PENANGANAN PERMUKIMAN KUMUH DENGAN PENINGKATAN KUALITAS SARANA DAN PRASARANA DI PANCURAN KOTA SALATIGA WAHYU NUGROHO (DEPARTEMEN POLITIK DAN PEMERINTAHAN FISIP UNDIP, SEMARANG) ABSTRAKSI Pancuran adalah sebuah kawasan Permukiman di Kota Salatiga yang termasuk dalam kriteria permukiman kumuh. Padatnya jumblah penduduk menjadikan kebutuhan tempat tinggal menjadi tinggi namun tidak diimbangi dengan ketersediaan lahan yang cukup, akhirnya banyak ruang terbuka yang dijadikan bangunan. Pemanfaatan lahan yang tidak tepat disertai kurang baiknya infrastruktur prndukung perumahan menyebabkan permasalahan semakin sulit untuk diatasi. Tipe penelitian ini adalah deskriptif analitis melalui pendekatan kualitatif, yang dimaksudkan untuk menghadirkan gambaran tentang situasi atau fenomena dalam penelitian secara detail. Sumber data berasal dari data primer maupun data sekunder. Penetapan informan dilakukan dengan teknik purposive sampling. Permukiman Kumuh di Pancuran. Pengumpulan data, peneliti menggunakan 3 (tiga) metode, yaitu metode wawancara, observasi dan studi dokumen. Hasil penelitian menunjukan bahwa pemerintah telah memiliki beberapa program untuk mengentaskan permukian kumuh di Pancuran. Program tersebut adalah berupa Perbaikan rumah, pembuatan IPAL Komunal Perpipaan, pembangunan balai RW dan perbaikan Infrastruktur. Kendala yang dihadapi pemerintah adalah karena ketiadaan lahan, rendahnya penghasilan, perilaku masyarakat, kepemilikann lahan dan status lahan, dan kurang tegasnya penegakan hukum. Dalam melaksanakan program. Sosialisasi yang dilakukan telah berjalan dengan baik dan mendapat tanggapan aktif dari masyarakat namun sayangnya kegiatan tersebut kini sudah tidak berlanjut. Sedangkan koordinasi yang dilakukan bersama masyarakat kurang maksimal karena mereka terkesan saling menyalahkan satu sama lain. Saran untuk pemerintah adalah jangan hanya memperbaiki permukiman hanya dari segi fisiknya saja namun juga harus bias memberikan penyadaran masyarakat tentang ketaatan peratturan dan pentingnya menjaga lingkungan. Kata Kunci: Permukiman kumuh, Program Pengentasan, Efektifitas
HANDLING OF SLUMS BY IMPROVING THE QUALITY OF FACILITY AND INFRASTRUCTURE IN PANCURAN SALATIGA CITY WAHYU NUGROHO (POLITICAL AND GOVERNMENT DEPARTMENT OF SOCIAL AND POLITICAL SCIENCE FACULTY, DIPONEGORO UNIVERSITY, SEMARANG) ABSTRACT Pancuran is an Settlement area in Salatiga city which includes in dirty settlement criteria. The citizen compactness makes high habitation necessary but it is not balanced with enough land availability, in the end there are so many empty spaces which is built. Incorrect land utilization which is followed by improper supporting housing infrastructure leads to problem which is more difficult to be handled. The type of this research is descriptive analysis through qualitative approach which was meant to present description about situation or phenomenon in research specifically. Data resources were from primary data and secondary data. Informant determining was done by purposive sampling technique at Dirty Settlement in Pancuran. Data collecting, researcher used 3 (three) methods were interview method, observation and documents study. Result of this research shows that government has had some programs to solve dirty settlement problem in Pancuran. Tose programs are house renovation, build IPAL Piping Communal, build Rwhall and infrastructure renovation. Obstacles which is faced by the overnment are land unavailability, low income, society behaviour, land ownership and land status, and lack of traction on law enforcement. In implementing proram, socialization which was done had run well and got an active response from society but unfortunately, nowadays those activities has stopped. Meanwhile, lack of coordination with society had happened because they were seemed blaming each other. Suggestions for the government are they should not only mantain settlement physically but they have to be able to give awareness to society about rules loyality and the importance to keep environment. Kata Kunci: Slums, Problem Solving, Effectivness .
