sumber Energi Alternatif : Upaya Mengurangi Ketergantungan Terhadap Minyak. P2E-LIPI, Jakarta, Hal : 89, 2003. Hupmas, Konversi Minyak tanah ke LPG; Pertamina Perluas Uji Coba pada di akses di dapat KK, 25.000 http ://www.pertamina.com/pertamina. php, 2006. Hutabarat, Binsar, Ana/isis Elastisitas Pemakaian Beragam Energi Berbasis Fosil dalam Jangka Panjang dan Jangka Pendek dengan Menggunakan Metode Kointegrasi dan Error Correction Model (ECM). Tesis Program Pasca Sarjana Universitas Indonesia, 2007. httQ_:J[www.pertamina.com/pertallJi!JCL.QbQ. Liquid Petroleum Gas.
http://zahidayat.wordpress.com. Energi Untuk Kaum Miskin. Kohler, Heinz, Economics, hal. 586. Heath and Company, 1992. Komite Nasional Indonesia-World Energy Conference, Gas Bumi, Harapan dan tantangan Masa Depan, Hasil-hasil Lokakarya Energi 1989, cetakan pertama, Jakarta, hal: 481-502, 1990. Kurtubi, Kompas, 18 Oktober 2005. Ladyna, Era, Pengaruh Kenaikan Harga Minyak Tanah Terhadap Permintaaan Minyak Tanah dan Elpiji Sektor Industri Besar dan Sedang di Indonesia Tahun 2005, Skripsi Sekolah Tinggi Ilmu Statistik Yakarta, 2006. Moeis, Jossy P, Handout Mata Kuliah Kemiskinan, Pemerataan dan Kebijakan Publik, MPKP-FE Universitas Indonesia, 2007. Muliansyah, Nanda, Dampak Kebijakan Pengurangan Subsidi BBM Terhadap Distribusi Pendapatan di Indonesia Tahun 2005-2006. Sekolah Tinggi Ilmu Statistik Yakarta, 2006. Nachrowi, D Nachrowi, dan Hardius Usman, Penggunaan Teknik Ekonometri, Hal 24-28, PT. RajaGrafindo Persada. Jakarta, 2005. Nachrowi, D Nachrowi, dan Hardius Usman, Pendekatan Popu/er dan Praktis Ekonometrika untuk Ana/isis Ekonomi dan Keuangan, Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta, 2006. Pikiran Rakyat, 2006, Tahun 2007 Kompor Minyak Tanah Akan Ditarik. Pindyck, Robert 5 and Daniel L. Rubinfeld, Microeconomics 5th Edition, Prentice Hall, Inc. New Jersey, 2001. Pusat Data dan Informasi Energi dan Sumber Daya Mineral, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral. Statistik Ekonomi Energi Indonesia 2006. Jakarta, 2006. Pusat Data dan Informasi Energi dan Sumber Daya Mineral, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral. Indonesia's Energy Economy Statistics 2004. Jakarta, 2004. Purwanto, Perkembangan Produksi Minyak Bumi dan energi Alternatif Pengganti Minyak Bumi dalam Pengembangan Sumber Energi
Alternatif: Upaya Mengurangi Ketergantungan Terhadap Minyak. P2E-LIPI, Jakarta, hal : 25, 2003. Rahardja, P dan Mandala Manurung, Pengantar Ilmu Ekonomi (Mikroekonomi dan Makroekonomi), Edisi Revisi, Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 2004. Said, Umar, Kajian Dampak Ekonomi Kenaikan Harga BBM, Laporan Penelitian yang diselenggarakan Ausaid melalui Internacional Trade Strategies {ITS) dan Technical Aslstanse Management Facility {TAMF) bekerjasama dengan Pusat Informasi Energi DESDM, 2001. Said, Umar, Diktat Ku/iah : Energi dan Kebijakan Energi, 2003. Sinaga, Rudy Victor, Sinar Harapan, Prospek Bisnis LPG