LAPORAN HASIL KUNJUNGAN KERJA KOMISI VI DPR-RI KE SUMATERA BARAT MASA PERSIDANGAN IV TAHUN SIDANG 2004/2005 Tanggal 26-29 Juli 2005 I. Pendahuluan A. Dasar 1. Keputusan Pimpinan DPR-RI Nomor: Tanggal tentang Penugasan Anggota Komisi I s/d XI DPR-RI untuk melakukan Kunjungan Kerja Berkelompok dalam Masa Reses Masa Persidangan IVI Tahun Sidang 20042005 2. Keputusan Rapat Intern Komisi VI DPR-RI tanggal mengenai Sasaran dan Obyek Kunjungan Kerja Komisi VI DPR-RI pada reses Masa Persidangan IV Tahun Sidang 2004-2005 B. Maksud dan Tujuan Laporan ini dimaksudkan untuk memberi gambaran tentang berbagai temuan hasil Kunjungan Kerja Komisi VI DPR-RI yang terkait dengan bidang tugasnya di Propinsi Sumatera Barat, yang secara spesifik difokuskan pada persoalan pupuk dan sub-sektor energi, khususnya untuk memperoleh gambaran tentang produksi, ketersediaan, dan distribusi yang merupakan bentuk upaya untuk mengantisipasi kemungkinan shortage pupuk dan energi di masa mendatang. Permasalahan pupuk, khususnya yang terkait dengan manajemen BUMN PT Semen Padang yang mengalami krisis manejemen setelah perusahaan mengubah pola pelaporan keuangan dengan menggunakan sistem Oracle, yang berdampak pada gambaran posisi keuangan yang merugi dan menimbulkan kecenderungan destabilisasi secara internal, khususnya terkait dengan permasalahan di dalam PT Semen Gresik, mengingat sebagian besar saham PT Semen Padang dimiliki oleh PT Semen Gresik; serta menimbulkan permasalahan lokal mengingat perusahaan ini merupakan BUMN kebanggaan masyarakat Propinsi Sumatera Barat. Laporan kunjungan kerja yang merupakan bagian dari fungsi Dewan sebagaimana diatur dalam Tata Tertib DPR-RI ini diharapkan menjadi masukan bagi pemerintah untuk ditindak-lanjuti sesuai ketentuan yang berlaku, sebagai upaya meningkatkan kinerja dan fungsi penyelenggaraan Negara. C. Sasaran dan Obyek Kunjungan Kerja Sasaran kunjungan kerja titikberatkan pada aspek: 1. Pengawasan Pelaksanaan Peraturan Perundang-undangan, khususnya yang berkaitan dengan bidang mitra kerja Komisi VI DPR-RI 2. Pengawasan terhadap kinerja lembaga-lembaga/badan yang berada di dalam lingkup mitra kerja Komisi VI DPR-RI 3. Pembahasan perkembangan daerah, khususnya yang berkaitan dengan bidang mitra kerja Komisi VI DPR-RI
4. Memonitor situasi lapangan serta menampung aspirai yang bekembang berkaitan dengan pengembangan Investasi, Industri, Perdagangan, Koperasi dan UKM, penciptaan lapangan kerja, serta peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal. Obyek yang dikunjungi dan dibahas meliputi: a. Pemda Propinsi Sumatera Barat b. Pemda Kota Padang c. Pemda Kota Sawahlunto d. Pemda Kota Bukit Tinggi e. PT Angkasa Pura II: Bandara Internasional Minangkabau f. PT Pelindo II: Pelabuhan Teluk Bayur g. Bank Indonesia Kantor Wilayah Sumbar h. Perbankan BUMN: Bank Mandiri, Bank BRI, Bank BNI, Bank BTN i. PT PLN j. PT Pertamina k. PTPN VI l. PT Nena Rangkayo Mandiri Pratama m. PT Semen Padang D. Waktu dan Acara Kunjungan Kerja (Terlampir) E. Anggota Tim Kunjungan Kerja (Terlampir) II. Deskripsi Umum Daerah Kunjungan Kerja A. Propinsi Sumatera Barat Propinsi Sumatera Barat yang terdiri dari 12 kabupaten dan 9 kota berpenduduk 4,6 juta jiwa dengan 51% penduduk adalah perempuan. Penduduk miskin di propinsi ini mencapai 10% dari total penduduk atau jumlahnya mencapai 501.000 jiwa. Luas wilayah propinsi Sumbar 42.889m2, dimana 52,9% merupakan daerah pegunungan dan sisanya berupa tanah datar. Propinsi yang struktur ekonominya tidak didominasi oleh sektor tertentu, dimana sektor pertanian 23%, sektor perdagangan 18% dan sektor industri 13%, menunjukkan tingkat pertumbuhan ekonomi yang cenderung meningkat dari 3,63% tahun 2001 menjadi 5,37% tahun 2004. Pendapatan perkapita propinsi ini Rp8,3 juta pada tahun 2004, namun pelaku ekonomi di sektor industri menunjukkan tingkat kesejahteraan yang lebih baik. Perekonomian Sumbar sangat didukung oleh usaha kecil dan menengah yang kontribusinya terhadap pendapatan daerah mencapai 70%. Sekalipun demikian, pada dasarnya sektor pertanian merupakan kontributor penting pertumbuhan ekonomi Sumbar, namun seperti juga petani lain di Indonesia, lahan pertanian rata-rata di Sumbar hanya kurang dari setengah
hektar, sehingga upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat petani masih sulit dilakukan. A. Bidang Investasi Sumatera Barat dikenal sebagai propinsi yang mampu melahirkan perantau berhasil di banyak daerah di Indonesia. Para Perantau dari propinsi ini dikenal sebagai pedagang ulung. Namun di Propinsi Sumatera Barat, pengembangan sektor perdagangan, dan sektor perekomian secara umum, masih terus diupayakan. Sarana dan prasarana pendukung seperti pelabuhan laut yang baik, merupakan salah satu faktor penting bagi pengembangan sector perdagangan. Pelabuhan Teluk Bayur diharapkan dapat ditingkatkan kapasitas dan kualitasnya, selain Bandara Internasional Minangkabau yang pada tanggal 22Juli 2005 telah diserah-terimakan operasinya kepada PT Angkasa Pura II unit Sumatera Barat. Kondisi pelabuhan saat ini tidak memungkinkan menerima kapal dengan kapasitas mencapai 30-an ton. Sekalipun telah ada masterplan untuk pengembangan pelabuhan Teluk Bayur, yang telah disahkan oleh Menteri Perhubungan, namun realisasinya membutuhkan waktu dan tergantung pada investor yang berminat menanamkan modalnya di sektor ini. Selain itu, sarana pendukung pelabuhan untuk pengembangan sektor perdagangan, seperti cool storage, masih belum tersedia, sehingga produk-produk yang cepat busuk, seperti ikan, memerlukan kecepatan dalam hal pengiriman, atau dapat mengalami kendala yang berarti. Sebagai propinsi dengan garis pantai darat yang panjang, yaitu 2.420,38km, garis pantai pulau-pulau kecil yang mencapai 1.879,57km serta wilayah laut seluas 186.580km2, perikanan merupakan sub-sektor potensial untuk dikembangkan lebih lanjut. Saat ini sub-sektor perikanan baru tergarap 30%. Kondisi ini membuat subsektor perikanan tidak mampu berkompetisi, terutama dengan perusahaan atau negara yang skala produksinya yang lebih besar dan lebih efisien. Keterbatasan skala produksi, selain kurangnya investasi, membuat pengembangan sektor industri pendukung, termasuk agro-industri seperti industri