PEMERIKSAAN TOKSIKOPATOLOGI EFEK PEMBERIAN BERBAGAI FRAKSINASI EKSTRAK BATANG GATEP PAHIT (Quassia indica (Gaernt.) Nooteboom) PADA ORGAN HATI DAN GINJAL MENCIT (Mus musculus)
RIA OCTAVIANI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
2
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Pemeriksaan Toksikopatologi Efek Pemberian Berbagai Fraksinasi Ekstrak Batang Gatep Pahit (Quassia indica (Gaernt.) Nooteboom) Pada Organ Hati dan Ginjal Mencit (Mus musculus) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir skripsi ini.
Bogor, Desember 2010
Ria Octaviani NIM B04062779
3
ABSTRAK RIA OCTAVIANI. Pemeriksaan Toksikopatologi Efek Pemberian Berbagai Fraksinasi Ekstrak Batang Gatep Pahit (Quassia indica (Gaernt.) Nooteboom) Pada Organ Hati dan Ginjal Mencit (Mus musculus). Dibimbing oleh DEWI RATIH AGUNGPRIYONO dan PRAPTIWI. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari efek toksikopatologi pemberian fraksinasi ekstrak batang gatep pahit (Q. Indica) dari pelarut yang berbeda kepolarannya (heksana, khloroform, etil asetat, dan residu etanol) terhadap organ hati dan ginjal pada hewan coba mencit (Mus musculus). Sebanyak 25 ekor mencit (Mus musculus) dibagi dalam lima kelompok yang terdiri atas empat kelompok yang diberi 100 mg/kg BB fraksinasi ekstrak batang Q. indica berasal dari berbagai pelarut yang berbeda kepolarannya dan satu kelompok mencit sebagai kontrol yang diberi carboxymethocellulose (CMC-Na) 1%. Pemberian fraksinasi ekstrak batang Q. indica dilakukan selama tujuh hari berturut-turut pada masing-masing kelompok perlakuan fraksi pelarut. Mencit kemudian dieuthanasi dengan eter overdosis dan disampling organ hati dan ginjalnya, lalu difiksasi dalam Buffer Neutral Formalin 10% selama 48 jam untuk kemudian diproses menjadi sediaan histopatologi dengan pewarnaan Hematoksilin Eosin. Sediaan histopatologi diamati menggunakan mikroskop cahaya dengan parameter menghitung sel hepatosit dan epitel tubulus ginjal dengan lesi nekrosis/apoptosis dan degenerasi. Hasil pengamatan menunjukkan fraksi pelarut yang menyebabkan tingkat kerusakan terendah pada hepatosit adalah khloroform sedangkan yang menyebabkan tingkat kerusakan terparah adalah heksana. Fraksi pelarut yang menyebabkan tingkat kerusakan terendah pada sel epitel tubulus ginjal adalah heksana sedangkan yang menyebabkan tingkat kerusakan terparah adalah etil asetat. Kata kunci: herbal antimalaria; patologi ginjal; patologi hati; polaritas pelarut; simaroubaceae.
4
ABSTRACT RIA OCTAVIANI. Toxicopathology Assay of Gatep Pahit (Quassia indica (Gaernt.) Nooteboom) Stem Extract Fractionation Various Given Effect on Mice (Mus musculus) Liver and Kidney. Under Supervised by DEWI RATIH AGUNGPRIYONO and PRAPTIWI. The aim of this research was to study the toxicopathology effect of gatep pahit (Q. indica) stem extract fractionation given using various solvents of different polarity (hexane, chloroform, ethyl acetate, and ethanol residue) on mice (Mus musculus) liver and kidney. Twenty five mice (Mus musculus) were divided into five groups. Four groups were given 100 mg/kg BW stem extract fractionation of Q. indica using various different solvent and one group of mice performed as control which received carboxymethocellulose (CMC-Na) 1%. After 1 week of treatment, the mice then were euthanized with over dose of ether. The liver and kidney were taken and fixed in 10% of Buffer Neutral Formalin for 48 hours. The tissue samples were processed to make histopathology slides stained with Hematoxylin Eosin. The tissues were examined under the light microscope. The toxicopathology assay included to count the cells under went necrosis/apoptosis and degeneration. The results revealed that the Q. indica chloroform fraction has the lowest level of damage to hepatocytes while hexane fraction showed the most hepatocytes damaged. The Q. indica hexane fraction caused the less damage in kidney tubular epithelium while the ethyl acetate showed the most epithelium damaged. Keywords: antimalaria herbs; kidney pathology; liver pathology; simaroubaceae; solvent polarity.
