Pemimpin Islam: Makhluk Langka? Oleh Dr. Drs. Muhammad Idrus, S.Psi., M.Pd1
Iftitah Perkembangan Islam di jazirah Arab, baik periode awal maupun (apalagi) setelah mangkatnya Nabi Saw, tidak terhindar dari lekatan kecenderungan pertumpahan darah dalam masa yang amat panjang2. Di satu sisi, hal ini lahir karena adanya kecurigaan dan ketidaksukaan kaum Quraisy atas kehadiran Islam yang dinilai kontra, dan akan mengubah tradisi yang telah lama mereka anut. Di lain sisi, Islam juga dilihat akan menggugat status quo para pemimpinnya atas kekuasaan yang telah mereka peroleh. Dengan begitu setiap upaya pengislaman masyarakat umum selalu dihalangi, bahkan para pemimpin Islam selalu ditekan, disertai tuntutan agar kembali pada kepercayaan nenek moyang mereka. Sikap-sikap yang demikian, bagaimanapun juga telah memaksa pemeluk Islam pada masa itu yang dari hari ke hari semakin bertambah untuk menghindarkan diri, dan sesekali waktu melawan setelah dirasa sangat tertekan, dengan kekuatan-kekuatan yang dapat dihimpunnya. Pada tahap ini, maka pertumpahan darah tidak dapat dihindarkan lagi, di satu sisi sebagai upaya pembela diri, sementara di sisi lain penyerangan yang bermaksud menghancurkan.
1
Drs. Muhammad Idrus, M.Pd, dosen FIAI UII, saat ini sedang menempuh Program Doktor Psikologi di UGM 2
Berbeda dengan perkembangan Islam di ―tanah kelahirannya‖. Islam yang masuk dan berkembang di bumi Nusantara ini, lebih berbaju kedamaian dan perkembangannya juga cenderung menjauh dari kekerasan, termasuk dalam masalah-masalah kekuasaan. Rasionalitas yang menguatkan fenomena ini karena perkembangan Islam di sini ―berkawin‖ dengan faktor kultural bangsa yang mendiami kawasan ini, khususnya bangsa Melayu yang mendominasi kawasan Indonesia saat itu (Idrus, 2000).
Pada tahapan selanjutnya, keberlangsungan situasi serupa (pertumpahan darah), juga tidak terhindarkan pada episode sejarah Islam pasca Nabi3. Hal tersebut lebih dikarenakan faktor kekuasaan yang telah semakin mengukuhkan sikap-sikap saling ―bersebrangan‖ di antara umat Islam sendiri. Sikap-sikap yang demikian mulai tampak dalam periode awal khulafaur Rasyidin dan semakin menguat pada era khalifah-khalifah Bani umayyah. Suasana pada masa itu oleh Ahmad Syafii Maarif digambarkan sebagai masa sejarah Islam yang berkembang dalam gelimang dosa sejarah. Maarif menggugat betapa kikirnya sejarah kekhalifahan Islam pada masa itu yang hanya menyisakan Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang berkuasa hanya 2 tahun lamanya yang relatif sepi dari percikan darah. Selain itu, kehidupan sejarah dan dunia Islam masa itu selalu dominan dengan ―kekerasan‖ dan ―darah‖. Masa itu Islam tampaknya digunakan sebagai ―alat politik‖ untuk tujuan tertentu seperti, penciptaan jalan menuju kekuasaan, dan dalam upaya memelihara serta mempertahankannya. Dari catatan sejarah, khalifah-khalifah pasca Bani Umaiyah, seperti periode Bani Abbasiyah yang memerintah dunia Islam hampir dua setengah abad lamanya dinilai telah lebih baik, dari masa sebelumnya. Meski demikian, situasinya tidak melepaskan keadaan bersebrangan yang juga berbau darah, terutama dalam masalah yang berkaitan dengan kekuasaan dan upaya-upaya untuk melestarikannya. Mentengarai sejarah Islam masa lalu, tampaknya terjadi pergeseran nilai yang diemban Islam saat pertama agama ini dihadirkan. Islam yang semula sebagai rahmatan
3
Peristiwa pembaitan khalifah pertama dalam sejarah umat Islam menjadi catatan betapa akar konflik dari kekuasaan memang sudah mulai ada. Pada peristiwa tersebut sempat terjadi ketegangan di antara umat Islam tentang siapa yang paling berhak untuk mengganti Nabi Saw. As-Salus (1997) menggabarkan betapa peristiwa pertemuan di Saqifah sebagai indikasi belum bulatnya pembaitan Abu Bakar r.a. Meski pada
lil `alamin sebagai doktrin awal hadirnya Islam bagai bergeser menjadi simbol pemersatu yang justru lebih dekat kedudukannya dengan Islam politik, kecuali saat menghadapi bangsa Arab periode awal, yang sarat dengan unsur keterpaksaan, dan masih dalam keharusan beladiri. Namun pada masa berikutnya atau dalam masa pertumbuhan menuju kejayaan, Islam cenderung dijadikan sebagai alat politik oleh banyak tokoh Islam sendiri untuk mewujudkan ambisi individu atau kelompoknya4.
