PEMERINTAH PROPINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROPINSI JAWA TIMUR NOMOR 5 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN AIR BAWAH TANAH DI PROPINSI JAWA TIMUR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TIMUR,
Menimbang : a. bahwa air bawah tanah merupakan sumber daya alam yang secara hidrogeologis memerlukan proses lama dalam pembentukannya, yang keberadaannya tidak mengenal batas wilayah administrasi dan apabila tidak dikelola secara utuh dan terpadu dapat menimbulkan ketidakseimbangan ketersediaan dan pemanfaatannya serta berdampak terhadap kehidupan dan kelestarian lingkungan; b. bahwa dengan penyelenggaraan otonomi daerah sesuai dengan Undangundang Nomor 22 Tahun 1999, maka pengelolaan air bawah tanah harus dilakukan secara terkoordinasi yang dalam pemanfaatannya memperhatikan keseimbangan dan kelestarian potensi air bawah tanah; c. bahwa sehubungan dengan hal tersebut huruf a dan b, perlu pengaturan kembali pengelolaan air bawah tanah di Propinsi Jawa Timur yang dituangkan dalam Peraturan Daerah. Mengingat :
1. Undang-undang Nomor 2 Tahun 1950 tentang Pembentukan Propinsi Jawa Timur juncto Undang-undang Nomor 18 Tahun 1950 tentang Mengadakan Perubahan dalam Undang-undang Tahun 1950 Nomor 2 dari hal Pembentukan Propinsi Jawa Timur (Lembaran Negara Tahun 1950 Nomr 32); 2. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1974 tentarig Pengairan (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 65, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3046); 3. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3501); 4. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara 3699); 5. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839); 6. Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1982 tentang Tata Pengaturan Air (Lembaran Negara Tahun 1982 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3225); 7. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3838); 8. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3952);
1
9. Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 1999 tentang Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-undangan, Rancangan Peraturan Pemerintah dan Rancangan Keputusan Presiden (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 70); 10. Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1451.K/10/MEM/2000 tentang Pedoman Teknis Penyelenggaraan Pemerintahan di Bidang Pengelolaan Air Bawah Tanah ; 11. Peraturan Daerah Propinsi Jawa Timur Nomor 38 Tahun 2000 tentang Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Propinsi Jawa Timur.
Dengan persetujuan, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROPINSI JAWATIMUR MEMUTUSKAN: Menetapkan :
PERATURAN DAERAH PROPINSI JAWA TIMUR TENTANG PENGELOLAAN AIR BAWAH TANAH Dl PROPINSI JAWA TIMUR.
BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan : 1. Pemerintah Propinsi, adalah Pemerintah Propinsi Jawa Timur; 2. Gubernur, adalah Gubernur Jawa Timur; 3. Pemerintah Kabupaten / Kota, adalah Pemerintah Kabupaten / Kota di Propinsi Jawa Timur; 4. Bupati/Walikota, adalah Bupati/ Walikota di Propinsi Jawa Timur; 5. Pejabat yang ditunjuk, adalah Pejabat yang secara teknis membidangi mengenai air bawah tanah ; 6. Air Bawah Tanah, adalah semua air yang terdapat dalam lapisan pengandung air di bawah permukaan tanah, termasuk mata air yang muncul secara alamiah di atas permukaan tanah ; 7. Pengelolaan Air Bawah Tanah, adalah pengelolaan dalam arti luas mencakup segala usaha inventarisasi, pengaturan pemanfaatan, perizinan, pembinaan, pengendalian / pengawasan dan konservasi air bawah tanah ; 8. Hak Guna Air, adalah hak untuk memperoleh dan menggunakan air bawah tanah untuk keperluari tertentu ; 9. Cekungan Air Bawah Tanah, adalah suatu