I.
Latar belakang Tingginya jumlah penduduk di pusat kota mengharuskan terpenuhinya
pemukiman yang layak huni, khususnya untuk menapung kaum urbanis yang pekerjaanya terkonsentrasi pada sector perdagangan dan jasa di kawasan komersial yang ada di pusat kota. Ketersiediaan sarana dan prasarana yang baik juga akan menimbulkan ketertarikan tersendiri. Kondisi yang seperti ini juga terjadi di Kota Salatiga, khususnya di wilayah CBD (Central Bussiness District) kota yang berada dekat dengan pemukiman pancuran yang terletak di dekat koridor JL.Jendral Sudirman yang merupakan pusat kota Salatiga. Kawasan ini terletak dibagian wilayah kota 1 (BWK 1) dimana daerah ini diperuntukan bagi aktivitas perdagangan dan jasa, serta pusat pemerinhan dan perkantoran. Di kawasan ini terdapat Mall, pasar Ghede, pasar tradisional, pertokoan, jadi kawasan Pancuran dihimpit oleh pasar Gedhe dan pasar Blauran. Kebanyakan kaum urbanis yang datang mereka ingin berjualan di pasar dan rata-rata dari mereka adalah kaum menengah kebawah, dan mereka akan mencari tempat yang strategis seperti ini. Dengan adanya pemusatan perdagangan seperti ini akan mengakibatkan masalah bagi struktur perencanaan kota. Selain itu pertumbuhan jumlah hunian yang berada di kawasan pancuran ini kurang diimbangi oleh ketersediaan lahan, sehingga untuk menambah jumlah hunian mereka cenderung mengabaikan aturan-aturan dasar
tentag pengadaan bangunan rumah seperti kualitas bahan, jenis ruang, garis sempadan jalan maupun jarak antar rumah. Bahkan mereka kadang menggunakan bagian bahu jalan untuk mendirikan bangunan unuk pengembangan usaha maupu tempat tinggal sehingga menyebabkan pemukiman tersebut menjadi kumuh dan suasana yang tidak tertib yang berakibat pada berubahnya kualitas fisik kawasan. Analisis kajian secara kualitatif deskriptif, menjelaskan ada dua alasan dari pernyataan tersebut yaitu pengaruh dari dalam dan luar kawasan tersebut. Pengaruh dari dalam yaitu: karakteristik hunian, penghuni dan sarana dan prasarana. Sedangkan pengaruh dari luar kawasan Pancuran antara lain adalah regulasi dan urbanisasi yang terjadi. Para pendatang ini hanya tinggal sementara di kawasan ini karena kebanyakan mereka adalah pedagang yang mempunyai usaha di kawasan perdagangan di sekitar kawasan permukiman Pancuran. Para pendatang itu menyewa rumah ataupun kamar dengan pembayaran harian maupun bulanan atau bahkan tahunan. Kebanyakan mereka berasal dari luar pinggiran kota ataupun luar daerah Salatiga. Adanya masyarakat yang melakukan kegiatan home industri yaitu usaha pembuata krupuk gendar dan karak yang biasanya mereka memanfaatkan daerah pinggiran sungai kecil/got untuk menjemur dan membuang limbah rumah tangga ke sungai yang mengakibatkan sungai itu menjadi kotor dan tercemar. Walaupun kawasan ini berada pada pusat Kota Salatiga namun demikian sistim sanitasi masyarakat masih menggunakan MCK umum, karena mereka masih ada yang tidak memiliki kamar mandi dan wc sendiri di rumahnya. Kekumuhan kawasan
