Alamat Redaksi : Lembaga Penelitian Kepada Masyarakat (LPM) IAIN SYEKH NURJATI Cirebon, Jl. Perjuangan By Pass, Sunyaragi Cirebon 45132 Jawa Barat Indonesia Phone 0231-481264, ext 109, Fax 0231-489926,
Journal for Islamic Social Sciences Vol 13 Nomor 02, Desember 2012/1434 H ISSN : 1412-3564
ISSN : 1412-3564
Penanggung jawab Ilman Nafi'a Redaktur Wakhit Hasyim Penyunting Fuad Faizi Kesekretariatan Burhanudin Sanusi Mahrus Muhammad Maimun A. Syatori Hj. Herry Puji Siswati
-ii-
Penerbit Nurjati Press Gedung Rektorat lt. 1 IAIN-SNJ Cirebon Jl. Perjuangan Sunyaragi Kota Cirebon 45132 Telp.: (0231) 481264 Fax.: (0231) 489926 e-mail:
[email protected] dicetak oleh :
CV. PANGGER Jl. Mayor Sastraatmdja No. 72 Gambirlaya Utara Kasepuhan Cirebon Telp. 0231-223254 email :
[email protected] Holistik Vol 13 Nomor 02, Desember 2012/1434 H
DAFTAR ISI Fuad Faizi
PENGANTAR EDITORIAL PEMAHAMAN SOSIAL TRANSFORMATIF Ahmad Rofii
FIQH ALIRAN MENYIMPANG KONSEP PENYIMPANGAN AJARAN AGAMA DALAM HUKUM ISLAM DI KOTA CIREBONPENGARUH KEMAMPUAN
-iii-iii-
v
1
Asep Kurniawan
PENGARUH KEMAMPUAN PEMBELAJARAN 23 ORGANISASI TERHADAP KOMPETENSI, TINGKAT DIVERSIFIKASI DAN KINERJA STAI SWASTA DI WILAYAH III CIREBON Ahmad Ripa’i
DIALEKTIKA ISLAM DAN BUDAYA SUNDA (Studi Tentang Sistem Kepercayaan dan Praktik Adat pada Komunitas Masyarakat di Desa Nunuk Baru Kecamatan Maja Kabupaten Majalengka Jawa Barat)
41
Hajam
73
Aah Syafaah
91
PANDANGAN THARIQAH ALAWIYAH PP. DARUL ULUM SERANG CIREBON TERHADAP EKSISTENSI SYARIAH DALAM TASAWUF IRFANI RABIAH AL-ADAWIYAH
PERAN KH. ANAS SEBAGAI MUQODDAM TIJANIYAH DALAM ASPEK POLITIK, SOSIO-EKONOMI DAN KEAGAMAAN DI PESANTREN AL-ISHLAH SIDAMULYA ASTANA JAPURA CIREBON (1883-1947)
Holistik Vol 13 Nomor 02, Desember 2012/1434 H
-iv-iv-
Siti Fatimah 103
PERAN NYI MAS RARA SANTANG DI BALIK KESUKSESAN SUNAN GUNUNG JATIPENGGUNAAN Zaenal Masduqi 121
DINAR-DIRHAM DAN FULUS : Upaya Menggali Tradisi Yang Hilang (Studi Kasus Di Wilayah Cirebon) Metode Interpretasi Teks-teks Agama dalam Mazhab Salafi Saudi mengenai Isu-isu Gender
Holistik Vol 13 Nomor 02, Desember 2012/1434 H
Pengantar Editorial PEMAHAMAN SOSIAL TRANSFORMATIF vv Fuad Faizi
Agama sebagai bagian dari fenomena sosial merupakan bagian yang tak terpisahkan dari perubahan sosial yang terjadi di masyarakat. Dalam konteks perubahan sosial masyarakat, agama (seharusnya) tidak hanya menjadi obyek perubahan, tetapi juga (sepatutnya) agama juga menjadi faktor penggerak perubahan. Untuk menjadi penggerak perubahan itu lah dibutuhkan suatu pemahaman keagamaan yang transformatif terhadap fenomena sosial dan budaya. Seperti apakah pemahaman agama yang transformatif itu bisa dilihat dari sejauh mana keberpihakan dan keterlibatan dari (hasil pemahaman) agama itu terhadap perubahan fenomena sosial, budaya dan politik yang terjadi di sekitarnya ke arah yang lebih baik. Dalam edisi ini, kita melihat bahwa fenomena keagamamaan tidak hanya sebatas obyek dari perubahan tapi juga merupakan faktor penggerak perubahan. Dalam hal ini, apabila fenomena agama dan keberagamaan hanya menjadi obyek dari perubahan berarti ia dianggap sebagai penghalang bagi proses perubahan sosial transformatif untuk terjadi. Dalam beberapa tulisan edisi ini, kita bisa melihat sejauh mana peran-peran keagamaan sebagai penggerak perubahan sosial atau sebatas menjadi obyek perubahan. Meskipun sebagian sebatas melihat kemungkinan atau peluang untuk bisa menjadi penggerak perubahan, tapi paling tidak ia telah mampu mewacanakan ide tentang perubahan sosial itu sendiri. Dengan kata lain, kemampuan untuk memberikan peluang bagi wacana perubahan adalah suatu titik mula (atau syarat) bagi perubahan itu sendiri untuk selanjutnya bisa terjadi. Dalam beberapa tulisan awal, kita akan melihat interaksi organisasi keagamaan dengan fenomena kekinian. Dalam kasus aliran baru Millah Ibrahim, misalnya, tulisan Ahmad Rofi’i membahas bagaimana satu kekeliruan terjadi di MUI kota Cirebon berkaitan dengan sandaran hukum yang sebenarnya adalah pendapat ulama tetapi dirujuk sebagai hadist Nabi SAW. Bahkan, penilaian kesesatan Holistik Vol 13 Nomor 02, Desember 2012/1434 H
-v-
PENGANTAR EDITORIAL PEMAHAMAN SOSIAL TRANSFORMATIF
-vi-
sudah dilakukan sebelum Komisi Fatwa mendiskusikannya dalam sidang Komisi Fatwa. Sementara itu, penelitian Asep Kurniawan mengemukakan bahwa, di lingkungan PTAI wilayah III Cirebon, terdapat gejala dan gambaran tingkat pendidikan dan kepakaran yang kurang memadai, jabatan kepemimpinan yang mempertahankan status quo, dalam arti banyak kecenderungan tampuk kepemimpinan dipegang seumur hidup atau, paling tidak, dipegang dalam jangka waktu yang sangat lama sampai lebih dari empat periode atau turun temurun secara kekeluargaan. Yang lebih parah lagi, hal itu dilakukan bukan berdasarkan kompetensi yang handal dari sisi leadership. Di samping itu, masih banyak dijumpai konflik internal antara kepemimpinan perguruan tinggi dengan kepemimpinan yayasan dimana perguruan tinggi itu berada, adanya jabatan-jabatan boneka atau hanya numpang nama tanpa adanya kerja sesuai jabatan tersebut sedangkan yang berkiprah adalah orang lain pada jabatan yang berbeda. Untuk itu, pembelajaran organisasi diharapkan akan memicu perubahan pada beberapa PTAI yang ada di wilayah III Cirebon itu. Dari dua tulisan ini, tampaknya dinamika (sosial) keberagamaan itu masih ada pada tataran obyek dari perubahan sosial yang transformatif. Selanjutnya, dalam tulisan-tulisan berikutnya, misalnya, penelitian Aah Syafaah membahas tentang sejarah keberpihakan dan peran seorang kyai terhadap perubahan sosial transformatif sebagai bentuk respon keagamaan terhadap situasi sosial-politikekonomi pada masa penjajahan Belanda. Tulisan ini membuktikan bahwa seorang kyai itu, menurut sejarah, tidak terlepas begitu saja dari kehidupan dan situasi sosial masyarakat sekitarnya. Atas dasar itu, kyai Anas selalu terlibat baik itu dalam perjuangan pembebasan masyarakat sekitarnya dari belenggu penjajahan Belanda maupun dalam usaha-usaha pembelaan terhadap kesejahteraan masyarakat sekitarnya. Hal ini tentu saja dilakukan oleh kiai Anas didasarkan atas pemahaman beliau bahwa agama bukan lah suatu entitas yang terpisah dari kehidupan sosial-politik-ekonomi yang menjadi bagian integral dari fenomena keberagamaan itu sendiri. Sementara itu, tulisan Faqihuddin Abdul Kodir menunjukkan bahwa, dalam Mazhab Salafi Saudi, peluang atau kemungkinan untuk dilakukan suatu interpretasi (ulang) alternatif yang bisa dikembangkan sebagai upaya untuk melakukan perubahan terhadap pemahaman relasi gender yang lebih baik dalam ideologi Mazhab Salafi Saudi Holistik Vol 13 Nomor 02, Desember 2012/1434 H
Fuad Faizi
itu sendiri. Meskipun, ada beberapa pihak yang meragukan peluang perubahan transformatif itu bisa dilakukan. Akhirnya, saya sangat berharap tulisan-tulisan dalam edisi Holistik kali ini bisa menjadi media pembelajaran bagi pemahaman dan perubahan sosial yang transformatif terhadap model-model keberagamaan di Indonesia.
Holistik Vol 13 Nomor 02, Desember 2012/1434 H
-vii-
FIQH ALIRAN MENYIMPANG: KONSEP PENYIMPANGAN AJARAN AGAMA DALAM HUKUM ISLAM DI KOTA CIREBON
-viii-
Holistik Vol 13 Nomor 02, Desember 2012/1434 H
FIQH ALIRAN MENYIMPANG: KONSEP PENYIMPANGAN AJARAN AGAMA DALAM HUKUM ISLAM DI KOTA CIREBON vv Ahmad Rofii Abstrak Akhir-akhir ini ramai muncul aliran-aliran baru dalam Islam. Kemunculan aliran-aliran baru itu telah menyebabkan respon yang keras (bahkan, fatwa pengkafiran terhadap para pengikutnya) dari kelompok-kelompok atau aliran-aliran Islam yang dianggap telah mapan terlebih dahulu. Dalam konteks kemunculan aliran Millah Ibrahim, penelitian ini berusaha mengungkap tentang tata cara penyusunan fatwa yang dikembangkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan kelompok-kelompok Islam lain yang telah mapan(Muhammadiyah dan NU) . Dari hasil penelusuran peneliti, terutama di MUI, terdapat satu kekeliruan berkaitan dengan sandaran hukum yang sebenarnya adalah pendapat ulama tetapi dirujuk sebagai hadist Nabi SAW. Bahkan, penilaian kesesatan sudah dilakukan sebelum Komisi Fatwa mendiskusikannya dalam sidang Komisi Fatwa. Kata Kunci: Millah Ibrahim, Aliran Baru, Sesat, MUI A. PENDAHULUAN
Belakangan ini masyarakat Muslim Indonesia dihadapkan dengan maraknya aliran-aliran dan faham-faham keagamaan yang membawa perspektif yang dalam banyak hal berbeda dengan yang dianut oleh mayoritas atau kelompok-kelompok arus utama. Salah satu yang termasuk baru adalah Millah Ibrahim. Paham keagamaan ini didirikan oleh Zubaidi Djawahir dari Kuningan Jawa Barat. Paham ini kemudian menyebar ke Cirebon. Ajaran Millah Ibrahim dianggap telah menyimpang dari prinsip keimanan yang paling mendasar dalam Islam. Lebih dari itu, hak hidup para pengikutnya pun tidak diakui; mereka dipinggirkan dan diserang.1 Dalam beberapa kasus, apa yang terjadi pada para pengikut Millah Ibrahim juga menimpa kelompok-kelompok 1“Markas Aliran Sesat Millah Ibrahim Digerebek Polisi”
Diakses tanggal 20 Oktober 2011.
Holistik Vol 13 Nomor 02, Desember 2012/1434 H
-1--1-
FIQH ALIRAN MENYIMPANG: KONSEP PENYIMPANGAN AJARAN AGAMA DALAM HUKUM ISLAM DI KOTA CIREBON
-2-
minoritas lain yang mempunyai paham keagamaan yang tidak sejalan dengan ajaran arus utama. Agama diyakini membawa paham keagamaan yang sangat menjunjung tinggi perbedaan faham dan menghormati hak beragama setiap orang. Sementara itu, Islam juga meyakini bahwa kebebasan beragama merupakan salah satu prinsip utama dalam Islam.2 Seperti yang jelas tersurat dalam al-Qur’an, terdapat penegasan bahwa tidak ada paksaan dalam agama (lā ikrāha fī ad-dīn)3 dan siapa saja boleh beriman ataupun tidak sesuai dengan kehendaknya (fa man syā’a falyu’min wa man syā’a falyakfur).4 Bahkan, prinsip kebebasan dan toleransi ini seringkali dikemukakan untuk menunjukkan keindahan karakter Islam yang penuh penghargaan terhadap perbedaan. Akan tetapi, pada karakter itu kemudian dilekatkan persyaratan-persyaratan yang pada akhirnya banyak memberikan pembatasan dan pengecualian terhadap aplikasi prinsip kebebasan dan toleransi itu tersebut. Di Indonesia, permasalahan penyimpangan ajaran agama atau lebih tepatnya penyimpangan dari ajaran yang disepakati mayoritas telah lama menjadi konsen ulama. Para wakil mayoritas pada umumnya akan menjatuhkan fatwa sesat terhadap tindakan yang diklaim merupakan penyimpangan tersebut. Di Kota Cirebon Jawa Barat, di samping aliran yang telah mapan muncul pula aliran baru yang juga dianggap telah melenceng dari ajaran fundamental Islam. Yang termasuk baru, salah satunya adalah, Millah Ibrahim. MUI Kota Cirebon kemudian mengeluarkan fatwa sesat terhadap aliran baru itu. Sikap MUI tersebut juga diamini oleh beberapa organisasi Islam lainnya dan dijadikan dasar kebijakan pemerintah. Tidak lama setelah itu, beberapa anggota organisasi keagamaan puritan melakukan represi dan pengrusakan terhadap properti pimpinan dan para pengikutnya.5 Persoalan utama yang menjadi konsen penelitian ini adalah tentang konsep penyimpangan ajaran agama dalam hukum Islam sebagaimana dipahami dan dirumuskan oleh para perumus hukum Islam di Kota Cirebon. Penelitian ini membatasi diri pada pandangan 2 Lihat Mohammad Hashim Kamali, “Freedom of Religion in Islamic Law” dalam Capital University Law Review, 21 (1992). 3 QS. al-Baqarah (2): 256. 4 QS. al-Kahfi (18): 29. 5 “Ajaran Millah Ibrahim Dinyatakan Sesat”, Republika, Rabu 3 Pebruari 2010, Diakses tanggal 1 Oktober 2011; “Masyarakat Cirebon Datangi Rumah Bos Aliran Sesat”, Warta Kota, Minggu 17 Januari 2010, Diakses tanggal 1 Oktober 2011.
Holistik Vol 13 Nomor 02, Desember 2012/1434 H
Ahmad Rofii
hukum dan keagamaan yang tertuang dalam fatwa dan keputusan hukum lembaga-lembaga fatwa di Kota Cirebon, yaitu Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama (NU), dan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Pandangan tersebut telah dirumuskan dalam formulasi hukum Islam oleh para perumus hukum Islam (fuqaha/ulama) yang dipandang kompeten dalam organisasi-organisasi tersebut. Secara khusus ada tiga hal yang menjadi tujuan penelitian ini: pertama, untuk melakukan deskripsi kritis atas konsep penyimpangan ajaran dalam hukum Islam sebagaimana dipahami oleh para perumus hukum Islam; kedua, untuk mengungkap pendekatan dan metode yang ditempuh oleh lembaga-lembaga fatwa di Kota Cirebon dalam merumuskan hukum Islam; ketiga, untuk mendeskripsikan dan menganalisa secara kritis pandangan para perumus hukum Islam dalam lembaga-lembaga fatwa di Kota Cirebon tentang konsep penyimpangan ajaran agama. Tulisan-tulisan yang mengkaji masalah perbedaan atau penyimpangan ajaran ini dalam tubuh umat Islam dewasa ini, khususnya yang ada di Indonesia, sudah cukup banyak. Hanya saja, tidak sedikit karya tersebut yang sedari awal berangkat dari asumsi normatif tertentu yang sangat subyektif, apakah aliran atau pandangan yang “menyimpang” tersebut masih dalam naungan syari’ah (yang dianut mayoritas), dengan denikian ia selanjutnya dainggap sebagai bid’ah atau telah menyimpang/keluar jauh dari Islam. Hal ini, misalnya, sangat jelas terlihat dari buku Aliran dan Paham Sesat di Indonesia6 dan Bunga Rampai Penyimpangan Agama di Indonesia,7 keduanya tulisan Hartono Ahmad Jaiz. Beberapa penelitian telah melakukan upaya deskripsi terhadap berbagai aliran dan pandangan keagamaannya. Hasil penelitian Nuhrison M. Nuh dan Achmad Rosidi, Kasus-kasus Aliran/Faham Keagamaan Aktual di Indonesia,8 dan penelitian tentang Faham-faham keagamaan aktual dalam komunitas masyarakat Islam, Kristen, dan Hindu di Indonesia oleh Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama,9 6 Hartono Ahmad Jaiz, Aliran dan Paham Sesat di Indonesia, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2002). 7 Hartono Ahmad Jaiz, Bunga Rampai Penyimpangan Agama di Indonesia, (Jakarta: Pustaka AlKautsar, 2007). 8 Nuhrison M. Nuh dan Achmad Rosidi, Kasus-kasus Aliran/Faham Keagamaan Aktual di Indonesia, (Jakarta: Departemen Agama RI, Badan Litbang dan Diklat, Puslitbang Kehidupan Keagamaan, 2006). 9 Tim Peneliti, Faham-faham keagamaan aktual dalam komunitas masyarakat Islam, Kristen, dan Hindu di Indonesia, (Jakarta: Departemen Agama RI, Badan Litbang dan Diklat, Puslitbang Kehidupan Keagamaan, 2008).
Holistik Vol 13 Nomor 02, Desember 2012/1434 H
-3-
FIQH ALIRAN MENYIMPANG: KONSEP PENYIMPANGAN AJARAN AGAMA DALAM HUKUM ISLAM DI KOTA CIREBON
-4-
juga Aliran-aliran Sesat di Indonesia,10 karangan Arifin Surya Nugraha, serta Aliran Sesat dan Nabi-nabi Palsu: Riwayat Aliran Sesat dan Para Nabi Palsu di Indonesia,11 tulisan A. Yogaswara dan Maulana Ahmad Jalidu memperlihatkan dengan baik berbagai aspek ajaran yang dianggap sesat dan menyimpang dari Islam oleh mayoritas muslim di Indonesia. Hal yang tidak disentuh dalam penelitian-penelitian itu adalah kurang adanya paradigma kritis (karena masih memakai paradigma normatif) terhadap pandangan keagamaan aliran-aliran yang dianggap sesat itu dan tidak melihat secara menyeluruh berbagai repons keagamaan dari masyarakat muslim lainnya, misalnya respon ulama. Upaya untuk melakukan kritik dengan melibatkan respons ulama terhadap berbagai pandangan “menyimpang” tersebut dapat dibaca, misalnya, dalam penelitian Piers Gillespie, “Current Issues in Indonesian Islam: Analysing the 2005 Council of Indonesian Ulama Fatwa No. 7 Opposing Pluralism, Liberalism and Secularism”.12 Artikel ini, meskipun menawarkan analisa yang kritis dan mendalam, tetapi terbatas hanya pada fatwa MUI tentang pluralisme, liberalisme dan sekularisme. Selanjutnya, tulisan M. Mukhsin Jamil, Membendung Despotisme Wacana Agama,13 juga mengulas secara kritis fatwa MUI. Seperti halnya pada tulisan Gillespie, karya Jamil tidak memberikan uraian komprehensif terhadap wacana dominan yang meatarbelakangi lahirnya pandangan keagamaan yang cenderung diskriminatif terhadap aliran-aliran baru di Indonesia. Senada dengan itu, keterbatasan dapat ditemui dalam penelitian Yulkarnain Harahap dan Supriyadi, “Aliran Sesat dalam Perspektif Hukum Pidana Islam dan Hukum Pidana Nasional”,14 karena hukum pidana Islam yang mereka maksud terbatas hanya kepada versi MUI. Diantara penelitian-penelitian itu, penelitian ini mencoba menawarkan kajian perbandingan, terutama dengan melihatnya dari sudut pandang hukum pidana di Indonesia. 10 Arifin Surya Nugraha, Aliran-aliran Sesat di Indonesia, (Jakarta: Banyu Media, 2007). 11 A. Yogaswara dan Maulana Ahmad Jalidu, Aliran Sesat dan Nabi-nabi Palsu: Riwayat Aliran Sesat dan Para Nabi Palsu di Indonesia, (Yogyakarta: Narasi, 2008) 12 Piers Gillespie, “Current Issues in Indonesian Islam: Analysing the 2005 Council of Indonesian Ulama Fatwa No. 7 Opposing Pluralism, Liberalism and Secularism”, dalam Journal of Islamic Studies, 8: 2 (2007). 13 M. Mukhsin Jamil, Membendung Despotisme Wacana Agama, (Semarang: Walisongo Press, 2011). 14 Yulkarnain Harahap dan Supriyadi, “Aliran Sesat dalam Perspektif Hukum Pidana Islam dan Hukum Pidana Nasional”, dalam Mimbar Hukum, vol. 20 no. 3 Oktober 2008.
Holistik Vol 13 Nomor 02, Desember 2012/1434 H
Ahmad Rofii
B. METODOLOGI Dalam penelitian ini digunakan pendekatan kualitatif. Melalui pendekatan kualitatif ini, penelitian ini bertujuan untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subyek penelitian secara holistik menyangkut gagasan, persepsi, pandangan atau kepercayaannya.15 Penelitian ini akan dilakukan di Kota Cirebon Jawa Barat Indonesia. Daerah ini dari sisi aliran dan mazhab keagamaan Islam cukup variatif; ada yang mempunyai orientasi tradisional dan ada yang modernis, ada yang puritan dan ada secara relatif liberal. Subyek penelitiannya adalah para perumus hukum Islam dalam organisasi-organisasi Islam di Kota Cirebon. Sedangkan obyek penelitiannya adalah pandangan keagamaan mereka tentang konsep penyimpangan ajaran agama dalam hukum Islam. Dalam penelitian ini, yang menjadi sumber data primer adalah dokumentasi, observasi dan wawancara. Studi dokumentasi dilakukan terhadap khususnya dokumen-dokumen resmi yang memuat pandangan hukum organisasi-organisasi Islam mengenai konsep penyimpangan ajaran dan aliran-aliran mana yang dianggap telah menyimpang. Dokumen digunakan karena ia merupakan sumber yang stabil dan represtatif atas pandangan organisasi. Adapun observasi dilakukan untuk mengetahui karakteristik lokasi dan subyek penelitian serta para informan. Observasi dilakukan secara tidak berperan serta dan bersifat terbuka, dalam arti peneliti hanya sekedar mengamati dan subyek penelitian dan para informan menyadari dan mengetahui kehadiran peneliti. Sementara itu, wawancara yang digunakan adalah wawancara yang mendalam dan bersifat terbuka, di mana para informan kunci yang dianggap paling mewakili organisasi mengetahui mengetahui bahwa mereka sedang diwawancarai dan mengetahui maksud dan tujuan kegiatan wawancara. C. KONSEP PENYIMPANGAN AJARAN AGAMA DALAM HUKUM ISLAM
1. Kufur dan Riddah Dalam diskursus keislaman, untuk menunjuk kepada penyimpangan ajaran agama , kata yang banyak digunakan adalah kufur dan bid’ah. 15 Lihat Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010), cet. ke-27, h. 6.
Holistik Vol 13 Nomor 02, Desember 2012/1434 H
-5-
FIQH ALIRAN MENYIMPANG: KONSEP PENYIMPANGAN AJARAN AGAMA DALAM HUKUM ISLAM DI KOTA CIREBON
-6-
Penyimpangan ajaran dalam Islam bisa berimplikasi dan ada yang tidak terhadap status keislamanan seseorang. Penyimpangan ajaran agama yang bersifat ekstrem (menyangkut aqidah dasar) akan dianggap kufur, sementara yang tidak eskstrem hanya dianggap bid’ah. Kata kufur sendiri secara bahasa berarti menutupi sesuatu, menyembunyikan sesuatu atau berarti pula tidak berterima kasih. Pada umumnya kata kufur digunakan sebagai bahasa agama dengan maksud mendustakan (takz\īb) atau mengingkari kebenaran yang datang dari Allah melalui Rasul-Nya. Persoalan penentuan kekafiran, yakni apakah seseorang telah kafir, pada dasarnya adalah persoalan hukum Islam (mas’alah fiqhiyyah).16 Dalam menentukan predikat kufur kepada seseorang, mayoritas ulama menggarisbawahi bahwa pengkafiran tidak boleh dilakukan secara sembarangan. Ia harus didasarkan atas bukti-bukti yang pasti dan sangat jelas sehingga tidak menyisakan adanya keraguan atau kemungkinan lain (ih{timāl). Dengan mengacu kepada khazanah kesarjanaan tradisional, sarjana hukum Islam kontemporer, Muh{ammad Abu> Zahrah, menegaskan bahwa ada beberapa kriteria untuk memastikan apakah sesorang telah dianggap murtad atau tidak, di antaranya adalah penghinaan terhadap Nabi Muhammad saw, pengingkaran terhadap hal-hal yang diharamkan secara pasti, pengingkaran terhadap ajaran yang diketahui secara pasti (mā ‘ulima min al-dīn bi al-d}aru>rah) berdasarkan ijma‘ al-ummah, pengingkaran terhadap keyakinan teologis yang didasarkan atas dalil yang pasti, penentangan terhadap kewajiban agama yang fundamental, dan penghalalan hal-hal yang secara pasti diharamkan oleh agama.17 Bagi mayoritas ulama tradisional, ketika seseorang dianggap telah keluar dari Islam, maka berarti ia telah melakukan tindakan kriminal yang tergolong berat yang termasuk jenis pidana h{udu>d. Sanksi pidana bagi pelaku riddah, menurut mereka adalah hukuman mati. Hal ini didasarkan atas beberapa riwayat hadis, terutama hadis riwayat Bukhārī�, “man baddala dīnahu faqtulu>h” (siapa saja yang mengganti agamanya maka bunuhlah). Posisi ini bagi beberapa penulis dianggap sebagai kesepakatan ulama.18 Kesimpulan ini tentu saja tidak harus 16 Abu> H{āmid al-Gazālī, Kitāb al-Iqtis}ād fī al-I‘tiqād, (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1988), h. 155; Abu> al-Fath{ Muh{ammad ‘Abd al-Karīm al-Syahrastānī, al-Milal wa al-Nih{al, ed. S}idqī Jamīl al-‘Aththār, (Beirut: Dār al-Fikr, 2005), h. 163. 17 Muh{ammad Abu> Zahrah, al-Jarīmah wa al-‘Uqu>bah fī al-Fiqh al-Islāmī: al-‘Uqu>bah, (Kairo: Dār al-Fikr al-‘Arabī, tt.), h. 163-164. 18 Sayyid Sābiq, Fiqh al-Sunnah, (Beirut: Dār al-Fikr, 1983), jilid II, cet. ke-4, h. 386, misalnya, mencatat “walam yakhtalif ah{adun min al-‘ulamā’ fī wuju
Holistik Vol 13 Nomor 02, Desember 2012/1434 H
Ahmad Rofii
diterima secara serta merta, mengingat beberapa ulama klasik ada yang memberikan pandangan hukum yang sangat berbeda mengenai itu. Ibrāhī�m al-Nakhā‘ī� dan Sufyān al-S|aurī� menyatakan bahwa orang yang murtad hanya diminta untuk kembali kepada Islam dan, oleh karena itu, tidak dapat dihukum mati. Dengan nada yang sama, Ibn alWalī�d al-Bājī� dan Ibn Taimiyyah menegaskan bahwa riddah hanyalah sebuah dosa dan tidak bisa dimasukkan sebagai h{add. Kalaupun ada hukuman yang akan ditimpakan kepadanya, maka hukuman tersebut hanyalah ta‘zīr.19 Pada masa sekarang ini, hukuman mati bagi orang yang murtad lebih tentu saja mendapatkan kritik tajam.20
2. Penyimpangan Ajaran dan Problem Kesepakatan Ulama Menurut banyak ulama, suatu faham atau ajaran dipandang menyimpang jika salah satunya ia menyalahi hal-hal yang telah disepakati oleh ulama (mujma‘ ‘alaih). Dalam teori hukum Islam (ushul fiqh), terjadi perdebatan yang sangat serius tentang otoritas ijma, bagaimana ia dimaknai, kemungkinan terjadinya, dan konsekuensi yang mungkin diterima jika menentangnya. Kesepakatan universal para ulama (selanjutnya disebut ijma’) merupakan di antara sumber acuan yang dipandang paling otoritatif bagi umat Islam dalam aktivitas penemuan hukum. Bagi mayoritas ulama ushul, kesepakatan ulama yang mempunyai kualifikasi ijtihad merupakan argumen yang tak terbantahkan dalam agama. Perujukan terhadap ijtihad itu merupakan langkah pertama yang harus dilakukan jika seseorang akan melakukan proses penemuan hukum. Bagi al-Gazālī�, ijma’ haruslah merupakan kesepakatan umat Islam secara keseluruhan (ijmā‘ al-ummah).21 Oleh karena itu, ia hampir tidak mungkin untuk dilakukan. Jenis pengetahuan tentang ajaran agama yang didasarkan atas ijma ini bernilai pasti, meyakinkan atau self evident (mā ‘ulima min al-dīn bi pun yang berbeda pendapat tentang kewajiban menghukum mati orang murtad). Hal yang sama dikemukakan oleh Wahbah al-Zuh{ailī, al-Fiqh al-Islāmī wa Adillatuhu, (Beirut: Dār al-Fikr al-Mu‘ās}ir, 1997), jilid VII, cet. ke-4, h. 5580. 19 Mohammad Hashim Kamali, “Punishment in Islamic Law: a Critique of the Hudud Bill of Kelantan, Malaysia” dalam Arab Law Quarterly, Vol. 13 (1998), h. 214-215; Mohammad Hashim Kamali, “Freedom of Religion in Islamic Law” dalam Capital University Law Review, ed. 21 (1992), h. 71. 20 Lihat Mohammad Hashim Kamali, “Freedom of Religion”; Mah>mu>d Syaltut, al-Islām ‘Aqīdah wa Syarī‘ah, (Kuwait: Dār al-Qalam, 1963), h. 292-293. Muh{ammad Sa‘īd Ramad}ān al-Bu>thī, al-Jihād fī al-Islām, (Beirut: Dār al-Fikr al-Mu‘as{ir, 1993), h. 210-216. 21 Lihat definisi al-Gazālī tentang ijma’ dalam Abu> H{āmid al-Gazālī, al-Mustas}fā fī ‘Ilm al-Us}u>l, h. 143. Lihat lebih lanjut Wahbah az-Zuh{ailī, Us}u>l al-Fiqh al-Islāmī, (Damaskus: Dār al-Fikr, 1986), jilid I, h. 490-491.
Holistik Vol 13 Nomor 02, Desember 2012/1434 H
-7-
FIQH ALIRAN MENYIMPANG: KONSEP PENYIMPANGAN AJARAN AGAMA DALAM HUKUM ISLAM DI KOTA CIREBON
-8-
al-d}aru>rah).22 Dalam literatur kesarjanaan Islam tradisional, sering muncul klaim adanya ijma’ dalam banyak permasalahan. Klaim adanya ijma’ yang mu’tabaroh mengharuskan adanya bukti-bukti kuat sesuai dengan kriteria-kriteria yang telah ditetapkan. Hanya saja, untuk memenuhi semua kriteria itu oleh beberapa teoritisi diakui sangat sulit. Al-Syafi’i sendiri sangat pesimis dengan kemungkinan kemungkinan bisa dilakukannya ijma’ seperti yang disinggung di atas.23 Jika dipastikan atau disangka dengan kuat bahwa sebuah ijma’ telah tercapai mengenai suatu masalah, maka hasil kesepakatan tersebut wajib diterima oleh umat sebagai hujjah dalam agama. Umat sesudahnya diharamkan untuk berselisih atau melakukan ijtihad lagi atas masalah yang sama. Orang yang mengingkari ke-hujjah-an ijma’ secara mutlak dianggap telah kafir.24
3. Bid’ah Secara bahasa, bid’ah berarti inovasi atau hal baru yang diciptakan (ikhtirā‘) tanpa adanya preseden sebelumnya atau tanpa didasarkan atas praktek yang telah mapan. Dalam bahasa keagamaan, oleh sebagian ulama seperti ‘Izz al-Dī�n ibn ‘Abd al-Salām bid’ah dipahami secara umum sebagai “mengerjakan apa saja yang tidak ada contohnya pada masa Rasulullah saw”.25 Pengertian ini juga diikuti oleh al-Nawāwī�. Bagi ulama lain semisal al-Syāthibī�, bid’ah dikhususkan untuk wilayah ibadah. Menurutnya, bid’ah adalah “cara yang dibuat-buat dalam agama dalam agama yang menyalahi syari’ah, yang dimaksudkan untuk berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah”.26 Ulama yang memaknai bid’ah secara umum selanjutnya mengklasifikasikan bid’ah menjadi dua, yaitu bid’ah yang baik (h{asanah atau mah{mu>dah) dan bid’ah yang buruk (sayyi’ah atau maz\mu>mah). Bagi ibn ‘Abd al-Salām, ketentuan hukum bid’ah mengikuti kaidah-kaidah syari’ah (qawā‘id al-syarī‘ah), yakni lima ketentuan hukum (al-ah{kām al-khamsah). Oleh karena itu, bid’ah menurutnya dapat diklasifikasikan kepada lima macam; bid’ah (1) yang
22 Dalam epistemologi tradisional Islam, dikenal adanya dua jenis pengetahuan manusia, yaitu pengetahuan yang bersifat pasti (d}aru>rī) dan yang merupakan perolehan (muktasab). Lihat Abu> Ya‘lā al-Farrā’, al-‘Uddah fī Us}u>l al-Fiqh, (Riyad: tp., 1990), cet. ke-2, jilid I, h. 80-83. 23 Lihat Muh{ammad Abu> Zahrah, Us}u>l al-Fiqh, (Kairo: Dār al-Fikr al-‘Arabī, tt.), h. 199-201. 24 Wahbah al-Zuhailī, Us}u>l al-Fiqh al-Islāmī, h. 538-539. 25 ‘Izz al-Dīn ‘Abd al-‘Azīz ibn ‘Abd al-Salām, al-Qawā‘id al-Kubrā al-Mausu>m bi Qawā‘id al-Ah{kām fī Is}lāh{ al-Anām, ed. Naziyyah Kamāl H{ammād dan ‘Us\mān Jum‘ah D}amīriyyah, (Damaskus: Dār al-Qalam, 2000), jilid II, h. 337. 26 Abu> Ish{āq al-Syāthibī, al-I‘tis}ām, (ttp.: Maktabah al-Tawh{īd, tt.), jilid I, h. 43.
Holistik Vol 13 Nomor 02, Desember 2012/1434 H
Ahmad Rofii
wajib, (2) yang diharamkan, (3) yang dianjurkan, (4) yang makruh, dan (5) yang boleh (mubah).27 Al-Syāthibī� termasuk di antara ulama yang mengkritik klasifikasi bid’ah di atas. Setelah menegaskan hakikat bid’ah dan kesesatan (d} alālah)-nya, ia menegaskan bahwa klasifikasi bid’ah tersebut adalah sesuatu yang baru dan tidak didasarkan atas dalil syar’i. Klasifikasi itu juga dianggap rancu karena bid’ah yang dianggap wajib atau sunnah pada kenyataannya didasarkan atas dalil dan preseden sunnah Nabi yang kurang jelas. Bid’ah yang dianggap mubah juga menurut alSyāthibī� tidak dapat dikategorikan sebagai bid’ah.28 Sedangkan sanksi hukum bagi para pelaku bid’ah (yang sesat) tergantung kepada tingkat keparahan dan eskalasi yang ditimbulkannya. Jika bid’ah mengarah kepada kekufuran, maka ketentuan yang berlaku sama dengan kafir, sebagaimana diulas pada bagian yang terdahulu. Sedangkan bid’ah yang tidak berakibat pada kekufuran menjadi bidang garapan ijtihad para ulama.29 D. LEMBAGA-LEMBAGA FATWA DAN PEMBENTUKAN HUKUM ISLAM DI KOTA CIREBON
1. Hukum Islam di Kota Cirebon Aliran Islam yang berkembang di Cirebon pada awal kedatangannya oleh banyak sejarawan dianggap tidak saja Sunni tetapi Syi’ah.30 Syekh Siti Jenar atau Syekh Lemah Abang dalam cerita Babad Cirebon dianggap telah membawa dan menyebarkan aliran Syi’ah tersebut.31 Kemudian, sebagai akibat dari hubungan dengan dunia luar waktu itu, masyarakat Cirebon juga dikenalkan dengan berbagai aliran lain seperti aliran Salafi baik dari pengaruh Wahabi ataupun modernisme Muhammad Abduh. Sejak perkembangan awal Islam di tanah Cirebon, ada dua mazhab yang secara dominan berkembang, yaitu mazhab Syafi’i dan 27 Lihat ‘Izz al-Dīn ‘Abd al-‘Azīz ibn ‘Abd al-Salām, al-Qawā‘id al-Kubrā, h. 337-339. 28 Lihat Abu> Ish{āq al-Syāthibī, al-I‘tis}ām, h. 321-331. 29 Ibid., h. 292. 30 Hasan Muarif Ambary, “Peranan Cirebon Sebagai Pusat Perkembangan dan Penyebaran Islam” dalam Susanto Zuhdi (ed), Cirebon Sebagai Bandar Jalur Sutra, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1996), h. 41. 31 Bagi H.J. de Graaf dan Th. G. Th. Pigeaud, Cina Muslim di Jawa Abad XV dan XVI: Antara Historisitas dan Mitos, terj. Alfajri, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2004), cet. ke-2, h. 130-131, 174-176, anggapan keliru tentang berkembangnya aliran Syi’ah di Jawa pada saat itu, terutama yang dialamatkan kepada panteisme Syekh Siti Jenar, disebabkan karena “orang-orang Jawa baru saja mendapatkan pengetahuan yang masih dangkal tentang ajaran Islam”.
Holistik Vol 13 Nomor 02, Desember 2012/1434 H
-9-
FIQH ALIRAN MENYIMPANG: KONSEP PENYIMPANGAN AJARAN AGAMA DALAM HUKUM ISLAM DI KOTA CIREBON
-10-
mazhab Hanafi. Telah menjadi pengetahuan umum bahwa Islam yang berkembang di Jawa dan di Nusantara secara umum adalah Islam mazhab Syafi’i. Oleh sebab itu, para ahli agama (ulama) dan literatur kesarjanaan Islam di Nusantara kebanyakan mengacu kepada mazhab Syafi’i.32 Sementara itu, keberadaan mazhab Hanafi di Jawa khususnya di Cirebon dikaitkan dengan adanya komunitas muslim Tionghoa yang telah menetap. Mereka berasal dari etnis Yunan di Cina. Secara umum mereka adalah penganut mazhab Hanafi. Hanya saja, seperti terungkap dari kisah Bong Swi Hoo (Sunan Ampel), para imigran Cina yang akhirnya menetap di Nusantara merubah mazhabnya menjadi Syafi’iyah.33
2. Otoritas Hukum Islam dan Lembaga Fatwa di Kota Cirebon Di Kota Cirebon, yang dianggap membawa otoritas hukum Islam adalah individu-individu atau kelompok yang mempunyai kemampuan dalam ilmu-ilmu keagamaan dan diakui oleh komunitas ilmiah yang ada. Individu pemangku otoritas biasanya disebut dengan Kyai atau Ustadz. Selain otoritas individual, pembentukan hukum Islam dilakukan juga oleh mereka yang tergabung ke dalam organisasiorganisasi keagamaan yang memberikan pandangan keagamaan secara kelembagaan. Putusan yang dikemukakan bukan lagi pandangan individual, tetapi menjadi keputusan lembaga. Upaya intelektual satu komunitas ahli agama ini dalam kepustakaan Islam kontemporer biasa disebut ijtihād jamā’ī (ijtihad kolektif). Di Kota Cirebon, terdapat beberapa lembaga keagamaan yang mengeluarkan hasil putusan berdasarkan ijtihad kolektif tersebut, seperti yang dilakukan oleh Muhammadiyah (melalui Majelis Tarjih), Nahdlatul Ulama (melalui Bahtsul Masa’il), dan Majelis Ulama Indonesia (melalui Komisi Fatwa) di Kotamadya ini. Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah pada dasarnya bertugas mengkoordinasikan kegiatan sidang musyawarah Lajnah Tarjih dan juga penyusunan buku-buku pedoman. Sidang musyawarah Lajnah bertugas membicarakan masalah-masalah yang akan ditarjih (diambil yang terkuat dalilnya). Ia memusatkan perhatiannya untuk
32 Lihat Siradjuddin Abbas, Sejarah & Keagungan Madzhab Syafi’i, (Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 2006); Hasan Muarif Ambary, “Peranan Cirebon Sebagai Pusat Perkembangan dan Penyebaran Islam” dalam Susanto Zuhdi (ed), Cirebon Sebagai Bandar Jalur Sutra, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1996), khususnya Bab V dan VI; Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII, Akar Pembaruan Islam Indonesia (Jakarta: Kencana: 2007), edisi revisi, cet. Ke-3. 33 H.J. de Graaf dan Th. G. Th. Pigeaud, Cina Muslim, h. 81, 123-125.
Holistik Vol 13 Nomor 02, Desember 2012/1434 H
Ahmad Rofii
melakukan penelitian dalam bidang ilmu agama dan hukum Islam sehingga dapat diperoleh ajaran yang murni. Fungsi Lajnah ini adalah untuk memastikan ketentuan hukum Islam mengenai persoalan yang diperdebatkan dan diperselisihkan dalam masyarakat muslim.34 Majelis Tarjih dan Tajdid di Kota Cirebon dibentuk bersamaan dengan pemisahan kepengurusan PDM Kota Cirebon. Secara riil banyak persoalan yang muncul di kalangan warga Muhammadiyah yang menuntut adanya kejelasan ketentuan hukum agamanya. Meskipun Majelis sedari awal menyadari akan hal ini, tetapi karena ketiadaan atau keterbatasan SDM yang dimiliki maka tugas utama Tarjih dan Tajdid tidak dapat dilaksanakan. Kenyataan ini tentu saja menimbulkan tanda tanya, bagaimana PDM Kota Cirebon dapat membentuk Majelis yang nantinya tidak akan menjalankan tugas tarjīh} karena tidak ada orang dianggap mumpuni untuk melakukannya? Pada akhirnya yang dilakukan oleh Majelis adalah sekedar menghimpun berbagai persoalan keagamaan yang muncul dan berkembangan di kalangan masyarakat di Kota Cirebon untuk selanjutnya dimintakan fatwanya kepada Pengurus Wilayah Jawa Barat, yang berkedudukan di Bandung.35 Dalam Anggaran Rumah Tangga NU Butir 7 Pasal 16 disebutkan bahwa Lajnah Bahtsul Masa’il bertugas “menghimpun, membahas dan memecahkan masalah-masalah yang mawquf (belum jelas hukumnya) dan waqi‘ah (kejadian) yang harus segera mendapatkan kepastian hukum”. Di antara tugas pokok Lajnah dalam periode ini adalah pengkajian masalah-masalah aktual kemasyarakatan, perumusan dan penyebarluasan fatwa hukum (Islam), dan pengembangan standarisasi kitab-kitab fiqh.36 Pengurus Cabang Kota Cirebon akan mengadakan musyawarah Bahtsul Masail terutama setiap ada Konferensi Cabang. Peserta Bahtsul Masail biasanya dari Syuriyah dan ulama-ulama NU yang berada di luar struktur organisasi termasuk para pengasuh pesantren. Saat ini, seperti diakui oleh salah satu pengurusnya, kegiatan Bahtsul Masail hampir dikatakan vacum. Pada periode-periode sebelumnya secara rutin dihidupkan forum Bahtsul Masail. Topik-topik yang dimusyawarahkan berkenaan dengan permasalahan yang sifatnya aktual. Terkadang 34 Rifyal Ka’bah, Hukum Islam di Indonesia: Perspektif Muhammadiyah dan NU, (Jakarta: Universitas YARSI, 1999), h. 95-97. 35 Wawancara dengan Drs. Sunardi, Wakil Ketua PDM Kota Cirebon, Jumat 28 Oktober 2011, di Cirebon. 36 PBNU, Lembaga, diakses tanggal 21 Oktober 2011.
Holistik Vol 13 Nomor 02, Desember 2012/1434 H
-11-
FIQH ALIRAN MENYIMPANG: KONSEP PENYIMPANGAN AJARAN AGAMA DALAM HUKUM ISLAM DI KOTA CIREBON
-12-
persoalan yang dibahas berasal dari pertanyaan dari masyarakat.37 Salah satu fungsi, yang paling vital, MUI adalah pemberian fatwa. Fungsi ini diemban oleh Komisi Fatwa MUI. Komisi Fatwa akan menyelenggarakan persidangan jika diperlukan, atau ketika ada permintaan oleh masyarakat atau pemerintah menyangkut persoalan tertentu terkait hukum Islam. Selain itu, penetapan fatwa juga dilakukan pada saat konferensi tahunan para ulama yang diadakan oleh MUI.38 Sidang yang diadakan jika diperlukan adalah ketika MUI melihat signifikansi diadakannya sidang karena masalah aktual yang ada. Oleh karenanya, fatwa dapat dikeluarkan baik diminta ataupun tidak. Untuk MUI Daerah, seperti halnya MUI Kota Cirebon, permasalahan yang menjadi subyek fatwa haruslah bersifat lokal. Segala ketentuan menyangkut persidangan Komisi Fatwa MUI Pusat berlaku di daerah.39 Kriteria orang yang dipandang mampu untuk duduk di Komisi Fatwa adalah sebatas ia dipandang sebagai ulama menurut pertimbangan ketua Komisi. Khusus di MUI Kota Cirebon, anggota Komisi Fatwa secara keseluruhan merupakan lulusan perguruan tinggi, baik sarjana maupun magister. Yang menarik adalah adanya satu anggota perempuan yang latar belakang pendidikannya “sekular.” Para anggota Komisi pada umumnya mempunyai afiliasi dengan ormas Islam di Kota Cirebon.40
3. Metodologi Pembentukan Hukum Islam di Kota Cirebon Majelis Tarjih telah menetapkan pokok-pokok manhaj ijtihad yang telah (dan harus) dipedomani oleh Majelis dalam memutuskan ketentuan hukum atas suatu masalah. Bagi Majelis, dasar utama dalam beristidlāl adalah al-Qur’an dan Sunnah yang dapat diterima (maqbu>lah). Majelis juga menerima ijma’ sebagai dasar hukum. Hanya saja, ijma’ yang dimaksudkan adalah ijma’ sahabat.41 Ketika tidak ada ketentuan nash baik dalam al-Qur’an maupun Sunnah, maka dalam
37 Wawancara Dr. H. Syamsuddin, M.Ag., Wakil Rais Syuriah PCNU Kota Cirebon, Kamis 27 Oktober 2011, di Cirebon. 38 Mohammad Atho Mudzhar, Fatwa-fatwa Majelis Ulama Indonesia: Sebuah Studi tentang Pemikiran Hukum Islam di Indonesia, 1975-1988 (Edisi Dwibahasa), (Jakarta: INIS, 1993), h. 79-80. 39 Wawancara dengan Drs. Muslim Mukhlas, Sekretaris Umum MUI Kota Cirebon, Kamis 27 Oktober 2011, di Kantor Kementerian Agama Kota Cirebon. 40 Komisi Fatwa MUI Kota Cirebon diketuai oleh KH. Jaelani Said, M.Ag., Sekretarisnya adalah Drs. Abdul Aziz, dengan 4 anggota, yaitu Drs. H. Farihin Noor, M.Ag., Drs. H. Didin Abidin, M.Ag., Drs. Tatang Noor Saifullah, dan Ir. Erythrina Oktiyani. 41 Fathurrahman Djamil, Metode Majlis Tarjih Muhammadiyah, (Jakarta: Logos, 1995), 73-74.
Holistik Vol 13 Nomor 02, Desember 2012/1434 H
Ahmad Rofii
pandangan Majelis, ijtihad dan istinbāth dapat dilakukan, yang meliputi qiyās, istih}sān, istis}lāh{ dan sadd al-z\arī‘ah.42 Di samping sumber dan dalil di atas, Lajnah juga tidak mengenyampingkan kesarjanaan hukum Islam sebagaimana tercatat dalam literatur mazhab fiqh.43 Meskipun dengan mengemban seluruh fungsi kreatif ini, apa yang dilakukan oleh Majelis Tarjih dan Tajdid di Kota Cirebon tidak dalam posisi dan otoritas untuk menerapkan ijtihad secara tarjīh{ melalui mekanisme jamā‘ī, sebagaimana mestinya tugas Majelis, tetapi lebih sebagai agen yang menyampaikan persoalan-persolan lokal kepada Majelis Tarjih di Tingkat Wilayah agar diberikan putusan fatwa. Majelis Kota Cirebon selanjutnya berperan sekedar sebagai pengikut yang sadar (muttabi‘) kepada keputusan-keputusan Majelis Wilayah dan Pusat. Metode pengambilan keputusan hukum Islam telah menjadi perhatian ulama NU sejak organisasi ini didirikan. Dalam rumusan terbaru, tampak adanya dua metode pengambilan hukum, yang semuanya masih dalam kerangka bermazhab, yaitu bermazhab secara qaulī dan secara manjahī. Perumusan fatwa dengan cara bermazhab secara qaulī dilakukan dengan mengikuti pendapat yang sudah ada dan tersedia dalam lingkup salah satu dari empat mazhab Sunni. Bahtsul Masail dapat melakukan ijtihad (istinbāt)} sendiri secara kolektif apabila bermazhab secara qaulī tidak dapat dilaksanakan karena tidak ditemukannya kasus dan ketentuan hukum yang serupa dalam kitab. Aktivitas istinbāth tersebut dilakukan melalui mekanisme bermazhab secara manhajī.44 Dalam hasil-hasil Bahtsul Masail Muktamar NU ke31 tahun 2004 terlihat metode jawaban yang dipaparkan berbeda dengan Bahtsul Masail sebelumnya. Perujukan kepada kitab-kitab mazhab dilakukan setelah terlebih dahulu dikutip ayat-ayat al-Qur’an dan hadis-hadis yang relevan. Kegiatan Bahtsul Masail dalam tubuh organisasi NU di Kota Cirebon tampaknya lebih bercirikan pengutamaan bermazhab secara qaulī. Dasar-dasar nash, baik al-Qur’an maupun hadis, tidak dirujuk dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan atau masalah yang masuk. Rujukan utama yang pertama dilihat adalah kitab-kitab ulama. Hal ini didasarkan atas kaidah yang telah mapan di kalangan NU, yaitu 42 Ibid., h. 74-77. 43 Nadirsyah Hosen, “Revelation in a Modern Nation State: Muhammadiyah and Islamic Legal Reasoning in Indonesia” dalam Asian Law Vol. 4 (2002), h. 248-249; Rifyal Ka’bah, Hukum Islam di Indonesia, h. 112. 44 Ahkamul Fuqaha, h. 712.
Holistik Vol 13 Nomor 02, Desember 2012/1434 H
-13-
FIQH ALIRAN MENYIMPANG: KONSEP PENYIMPANGAN AJARAN AGAMA DALAM HUKUM ISLAM DI KOTA CIREBON
-14-
“al-muh{āfaz}ah ‘alā al-qadīm al-S{ālih{ wa al-akhz\ bi al-jadīd al-as} lah{“.45 Dalam mekanisme rapat di Komisi Fatwa MUI, dalam penetapan fatwa, dasar dan rujukan yang diacu adalah al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas.46 Keempat dasar ini dianggap sebagai dasar hukum yang disepakati para ulama dan harus dijadikan dasar dalam pemberian fatwa. Akan tetapi, dalam prakteknya, seperti ditunjukkan Mohammad Atho Mudzhar dan Nadirsyah Hosen, langkah metodologis tersebut tidak selalu dijalankan. Terkadang, fatwa MUI hanya merujuk al-Qur’an, hadis dan kitab fiqh. Dalam masalah lainnya rujukan hanya kepada al-Qur’an dan hadis. Dalam kasus lain, yang menjadi pertimbangan hanya kitab fiqh tanpa ada dasar nash. Terkadang pula fatwa hanya menyebutkan diktum hukum tanpa ada argumen yang mendasarinya.47 Selain keempat dalil di atas, Komisi dapat juga menggunakan metode istih{sān, istis}lāh{ dan sadd al-z\arī‘ah, melalui pendekatan manhajī. Penggunaan metode-metode ini akan tergantung dari jenis masalah dan keterkaitannya dengan 4 dasar hukum yang disepakati di atas. Di samping sumber-sumber dan dalil-dalil tersebut, dirujuk pula pendapat imam-imam mazhab dan ahli fiqh baik klasik maupun kontemporer dengan meneliti dalil-dalil dan wajh istidlāl-nya. E. PENYIMPANGAN AJARAN DALAM HUKUM ISLAM DI KOTA CIREBON
1. Definisi Penyimpangan Ajaran Agama Sesuatu dianggap menyimpang dari agama yang murni, bagi Muhammadiyah, adalah jika ia bertentangan atau tidak sejalan dengan tuntutan al-Qur’an dan Sunnah yang diterima (maqbu>lah). Kondisi pertentangan atau ketidaksejalanan tersebut adakalanya bersifat pasti, berdasarkan dalil yang qath‘ī, dan adakalanya tidak pasti. Dalil yang pasti bersumber pada al-Qur’an dan hadis mutawatir.48 Penyimpangan
45 Wawancara dengan Dr. H. Syamsuddin, M.Ag, Kamis 27 Oktober 2011, di Cirebon. 46 Lihat Majelis Ulama Indonesia Jakarta, 20 Tahun Majelis Ulama Indonesia, (Jakarta: MUI Jakarta, 1995), h. 65. 47 Mohammad Atho Mudzhar, Fatwa-fatwa Majelis, h. 139; Nadirsyah Hosen. “Behind the Scenes: Fatwas of the Majelis Ulama Indonesia (1975-1998)”, dalam Journal of Islamic Studies, 5:2 (2004), h. 160-161. Menurut Hosen, meskipun dalam fatwa yang dikeluarkan tidak disebutkan otoritas yang dirujuk, pada kenyataannya otoritas demikian telah didisukusikan dalam rapat-rapat komisi, seperti dalam masalah vasektomi dan tubektomi. 48 Dalam Pokok-pokok Manhaj Majelis Tarjih yang Telah Dilakukan dalam Menetapkan Keputusan, no. 5, ditegaskan bahwa “Di dalam Masalah ‘Aqidah (Tauhid), hanya dipergunakan dalil-dalil yang mutawatir”.
Holistik Vol 13 Nomor 02, Desember 2012/1434 H
Ahmad Rofii
terhadap ajaran yang berdasarkan dalil yang pasti akan menjadikan pelakunya dinyatakan kufur dan di luar agama Islam. Dalam keputusan Tarjih tahun 1926, Muhammadiyah menyatakan bahwa Ahmadiyah bukan bagian dari umat Islam, karena ajarannya akan adanya nabi (Mirza Gulam Ahmad) setelah Muhammad saw.49 Penyimpangan agama yang tidak sampai membuat pelakunya dianggap keluar dari Islam adalah tindakan bid’ah. Istilah bid’ah bagi Muhammadiyah mengandung arti setiap bentuk keberagamaan yang baru dan bertentangan dengan ketentuan agama baik dalam menyangkut akidah maupun ibadah. 50 Istilah bid’ah dianggap mencakup semua cara beragama yang terhitung baru dan tidak ada presedennya dalam al-Qur’an dan Sunnah. Dengan pengertian demikian, maka Muhammadiyah pada dasarnya menolak klasifikasi adanya bid’ah yang baik dan yang buruk, karena baginya semua bid’ah adalah buruk.51 Sikap ini sejalan dengan pandangan al-Syāthibī� dan kaum Salafi modern, meskipun diakui bahwa sikap Muhammadiyah terkesan tidak sekeras mereka. Di kalangan NU, penyimpangan ajaran dapat terjadi terhadap ajaran dan prinsip agama yang bersifat pasti dan aksiomatik (mā ‘ulima min al-dīn bi al-d}aru>rah).52 Penyimpangan terhadap ajaran dasar agama ini pada dasarnya tidak banyak berbeda antara NU dengan Muhammadiyah. Hal tersebut, misalnya, menyangkut posisi Muhammad saw sebagai rasul terakhir, kewajiban shalat lima waktu dan puasa Ramadlan serta keharaman zina dan khamar. Mengingkari atau menyalahi ajaran-ajaran aksiomatis ini merupakan bentuk tindak penyimpangan yang sangat berat, yang menyebabkan pelakukanya dianggap kafir dan keluar dari Islam (murtad). Berkaitan dengan masalah bid’ah, KH. Hasyim Asy’ary dalam Risalah Ahlussunnah wal Jama’ah, yang merujuk pendapat Syekh Zaruq, mengartikan bid’ah sebagai “perkara baru dalam agama yang kemudian
49 Sikap ini dikemukakan kembali dalam fatwa Tarjih tahun 2009. Lihat Tim Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Posisi Jari Telunjuk pada Saat Duduk Tahiyat dan Sikap Muhammadiyah mengenai Ahmadiyah dan RUU Pornografi, Diakses tanggal 25 Oktober 2011. 50 Dialog dengan Prof. Dr. H. Syamsul Anwar, Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, “Kreativitas Kebudayaan itu Bagian dari Spriril Islam” dalam Suara Muhammadiyah No. 5, Th. Ke-96 (1-15 Maret 2011), h. 29. 51 Tim Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Mengapa Muhammadiyah tidak Bermazhab?, Diakses tanggal 25 Oktober 2011. 52 Wawancara dengan Dr. H. Syamsuddin, M.Ag., Wakil Rais Syuriyah PCNU Kota Cirebon, Kamis 27 Oktober 2011, di Cirebon.