pengalengan ikan dan pengemasan barang (packaging) kurang dapat berkembang. Kesulitan memperoleh fasilitas kredit untuk investasi dan pengembangan modal kerja menjadi salah satu kendala. Di sektor pembiayaan, sekalipun banyak perbankan BUMN dan swasta yang beroperasi di Sumatera Barat, tetapi masih sering ditemui keluhan dari para pelaku usaha bahwa tingkat bunga kredit yang dibebankan tergolong tinggi, mencapai tigapuluh (30) persen, serta kesulitan memperoleh kredit. Hal ini membuat pengusaha tidak kompetitif dalam bersaing. Saat ini di Sumatera Barat terdapat 46 bank berstatus Kantor Cabang dan 1 buah Kantor Pusat, yaitu Bank Nagari. Pada tahun 2004, total pinjaman perbankan mencapai Rp8,37trilyun, dengan loan deposit ratio mencapai 91%. Namun demikian, kredit yang diberikan pada UKM hanya 20,3% dari total kredit perbankan. Gambaran secara umum investasi PMDN menunjukkan fluktuasi yang berarti tanpa pola tertentu, sehingga masih harus didalami penyebab tingginya investasi pada tahun 2004 yang mencapai Rp631.733,33 juta, sekitar dua hingga tiga kali lipat dari tahun-tahun sebelumnya (lihat Tabel 1). Tidak tertutup kemungkinan peningkatan
investasi PMDN yang berarti pada tahun 2004 menunjukkan peningkatan kinerja perekonomian Sumatera Barat mengingat realisasi investasi pada semester I tahun 2005 telah mencapai Rp380.000,00juta. Sedangkan investasi asing pada umumnya ditanam pada sektor perkebunan, seperti kelapa sawit. Sekalipun sektor-sektor lain juga diminati, seperti: pertambangan, pariwisata, industri pengolahan hasil perkebunan, dan lain-lain. Asal negara PMA beragam, dari Asia, Eropah dan Amerika Serikat, dan Australia. Besarnya investasi asing yang disetujui sejak tahun 2000 hingga 2004 menunjukkan fluktuasi yang berarti (lihat Tabel 1). Ketidak-teraturan pola investasi dari tahun ke tahun, dan perbedaan antara persetujuan dengan realisasi, yang selalu jauh lebih besar daripada persetujuan, mengindikasikan adanya kesulitan dalam perencanaan dan dalam mengantisipasi minat investasi asing di propinsi ini. Selain permasalahan lahan yang dikemukakan oleh Pemda sebagai salah satu kendala bagi investor untuk menanamkan dananya di propinsi ini, karena prosedur memperoleh tanah yang tidak mudah, harus melibatkan ninik-mamak sesuai budaya masyarakat Minangkabau, masih diperlukan pendalaman tentang faktor penyebab terjadinya fluktuasi yang tidak terpola dan sangat besarnya bias antara persetujuan dengan realisasi. Menurut data Pemda Sumatera Barat, permasalahan dalam mempertahankan, mengelola dan meningkatkan investasi di Sumbar antara lain adalah: belum samanya persepsi tentang kewenangan otonomi daerah antara Kabupaten/Kota dimana investor melakukan investasi, munculnya beragam perda yang membingungkan dan memberatkan para pelaku usaha, termasuk investor, serta masih belum optimalnya pelayanan terhadap investor. Selain itu, daerah masih belum melakukan kajian potensi secara terintegrasi, khususnya antar instansi di daerah. Permasalahan investasi yang khusus, adalah dalam persoalan PT Semen Padang, dimana BUMN yang berkontribusi terbesar nomor dua bagi PAD Kota Padang, sekalipun kontribusinya tergolong kecil terhadap pendapatan riil propinsi Sumatera Barat, diharapkan oleh sebagaian besar masyarakat Sumatera Barat agar memisahkan diri dari pemilik saham terbesarnya, yaitu PT Semen Gresik. Pada awalnya keinginan ini dianggap dapat memperkuat posisi tawar daerah dalam industri semen. Permasalahan berkembang ketika pemerintah menawarkan BUMN semen untuk memnuhi kebutuhan negara akan dana operasional dalam jumlah besar, trilyunan rupiah, khususnya PT Semen Gresik, dengan harga yang dinilai murah. Rencana penjualan PT Semen Gresik ini akan terkait dengan PT Semen Padang, oleh karena itu
Tabel 1 Persetujuan dan Realisasi PMDN & PMA Di Sumatera Barat, Tahun 2000-2005 No Tahun Persetujuan Realisasi Persetujuan Realisasi Investasi PMDN Investasi PMDN Investasi Investasi PMA (Rp. Juta) (Rp. Juta) PMA (US $. (US $. 000) 000) 1
2000
492.322,80
187.773,15
4.417,74
61.325,92
2
2001
152.059,26
183.978,14
41.097,09
107.590,89
3
2002
65.435,62
348.234,00
4.354,60
118.551,84
4
2003
238.046,84
204.464,89
18.551,84
29.339,89
5
2004
712.153,44
631.733,33
18.443,95
29.532,64
6
2005*
512.429,29
380.000,00
19.082,60
26.293,59
Catatan: * keadaan semester I (Jan s/d Juni 2005), untuk PMDN jumlah proyek 5 buah dan TKI 941 orang; untuk PMA jumlah proyek 9 buah dan TKI 367 orang, dan tenaga asing 11 orang.
sebagian dari stakeholder PT Semen Padang bereaksi menentang rencana ini. Sekalipun pabrik PT Semen Padang milik pemerintah, namun tanah lokasi PT Semen Padang adalah milik rakyat (hak ulayat). Oleh karena itu, mereka menganggap bahwa PT Semen Padang tidak dapat dijual. Namun, mempertimbangkan kecenderungan globalisasi yang didominasi oleh korporasi skala besar dengan lingkup usaha yang terbebas oleh batas negara; serta rancangan masterplan ementerian Negara BUMN untuk membentuk holding bagi BUMN Semen, maka keingina untuk memisahkan PT Semen Padang dipertimbangkan kembali. Selain BUMN Semen yang menjadikan Propinsi Sumatera Barat sebagai pusat bagi aktivitas usahanya terdapat pula BUMN perkebunan, yaitu PTPN VI. Bank Indonesia dan BUMN listrik, PT PLN, menjadikan propinsi Sumatera Barat sebagai lokasi kantor operasi regional. Beberapa BUMN lain, seperti perbankan, asuransi, BUMN yang terkait dengan energi, seperti Pertamina, juga beroperasi di propinsi ini, sekalipun hanya membuka kantor cabang atau unit operasional. Pemerintah propinsi Sumatera Barat berupaya mengembangkan investasi dan menarik minat investor, dengan mengembangkan profil investasi yang meliputi: (1)pengolahan kelapa sawit, (2) perkebunan kopi arabica, (3) budi daya ikan karang, (4) industri/perkebunan coklat, (5) industri/perkebunan karet, (6) industri/ perkebunan nilam, (7) pengolahan gambir, (8) industri/perkebunan Cassiavera, (9) industri kelapa terpadu, (10) industri/perkebunan teh. Selain itu, Pemda Sumbar juga memprogram pemetaan potensi investasi yang meliputi: (1) peta peluang investasi komoditi utama, (2) potensi sarana dan prasarana investasi, (3) penyusunan pra feasibility study proyek unggulan daerah yang meliputi tujuh (7) komoditi.