permukiman tersebut dapat dilihat dengan padatnya rumah serta kondisi infrastruktur seperti saluran yang tidak lancar. Di kawasan pusat kota masyarakat cenderung mengembangkan usahanya di rumah, karena keterbatasan lahan. Sehingga muncul home industri, sehingga peruntukan lahan yang semula hanya untuk perumahan bertambah fungsi menjadi tempat tinggal dan tempat usaha dan muncullah mix land use (campuran) di kawasan pusat kota, yang banyak dijumpai di sekitar kawasan perdagangan. Disini penulis tertarik untuk meneliti dan menganalisa bagaimana menejemen Pemenerintah kota salatiga dalam mengelola pemukiman di Pancuran Kota Salatiga, yang berdasarkan pengamatan penulis tidak menunjukan perubahan secara fisik dan non fisik ke tingkat yang lebih baik. Selama sepuluh tahun terakhir tidak ada perbedaan yang siknifikan terhadap kualitas fisik lingkungan di Pancuran. Kurang terlaksananya program dan pengelolaan dari pemerintah menjadikan pemukiman kumuh Pancuran ini menarik untuk diteliti seperti rusun yang mangkrak karena para pedagang enggan untuk menempati, pengelolaan sampah pasar dan rumah tangga yang tertumpuk di sudut-sudut jalan, parkir sembarang yang dilakukan kebijakan tata ruang yang dibuat menjadi mentah serta bagaimana pemerintah dan warga setempat dalam mengelola limbah. Penelitian ini juga menarik untuk diteliti karena berkaitan dengan isu strategis Kota Salatiga yaitu untuk menciptakan penataan kawasan Jendral Sudirman yang bersinergi revitalisasi pasar tradisional yang higenis, nyaman, aman, dan tertib.
II.
Kerangka teori
Peran pemerintah Adapun kebijakan yang dimiliki Pemerintah Kabupaten/Kota adalah sisa kewenangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi. Sehingga, pemerintah Kabupaten/kota memiliki kewenangan yang sangat banyak dan besar sehingga bobot kewenangan terletak di pemerintah kabupaten/kota. Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintah daerah untuk kabupaten/kota meliputi: 1. Perencanaan dan pengendalian pembangunan 2. Perencanaan, pemanfaatan, pengawasan tata ruang 3. Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat 4. Penyediaan sarana dan prasarana umum 5. Penanganan bidang kesehatan 6. Penyelenggaraan pendidikan 7. Penanggulangan masalah sosial 8. Pelayanan bidang ketenagakerjaan 9. Fasilitasi pengembangan koprasi, usaha kecil dan menengah 10. Pengendalian lingkungan hidup 11. Pelayanan pertanahan 12. Pelayanan kependudukan, dan catatan sipil 13. Pelayanan administrasi umum pemerintahan
14. Pelayanan administrasi penanaman modal 15. Penyelenggaraan pelayanan dasar lainya Menurut rasyid, untuk melaksanakan fungsi itu, birokrasi pemerintah setidaknya memiliki tiga tugas pokok yaitu: 1. Memberikan pelayanan umum (service) yang bersifat rutin kepada masyarakat seperti memberikan pelayanan perijinan, pembuatan dokumen, perlindungan, pemeliharaan fasilitas umum, pemeliharaan kesehatan, dan penyediaan jaminan keamanan bagi penduduk. 2. Melakukan pemberdayaan (empowerment) terhadap masyarakat untuk mencapai kemajuan dalam kehidupan yang lebih baik, seperti melakukan pembimbingan, konsultasi, pendampingan, penyediaan modal dan fasilitas usaha, serta melaksanakan pendidikan. 3. Menyelenggarakan pembangunan (development) di tengah masyarakat, seperti membangun
infrastruktur
perhubungan,
telekomunikasi,
perdagangan.