Holistik Vol 13 Nomor 02, Desember 2012/1434 H
-15-
FIQH ALIRAN MENYIMPANG: KONSEP PENYIMPANGAN AJARAN AGAMA DALAM HUKUM ISLAM DI KOTA CIREBON
-16-
mirip dengan bagian dari ajaran agama itu, padahal bukan bagian darinya, baik formal maupun hakikatnya”. Dalam pengertian lain, bid’ah adalah segala hal baru yang tidak ada pada masa Nabi saw.53 NU secara garis besar mengikuti tipologi yang umum di kalangan Sunni, yaitu antara bid’ah h{asanah (baik)dan bid’ah sayyi’ah (buruk). Ada beberapa kriteria untuk menentukan baik-buruknya suatu bid’ah, di antaranya: pertama, dukungan dari sebagian besar syariat dan sumbernya, sehingga jika tidak ada dukungan ini, maka ia termasuk bid’ah yang buruk dan sesat. Kedua, kaidah-kaidah yang digunakan para imam dan generasi salaf, oleh karenanya jika amalan itu tidak bertentangan dengan preseden mereka, maka ia tidak termasuk bid’ah yang buruk. Ketiga, kualifikasi hukum yang ada (al-ahkām), sehingga jika suatu amalan tidak dapat dimasukkan ke dalam kualifikasi ini, maka ia termasuk bid’ah.54 Pandangan NU tentang bid’ah ini bersesuaian dengan pandangan banyak ulama tradisional seperti ‘Izz al-Dī�n ibn ‘Abd al-Salām dan al-Qarāfī�.55 Penyimpangan ajaran, bagi ulama NU, dapat juga terjadi dalam hal ketika sebuah atau sistem pemahaman keagamaan diperoleh dari sumber dan metode yang tidak tepat. Bagi kalangan Nahdliyin, pengetahuan agama, selain yang dimiliki oleh para imam mazhab, harus didasarkan atas metode yang telah mereka gariskan dan merujuk kepada hasil ijtihad yang telah mereka kemukakan.56 Persoalan ini berkaitan dengan isu keharusan ijtihad/taqlid dalam kesarjanaan Islam. MUI termasuk di kota Cirebon tidak menjadikan persoalan penyimpangan ajaran yang bersifat khilafiyah di kalangan umat, seperti perdebatan tentang tindakan bid’ah antara Muhammadiyah dan NU, sebagai perhatian institusionalnya.57 Dengan mengikuti keputusan MUI Pusat, MUI Kota lebih menitikberatkan kepada persoalan penyimpangan ajaran agama yang dapat menyebabkan pelakunya dinilai keluar dari Islam, atau yang biasa dibiasa disebut “aliran sesat”. Bagi MUI, aliran atau kelompok yang dipandang sesat adalah “faham
53 Lihat KH. A.N. Nuril Huda, Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja) Menjawab Persoalan Tradisi dan Kekinian, (Jakarta: LDNU, 2007), cet. ke-2, h. 71-72. 54 Ibid., h. 77-78. 55 ‘Izz al-Dīn ‘Abd al-‘Azīz ibn ‘Abd al-Salām, al-Qawā‘id al-Kubrā al-Mausu>m bi Qawā‘id al-Ah{kām fī Is}lāh{ al-Anām, ed. Naziyyah Kamāl H{ammād dan ‘Us\mān Jum‘ah D}amīriyyah, (Damaskus: Dār al-Qalam, 2000), jilid II, h. 337-339; Abu> Ish{āq al-Syāthibī, al-I‘tis}ām, (ttp.: Maktabah al-Tawh{īd, tt.), jilid I, h. 318-321. 56 Wawancara dengan Dr. H. Syamsuddin, M.Ag., Kamis 27 Oktober 2011, di Cirebon. 57 Wawancara dengan Drs. Muslim Mukhlas, Sekretaris Umum MUI Kota Cirebon, Kamis 27 Oktober 2011, di Cirebon.
Holistik Vol 13 Nomor 02, Desember 2012/1434 H
Ahmad Rofii
atau pemikiran yang dianut dan diamalkan oleh sebuah kelompok yang bertentangan dengan aqidah dan syariat Islam serta dinyatakan oleh MUI menyimpang berdasarkan dalil syar’i”.58 MUI telah menetapkan sepuluh kriteria yang dapat mencirikan suatu paham atau aliran dinilai sesat. Sepuluh kriteria ini disepakati juga di kalangan NU dan Muhammadiyah Kota Cirebon.59 Kriteriakriteria tersebut antara lain:60 1. Mengingkari salah satu dari rukun iman yang 6 (enam) yakni beriman kepada Allah, kepada Malaikat-Nya, kepada Kitab-kitabNya, kepada Rasul-rasul-Nya, kepada hari Akherat, kepada Qadla dan Qadar dan rukun Islam yang 5 (lima), yakni mengucapkan dua kalimah syahadat, mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, berpuasa pada bulan Ramadhan, menunaikan ibadah Haji. 2. Meyakini dan atau mengikuti aqidah yang tidak sesuai dengan dalil syar’i (al-Qur’an dan Assunnah); 3. Meyakini turunnya wahyu setelah al-Qur’an; 4. Mengingkari otentisitas dan atau kebenaran isi al-Qur’an; 5. Melakukan penafsiran al-Qur’an yang tidak berdasarkan kaidahkaidah tafsir; 6. Mengingkari kedudukan hadis Nabi sebagai sumber ajaran Islam; 7. Menghina, melecehkan dan atau merendahkan para nabi dan rasul; 8. Mengingkari Nabi Muhammad SAW sebagai Nabi dan Rasul terakhir; 9. Merubah, menambah dan atau mengurangi pokok-pokok ibadah yang telah ditetapkan oleh syari’ah, seperti haji tidak ke Baitullah, shalat fardhu tidak lima waktu; 10. Mengkafirkan sesama muslim tanpa dalil syar’i, seperti mengkafirkan muslim hanya karena bukan kelompoknya. Secara umum kriteria-kritera di atas menyangkut hal-hal yang bersifat mendasar dalam agama. Yang sangat mencolok dari senarai tersebut adalah kecenderungan kepada faham Islam Sunni. Hal tersebut tampak dari kriteria pertama yang menentukan rukun iman ada enam. 58 Majelis Ulama Indonesia, Mengawal Aqidah Umat: Fatwa MUI tentang Aliran-aliran Sesat di Indonesia, (Jakarta: Sekretariat Majelis Ulama Indonesia, tth.), h. 3. 59 Wawancara dengan Dr. H. Syamsuddin, M.Ag., Kamis 27 Oktober 2011 di Cirebon; fatwa Majelis Tarjih tentang LDII. 60 Majelis Ulama Indonesia, Mengawal Aqidah Umat, h. 7-8.
Holistik Vol 13 Nomor 02, Desember 2012/1434 H
-17-
FIQH ALIRAN MENYIMPANG: KONSEP PENYIMPANGAN AJARAN AGAMA DALAM HUKUM ISLAM DI KOTA CIREBON
-18-
Dalam beberapa hal, kriteria-kriteria tersebut sedikit berbeda dengan yang diajukan oleh ulama Sunni lain. Dalam banyak hal, kriteria-kriteria di atas memang masih menyisakan ketidakjelasan. Ke-mujmal-an ini, di satu sisi, dapat membuat sebagian orang menjadikannya sebagai alat legitimasi dalam menuduh sebuah kelompok telah sesat dan kafir dengan sangat mudah. Di sisi lain, ia juga akan membawa orang kepada kekhawatiran bahwa MUI akan terlalu mudah mengkafirkan dan menyatakan sesat kepada paham atau aliran, padahal mungkin saja masalah tersebut masih diperdebatkan dalam kesarjanaan Islam. Oleh karena itu, kriteria ke10 di atas tidak saja diperuntukkan bagi aliran/faham yang menjadi fokus pengkajian MUI, tetapi juga bagi MUI sendiri agar tidak terlalu mudah mengkafirkan suatu aliran/faham.
2. Implikasi Keagamaan dari Penyimpangan Ajaran Baik Muhammadiyah, NU maupun MUI agaknya sepakat bahwa mereka atau aliran yang dipandang sesat (dalam arti keluar dari Islam) tidak dikenakan hukuman mati sebagaimana yang disepakati mayoritas ulama klasik. Mereka sepakat dengan pandangan bahwa orang/kelompok yang dianggap murtad harus terlebih dahulu dimintakan pertaubatannya (istitābah). Di sini peran dakwah dan nasehat menjadi sangat menentukan. Bagi kalangan NU, seperti dicatat oleh alm. KH. Achmad Siddiq, “dalam mengembangkan dan memperjuangkan cita-citanya, lebih mengutamakan watak nasehat, tabligh dan dakwah. Metode dan isinya sesuai dengan sesuai dengan karakteristik tawassuth.”61 Meskipun sama-sama mengakui signifikansi prinsip amar am’ruf nahi munkar, tetapi Muhammadiyah tampak lebih memberikan penekanan kepada prinsip ini dalam kehidupan warga dan organisasinya daripada NU. Bagi NU, amar ma’aruf nahi munkar adalah wilayah orang yang mempunyai kewenangan dan kekuasaan, seperti orang tua terhadap anaknya atau pemerintah terhadap rakyatnya.62 MUI dalam beberapa fatwanya juga menekankan keharusan istitābah dan kembali kepada ajaran Islam yang haq (al-ruju>‘ ilā alh{aqq) bagi mereka yang telah difatwakan sesat dan menyesatkan, seperti himbauan kepada pengikut aliran Inkar Sunnah (fatwa tahun 1994), aliran Ahmadiyah (fatwa tahun 2005) dan aliran al-Qiyadah 61 KH. Achmad Siddiq, Khitthah Nahdliyah, (Surabaya: Khalista & LTNU Jawa Timur, 2006), cet. ke-4, h. 86. 62 Ibid., h. 82-83.
Holistik Vol 13 Nomor 02, Desember 2012/1434 H
Ahmad Rofii
al-Islamiyah (fatwa tahun 2007). Yang berbeda dari MUI adalah ketetapan dalam fatwanya yang mengharuskan Pemerintah melarang dan menutup semua aktivitas pengikut aliran sesat. Lebih dari itu, MUI bahkan secara tegas mewajibkan Pemerintah untuk menindak tegas pimpinan aliran yang dipandang sesat itu. Berkaitan dengan penyimpangan yang berbentuk bid’ah, tentu saja antara Muhammadiyah dengan NU terdapat perbedaan yang tajam; apa yang dianggap sesat oleh Muhammadiyah (karena semua bid’ah adalah sesat) sangat mungkin dianggap boleh dan bahkan dianjurkan oleh NU (karena ada bid’ah h{asanah). Kesesatan yang digunakan di sini dipahami dalam konteks bid’ah, bukan kesesatan sebagaimana yang dipahami MUI, yang mengarah kepada kekufuran. Berkenaan dengan terjadinya bid’ah, kedua organisasi ini lebih memilih cara persuasif, yakni dengan memberikan pengertian, ajakan serta argumentasi kepada pelaku, agar ia dapat meninggalkan tindakan yang dipandang bid’ah tersebut.63 Hal tersebut dapat juga disimak dalam fatwa-fatwa Majelis Tarjih dan Bahsul Masail yang berkaitan dengan persoalan amalan-amalan yang dianggap bid’ah. 3. Aliran yang Menyimpang: Kasus Fatwa tentang Millah Ibrahim Di Kota Cirebon, salah satu aliran yang dipandang menyimpang dan sesat oleh para ulamanya terutama yang terwadahi dalam MUI adalah aliran Millah Ibrahim. Millah Ibrahim dibentuk oleh Zubaidi Djawahir yang berasal dari Kabupaten Kuningan Jawa Barat. Aliran ini sudah menyebar ke beberapa wilayah termasuk Cirebon, bahkan sampai ke Aceh.64 MUI Kota Cirebon secara kelembagaan berhak untuk memutuskan apakah suatu faham atau aliran telah sesat, dengan syarat “dalam keadaan mendesak atau keadaan lain dipandang perlu” dan bahwa MUI Kota “terlebih dahulu berkonsultasi dengan MUI Pusat”.65 Dalam bagian ini akan didiskusikan fatwa MUI Kota Cirebon tentang ajaran Millah Ibrahim sebagaimana terabadikan dalam Keputusan Sidang Komisi Fatwanya nomor: 070/HF-MUI-KC/XII/2009 dan ditetapkan tanggal 30 Desember 2009. 63 Wawancara dengan Dr. H. Syamsuddin, M.Ag, Kamis 27 Oktober 2011, di Cirebon; Wawancara dengan Drs. Sunardi, Jumat 28 Oktober 2011, di Cirebon. 64 “Pemerintah Aceh Larang 14 Aliran Keagamaan” Diakses tanggal 20 Oktober 2011. 65 Majelis Ulama Indonesia, Mengawal Aqidah Umat, h. 9.
Holistik Vol 13 Nomor 02, Desember 2012/1434 H
-19-
FIQH ALIRAN MENYIMPANG: KONSEP PENYIMPANGAN AJARAN AGAMA DALAM HUKUM ISLAM DI KOTA CIREBON
-20-
Ada satu sumber yang dirujuk dalam Keputusan tersebut, yang secara keliru dimasukkan dalam kategori Hadis Nabi saw. Teks yang dimaksud itu merupakan bagian dari kitab karangan ulama, atau biasa disebut kitab kuning. Kitab kuning yang memuat pendapat ulama memang dalam beberapa kesempatan sering dirujuk MUI dalam fatwa-fatwanya. Teks di atas menggariskan salah satu doktrin dalam teologi Sunni bahwa salah satu hal yang menyebabkan seseorang keluar dari Islam adalah adanya keyakinan akan adanya kenabian setelah Muhammad saw. Pada tahapan pengkajian juga diupayakan pemberian taushiyah kepada aliran atau ajaran bersangkutan agar meninggalkan faham atau ajarannya. Pada titik ini tampak bahwa di atas kertas Komisi Pengkajian sudah memberikan penilaian dan pandangan keagamaan tentang sesat dan salah tidaknya suatu aliran atau ajaran yang telah ditelitinya. Artinya, penilaian kesesatan sudah dilakukan sebelum Komisi Fatwa mendiskusikannya dalam sidang Komisi Fatwa.66 Di antara dasar fatwa sesat adalah bahwa Millah Ibrahim telah “menodai dan mencemari agama Islam” tampaknya sangat absurd. Meskipun demikian, frase ini tampaknya merupakan ungkapan lain dari sabb Allāh atau sabb al-dīn, sebagaimana difahami oleh para ulama klasik. Tuduhan ini secara teoritis berakibat pada pengeluaran Millah Ibrahim dari komunitas muslim. Selain itu, alasan bahwa para pimpinan Millah Ibrahim telah mengajarkan faham yang bertentangan dengan syariat dan dasar-dasar keyakinan agama mendapatkan justifikasinya dalam kesarjanaan klasik. Para ulama tradisional telah memperdebatkan tentang ketentuan hukum bagi para pelaku bid’ah (mubtadi‘) yang menyiarkan atau mendakwahkan ajaran bid’ahnya. Sebagian berpendapat bahwa orang tersebut harus dihukum mati, sebagian lagi tidak dan cukup dihukum ta‘zīr. Butir rekomendasi dalam penetapan ini terdiri atas dua hal: pertama berkaitan dengan para pengikut Millah Ibrahim, MUI meminta mereka untuk bertaubat dan kembali kepada Islam. Rekomendasi ini adalah langkah yang lazim ditempuh dalam setiap penetapan fatwa aliran sesat. Secara historis, hal tersebut juga menjadi salah satu kecenderungan wajar di kalangan ulama tradisional, yakni untuk mengajukan istitābah kepada mereka yang dituduh keluar dari Islam 66 Lihat Bab III nomor 3 Pedoman Identifikasi Aliran Sesat dalam Majelis Ulama Indonesia, Mengawal Aqidah Umat, h. 5. Penilian sesat dan taushiyah saja membuat fungsi Komisi Pengkajian tampak “melangkahi” fungsi Komisi Fatwa dan bertindak sebelum ada keputusan resmi dari MUI secara kelembagaan.
Holistik Vol 13 Nomor 02, Desember 2012/1434 H
Ahmad Rofii
(murtad). Rekomendasi kedua diajukan kepada Pemerintah yang menurut MUI mempunyai kewajiban untuk melarang penyebaran ajaran Millah Ibrahim, menutup tempat aktivitasnya dan menindak tegas para pemimpinnya. Rekomendasi ini dapat dimaknai sebagai upaya maksimal dari lembaga penjaga ortodoksi untuk mengakhiri setiap bentuk penyimpangan yang menurutnya berada di luar Islam. Konteks ketatanegaraan di mana MUI dibentuk diapresiasi dan, bahkan, telah diekspolitasi sedemikian rupa demi tujuan tersebut. F. PENUTUP
Dari deskrispsi dan analisa pada bab-bab yang lalu dapat dikemukakan tiga poin utama dalam penelitian ini. Pertama, dalam kesarjanaan hukum Islam masalah penyimpangan ajaran agama didiskusikan secara detail melalui beberapa konsep, yaitu kufur (kufur riddah), ijma’, dan bid’ah. Terdapat beragam pandangan tentang hakikat masing-masing konsep tersebut. Pada umumnya, para ulama tradisional menyepakati bahwa di antara faktor yang menunjukkan adanya penyimpangan kekufuran adalah mengingkari ajaran-ajaran yang diketahui secara pasti dalam agama (mā ‘ulima min al-dīn bi al-d}aru>rah). Mayoritas ulama memandang bahwa hasil kesepakatan mujtahid (ijma’) merupakan ajaran yang tidak boleh diingkari. Penyimpangan terhadapnya dinilai sebagai bentuk kekufuran. Penilaian ini disikapi secara kritis oleh sementara ulama. Adapun mengenai bid’ah, secara umum ada dua kecenderungan dalam memahami kata ini, yaitu yang memahami bahwa semua bid’ah adalah sesat, dan yang membedakan antara bid’ah yang tercela dengan yang baik (h{asanah). Kedua, ada tiga lembaga yang mungkin dipandang mempunyai otoritas dalam hal ini, yaitu Majelis Tarjih dan Tajdid (Muhammadiyah), Lajnah Bahtsul Masa’il (Nahdlatul Ulama) dan Komisi Fatwa (MUI). Majelis Tarjih merupakan lembaga ijtihad yang diisi oleh orang-orang dengan kemampuan mengeluarkan ijtihad secara kolektif (jamā‘ī). Hanya saja, di Kota Cirebon Majelis Tarjih tidak dapat berfungsi karena tidak adanya sumber daya manusia yang dipandang mempunyai kualifikasi. Pendekatan yang digunakan oleh Bahtsul Masa’il di Kota Cirebon mengutamakan bermazhab secara qaulī, yakni dengan mencari legitimasi dalam kitab kuning. Meskipun dalam keputusan di tingkat Pusat bermazhab dilakukan pula secara manhajī dan bahkan dapat diupayakan istinbāth jamā‘i, Bahtsul Masa’il di Kota Cirebon diakui Holistik Vol 13 Nomor 02, Desember 2012/1434 H
-21-
FIQH ALIRAN MENYIMPANG: KONSEP PENYIMPANGAN AJARAN AGAMA DALAM HUKUM ISLAM DI KOTA CIREBON
-22-
tidak menempuhnya. Adapun MUI Kota Cirebon dalam mengeluarkan fatwa secara jelas menganut pendekatan dan metode yang ditetapkan oleh Pusat. Ketiga, dalam masalah pengkafiran, tampaknya baik Muhammadiyah, NU maupun MUI di Kota Cirebon sepakat bahwa pendustaan dan pelanggaran terhadap hal-hal yang besifat prinsipil dalam agama (mā ‘ulima min al-dīn bi al-d}aru>rah) dapat menyebabkan kekufuran (riddah). MUI lebih elaboratif dalam hal ini, dengan mengeluarkan sepuluh kriteria kekafiran (kesesatan). Mengenai bid’ah, terdapat perbedaan yang cukup mendasar antara Muhammadiyah dengan NU. Mengikuti salah satu dari dua kecenderungan dalam kesarjanaan hukum Islam, jika NU menerima adanya bid’ah yang baik dan yang buruk, Muhammadiyah di lain pihak mengangap bahwa semua bid’ah adalah buruk dan sesat. Dalam merespon riddah, baik Muhammadiyah, NU, maupun MUI lebih mengedapankan jalur istitābah, konsultasi dan dakwah. MUI, berbeda dengan kedua lembaga sebelumnya, bersikap lebih jauh, yakni mewajibkan Pemerintah melarang dan menutup tempat aktivitas mereka yang dipandang sesat, dan bahkan memintanya untuk menindak tegas para pemimpin aliran/faham/ajaran sesat tersebut. Hal tersebut sangat jelas terbaca dari Keputusan MUI Kota Cirebon tentang ajaran Millah Ibrahim. Sedangkan dalam hal penyimpangan yang sekedar bid’ah maksiat, tampaknya disepakati bahwa pendekatan persuasif dan argumentasi lebih ditekankan.
Holistik Vol 13 Nomor 02, Desember 2012/1434 H
PENGARUH KEMAMPUAN PEMBELAJARAN ORGANISASI TERHADAP KOMPETENSI, TINGKAT DIVERSIFIKASI DAN KINERJA STAI SWASTA DI WILAYAH III CIREBON vv Asep Kurniawan Abstrak Management of STAIS in Cirebon Region III should be flexible, fast, innovative, and integrated with creative human resources. Therefore, Islamic private colleges are required to be able to adapt, develop and conduct learning through learning organization (Kogut and Zander, 1992; Henderson and Cockburn, 1994). This study aimed to verify and analyze the influence of learning organization capabilities on competencies, level of diversification, and performance of Islamic private college in Cirebon Region III West Java. In order to achieve and maintain competitive advantages in a business environment that changes rapidly, the organizations must be able to increase their capacities of learning (Marquardt, 1996:15). This study used quantitative methods. Research respondents were all management team of 6 STAIS in Region III Cirebon. Respondents totaled 134 people consist of 31 leaders as population, 59 employees, and 41 lecturers as samples. Research instrument was a questionnaire. Data analysis technique was Structural Equation Modeling (SEM) with the AMOS (Analysis of Moment Structure) version 5 and SPSS version 15.0.The study results showed that there were significant influences of learning organization capability on competence of Islamic private colleges. Therefore, the research hypothesis one (H1) which stated that the ability of learning organization of STAIS effect significantly on the competences STAIS were accepted. The positive direction indicated that the increased ability of learning organization conducted by STAIS in Cirebon Region III will cause it able to increase its competences. Based on the important findings of this study, then to improve its performance, it is advisable to STAIS to improve the competence of lecturers a valuable, rare, difficult to imitate and hard to replace and increase diversification through a number of courses and interrelated courses. Kata Kunci: Pembelajaran organisasi, Kompetensi, Diversifikasi, Kinerja
Holistik Vol 13 Nomor 02, Desember 2012/1434 H
-23-
PENGARUH KEMAMPUAN PEMBELAJARAN ORGANISASI TERHADAP KOMPETENSI, TINGKAT DIVERSIFIKASI DAN KINERJA STAI SWASTA DI WILAYAH III CIREBON
-24-
A. LATAR BELAKANG PENELITIAN Minat masyarakat yang masih tinggi untuk menyekolahkan anak hingga perguruan tinggi untuk menjamin kemapanan status, diikuti oleh semakin tingginya kebutuhan pasar terhadap lulusan perguruan tinggi merupakan peluang bagi perguruan tinggi swasta. Selain itu bertambahnya jumlah mahasiswa dengan usia yang lebih tua, menunjukkan kebutuhan akan pendidikan yang semakin tinggi. Mereka rata-rata sudah bekerja namun merasa pendidikan yang dimiliki masih belum cukup sehingga berusaha mengikuti pendidikan lanjutan. Di sisi lain, dunia pendidikan Indonesia masih harus menghadapi berbagai tantangan yang tidak ringan. Masalah besar dunia pendidikan di perguruan tinggi tersebut adalah menyiapkan lulusan dengan kemampuan lebih, yaitu kemampuan akademik (hard skill) dengan didukung oleh integritas kepribadian dan kemampuan untuk bersosialisasi dalam dunia kerja (soft skill). Seperti diungkapkan oleh Freed dan Klugman, (1997) dan Seymour (1992) bahwa tantangan lainnya yang harus dihadapi perguruan tinggi antara lain pertanggungjawaban kepada masyarakat yang semakin besar, hambatan keuangan, harapan yang lebih besar dalam peningkatan akses kerjasama, perhatian yang lebih pada upaya peningkatan kualitas, serta masalah biaya pendidikan. Perguruan tinggi agama Islam harus membenahi diri untuk dapat memenangkan persaingan itu dan sejalan dengan perubahan yang terjadi di masyarakat, sekaligus membawa masyarakat ke arah yang lebih baik dengan berpijak pada jati diri perguruan tinggi agama Islam sebagai lembaga pembina moralitas keislaman umat di tengah-tengah pengembangan keilmuan. Dengan kata lain peningkatan kualitas kinerja perguruan tinggi agama Islam untuk menghasilkan lulusanlulusannya yang berkualitas, berbekal life skill dan kompotensi serta memiliki integritas moral yang baik untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan pasar kerja, sesuai dengan perkembangan jaman, ilmu pengetahuan dan teknologi. Memang sudah banyak usaha pemerintah untuk memajukan dan pembenahan pendidikan tinggi agama Islam. Usaha itu bisa dilihat dari adanya pembenahan kurikulum, pengembangan dan konversi perguruan tinggi agama Islam seperti perubahan beberapa IAIN menjadi UIN, merubah IAIN filial menjadi STAIN, merubah STAIN menjadi IAIN atau UIN, penambahan sarana dan prasarana untuk Holistik Vol 13 Nomor 02, Desember 2012/1434 H
Asep Kurniawan
menunjang proses belajar-mengajar, peningkatan kualitas dosen seperti pemberian beasiswa untuk studi lanjutan dan lain-lain. Akan tetapi upaya yang ditempuh untuk peningkatan kualitas perguruan tinggi agama Islam dalam memecahkan problematika yang ada di masyarakat belumlah cukup memadai dan masih dibutuhan pengkajian dan penelitian lebih lanjut. Dalam perguruan tinggi agama Islam ditemukan problematika yang sangat beragam. Hasil pengumpulan data dan observasi pendahuluan yang penulis lakukan mengenai profesionalisme sumber daya pimpinan, serta kinerja PTAIS di Wil. III Cirebon, pada umumnya menunjukkan gejala dan gambaran tingkat pendidikan dan kepakaran yang kurang memadai, jabatan kepemimpinan yang mempertahankan status quo dalam arti banyak kecenderungan tampuk kepemimpinan dipegang seumur hidup, paling tidak dipegang dalam jangka waktu yang sangat lama sampai lebih dari empat periode atau turun temurun secara kekeluargaan, bukan berdasarkan kompetensi yang handal dari sisi leadership (Observasi di STAI al-Ihya Kuningan 20 Oktober 2010; dan Observasi di STAI Bunga Bangsa Cirebon 24 September 2010) banyaknya konflik internal antara kepemimpinan perguruan tinggi dengan kepemimpinan yayasan dimana perguruan tinggi itu berada, adanya jabatan-jabatan boneka atau hanya numpang nama tanpa adanya kerja sesuai jabatan tersebut sedangkan yang berkiprah adalah orang lain pada jabatan yang berbeda. Demikian pula, adanya persoalan kepemimpinan yang kurang partisifatif dimana pimpinan memutuskan sendiri berbagai kebijakan tanpa mengadakan musyawarah dengan pimpinan dibawanya ataupun para dosen, adanya dualisme kepemimpinan dalam perguruan tinggi agama Islam yang sama. Ini artinya menunjukkan gejala efektifitas dan iklim organisasi yang kurang baik (Wawancara dengan Puket I STAI alIhya Kuningan 15 September 2010). Sementara itu mengenai kualitas lulusan relatif masih rendah, sarana dan prasarana yang belum memadai, kualitas input mahasiswa yang tidak selektif terlihat dari jumlah mahasiswa pendaftar dan mahasiswa yang diterima sedikit, kuantitas dan kualitas penelitian dan publikasi yang diterbitkan sangat terbatas bahkan ditemui di beberapa perguruan tinggi agama Islam swasta malah tidak ada sama sekali. Kualitas tenaga pengajar atau dosen yang belum memadai ditunjukkan diantaranya banyak materi kuliah diemban oleh dosen yang tidak sesuai dengan kompotensi dan disiplin ilmunya, organisasi belum berjalan secara efektif dan dinamis, Holistik Vol 13 Nomor 02, Desember 2012/1434 H
-25-
PENGARUH KEMAMPUAN PEMBELAJARAN ORGANISASI TERHADAP KOMPETENSI, TINGKAT DIVERSIFIKASI DAN KINERJA STAI SWASTA DI WILAYAH III CIREBON
-26-
kepercayaan stakeholders terhadap kualitas pendidikan di STAIS yang sangat rendah (Pikiran Rakyat, 30 Mei 2007; Endang Soetari, 2007). Kesemuanya itu terefleksikan dalam perolehan peringkat akreditasi Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Tinggi (BAN-PT) yang pada umumnya berkisar pada peringkat C, dan B, bahkan ada yang belum terakreditasi sama sekali. Ini berarti bahwa STAIS tersebut masih memerlukan pembinaan dan belum mandiri. Perubahan tuntutan masyarakat terhadap perguruan tinggi dewasa ini bukan hanya terbatas pada kemampuan untuk menghasilkan lulusan yang diukur secara akademis, melainkan perguruan tinggi tersebut harus mampu membuktikan kualitas tinggi yang didukung akuntabilitas yang tinggi pula. Tantangan lainnya yang harus dihadapi PTAI saat ini adalah kondisi perekonomian Indonesia yang belum memungkinkan untuk menaikkan biaya pendidikan secara ideal. Ditambah lagi semakin terbatasnya sumber dana dari pemerintah, serta arah pembangunan Indonesia yang kurang jelas, khususnya pengelolaan pendidikan menjadikan tantangan yang dihadapi perguruan tinggi di Indonesia semakin berat. Hal ini semakin diperparah dengan kebijakan pemerintah yang pilih kasih anggaran terhadap PTAI (Kemenag) yang jauh lebih kecil dibandingkan anggaran PT (Diknas) (Mujamil Qomar, 2007: 102-103). Berdasarkan data Badan Pusat Statistik tahun 2004, persentase pengeluaran per kapita penduduk perkotaan untuk biaya pendidikan di Indonesia adalah 4,27% per bulan, sedangkan bagi penduduk pedesaan sebesar 2,27% (Kompas, 2007). Sekolah tinggi agama Islam swasta harus menerapkan sudut pemikiran baru yang mengandung unsur fleksibilitas, kecepatan, inovasi, dan integrasi. Fleksibilitas, kecepatan, inovasi dan integrasi sangat memerlukan sumberdaya manusia yang penuh dengan kreativitas. Kreativitas dapat muncul dari sumberdaya manusia yang memiliki keunggulan dalam ilmu pengetahuan. Dengan demikian, STAIS diharapkan tidak hanya mampu menghasilkan lulusan terbaik, tetapi juga mampu mengembangkan dua hal yang terkandung dalam Tri Dharma perguruan tinggi, yakni meneliti dengan hasil riset yang berkualitas tinggi dan pengabdian kepada masyarakat. Untuk itu perguruan tinggi swasta diharuskan selalu mampu beradaptasi, berkembang dan melakukan pembelajaran melalui pembelajaran organisasi (Kogut and Zander, 1992; Henderson and Cockburn, 1994). Seperti juga diungkapkan oleh Marquardt (1996:15) agar dapat mencapai dan mempertahankan keunggulan bersaing dalam Holistik Vol 13 Nomor 02, Desember 2012/1434 H
Asep Kurniawan
lingkungan bisnis yang berubah dengan cepat, organisasi harus dapat meningkatkan kapasitas pembelajarannya. Kemampuan STAIS untuk tetap memperbaharui pengetahuannya melalui proses pembelajaran terasa lebih penting sekarang ini dibandingkan sebelumnya. Pembelajaran organisasi merupakan proses dimana organisasi menggunakan pengetahuan yang ada dan membangun berbagai pengetahuan baru untuk membentuk pengembangan kompetensi baru yang sangat penting dalam lingkungan yang terus berubah (Kogut and Zander, 1992; Henderson and Cockburn, 1994). Wang and Lo (2003) menemukan bahwa pembelajaran organisasi memiliki pengaruh positif terhadap kompetensi. Demikan pula Chaston and Badger (1999) yang menyatakan bahwa pembelajaran organisasi merupakan antecedent dari kompetensi organisasi. Pembelajaran organisasi membawa karyawan dan sumberdaya lainnya bersama-sama membangun kompetensi, dan karyawan secara terus menerus mempergunakan pengetahuan dan keahliannya untuk mengatasi masalah-masalah operasional dan strategis sehingga kompetensi dapat ditingkatkan. Khandekar dan Sharma (2006) melakukan penelitian yang bertujuan menunjukkan peran pembelajaran organisasi yang semakin penting bagi kinerja perusahaan. Ditemukan bahwa organisasi pembelajar, melalui aktivitas sumberdaya manusia, memiliki hubungan positif terhadap kinerja keuangan. Demikian pula penelitian yang dilakukan oleh Prieto and Revilla (2006) yang menemukan bahwa terdapat pengaruh positif antara kemampuan pembelajaran baik dengan kinerja non- keuangan maupun dengan kinerja keuangan. Perubahan kondisi bisnis berdampak pula terhadap strategi perusahaan pada umumnya dan strategi diversifikasi pada khususnya. Pemilihan strategi yang tepat dimulai dari tingkat korporat. Pendekatan utama strategi tingkat korporat adalah diversifikasi (Hitt et al., 2005:184). Penelitian yang dilakukan oleh Bettis and Hall (1982) menemukan bahwa terdapat pengaruh antara strategi diversifikasi dengan kinerja. Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Prahalad and Bettis (1986) juga menemukan bahwa strategi diversifikasi berpengaruh terhadap kinerja. Strategi diversifikasi yang dijalankan oleh STAIS dilakukan dengan menambah jumlah program studi yang dimiliki. Penambahan Holistik Vol 13 Nomor 02, Desember 2012/1434 H
-27-
PENGARUH KEMAMPUAN PEMBELAJARAN ORGANISASI TERHADAP KOMPETENSI, TINGKAT DIVERSIFIKASI DAN KINERJA STAI SWASTA DI WILAYAH III CIREBON
-28-
jumlah program studi dilakukan untuk memenuhi kebutuhan pengguna yang semakin beragam dan tuntutan yang semakin besar. Strategi diversifikasi tersebut dilakukan untuk memperkuat posisi persaingan STAIS di dalam industri pendidikan. Sementara itu berdasarkan teori bahwa strategi diversifikasi akan meningkatkan kinerja jika diversifikasi memungkinkan perusahaan memperoleh akses pada keahlian, sumberdaya, aset atau kompetensi yang tidak dapat dibeli oleh perusahaan yang tidak terdiversifikasi (Markides and Williamson, 1996). Jika dikaitkan dengan teori resourse-based view, dapat dikatakan digunakan istilah “aset strategis” (Barney, 1991) untuk melihat keahlian, sumberdaya, aset, atau kompetensi yang bernilai dalam fungsi produksi dan sulit diperoleh para pesaing. Aset strategis tersebut haruslah sulit diperjualbelikan, sulit digantikan, dan sulit ditiru (Barney, 1986a; Dierickx and Cool, 1989; Peteraf, 1993). Usaha-usaha yang dilakukan oleh STAIS dalam menghadapi perubahan tuntutan masyarakat dengan melakukan pembelajaran organisasi yang mempengaruhi pengembangan kompetensi dan strategi diversifikasi, bertujuan untuk meningkatkan kinerja operasinya. Menurut Griffin (1987:52) kinerja menggambarkan bagaimana organisasi menjadi efektif dan menunjukkan tingkat produktivitas outputnya, yang diperoleh melalui pengelolaan sumberdaya yang dimiliki organisasi. Kinerja organisasi menurut Prieto and Revilla (2006) dapat dibedakan atas kinerja keuangan dan non keuangan. Pengukuran kinerja ini memiliki cakupan yang lebih komprehensif, karena selain mempertimbangkan kinerja keuangan, juga mempertimbangkan pula kinerja non keuangan. Telaah-telaah tersebut telah memotivasi dilakukannya suatu studi terkait dengan analisis pengaruh pembelajaran organisasi terhadap kompetensi, tingkat diversifikasi, dan kinerja dalam konteks STAIS. Kemampuan STAIS untuk menangkap setiap gejala dari perubahan lingkungan akan menjadi faktor penentu kesuksesan bagi STAIS. Apalagi berdasarkan hasil penelitian Dill (1999) yang menyimpulkan bahwa institusi perguruan tinggi harus melakukan adaptasi tertentu pada struktur dan prosesnya dalam usaha memperbaiki efektivitas kegiatan belajar mengajar dalam lingkungan yang terus berubah. Telaah dan pandangan kalangan akademisi mengakui pentingnya proses pembelajaran organisasi sebagai upaya membangun kompetensi inti serta strategi diversifikasi dalam mencapai kinerja Holistik Vol 13 Nomor 02, Desember 2012/1434 H
Asep Kurniawan
operasi yang optimal dalam kondisi yang terus berubah. Namun bukti empiris untuk menjelaskan pengaruh pembelajaran organisasi terhadap kompetensi, strategi diversifikasi, dan kinerja STAIS secara serentak (simultan) dirasakan masih belum ada. Adanya perubahan lingkungan yang terjadi serta bagaimana upaya-upaya yang dilakukan oleh STAIS dalam menghadapi perubahan tersebut menarik untuk dikaji, sehingga mendorong peneliti untuk meneliti STAIS sebagai subjek studi penelitian ini. Berdasarkan semua uraian, dilakukan pengujian model teori yang terkait dengan pengaruh pembelajaran organisasi terhadap kompetensi, tingkat diversifikasi, dan kinerja STAIS di Wilayah III Cirebon. B. PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan pada latar belakang dan judul dari studi ini, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut: 1. Apakah kemampuan pembelajaran organisasi STAIS berpengaruh signifikan terhadap kompetensi STAIS? 2. Apakah kemampuan pembelajaran organisasi STAIS berpengaruh signifikan terhadap kinerja STAIS? 3. Apakah kompetensi STAIS berpengaruh signifikan terhadap tingkat diversifikasi STAIS? 4. Apakah kompetensi STAIS berpengaruh signifikan terhadap kinerja STAIS? 5. Apakah tingkat diversifikasi STAIS berpengaruh siginifikan terhadap kinerja STAIS? C. TUJUAN STUDI
Secara umum studi ini bertujuan untuk membuktikan dan menganalisis pengaruh kemampuan pembelajaran organisasi STAIS terhadap kompetensi, tingkat diversifikasi STAIS, dan kinerja STAIS di Wilayah III Cirebon. Secara khusus tujuan studi ini adalah: (a) Menguji dan menganalisis pengaruh kemampuan pembelajaran organisasi STAIS terhadap kompetensi STAIS. (b) Menguji dan menganalisis pengaruh kemampuan pembelajaran organisasi STAIS terhadap kinerja STAIS. (c) Menguji dan menganalisis pengaruh Holistik Vol 13 Nomor 02, Desember 2012/1434 H
-29-
PENGARUH KEMAMPUAN PEMBELAJARAN ORGANISASI TERHADAP KOMPETENSI, TINGKAT DIVERSIFIKASI DAN KINERJA STAI SWASTA DI WILAYAH III CIREBON
-30-
kompetensi STAIS terhadap tingkat diversifikasi STAIS. (d) Menguji dan menganalisis pengaruh kompetensi STAIS terhadap kinerja STAIS. (e) Menguji dan menganalisis pengaruh tingkat diversifikasi STAIS terhadap kinerja STAIS. D. SIGNIFIKANSI PENELITIAN
Secara teoritis hasil dari studi ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut: (a) Memberikan kontribusi terhadap teori manajemen strategi, terutama dalam mengidentifikasi faktor yang mempengaruhi strategi bersaing STAIS, kompetensi STAIS serta mengidentifikasi faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kinerja STAIS. (b) Bagi peneliti selanjutnya yang sejenis, diharapkan hasil studi ini dapat digunakan sebagai bahan acuan dalam studi mengenai organisasi pembelajar, strategi perusahaan dan sumberdaya strategis. Temuan studi ini secara praktis merupakan masukan bagi manajemen perguruan tinggi agama Islam swasta maupun peneliti bidang manajemen strategik, dalam hal: (a) Menentukan langkahlangkah strategis yang tepat dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan sehingga harapan para stakeholders dapat dipenuhi yang pada akhirnya dapat meningkatkan kinerja perguruan tinggi tersebut. (b) Mengambil kebijakan, bagi pemerintah khususnya Kopertais dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan nasional. (c) Diharapkan hasil studi ini akan menambah khasanah ilmu pengetahuan yakni dalam menentukan strategi yang akan dijalankan guna meningkatkan mutu pendidikan tinggi khususnya pada sekolah tinggi agama Islam swasta, sehingga dapat menjadi bahan acuan bagi peneliti lain dalam menemukan model kerangka teori yang baru dengan memadukan, memodifikasi serta memperluas konstruk-konstruk yang baru. E. KERANGKA BERFIKIR DAN KERANGKA TEORI
Sebelum diuraikan hal-hal yang berkaitan dengan kerangka teori, maka terlebih dahulu diuraikan kerangka proses berpikir seperti digambarkan pada Gambar 1.1.
Holistik Vol 13 Nomor 02, Desember 2012/1434 H
Asep Kurniawan
-31-
Gambar 1.3. Kerangka Proses Berpikir
Setelah menyusun kerangka proses berpikir, maka perlu disusun kerangka teori. Kerangka teori disusun untuk menjelaskan variabel-variabel mana yang berkedudukan sebagai variabel eksogen, variabel intervening, dan variabel endogen. Dengan preposisi yang didasarkan pada studi teoritik dan empirik akan diketahui berapa banyak hipotesis yang harus disusun, variabel yang terkandung dalam masing-masing hipotesis, dan bagaimana hubungan pengaruh antar variabelnya. Berdasarkan uraian tersebut, dapat disusun kerangka teori penelitian yang menggambarkan hubungan pengaruh antar variabel dalam studi ini. Kemampuan pembelajaran organisasi merupakan konstruk pertama. Konstruk kemampuan pembelajaran organisasi diukur dengan menggunakan dimensi yang dikembangkan oleh Marquardt (1996:30) yang terdiri dari sistem berpikir, model mental, kemampuan personal, kerjasama tim, kemampuan membagi visi bersama, Holistik Vol 13 Nomor 02, Desember 2012/1434 H
PENGARUH KEMAMPUAN PEMBELAJARAN ORGANISASI TERHADAP KOMPETENSI, TINGKAT DIVERSIFIKASI DAN KINERJA STAI SWASTA DI WILAYAH III CIREBON
-32-
dan kemampuan dialog. Kemampuan pembelajaran organisasi berpengaruh terhadap kompetensi. Dalam pembelajaran organisasi, STAIS secara berkelanjutan memberikan kesempatan kepada dosennya untuk belajar. dengan belajar kompetensi (kemampuan) dosen akan meningkat. Organisasi yang memberikan kesempatan pembelajaran kepada anggota organisasinya akan berkembang dan akan menjadi pendorong timbul dan berkembangnya inisiatif. Pengembangan perguruan tinggi dirancang untuk mencapai pertumbuhan dan pembangunan yang pesat dari perguruan tinggi dan staf pengajar (dosen), sehingga dapat melaksanakan tugasnya lebih efektif. Kemampuan pembelajaran organisasi berpengaruh terhadap kinerja STAIS. Kemampuan STAIS untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya melalui pembelajaran organisasi, dimaksudkan untuk meraih daya saing dan kemampuan inovatif sebagai faktor kunci meraih kesuksesan. Dengan belajar kemampuan dosen akan meningkat. Hal ini akan menimbulkan citra atau reputasi yang baik di mata masyarakat. Dengan demikian, STAIS yang memiliki banyak dosen yang handal akan mampu menarik minat calon mahasiswa untuk kuliah disana, mampu mempertahankan mahasiswanya, dan menjaga arus kasnya. Konstruk kedua dalam studi ini adalah kompetensi. Kompetensi merupakan keahlian dan pengetahuan khusus yang dimiliki dosen STAIS yang diarahkan untuk mencapai tingkat kepuasan pengguna yang lebih tinggi. Kompetensi diukur dengan empat indikator yang dikembangkan oleh Barney (1991) yang terdiri dari: kompetensi bernilai, kompetensi langka, kompetensi sulit ditiru, dan kompetensi yang sulit digantikan. Kompetensi yang dimiliki STAIS akan mempengaruhi tingkat diversifikasi yang dilakukannya. Artinya STAIS akan melakukan diversifikasi ke bidang-bidang dimana STAIS memiliki kompetensi untuk itu. Dengan demikian STAIS akan membuka program studi baru dimana tersedia sumberdaya dan kompetensi. Dapat dikatakan bahwa STAIS akan dapat memperoleh keunggulan bersaing jika memiliki keahlian dan kompetensi khusus yang dapat disalurkan ke pasar yang baru. Bila suatu organisasi memutuskan untuk melakukan diversifikasi, maka pasar yang dipilih untuk dimasuki haruslah pasar dimana perusahaan memiliki keunggulan bersaing (competitive advantage). Selain itu juga ditemukan bahwa secara keseluruhan, Holistik Vol 13 Nomor 02, Desember 2012/1434 H
Asep Kurniawan
kinerja perusahaan dipengaruhi oleh ketepatan strategi diversifikasi yang disesuaikan dengan profil kompetensi yang dimiliki perusahaan. Tingkat profitabilitas tertinggi juga akan dicapai oleh perusahaan yang menjalankan strategi diversifikasi yang sesuai dengan keahlian dan sumberdaya strategis yang dimilikinya. Kompetensi berpengaruh terhadap kinerja STAIS. Kemampuan STAIS untuk mengelola kompetensinya akan mempengaruhi keberhasilan STAIS mencapai tujuannya. Dengan kompetensi handal yang dimiliki para dosen, STAIS mampu menarik minat calon mahasiswa, mampu mempertahankan mahasiswanya, serta arus kas untuk kegiatan operasional kampus dapat terjaga kelancarannya. Selain itu, kompetensi yang bernilai, langka, sulit ditiru, dan sulit diganti tersebut akan meningkatkan kemampuan dosen dalam mentransfer ilmu pengetahuan. Hal ini akan menyebabkan kualitas proses belajar mengajar akan meningkat, dan selanjutnya meningkatkan hasil belajar mahasiswa. Akibatnya, indeks prestasi mahasiswa meningkat. Konstruk ketiga dalam studi ini adalah tingkat diversifikasi. Tingkat diversifikasi menggambarkan tindakan STAIS untuk menganekaragamkan usahanya yang ditunjukkan dengan jumlah program studi, tingkat keterkaitan diantara program studi yang ada, dan tingkat pemakaian bersama sarana dan prasarana diantara program studi. Semakin tinggi tingkat keterkaitan dan pemakaian bersama sarana prasarana diantara program studi, menunjukkan tingkat diversifikasi yang semakin rendah. Tingkat diversifikasi berpengaruh terhadap kinerja STAIS. STAIS melakukan strategi diversifikasi dengan cara menambah jumlah program studi. Hal ini dilakukan untuk memenuhi kebutuhan pendidikan dengan menawarkan berbagai program studi. Dengan menambah program studi baru, STAIS memperoleh peningkatan jumlah mahasiswa baru, lebih mampu mempertahankan mahasiswa karena tersedia berbagai bidang studi yang dibutuhkan dan diinginkan mahasiswa. Dengan demikian, semangat mahasiswa untuk belajar juga meningkat, sehingga indeks prestasinya juga meningkat. Selain itu dengan melakukan diversifikasi, STAIS dapat memperoleh dana pendidikan yang lebih besar sehingga kelancaran arus kas dapat terjaga. Dengan demikian, melalui strategi diversifikasi STAIS dapat memperkuat posisi persaingannya dan selanjutnya akan meningkatkan kinerja. Holistik Vol 13 Nomor 02, Desember 2012/1434 H
-33-
PENGARUH KEMAMPUAN PEMBELAJARAN ORGANISASI TERHADAP KOMPETENSI, TINGKAT DIVERSIFIKASI DAN KINERJA STAI SWASTA DI WILAYAH III CIREBON
-34-
Konstruk keempat adalah kinerja yang menunjukkan hasil akhir atau tingkat prestasi yang dicapai STAIS selama satu periode tertentu. Kinerja STAIS diukur dengan kelancaran arus kas, tingkat persaingan mahasiswa baru, perkembangan perolehan jumlah mahasiswa baru, persentase mahasiswa yang mengundurkan diri dan IPK rata-rata. F. HIPOTESIS
1. Kemampuan pembelajaran organisasi STAIS berpengaruh signifikan terhadap Kompetensi STAIS. 2. Kemampuan pembelajaran organisasi STAIS berpengaruh signifikan terhadap kinerja STAIS. 3. Kompetensi STAIS berpengaruh signifikan terhadap tingkat diversifikasi STAIS. 4. Kompetensi STAIS berpengaruh signifikan terhadap kinerja STAIS. 5. Tingkat diversifikasi STAIS berpengaruh signifikan terhadap kinerja STAIS. G. METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini merupakan: (a) Penelitian sampel, karena tidak semua subjek penelitian diobservasi. (b) Penelitian non-eksperimen, karena peneliti tidak memberi perlakukan (kontrol) terhadap subjek penelitian. (c) Penelitian korelasi, karena bertujuan menguji pengaruh atau korelasi diantara beberapa variabel penelitian. (d) Penelitian ini melakukan pengambilan data pada satu waktu tertentu untuk satu kelompok sampel, oleh karena itu penelitian ini merupakan penelitian model cross-sectional. maka penelitian ini termasuk penelitian penjelasan (explanatory research) karena penelitian ini bermaksud menjelaskan hubungan kausal antar variabel melalui pengujian hipotesis. Populasi penelitian ini adalah tim manajemen STAIS yang terdiri dari seluruh pimpinan, karyawan dan dosen dari seluruh Sekolah Tinggi Agama Islam Swasta (STAIS) di wilayah III Cirebon yang berada di bawah KOPERTAIS Wilayah II. Tim manajemen yang dipilih sebagai responden karena dianggap yang paling banyak mengetahui tentang pembelajaran organisasi di kampusnya. Jumlah STAIS 6 buah dengan anggota populasi; 33 pimpinan, 240 dosen, dan 60 karyawan. Dalam penelitian ini untuk pimpinan dan Holistik Vol 13 Nomor 02, Desember 2012/1434 H
Asep Kurniawan
karyawan dijadikan responden semua mengingat jumlah kelompok tidak banyak atau tidak melebihi seratus sebagai batas minimal responden untuk analisis menggunakan SEM. Akan tetapi untuk dosen karena jumlah total populasinya melebihi 100 dan terlalu besar, maka dilakukan tehnik sampling dengan menggunakan metode David & Rubin dan menghasilkan sampel sejumlah 41 dosen. Variabel dalam penelitian ini dapat diklasifikasikan menjadi: 1. Variabel eksogen, yakni kemampuan pembelajaran organisasi (X1). 2. Variabel endogen: (a) Variabel endogen intervening, yakni kompetensi (Y1), dan tingkat diversifikasi STAIS (Y2). (b) Variabel endogen tergantung (dependent variable) yaitu kinerja STAIS (Y3). Data dikumpulkan dengan menggunakan daftar pertanyaan yang terdiri dari pertanyaan mengenai karakteristik responden dan pertanyaan tentang variabel yang diteliti. Pertanyaan disajikan dalam bentuk pernyataan terbuka serta pernyataan dan skala untuk menyatakan respon. Pernyataan yang ada dalam daftar pertanyaan berkaitan dengan penilaian pimpinan STAIS mengenai pengaruh kemampuan pembelajaran organisasi STAIS terhadap kompetensi, tingkat diversifikasi STAIS, dan kinerja STAIS di Wilayah III Cirebon Jawa Barat. Pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan dengan metode survei yaitu menggunakan kuesioner yang berisi butir-butir pengukur konstruk atau variabel yang digunakan dalam model penelitian. Penyebaran dan pengumpulan data dilakukan secara langsung dengan meminta kesediaan responden untuk mengisi kuesioner. Penelitian ini bertujuan menguji dan menganalisis hubungan kausal antara variabel eksogen dan endogen baik endogen intervening maupun endogen tergantung, sekaligus memeriksa validitas dan reliabilitas instrumen penelitian secara keseluruhan. Oleh karena itu digunakan teknik analisis Structural Equation Modeling (SEM) dengan menggunakan paket program AMOS (Analysis of Moment Structure) versi 5 dan SPSS versi 15.0. H. TEMUAN LAPANGAN
Berdasarkan analisis hasil penelitian dan pembahasan tentang pengaruh kemampuan pembelajaran organisasi terhadap kompetensi tingkat diversifikasi, dan kinerja sekolah tinggi agama Islam swasta Holistik Vol 13 Nomor 02, Desember 2012/1434 H
-35-
PENGARUH KEMAMPUAN PEMBELAJARAN ORGANISASI TERHADAP KOMPETENSI, TINGKAT DIVERSIFIKASI DAN KINERJA STAI SWASTA DI WILAYAH III CIREBON
-36-
di Wilayah III Cirebon Jawa Barat, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Terdapat pengaruh signifikan positif kemampuan pembelajaran organisasi terhadap kompetensi sekolah tinggi agama Islam swasta. Dengan demikian Hipotesis satu (H1) yang menyatakan bahwa kemampuan pembelajaran organisasi STAIS berpengaruh signifikan terhadap kompetensi STAIS dapat diterima. Arah positif menunjukkan bahwa peningkatan kemampuan pembelajaran organisasi yang dilakukan oleh STAIS di Wilayah III Cirebon Jawa Barat akan menyebabkan STAIS mampu meningkatkan kompetensinya. 2. Terdapat pengaruh signifikan positif kemampuan pembelajaran organisasi terhadap tingkat kinerja sekolah tinggi agama Islam swasta. Dengan demikian Hipotesis dua (H2) yang menyatakan bahwa kemampuan pembelajaran organisasi STAIS berpengaruh signifikan terhadap kinerja STAIS dapat diterima. Arah positif menunjukkan bahwa peningkatan kemampuan pembelajaran organisasi yang dilakukan oleh STAIS di Wilayah III Cirebon Jawa Barat akan menyebabkan STAIS mampu meningkatkan kinerjanya. 3. Terdapat pengaruh signifikan positif kompetensi STAIS terhadap tingkat diversifikasi sekolah tinggi agama Islam swasta. Dengan demikian Hipotesis tiga (H3) yang menyatakan bahwa kompetensi STAIS berpengaruh signifikan terhadap tingkat diversifikasi STAIS dapat diterima. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi kompetensi yang dimiliki STAIS di Wilayah III Cirebon Jawa Barat akan STAIS mampu meningkatan diversifikasinya. 4. Terdapat pengaruh signifikan positif kompetensi terhadap kinerja sekolah tinggi agama Islam swasta. Dengan demikian Hipotesis empat (H4) yang menyatakan bahwa kompetensi STAIS berpengaruh signifikan terhadap kinerja STAIS dapat diterima. Arah positif menunjukkan bahwa peningkatan kompetensi yang dimiliki STAIS di Wilayah III Cirebon Jawa Barat akan menyebabkan STAIS mampu meningkatkan kinerjanya. 5. Terdapat pengaruh signifikan positif tingkat diversifikasi terhadap kinerja sekolah tinggi agama Islam swasta. Dengan demikian Hipotesis lima (H5) yang menyatakan bahwa tingkat diversifikasi STAIS berpengaruh signifikan terhadap kinerja STAIS dapat diterima. Arah positif menunjukkan bahwa semakin tinggi Holistik Vol 13 Nomor 02, Desember 2012/1434 H
Asep Kurniawan
tingkat diversifikasi yang dilakukan oleh STAIS di Wilayah III Cirebon Jawa Barat menyebabkan STAIS mampu meningkatkan kinerjanya. 6. Hasil studi menunjukkan bahwa variabel pembelajaran organisasi berpengaruh signifikan dan positif terhadap kompetensi, tingkat diversifikasi, dan kinerja STAIS di Wilayah III Cirebon Jawa Barat. Hasil studi ini sesuai dengan model yang dikembangkan dari penelitian Wang and Lo (2003) yang menyatakan pembelajaran organisasi berpengaruh signifikan terhadap kompetensi dan kinerja. Selanjutnya model studi ini dikembangkan dengan mengkombinasikan model yang dibuat oleh Chaterjee and Wernerfelt (1991) serta Barney (1991) yang menyatakan bahwa kompetensi berpengaruh terhadap tingkat diversifikasi dan kinerja. Tingkat diversifikasi berpengaruh terhadap kinerja (Mahoney and Pandian, 1992). Dengan demikian, kompetensi dan tingkat diversifikasi merupakan variabel mediasi dalam meningkatkan kinerja dengan melakukan pembelajaran organisasi. 7. Berbagai perubahan lingkungan eksternal telah mempengaruhi pendidikan tinggi antara lain perubahan kebutuhan masyarakat akan pendidikan, teknologi, globalisasi pendidikan, dan meningkatnya biaya pendidikan. Institusi yang berpikir maju, akan memiliki kesadaran untuk lebih tanggap terhadap berbagai perubahan tersebut. Banyak organisasi menyadari bahwa kemampuan organisasi untuk belajar merupakan kunci agar dapat bertahan dan terus tumbuh. Dengan demikian, sesuai dengan temuan studi yang menyatakan bahwa pembelajaran organisasi berpengaruh signifikan positif terhadap kinerja, maka agar kinerja STAIS meningkat STAIS perlu untuk selalu memperkuat kemampuan pembelajaran organisasinya. 8. Berdasarkan kesimpulan dari 5 (lima) hipotesis yang telah dibuktikan secara parsial kuantitatif, dapat disusun kesimpulan umum bahwa kinerja organisasi dipengaruhi oleh kemampuan pembelajaran organisasi melalui terbentuknya kompetensi dan diversifikasi. Dengan demikian terdapat variabel intervening yaitu kompetensi dan tingkat diversifikasi. Melalui pembelajaran organisasi akan dihasilkan kompetensi inti yang handal, yang selanjutnya kompetensi inti dapat mempengaruhi tingkat diversifikasi sehingga kinerja organisasi meningkat. Holistik Vol 13 Nomor 02, Desember 2012/1434 H
-37-
PENGARUH KEMAMPUAN PEMBELAJARAN ORGANISASI TERHADAP KOMPETENSI, TINGKAT DIVERSIFIKASI DAN KINERJA STAI SWASTA DI WILAYAH III CIREBON
-38-
I. SARAN Berdasarkan temuan penting studi ini, maka untuk meningkatkan kinerjanya, disarankan kepada STAIS untuk meningkatkan kompetensi dosen yang bernilai, langka, sulit ditiru dan sulit digantikan serta meningkatkan diversifikasi melalui jumlah program studi dan program studi yang masih saling terkait. DAFTAR PUSTAKA
Bettis, R.A. and W.K. Hall, 1982. Diversification Strategy, Accounting Determined Risk, and Accounting Determined Return, Academy of Management Journal, Vol.25, No.2 (June), pp.254-264. Bharadwaj, S.G., P.R. Varadarajan and J. Fahi, 1993 Suatinable Competitive Advantage in Service Industries: A Conseptual Model and Research Propositions, Journal of Marketing, Vol.57, October, pp.84-99. Bontis, N., M.M. Crossan, and J. Hulland, 2002. Managing an Organizational Learning System by Aligning Stocks and Flows, The Journal of Management Studies, Vol.39, Iss.4, Jun, pp.437449. Chatterjee, S. and B. Wernerfelt, 1991. The Link between Resources and Type of Diversification: Theory and Evidence, Strategic Management Journal, Vol.12, No.1, pp.33-48. Christensen, H.K. and C.A. Montgomery, 1981. Corporate Economic Performance: Diversification Strategy versus Market Structure, Strategic Management Journal, Vol.2, pp.327-343. Dierickx, I. and K. Cool, 1989. Asset Stock Accumulation and Sustainability of Competitive Advantage, Management Science, Vol.35, pp.88-108. Dill, D.D., 1999. Academic Accountability and University Adaptation: The Architecture of an Academic Learning Organization, Higher Education, Vol.38, pp.127-154. Fernandes, B.H., J.F. Mills and M.T. Fleury, 2005. Resources that Drive Performance: An Empirical Investigation, International Journal of Productivity and Performance Management, Vol.54, No.5/6, pp.340-354. Griffin, R.W., 1987. Management, Second Edition, Boston: Houhton Mifflin Press. Henderson R. and I. Cockburn, 1994. Measuring Competence? Holistik Vol 13 Nomor 02, Desember 2012/1434 H
Asep Kurniawan
Exploring Firm Effects in Phramaceutical Research, Strategic Management Journal, Vol.15, No.2, pp.63-84. Hitt, M.A., R.D. Ireland and R.E. Hoskisson, 2005. Strategic Management Competitiveness and Globalization, 6th Edition, Cincinnati, Ohio: South-Western Collage Publishing. Khandekar, A. and A. Sharma, 2006. Organizational Learning and Performmance: Understanding Indian Scenario in Present Global Context, Education + Training, Vol.48 No.8/9, pp.682-293. Kogut, B. and U. Zander, 1992. Knowledge of the Firm, Combinative Capabilities, and the Replications of Technology, Organization Science, Vol.3, pp.383-397. López, S.P., José M. Péon, and Camilo José Vazquez Ordás, 2005. Organizational Learning as a Determining Factor in Business Performance, The Learning Organization, Vol.12 No.3, pp.227145. Mahoney, J.T. and J.R. Pandian, 1992. The Resource-based View within the Conversation of Strategic Management, Strategic Management Journal, Vol.13, No.5 (June), pp.363-380. Markides, C.C. and P.J. Williamson, 1996. Corporate Diversification and Organizational Structure: A Resource-Based View, Academy of Management Journal, Vol.39, No.2, pp.340-367. Murray, P. and K. Donegan, 2003. Empirical Linkages between Firm Competensies and Organisational Learning, The Learning Organization, Vol.10, No.1, pp.51-62. O’Regan, N. and A. Ghobadian, 2004. The Importance of Capabilities for Strategic Direction and Performance, Management Decision, Vol.42, No.2, pp.292-312. Peteraf, M.A., 1993. The Cornerstones of Competitive Advantage: a Resource-Based View, Strategic Management Journal, Vol.14, pp.179-191. Prahalad, C.K. and R.A. Bettis, 1986. The Dominant Logic: a New Linkage Between Diversity and Performance, Strategic Management Journal, Vol.7, No.6, pp.485-501. Rumelt, R.P., 1982. Diversification Strategy and Profitability, Strategic Management Journal, Vol.3, pp.359-369. Stimpert, J.L. and I.M. Duhaime, 1997. Seeing the Big Picture: The Influence of Strategy on Performance, Academy of Management Journal, Vol.40, No.3, pp.560-583. Wang, Y. and H. Lo, 2003. Customer-focused Performance and the Holistik Vol 13 Nomor 02, Desember 2012/1434 H
-39-
PENGARUH KEMAMPUAN PEMBELAJARAN ORGANISASI TERHADAP KOMPETENSI, TINGKAT DIVERSIFIKASI DAN KINERJA STAI SWASTA DI WILAYAH III CIREBON
-40-
Dynamic Model for Competences Building and Leveraging: A Resource-based View, Journal of Management Development, Vol.22, No.6, pp.483-526. Wernerfelt, B., 1984. A Resource-Based View of the Firm, Strategic Management Journal, Vol.5, pp.171-180.