Pemda Sumbar juga berupaya mensosialisasikan Izin Ikutan Lain dan Permohonan Investasi, melakukan business meeting dan memfasilitasi kemitraan usaha PMA/PMDN dengan UMKM, serta membangun kerjasama dengan bank untuk pembiayaan investasi, selain melakukan berbagai sosialisasi yang terkait dengan upaya menggairahkan investasi di Propinsi Sumbar. B. Bidang Industri dan Perdagangan Propinsi Sumatera Barat tergolong tidak didominasi oleh sektor pertanian, karena sektor-sektor seperti industri dan perdagangan telah berkembang dan berkontribusi mendekati sektor pertanian. Berdasarkan data tahun 2003, kontribusi sektor industri dan perdagangan dalam PDRB masing-masing sebesar 12,29% dan 17,55%. Pada tahun yang sama, pertumbuhan unit usaha industri dan perdagangan masingmasing 2,57% dan 10,49%. Jumlah tenaga kerja yang terserap di kedua sektor tersebut masing-masing 6,87% dan 17,57%. Perkembangan sektor industri berkontribusi dalam pesatnya laju pertumbuhan ekspor non-migas di propinsi ini, yang mencapai 30,50%, termasuk dari sektor pertanian. Pengembangan sektor industri berbasis sektor pertanian menjadi penting, karena Pemerintah Propinsi Sumatera Barat mengkategorikan sub-sektor pertanian, seperti perkebunan dan perikanan, serta secara khusus pertanian organik yang pasarnya terbuka dan sudah ada permintaan produknya, sebagai sektor yang perpotensi dan bernilai ekonomis untuk dikembangkan. Sektor lain yang juga akan berdampak langsung terhadap sektor perdagangan, dan dinilai berpotensi untuk dikembangkan adalah sektor pariwisata yang meliputi pariwisata alam, bahari dan budaya. Sekalipun demikian, pemerintah propinsi Sumatera Barat mengungkapkan beberapa kendala yang masih dihadapi dalam mengembangkan sektor agroindustri, yaitu berbagai keterbatasan, dalam: kualitas sumber daya manusia, kualitas produksi, kapasitas pengelolaan pasca panen, serta kapasitas mengemas produk; selain skala usaha yang kurang efisien dengan kepemilikan lahan yang terbatas. Berbagai keterbatasan ini diikuti dengan kendala dalam kemudahan memperoleh saprodi, khususnya pupuk yang ketersediaannya terbatas serta menyebabkan petani sulit memperoleh pupuk dengan harga yang baik (HET). Selain keterbatasan pengiriman pupuk bersubsidi membuat stok pupuk lebih cepat habis, ketersediaan pupuk biasa juga dinilai kurang dari kebutuhan. Terkadang kondisi ini membuat masyarakat berspekulasi. Hal yang sama juga terjadi pada BBM yang ketersediaannya dinilai kurang dari perhitungan kebutuhan umumnya. Pemerintah Propinsi memperkirakan kebutuhan BBM perorang/bulan mencapai 3,75 liter, namun yang diajukan oleh Pertamina hanya 3,1 liter/orang/bulan, itupun yang dipenuhi hanya 2,9liter/orang/bulan. Permasalahan yang spesifik Sumatera Barat dan membutuhkan solusi adalah permasalahan lahan usaha, karena menyangkut tanah ulayat. Beberapa pengusaha dapat menyiasati permasalahan ini, antara lain melalui pendekatan dengan masyarakat, seperti yang dilakukan oleh PT Incasi Raya yang emmperoleh hak untuk menggunakan lahan seluas 10.000 ha dari para ninik mamak.
Perusahaan PMA. Yang mendapat kredit plasma dari Bank Mandiri ini mengembangkan program Plasma Komersial, yaitu bekerjasama dengan bank tersebut. Perusahaan juga menjalin kerjasama dengan masyarakat melalui perbankan. masyarakat memperoleh kredit bibit sawit, setelah berbuah, maka hasil dari sawit dipotong untuk pembayaran hutang. Perusahaan Incasi Raya mengembangkan perkebunan sawit yang mempunyai prospek industri yang cukup baik, selain potensi sawit untuk digunakan menjadi biodiesel, karena harganya sekitar Rp3800/lt. Secara umum permasalahan tanah di Sumatera Barat ini tergolong rumit, terutama setelah reformasi. Setelah reormasi, kebijakan pada era Orde Baru yang menggunakan pendekatan kekuasaan tidak dapat diterapkan lagi. Dibutuhkan suatu landasan hukum untuk mengatasi permasalahan ini. Hingga saat ini persoalan tanah ulayat masih belum terselesaikan dengan baik. Permasalahan ini sudah dicoba diangkat oleh DPRD tetapi masih membutuhkan waktu untuk mencari solusinya. Dengan keterbatasan yang dihadapi, seperti dalam hal kepemilikan tanah, maka akan sulit bagi bidang agro-industri di Sumatera barat untuk mencapai suatu lompatan. Mengacu pada lompatan investasi dan pengembangan sektor pertanian dan agro-industri ketika kelapa sawit mulai masuk dan berkembang perannya, dimana perkebunan karet mulai dikalahkan oleh perkebunan sawit. Para pelaku usaha mengharapkan agar pemerintah dapat melakukan suatu promosi besar, termasuk dalam pemanfaatan teknologi. Lompatan ekonomi diharapkan terjadi dengan upaya pemanfaatan teknologi; selain melalui pengembangan potensi pariwisata dan perikanan, serta berbagai proyek pembangunan infrastruktur yang saat ini baru mencapai 10% --yaitu untuk Tapak Sembilan, Padang-Bukit Tinggi dan Kelok Sembilan. Rencana bekerjasama dengan swasta di bidang ini agak sulit karena return terhadap biaya yang dikeluarkan dinilai kurang memadai, sehingga sebagian besar proyek di bidang ini dibiayai oleh pemerintah. Kerjasama dengan pihak Malaysia juga dilakukan untuk pengembangan kawasan industri yang sudah disiapkan sejak sebelum krisi moneter terjadi, namun sejalan dengan kebijakan pemerintah Malaysia untuk melakukan tight money policy, reliasasi kerjama ini tersendet-sendat. Dalam rencana pembangunan kawasan industri ini secondary industry akan ditampung di atas lahan seluas 125ha. Pengembangan sektor industri yang agak tersendat berdampak terhadap pengembangan sektor perdagangan, termasuk kendala menarik minat investor untuk menanamkan modalnya pada sarana yang dibutuhkan seperti cold-storage. Dengan kondisi yang ada, pemerintah Propinsi Sumatera Barat mengharapkan agar pengoperasian Bandara Internasional Minangkabau dapat menarik lebih banyak pendatang, terutama dari mereka yang harus menunggu di Singapura. Pemerintah propinsi Sumatera Barat tidak hanya membangun prasarana jalan yang memungkinkan jarak tempuh melalui Kelok Sembilan menjadi lebih pendek dari 5 jam menjadi 3 jam,tetapi juga fasilitas hotel. Bahkan pemerintah propinsi Sumatera Barat saat ini dapat berbangga karena tidak ada lokasi di pelosok Sumatera Barat yang tidak dapat dicapai dengan kendaraan atau tanpa aliran listrik.