Model Kepemimpinan Rasulullah Dengan mencermati situasi sejarah masa lalu, lantas apakah dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Muhammad SAW sebagai Nabi dan Rasul Allah telah gagal dalam menanamkan model kehidupan dan kepemimpinan bagi umat Islam pasca kepemimpinannya? Meski ada keinginan untuk tetap menjawab tidak pada pertanyaan di atas, tapi secara empirik kondisi di atas benar-benar terjadi. Lalu bagaimana sesungguhnya prinsip-prinsip dalam kepemimpinan Rasulullah yang seharusnya diterapkan oleh umat pengikutnya agar situasi itu tidak terjadi? Diyakini bahwa Rasulullah Saw, adalah sosok manusia agung yang menjadi pilihan Allah Swt, untuk mengemban amanah-Nya di muka bumi ini, yaitu menyampaikan ad-Diinul al-Islam. Dalam kaitan dengan kedudukannya ini, maka sudah tentu bahwa kehidupan yang dijalani Rasulullah adalah kehidupan terarah, terencana dan senantiasa dipandu oleh Sang Pengutusnya. Dengan sendirinya format kehidupan
peristiwa tersebut tidak teradi pertumpahan darah, namun inilah awal adanya kondisi bersebrangan di antara umat Islam dalam hal kepimimpinan. 4 Dalam tulisannya Idrus (2000) memberi catatan yang sama untuk kasus masuk dan berkembangnya Islam di Nusantara, yaitu saat hadirnya bangsa penjajah di bumi Nusantara para pemimpin Islam yang hadir dalam kancah perjuangan fisik, seperti Pangeran Diponegoro, Tuanku Imam Bonjol, Teuku Umar, Tjur Nyak Dien, menggerakkan masyarakat bangsa ini atas nama agama. Ternyata cara ini begitu efektif membangkitkan semangat persatuan dalam membela kehormatan bangsa.
Rasulullah Saw, memang telah didesain dan dijaga dari sisi-sisi yang akan menggelincirkan beliau pada kesalahan-kesalahan sekecil apapun, sehingga format perilaku Rasulullah Saw. Bagai Al-Qur`an seperti digambarkan Aisyah, atau pujian AlQur`an terhadap beliau yang dinyatakan sebagai manusia denmgan moral yang baik (akhlak karimah). Mentengarai sejarah Nabi Muhammad Saw, yang dihadirkan dalam basis budaya jahiliyah yang sebenarnya telah memiliki kualifikasi budaya yang baik memang tampaknya bukan suatu hal yang mudah bagi Rasulullah dalam upaya menyampaikan pesan-pesan Islam kepada masyarakatnya. Dengan sendirinya, saat itu memang memerlukan strategi dan kemampuan kepemimpinan yang lebih dari sekedar cukup. Di samping itu beberapa episode sejarah kehidupan beliau, sejarah mencatat keberhasilan Muhammad Saw, dalam menyelesaikan persoalan kemasyarakatan dengan hasil yang memuaskan pihak-pihak yang terlibat di dalamnya. Sebagai misal saat belum resmi diangkat sebagai Rasul, beliau dengan arif menyelesaikan kasus siapa yang berhak memindahkan Hajar aswad ke tempatnya semula. Penyelesaian konflik saat itu memang membutuhkan tingkat kecerdasan seorang pemimpin, dan nampaknya Muhammad Saw, mampu menyelesaikan konflik tersebut dengan win-win solution. Potensi kepemimpinan beliau yang diakui oleh seluruh kalangan pembesar quraisy semakin mencuat tatkala beliau dinobatkan menjadi Rasul di tengah-tengah umatnya. Kecemerlangan kepemimpinan Rasulullah menempatkan beliau sebagai manusia pengubah situasi terbesar seperti yang diyakini oleh Michael Hart, yang menempatkannya pada urutan pertama dari seratus orang yang berpengaruh terhadap umat manusia dalam lintasan sejarah.