5
© Hak Cipta Milik IPB, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
6
PEMERIKSAAN TOKSIKOPATOLOGI EFEK PEMBERIAN BERBAGAI FRAKSINASI EKSTRAK BATANG GATEP PAHIT (Quassia indica (Gaernt.) Nooteboom) PADA ORGAN HATI DAN GINJAL MENCIT (Mus musculus)
RIA OCTAVIANI
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
7
Judul Skripsi : Pemeriksaan Toksikopatologi Efek Pemberian Berbagai Fraksinasi Ekstrak Batang Gatep Pahit (Quassia indica (Gaernt.) Nooteboom) Pada Organ Hati dan Ginjal Mencit (Mus musculus) Nama : Ria Octaviani NIM : B04062779
Disetujui,
drh. Dewi Ratih Agungpriyono, PhD, APVet Ketua
Anggota
Diketahui,
Dr. dra. Nastiti Kusumorini Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan
Tanggal lulus :
Dr. Praptiwi, MAgr
8
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Baradatu (Way Kanan) pada tanggal 28 Oktober 1988 dari Ayah Sairin dan Ibu Dianti. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara. Pendidikan penulis diawali di TK Islam Baradatu pada tahun 1993-1994. Kemudian melanjutkan pendidikan di SDN 1 Baradatu pada tahun 1994-2000, SLTPN 1 Baradatu pada tahun 2000-2003, dan SMAN 1 Bukit kemuning (Lampung Utara) pada tahun 2003-2006. Pada tahun 2006 penulis lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis memilih mayor Kedokteran Hewan, Fakultas Kedokteran Hewan. Selama menempuh pendidikan di jenjang perguruan tinggi, penulis aktif di Himpro Ruminansia. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan, penulis melakukan penelitian dan menyusun skripsi yang berjudul “Pemeriksaan Toksikopatologi Efek Pemberian Berbagai Fraksinasi Ekstrak Batang Gatep Pahit (Quassia indica (Gaernt.) Nooteboom) Pada Organ Hati dan Ginjal Mencit (Mus musculus)” dengan bimbingan dari drh. Dewi Ratih Agungpriyono, PhD, APVet dan Dr. Praptiwi, MAgr.
9
KATA PENGANTAR Segala puji hanya milik Allah SWT. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah pada suri tauladan manusia nabi Muhammad SAW, keluarga, sahabat serta para pengikutnya sampai akhir jaman. Dengan mengucap syukur kepada Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Tugas Akhir berupa penulisan skripsi untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada: 1. drh. Dewi Ratih Agungpriyono, PhD, APVet selaku dosen pembimbing
skripsi
atas
segala
bimbingan,
nasihat,
dan
pengarahannya serta ilmu yang tidak pernah habis diberikan. 2. Dr. Praptiwi, MAgr selaku dosen pembimbing skripsi atas segala bimbingan, nasihat, dan pengarahannya serta ilmu yang tidak pernah habis diberikan. 3. Prof. drh. Dondin Sajuthi, MST, PhD selaku dosen pembimbing akademik atas segala bimbingan dan nasihatnya. 4. Dr. drh. Wiwin Winarsih, MSi, APVet selaku dosen penilai atas segala saran, kritik, dan penilaian yang bermanfaat. 5. Dr. drh. H. Razak Achmad Hamzah, MS dan Dr. drh. Hj. Umi Cahyaningsih, MS selaku dosen penguji atas segala saran, kritik, dan penilaian yang bermanfaat. 6. LIPI Cibinong. 7. Kepada Papa dan Mama: Sairin dan Dianti atas doa, kasih sayang, dan dukungan yang selalu diberikan, baik moril dan materil. 8. Kepada kedua almarhum adikku (Nando dan Angga). 9. Teman seperjuangan Septiani Purwanti „Wike‟ yang tiada henti memberi bantuan, semangat, dan dukungan hingga penelitian ini dapat terselesaikan dengan baik.