Dalam visi 2020 sudah disiapkan agar APBD diarahkan untuk mendukung sektorsektor: pertanian, pariwisata, jasa, serta sumber daya manusia. Dinas Perindustrian dan Perdagangan Sumatera Barat mengusung visi “terwujudnya industri dan perdagangan yang berdaya saing tinggi sebagai penggerak utama ekonomi dan bertumpu pada potensi daerah serta ekonomi kerakyatan”, maka pemerintah propinsi Sumatera Barat mencangkan misi berikut: menciptakan iklim usaha yang kondusif dalam persaingan yang sehat serta berwawasan lingkungan, menjadikan UKM lebih professional, moderen dengan menggunakan teknologi untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi, serta mengembangkan pasar lokal, domestik dan internasional; selain mengupayakan perlindungan bagi konsumen. C. Bidang Koperasi dan UKM Sebagai propinsi yang sejak lama dikenal sebagai wilayah penghasil produk garmen, seperti bordir, sarung tenun dan songket, keberadaan industri dan perdagangan skala kecil mengalami pasang surut dalam perkembangannya. Persaingan terjadi dengan industri bermodal besar, dan menjadi makin ketat pada era globalisasi dimana industri berskala besar dengan lokasi produksi dan industri yang bebas batas negara dunia. Sebagian pelaku industri dan usaha di bidang garmen kalah bersaing atau hanya mempu bertahan hidup dengan distribusi dalam lingkup yang terbatas. Oleh karena itu, salah satu kota di propinsi Sumatera Barat, Kota Sawahlunto, meminta agar pemerintah pusat dapat membantu menghidupkan dan mengembangkan industri garmen/tenun, tenu silungkang, yang pernah berkembang pesat hingga tahun 1970-an di propinsi Sumatera Barat, bahkan pernah masuk ke pasar internasional. Sektor koperasi dipropinsi ini berkembang dengan tingkat pertumbuhan yang relatif stabil, sekalipun sekitar 25% -an koperasi yang ada tergolong tidak aktif (lihat tabel 2) Tabel 2 Perkembangan Jumlah Koperasi/KUD, Tahun 2000-2005 No Tahun Jumlah Tdk Anggota Modal Sendiri Koperasi Aktif (Orang) (Rp juta)
Modal Luar (Rp juta)
Volume Usaha (Rp juta)
SHU (Rp juta)
1.
2000
2.427
325
499.794 192.182,00
335.927,00
354.587,00
66.730,00
2.
2001
2.758
428
519.078 192.182,00
363.425,00
455.432,00
30.709,00
3.
2002
2.852
644
539.142 265.824,00
305,171,00
648.246,00
42.707,00
4.
2003
2.878
626
588.211 304.814,00
397.108,00
910.967,00
55.276,00
5.
2004
2.962
767
532.571 323.474,22
339.315,88
1.058.485,00
52.884,27
6.
2005
3.059
884
536.721 350.237,68
386.414,87
805.054,83
40.383,40
Sumber: Dinas Koperasi dan PKM Propinsi Sumatera Barat
Perkembangan sektor industri dan perdagangan di Propinsi Sumatera Barat disinyalir merupakan kontribusi industri dan perdagangan skala kecil. Sekalipun sektor ini berkontribusi relatif kecil dalam nilai investasi, namun menyumbang besar
dalam penyerapan tenaga kerja. Membandingkan data industri kecil Sumatera Barat tahun 2000-2004 dengan industri menengah dan besar menunjukkan bahwa lapangan kerja yang dapat disediakan oleh sektor ini sangat besar (lihat table 2 dan table 3). Pada tahun 2000 dari jumlah investasi sebesar Rp127.092 juta untuk industri kecil, tenaga kerja yang terserap di bidang ini mencapai 109.037 orang; sedangkan untuk industri menengah dan besar dari investasi yang lebih dari lima belas kali lipat, sebesar Rp 2.789.163, tenaga kerja yang terserap hanya sepersembilannya, mencapai 14.011 orang. Pada tahun 2004 dari investasi sebesar Rp342.036 juta untuk industri kecil, tenaga kerja yang terserap mencapai 166.402 orang; sedangkan untuk industri menengah dan besar dari investasi yang belasn kali lebih besar, sebesar Rp4.771.015, tenaga kerja yang terserap hanya seperdelapannya, mencapai 21.628 orang. Oleh karena itu, pemerintah propinsi Sumatera Barat akan berkepentingan untuk membantu mengembangkan sektor industri dan usaha perdagangan skala kecil ini. Tabel 3 Industri Kecil di Sumatera Barat, Tahun 2000-2005 Tahun
Jumlah Unit Usaha
Tenaga Kerja
Investasi (RP.Juta)
Produksi (Rp.Juta)
2000
47.413
109.037
127.092
1.076.891
2001
47.585
145.306
141.162
1.090.319
2002
50.792
162.425
144.816
1.218.876
2003
52.091
163.566
351.795
1.419.231
2004
52.284
166.402
342.036
2.236.016
Sumber: Dinas Perindustrian dan Perdagangan Propinsi Sumatera Barat
Tabel 4 Industri Menengah Besar Sumatera Barat, Tahun 2000-2005 Tahun
Jumlah Unit Usaha
Tenaga Kerja
Investasi (RP.Juta)
Produksi (Rp.Juta)
2000
186
14.011
2.789.163
1.463.923
2001
234
15.772
3.052.624
1.622.924
2002
237
15.809
3.240.082
1.660.546
2003
248
16.665
3.245.930
1.688.810
2004
200
21.628
2.187.977
4.771.015
Sumber: Dinas Perindustrian dan Perdagangan Propinsi Sumatera Barat
Sekalipun terdapat keluhan dari para pelaku usaha dalam memperoleh kredit, namun di propinsi ini tercatat kredit untuk usaha mikro dan kecil yang cukup besar. Data dari BRI unit Sumatera Barat menunjukkan laju pertumbuhan kredit yang cukup berarti, 8,75%, dari tahun 2001 hingga tahun 2004 untuk sektor usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM). Khusus untuk kredit yang diberikan kurang dari Rp50 juta mencapai lebih dari 50% total kredit UMKM, yaitu Rp1.448,13miliar dari Rp2.297,85miliar pada tahun 2001. Pada tahun 2004 kredit yang diberikan kurang