Dari sejarah tersebut dapat dipahami bahwa keberhasilan Rasulullah dalam menyampaikan amanah Allah yaitu al-Islam hingga sampai pula pada kita, tidak terlepas dari kepemimpinannya yang mmenganut konsep al-Insan, ash shabr, al-Hikmah, al-`adl, Amanah, al-amal dan al-Ilm. Konsep-konsep tersebut beliau terapkan dalam segala situasi, dan untuk seluruh umat tanpa pilih kasih. Dalam kepemimpinan Rasulullah Saw, al- Insan diformatkan dalam wawasan dan jangkauan bahwa Rasulullah lebih mengedepankan aspek manusiawi, yang dalam hal pengenalan Islam dilakukan dengan pendekatan persuasif (bertahap atau pelan-pelan), dan tidak dengan kekerasan (represif). Rasulullah juga tidak menganggap rendah kaum jahiliyah yang didakwahkan Islam kepadanya, sehingga aspek manusiawi yang dikembangkannya itu secara bertahap mampu melahirkan simpati, dan empati. Pada giliran selanjutnya sifat humanis Rasulullah ini menghantarkan umat yang semula menolak Islam kepada tahapan pemahaman atas misi yang dibawa Rasulullah. Selanjutnya adalah ash-Shabr, sifat sabar adalah suatu sifat yang sangat menonjol dalam diri Rasulullah. Sekalipun seringkali dicerca, dihina bahkan sampai dilempari kotoran, tidak sedikitpun diterima dengan kemarahan, apalagi dengan dendam. Satu peristiwa yang menunjukkan betapa tingkat kesabaran Rasulullah begitu tinggi, tatkala beliau gagal menyiarkan misi di kota Thaif. Barangkali jika sifat itu tidak mendominasi perilaku Rasulullah, saat ini kita hanya mengenal kota tersebut dari literatur saja, mnegingat tawaran yang diajukan malaikat saat itu sungguh mampu meluluhlantakkan seluruh peradaban yang ada. Sifat ini masih tetap ditonjolkan sekalipun Rasulullah telah menjadi pemimpin besar dengan jumlah tentara dan umatnya yang besar.
Selanjutnya adalah al-Hikmah atau bijaksana, sifat ini ditengarai oleh segenap tindakan Rasulullah yang sarat dengan kearifan. Hal tersebut ditunjang pula oleh sikapnya yang pemaaf, bahkan bersedia memaafkan orang yang berencana untuk membunuhnya. Lagi-lagi sejarah membuktikan betapa Muhammad Saw, adalah seorang yang penuh kasih, yang bersedia melepas lawan politiknya Da`sur yang berniat membunuhnya dengan tanpa konsesi apapun5. Dalam perilaku kesehariannya Rasulullah dikenal sebagai seorang yang selalu bertindak adil (al-`Adl) tanpa memandang siapa yang dihadapi. Dalam satu situasi, beliau sempat bersabda bahwa seandainya Fatimah, buah hati yang dicintainya melakukan pencurian, maka hukum potong tangan sebagai hukum yang ditetapkan Allah Swt, akan tetapi beliau laksanakan. Situasi ini akan sangat sulit ditemukan dalam sejarah kehidupan pemimpin-pemimpin lainnya, yang masih tetap akan memberi jaminan keadilan meski keluarganya harus menderita karena hukum yang disepakati. Sikap beliau sebagai pemimpin yang adil, salah satunya