PENATAAN FUNGSI DAN FISIK ARSITEKTURAL RUANG TERBUKA KOTA AKIBAT PEDAGANG KAKI LIMA Studi Kasus; Kawasan Manahan Surakarta Dwi Suci Sri Lestari dan Djumiko Abstrak Pada kawasan Manahan Surakarta yang berpusat lingkungan: ruang terbuka Lapangan Manahan; terutama sebagai pusat fcegiatan olah raga; sejak resesi ekonomi Indonesia pada tahun 1998, banyak bermunculan pusat-pusat kegiatan baru dan Pedagang Kaki Lima (PKL). Karena tidak direncanakan, menyebabkan penurunan kualitas lingkungan, seperti kemacetan lain lintas, privatisasi ruang publik dan kurangnya kebersihan dan keindahan kota. Padahal PKL sebenarnya merupakan salah satu elemen penting dalam merancang kota/kawasan, sebagai pendukung aktivitas perkotaan. Tujuan penelitian, memecahkan masalah penurunan kualitas lingkungan akibat kehadiran PKL, melalui penataan fungsi dan fisik arsitektural ruang terbuka kotanya, juga PKL beserta spesisifikasinya. Metode penelitian, pendekatan deskriptik analitik perpaduan antara pendekatan kualitatif induktif-deduktif dengan naturalistik. Hasilnya design guide-lines penataan Kawasan Manahan melalui penataan PKL pada kelompok lokasi: seputar Lapangan Manahan, sebelah selatan rel KA (penggal timur dan barat Jl Hasanuddin), dan seputar Lapangan Kota Barat. Sebagian diusulkan bershelter terbuka permanen, lainnya bertenda bongkar-pasang. Kata kunci: penataan kawasan, fungsi dan fisik arsitektural, PKL 1. PENDAHULUAN l.l. Latar Belakang Kawasan Manahan Surakarta merupakan kawasan permukiman dalam wilayah kelurahan Manahan, Kecamatan Banjarsari Surakarta, yang berpusat orientasi lingkungan: ruang terbuka Lapangan Manahan. Selain Lapangan Manahan yang bertata letak membujur barat-timur, berbentuk geometris oval serta bertata hijau pohon cemara (pada bagian selatan, barat dan utaranya), serta pohon palem raja (di bagian tepi timurnya); kawasan ini memiliki dua buah ruang terbuka lainnya. Yakni taman rekreasi budaya dan taman botani Balekambang serta Lapangan Kota
Barat. Dalam hal ini, obyek penelitian hanya mencakup dua ruang terbuka: Lapangan Manahan dan lapangan Kota Barat, yang lebih berkarakter sama (kegiatan olahraga) dan berfenomena PKL sama. Secara historis, Lapangan Manahan merupakan pusaka budaya (heritage) dari Sri Mangkoenagoro VII (19151944) (RM. Sayid, 1984), yang awalnya berfungsi sebagai tempat latihan olah raga memanah dan pacuan kuda. Di bagian timur lapangan Manahan, terdapat sekolah lanjutan tingkat pertama negeri (SMPN. I) dan sebuah gereja
9
Kristen. Pada tahun-tahun awal kemerdekaan, bermunculan beberapa tempat-tempat pendidikan nmum maupun kejuruan, baik negeri maupun swasta mulai dari tingkat Taman Kanakkanak (TK) hingga Sekolah Lanjutan tingkat Atas (SLTA); kantor-kantor; serta mesjid di seputar Lapangan Manahan dan seputar Lapangan Kota Barat. Hal ini mendorong pedagang sektor informal atau lajim disebut pula Pedagang Kaki Lima (PKL) keliling sering terlihat insidental berkegiatan di sekitar gedung-gedung dimaksud. Namun sejak tahun 1970 tapak Lapangan Manahan mulai dikavlingkavling untuk berbagai kegiatan, antara lain Gedung Olahraga (Gelora) Manahan, tempat-tempat olahraga outdoor dan gedung pertemuan Sasana Kridhatama (gedung wanita). Disusul padaa tahun 1970-an oleh berdirinya Stadion Sepakbola dan Vellodrome, serta perkembangan fungsi bangunanbangunan tepi jalan-jalan utama lingkungannya (terutama Jalan Adisucipto dan Jalan KS. Tubun) yang berarah ke komersial. Perkembangan kegiatan PKLnya pun meningkat pesat dan memuncak pada awal tahun 2006, dimulai sejak resesi ekonomi nasional pada tahuan 1998-an, yang antara lain merupakan hasil pemutusan hubungan kerja (PHK) dari perusahaan-perusahaan nasional maupun lokal. Keadaan itu lambat laun menyebabkan penurunan kualitas lingkungan secara tajam. Yakni antara lain dalam bentuk privatisasi ruang publik (jalur pedestrian/trotoir, jalu lambat dan tepi jalur cepat Jalan) oleh para pelaku PKL serta kurangnya kebersihan dan keindahan kota; juga kemacetan Ialu lintas yang parah akibat dari penggunaan jalur-jalur tranportasi sebagai area usaha PKL. Kondisi