(setiyono, 2005: 82) Permukiman kumuh Menurut Khomarudin lingkungan permukiman kumuh dapat didefinisikan sebagai berikut: a. Lingkungan yg berpenghuni padat (melebihi 500 org per Ha)
b. Kondisi sosial ekonomi masyarakat rendah c. Jumlah rumahnya sangat padat dan ukurannya dibawah standart d. Sarana prasarana tidak ada atau tidak memenuhi syarat teknis dan kesehatan e. Hunian dibangun diatas tanah milik negara atau orang lain dan diluar perundangundangan yang berlaku. (Khomarudin, 1997: 83-112) Penyebab utama tumbuhnya lingkungan kumuh antara lain adalah : a. Urbanisasi dan migrasi yang tinggi terutama bagi kelompok masyarakat berpenghasilan rendah, b. Sulit mencari pekerjaan, c. Sulitnya mencicil atau menyewa rumah, d. Kurang tegasnya pelaksanaan perundang-undangan, e. Perbaikan lingkungan yang hanya dinikmati oleh para pemilik rumah serta f. Disiplin warga yang rendah. g. Kota sebagai pusat perdagangan yang menarik bagi para pengusaha, h. Semakin sempitnya lahan permukiman dan tingginya harga tanah Menejemen perkotaan Ada dua pendekatan dalam menangani lingkungan kumuh ini menurut Drs. Komarudin, MA (1997: 85) yaitu:
1. Penggunaan/pemindahan teknologi (technological transfer) dan 2. Penangannan sendiri (self reliant technology) Untuk mengelola permukiman kumuh maka akan digunakan metode. Metode yang akan digunakan adalah : Pendekatan menejerial yang lebih memfokuskan bagaimana rencana bangun organisasi pemerintah kota dalam mengatasi masalahmasalah perkotaan yang mendesak untuk dipecahkan. (Nurmandi, 2006:47-80) Pertumbuhan wilayah Dalam perkembangannya perumahan permukiman di pusat kota ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Menurut Constantinos A. Doxiadis (1968) disebutkan bahwa perkembangan perumahan permukiman (development of human settlement) dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu: - Growth of density (Pertambahan jumlah penduduk) Dengan adanya pertambahan jumlah penduduk yaitu dari kelahiran dan adanya pertambahan jumlah keluarga, maka akan membawa masalah baru. Secara manusiawi mereka ingin menempati rumah milik mereka sendiri. Dengan demikian semakin bertambahlah jumlah hunian yang ada di kawasan permukiman tersebut yang menyebabkan pertumbuhan perumahan permukiman. - Urbanization (Urbanisasi)
Dengan adanya daya tarik pusat kota maka akan menyebabkan arus migrasi desa ke kota maupun dari luar kota ke pusat kota. Kaum urbanis yang bekerja di pusat kota ataupun masyarakat yang membuka usaha di pusat kota, tentu saja memilih untuk tinggal di permukiman di sekitar kaeasan pusat kota (down town). Hal ini juga akan menyebabkan pertumbuhan perumahan permukiman di kawasan pusat kota. III.
Metode penelitian Dalam penelitian ini penulis menggunakan penelitian kualitatif. Dalam
penelitian ini tipe yang digunakan adalah penelitian deskriptif analitis karena bertujuan untuk mengetahui terjadinya suatu fenomena sosial tertentu dan mendeskripsikan fenomena sosial tertentu. Dalam studi ini, penulis mengambil studi kasus di Kota Salatiga. Wilayah studi ini dibatasi pada pemukiman padat yang terletak di Kecamatan Tingkir, kelurahan kutowinangun RW IV. Informan adalah orang yang memberikan nformasi tentang situasi dan kondisi latar penelitian.teknik pemilihan informan dalam penelitian ini menggunakan teknik purposive. Dalam peneitian ini akan menggunakan dua jenis data yaitu data primer dan data sekunder. Adapun dalam penelitian ini akan digunakan beberapa teknik pengumpulan data yaitu wawancara, observasi dan studi dokumentasi. IV.