Holistik Vol 13 Nomor 02, Desember 2012/1434 H
DIALEKTIKA ISLAM DAN BUDAYA SUNDA
(Studi Tentang Sistem Kepercayaan dan Praktik Adat pada Komunitas Masyarakat di Desa Nunuk Baru Kecamatan Maja Kabupaten Majalengka Jawa Barat) vv Ahmad Ripa’i Abstrak Di Indonesia, masuknya Islam tidak terlepas dari budaya lokal yang mewarnainya. Kecenderungan-kecenderungan semacam ini telah terjadi di berbagai daerah di Nusantara (seperti di Jawa). Di tatar Sunda, hal semacam itu juga terjadi di komunitas Masyarakat desa Nunuk Baru Kecamatan Maja Kabupaten Majelengka. Dalam praktek kehidupan sehari-harinya, mereka kerap kali melaksanakan amalan-amalan yang bersandar pada ajaran leluhur Sunda, yang masyarakat lain mungkin menganggapnya sebagai perbuatan syirik, bid’ah dan sesat. Setelah diteliti secara mendalam, ternyata apa yang mereka praktekkan dalam kehidupan keberagamaan itu merupakan suatu bentuk pembebasan atas keterpinggiran mereka dalam kehidupan sosial, budaya, ekonomi dan politik yang selama ini mereka rasakan. Kata Kunci: Islam, Budaya, Adat, Sunda, Nunuk Baru A. LATAR BELAKANG MASALAH
Agama merupakan seperangkat aturan dan peraturan yang mengatur hubungan manusia dengan dunia gaib, khususnya dengan Tuhannya. Agama juga mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya, dan manusia dengan lingkungannya. Dalam definisi tersebut, agama dilihat sebagai sebuah doktrin atau teks suci. Sedangkan hubungan agama dengan manusia yang meyakininya dan khususnya kegiatan-kegiatan manusia penganut agama tersebut belum tercakup dalam definisi tersebut. Islam sebagai agama adalah agama ‘kitab suci’ yang mengklaim diri sebagai penerus dan penyempurna tradisi Judio-Kristiani. Pada giliranya ia membangun tradisi baru yang berintikan jalinan tiga sendi yaitu, Iman (percaya), Islam (berserah diri), dan Ihsan (berbuat baik). Dari sini berkembang seperangkat sistem kepercayaan, ritual dan etik behavioral yang kompleks. Namun penerapannya bisa lentur Holistik Vol 13 Nomor 02, Desember 2012/1434 H
-41-
DIALEKTIKA ISLAM DAN BUDAYA SUNDA STUDI TENTANG SISTEM KEPERCAYAAN DAN PRAKTIK ADAT PADA KOMUNITAS MASYARAKAT
-42-
sehingga dalam batas-batas tertentu ada ruang yang cukup bagi terjadinya proses adopsi, adaptasi, dan akomodasi secara jenius dengan budaya lokal. Dengan demikian, walau inti ajaran Islam sama namun artikulasinya bisa berbeda sesuai dengan konteks lokal dan sosial dimana pemeluknya tinggal dan berada (Muhaimin AG, 2001: ix). Melalui proses panjang dan berliku, Islam telah diterima oleh mayoritas penduduk dunia termasuk Indonesia. Namun sesudah diadopsi dan diakomodasi, wajah Islam yang tampil dalam bingkai budaya lokal sering tidak dikenali bahkan di salah pahami oleh banyak orang, terutama pengamat luar. Hal ini bisa dimengerti kalau pemahaman keagamaan yang mendominasi wacana sosial keagamaan masyarakat Indonesia dan Jawa misalnya, terutama yang berkembang pada era 1960-an dan yang berkembang sesudahnya, cenderung melihat tipisnya pengaruh Islam dan kentalnya unsurunsur Animisme, Hinduisme dan Budhisme pra-Islam yang memang sebelumnya pernah berakar. Dalam konteks inilah, penelitian tentang dialektika Islam dan budaya Sunda, tentang Sistem Kepercayaan dan Praktek Ritual adat pada komunitas masyarakat di desa Nunuk Baru Kecamatan Maja Kabupaten Majelengka menjadi sangat menarik untuk di kaji dan diteliti lebih jauh. Mengingat sistem kepercayaan, komunitas Masyarakat desa Nunuk Baru (komunitas masyarakat Nunuk baru yang termajinalkan secara geografis dari komunitas masyarakat lain) memiliki beberapa perbedaan, dari kebanyakan mayoritas masyarakat maupun umat Islam pada umumnya. Dalam praktek kehidupan sehari-harinya mereka kerap kali melaksanakan amalan-amalan yang bersandar pada ajaran leluhur Sunda, yang masyarakat lain menganggapnya sebagai perbuatan syirik, bid’ah dan sesat. Amalan keramat oleh warga desa Nunuk Baru pada umumnya dilakukan terhadap pemujaan baik di kubur para karuhun (leluhur) maupun kepercayaan kepada keramat gaib yang menghuni tempat-tempat di alam dalam kawasan-kawasan tertentu. Berdasarkan penelusuran awal, desa Nunuk Baru merupakan salah satu desa yang secara administrasi terletak di Kecamatan Maja, Kabupaten Majalengka, desa ini terletak, sekitar 19 km arah selatan Kota Majalengka, atau lebih kurang 100 km dari Ibukota Propinsi Jawa Barat. Latar belakang di atas, menimbulkan minat peneliti untuk lebih Holistik Vol 13 Nomor 02, Desember 2012/1434 H
Ahmad Ripa’i
jauh mengeksplorasi lebih jauh tentang bagaimana proses dialekika Islam dan budaya sunda pada komunitas masyarakat desa Nunuk Baru berlangsung? Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi dialektika Islam dengan budaya Sunda pada komunitas masyarakat desa Nunuk Baru tersebut? Bagaimana Sistem Kepercayaan dan praktek ritual adat pada komunitas masyarakat desa Nunuk Baru sebagai hasil dari proses dialektika? B. METODOLOGI PENELITIAN
1. Fokus Penelitian Fokus masalah penelitian ini pada proses dialektika Islam dan budaya Sunda dan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi proses dialektika tersebut. Lebih jauh, penelitian ini fokus pada Sistem Kepercayaan dan praktek ritual adat yang dipraktikan oleh komunitas masyarakat desa Nunuk Baru, sebagai hasil dari proses dialektika itu 2. Perumusan Masalah Masalah dalam penelitian ini di batasi dengan rumusan : a. Bagaimana sistem kepercayaan yang dianut oleh komunitas masyarakat desa Nunuk Baru? b. Bagaimana Praktek Ritual adat dilaksanakan komunitas masyarakat desa Nunuk Baru? c. Bagaimana dialektika dan perpaduan ajaran Islam dengan budaya lokal dalam pelaksanaan ritual adat pada komunitas masyarakat desa Nunuk Baru?
3. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan : a. Untuk mengetahui bagaimana sistem kepercayaan yang dianut oleh komunitas masyarakat desa Nunuk Baru. b. Untuk mengetahui praktek ritual adat dilaksanakan komunitas masyarakat desa Nunuk Baru. c. Untuk mengetahui bagaimana dialektika dan perpaduan ajaran Islam dengan budaya lokal dalam pelaksanaan ritual adat pada komunitas masyarakat desa Nunuk Baru. 4. Signifikasi Penelitian
Holistik Vol 13 Nomor 02, Desember 2012/1434 H
-43-
DIALEKTIKA ISLAM DAN BUDAYA SUNDA STUDI TENTANG SISTEM KEPERCAYAAN DAN PRAKTIK ADAT PADA KOMUNITAS MASYARAKAT
-44-
Kajian dan penelitian mengenai studi Islam khususnya, dialektika Islam dengan budaya Sunda, masih sangat jarang. Berbeda dengan kajian dan penelitian budaya Jawa dalam kaitanya dengan Islam, banyak para ahli baik dari luar maupun dari dalam negeri sudah banyak melakukan kajian dan penelitian yang mendalam. Kita bisa menyebut nama, Clifford Geertz, dengan Religion of Java nya, Mark R Woodward, Hodgson dan yang lainya. Untuk itulah penelitian tentang dialektika Islam dan budaya Sunda menjadi sangat penting untuk menambah khazanah kajian tentang Islam dalam konteks budaya Sunda yang masih sangat jarang. 5. Kajian Riset Sebelumnya Beberapa penelitian yang pernah dilakukan berkaitan dengan masalah ini yang pernah dilakukan beberapa orang yaitu antara lain : 1. Muhaimin AG, telah melakukan penelitian tentang “The Islamic Tradition of Cirebon: Ibadat and Adat Among Javanese Muslim. Sebuah penelitian tentang bagaimana Islam berdaptasi dengan Tradisi budaya yang ada di Cirebon 2. Amalan Agama Lokal dalam Komunitas Terpinggir Di Jawa Barat: Kajian Antropologi Agama yang di tulis oleh Ade Makmur Kartawinata. Untuk itu, penelitian ini berfoberusahakus untuk mengungkap bagaimana proses dialektika Islam dengan budaya Sunda dengan melihat kasus pada komunitas Nunuk Baru, dengan mengkaji sistem kepercayaan dan Praktek ritual adat pada masyarakat desa Nunuk Baru.
6. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah Kualitatif (qualitative methode), dengan pendekatan DeskriptifEksplanatoris. Pendekatan inilah yang dipandang relevan dengan karakteristik masalah dan fakta yang diteliti. Implikasi dari penelitian kualitatif setidak-tidaknya terkait dengan empat hal: 7. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan studi dokumentasi dan wawancara mendalam (in-depth interview). Bungin (2007) menjelaskan wawancara mendalam Holistik Vol 13 Nomor 02, Desember 2012/1434 H
Ahmad Ripa’i
secara umum adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara Tanya jawab sambil bertatap muka antara sepewawancara dengan informan dengan atau tanpa menggunakan pedoman (guide). Dalam konteks ini wawancara yang dilakukan pewawancara dan informan terlibat dalam kehidupan sosisal yang relatif lama (2007:108)
8. Teknik Analisis Data Untuk menganalisis fakta-fakta yang ditemukan dilapangan, dilakukan langkah-langkah sebagai berikut: Pertama, reduksi data, yaitu melakukan penyusunan data yang diperoleh, kemudian ditentukan data yang sesuai dengan penelitian ini dengan pengklasifikasian. Sementara data yang kurang relevan dikesampingkan. Kedua, dari kompleksitas data yang penting dan relevan di atas, kemudian dilakukan pengklasifikasian data dalam beberapa titik tekan persoalan yang sesuai dengan penbelitian. Ketiga, dilakukan pengolahan data secara kualitatif. Dalam tahapan ini setiap data diberikan pengertian sehingga mudah untuk dipahami. Pengertian ini dimaksudkan untuk menganalisis inti pemikiran yang ada di dalam data.
9. Kerangka Konseptual Agama, menurut Clifford Geertz (1973), adalah suatu sistem simbol yang bertindak untuk memantapkan perasaan-perasaan (moods) dan motivasi-motivasi secara kuat, menyeluruh, dan bertahan lama pada diri manusia, dengan cara memformulasikan konsepsi-konsepsi mengenai hukum/keteraturan (order), dan menyelimuti konsepsi-konsepsi tersebut dengan suatu aturan tertentu yang mencerminkan kenyataan, sehingga perasaan-perasaan dan motivasi-motivasi tersebut, nampaknya secara tersendiri (unik) adalah nyata ada. Walaupun pemikiran agama dikatakannya sebagai tidak sematamata menstrukturkan kebudayaan, tetapi agama juga dilihat sebagai pedoman bagi ketepatan dari kebudayaan; suatu pedoman yang beroperasi melalui sistem simbol pada tingkat emosional, kognitif, subyektif, dan individual. Itu artinya, menurut Geertz (1973:89), kebudayaan adalah pola dari pengertian-pengertian atau makna yang terjalin secara menyeluruh dalam simbol-simbol yang ditransmisikan secara historis, suatu sistem mengenai konsepsi-konsepsi yang diwariskan dalam bentukbentuk simbolik yang dengan cara tersebut manusia berkomunikasi, melestarikan, dan mengembangkan Holistik Vol 13 Nomor 02, Desember 2012/1434 H
-45-
DIALEKTIKA ISLAM DAN BUDAYA SUNDA STUDI TENTANG SISTEM KEPERCAYAAN DAN PRAKTIK ADAT PADA KOMUNITAS MASYARAKAT
-46-
pengetahuan dan sikap mereka terhadap kehidupan. Simbol adalah garis-garis penghubung antara pemikiran manusia dengan kenyataan yang ada di luar, yang dengan mana pemikiran harus selalu berhubungan atau berhadapan; dan yang dalam hal ini pemikiran manusia dapat dilihat sebagai "suatu bentuk sistem lalu lintas dalam bentuk simbol-simbol yang signifikan» (Geertz, 1973:362). Dengan demikian, sumber dari simbol-simbol itu pada hakekatnya ada dua, yaitu: (1) yang berasal dari kenyataan luar yang terwujud sebagai kenyataan sosial dan ekonomi; dan (2) yang berasal dari dalam dan yang terwujud melalui konsepsi dan struktur sosial. Dalam hal ini, simbol-simbol menjadi dasar bagi perwujudan model dari dan model bagi dari sistem dalam suatu cara yang sama dengan bagaimana agama mencerminkan dan mewujudkan bentuk sistem sosial. Sistem budaya dan sistem konsepsi dengan demikian dilihat sebagai mempunyai persamaan struktur-struktur dinamik dan begitu juga mempunyai persamaan dalam hal asal mulanya, yaitu dalam bentuk simbolik. Peranan dari upacara (ritual) menurut Geertz, adalah untuk mempersatukan dua sistem yang sejajar dan berbeda tingkat hierarkinya ini dengan menempatkannya pada hubunganhubungan formatif dan reflektif antara yang satu dengan yang lainnya dalam suatu cara sebagaimana masing-masing itu dihubungkan dengan asal mula simboliknya dan asal mula ekspresinya. Bentuk-bentuk kesenian dan begitu juga dengan upacara, adalah sama keadaannya dengan perwujudan-perwujudan simbolik lainnya, yaitu "mendorong untuk menghasilkan secara berulang dan terus menerus mengenai hal-hal yang amat subyektif dan yang secara buatan dan polesan dipamerkan» (Geertz, 1973:451). Dengan demikian, sebagai suatu keseluruhan, upacara mempunyai kedudukan sebagai perantara simbolik, atau mungkin lebih tepat kalau disebut sebagai perantara metafor, dalam kaitannya dengan kebudayaan dan pemikiran subyektif yang memungkinkan bagi keduanya (yaitu upacara dan kebudayaan) untuk dapat saling bertukar tempat dan peranan. Kesanggupan dari upacara untuk bertindak dan berfungsi seperti ini, yaitu menterjemahkan tingkat-tingkat lainnya yang lebih tinggi sehingga membuat manusia menjadi sadar dengan melalui pancaindera serta perasaannya, dan mewujudkan adanya kesamaan dalam keseiasekataan yang struktural dalam bentuk simbolik, adalah sebenarnya merupakan dasar utama dari pemikiran manusia. Seperti Holistik Vol 13 Nomor 02, Desember 2012/1434 H
Ahmad Ripa’i
dikatakan oleh Geertz (1973:94): "Dapatnya saling tukar menukar tempat dan peranan dari model bagi dan model dari yang dalam mana formulasi simbolik dapat dilakukan adalah ciri-ciri khusus dari mental kita sebagai manusia». Untuk itu, bagi Geertz (1973:452), kebudayaan adalah "seperangkat teks-teks simbolik», maka kesanggupan manusia untuk membaca teks-teks tersebut dipedomani oleh dan dalam struktur-struktur upacara yang bersifat metafor, kognitif, dan penuh dengan muatan emosi dan perasaan. Agama dan upacara adalah dua satuan yang secara bersamaan merupakan sumber dan model keteraturan sosial (social order). Dengan demikian, setiap kebudayaan berisikan konsep-konsep, teori-teori, dan metode-metode untuk memilih, menseleksi hasilhasil pilihan dan mengabungkan pilihan-pilihan tersebut. Sebagai sebuah pedoman bagi pemenuhan keperluan hidup maka kebudayaan berisikan konsep-konsep, resep-resep, dan petunjuk-petunjuk untuk dapat digunakan bagi menghadapi dunia nyata supaya dapat hidup secara biologi, untuk dapat mengembangkan kehidupan bersama dan bagi kelangsungan masyarakatnya, dan pedoman moral, etika, dan estetika yang digunakan sebagai acuan bagi kegiatan mereka sehari-hari. Operasionalisasi dari kebudayaan sebagai pedoman bagi kehidupan masyarakat adalah melalui berbagai pranata-pranata yang ada dalam masyarakat tersebut. Pedoman moral, etika, dan estetika yang ada dalam setiap kebudayaan merupakan inti yang hakiki yang ada dalam setiap kebudayaan. Kebudayaan sebagai pedoman bagi kehidupan masyarakat, memungkinkan warga masyarakat untuk dapat saling berkomunikasi tanpa menghasilkan kesalahpahaman. Karena dengan menggunakan kebudayaan yang sama sebagai acuan untuk bertindak maka masingmasing pelaku yang berkomunikasi dapat meramalkan apa yang diinginkan oleh pelaku yang dihadapinya. Begitu juga dengan menggunakan simbol-simbol dan tandatanda yang secara bersama-sama mereka pahami maknanya, maka mereka juga tidak akan saling salah paham. Pada tingkat perorangan atau individual, kebudayaan menjadi pengetahuan para pelakunya, sekaligus juga sebagai sebuah keyakinan, terutama keyakinan mengenai kebenaran dari pedoman hidupnya. Lantaran itu, kebudayaan cenderung untuk tidak mudah berubah. Konsep mengenai kebudayaan seperti telah dikemukakan Holistik Vol 13 Nomor 02, Desember 2012/1434 H
-47-
DIALEKTIKA ISLAM DAN BUDAYA SUNDA STUDI TENTANG SISTEM KEPERCAYAAN DAN PRAKTIK ADAT PADA KOMUNITAS MASYARAKAT
-48-
di atas itulah yang dapat digunakan sebagai alat atau kacamata untuk memahami agama. Bila agama dilihat dengan menggunakan kacamata agama, maka agama diperlakukan sebagai kebudayaan; yaitu: sebagai sebuah pedoman bagi kehidupan masyarakat yang diyakini kebenarannya oleh warga masyarakat. Agama dilihat dan diperlakukan sebagai pengetahuan dan keyakinan yang dipunyai oleh sebuah masyarakat; yaitu, pengetahuan dan keyakinan yang kudus dan sakral yang dapat dibedakan dari pengetahuan dan keyakinan sakral dan yang profan yang menjadi ciri dari kebudayaan. Dalam konteks itu, pada waktu kita melihat dan memperlakukan agama sebagai kebudayaan maka yang kita lihat adalah agama sebagai keyakinan yang hidup yang ada dalam masyarakat manusia, dan bukan agama yang ada dalam teks suci, yaitu dalam kitab suci Al Qur>an dan Hadits Nabi. Sebagai sebuah keyakinan yang hidup dalam masyarakat, maka agama menjadi bercorak lokal; yaitu, local sesuai dengan kebudayaan dari masyarakat tersebut. B. KAJIAN DAN KERANGKA TEORITIS
1. Relasi Agama dan Realitas Sosial Sebagai fenomena universal yang kompleks, keberadaan agama dalam masyarakat telah mendorong lahirnya banyak kajian tentang agama. Kajian-kajian tentang agama berkembang bukannya karena agama ternyata tak dapat dipisahkan dari realitas sosial, tetapi ternyata realitas keagamaan berperan besar dalam perubahan sosial dan transformasi sosial. Socrates beberapa ribu tahun yang lalu telah menyatakan bahwa fenomena agama adalah fenomena kemanusiaan. Pernyataan ini seringkali digunakan para apologis agama untuk menguatkan keyakinan mereka akan betapa mendasarnya posisi agama dalam nilai-nilai kemanusiaan. Namun perlu juga ditandaskan tentang sikap untuk berani mempertanyakan kembali makna agama dan relevansinya dengan kehidupan sosial sebagai fenomena universal yang ada dimana-mana. Kajian-kajian agama baik dalam masyarakat primitif sampai pada masyarakat yang modern menunjukkan bahwa keberadaan agama selalu mengandung dua sisi yang berbarengan, yaitu kecenderungan transendensi dan sekularisasi. Di samping kritik terhadap pendekatan intelektualis itu, Durkheim juga mengungkapkan bahwa masyarakat dikonseptualisasikan sebagai sebuah totalitas yang diikat oleh hubungan sosial. Dalam Holistik Vol 13 Nomor 02, Desember 2012/1434 H
Ahmad Ripa’i
pengertian ini maka society (masyarakat) bagi Durkheim adalah "struktur dari ikatan sosial yang dikuatkan dengan konsensus moral.» Pandangan ini yang mengilhami para antropolog untuk menggunakan pendekatan struktural dalam memahami agama dalam masyarakat. Claude Levi-Strauss adalah satu murid Durkheim yang terus mengembangkan pendekatan strukturalisme, utamanya untuk mencari jawaban hubungan antara individu dan masyarakat. Bagi Levi-Strauss agama baik dalam bentuk mitos. Magic adalah model bagi kerangka bertindak bagi individu dalam masyarakat. Jadi pandangan sosial Durkheim dikembangkan oleh Levi-Strauss tidak sebatas secara hubungan sosial tetapi juga secara ideologi dan pikiran sebagai struktur sosial. Dengan demikian realitas manusia sesungguhnya adalah realitas empiris dari ketuhanan. Dan persoalan-persoalan yang dihadapi manusia adalah cerminan dari permasalahan ketuhanan. Maka mempelajari realitas manusia, dengan segala aspeknya, adalah mempelajari Tuhan (baca agama) dalam realitas empiris. Kenyataan bahwa realitas manusia-yang tercermin dalam bermacam-macam budaya sangat beragam, maka diperlukan kajian cross culture untuk melihat realitas universal agama. Marshal Hodgson menggambarkan bahwa bermacam-macamnya manifestasi agama dalam kebudayaan tertentu (little tradition)sesungguhnya adalah mosaik dari realitas universal agama (great tradition). 2. Agama Sebagai Sistem Budaya Geertz, memahami agama sebagai sistem kebudayaan. Sementara kebudayaan, dalam pandangan Geertz didefinisikan sebagai pola bagi kelakuan yang terdiri dari serangkaian aturan-aturan, resep-resep, rencana-rencana, petunjuk-petunjuk, yang digunakan manusia untuk mengatur tingkah lakunya. Kebudayaan dengan demikian juga dilihat pengorganisasian pengertian-pengertian yang tersimpul dalam simbol-simbol yang berkaitan dengan ekspresi manusia (Humaidy, 2007:11-13). Karena itu, Geertz kemudian memahami agama tidak saja sebagai seperangkat nilai di luar manusia, tapi juga merupakan sistem pengetahuan dan sistem simbol yang memungkinkan terjadinya pemaknaan (Nur Syam, 2007:13). Sebagai sistem pengetahuan, agama merupakan sistem keyakinan yang sarat dengan ajaran-ajaran moral dan petunjuk kehidupan (baca: Wahyu) yang harus dipelajari, ditelaah, dan Holistik Vol 13 Nomor 02, Desember 2012/1434 H
-49-
DIALEKTIKA ISLAM DAN BUDAYA SUNDA STUDI TENTANG SISTEM KEPERCAYAAN DAN PRAKTIK ADAT PADA KOMUNITAS MASYARAKAT
-50-
kemudian dipraktekkan oleh manusia dalam kehidupannya. Dalam hal ini, agama memberikan petunjuk mengenai -yang baik dan buruk, -yang pantas dan tidak pantas, dan -yang tepat dan tidak tepat. Nilai-nilai agama dapat membentuk dan mengkonstrukkan perilaku manusia dalam kesehariaanya. Sementara agama sebagai sistem simbol, dalam agama terdapat simbol-simbol tertentu untuk mengaktualisasikan ajaran agama yang dipeluknya. Baik simbol-simbol dimaksud berupa perbuatan, kata-kata, benda, sastra dan sebagainya. Sujud misalnya, merupakan sebentuk simbolisasi atas kepasrahan dan penghambaan penganutnya pada pencipta. Sujud merupakan simbol totalitas kepasrahan hamba, dan pengakuan secara sadar akan kemahabesaran Allah. Dalam hal ini, sujud yang terdapat dalam shalat merupakan bagian dari ritual keagamaan dalam kehidupan masyarakat beragama (Humaidy, 2007:282-284). Dari itu dapat dipahami bahwa antara kebudayaan dan agama, masing-masing mempunyai simbol-simbol dan nilai tersendiri. Agama adalah simbol yang melambangkan nilai ketaatan kepada Tuhan. Kebudayaan juga mengandung nilai dan simbol supaya manusia bisa hidup di dalamnya. Agama memerlukan sistem simbol, dengan kata lain agama memerlukan kebudayaan agama. Tetapi keduanya perlu dibedakan. Agama adalah sesuatu yang final, universal, abadi (parennial) dan tidak mengenal perubahan (absolut). Sedangkan kebudayaan bersifat partikular, relatif dan temporer. Agama tanpa kebudayaan memang dapat bekembang sebagai agama pribadi, tetapi tanpa kebudayaan agama sebagai kolektivitas tidak akan mendapat tempat (Kuntowijoyo, 2001:196). Dengan demikian, dialektika antara agama dan kebudayaan merupakan sebuah keniscayaan. Agama memberikan warna (spirit) pada kebudayaan, sedangkan kebudayaan memberi kekayaan terhadap agama. Karya Clifford Geertz mengenai agama, kebudayaan, dan upacara, memperlihatkan suatu perspektif tersendiri berkenaan dengan pengkajian antropologi mengenai sistem kognitif dan simbolik. Bagi Geertz, agama merupakan bagian dari suatu sistem budaya yang lebih meresap dan menyebar luas, dan bersamaan dengan itu kedudukannya berada dalam suatu hubungan dengan dan untuk menciptakan serta mengembangkan keteraturan kebudayaan; dan bersamaan dengan itu agama juga mencerminkan keteraturan Holistik Vol 13 Nomor 02, Desember 2012/1434 H
Ahmad Ripa’i
tersebut. Seperti dikatakannya (Geertz, 1973:90): Agama adalah suatu sistem simbol yang bertindak untuk memantapkan perasaan-perasaan (moods) dan motivasi-motivasi secara kuat, menyeluruh, dan bertahan lama pada diri manusia, dengan cara memformulasikan konsepsi-konsepsi mengenai hukum/ keteraturan (order), dan menyelimuti konsepsi-konsepsi tersebut dengan suatu aturan tertentu yang mencerminkan kenyataan, sehingga perasaan-perasaan dan motivasi-motivasi tersebut, nampaknya secara tersendiri (unik) adalah nyata ada. Walaupun pemikiran agama dikatakannya sebagai tidak sematamata menstrukturkan kebudayaan, tetapi agama juga dilihat sebagai pedoman bagi ketepatan dari kebudayaan; suatu pedoman yang beroperasi melalui sistem symbol pada tingkat emosional, kognitif, subyektif, dan individual. Itu artinya, menurut Geertz (1973:89), kebudayaan adalah pola dari pengertian-pengertian atau makna yang terjalin secara menyeluruh dalam simbol-simbol yang ditransmisikan secara historis, suatu sistem mengenai konsepsi-konsepsi yang diwariskan dalam bentukbentuk simbolik yang dengan cara tersebut manusia berkomunikasi, melestarikan, dan mengembangkan pengetahuan dan sikap mereka terhadap kehidupan. Simbol adalah garis-garis penghubung antara pemikiran manusia dengan kenyataan yang ada di luar, yang dengan mana pemikiran harus selalu berhubungan atau berhadapan; dan yang dalam hal ini pemikiran manusia dapat dilihat sebagai "suatu bentuk sistem lalu lintas dalam bentuk simbol-simbol yang signifikan» (Geertz, 1973:362). Dengan demikian, sumber dari simbol-simbol itu pada hakekatnya ada dua, yaitu: (1) yang berasal dari kenyataan luar yang terwujud sebagai kenyataan sosial dan ekonomi; dan (2) yang berasal dari dalam dan yang terwujud melalui konsepsi dan struktur sosial. Dalam hal ini simbolsimbol menjadi dasar bagi perwujudan model dari dan model bagi dari sistemdalam suatu cara yang sama dengan bagaimana agama mencerminkan dan mewujudkan bentuk sistem sosial. Sistem budaya dan sistem konsepsi dengan demikian dilihat sebagai mempunyai persamaan struktur-struktur dinamik dan begitu juga mempunyai persamaan dalam hal asal mulanya, yaitu dalam bentuk simbolik. Peranan dari upacara (ritual) menurut Geertz, adalah untuk mempersatukan dua sistem yang sejajar dan berbeda tingkat hierarkinya ini dengan menempatkannya pada hubunganhubungan formatif dan reflektif antara yang satu dengan yang lainnya Holistik Vol 13 Nomor 02, Desember 2012/1434 H
-51-
DIALEKTIKA ISLAM DAN BUDAYA SUNDA STUDI TENTANG SISTEM KEPERCAYAAN DAN PRAKTIK ADAT PADA KOMUNITAS MASYARAKAT
-52-
dalam suatu cara sebagaimana masing-masing itu dihubungkan dengan asal mula simboliknya dan asal mula ekspresinya. Bentuk-bentuk kesenian dan begitu juga dengan upacara, adalah sama keadaannya dengan perwujudan-perwujudan simbolik lainnya, yaitu "mendorong untuk menghasilkan secara berulang dan terus menerus mengenai hal-hal yang amat subyektif dan yang secara buatan dan polesan dipamerkan» (Geertz, 1973:451). Dengan demikian, sebagai suatu keseluruhan, upacara mempunyai kedudukan sebagai perantara simbolik, atau mungkin lebih tepat kalau disebut sebagai perantara metafor, dalam kaitannya dengan kebudayaan dan pemikiran subyektif yang memungkinkan bagi keduanya (yaitu upacara dan kebudayaan) untuk dapat saling bertukar tempat dan peranan. Kesanggupan dari upacara untuk bertindak dan berfungsi seperti ini, yaitu menterjemahkan tingkattingkat lainnya yang lebih tinggi sehingga membuat manusia menjadi sadar dengan melalui pancaindera serta perasaannya, dan mewujudkan adanya kesamaan dalam keseiasekataan yang struktural dalam bentuk simbolik, adalah sebenarnya merupakan dasar utama dari pemikiran manusia. Seperti dikatakan oleh Geertz (1973:94): "Dapatnya saling tukar menukar tempat dan peranan dari model bagi dan model dari yang dalam mana formulasi simbolik dapat dilakukan adalah ciri-ciri khusus dari mental kita sebagai manusia». Untuk itu bagi Geertz (1973:452), kebudayaan adalah "seperangkat teks-teks simbolik", maka kesanggupan manusia untuk membaca teks-teks tersebut dipedomani oleh dan dalam struktur-struktur upacara yang bersifat metafor, kognitif, dan penuh dengan muatan emosi dan perasaan. Agama dan upacara adalah dua satuan yang secara bersamaan merupakan sumber dan model keteraturan sosial (social order).
Dengan demikian, setiap kebudayaan berisikan konsep-konsep, teori-teori, dan metode-metode untuk memilih, menseleksi hasilhasil pilihan dan mengabungkan pilihan-pilihan tersebut. Sebagai sebuah pedoman bagi pemenuhan keperluan hidup maka kebudayaan berisikan konsep-konsep, resep-resep, dan petunjuk-petunjuk untuk dapat digunakan bagi menghadapi dunia nyata supaya dapat hidup secara biologi, untuk dapat mengembangkan kehidupan bersama dan bagi kelangsungan masyarakatnya, dan pedoman moral, etika, dan estetika yang digunakan sebagai acuan bagi kegiatan mereka Holistik Vol 13 Nomor 02, Desember 2012/1434 H
Ahmad Ripa’i
sehari-hari. Operasionalisasi dari kebudayaan sebagai pedoman bagi kehidupan masyarakat adalah melalui berbagai pranata-pranata yang ada dalam masyarakat tersebut. Pedoman moral, etika, dan estetika yang ada dalam setiap kebudayaan merupakan inti yang hakiki yang ada dalam setiap kebudayaan. Kebudayaan sebagai pedoman bagi kehidupan masyarakat, memungkinkan warga masyarakat untuk dapat saling berkomunikasi tanpa menghasilkan kesalahpahaman. Karena dengan menggunakan kebudayaan yang sama sebagai acuan untuk bertindak maka masingmasing pelaku yang berkomunikasi dapat meramalkan apa yang diinginkan oleh pelaku yang dihadapinya. Konsep mengenai kebudayaan seperti telah dikemukakan di atas itulah yang dapat digunakan sebagai alat atau kacamata untuk memahami agama. Bila agama dilihat dengan menggunakan kacamata agama, maka agama diperlakukan sebagai kebudayaan; yaitu: sebagai sebuah pedoman bagi kehidupan masyarakat yang diyakini kebenarannya oleh warga masyarakat. Agama dilihat dan diperlakukan sebagai pengetahuan dan keyakinan yang dipunyai oleh sebuah masyarakat; yaitu, pengetahuan dan keyakinan yang kudus dan sakral yang dapat dibedakan dari pengetahuan dan keyakinan sakral dan yang profan yang menjadi ciri dari kebudayaan. C. PENYEBARAN ISLAM DI TATAR SUNDA
1. Masuknya Islam ke Tatar Sunda Abad pertama sampai keempat hijriyah merupakan fase awal proses kedatangan Islam ke Nusantara. Hal ini antara lain ditandai kehadiran para pedagang Muslim yang singgah di berbagai pelabuhan di Sumatra sejak permulaan abad ke-7 Masehi. Proses Islamisasi di tatar Sunda terjadi dan dipermudah karena adanya dukungan dari kedua belah pihak yakni orang-orang Muslim pendatang yang mengajarkan agama Islam dan golongan masyarakat yang menerimanya. Di tatar Sunda, menurut naskah "Carita Parahiyangan» diceritakan seorang pemeluk agama Islam yang pertama kali di tatar Sunda adalah Bratalegawa putra kedua Prabu Guru Pangandiparamarta Jayadewabrata atau Sang Bunisora penguasa kerajaan Galuh. Ia memilih hidupnya sebagai saudagar besar; biasa berlayar ke Holistik Vol 13 Nomor 02, Desember 2012/1434 H
-53-
DIALEKTIKA ISLAM DAN BUDAYA SUNDA STUDI TENTANG SISTEM KEPERCAYAAN DAN PRAKTIK ADAT PADA KOMUNITAS MASYARAKAT
-54-
Sumatra, Cina, India, Srilangka, Iran, sampai ke negeri Arab. Ia menikah dengan seorang Muslimah dari Gujarat bernama Farhana binti Muhammad. Melalui pernikahan dengan seorang Muslimah ini, Bratalegawa memeluk Islam, kemudian menunaikan ibadah haji dan mendapat julukan Haji Baharudin. Sebagai orang yang pertama kali menunaikan ibadah haji di kerajaan Galuh, ia dikenal dengan sebutan Haji Purwa. Bila kedatangan Haji Purwa di tanah Sunda tahun 1337 Masehi dijadikan titik tolak masuknya Islam ke tatar Sunda, hal ini mengandung arti bahwa, pertama, agama Islam yang pertama kali masuk ke tatar Sunda berasal dari Makah yang dibawa pedagang (Bratalegawa); dan, kedua, pada tahap awal kedatangannya, agama ini tidak hanya menyentuh daerah pesisir utara Jawa bagian Barat, tetapi diperkenalkan juga di daerah pedalaman. Akan tetapi, agama itu tidak segera menyebar secara luas di masyarakat disebabkan tokoh penyebarnya belum banyak dan pengaruh Hindu dari Kerajaan Galuh dan Kerajaan Sunda Pajajaran terhadap masyarakat setempat masih kuat. Sementara itu, di Karawang terdapat sebuah pesantren di bawah pimpinan Syekh Hasanuddin yang dikenal dengan sebutan Syekh Quro sebagai penyebar dan guru agama Islam pertama di daerah Karawang pada abad ke-15 sekira tahun 1416 sezaman dengan kedatangan Syekh Datuk Kahpi yang bermukim di Pasambangan, bukit Amparan Jati dekat Pelabuhan Muarajati, kurang lebih lima kilometer sebelah utara Kota Cirebon. Keduanya lalu menjadi guru agama Islam dan mendirikan pesantren masing-masing. Pesantren di Muara Jati semakin berkembang ketika datangnya Syekh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati dari Mesir. Ia masih keturunan Prabu Siliwangi bermukim di Cirebon sejak tahun 1470 dan mulai menyebarkan syiar Islam ke seluruh wilayah tatar Sunda mulai dari Cirebon, Kuningan, Majalengka, Ciamis, Bogor, hingga Banten. Atas perjuangannya, penganut kepercayaan animisme, dinamisme, agama Hindu, dan Budha beralih menjadi Muslim, sedangkan penganut ajaran Sunda Wiwitan merupakan agama asli orang Sunda tersisihkan ke pedalaman Baduy. Pada tahap awal, sebagaimana dilakukan Bratalegawa, penyebaran agama Islam rupanya baru berlangsung secara terbatas di lingkungan tempat tinggal para tokoh agama tersebut. Seiring terbentuknya pesantren-pesantren sebagai tempat pembentukan kader ulama atau para guru agama yang mendidik para santri, syiar Holistik Vol 13 Nomor 02, Desember 2012/1434 H
Ahmad Ripa’i
Islam mulai berkembang pesat di tatar Sunda sejak pertengahan abad ke-15. Dalam sumber lain yang ditulis dadang Kahmad (2011:50), bahwa proses Islamisasi baru menjelang abad ke-13, penduduk kepulauan Indonesia banyak yang memeluk agama Islam. Di Tatar Sunda sendiri, Bratalegawa salah satu putra Raja Mangkubumi Bunisora Suradipati adalah seorang saudagar (pedagang) yang dikenal sebagai tokoh yang pertama kali menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci Makah sehingga ia sering disebut sebagai Haji Purwa. Ia tertarik dan masuk Islam karena perjumpaannya dengan pedagang-pedangang Arab yang kemudian menikah dengan wanita asal Gujarat, yang juga beragama Islam. Sekembalinya dari Tanah Suci, Bratalegawa kemudian mengajak keluarga (termasuk raja Prabu Niskala Wastu), dan saudarasaudaranya untuk memeluk agama Islam. Sekalipun tidak banyak mendapat respons, tetapi Prabu Niskala Wastu mengizinkan Haji Purwa tinggal di sana sehingga tidak heran jika di Cirebon Girang, tempat tingal Haji Purwa, sejak tahun 1337 Masehi, ajaran Islam sudah dikenal oleh masyarakat setempat. Agama Islam terus berkembang, apalagi setelah diperkenalkan dan disebarkan oleh Syarif Hidayatullah yang dikenal sebagai Sunan Gunung Djati, pengganti dan keponakan Pangeran Walangsungsang, yang juga memiliki hubungan darah dengan para raja Padjajaran. Sunan Gunung Djati-lah pendiri dinasti raja-raja Cirebon dan kemudian Banten. Oleh karena kedudukannya sebagai Wali Songo, ia pun mendapat penghormatan dari raja-raja lain di Jawa seperti Demak dan Pajang. Dari Cirebon Sunan Gunung Djati mengembangkan Islam ke daerah-daerah lain di Jawa Barat seperti Majalengka, Kuningan, Kawali (Galuh), Sunda Kelapa, dan Banten. Atas jasa-jasa Sunan Gunung Djati inilah, Islam kemudian menyebar ke seluruh daerah Tatar Sunda dan selanjutnya menjadi pandangan hidup yang terusmenerus iinternalisasi, dieksternalisasi, dan diobjektivasikan, hingga akhirnya membentuk kebudayan religius, yang khas Tatar Sunda. D. PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN
1. Setting Sosial Masyarakar Desa Nunuk Baru Desa Nunuk Baru merupakan salah satu desa yang secara administrasi terletak di Kecamatan Maja, Kabupaten Majalengka, sekitar 17 Km arah selatan Kota Majalengka, atau lebih kurang 80 Holistik Vol 13 Nomor 02, Desember 2012/1434 H
-55-
DIALEKTIKA ISLAM DAN BUDAYA SUNDA STUDI TENTANG SISTEM KEPERCAYAAN DAN PRAKTIK ADAT PADA KOMUNITAS MASYARAKAT
-56-
Km dari Ibukota Propinsi Jawa Barat di Bandung. Untuk menjangkau desa Nunuk baru hanya dapat ditempuh melewati perbukitan yang sangat terjal dan berliku, jalan desa menuju desa Nunuk Baru, kondisinya amat rusak dan pada musim penghujan kondisi jalan ini menjadi tidak berfungsi karena jalan terputus oleh sungai. Desa Nunuk baru, pada awalnya bernama Blok Nunuk nama sebuah kampung di desa Cengal Kec. Maja Kab. Majalengka. Menurut Bapak Daryan (70 Tahun) sesepuh desa Nunuk Baru, pada masa sebelum tahun 1960-an, Nunuk adalah nama sebuah desa. Tetapi sejak tahun 1960-an itu Nunuk atau Desa Nunuk dihapus kata desanya oleh pemerintah. Artinya, secara administratif Nunuk tidak lagi membawahi kampung-kampung lain, diantaranya kampung Cikowan, kampung Kadut, Kampung Babakan, Kampung Cirelek. Nunuk dan kampung-kampung bawahannya sekarang oleh penduduk dinamakan “Nunuk Kompleks”. Kini Nunuk dan bekas bawahan kampungkampungnya itu menjadi bawahan atau bagian Pemerintahan Desa Cengal hingga tahun 2010. Kemudian Nunuk dimekarkan kembali menjadi Desa definitif kembali menjadi desa Nunuk Baru, Berdasarkan Peraturan Daerah Kab. Majalengka No.6/2010, tentang Pembentukan Desa Nunuk Baru Jumlah penduduk Kampung Nunuk pada tahun 2010, tercatat sebanyak 3.626 jiwa atau, dengan 1.164 Kepala Keluarga. Penduduk desa Nunuk Baru dan penduduk kampung-kampung di sekitarnya itu (Nunuk Kompleks), tetap memiliki rasa kesatuan yang erat dalam lingkup kebudayaan Sunda. Mereka masih mengenal satu sama lain dan tetap bergaul, saling kunjung mengunjungi dan hidup dengan memanfaatkan lingkungannya demi mencukupi keperluan hidup mereka. Pergaulan hidup mereka serupa itu diperkuat dengan adanya perasaan terisolasi dari dunia luar, karena sarana jalan masuk ke kelompok kampung-kampung itu kurang mendapat perhatian dalam hal pemeliharaannya. Karena itu hubungan timbal balik dengan penduduk di luar masyarakatnya tidak memadai. Walaupun demikian kontak dengan “dunia” luar masih tetap ada, berupa kontak fisik langsung (kunjungan penduduk luar ke desa Nunuk Baru atau sebaliknya tetap berlangsung). Keadaan isolasi itu, disebabkan, sarana jalan tidak memadai, Holistik Vol 13 Nomor 02, Desember 2012/1434 H
Ahmad Ripa’i
mengakibatkan penduduk kurang mampu “melempar” surplus hasil usaha mereka di bidang pertanian. Mereka kebanyakan menunggu orang luar datang membeli surplus usaha mereka itu. Hambatan isolasi itulah yang mereka rasakan sangat berat, sehingga pergaulan mereka dengan dunia luar tidak maksimal. 2. Pemahaman Keagamaan Masyarakat Desa Nunuk Baru Kepercayaan, warga desa Nunuk baru khususnya dan umumnya “Nunuk Kompleks”, selain mengaku telah beragama Islam. Namun dalam praktek kehidupan sehari-harinya mereka kerapkali melaksanakan amalan-amalan yang bersandar pada ajaran leluhur. Amalan keramat oleh warga umumnya dilakukan terhadap pemujaan baik dikuburan para karuhun (leluhur) maupun kepercayaan kepada keramat gaib yang menghuni tempat-tempat di alam dan di kawasankawasan tertentu. Selain itu, juga kerapkali dilaksanakan slametan sebagai perwujudan dari keyakinan mereka terhadap perlindungan yang diberikan oleh para leluhur dan keramat. Slametan dalam konteks ini melingkupi: peristiwa yang berkisar sekitar masa krisis kehidupan, seperti kelahiran, perkawinan dan kematian, yang berhubungan dengan integrasi sosial kampung dikenal sebagai buku taun, dan slametan yang diselenggarakan dalam waktu tertentu yang terkait dengan adanya kejadian luar biasa baik yang dialami oleh seluruh warga komunitas maupun oleh perorangan seperti pindah tempat tinggal, sakit yang tidak kunjung sembuh dan ganti nama, semua itu mereka kenal sebagai ngaruat. Dalam slametan itu juga dilengkapi oleh sesajen terdiri dari seperangkat sajian berupa tantang angin, kupat, puncak manik, dan telur ayam di simpan di pintu gerbang kampung atau dimakam karuhun mereka. Sedangkan untuk kelemgkapan ngaruat kampung selain sesajen itu juga dilengkapi dengan kepala kambing yang ditanam di dalam tanah di depan pintu masuk balai kampong sebagai persembahan kepada leluhur dan para roh pelindung kampung. 3. Praktek Ritual Adat Masyarakat Desa Nunuk Baru
a. Ngaruat dan Buku Taun Upacara ngaruat yang bersifat kolektif untuk kesejahteraan warga kampung diselenggarakan secara rutin paling lambat tujuh tahun sekali atau sesuai dengan keperluan, artinya didorong oleh adanya peristiwa atau kejadian-kejadian luar biasa. Holistik Vol 13 Nomor 02, Desember 2012/1434 H
-57-
DIALEKTIKA ISLAM DAN BUDAYA SUNDA STUDI TENTANG SISTEM KEPERCAYAAN DAN PRAKTIK ADAT PADA KOMUNITAS MASYARAKAT
-58-
Selain itu, slametan yang juga erat hubungannya dengan kepercayaan mereka adalah upacara "Buku Taun» (upacara pasca panen). Upacara tersebut diselenggarakan setelah mereka melaksanakan panen raya sebagai ungkapan rasa syukur kepada karuhun. Upacara buku taun diselenggarakan pada hari Senin atau Kamis dengan menyembelih domba atau kambing dan tiap-tiap kepala keluarga membawa nasi tumpeng dan lauk pauknya. Upacara dipimpin oleh seorang kuncen dan dibuka dengan menyampaikan ikrar atau tindak yaitu dengan ucapan "Nyiieun cindek ngabukuan, ngaruas kasalametan, pedah tos papanenan, tina sagala hasil bumi». Kemudian diungkapkan persembahan kepada karuhun (nenek moyang) dan diungkapkan pula permohonan agar para karuhun menjaga dan mengamankan mereka dari berbagai mara bahaya dan kejahatan. Penduduk kampung Nunuk dan kampung di sekitarnya percaya, bahwa para arwah atau leluhur dapat menjaga dan menyelamatkan mereka dari pelbagai kejahatan, penyakit, wabah, dan hama. Dalam setiap slametan atau melaksanakaan pemujaan keramat di pimpin oleh seorang kuncen. Kuncen, selain bertugas untuk mengarahkan pelaksanaan slametan, juga menyampaikan ikror, yang pada intinya setiap ikror berisi permohonan dan persembahan kepada para arwah leluhur dan keramat yang menjadi roh pelindung warganya. Ikror yang diucapkan sebelum melaksanakan slametan yang terkait dengan buku taun, misalnya sebagai berikut: Pun sampun kanu Maha Agung Ka Gusti anu maha we/as asih Gusti pamuntangan beurang Gusti pamuntangan peuting Sajatining pati hurip Sajatining kasucian
Pun sapun kanu Maha Agung Ka manggung neda pa payung Kami deuk maluruh mapay laratan carita lawa Nyukcruk laku nu rahayu Tapak lampah nu baheula Pun sapun duh amit ampun Ka Sang Agung Tirta yatra Holistik Vol 13 Nomor 02, Desember 2012/1434 H
Ahmad Ripa’i
Ka Begawat Resi Makandria Ka Pwah Aksari jabung Ka Sang Mani Sri Pun sapun duh amit ampun Ka sakur gelar karuhun Pang numbalkeun pangnyinglarkeun Kami sela mapay lacak Lalakon dilalakonkeun Pun sapun duh amit ampun Bisina terus narutus Palias narajang alas Nigas catang papalingpang Nebus bengkung kadal meuteung Pun sapun ... ampunparalun Terjemahannya: Minta Izin Pada Yang Maha Kuasa Pada Tuhan Yang Maha Pengasih Tuhan Tempat Meminta Pertolongan Pada Siang Hari Tuhan Tempat Meminta Pertolongan Pada Malam Hari Yang Menguasai Hidup dan Mati Yang Menguasai Kesucian Minta Izin Pada Yang Maha Kuasa Minta Dilindungi Kami Mau Menelusuri Cerita Pada Masa Lampau Menelusuri Prilaku Yang Baik Bekas Prilaku Zaman Dulu Minta Izin Kepada Sang Agung Tirta Yatra Kepada Begawat Resi Malakandria Kepada Pwah Aksari Jabung Kepada Sang Manis Sri Minta Izin Kepada Nenek Moyang Minta di Jauhkan Dari Segala Macam Bahaya Kami Hendak Mencari Jejak Cerita Cerita di Ceritakan Meminta Ampun Holistik Vol 13 Nomor 02, Desember 2012/1434 H
-59-
DIALEKTIKA ISLAM DAN BUDAYA SUNDA STUDI TENTANG SISTEM KEPERCAYAAN DAN PRAKTIK ADAT PADA KOMUNITAS MASYARAKAT
-60-
Kalau Salah Langkah Salah Dalam Berprilaku Tidak Sesuai Dengan Jalan Yang Benar Mohon Untuk Diampuni Selain itu, juga ikror yang biasa diucapkan kuncen pada saat melaksanakan slametan untuk mengawali kegiatan pertanian, yaitu: Bismillahirrahmaanirrahiim Rokaya haturan ka indung bumi bapa langit Abu hawa bapa Adam Atining cai dasar ning bumi Kaduga anu keur di kandung Poe 7 bulan 8 taun 831 Pedah ieu anak incu bade tatanen Nyuhunkeun dikirim hujan Ka nu gaduh biasa cicing didieu Anu cicing kaopat juru kalima pupuhunan Ka Bapa Buyut Jalaksana Buyut Kondang, Buyut Salikur Buyut Bodas, Buyut Goong Buyut Bayu, Buyut Dangdan Buyut Saliyeng, Buyut Ciburakan Buyut Bewok, Buyut Margatapa Buyut Kipelen, Buyut Wanantara
Terjemahnya: Bismillahirrahmaanirrahiim Seraya selamat datang kepada ibu bumi bapak langit Ambu hawa bapak Adam Hatinya air dasarnya bumi Terduga yang sedang di kandung tiga Hari ke- 7 bulan ke-8 tahun 831 Karena anak cucu akan bercocok tanam Meminta dikirim hujan Kepada pemilik yang biasa diam di sini Yang mendiami keempat penjuru kelima leluhur
Holistik Vol 13 Nomor 02, Desember 2012/1434 H
Ahmad Ripa’i
Kepada Bapak Buyut Jalaksana Buyut Kondang, Buyut Salikur Buyut Bodas, Buyut Goong Buyut Bayu, Buyut Dangdan Buyut Saliyeng, Buyut Ciburakan Buyut Bewok, Buyut Margatapa Buyut Kipelen, Buyut Wanantara Dalam tataran kepercayaan itu, bagi warga Nunuk, setiap permohonan yang dikabulkan, mereka selalu biasa melakukan seba di tempat–tempat keramat yang pada umumnya berupa “pangjarahan” atau makam para “embah” yang berada di kampung Nunuk, yaitu: Embah Prabustika, Embah Sang Prabujaya, Embah Sugenda, atau Dipati Ukur, Embah Eyang Kaneneh, Ibu Kaneneh dan Ibu Aria, Embah Buger, Ibu Imas Introwiganda, Embah Zawi atau Maris, Embah Dalem Mangkurata, Harian Bangga, Ciung Wanara, Badugel Jaya, Embah Amisah, Embah Tangkubing Bumi, Embah Nata dan Embah Nata Kusumah. Berdasarkan realitas keagamaan yang dianut warga komunitas tersebut menunjukkan, bahwa agama Islam yang mereka akui sebagai agamanya dalam prakteknya mereka tidak menjalankannya sesuai dengan ajaran Islam yang menekankan penyerahan diri seseorang kepada Allah Subhanahuwata’ala. Lantaran itu, bagi mereka melakukan pemujaan keramat dan melaksanakan slametan justeru bermakna untuk menjawab tantangan hidup sehari-hari. Dalam konteks ini, agama Islam yang mereka anut belum menjadi bagian dan membentuk nilai-nilai budaya dari kebudayaannya, sehingga etos agama yang wujud cenderung belum dapat memberikan jawaban untuk pemenuhan keperluan hidup mereka. Oleh karena itu, nilai-nilai yang bermakna dalam kehidupan mereka adalah etos yang wujud dari kepercayaan lokal yang terkait dengan kebudayaannya. Itu artinya, kepercayaan lokal yang mereka anut, mereka yakini dapat menyajikan berbagai penjelasan mengenai hakekat kehidupan manusia dan lingkungan serta ruang dan waktu yang dihadapi manusia dan yang dirinya sendiri adalah sebagian dari padanya. Lantaran itu, kedudukan dan peranannya menjadi jelas dan setiap kondisi kehidupan yang dihadapi dan dialaminya dapat diterima secara masuk akal baginya. Salah satu dari peranannya yang jelas terlihat, adalah bahwa, dalam keadaan kekacauan dan Holistik Vol 13 Nomor 02, Desember 2012/1434 H
-61-
DIALEKTIKA ISLAM DAN BUDAYA SUNDA STUDI TENTANG SISTEM KEPERCAYAAN DAN PRAKTIK ADAT PADA KOMUNITAS MASYARAKAT
-62-
kesukaran, kebingungan dan jiwa tertekan, kepercayaan lokal itu dapat memainkan peranan yang besar bagi individu-individu yang bersangkutan karena kepercayaan ini memberikan penjelasan dan kemudian dapat dijadikan rujukan untuk bertindak sebagai kerangka sandaran bagi ketentraman dan penghiburan hati dalam keadaan kesukaran dan kekacauan yang dihadapinya. b. Ritual Munjung dan Bongkar Bumi Ritual munjung dan bongkar bumi adalah ritus-ritus dalam bentuk upacara adat keagamaan untuk menyambut musim tanam. Istilah munjung berarti ’memuja’ atau melakukan persembahan. Dalam Islam, istilah munjung kemudian diartikan sebagai ziarah, yaitu berkunjung dan melakukan rangkaian ritual doa di pemakaman para leluhur. Sementara itu, istilah bongkar bumi yang dalam istilah lain disebut juga ngaguar bumi, memiliki arti membuka bumi, agar senantiasa memberikan kesuburan bagi masyarakat setempat. Praktik ritual yang semula muncul dari masyarakat agraris ini tidak hanya ditemui dalam budaya masyarakat Sunda, melainkan juga berlangsung di banyak masyarakat Jawa yang agraris dan budaya lainnya di Indonesia, misalnya dengan sebutan ngunjung dan sedekah bumi (Ekajati, 1984:192). Dalam prakteknya, munjung dilakukan di beberapa kompleks pemakaman dengan pembacaan doa, tahlil, dan pembagian konsumsi, sementara bongkar bumi dilakukan di balai desa dengan mengadakan pagelaran wayang kulit dan di masjid dengan mengadakan pengajian secara bergiliran. Kedua ritual ini dilaksanakan sebagai perwujudan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas kehadiran kembali musim tanam dan penghujan, dengan harapan mendapat kemakmuran, keselamatan, kesuburan, keberkahan dan rizki yang lapang. Dalam perspektif antropologi, kedua ritual ini bisa dikategorikan sebagai bentuk adaptasi budaya antara budaya lokal dan Islam, dan bahkan bisa dianggap sebagai bentuk sinkretisme Islam (Irwan Abdullah, 1990:87). Melalui pelaksanaan ritual ini, warga masyarakat agraris diharapkan memiliki keteraturan dalam bercocok tanam dan memelihara keseimbangan lingkungan dengan kehidupan manusia, terutama dalam stabilitas pangan. Oleh karena itu, menarik untuk mengamati proses negosiasi antara budaya lokal dengan teks-teks keagamaan (Islam) atau bagaimana Islam memasuki praktek lokal dan memberikan makna Holistik Vol 13 Nomor 02, Desember 2012/1434 H
Ahmad Ripa’i
baru pada kedua ritual tersebut. Pengamatan terhadap tradisitradisi yang berkembang di tengah masyarakat menjadi urgen untuk memilah-milah mana ajaran Islam yang relevan dengan budaya lokal dan bentuk-bentuk modifikasi apa sajakah yang terinspirasi oleh Islam.