10
10. Sahabat-sahabat tercinta „Al-Quds‟ (Arum, Nti, dan Wike) untuk semangat, canda tawa, doa, dukungan, dan nasihat sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas skripsi dengan baik. 11. Teman-teman Aesculapius ‟43 yang selalu kompak dan terus berjuang untuk wisudanya. 12. Kepada seluruh staf dan pegawai Bagian Patologi Fakultas Kedokteran Hewan. 13. Pihak-pihak yang tidak mungkin untuk disebutkan satu persatu yang turut membantu dalam menyelesaikan skripsi ini.
Penulis menyadari dalam penulisan ini masih banyak terdapat kekurangan, oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun guna menyempurnakan karya tulis ini. Akhir kata penulis ucapkan semoga skripsi ini dapat
berguna
dan
bermanfaat
bagi
pihak
yang
berkepentingan
dan
membutuhkannya.
Bogor, Desember 2010
Ria Octaviani
11
DAFTAR ISI Halaman
DAFTAR TABEL ............................................................................................. vi DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... vii PENDAHULUAN ............................................................................................. 1 Latar belakang ......................................................................................... 1 Tujuan penelitian .................................................................................... 3 Manfaat penelitian .................................................................................. 3 TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................... 4 Mencit (Mus musculus) ........................................................................... Quassia indica ........................................................................................ Biologi umum ............................................................................. Kandungan .................................................................................. Parasit malaria ......................................................................................... Sejarah ......................................................................................... Hospes ......................................................................................... Epidemiologi ............................................................................... Daur hidup .................................................................................. Hati .......................................................................................................... Anatomi hati................................................................................ Fisiologi hati ............................................................................... Histologi hati ............................................................................... Toksikologi hati .......................................................................... Ginjal ..................................................................................................... Anatomi ginjal ............................................................................ Fisiologi ginjal ............................................................................ Histologi ginjal ............................................................................ Toksikologi ginjal ....................................................................... Ekstraksi dan Partisi ................................................................................
4 5 5 7 8 8 8 9 9 10 10 11 11 12 18 18 19 19 21 24
MATERI DAN METODE ................................................................................ Waktu dan tempat ................................................................................... Bahan dan alat ......................................................................................... Metode penelitian ....................................................................................
26 26 26 26
HASIL DAN PEMBAHASAN ......................................................................... 30 Pengaruh pemberian fraksinasi ekstrak batang gatep pahit (Quassia indica) dari pelarut yang berbeda kepolarannya terhadap perubahan histopatologi hati mencit (Mus musculus) .............................. 30 Pengaruh pemberian fraksinasi ekstrak batang gatep pahit (Quassia indica) dari pelarut yang berbeda kepolarannya terhadap perubahan histopatologi ginjal mencit (Mus musculus).......................... 37
12
SIMPULAN DAN SARAN ............................................................................... 46 Simpulan ................................................................................................. 46 Saran ....................................................................................................... 46 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 47 LAMPIRAN ....................................................................................................... 53
13
DAFTAR TABEL Halaman 1. Persentase lesi histopatologi hepatosit mencit yang diberi fraksinasi ekstrak batang gatep pahit (Q. indica) dengan menggunakan pelarut yang berbeda kepolarannya .................................................................................... 32 2. Persentase lesi histopatologi epitel tubulus proksimalis mencit yang diberi fraksinasi ekstrak batang gatep pahit (Q. indica) dengan menggunakan pelarut yang berbeda kepolarannya................................................................ 39