Pembahasan
Kondisi rumah yang diperbaiki dengan bantuan Pemerintah memberikian dampak yang positif terhadap nilai estetika sebuah rumah, karena rumah dari segi bangunan lebih baik dan lebih memberikan kenyamanan kepada pemilik rumah. Namun kondisi rumah yang sudah diperbaiki belum sesuai dengan koefesien bangunan karena permukiman dengan kepadatan tinggi seharusnya memiliki koefesien dasar 80% namun tidak untuk rumah di pancuran. Rata-rata tanah mereka terbangun keseluruhan 100%. Hal ini dikarenakan rumah di Pancuran sudah tidak memiliki teras dan pintu rumah mereka sudah berhadapan langsung dengan jalan. Banyaknya jalan yang belum mendapatan perbaikan di Pancuran menunjukan bahwa perbaikan kualitas di sektor jalan dari belum maksimal. Pengaspalan jalan saja juga tidak efektif untuk mengurangi tingkat kekumuhan di pancuran karena kebutuhan akan infrastruktur jalan ini adalah luas jalan yang bisa mempermudah akses dan memberikan keamanan serta kenyamanan bagi pengguna jalan. Ipal Komunal adalah pembuatan tangki septik untuk satu RW di kawasan permukiman pancuran untuk mengatasi masalah sanitasi yang buruk di kawasan Pancuran. Pembuatan Ipal Komunal ini adalah program utama yang dilakukan pemerintah sehingga menjadi prioritas daripada program-program yang lain demi menjadikan kawasan permukiman yang sehat dan teratur. Sayangnya program utama ini hanya menjadi sebatas rencana saja karena belum melalui tahap pelaksanaan karena kendala-kendala yang dihadapi pemerintah.
Kendala yang utama adalah ketidak adaanya lahan kosong yang terbuka karena semua lahan sudah ada bangunanya dan tidak dimungkinkan untuk melakukan pembuatan IPAL. Dari semua program peningkatan kualitas sarana dan prasarana yang dilakukan oleh Pemerintah Kota salatiga belum menunjukan kesesuaian antara realisasi program dengan rencana program yang ditulis dalam bab II. Kelengkapan sarana dan Prasarana belum semuanya terpenuhi di Pancuran dan program yang diberikan oleh Pemerintah belum bisa mengatasi kendala-kendala yang ada. Pemerintah belum bisa memberikan pendampingan agar program yang berkaitan dengan sarana dan prasarana ini bisa terjaga dan memberikan manfaat untuk seluruh masyarakat di Pancuran. Dalam rangka mensukseskan program, Pemerintah melakukan sosialisasi sebagai bentuk proses pra pelaksanaan. Hingga saat ini sosialisasi dari pemerintah masih belum menunjukan hasil yang maksimal. Hasih yang diperoleh dari kegiatan sosialisasi yang selama ini dilakukan masih hanya sebatas memberikan pengetahuan kepada warga saja, namun secara praktis warga belum bisa untuk menjalankan semua himbauan yang disarankan oleh pemerintah. V. Penutup 4.1 Kesimpulan
Berdasarkan kebijakan tata ruang Kota Salatiga keberadaan permukiman Pancuran tidaklah mendukung sebagai kawasan aktifitas hunian. Perkembangan secara pesat aktifitas perdagangan dan jasa serta perkantoran sebagai aktifitas dominan kawasan telah menggeser nilai estetika hunian pada kawasan permukiman pancuran. Pemanfaatan sisa-sisa lahan oleh masyarakat menyebabkan terjadinya konversi lahan sehingga permukiman menjadi kekurangan ruang terbuka hijau untuk kegiatan sehari-hari dan untuk fasilitas dan utilitas. Lahan yang ada telah digunakan sebagai tempat bermukim karena banyaknya jumlah penduduk yang ingin bertempat tinggal namun tidak diimbangin oleh ketersediaan lahan. Apabila ditinjau dari standard Direktorat Cipta Karya kawasan Permukiman Pancuran kurang memberikan