kemacetan terparah adalah pada seputar Lapangan Manahan, terutama pada jalur Jalan Adisucipto sebagai jalan utama lingkungannya, terlebih lagi pada setiap hari Minggu, akibat berebut tempat antara kendaraan bermotor yang melintas, kendaraan bendi dan kuda untuk wisata anak-anak, juga tempat sebagai lapak (alas) berdagang para pelaku PKL yang menjorok ke tepi jalur cepat. l.l.Rumusan Permasalahan Berdasarkan uraian latar belakang di atas, disusun rumusan masalah sebagai berikut. 1. Berkaitan dengan aspek fisik ruang terbuka kota kawasan Manahan Surakarta. a. Bagaimana wujud penyelenggaraan fungsi, penggunaan domain, tata ruang, dan bentuk arsitektural ruang terbuka berkaitan khususnya jalur sirkutasinya sebagai akibat perilaku pedagang kaki lima dan pengunjung? b. Mengapa terjadi perubahan fungsi dan fisik sedemikian akibat penye-lenggaraan fungsi, penggunaan domain (ranah), tata ruang, sirkulasi dan bentuk arsitektural sedemikian? c. Aspek-aspek fisik arsitektural apakah yang berperan daiam perubahan fungsi dan fisik arsitektural kawasan studi akibat PKL serta penataan kembali ruang terbuka kota kawasan studi nantinya? 2. Berkaitan dengan aspek non fisik: meliputi aspek-aspek berikut. a. Aspek PKL a. 1. Siapa saja pelaku PKL pada ruang terbuka kawasan studi?
10
a.2. Bagaimanakah tema - tema interaksi PKL dengan masyarakat pengunjungnya yang mempengaruhi penyelenggaraan fungsi, domain, tata ruang dan bentuknya di kawasan studi? a.3. Mengapa terjadi penyelenggaraan fungsi, penggunaan domain dan tata ruang sirkulasi dan bentuk arsitekturalnya sedemikian? b. Aspek-aspek Kebijakan Pemerintah Kota (Pemkot) apa yang berperan dalam perubahan fungsi dan fisik arsitektural kawasan studi akibat PKL serta penataan kembali ruang terbuka kota kawasan studi? 3. Bagaimanakah konsep penataan kembali ruang terbuka kawasan studi? 2. TINJAUAN PUSTAKA Pengertian kata fisik dalam arsitektur, disarikan dan Ching (FDK. Ching, 1984) adalah bentuk dan ruang, baik ruang padat (solid, ruang terbangun), maupun hampa (void; ruang terbuka), ruang dalam (interior) dan luar (eksterior). Aspek ruang dalam penelitian ini, lebih difokuskan kearah ruang terbuka, yakni ruang terbuka kota. Ruang terbangun (massa), hanya akan dibahas sejauh relevan; sedangkan interior tidak dibahas khusus, karena bukan obyek penelitian. Tentang arsitektur, banyak pengertian tentangnya; antara lain terkait aspek fisik sebagaimana ungkapan Ching di atas. Pengertian arsitektur secara lebih luas, antara lain menurut Ruskin (Ruskin dalam Joedick, 1963) arsitektur mencerminkan berbagai aspek
kehidupan: masyarakat, ekonomi dan spiritual. Tentang fisik arsitektural kota (Shirvani, 1986), elemen-elemen bentuk fisik kota yang merupakan elemenelemen perancangan kota adalah sebagai berikut. 1) Tata guna lahan (land use); 2) Bentuk dan massa bangunan (building form and massing); 3) Sirkulasi dan parkir (circulation and parking); 4) Ruang terbuka kota (open space); 5) Jalur pedestrian (pedestrian ways), 6) Pendukung aktivitas (activity support), 7) Penandaan (signage) dan 8) Preserves!. Dalam hal ini, pendukung aktivitas (activity support) di manca negara, sebenarnya merupakan PKL pula. Bedanya, lokasi kegiatan mereka di kota masing-masing telah disusun rencana penempatannya, di luar tapak bangunan, berhadapan dengan jalur pedestrian, namun mereka sendiri tidak mengunakan domain publik, sehingga tidak melakukan privatisasi ruang publik. Dari sisi non fisik, PKL dikatakan sebagai pedagang dalam sektor