dari Rp50 juta mencapai Rp2.815,35miliar dari Rp5.269,86miliar, sehingga laju pertumbuhan kredit UMKM untuk kredit yang kurang dari 50 juta mencapai 5,31%. Data dari Bank BNI unit Sumatera Barat tahun 2004 menunjukkan besarnya kredit bagi usaha kecil relatif lebih besar daripada untuk usaha menengah, lebih dari 50%. Pada tahun 2004besarnya kredit untuk usaha kecil Rp322.414juta, dan hingga bulan April tahun 2005 mencapai Rp318.321juta. Data yang lebih umum dari Bank Indonesia untuk tahun 2004 menunjukkan bahwa di propinsi Sumatera Barat, kredit mikro (kurang dari Rp50 juta) dan kredit kecil (di atas Rp50 juta hingga Rp500juta) masing-masing mencapai Rp686.652,55juta dari total nasional sebesar Rp33.043.213,49juta dan Rp211,550,73juta dari total nasional sebesar Rp9.020.323,06juta; sedangkan kredit menengah (di atas Rp500juta hingga Rp5miliar) mencapai Rp75.373,37juta total nasional sebesar Rp8.659.080,23juta. Selain itu, BUMN non-bank memberikan kredit usaha kecil dan menengah melalui program Kemitraan dan Bina Lingkungan. PT Semen Padang menyalurkan dana kemitraan untuk 590 UKK dengan nilai Rp6.320juta pada periode 2000-2005, sebelumnya periode 1995-1999, dana yang disalurkan bagi 900 UKK mencapai Rp7.637juta. Pada periode 2000-2004 PT PN VI menyalurkan dana untuk program Kemitraan sebesar Rp2.603,53juta dan dana program Bina Lingkungan sebesar Rp510,42juta. Pinjaman modal kerja bagi mitra binaan terbagi atas 4 kategori, dari kelompok yang sampai dengan Rp10 juta hingga kelompok di atas Rp50 juta. PT PLN wilayah Sumatera Barat, hingga bulan Desember tahun 2004 telah menyalurkan pinjaman PUKK bagi calon mitra binaan sejumlah Rp5.545,7juta; di luar berbagai bentuk community development seperti bea siswa, pelatihan, penanganan bencana alam dll. PT Pertamina yang juga beroperasi di propinsi ini memberikan kredit bagi usaha kecil dengan bunga 6-12%. Pada periode 1995-2004 besarnya kredit bagi usaha kecil mencapai Rp5.471,5juta. PT Pelindo II menyalurkan dana untuk program PKBL yang berfluktuasi dengan kecenderungan meningkat tipis selama periode 200-2004. Berturut-turut dari Rp709,5juta tahun 2000, menurun menjadi Rp645 juta, dan Rp55,5juta tahun 2001 dan 2002; kemudian meningkat lagi tahun 2003 menjadi Rp719,98juta, dan tahun 2004 mencapai Rp770,47juta. Tahun 2005 hingga semester I realisasi dana PKBL Pelindo II, Teluk Bayur, mencapai Rp356,5juta. Dalam konteks PKBL, Dinas Koperasi berperan dalam fungsi koordinasi, dalam pengalokasian dananya, serta dalam mensosialisasikan program ini pada Koperasi dan usaha kecil. Secara total, pada tahun 2004 dari jumlah yang dialokasikan Rp12.703 juta, yang terealisasi mencapai Rp2.560 juta. Dana kredit lain adalah dari dana Surat Utang Pemerintah (SUP 005) dimana untuk Sumatera Barat dialokasikan dana sebesar Rp141.881juta untuk disalurkan oleh tujuh (7) bank serta 2 BUMN. Dari dana tersebut yang terealisasi sebesar Rp33.846,6juta. Selain itu dari Kementerian Koperasi dan UKM, dana MAP yang disalurkan pada 28 UKM mencapai Rp2.338,75juta. Pemerintah propinsi Sumatera Barat sendiri memberikan dana sejumlah Rp 2milyar kepada 40 KSP/USP dengan bunga 6%/tahun, serta kepada 3.265 pengusaha kecil dengan total pinjaman sebesar Rp
5.807,6juta. Dana Subsidi BBM tahun 2002-2004 mencapai Rp3.500juta untuk 35 KSP/USP tahun 2002 dan Rp6.400juta untuk 64 KSP/USP tahun 2003. Secara khusus, untuk menindak-lanjuti permasalahan KUT, maka Dinas Koperasi Sumatera Barat membentuk Pokja yang terdiri dari berbagai unsur, mengalokasikan dana APBN untuk pembiayaannya, termasuk rakor antar dinas/instansi, pokja KUT kabupaten/kota, dan perbankan. Selain itu, Gubernur Sumatera Barat menyarankan agar tunggakan KUT direstrukturisasi, dimana 100% hasil tagihan diserahkan ke pusat dan pusat mengalokasikan persentase tertentu insentif bagi daerah, hingga mencapai 50%, atau seluruh dana tersebut dijadikan dana bergulir di daerah, atau daerah berhak memakainya selama 10 tahun dan setelah itu diserahkan kembali pada pemerintah pusat. III. Permasalahan Spesifik dan Rekomendasi A. Pemda Propinsi Sumatera Barat Keterbatasan pasokan pupuk bersubsidi serta pupuk biasa, dan BBM yang membuat masyarakat yang berkepentingan langsung berpotensi melakukan spekulasi terhadap kedua komoditas ini. Oleh karena itu, pemerintah Propinsi Sumatera Barat mengharapkan agar pemerintah pusat dapat memberi perhatian untuk mengatasi permasalah ini. Selain itu, terkait dengan permasalahan semen, para stakeholder PT Semen Padang tidak ingin BUMN semen dijual dengan harga murah, dan mengharapkan kepemilkan saham pemerintah pada BUMN semen tetap di atas 50%; serta agar Pemerintah tidak menjual perusahaan semen milik negara kepada PT Cemex. Pemerintah Propinsi Sumatera Barat juga meminta agar daerah memperoleh manfaat langsung dari pemanfaatan kekayaan alamnya, seperti menjaga agar lapangan kerja bagi masyarakat lokal tetap terbuka –karena pemerintah pusat melarang daerah melakukan pungutan langsung, melalui peraturan BUMN, serta mengatur agar seluruh pendapatan BUMN harus disetor dulu ke pusat/negara, untuk kemudian dibagikan dalam bentuk DAU dan DAK. Oleh karena itu, PT Semen Padang menjadi penting bagi pemerintah dan masyarakat, jumlah pekerjanya mencapai 2.500 orang. Selain itu, Pemerintah Propinsi Sumatera barat juga mengharapkan agar pemerintah pusat dengan kebijakan BUMN-nya dapat menjaga agar lapangan kerja bagi masyarakat lokal tetap terbuka. Secara khusus, pemerintah Prpinsi Sumatera Barat mengharapkan agar dana kompensasi BBM, yang diberikan langsung dari pusat ke kabupaten dan terkesan sektoral dapat didiskusikan secara lebih intens antara pemerintah pusat dengan pemerintah kabupaten, serta dikoordinir oleh suatu badan tertentu. Pemerintah propinsi Sumatera Barat secara implisit mengharapkan pengelolaan infrastruktur yang ada dapat terus dilakukan, bahkan dikembangkan. Salah satu yang menjadi masalah adalah arus dan kondisi jalan ke Bukit Tinggi yang dulu hanya ditempuh dalam 2 jam, sekarang membutuhkan waktu lebih panjang 3,5 jam. Oleh karena itu dinilai sudah waktunya untuk melakukan pelebaran jalan.