memberikan nilai kelayakan yang siknifikan, hal ini dipengaruhi oleh adanya gangguan polusi pada kawasan, kurang tersedianya air bersih, tidak memiliki kemungkinan untuk berkembang, serta merupakan daerah rawan genangan. Sehingga penanganan yang tegas terhadap kawasan permukiman ini perlu ditegakan. Pengelolaan permukiman kumuh di pancuran yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Salatiga kurang maksimal karena belum bisa menjadikan permukiman Pancuran menjadi permukiman yang sesuai dengan kriteria perumahan dan permukiman layak huni sesuai standar Dirjen Cipta Karya. Kondisi bangunan dan lingkungan di
kawasan Pancuran dan penanganan Pemerintah belum bisa sesuai dengan UndangUndang RTRW tahun 2011. Peningkatan kualitas sarana dan prasarana yang dilakukan untuk mengatasi permukiman kumuh di pancuran ternyata tidak berhasil. Ketidakberhasilan dari program tersebut adalah karena banyaknya kendala dan ketidak sesuaian antara program untuk mengatasi permukiman kumuh yang direncana dengan realisasinya. Dalam menangani permukiman kumuh di Kota salatiga Pemerintah memiliki program-program pengentasan permukiman kumuh yaitu pembangunan balai RW sebagai sarana kegiatan warga pancuran, pembuatan IPAL Komunal sebagai program utama agar kawasan pancuran memiliki kualitas sanitasi dan air bersih yang cukup serta menciptakan permukiman yang sehat, peremajaan rumah/rehap rumah yaitu menjadikan rumah yang tidak sesuai dengan peraturan undang-undang dilakukan perbaikan, selanjutnya adalah penyediaan infrastruktur permukiman seperti pembangunan infrastruktur jala, pembuatan saluran drainase, pemenuhan sarana pembuangan air limbah, dan lain-lain. Sulitnya untuk melaksanakan program di pancuran disesabkan oleh beberapa kendala yaitu karena kurangnya ketersediaan lahan, status tanah dan kepemilikan tanah, perilaku masyarakat, penghasilan masyarakat yang rendah, dan kurang tegasnya pemerintah dalam memeberikan sangsi/ lemahnya hukum.
Kegagalan Pemerintah dalam memberikan pelayanan yang baik dan infrastruktur yang memadahi khususnya untuk mengatasi buruknya kualitas sanitasi di Pancuran. Selain itu kegagalan terletak pada jaringan infrastruktur jalan yang ukuranya tidak sesuai dengan las yang seharusnya, serta pengaspalan yang tidak dilakukan untuk semua RT namun hanya dilakukan di RT 02 dan RT 16. Dari semua program pemerintah tidak ada program yang mengarah pada perbaikan jaringan air bersih sehingga masyarakat disana masih banyak yang menggunakan sumur pribadi padahal jaringan air seperti sumur seharusnya memiliki jarak paling tidak 12 meter dari tanki septic. Dengan keadaan permukiman pancuran yang terlalu rapat seperti itu maka kehigenisan dari air sumur tersebut perlu dipertanyakan. Dari 50 rumah yang dinyatakan kumuh di Pancuran berdasarkan SIG (Sistem Informasi Geografis) hingga saat ini selama empat tahun Pemerintah hanya bisa merealisasikan perbaikan rumah sebanyak sebelas rumah. Program perbaikan yang selamaini dilakukan pun juga masih belum memenuhi kriteria koefisien bangunan. Ketidaksesuaian itu dikarenakan memang luas daerah yang ada sudah dibangun dan ruang terbuka sudah tidak ada. Keberhasilan dalam menciptakan kualitas sarana dan prasarana yang dilakukan oleh Pemerintah hanya meliputi jaringan persampahan dan pembangunan fasilitas publik seperti pembangunan toilet umum dan balai RW. Masyarakat sudah bisa memanfaatkan bantuan tersebut untuk membangun kualitas hidup yang lebih baik.