informal. Perkembangan sektor informal lebih jelas pada sekitar tahun 1960-an (DJ. Rachbini dan A. Hamid, 1994). Yakni saat pembangunan ekonomi Indonesia secara terencana dan mendasar dalam bentuk industri-industri besar serta program-program resmi pemerintah (sektor ekonomi formal) ditumbuhkembangkan; secara tak langsung juga telah menumbuhkan usaha-usaha kecil yang dikelola oleh pribadi-pribadi rakyat kecil, yang disebut sektor ekonomi informal. Sesuai namanya yang berkonotasi negatif, kehadirannya pun tak sepenuhnya diterima baik oleh pemerintah maupun masyarakatnya. Karena kehadiran sektor informal, terutama di kota-kota besar,
11
menimbulkan permasalahan ketertiban, keamanan, serta kebersihan kota. Aspek-aspek bahasan PKL antara lain (Usman, 2006) nilai ekonomi, organisasi sosial, posisi tawar PKL dan simbol fisik PKL. Simbol fisik PKL sebagai pelaku ruang, antara lain tenda, gerobag kayu, lapak kayu, ataupun kerangka besi bongkar-pasang, yang juga merupakan atribut mereka. Pengertian penataan kawasan, dalam hal ini dapat dianalogikan dengan pengertian penataan ruang perkotaan dalam skala kawasan. Pengertian penataan ruang berdasarkan Undangundang Republik Indonesia (UU-RI) nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Direktorat Fasilitasi Penataan Ruang dan Lingkungan Hidup, 2007), merupakan suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. 3. TUJUAN DAN METODOLOGI PENELITIAN Tujuan penelitian, untuk memecahkan masalah PKL, serta mencari makna hubungan antara perubahan fungsi dan fisik arsitektural ruang terbuka kota Kawasan Manahan dengan PKL, melalui penataan fungsi, sirkulasi, domain, tata ruang dan bentuk arsitektural. Metoda penelitian adalah deskriptik analitik, perpaduan antara kualitatif induktif-deduktif dengan naturalistik berstudi kasus, Pendekatan deskriptik, untuk mendeskripsikan sejelasnya fenomena empiris penataan fungsi dan fisik asitektural obyek studi akibat kehadiran PKL, terutama hal-hal relevan (analitik). Pendekatan induktif, untuk menemukan dan menyusun konsepkonsep idiografis dan tentativ hasil
perubahan fungsi dan fisik arsitektural obyek studi dan upaya penataannya kembali. Observasi naturalistik, untuk mengamati obyek fisik di lapangan oleh individu peneliti untuk mendapatkan informasi faktual dan alarm tentang obyek penelitian (fisik dan non fisik), dilanjutkan dengan interpretasi dan penalaran (deduktif) guna mendapatkan kesimpulan akhir. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN Pada bulan Desember 2006 yang sebenarnya merupakan tengah kurun penantian penulis akan penerimaan judul proposal penelitian, terjadi upaya relokasi PKL di lokasi studi oleh Pemerintah Kota (Pemkot). Hasilnya antara lain larangan penggunaan bagian tepi selatan Lapangan Manahan untuk kegiatan PKL, dibukanya halaman dalam Lapangan untuk kegiatan PKL pada setiap hari Minggu (terkenal disebut Sunday Market, sesuai dengan nama paguyubannya), serta lebih banyaknya pelaku PKL di sebelah selatan rel Kereta Api (KA) -yang secara teoritis merupakan area bebas kegiatan- tepi utara Jalan Hasanudin baik penggal timur maupun barat perlintasan KA. Para pelaku PKL, penulis spesifikasikan antara lain dalam hal perbedaan lokasi kegiatan terkait dengan organisasi sosialnya, bagian ruang untuk berkegiatan, atribut kegiatan, jenis dagangan, waktu kegiatan, jumlah tenaga kerja, ada tidaknya pekerjaan maupun cabang lain. Tentang organisasi sosialnya, dalam obyek studi terdapat empat paguyuban PKL; selain Sunday Market, terdapat Paguyuban-paguyuban: Gotong Royong (terlama) bagi yang terutama berlokasi di sekitar Lapangan Manahan; Kobar bagi PKL di trotoir timur dan barat Jl. Dr. Muwardi dan Absah untuk PKL di tepi Jalan Hasanudin. Visualisasi tata ruang kawasan Manahan disaj ikan dalam gambar berikut.