Menjanjikan: Buat Apa Bertahan dengan BBM jika LPG Berlimpah, 2003. Soekarni, M, Kendala dan Evaluasi Kebijakan Pemerintah Dalam Mengurangi Ketergantungan Terhadap Minyak Bumi dalam Pengembangan Sumber Energi Alternatif: Upaya Mengurangi Ketergantungan Terhadap Minyak. P2E-LIPI, Jakarta, hal : 25, 2003. TAMBANG, edisi Juni 2006/Thn.II, Saling Silang Pengganti Minyak Tanah. TEMPO, 2007, Konversi Min,yak Tanah ke LPG. Tjetjep, Wimpy S, Majalah TAMBANG, edisi Juni 2006/Thn. II. hal 18, Jakarta, 2006. Tampubolon, Almond Bernad, Ana/isis Briket Batubara Sebagai Barang Substitusi Terhadap Minyak Tanah pada Rumah Tangga Energi Alternatif untuk Rumah Tangga dalam Menghadapi Kenaikan Harga Minyak Tanah, Tesis Program Pasca Sarjana FE-Universitas Indonesia, 2006. UNDP/World Bank Energy Sector Management Assistance Programme (ESMAP), Household Fuel Use and Switching in Guatemala, June 2003. Wikipedia, the free encyclopedia, http:/ /err. vvikip~dia.Qrgjvviki/ Winarno, Oetomo Tri, Kenaikan Harga Energi dan Dampaknya Terhadap Belanja Rumah Tangga, Yayasan Mardi Putera Surabaya.
www.esdm.go.id. Energi di Sektor Rumah Tangga, Sektor Transportasi, Sektor Industri, Energi minyak Bumi, Energi Batubara. www.Wikipedia Indonesia.org
www.ugm. ac. id. Desertasi Baskara : Estimasi Permintaan Energi Sektor Rumah Tangga Indonesia 1988-2004. Warta Pertamina edisi No: 6{fHN XU, Juni 2006, Potret Demand dan Supply Gas. Warta Pertamina edisi Januari 2001. Bisnis Energi Altematif : Pilihanpilihan yang Harus Diambil.
Lamplran 1 Harga dan Konsumsl Energi Rumah Tangga di Provinsl DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur Harga energi untuk rumah tangga (Rp/SBM} Provinsi
DKI DKI DKI DKI DKI DKI DKI DKI DKI DKI DKI JBR JBR JBR JBR JBR JBR JBR JBR BR JBR JBR JTG JTG JTG JTG JTG JTG JTG JTG JTG JTG JTG JTM JTM JTM JTM JTM JTM JTM JTM JTM JTM JTM
Tahun
1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003
PLPG
PMT
87,981 83,071 101,571 93,981 84,406 72,867 61,273 55,554 69,298 71,473 74,903 87,981 78,493 96,206 89,542 83,042 71,437 62,705 55,993 74,315 79,605 85,352 87,981 81,358 98,240 93,529 83,910 79,785 68,289 61,165 76,556 78,792 82,491 87,981 81,177 101,563 94,675 85,700 69,834 64,350 58,961 73,931 77,062 78 756
47,238 44,602 40,901 37,845 33,989 19,562 16,449 18,642 18,414 25,698 27,928 47,238 42,144 38,741 36,057 33,440 19,178 16,834 18,790 19,747 28,621 31,824 47,238 43,683 39,560 37,663 33,789 21,419 18,333 20,525 20,342 28,329 30,757 47,238 43,585 40,898 38,124 34,510 18,748 17,275 19,786 19,645 27,707 29 365
PDRB
51,106,459 55,505,026 60,648,689 69,543,445 69,543,445 57,380,517 57,215,224 59,694,419 61,868,256 64,338,829 67,162,699 53,939,674 57,823,106 62,491,165 68,243,530 71,568,924 57,959,250 53,442,335 55,660,205 58,311,798 60,594,235 63,179,491 33,978,909 36,345,174 39,013,953 41,862,204 43,129,821 38,065,273 39,394,514 40,941,667 42,305,176 43,775,693 45,605,369 49,172,247 52,727,481 57,040,504 61,794,259 64,853,486 54,336,273 55,058,970 56,856,521 58,750,181 60,754,056 63 252 166