wilayah yang dibatasi oleh batas-batas hidrogeologi dimana semua kejadian hidrogeologi seperti proses pengimbuhan, pengaliran dan pelepasan air bawah tanah berlangsung ; 10. Akuifer atau Lapisan Pembawa Air, adalah lapisan batuan jenuh air di bawah permukaan tanah yang dapat menyimpan dan meneruskan air dalam jumlah cukup dan ekonomis ; 11. Pengarnbilari Air Bawah Tanah, adalah setiap kegiatan pengambilan air bawah tanah yang dilakukan dengan cara penggalian, pengeboran, atau dengan cara membuat bangunan penurap lainnya untuk dimanfaatkan airnya dan atau tujuan fain ; 12. Inventarisasi Air Bawah Tanah, adalah kegiatan pemetaan, penyelidikan, penelitian, eksplorasi, evaluasi, pengumpulan dan pengelolaan data air bawah tanah ;
2
13. Konservasi Air Bawah Tanah, adalah pengelolaan air bawah tanah untuk menjamin pemanfaatannya secara bijaksana dan menjamin kesinambungan ketersediaannya dengan tetap memelihara serta rnempertahankan mutunya; 14. Pencemaran Air Bawah Tanah, adalah masuknya atau dimasukkannya unsur, zat, komponen fisika, kimia atau biologi ke dalam air bawah tanah oleh kegiatan manusia atau oleh proses alami yang mengakibatkan mutu air bawah tanah turun sampai ke tingkat tertentu sehingga tidak lagi sesuai dengan peruntukannya; 15. Sumur Pantau, adalah sumur yang dibuat untuk memantau muka dan atau mutu air bawah tanah pada akuifer tertentu; 16. Jaringan Sumur pantau, adalah kumpulan sumur pantau yang tertata berdasarkan kebutuhan pemantauan terhadap air bawah tanah pada suatu cekungan air bawah tanah ; 17. Pembinaan, adalah segala usaha yang mencakup pemberian pengarahan, petunjuk, bimbingan, pelatihan dan penyuluhan dalam pelaksanaan pengelolaan air bawah tanah; 18. Pengendalian, adalah segala usaha yang mencakup kegiatan pengaturan, penetitian dan pemantauan pengambilan air bawah tanah untuk menjamin pemanfaatannya secara bijaksana demi menjaga kesinambungan ketersediaan dan mutunya ; 19. Pengawasan, adalah kegiatan yang dilakukan untuk menjamin tegaknya peraturan peruridang-undangan pengelolaan air bawah tanah; 20. Daerah Tutupan, adalah suatu wilayah yang sudah tidak memungkinkan lagi dilakukan pengambilan air bawah tanah baru ; 21. Daerah Imbuh Air Bawah Tanah, adalah suatu wilayah dimana proses pengimbuhan air tanah berlangsung yang ditandai oleh kedudukan muka preatik lebih tinggi daripada rnuka pisometrik ; 22. Daerah Lepasan Air Bawah Tanah, adalah suatu wilayah dimana proses pelepasan air tanah berlangsung, yang ditandai oleh kedudukan muka preatik lebih rendah daripada muka pisometrik ; 23. Penurapan Mata Air, adalah suatu kegiatan mernbangun sarana untuk memanfaatkan mata air, di lokasi pemunculan mata air. BAB II AZAS PENGELOLAAN Pasal 2 (1) Pengelolaan air bawah tanah didasarkan atas azas-azas : a. fungsi sosial dan nilai ekonomi; b. kemanfaatan umum; c. keterpaduan dan keserasian; d. keseimbangan; e. kelestarian; f. keadilan; g. kemandirian; h. transparansi dan akuntabilitas publik; (2) Teknis pengeiolaan air bawah tanah berlandaskan pada satuan wilayah cekungan air bawah tanah ; (3) Hak atas air bawah tanah adalah hak guna air. Pasal 3 (1) Teknis pengelolaan air bawah tanah dilakukan melalui tahapan kegiatan: a. inventarisasi; b. perencanaan pendayagunaan; c. konservasi; d. peruntukan pemanfaatan;
3