12
Lapangan Manahan yang telah berpagar sejak didirikannya Stadion Sepakbola dan Vellodrome di dalamnya, visualisasi tempat masuk utama (main entrance)nya dari arah selatan (Jl.
Adisucipto) dan masuk tambahan (side entrance) dari arah utara (Jl. Menteri Supeno), sebagaimana disajikan dalam gambar-gambar berikut.
13
Obyek amatan terkait PKL dibatasi pada sekitar Lapangan Manahan, Lapangan Kota Barat, serta di antara dua ruang terbuka dimaksud. Beberapa PK.L berkegiatan pada waktu pagi-sore siangmalam ataupun hanya malam hari (terutama bagi PKL di sebelah barat Lapangan Kota Barat (di trotoir barat
dan timur Jalan Dr. Muwardi). Beberapa ilustrasinya, sebagai berikut.
14
4. l.
Penataan Fungsi dan Fisik Arsitetural 4.1.1. Kriteria penataan kawasan Manahan Kriteria penataan fungsi dan fisik arsitektural di Kawasan Manahan pada tiga kelompok lokasi, yakni A) Sekeliling barat-utara dan timur serta halaman dalam lapangan Manahan, B) Sebelah selatan jalur KA Manahan dan C) Sekitar Lapangan Kota Barat, sebagai berikut. 1. Konsep umum penataan PKL, diupayakan seperti halnya penempatan elemen Pendukung Aktivitas (atau Activity Support), terutama sebagai berikut. a. Lokasi berada di antara dua atau lebih generator aktivitas lingkungan. b. Tidak langsung berhadapan dengan jalur cepat untuk kendaraan bermotor, dengan kata lain berhadapan dengan jalur pedestrian lingkungan/kota.
Meskipun, butir 1 .b. lebih dimungkinkan bagi kondisi negaranegara yang telah menerapkan sistem transportasi kota dan lingkungan bertumpu pada keselamatan dan kenyamanan stakeholder kota khususnya pejalan kaki (pedestrian), dengan memberlakukan sebagai jalur-jalur pedestrian pada beberapa jalur transportasi dalam kota, pembatasan moda transportasi pribadi di dalam kota serta adanya parkir-parkir umum di beberapa titik kegiatan kota. 2. Bertolak dan hal-hal di atas, dan disesuaikan dengan kondisi serta sistem transportasi di Indonesia, khususnya implementasinya di Surakarta, maka diusulkan pendekatan penataannya melalui pendekatan pemilihan tapak kegiatan PKL, penataan fungsi keterkaitannya dengan domain dan penataan sirkulasi dan penataan wadah kegiatan PKL terkait bentuk
15
arsitektural yang dihasilkan, sebagaimana akan dijelaskan di bawah. Maka untuk kemudahannya, aspek fungsi dan domain di sini ini merupakan satu bahasan. 3. Pemilihan tapak untuk kegiatan PKL diupayakan sebagai berikut. a. Pada area yang tidak mengganggu kepentingan publik, antara lain, jalur sirkulasi kendaraan mau pun pejalan kaki. b. Pada area aman dari bahaya lalu lintas kendaraan bermotor dan tidak bermotor serta kereta api. Penataan fungsi kawasan yang seimbang bagi kebutuhan kegiatan PKL dengan kepentingan publik. Contoh bagi fasilitas publik antara lain: a. Ruang terbuka bagi tempat rekreasi masyarakat. b. Jalur transportasi kawasan dan Hngkungan, termasuk di dalamnya jalur pedestrian, c. Street furniture, antara lain penerangan jalan dan lingkungan, tempat sampah dan pembuangan limbah, telepon umum, meja-kursi taman, tanaman pelindung dan penghias kawasan, iklan/reklame.