Konsumsi energl rumah tangga (SBM} QLPG
QMT
281,149 357,375 435,304 515,584 602,673 644,186 681,487 737,058 691,629 854,920 1,011,880 652,476 827,798 1,008,856 1,194,149 1,395,946 1,494,227 1,583,056 1,712,406 1,602,793 1,983,142 2,349,467 121,664 154,606 187,934 223,806 261,518 277,678 296,721 321,206 298,755 373,407 439,287 159,878 203,434 248,176 292,532 344,468 368,175 387,612 420,768 394,462 487,988 575 484
2,988,477 3,352,455 3,287,788 3,217,892 3,140,632 3,065,480 2,992,452 2,918,602 2,840,273 2,759,189 3,118,632 11,695,365 12,379,909 13,186,481 14,018,013 14,383,752 14,739,287 15,083,831 15,828,252 17,016,274 18,251,605 19,236,072 5,245,775 5,409,417 5,718,409 6,031,933 6,209,093 6,383,834 6,556,055 6,870,027 7,335,742 7,812,259 8,539,697 5,857,327 7,762,444 8,131,066 8,502,268 8,607,631 8,674,075 8,700,891 9,026,021 9,715,168 10,452,290 11 330 131
Lamp1ran z Konvers• Logarltma Natural Data Harga dan Konsumsi Energi Rumah Tangga di Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur Prov
Tahun
PLPG
PMT
DKI DKI DKI DKI DKI DKI DKI DKI DKI DKI DKI
PDRB
1993 1994 1994 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 1993 1994 1994 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 1993 1994 1994 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 1993 1994 1994 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003
OLPG
11,38 11,33 11,53 11,45 11,34 11,20 11,02 10,93 11,15 11,18 11,22 11,38 11,27 11,47 11,40 11,33 11,18 11,05 10,93 11,22 11,28 11,35 11,38 11,31 11,50 11,45 11,34 11,29 11,13 11,02 11,25 11,27 11,32 11,38 11,30 11,53 11,46 11,36 11,15 11,07 10,98 11,21 11,25 1127
QMT
10,76 10,71 10,62 10,54 10,43 9,88 9,71 9,83 9,82 10,15 10,24 10,76 10,65 10,56 10,49 10,42 9,86 9,73 9,84 9,89 10,26 10,37 10,76 10,68 10,59 10,54 10,43 9,97 9,82 9,93 9,92 10,25 10,33 10,76 10,68 10,59 10,54 10,43 9,97 9,82 9,93 9,92 10,25 10 33
17,75 17,83 17,92 18,01 18,06 17,87 17,87 17,90 17,94 17,98 18,02 17,80 17,87 17,95 18,04 18,09 17,88 17,79 17,83 17,88 17,92 17,96 17,34 17,41 17,48 17,55 17,58 17,45 17,49 17,53 17,56 17,59 17,64 17,71 17,78 17,86 17,94 17,99 17,81 17,82 17,86 17,89 17,92 17 96
12,55 12,79 12,98 13,15 13,31 13,38 13,43 13,51 13,45 13,66 13,83 13,39 13,63 13,82 13,99 14,15 14,22 14,27 14,35 14,29 14,50 14,67 11,71 11,95 12,14 12,32 12,47 12,53 12,60 12,68 12,61 12,83 12,99 11,98 12,22 12,42 12,59 12,75 12,82 12,87 12,95 12,89 13,10 13 26
14,91 15,03 15,01 14,98 14,96 14,94 14,91 14,89 14,86 14,83 14,95 16,27 16,33 16,39 16,46 16,48 16,51 16,53 16,58 16,65 16,72 16,77 15,47 15,50 15,56 15,61 15,64 15,67 15,70 15,74 15,81 15,87 15,96 15,58 15,86 15,91 15,96 15,97 15,98 15,98 16,02 16,09 16,16 16 24
JBR JBR JBR JBR JBR JBR JBR JBR JBR JBR JBR JTG JTG JTG JTG JTG JTG JTG JTG JTG JTG JTG JTM JTM JTM JTM JTM JTM JTM JTM JTM
JTM JTM
------
----
Lilmp•nm
.t£
11\.onvers• Logarn:ma run:ura1 uata narga aan 11\.onsumsl t:nerg1 KUman 1angga
di Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, lawa Tengah dan Jawa Timur Prov
Tahun
PLPG
DKI DKI DKI DKI DKI DKI DKI DKI DKI DKI DKI
PMT
1993 1994 1994 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 1993 1994 1994 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 1993 1994 1994 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 1993 1994 1994 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003
PDRB
11,38 11,33 11,53 11,45 11,34 11,20 11,02 10,93 11,15 11,18 11,22 11,38 11,27 11,47 11,40 11,33 11,18 11,05 10,93 11,22 11,28 11,35 11,38 11,31 11,50 11,45 11,34 11,29 11,13 11,02 11,25 11,27 11,32 11,38 11,30 11,53 11,46 11,36 11,15 11,07 10,98 11,21 11,25 11 27
OLPG
10,76 10,71 10,62 10,54 10,43 9,88 9,71 9,83 9,82 10,15 10,24 10,76 10,65 10,56 10,49 10,42 9,86 9,73 9,84 9,89 10,26 10,37 10,76 10,68 10,59 10,54 10,43 9,97 9,82 9,93 9,92 10,25 10,33 10,76 10,68 10,59 10,54 10,43 9,97 9,82 9,93 9,92 10,25 10 33
QMT
17,75 17,83 17,92 18,01 18,06 17,87 17,87 17,90 17,94 17,98 18,02 17,80 17,87 17,95 18,04 18,09 17,88 17,79 17,83 17,88 17,92 17,96 17,34 17,41 17,48 17,55 17,58 17,45 17,49 17,53 17,56 17,59 17,64 17,71 17,78 17,86 17,94 17,99 17,81 17,82 17,86 17,89 17,92 17 96
12,55 12,79 12,98 13,15 13,31 13,38 13,43 13,51 13,45 13,66 13,83 13,39 13,63 13,82 13,99 14,15 14,22 14,27 14,35 14,29 14,50 14,67 11,71 11,95 12,14 12,32 12,47 12,53 12,60 12,68 12,61 12,83 12,99 11,98 12,22 12,42 12,59 12,75 12,82 12,87 12,95 12,89 13,10 13 26
14,91 15,03 15,01 14,98 14,96 14,94 14,91 14,89 14,86 14,83 14,95 16,27 16,33 16,39 16,46 16,48 16,51 16,53 16,58 16,65 16,72 16,77 15,47 15,50 15,56 15,61 15,64 15,67 15,70 15,74 15,81 15,87 15,96 15,58 15,86 15,91 15,96 15,97 15,98 15,98 16,02 16,09 16,16 16 24
JBR JBR JBR JBR JBR JBR JBR JBR JBR JBR JBR JTG JTG JTG JTG JTG JTG JTG JTG JTG JTG JTG JTM
JTM JTM JTM
JTM JTM JTM
JTM JTM JTM
JTM
Lampiran 3 Harga dan Konsumsi Energi Rumah Tangga pada Kelompok Miskin
Tahun
Harga energi untuk rumah tangga (Rp/SBM)*, harga konstan tahun 1993 PLPG PMT
IKM (Miliar Rp)
Konsumsi energi rumah tangga(SBM)** QLPG
QMT
386
2,777,676
2
2,530
3,367
2,404,892
4,596
4,688
7,231,117
18,580
4,203
5
6,972
69,113
18,365
2,880
2002
74,633
26,834
5,554
4,800
6,469,031
2003
78,789
29,377
5 554
5
6,340
1993
87,981
47,238
1994
81,632
43,830
1995
99,055
39,888
1996
91,146
36,703
1997
80,968
32,605
1998
69,293
18,602
1,911
1999
60,698
16,295
2000
55,368
2001
Sumber :
* Biro Pusat Statlstik Indonesia ** Departemen Energi dan Sumber Daya
2,917
2,575
Mineral
Lampiran 4
Interpolasi Linler Data Harga dan Konsumsi Energi Rumah Tang.ga Kelompok Miskln
Tahun
PMT
PLPG
IKM
OLPG
OMT
1993:1 1993:2 1993:3 1993:4 1994:1 1994:2 1994:3 1994:4 1995:1 1995:2 1995:3 1995:4 1996:1 1996:2 1996:3 1996:4 1997:1 1997:2 1997:3 1997:4 1998:1 1998:2 1998:3 1998:4 1999:1 1999:2 1999:3 1999:4 2000:1 2000:2 2000:3 2000:4 2001:1 2001:2 2001:3 2001:4 2002:1 2002:2 2002:3 2002:4 2003:1 2003:2 2003:3 2003:4