Pemerintah propinsi Sumatera Barat mengharapkan agar Kawasan Industri yang pernah direncanakan untuk menampung secondary industry di lokasi seluas 125 ha dapat direalisasikan. Dalam konteks lokal, permasalahan kebutuhan lahan untuk investor, yang sulit diperoleh karena aturan tentang tanah ulayat menjadi salah satu pekerjaan rumah pemerintah propinsi dan DPRD Propinsi. B. Pemda Kota Padang Anggota Koperasi Pengasinan Ikan mengharapkan agar pemerintah dapat membantu memfasilitasi mereka untuk memperoleh garam dengan harga murah, misalnya dengan membali langsung ke PT Garam di jawa Timur. Selain itu, anggota koperasi khusus pedagang ikan (Koppas Kopeka) nelayan menyatakan kesulitan mereka untuk memperoleh solar dengan harga Rp2100 seperti yang ditetapkan pemerintah. Selai itu mereka mengeluhkan kesulitan memperoleh solar dalam jumlah besar, seperti drum, mereka hanya diizinkan membeli dengan jirigen. Bila membeli dalam drum mereka tidak dapat membeli di SPBU dan harus memperoleh surat izin. Anggota koppas Kopeka juga mengeluhkan kesulitan memperoleh kredit, karena harus dengan agunan. Sekalipun hubungan koppas Kopeka dengan perbankan baik, tetapi tidak begitu jalan dalam konteks kredit. Koppas Kopeka mengutama kesejahteraan anggota daripada keuntungan. Koppas Kopeka juga berfungsi sebagai KSP dan memberi kredit kepda anggotanya dengan bunga 1,25% perbulan. Pinjaman diberikan tanpa jaminan, namun besarnya tergantung kekuatan koperasi, maksimal mencapai Rp30 juta. Karena anggota homogen, maka tingkat pengembalian kredit tergolong baik. C. Pemda Kota Sawahlunto Kota sawahlunto yang terdiri dari 4 kecamatan, 11 kelurahan dan 26 desa berpenduduk 52.562 jiwa. Salah satu produk yang dikenal khas lokal adalah tenun Silungkang. Silungkang adalah salah satu kecamatan yang merupakan sentra industri tenun di Sumatera Barat. Industri tenun sudah dikembangkan sejak tahun 1717. pada tahun 1910, tekstil produk Silungkang memperoleh penghargaan internasional, dipamerkan di Brussel, Belgia. Tahun 1970-an merupakan masa jaya pertenunan Silungkang, dimana sebagian besar penduduk menggantungkan hidupnya dari sub-sektor ini. Pertenunan menunjukkan kinerja yang menurun, dari 80% penduduk Silungkang yang memiliki alat tenun, dan menjadikan usaha tenun sebagai bagian dari mata pencaharian keluarga, hanya seperlima yang digunakan untuk produksi. Produksi menurun tajam, khususnya produk ATM yang saat ini hanya mencapai 20%. Penyebab utama penurunan ini adalah persaingan dengan produk sejenis dari luar daerah, yang diproduksi secara massal untuk menekan biaya produksi. Pesaing produk lokal adalah produk berbahan-baku sintetis, seperti poliester, tetoron-katun (TC) dan tetoron-rayon (TR), sedangkan masyarakat baru mampu memproduksi produk berbahan baku katun dan poliester. Persaingan ini menyebabkan stok barang meningkat. Delapan puluh persen produksi tahun sebelumnya masih belum terjual.
Faktor lainnya adalah ketertinggalan teknolgi, seperti dalam pencelupan benang sintetis, yang membutuhkan investasi yang besar dan tidak terjangkau oleh para pengrajin di Silungkang, diperkirakan mencapai Rp2,5M. Peralatan tersebut meliputi: Mesin celup HT, Boiler, Mesin kalender, Mesin bleaching, Mesin bakar bulu. Pemenuhan kebutuhan mesin ini diharapkan dapat meningkatkan diversifikasi produk, dengan harga yang terjangkau, serta dapat mengaktifkan kembali potensi mesin tenun yang hampir 80% telah menganggur, selain membuka lapangan kerja yang lebih luas bagi pengrajin tenun Silungkang. D. Pemda Kota Bukit Tinggi Sebagai kota yang ingin dikembangkan menjadi kota wisata dan perdagangan, kedua sektor yang saling berhubungan dan menunjukkan prospek perkembangan yang cukup baik masih diperlukan tambahan investasi. Dalam konteks lokal, pemerintah Kota Bukit Tinggi diharapkan dapat menjalin kerjasama yang lebih baik dengan sektor swasta. E. PT Angkasa Pura II: Bandara Internasional Minangkabau Bandara Internasional Minangkabau (BIM) dirancang saat Bandara Tabing memiliki 400 penumpang (1997) dan ditujukan untuk menampung 800 penumpang, tetapi tahun 2004 penumpang sudah mencapai 1200 orang, sehingga lebih dari proyeksi pada saat pembangunannya. Hal ini antara lain disebabkan oleh meningkatnya persaingan antar perusahaan penerbangan sehingga harga tiket pesawat menjadi murah dan para penumpang beralih memilih menggunakan pesawat dibandingkan moda transportasi lainnya. Oleh karena itu, pengembangan fasilitas untuk antisipasi peningkatan konsumen akan dilaksanakan. Dengan luas area 482 ha, 200m dari pantai dan bebas hambatan. Parkir stand dapat menampung 7 pesawat. Panjang landasan 2.750m (Tabing hanya 2.150) dapat menerima Airbus 330. Dari bandara ini diupayakan agar dapat digali dan dioptimalkan fungsi non-aeronautikanya. Mengacu pada bandara Tabing, lama, yang pergerakan bongkar muatnya mencapai hampir 60.000 pada tahun 2004, sedikit di atas angka tahun 2003 yang mencapai 50.000; maka desain yang diterima PT AP II hanya mengalokasikan areal komersial yang kecil, yaitu sepulh (10%) dari luas bandara. Areal ini dinilai terlalu kecil untuk dapat memperoleh pendatan atasnya, oleh karena itu akan dikembangkan setelah diserahkan operasinya. Telah direcanakan areal yang cukup luas untuk ini. Selain itu Bandara Internasional Minangkabau akan menambah Taxiway, ruang check- in dan ruang tunggu, serta membangun infrastrukur komersial. Rancangan pengembangan bandara ke arah kiri dan kanan sudah siap, hanya tinggal hal-hal terkait dengan pusat, termasuk keinginan untuk menjadikan bandara ini sebagai embarkasi haji. Pengelolaan bandara dengan paradigma baru harus diupayakan memperoleh keuntungan sebesar-besarnya. Selain itu, BIM berupaya untuk memperoleh sertifikasi, SOB, untuk menunjukkan kualitasnya dan persyaratan untuk ini cukup berat.
Angkasa Pura II unit Sumatera Barat (BIM) pernah didemo soal tanah, tetapi sekarang sudah diselesaikan oleh pemerintah. Sekalipun demikian tanah bandara ini adalah milik masyarakat. Oleh karena itu, rencana untuk melakukan roll-up bandara mungkin akan terkait dengan masyarakat pula. Saat ini, setelah kepindahan dari Bandara Tabing, soal peralihan asset yang negosiasinya adalah antara PT Angkasa Pura dengan Direktorat Perhubungan Darat. F. PT Pelindo II: Pelabuhan Teluk Bayur Pelabuhan Teluk Bayur merupakan pelabuhan internasional, dan merupakan satusatunya pelabuhan yang memiliki masterplan yang telah disahkan oleh Menteri Perhubungan. Sekalipun lalu lintas penumpang (orang) melalui pelabuhan ini menunjukkan kecenderungan menurun dengan semakin murahnya ongkos angkut pesawat udara, sedangkan lalu lintas barang melalui pelabuhan ini menunjukkan angka yang berfluktuasi, namun pengembangan pelabuhan diharapkan dapat meningkatkan kinerja pelabuhan Teluk Bayur menjadi lebih baik lagi. Pada masterplan Pelabuhan Teluk Bayur, direncanakan untuk mengembangkan pelabuhan dalam jangka panjang dengan perpanjangan pelabuhan ke sisi timur. Sebelumnya akan dilakukan pemindahan penduduk, serta pembuatan terminan CPO. Awal tahun depan akan dilakukan perkuatan, akhir tahun depan akan dilakukan penempatan (install) container bin, sehingga dapat menghemat waktu bongkar-muat dari 23 jam menjadi 18 jam. Pengembangan pelabuhan Teluk Bayur dalam jangka pendek ditujukkan untuk meningkatkan fasilitas prasarana laut seperti zona kapal mati/rusak, percobaan berlayar, zona keadaan darurat, zona alih muat, zona karantina, zona labuh kapal; fasilitas terminal penumpang, cargo, terminal penumpang, terminal cargo, terminal curah dan kontainer. Sedangkan fasilitas darat yang akan dikembangkan meliputi areal untuk Fasum, Areal pemadam kebaran, Jaringan pipa air minum, Zona parkir truk, Fasilitas Terminal Penumpang, kargo, kontainer, terminal CP, terminal curah kering, dll. Selain itu, dilakukan pula pengembangan peralatan, seperti sarana bongkar muat, sarana pemanduan & penundaan, serta sarana pemadam kebakaran. Saat ini untuk melakukan pengerukan, masih belum dilakukan uji teknis yang terkait dengan kondisi tanah, seperti longsor. Saat ini sedang dilakukan AMDAL untuk menghitung kekuatan tanah, bahwa pengerukan tidak menyebabkan terjadinya longsor. Rancangan untuk kebutuhan peralatan tahun 2010 bagi pelabuhan yang dilalui oleh berbagai jenis kapal, dari kapal Samudara, Nusantara, Tanker, Perintis hingga kapal lokal/rakyat.sudah terinci, diharapkan dapat secara bertahap dipenuhi. Karena dari pelabuhan ini, produk-produk dari Sumatera Barat dan sekitarnya berpindah ke negara tujuan ekspor di Asia, Afrika, Eropah dan Amerika.Beberapa investor lokal dan luar negeri sudah datang untuk mengkaji tentang penanaman modal bagi pengembanga ini, namun karena tarif pelabuhan relatif kecil mereka mereka masih belum memberi jawaban. Pemerintah Propinsi Sumatera Barat investasi dapat difokuskan pada penyediaan sarana dan prasarana pelabuhan Teluk bayur.