c. Mitologi dalam Ritual Munjung dan Bongkar Bumi-Dari tinjauan kebahasaan, istilah munjung atau ngunjung memiliki arti mengunjungi, menghadiri atau dalam bahasa agama berziarah. Munjung secara bahasa berarti juga memuja atau melakukan persembahan. Istilah lain yang juga merupakan perkembangan makna dan memiliki arti sama adalah sedekah makam. Namun, bagi masyarakat desa Nunuk Baru istilah yang telah lazim penyelenggaraan ritual ini disebut munjung. Ritual munjung secara teknis dilakukan dengan melakukan ziarah ke makam para leluhur. Ritual munjung dan bongkat bumi yang memiliki dimensi transendental sebagai wujud persembahan kepada para karuhun (leluhur), ternodai dengan iklim glamor pihak kompeni. Adanya dua tinjauan kesejarahan yang berbeda ini menunjukkan bahwa baik munjung maupun bongkar bumi telah hadir sejak peradaban manusia untuk pertama kalinya bermukim di wilayah desa ini. Adapun motivasi awalnya lebih ditujukan sebagai ekspresi atas keseimbangan antara kejadian manusia dengan alam semesta. Dari segi kronologis, sejarah ritual penyambutan pergantian musim ini sebenarnya terdiri dari tiga tahap, yaitu munjung, bongkar bumi dan kemudiaan diakhiri dengan ritual mapag Sri. Dua tahap pertama hingga saat ini masih dilestarikan, meski telah terjadi modifikasi dalam berbagai sisi. Sementara tahap terkahir, berupa mapag Sri yang juga memiliki arti menyambut Dewi Sri, tidak lagi diselenggarakan. Bagi banyak daerah yang memiliki latar belakang budaya yang berkarakter agraris, tokoh Dewi Sri hadir di tengah masyarakat petani sebagai sumber inspirasi dan dipercaya pelindung bagi kesuburan tanah dan padi. Upacara yang menekankan arti penting kehadiran sosok Dewi Sri ini dilakukan ketika memulai musim panen dan menjelang penanaman bibit padi (Subalidinata, 1990:18-22). Dalam kebudayaan masyarakat Sunda, ketiga ritual tersebut telah menjadi rutinitas terutama musim penghujan tiba. Di samping sebagai bentuk penghormatan terhadap siklus alam tentang pergantian musim, bagi kalangan petani di desa ini ritual tersebut seolah menjadi Holistik Vol 13 Nomor 02, Desember 2012/1434 H
-63-
DIALEKTIKA ISLAM DAN BUDAYA SUNDA STUDI TENTANG SISTEM KEPERCAYAAN DAN PRAKTIK ADAT PADA KOMUNITAS MASYARAKAT
-64-
kewajiban untuk dilaksanakan, dengan harapan agar tanaman yang hendak ditanam -terutama padi- dapat menghasilkan padi yang berlimpah, subur dan tidak diganggu oleh berbagai bentuk hama. Begitu juga ketika memasuki musim panen, ada upacara adat yang dilakukan oleh para petani yang dikenal dengan ’Mipit’, yang berarti mengawali musim panen. Tingginya penghormatan masyarakat terhadap kebudayaan lokal dalam bidang pertanian ini, tidak bisa terlepas dari kepercayaan nenek moyang dan telah lama dipegang oleh masyarakat petani Desa Nunuk di masa lalu tentang peranan Dewi Sri. Tokoh Dewi Sri yang berkembang dalam sastra Sunda, menurut penelitian Hidding, dikenal dengan sebutan Nyi Pohatji Sanghyang Sri dan sering dikaitkan dengan mitos asal mula adanya padi di Jawa Barat (Soepanto, 1963:22-25). Dalam banyak literatur, terutama kehidupan masyarakat Jawa dan Sunda, Dewi Sri merupakan tokoh yang cukup terkenal, terutama di kalangan masyarakat petani. Dalam masyarakat petani Jawa dan Sunda, tokoh Dewi Sri sering diidentikkan dengan dewi padi, dewi kekayaan, dewi kesuburan dan kemakmuran, dewi yang melimpahi ketenaran, kesuksesan, yang dapat memberi umur, panjang, sehat, dan banyak anak. Oleh karena posisinya yang amat sentral, masyarakat petani di masa lampau sangat memberikan penghormatan terhadap keberadaan tokoh Dewi Sri, sebagaimana terlihat dalam adat istiadat dan tradisi budaya Jawa-Sunda. Salah satu tradisi yang mencerminkan terhadap adanya kepercayaan dan penghormatan terhadap tokoh Dewi Sri, dapat dilihat dalam sikap dan perlakuan masyarakat agraris Jawa dan Sunda terhadap padi (Suryani, 2001). Dalam memperlakukan padi, masyarakat petani Jawa dan Sunda, khususnya di daerah pedesaan, tidak akan bersikap sembarangan dan mengambil sikap yang sangat berhati-hati, penuh kasih dan hormat, sebagaimana memperlakukan manusia yang dikasihi dan dihormati. Sebagaimana dalam penelitian Santikno yang menyebutkan adanya keterkaitan Dewi Sri dengan konsep Dewi Ibu dalam kebudayaan masyarakat Agraris. Menurutnya, Sri atau Tisnawati dianggap sebagai lambang atau perumpamaan biji tanaman. Dalam proses pertumbuhan suatu tanaman, pada umumnya biji harus ditanam di dalam tanah terlebih dahulu, dan biji akan hancur apabila tanaman tersebut tumbuh. Uraian singkat inilah yang kemudian Holistik Vol 13 Nomor 02, Desember 2012/1434 H
Ahmad Ripa’i
menurut Santikno (1977:53-67), berkaitan erat dengan menjawab mitos asal mula adanya padi yang dilukiskan tumbuh dari kuburan jenazah Dewi Sri atau Dewi Tisnawati. Berbeda dengan Santikno, ketokohan Dewi Sri di Indonesia dalam banyak kemiripan cerita menurut penelitian Pitono (1992:246), memiliki hubungan dengan tokoh di India. Bahkan, menurut Pitono, dasar-dasar padi itu telah ada di Indonesia sebelum kedatangan kebudayaan Hindu, sebab pulau Jawa atau nusantara adalah negara agraris. Adapun mitos Dewi Sri dari India hanyalah memperluas mitos padi yang telah ada di Indonesia. Walaupun tata cara ritual munjung, bongkar bumi, dan mapag Sri tersebut banyak pengaruh Hindu, namun pelaksanaannya hingga kini mengalami perubahan dalam berbagai sisi, termasuk substansinya. d. Munjung: Ziarah Kolektif Ritual munjung dalam masyarakat Sunda di desa Nunuk Baru kec. Maja, Majalengka dilakukan pada pertengahan bulan Oktober 2010 dalam pengamatan penulis yang terlibat dalam upacara tersebut, tradisi munjung dilakukan pada pagi hari, tepatnya pukul 07.00 dan berakhir satu jam setelahnya. Ketika tiba waktunya ritual munjung di kompleks pemakaman Embah Prabustika yaitu hari Senin tanggal, 17 Oktober 2010, penulis ikut menyaksikan ritual ini yang diikuti oleh banyak penduduk desa, baik dari kalangan orang tua, ibu-ibu dan bahkan anakanak. Keterlibatan penulis dalam acara ini, dengan harapan dapat mengamati secara langsung apa yang terjadi dan bagaimana ekspresi kebudayaan masyarakat Nunuk melalui tradisi munjung ini. Sejak pukul enam pagi harinya jalan menuju kompleks pemakaman Embah Prabustika telah dilalui orang kebanyakan memakai sarung, kopiah dan baju lengan panjang. Anggota masyarakat yang mengikuti ritual munjung ini biasanya diikuti oleh anggota masyarakat yang memiliki sanak keluarga yang telah meninggal dunia dan dimakamkan di pemakaman Embah Prabustika, aparat desa, terutama cap gawe, dan masyarakat umum. Mereka membawa paros atau brekat, sebuah bungkusan dari plastik yang di dalamnya terdapat nasi dan lauk pauknya dan ada juga isinya mentahan, yang terdiri dari beras, sarden, mie, telur, gula, opak, dan lainnya. Biasanya setiap anggota keluarga memawa paros tersebut sedikitnya lima buah. Paros yang dibawa kemudian diserahkan kepada petugas/panitia Holistik Vol 13 Nomor 02, Desember 2012/1434 H
-65-
DIALEKTIKA ISLAM DAN BUDAYA SUNDA STUDI TENTANG SISTEM KEPERCAYAAN DAN PRAKTIK ADAT PADA KOMUNITAS MASYARAKAT
-66-
munjung, yang biasanya dari aparat desa. Selain berbentuk paros, ada juga dari kalangan ibu-ibu yang membawa baskom atau boboko yang berisi nasi dan lauk pauknya. Berbeda dengan paros yang dibawa kaum laki-laki, boboko yang berisi nasi dan lauk diserahkan kepada petugas perempuan yang telah siap untuk menerima semua bawaan Ibui-bu. Dan setelah diterima, ibu-ibu tadi kemudian mendapat bagian nasi dan lauk pauk alakadarnya dan ditempatkan pada boboko yang tadi. Proses pergantian nasi dan lauk pauknya mengandung nilai kebersamaan, dengan memberikan alakadaranya dan menerima alakadarnya nasi dan jenis lauk pauknya. Sementara itu, kelompok laki-laki yang telah menyerahkan paros kemudian diperkenankan untuk duduk secara tertib dan berhadaphadapan dengan barisan duduk di depannya. Prosesi ini merupakan tahapan awal menuju ritual, berupa pembacaan tahlil yang dipimpin seorang kiai desa. Barisan duduk yang terdiri dari kurang lebih 400 orang laki-laki menyusun barisan hingga kurang lebih dari 150-200 meter. Mereka duduk berbaris dengan berhadap-hadapan. Di depannya dipersiapkan paros, dan karena banyaknya paros yang diterima panitia, paros dijatah perorang mendapat dua paros untuk laki-laki dewasa/ tua dan satu paros untuk anak-anak. Dengan posisi duduk yang beragam, ada yang duduk silah dan juga canggogo, para peserta munjung menunggu dimulainya acara tahlilan. Baru setelah dipandang tertib dan waktu telah menunjukkan hampir pukul 08.00, acara pembacaan tahlil dimulai. Namun, sebelum panitia kemudian mempersilahkan kepada salah seorang ulama desa, untuk memimpin acara pembacaan tahlil, salah seorang panitia dan juga pamong desa, memberikan pengantar dan bertindak sebagai pembawa acara. Setelah prakata disampaikan oleh salah seorang aparat desa, selanjutnya pembacaan tahlil berlangsung dan dipimpin oleh Bapak Kiai Jaja Sujai. Dengan dimulai pembacaa –tawasul-, sebuah medium untuk menghubungkan Allah dengan hamba-hamba-Nya yang suci dengan manusia yang sedang memuja dan memuji Allah dan RasulNya. Setelah dipersilahkan untuk memimpin tahlil Kiai Jaja Sujai, kemudian mengumandangkan pembacaan tawasul yang ditujukan kepada Nabi Muhammad SAW, para Nabi, para sahabat Nabi, istri dan keturunan Nabi, para Awliya, para Syuhada, orangorang shalih, masayikh, kaum muslim yang dimakamkan di pemakamn Embah Holistik Vol 13 Nomor 02, Desember 2012/1434 H
Ahmad Ripa’i
Prabustika dan pemakaman lainnya dan para jama’ah kaum muslimin. Dan sebagaimana biasa setelah pemimpin mengumandangkan ila hadharati sampai mengucapkan al-Fatihah, seluruh jama’ah kemudian mengumandangkan dan membaca surat al-Fatihah. Suasana hening dan khusu’ sangat nampak, ketika pembacaann awal tahlil ini. Suasana menjadi lebih khusu’ lagi, ketika pemimpin tahlil kemudian melanjutkan bacaannya, dengan membaca surat al-Ikhlas 3 kali, surat al-Falaq sekali, surat an-Nas sekali dan kembali membaca surat al-Fatihah sekali. Selanjutnya membaca surat al-Baqarah ayat awal yang dimulai alif lam mim sampai akhir diteruskan dengan ulaika ala hudan minrabbihim sampai akhir ayat dan dilanjutkan dengan ayat kursi, mulai dari wa ila hukum ilahuwahidun sampai akhir ayat wahuwal aliyyul ’azim, dilanjutkan lagi membaca ayat lillahi ma fisamawati sampai akhir ayat anta maulana fansurna alalqaumilkafirin. Pembacaan ayat-ayat al-Qur’an tersebut dilakukan secara bersama-sama imam tahlil dan seluruh jama’ah yang hadir. Kemudian imam tahlil melanjutkan pembacaan kalimat tahlil, yaitu la ilaha illallah, dikuti jama’ah selama tiga kali, selanjutnya pembacaan la ilaha illallah dibaca bersama antara imam tahlil dan seluruh jama’ah. Di saat hening dan khusu’ inilah, seluruh jama’ah tampak konsentrasi mengikuti pembacaan tahlil ini. Setelah selesai dibaca kurang lebih 33x, imam selanjutnya membaca la ilaha illallahu la Ilaha illallah 2x dan membaca la ilaha illallahu sayyiduna muhammadurrasulullah sekali. Seluruh jama’ah mengumandangkannya setelah imam selesai. Selanjutnya imam membacakan Allahumma sholli ’ala sayyidana muhammad allahumma sholli ’alaihi wasallim 2x, dilanjutkan Allahumma sholli ’ala sayyidana muhammad allahumma sholli ’alaihi wa barik wa sallim ajma’in sekali. Seluruh jama’ah mengumandangkannya setelah imam selesai. Kemudian imam membaca subhanallah wabihamdihi subhanallah hil’adzim hingga 33 x. Seluruh jama’ah bersama imam mengumandangkannya. Dilanjutkan dengan pembacaan Allahumma shalli ’ala habibika sayyidina muhammadiwwa’ala ali sayidina muhammad 2 x, selanjutnya Allahumma shalli ’ala habibika sayyidina muhammadiwwa’ala alihi wa ashabihi wa barik salim ajma’in. Setelah ini imam kemudian membaca hadharah kembali secara khusus ditujukan kepada Nabi Muhammad SAW, dan kemudian dibacalah surat al-Fatihah secara bersama-sama. Setelah itu ditutup Holistik Vol 13 Nomor 02, Desember 2012/1434 H
-67-
DIALEKTIKA ISLAM DAN BUDAYA SUNDA STUDI TENTANG SISTEM KEPERCAYAAN DAN PRAKTIK ADAT PADA KOMUNITAS MASYARAKAT
-68-
dengan do’a. (Pengamatan, Senin, 17 Oktober 2010 di pekaman Embah Prabustika). dengan berakhirnya do’a yang disampaikan Kiai Jjaja Sujai, maka berakhir pulalah prosesi tahlil. Seluruh jama’ah kemudian mengambil paros atau brekat yang telah disiapkan dan diletakkan dihadapan jama’ah. Selepas pembacaan tahlil, sebagian jama’ah ada yang meneruskan dengan membersihkan makam anggota keluarganya, dan sebagian yang lain pulang ke rumah masing-masing dengan membawa paros. Sementara itu kondisi yang agak berbeda dialami oleh kaum ibu yang telah sejak awal membagi-bagikan nasi dan lauk pauk secara sederhana, sebagian ada yang mengikuti prosesi tahlil, tapi ada juga sebagian kecil meninggalkan area munjung dan pulang ke rumahnya. Faktor di atas sangat menentukan kaum muslim di desa ini untuk melaksanakan munjung ke pemakaman. Kebanyakan jama’ah munjung yang sempat penulis temui dan dimintakan pendapatnya, tidak mengetahui akar kesejarahan munjung dan bahkan dalam kaitannya dengan tradisi warisan Hindu-Budha. Sebagaimana penulis temui Bapak Saehu yang juga sebagai kaur Kesra di Desa Nunuk Baru di sela selesainya acara munjung,
Punteun wae atuh da abdimah teu terang sajarah kumaha, apa aya patali sareng ajaran Hindu atanapi Budha, nu penting mah abdi tiasa ngaziarahan karuhun urang sareng ngado’akeun arwahna.(mohon maaf, terus terang saja kalau saya sendiri tidak mengetahui tentang aspek sejarahnya, apakah ada kaitannya dengan ajaran Hindu atau Budha, yang lebih penting bagi saya adalah berziarah ke makam dan mendoakan leluhur kita). Ungkapan sederhana ini bisa ditangkap bahwa unsur ajaran Islam berupa ziarah menjadi motivasi dalam melaksanakan munjung. Dengan hadirnya unsur Islam dalam ritual munjung, berupa ziarah kubur dan mendoakan orang yang telah meninggal dunia ini semakin jelas bahwa munjung didesa Nunuk Baru, lebih dominan unsur agamanya, yaitu berupa pembacaan tahlil dan ditutup dengan do’a. Tidak ada persembahan sesajen dan pembacaan mantramantra lainnya. Kegiatan seperti ini mendapat apresiasi dari salah seorang ustadz muda di desa ini, sebagaimana diungkapkan ustadz Abdulah, Munjung anu sapertos kieu dipandang sae mah ku kaca mata Holistik Vol 13 Nomor 02, Desember 2012/1434 H
Ahmad Ripa’i
Islam. Urang tiasa ziarah ka kuburan, sebagaimana ku Nabi dianjurkeun sareng tiasa ngado’akeun sesepuh urang sadaya anu tos mayunan urang.(munjung yang seperti itulah yang dipandang baik menurut Islam, kita bisa berziarah kubur, sebagaimana Nabi kita menganjurkan, dan bahkan mendoakan )keturunan kita yang telah mendahului kita A. KESIMPULAN Berkaitan dengan pemahaman kepercayaan lokal itu, menunjukkan, bahwa sebagaimana halnya agama yang mempunyai berbagai fungsi penting sebagai perwujudan dalam berbagai cara yang berbeda dalam kehidupan sosial manusia. Kepercayaan lokal ini pun mempunyai fungsi-fungsi, antara lain: (1) membentuk berlakunya nilai-nilai yang ada dan mendasar dari kebudayaan suatu masyarakat, yaitu etos dan pandangan hidup, yang antara lain terwujud dalam penekanannya pada bentuk kelakuan yang tepat menurut arena sosial yang ada; (2) menyajikan berbagai penjelasan mengenai hakekat kehidupan manusia dan lingkungan serta ruang dan waktu yang dihadapi manusia dan yang dirinya sendiri adalah sebagian dari padanya; (3) Kepercaayaan lokal yang mereka amalkan mempunyai peranan untuk menyatukan berbagai faktor dan bidang kehidupan ke dalam suatu pengorganisasian yang menyeluruh, yaitu dalam mitos terhadap keramat dan slametan (upacara). Dengan demikian, dari pelbagai fungsi tersebut, dapat dinyatakan bahwa kepercayaan lokal yang mereka anut menunjukkan sebagai pembebasan atas keterpinggiran mereka dalam kehidupan sosial, budaya, ekonomi dan politik yang selama ini dirasakan.
Holistik Vol 13 Nomor 02, Desember 2012/1434 H
-69-
DIALEKTIKA ISLAM DAN BUDAYA SUNDA STUDI TENTANG SISTEM KEPERCAYAAN DAN PRAKTIK ADAT PADA KOMUNITAS MASYARAKAT
-70-
DAFTAR PUSTAKA Abdullah, Irwan, “Kraton, Upacara, dan Politik Simbol: Kosmologi dan Sinkretisme di Jawa”, dalam Humaniora, No. 1, Vo. 1, 1990. Abidin, Zainal, dkk, 2006, Ngaji dan Ngejo: Ikhtiar Membangun Watak Empatik Masyarakat Jawa Barat, Bandung, Setda Jawa Barat. Ali, As’ad Said, ”Bukan?-nya Seorang Gus Dur”, dalam Kata Pengantar Gus Dur Bertutur, Jakarta: Harian Proaksi, 2005. Bisri, Cik Hasan, dkk., 2005, Pergumulan Islam dengan Kebudayaan Lokal di Tatar Sunda, Bandung: Kaki Langit.Bungin, Burhan, 2007. Penelitian Kualitatif, Kencana Prenada Media Group: Jakarta. Dhavamony, Mariasusai, Fenomenologi Agama, Terj. A. Sudiarja dkk, Yogyakarta, Kanisius, 1995. Ekadjati, Edi S, 2005, Kebudayaan Sunda Zaman Pajaiaran, Jakarta: Pustaka Jaya. Ekajati, Edi S.. 1992. Sejarah Lokal Jawa Barat. Jakarta: Interumas Sejahtera. Ekajati, Edi S, Sunan Gunung Djati dan Islamisasi Jawa Bagian Barat: Perspektif Arkeologi, Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Sunan Gunung Djati dan Pengembangan Pariwisata Sejarah Budaya Islam, 23 April 2001, hlm. 2. Ekajati, Edi S, “Ceritera Dipati Ukur: Suatu Kajian Sastra Sejarah Sunda”, Disertasi UI Jakarta, 1979, tidak diterbitkan. Ekajati, Edi S., Masyarakat Sunda dan Kebudayaannya, Jakarta: Giri Pasaka, 1984. Geertz, Clifford, Abangan, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, Jakarta: Pustaka Jaya, 1981. Geertz, Clifford, The Interpretation of Culture, London: Sage Publication, 1970. Hamidimadja, Sastra Lisan Baduy dan Lingkungan Hidup, Lihat Abdul Razak. Hutomo, Suripan Sadi, Cerita Kentrung Sarahwulan di Tuban, Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1992. Iskandar, Yosep, Sejarah Jawa Barat (Yuganing Rajakawasa), Bandung: Geger Sunter, 1997. Kleden, Ignaz, Sikap Ilmiah terhadap Kebudayaan, Jakarta: Gramedia, 1987. Kurnia, Ganjar, 2004, “Nuansa Islam dalam Kesenian Sunda”, dalam Pikiran Rakyat, 23 Oktober Holistik Vol 13 Nomor 02, Desember 2012/1434 H
Ahmad Ripa’i
Lubis, Nina H., Kehidupan Kaum Menak Priangan 1800-1942, Bandung: Pusat Informasi Kebudayaan Sunda, 1998. Muhaimin AG. 2001. Islam dalam Bingkai Budaya Lokal : Potret dari Crebon. Jakarta: Logos Wacana Ilmu. Narawati, Tati, “Pengaruh Budaya “Priyayi” dan Tari Jawa Terhadap Perkembangan Tari Sunda”, Disertasi UGM, Yogyakarta, 2002, tidak diterbitkan. Narawati, Tati, Wajah Tari Sunda dari Masa ke Masa, Bandung: P4ST UPI, 2003. Neils, Mulder, Agama, Hidup Sehari-hari dan Perubahan Budaya, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1999. Pemerintahan Propinsi Jawa Barat. 1983. Rintisan Penelusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat. Pikiran Rakyat, ”Tradisi ”Ngunjung” ke Makam Syekh”, 23 Nopember 2005. Pusat Studi Sunda, 2005, Islam Dalam Kesenian Sunda, Pusat Studi Sunda, Bandung. Pranowo, Bambang, ”Runtuhnya Dikhotomi Santri-Abangan”, dalam Jurnal Ulumiddin, No. 02, Th. IV, 2001. Rohaedi, Ayat, 1996, “Sunda Islam-Islam Sunda” dalam Ruh Islam dalam Budaya. Jakarta: Yayasan Festival Istiqlal. Roland Barthes, 2006, Membedah Mitos-mitos Budaya Massa: Semiotika atau Sosiologi Tanda, Simbol, dan Representasi, Yogyakarta: Jalasutra. Rosidi, Ajip , 1983, Ngalanglang Kasusastraan Sunda, Jakarta: Pustaka Jaya.Santikno, Hariani, ”Dewi Sri: Unsur Pemujaan Kesuburan pada Mitos Padi” dalam Majalah Ilmu-ilmu Sastra Indonesia. No. 13 AK PIA/1977, hlm. 53-67. Scharf, Betty R. 2004. Sosiologi Agama. Jakarta: Prenada Media. Soepanto, ”Asal Mula Padi (Tjerita Rakjat dari Pasundan)” dalam Kumpulan Tjerita Rakjat Indonesia, Bandung: Urusan AdatIstiadat dan Tjerita Rakjat Dep.P.D dan K Djawatan Kebudayaan, 1963. Subalidinata, R.S., Bersih Desa dan Cerita Sri Sadana, Laporan Penelitian, Yogyakarta: Fakultas Sastra UGM, 1990. Suherman, Yuyus. 1995. Sejarah Perintisan Penyebaran Islam di Tatar Sunda. Bandung: Pustaka. Sumardjo, Jakob, 2002, Arkeologi Budaya Indonesia: Pelacakan Hermaneutis-Historis terhadap Artefak-artefak Kebudayaan Holistik Vol 13 Nomor 02, Desember 2012/1434 H
-71-
DIALEKTIKA ISLAM DAN BUDAYA SUNDA STUDI TENTANG SISTEM KEPERCAYAAN DAN PRAKTIK ADAT PADA KOMUNITAS MASYARAKAT
-72-
Indonesia, Yogyakarta: Qalam. ------------, 2003, Simbol-simbol Artefak Budaya Sunda, Bandung: Kelir. Suparlan, Parsudi, “Kata Pengantar” dalam Mujahirin Thohir, Wacana Masyarakat dan Kebudayaan Jawa Pesisir, Semarang: Bendera, 1999. Suprayogi, Imam dan Tobroni, 2003.Metodologi Penelitian SosialAgamat, Rosda Karya, Bandung. Suryaatmaja, R. Maman, “Perkembangan Tari Sunda dan Masalah Studi Tari Gaya Sunda”, Laporan Penelitian, Bandung, 1976. Suryanegara,Ahmad Mansyur, 1996, “Islam dan Tradisi Budaya Sunda” dalam Ruh Islam dalam Budaya. Jakarta: Yayasan Festival Istiqlal.Syams, Nur, Islam Pesisir, Yogyakarta: LKiS, 2005. Toynbee, Arnold J, 2006, Sejarah Umat Manusia: Uraian Analitis Kronologis, Naratif, Komparatif, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Tibi, Bassam, Islam and the Cultural Accommodation of Social Change, San Fransisco: Westview Press, 1991.Undang A. Darsa dan Edi S. Ekadjati, 2006, Gambaran Kosmologi Sunda, Bandung: Kiblat. Woodward, Mark R., Islam Jawa Kesalehan Normatif Versus Kebatinan, Terj. Hairus Salim, Yogyakarta: LKiS, 2006. Wawancara dengan Kuwu Nunuk Baru, pada tanggal, 22 September 2011. Wawancara dengan Ustad Jaja Sujai, S.Pd, pada tanggal, 6 Oktober 2011. Wawancara dengan Aki Daryan, pada tanggal, 27 Oktober 2011. Wawancara dengan Bapak Saehu, pada tanggal, 13 Nopember 2011. Wawancara dengan Kiyai Abdullah, pada tanggal 14 Nopember 201
Holistik Vol 13 Nomor 02, Desember 2012/1434 H
PANDANGAN THARIQAH ALAWIYAH PONPES DARUL ULUM SERANG CIREBON TERHADAP EKSISTENSI SYARIAH DALAM TASAWUF IRFANI RABIAH AL-ADAWIYAH vv Hajam
Abstrak Rabi’ah al-Adawiyah adalah salah seorang sufi perempuan besar dalam sejarah perkembangan tasawuf dalam Islam. Ajaran tentang mahabbah-nya telah mengilhami gerakan-gerakan sufisme berikutnya. Pemikiran tasawuf Rabi’ah al-Adawiyah sekilas mengabaikan syari’ah, karena Rabi’ah al-Adawiyah sepenuhnya berpegang kepada doktrin mahabbahnya itu. Selanjutnya, meskipun pada masa Rabi’ah sendiri belum ada, ada salah satu kelompok yang mengembangkan ajaran-ajaran Rabia’ah itu ke dalam bentuk thoriqoh, yaitu thoriqoh alawiyyah. Thoriqoh ini juga telah berkembang di Serang Cirebon. Penelitian ini selanjutnya akan menelusuri ajaran-ajaran thoriqoh ini dengan ajaran mahabbah Rabiah al-Adawiyah, terutama berkaitan dengan eksistensi syari’ah dalam ajaran thoriqohnya. Penelusuran ini dianggap penting karena selama ini Rabiah al-Adawiyah dianggap telah menafikan unsur-unsur syari’ah darin mahabbahnya, terutama dilihat dari keengganannya untuk menikah. Kata Kunci: thoriqoh, tasawuf, syariah, pesantren A. PENDAHULUAN
Perkembangan Tasawuf dan Thariqah di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari pesantren. Keduanya bagaikan ikan dengan air, tetapi tidak semua pesantren menjadi pusat pengembangan Thariqah. Di tanah Jawa misalnya, hanya ada lima buah pesantren yang tergolong sebagai pusat pengembangan thariqah,1 seperti Ponpes Suryalaya Tasikmalaya dengan Thariqah Naqsabandiyah dan Qadiriyah, Ponpes Buntet Cirebon dengan thariqah Tijaniyah, dan Ponpes Darul Ulum Serang Cirebon dengan Thariqah Alawiyah. Pada penelitian ini akan diangkat Thariqah Alawiyah di Ponpes Darul Ulum Serang Cirebon
1 Budhy Munawar-Rachman dan Asep Usman Ismail, Cinta Tuhan di Tempat Matahari Terbit Tareqat Qadiriyah-Naqsyabandiyah di Suryalaya, Jurnal Ulumul Qur’an, edisi,1991, hlm. 100
Holistik Vol 13 Nomor 02, Desember 2012/1434 H
-73-
PANDANGAN THARIQAH ALAWIYAH PONPES DARUL ULUM SERANG CIREBON TERHADAP EKSISTENSI SYARIAH DALAM TASAWUF IRFANI RABIAH AL-ADAWIYAH
-74-
dalam menyikapi pemikiran tasawuf Rabiah Al-Adawiyah, seorang sufi wanita besar yang memiliki pengaruh terhadap perkembangan tasawuf berikutnya. Meskipun pada masa Rabiah sendiri belum muncul istilah tasawuf, namun pada masa Rabiah ini bisa dirujuk sebagai embrio lahirnya tasawuf Irfani dengan pemikiran Mahabbah-nya. Tujuan dari perjalanan Sufistik itu semata-mata untuk memperoleh hubungan langsung dengan Tuhan, sehingga disadari benar bahwa seseorang berada di Hadirat Allah Swt. Intisari dari ajaranajaran sufisme ini adalah kesadaran adanya komunikasi dan dialog antara ruh manusia dengan mengasingkan diri dan berkontemplasi. Adapun kesadaran berada dekat dengan Allah itu dapat mengambil bentuk Ittihad, 2Hulul,3Makrifat,4dan Mahabbah. Dengan berbagai metode dan pendekatan yang ditempuh seorang sufi seperti itu, maka dalam kaitan ini, Ja’far Ash-Shadiq (W.765 H) pernah menyatakan bahwa dalam beribadah kepada Allah akan ditemui dua macam bentuk peribadahan. Pertama , kaum yang menyembah Allah karena takut, yang demikian adalah ibadahnya para pedagang. Kedua, kaum yang menyembah Allah karena rasa cinta (Mahabbah), yang demikian adalah ibadahnya orang merdeka, inilah ibadah yang paling utama.5 Dengan demikian jelaslah bahwa menyembah Allah karena cinta adalah ibadah tingkat tinggi dalam rangka mencari ridlho Allah SWT. Pada dasarnya tuntutan dan ajaran tasawuf adalah menekankan pada aspek isoteris (batin) dan bukan pada aspek eksoteris (lahir), maka dalam praktisnya seorang (pelaku tasawuf) senantiasa ingin menyucikan dirinya dari hal-hal yang kotor yang masih melekat pada hati dan jiwanya. Dia berusaha untuk mengisinya dengan hal-hal yang
2 Ittihad adalah suatu tingkatan (maqam) dalam tasawuf di mana seorang sufi telah merasa dirinya bersatu dengan Tuhan, suatu tingkatan di mana yang mencintai (Muhib) dan yang dicintai (Mahbub) telah menjadi satu. Dalam ittihad yang dilihat hanyalah satu wujud, sungguhpun sebenarnya ada dua wujud yang terpisah satu sama lain. Persatuan di sini tidak berarti persatuan jasad Sufi dengan Tuhan, tetapi merupakan persatuan mistis sebagai puncak dari pertemuan antara yang mencintai dengan yang dicintai. Al-Ittihad di kalangan komunitas sufi merupakan persatuan mistis di mana sang makhluk bersatu dengan sang Kholik. Faham ini dipelipori oleh seorang Sufi, abu Yazid al-Bustomi (128 H/746-788 M). Lihat Harun Nasution, Filsafat dan Mistisme Dalam Islam, (Jakarta, Bulan Bintang, 1995), et. H.82. 3 Hulul adalah suatu faham yang mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat di dalamnya, setelah sifat-sifat kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu dilenyapkan. Faham ini dipelopori oleh seorang sufi, abul Maghist Husain bin Mashur al- Hallaj (244 H/858 M-309 H/921 M), lihat Abu Nashar as Sarraj ath-Thusi, al-Luma, (Mesir : Dar al Kutub al-Haritsah,tt), h.541. 4 Makrifat dan Mahabbah akan dijlaskan pada bab-bab berikutnya 5 Syeikh Muhammad Mahdi al-Asifi, Muatan Cinta Illahiterj. Ikhlas dkk, (Bandung : Pustaka Hidayat, 1994), h. 14.
Holistik Vol 13 Nomor 02, Desember 2012/1434 H
Hajam
dapat mendekatkan dirinya kepada Allah, sehingga tidaklah berlebihan apabila seorang salik hatinya tidak bisa dilepaskan dari keinginan untuk mendekat kepada kekasihnya, yaitu Allah SWT. Banyak jalan yang ditempuh olehnya, antara lain dengan berdzikir kepada Allah, maupun memperbanyak amalan-amalan shalih lainnya. Oleh karena itu terdapat ungkapan yang berbunyi, “apabila Islam dipisahkan dari aspek esoterisme-nya, maka ia hanya menjadi kerangka formalistis saja. Sehingga orang-orang yang rasionalistik hanya menerima Islam sebagai keformalan semata. Apabila kerangka tersebut tidak dibalut dengan daging dan kemudian dihidupkan, sesungguhnya keindahan Islam tidak akan pernah ditemukan”.6 Oleh karena itu kaum sufi selalu berusaha mensucikan diri guna lebih mendekatkan diri pada Ilahi agar makna kedalaman (batiniyah) bermuara di dalam jiwa. Berbagai tingkatan (Maqom) dilalui, untuk mencapai tingkatan tertinggi, yaitu Makrifat Ilahi. Dengan berbagai macam usaha pensucian diri maka bertambahlah corak mata batin dalam melihata kemahlukan diri, serta kesadarannya yang tinggi akan kasih sayang Ilahi yang selalu dirasakannya tiada pernah henti. Pengalaman relijius yang tertinggi –berupa Makrifat Ilahi – tidak hanya dimiliki oleh kaum sufi dari kalangan pria saja, kaum perempuanpun asal mempunyai hasrat yang tinggi dalam mewujudkan penghambaannya pada Ilahi juga akan sampai pada tingkat Makrifat. Kenyataannya, bahwa seorang perempuan Muslim dapat dipuja seperrti wali tidak diragukan lagi, karena sejarah tsawuf tidak kan lengkap atau tidak menyebutkan perbuatan, perkataan, dan syairsyair Rabi’ah al-Adawiyah.7 Dalam deretan sejarah sufi, Rabi’ah al-Adawiyah seorang wanita yang mencapai derajat hukum dalam perjalanan sejarah sufistik. Ia memperoleh penghargaan tertinggi, namanya tertulis dengan tinta emas dalam lembaran sejarah. Rabi’ah al-Adawiyah dipandang sebagai pembawa versi baru dalam hidup kerohanian, karena ia telah tampil ke depan dan memperkaya kehidupan tasawuf dengan menperkenalkan warna baru, yaitu Mahabbah atau cinta Illahi. Persoalan cinta (Mahabbah) adalah adalah menyangkut aspek esoteris, yang merupakan jalan untuk mendekatkandiri kepada Al6 Khan Shahib Khaja Khan, Tasawuf Apa dan Bagaimana, (Jakarta :Raja Grafindo Persada, 1996), Cet. II, h.ix. 7 Ruth Roded, Women In Islamic Biografical Collection From Ibn Sa’d To Who’s Who :alih bahasa Ilyas hasan, Kembang Peradaban, (Bandung : Mizan, 1995) cet.I, h.161
Holistik Vol 13 Nomor 02, Desember 2012/1434 H
-75-
PANDANGAN THARIQAH ALAWIYAH PONPES DARUL ULUM SERANG CIREBON TERHADAP EKSISTENSI SYARIAH DALAM TASAWUF IRFANI RABIAH AL-ADAWIYAH
-76-
lah Swt. Dan Mahabbah ini merupakan tingkat tertinggi pencapaian menuju Allah. Dalam hal ini, seorang praktisi tasawuf, Ma’ruf alKarkhi (W. 200 H/ 816 M), telah berkata, “Cinta tidak dapat dipelajari manusia, karena ia merupakan suatu anugerah dari Tuhan dan datang atas kasih-Nya.8 Dengan demikian dapat difahami bahwa dalam mendapatkan maqom cinta itu tidaklah mudah, melainkan harus melalui jalan dan cobaan yang berliku-liku. Selanjutnya dapat dikatakan bahwa cinta itu lah yang mendasari iman. Perilaku taqwa seorang mukmin adalah prilaku yang bernuansa cinta karena factor kepatuhan kepada kekasih. Lebih jauh Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah (1292-1350 M) menyatakan, “Cinta adalah bukannya iman, di mana orang tidak akan masuk tanpa cinta, seorang hamba tidak akan sejahtera maupun selamat dari ancaman siksa Allah tanpa cinta, maka hendaklah hamba itu berprilaku atas dasar cinta”.9 Kemudian ia melihat bahwa cinta adalah merupakan dasar dari perwujudan segala sesuatu yang ada di alam raya ini. Tanpa cinta, menurutnya, proses kehidupan tidak akan pernah terbangun dengan baik. Lebih jelas ia mengungkapkan bahwa “setiap yang hidup pasti memiliki cinta, kemauan dan prilaku dan setiap yang bergerak maka dasar yang menggerakkannya itu adalah cinta dan kemauan. Semua wjud ini tidak akan harmonis kecuali bila digerakkan oleh rasa tidak akan harmonis kecuali bila digerakkanoleh rasa cinta terhadap yang menjadikannya sendiri.”10 Perjalanan hidup Rabi’ah al-Adawiyah yang penuh liku-liku dan relung-relung yang dalam telah mengantarkannya menjadi perempuan sufi yang mempersembahkan hidupnya hanya untuk Allah semata. Cinta Rabi’ah yang khas kepada khaliknya, menurut D.Zawawi Imran, adalah cinta kreatif hasil pergumulan imannya dengan pengalaman hidupnya yang kaya, serta hasil penghayatannya yang dalam terhadap hakikat hidup dan hakikat kemestaan.11 Rabi’ah al-Adawiyah adalah seorang pelopor dan sekaligus sebagai guru bagi sejumlah sufi. Ide tasawuf yang dikembangkannya, Mahabbah, telah menyebar ke mana-mana, dan banyak dikaji hingga sekarang. Hal ini membuat namanya termasyhur, tidak hanya di ka-
8 Fazlur Rahman, Islam, terj.Sumaji saleh (Jakarta : Bumi aksara, 1992), cet. 2, h. 206. 9 Thaha Abdul Baqir Suru, Rabi’ah al-adawiyah, Syamsun Niam, Cinta Illahy : Perspektif Rabi’ah al-Adawiyah dan Jalauddin Rumi, Jakarta : Risalah Gusti, 2001) h. 4. 10 Ibid, h. 5. 11 D. Zawawi Imron, Rabi’ah al-adawiyah : Cinta Suci yang bergelora , dalam Abdul Mun’in Qandil, Figur Wanita Sufi (Surabaya : Pustaja Progresif, 1995), cet.II,h. V.
Holistik Vol 13 Nomor 02, Desember 2012/1434 H
Hajam
wasan dunia Islam, namun sampai menjangkau benua Eropa. Para sarjana Barat sangat kagum akan sejarah hidup perempuan saleh ini, terlebih lagi ia seorang yang tak pernah menginjakkan kakinya di perguruan ternama, sehingga para sarjana itu sangat menaruh niat untuk meneliti buah pikirannya. Rabi’ah al-Adawiyah tokoh pertama dalam sejarah tasawuf yang diperkenalkan lewat karangankarangannya oleh oleh orang Eropa. Legendanya dibawa oleh Joinville, Duta Louis IX pada abad ke-13. Menurut Annimarie Schirumel,12. Rabi’ah al-Adawiyah dipergunakan dalam sebuah risalah abad ke 17 di Perancis tentang cinta murni. Ia adalah model cinta Illahi, kisah tentangnya telah berulang kali diceritakan kembali di Barat, gunanya yang terakhir terdengar dalam sebuah cerita pendek di Jerman masa kini. Di samping itu, Rabi’ah juga menjadi subyek dari sebuah biografi ilmiah yang terdapat dalam karangan Margaret Smith yang merupakan sebuah karya yang memungkinkan untuk berkembang di masa yang akan datang.13 Sarjana lain dari Eropa yang menulis tentang Rabi’ah antara lain Masigon, A.J. Arbery, Nicholson . Nama yang terakhir ini, misalnya member komentar bahwa Rabi‘ah telah merintis jalan jalan sehingga membangkitkan minat orang terhadap kehidupan sufi. Sementara penulis dari kalangan Timur (Islam) yang banyak menulis kehidupan Rabi’ah antara lain : Fariduddin al-Attar, Muhammad Atiyah Khamis, Abdul Mum’in.14Jika para penulis sebagaimana tersebut di atas telah mengungkap kehidupan dan ajaran Rabi’ah al-Adawiyah, maka penulis kali ini ingin mengungkap tentang sisi syariah dari kehidupan Rabi’ah al-Adawiyah, khususnya doktrin sufistik Rabi’ah berkaitan dengan doktrin syariah. Sampai saat ini, kehidupan dan ajaran Rabi’ah tetap menarik untuk dikaji dan diteliti, karena di dalamnya sarat akan hikmah dan teladan. Apalagi bila dikaitkan dengan kondisi sekarang, di mana kehidupan manusia dalam beribadah kebanyakan sisi formalitasnya saja dan lebih mengabaikan aspek kedalaman di tambah sikap hidup yang mengasuh pada kehidupan materialistic dan terkadang melupakan 12 Annimarie Schirumel, Mystical Dimention Of Islam, alih bahasa : Sapardi Joko Damono, dkk. Dimensi Sufistik, (Bandung : Mizan, 1916), h. 6. 13 Margaret Smith, Rabi’ah : The Mystic and Fellow Saint In Islam, (Cambridge : University Press, 1984), terj.Jamilah Baraja, Rabi’ah : Pergulatan Spiritual Perempuan, (Surabaya: Risalah Gusti, 1999). 14 Penulis-penulis lainnya kebanyakan membahas tentang ajaran Tasawuf yang yang dikembangkan oleh Rabi’ah berupaMahabbah, dapat disebut misalnya al-Ghazali, al-Klabazi, dan sebagainya. Untuk edisi Indonesia tidak ketinggalan pula banyak penulis tentang Rabi’ah al-Adawiyah
Holistik Vol 13 Nomor 02, Desember 2012/1434 H
-77-
PANDANGAN THARIQAH ALAWIYAH PONPES DARUL ULUM SERANG CIREBON TERHADAP EKSISTENSI SYARIAH DALAM TASAWUF IRFANI RABIAH AL-ADAWIYAH
-78-
aspek moral. Ekses dari kehidupan ini tidak hanya akan merugikan diri sendiri, yaitu jiwa menjadi gersang, tidak tenang, resah dan gelisah, juga akan membawa dampak negative pada orang lain. Syari’ah lebih luas dari pada lapangan fiqih karena lapangan syari’ah adalah apa yang tercakup dalam ilmu kalam (tauhid) dan ilmu fiqih atau dengan kata lain fiqih dan ilmu kalam adalah sebagian daripada syari’ah. Syari’ah merupakan undang-undang dan peraturan yang berasal dari al-Qur’an dan as-Sunnah yang berkenaan dengan ibadah, moral, masyarakat, ekonomi termasuk juga pengembangan dan penerapan aturan-aturan oleh para ulama sepanjang bersesuaian dengan al-Qur’an dan as-Sunnah, baik yang berhubungan dengan cara mengadakan perbuatan (fiqh) ataupun dengan cara mengadakan kepercayaan (tauhid). Menurut beberapa penulis, pemikiran tasawuf Rabi’ah alAdawiyah sekilas mengabaikan syari’ah secara lahir karena Rabia’ah sepenuhnya berpegang kepada doktrin mahabbahnya . Dengan mahabbah, Rabi’ah telah menempuh jalan kehidupan sendiri dengan memilih hidup hanya cinta kepada Allah semata. Salah satu indikator yang kelihatannya mengabaikan syari’ah adalah fakta bahwa Rabi’ah al-Adawiyah selama hidupnya tidak pernah menikah, padahal menikah adalah bagian dari syari’ah. Rabi’ah selalu menolak lamaran laki-laki yang ingin meminangnya. B. METODOLOGI PENELITIAN
1. Penentuan Sumber Dan Jenis Data.15 Sumber primer dalam penelitian ini adalah dari buku–buku tulisan atau makalah Rabiah al-Adawiyah dan wawancara mendalam dengan ulama thariqah lokal di Ponpes Darul Ulum Serang Cirebon. Terkait dengan pengkajian ini, Ali Syariati, sebagaimana dikutif oleh Susurin dalam bukunya, Rabi’ah al-Adawiyah Hubb al-Illahi : Evaluasi Jiwa Manusia Menuju Mahabbah Dan Makrifat: “mengemukakan bahwa untuk mengetahui manusia besar- semisal Rabi’ah al-Adawiyah- terdapat dua jalan, dan kedua jalan tersebut harus digunakan bersama-sama untuk mendapatkan hasil yang 15 Sesuai dengan petunjuk buku penelitian, bila meneliti seorang tokoh ada sumber primer dan sekunder lihat Jujun S. Srisumantri “Klarifikasi Ilmu Dan Paradigma Baru Penelitian Keagamaan”, dalam Mastuhu dll. (ed) Tradisi Baru Penelitian Keagamaan (Bandung Nuansa, 1998) cet. I, hal. 44 – 45.
Holistik Vol 13 Nomor 02, Desember 2012/1434 H
Hajam
sebenarnya, yakni memahami orang besar yang akan dibahas. Adapun dua metode atau cara penelitian ini adalah: Metode pertama, dengan mempelajari dan meneliti karangankarangan intelektual dan ilmiah dari orang yang kita teliti, teoriteorinya, gagasan-gagasan serta buku-buku yang ditulisnya. Metode kedua, dengan mempelajari biografi. Metode ini akan menjawab permasalahan-permasalahan seperti yang tertulis pada perumusan masalah atau pada bab-bab peelitian ini teritama bab tiga nanti yang mengupas biografi Rabi’ah al-adawiyah . Dan bab empat yang mengupas tentang Mahabbah dan syariah. Mengingat obyek yang hendak penulis kaji adalah tentang kehidupan Rabi’ah al-Adawiyah, maka untuk menerapkan kedua metode tersebut hanya dapat diperoleh dari buku-buku yang berbicara tentang kehidupan Rabi’ah al-Adawiyah serta ajaran-ajarannya. Dengan demikian buku-buku tersebut dapat dijadikan sebagai sumber data, sehngga penelitian ini murni, sepenuhnya merupakan Library Research (kajian pustaka) yang ada kaitannya dengan pemikiran tasawuf Rabi’ah al-Adawiyah. Berkaitan dengan kehidupan Rabi’ah (biografi), penulis tidak menemukan sumber primer, yang ditulis langsung oleh Rabi’ah al-Adawiyah. Ia juga tidak meninggalkan ajaran-ajarannya secara langsung dari tangannya sendiri. Gagasan-gagasannya dikenal melalui murid-muridnya dan baru ditulis beberapa lama setelah kematiannya.16 Memang informasi tentang biografi Rabi’ah al-adawiyah, begitu sedikit dan sebagiannya hanya bercorak mitos, demikian komentar Abu al-Wafa al Ghamimi at-Taftanzani.17 Inilah sebabnya beberapa literatur dalam mengungkap kehidupan Rabi’ah al-Adawiyah tidak menggunakan istilah biografi, tetapi hagiografi.18 Disini lah diperlukan kritik sejarah, baik internal maupun eksternal. Walaupun begitu masih banyak karya-karya yang mengemukakan tentang riwayat hidup Rabi’ah al-Adawiyah yang dijadikan penulis sebagai sumber dalam kajian ini antara lain : a. Tadzkirat al-Auliya, karya Fariduddin Aththar, yang diterjemahkan
16 Departemen Agama, R.I, Ensiklopedia Islam III (Jakarta : CV. Anda Utama, 1993)h. 974 17 Abu al-Wafa-al-Ghamimi, at-Taftanzani, Sufi dari masa ke masa , terj. Ahmad Rafi Usman, (Bandung : Pustaka Fiedaus, 1994), h.86. 18 Hagiografi adalah riwayat hidup dan legenda orang-orang sufi. Dalam kamus besar Bahasa Indonesia “ istilah ini disebut dengan Hagiologi, lihat Departemen Pemdidikan dan Kebudayaan, kamus besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1990), cet. II, h. 291.
Holistik Vol 13 Nomor 02, Desember 2012/1434 H
-79-
PANDANGAN THARIQAH ALAWIYAH PONPES DARUL ULUM SERANG CIREBON TERHADAP EKSISTENSI SYARIAH DALAM TASAWUF IRFANI RABIAH AL-ADAWIYAH
-80-
ke dalam bahasa Inggris, oleh J.A. Arberry ; Rabi’ah al-adawiyah, karya Muhammad atiyah Khamis, rabi’ah al-Adawiyah, Adzran al –Basrah al-Batul karya Abdul Mun’in Qandil, yang telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, menjadi ; Figur Wanita Sufi. Terj. M. Raihan Hasbullah dan M. Sofyan Amrullah, ed. (Surabaya : Pustaka Progresif) b. Rabi’a : The Life and work of Rabi’ah and Other Women Mystic In Islam, karya Margaret Smith, yang merupakan karya disertasi Doktornya yang merupakan karya ilmiah dan otoritatif, yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, Rabi’ah: Pergulatan Spiritual Perempuan. c. Sufi Women oleh Javad Nurbakhsh d. Dan buku-buku yang diusun oleh penulis Indonesia, seperti Rabi’ah al-Adawiyah: Hubb al-Illahi, disusun oleh Sururin, Mahabbah: Cinta Rabi’ah al-Adawiyah dan Jalaluddin Rumi, karya Syamsun Ni’am, Cinta Suci Perawan Sufi: Pengembaraan Rohani Rabi’ah al-Adawiyah, karya Ibnu Mahalli Abdullah Umar. 2. Analisa Data Dari dua jenis sumber yang didapat, data yang diambil dalam penelitian adalah data-data yang berkenaan dengan masalah utama yaitu pemikiran Tasawuf Rabiah al-Adawiyah, data tersebut dianalisis dan dibandingkan dengan data lainnya sehingga kajian yang dihasilkan serta diharapkan dapat lebih komprehensif.
3. M e t o d e Penelitian tentang pemikiran seorang tokoh, berarti melakukan penelusuran atas data-data yang berbentuk konsep-konsep dan terformulasikan dalam berbagai tulisan. Oleh karena itu penelitian ini sepenuhnya merupakan Library Research (kajian pustaka) atau penelaahan buku-buku dan tulisan-tulisan yang ada kaitannya dengan pemikiran Rabiah al-Adawiyah dan wawancara mendalam dengan ulama Thariqah lokal Serang Cirebon dalam menyikapi pemikiran sufistik Rabiah al-Adawiyah. Pendekatan yang digunakan untuk menganalisis data yang tersedia adalah dengan melakukan analisis isi (Content Analysis), yakni dengan mengkaji dan menganalisis berbagai karya yang telah ditulis orang lain yang masih relevan dengan pokok pembahasan. Untuk mendiskripsikan content analysis, penulis melakukan beberapa langkah penelitian : pertama: penulis mengidentifikasi Holistik Vol 13 Nomor 02, Desember 2012/1434 H
Hajam
karya-karya Rabiah al-Adawiyah yang berkaitan dengan persoalan Tasawuf dan syariah dalam perspektif Tasawuf Irfani. Kedua: penulis mengidentifikasi karya tulis dari orang lain yang dapat mendukung penelitian dalam topik permasalahan yang sama sebagai materi perbandingan. Ketiga, dengan Teknik pengumpulan data, penelitian ini menggunakan tehnik pengumpulan data, yakni: dengan wawancara mendalam. Setelah data diidentifikasi sesuai dengan subjeknya, data dianilisis dan dibandingkan dengan teori atau konsepsi para tokoh lainnya untuk subjek masalah yang sama. Pengelompokan dan penganalisaan dilakukan secara seksama topik per topik. Analisis data dilakukan secara seksama topik per topik. Analisis data dilakukan dengan menggunakan logika deduktif dan induktif. Logika deduktif dipergunakan pada saat mengkaji pemikiran Rabiah al-Adawiyah dalam menjelaskan pemikiran tasawufnya, juga dipergunakan untuk memahami pemikiran tasawuf tokoh sezaman atau sebelumnya. Sedangkan logika induktif dipergunakan untuk membandingkan pemikiran Rabiah al-Adawiyah dengan pemikiran politik lainnya, sehingga diketahui letak atau posisi pemikiran Tasawuf Rabiah alAdawiyah di antara pemikiran tokoh-tokoh lainnya serta diketahui pula pengaruh metode berfikirnya. Kesimpulan yang dapat ditarik baik dilakukan dengan menggunakan logika deduktif maupun logika induktif adalah dalam rangka menjawab pertanyaan atau pokok masalah penelitian sebagaimana yang telah penulis sebutkan terdahulu. Dengan demikian kesimpulan merupakan perpaduan dari kedua logika ini, sehingga kelebihan yang dimiliki masing-masing dapat menutupi kelemahan masing-masing. Pendekatan yang digunakan untuk menganalisis data yang tersedia adalah dengan melakukan analisis isi (Content Analysis), yakni dengan mengkaji dan menganalisis berbagai karya di atas yang relevan dengan pokok pembahasan. 4. Teknik Penelitian Adapun tehnik penelitian ini akan mencakup tiga tahapan pokok, yaitu (1) tahap oreintasi (2) tahap pengumpulan data atau ekspolarsi dan, (3) tahap analisis. Agar lebih terperinci dan jelas akan dijelaskan sebagai berikut :
5. Tahap Orientasi Pada tahap ini peneliti akan melakukan pengkajian secara menyeHolistik Vol 13 Nomor 02, Desember 2012/1434 H
-81-
PANDANGAN THARIQAH ALAWIYAH PONPES DARUL ULUM SERANG CIREBON TERHADAP EKSISTENSI SYARIAH DALAM TASAWUF IRFANI RABIAH AL-ADAWIYAH
-82-
luruh untuk memperoleh gambaran umum terhadap permasalahan yang dikaji. Tahapan ini dilakukan dengan mencari informasi dari berbagai sumber, baik buku, jurnal,majalah, surat kabar maupun pendukung lain. Pada tahap ini juga peneliti meminta masukanmasukan dari orang lain yang memiliki kapasitas keilmuan yang sesuai dengan kajian ini.