e. perizinan; f. pembinaan; g. pengendalian / pengawasan ; (2) Pengelolaan cekungan air bawah tanah yang berada didalam satu wilayah Kabupaten / Kota dilaksanakan oleh Bupati / Walikota ; (3) Pengelolaan cekungan air bawah tanah yang melintas batas wilayah Kabupaten / Kota dilaksunakan dan difasilitasi oleh Gubernur; (4) Pengelolaan cekungan air bawah tanah yang melintas batas wilayah Propinsi Jawa Timur dikoordinasikan oleh Gubernur. BAB III INVENTARISASI, PERENCANAAN PENDAYAGUNAAN DAN KONSERVASI Bagian Kesatu Inventarisasi Potensi Pasal 4 (1) Inventarisasi meliputi kegiatan pemetaan, penyelidikan, penelitian, eksplorasi, evaluasi, pengumpulan dan pengelolaan data air bawah tanah yang meliputi: a. sebaran cekungan air bawah tanah dan geometri akuifer; b. kawasan imbuh (recharge area) dan lepasan (discharge area); c. karakteristik akuifer dan potensi air bawah tanah; d. pengambilan air bawah tanah; e. data lain yang berkaitan dengan air bawah tanah ; (2) Inventarisasi air bawah tanah dalam rangka pengelolaan air bawah tanah dilakukan oleh Gubernur, Bupati / Walikota ; (3) Inventarisasi air bawah tanah yang dilakukan oleh Gubernur, Bupati / Walikota dilaksanakan terkoordinasi dengan memperhatikan kepentingan dan kemampuan masing-masing. Pasal 5 Kegiatan inventarisasi dan evaluasi potensi air bawah tanah dilakukan dalam rangka penyusunan rencana atau pola pengelolaan terpadu. Bagian kedua Perencanaan Pendayagunaan Pasal 6 (1) Kegiatan perencanaan pendayagunaan air bawah tanah dilaksanakan sebagai dasar pengelolaan air bawah tanah dalam rangka pengendalian pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah ; (2) Hasil perencanaan pendayagunaan air bawah tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan salah satu dasar dalam penyusunan dan penetapan Rencana Tata Ruang Wilayah ; (3) Tata cara perencanaan pendayagunaan air bawah tanah dalam rangka pengendalian ditetapkan lebih lanjut oleh Gubernur. Bagian Ketiga Konservasi Dan Pemantauan Air Bawah Tanah
4
Pasal 7 (1) Konservasi air bawah tanah bertumpu pada kemanfaatan, kesinambungan ketersediaan dan kelestarian air bawah tanah serta lingkungan keberadaannya ; (2) Pelaksanaan konservasi air bawah tanah didasarkan pada : a. kajian identifikasi dan evaluasi cekungan air bawah tanah; b. kajian kawasan imbuh (recharge area) dan lepasan (discharge area); c. perencanaan pemanfaatan; d. pemantauan perubahan kotidisi air bawah tanah. Pasal 8 (1) Kegiatan konservasi air bawah tanah menjadi tanggung jawab bersama Pemerintah Propinsi dan Pemerintah Kabupaten / Kota ; (2) Penetapan kawasan imbuh , kawasan lepasan dan kawasan tertutup dalam rangka perlindungan air bawah tanah pada cekungan air bawah tanah liritas Kabupaten / Kota ditetapkan oleh Gubernur; (3) Pelaksanaan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut oleh Gubernur. Pasal 9 (1) Pemegang izin pengambilan air bawah tanah wajib menyediakan 1 (satu) buah sumur pantau yang dilengkapi alat perekam otomatis muka air bawah tanah (Automatic Water Level Recorder - AWLR) apabila: a. pengambilan air bawah tanah dilakukan dari 5 (lima) buah sumur dalam kawasan kurang dari 10 (sepuluh) hektar; b. pengambilan air bawah tanah sebesar 50 (lima puluh) liter/detik atau lebih yang berasal lebih dari 1 (satu) buah sumur dalam kawasan kurang dari 10 (sepuluh) hektar; c. pengambilan air bawah tanah sebesar 50 (lima puluh) liter/detik atau lebih yang berasal dari 1 (satu) buah sumur; (2) Pemegang izin pengambilan air bawah tanah dapat melakukan pembuatan sumur pantau setelah mendapatkan persyaratan teknis dari Gubernur. BAB IV PEMANFAATAN AIR BAWAH TANAH Pasal 10 (1) Prioritas utama pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah adalah untuk keperluan air minum ; (2) Urutan prioritas peruntukan air bawah tanah ditetapkan sebagai berikut: a. air minum ; b. air untuk rumah tangga ; c. air untuk peternakan dan pertanian sederhana ; d. air untuk industri; e. air untuk irigasi; f. air untuk pertambangan ; g. air untuk usaha perkotaan ; h. air untuk kepentingan lainnya ; (3) Urutan prioritas peruntukan pemanfaatan air bawah tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berubah dengan memperhatikan kepentingan umum dan kondisi setempat.