4.2 Saran 4.2.1 Bagi Pemerinrah 1. Perlu penyediaan saluran drainase yang lebih baik dengan cara memperdalam dan memperluas saluran drainase agar tidak mudah terjadi penyumbatan sampah. 2. Dalam meningkatkan kualitas sarana dan prasarana harus disertai dengan sistem pemeliharaan yang baik. 3. Pengembangan dan optimalisasi sarana prasarana pendukung aktifitas bermukim, seperti halnya: a. pengadaan jaringan air bersih melalui sistem pemipaan. b. Penambahan bangunan MCK di beberapa titik hingga mampu menjangkau seluruh kebutuhan penghuni, terutama bagi mereka yang belum mampu memenuhi kebutuhan MCK sendiri. c. Penyediaan sarana pembuangan sampah sementara dengan didukung oleh menejemen pengangkutan yang benar. 4. Pengembangan dan fasilitator Usaha Kecil Menengah (UKM) bagi pengembangan usaha kecil di Pancuran. UKM diharapkan dapat memberikan kredit yang ringan sehingga usaha kecil dapat memperluas jaringan pemasaran produksi. Dengan begitu masyarakat diharapkan memiliki kemampuan ekonomi lebih untuk memiliki hunian yang baik 4.2.2
bagi Masyarakat
1. Masyarakat yang bertempat tinggakl di Pancuran baik menetap maupun sementara harus bersedia menjaga dan memelihara segala bentuk sarana dan prasarana yang disediakan dan menggunakanya secara arif dan bijaksana. 2. Masyarakat harus mematuhi segala bentuk kebijakan pemerintah dalam kaitanya dengan pemeliharaan dan peningkatan kualitas lingkungan. 3. Pemuka/tokoh masyarakat/Ketua RT dan RW perlu mengadakan jadwal rutin kegiatan bersih-bersih dan pemeliharaan lingkungan. 4. Masyarakat harus berpartisipasi aktif dan empati dalam membantu program pemerintah. Baik partisipasi pada tahap perencanaan maupun partisipasi pada tahap pelaksanaan. DAFTAR PUSTAKA I. BUKU Adisasmita, Rahardjo. 2008. Pengembangan Wilayah: Konsep dan Teori. Yogyakarta: Graha Ilmu Bintarto. 1983 Urbanisasi dam Permasalahannya, Yogyakarta: Galia Indonesia, Jakarta. Budihardjo, Eko. 2011. Penataan Ruang Pembangunan Perkotaan edisi ke II. Bandung: ALUMNI Endang, Eni. (2006). Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Terciptanya Permukiman Kumuh di kawasan Pusat Kota. (Studi Kasus Kawasan Pancuran Salatiga). Tesis Magister Perencanaan Wilayah Kota: Tidak diterbitkan Khomarudinm. 1997, Menelusuri Pembangunan Perumahan dan Permukiman, Jakarta: Yayasan Real Estate Indonesia, PT. Rakasindo, Jakarta. Kuswartojo, Tjuk. 2010. Mengusik Tata Penyelenggaraan Lingkungan Hidup dan Permukiman. Bandung: Kelompok Keahlian Perumahan dan Permukiman SAPPK ITB Lexy J Moleong, 2001. Metode Penelitian Kualitatif, cetakan keempatbelas. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Nurcholis, Hanif. 2005. Teori dan Praktik Pemerintahan dan Otonomi Daerah, Jakarta: PT Grasindo
Nurmandi, Acmad. 2006. Menejemen Perkotaan: Aktor, Organisasi, Pengelolaan Daerah Perkotaan dan metropolitan di Indonesia. Yogyakarta: Sinergi Publishing Setiyono, Budi. 2005. Birokrasi Dalam Perspektif Politik dan Administrasi. Bandung: NUANSA Yunus, Hadi sabari. 1999. Struktur Tata Ruang Kota. Yogyakarta: Pustaka Pelajar II. Peraturan Perundang-Undangan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri No.65 Tahun 1995 Tentang Menejemen Perkotaan Undang-Undang No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah Peraturan Daerah No. 4 Tahun 2011 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Salatiga Salatiga Dalam Angka, Tahun 2014, BPS Kota Salatiga Undang-Undang No. 4 Tahun 1992 Tentang Perumahan dan Permukiman