6. Tahap Pengumpulan Data Pada tahap ini peneliti menggunakan metoda dokumentasi untuk mengumpulkan data,baik dari sumber primer maupun sekunder. Data tersebut dikumpulkan dengan maksud untuk menjawab halhal yang menjadi fokus masalah dalam penelitian ini. Pada tahap ini pula peneliti akan menyeleksi data yang ditemukan agar tepat dan terpokus.
7. Tahap Analisis Data Data–data akan dianalisis secara kualitatif dengan menggunakan instrumen analisis deduktif dan komparatif. Deduktif merupakan langkah analisis data dengan cara menerangkan beberapa data yang bersipat khusus untuk membentuk suatu generalisasi. C. TEMUAN
1. Sekilas Tentang Thoriqoh Alawiyyah19 Thoriqoh Alawiyyah adalah sebuah sistem kehidupan yang dijalani dan diajarkan oleh keluarga Bani Alawi yang berdasar pada manhaj nubuwah yang diwarisi dari datuknya Muhammad bin Abdillah (Rasulallah). Dan sistem tersebut pada prinsipnya mengacu kepada dua hal, yaitu habblun minallah (hubungan dengan Allah) dan hablun minannas (hubungan dengan sesama manusia). Adapun sistem yang digunakan untuk melakukan hablun minallah adalah dengan memperbanyak dzikir dan memperbanyak ibadah nafilah (sunnah) disanping selalu menjaga ibadah yang wajibah. Sedangkan sistem yang digunakan untuk melakukan hablun minannas adalah membentuk perilaku manusia dengan akhlak nubuwwah atau biasa dikenal dengan akhlakul karimah. Kata “alawiyyah” diambil dari nama tokoh alawiyyin dan juga nenek moyang dari keluarga Bani Alawi Al-Yamani. Beliau bernama 19 Ali Fahmi Syarif, Terjemah Rotib Al Haddad, Ponpes Darul Ulum Cirebon, 2002, hal. 3-4
Holistik Vol 13 Nomor 02, Desember 2012/1434 H
Hajam
Alwi bin Ubaidillah (Abdullah) bin Ahmad Al-Muhajir bin Isa bin Muhammad bin Ali Al-Uraidi bin Ja’far Shodiq bin Muhammad AlBaqir bin Ali Zainal Abidin bin Al-Husain bin Fatimah Azzahro bin Muhammad Rasulallah Saw. Thoriqoh alawiyyah untuk pertama kalinya dikenalkan kepada kaum Alawiyyin oleh seotang tokoh sufi Bani Alawi yang bernama Al-Habib Muhammad bin Ali Ba Alawi yang bergelar Al-Faqih AlMuqoddam pada abad ke VII H. Beliau menyerap ajaran tersebut dari seorang tokoh sufi dari maghribi yang bernama Syekh Abu Madyan. Dan Abu Madyan sendiri menerima ajaran tersebut dari Abi Ya’za dari Abi Harozim dari Abi Bakar bin Arobi dari Imam Al-Ghozali dari Imam Al-Haromain Abdul Malik dari Muhammad Al-Juwaini dari Abi Tholib Al-Makky dari Abi Bakar Asyibli dari Al-Junaid Abil Qosim dari Assirri dari Dawud Aththo’I dari Habib Al-Ajami dari Al-Hasan Al-Basri dari Imam Ali bin Abi Thalib dari Nabi Muhammad Saw dari Malaikat Jibril dari Allah Swt. Al-Faqih Al-Muqoddam Al-Habib Muhammad bin ali memperoleh pendidikan Thoriqoh Alawiyah ala manhaj nubuwwah dari bapaknya Syekh Ali bin Alwi dari Alwi bin Muhammad dari Muhammad bin Alwi dari Alwi dari Abdullah dari Ahmad bin Isa dari Muhammad dari Ali dari Imam Ja’far Shodiq dari Muhammad Al-Baqir dari Zaenal Abidin dari Imam al-Husain dari Ali bin Abi Thalib dari Muhammad bin Abdillah Rasulillah dari Jibril dari Allah Swt. Thoriqoh Alawiyyah pada masa Al-Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad, yakni abad ke XII Hijriyah (abad ke-27 M), oleh beliau dibagi dalam dua tingkatan, yaitu Thoriqoh Ammah (Thoriqohnya orang umum). Dan Thoriqoh Khosoh (Thoriqohnya orang Khusus). Thoriqoh Ammah disebutnya “Thoriqoh Ash-Habul Yamin” yaitu thoriqohnya orang-orang yang mengahabiskan waktunya untuk selalu mengingat Allah dan taat kepada-Nya, serta selalu menjaga amalanamalan yang bersifat ukhrowi. Dan Thoriqoh Khoshoh disebutnya Thoriqoh Muqoddam, yaitu thoriqohnya orang-orang yang selalu bermujahadat sampai mencapai tingkatan muhibbin dan siddiqin. 2. Mengenal Pribadi Habib Abdullah Bin Alwi Al-Haddad20 Al-Iman Assayid Abdullah bin Alwi Al-Haddad dilahirkan dipinggiran kota Tarim, sebuah kota terkenal di Hadramaut (sekarang sebuah Propinsi di Republik Demokrasi Rakyat Yaman Selatan), 20 Ibid, hal. 5-7
Holistik Vol 13 Nomor 02, Desember 2012/1434 H
-83-
PANDANGAN THARIQAH ALAWIYAH PONPES DARUL ULUM SERANG CIREBON TERHADAP EKSISTENSI SYARIAH DALAM TASAWUF IRFANI RABIAH AL-ADAWIYAH
-84-
pada tanggal 5 Shafar tahun 1044 H, disana pula beliau dibesarkan dan mengahafalkan Al-Qur’an serta memperoleh ilmu-ilmu lainnya, kendatipun kedua matanya tidak bisa melihat akibat terkena serangan cacar sejak kecil. Beliau dikenal sebagai seorang yang alim, zuhud, wara’, serta berdisiplin tinggi terutama didalam menegakkan shalat berjamaah. Beliau adalah seorang tokoh sufi yang telah mencapai tingkatan “Qutub” dan sebagai tokoh pembaharu pada abad ke-12 Hijriyah (abad ke-17 M), dzikir dan wiridnya banyak dilakukan oleh masyarakat Indonesia dan khususnya “Ratibul Haddad”. Sayyid Abdullah bin Alwi disamping seorang da’I beliau sangat aktif didalam menulis kitab-kitab dan diantara karangannya banyak sekali dibaca dan dipelajari oleh masyarakat Indonesia khususnya di Pesantren-pesantren, diantaranya ialah An-Nashoihud Diniyah, Adda’watut Tammah, Risalatul Muawanah, Adab Sulukil Murid, Akidatul Islam, dan Ithafus bsa’il. Sayyid Abdullah bin Alwi Al-Haddad adalah tokoh pembaharu didalam Thoriqoh Alawiyyah. Beliau memiliki silsilah thoriqohnya dari Habib Abdurrahman Al-Athos dari Habib Abu Bakar bin Salim dari Habib Umar bin Muhammad dari Habib Abdurrahman bin Ali dari habib Ali bin Abi Bakar dari Habib Umar Al-Mihdor dari Habib Abdurrahman Assegaf dari Habib Muhammad dari Habib Abdullah dari Habib Ali dari Habib Muhammad dari Habib Muhammad dari Habib Ali dari Habib Alwi dari Habib Muhammad dari Muhammad dari habib Alwi dari Habib Abdullah dari Habib Ahmad dari Habib Isa dari Habib Muhammad dari Habib Ali Al-Uraidi dari Imam Ja’far Shodiq dari Imam Muhammad Al-Baqir dari Imam Ali Zainal Abidin dari Imam Husain dari Imam Ali bin Abi Thalib dari Muhammad Rosulillah dari Jibril dari Allah Swt. 3. Tata Cara Mengikuti Thariqah Alawiyah21
a. Mamahami Istilah-istilah dalam Thoriqoh 1. Thoriqoh artinya sebuah cara begaiman agar seseorang bisa meyakini Allah, merasakan dekat dengan-Nya, serta bisa mencintainya. 2. Suluk artinya melakukan upaya-upaya agar hati seseorang bisa merasakan dekat dengan Allah dengan cara riyadhoh
21 Ali Fahmi Syarief, Buku Panduan tentang Pengalaman Thoriqoh, Pondok Pesantren Darul Ulum, Serang Cirebon, 2003, hal. 1-21
Holistik Vol 13 Nomor 02, Desember 2012/1434 H
Hajam
dan mujahadah melalui amalan dzikir dan amalan-amalan sunnah lainnya. 3. Riyadhoh artinya melakukan latihan-latihan agar seseorang memiliki keimanan yang kuat serta mampu melaksanakan segala perintah Allah dan meninggalkan segala larangan-Nya. 4. Mujahadah artinya melakukan upaya untuk menciptakan hati yang baik sambil dibarengi dengan melakukan amalan yang baik. 5. Muroqobah artinya melakukan pengawasan terhadap diri sendiri agar tidak melakukan pelanggaran terhadap hukundan aturan Allah.
b. Dzikir-dzikir yang harus Dibaca Istiqomah oleh setiap Jama’ah 1. Syahadat, Shalawat, surat al-Ikhlas, al-Fatihah sebanyak 41 kali setiap ba’da shalat fardu. 2. Rotib Haddad, waktunya ba’da maghrib dan subuh, seminggu sekali waktunya ba’da Isya secara berjama’ah. 3. Ataqoh surat Al-Ikhlas 1000 kali, istighfar shalawat 100 kali, dzikir ismu dzat 100 kali, waktunya setelah Isya. 4. Melakukan tawajjuh waktunya sepertiga malam yang akhir, dan atau bagi tingkat pemula bisa dilakukan menjelang tidur. Adapun bacaan dzikir yang diucapkan adalah membaca syahadat 3 kali, istighfar 3 kali, shalawat 3 kali, Laa Ilaaha Illallah 1000 kali, dan ismu dzat (Allah) sebanyak 100 kali, kemudian membaca do’a tawajjuh. 5. Melanggengkan shalat-shalat sunnah, seperti: sunah rawatib, sunah witir, sunah fajar, sunah dhuha. c. Hal-hal Yang Harus Dijaga Ketika Seseorang Menjalankan Thoriqoh. 1. Menjaga shalatnya, agar dilakukan tepat pada waktunya serta jiwa-jiwa shalat dapat dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari. 2. Menjaga shalat berjama’ah dan shalat Jum’ah. 3. Menjaga Istighfar, yakni menjaga diri dari perbuatan-perbuatan ma’siat serta menjaga diri dari makanan dan minuman yang haram. 4. Menjaga silaturrahmi, yakni menjaga diri dari rasa kebencian kepada orang lain. Holistik Vol 13 Nomor 02, Desember 2012/1434 H
-85-
PANDANGAN THARIQAH ALAWIYAH PONPES DARUL ULUM SERANG CIREBON TERHADAP EKSISTENSI SYARIAH DALAM TASAWUF IRFANI RABIAH AL-ADAWIYAH
-86-
4. Sekilas Thariqah Alawiyah Serang Cirebon Thariqah Alawiyah Serang Cirebon didirikan KH. Ali Fahmi Syarif pada tahun 1995. Ada pun sanad dari pendiri thariqah alawiyyah di serang “KH. Ali Fahmi Syarif” dengan “Syekh Syarif Hidayatullah” yaitu : Syekh Syarif Hidayatullah + fatmawati (putrinya mbah kuwu sangkan) Cirebon.
↓
Pangeran Trusmi
↓
Pangeran Basuraga (DEPOK)
↓
Mbah Kamil
↓
Masdar
↓
H. Sangkep
↓
Panter
↓
Dasem
↓
KH. Romli
↓
K. Jauhar + Nyai Indun
↓
KH. Ali Fahmi Syarif Holistik Vol 13 Nomor 02, Desember 2012/1434 H
Hajam
Itu silsilah (KH. Ali Fahmi Syarif) pendiri thoriqah alawiyyah yang bertempat di desa serang kabupaten Cirebon. Dan thariqah alawiyyah di serang juga mempunyai cabangnya diberbagai wilayah di Indonesia seperti di Kuningan, Majalengka, Indramayu, Banten, subang dan lain sebagainya. Bahkan setiap tahun pada tanggal 5 juli selalu di adakan Haul atau silaturahim di Serang dengan cabangcabang tharioah alawiyyah yang lain.
5. Sekilas pandangan Thariqah Alawiyah Serang terhadap Posisi Syariah dalam Tasawuf Rabi’ah al-Adawiyah Pemikiran tasawuf Rabi’ah al-Adawiyah sekilas mengabaikan syari’ah, karena Rabi’ah al-Adawiyah sepenuhnya berpegang kepada doktrin mahabbahnya. Dengan bermahabbah Rabi’ah telah menempuh jalan kehidupan sendiri dengan memilih hidup hanya dengan cinta kepada Allah semata, salah satu indikator yang kelihatannya mengabaikan syari’ah Rabi’ah al-Adawiyah selama hidupnya tidak pernah menikah, padahal menikah adalah bagian dari syari’ah. Rabi’ah selalu menolak lamaran laki-laki yang ingin meminangnya dan Rabiah menolak konsep pahala dan beribadah tidak butuh surga dan bukan karena takut neraka, padahal syariah mengakuinya. Menurut pengamatan thariqoh alawiyyah apa yang dicetuskan Rabi’ah al-Adawiyah tentang mahabbah tidak bertentangan dengan syari’ah, alasannya : Pertama, tidak mungkin Rabi’ah bertentangan dengan syari’ah karena konsep mahabbah itu sendiri berdasarkan al-Qur’an dan Hadits, sebagaimana telah disebutkan bahwa faktor utama yang mengantarkan Rabi’ah al-Adawiyah mencapai tingkat ajaran cinta Ilahi (mahabbah) adalah ajaran Islam yang sudah ditanamkan orang tuanya sejak kecil dan Rabi’ah sendiri termasuk aliran tasawuf Sunni yang selalu merujuk pada al-Qur’an dan as-Sunnah atau dengan kata lain Tasawuf aliran itu selalu bertandakan pertimbangan-pertimbangan Syari’ah. Karena itu ada baiknya kita lihat beberapa dasar ajaran Cinta kepada Allah (mahabbah) yang bersumber dari al-Qur’an dan al-Hadits. Kedua, Rabi’ah tidak kawin selama hidupnya bukan berarti mengingkari doktrin syariah, yang di dalamnya mengatur urusan kawin, tetapi karena kecintaan Rabi’ah kepada Allah begitu mendalam dan sudah mendarah daging, seakan-akan tidak ada tempat yang lain dihatinya. Di dalam hatinya tiada lagi ruang yang kosong untuk diisi Holistik Vol 13 Nomor 02, Desember 2012/1434 H
-87-
PANDANGAN THARIQAH ALAWIYAH PONPES DARUL ULUM SERANG CIREBON TERHADAP EKSISTENSI SYARIAH DALAM TASAWUF IRFANI RABIAH AL-ADAWIYAH
-88-
rasa cinta, maupun rasa benci kepada selain-Nya. Maka dengan kawin dikhawatirkan akan mengganggu proses rasa dekat dan cintanya kepada Allah dan khawatir dengan kawin hanya akan membuat Ia untuk berbuat tidak adil terhadap suami dan anak-anaknya, Ia tidak mampu memberikan perhatian pada mereka, karena seluruh hatinya untuk Allah semata. Ketiga, karena pengaruh kebiasaan rutin, terlihat sangat dominan dalam proses kemantapan beragama yang dialami Rabi’ah. Rutinitas yang dijalani Rabi’ah boleh jadi akan mendatangkan rahmat dan hidayat dari Tuhan sehingga ia mendapatkan anugerah berupa kelezatan dalam beribadah. Keempat, mahabbah yang dikembangkan oleh Rabi’ah telah mendorongnya untuk menempuh arah baru dalam hidupnya sebagai jalan ijtihadnya. Kelima, Rabiah al-Adawiyah telah menjadikan mahabbah sebagai bentuk maqomnya untuk menghampiri Allah Swt. Mahabbah menurut KH.Ali Fahmi Syarif ialah cinta kepada Allah. C. PENUTUP
Berangkat dari kenyataan di atas, menurut thariqoh alawiyyah bahwa Rabi’ah al Adawiyah termasuk salah satu tokoh tasawuf pada abad ke 11 H, yang dapat memadukan antara pemikiran tasawuf dengan syari’ah. Dalam artian di samping ia sebagai mutasawwuf begitu juga mutafaqih. Jelasnya “ Wa Man Jama’a Bainahuma Fa Qad Tahaqqaq“ dalam artian ia menjalankan agama secara benar. Jadi tasawuf yang berada di tangan Rabi’ah al-Adawiyah tetap berada di atas koridor syari’ah. Sebab salah satu usaha tasawuf adalah meningkatkan penghayatan di dalam menjalankan ibadah formal, sehingga akan memiliki efek bagi perbaikan moral. Usaha demikian tidak akan terlaksana tanpa pijakan syari’ah. Maka tasawuf ini diistilahkan dengan tasawuf syar’i. model tasawuf ini lah yang ditumbuh kembangkan oleh Ahl al-Sunnah Wa al-Jamaah, yang juga disebut tasawuf sunni (tasawuf ortodoks), yaitu tasawuf yang bertumpu pada al-Qur’an dan al-Hadits, tetap aktif dan tidak anti intelektual sehingga tasawuf yang demikian cocok disegala situasi dan kondisi.22 22 Ibid, h. 25
Holistik Vol 13 Nomor 02, Desember 2012/1434 H
Hajam
Ajaran mahabbah Rabi’ah al-Adawiyah atau cinta kepada Allah SWT, adalah cinta rasional atau cinta yang menimbulkan kebaktian sejati kepada Allah, bukan cinta over emosional. Namun dalam cinta Rabi’ah al-Adawiyah dikendalikan dengan batas-batas penalaran yang jernih, yakni cinta yang menimbulkan rasa keikhlasan berbakti dan beribadah, memperhambakan diri, bukan ingin menguasainya dan memuaskan emosinya. Kecintaan Rabi’ah al-Adawiyah kepada Allah begitu mendalam dan sudah mendarah mendaging, seakanakan tiada tempat lagi yang lain dihatinya. Bahkan sampai tidak terbersit dihatinya sedikitpun untuk menikah. Di dalam hatinya tidak ada lagi ruang kosong untuk diisi rasa cinta, maupun rasa benci kepada selain-Nya. Bahkan lagi, dalam ibadahnya melebihi apa yang sudah disyari’atkan. Tetapi walaupun demikian apa yang dilakukan oleh Rabi’ah tidak bertentangan dengan doktrin syari’ah, karena bagaimanapun Rabi’ah al-Adawiyah termasuk tokoh sufi yang komitmen dan berpegang kepada syari’ah. Rabi’ah al-Adawiyah juga memiliki keimanan yang tinggi dan pengalaman keagamaan yang paling puncak, sehingga Rabi’ah al – Adawiyah dapat memadukan antara tasawuf dengan syari’ah.
Holistik Vol 13 Nomor 02, Desember 2012/1434 H
-89-
PANDANGAN THARIQAH ALAWIYAH PONPES DARUL ULUM SERANG CIREBON TERHADAP EKSISTENSI SYARIAH DALAM TASAWUF IRFANI RABIAH AL-ADAWIYAH
-90-
Holistik Vol 13 Nomor 02, Desember 2012/1434 H
PERAN KH. ANAS SEBAGAI MUQODDAM TIJANIYAH DALAM ASPEK POLITIK, SOSIOEKONOMI DAN KEAGAMAAN DI PESANTREN AL-ISHLAH SIDAMULYA ASTANA JAPURA CIREBON (1883-1947) vv Aah Syafaah
Abstrak Penelitian ini fokus pada sosok seorang Kiai Buntet dan muqoddam thoriqoh mu’tabaroh Tijaniyah, yang bernama kyai Anas Abdul Jamil. Kyai Anas adalah adik dari kyai Abbas Buntet. Sejarah kyai anas mengilutrasikan kepada kita bahwa ia tidak hanya sebagai sosok pemimpin keagamaan, tetapi juga seorang pemimpin yang gigih memperjuangkan kepentingan (sosial dan ekonomi) umat Islam waktu itu, terutama dalam konteks perlawanan melawan penjajahan Belanda guna kesejahteraan umat waktu itu. Sejarah kiai Anas ini menggambarkan kepada kita bahwa peran seorang kiai itu tidak bisa terlepas dari permasalahan yang sedang dihadapi umatnya. Dengan kata lain, permasalahan sosio-ekonomi umat adalah juga permasalahan keberagamaan karena pada hakekatnya agama tidak terlepas dari kepentingan kesejahteraan umat. Kata Kunci : Kyai Anas, Tijaniyah, Buntet, keagamaan A. PENDAHULUAN
Kyai Anas adalah tokoh yang membawa dan menyebarkan Tarikat Tijaniyah di Nusantara. Terlahir dengan nama Muhammad Anas, ibunya bernama Nyai Qori’ah dan ayahnya bernama Kyai Abdul Jamil. Beliau adalah putra kedua dari empat bersaudara yang dilahirkan pada tahun 1883 M di Desa Pekalangan Cirebon. Kakaknya KH. Abbas dan kedua adiknya KH. Ilyas dan KH. Akyas. Keempat kakak adik ini sejak usia muda sudah memimpin pesantren secara estafet dari para pemimpin sebelumnya. Ayahnya, KH. Abdul Jamil adalah putra KH. Muta’ad yang tak lain adalah menantu pendiri pesantren Buntet, Kyai Muqayyim. Dalam catatan literatur pustaka, biografi Kyai Anas digambarkan dengan sangat singkat. Para nara sumber yang penulis temui telah Holistik Vol 13 Nomor 02, Desember 2012/1434 H
-91-
PERAN KH. ANAS SEBAGAI MUQODDAM TIJANIYAH DALAM ASPEK POLITIK, SOSIO-EKONOMI DAN KEAGAMAAN DI PESANTREN AL-ISHLAH SIDAMULYA ASTANA JAPURA CIREBON
-92-
memberikan informasi tentang Kyai Anas tanpa melengkapi dengan data tertulis maupun gambar (foto) diri beliau. Hal ini disebabkan oleh dua kemungkinan. Pertama, semua data yang tersimpan dibakar habis oleh Belanda pada tahun 1947. Kedua, kehidupan pribadi beliau yang menempuh kehidupan sufi sehingga unsurunsur formalitas budaya manusia pada umumnya dijauhi. Sumber terpercaya menyebutkan bahwa beliau adalah salah seorang wali Allah dan memiliki kekeramatan. Satu diantaranya adalah pada saat penggalian kubur di samping kuburan Kyai Anas, didapati sorbannya masih utuh setelah 25 tahun beliau dimakamkan. Sedangkan menurut penuturan Pijper yang menjumpainya pada Tahun 1927 dan saat itu Kyai Anas berusia 44 tahun, Kyai Anas adalah seorang Kyai yang masih muda, bertubuh kecil dengan raut muka tajam tetapi agak pucat. Lebih jauh dikatakan bahwa Kyai Anas adalah pribadi yang sederhana, rendah hati, wibawa, ulet, tekun, dan tidak menampakkan kekerasan dalam setiap tindakannya serta selalu berpandang jauh ke depan. Sedangkan dalam riwayat pendidikannya Kyai Anas dikenal sebagai santri keliling. Menurut sistem pendidikan pesantren, istilah santri keliling adalah seorang santri yang tidak hanya belajar pada satu pesantren saja tetapi berpindah-pindah dari satu pesantren ke pesantren yang lain dengan tujuan mengejar ilmu pengetahuan agama sesuai dengan spesialisasi ilmu yang dimiliki oleh seorang kyai. Dengan predikat santri keliling, Kyai Anas menempuh jenjang pendidikan kepesantrenannya setelah terlebih dahulu dibekali dasar agama yang cukup oleh ayahnya sendiri, KH. Abdul Jamil. Pendidikan pesantrennya dimulai di pesantren sukanasari Plered Cirebon di bawah pimpinan Kyai Nasuha selama 4 tahun. Kemudian beliau pindah ke pesantren di Tegal di bawah asuhan Kyai Sa’id. Setelah itu, beliau pindah ke pesantren Tebu Ireng di Jombang Jawa Timur di bawah asuhan KH. Hasyim Asy’ari (1871-1947), tokoh kharismatik pendiri Nahdlatul Ulama (NU). Situasi Cirebon pada masa menjelang kemerdekaan Indonesia adalah situasi yang selalu mendapat perhatian khusus oleh Belanda karena dianggap sebagai basis pemberontakan. Demikian juga dengan pesantren Buntet yang merupakan basis pertahanan para santri dan penduduk setempat. Pesantren ini tidak lepas dari patroli Belanda setiap harinya. Untuk menghindari keadaan tersebut, kakeknya Kyai Holistik Vol 13 Nomor 02, Desember 2012/1434 H
Aah Syafaah
Anas yaitu Kyai Muqayyim sering berpindah-pindah tempat. Tempat yang pertama dituju adalah Gajah Ngambung, sebuah tempat sebelum mengambil lokasi di blok Buntet Pesantren wilayah Desa Mertapada Kulon. Setelah itu ke Pesawahan, termasuk wilayah kecamatan Susukan Lebak, Cirebon. Kemudian juga ke daerah Tuk Karangsuwung. Bahkan karena begitu gencarnya desakan Penjajah Belanda terhadap beliau dan para pengikutnya untuk mau bekerjasama dengan mereka, Kyai Muqayyim sampai “hijrah” ke daerah Beji, Pemalang, Jawa Tengah sebelum akhirnya kembali ke Buntet Pesantren. Belanda terus mengadakan patroli hampir tiap hari. Tetapi semua itu tidak menghalangi minat para santri untuk tetap belajar di samping ada sebagian yang ikut bergerilya. Kelihatannya Belanda sudah mengetahui kalau pesantren Buntet ini merupakan basis perlawanan kaum Republik. Hal itu memang wajar karena sepanjang sejarah Buntet, pada hakikatnya adalah cerita perlawanan rakyat terhadap penjajah di bawah pimpinan para ulama yang tergabung dalam Hizbullah, Sabilillah dan Asybal. Kyai Anas dan kakaknya, Kyai Abbas merupakan pionir Sabilillah dengan dibantu oleh ulama lainnya. Sedangkan pengenalan Kyai Anas terhadap Tarikat Tijaniyah dilakukannya pada saat beliau menunaikan ibadah haji ke Makkah pada tahun 1924. Kepergiannya ini menuruti anjuran kakaknya, Kyai Abbas yang terlebih dahulu berjumpa dengan Syaikh Ali tetapi beliau tidak mengambil bai’at Traikat Tijaniyah tersebut meskipun beliau sudah menyayangi tarikat ini. Hal ini disebabkan tanggung jawab beliau sebagai mursyid Tarikat Syatariyah di pesantren Buntet. Kyai Anas bermukim kurang lebih 3 tahun di Makkah dan mempelajari dengan seksama kitab-kitab pegangan Tarikat Tijaniyah seperti Jawahir Al-Ma’ani, Rimah, Bughyat al-Mustafid langsung dari syaikh Alfa Hasyim. Bai’at tarikat pun dilakukan Kyai Anas kepada Syaikh Alfa Hasyim, selain kemudian mengambil bai’at lagi dari Syaikh Ali al-Thayyib. Dalam Tarikat Tijaniyah dikenal istilah muqaddam min muqaddam. Artinya, seorang ikhwan Tijaniyah bisa melakukan bai’at lebih dari sekali kepada muqaddam lainnya dengan alasan ketakwaan, senioritas usia, ataupun disiplin ilmu yang dimiliki muqaddam senior tersebut. Berdasarkan pendapat di atas, diketahui bahwa Kyai Anas melakukan bai’at tarikatnya dua kali yaitu dari Syaikh Alfa Hasyim di Madinah dan dari Syaikh Ali al-Thayyib, murid dari Syaikh Alfa Hasyim ketika beliau datang ke Indonesia tahun 1937. Holistik Vol 13 Nomor 02, Desember 2012/1434 H
-93-
PERAN KH. ANAS SEBAGAI MUQODDAM TIJANIYAH DALAM ASPEK POLITIK, SOSIO-EKONOMI DAN KEAGAMAAN DI PESANTREN AL-ISHLAH SIDAMULYA ASTANA JAPURA CIREBON
-94-
Langkah pertama yang dilakukan Kyai Anas setelah kepulangannya dari Makkah adalah menyebarkan ajaran Tarikat Tijaniyah di lingkungan Buntet, sehingga pada akhirnya berkembanglah 2 tarikat secara bersamaan: Tarikat Syathariyah dipimpin oleh Kyai Abbas dan Tarikat Tijaniyah oleh Kyai Anas. Sementara kedua tarikat itu terus berkembang, tiba pula saat yang tepat bagi Kyai Abbas, kakaknya Kyai Anas untuk mengambil bai’at Tarikat Tijaniyah bukan dari adiknya, melainkan dari Syaikh Ali al-Thayyib sendiri sewaktu Syaikh Ali berkunjung ke Jawa Barat (Bogor) pada tahun 1937. Kehadiran Kyai-ulama dengan kehidupan pesantrennya, mengajarkan pola hidup sederhana, saling kerjasama, dan pengalaman berbagai ritual keagamaan. Salah satu bentuk ritual keagamaan tersebut adalah pelaksanaan wirid tarikat. Seperti diketahui bahwa kehidupan bertarikat menumbuhkan ketenangan batin bagi sebagian besar masyarakat. Dalam hal ini, peran Kyai-ulama menjadi signifikan dan merupakan solusi terbaik dari kondisi yang dialami sebagian besar masyarakat saat itu. Untuk menyebarluaskan Tarikat Tijaniyah, Kyai Anas melakukan bai’at terhadap Kyai Hawi, Kyai Muhammad (Brebes), Kyai Bakri (Kasepuhan, Cirebon), Kyai Muhammad Rais (Cirebon), Kyai Murthadha (Buntet), Kyai Abdul Qadir Khoir, dan Kyai Shaleh (Buntet) menjadi muqaddam. Selanjutnya, melalui Kyai Hawi, elaborasi tarikat ini semakin menampakkan kemajuan. Mengulangi bai’at yang dilakukan oleh Kyai Anas terhadap muqaddam-muqaddam baru tersebut, Kyai Abbas membai’at juga Kyai Hawi dan Kyai Shaleh, kemudian Kyai Badruzzaman (Garut) dan Kyai Ustman Dhamiri (Cimahi, Bandung). Setelah itu, Kyai Abbas dan Kyai Anas mengulangi bai’at kepada Syaikh Ali saat beliau berkunjung ke Bogor pada tahun 1937. Di Jawa Timur, Kyai Muhammad Yusuf Surabaya membai’at Kyai Badri Masduki (Probolinggo) dan Kyai Fauzan Fathullah. Kyai Baidhawi (Sumenep) kemudian mambai’at Habib Lukman (Bogor), Kyai Mahfud (Kasepuhan) dan Nyai Amnah (Kuningan). Akhirnya, seluruh muqaddam (lama dan baru) itu membai’at muqaddam dan ikhwan-ikhwan baru. Sangat dimungkinkan proses seperti ini akan terus berlangsung tanpa dibatasi waktu, karena pada kenyataannya Tarikat Tijaniyah sudah berkembang menjadi tarikat besar. Holistik Vol 13 Nomor 02, Desember 2012/1434 H
Aah Syafaah
Peranan paling penting dari Kyai Anas adalah dengan mengajarkan tatacara pelaksanaan wirid Tarikat Tijaniyah dalam sebuah catatan berbahasa Cirebon yang disusun dengan maksud supaya lebih dipahami oleh masyarakat awam dan lebih dilaksanakan. Isi bacaannya hampir sama dengan isi amalan tarikat Tijaniyah secara umum, tetapi dengan cara yang lebih sederhana dan dipilihnya amalan-amalan tarikat yang merupakan wirid lazim (keharusan) yaitu terdiri dari istighfar, shalawat dan hailalah dengan tambahan shalawat fatih dan Jauharat al-Kamal. Dengan diberikannya wirid-wirid Tarikat Tijaniyah dengan bahasa pengantar Bahasa Jawa Cirebon seperti di atas, diharapkan murid akan senantiasa mengamalkannya dengan bimbingan Kyai sendiri. Hal ini dapat kita lihat pada kegiatan hailalah yang diselenggarakan setiap hari Jum’at sore dengan mengambil tempat di Masjid al-Ishlah, masjid yang didirikan oleh Kyai Anas. Sebelum hailalah dilangsungkan, diadakan pengajian terlebih dahulu dengan muatan pendidikan yaitu sebagai berikut: pengajian, shalat Ashar berjama’ah dan diteruskan dengan hailalah. Bimbingan yang diberikan oleh guru tarikat seperti yang dipraktekkan oleh Kyai Anas di desa Sidamulya, tidak dapat dianggap sebagai suatu campur tangan melainkan sebagai kawan dalam perjalanan seorang salik menuju kedekatan kepada Allah. Artinya kyai Anas berusaha membimbing masyarakatnya untuk mendapatkan balasan surga dengan cara sungguh-sungguh dalam ibadahnya. Peran lain Kyai Anas dalam mengembangkan ajaran tarikat Tijaniyah selain membai’at muqaddam, penyederhanaan aurad tarikat, juga dengan melakukan hijrah. Elaborasi Tarikat Tijaniyah dilakukan Kyai Anas tidah hanya di Buntet, tetapi juga di daerah lainnya. Dua tahun setelah Kyai Abbas mengambil bai’at Tarikat Tijaniyah, tepat 1939, beliau eksodus ke dusun Kilapat dan mendirikan pesantren baru dengan nama Pesantren Sidamulya. Kedatangan Kyai Anas ke dusun baru ini mendapatkan tantangan yang sangat berat. Tetapi berbagai cara dilakukan Kyai Anas untuk menyadarkan penduduk agar mau menerima ajaran-ajaran Islam. Langkah pertama yang ditempuh adalah dengan mengajarkan bagaimana rutinitas kejahatan di Dusun ini bisa berubah, caranya yaitu dengan mengajarkan kegiatan shalat lima waktu. Awalnya, perubahan tradisi yang sudah mengakar kuat dalam kehidupan masyarakat Dusun Kilapat ini sulit sekali diwujudkan, tetapi berkat kegigihan dan usaha yang kuat dari Holistik Vol 13 Nomor 02, Desember 2012/1434 H
-95-
PERAN KH. ANAS SEBAGAI MUQODDAM TIJANIYAH DALAM ASPEK POLITIK, SOSIO-EKONOMI DAN KEAGAMAAN DI PESANTREN AL-ISHLAH SIDAMULYA ASTANA JAPURA CIREBON
-96-
Kyai Anas, akhirnya Dusun inipun kemudian terkenal sebagai dusun santri dan nama Kilapat akhirnya dirubah sesuai dengan nama pesantrennya, Sidamulya, hingga sekarang. Setelah pengenalan ajaran Islam dengan kegiatan shalat lima waktu, secara perlahan ritual Tarikat Tijaniyah pun mulai diajarkan kepada masyarakat Sidamulya terutama kepada golongan lanjut usia. Para ikhwan Tijani atau mayoritas masyarakat yang berguru kepada Kyai atau pemimpin tarikat selain mengharapkan amalanamalan praktis, sebagai upaya mendekatkan diri kepada Tuhan, juga bertujuan untuk mendapatkan pertolongan yang bersifat spiritual seperti untuk menghilangkan penyakit kejiwaan atau memperkuat semangat dalam mencapai suatu keinginan. Orang-orang seperti ini sangat memerlukan tuntunan spiritual dan sama sekali tidak dapat disalahkan apabila mereka mendatangi dan meminta pertolongan untuk mengatasi keinginannya itu melalui guru tarikat. Sebaliknya, tidak juga bersalah seorang guru tarikat melayani permintaan murid yang seperti ini. Bahkan seorang guru tarikat merasa berkewajiban untuk memberikan do’a dan pertolongan bagi mereka yang tertimpa kemalangan spiritual tersebut. Kyai Anas menjadi rujukan penting bagi Ikhwan Tijaniyah yang menderita berbagai kegagalan dalam hidup seperti dalam bidang rumah tangga, aktifitas perdagangan, pengobatan terhadap penyakit, dan lain-lain. Kepada orang-orang seperti ini, Kyai memberikan resep dan saran-saran praktis untuk mengatasinya. B. METODOLOGI
Secara umum, studi ini menggunakan metode yang ada dalam ilmu sejarah, yang biasa disebut dengan metode sejarah. Dalam metode ini ditempuh langkah-langkah: Heuristik (pengumpulan sumber), kritik, interpretasi dan historiografi. Studi ini menggunakan langkah-langkah tersebut. Selain menggunakan metode sejarah di atas, penelitian ini menggunakan metode kepustakaan dan metode lapangan. Metode kepustakaan digunakan untuk mengidentifikasi data yang berasal dari sumber-sumber tertulis. Sedangkan metode lapangan digunakan untuk mencari dan mengumpulkan data dari nara sumber yang mempunyai keterikatan langsung (genealogi) dengan Kyai Anas, terutama dengan menggunakan oral history. Sebagian besar data yang ditemukan berasal dari sumber lisan, untuk kemudian dianalisa dan Holistik Vol 13 Nomor 02, Desember 2012/1434 H
Aah Syafaah
diinterpretasikan sesuai kebutuhan. Untuk memperjelas metode-metode tersebut, penelitian ini juga dibantu dengan ilmu bantu sejarah untuk memperjelas peristiwa dan permasalahan. Diantaranya konsep keberagamaan yang bertujuan untuk memperjelas persoalan keberagamaan, konsep sosio-ekonomis untuk memperjelas penjelasan mengenai kondisi perekonomian masyarakat, konsep politik yang bertujuan untuk memperjelas persoalan politik. Penggunaan ilmu bantu tersebut, dalam tingkat tertentu menunjang penjelasan masalah atau peristiwanya. Penelitian ini di samping menggunakan pendekatan kesejarahan, juga menggunakan jenis penelitian kualitatif-deduktif sebagai berikut: 1. Observasi Usaha pengumpulan data dalam teknik observasi penulis mendatangi langsung lokasi penelitian yang sesuai dengan permasalahan yang akan dibahas. 2. Wawancara Berkaitan dengan penggalian oral history, teknik wawancara telah digunakan. Wawancara adalah suatu teknik penelitian yang menggunakan tanya jawab terhadap nara sumber yang mempunyai hubungan dekat dengan Kyai Anas yang terdiri dari keluarga, murid dan para penduduk sekitarnya. 3. Pencatatan Pencatatan ini dilakukan pada saat wawancara berlangsung dan setelah wawancara. Pencatatan ini dilakukan untuk melengkapi dan menyempurnakan data sesuai kebutuhan.
4. Analisis Sebagai tahap akhir dari teknik penelitian adalah menganalisa semua data yang diperoleh untuk mencari data yang benar-benar akurat. C. PERAN KYAI ANAS DALAM SOSIO-EKONOMI, POLITIK DAN KEAGAMAAN
Peran kyai Anas bukan hanya sebatas sebagai muqaddam Tijani saja, tetapi beliau juga seorang pejuang kemerdekaan. Pada masa Holistik Vol 13 Nomor 02, Desember 2012/1434 H
-97-
PERAN KH. ANAS SEBAGAI MUQODDAM TIJANIYAH DALAM ASPEK POLITIK, SOSIO-EKONOMI DAN KEAGAMAAN DI PESANTREN AL-ISHLAH SIDAMULYA ASTANA JAPURA CIREBON
-98-
penjajahan Belanda Kyai Anas bersama dengan kakaknya, Kyai Abbas ikut berjuang melalui wadah Hizbullah, Sabilillah dan Asybal, demi ajaran agamanya melalui pan-Islamisme yang pada waktu itu populer sebagai alat untuk memotivasi kaum muslimin melawan musuh yang kafir sebagai bentuk revivalisme (perlawanan). Dengan senjata seadanya, kaum muslimin, dengan dipimpin oleh para kyai, berjuang habis-habisan demi kemerdekaan yang ingin dicapainya. Akhirnya, pemberontakan yang dilakukan kaum pribumi, dengan mudah dikalahkan dengan menghancuran pusat-pusat kegiatan keagamaan. Kyai Anas menanggung beban pembumihangusan oleh pihak Belanda tersebut. Dalam persoalan sosio-ekonomi Kyai Anas begitu menekankan, baik kepada para santrinya maupun kepada masyarakat sekitarnya, untuk bekerja apa saja yang penting halal, bisa dengan cara bertani atau beternak. Dalam masalah peran keagamaan Kyai Anas tetap konsisten menjaga kearifan lokal dengan melakukan kegiatan-kegiatan yang bernafaskan Islam, diantaranya: 1. Kegiatan Manakib Kegiatan manakib Syaikh al-Tijani merupakan bentuk lain dari peran Kyai Anas dalam mensosialisasikan Tarikat Tijaniyah. Uraiannya sebagai berikut: a. Pengertian Manakib Manakib berasal dari kata Arab manaqib yakni kebajikan, perbuatan baik, pekerti atau perangai yang terpuji (Munawwir, 1984:1451), diartikan juga sebagai riwayat hidup. Arti kata ini biasanya dikaitkan dengan sejarah kehidupan seseorang yang dikenal sebagai tokoh terkemuka di dalam masyarakat. Manakib menyangkut perjuangan, silsilah, akhlak, kepribadian, sifat dan lain-lain. Pada hakikatnya, dalam Al-Qur’an terdapat kisah manakib seseorang seperti Maryam (Q.S. 19 terutama ayat 1-40), Ashabul Kahfi (Q.S. 18 terutama ayat 18 ayat 9-26) dan lain-lain. Dikenal juga manakib para sahabat Nabi seperti manakib Abu Bakar, Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib dan sebagainya. Beberapa aliran tarikat menilai bahwa kitab manakib merupakan buku riwayat hidup seorang syaikh tarikat atau seorang wali yang ditulis oleh pengikut tarikat yang bersangkutan dan biasanya buku tersebut berisi sanjungan sifat-sifat baik syaikhnya atau sifat-sifat Holistik Vol 13 Nomor 02, Desember 2012/1434 H
Aah Syafaah
baik seorang wali. Riwayat hidup atau manakib para wali banyak dibaca oleh pengikut berbagai tarikat untuk diambil pelajaran dan teladan serta untuk memperkokoh iman seseorang. Pada intinya manakib berisi: Keutamaan pendidikan atau usaha-usaha untuk mencari ilmu pengetahuan, keteguhan iman dalam memegang dan menjalankan hukum Allah, unsur kekeramatan dan tingkah laku dengan akhlak yang terpuji. b. Tujuan Manakib Kegiatan manakib yang diselenggarakan, biasanya memiliki maksud dan tujuan tertentu, diantaranya: Tasyakuran, yaitu ungkapan terimakasih kepada Allah disebabkan telah memperoleh nikmat karunia-Nya. Misalnya, seorang ibu melahirkan dengan selamat, maka ia atau keluarganya menyelenggarakan manakib Syaikh al-Tijani. Tabarruk, yaitu harapan memperoleh barokah, rahmat dari Allah dan dari para hamba pilihan-Nya, dengan tujuan untuk mengikuti dan meniru keteladanannya. c. Tatacara kegiatan Manakib Air putih dan berbagai hidangan adalah merupakan unsur penting dalam kegiatan manakib ini. Biasanya, hidangan yang disediakan ini disesuaikan dengan kemampuan fihak penyelenggara. Atau, kalau acara ini dilaksanakan di mesjid, biasanya hidangannya berasal dari masyarakat (Wawancara dengan Naqib Allabiq, cucu Kyai Anas, di Sidamulya, 7 Oktober 2011).
2. Acara Perkawinan Kyai Anas telah menerapkan aturan-aturan tentang prosesi suatu pernikahan. Diantaranya, pengantin wanita tidak dihadirkan bersama pengantin pria pada saat akad nikah dan mempelai tidak disandingkan bersama dan pemisahan undangan pria dan wanita1. 3. Acara yang berkaitan dengan kelahiran bayi Acara yang berkaitan dengan kelahiran bayi dimulai dengan nujuh wulan. Acara ini khusus bagi seorang calon ibu yang mengandung tujuh bulan dengan tujuan mendo’akan keselamatan bayi yang akan 1 Kecuali untuk acara akad nikah, pengantin pria dan wanita disandingkan bersama-sama dan tidak ada pemisahan undangan pria dan wanita (wawancara dengan Najib Allabib, cucu Kyai Anas, di Sidamulya, 7 oktober 2011).
Holistik Vol 13 Nomor 02, Desember 2012/1434 H
-99-
PERAN KH. ANAS SEBAGAI MUQODDAM TIJANIYAH DALAM ASPEK POLITIK, SOSIO-EKONOMI DAN KEAGAMAAN DI PESANTREN AL-ISHLAH SIDAMULYA ASTANA JAPURA CIREBON
-100-
lahir. Setelah bayi lahir, pada hari ke-7 atau ke-40 diadakan puputan. Acara ini bertujuan menyelamati tali pusar yang sudah sempurna, diiringi dengan pemberian nama atau pengguntingan rambut. Dalam acara ini biasanya dibacakan barzanji atau diba’i atau marhabanan (wawancara dengan Ahmad Fauzi, tokoh masyarakat, 8 Oktober 2011).
4. Acara Tahlil Di Desa Sidamulya, dikenal juga acara kematian yang bernuansa Islam, seperti yang telah dilakukan Kyai Anas, yaitu tahlil2. Tahlil diselenggarakan mulai malam pertama sampai ketujuh, ke-40 (matang puluh), ke-100 (nyatus), satu tahun (mendak/haul), ke1000 (nyewu). Haul kyai biasanya diselenggarakan dengan meriah. Di Sidamulya, haul Kyai Anas dan keturunannya dilakukan setiap tanggal 20 Rabiul Tsani atau berdasarkan masa sesudah panen (wawancara dengan Najib Allabib, cucu Kyai Anas, di Sidamulya, 7 Oktober 2011).
5. Acara yang berkaitan dengan peringatan hari-hari besar Islam Acara memperingati 10 Syura (10 Muharram). Acara ini dimulai dengan pelaksanaan shalat maghrib berjama’ah. Setelah itu dilanjutkan dengan pembacaan Yasin 3 kali secara berjama’ah, dilanjutkan dengan membaca sebanyak 70 kali, dilanjutkan dengan do’a bersama. Pertama-tama Kyai membaca do’a terlebih dahulu kata perkata kemudian diikuti bacaan do’a para jama’ah. Untuk acara-acara seperti rajaban (peringatan Isra Mi’raj Nabi Muhammad SAW) atau muludan, biasanya diisi dengan pembacaan diba’i atau marhabanan atau barzanji. Kemudian acara tersebut ditutup dengan mengundang kyai dari luar Sidamulya untuk siraman rohaninya. 6. Acara-acara yang berkaitan dengan Bulan Ramadhan Untuk acara Ramadhan dimulai dari futur (semacam acara buka puasa bersama) yang dilakukan di mesjid peninggalan Kyai Anas. Untuk acara futur ini seluruh masyarakat Sidamulya secara 2 Tahlil sebagai kegiatan mendo’akan dan berhadiah kepada ahli kubur muslimin dengan membaca surat al-Fatihah dan lain-lain baik secara berjama’ah atau sendiri-sendiri (Purwadaksi, 1983:18).
Holistik Vol 13 Nomor 02, Desember 2012/1434 H
Aah Syafaah
bergiliran membuat hidangan untuk berbuka puasa bagi para jama’ah yang sudah selesai mendengarkan pengajian sore hari sebelum adzan magrib dikumandangkan. Pada malam harinya, setelah shalat Tarawih, diadakan tadarrus sampai tepat jam 12 malam. Selanjutnya setiap malam tanggal 17 Ramadhan diadakan acara nuzul al-Qur’an, yaitu satu malam dimana para santri diharuskan membaca al-Qur’an sampai hatam 30 juz. D. KESIMPULAN
Dengan berlatar belakang pendidikan pesantren Kyai Anas dan karena beliau juga adalah putra tokoh penting di Pesantren Buntet, akhirnya mempengaruhi juga sistem pendidikan pesantren yang didirikannya. Hal paling mendasar dari sistem pesantrennya adalah belajar dengan sistem vokasional (ketrampilan).
Sejak Kyai Anas pergi haji, bersentuhan langsung dengan para ulama Haramayn, menjadi tokoh Tarikat Tijaniyah, beliau memainkan peranan dengan pembaiatan muqaddam baru, penyederhanaan aturan dzikir dan mengelaborasi pengembangan Tarikat Tijaniyah dengan hijrah ke Sidamulya. Peran berikutnya yang paling bisa dirasakan sampai saat ini adalah usaha-usaha Kyai Anas dalam pengembangan masyarakat; baik dari segi moral, politik, ilmu pengetahuan, ekonomi dan pendidikan. Sehingga masyarakat yang dibina mampu merasakan perubahan yang positif atas jasa besar Kyai Anas Abdul Jamil.
Holistik Vol 13 Nomor 02, Desember 2012/1434 H
-101-
PERAN KH. ANAS SEBAGAI MUQODDAM TIJANIYAH DALAM ASPEK POLITIK, SOSIO-EKONOMI DAN KEAGAMAAN DI PESANTREN AL-ISHLAH SIDAMULYA ASTANA JAPURA CIREBON
-102-
Holistik Vol 13 Nomor 02, Desember 2012/1434 H
PERAN NYI MAS RARA SANTANG DI BALIK KESUKSESAN SUNAN GUNUNG JATI vv Siti Fatimah Abstrak Sejarah telah memberi banyak makna karena mampu mengundang pemikiran-pemikiran, inspirasi, juga antisipasi demi kemajuankemajuan serta perbaikan.1 Banyak hal berharga untuk diketahui dan diteladani dari perilaku sejarah, misalnya, siapa sosok Nyi Mas Rara Santang, dari mana asal-usulnya, bagaimana latar belakang pendidikannya, bagaimana peran dan kiprah perjuangannya di balik kesuksesan Sunan Gunung Jati. Penulis menganggap penting untuk melakukan penelitian ini karena sejauh ini penulis belum melihat, atau belum menemukan, penelitian khusus mengenai Rara Santang. Penulis merasa tertarik untuk meneliti karena ada tokoh dan ulama perempuan yang hebat pada zamannya, yang mampu melahirkan seorang tokoh besar, ’seorang Sunan Gunung Jati’. Kata Kunci : nyi mas rara santang, gunung jati, sekses, islam A. LATAR BELAKANG MASALAH
Para tokoh agama yang menyebarkan Islam di Cirebon bukan hanya para Kiai dan ulama laki-laki, tetapi banyak juga ulama perempuan. Salah satu ulama perempuan yang berjasa dalam syiar Islam di masa pra-kolonial di Cirebon adalah Nyi Mas Rara Santang. Penelitian tentang peran Nyi Mas Rara Santang di balik kesuksesan Sunan Gunung Jati ini penting karena merupakan bagian dari cara menghargai pelaku sejarah, khususnya dalam penyebaran Islam di Cirebon di masa pra-kolonial. Kesadaran menghargai pelaku sejarah, ulama perempuan, sangat penting untuk senantiasa membangkitkan semangat berjuang bagi kaum perempuan untuk agamanya. Selain itu, pengangkatan aktor sejarah ‘ulama perempuan’ jarang dilakukan oleh para peneliti karena mayoritas peneliti adalah kaum laki-laki, dan hal itu telah melanggengkan budaya patriarkhi selama ini. Sejarah telah memberi banyak makna karena mampu mengundang pemikiran-pemikiran, inspirasi, juga antisipasi demi kemajuan1 Arif, 2010, Pengantar Sejarah, Depok Jakarta: Para Cita Press, hal. 15-16
Holistik Vol 13 Nomor 02, Desember 2012/1434 H
-103-
PERAN NYI MAS RARA SANTANG DI BALIK KESUKSESAN SUNAN GUNUNG JATI
-104-
kemajuan serta perbaikan.2 Banyak hal berharga untuk diketahui dan diteladani dari perilaku sejarah, misalnya, siapa sosok Nyi Mas Rara Santang, dari mana asal-usulnya, bagaimana latar belakang pendidikannya, bagaimana peran dan kiprah perjuangannya di balik kesuksesan Sunan Gunung Jati. Penulis menganggap penting untuk melakukan penelitian ini karena sejauh ini penulis belum melihat, atau belum menemukan, penelitian khusus mengenai Rara Santang. Penulis merasa tertarik untuk meneliti karena ada tokoh dan ulama perempuan yang hebat pada zamannya, yang mampu melahirkan seorang tokoh besar, ’seorang Sunan Gunung Jati’. Penelitian yang penulis lakukan ini ada signifikansinya dengan disiplin ilmu yang penulis miliki, yakni bidang kajian filsafat. Kajian filsafat terdiri dari tiga ranah, yakni filsafat dikaji sebagai bangunan ilmu, filsafat sebagai way of life, dan filsafat sebagai metode berpikir kritis. Signifikansi penelitian ini terletak pada digunakannya filsafat “sebagai metode berpikir kritis” untuk mengkaji peran dan kiprah Nyi Mas Rara Santang di balik kesuksesan Sunan Gunung Jati. Filsafat dijadikan sebagai objek forma atau pisau analisis untuk mengkaji objek materinya. Berangkat dari permasalahan-permasalahan yang telah diurai, penelitian ini akan mengkaji mengenai siapakah Nyi Mas Rara Santang, bagaimana Sosiologi pengetahuan yang melatarbelakangi lahirnya karya-karya tentang Nyi Mas Rara Santang, dan bagaimana peran Nyi Mas Rara Santang di balik kesuksesan Sunan Gunung Jati. B. METODE PENELITIAN
Penelitian ini mengambil model penelitian historis faktual mengenai peran tokoh perempuan, dengan menentukan satu topik objek material dan juga menentukan objek formal dari peran seorang.3 Objek materi tersebut adalah peran Nyi Mas Rara Santang, di balik kesuksesan Sunan Gunung Jati. Oleh karena itu, penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (Library Research) dan menjadikan pustaka sebagai sumber pencarian data yang utama. Jenis penelitian yang objek materialnya mengkaji soal sejarah, maka yang paling tepat menggunakan pendekatan kualitatif historis. Pendekatan ini untuk mengetahui sejarah peran Nyi Mas Rara Santang, di balik kesuksesan Sunan Gunung Jati. 2 Arif, 2010, Pengantar Sejarah, Depok Jakarta: Para Cita Press, hal. 15-16 3 Badan Komunikasi kebudayaan ... ,2005, hal. 2.
Holistik Vol 13 Nomor 02, Desember 2012/1434 H
Siti Fatimah
Beberapa sumber data yang dipersiapkan bersifat primer dan sekunder. Sumber primer tersebut berupa karya-karya tentang Rara Santang, dan bukti-bukti sejarah atau peninggalan yang bisa memberikan informasi mengenai adanya sosok Nyi Mas Rara Santang. Misalnya, adanya peninggalan masjid Jalagraha dan makam Rara Santang. Menururt Lucey (1984) kesaksian/testimoni yang diperlukan dalam penelitian sejarah menyangkut beberapa hal: a) Apa yang telah dipikirkan, dirasakan, dikatakan, dan dilakukan oleh manusia, baik sebagai individu maupun atau sebagai anggota masyarakat. Dari sini peneliti akan memperoleh informasi tentang apa yang telah terjadi dan mengapa bisa terjadi. b) Faktor-faktor dan kekuatan apa yang berperan ketika suatu peristiwa sejarah berlangsung. Apa akibat sosialnya, dan pencapaiannya.4 Sumber data yang berasal dari sumber sejarah bisa merupakan segala sesuatu yang langsung maupun tidak langsung yang dapat memberi informasi pada peneliti tentang suatu kegiatan pada masa lalu. Sumber sejarah ini masih merupakan bahan mentah bagi peneliti sejarah.5 Misalnya berbagai buku, majalah, koran, maupun media lain yang memuat informasi yang relevan. Dalam penelitian ini, pengumpulan data dilakukan melalui (1) wawancara mendalam pada informan yang mengetahui sejarah dan bukti-bukti sejarah adanya peran Nyi Mas Rara Santang di balik kesuksesan Sunan Gunung Jati, (2) inventarisasi dan klasifikasi sumber sejarah yang berupa peninggalan-peninggalan, catatancatatan, sumber-sumber lisan, dan buku-buku. Metode pengumpulan data dalam teks-teks menggunakan metode hermeneutik. Hermeneutik yang digunakan mengacu pada hermeneutik Wilhelm Dilthey. Menurut Dilthey, jika seseorang akan membaca sejarah, kewajibannya adalah menyusun balik kerangka yang dibuat oleh sejarawan dengan maksud supaya peristiwa masa lalu tersebut dapat dilihat kembali sesuai dengan kejadian yang sebenarnya. Metode semacam ini yang dimaksud dengan hermeneutik. Pengoperasian metode hermeneutik ini dengan cara, pertama interpretasi data, kedua melakukan riset sejarah dan menggunakan teknik pemahaman (verstehen).6 4 Rokhmin Dahuri dkk., 2004, Budaya Bahari: Sebuah Apresiasi di Cirebon, Jakarta: Perum Percetakan Negara RI, hal. 50-51. 5 Badan Komunikasi kebudayaan ... , 2005, hal. 1-2. 6 Badan Komunikasi Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Cirebon, 2005, Asal Usul Desa Bagian
Holistik Vol 13 Nomor 02, Desember 2012/1434 H
-105-
PERAN NYI MAS RARA SANTANG DI BALIK KESUKSESAN SUNAN GUNUNG JATI
-106-
Langkah pengolahan data melalui kritik sumber data sejarah, yakni kritik eksternal dan internal. Data juga diolah melalui interpretasi, baik secara deterministik atau bebas. Bentuk-bentuk penafsiran deterministik misalnya determinasi penafsiran geografis, sosiologi, juga sintesis, dari berbagai informasi data di buku-buku, artikel, jurnal, dan literatur lainnya. Setelah data terkumpul dilakukan kategori data dan membuat klasifikasi untuk menentukan data primer dan sekunder serta menata materi sesuai dengan pokok-pokok bahasan, kemudian dianalisis sesuai metode yang telah ditentukan. Langkah kategori dan klasifikai yang dilakukan, pertama, penelusuran historis latar belakang berbagai kondisi sosial yang melatari munculnya karya-karya tentang Rara Santang. Kedua, berbagai peran yang dilakukan Rara Santang serta dampak positifnya terhadap kesuksesan Guung Jati. Langkah terakhir adalah menuangkan hasil penelitian atau laporan penelitian ke dalam bentuk tulisan secara sistematis, sesuai dengan kaidah-kaidah ilmiah yang telah disepakati dan ditetepkan. Melalui metode hermeneutik, akan dilakukan studi penafsiran atau interpretasi terhadap teks dan bukti-bukti lapangan dengan tujuan memperoleh pemahaman yang benar. Dalam hal ini hermenutika berarti tafsir tentang makna teks.7 Pemahaman teks diberi arti lebih luas sebagai studi tentang manusia yang bertujuan untuk mempelajari aktivitas kebudayaan sebagai teks, dan berupaya untuk memperoleh pemahaman tentang ekpresi makna agar supaya memperoleh pemahaman yang benar. C. TEMUAN PENELITIAN
Sosok Nyi Mas Rara Santang Dan Perannya Bagi Kesuksesan Sunan Gunung Jati 1. Latar Belakang Keintelektualan Nyai Subang Larang meninggal tahun 1440 M, dan pada tahun 1442 Raden Walangsungsang keluar dari keraton Pakuan.8 Ketika masih berada di Keraton Pakuan, pada usia menginjak remaja, Walangsungsang dan Rara Santang berguru pada Syekh Qura,
Kedua; Pemerintah Kabupaten Cirebon. 7 Sjamsudin, 1996, Metodologi Sejarah, Jakarta: Depdikbud Dirjen Dikti, Proyek Pendidikan Tenaga Akademik 8 Atja, 1986: 98-99.