42,115.99 43,823.41 45,530.83 47,238.25 46,386.14 45,534.02 44,681.91 43,829.79 42,844.36 41,858.92 40,873.48 39,888.04 39,091.89 38,295.75 37,499.61 36,703.46 35,678.75 34,654.05 33,629.34 32,604.63 29,104.07 25,603.51 22,102.94 18,602.38 18,025.50 17,448.61 16,871.72 16,294.84 16,866.10 17,437.35 18,008.61 18,579.87 18,526.05 18,472.23 18,418.40 18,364.58 20,481.83 22,599.09 24,716.34 26,833.59 27,469.50 28,105.41 28,741.31 29 377.22
93,834.72 91,883.37 89,932.02 87,980.67 86,393.62 84,806.56 83,219.51 81,632.46 85,988.01 90,343.56 94,699.11 99,054.65 97,077.57 95,100.49 93,123.41 91,146.33 88,601.66 86,056.99 83,512.32 80,967.64 78,049.09 75,130.53 72,211.98 69,293.42 67,144.54 64,995.65 62,846.76 60,697.88 59,365.32 58,032.77 56,700.21 55,367.66 58,803.95 62,240.25 65,676.55 69,112.84 70,492.80 71,872.76 73,252.72 74,632.68 75,671.81 76,710.94 77,750.07 78 789.19
2,926 2,923 2,920 2,917 2,889 2,860 2,832 2,803 2,775 2,746 2,718 2,689 2,661 2,632 2,603 2,575 2,492 2,409 2,326 2,243 2,160 2,077 1,994 1,911 2,583 3,254 3,925 4,596 4,498 4,399 4,301 4,203 3,872 3,541 3,211 2,880 3,549 4,217 4,885 5,554 5,554 5,554 5,554 5 554
289.82 321.91 354.01 386.10 643.67 901.23 1,158.80 1,416.37 1,673.94 1,931.50 2,189.07 2,446.64 2,676.70 2,906.76 3,136.81 3,366.87 3,476.98 3,587.09 3,697.20 3,807.31 3,917.42 4,027.53 4,137.64 4,247.75 4,357.86 4,467.97 4,578.07 4,688.18 4,697.87 4,707.56 4,717.25 4,726.94 4,736.11 4,745.29 4,754.46 4,763.63 4,772.80 4,781.98 4,791.15 4,800.32 4,792.50 4,784.69 4,776.87 4 769.05
2, 749,63L83 2, 758,979.81 2,768,327.79 2, 777,675.77 2,746,686.64 2, 715,697.51 2,684,708.39 2,653,719.26 2,622,730.13 2,591,741.00 2,560,75L88 2,529,762.75 2,498,544:95 2,467,327.15 2,436,109.34 2,404,891.54 2,807,077.02 3,209,262.49 3,611,447:97 4,013,633.44 4,415,818:92 4,818,004.40 5,220,189.87 5,622,375.35 6,024,560.83 6,426,746.30 6,828,931.78 7,231,117.25 7,166,290.75 7,101,464.25 7,036,637.75 6,971,811.25 6,908,963.68 6,846,116.10 6,783,268.53 6,720,420:96 6,657,573.38 6,594,725.81 6,531,878.23 6,469,030.66 6,436,723.27 6,404,415.89 6,372,108.50 6 339 801.11
Lampiran 5
Konversi Logaritma Natural Hasil Interpolasi Llnier Data Harga dan Konsumsi Energi Rumah Tangga Kelompok Miskin
Tahun
PMT
PLPG
1993:1 1993:2 1993:3 1993:4 1994:1 1994:2 1994:3 1994:4 1995:1 1995:2 1995:3 1995:4 1996:1 1996:2 1996:3 1996:4 1997:1 1997:2 1997:3 1997:4 1998:1 1998:2 1998:3 1998:4 1999:1 1999:2 1999:3 1999:4 2000:1 2000:2 2000:3 2000:4 2001:1 2001:2 2001:3 2001:4 2002:1 2002:2 2002:3 2002:4 2003:1 2003:2 2003:3 2003:4
IKM
10.65 10.69 10.73 10.76 10.74 10.73 10.71 10.69 10.67 10.64 10.62 10.59 10.57 10.55 10.53 10.51 10.48 10.45 10.42 10.39 10.28 10.15 10.00 9.83 9.80 9.77 9.73 9.70 9.73 9.77 9.80 9.83 9.83 9.82 9.82 9.82 9.93 10.03 10.12 10.20 10.22 10.24 10.27 10.29
OLPG
11.45 11.43 11.41 11.38 11.37 11.35 11.33 11.31 11.36 11.41 11.46 11.50 11.48 11.46 11.44 11.42 11.39 11.36 11.33 11.30 11.27 11.23 11.19 11.15 11.11 11.08 11.05 11.01 10.99 10.97 10.95 10.92 10.98 11.04 11.09 11.14 11.16 11.18 11.20 11.22 11.23 11.25 11.26 11pl.7