ditunjang oleh perilakunya yang amanah, dan tidak ingin menyalahgunakan jabatan untuk kepentingan pribadi, apalagi korupsi. Kesadaran untuk tidak melakukan hal tersebut, karena seluruh aktivitas yang dilakukannya itu selalu diletakkan dalam format nuansa ibadah (amal). Pada akhirnya segala kesungguhan yang beliau tampilkan menjadikannya sebagai manusia yang dekat dengan sang Khalik, yang giliran berikutnya menjadikan Allah Swt begitu peduli kepadanya, dan selalu menuntut atau mengajarinya agar benar dalam segenap tindakan, perkataan, dan tingkah lakunya. Seluruh aktivitas baik perilaku,
5
Pada peristiwa penaklukan kota Makkah tampak betapa beliau sebagai seorang arif, meski telah menguasai seluruh negeri masih tetap menghormati lawan-lawan politiknya seperti Abu Sufyan. Bahkan bukan hanya itu malah beliau mendudukkan sang lawan dalam posisi terhormat, dengan ungkapan kalimat yang kurang lebih bermakna bahwa barang siapa yang masuk dalam rumah Abu Sufyan, maka akan
pendapat ataupun ucapan Nabi Saw ini dikemudian hari menjadi petunjuk bagi umat manusia dalam merefleksikan ajaran Islam, yang dikenal dengan istilah al-hadits. Dengan
memahami
kelengkapan
dalam
model
kepemimpinan
yang
dikembangkan Rasulullah, maka sesungguhnya umat Islam tidak perlu mundur dalam melanjutkan estafeta kepemimpinan dalam kehidupan dunia muslim. Namun, kebobrokan yang terjadi pada bagian sejarah tertentu dalam kepemimpinan Islam pasca Muhammad Saw, sebagaimana digambarkan pada bagian awal tulisan ini, adalah lebih disebabkan oleh pola kepemimpinan yang mnejauh dari apa yang diteladankan Rasulullah. Faktor utama adalah karena melemahnya sifat ash-shabr, al-hikmah, al-`Adl, amanah, dan al-Amal dalam jiwa dan watak kebanyakan pemimpinnya. Kurang sabar (ambisius, mudah tergoda, terutama oleh tahta, harta, bahkan wanita). Kurang bijaksana dan sering sewenag-wenang, sulit bertindak adil, dan tidak menjalankan prinsip amanah (menyalahgunakan kekuasaan, penyelewengan atau menjadi penguasa semata-mata atas motivasi individu/golongan), serta apa yang dilakukan tidak lagi diarahkan, didasarkan pada motivasi ibadah (amal) secara ikhlas. Dalam konteks keseluruhan ini, tampak secara jelas bahwa Islam cenderung "diseret"‖dalam kancah politik yang menghitamkan sejarah perjalanannya dalam era pasca kepemimpinan Rasulullah Saw.
Figur Pemimpin Islam dalam Era Kemodernan Sebagaimana dipahami bersama, bahwa dalam masyarakat termasuk muslim Indonesia kini sedang berlangsung apa yang disebut dengan perubahan, yaitu sebagai suatu proses aktual yang tidak pernah hilang selama manusia masih hidup di muka bumi.
terjamin keselamatannya. Artinya meski sudah ditaklukan, namun atas kearifan Nabi, sang lawan masih tetap diberi kekuasaan untuk melindungi pengikutnya dengan jaminan tetap selamat (hidup).