5
BAB V PEMBINAAN , FASILITASI, PENGENDALIAN DAN PENGAWASAN AIR BAWAH TANAH Bagian Kesatu Pembinaan dan Fasilitasi Pasal 11 (1) Pembinaan dan fasilitasi pengelolaan air bawah tanah dilaksanakan oleh Gubernur atau Pejabat yang ditunjuk ; (2) Pola pembinaan dan fasilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. Pembinaan Teknis Penurapan, Pemboran dan Pengambilan air bawah tanah ; b. Koordinasi Pelaksanaan, Inventarisasi, Perencanaan Pendayagunaan, Konservasi, Peruntukan Pemanfaatan, Pengendalian / Pengawasan. Bagian Kedua Pengendalian Pasal 12 (1) Pengeridalian pengambilan air bawah tanah pada cekungan air bawah tanah liritas Kabupaten / Kota dilaksanakan oleh Gubernur bersama-sama dengan Bupati / Walikota; (2) Gubernur menyelenggarakarl pengendalian air bawah tanah secara regional rneliputi : a. evaluasi kuantitas dan kualitas, potensi, serta jumlah pengambilan air bawah tanah; b. penentuari lokasi pengambilan, kedalaman pemboran dan debit pengambilan air bawah tanah dalam bentuk Rekomendasi Teknik; c. pemberian persyaratan teknik pembuatan dan penyebaran sumur pantau, yang dimanfaatkan untuk memantau kualitas maupun perubahan muka air bawah tanah; d. penelaahan hasll analisis (kimia dan fisika air bawah tariah serta rekaman hidrograf darl sumur pantau; e. penentuan persyaratan teknik pembuatan sumur Imbuhan. Bagian Ketiga Rekomendasi Teknik Perizinan Pasal 13 (1) Bupati / Walikota sebelurn menerbitkan : a. Izin Eksplorasi Air Bawah Tanah ; b. Izin Pemboran Air Bawah Tanah ; c. Izin Pengambilan Air Bawah Tanah ; d. Izin Penurapan Mata Air; e. Izin Pengambilan Mata Air; pada cekungan air bawah tanah lintas Kabupaten / Kota, terlebih dahulu harus mendapatkan rekomendasi teknik bersifat mengikat dari Gubernur atau pejabat yang ditunjuk ; (2) Rekomendasi teknik Gubernur atau pejabat yang ditunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang diberikan kepada Bupati / Walikota meliputi rekomendasi teknik untuk permohonan -permohonan: a. Izin Eksplorasi Air Bawah Tanah ; b. Izin Pemboran Air Bawah Tanah untuk semua keperluan ; c. Izin Pengambilan Air Bawah Tanah (baru dan perpanjangan / daftar ulang) dari sumur bor untuk semua keperluan ;
6
d. Izin Pengambilan Air Bawah Tanah ( baru dan perpanjangan / daftar ulang) dari sumur pasak untuk keperluan industri selain industry rumahtangga ; e. Izin Penurapan Mata Air untuk keperluan industri dan usaha perkotaan ; f. Izin Pengambilan Mata Air ( baru dan perpanjangan / daftar ulang) untuk keperluan industri dan usaha perkotaan ; (3) Permohonan izin air bawah tanah diluar permohonan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diperlukan rekomendasi teknik dari Gubernur atau pejabat yang ditunjuk ; (4) Untuk mendapatkan rekomendasi teknik dimaksud pada ayat (2), Bupati / Walikota harus mengajukan permintaan rekomendasi teknik kepada Gubernur atau pejabat yang ditunjuk dilampiri dengan foto kopi berkas permohonan izin yang telah lengkap persyaratannya. Pasal 14 (1) Gubernur atau pejabat yang ditunjuk selambat lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja setelah diterimanya pemintaan rekomendasi