Holistik Vol 13 Nomor 02, Desember 2012/1434 H
Siti Fatimah
keturunan Syekh Moh. Yusuf Sodiq, keturunan Syekh Zaenal Abidin, keturunan Nabi Muhammad SAW. Ibu Rara Santang – Nyi Mas Ratu Subang Keranjang- juga belajar agama kepada Syekh Qura. Syekh Qura memberi pelajaran tentang manfaat membaca sholawat tafrijiyah sebanyak seribu kali setiap malam selama 40 malam berturut-turut, insyaallah orang akan dapat bertemu dengan nabi Muhammad SAW. Setelah pulang ke istana kerajaan Padjadjaran, Walangsungsang mengamalkannya. Pada malam terakhir membaca salawat, Walangsungsang bermimpi bertemu nabi Muhammad SAW. Nabi Muhammad berpesan agar terus belajar agama Islam, karena tidak ada kemuliaan selain Walangsungsang pergi ke luar istana mendalami Islam. Walangsungsang akhirnya melapor tentang kejadian mimpinya kepada ayahandanya, Prabu Siliwangi. Akan tetapi, Prabu Siliwangi tidak berkenan dengan penuturan anaknya, dan terjadilah perselisihan antara keduanya. Raden Walangsungsang meninggalkan keraton ayahnya dan mengembara pada tahun 1442. Kepergiannya menuju ke tengan hutan, dan sampai ke pondok Ki Gedeng Danuwarsi seorang pendeta Budhaprawa. Setelah beberapa lama tinggal di pondong Ki Danuwarsi, Raden Walangsungsang menikahi putrinya bernama Indang Geulis9 Pada suatu malam, Rara Santang melakukan hal yang sama, membaca salawat tafrijiyah dan mimpi bertemu dengan Nabi Muhammad SAW. Nabi berpesan agar Rara Santang pergi dari keraton menyusul kakaknya Walangsungsang. Pagi harinya, Nyi Rara Sntang menyusul meninggalkan keraton pergi ke arah selatan. Di Gunung Tangkuban perahu, Rara Santang bertemu dengan seorang perempuan bernama Nyi Endang Sukati.10 Jika di dalam buku Sejarah Cirebon karangan Haji Mahmud Rais diceritakan bahwa keluarnya Rara Santang dari keraton ayahnya dikarenakan mendapat petunjuk dari Nabi Muhammad SAW agar menyusul kakaknya melalui mimpi, maka di dalam buku Carub Kanda yang ditulis tahun 1260 H/1844 M dan dinukil Dadan Wildan (2003: 76-77), diceritakan bahwa keluarnya Rara Santang dari keraton disebabkan Rara Santang sangat bersedih hati karena ditinggal pergi oleh kakaknya Walangsungsang. Setiap hari meratap hingga tidak tahan dan pergi dari istana Pakuan Pajajaran. Ketika perjalanannya sampai ke Gunung Tangkuban Perahu dan bertemu dengan Nyai Ajar 9 Sejarah Cirebon jilid I (karangan Haji Mahmud Rais), dinukil oleh Wildan, 2003: 61-62. 10 Sejarah Cirebon jilid I (karangan Haji Mahmud Rais), dinukil oleh Wildan, 2003: 61-62.
Holistik Vol 13 Nomor 02, Desember 2012/1434 H
-107-
PERAN NYI MAS RARA SANTANG DI BALIK KESUKSESAN SUNAN GUNUNG JATI
-108-
Saketi, ia diberi pakaian sakti sehingga bisa berjalan dengan cepat. Rara Santang diberi nama nama Nini Benting oleh Nyai Ajar Saketi dan diberi petunjuk ke Gunung Cilawung menemui seorang pertapa. Pertapa ini bernama Ajar Cilawung, dan ia memberi nama Rara Santang menjadi Nini Eling. Nini Eling meramal Rara Santang bahwa ia kelak akan melahirkan seorang anak yang bisa menaklukkan langit dan bumi, dikasihi Tuhan, dan menjadi pemimpin para wali. Nini Eling selanjutnya diberi petunjuk agar pergi ke Gunung Merapi. Agak berbeda dengan cerita dalam buku Carub Kanda, buku Sejarah Cirebon yang ditulis Haji Mahmud Rais menceritakan bahwa nama orang sakti yang ditemui Rara Santang di Gunung Tangkuban Perahu bukan bernama Nyai Ajar Sekati, tetapi Nyai Endang Sukati. Nyai Endang Sukati kemudian menyuruh Rara Santang pergi ke Argaliwung untuk bertemu Ki Ajar Sekti. Nyi Endang Sukati berpesan agar Rara Santang pergi ke arah Argaliwung untuk menemui Ki Ajar Sekti. Nyi Endang Sukati memberi pusaka berupa pakaian bernama hawa mulia. Pakaian itu jika dipakai berjalan, kaki tidak akan menyentuh tanah, bisa berjalan di atas air, tidak akan terbakar jika terkena api, bisa berjalan lebih cepat dari angin. Pada saat tiba di Angaliwung, Ki Ajar Sekti sudah menunggu dan menyarankan agar berangkat lagi ke gunung merapi untuk menemui Walangsungsang yang telah menikah dengan Nyi Endang Ayu, putri Sang Hyang Danuwarsih. Rara Santang menuruti petunjuk Ki Ajar Sekti dan berangkat ke Gunung Merapi dan bertemu dengan kakaknya.11 Pada buku (Sejarah Cirebon karangan Haji Mahmud Rais)12 diceritakan bahwa, ketika Walangsungsang dan Rara Santang pergi meninggalkan Keraton, ibundanya, ’Nyi Subang Karanjang’ sangat bersedih. Hal tersebut artinya menunjukkan bahwa ’Nyi Subang Karanjang’ masih hidup, sementara pada buku CPCN diceritakan sudah mati. Informasi yang mana sebenarnya yang benar, hal ini perlu dikaji lebih mendalam. Selain itu, pada buku CPCN (1720 M)13 diceritakan bahwa yang memberi nama Ki Samadullah pada Walangsungsang adalah Syekh Nurjati, tetapi pada buku Carub Kanda (1260 H./1844 M), Sang Hyang Danuwarsi memberi nama Walangsungsang Samadullahi. 11 Sejarah Cirebon jilid I (karangan Haji Mahmud Rais), dinukil oleh Wildan, 2003: 62. 12 Sejarah Cirebon jilid I (karangan Haji Mahmud Rais), dinukil oleh Wildan, 2003: 62. 13 CPCN, 1720.
Holistik Vol 13 Nomor 02, Desember 2012/1434 H
Siti Fatimah
Perjalanan berikutnya, Rara Santang menyusul kakaknya di kediaman Sang Hyang Danuwarsi. Sang Hyang Danuwarsi menyuruh Walangsungsang, Rara Santang, dan Nyi Endang Ayu untuk pergi menuntut agama Islam. Danuwarsi memberi bekal empat macam benda pusaka, yakni: 1. Sebuah cincin bernama cincin Ampal. Cincin ini jika digunakan, maka pemakainya dapat mengetaui hal-hal yang gaib, merawat segala macam benda dengan selamat, dan cita-cita bisa terkabul. 2. Sebuah baju kamemayan, jika baju dipakai, yang memakai tidak kelihatan oleh orang lain dan dapat menggagalkan maksud jahat dari orang lain. 3. Baju pengabaran, jika dapakai dapat menimbulkan keberanian menghadapi musuh 4. Baju pengasihan, jika dipakai akan disukai oleh orang lain.14 Setelah memberi baju pusaka ini Danuwarsi menyarankan Walangsungsang dan istrinya beserta Rara Santang untuk berangkat menemui Sang Hyang Nago di gunung Ciangkui. Dari Sang Hyang Nago, Walangsungsang dan Rara Santang diberi ilmu: 1. Kadewan, ilmu ini untuk memperkuat keagamaan dan tidak dapat melupakannya 2. Kapilisan, ilmu ini bisa membuat seseorang disegani dan dikasihani seluruh makhluk 3. Kateguhan, ilmu untuk keteguhan, kekebalan, kekuatan 4. Pengikutan, ilmu untuk mempengaruhi segala makhluk 5. Golok Cabang, untuk menghancurkan segala macam benda.15
Setelah memberi berbagai ilmu dan benda pusaka ini, Sang Hyang Nago menyuruh Walangsungsang, istrinya, dan Rara Santang berangkat ke Gunung Numbang untuk menemui Sang Hyang Naga. Ketiganya bertemu Sang Hyang Naga, mereka diberi ilmu: Ilmu Kesakten (kesaktian), Ilmu Aji Trimurti, Ilmu berbuat baik, Ilmu Limunan yang dapat bersembunyi di dalam terang, Ilmu Aji Dwip, untuk mengetahui semua pembicaraan orang. Beberapa benda pusaka: Baju waring, untuk bisa terbang, topong waring, untuk bisa menghilang, umbul-umbul waring, untuk memperoleh harta halal, batok bolu, untuk ikat pinggang 16 14 Sejarah Cirebon jilid I (karangan Haji Mahmud Rais), dinukil oleh Wildan, 2003: 62. 15 Sejarah Cirebon jilid I (karangan Haji Mahmud Rais), dinukil oleh Wildan, 2003: 62. 16 Sejarah Cirebon jilid I (karangan Haji Mahmud Rais), dinukil oleh Wildan, 2003: 63.
Holistik Vol 13 Nomor 02, Desember 2012/1434 H
-109-
PERAN NYI MAS RARA SANTANG DI BALIK KESUKSESAN SUNAN GUNUNG JATI
-110-
Pada buku Sejarah Cirebon ini Sang Hyang Nago menyuruh Walangsungsang beserta istri dan adiknya untuk menemui Sang Hyang Naga di Gunung Numbang, tetapi di dalam buku Carub Kanda diterangkan ketiganya disuruh menemui seorang pertapa tua bernama Nagagini di Gunung Kumbing. Sang Hyang Naga atau Nagagini ini memberi nama Walangsungsang ’Krakadullah’. Selanjutnya, Sang Hyang Naga (nama yang tertera dalam buku Sejarah Cirebon) menyarankan Walangsungsang, istrinya, dan Rara Santang untuk menemui Ratu Bangau di gunung Cangak. Gunung Cangak ini sekarang berlokasi sekitar daerah Mundu, lima kilometer sebelah Timur Kota Cirebon. Walangsungsang dan adiknya diberi tiga azimat: 1. Panjang, berupa sebuah piring besar, jika ditengkurepkan akan keluar nasi kebuli dan lauk pauknya 2. Pendil, sebuah tungku untuk menanak nasi, jika diisi nasi di dalamnya tidak akan pernah habis 3. Bareng, sebuah gong berukuran kecil, jika dipukul akan keluar sepuluh ribu prajurit.17 Di dalam buku Carub Kanda yang dinukil Dadan Wildan, 18 Walangsungsang diberi nama Raden Kuncung oleh Sang Hyang Bangau. Setelah diberi ilmu oleh Sang Hyang Bangau, Walangsungsang, istrinya, dan Rara Santang disarankan untuk menemui Syekh Nurjati di Gunung Jati. Setelah bertemu Syekh Nurjati, Walangsungsang, istrinya, dan Rara Santang di dituntun untuk membaca syahadad, dan diberi pemahaman tentang arti dan maksudnya secara mendalam.19 Pelajaran yang diterima dari syekh nurjati dapat dirinci sebagai berikut: Firman Allah: Ya ayyuhalladzina aamanu udkhulu fissilmi kaffah (Wahai orang yang beriman, masuklah ke dalam agama Islam secara kafah). Syekh Nurjati mejelaskan kandungan ajaran Islam yang pokok, yakni mengenai Shalat 5 waktu, Zakat, Puasa, ibadah haji, Umrah, Perang sabil, Ajakan ke arah kebaikan, Menolak kemungkaran, ilmu ushuluddin (pokok-pokok agama, Ilmu-ilmu keduniaan dan keakhiratan (syari’at, hakikat, ma’rifat).20 Syekh Nurjati juga menjelaskan pada Rara Santang dan Walangsungsang mengenai makna dan hikmah perjalanan dalam 17 Sejarah Cirebon jilid I (karangan Haji Mahmud Rais), dinukil oleh Wildan, 2003: 63. 18 Wlidan, 2003: 78. 19 Sejarah Cirebon jilid II (karangan Haji Mahmud Rais), dinukil oleh Wildan, 2003: 63. 20 Sejarah Cirebon jilid II (karangan Haji Mahmud Rais), dinukil oleh Wildan, 2003: 63.
Holistik Vol 13 Nomor 02, Desember 2012/1434 H
Siti Fatimah
mencari agama Islam. Pertemuan dengan Sang Hyang Danuwarsi serta pemberian cicin ampal dan beberapa baju mengandung arti dan hikmah bahwa, keduanya akan bertemu dengan para alim ulama dan para ambiya’. Kata ampal dari ‘cincin ampal’ berasal dari kata fa’ti bimaa anfaan nassar (suruhan untuk berusaha kearah apa yang membawa manfaat bagi manusia). Azimat ilmu kadewan dari Sang Hyang Nago memiliki makna, kadewan diambil dari kata dewaa uddiini (obatnya agama). Artinya, seseorang yang mengaku beragama memiliki kewajiban untuk menuntut ilmu agar memiliki ilmu. Selanjutnya, ilmu kapilisan dari Sang Hyang Nago memiliki arti, kapilisan dari kata falaesa lil insaani nis-yaanudz dzikri, suatu anjuran agar manusia senantiasa mengingat Allah SWT. Ilmu kateguhan berasal dari kata falaysalil goniyi bahilurr, artinya tidak pantas bagi orang yang kaya berlaku kikir. Golok cabang diambil dari kata khulikho lisab’ati asyyaa-a, artinya jika seseorang ingin mendapatkan apa yang dicita-citakan harus menerima ketetapan 7 anggota badan. Ilmu limunan yang bisa bersembunyi di dalam terang, artinya jangan memiliki sifat ingin benar sendiri. Ilmu at titi murti, dari kata fa’ati bimaa umirta, artinya lakukanlah segala perintah kebaikan. Sementara itu, azimat topong waring (jika dipakai tidak bisa dilihat orang lain), artinya, jika rahasia keburukan tidak ingin diketahui orang lain, maka harus mengucap ud’u lillahi ’ala jami’annasi bittaqwa, artinya ajaklah semua orang untuk berbuat takwa kepada Allah. Pusaka baju waring, jika digunakan bisa terbang bertuliskan qolbul khosi’imabruurun, artimya hati seseorang yang khusu, serius, konsentrasi bisa diterima oleh Allah. Pada umbul-umbul waringterdapat tulisan ”hai manusia, carilah harta benda dengan cara yang sebaik-baiknya, jangan asal memperoleh saja”. Panjang dari Ratu Bangau bermakna, bahwa dalam bersyiar Islam kelak, akan dibantu oleh para wali. Pendil merupakan petunjuk ke arah jalan menuju agama yang lurus. Bareng, bermakna segala perbuatan harus berdasar pada tiga perkara, yakni syari’at, tarikat, hakikat.21 Setelah berguru ke Syekh Nurjati selama tiga tahun dan dianggap cukup, Walangsungsungsang dan Rara Santang pergi naik haji ke Mekah. Ketika di Mekah, Ki Cakrabuana dan Nyi Rara Santang berguru agama Islam ke Syekh Abulyazid. 22 21 Sejarah Cirebon jilid II (karangan Haji Mahmud Rais), dinukil oleh Wildan, 2003: 64-65. 22 ATJA, 1986: 32-33.
Holistik Vol 13 Nomor 02, Desember 2012/1434 H
-111-
PERAN NYI MAS RARA SANTANG DI BALIK KESUKSESAN SUNAN GUNUNG JATI
-112-
2. Rara Santang Membuka Padukuhan Kebon Pasisir Bersama Walangsungsang Walangsungsang dan istrinya, serta Rara Santang, dianggap sudah mumpuni dalam pelajaran dasar agama Islam dan disarankan mendirikan padukuhan baru di Kebon Pesisir, Lemah Wungkuk (tegal alang-alang). Pada saat membuka padukuhan ini Raden Walangsungsang diberi gelar oleh gurunya Ki Samadullah. Di sinilah Ki Samadullah beserta isteri dan adiknya Nyi Rara Santang, mendirikan Tajug (di Jalagrahan sekarang) dan membuat Gubug.23 Pedukuhan Kebon Pesisir terletak di arah selatan Gunung Jati. Di tempat ini, mereka bertemu dengan seorang lelaki tua bernama Ki Pangalangalang. Ketika tiba di tempat ini Ki Samadullah mengucap lamma waqo’itu (ketika saya telah tiba), dan ucapan ini mengabadi menjadi nama Lemah Wungkuk. Ki Pangalangalang menyambut mereka dan menganggapnya sebagai anak. Aktifitas yang dilakukan Rara Santang dan Ki Samadullah dalam kehidupan sehari-hari ketika membuka padukuhan baru adalah, di siang hari Ki Samadullah membabad hutan, di malam hari mencari ikan di tepi laut. Sementara, istri dan adiknya (Rara Santang) bekerja menumbuk rebon (udang kecil) dibuat terasi. Perkampungan yang dibuat Ki Samadullah beserta istri dan adiknya makin lama makin besar dan dinamai ‘Gerage’ . Padukuhan tersebut dipimpin oleh Ki Gedeng alang-alang. Ki Samadullah dipilih mejadi pemimpin padukuhan (kuwu) yang II .24 Pada buku lain (26) diceritakan bahwa, pada saat Rara Santang bersama kakak dan istrinya mendirikan padukuhan di Kebon Pesisir, mereka tinggal bersama Ki Danu Sela dan istrinya. Dukuh baru di Cirebon ini didirikan pada tahun 1445 M. Mereka membuat rumah pertama dan disebut “Witana’’ . Setelah sukses mendirikan padukuhan baru, Nyi Mas Rara Santang dan Pangeran Walasungsang Cakrabuana dianjurkan pergi haji oleh Syekh Datul Kahfi (Syekh Nurjati). Akan tetapi tanpa disertai Nyi Endang Ayu karena sedang mengandung. Di dalam buku Carub Kanda yang dinukil Dadan Wildan, 25 Cakrabuana membuka hutan dengan menggunakan golok cabang, sehingga sangat cepat selesai. Para penghuni Kebon pesisir ini 23 ATJA, 1986: 33. 24 Sejarah Cirebon bagian III, karangan H. Mahmud Rais, dinukil oleh Dadan Wildan, 2003: 66. 25 2003: 78.
Holistik Vol 13 Nomor 02, Desember 2012/1434 H
Siti Fatimah
memberi nama Cakrabumi/Cakrabuana dengan sebutan Kuwu Sangkan Kebon. Daerah Kebon Pesisir makin lama makin ramai dan diberi nama Caruban. Ki Gedeng Alang-alang sebagai salah satu pendatang di padukuhan Kebon Pesisir akhirnya menjadi mertua Ki Samadullah. Oleh Masyarakat, Ki Gedeng Alang-alang dipilih menjadi Kuwu, dan Ki Samadullah menjadi Pangraksabumi dengan gelar Ki Cakrabuana .26
3. Masa Menikah Menjalankan pesan gurunya, Syekh Nurjati, Walangsungsang dan Rara Santang pergi haji dengan menumpang perahu. Syekh Nurjati menyarankan agar keduanya menemui Syekh Ibrahim di Campa terlebih dahulu. Di Campa, keduanya mendapat wejangan dari Syekh Ibrahim dan diutus menyampaikan dua pucuk surat untuk Syekh Bayan dan Syekh Abdullah. Rara Santang dan Walangsungsang sampai di Mekah malam Jum’at, 25 Rajab. Keduanya mendatangi Syekh Bayan dan Syekh Abdullah untuk menyampaikan surat dari Syekh Ibrahim Di dalam buku Sejarah Cirebon karangan Haji Mahmud Rais diterangkan bahwa orang yang melamar Rara Santang bukan bernama Sultan Abdullah, tetapi Sultan Iskak dan dilamar di rumah Syekh Bayan. Dengan perundingan yang disepakati kedua belah pihak, Rara Santang dan Abdullah Iskak, maka lamaran diterima. Pernikahan dilangsungkan di kerajaan Bani Israil, disaksikan oleh Syekh Bayan, Abdullah Iman (sang kakak), ulama-ulama, dan para pembesar kerajaan. 27 Dalam buku Babad Cerbon terbitan Brandes yang di nukil Dadan Wildan 28 diterangkan bahwa Qodi Jamaluddin yang diutus Raja Bani Israel untuk mencarikan istri, melihat perempuan yang mirip dengan istri Raja Bani Israel yang telah meninggal. Perempuan tersebut berasal dari Padjadjaran yang pergi haji bersama saudara lakilakinya, dan tinggal di Baitul Muqodas. Sang Raja segera mengutus Qodi untuk mengundangnya ke Istana untuk diberi berbagai hadiah. Dengan rasa yang tidak menentu perempuan yang bernama Rara Santang dan Walangsungsang tersebut mengabulkan undangan Raja. Pada pertemuan itu, Raja meminang Rara Sntang untuk menjadi istrinya. Singkat cerita, buku ini juga menerangkan bahwa akhirnya Rara Santang menerima pinangan Sang Raja Bani Israel tersebut. 26 ATJA, 1986: 32-33. 27 Sejarah Cirebon bagian III, karangan H. Mahmud Rais, dinukil oleh Dadan Wildan, 2003: 67. 28 Brandes, dalam Dada Wildan, 2003: 95.
Holistik Vol 13 Nomor 02, Desember 2012/1434 H
-113-
PERAN NYI MAS RARA SANTANG DI BALIK KESUKSESAN SUNAN GUNUNG JATI
-114-
Perbedaannya dengan keterangan buku CPCN dan buku Sejarah Cirebon, Rara Santang diundang Sang Raja ke istana untuk menerima hadiah, dan ternyata bukan untuk menerima hadiah, tetapi untuk dipinang. Perbedaan lain, dalam buku Babad Cerbon terbitan Brndes ini diterangkan secara detail bahwa di pesta pernikahan Rara Santang dan Walangsungsang dihadiri oleh para imam seperti Imam Syafi’i, Hambali. Maliki, dan Imam Hanifah.29 Nyi Rara Santang mau dilamar oleh raja tersebut dan bersedia menikah dengan syarat, apabila kelak melahirkan putra lelaki, maka harus pulang ke tanah leluhur untuk berdakwah Islamiah dan menjadi wali di Pulau Jawa, dan permintaan tersebut dikabulkan oleh Raja Bani Israil. Di negeri Bani Israil30 dua tahun kemudian, Syarifah Mudaim melahirkan seorang putra lagi, diberi nama Syarif Nurullah. Tidak lama setelah kelahiran putra keduanya, suaminya meninggal dunia. Rara Santang membesarkan ke tiga anaknya tanpa suaminya hingga anak-anaknya dewasa. Setelah Syarif Hidayat berusia 20 tahun, ia ingin menjadi guru agama Islam dan berangkat ke Mekah. Di Mekah, Syarif Hidayat belajar kepada Syekh Tajuddin Al Kubri selama 2 tahun, kepada Syekh Ata’ullahi Sadzili pengikut Imam Syafi’i 2 tahun, kemudian pergi ke Bagdad belajar tasawuf. Setelah selesai menuntut ilmu di Bagdad, Syarif Hidayat kembali ke Mesir. Syarif Hidayat tidak ingin menjadi raja, oleh karenanya, kedudukan sebagai raja diserahkan pada adiknya Syarif Nurullah. Nyi Mas Rara Santang dan Raja Syarif Abdullah berputra Syekh Syarif Hidayatullah, Syekh Nurullah,.Syekh Syarif Hidayatullah kelak menjadi anggota Wali Sanga di Pulau Jawa dan terkenal dengan sebutan Sunan Gunung Jati, sekaligus menjadi khalifah di Caruban Nagari. Sementara Syekh Narullah menjadi Raja di Mesir, menggantikan ayahnya Raja Syarif Abdullah. Berjalan seiring waktu, setelah Syarif Hidayat dewasa, ia berpamitan pada ibundanya, Rara Santang, untuk pergi mencari Nabi Muhammad. Kepergian tersebut telah memakan waktu sepuluh tahun sehingga Rara Santang dirundung kerinduan pada putranya. Rara Santang selalu berdoa agar anaknya selamat dilindungi Tuhan. Dalam mimpinya, Rara Santang mendengar suara: 29 Babad.Cerbon terbitan Brandes (1911), dinukil Wildan. 2003: 95. 30 Wildan, 2003: 68.
Holistik Vol 13 Nomor 02, Desember 2012/1434 H
Siti Fatimah
“Anakmu yang muda itu akan menjadi Raja, keratonnya di Bani Israel, bergelar Abdul Syapingi. Jika engkau benar-benar merindukan anakmu Syarif Hidayat, sebaiknya kembalilah engkau ke Pulau Jawa.”31
Rara Santang kembali ke Pulau Jawa dan bertemu dengan Syekh Nurjati yang memberinya nama Babu Dampul. Pada saat berikutnya diceritakan dalam Carub Kanda bahwa Syarif Hidayat pergi ke Gunung Jati menemui ibundanya. Pada saat menemui tersebut ibundanya telah menjadi seorang pertapa perempuan yang bernama Babu Dampul.32 Nyi Mas Rara Santang/ Sarifah Mudaim/ Babu Dampul menghabiskan masa hayatnya, menjadi perempuan utama, dan setelah meninggal dikebumikan di pemakaman Gunung Sembung, di dalam gedung paling atas. Posisi makam perempuan utama ’Sarifah Mudaim’ tersebut terletak pada urutan keempat, dari arah sebelah Barat ke Timur. Urutan pertama Nyai Gedeng Tepasan, kedua, Susuhunan Jati, ketiga, Ratu Bagus Pase/Padhillah, keempat, Saripah Mudaim, kelima, Nyai Gedeng Sembung/Nyai Ageng Sampang/Nyai Gede Kancingan/ istri Susuhunan Jati yang tidak berputra. 33
4. Peran Rara Santang Bagi Sunan Gunung Jati Rara Santang sangat besar perannya dalam mendidik, mengarahkan, dan mendukung putra-putranya untuk mempelajari dan mensyiarkan agama Islam. Peran tersebut bahkan sudah dilakukan sejak sebelum menerima pinangan Sultan Abdullah dari Mesir. Rara Santang berkenan menerima pinangan Sultan Abdullah dengan syarat, jika putranya sudah dewasa kelak, hendaknya diijinkan untuk pulang ke tanah Jawa untuk mensyiarkan ajaran Islam di Jawa. Apa yang diminta Rara Santang dikabulkan oleh Sultan dan pinangan tersebut diterima. Rara Santang sangat teliti dan tekun mengajarkan nilai-nilai Islam kepada putra-putranya. Banyak mutiara nasihat yang berharga bagi anak cucunya kelak (34). Di antara jasa-jasanya dalam mengembangkan ajaran Islam adalah dengan mendidik anak-anaknya agar menjalankan dan mensyiarkan ajaran Islam. Nasihat-nasihatnya antara lain:
“Engkau kuizinkan pergi anakku, akan tetapi berhati-hatilah. Aku bekali engkau uang seribu dinar dan tasbih peninggalan
31 Carub Kanda, dinukil dalam Wildan, 2003: 81. 32 Carub Kanda, dinukil dalam Wildan, 2003: 81. 33 Atja, 1986: 105.
Holistik Vol 13 Nomor 02, Desember 2012/1434 H
-115-
PERAN NYI MAS RARA SANTANG DI BALIK KESUKSESAN SUNAN GUNUNG JATI
-116-
ayahmu, lumayan untuk penolak bala. Juga bawalah serta para pengawal’’.34 Sang anak pun menjawab:
“Baiklah ibu, akan tetapi mengenai pengawal seorang pun tidak akan kubawa, akan tetapi pemberian uang seribu dinar itu akan kubawa, barangkali menemui halangan atau kekurangan. Ibu, ananda mohon nasihat untuk menghadapi hidup yang akan kujalani ini.”35. Sang ibu berkata dengan lembut:
“He anak isun gusti, sira aja malas kacung ya ingkang ngebattebat. Kacung aluku kang bedami, lawan aja turu yen ora arip, lawan sira aja mangan yen ora katekan ngelih, lawan aja nginum sira yen ora katekan garing.Iku kang telu perkawis, ya lakunana kacung lawan aja sumakeyan ingkang iku ora becik. Ingkang becik ana diri ing manusa. Datan bathi wong takabur, yaitu temahe dhoip. Balik pasraha ing Allah, tur kuat temahe dadi. Sira nyawa kang sun puji, anemua giri sarku tasik legi.’’ 36
(Anakku terkasih, dalam hidup ini janganlah kamu berlebihan. Anakku, utamakanlah berdamai. Janganlah tidur kalau tidak mengantuk, dan janganlah makan kalau tidak lapar, dan janganlah minum kalau tidak haus, itulah tiga perkara yang harus kau ingat. Janganlah angkuh, karena hal itu tidak baik, dan berbuatlah selalu kebaikan kepada sesama manusia. Tak ada untungnya engkau takabur, karena itu mengakibatkan kelemahan. Serahkanlah kepada Allah sehingga kesudahannya engkau akan menjadi kuat. Engkau kekasih yang ku puja, carilah gunung kebahagiaan dan danau kenikmatan’’.
Selesai menerima nasihat Sarif Hidayat lalu bersimpuh di pangkuan ibundanya.37 Setelah mejalani usia senja, Nyi Mas Rara Santang dijemput kembali ke Caruban Nagari hingga wafatnya. Beliau dimakamkan di Jinem Gunung Sembung. 38 34 Syekh Syarif Hidayatullah., 2005: 8-9 35 Syekh Syarif Hidayatullah., 2005: 21. 36 Syekh Syarif Hidayatullah., 2005: 21. 37 Syekh Syarif Hidayatullah., 2005: 21. 38 Syekh Syarif Hidayatullah., 2005: 21 dan Syekh Syarif Hidayatullah., 2005: 8-9.
Holistik Vol 13 Nomor 02, Desember 2012/1434 H
Siti Fatimah
D. PENUTUP Nyi Mas Rara Santang adalah sosok putri raja Pakuan Padjadjaran –Prabu Siliwangi dan Nyi Subang Keranjang- yang sejak kecil gigih mendalami agama Islam. Sejak remaja, bersama kakaknya Walangsungsang, Nyi Mas Rara Santang telah belajar agama Islam ke Syekh Qura di Kerawang. Hal yang sulit dilakukan mengingat ayahandanya adalah seorang raja yang beragama Budha. Berkat ibundanya yang sangat kuat beragama Islam, dan senantiasa mendidik ajaran Islam, maka Nyi Mas Rara Santang pun sangat gigih mencari agama Islam. Ketika keluar dari keraton untuk menyusul kakaknya, Rara Santang berjuang dan banyak mengalami kesulitan di perjalanan. Keluar dan masuk hutan ia alami. Dalam perjalanan menyusul kakaknya tersebut, banyak bertemu dengan guru yang memberinya ilmu, yaitu Nyi Endang Saketi, Sang Hyang Danuwarsi di mana kakaknya telah lebih dulu berada dan menjadi menantu Ki Danu Warsi. Setelah itu melanjutkan mencari agama Islam bersama kakak dan isterinya menuju Amparan Jati untuk berguru ke Syekh Nurjati. Akan tetapi, di perjalanan bertemu dengan Sang Hyang Naga, Sang Hyang Nago, dan Ratu Bangau di sekitar daerah Mundu sekarang. Dari semua tokoh-tokoh penting ini Rara Santang dan kakanya mendapatkan ilmu dari mereka. Setelah melakukan perjalanan panjang tersebut, maka akhirnya sampailah di Amparan Jati menemui Syekh Nurjati dan berguru agama Islam ke padanya. Syekh Nurjati segera menuntun Rara Santang dan Walangsungsang untuk mengucapkan kalimah syahadah, seklipun keduanya telah memeluk Islam sejak kecil. Rincian ajaran yang diberikan Syekh Nurjati adalah; mengenai shalat 5 waktu, Zakat, Puasa, ibadah haji, Umrah, Perang sabil, Ajakan ke arah kebaikan, Menolak kemungkaran, ilmu ushuluddin (pokok-pokok agama, Ilmuilmu keduniaan dan keakhiratan (syari’at, hakikat, ma’rifat). Setelah dirasa cukup dalam mendalami ajaran Islam, Syekh Nurjati menyarankan pada Rara Santang dan Walangsungsang untuk menjalankan ibadah haji ke Mekah. Pada saat menjalankan ibadah haji ini Rara Santang menemukan jodohnya, Raja Bani Israil, dan menikah di negeri Mesir. Dari Pernikahan ini melahirkan dua orang Pputra, yakni Syarif Hidayat (Sunan Gunung Jati) dan sultan Nurullah. Sultan Nurullah melanjutkan memerintah kerajaan ayahandanya Holistik Vol 13 Nomor 02, Desember 2012/1434 H
-117-
PERAN NYI MAS RARA SANTANG DI BALIK KESUKSESAN SUNAN GUNUNG JATI
-118-
Rara Santang berperan penting dalam mensukseskan putranya sehingga menjadi seorang waliyullah yang sangat termasyhur namanya. Sejak menerima pinangan dari Raja Mesir, Sultan Abdullah, Rara Santang telah menyampaikan cita-citanya pada calon suaminya agar anaknya kelak diperbolehkan menjadi seorang ulama di tanah Jawa. Cita-cita itupun diwujudkan oleh Rara Santang dengan mendidik anaknya, memberi restu menuntut ilmu dengan menemui Nabi Muhammad melalui khalwatnya di Mekah hingga puluhan tahun tidak bertemu dengan anknya. Rara Santang juga memberi restu pada Syarif Hidayat ketika akan pergi ke tanah Jawa, hingga Rara Santang menyusulnya.*** DAFTAR PUSTAKA
Arif, M., 2010, Pengantar Sejarah, Depok Jakarta: Para Cita Press Rokhmin Dahuri dkk., 2004, Budaya Bahari: Sebuah Apresiasi di Cirebon, Jakarta: Perum Percetakan Negara RI Atja,1986, Carita Purwaka Caruban Nagari, Jawa Barat: Prroyek Pembanguanan Permuseuman Jawa Barat Dadan Wildan, 2003, Sunan Gunung Jati Antara Fiksi dan Fakta: Pembumian Islam Dengan Pendekatan Struktural dan Kultural, Bandung: Humaniora Utama Press Ekadjati dkk., 1991, Pustaka Nagarakretabhumi, Parwa I Sargah 3, Jakarta: Yayasan Pembangunan Jawa Barat Tim Penggarapan Naskah Pangeran Wangsakerta Sulendraningrat, P.S., 1984, Babat Tanah Sunda Babad Tanah Cirbon, Cirebon: tanpa penerbit, hal.11 Ahmad Hamam Rochani Lucey, W.L., 1984, History: Methods and Interpretation, New York & London: Gerland Publishing Besta Basuki Kertawibawa, 2007, Dinasti Raja Petapa I: Pangeran Cakrabuana Sang Perintis Kerajaan Cirebon, Bandung: PT. Kiblat Buku Utama Ahmad Hamam Rochani, 2008, Babad Cirebon, Cirebon: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Cirebon Nina H. Lubis dkk., 2000, Sejarah Kota-kot a Lama di Jawa Barat, Bandung: Alqaprint Jatinangor Sulendraningrat, P.S., 1984, Babat Tanah Sunda Babad Tanah Cirbon, Cirebon: tanpa penerbit Dadan Wildan, 2003, Sunan Gunung Jati Antara Fiksi dan Fakta: Holistik Vol 13 Nomor 02, Desember 2012/1434 H
Siti Fatimah
Pembumian Islam Dengan Pendekatan Struktural Dan Kultural, Bandung: Humaniora Utama Press Mahmud Rais & Sayidil Anam, 1986, Perjuangan Wali Sanga: Babat Cirebon (Pasundan), Cirebon: Tanpa Penerbit
Holistik Vol 13 Nomor 02, Desember 2012/1434 H
-119-
PERAN NYI MAS RARA SANTANG DI BALIK KESUKSESAN SUNAN GUNUNG JATI
-120-
Holistik Vol 13 Nomor 02, Desember 2012/1434 H
PENGGUNAAN DINAR-DIRHAM DAN FULUS : Upaya Menggali Tradisi Yang Hilang (Studi Kasus Di Wilayah Cirebon) vv Zaenal Masduqi
Abstrak Krisis ekonomi 1997 yang menghantam Indonesia tentu saja masih segar diingatan sebagian besar orang. Salah satu penyebab dari krisis ekonomi itu adalah dikarenakan adanya ketergantungan nilai rupiah terhadap nilai tukar terhadap dolar. Ketergantungan nilai ini terutama dikarenakan sistem mata uang (baca rupiah) sekarang tidak menggantungkan pada nilai intrinsik pada dirinya sendiri. Atas dasar itu, penelitian ini berusaha menelusuri perkembangan salah satu sistem mata uang yang pernah dipakai di Nusantara ini. Penelitian ini menemukan bahwa dinar-dirham dan fulus telah dipakai di beberapa wilayah di Indonesia berdasarkan bukti-bukti sejarah yang dieksplorasi dalam temuan dan bahasannya dalam tulisan ini. Di Cirebon, sebagai kawasan perdagangan sutra saat itu, ternyata juga telah menggunakan mata uang dinar-dirham dan fulus itu. Selanjutnya, penelitian ini mengemukakan analisisnya tentang keunggulan mata uang dinar-dirham dan fulus itu dibandingkan dengan mata uang yang lazim dipakai. Salah satu keunggulannya adalah dinar-dirham dan fulus itu mata uang yang nilainya tidak ditentukan oleh pihak ketiga atau sesuatu yang ada di luar dirinya sehingga dinar-dirham dianggap sebagai solusi unhtuk mengantisipasi terjadinya krisis ekonomi di masa yang akan datang. Kata Kunci: Dinar, Dirham, Fulus, Krisis Ekonomi A. PENDAHULUAN
Tahun 1997-98 yang lalu merupakan tahun malapetaka dalam bidang ekonomi dan keuangan yang hampir melanda semua negara di kawasan Asia termasuk Indonesia. Akibat malapetaka tersebut, nilai kekayaan masyarakat luas secara otomatis jauh berkurang, baik karena nilai rupiah yang anjlok maupun karena daya beli masyarakat yang sangat rendah seiring semakin meroketnya harga barang-barang dan kebutuhan pokok masyarakat yang sering kali dilandasi oleh mata Holistik Vol 13 Nomor 02, Desember 2012/1434 H
-121-
PENGGUNAAN DINAR-DIRHAM DAN FULUS : UPAYA MENGGALI TRADISI YANG HILANG
-122-
uang negara tertentu (baca Dolar) sebagai patokannya. Fenomena itu mulai awal Juli 1997, tatkala 1 dolar AS masih senilai Rp. 2.445. Karena faktor ekonomi—seperti defisit neraca transaksi berjalan—dan faktor non ekonomi—seperti isu seputar kesehatan Presiden Soeharto—pada awal Januari 1998 telah me� nyebabkan nilai rupiah anjlok menjadi Rp. 11.000 per 1 dolar AS. Dalam kasus seperti ini, nilai rupiah sangat tidak stabil dikarenakan ia terikat dengan dolar AS.1 Dalam dunia perbankan, suku bunga bank untuk tabungan dan deposito mengalami kenaikan yang drastis yang ternyata juga disertai dengan tingkat inflasi yang tinggi pula. Investasi dalam bentuk apapun dalam kondisi yang rentan dan labil (baca krisis) amat riskan, tidak laku jual dan beresiko tinggi. Diduga permasalahan mendasar dari malapetaka keuangan di Asia adalah krisis kualitas lembaga-lembaga keuangan yang dipengaruhi oleh penerapan suku bunga yang ternyata gagal berfungsi sebagai alat indirect screening mechanism.2 Berdasarkan dua permasalahan mendasar di atas, orang mulai mencari-cari mata uang yang tidak akan terpengaruh oleh depresiasi dikarenakan memiliki nilai intrinsik yang terkandung dalam dirinya sendiri. Dalam hal ini, Dinar dan Dirham dianggap memenuhi cri�teria karena ia terbuat dari emas dan perak. Dengan menggunakan Dinar-Dirham sebagai mata uang, nilai nominal dan intrisiknya akan menyatu padu. Dengan penjelasan lain nilai tukarnya tidak ditentukan oleh pihak ketiga (baca UU atau Bank Central atau mata uang lain) melainkan oleh kadar dan berat emas atau perak itu sendiri. Karena Dinar dan Dirham relatif bebas dari depresiasi dan inflasi maka wajar kemudian dwi logam itu menjadi lindung nilai (investasi) strategis. Sebagai contoh, harga emas internasional pada Juli 1997 adalah US $ 290/Troy oz atau US $ 9, 32/gram. Apabila kondisi mata uang di suatu negara misalnya rupiah yang merosot dari 3 ribu menjadi 12 ribu untuk 1 dolar AS, maka harga emas di Indonesia akan berubah dari 27 ribu/gram menjadi 111.840/gram, atau naik sekitar
1 Sigit Purnawan Jati, Seputar Dinar dan Dirham, dalam “Dinar-Dirham Solusi Krisis Moneter” (Jakarta :PIRAC, 2001), hlm. 119 2 Berbagai pakar ekonomi dunia seperti Kahf, Siddiqui, Chapra tidak menyetujui perekonomian yang bertumpu pada suku bunga karena akan terjadi mis-alokasi sumber kekayaan yang pada gilirannya cenderung akan mengakibatkan ketidaksetabilan ekonomi. Dengan terjadinya mis-alokasi dana yang disebabkan oleh suku bunga berpengaruh terhadap pencapaian tujuan-tujuan ekonomi suatu negara, yaitu pemenuhan kebutuhan pokok, pertumbuhan ekonomi yang optimum, pemerataan distribusi pendapatan dan stabilitas ekonomi. Lihat Mulya E Siregar, Manajemen Moneter Alternatif dalam Muhammad Ismail Yusanto dkk “Dinar Emas Solusi Krisis Moneter” (Jakarta : PIRAC, 2001), hlm.76
Holistik Vol 13 Nomor 02, Desember 2012/1434 H
Zaenal Masduqi
400 persen. Jadi nilai emas akan tetap, mengikuti berapapun dolar AS menghargai 1 gram emas.3 Selain sebagai alat lindung nilai, Dinar dan Dirham kembali ditengok sebagai alternatif mata uang tangguh untuk mencegah merosotnya nilai mata uang. Nilai mata uang yang berlaku saat ini, pasti terikat dengan mata uang lain (misalnya rupiah terhadap dolar AS). Nilai mata uang itu tidak bersandar pada kepada nilai intrinsik yang dikandungnya sendiri. Akibatnya, nilainya tidak pernah stabil. Bila nilai mata uang bergejolak, pasti akan mempengaruhi kestabilan mata uang tersebut. Dalam perjalanan sejarahnya yang panjang, Umat Islam dari zaman Nabi hingga kejatuhan kekhilafahan Turki Usmani telah begitu familiar menggunakan Dinar, Dirham dan Fulus dalam setiap proses transaksi dagang maupun dalam menjalankan pesan-pesan agama seperti zakat, infaq, mahar pernikahan dan lain sebagainya (baca Mua’malat). Namun, karena terputusnya sejarah maka umat Islam dibikin buta akan perjalanan sejarahnya sendiri ditambah lagi dengan hegemoni sistem moneter kapitalis atas mereka sehingga muncul prasangka bahwa penggunaan Dinar, Dirham dan Fulus tak lebih dari perbuatan ilusi dan utopis. Sebagai usaha untuk menjawab permasalahan itu, penelitian ini akan berusaha untuk mengelaborasi dan menjawabnya, terutama dengan merujuk pada sejarah dinardirham dan fulus yang pernah digunakan di Nusantara, salah satunya, di Cirebon. B. METODOLOGI
Dalam menjelaskan peristiwa historis tentang prilaku sosial dan ekonomi masyarakat di masa lalu dan kini diperlukan pendekatan ilmu-ilmu sosial dan ilmu-ilmu bantu sejarah. Peristiwa sejarah merupakan jejaring yang saling kait-mengkait antara satu faktor dengan faktor lainnya dan juga berfungsi agar eksplanasi sejarah bisa dilakukan secara mendalam, utuh dan tidak kering.4 Penelitian ini lebih menitikberatkan pada persoalan penggunaan mata uang Dinar dan dirham pada masyarakat Cirebon , sehingga digunakan pendekatan sosial dan ekonomi (numismatik). Pendekatan sosial digunakan untuk melihat kehidupan sosial 3 Sigit Purnawan Jati, Op. Cit, hlm 118 4 Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah (Jakarta : Gramedia, 1993), hlm. 120-121
Holistik Vol 13 Nomor 02, Desember 2012/1434 H
-123-
PENGGUNAAN DINAR-DIRHAM DAN FULUS : UPAYA MENGGALI TRADISI YANG HILANG
-124-
yang mengitari masyarakat Cirebon pada masa lalu dan kini dalam menghadapi perubahan gaya hidup yang berlangsung secara gradual. Pendekatan ekonomi dan ilmu numismatik mempunyai fungsi untuk menerangkan pola-pola pemenuhan kebutuhan ekonomi serta alat tukar yang digunakan dalam proses transaksi. Selain pendekatan ilmu sosial dan ilmu bantu sejarah, penelitian sejarah juga membutuhkan sebuah kerangka teori sebagai pisau analisis untuk membedah peristiwa yang dikaji. Menurut ilmu numismatik, Dinar, Dirham dan fulus adalah bagian dari jenis mata uang logam yang diberi bentuk dan berat tertentu, yang memuat tanda-tanda yang dicapkan di atasnya oleh pejabat pemerintah sehingga menjadi jaminan sah mengenai nilai dan beratnya. Mata uang logam terbuat dari emas, perak dan tembaga. Bagi sejarah Indonesia, khususnya Cirebon, mata uang lama merupakan sumber penting karena menunjukkan adanya kegiatan ekonomi, hubungan-hubungan dagang antara kepulauan Indonesia dan luar Indonesia, hubungan politik dan kebudayaan. Mata uang tertua berupa dinar emas ditemukan dalam eskavasi di bekas Kraton Boko Yogyakarta. Pada mata uang itu digambarkan Raja Candera Gupta II, seekor kepala burung garuda dan Dewi Laksmi. Candra Gupta II adalah Raja India yang berkuasa di Gujarat antara tahun 380-415.5 Dalam konteks sejarah Cirebon, tertulis dalam sebuah naskah Babad Cirebon bahwa Pangeran Cakrabuana ketika pamitan pulang dari rumah adik iparnya yang merupakan Raja Mesir mendapat pesangon 1000 Dirham.6 Kemudian Ibunda Sunan Gunung Jati yang merupakan adik dari Pengeran Cakrabuana memberikan pesangon kepada Sunan Gunung Jati yang akan pergi haji dengan 1000 Dirham.7 Dalam naskah Mertasinga disebutkan bahwa Syekh Syarif Hidayatullah pernah menghukum anaknya, Pangeran Jayakelana yang pernah mengalami kesalahan dalam memimpin sholat Jum’at dengan hukuman fisik, kemudian diganti dengan diyat seraya berkata Syekh Syarif Hidayatullah kepada Pangeran Ugenapura: ”Coba keluarkan uang Dinar dan timbanglah seberat badan Jayakelana. Bila mana sudah ditimbang, kemudian bagikan uang itu semuanya dan jangan ada satu pun fakir miskin yang tertinggal”.8 5 6 7 8
Helius Sjamsudin, Metodologi Sejarah (Yogyakarta : Ombak, 2007), hlm. 249 P.S. Sulendraningrat, Babad Tanah Sunda/Babad Cirebon, hlm. 19 Ibid , hlm. 28 Amman N. Wahju (Penerjemah dan Penyadur), Sajarah Wali Syekh Syarif Hidayatulah Sunan Gunung Jati (Naskah Mertasinga), (Bandung : Penerbit Pustaka, 2005), hlm. 140
Holistik Vol 13 Nomor 02, Desember 2012/1434 H
Zaenal Masduqi
Penelitian ini menggunakan metode sejarah. Dalam metode sejarah ini ditempuh langkah-langkah: (1) pengumpulan bahanbahan penelitian yang sesuai dengan tema baik tercetak, tertulis dan lisan yang dikenal dengan istilah heuristik; (2) menyingkirkan bahanbahan yang tidak relevan atau istilah lain dengan sebutan tahap verifikasi; (3) memberikan penafsiran dari sumber-sumber yang dapat dipercaya atau istilah lain menyebutnya tahap interpretasi; (4) menyajikan dan menyusun kesaksian yang dapat dipercaya atau istilah lain menyebutnya dengan historiografi.9 Untuk memperjelas serta mempertajam tafsiran dan keterangan, baik dalam mengemukakan permasalahan maupun peristiwa, digunakan ilmu bantu sesuai dengan permasalahannya. Dalam hal ini, digunakan konsep sosiologi untuk memperjelas uraian kemasyarakatan, konsep politik untuk memperjelas uraian sosial politik dan konsep ekonomi guna memperjelas masalah ekonomi yang diungkapkan dalam studi ini. Penggunaan ilmu bantu tersebut, dalam tingkat tertentu menunjang penjelasan masalah atau peristiwa. Teknik dalam pencarian data adalah dengan penelitian kepustakaan, melalui penelusuran dan pembacaan historiografi tradisional maupun yang modern yang se zaman dan relevan sebagai sumber primer dan buku-buku hasil penelitian yang membahas Dinar-Dirham sebagai sumber sekunder. Perpustakaan yang menjadi rujukan dalam kajian ini adalah perpustakaan Wakala Induk Nusantara Jakarta, perpustakaan Kolose Ignatius Yogyakarta, Arsip Nasional Jakarta, perpustakaan Nasional Jakarta dan musium mata uang Bank Indonesia Jakarta. Sumber primer lainnya berupa sumber dari sejarah lisan dan penelitian langsung di lapangan yang diharapkan dapat menghasilkan/menemukan mata uang logam masa dahulu sehingga dapat memperkuat kedalaman hasil penelitian sekaligus analisisnya berdasarkan foto-foto yang didapat. C. TEMUAN-TEMUAN PENELITIAN
Sejak abad keempat masehi Kawasan Nusantara telah dikenal dikalangan para pedagang dan pelaut dunia sebagai sumber rempahrempah.10 Banyak kota pelabuhan di Nusantara yang berkembang
9 Louis Gottschalk, Mengerti Sejarah, Terj. Nugroho Notosusanto, (Jakarta : UI-Press, 1986), hlm. 18 10 Rempah-rempah telah menjadi faktor penyebab datangnya bangsa Eropa ke wilayah Nusantara. Mula-mula Portugis (1512) kemudian Spanyol (1521) menyusul Belanda dan Inggris. Keuntungan
Holistik Vol 13 Nomor 02, Desember 2012/1434 H
-125-
PENGGUNAAN DINAR-DIRHAM DAN FULUS : UPAYA MENGGALI TRADISI YANG HILANG
-126-
menjadi kota yang selalu ramai yang dikunjungi para pelaut dan pedagang bukan saja karena kota-kota tersebut adalah tempat yang tepat untuk membeli air bersih dan makanan sebelum melanjutkan perjalanan, tapi juga karena barang-barang yang dijual di kota-kota tersebut. Kawasan Nusantara adalah kawasan yang ramai dengan perdagangan. Rempah-rempah, porselen, sutra sampai budak diperdagangkan disini. Selain rempah-rempah sebagai alat tukar, dipakai juga kerang, manik-manik dan genderang dan belencong. Pada abad ke 9-13 sejumlah kerajaan Nusantara menerbitkan uang logam dari emas, perak, timah tembaga dan perunggu. Kasyi, uang tembaga China banyak juga beredar di Nusantara.11 Harga rempah yang semakin mahal mendorong Eropa mencara jalan baru ke Asia Tenggara. Pada akhir abad 15, pelaut-pedagang Eropa (Portugis), dengan bantuan pelaut Arab, berhasil menemukan jalan laut mengitari Afrika menuju Nusantara. Sejak saat itu, terbuka�lah jalur ke Timur yang misterius. Para pedagang Barat berdatangan dan membuka loji-loji di kota-kota pelabuhan Nusantara. Pada abad ke 15-17, daerah-daerah pesisir berkembang menjadi kota-kota yang kosmolitan. Sejak sebelum masa Kerajaan Hindu-Budha, perdagangan di Nusantara telah menuntut penggunaan alat pembayaran yang bisa diterima secara umum sebagai penggganti sistem barter. Mulanya alat pembayaran digunakan masih sangat sederhana misalnya di wilayah Irian, dipakai kulit kerang jenis tertentu, di Bengkulu dan Pekalongan manik-manik dan di Bekasi Belincung (semacam kapak batu). Pada masa Kerajaan Hindu-Budha, alat pembayaran tersebut mengalami kemajuan, terutama dari bahan dan desainnya. Di Jawa, yang melimpah ruah yang diperoleh dari perdagangan rempah-rempah telah merubah alam berpikir mereka. Sebagai pedagang yang tamak yang mengejar keuntungan besar dengan segala cara, mula-mula mereka berupaya untuk mendapatkan monopoli dan dari monopoli mereka beranjak menjadi negeri penjajah. Inilah kenyataan yang terjadi di negeri kita dan telah dialami nenek moyang kita. Dari suatu bangsa yang merdeka dan berdaulat dengan sistem perdagangan bebas yang dianutnya selama berabad-abad, menjadi bangsa terjajah, baik dalam politik dan ekonomi selama ratusan tahun. Sebuah perubahan yang sungguh tragis. Lihat M. Adnan Amal, Portugis dan Spanyol di Maluku,(Depok : Komunitas Bambu, 2009), hlm xiii, 357-358. Sebelum kehadiran bangsa Eropa terlebih dahulu hadir para pedagang Muslim yang datang dari Wilayah Asia Barat, Asia Selatan dan Asia Timur Jauh namun tidak melakukan monopoli apalagi menjajah. 11 Menurut hasil penelitian penulis ke beberapa musium di antarannya ke Musium Bank Indonesia di Jakarta, musium uang di Purbalingga dan musium kepurbakalaan di Yogyakarta menyatakan bahwa uang mas dan uang perak pernah diberlakukan di kerajaan-kerajaan Hindu Budha di kawasan Nusantara sebagai alat tukar dalam kegiatan perdagagannya berbentuk jagung, ada pula jagung yang direnteng yang beratnya berkisar 1,2-2 gram.