Penataan sirkulasi kawasan perlu mempertimbangkan hal-hal berikut. a. Jalur kendaraan dipisahka dengan jalur pejalan kaki/pedestrian. b. Disediakan jalur pedestrian berupa trotoir. c. Diberikan tanda-tanda/ramburambu lalu-lintas, seperti tempat penyeberangan pejalan kaki, tempat parkir. 6. Penataan bentuk arsitektural dipertimbangkan hal-hal berikut. a. Bentuk permanen, dibuatkan shelter terbuka (dinding terbuka), dengan penampilan arsitektur lokal. b. Bentuk temporer / tidak permanen, menggunakan tenda bongkar-pasang. c. Bentuk terbuka, tidak menggunakan pelindung / shelter, dapat menggunakan pelindung pohon. 4.1.2. Penataan Manahan
PKL
di
Kawasan
Penataan PKL di Seputar Lapangan Manahan, berdasarkan aspek-aspek fungsi, domain, sirkulasi dan bentuk, sebagaimana dalam tabel 4.1. berikut.
16
17
Untuk visualisasi lokasi pada penataan fungsi dan
PKL fisik
arsitektural di atas, disajikan gambar 4.11 berikut.
dalam
18
19
20
5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Karena resesi ekonomi nasional pada tahun 1998-an hingga beberapa tahun kemudian, sejumlah besar perusahaan menjadi bangkrut dan melakukan perampingan struktur organisasi mereka menyebabkan terjadinya banyak pemutusan hubungan kerja, yang menjadi salah satu sebab meningkat pesatnya jumlah PKL di kota-kota besar maupun kecil di Indonesia, tak terkecuali Surakarta. Kawasan Manahan yang merupakan pusat orientasi lingkugan merangkap pusat rekreasi dan olahraga yang memiliki linkage denganjalan protokol kota Jalan Brigjend Slamet Riyadi, pusat kota dan Bandara internasional Adisumarmo, sehingga memiliki jalur-jalur sirkulasi yang ramai, karena menjadi sasaran PKL untuk berkegiatan untuk melangsungkan kehidupannya. Konsekuensi logisnya terjadi perubahan-perubahan fiingsi dan fisik arsitektural akibat berlangsungnya kegiatan PKL dalam jumlah di luar batas kewajaran, seperti kemacetan lalulintas, kekumuhan ruang kawasan, dan privatisasi ruang publik. Di lain pihak, ketidaktertiban pemanfaatan ruang dampak kehadiran PKL ini terjadi karena ketidaksiapan Pemerintah Kota (Pemkot) Surakarta dalam hal ini beberapa walikota yang silih berganti didukung dinas-dinas terkait untuk menghadapi hal ini. Karena belum direncanakannya pengakomodasian ruang kota dan kawasan bagi PKL yang juga memiliki hak untuk melangsungkan kehidupannya ini dalam Rencana Umum Tata Ruang Kota Surakarta (RUTRK Ska) tahun 1993-2013. Bahkan hingga kini belum terdapat Peraturan Daerah (Perda) tentang PKL, dalam arti untuk