28.70 28.70 28.70 28.70 28.69 28.68 28.67 28.66 28.65 28.64 28.63 28.62 28.61 28.60 28.59 28.58 28.54 28.51 28.48 28.44 28.40 28.36 28.32 28.28 28.58 28.81 29.00 29.16 29.13 29.11 29.09 29.07 28.98 28.90 28.80 28.69 28.90 29.07 29.22 29.35 29.35 29.35 29.35 29.35
OMT
5.67 5.77 5.87 5.96 6.47 6.80 7.06 7.26 7.42 7.57 7.69 7.80 7.89 7.97 8.05 8.12 8.15 8.19 8.22 8.24 8.27 8.30 8.33 8.35 8.38 8.40 8.43 8.45 8.45 8.46 8.46 8.46 8.46 8.46 8.47 8.47 8.47 8.47 8.47 8.48 8.47 8.47 8.47 8.47
14.83 14.83 14.83 14.84 14.83 14.81 14.80 14.79 14.78 14.77 14.76 14.74 14.73 14.72 14.71 14.69 14.85 14.98 15.10 15.21 15.30 15.39 15.47 15.54 15.61 15.68 15.74 15.79 15.78 15.78 15.77 15.76 15.75 15.74 15.73 15.72 15.71 15.70 15.69 15.68 15.68 15.67 15.67 15.66
Lampiran 6
Hasil Persamaan Demand LPG pada Rumah
Tangga
di Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah dan lawa Timur
Dependent Variable: QLPG? Method: Pooled Least Squares Date: 10/30/07 Time: 01 :20 Sample: 1993 2003 Included observations: 11 Number of cross-sections used: 4 Total panel (balanced) observations: 44 White Heteroskedasticity-Consistent Standard Errors & Covariance Std. Error Coefficient Variable PMT? PLPG? PDRB? Fixed Effects _DKI-C _JBR-C _JTG-C JTM-C R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Log likelihood Durbin-Watson stat
0.189659 -0.319326 0. 708434
0.101953 0.087461 0.173079
t-Statistic
Prob.
1.860259 -3.651064 4. 093134
0.0708 0.0008 0.0002
11.98188 11.96278 11.54303 11.92141 0.885696 0.867160 0.069924 58.43401 0. 739635
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid F-statistic Prob(F-statistic)
17.80288 0.191850 0.180906 47.78312 0.000000
Lampiran 7
Hasil Persamaan Demand Minyak Tanah pada Rumah Tangga di Provinsi DKI Jakarta, lawa Barat, Jawa Tengah dan lawa Timur
Dependent Variable: QMT? Method: Pooled Least Squares Date: 11/01/07 Time: 02:35 Sample: 1993 2003 Included observations: 11 Number of cross-sections used: 4 Total panel (balanced) observations: 44 White Heteroskedasticity-Consistent Standard Errors & Covariance Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
PMT? PLPG? PDRB? Fixed Effects DKI--C _JBR-C _JTG-C JTM-C
-0.122636 0.300289 0.261345
0.066281 0.099591 0.115230
-1.850242 3.015215 2.268037
0.0723 0.0046 0.0293
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Log likelihood Durbin-Watson stat
8.128436 13.22640 12.81147 13.18165 0.996915 0.996415 0.074949 55.38026 0.983937
Mean dependent var S.D. dependentvar Sum squared resid F-statistic Prob( F-statistic)
17.05571 1.251734 0.207843 1992.809 0.000000
Lampiran 8 Hasil Persamaan Demand LPG pada Rumah Tangga Keiompok Miskin Dependent Variable: QLPG Method: Least Squares Date: 11/02/07 Time: 03:22 Sample: 1993:1 2003:4 Included observations: 44 White Heteroskedasticity-Consistent Standard Errors & Covariance Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Pro b.