14
DAFTAR GAMBAR Halaman
1. Gambar mencit (Mus musculus) ................................................................... 4 2. Gambar Quassia indica ................................................................................. 7 3. Gambar siklus hidup Plasmodium ................................................................ 10 4. Gambar histologi hati .................................................................................... 12 5. Gambar steatosis ........................................................................................... 13 6. Gambar nekrosa hati ..................................................................................... 14 7. Gambar kolestasis hati .................................................................................. 15 8. Gambar cirrhosis hepatis (sirosis hati) .......................................................... 15 9. Gambar chronic hepatitis .............................................................................. 16 10. Gambar karsinoma hepatoseluler .................................................................. 16 11. Gambar kolangiokarsinoma .......................................................................... 17 12. Gambar apoptosis hati ................................................................................... 17 13. Gambar degenerasi hidropis pada hati .......................................................... 18 14. Gambar kortek ginjal : aparatus jukstaglomerular ........................................ 20 15. Gambar degenerasi hialin pada ginjal ........................................................... 23 16. Gambar nekrosa (a) & degenerasi hidropis (b) sel epitel tubulus ginjal ................................................................................. 23 17. Gambaran histopatologi jaringan hati yang diberi fraksinasi ekstrak batang gatep pahit (Q. indica) dengan menggunakan pelarut khloroform ................ 31 18. Gambaran histopatologi jaringan hati yang diberi fraksinasi ekstrak batang gatep pahit (Q. indica) dengan menggunakan pelarut khloroform ................ 31 19. Diagram batang yang menunjukkan perbandingan lesi hepatosit mencit yang diberi fraksinasi ekstrak batang gatep pahit (Q. indica) dengan menggunakan pelarut yang berbeda kepolarannya................................................................ 33 20. Gambaran histopatologi jaringan ginjal yang diberi fraksinasi ekstrak batang gatep pahit (Q. indica) dengan menggunakan pelarut residu etanol .............. 38 21. Gambaran histopatologi jaringan ginjal yang diberi fraksinasi ekstrak batang gatep pahit (Q. indica) dengan menggunakan pelarut residu etanol .............. 38
15
22. Diagram batang yang menunjukkan perbandingan lesi tubulus mencit yang diberi fraksinasi ekstrak batang gatep pahit (Q. indica) dengan menggunakan pelarut yang berbeda kepolarannya................................................................ 39
16
PENDAHULUAN Latar Belakang Quassia indica dari famili Simaroubaceae adalah salah satu tanaman obat yang dapat mengobati malaria. Simaroubaceae merupakan suatu famili tanaman yang beberapa jenis diantaranya telah dimanfaatkan sebagai bahan obat untuk mengatasi penyakit yang disebabkan oleh protozoa seperti malaria di Asia dan Afrika (Willcox et al. 2004). Selain malaria, tanaman ini juga banyak digunakan untuk mengobati penyakit kulit dan sakit perut (Goh et al. 1995). Kandungan yang terdapat pada Q. indica adalah gula pereduksi, lemak dan asam lemak tinggi, glikosida steroid, flavonoid, brucein, xanthin, quassinoid, triterpenoid dan sterol, dan alkaloid (Anonim 2007). Organ hati berperan penting dalam proses detoksifikasi bahan sisa metabolisme zat makanan, obat, dan zat toksik yang masuk ke dalam tubuh (Gibson 2003). Organ ini sangat mudah terserang oleh efek toksik dari obatobatan dan bahan kimia karena menerima suplai darah sekitar 70% dari vena porta (Junqueira dan Carneiro 1997). Vena porta membawa darah yang mengandung zat makanan yang diabsorbsi dari usus dan organ tertentu menuju hati sehingga sering dan mudah kontak dengan zat kimia dalam jumlah yang besar dan hati merupakan jalur sekresi dan ekskresi untuk kebanyakan obat (Stinson dan Calhoun 1992; Price and Wilson 2006). Selain hati, organ yang juga penting dalam tubuh yaitu ginjal. Ginjal memiliki fungsi sebagai tempat mengekskresi sebagian besar hasil akhir metabolisme tubuh dan mengatur konsentrasi kebanyakan unsur dari cairan tubuh. Malaria adalah suatu penyakit yang bersifat akut hingga kronis, yang disebabkan oleh infeksi protozoa dari genus Plasmodium. Malaria dapat menyerang berbagai spesies mulai dari manusia, unggas, primata, dan rodensia. Plasmodium yang menyerang hewan pengerat (rodensia) adalah Plasmodium berghei. P. berghei adalah hemoprotozoa yang menyebabkan malaria pada rodensia, terutama rodensia kecil. P. berghei banyak digunakan untuk penelitian karena P. berghei mempunyai siklus hidup maupun morfologi sama seperti Plasmodium yang menginfeksi manusia (Carter dan Diggs 1977).