Keharusan ini dimungkinkan karena manusia pada dasarnya adalah makhluk kreatif sebagai sunatullah atas cipta, rasa dan karsa yang diberikan Maha Pencipta kepadanya. Proses kreatif ini sekaligus merupakan prakarsa positif dalam upaya mengantarkan dirinya untuk meninggalkan keterbelakangan di bidang sosial budaya, politik, ekonomi dan lain sebagainya. Untuk itu maka perubahan dapat dinalar menurut asumsi postive thingking, karena berdampak positif bagi kemajuan peradaban manusia sendiri. Bahkan sejak manusia mulai mengenal lingkungan dan kebudayaan, perubahan justru menjadi satu kebutuhan. Sisi yang menjadi persoalan adalah, bahwa perubahan yang berlangsung, tidak dapat sepenuhnya membawa dampak positif. Di dalamnya juga terkadang dampak negatif bagi lingkungan, baik sosial maupun alam. Lebih dari itu, perubahan bahkan juga mampu mengubah pranata sosial yang telah mapan sekalipun. Aspek negatif yang demikian ini, tidak pernah dapat dihindari secara sempurna oleh bangsa manapun juga, apalagi bagi bangsa-bangsa yang sedang dalam masa transisi seperti yang sedang dialami bangsa ini terlebih situasi krisis saat ini. Dalam masyarakat yang demikian, biasanya akan terjadi perubahan struktural secara tidak sejalan, atau bahkan saling berbenturan. Kondisi ini oleh Durkheim diistilahkan dengan situasi anomie terhadap perangkat nilai yang berlaku (Durkheim, 1964:353). Bagi Kuntowijoyo (1987:11), kondisi tersebut mungkin terjadi karena perubahan yang menyumbangkan kemajuan di berbagai sektor itu, juga menciptakan kesenjangankesenjangan antara individu dan antara bidang-bidang dalam kehidupan itu sendiri. Akibatnya, masyarakat manusia yang ada di dalamnya akan saling bersaing dan berpacu
dengan metode-metode pilihan yang dapat mempercepat pencapaian tujuan dalam upaya mobilisasi yang ditempuhnya. Situasi kompetitif ini, selanjutnya dapat disebut sebagai suatu proses mengaktualisasi diri dalam perubahan, dan pada akhirnya umat Islam yang ada di dalamnya, justru terbelah menjadi dua kelompok. Pertama, pihak yang memegang teguh sistem nilai yang mereka anut, dan sejak lama diakui kebenarannya. Bagi kelompok ini, menunjukkan sikap kepatuhan dan mengedepankan konsistensi terhadap acuan kebahagiaan
akhirat,
merupakan
orientasi
utama
dalam
mengelola
perspektif
kehidupannya. Kedua, kalangan yang lebih mengutamakan keberhasilan dalam mobilisasi, dan oleh karena itu mereka cenderung mengabaikan nilai yang berlaku, terutama yang dianggap dapat menghalangi proses pencapaian tujuan, sesuai dengan pergeseran wilayah pemikiran dan pandangan mereka dalam menafsirkan sesuatu yang lebih cenderung menurut nalar, dan atas pendekatan rasional-fungsional. Pada kondisi ini akan menimbulkan ketegangan-ketegangan antara satu dengan lainnya, bahkan cenderung untuk saling menghakimi. Terutama kelompok pertama, akan mengecam secara pedas kelompok kedua yang dianggapnya telah melakukan pelecehan terdadap sistim nilai dalam suatu sistem keyakinan yang dianut. Ketegangan ini semakin memuncak tatkala kelompok kedua justru tidak menganggapi atau mengabaikan kritik kelompok pertama, yang kemudian memunculkan anggapan bahwa mereka berdiri, berjalan dan berkehidupan sebagai pembuka kehancuran kehidupan umat. Indikator tersebut akan mempunyai arti sebagai awal lahirnya konflik, karena di dalam kehidupan bersama telah terjadi perbedaan kepentingan. Sebagaimana yang
dikemukakan Galtung (1991), bahkan konflik atau adanya ketidakselarasan kepentingan sangat penting diyakini bermula dari perbedaan kepentingan yang kemudian melahirkan living conditon atau syarat hidup yang sangat berbeda antara masing-masing anggota masyarakat yang sekaligus sebagai umat beragama, ini menjadi faktor yang menciptakan keadaan bersebrangan yang lebih jauh. Di luar kasus bidang sosiologis seperti diuraikan di atas, eksistensi umat Islam dalam kaitan dengan keteguhan terhadap sistem keyakinan, juga terserang oleh virus yang lahir dari kemajuan teknologi informasi. Dalam hal ini, eksposer budaya asing dalam berbagai format informasi termasuk yang utama seksual dan kekerasan secara over dosis melalui tayangan pelbagai media massa (cetak dan elektronik) yang merambah seluruh rumah peradaban umat Islam, sampai pada pelosok terasing sekalipun, memiliki kontribusi besar bagi perubahan perilaku masyarakat. Aspek tersebut juga menjadi variabel