c
-167.7767 0.635330 -5.325523 7.876351
16.33719 1.608782 1.142671 0.491388
-10.26962 0.394914 -4.660594 16.02879
0.0000 0.6950 0.0000 0.0000
PLPG PMT IKM R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.930426 0.925208 0.999968 39.99741 -60.33505 1.105904
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob( F-statistic)
11.57516 3.656439 2.924320 3.086519 178.3092 0.000000
Lampiran 9
Hasil Persamaan Demand Minyak Tanah pada Rumah Tangga Kelompok Miskin
Dependent Variable: QMT Method: Least Squares Date: 11/02/07 Time: 00: 10 Sample(adjusted): 1993:3 2003:4 Included observations: 42 after adjusting endpoints Convergence achieved after 12 iterations White Heteroskedasticity-Consistent Standard Errors & Covariance Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
c
17.23378 -0.157279 -0.284942 0.103302 1.740526 -0.755600
2.822566 0.184253 0.110980 0.046760 0.129263 0.111195
6.105714 -0.853606 -2.567510 2.209189 13.46498 -6.795263
0.0000 0.3990 0.0145 0.0336 0.0000 0.0000
PLPG PMT IKM AR(1) AR(2) R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.996545 0.996066 0.027503 0.027230 94.56763 1.924376
Mean dependent var S.D. dependentvar Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
15.30817 0.438469 -4.217506 -3.969268 2077.020 0.000000
Lampiran 10 FAKTOR KONVERSI
Jenls Energl Batubara Antraslt Batubara Impor Batubara Kalimantan Batubara Ombilin Batubara Tanjung Enim Ugnit Gambut Riau Briket Batubara Blomasa Arang kayu Kayu Bakar Gas buml ProdukGas Gas Kota CNG LNG LNG LPG MlnyakBuml Kondesat Minyakbuml Bahan Bakar Mlnyak
Unit Asli
MetrikTon Metrik Ton MetrikTon Metrik Ton Metrik Ton Metrik Ton Metrik Ton Ton Ton Ton MSCF Ribu KKal Ribu KKal Ton MMBTU Ton Barel Barel
Aviation Gasoil (Avgas) Aviation Turbin Gas (Avtur) SuperTT Premix
Kilo Kilo Kilo Kilo
Premium Kerosene (Minyak Tanah)
Kilo Liter
uter uter uter Uter
Kilo uter Minyak Solar (Minyak Solar) Industrial Diesel Oil (100) Minyak Bakar (FO) Procluk Mlnyak Produk Minyak Lainnya Bahan Bakar Kllang Refinery Fuel Gas (RFG) Refinery Fuel Oil (RFO) Bahan Baku Kilang (Feed Stock) Panas Buml Tenaga Air Tenaga Llstrik
Faktor Pengali Menjadl SBM (Setara Barel Mlnyak) 4.9893 4.2766 4.2766 4.8452 3.7778 3.0649 2.5452 3.5638 4.9713 2.2979 0.1796 0.0007 0.0007 8.0532 0.1796 8.5246 0.9545 1.0000 5.5530 5.8907 5.8275 5.8275 5.8275 5.9274
Kilo Liter Kilo uter Kilo uter
6.4871
Barel
1.0200
Barel Barel
1.6728 1.1236 1.0423 1.9558 2.5208 0.6130
Barel MWh MWh MWh
Sumber: Neraca Energi 1990-1994, Departernen Pertambangan dan Energi
6.6078 6.9612