teknik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (4), mengeluarkan rekomendasi teknik untuk permohonan permohonan : Izin Eksplorasi Air Bawah Tariah, Izin Pemboran Air Bawah Tanah, dan Izin Penurapan Mata Air, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) huruf a, b dan e, (2) Gubernur atau pejabat yang ditunjuk selambat-lambatnya dalam waktu 30 (tiga puluh) hari kerja setelah diterimanya permintaan rekomendasi teknik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (4), mengeluarkan rekomendasi teknik untuk permohonan permohonan : Izin Pengambilan Air Bawah Tanah dari sumur bor, Izin Pengambilan Air Bawah Tanah dari sumur pasak dan Izin Pengambilan Mata Air, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) huruf c,d dan f; (3) Gubernur atau pejabat yang ditunjuk dalam waktu sebagaimana tersebut pada ayat (1) dan ayat (2), member! penjelasan kepada Bupati / Walikota apabila rekomendasi teknik tidak dapat diberikan lagi karena pemboran / penurapan dan pengambilan air bawah tanah / mata air di daerah tersebut sudah tidak memungkinkan. Pasal 15 Gubernur, Bupati / Walikota dapat menangguhkan pelaksanaan pengeboran dan pengambilan air bawah tanah pada cekungan air bawah tanah lintas Kabupaten / Kota apabila pengeboran dan pengambilan air bawah tanah tersebut mengganggu keseimbangan air bawah tanah, atau kemungkinan terjadinya kerusakan lingkungan hidup. Bagian Keempat Pengawasan Pasal 16 (1) Pengawasan terhadap pengelolaan air bawah tanah dilaksanakan oleh Gubernur, Bupati / Walikota ; (2) Pengawasan dimaksud pada ayat (1 ) meliputi: a. pengawasan terhadap pelaksanaan Rekomendasi Teknik yang tercantum dalam Surat Izin Pemboran air bawah tanah (SIP); b. pengawasan terhadap terjadinya pencemaran dan perusakan lingkungan air bawah tanah; c. pengawasan terhadap pelaksanaan pembuatan sumur pantau; d. pengawasan terhadap pelaksanaan pembuatan sumur imbuhan.
7
Pasal 17 Dalam rangka pengelolaan air bawah tanah secara terpadu, Bupati / Walikota menyampaikan laporan pengelolaan air bawah tanah kepada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral melalui Gubernur. BAB VI KETENTUAN PERALIHAN Pasal 18 Surat Izin Pengambilan Air Bawah Tanah yang telah diterbitkan oleh Pemerintah Propinsi sebelum ditetapkan Peraturan Daerah ini tetap berlaku sampai dengan habis masa berlakunya. Pasal 19 Dengan berlakunya Peraturan Daerah ini, maka Peraturan Daerah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Timur Nomor 7 Tahun 1994 tentang pengambilan air bawah tanah di Propinsi Jawa Timur dinyatakan tidak berlaku. BAB VII PENUTUP Pasal 20 Hal-hal yang belum diatur dalam Peraturan Daerah pelaksariaannya akan ditetapkan lebih lanjut oleh Gubernur.
ini,
sepanjang
mengenai
Pasal 21 Peraturan Daerah irii mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar supaya setiap orang mengetshuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Propinsi Jawa Timur. Ditetapkan di Surabaya pada tanggal 30 Mei 2002 GUBERNUR JAWA TIMUR ttd. IMAM UTOMO. S Diundangkan di Surabaya Pada tanggal 30 Mei 2002 SEKRETARIS DAERAH PROPINSI JAWA TIMUR ttd. Drs. SOENARJO, MSi LEMBARAN DAERAH PROPINSI JAWA TIMUR TAHUN 2002 NOMOR 2 TAHUN 2002 SERI E.