17
Menurut Gandahusada et al. (2000), pada kera ditemukan spesies-spesies parasit malaria, yaitu P. cynomolgi, P. knowlesi, P. rodhaini, dan P. brasilianum. Selain itu, pada unggas juga ditemukan beberapa spesies parasit malaria, yaitu P. gallinaceum (ayam), P. juctanucleare (ayam dan kalkun), P. lophurae (ayam dan itik), P. durae (kalkun), dan P. griffithsi (kalkun) (Tabbu 2002). Gejala-gejala klinis yang ditimbulkan oleh penyakit ini pada manusia yaitu demam, sakit kepala, tidak nafsu makan, dan kadang-kadang disertai dengan mual dan muntah (Gandahusada et al. 2000), sedangkan pada unggas yaitu adanya kenaikan suhu tubuh, kelesuan, muka dan jengger kelihatan pucat, serta tidak nafsu makan (Murtidjo 1992). Malaria merupakan salah satu penyakit yang tersebar luas dan paling banyak menimbulkan kematian. Sejak tahun 1950, malaria telah berhasil dibasmi di hampir seluruh benua Eropa dan di daerah seperti Amerika Tengah dan Amerika Selatan. Namun, penyakit ini masih menjadi masalah besar di beberapa bagian benua Afrika dan Asia Tenggara. Setiap tahun hampir ada 100 juta kasus malaria dan sekitar 1% diantaranya berakibat fatal. Malaria merupakan penyebab utama kematian di negara berkembang. Penyebaran malaria dipengaruhi oleh pertumbuhan penduduk yang cepat, daerah yang terlalu padat, migrasi, dan sanitasi yang buruk. Malaria terdapat 4 jenis, dan masing-masing disebabkan oleh spesies parasit yang berbeda. Jenis malaria paling ringan adalah malaria tertiana yang disebabkan oleh P. vivax, dengan gejala demam dan terjadi setiap dua hari sekali setelah gejala pertama terjadi (dapat terjadi selama 2 minggu setelah infeksi). Malaria tropika atau demam rimba (jungle fever) adalah penyakit malaria yang disebabkan oleh P. falciparum dan merupakan penyebab sebagian besar kematian akibat malaria. Organisme bentuk ini sering menghalangi jalan darah ke otak, menyebabkan koma, mengigau, serta kematian. Malaria kuartana yang disebabkan oleh P. malariae, memiliki masa inkubasi lebih lama daripada malaria tertiana atau tropika. Jenis malaria yang paling jarang ditemukan adalah malaria yang disebabkan oleh P. ovale. Parasit malaria yang terbanyak di Indonesia adalah P. falciparum dan P. vivax atau campuran keduanya, sedangkan P. ovale dan P. malariae pernah ditemukan di Sulawesi, Irian Jaya dan negara Timor Leste. Proses penyebaran
18
malaria adalah melalui gigitan nyamuk Anopheles sp. yang telah terinfeksi parasit malaria. Polaritas pelarut adalah pelarut yang hanya dapat melarutkan senyawa bioaktif atau komponen yang akan diambil atau dipisahkan sesuai dengan sifat pelarut (non polar, semi polar, polar). Pelarut yang berbeda kepolaran bisa menghasilkan ekstrak yang berbeda-beda isinya karena tergantung dari jenis senyawa yang terdapat pada tanaman tersebut (Widyaningsih 2009). Untuk menjamin khasiat, keamanan, dan mutu obat yang berasal dari tanaman herbal maka perlu dilakukan uji in vivo atau in vitro (BPOM-RI 2010). Penilaian khasiat dan keamanan obat dapat dilakukan dengan uji preklinik dan uji klinik (BPOM-RI 2010). Pemeriksaan toksikopatologi merupakan salah satu uji in vivo yang biasa dilakukan untuk mengetahui apakah senyawa yang terkandung pada tanaman tersebut akan memberikan efek toksik terhadap organ-organ vital di dalam tubuh.
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek toksikopatologi pemberian fraksinasi ekstrak batang gatep pahit (Q. indica) dari pelarut yang berbeda kepolarannya (heksana, khloroform, etil asetat, dan residu etanol) terhadap organ hati dan ginjal pada hewan coba mencit (Mus musculus).
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai efek toksikopatologi organ hati dan ginjal dari pemberian fraksinasi ekstrak batang gatep pahit (Q. indica) dengan berbagai pelarut yang berbeda kepolarannya.