pengelolaan dan pemberdayaan PKL, sejalan dengan belum dapat dipublikasikannya pemetaan PKL Surakarta, sejak tahun 2003 hingga kini. Namun demikian, secara faktual keadaan tidak kondusif yang menginspirasi tim penulis untuk meneliti ini, kini dalam beberapa area, khususnya main entrance Lapangan Manahan dari arah Jl. Adisucipto telah mulai pulih, meskipun belum sepenuhnya. Kondisi itu akibat direlokasikarmya PKL di area itu ke dalam Lapangan Manahan, yang lajim disebut Sunday Market; sebutan yang sesuai dengan nama paguyuban PKLnya serta macam kegiatannya yang hanya berlangsung pada hari Minggu. Hal ini tentu saja terlepas dari kekecewaan PKL akibat berkurangnya intensitas waktu operasionalnya. Menilik jenis usaha PKLnya, terutama tentang jenis makanan dan minuman serta penjualan barang dan jasa, memang menggambarkan secara jelas tentang jenis makan dan minuman kesukaan masyarakat kota Surakarta, serta perkembangan kebutuhan masyarakatnya. Tentu saja, terlepas dari diterima dan tidaknya hal itu di kalangan masyarakat, misalnya jasa tatoo, sedangkan penjualan voucher, sudah tentu merupakan salah satu kebutuhan masyarakat dari segala usia. Yang penting, dalam hal ini memang harus diseimbangkan kebutuhan PKL dengan kebutuhan publik yang tersirat dari kebutuhan kenyamanan dan ketertiban ruang publik (taman, jalan dan tempat parkir), seperti halnya jalur sirkulasi yang tidak macet. Dikaitkan dengan hal ini, dengan segala keterbatasannya, bagaimanapun pembenahan terkini pada bulan Desember 2006 yang menyebabkan keadaan berbeda dengan saat pengajuan proposal pada bulan Maret 2006, ini perlu dipuji. Terlebih
21
jika diingat, bahwa proses relokasi PKL berjalan relatif secara damai, tanpa benturan frontal berarti antara petugas pelaksana dari pihak Pemkot di lapangan dengan para PKL sebagaimana banyak terdapat pada kota-kota lain. Telah dibahas, bahwa perubahan fungsi dan fisik arsitektural, terjadi oleh sisi keterbatasan dari beberapa pihak, selain PKL, juga kesiapan pihak Pemkot ketika itu. Secara faktual, beberapa bulan lalu Walikota Surakarta telah meresmikan pembukaan "City Walk" yakni proyek pedestrianisasi yang direncanakan dari Purwosari hingga ke Pasar Gedhe (melalui tepi selatan jalan Slamet Riyadi) beserta PKLnya yang dilaksanakan secara bertahap. Hemat penulis hal itu sesungguhnya merupakan upaya penghadiran elemen perancangan kota activity support, yang dapat diterjemahkan pengakomodasian ruangnya sebagai jalur pejalan kaki serta kegiatan PKL sebagai salah satu elemen perencanaan kota ataupun kawasannya yang sengaja untuk menghidupkan suasana dan kegiatan-kegiatan perkotaan lainnya, yang tidak saling mengganggu ruang publik karena telah ditata sedemikian rupa. Terkait kondisi penggunaan ruang secara ideal bagi PKL, PKL di kawasan Manahan khususnya dan di Indonesia umumnya memang belum dapat memiliki kondisi seperti halnya activity support di mancanegara. Sistem transportasi di Indonesia yang belum mengutamakan penggunaan transportasi umum di dalam kota serta pedestrianisasi, serta belum tersusunnya rencana tentang PKL, merupakan faktor-faktor yang tergali dalam penelitian ini, yang dimungkinkn akan lebih bervariasi dengan faktorfaktor lain dari disiplin ilmu lain serta sudut pandang lain dari peneliti lain.