8
PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROPINSI JAWATIMUR NOMOR 5 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN AIR BAWAH TANAH DI PROPINSI JAWA TIMUR
I. PENJELASAN UMUM Pengambilan air bawah tanah untuk memenuhi kebutuhan air minum, rumah tangga maupun pembangunan (industri, pertanian dan usaha perkotaan) saat ini semakin meningkat sejalan dengan rneningkatnya laju pertumbuhan penduduk dan kegiatan pembangunan. Hal ini berpeluang menimbulkan dampak yang dapat merugikan apabila dilakukan pengaturan, pengelolaan dan pengendalian secara bijaksana. Ketersediaan air bawah tanah berada pada lapisan tanah berupa cekungan air bawah tanah. Berdasarkan cakupan luasnya maka batas cekungan air bawah tanah tidak selalu sama dengan batas administrasi, bahkan pada satu wilayah cekungan air bawah tanah dapat meliputi lebih dari satu daeiah administrasi Kabupaten / Kota. Oleh karena itu pengelolaan pada satu cekungan air bawah tanah harus dilakukan secara terpadu yang mencakup kawasan pengimbuhan, pengaliran dan pengambilan yang pengaturannya dilaksanakan oleh Pemerintah Propinsi agar terwujud kebijakan yang utuh dan terpadu dalam satu satuan cekungan air bawah tanah. Pengelolaan air bawah tanah meliputi kegiatan inventarisasi, perencanaan pendayagunaan, perizinan, konservasi, pengendalian dan pengawasan. Perizinan merupakan salah satu alat pengendali dalam pengelolaan air bawah tanah, yang pemberiannya dilakukan oleh Bupati / Walikota. Agar pelaksanaan pengelolaannya utuh dan terpadu, dalam satu satuan cekungan air bawah tanah, perlu ditetapkan Kebijaksanaan oleh Pemerintah Propinsi dalam bentuk pemberian rekomendasi teknik, pembinaan, pengawasan dan pengendalian sebagai upaya memberikan dukungan dan fasilitasi pemanfaatan air bawah tanah. Pengaturan kembali pengelolaan air bawah tanah di Propinsi Jawa Timur sebagaimana telah diatur dalam Peraturan Daerah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Timur Nornor 7 Tahun 1994 dalam rangka untuk melaksanakan kewenangan pengelolaan air bawah tanah di Propinsi Jawa Timur sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nornor 25 Tahun 2000 dan Keputusan Menteri Energi dan Surnber Daya Mineral Nomor 1451.K/10/MEM/2000. II. PENJELASAN PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Pasal 2 ayat (1) sampai dengan (3) ayat (4)
: : :
Pasal 4
:
Cukup jelas. Cukup jelas. Mengingat bahwa teknis pengelolaan air bawah tanah didasarkan pada satuan wilayah cekungan air bawah tanah, maka dalam pelaksanaan pengelolaan cekungan air bawah tanah lintas Propinsi perlu dikoordinasikan oleh masing-masing Gubernur, utamanya yang menyangkut inventarisasi, perencanaan pendayagunaan, konservasi dan penetapan peruntukan. Sedangkan untuk perizinannya tetap diberikan oleh Bupati/ Walikota sesuai peraturan yang berlaku. Cukup jelas.
9
Pasal 5 Pasal 6 Pasal 7 Pasal 8 ayat (1)
: : : :
ayat (2) dan (3) Pasal 9 Pasal 10 ayat (1) ayat (2) huruf a huruf b
: : : : :
huruf c sampai dengan f huruf g
: :
ayat (3) Pasal 11 ayat (1) ayat (2)
: : :
Pasal 12 Pasal 13 ayat (1)
: :
ayat (2) sampai dengan (4) Pasal 14 sampai dengan 16 Pasal 17
: : :
Pasal 18 sampai dengan 21
:
Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas. Mengingat Pemerintah Propinsi , Pemerintah Kabupaten / Pemerintah Kota memperoleh pendapatan daerah dari pajak air bawah tanah, maka konservasi merupakan tanggung jawab bersama. Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas. Air bawah tanah untuk rumah tangga adalah air bawah tanah yang dimanfaatkan untuk keperluan masak, mandi dan cuci di luar komplek / kawasan niaga dan industri. Cukup jelas. Air bawah tanah untuk usaha perkotaan adalah air bawah tanah yang dimanfaatkan untuk keperluan perkantoran dan pelayanan / fasilitas umum di daerah perkotaan (Contoh : untuk Perhotelan, Toko-toko, Kantor Pemerintah / Swasta, Kolam Renang, Home Industri, dan lain-lain). Cukup jelas. Cukup jelas. Pembinaan teknis dilaksanakan oleh Dinas Teknis. Cukup jelas. Cekungan air bawah tanah di Jawa Timur sebagian besar melintas Kabupaten / Kota sehingga pengambilan air bawah tanah di masing-masing Kabupaten / Kota akan saling mempengaruhi. Untuk menjaga ketersediaan dan keseimbangan pengambilan air bawah tanah pada satu vvilayah cekungan serta untuk mengantisipasi dampak yang mungkin terjadi, maka diperlukan pengendalian secara regional. Cukup jelas. Cukup jelas. Dalam rangka perencanaan pendayagunaan air bawah tanah secara regional, maka diperlukan data kegiatan pengelolaan air bawah tanah yang dilaksanakan masing-masing oleh Kabupaten / Kota. Cukup jelas.
10