19
TINJAUAN PUSTAKA Mencit Mencit merupakan salah satu hewan percobaan yang sering digunakan dalam penelitian. Hewan ini dinilai cukup efisien dan ekonomis karena mudah dipelihara, tidak memerlukan tempat yang luas, waktu kebuntingan yang singkat, dan banyak memiliki anak perkelahiran. Menurut Wulandari (2003), mencit putih merupakan hewan percobaan yang baik karena mudah ditangani, dapat diperoleh dalam jumlah banyak, dan memberi hasil ulangan yang cukup dipercaya. Mencit dapat hidup dalam daerah yang cukup luas penyebarannya, mulai dari iklim dingin, sedang, maupun panas, dan dapat hidup terus menerus dalam kandang atau secara bebas sebagai hewan liar (Malole dan Pramono 1989). Mencit (Mus musculus) adalah anggota Muridae (tikus-tikusan) yang berukuran kecil. Berikut ini adalah gambar dari mencit (Mus musculus):
Gambar 1 Mencit (Mus musculus) [Sumber: http://www.uprh.edu/~RISE/activities/mouse/mouse.html]
20
Taksonomi mencit (Mus musculus) adalah sebagai berikut (Smith dan Mangkoewidjojo 1988): kingdom subkingdom filum subfilum kelas subkelas ordo subordo famili subfamili genus spesies
: Animalia : Metazoa : Chordata : Vertebrata : Mammalia : Theria : Rodentia : Sciurognathi : Muridae : Murinae : Mus : Mus musculus
Menurut Malole dan Pramono (1989), data biologis mencit laboratorium yaitu memiliki lama hidup 2-3 tahun, bobot badan dewasa 20-40 gram untuk jantan, dan 25-40 gram untuk betina, serta berat lahir 0,5-0,1 gram. Selain itu, mencit memiliki suhu tubuh normal 35-39ºC, pernapasan 140-180/menit, turun menjadi 80/menit dengan anaesthesi, dan naik sampai 230/menit jika stres, denyut jantung 600/menit, turun hingga 350/menit dengan anaesthesi, dan naik 750/menit jika stres, serta tekanan darah 130-160 sistol. Menurut Lane (1976), mencit mencapai dewasa kelamin pada umur 3,5-4 minggu.
Quassia indica Biologi umum Quassia indica merupakan tanaman berkayu yang memiliki nama lain yaitu kayu pahit, gatep pahit atau kelepis (Gaedcke 2003). Tanaman ini termasuk ke dalam suku Simaroubaceae. Q. indica memiliki tinggi sekitar 20 m dan tumbuh di daerah Madagaskar, Ceylon, Burma, Andaman, Kamboja, Laos, Vietnam, Bismarck, Indonesia, dan Kepulauan Solomon. Tanaman ini memiliki batang agak kasar, berwarna kuning pucat sampai kecoklatan dan kayunya berwarna putih sampai kuning pucat. Daunnya berukuran 17,5 cm x 5,9 cm – 20 cm x 6,3 cm, berbentuk lanset dan memiliki 10 pasang tulang daun. Susunan bunga pada tangkai memiliki panjang sekitar 12 cm dan terdiri atas 10 bunga kecil. Buahnya bergerombol berjumlah 1-4 yang dikelilingi daun buah, berwarna hijau atau
21
kemerahan, oval dan pipih, serta buahnya berukuran 6,3 cm x 3,2 cm. Bijinya berwarna putih. Di Indonesia tanaman ini memiliki nama lain, seperti gatep pahit, rapus, kelepis (Bangka), sahangi (Minahasa), lani (Ambon) dan one-one (Ternate). Q. indica memiliki rasa pahit dan bersifat sejuk. Q. indica digunakan untuk meredakan demam di Burma, Indonesia, dan Philiphina (Wiart 2006). Tanaman ini digunakan juga sebagai insektisida serta digunakan sebagai obat luar untuk rematik dan memar. Di Kepulauan Solomon biji tanaman ini digunakan untuk membuat minuman yang akan mengurangi rasa demam, sedangkan di Burma dan Indonesia bijinya digunakan sebagai obat rematik. Di Kepulauan Solomon dan Indonesia daunnya digunakan untuk membunuh serangga. Selain itu, menurut Hariana (2004), tanaman ini dapat dimanfaatkan untuk mengobati beberapa penyakit tertentu, yaitu kekurangan getah empedu (biji gatep pahit), ketombe (daun gatep pahit), kurang nafsu makan (kulit kayu gatep pahit), kolera (biji gatep pahit), dan sakit kepala & penurun panas (kulit kayu gatep pahit). Menurut Integrated Taxonomic Information System (2010), taksonomi dari tanaman Q. indica adalah sebagai berikut: kingdom subkingdom divisi kelas subkelas ordo famili genus spesies
: Plantae : Tracheobionta : Magnoliophyta : Magnoliopsida : Rosidae : Sapindales : Simaroubaceae : Quassia : Quassia indica
22
Berikut ini adalah beberapa gambar dari tanaman Q. indica yang didapat dari Kalimantan Timur:
Gambar 2 Quassia indica [Sumber: Dokumentasi pribadi Dr. Praptiwi, MAgr] Kandungan Kandungan yang terdapat pada Q. indica adalah gula pereduksi, lemak dan asam lemak tinggi, glikosida steroid, flavonoid, brucein, xanthin, quassinoid, triterpenoid dan sterol, dan alkaloid (Anonim 2007). Lima jenis quassinoid yang sudah dikenal adalah quassinoid glycoside, samaderines, indaquassin, 2-Oglucosylsamaderine C, dan simarinolide. Quassinoid mempunyai kemampuan menghambat pertumbuhan parasit penyebab malaria yaitu P. falciparum (chloroquine resistant - KI strain). Samaderines, seperti halnya indaquassin, memiliki sifat menghambat aktifitas in vitro sel endotelial-neutrophil leukosit serta memperlihatkan aktifitas antiinflamasi (Lemmens 2003).