Dari pelabuhan internasional Teluk Bayur, lalu lintas barang dalam bentuk cargo dari tahun 2001 hingga 2004 menunjukkan fluktuasi, yaitu dari 6,8 juta unit tahun 2001, meningkat menjadi 8,1 juta unit tahu 2002, menurun kembali menjadi 7,4 juta unit tahun 2003, dan meningkat kembali tahun 2004 menjadi 8,2 juta unit. Hingga semester I tahun 2004 lalu lintas cargo di Pelabuhan Teluk Bayur mencapai 4,3 juta unit. Semen merupakan produk ekspor paling dominan dari prpinsi ini, sekalipun ekspor produk ini menunjukkan kecenderungan penurunan yang tajam dari 1.157.563 unit tahun 2001 menjadi 773.486 tahun 2004. Hingga semester I tahun 2005 erkspor semen mencapai 544.486 unit.selain semen produk CPO juga dominan, dengan kecenderungan meningkat dari 186.575 unit tahun 2001 meningkat menjadi 781.333 unit tahun 2004, bahkan hingga semester I tahun 2005 telah mencapai 515.323 unit. Sedangkan impor yang dominan masuk ke propinsi ini adalah gypsum dan pupuk. Secara umum arus container yang lalu lalang di pelabuhan Teluk Bayur menunjukkan kecenderungan meningkat dari 14.809 Teus tahun 2001 menjadi 36.448 Teus tahun 2004, sedangkan tahun 2005 hingga semester pertama mencapai 15.918 Teus. Tingginya arus lalu lintas cargo di tingkat lokal, ditambah dengan lalu lintas barang dari Jambi, bengkulu dan Riau membuat pelabuhan memiliki keterbatasan dermaga untuk melayani pelanggannya secara efisien. Perusahaan pelayaran lokal, seperti PT Bahtera Adiguna, yang mengoperasikan feeder dengan kapasitas 200 Tues untuk menuju ke negara importir (tujuan ekspor) harus menunggu hingga 2 hari, sehingga menanggung beban Rp30 juta hingga Rp60 juta. Kenaikkan harga BBM juga dikeluhkan sebagai menganggu pelayaran niaga dan perikanan, yang akan dijadikan keunggulan di Propinsi Sumatera Barat. Selain itu PT Dok Kodja Bahari yang bergerak di bidang perkapalan mengeluhkan Harg material dan woven perkapalan cukup tinggi. Perusahaan ini mengharapkan agar pemerintah dapat mengurangi bea masuknya. G. PT PLN (Persero) Wilayah Sumbar PT PLN dibagi berdasarkan fungsinya. Di Sumatera terdapat 2 kantor PLN yang bertanggung jawab atas pembangkit listrik, yaitu pembangkit listrik Sumbagsel dan Sumbagut. Untuk penyaluran dan pengaturan beban Sumatera (P3BS), pusatnya di Padang. Sedangkan untuk distribusi PT PLN dibagi berdasarkan wilayah dan cabang. Di Sumbar ada 3 cabang: yaitu padang, bukit tinggi dan solok –yang meliputi Sungai Penuh Kabupaten Kerinci dan Jambi karena alasan lebih dekat secara jarak dan transportasi. Oleh karena itu di Propinsi Sumatera Barat ada PT PLN unit (wilayah) Sumatera Barat, dan ada pula PT PLN dengan kewenangan operasional se Sumatera –yang bertanggung jawab atas operasional penyaluran dan pengaturan beban, dimana General Manager-nya, berkantor di Padang. Sekalipun PT PLN yang mengatur pembangkit se Sumatera Bagian Selatan, berkantor di Palembang, tetapi manajer yang bertanggung jawab atas PLTA di Danau Singkarak berkantor di Bukit Tinggi, dan manajer yang bertanggung jawab atas PLTU Ombilin berkantor di Sawahlunto.
Di Propinsi Sumatera Barat hampir tidak ada Desa yang tanpa listrik. Desa yang dialiri listrik mencapai 2.219 desa (90,91%). Pelanggan utama dan terbesar listrik di Sumatera Barat adalah PT Semen Padang, yang daya terpasangnya pada tahun 2004 mencapai 1.378MW. Secara nasional ketergantungan pembangkit di Sumatera Barat terhadap BBM hanya sekitar 2%. PLN stabil dengan kebutuhan 6000kl/bln. Di Sumatera Barat dikembangkan mini hidro, dari 49 lokasi yang diorganisir, sudah dilakukan studi, sudah diproses kontraknya dan sudah ada MOU, karena banyak pihak yang berminat dalam mini hidro. Dengan menggunakan mini hidro, untuk kapasitas 1MW (1000KW) maka digunakan satuan harga HPP (Harga Pokok penjualan) setempat. H. PT Pertamina unit Sumatera Barat (Cabang Pemasaran Medan) Sebagai bagian Pertamina Pusat, maka PT Pertamina unit Sumatera Barat merupakan cabang pemasaran Medan. Di Sumatera Barat PT Pertamina memasarkan produk elpiji dan aspal, selain BBM. Di propinsi terdapat 69 SPBU umum dan 3 SPBU milik TNI/Polri. Pemenuhan BBM untuk Sumatera Barat untuk premium mengikuti pertumbuah penjualan kendaraan bermotor, namun untuk minyak tanah pengirimannya dikendalikan, dan data menunjukkan bahwa jumlah minyak tanah turun pada tahun 2004 dibanding tahun 2003, sekitar 1,5%; begitu pula untuk tahun 2005. Untuk kebutuhan solar dikirim dari kilang Dumai dengan roundtrip setiap empat (4) hari sekali. Permasalahan harga minyak tanah yang berbeda dengan yang ditetapkan pemerintah karena pemerintah memberikan kebijakan yang berbeda. Untuk SPBU biaya transportasi ditanggung pemerintah, BBM sampai ke SPBU, sehingga harga yang dibebankan oleh SPBU bagi pelanggan BBM adalah sama dengan yang ditetapkan pemerintah. Sedangkan untuk minyak tanah, biaya transportasi ditanggung loco di depo, dari depot pertamina ke loco milik masyarakat. Ada kajian agar jaringan di SPBU juga melayani penjualan minyak tanah, namun belum jelas tindak-lanjutnya. Selain itu, bila briket mulai memasyarakat maka kebutuhan minyak tanah dapat dikurangi. I. PT PN VI Aktivitas bisnis utama PT PN VI adalah perkebunan dan kelapa sawit, namun perkebunan karet mulai dikurangi lahannya sekalipun harga saat ini dikategorikan sebagai terbaik dalam 20 tahun terakhir, yaitu mencapai US $130 sen. Dulu harga karet pernah hanya US $50sen, sehingga petani karet tidak dapat berbuat apa-apa. Perkebunan karet di Sumatera Barat masih sangat tradisional, padahal karet tergolong tanaman yang sensitif. Sejak awal tahun 2005 PT PN VI sudah memutuskan untuk focus pada kelapa sawit, sehinga sebagian lahan dikonversi dari tananam karet ke kelapa sawit. Produktivitas tanaman karet masyarakat tergolong rendah. Dengan model plasma inti, dan pola pembagian 75 untuk PT PN VI dan 25 untuk pemda dan masyarakat, dimana pembangunan dilaksanakan oleh PTPN VI. Perusahaan juga membimbing