5.2. Saran-saran Berdasarkan pembahasan dan kesimpulan, diajukan saran-saran sebagai berikut. 1) Pentingnya pembelajaran terus menerus bagi beberapa pihak Hal ini antara pihak Pemkot, PKL sendiri melalui organisasinya, bahkan setiap individu masyarakat untuk bersama-sama memulihkan, meningkatkan dan menjaga suasana kondusif lingkungannya secara terus menerus melalui proses pembelajaran melalui bidang masng-masing.yang terkait dengan keseimbangan kebutuhan antara publik (yang dalam hal ini tercermin dalam ruang-ruang publik dan pemanfaatannya) dengan PKL. 2) Setiap produk Pemkot berkaitan dengan pengeolaan ruang kota, antara lain penyusunan ataupun revisi RUTRK Ska., penyusunan Perda tentang PKL, pihak-pihak terkait (stakeholders) dalam masyarakat, termasuk PKL, harus berpartisipasi secara legal formal untuk memberikan masukan dalam proses penyusunan, serta berpartisipasi pula dalam pengawasan dan evaluasi implemntasinya, sehingga hasilnya setidaknya memperhatikan untuk tidak mengatakan memenuhikebutuhan semua stakeholders. 3) Partisipasi dan pemberdayaan masyarakat dalam hal d atas, saat ini hendaknya tidak sekedar legitimasi melalui pencamtuman daftar hadir dan berita acara yang menyatakan pengikutsertaan masyarakat, Namun harus
22
dilaksanakan secara semestinya, sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang Rl no 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang 6. DAFTAR PUSTAKA Beng-Huat, Chua dan Norman Edwards (1992). Public Space: Design, Use and Management Singapore University Press. Direktorat Fasilitasi Penataan Ruang dan Lingkungan Hidup, Direktorat Jenderal Bina Pembangunan Daerah, Departemen Dalam Negeri. (2007). Undang-undang Republik Indonesia nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Lestari, Dwi Suci Sri, cs. (1999). Pengantar Arsitektur, UPT penerbitan Unversitas Tamma Negara, Jakarta. Ligo, Larry L (1984). The Concept of Function in the TwentiethCentury, Architectural Criticism, UMI Research Press. Lincoln, Yvonna S dan Egon G, Guba (1985). Naturalistic Inquiry, Sage Publications. Markus, Zahn, (2006). Perancangan Kota Secara Terpadu^ penerbit Kanisius Moleong, Lexy J. (1993). Metoda Penelitian Kulaitatif, penerbit PT. Remaja Rosdkarya, Bandung. Muhadjir, Noeng. (1989). Metode Penelitian Kualitatif. Telaahan Positivistik, Rasionalistik dan Fenemenologik, penerbit Rake Sarasin, Yogyakarta. Nasution S, (1988). Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif, penerbit Tarsitp, Bandung.
Pemerintah Kotamadya Daerah Tingkat II Surakarta. (1983-2003). Rencana Vmum Tata Ruang Kotamadya Surakarta 1983-2000. Pemerintah Kota Surakarta (didukung CDS). (2003). Strategi Pembangunan Kota Surakarta^ Rachbini, Didik J.dan Abdul Hamid (1994). Ekonomi Informal Perkotaan, PT. Pustaka LP3ES Indonesia, Jakarta. Ramli MS, Rusli. (1992). Sektor Informal Perkotaan Pedagang Kaki Lima, penerbit Ind-Hill-Co, Jakarta. Rapoport, Amos (1969). House Form and Culture, Prentice Hall, Inc. .„_„._,_ (1982). The Meaning of The Built Environment, ANonverbal Communication Approach, Sage Publications. ———— (1990/ System of Activities . and System of Settings dalam Susan Kent (1990). Domestic Architecture and The Use of Space, an Interdisciplinary CrossCultural Study, Cambridge University Press. RM. Sayid (1984). Babad Sala, penerbit Rekso Pustoko Mangkunegaran, Sala. Rossi, Aldo (1982). The Architecture of The City, The MIT Press. Shirvani, Hamid (1985). Urban Design Process, Van Nostrand Reinhold. Usman, Sunyoto. (1998). Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat, penerbit Pustaka Pelajar, Yogyakarta. BIODATA TIM PENULIS 1. Dwi Suci Sri Lestari, alumni SI Teknik Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Diponegoro (FT-UNDIP) Semarang, S2 Teknik Arsitektur (alur:
23
Sejarah dan Teori Arsitektur) Program Pascasarj ana Institut Teknologi Bandung, dosen tetap Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Tunas Pembangunan (FT-UTP) Surakarta, ketua penelitian terkait. 2. Djumiko, alumni S1 Teknik Arsitektur (FT-UNDIP) Semarang, S2 Teknik Arsitektur (alur: Teknologi dan Perancangan Arsitektur) Program Pascasarj ana Institut Teknologi Bandung, dosen tetap Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Tunas Pembangunan (FT-UTP) Surakarta., anggota penelitian terkait
24