kunci bagi gugatan atau pendobrakan konsistensi umat beragama (khususnya Islam) terhadap sistem keyakinannya. Sebab, aksentuasi aspek negatifnya juga bermuara pada pembentukan budaya global yang lebih universal dan melemahkan pertahanan norma budaya lokal. Dari sini, maka lahirlah pembangkangan (dissident) masyarakat luas terhadap birokrasi nilai dan sekaligus norma agama Islam yang telah lama dianutnya. Kalangan tertentu, dan diduga jumlahnya lebih besar, akan lebih cenderung bersikap demikian, apalagi bersama dengan itu muncul pula kejenuhan terhadap rutinitas dalam kehidupannya. Suasana yang diinginkan adalah tercapai tingkat kepuasan dan mobilitas yang beranjak dari yang sebelumnya. Pada tahap ini, maka sesuatu yang
dianggap menghambat (dinilai tidak fungsional) akan mudah terlanggar atau bahkan terlupakan kekuatannya dalam mengadili manusia pada kehidupan setelah mati. Dalam konteks inilah kemudian ditemukan jawaban, bahkan sesungguhnya posisi kehidupan umat Islam dalam era perubahan global masa kini dan masa datang sangatlah riskan, dan mengkhawatirkan. Sebab, indikator semakin meluasnya pembangkangan terhadap sistem nilai, baik yang bersumber dari peninggalan leluhur maupun yang berasal dari sistem keyakinan seseorang, begitu mudah berada di bawah pengaruh dan kungkungan peradaban baru yang lebih menjanjikan sisi duniawiyah, yang secara luas menjadi dambaan dalam setiap ikhtiar segenap lapisan masyarakat. Di sini letak persoalannya bagi umat Islam dalam upayanya mengaktualisasikan diri dalam perubahan, model pemimpin yang bagaimana yang mampu membawa umat Islam menuju masa kejayaan? Sementara di sisi lain, apa yang ada dalam perubahan dengan pelbagai fenomenanya, lebih kuat mempengaruhi atau bahkan menggiring agar umat Islam cenderung lebih mengutamakan aspek duniawinya (sekuler), ketimbang akhirat. Pada posisi ini umat Islam dihadapkan pada pilihan tampil menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi semata, atau dengan menambahkan atas keharusan tetap konsisten terhadap apa yang diajarkan Nabi Muhammad Saw, dengan nilai-nilai keislaman yang begitu agung itu, sehingga pada akhirnya terjadi krisis pemimpin Islam sebagai figur yang didambakan umat. Sebagai muslim sejati, tentunya meyakini bahwa manusia yang berkualitas adalah mereka yang mempunyai kemampuan yang sesuai dengan tuntutan zaman, juga sekaligus sebagai penganut Islam yang memegang teguh ajarannya. Letak kualitas yang akan dilihat adalah kemampuannya menghadapi dan menjalani dunia, dengan sekaligus tetap
dalam orientasi akhirat dan ini harus atas pengaruh kuat terhadap identifikasi kepemimpinan yang dicontohkan Rasulullah, yaitu dengan menganut konsep al-Insan, ash-shabar, al-hikmah, al-`Adl, Amanah, al-Amal, dan al-Ilm. Di sisi lain, apabila yang bersangkutan kelak menjadi pemimpin, ia tidak akan mempurukkan Islam dalam kancah politik sebagaimana yang pernah berlangsung pada periode awal kepemimpinan Islam pasca Rasulullah, atau beberapa kelompok pembangkan seperti yang pernah terjadi di Indonesia. Bahkan lebih dari itu, kepemimpinannya yang dijalankan secara profesional itu (al-ilm), akan berlangsung dengan mengedepankan unsur kemanusiaan (al-Insan), penuh kesabaran, tidak emosional (ash-shabr), bijaksana (al- Hikmah), berlaku adil (al-`Adl), tidak menyalahgunakan kekuasaan (Amanah), dan menempatkan bekerja, memimpin sebagai ibadah (al-Amal). Mencermati sejarah hadirnya Islam di negeri ini dan sejarah besar bangsa ini, tampaknya kehadiran pemimpin yang memiliki integritas sikap seperti yang dipaparkan di atas memang sudah selayaknya terwujud saat ini. Persoalannya bangsa ini terus mengalami kesulitan untuk mendapatkan pemimpin yang memiliki integritas sikap semacam itu. Selalu saja ada cacat dalam nuansa kepemimpinan yang dijalankannya. Jika kehadiran Gur Dur (Abdurrahman Wahid) untuk sementara kalangan diharapkan mampu mencerahkan bangsa dari kegelapan dan ketidaan pemimpin Islam. Namun hingga hari ini, harapan tersebut belum sepenuhnya terwujud secara optimal. Di sana sini masih ditemui adanya domontrasi yang menyatakan ketidakpuasan atas kepemimpinan yang dijalankannya. Meski juga ada kelompok yang mati-matian mendukungnya, tampaknya hadirnya memorandum –yang secara hukum sebagai tanda peringatan atas kinerja kabinet—menjadi pertanda belum berhasilnya roda kepeminpinan.