23
Umumnya quassinoid bersifat sitotoksik, tetapi beberapa senyawa seperti glaucarubinone relatif selektif terhadap P. falciparum secara in vitro, tetapi akan bersifat toksik secara in vivo (Kaur et al. 2009). Sama halnya seperti quassinoid, alkaloid juga memiliki efek toksik. Menurut Harborne (1972), efek toksik alkaloid dapat dibagi menjadi 2, yaitu efek perakut dan efek sitotoksik. Efek perakut dapat mempengaruhi gangguan sistem syaraf pusat, menyebabkan konvulsi dan kematian dalam beberapa menit. Sedangkan efek sitotoksik adalah dimana sel-sel diberbagai macam organ seperti hati, paru-paru, jantung, ginjal, dan otak akan menjadi nekrosa. Hal ini dapat mengakibatkan kematian hewan dari beberapa hari sampai tahun setelah menerima alkaloid, dengan kerusakan jaringan yang dapat diamati secara makroskopis atau mikroskopis. Efek toksik dari alkaloid paling sering terlihat di hati. Dari berbagai macam kandungan yang terdapat pada Q. indica, senyawa alkaloid, xanthin, triterpenoid, flavonoid, dan quassinoid merupakan senyawa yang menunjukkan aktivitas sebagai antimalaria.
Parasit Malaria Sejarah Laveran pada abad ke-19 melihat bentuk pisang dalam darah seorang penderita malaria. Kemudian diketahui bahwa malaria ditularkan oleh nyamuk yang terdapat di rawa-rawa (Gandahusada et al. 2000).
Hospes Parasit malaria termasuk ke dalam genus Plasmodium. Pada manusia terdapat 4 spesies Plasmodium, yaitu P. vivax, P. falciparum, P. malariae, dan P. ovale. Pada kera terdapat 4 spesies Plasmodium, yaitu P. cynomolgi, P. knowlesi, P. rodhaini (pada simpanse di Afrika), P. brasilianum (pada kera di Amerika selatan) (Gandahusada et al. 2000). Unggas dapat terinfeksi oleh malaria, pada merpati oleh Haemoproteus columbae dan pada ayam oleh Leucocytozoon sabrazesi dan Leucocytozoon caullery.
24
Epidemiologi Malaria ditemukan pada 640° LU (Archangel di Rusia) sampai 320° LS (Cordoba di Argentina), dari daerah rendah 400 m di bawah permukaan laut (Laut Mati) sampai 2600 m di atas permukaan laut (Londiani di Kenya) atau 2800 m (Cochabamba di Bolivia) (Gandahusada et al. 2000). Di Indonesia, malaria ditemukan tersebar di seluruh kepulauan, terutama di kawasan Indonesia Timur.