Holistik Vol 13 Nomor 02, Desember 2012/1434 H
Zaenal Masduqi
misalnya, alat pembayaran sudah terbuat dari logam. Mata uang tertua dibuat sekitar awal abad ke-12 dari emas dan perak yang disebut Krisnala (uang Ma) peninggalan kerajaan Jenggala. Sementara, di luar jawa Kerajaan Buton meninggalkan uang Kampua yang beredar pada abad ke-9. Kerajaan-kerajaan besar Hindu-Budha di Nusantara, seperti Sriwijaya dan Majapahit pada masa itu telah mempunyai mata uang sendiri. Sayangnya uang peninggalan masa Kerajaan Sriwijaya belum ditemukan. Sedangkan Majapahit meninggalkan uang gobog yang terbuta dari tembaga yang diperkirakan beredar pada abad ke-14 samapai abad ke 16. Selain sebagai alat pembayaran, uang tersebut juga banyak digunakan sebagai benda keramat. Pada abad ke 15 ketika Islam berkembang di Nusantara, beredar berbagai mata uang yang dikeluarkan oleh kerajaan-kerajaan Islam misalnya mata uang dari Samudra Pasai, Aceh, Jambi, Palembang, Banten, Cirebon, Makassar, Buton dan Sumenep. Mata uang yang dikeluarkan bertuliskan Arab sanat 1256 dan pada sisi depan bertuliskan Cholafat al-Mukmin. Hal ini membuktikan pada masa jayanya, kerajaan-kerajaan Islam berperan aktif dalam kegiatan niaga di Nusantara sehingga uang-uang tersebut beredar seiring dengan uang asing. Bahkan, mata uang itu bisa dipertukarkan dengan mata uang asing.12 Walaupun telah tercipta mata uang logam dari emas dan perak sebagai alat tukar, namun tak jarang terjadi perdagangan dengan sistem barter. Sebagai contoh, rempah-rempah ditukar dengan beras dari Jawa, barang pecah belah dari pedagang China, tekstil dari Gujarat, alat-alat rumah tangga dari Malaka dan Eropa.13 Di samping perdagangan barter, rakyat setempat juga menjual dan dibayar tunai, misalnya oleh para pedagang Bugis dan Arab, dengan perhiasan emas dan perak dengan harga yang cukup bersaing. Mata uang yang beredar di masa perkembangan Islam di Nusantara berbentuk koin yang terbuat dari emas, perak, perunggu dan timah yang dalam istilah sejarah Islam dikenal dengan sebutan Dinar, Dirham dan Fulus.14Tercetaknya dan berlakunya Dinar, Dirham 12 Sumber; Musium Bank Indonesia, 22 September 2011 13 M. Adnan Amal, Op. Cit, hlm. 351 14 Pemakaian koin emas dan koin perak sebagai alat tukar telah berlangsung sebelum Islam datang, termasuk di Jazirah Arab. Istilah Dinar berasal dari koin Romawi, Denarius , sedangkan Dirham berasal dari koin Persia, drachma. Oleh sebagian orang, kenyataan sejarah ini sering difahami bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam tidak menetapkan sesuatu ketentuan baru tentang mata uang, tetapi sekedar meneruskannya (taqrir). Bahkan, lebih dari itu, ada pula yang menjadikannya bukti bahwa Islam tidak mengharuskan mata uangnya terbuat dari emas
Holistik Vol 13 Nomor 02, Desember 2012/1434 H
-127-
PENGGUNAAN DINAR-DIRHAM DAN FULUS : UPAYA MENGGALI TRADISI YANG HILANG
-128-
dan Fulus di lingkungan kerajaan Islam Nusantara saat itu menurut hemat menulis tak bisa lepas dari pengaruh ajaran Islam itu sendiri dalam bidang mu’amalat di antaranya menekankan perdagangan yang bebas riba dan menggunakan alat tukar/bayar dengan Dinar, Dirham dan Fulus. Kondisi demikian disebabkan karena dari sisi waktu abad XIII-XVI merupakan bentangan waktu terjadinya proses sosialisasi dan institusionalisasi Islam di Nusantara. Dalam waktu bersamaan di abad XIII terjadi deklinasi dan degradasi pusat-pusat peradaban Islam di Timur Tengah dan Asia Tengah akibat dari serangan dan penghancuran yang dilakukan bangsa Mongol (Tartar). Kondisi ini menjadikan aktifitas pengembaraan para ulama, pelayaran dan perdagangan internasional melalui Nusantara semakin pesat saja. Wilayah-wilayah Nusantara terutama di daerah-daerah pesisir lebih cepat mengadakan hubungan dan kerja sama dengan para pedagang Islam dan telah membawa dampak sosial, ekonomi dan maupun budaya bagi masyarakat setempat.15 4. Cirebon sebagai Bandar Jalur Sutra16 Di antara kota-kota pesisir yang mengalami perkembangan pesat pada zamannya adalah Cirebon.17 Tak dapat disangkal Cirebon pernah
atau perak. Islam mengajarkan bahwa ada sejumlah komoditas yang dapat digunakan sebagai alat tukar, yaitu emas, perak, terigu, jawawut, kurma dan garam. Pengertian paling pokok dari contoh-contoh tersebut, yaitu bahwa alat tukar haruslah terbuat dari komoditas yang lazim dipakai sebagai alat tukar. Artinya dalam keadaan tidak ada emas dan perak maka komoditas lainnya sebagai alat tukar sepanjang lazim diterima sebagai alat tukar, dapat ditimbang atau ditimbang secara baku. Menurut Sofyan al-Jawi, seorang ahli numismatik Indonesia menjelaskan bahwa penetapan standar Dinar dan Dirham dilakukan oleh Rasulullah Sallallahua’laihi wasallam pada tahun ke 2 hijrah. Hal ini bermula dari sebuah sengketa di pasar, ketika Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam tiba di Madinah. Penduduk Madinah biasa menggunakan dirham dengan cara hitungan bilangan. Sementara pendatang dari Makkah terbiasa menggunakannya dalam hitungan timbangan. Maka terjadilah sengketa, antara Aisyah (Muhajirin) dan Burairah (Anshar) Lihat Zaim Saidi, Euforia Emas Mengupas Kekeliruan dan Cara Pengembangan Dinar, Dirham dan Fulus Agar Sesuai AlQur’an dan As-Sunnah, (Depok : Pustaka Adina, 2011), hlm. 65-66 15 Hasan Muarif Ambary, Peranan Cirebon Sebagai Pusat Peerkembangan dan Penyebaran Islam dalam “Cirebon Sebagai Bandar Jalur Sutra” Susanto Zuhdi (Ed), (Jakarta : Departemen P&K, 1996), hlm. 35 16 Kata “Sutra” diambil se bagai matafora dari kelembutan dan kehalusan jalinan-jalinan hubungan antar manusia dan antar peradaban yang terbawa serta melalui rute-rute perdagangan yang bersejarah. Di samping sutra memang merupakan salah satu komoditi terpenting selain rempahrempah dari Timur yang memacu para pedagang Eropa untuk mencarinya. Lihat AB. Lapian dan Edi Sedyawati, Kajian Cirebon dan Kajian Jalur Sutra, dalam “Cirebon Sebagai Bandar Jalur Sutra”, Susanto Zuhdi (Ed), (Jakarta : Depertemen P&K, 1995), hlm. 1 17 Cirebon mengalami perkembangan yang pesat (sebagai contoh) karena manusia dalam melakukan perjalanan memiliki kecendrungan untuk mengikuti alur lalu lintas (laut) yang sudah lazim digunakan oleh orang lain. Pada mulanya hal ini dilakukan untuk menghindari jangan sampai
Holistik Vol 13 Nomor 02, Desember 2012/1434 H
Zaenal Masduqi
menjadi pangkalan penting dalam jalur perdagangan dan pelayaran antar bangsa. Lokasinya terletak di bibir pantai antara Jawa Tengah dan Jawa Barat membuatnya berperan sebagai jembatan antara kebudayaan Jawa dan Sunda sehingga tercipta kebudayaan yang khas. Di samping itu, Cirebon sarat dengan peninggalan – peninggalan purbakala, kesenian maupun warisan non pisik yang merupakan bukti masuknya aneka ragam kebudayaan dari berbagai penjuru dunia; Arab, India, Cina dan Eropa, sehingga wajar Cirebon mendapat sebutan sebagai bagian bandar jalur sutra. Dengan demikian Cirebon mendapatkan keuntungan dari posisi yang di tepi pantai dapat melakukan hubungan dagang dengan Demak, Jayakarta, Banten, Tuban, Gresik, Mataram, Pasai, Campa, Gujarat, Arab dan China. Cirebon, secara teritorial-geografis terletak ditepian Pantai Utara Jawa (Pantura), yang dilengkapi dengan sungai-sungai yang sangat penting peranannya sebagai jalur transportasi ke pedalaman yang letaknya di sekitar Pelabuhan Cirebon yaitu ; Sungai Cimanuk, Pekik, Kesunean, kriyan dan Cilosari.18 Dengan demikian Cirebon berpotensi menjadi pusat berkembangnya peradaban dan mudahnya arus perdagangan dan pengiriman barang yang hilir mudik dari pelabuhan ke pedalaman dan sebaliknya. Karena dengan keberadaannya yang secara geografis sangat strategis mampu mengikuti gejala umum kota-kota tua yang letaknnya di tepian air.19 Oleh karenanya Pelabuhan Cirebon (Muara Jati) yang letaknya di Desa Pesambangan amat ramai dengan aktifitas jual beli yang pedagangnya berasal dari desa-desa sekitar dan pedalaman, bahkan
tersesat dan memberi kepastian bahwa alur ini akan membawanya ke tempat yang dituju. Lambat laun alur ini menyediakan kemudahan bagi pelalu lintas, misalnya tempat istirahat, konsumsi, penginapan, komoditas yang mungkin bisa diperjualbelikan dan lain-lain. karena tujuan yang berbeda-beda maka alur jalan tersebut akan memiliki cabang. Cabang inilah yang kemudian sering kali menjadi pusat konsentrasi pemukiman. Cabang yang memiliki kesempatan untuk berkembang menjadi tempat konsentrasi adalah yang jumlah pelalu lintasnya cukup besar termasuk barang dan tempat ini digunakan sebagai tempat transit. Pelalu lintas merasa perlu untuk beristirahat, menginap, atau tinggal beberapa hari di tempat tersebut. Itulah sebabnya mengapa sebagian besar kota-kota di Indonesia berada di dekat kota pantai. Lihat Robinson Tarigan, Perencanaan Pembangunan Wilayah, (Jakarta : Bumi Aksara, 2009), hlm. 122. 18 Tim Peneliti Jurusan Sejarah Fakultas Sastra UNPAD, Sejarah Cirebon Abad Ketujuh Belas, (Bandung : UNPAD & Pemda Jabar, 1991), hlm. 45 19 Negeri-negeri yang sangat tua kebudayaannya, mulai tumbuh, berkembang dan maju tak lepas dari keberadaan air . Misalnya Mesir, Mesopotamia, India dan China. Pemukiman-pemukiman penduduknya dialiri oleh sungai-sungai Nil, Eufrat, Tigris, Gangga, Indus, Hoangho dan Yang Tse Kiang. Demikian juga hal di Indonesia. Dua kerajaan tertua di Indonesia terletak di tepian air . Kerajaan Kutai yang diperintah oleh Raja Mulawarman terletak di tepian sungai Mahakam di Kalimantan Timur dan Kerajaan Tarumanegara yang diperintah oleh Raja Purnawarman terletak di aliran Sungai Citarum di Jawa Barat. Lihat Sagimun MD, Jakarta Dari Tepian Air ke Kota Proklamasi, (Pemda DKI : Dinas Musium dan Sejarah, 1998), hlm. 1
Holistik Vol 13 Nomor 02, Desember 2012/1434 H
-129-
PENGGUNAAN DINAR-DIRHAM DAN FULUS : UPAYA MENGGALI TRADISI YANG HILANG
-130-
dengan para pedagang dan ulama dari negara Makkah, China dan Campa. Pelabuhan Cirebon menyediakan berbagai komoditas seperti garam, trasi, gula, ikan asin, beras, rempah-rempah, kopi dan kayu jati yang kemudian siap diekspor ke pelabuhan-pelabuhan Nusantara dan Mancanegara.20 Sementara komoditas yang singgah di Pelabuhan Cirebon seperti Kain Lena, barang-barang Kuningan, tembaga, porselin, minyak korek api.21 Terjadinya proses keluar masuk komoditas ke dan dari Pelabuhan Cirebon menghajatkan sistem alat tukar yang bisa diterima kedua belah pihak. Sejumlah transaksi tentunya melalui pertukaran langsung (Barter) barang-barang dagangan berjumlah besar. Namun tidak sedikit yang menghajatkan kemudahan dalam bertransaksi, maka dari situ lah kemudian diperlukan dan diciptakan mata uang. Mata uang yang beredar berbentuk koin terbuat dari emas, perak, tembaga dan timah. Menurut data yang dihimpun Anthony Reid menunjukkan bahwa mata uang tembaga China merupakan mata uang utama di semua tempat. Bahkan karena kekurangan stok, maka mata uang tersebut di cetak di beberapa industri pembuatan uang China di Jawa, khususnya di Banten, Cirebon dan Jepara.22Pada abad keenam belas dan ketujuh belas Cirebon, di samping Aceh, Banten, Brunai dan daerah lainnya mencetak dan mengeluarkan mata uang dasar dengan terpampang jelas nama dan gelar penguasa masing-masing.23 Paparan di atas menjadi relevan sekaligus penguat informasi yang terdapat dalam naskah/babad Cirebon yang menceritakan tentang tokoh Cakrabuana yang menerima pesangon dari raja mesir (ipar, suami dari Rara Santang) sejumlah 1000 dirham, hal yang sama juga
20 TD. Sudjana, Pelabuhan Cirebon Dahulu dan Sekarang, dalam “Cirebon Sebagai Bandar Jalur Sutra”, Susanto Zuhdi (Ed), (Jakarta : Departemen P & K, 1996), hlm 183 21 Susanto Zuhdi, Hubungan Pelabuhan Cirebon Dengan Daerah Pedalaman : Suatu Kajian dalam Kerangka Perbandingan dengan Pelabuhan Cilacap 1880-1940 dalam “Cirebon Sebagai bandar Jalur Surtra” Susanto Zuhdi (Ed), (Jakarta : Departemen P & K, 1996), hlm. 92 22 Anthony Reid, Dari Ekspansi Hingga Krisis; Jaringan Perdagangan Global Asia Tenggara, (Terj), R.Z. Leirissa, (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia & Toyota Faoundation, 1998), hlm. 123 & 129 23 Anthony Ried, Ibid, hlm. 130 . Menurut catatan di musium uang Purbalingga yang pernah penulis kunjungi bahwa Kerajaan Kediri, Aceh dan Sulawesi telah mempunyai uang logam dari emas; Kerajaan di Bangka, Cirebon, Pontianak, Maluku dan Banten telah mempunyai uang logam dari timah, tembaga dan perak. Emas dan perak pada masa itu telah menjadi alat ukur nilai. Selain itu berfungsi juga sebagai sarana untuk menabung tanda status bagi seorang raja. Namun demikian, jauh sebelum itu masyarakat telah mengenal mata uang dalam bentuk sederhana sebagai alat pembayaran seperti manik-manik di Bengkulu dan Pekalongan, gelang di Majalengka dan Sulawesi Selatan, belincung di Sulawesi, moko di Nusa Tenggara Timur dan Kerang di Papua. Koin dari Kesultanan Cirebon mengambil bentuk seperti pola koin cash China. Koin Cirebon dalam bentuk tersebut dibuat kira-kira tahun 1742, di mana saat itu berkuasa Sultan Sepuh. Koin dengan bahan dari timah dengan lubang di tengah itu, pada bagian muka tertulis inskripsi; “Cheribon”.
Holistik Vol 13 Nomor 02, Desember 2012/1434 H
Zaenal Masduqi
diterima Syekh Syarif Hidayatullah pesangon dari ibunya ketika mau berhaji dan keputusan Syekh Syarif Hidayatullah yang mengganti hukuman fisik dengan hukuman diyat bagi putranya Pangeran Jaya kelana yang lalai menjadi imam sholat Jum’at berupa dinar seberat tubuhnya yang kemudian dibagikan kepada fakir miskin. Menurut logika sejarah yang penulis fahami penerimaan pesangon oleh Pangeran Cakrabuana dari raja Mesir dan Syekh Syarif Hidayatullah dari ibundanya 1000 dirham membuktikan bahwa mata uang tersebut telah menjadi mata uang internasional yang berlaku secara universal di mana pun berada temasuk di Cirebon, apalagi didukung dengan data bahwa Cirebon pada masa itu telah menjadi bagian bandar jalur sutra yang bersifat internasional dan dengan demikian alat tukar yang dipergunakan juga bersifat internasional yaitu mata uang Dinar, Dirham dan Fulus.
5. Dinar, Dirham dan Fulus Masuk ke Wilayah Cirebon dalam Konteks Kekinian Cirebon dalam konteks kekinian dipandang sebagai kota yang unik, karena satu-satunya kota bandar jalur sutra di Pantai Utara Jawa yang masih memiliki peninggalan-peninggalan sejarah yang paling lengkap, baik dari peninggalan-peninggalan Islam seperti, 4 kraton yang masih eksis lengkap dengan para sultannya (Kasepuhan, Kanoman, Kacirebonan dan Keprabonan) maupun peninggalanpeninggalan masa Kolonial Belanda seperti gedung wali kota, stasiun kereta api, gedung perbankan dan lain sebagainya. Keberadaan Sultan yang masih diakui oleh masyarakat Cirebon dan sekitarnya walaupun cenderung hanya pemangku budaya, dalam konteks Dinar-Dirham menjadi modal utama bagi terealisirnya rekonstruksi penggunaan Dinar-Dirham di wilayah Cirebon. Hal itu seperti yang bisa kita lihat pada zaman kesultanan dahulu, seperti yang dijelaskan di awal, tiap rajanya berhak untuk mencetak DinarDirham dan mengedarkannya ke tengah masyarakatnya sebagai alat tukar yang syah. Walaupun upaya revitalisasi dan restrukturisasi peran sultan yang mengarah kepada kekuasaan mencetak Dinar-Dirham seperti masa lalu belum terlaksana, bukan berarti lantas percetakan, penggunaan dan pengedaran Dinar-Dirham tidak bisa dilaksanakan. Sejatinya kewenangan untuk mencetak, mengedarkan dan menggunakan Dinar, Dirham dan Fulus ada di tangan sultan sebagai pemegang otoritas (Ulil Holistik Vol 13 Nomor 02, Desember 2012/1434 H
-131-
PENGGUNAAN DINAR-DIRHAM DAN FULUS : UPAYA MENGGALI TRADISI YANG HILANG
-132-
Amri) dan wilayah Cirebon sebenarnya sebagai pemangku budaya. Dalam literatur sejarah Islam Kholifah Umar Khattab lah pemegang otoritas pertama yang memutuskan mencetak koin Dirham sendiri, dengan tujuan menggantikan koin-koin perak Persia (Drachma) yang tidak sesuai dengan ketetapan Rasulullah Sallallahu ‘alihi wasallam. Kholifah Umar, selain mengukuhkan standar berat yang diberlakukan Rasulullah Sallallahu ‘laihi wasallam, juga mengubah corak fisik koin perak, menjadikannya koin yang berciri Islam pada tahun 18 H (639-640 M). Corak koin Dirham yang masih berdasarkan pola dari Persia oleh Kholifah Umar bin Khattab ditambah huruf Arab dengan lafal “Alhamdulillah”, “Rasulullah”, “La ilaha illallah”, “Bismillah” dan sebagian lagi ada kata “Umar”.24 Ketika Kholifah Usman bin ‘Affan berkuasa, beliau mencetak koin Dirham dengan lafal “Allahu Akbar”. Dirham pada masa Kekhalifahan Ali Bin Abi Tholib masih sama dengan sebelumnya hanya mengalami perubahan sedikit pada tulisan di tepi koin, dengan kalimat yang bermakna “Bismillah, Dengan nama Tuhan, Tuhanku adalah Allah”. Pada masa bani Umayyah, tepatnya pada masa Khalifah Abdul Malik bin Marwan mencetak Dinar Islam untuk pertama kalinya yang mengubah salib Romawi dengan sebuah mimbar, lengkap dengan tiga anak tangganya dan sebuah tombak. Mengelilingi mimbar dan tombak ini Kholifah Malik menuliskan lafal “La ilaha illallah Muhammadurrasulullah”.25 Fakta-fakta sejarah yang telah disebutkan di atas menjadi rujukan konkrit bagi kita akan perlu nya lembaga otoritas yang yang memelihara dan mengawasi kadar dan standar Dinar dan Dirham yang beredar. Awal pencetakan kembali Dinar dan Dirham di zaman modern ini bermula di Spanyol pada tanggal 18 Agustus 1991, ketika Haji Umar Ibrahim Vadillo, mengumumkan sebuah fatwa berjudul Fatwa Tentang Larangan Pemakaian Uang Kertas sebagai Alat Tukar. Kesimpulan fatwa ini berbunyi, “Setelah meneliti dengan seksama berbagai aspek dari uang kertas, dengan berpegang teguh kepada AlQur’an dan Sunnah kami nyatakan penggunaan uang kertas sebagai alat tukar dalam bentuk apapun adalah riba dan karena itu haram hukumnya.26 Di Granada lah wilayah bagian Spanyol, pada tahun 1992, untuk 24 Zaim Saidi, Op. Cit, hlm. 69 25 Zaim Saidi, Ibid, hlm. 70. 26 Zaim Saidi, Ibid, hlm 77
Holistik Vol 13 Nomor 02, Desember 2012/1434 H
Zaenal Masduqi
pertama kalinya fatwa tersebut di atas ditindaklanjuti dengan pencetakan koin Dinar-Dirham pertama pada abad mutakhir ini. Prototipe koin Dinar dan Dirham ini kemudian beredar secara terbatas di banyak negara, khususnya di Eropa, Malaysia, Meksiko dan Afrika Selatan. Pada tahun 2000, melalui Amirat Nusantara yang baru dibentuk saat itu, dimulailah percobaan pencetakan koin Dinar-Dirham di Indonesia, yang secara fisik dilakukan oleh PP Logam Mulia, anak perusahaan Aneka Tambang. Jenis koin yang dicetak adalah 1 Dinar, 1 Dirham dan 5 Dirham dengan corak dari World Islamic Trading Organization (WITO). 2 tahun kemudian, 2002, pendistribusian koin Dinar-Dirham kepada masyarakat mulai berlangsung melalui wakala yang didirikan oleh Zaim Saidi. Secara singkat Wakala Adina berubah menjadi Wakala Induk Nusantara pada awal tahun 2008. Fungsi dari keberadaan WIN adalah melayani masyarakat dalam memperoleh Dinar-Dirham. Corak dan ragam koin Dinar-Dirham yang diterbitkan Amirat Indonesia pun semakin bervariasi. Pada awal tahun 2011 jumlah wakala yang beroperasi di Indonesia telah mendekati angka 100 buah wakala. WIN, di bawah otoritas Indonesia, kini menjadi satu-satunya otoritas penerbit dan pencetak Dinar-Dirham yang diakui World Islamic Mint (WIM) dan karenanya koin-koin WIN berlaku secara internasional. Hingga saat ini, WIM merupakan satu-satu nya badan pengatur internasional yang berkaitan dengan Dinar-Dirham yang ada di dunia ini. Selain WIN, di Amirat Indonesia telah berdiri JAWARA (Jaringan Wirausahawan dan Pengguna Dinar-Dirham Nusantara, penyelenggaraan FHP (Festival Hari Pasaran) dan Baitul Mal Nusantara (BMN). Lembaga-lembaga tersebut didirikan untuk penegakan kembali syari’at mu’amalat dan rukun zakat. Pengenalan penulis yang asli Cirebon ini untuk pertama kalinya dengan Dinar dan Dirham ketika Desember tahun 2010. Selama tiga hari 22-24 Desember 2010 yang lalu, penulis sempatkan diri melakukan penelitian singkat guna mengetahui dari dekat proses akad jual beli dengan menggunakan mata uang emas dan perak, Dinar-Dirham. Daerah yang dikunjungi penulis adalah Jl. Sungai Landak, Kampung Nelayan Cilincing Jakarta Utara dan Komplek Masjid Al-Azhar. Kedua daerah yang disebutkan pertama oleh para penggiat Holistik Vol 13 Nomor 02, Desember 2012/1434 H
-133-
PENGGUNAAN DINAR-DIRHAM DAN FULUS : UPAYA MENGGALI TRADISI YANG HILANG
-134-
dinar-dirham di Indonesia dijadikan model dan zona wisata diberlakukannya Dinar-Dirham dalam proses jual beli mereka. Di zona tersebut terdapat 70 pedagang kecil yang sudah faham dan terbiasa menggunakan Dinar-Dirham dalam transaksi usahanya. Sementara itu, di komplek Masjid Al-Azhar diadakan hari pasaran DinarDirham. Sebuah pasar yang sengaja diciptakan untuk melakukan sosialisasi penggunaan Dinar-Dirham dalam transaksi jual beli kepada masyarakat luas lengkap dengan outlet/tempat penukaran uang rupiah ke Dinar-Dirham sebagai mata uang resmi atau yang berlaku pada hari pasaran tersebut.27 Dari penelitian singkat itu lah kemudian penulis berkenalan dengan Amirat Indonesia, Bapak Zaim Saidi, Bapak Abdurrahman Rachadi dan Bapak Sofyan al-Jawi serta meminta kesediaan beliaubeliau untuk membagikan ilmu ke civitas akademika IAIN Syekh Nurjati. Kemudian disepakati waktu Seminar dan Pasar Dinar-Dirham, yaitu tanggal 15-16 Maret. Alhamdulillah kedua kegiatan tersebut berjalan sukses dengan mendapat antusias yang tinggi dari para hadirin. Peseta seminar berjumlah 250 orang ini tidak beranjak kaki dari ruangan seminar hingga pukul 4 sore. Besok harinya dilanjutkan dengan kegiatan Dinar-dirham yang dihadiri 25 pedagang dan terjadi transaksi dengan dirham sebanyak 80 keping dirham. Boleh dikata peristiwa tersebut sebagai awal kembalinya dinar-dirham di bumi Cirebon. Kegiatan yang sama dilaksanakan untuk yang kedua kalinya pada tanggal 30 Oktober di Pondok Pesantren Ash-Shobirin ditambah lagi dengan kegiatan pembagian zakat untuk 200 orang fakir miskin yang masing-masing mendapatkan ½ dirham dengan kurs rupiah 33.250 ribu. F. KESIMPULAN
Dari penelitian di atas, peneliti bisa menarik sebuah kesimpulan bahwa sejatinya peranan koin emas dan koin perak sebagai alat tukar, telah digunakan selama ribuan tahun. Selain itu, ternyata penggunaan uang kertas juga baru berlangsung satu abad terakhir ini. Metaformosis perubahan koin emas dan koin perak menjadi uang kertas berlangsung tanpa disadari oleh sebagian besar umat manusia dan telah membawa akibat yang terutama bisa dirasakan di Indonesia ketika krisis ekonomi 1997 datang melanda. Atas dasar itu, evaluasi 27Zaenal Masduqi, Kembalinya Transaksi dengan Dinar-Dirham , Radar Cirebon 30 Desember 2010
Holistik Vol 13 Nomor 02, Desember 2012/1434 H
Zaenal Masduqi
ulang terhadap mata uang kertas yang kita pakai sekarang perlu ditengok kembali terutama dengan membandingkan dengan dinardirham dan fulus yang pernah juga di pakai di Nusantara ini. DAFTAR PUSTAKA
Anthony Reid, Dari Ekspansi Hingga Krisis; Jaringan Perdagangan Global Asia Tenggara, (Terj), R.Z. Leirissa, (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia & Toyota Faoundation, 1998) AB. Lapian dan Edi Sedyawati, Kajian Cirebon dan Kajian Jalur Sutra, dalam “Cirebon Sebagai Bandar Jalur Sutra”, Susanto Zuhdi (Ed), (Jakarta : Depertemen P&K, 1995) Amman N. Wahju (Penerjemah dan Penyadur), Sajarah Wali Syekh Syarif Hidayatulah Sunan Gunung Jati (Naskah Mertasinga), (Bandung : Penerbit Pustaka, 2005), Hasan Muarif Ambary, Peranan Cirebon Sebagai Pusat Peerkembangan dan Penyebaran Islam dalam “Cirebon Sebagai Bandar Jalur Sutra” Susanto Zuhdi (Ed), (Jakarta : Departemen P&K, 1996) Louis Gottschalk, Mengerti Sejarah, Terj. Nugroho Notosusanto, (Jakarta : UI-Press, 1986) Mulya E Siregar, Manajemen Moneter Alternatif dalam Muhammad Ismail Yusanto dkk “Dinar Emas Solusi Krisis Moneter” (Jakarta : PIRAC, 2001) M. Adnan Amal, Portugis dan Spanyol di Maluku,(Depok : Komunitas Bambu, 2009), Robinson Tarigan, Perencanaan Pembangunan Wilayah, (Jakarta : Bumi Aksara, 2009) Sagimun MD, Jakarta Dari Tepian Air ke Kota Proklamasi, (Pemda DKI : Dinas Musium dan Sejarah, 1998) Sigit Purnawan Jati, Seputar Dinar dan Dirham, dalam “Dinar-Dirham Solusi Krisis Moneter” (Jakarta :PIRAC, 2001) Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah (Jakarta : Grameda, 1993) Helius Sjamsudin, Metodologi Sejarah (Yogyakarta : Ombak, 2007) P.S. Sulendraningrat, Babad Tanah Sunda/Babad Cirebon Tim Peneliti Jurusan Sejarah Fakultas Sastra UNPAD, Sejarah Cirebon Abad Ketujuh Belas, (Bandung : UNPAD & Pemda Jabar, 1991) Zaenal Masduqi, Kembalinya Transaksi dengan Dinar-Dirham , Radar Holistik Vol 13 Nomor 02, Desember 2012/1434 H
-135-
PENGGUNAAN DINAR-DIRHAM DAN FULUS : UPAYA MENGGALI TRADISI YANG HILANG
-136-
Cirebon 30 Desember 2010 Zaim Saidi, Euforia Emas Mengupas Kekeliruan dan Cara Pengembangan Dinar, Dirham dan Fulus Agar Sesuai Al-Qur’an dan As-Sunnah, (Depok : Pustaka Adina, 2011)
Holistik Vol 13 Nomor 02, Desember 2012/1434 H
METODE INTERPRETASI TEKS-TEKS AGAMA DALAM MAZHAB SALAFI SAUDI MENGENAI ISU-ISU GENDER vv Faqihuddin Abdul Kodir
Abstraksi Berbeda dengan berbagai analisis (Olivetti, 2001; Abou EL-Fadl, 2004), yang menganggap metode interpretasi Mazhab Salafi Saudi sebagai penyebab dari segala praktik diskriminasi terhadap perempuan, Delong-Bas (2004) memandang Mazhab ini memiliki segala potensi teologis untuk penguatan hak-hak perempuan sebagaimana mazhab-mazhab lain di dunia Islam. Di antara kedua asumsi ini, penelitian ini menelusuri rumusan metode interpretasi Mazhab dengan mengaitkanya pada isu-isu gender kontemporer dalam berbagai pandangan ulama-ulama mereka. Penelitian ini, dengan menganalisis kaidah-kaidah interpretasi Mazhab; terutama rumusan teks otoritatif, kontra dualisme mutawatir-ahad, kritisisme Hadits, interpretasi literal atas teks, qiyas dan interpretasi berbasis akal, menyimpulkan adanya keragaman, inkonsistensi, dan kerancuan metode interpretasi Mazhab Salafi Saudi, yang sedikit banyak membuka kemungkinan negoisasi ulang, jika otoriterinisme subyek penafsir bisa dieliminasi, untuk penguatan interpretasi yang lebih mengadvokasi hak-hak perempuan. A. LATAR BELAKANG
Sebagaimana diberitakan berbagai media masa dan menjadi pengetahuan publik dunia, perempuan Saudi sampai saat ini memiliki hak-hak sosial-politik yang teramat rendah jika dibandingkan dengan negara-negara Muslim yang lain. Mereka tidak diperkenakan memilih apalagi dipilih dalam pemilihan parlemen, dan sangat sedikit sekali yang diangkap di eksekutif. Ketika keluar rumah, mereka harus selalu tertutup rapat dan harus ditemani kerabat laki-laki yang disebut mahram. Bahkan ketika seorang perempuan hamil dan mau melahirkan, ia bisa menjadi masalah besar jika datang ke rumah sakit tanpa ditemani mahramnya. Mereka mengalami pemisahan jenis kelamin secara ketat di setiap ruang publik, menghadapi pembatasan hak-hak publik yang sangat Holistik Vol 13 Nomor 02, Desember 2012/1434 H
-137-
METODE INTERPRETASI TEKS-TEKS AGAMA DALAM MAZHAB SALAFI SAUDI MENGENAI ISU-ISU GENDER
-138-
signifikan, terancam praktik-praktik honor killing, dan yang paling kontroversial adalah mereka dilarang menyetir mobil. Sesuatu yang tidak terjadi di negara Islam yang lain. Sekalipun Raja Abdullah pernah berjanji meloloskan petisi para perempuan untuk bisa menyetir mobil sendiri, tetapi dunia baru saja dikejutkan dengan penangkapan kembali dan penghukuman perempuan di Jeddah, September 2011 ini, karena menyetir mobil. Dia dihukum 10 kali cambukan. Kontrasnya, semua pelanggaran lalu lintas di Saudi, hanya dikenai denda materil bukan hukuman cambuk fisik. Praktik diskriminasi ini diyakini banyak pihak dilatari model keberagamaan Mazhab Salafi Saudi yang dianut Saudi Arabia dan metode interpretasi mereka yang literal dan tekstual.1 Literalisme dan tekstualisme adalah sebuah pendekataan yang mengacu pada lafal suatu teks secara tersurat sebagaimana adanya, tanpa mengindahkan maksud-maksud tersirat dalam teks tersebut dan tanpa mengenali konteks sosial dimana teks-teks tersebut diturunkan dan disabdakan, apalagi memberi perhatian pada perubahan konteks sosial masyarakat saat sekarang ini.2 Analisis ini, sekalipun bisa dianggap sebagai gambaran umum metode interpretasi Mazhab Salafi Saudi dalam berbagai pemikiran keagamaan yang mereka kembangkan, tetapi setidaknya untuk isu-isu gender masih memerlukan penelitian dan penjelasan lebih mendalam. Karena dalam setiap praktik interpretasi, selalu ada subyek-subyek yang saling berkepentingan dalam konteks budaya tertentu, baik penafsir maupun pihak yang menerima atau menjadi korban dari penafsiran. Soraya Altorki termasuk yang menemukan adanya subyek-subyek perempuan di Saudi Arabia yang terus melakukan negoisasi-negoisasi untuk perubahan interpretasi yang hegemonik.3 Natana Delong-Bas bahkan memandang Mazhab Salafi Saudi memiliki basis pemikiran 1 Vincenzo Olivetti, 2001, Terror’s Source: The Ideology of Wahhabi-Salafism and its Consequences, (Brimingham: Amadeus Books), El-Fadl, Khaled M. Abou, 2004, Atas Nama Tuhan Dari Fikih Otoriter ke FikihOtoritatif, (terj.) oleh R. Cecep Lukman yasin, (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta). 2 Lihat: Saeed, Abdullah, 2006, Interpreting the Qur’an; Towards a Contemporary Approach, (London and New York: Rotledge); dan Abdul Mustaqim, 2010, Epistemologi Tafsir Kontemporer, (Yogyakarta: LkiS). 3 Soraya Altorki, 1986, Women in Saudi Arabia: Ideology and Behavior Among the Elite, (New York: Columbia University Press). Holistik Vol 13 Nomor 02, Desember 2012/1434 H
Faqihuddin Abdul Kodir
keagamaan yang menyeimbangkan hak dan kewajiban perempuan.4 Pandangan kontroversial Syekh Ahmad Qasim al-Ghamidi, Direktur Lembaga Amar Ma'ruf Nahi Munkar Kota Mekkah (Hai’ah al-Amr bi al-Ma’ruf w an-Nahy ‘an al-Munkar), bisa menjadi contoh dari adanya negoisasi di antara subyek-subyek penafsir di dalam internal Mazhab. Menurutnya, segregasi seksual yang menjadi ajaran utama Mazhab Salafi Saudi adalah warisan budaya tribal semata dan bukan dari pandangan atau hukum Islam. Ia menentang ajaran segregasi ini dengan memunculkan hadits-hadits sahih yang justru menceritakan pembaruan jenis kelamin di masa Nabi Saw. Ia juga mendukung perempuan untuk menyetir mobil sendiri, karena sama sekali tidak ada teks agama, maupun pandangan fiqh yang dilanggar.5 Fenomena ini, setidaknya menunjukkan bahwa baik pandangan keagamaan maupun metode interpretasi teks-teks agama Mazhab Salafi Saudi, yang dianggap literal dan tekstualis, tidak monolitik. Interpretasi sendiri, bisa dianggap sebagai proses negoisasi. Baik antara diri penafsir dengan teks itu sendiri, maupun antara penafsir dengan berbagai penafsir lain yang menjadi lawan atau mitra dalam dunia interpretasi.6 Dalam perspektif yang demikian, penelitian ini akan membahas metode interpretasi Mazhab Salafi Saudi terkait isu-isu gender kontemporer. Penelitian akan menelusuri keragaman metode ini pada praktik interpretasi suatu kasus atas teks tertentu. Sekecil apapun keragaman ini, atau perbedaan, perdebatan, dan bisa jadi penyimpangan dari metode standar. Melalaui keragaman ini, diasumsikan bisa dimunculkan interpretasi alternatif yang sekaligus bisa menjadi media negoisasi antara berbagai pandangan keagamaan yang menjadi dasar ideologi gender di kalangan internal, atau mereka yang terpengaruh dan memberi simpati kepada Mazhab Salafi Saudi. Negoisasi yang membuka ruang transformasi keadilan gender. 4 Natana J. Delong-Bas, 2004, Wahhabi Islam; from Revival and Reform to Global Jihad, (Oxford and New York: Oxford University Press), hlm. 123191. 5 Koran Okaz Saudi Arabia, 9/12/2009. 6 Hermeneutika filosofis Gadamer misalnya menegaskan adanya aktivitas negoisasi dalam proses interpretasi dengan hal-hal yang berbeda dan yang dianggap “lain”. Lihat; Rees, Dilys Karen. 2003. “Gadamer's Philosophical Hermeneutics: The Vantage Points and The Horizons in Readers' Responses to an American Literature Text”. The Reading Matrix. Vol. 3. No. 1, April, 2003. Holistik Vol 13 Nomor 02, Desember 2012/1434 H
-139-
METODE INTERPRETASI TEKS-TEKS AGAMA DALAM MAZHAB SALAFI SAUDI MENGENAI ISU-ISU GENDER
-140-
B. TEKSTUALITAS DALAM TRADISI KESARJANAAN ISLAM Karakter utama dari pemikiran Islam, seperti yang disinyalir Abu Zayd dan Adonis, adalah orientasi pada teks.7 Dalam hal ini, teks tidak hanya menjadi rujukan nilai dan rumusan weltaunschung umat Islam, tetapi juga menjadi bahan dasar dari perkembangan pemikiran, peradaban, dan disiplin-disiplin ilmu. Sekalipun demikian, bukan teks yang menciptakan peradaban, tetapi interaksi umat terhadap teks yang berupa interpretasi-interpretasi yang menggerakkan dan menciptakan peradaban. Dalam interaksi ini, ada stagnansi, resistensi, inovasi, juga negoisasi-negoisasi makna yang muncul dan berkembang dalam tradisi kesarjanaan Islam. Walau demikian, dengan orientasinya pada teks, kompleksitas dan pluralitas pemikiran Islam yang dominan sampai saat ini, menurut Adonis setidaknya, menjadi bersifat ideologis dan berujung pangkal pada kekuasaan. Baik orientasi teks yang cenderung untuk transformasi sosial dan pembebasan, maupun orientasi yang sebaliknya yang cenderung bersifat literal dan tekstual untuk tujuantujuan konservatif dan fundamentalis. Kedua kecenderungan ini, yang progresif dan yang konservatif, dalam fenomena kontemporer umat Islam menjadi ideologis dan memiliki nafsu kuasa. Berbeda dari Adonis, bagi Abu Zayd kecenderungan ideologis justru ada pada cara pembacaan teks yang subyektif dan tidak obyektif. Metode pembacaan yang subyektif akan melahirkan interpretasi yang ideologis dan penuh nafsu kuasa. Metode ini, baik dilakukan pihak literalis konservatif maupun kontekstualis progresif, tidak membiarkan teks “apa adanya”. Yang terjadi, menurut Abu Zayd, adalah pemelintiran (talwîn) bukan penafsiran (tafsîr) atas teks untuk kepentingan ideologi masing-masing pembaca.8 Sementara menurut Abou El-Fadl, kecenderungan idelogis dan otoriterian justru lebih kentara ada pada model pembacaan yang lugas, tunggal dan monolit terhadap teks, sebagaiman Mazhab Salafi Saudi yang literal. Kompleksitas dan pluralitas tradisi interpretasi dalam 7 Nasr Hamid Abu Zayd, 2001, Tekstualitas Al-Qur’an, Yogyakarta: LKiS; dan Adonis, 2007, Arkeologi Sejarah Pemikiran Arab Islam, Yogyakarta: LKiS, terutama jilid 1. 8 Lihat: Moh. Nur Ichwan, “Beyond Ideological Interpretation: Nasr Abu Zayd Theory of Qur'anic Hermenutic,” Al-Jami’ah, No. 65/VI/2000, hlm. 14-38; dan Sukidi, “Naṣr Ḥāmid Abū Zayd and the Quest for a Humanistic Hermeneutics of the Qurʾān,” Die Welt des Islams, No. 49 (2009), hlm. 181-211. Holistik Vol 13 Nomor 02, Desember 2012/1434 H
Faqihuddin Abdul Kodir
tekstualitas kersarjanaan klasik justru memberikan ruang-ruang otoritas kepada banyak pihak, sehingga tidak bisa dimonopoli oleh penguasa semata. Begitupun tidak bisa dimonopoli oleh kelompok tertentu di antara masyarakat. Tradisi klasik, di mata Abou ElFadl, telah mengajarkan kompleksitas dan pluralitas kemungkinan interpretasi atas teks. Sehingga ketika tradisi klasik ini diteruskan saat ini, ia bisa membuka ruang-ruang demokrasi interpretasi atas teks, dan bisa mengeliminir nafsu-nafsu kuasa orang atau kelompok tertentu yang memonopoli teks dan atau metode interpretasi atas teks.9 Pluralitas dan kompleksitas kesarjanaan klasik terlihat jelas dalam pengembangan metode interpretasi atas teks, sebagaimana bisa dibaca pada disiplin ilmu Ushul Fiqh dan ilmu Tafsir. Di dalam rumusan teks otoritatif juga mengalami perdebatan dalam kesarjanaan klasik Islam. Setelah mengalami perdebatan, secara umum al-Qur'an telah diterima seluruh ulama sebagai satu-satunya teks yang dianggap otoritatif, valid dan otentik. Teks-teks lain bisa menjadi teks rujukan hanya jika telah memperoleh otorisasi dari al-Qur'an. Seperti kasus Hadits, dalam berbagai argumen, ia diterima sebagai teks rujukan karena memperoleh justifikasi dari al-Qur'an. Begitupun teks-teks lain, bisa menjadi teks rujukan, jika dipandang ia telah memperoleh otorisasi dari al-Qur'an. Selain Hadits, teks-teks yang memerlukan otorisasi al-Qur'an untuk menjadi teks rujukan adalah pernyataan-peranyataan Sahabat Nabi Saw, pandangan ulama generasi awal, konsensus-konsensus ulama pada masa tertentu, adat istiadat, dan kesepakatan-kesepakatan perdata. Selain al-Qur'an, dengan demikian, penetapan teks rujukan dalam kesarjanaan klasik jauh dari monolitik dan tidak tunggal. Ia lebih banyak mengandung perbedaan, perdebatan, kontestasi, dan negoisasi antar ulama. Setelah persoalan otoritas suatu teks, kesarjanaan klasik juga memperdebatkan persoalan otentisitas teks rujukan, mulai dari Hadits kemudian teks-teks lain dari Sahabat, atau Tabi'in. Problem otentisitas secara umum adalah bagaimana memastikan suatu teks benar-benar dikatakan oleh sumber awalnya. Suatu teks Hadits misalnya adalah benar-benar diucapkan oleh Nabi Saw. Problem ini telah melahirkan disiplin ilmu tersendiri (‘Ulûm al-Hadits), untuk memastikan suatu teks Hadits, benar-benar diriwayatkan orang yang jujur, tersambung dari murid ke guru, kuat hafalan, dan 9 Abou El-Fadl, Atas Nama Tuhan.
Holistik Vol 13 Nomor 02, Desember 2012/1434 H
-141-
METODE INTERPRETASI TEKS-TEKS AGAMA DALAM MAZHAB SALAFI SAUDI MENGENAI ISU-ISU GENDER
-142-
terbebas dari kesalahan periwayatan, dalam setiap generasi mulai dari perawi akhir yang menuliskannya sampai perawi awal, Sahabat yang mendengar dari Nabi Saw. Secara prinsip, tuntutan metodologis ini diterima untuk menguji otentitas suatu teks Hadits, tetapi pada praktik penilaian seseorang itu dianggap jujur, benar-benar tersambung dan mendengar langsung pada guru, dan terbebas dari kesalahan, itu terjadi perbedaan kriteria antar satu ulama dengan ulama yang lain. Karena perbedaan kriteria penentuan otentisitas ini, koleksi Hadits Imam Malik bin Anas (w. 179 H/ 795 M) dan Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H/855 M), sedikit banyak, berbeda dari koleksi ulama yang datang belakangan, seperti Imam Bukhari (w. 256 H/870 M) dan Imam Muslim (w. 261 H/875 M). Begitupun koleksi-koleksi yang datang menyusul, yang dalam penilaian berbagai pihak lebih rendah kualitasnya dari koleksi Bukhari dan Muslim. Sekalipun demikian, tetap saja koleksi-koleksi Hadits para Imam Hadits, terutama Abu Dawud (w. 275 H/889 M), an-Nasa'i (303 H/915 M), at-Turmudzi (279 H/892 M), Ibn Majah (273 H/887 M), al-Baihaqi (w. 458 H/1066 M), secara umum diterima sebagai kitab-kitab rujukan Hadits. Tetapi penerimaan ini tentu dengan menyisakan perbedaan dan perdebatan terutama terhadap satuan-satuan teks Hadits yang terkandung di dalam kitab-kitab ini.10 Problem otentisitas juga melahirkan berbagai pandangan-pandangan yang bisa bertentangan satu sama lain mengenai isu-isu tertentu dalam hal aqidah, ibadah, maupun mu'amalah. Sikap ulama fiqh juga beragam dalam kaitannya terhadap jenis hadits tertentu, sekalipun sepakat untuk menganngap konsep besar Hadits sebagai teks rujukan yang otoritatif. Kebanyakan ulama tidak menerima hadts ahad untuk hal-hal menyangkut keyakinan agama, tetapi masih ada sebagian ulama yang tetap menerimanya. Kebanyakan ulama fiqh misalnya tidak mau menerima hadits dhaif, tetapi masih ada sebagian yang
10 Bahkan sampai saat ini, ulama masih memperdebatkan otentisitas teks-teks hadits tertentu bukan secara keseluruhan, yang terdapat dalam koleksi Bukhari dan Muslim, apalagi dalam koleksi-koleksi yang lain. Nasiruddin al-Albâni (w. 1999) misalnya, tokoh ulama pendukung Mazhab Salafi Saudi kontemporer, telah melakukan kajian otentisitasi kembali terhadap teks-teks hadits tertentu, sehingga hadits yang dianggap sahih, atau hadits yang dha'if, di mata ulama hadits masa lalu bisa sebaliknya di mata al-Albâni. Lihat: Amin, Kamaruddin. 2004. “Nasiruddin al-Albani on Muslim's Sahih: A Critical Study of His Method”. Islamic Law and Society. 11. 2. hlm. 149-176. Holistik Vol 13 Nomor 02, Desember 2012/1434 H
Faqihuddin Abdul Kodir
lebih memilihnya daripada menggunakan qiyas. Imam Syafi'i (w. 204 H/820 M) tidak mau menerima hadits mursal (yang tidak menyebutkan periwayat dari generasi sahabat Nabi Saw), tetapi Imam Abu Hanifah (w. 150 H/767 M) tetap menerimanya. Imam Malik bin Anas (w. 179 H/792 M) tidak mau menerima hadits yang bertentangan dengan tradisi penduduk Madinah, tetapi ulama lain seperti Imam Syafi'i jsutru menolak tradisi ini jika bertentangan dengan teks hadits. Imam Abu Hanifah termasuk ulama yang menambahkan syaratsyarat, lebih dari sekeder persoalan kejujuran dan kemampuan hafalan periwayat, dalam menerima otoritas dan otentisitas suatu hadits. Di antaranya, setiap periwayat harus konsisten dengan isi hadits yang diriwiayatkan. Jika periwayat mengamalkan hal yang berbeda dari yang diriwayatkannya, maka teks hadits yang diriwayatkannya itu tidak bisa diterima. Isi hadits juga bukan merupakan berita publik yang seharusnya diketahui jumlah banyak dari masyarakat, tetapi hanya diriwayatkan oleh satu atau dua orang. Hadits mengenai sesuatu yang membatalkan wudhu, jika hanya diriwayatkan satu periwayat saja pada masa Nabi Saw, padahal masalah ini perlu diketahui banyak orang karena menyangkut hal yang bersifat publik, maka tidak bisa diterima. Imam Abu Hanifah juga mengharuskan periwayat sebagai orang yang cerdas dalam hal fiqh, jika masalah yang diriwayatkannya terkait masalah-masalah fiqh. Jika tidak, maka teks hadits yang diriwayatkannya tidak bisa diterima. Karena itu, jika ada teks hadits yang bertentangan dengan qiyas secara nyata, maka teks hadits bisa tidak diterima. 11 Di samping persoalan otoritas dan otentisitas suatu teks teks rujukan, tekstualitas dalam kesarjanaan klasik membicarakan lebih panjang lagi soal metode interpretasi untuk memahami makna-makna teks tersebut. Dalam diskursus interpretasi Islam, baik tafsir maupun fiqh, praktik penafsiran berawal dari keinginan untuk merujukkan segala persoalan kehidupan terhadap teks-teks dasar. Tetapi ketika konteks berbeda, atau menghadapi kasus-kasus lain yang sama sekali baru; persoalan kemudian muncul tentang bagaimana perujukan terhadap teks tersebut harus dilakukan. Di sini kemudian dikenalkan terminologi ijtihad, yang secara literal berarti upaya sungguh-sungguh, dalam memahami teks untuk menemukan 11 Kamali, Mohammad Hashim. 2001. The Principles of Islamic Jurisprudence, (Kuala Lumpur: Pelanduk), pp. 74-76. Holistik Vol 13 Nomor 02, Desember 2012/1434 H
-143-
METODE INTERPRETASI TEKS-TEKS AGAMA DALAM MAZHAB SALAFI SAUDI MENGENAI ISU-ISU GENDER
-144-
makna yang bisa dikaitkan antara kasus yang tersurat dalam teks dengan kasus-kasus atau konteks yang sama sekali baru.12 Ada dua pendekatan interpretasi yang pertama kali muncul yang masih berpengaruh sampai sekarang; satu yang bersandar pada teks rujukan (tafsîr bin-naql) dan yang lain yang bertumpu pada akal pikiran (tafsîr bil-‘aql). Kedua pendekatan ini menghiasi perdebatan kesarjanaan klasik dalam segala bidang ilmu. Para ulama penganjur “tafsir bin-naql”, yang dikenal juga dengan “ahl alhadits”, atau kelompok hadits, juga “ahl al-atsar”, atau kelompok yang bersandar pada warisan, memiliki ciri khas pendekatan tersendiri dalam memahami teks-teks rujukan, yang berbeda dari penganjur “tafsir bil 'aql”, atau “tafsir bi ar-ar'yi”. Jika mengambil contoh tafsir “bin-naql” yang pertama muncul yaitu ath-Thabari (w. 310 H/923 M), maka setiap makna ayat akan dijelaskan melalui pemaparan dari berbagai teks-teks rujukan pembantu; baik dari ayat-ayat yang lain, teks-teks Hadits, terutama pernyataan para Sahabat, Tabi'in, murid-murid mereka, dan juga teks-teks yang biasa disebut sebagai Israiliyat.13 Teks-teks pembantu ini bisa mendatangkan beragam makna, yang dekat dan juga yang jauh dari literal ayat. Teks-teks ini bisa bertentangan satu dengan yang lain. Karena itu, ath-Thabari sendiri biasanya akan mengevaluasi dan memilih salah satu teks pembantu, atau gabungan teks-teks pembantu, sebagai teks yang otoritatif untuk menjelaskan ayat yang sedang dibicarakan. Dalam beberapa kasus, ath-Thabari tidak melakukan evaluasi dan seleksi atas teks-teks pembantu itu. Sehingga, para pembaca dibiarkan untuk melakukan evaluasi dan memilih mana yang dianggap paling otoritatif dari teks-teks pembantu yang dipaparkan. Dus, tafsir binnaql jauh dari sesuatu yang monolit atau tunggal. Dia menghadirkan berbagai tawaran teks yang bisa dirujuk untuk menafsirkan suatu ayat. Dalam tawaran ini ada perbedaan dan pertentangan, sehingga memerlukan pendekatan rasio (tafsir bil-‘aql) tertentu untuk mengambil keputusan yang paling otoritatif dalam menentukan makna suatu teks. 12 Ash-Shahrastāni, Muḥammad b. 'Abd al-Karīm, 1992, al-Milal w al-Niḥal, ed. Aḥmad Fahmī Muḥammad, (Beirut: Dār al-Kutub al-'Ilmiyyah), hal. 210. 13 Tentang makna-makna istilah israiliyat yang berkembang dalam tradisi tafsir, lihat: Tottoli, Roberto, 1999, “Origin and Use of the Term Isrâ'iliyyât' in Muslim Literature”, in: Arabica, T. 46, Fasc. 2 (1999), hlm. 193-210. Holistik Vol 13 Nomor 02, Desember 2012/1434 H
Faqihuddin Abdul Kodir
Pada perkembangannya, interpretasi yang pada awalnya inter-teks dan dan antar teks-teks dasar, kemudian lebih banyak mendasarkan pada kreativitas akal pikiran manusia. Imam Syafi'i (w. 204 H/820 M) mengenalkan konsep interpretasi analogis (qiyâs), sebelumnya Imam Abu Hanifah (w. 150 H/767 M) mengenalkan 'pilihan akal terbaik' (istihsân), dan Imam Malik bin Anas (w. 179 H/796 M) menawarkan konsep 'kemaslahatan yang tersirat' (maslahah mursalah). Metode dan pendekatan ini selanjutnya dikembangkan dalam konsep-konsep yang lebih kompleks, yang oleh Imam al-Ghazali (w. 505 H/1111 M) dikenalkan dengan metode 'tujuan-tujuan dasar syari'at' (maqâshid asy-syari’ah). Konsep ini terus bergulir dan dikembangkan berbagai ulama fiqh dan tafsir, sampai pada puncaknya Najm ad-Dî�n ath-Thûfy (w. 716 H/1316 M) dari Mazhab Hanbali, yang dikenal tekstualis dan literal dari kelompok penganjur “tafsir bin-naql” menganggap kemaslahatan sebagai maksud utama seluruh teks-teks agama, sehingga ia harus selalu didahulukan dari semua makna yang terkandung dalam teks.14 Perkembangan metode dan pendekatan interpretasi yang lebih mengedepankan rasionalitas atas teks-teks dasar dalam Islam selalu diperhadapkan dan dipertentangkan dengan metode dan pendekatan yang lebih tekstual dan literal. Ketika Imam Abu Hanifah mengenalkan istihsân, Imam Syafi'i memprotesnya sebagai kebablasan, dan sebagai gantinya mengenalkan pendekatan interpretasi analogis, atau qiyas, dengan memastikan adanya sebab hukum dalam obyek yang disebut teks untuk diterapkan pada obyek hukum yang tidak disebut teks dengan hukum yang sama karena memiliki sebab yang sama. Tetapi qiyaspun, di mata Ahmad bin Hanbal, murid Imam Syafi'i sendiri, dianggap terlalu bergantung pada akal dan bukan pada teks. Ia kemudian menerima qiyas dengan setengah hati, bahkan mendahulukan hadits dha'if daripada qiyas. Ibn Hazm (w. 456 H/1054 M) termasuk salah seorang ulama yang sangat keras menentang pendekatan qiyas dalam interpretasi teksteks agama. Pendekatan literal dan tekstual pada praktiknya selalu dihadirkan untuk diperhadapkan dan mengkonter setiap sesuatu yang dianggap baru dalam diskursus metode dan pendekatan interpretasi dalam Islam. Tetapi pendekatan literal dan tekstual, pada kenyataannya dalam sejarah perkembangan diskursus interpretasi tidaklah tunggal dan tidak monolit. Dalam pendekatan tekstual 14 Zayd, Musṭafā, 1964, al-Maslaḥah fi al-Tashrī‘ al-Islāmī wa Najm al-Dīn alṬūfī, (Cairo: Dār al-Fikr al-Islāmī). Holistik Vol 13 Nomor 02, Desember 2012/1434 H
-145-
METODE INTERPRETASI TEKS-TEKS AGAMA DALAM MAZHAB SALAFI SAUDI MENGENAI ISU-ISU GENDER
-146-
misalnya, ada perdebatan bagaimana mempertemukan ayat-ayat yang secara lahir bertentangan, antara al-Qur'an dan Hadits yang secara lahir bertentangan, antara satu teks dengan teks Hadits yang lain, antara berbagai perawi yang berbeda satu dari yang lain, dan dalam penafsiran antara teks yang umum (‘amm) dengan teks yang khusus (khâss), antara makna lahir menurut pakar bahasa tertentu dengan pakar yang lain. Tafsir Muqatil bin Sulyman (w. 150 H/767 M) dan Tafsir ath-Thabari (w. 310 H/923 M), sebagai contoh generasi awal tafsir tekstual dan literal, sarat dengan berbagai pandangan yang beragam dalam menafsirkan satu ayat, bahkan satu kata dalam ayat. Dalam kesarjanaan klasik, ada kompleksitas dan kekayaan pembahasan metode interpretasi yang dikembangkan kreasi ijtihad akal manusia. Di tangan ulama abad kelima dan keenam hijriah (kesebelas dan keduabelas masehi), ijtihad metodologi ini telah sampai pada pertimbangan-pertimbangan keadilan dan keamslahatan publik sebagai dasar rumusan fatwa-fatwa keagamaan dan hukum Islam. Bahkan pendekatan literal dan tekstual sekalipun, telah menghadirkan varian dan pluralitas pandangan, pendekatan, maupun metode dalam praktik interpretasi teks-teks rujukan, dan kompleksitas yang tidak sederhana. Dari kelompok ulama penganjur teks dan pendekatan literal, juga lahir ulama seperti Abu al-Wafa bin Aqil (w. 513 H/1119 M), Najmuddin ath-Thufi (w. 716 H/1316 M), dan Ibn al-Qayyim al-Jawziyah (w. 751/1350 M) mengaitkan Syari'ah Islam dengan isu-isu keadilan, kemaslahatan, dan kerahmatan manusia, terutama dalam kaitannya dengan persoalan ekonomi, sosial, dan politik.15 Persoalannya adalah kemudian bagaimana sikap yang diambil dalam memandang variasi dan pluralitas ini; berhenti pada masa lalu saja, atau justru menumbuhkan kreatifitas pemikiran sebagaimana yang menjadi semangat masa lalu menumbuhkan berbagai rujukan tafsir dan pandangan-pandangan. C. TEKSTUALISME MAZHAB SALAFI SAUDI
Saya dalam pembahasan ini cenderung memilih istilah “Salafi Saudi”, daripada istilah-istilah lain yang digunakan beberapa
15 Lihat: Masud, Muhammad Khalid, 1977, Islamic Legal Philosophy: A Study of Abū Isḥāq al-Shaṭibī’s Life and Thought, (Islamabad: Islamic Research Institute); dan Al-Raysuni, Ahmad, 1426/2005, Imam al-Shatibi’s Theory of the Higher Objectives and Intents of Islamic Law, (London and Washington: IIIT). Holistik Vol 13 Nomor 02, Desember 2012/1434 H
Faqihuddin Abdul Kodir
peneliti lain seperti istilah “Wahabi”, “Wahabi-Saudi”, “WahabiHanbali”, “Salafi Radikal”, atau “Salafi” saja. Istilah “Wahabi” adalah istilah yang paling terkenal di kalangan para peneliti, untuk menyebut model keberagamaan yang dikenalkan Muhammad bin Abdul Wahhab (w. 1206 H/ 1792M) dan kemudian dianut secara resmi oleh Negara Saudi Arabia. Tetapi, di mata para penganut pemikiran Muhammad bin Abdul Wahhab, istilah “Wahabi” dianggap mendiskreditkan, pejoratif, dan tidak mencerminkan keutuhan dan orisinilitas keislaman mereka. Istilah “Salafi” lebih diterima mereka, dan dipergunakan untuk menunjukkan identitas dan metode interpretasi mereka. Kata “Salaf”, asal dari istilah “Salafi”, secara bahasa berarti orang terdahulu. Lawannya adalah kata “Khalaf”, yaitu orang terkemudian. Kata “Salafi”, dengan demikian, berarti orang yang merujuk atau mengikuti “orang-orang terdahulu”. Yaitu umat Islam generasi tiga abad pertama dalam Islam, masa Nabi Saw, Sahabat, Tabi'in dan Tabi' Tabiin. Saya tambahkan istilah “Salafi Saudi”, untuk melokalisir pembahasan, dan untuk membedakan dari “Salafi Reformis” Muhammad Abduh (w. 1905) dan Muhammad Rashid Rida (w. 1935) di Mesir,16 dan “Pesantren Salaf” di Indonesia yang keduanya sama sekali berbeda dengan “Salafi Saudi”.17 Mazhab Salafi Saudi ini muncul di kalangan para penganut Islam Sunni, tetapi mayoritas ulamanya pada saat kemunculan Muhammad bin Abdul Wahhab justru menolak dan menganggapnya sebagai penyimpangan dari Ahli Sunnah wal-Jama'ah. Mereka sendiri mengklaim sebagai kelompok yang selamat (firqah najiyah) dan pewaris Ahli Sunnah wal Jama'ah. Doktrin utama mereka adalah tauhid, pengeesan Allah Swt. Dengan doktrin tauhid ini, Salafi Saudi melakukan gerakan pemurnian dengan mengembalikan Islam hanya pada apa yang 16 Mengenai penggunaan istilah Salaf, Salafi, dan Salafiyah, di dunia Muslim modern, khususnya Timur Tengah, lihat: Muhammad Immarah, 1994, asSalafiyah, Tunis: Dar al-Ma'arif; dan Muhammad Fathi Utsman, 1993, asSalafiyah fi al-Mujtama’at al-Mu’asirah, Kuwait: Dar al-Qalam. 17 Ada blog website yang menggunakan nama “Salafy Indonesia” yang isinya justru melakukan kritik terhadap gerakan keagamaan yang mengatasnamakan diri mereka sebagai “Salafi” dari Saudi Arabia, atau yang disebut oleh pengelola web ini sebagai “Wahabisme”. Nama “Salafy Indonesia” sepertinya dipakai pengelola blog ini justru dengan maksud untuk merebut istilah “Salafi” dari gerakan keagamaan di Saudi Arabia yang memakai istilah “Salafi” secara salah dalam pandangan mereka. Alamat blog ini adalah: http:// salafyindonesia.wordpress.com. Holistik Vol 13 Nomor 02, Desember 2012/1434 H
-147-
METODE INTERPRETASI TEKS-TEKS AGAMA DALAM MAZHAB SALAFI SAUDI MENGENAI ISU-ISU GENDER
-148-
mereka sebut sebagai asli dan otentik. Yaitu yang disampaikan Allah dalam al-Qur'an, Nabi Saw dalam hadits-hadits, serta teladan para Sahabat, Tabi'in dan Tabi' Tabi'in. Teladan yang dimaksud adalah pemahaman secara literal terhadap teks, baik al-Qur'an mapun Hadits. Mereka menolak segala bentuk pembaruan agama, baik aqidah, ibadah, maupun pemikiran-pemikiran Islam. Segala hal yang menurut mereka dimungkinkan akan merusak doktrin tauhid harus dilawan dan dihancurkan. Karena itu, mereka tidak segansegan untuk merusak seluruh situs keagaman, seperti kuburan Nabi Saw, para sahabat dan para wali, yang dianggap mereka telah disucikan umat Islam. Salafi Saudi menolak secara keras bergabung dalam atau menerima mazhab-mazhab kalam atau teologi, sekolahsekolah pemikiran filsafat, apalagi tarikat-tarikat tasawuf. Mazhab Salafi Saudi merupakan fenomena kontemporer yang masih bisa ditarik ke belakang, khususnya ke pendiri Muhammad bin Abdu Wahhab (w. 1206 H/1792 M) yang bermazhab Hanbali. Ia juga banyak merujuk banyak tokoh dan ulama Mazhab Hanbali, yang juga satu sama lain ada perbedaan, ragam pemikiran, pandangan, dan metode interpretasi yang dikembangkan. Tetapi ada karakter-karakter dasar yang membedakan mazhab ini, dari mazhab-mazhab lain, seperti Hanafi, Maliki, dan Syafi'i. Mazhab Hanbali di tangan Muhammad bin Abdul Wahhab juga secara jelas memiliki pengaruh pada jejak-jejak Ibn Taymiyah (w. 728 H/1327 M) dan Ibn al-Qayyim al-Jawziyyah (w. 751 H/1350 M), sekalipun tidak mengadopsi sepenuhnya pemikiran kedua tokoh ini. Mazhab Hanbali, terutama melalui tokoh-tokoh ini, secara jelas meletakan otoritas pada teks-teks lebih dari yang dilakukan mazhab yang lain. Hadits menjadi teks yang tidak hanya dirujuk dalam merumuskan ajaran keagamaan, tetapi menjadi penilai dan pemutus dari semua rumusan interpretasi, pemikiran, dan praktik-praktik kehidupan. Karena itu mereka dikenal dengan istilah Ahl al-Hadits, atau pengikut dan pembela Hadits. Mazhab ini juga memberikan otoritas pada pandangan-pandangan Sahabat dan murid-murid Sahabat sebagai teks rujukan yang sah setelah al-Qur'an dan Hadits. Karena itu, mereka menyebut diri mereka sebagai pengikut Salaf, atau “Mazhab Salafi”, yaitu generasi Sahabat dan murid-murid Sahabat.18 18 Lihat: Abu Zahrah, Muhammad, 1974, Ibn Hanbal: Hayâtuhû wa ‘AsruhûArâ’uhû wa Fiqhuhû, (Cairo: Dar al-Fikr al-'Arabi). Holistik Vol 13 Nomor 02, Desember 2012/1434 H
Faqihuddin Abdul Kodir
Tekstualisme Mazhab Salafi Saudi memiliki karakter-karakter dasar yang secara umum bisa disimpulkan dalam lima hal berikut; pertama bahwa teks-teks rujukan yang otoritatif tidak terbatas hanya pada al-Qur'an dan Hadits semata, tetapi juga pandangan Sahabat, Tabi'in, bahkan murid-murid Tabiin. Kedua, bahwa otoritas hadits mutawatir adalah sama dengan ahad, dan karena itu, semua hadits yang dinilai sahih dianggap setara dengan al-Qur'an. Ketiga, kritisisme Hadits dalam ilmu Hadits menjadi penentu penerimaan dan penolakan suatu hadits, tanpa ada pertimbangan-pertimbangan lain sebagaimana ditemukan dalam mazhab-mazhab fiqh. Keempat, sikap mereka yang tegas dalam membatasi dari penggunaan qiyas, dan segala jenis interpretasi berbasis akal pikiran maupun pengalaman-pengalaman spiritual. Kelima, metode interpretasi mereka yang sangat literal terhadap teks-teks agama, baik al-Qur'an maupun Hadits.19 Mazhab Salafi Saudi sendiri, baik pendiri, penerus, maupun ulama kontemporer sangat sedikit sekali mendiskusikan metode interpretasi atas teks, sebagaimana yang dilakukan para ulama fiqh dalam karya-karya Ushul Fiqh mereka. Dalam konteks karya-karya terkait teori tekstualisme dan metode interpretasi, Muhammad bin Abdul Wahhab menulis beberapa halaman mengenai empat kaidah interpretasi, yang sering menjadi rujukan Mazhab Salafi Saudi. Ini karya yang sangat kecil dan sederhana.20 Dalam karya ini, Ibn Abdul Wahhab menjelaskan mengenai empat kaidah empat kaidah interpretasi yang harus diaplikasikan dalam segala disiplin ilmu; tafsir, hadits, maupun fiqh. Yaitu, Pertama, haram hukumnya berbicara atas nama Allah Swt tanpa memiliki ilmu. Kedua, setiap sesuatu yang tidak dibicarakan pembuat syari'at (dalam teks) maka ia masuk kategori "afwun" (dibiarkan), tidak boleh seseorang mengharamkannya, mewajibkannya, menganjurkannya, atau 19 Ibid; dan Muhammad Immarah, as-Salafiyah. 20 Muhammad bin Abdul Wahhab, Arba’u Qawâ’id Tadûru ‘alaihâ al-Ahkâm wa Yalîha Nubdzat fî-ittibâ’ an-Nushûsh ma’a-ihtirâm al-‘Ulamâ, diakses dari: Di antara ulama kontemporer Mazhab Salafi yang banyak mendiskusikan metode interpretasi Mazhab Salafi Saudi ini adalah Muhammad Nasîr alDîn al-Albâni (w. 1999). Dia menulis berbagai makalah terutama terkait dengan otoritas Hadits dalam praktik interpretasi al-Qur'an dan fatwafatwa keagamaan. Di antaranya adalah makalah-makalah, yang berjudul Kayfa Yajibu an Nufassira al-Qur’an, al-Hadîts Hujjatun binafs Holistik Vol 13 Nomor 02, Desember 2012/1434 H
-149-
METODE INTERPRETASI TEKS-TEKS AGAMA DALAM MAZHAB SALAFI SAUDI MENGENAI ISU-ISU GENDER
-150-
memakruhkannya. Ketiga, meninggalkan dalil yang sudah jelas, dan mengambil dalil dari ungkapan yang samar (mutasyabih) adalah cara yang dilakukan kelompok sesatu seperti kelompok Rafidhah dan Khawarij. Yang wajib bagi muslim adalah mengikuti teks yang jelas (muhkam). Jika mengetahui makna yang mutasyabih dan menemukannya, tidaklah boleh menyelisihi yang muhkam, sebaliknya harus menyesuaikan dengan yang muhkam. Jika tidak bisa, maka cukup baginya mengikuti orang-orang yang paham dengan mengatakan: “Kami beriman padanya, semua itu datang dari Tuhan Kami”. Keempat, bahwa Nabi Muhammad Saw telah menyebutkan “yang halal itu sudah jelas, yang haram itu jelas, dintara keduanya adalah perkara-perkara musytabihat. Di antara ulama kontemporer Mazhab Salafi yang banyak mendiskusikan metode interpretasi Mazhab Salafi Saudi ini adalah Muhammad Nasî�r al-Dî�n al-Albâni (w. 1999). Dia menulis berbagai makalah terutama terkait dengan otoritas Hadits dalam praktik interpretasi al-Qur‟an dan fatwa-fatwa keagamaan. Di antaranya adalah makalah-makalah, yang berjudul Kayfa Yajibu an Nufassira al-Qur’an, al-Hadîts Hujjatun binafsihî fî al-‘Aqâ’id wa al-Ahkâm, Manzilat as-Sunnah fi al-Islâm, dan Fiqh al-Wâqi’.21 Makalah-makalah ini secara umum menegaskan keharusan interpretasi al-Qur‟an berbasis Hadits, keharusan kritisisme Hadits, bahwa Hadits setara dengan al-Qur‟an, tidak ada dikhotomi mutawatir untuk aqidah dan ahad untuk ibadah, tidak ada otoritas untuk hadits dhaif, dan bahwa ilmu-ilmu lain seperti tehnologi, kedokteran, apalagi sosiologi dan yang lain hanya sekunder dalam proses interpretasi dan tidak boleh bertentangan dengan literal ayat al-Qur‟and dan teks Hadits. Syekh Muhammad bin Salih Al-Utsaimin (w. 2001) juga menulis buku tipis dan kecil, berjudul al-Ushûl min ‘Ilm al-Ushûl, berisi ringkasanringkasan pembahasan Ushul Fiqh. Dalam buku ini ada pembelaan karakter-karakter dasar interpretasi Mazhab Salafi Saudi, tetapi sangat singkat dan tidak ada diskusi yang memadai.22 Sekalipun Mazhab Salafi Saudi berusaha keras untuk terikat dengan kelima karkater di atas, tetapi perbedaan cara pandang di antara mereka tidak bisa dielakkan dan bisa terlihat dalam detail pembahasan terutama praktik fatwa-fatwa mereka. Jika kerangka Mazhab ini diperluas, yaitu menjangkau ulama-ulama rujukan dai 21 22
Semua makalah ini bisa diakses di: www.al-mostafa.com Buku ini diterbitkan Dar al-Iman, Iskandariyah-Mesir, tahun 2001.