Pertanyaan yang memang harus dikedepankan adalah, kapankah hadir pemimpin Islam yang memiliki integritas sikap sebagaimana ditunjukkan idola umat ini? Pertanyaan ini perlu diajukan mengingat langkanya tokoh yang demikian, yang lebih mementingkan umatnya ketimbang periuk keluarganya. Pada konteks inilah letak tantangan bagi umat Islam Indonesia dalam era industri ini. Sebab, jika hal ini dapat terjelma, Indonesia akan menjelma menjadi kampung besar muslim sejati yang indah dan penuh kedamaian.
Khatimah Paparan di atas menyadarkan kepada kita, bahwa persoalan kepemimpinan umat menjadi agenda yang terus perlu diperbincangkan dan dicari alternatif solusinya. Dengan mengedepankan kriteria kepemimpinan sebagaimana yang telah diajarkan Nabi Saw, rasanya akan diperoleh pemimpin yang memenuhi hasrat umat. Lagi-lagi kita sebagai umat yang dipimpinnya juga harus memiliki sikap mawas, bahwa tidak selamanya pemimpin yang kita angkat atas kesepakatan sebelumnya belum tentu akan bertindak lurus, dan selalu benar dalam tindakannya. Untuk itu sikap koreksi kritis terhadap pemimpin perlu dipertajam dan selalu digiatkan. Sikap menutup diri, dan selalu menganggap bahwa pimpinannya adalah yang benar justru akan menjerumuskan sang pemimpin dalam nuansa diktator, dan pada akhirnya umat itu sendiri yang akan mengalami kerugian. Sejarah bangsa ini telah mencatat betapa pengagungan pada pribadi pemimpin justru merugikan bangsa ini sendiri. Atribut presiden seumur hidup pernah disandang oleh salah seorang presiden kita, dan itu merupakan atribut emosional yang justru menjadikan umat tidak mampu mengontrol pemimpinnya. Rasanya bangsa ini harus
selalu belajar pada sejarah masa lampau, dan betapa menariknya nuansa demokrasi yang dikembangkan Khalifah Umar R.A saat pembaitan atas dirinya, saat itu beliau minta untuk dikoreksi, dan atas ungkapan itu salah seorang sahabat segera menghunus pedang dan berkata bahwa dirinya akan meluruskan perilaku Umar R.A dengan pedangnya. Reaksi spontan ini justru ditanggapi dengan senyum dan rasa bangga Umar R.A sang khalifah betapa masih ada umatnya yang mau berkata benar, dan bukan sekadar membenarkan kata-katanya saja. Harapan tersebut tampaknya banyak tertumpu pada para cendekia Islam yang mapan. Hanya saja perlu diingat bahwa kekuasaan itu bukan jalan untuk memperkaya diri dan golongannya, tapi justru untuk melapangkan jalan pada kesejahteraan umat. Semoga Allah merestui niatan pemimpin yang baik, amin. ( M.Idrus, 1042001) Wallahu `alamu bi as shawaab.
Bacaan
Durkheim, Emile, 1964. The Division of Labor in Society. New York: The Free Press. Galtung, Johan. 1991. Suatu teori Struktural tentang Imperialisme, dalam Arus Pemikiran Ekonomi Politik, Amir Efendi Siregar (Editor). Yogyakarta: Tiara Wacana. Haikal, Muhammad Husein. 1984. Sejarah Hidup Muhammad. Penerjemah Ali Audah. Jakarta: Tinta Mas. Idrus, Muhammad. 2000. Kelompok Sempalan: Sisi Lain Dinamika Politik Kita. Jurnal Ilmu-Ilmu Sosial No. 41/XXII/I/2000. Yogyakarta: UII Kuntowijoyo, 1987. Budaya dan Masyarakat, Yogyakarta: Tiara Wacana. Kasus Indonesia. Maarif., A. Safii., 1993. Peta bumi intelektualisme Islam di Indonesia. Bandung: Mizan