petani plasma dalam konversi dan pemeliharaan kelapa sawit. Saat ini ada 15.000ha kebun kelapa sawit, namun kapasitas produksinya jauh dari yang optimal hanya mencapai 600, dari yang terbaiknya 1300. Kondisi keuangan perusahaan yang relatif berfluktuasi dengan keenderungan positif namun relatif rendah membuat program perubahan dari tanaman karet ke Kalapa sawit tidak dapat ditutupi dengan keuangan yang ada, serta meningkatkan beban hutang jangka panjang PT PN VI, selain itu kelapa sawit baru akan menghasilkan setelahtahun ke enam (6). Dengan keluarnya UU Perkebunan tahun 2005 dimana tidak boleh ada PKS tanpa kebun, maka diharapkan perkebunan ini dapat memberikan keuntungan yang baik bagi perusahaan. Kondisi keuangan PT PN VI dari tahun 2000-2005, adalah sebagai berikut: tahun 2000 untung Rp4.615juta, tahun 2001 merugi Rp 15.728 juta. Tahun-tahun berikutnya untung, tahun 2002 dengan Rp5.281juta, tahun 2003 dengan Rp12.505 juta dan tahun 2004 dengan Rp19.408juta. PT PN VI juga mengelola bisnis teh dengan nama Danau Kembar dan Kajoe Aro, yang dipasarkan secara domestic dan diekspor. Untuk plasma produk teh tersedia lahan seluas 500 ha, baik yang dibangun oleh masyarakat atau oleh perusahaan/pemerintah. PT PN VI dapat membeli pucuk teh dari masyarakat denagn harga yang lebih tinggi daripada harga pasar, mencapai Rp 1.750/kg. J. PT Nena Rangkayo Mandiri Pratama PT Nena Rangkayo Mandiri Pratama mengembangkan kegiatan berupa pembibitan sapi potong (breeding farm) sapi dengan pola bagi hasil dan kemitraan – investor/swasta (PT Nena Rangkayo Mandri Pratama), pemerintah yaitu Departemen Pertanian cq Direktorat jenderal Bina Produksi Peternakan dan masyarakat peternak). Untuk mengembangkan program ini, PT Nena Rangkayo Mandiri Pratama mengharapkan lebih banyak pihak agar menanamkan modalnya dengan bekerjasama dengan PT Nena Rangkayo Mandiri Pratama untuk meningkatkan pendapatan masyarakat peternak. PT Nena Rangkayo Mandiri Pratama mengharapkan lebih banyak pihak membantu agar perusahaan ini dapat menjadi avalis dengan memanfaatkan fasilitas Kredit Ketahanan Pangan (KKP). K. PT Semen Padang PT Semen Padang yang didirikan tahun 1910, dan akan berusia 95 tahun dalam waktu dekat. Tahun 1913 berproduksi, tahun 1939 tingkatkan kapasitas produksi, dan tahun 1958 dinasionalisasi menjadi perusahan nasional milik negara. Tahun 1971-1974 menjadi PT Persero, tahun 1975-79 mengembangkan produksi dengan pembangunan pabrik Indarung II yang mulai beroperasi tahun 1980-81. Pengembangan lebih lanjut dilakukan tahun 1984-1988 dengan membangun Indarung IIIA dan IIIB, yang beroperasi tidak lama kemudian. Pada tahun 2002, perusahaan mengimplementasikan suatu sistem keuangan Oracle yang membuat gambaran kondisi keuangan perusahaan menunjukkan terjadinya kerugian untuk tahun 2002. Tahun 2003 sistem keuangan Oracle di-
reimplementasi dan pada tahun 2004 permasalahan keuangan yang terjadi dapat diselesaikan seperti yang dinyatakan bahwa Laporan keuangan auditan tahun 2002, 2003, dan 2004 telah selesai. Namun, rekonstruksi laporan keuangan yang dilakukan oleh auditor masih menyisakan opini „Qualified‟ untuk laporan keuangan tahun 2004. Pihak manajemen mengungkapkan bahwa adanya akun ikutan tahun 2002 dan 2003 yang terkualifikasi berpengaruh pada laporan keuangan tahun 2004, sehingga auditor memberi opini „Qualified‟. Beberapa hal yang dinilai janggal dipertanyakan oleh beberapa pihak, namun manajemen baru menegaskan keinginan untuk menjadikan PT Semen Padang menjadi industri semen yang handal, ungggul dan berwawasan lingkungan dengan menghasilakn produk berkualitas, serta berupaya mengembangkan SDM perusahaan. Tahun ini merupakan periode recovery perusahaan setelah mengalami masalah yang mengganggu citra perusahaan tahun 2002. Saat ini dengan kapasitas pabrik memproduksi semen 5 juta ton/tahun, dimana kebutuhan lokal hanya 500ribu ton/tahun, maka sisanya akan diekspor, dipasarkan ke luar negeri seperti Banglades. Perusahaan juga akan meningkatkan kapasitas pabrik Indarung V. namun menghadai kemungkinan shortage smen tahun 2008, perusahaan belum merencanakan untuk melakukan pengembangan pabrik baru. Dengan cash flow yang baik, sebelumnya shortage karena hutang pembangunan pabrik Indarung V, perusahaan akan mengembangkan usaha ke hulu ke sektor tambang, untuk bahan baku dan tambang batu bara; serta ke hilir, meliputi jasa pengantongan dan distribusi yang diupayakan agar mencapai hingga ke tingkat pelanggan. Pengembangan perusahaan ke sektor hulu, kaena kondisi di sektor hulu sangat mempengaruhi kondisi perusahaan, seperti banyaknya batubara diekspor dan pemerintah tidak membatasi ekspor tersebut, sedangkan listrik relatif terbatas dan harga BBM yang cenderung tinggi. Selain itu jasa transportasi laut domestik juga terbatas, padahal sangat menentukan karena biayanya mencapai 25%, terlebih setelah harga BBM meningkat. Keuangan perusahaan akan diupayakan agar memiliki struktur yang stabil. Tahun 2005, hasil penjualan PT Semen Padang mencapai Rp2trilyun, dari tahun sebelumnya yang hanya sekitar Rp1,7trilyun. Laba ini melebih target yang direncanakan. Pada tahun 2006-2007 akan dilakukan upaya efisiensi PT Semen padang dapat menentukan harga, paling tidak di Sumatera, karena di Jawa price leader-nya PT Semen Gresik dan PT Semen Tiga Roda. Saat ini PT Semen masih menjadi pengikut dalam menentukan harga di pasar semen.