Holistik Vol 13 Nomor 02, Desember 2012/1434 H
Faqihuddin Abdul Kodir
Mazhab Hanbali seperti Ibn Hanbal (w. 310 H/ 923 M) sendiri, Ibn Ibn Taymiyah (w. 728 H/1327 M) dan Ibn al-Qayyim al-Jawziyyah (w. 751 H/1350 M), maka spektrum perbedaan, perdebatan, dan kompleksitas bisa menjadi lebih luas. Tekstualitas al-Qur‟an dan Hadits sebagai rujukan misalnya, pada praktiknya, terjadi perdebatan; hadits seperti apa, dan apa saja yang bisa dianggap Hadits. “Slogan kembali merujuk pada al-Qur‟an dan Hadits” dengan menolak segala perkataan selain keduanya, tidak sepenuhnya ketat, karena dalam slogan ini juga memasukkan pernyataan Sahabat, Tabi‟in, dan bahkan murid-murid Tabiin sebagai teks-teks yang bisa dirujuk dan dijadikan dasar penetapan suatu interpretasi atau fatwa hukum. Dalam pernyataan Ibn al-Qayyim, rujukan hukum Islam adalah al-Qur‟an, Hadits, pernyataan Sahabat, pernyataan Tabiin, bahkan fatwa generasi paska Tabiin. Karena mereka yang berada pada generasi ini, menurut Ibn al-Qayyim, memiliki keimanan, keutamaan, dan komitmen yang jauh lebih tinggi dan lebih baik dari generasi yang datang kemudian.23 Sekalipun banyak mengambil dari Mazhab Hanbali misalnya, banyak ulama Salafi Saudi yang memproklamasikan tidak terikat dengan pandanganpandangan Imam Ahmad bin Hanbal, tidak juga pada ulamaulama mereka. Ini dilakukan, karena ada perbedaan-perbedaan dalam praktik interpretasi tertentu. Biasanya mereka beralasan, mengikut kebenaran lebih utama daripada mengikuti Imam Ahmad bin Hanbal. Tetapi kebenaran yang dimaksud adalah pemahaman mereka sendiri atau setidaknya sikap mereka terhadap teks-teks yang dirujuk. Sikap terhadap hadits dhaif misalnya, berbeda antara satu ulama ke ulama yang lain. Ulama Salafi awal sangat bergantung pada hadits dha‟if, tetapi Salafi Saudi kontemporer justru menjadikan sikap “anti hadits dha‟if” sebagai identitas yang membedakan diri mereka dari umat Islam yang lain. Sekalipun pada praktiknya, menilai suatu hadits sebagai dha‟if atau lemah, juga didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan yang sangat dimungkinkan bisa berbeda antara satu ulama dengan ulama yang lain. Persoalan kritisisme Hadits sangat kompleks, terutama mengenai kesepakatan syarat-syarat suatu teks dianggap sahih, atau sebaliknya dianggap dha‟if. Di samping persoalan banyak riwayat-riwayat Hadits, atau redaksi-redaksi yang berbeda satu dari yang lain. Karena itu, sikap untuk menerima semua hadits sahih, dan menolak semua haidts 23
Ibn al-Qayyim, I‟lam al-Muwaqqi‟in, juz 1, hlm. 28; dan juz 4, hlm. 118.
Holistik Vol 13 Nomor 02, Desember 2012/1434 H
-151-
METODE INTERPRETASI TEKS-TEKS AGAMA DALAM MAZHAB SALAFI SAUDI MENGENAI ISU-ISU GENDER
-152-
dha‟if, adalah pada praktiknya tidak sederhana, tidak tunggal, dan tidak bisa menutup perbedaan sama sekali. Termasuk dalam satu mazhab Salafi, apalagi di antara berbagai mazhab. Belum lagi soal makna-makna yang terkandung dari teks tersebut, sekalipun sepakat harus mengaplikasikan “metode literal” bukan yang kiasan dan alegoris. Hal yang sama juga terjadi pada sikap untuk menerima semua pandangan Sahabat dan Tabiin sebagai teks-teks rujukan, selama tidak bertentangan dengan al-Qur‟an dan Hadits. Bagaimana memastikan bahwa suatu teks benar-benar merupakan pandangan Sahabat dan atau Tabiin? Bagaimana jika pandangan itu berbeda dan bertentangan satu dari yang lain? Sekalipun Albani mengikuti, menghormati dan memuji pendiri Salafi Saudi, Muhammad bin Abdul Wahhab, tetapi ia memberikan penilaian umum bahwa Ibn Abdul Wahhab tidak cermat dalam fiqh maupun hadits. Ia menilai Ibn Abdul Wahab telah menggunakan hadits dhaif dalam tawasul. Sesuatu yang sangat fatal dalam prinsip tauhid dan metode interpretasi Salafi Saudi.24 Ibn Abdul Wahhab juga diriwayatkan pernah menentang pandangan Khalifah Abu Bakr ra terkait persoalan pembagian zakat, karena dianggap bertentangan dengan teks al-Qur‟an atau Hadits.25 Pertanyaanya, bagaimana dengan ideologi mereka bahwa Sahabat lebih paham tentang arti al-Qur‟an dan Hadits daripada generasi-generasi setelah mereka? Apakah Ibn Abdul Wahhab yang hidup ratusan tahun setelah Abu Bakr ra lebih paham? Ataukah ada kaidah-kaidah lain untuk menentang pandangan Sahabat? Ataukah sesungguhnya “teks Sahabat” tidak sebagaimana dirumuskan Mazhab Salafi Saudi sebagai teks rujukan? Hal yang sama juga berlaku untuk isu-isu dan kaidah-kaidah lain dalam interpretasi Mazhab Salafi Saudi atas teks-teks rujukan. Soal metode interpretasi berbasis akal pikiran juga sama, terutama dalam kaitannya dengan konsep maslahah sebagai basis interpretasi teks. Pernyataan-pernyataan Abu al-Wafa bin Aqil (w. 513 H/1119 M), Najmuddin ath-Thufi (w. 716 H/1316 M), dan Ibn al-Qayyim al-Jawziyah (w. 751/1350 M) sangat jelas mengaitkan Syari‟ah Islam dengan isu-isu keadilan, 24
25
Nasiruddin Al-Albani, 2002, “Ta‟liq 'ala Maqâl ad-Da‟wah as-Salafiyah wa Mawqifuhâ min al-Harakât al-Ukhrâ”, dalam Syekh 'Id Abbâs, ad-Da’wah as-Salafiyah wa Mawqifuhâ min al-Harakât al-Ukhrâ, (Iskandariyah: Dar al-Iman), hlm. 27-35. Delong-Bas, Wahhabi Islam, hlm. 102.
Holistik Vol 13 Nomor 02, Desember 2012/1434 H
Faqihuddin Abdul Kodir
kemaslahatan, dan kerahmatan manusia, terutama dalam kaitannya dengan persoalan kehidupa sosial-politik. Secara diskursus, metode yang tekstual dan literal dalam interpretasi teks juga menghadirkan keragaman, perbedaan, dan perdebatan. Perbedaan ini terjadi besar kemungkinan karena proses pertemuan, dialog, dan negoisasinegoisasi. Baik pertemuan dengan kondisi dan konteks yang berbeda-beda, argumentasi-argumentasi lain, terutama metode dan interpretasi yang dikembangkan mazhab-mazhab lain. Mazhab Salafi Saudi tentu memiliki karakter-karakter dasar interpretasi, yang bisa dirunut ke belakang sebagai benar-benar pandangan orang-orang salaf tertentu, tetapi juga memiliki penyimpangan atau perbedaan dari karakter tersebut. Fatwa-fatwa ulama Mazhab mengenai isu gender kontemporer, di samping memperlihatkan secara jelas keterikatan mereka dengan kaidah-kaidah interpretasi mereka, juga sedikit banyak memperlihatkan sisi lain; perdebatan, perbedaan, penyimpangan, dan kerancuan-kerancuan tertentu. Isuisu Gender dalam Interpretasi Mazhab Salafi Saudi Isu gender adalah isu yang melekat pada setiap orang dengan identitas jenis kelamin tertentu dalam relasinya dengan jenis kelamin yang lain. Isu-isu ini menyangkut setiap orang, laki-laki maupun perempuan, dan banyak sekali sejak seseorang itu lahir sampai meningal dunia. Tetapi isuisu ini lebih banyak mengenai perempuan, karena sampai saat ini mereka masih didefinisikan secara sosial sebagai manusia yang selalu dikaitkan dengan laki-laki. Berbeda dengan laki-laki yang dinilai secara mandiri dan terpisah dari perempuan, kecuali untuk hal-hal yang sangat spesifik. Setiap fatwa keagamaan, karena itu, sesungguhnya bisa dilihat sebagai isu gender, ketika ia dilihat dalam sebuah kerangka analisis relasi antara laki-laki dan perempuan. Tetapi secara lebih khusus, Mazhab ini memiliki pandanganpandangan mengenai kedudukan perempuan dan relasinya dengan laki-laki, fitnah tubuh perempuan, domestifikasi dan hak-hak publik perempuan, yang dianggap banyak analisis sebagai diskriminatif. Fatwa-fatwa dan pandangan-pandangan keagamaan ulama Mazhab Salafi, sejak pendirinya Muhammad bin Abdul Wahhab sampai akhir abad dua puluh telah dibukukan dalam kitab “AdDurar as-Saniyyah fî� al-Ajwibah al-Najdiyah” yang berjumlah 16 jilid. Di jilid yang ke-16 ini, ada pernyataan tegas dari tiga tokoh ulama Mazhab yang menyatakan bahwa laki-laki dan perempuan di mata Hukum Islam sama sekali tidak setara. Ketiga ulama tersebut adalah Holistik Vol 13 Nomor 02, Desember 2012/1434 H
-153-
METODE INTERPRETASI TEKS-TEKS AGAMA DALAM MAZHAB SALAFI SAUDI MENGENAI ISU-ISU GENDER
-154-
Syekh Abdullah bin Muhammad bin Humaid (w. 20/11/1402),24 Muhammad bin Ibrahim bin Abdullatif (w.1389H), Syekh Abdullah bin Sulaiman bin Humaid (w. 3/6/1404). 26 Menurut mereka, Islam secara tegas dan jelas menganggap laki-laki lebih tinggi kedudukan dan lebih berhak dalam banyak hal dibandingkan dengan perempuan. Dalam pandangan Mazhab ini, setidaknya berdasarkan pada pernyataan ketiga ulama tersebut, perempuan dan laki-laki tidak setara di mata Islam, atau di depan hukum Islam. Epistemologi ideologi ini, dalam analisis feminis, secara diskriminatif menganggap laki-laki adalah makhluk yang lebih utama dari perempuan, dan secara jelas perempuan diposisikan sebagai subordinat terhadap laki-laki. Jika ideologi ini menjadi cara pandang, maka hampir semua interpretasi atas teks-teks akan mengarah untuk memastikan kesimpulan-kesimpulan diskriminatif ini. Pandangan-pandangan hukum juga sudah bisa dipastikan akan terlahir timpang dan tidak memihak pada perempuan.27 Di samping individu-individu yang kerap memberikan pandangan hukum dan fatwa keagamaan, seperti Syekh 'Abd al-'Azî�z bin Bâz (w. 1999), dan Muhammad Salih al-'Uthaymin (w. 2001), juga ada Badan Negara yang secara resmi mengeluarkan fatwa-fatwa keagamaan. Badan ini pertama kali didirikan melalui Surat Keputusan Raja pada Tahun 1971, dengan nama Badan Negara Urusan Pengetahuan dan Fatwa Keagamaan (al-Lajnah ad-Da’imah fi al-Buhuts al-‘Ilmiyyah wa al-Ifta). Badan ini diketuai ulama yang menjabat Mufti Kerajaan Saudi Arabia, dan beranggotakan para ulama yang berhaluan Salafi Saudi. Sejak tahun 1975, Badan ini dipimpin Syekh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz sekaligus Mufti Kerajaan. Kepemimpinan bin Baz baru digantikan setelah kewafatannya pada Tahun 1999, digantikan wakilnya, yaitu Syekh Abdul Aziz bin Abdullah Alu asy-Syaikh. Badan Negara ini bekerja mengeluarkan berbagai fatwa-fatwa keagamaan menyangkut berbagai hal, aqidah, ibadah, mu‟amalah, dan segala urusan-urusan kecil dalam kehidupan. Urusan-urusan yang terkait 26
27
Abdurrahman bin Muhammad an-Najdi, 1999, Ad-Durar as-Saniyyah fî alAjwibah an-Najdiyah; Majmû’ah Rasâ’il wa Masâ’il ‘Ulamâ Najd al-A’lâm min ‘Asr asy-Syaikh Muhammad ibn Abdul Wahhâb ilâ ‘Asrinâ hâdzâ,(TT, TP), juz 16, hlm. 39-45. Untuk memahami ideologi gender dalam kaitannya dengan tradisi keagamaan Islam bisa dibaca: Fadwa Malti-Douglas, 1991, Woman’s Body, Woman’s Word: Gender and Discourse in Arabo-Islamic Writing, p. 51 (Princeton, NJ: Princeton University Press).
Holistik Vol 13 Nomor 02, Desember 2012/1434 H
Faqihuddin Abdul Kodir
dengan perempuan, atau relasi laki-laki dan perempuan, termasuk yang mendapat porsi fatwa yang cukup besar. Fatwa-fatwa kontemporer dari Badan Negara, al-Lajnah ad-Da’imah fi al-Buhuts al-‘Ilmiyyah wa al-Ifta, sebagian telah dibukukan oleh Khalid alJuraisi dengan judul “al-Fatawa asy-Sayr’iah fi al-Masa’il al-‘Asriyah min Fatawa ‘Ulama al-Balad al-Haram”. Buku ini diterjemahkan ke Bahasa Indonesia dengan judul “Fatwa-fatwa Terkini”, diterbitkan Darul Haq, Jakarta dalam 3 jilid. Di dalam buku ini, bisa terlihat jelas representasi pandangan Mazhab Salafi Saudi mengeni isu-isu gender kontemporer. Mulai dari persoalan aurat dan pakaian perempuan, perhiasan, keluar rumah ke pasar atau masjid, bekerja di luar rumah, pergi ke luar negeri untuk pendidikan atau berobat, pergi naik pesawat, termasuk menyetir mobil sendiri, atau ikut dalam mobil dengan supir yang bukan suami atau kerabat dekat. Fatwafatwa Mazhab Salafi ini bisa dibaca dari analisis feminis ini, pada saat yang sama bisa dilihat dari sisi pluralitas metode interpretasi yang digunakan. Jika fatwa-fatwa ini dibaca dari analisis feminis, seperti diusulkan Fadwa Malti-Douglas, perempuan dalam Mazhab Salafi Saudi dianggap makhluk yang memiliki potensi pengganggu (fitnah) stabilitas sosial dalam kehidupan publik yang sudah didominasi laki-laki. Fitnah di sini lebih banyak dipahami sebagai gairah yang berujung keintiman seksual. Perempuan diyakini memiliki sesuatu dalam tubuhnya, yang membuat laki-laki bangkit gairahnya, dan tergoda untuk melakukan hal-hal yang menjurus pada keintiman seksual. Untuk menghindari fitnah ini, perempuan harus dipaksa berada di dalam rumah, dilarang melakukan berbagai aktifitas publik, apapun bentuknya, kecuali dengan pakaian yang tertutup, dan harus didampingi kerabat dekat yang membuat dia dan masyarakat terjamin aman dari fitnah tersebut. Segala bentuk penguatan perempuan, baik kesehatan, ekonomi, maupun pendidikan, dilarang untuk dilakukan di wilayah publik, apalagi dalam suasan yang bercampur dengan laki-laki. Larangan ini diberlakukan untuk melindungi masyarakat dari ancaman fitnah perempuan ini. Sebagai ganti dari segregasi dan larangan-larangan ini, sistim keluarga, terutama suami dan ayah, harus menjamin segala kebutuhan perempuan yang berada di dalam rumah. Merekapun dituntut untuk menjadi pelindung dan pengawas kehormatan keluarga, melalui kontrol terhadap semua aktifitas perempuan. Perwalian dan konsep mahram, dijaga dan Holistik Vol 13 Nomor 02, Desember 2012/1434 H
-155-
METODE INTERPRETASI TEKS-TEKS AGAMA DALAM MAZHAB SALAFI SAUDI MENGENAI ISU-ISU GENDER
-156-
dilestarikan dalam cara pandang yang konvensional, adalah untuk memenuhi tuntutan ini. Sistem sosial juga administrasi negara dituntut menyediakan segala jenis perlindungan ini, dan pada saat yang sama dituntuk untuk melarang dan memastikan perempuan tidak berkeliaran di wilayah-wilayah publik, untuk alasan apapun. Perlindungan dan penjaminan perempuan di wilayah domestik ini menjadi kebanggaan Mazhab Salafi Saudi dalam mempersepsi Islam. Jika fatwa-fatwa terkait relasi gender Mazhab Salafi ini dianalisis dari sisi metode interpretasi, secara umum mereka taat asas kaidah interpretasi, terutama pijakan pada literal teks dari al-Qur‟an dan Hadits. Tetapi dalam detail penjabaran fatwa, terutama untuk kasuskasus yang belum secara jelas dan tegas disebutkan dalam teksteks, sesunggunya yang beroperasi adalah ideologi gender Mazhab Salafi Saudi. Dalam ideologi ini yang banyak dioperasikan adalah tiga konsep utama; fitnah, khalwah, dan mahram. Ketiga konsep ini dioperasikan untuk tujuan dasar, yaitu perlindungan moral masyarakat. Pengoperasian ideologi ini, pada praktiknya, justru lebih kentara dan dominan dalam memilih teks dan memaknainya. Ide perlindungan moral ini diterjemahkan hanya pada persoalan fitnah seksual dari tubuh perempuan ke gairah laki-laki. Ide perlindungan ini, baik di domestik untuk keamanan perempuan atau di publik laki-laki dari fitnah perempuan, menjadi alasan hukum (‘illah) yang hampir selalu dimunculkan Salafi Saudi dalam setiap penetapan-penetapan hukum dan fatwa-fatwa kontemporer mereka. Mereka mengoperasikan alasan hukum atau ‘illah ini melalui metode interpretasi yang dikenal dengan istilah sadd adzdzara’i, atau menutup jalan yang menuju kerusakan, dan dar’u almafâsid muqaddam ‘ala jalb al-mashâlih, atau menolak kerusakan harus didahulukan daripada mendatangkan kemaslahatan. Fatwa mengenai larangan perempuan menyupir yang dikeluarkan baik oleh Syekh Ibn Baz dan Syekh Ibn Utsaimin menunjukkan bagaimana fitnah, khalwah, yang lain, dioperasikan dalam metode sadd adzdzarâi’.28 Metode sadd adz-dzarâi’ untuk penjagaan moral (baca: seksual) masyarakat ini, hampir selalu hadir dalam setiap fatwa-fatwa yang menyangkut kehidupan perempuan. Mulai dari kebiasaan memakai sepatu hak tinggi, memakai minyak wangi, keluar rumah berbelanja, 28
Syekh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, dkk. 2003. Fatwa-fatwa Terkini, (Jakarta: Darul Haq), jilid 2, hlm. 538-545.
Holistik Vol 13 Nomor 02, Desember 2012/1434 H
Faqihuddin Abdul Kodir
pergi naik mobil bersama supir, termasuk ketika menyupir sendiri, apalagi bepergian ke luar negeri untuk tujuan apapun. Fatwa larangan menyupir bagi perempuan yang dikeluarkan Ibn Utsaimin, sangat jelas bagaiman ketiga konsep fitnah, khalwah, dan mahram dioperasikan melalui metode sadd adz-dzarâi’ dalam pemikiran keagamaan Mazhab Salafi Saudi. Persoalan menyetir sesungguhnya adalah persoalan baru, yang tidak ada preseden secara khusus dari teks al-Qur‟an mapun Hadits. Karena itu, fatwa tersebut tidak merujuk sama sekali pada teks-teks yang langsung membahas persoalan.29 Dalam fatwa pengharaman menyetir ini, tidak ada satu tekspun yang jelas dan langsung melarang perempuan menyetir mobil, bahkan mengendarai unta, kuda, atau kendaraan apapun yang diasumsikan ada pada masa teks-teks itu lahir. Yang muncul justru alasan-alasan fitnah, khalwah, dan mahram yang dioperasikan dalam metode interpretasi sadd adz-dzarâi’. Jika konsisten dengan kaidah Muhammad bin Abdul Wahhab, seperti dijelaskan dalam bab 3, “apa yang tidak disebutkan dalam teks adalah harus dibiarkan”, seharusnya ulama Salafi Saudi tidak semudah dan secepat itu mengharamkan perempuan menyetir mobil. Ideologi gender tertentu yang mendorong para ulama Salafi Saudi untuk mengoptimalkan alasan-alasan fitnah, khalwah, dan mahram, dibanding dengan alasan-alasan lain; seperti hak belajar, kesehatan, dan partisipasi politik, atau hak-hak yang lain. Ada banyak lagi fatwa-fatwa yang memiliki kerangka berpikir yang sama, yaitu berputar sekitar fitnah, khalwah, dan kewajiban mahram. Dalam fatwa-fatwa terkait persoalan rumah tangga misalnya, disebutkan bahwa jika di dalam rumah hanya ada keluarga kecil; suami, istri dan anak-anak kecil, maka tidak boleh keluarga ini mengambil perempuan pekerja pelayan, juga tidak boleh mengambil supir laki-laki. Dalam keadaan si istri keluar rumah dan suami di dalam rumah, dikhawatirkan suami akan tergoda dengan pelayan perempuan. Begitupun, si istri dan sopir yang laki-laki. Dikhawatirkan akan tergoda ketika suami di luar rumah, atau ketika mereka pergi naik mobil tanpa ada suami di dalamnya. Ideologi fitnah, khalwah, dan mahram demikian kuat dalam pemikiran keagamaan Salafi Saudi, sehingga seorang perempuan tetap dilarang bepergian, naik pesawat sekalipun, dimana kerabatnya bisa mengantar sampai 29
Ibid, hlm. 541-545.
Holistik Vol 13 Nomor 02, Desember 2012/1434 H
-157-
METODE INTERPRETASI TEKS-TEKS AGAMA DALAM MAZHAB SALAFI SAUDI MENGENAI ISU-ISU GENDER
-158-
airport dan kemudian kerabat lain menjemputnya di airport tujuan. Fatwa pengharaman ini dikeluarkan Ibn Utsaimin, dengan alasan fitnah, khalwah, dan tanpa mahram.30 Dengan cara pandang keagamaan yang demikian, apapun posisi perempuan akan selalu dilematis. Pergi keluar naik mobil dengan supir yang bukan mahram salah, naik mobil atau kendaraan sendiri tanpa mahram juga salah, sekalipun untuk tujuan yang paling mendesak, misalnya pergi melahirkan ke rumah sakit. Perempuan hanya boleh keluar rumah, jika ditemani seorang mahram, yaitu suami atau kerabat paling dekat. Jika tidak, dia harus berada di dalam rumah dan dilarang pergi keluar rumah. Itupun, perempuan harus sendirian, atau bersama teman-teman sesama jenis kelamin, atau dengan kerabat dekat saja. Sama sekali tidak boleh ada kehadiran dua jenis kelamin yang tidak ada hubungan kerabat, atau mahram. Kehadiran ini disebut khalwah, dan haram hukumnya. Lebih dilematis lagi adalah para perempuan buruh migran, atau setiap perempuan pendatang, di Saudi Arabia.31 Dalam temuan Satuan Gugus Tugas Republik Indonesia yang dikirim ke Saudi Arabia pada bulan September 2011, perempuan buruh migran selalu dalam posisi dilematis dan rentan dijerat pelanggaran penyebaran fitnah seksual dan melakukan khalwah, atau pergi tanpa mahram. Jika perempuan buruh migran lari dari majikan karena sesuatu hal, dia bisa ditangkap dengan tuduhan keluar rumah tanpa mahram. Pihak kepolisian Saudi Arabia, karena alasan ini, biasanya tidak akan memproses laporan perempuan buruh migran, menolak, atau bisa jadi memenjarakan dengan alasan keluar rumah tanpa mahram tersebut. Karena orientasi keagamaan yang seksis ini, persoalan yang sesungguhnya terjadi antara majikan dan buruh migran tidak akan pernah terungkap, seperti penyiksaan, penelantaran, tidak ada gaji, atau pelanggaranpelanggaran kemanusiaan yang lain.32
Ibid, jilid 2, hlm. 529-532. 31 Kisah perempuan pendatang dengan berbagai problem khalwah dan mahram bisa dibaca di buku Masriyah Amva, 2001, Meraih Hidup Luar Biasa Melalui Kekuatasn Doa dan Iman, (Jakarta: Kompas). Di halaman-halaman awal buku ini, Ibu Nyai Masriyah bercerita banyak tentang suka duka menjadi perempuan yang mengalami masalah kehilangan paspor dan uang di Saudi Arabia, ketika dia harus pergi malapor ke kantor kepolisian. Pertanyaan yang diajukan kepada dia pertama kali adalah soal mahram dan khalwah. 32 Kasus-kasus seperti ini, diceritakan Hindun Annisa, salah satu staff Anggota 30
Holistik Vol 13 Nomor 02, Desember 2012/1434 H
Faqihuddin Abdul Kodir
Sebagai perbandingan, sama-sama dari sekolah yang literal dalam memahami teks, Ibn Hazm al-Andalusi (w. 456 H/ 1054) justru memahami berbeda teks Hadits yang dipakai Ibn Utsaimin dalam melarang perempuan pergi tanpa mahram. Ibn Hazm berpendapat bahwa kewajiban mahram adalah kewajiban laki-laki. Yang harus menyediakan mahram adalah laki-laki untuk perempuan. Bukan perempuan yang dilarang bepergian, jika tanpa mahram. Dalam kasus haji, menurut Ibn Hazm, perempuan boleh dan bisa tetap pergi haji sekalipun tanpa mahram. Yang wajib menemani, atau menyediakan mahram adalah laki-laki. Jika ada perempuan yang pergi haji tanpa mahram, maka yang berdosa dan yang bersalah adalah kerabat laki-lakinya, bukan perempuan.33 Sementara Ibn Hajar al-'Asqallani, menuturkan beberapa tokoh dalam Mazhab Syafi‟I, yaitu al-Karabî�sî� (d. 245H/859CE), al-Qaffâl (d. 412H/1026H) dan Abu al-Mahâsin al-Rouyâni (d. 501H/1107CE), yang membaca hadits dari sisi alasan-alasan yang terkandung di dalam, yaitu persoalan keamanan. Kewajiban mahram terkait dengan penyediaan perlindungan dan jaminan keamanan bagi perempuan. Jika perjalanan sudah aman tanpa mahram, perempuan bisa bepergian tanpa mahram, bahkan sendirian sekalipun.34 Pertentangan internal dalam Mazhab Salafi Saudi terkait isuisu gender tidak kentara dan tidak banyak. Di antara contohnya adalah kewajiban perempuan menutup muka dan telapak tangan. Ada dua kelompok; yang mengatakan wajib dan kelompok lain menganggapnya tidak wajib. Kedua pandangan menyandarkan pada al-Qur‟an, teks-teks Hadits, dan rujukan ulama salaf. Setiap pandangan juga menyalahkan yang lain dan menganggap rujukannya adalah lemah dan tidak bisa dipertanggung-jawabkan. Bahkan, satu sama lain saling menjatuhkan dengan ungkapan-ungkapan yang
Satuan Gugus Tugas Buruh Migran yang diutus Pemerintah Republik Indonesia ke Saudi Arabi untuk mempelajari kondisi buruh migran yang mengalami masalah. Satgas ini dibentuk karena tuntutan publik akibat maraknya kasus buruh migrant di Saudi Arabia yang tidak memperoleh perlindungan hukum ketika mereka mengalami masalah dengan majikan mereka. 33 Ibn Hazm, Abu Muhammad 'Ali bin Ahmad. TT. Al-Muhalla bi al-Athâr. 'Abd al-Ghaffâr Sulaymân al-Bandarî (ed.). (Beirut: Dâr al-Kutub al-'Ilmiyyah), juz 5, hlm. 525. 34 al-'Asqallâni, Ahmad bin 'Ali bin Hajar. 1993. Fath al-Bâri Sharh Sahîh alBukhâri. (Beirut: Dar al-Fikr). juz. 6, hlm. 88. Holistik Vol 13 Nomor 02, Desember 2012/1434 H
-159-
METODE INTERPRETASI TEKS-TEKS AGAMA DALAM MAZHAB SALAFI SAUDI MENGENAI ISU-ISU GENDER
-160-
cukup tajam; seperti kata-kata bodoh, sesat, bid‟ah, keluar dari salaf, bahkan keluar dari Islam selalu dilontarkan kepada lawan bicara. Menariknya adalah karena kedua kelompok ini datang dari tradisi Salafi yang sama, dengan pendekatan yang sama, dan membaca teksteks rujukan serta kitab-kitab fiqh yang sama. Yang membedakan adalah penilaian terhadap teks-teks yang tersedia, dan pemaknaan terhadap teks-teks tersebut.35 Polemik lain adalah soal teks-teks Hadits mengenai khitan permepuan. Sebagaimana dibahas dalam buku-buku fiqh dan kitab-kitab Hadits, tidak ada satupun teks Hadits yang dianggap sahih mengenai soal ini. Walaupun demikian, sebagian ulama Mazhab Salafi tetap menganggapnya sebagai sunnah, atau baik paling tidak. Berarti, ia melanggar kaidah bahwa hadits yang tidak sahih tidak bisa dijadikan dasar hukum.36 Bagi Syekh al-Albani, ulama yang sangat tegas melawan hadits-hadits lemah, memilih untuk menganggap sahih terlebih dahulu hadits mengenai khitan perempuan, sekalipun sebelumnya sudah dilemahkan oleh ulamaulama hadits generasi awal atau Salaf. Setelah hadtis dianggap tidak lemah, khitan perempuan kemudian dianggaph baik dan merupakan tradisi yang dialakukan ulama Salaf. Tetapi bagi Muhammad Luthfy ash-Shabbagh, pakar studi Islam di Universitas Riyadh Saudi Arabia, setidaknya bisa dianggap dari dalam Mazhab Salafi Saudi, jika hadits sudah dianggap lemah oleh ulama masa lalu, maka ulama sekarang tidak ada hak untuk menganggapnya sahih. Karena itu, menurutnya, khitan perempuan sama sekali tidak sunnah, dan bisa jadi tidak baik.37 Kesimpulan Secara diskursus, metode interpretasi Mazhab Salafi, sekalipun memiliki karakter-karakter dasar yang tekstual dan literal seperti telah dijelaskan, juga menyimpan perbedaan, perdebatan, pengembangan, dan atau penyimpangan-penyimpangan. Dari sisi ini, asusmi Delong-Bas dan Altorki bahwa pemikiran keagamaan Salafi Saudi masih mungkin bisa menjadi pondasi transformasi sosial, adalah bisa disetujui. Terutama, jika diperuntukkan bagi
35 Muhammad Nasiruddin Al-Albani, 1994, Jilbâb al-Mar’ah al-Muslimah, (Amman: Dar as-Salâm). Hlm. 15-17. 36 Lihat: Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim, 2007, Fiqih Sunnah untuk Wanita, (Jakarta: al-I‟tishom Cahaya Umat), hlm. 16. 37 Muhammad bin Luthfi ash-Shabbagh, 1995, al-Hukm asy-Syar’i fi Khitan az-Zukur wa al-Inats, (Iskandariyah: al-Munazzamah ash-Shihhiyah al'Alamiyah). Holistik Vol 13 Nomor 02, Desember 2012/1434 H
Faqihuddin Abdul Kodir
para aktor perubahan di dalam masyarakat Suadi sendiri. Tetapi jika merujuk pada praktik fatwa-fatwa keagamaan Mazhab ini, yang lugas, satu pandangan, dan diterminan, asumsi Khalid Abou el-Fadl bisa disetujui, dimana ideologi gender lebih banyak beroperasi secara otoriterian mendiskreditkan perempuan. Memang, pernyataan-pernyataan yang dikutip dalam pembahasan interpretasi soal isu gender dii atas adalah pemikiran keagamaan dari genre fatwa, bukan fiqh. Fatwa berbeda dari fiqh. Fatwa biasanya diputuskan karena ada pertanyaan tertentu yang bersifat spesifik, dan karena itu bersifat lugas, determinan, pasti, dan biasanya tunggal dan instan. Sementara fiqh lebih banyak diskusi perumusan hukum dengan berbagai teori-teori interpretasi dan ragam teks yang ada. Karena itu, fiqh, secara umum adalah kompleks, beragam, dan tidak determinan. Walau bagaimanapun, ada banyak hal yang bisa didiskusikan dalam perdebatan ini, terkait bagaimana metode interpretasi Salafi Saudi ketika dioperasikan pada kasus perkasus. Kutipan-kutipan dari para tokoh ulama Salafi Saudi, menunjukkan bahwa sesuatu yang diklaim sumber Salaf diperebutkan, kritisisme hadits, dan interpretasi dengan merujuk makna terdekat dan lahir, atau literal juga diperdebatkan. Fenomena munculnya pandangan Syekh Ahmad bin al-Qasim alGhamidi yang menentang praktik-praktik segregasi jenis kelamin yang marak terjadi di hampir seluruh institusi sosial Saudi Arabia adalah contoh keragaman interpretasi.38 Di dalam interpretasi yang masih tarik ulur ini, sebagian percaya bahwa ideologi Salafi Saudi juga menyimpan interpretasi alternatif yang bisa dikembangkan untuk perubahan relasi gender yang lebih baik. Tentu saja basis tradisi ini jauh lebih baik bagi orang-orang Saudi sendiri, terutama yang memiliki keyakinan penuh, daripada harus bersandar pada nilai-nilai dari luar yang belum dipercaya. Sebagian yang lain, dan ini lebih banyak, justru apatis dengan ideologi Salafi Saudi. Ideologi ini sama sekali tidak bisa dipercaya sebagai basis untuk perubahan relasi gender yang lebih baik. Untuk itu, perlu ada perubahanperubahan radikal, dari kekuatan politik dan budaya, dari negara, 38 Teks-teks hadits yang digunakan al-Ghamidi untuk menentang pengharaman segregasi seksual, juga disebutkan dan dinilai sahih oleh al-Albani. Lihat: al-Albani, Jilbâb al-Muslimah, hlm. 18-19. Untuk diskusi, perdebatan, dan teks-teks yang dirujuk Syekh al-Ghamidi bisa dilihat di: http://www.okaz. com.sa/new/Issues/20091209/Con20091209319589.htm. Holistik Vol 13 Nomor 02, Desember 2012/1434 H
-161-
METODE INTERPRETASI TEKS-TEKS AGAMA DALAM MAZHAB SALAFI SAUDI MENGENAI ISU-ISU GENDER
-162-
termasuk dari luar sekalipun. Selama dilakukan dengan modelmodel kerja sama dengan orang-orang Saudi sendiri. Menjatuhkan pilihan pada salah satu poros ini, masih memerlukan penelitianpenelitian lanjutan, terutama dengan melibatkan para perempuan agen perubahan. DAFTAR PUSTAKA
Abbâs, 'Î�d al-Syaikh, 2002, ad-Da’wah as-Salafiyyah wa Mawqifuhâ min al-Harakât al-Ukhrâ, (Iskandariyah: Dâr al-Î�mân). Abu Zahrah, Muhammad, 1974, Ibn Hanbal: Hayâtuhû wa ‘AsruhûArâ’uhû wa Fiqhuhû, (Cairo: Dar al-Fikr al-'Arabi). Abu Zayd, Nasr Hamid, 2001, Tekstualitas Al-Qur’an, (Yogyakarta: LkiS). Adonis, 2007, Arkeologi Sejarah Pemikiran Arab Islam, (Yogyakarta: LkiS). Al-'Asqallâni, Ahmad bin 'Ali bin Hajar. 1993. Fath al-Bâri Sharh Sahî�h al-Bukhâri. (Beirut: Dar al-Fikr). juz. 6. Al-Albani, Muhammad Nasiruddin, 1981, Mukhtashar Irwâ al-Ghalî�l fi Ahâdî�ts Manâr as-Sabî�l, (Beirut: al-Maktab al-Islami). _______, 1994, Jilbâb al-Mar’ah al-Muslimah, (Amman: Dar asSalâm). _______, 2002, “Ta‟liq 'ala Maqâl ad-Da‟wah as-Salafiyah wa Mawqifuhâ min al-Harakât al-Ukhrâ”, dalam Syekh 'Id Abbâs, ad-Da’wah as-Salafiyah wa Mawqifuhâ min al-Harakât al-Ukhrâ, (Iskandariyah: Dar al-Iman), hlm. 27-35. _______, T.T., al-Hadî�ts Hujjatun binafsihî� fî� al-‘Aqâ’id wa al-Ahkâm, (www.al-mostafa.com). _______, T.T., Fiqh al-Wâqi’, (www.al-mostafa.com). _______, T.T., Kayfa Yajibu an Nufassira al-Qur’an, (www.al-mostafa. com). _______, T.T., Manzialt as-Sunnah fi al-Islâm, (www.al-mostafa.com). Al-Buti, Muhammad Sa–id Ramadan, 1998, al-Salafiyya: Marhala Zamaniyya Mubaraka la Madhhab Islami, (Damaskus: Dar alFikr). Al-Ghazali, Syekh Muhammad, As-Sunnah an-Nabawiyyah bayn ahl al-Fiqh wa Ahl al-Hadits, (Beirut: Dar asy-Syuruq, 1992). Al-Khair Abadi, al-Manhaj al-‘Ilmi ‘ind al-Muhadditsî�n fi at-Ta’âmul ma’a Mutûn as-Sunnah, Jurnal Islamiyyat al-Ma‟rifah, tahun IV, no. XIII, 1998, IIIT, Kuala Lumpur, Malaysia. Holistik Vol 13 Nomor 02, Desember 2012/1434 H
Faqihuddin Abdul Kodir
Al-Raysuni, Ahmad, 1426/2005, Imam al-Shatibi’s Theory of the Higher Objectives and Intents of Islamic Law, (London and Washington: IIIT). Al-Shāfi‟ī�, Muḥammad b. Idris, N.D. al-Risāla. Aḥmad Muḥammad Shākir (ed.). Beirut: al-Maktaba al-'Ilmiyya. hlm. 22, 32-33, dan 73-93. Altorki, Soraya, 1986, Women in Saudi Arabia: Ideology and Behavior Among the Elite, (New York: Columbia University Press); Al-Utsaimin, Muhammad bin Salih, 2001, al-Ushûl min ‘Ilm al-Ushûl, (Iskandariyah: Dar al-Iman). Ammârah, Muhammad, 1994, as-Salafiyah, Tunis: Dar al-Ma‟arif. An-Najdi, Abdurrahman bin Muhammad 1999, Ad-Durar asSaniyyah fî� al-Ajwibah an-Najdiyah; Majmû’ah Rasâ’il wa Masâ’il ‘Ulamâ Najd al-A’lâm min ‘Asr asy-Syaikh Muhammad ibn Abdul Wahhâb ilâ ‘Asrinâ hâdzâ,(TT, TP), juz 16. Ash-Shahrastāni, Muḥammad b. 'Abd al-Karī�m, 1992, al-Milal w alNiḥal, ed. Aḥmad Fahmī� Muḥammad, (Beirut: Dār al-Kutub al'Ilmiyyah). Bamyeh, Mohammed, 2008, “Hermeneutics against Instrumental Reason: national and post-national Islam in the 20th century”, Third World Quarterly, Vol. 29, No. 3, 2008, pp 555 – 574. Delong-Bas, Natana J., 2004, Wahhabi Islam; from Revival and Reform to Global Jihad, (Oxford and New York: Oxford University Press). El-Fadl, Khaled M. Abou, 2004, Atas Nama Tuhan Dari Fikih Otoriter ke FikihOtoritatif, (terj.) oleh R. Cecep Lukman yasin, (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta). Hamid Algar, 2002, Wahhabism: A Critical Essay, (New York: IPI). Ibn al-Qayyim al-Jawziyah, 1973. I’lam al-Muwaqqi’in, (Beirut: Dar al-Fikr). Ibn Baz, Syekh Abdul Aziz (dkk.), 2004, Fatwa-Fatwa Terkini, terjemahan dari al-Fatâwâ asy-Syar’iyya fi al-masâ’il al‘Ashriyyah min fatâwâ, (Jakarta: Darul Haq). Ibn Ḥazm, 'Ali b. Aḥmad. N.D. al-Iḥkām fi Uṣūl al-Aḥkām. (Beirut: Dār al-Kutub al-'Ilmiyya). Ibn Hazm, 'Ali bin Ahmad. TT. Al-Muhalla bi al-Athâr. 'Abd al-Ghaffâr Sulaymân al-Bandarî� (ed.). (Beirut: Dâr al-Kutub al-'Ilmiyyah), juz 5. Kamali, Mohammad Hashim. 2002. Hadith Methodology: Holistik Vol 13 Nomor 02, Desember 2012/1434 H
-163-
METODE INTERPRETASI TEKS-TEKS AGAMA DALAM MAZHAB SALAFI SAUDI MENGENAI ISU-ISU GENDER
-164-
Authenticity, Compilation, Classification and Criticism of Hadith. (Kuala Lumpur: Ilmiah Publisher). Kamaruddin Amin. 2004. “Nasiruddin al-Albani on Muslim‟s Sahih: A Critical Study of His Method”. Islamic Law and Society. 11. 2. hlm. 149-176. Koran al-Jaraid, 2/5/2010. Koran Okaz Saudi Arabia, 9/12/2009. Malti-Douglas, Fadwa, 1991, Woman’s Body, Woman’s Word: Gender and Discourse in Arabo-Islamic Writing, p. 51 (Princeton, NJ: Princeton University Press). Masud, Muhammad Khalid, 1977, Islamic Legal Philosophy: A Study of Abū Isḥāq al-Shaṭibī�’s Life and Thought, (Islamabad: Islamic Research Institute). Moh. Nur Ichwan, “Beyond Ideological Interpretation: Nasr Abu Zayd Theory of Qur‟anic Hermenutic,” Al-Jami’ah, No. 65/VI/2000, hlm. 14-38. Muhammad bin Abdul Wahhab, Arba’u Qawâ’id Tadûru ‘alaihâ alAhkâm wa Yalî�ha Nubdzat fî�-ittibâ’ an-Nushûsh ma’a-ihtirâm al-‘Ulamâ, diakses dari: www.teacher86.net. Muqātil ibn Sulaymān, 1424/2003, Tafsī�r Muqātil ibn Sulaymān, ed. Aḥmad Farī�d, (Beirut: Dār al-Kutub al-'Ilmiyyah). Olivetti, Vincenzo, 2001, Terror’s Source: The Ideology of WahhabiSalafism and its Consequences, (Brimingham: Amadeus Books). Rees, Dilys Karen. 2003. “Gadamer‟s Philosophical Hermeneutics: The Vantage Points and The Horizons in Readers‟ Responses to an American Literature Text”. The Reading Matrix. Vol. 3. No. 1, April, 2003. Ridwan, Nur Khalik, 2009a, Doktrin Wahhabi dan Benih-Benih Radikalisme Islam, buku ke-1 (Yogyakarta: Tanah Air). _______, 2009b, Membedah Ideologi Kekerasan Wahhabi, buku ke-3, (Yogyakarta: Tanah Air). Saeed, Abdullah, 2006, Interpreting the Qur’an; Towards a Contemporary Approach, (London and New York: Rotledge). Sukidi, “Naṣr Ḥāmid Abū Zayd and the Quest for a Humanistic Hermeneutics of the Qurʾān,” Die Welt des Islams, No. 49 (2009), hlm. 181-211. Syaikh Idarham, 2011, Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi, (Yogyakarta: Pustaka Pesantre). Holistik Vol 13 Nomor 02, Desember 2012/1434 H
Faqihuddin Abdul Kodir
Tottoli, Roberto, 1999, “Origin and Use of the Term Isrâ‟iliyyât‟ in Muslim Literature”, in: Arabica, T. 46, Fasc. 2 (1999), hlm. 193210. Utsman, Muhammad Fathi, 1993, as-Salafiyah fî� al-Mujtama’ât alMu’âshirah, (Kuwait: Dar al-Qalam). Zayd, Musṭafā, 1964, al-Maslaḥah fi al-Tashrī�‘ al-Islāmī� wa Najm alDī�n al-Ṭūfī�, (Cairo: Dār al-Fikr al-Islāmī�).
Holistik Vol 13 Nomor 02, Desember 2012/1434 H
-165-
METODE INTERPRETASI TEKS-TEKS AGAMA DALAM MAZHAB SALAFI SAUDI MENGENAI ISU-ISU GENDER
-166-
Holistik Vol 13 Nomor 02, Desember 2012/1434 H