Daur Hidup Pada umumnya, siklus hidup malaria terdiri dari fase seksual eksogen (sporogoni) dalam badan nyamuk Anopheles dan fase aseksual (skizogoni) dalam badan hospes vertebrata (Gandahusada et al. 2000). Fase aseksual memiliki 2 daur yaitu : 1) daur eritrosit dalam darah (skizogoni eritrosit) dan 2) daur dalam sel parenkim hati (skizogoni eksoerirosit). Parasit dalam hospes vertebrata (hospes perantara) terdiri dari : a) fase jaringan yaitu bila nyamuk Anopheles betina yang mengandung parasit malaria dalam kelenjar liurnya menusuk hospes, sehingga sporozoit dalam air liur masuk melalui probosis yang ditusukan ke dalam kulit; b) fase aseksual dalam darah yaitu waktu antara permulaan infeksi sampai parasit malaria ditemukan dalam darah tepi disebut masa prepaten; c) fase seksual dalam darah yaitu setelah dua sampai tiga generasi (3-15 hari) merozoit dibentuk, sebagian merozoit tumbuh menjadi bentuk seksual. Parasit dalam hospes invertebrata (hospes definitif) terdiri dari dua proses : a) eksflagelasi, bila nyamuk Anopheles betina menghisap darah hospes manusia yang mengandung parasit malaria, parasit aseksual dicerna bersama eritrosit, tetapi gametosit dapat tumbuh terus. Inti dari mikrogametosit membelah sampai 8 yang masing-masing menjadi bentuk panjang seperti benang (flagel) dengan ukuran 20-25 mikron, menonjol keluar dari sel induk bergerak-gerak sebentar dan kemudian melepaskan diri serta b) sporogoni. Berikut ini adalah gambar siklus hidup Plasmodium:
25
Gambar 3 Siklus hidup Plasmodium [Sumber: CDC 2010] Hati Anatomi hati Hati merupakan kelenjar terbesar di dalam tubuh, terletak dalam rongga perut sebelah kanan, tepatnya di bawah diafragma (Ressang 1984). Hati memiliki selubung peritoneum dan menerima darah dari vena porta dan arteri hepatica, sedangkan darah keluar dari hati melalui vena hepatica yang masuk ke dalam vena caudalis. Hati terdiri dari beberapa lobus, dan secara umum dapat dibagi menjadi tiga lobus yaitu bagian kanan lebih besar daripada bagian kiri, dan bagian kaudal yang lebih kecil terletak di bagian posterior (Underwood 1992). Permukaan posterior hati berbentuk cekung dan terdapat celah transversal sepanjang 5 cm dari sistem porta hepatis. Omentum minor terdapat mulai dari sistem porta yang mengandung arteri hepatica, vena porta dan duktus koledokus. Sistem porta terletak di depan vena cava dan di balik kantung empedu. Permukaan anterior yang cembung dibagi menjadi 2 lobus akibat adanya perlekatan ligamentum falsiform yaitu lobus kiri dan lobus kanan yang berukuran kira-kira 2 kali lobus kiri. Setiap lobulus hati berbentuk heksagonal yang terdiri dari sel hati berbentuk kubus yang tersusun radial mengelilingi vena sentralis.
26
Hepatosit merupakan unit fungsional dari organ hati. Hepatosit bertanggung jawab terhadap peran sentral hati dalam metabolisme. Sel-sel ini terletak diantara sinusoid yang terisi darah dan saluran empedu. Sel Kupffer melapisi
sinusoid
hati
dan
merupakan
bagian
penting
dari
sistem
retikuloendotelial tubuh. Darah dipasok melalui vena porta dan arteri hepatica, dan disalurkan melalui vena sentralis, kemudian masuk ke dalam vena hepatica dan darah akan masuk ke dalam vena cava. Saluran empedu mulai sebagai kanalikuli yang kecil dan dibentuk oleh sel parenkim yang berdekatan. Kanalikuli bersatu menjadi duktula, saluran empedu interlobular, dan saluran hati
yang lebih
besar. Saluran hati
utama
menghubungkan ductus cysticus dari kantung empedu dan membentuk saluran empedu biasa yang mengalir ke dalam duodenum.
Fisiologi hati Hati memiliki beberapa fungsi, yaitu pembentukan dan sekresi empedu, metabolisme nutrien dan vitamin, inaktivasi beberapa zat, sintesis protein plasma, dan berperan dalam immunitas. Fungsi utama dari hati adalah sebagai tempat detoksifikasi, yaitu sebagai penawar racun produk buangan. Produk buangan metabolisme dapat berasal dari kuman, kelebihan hormon, toksin-toksin, usus, dan dapat juga dari penggunaan obat-obatan seperti kamfer, fenol, asam benzoate, morfin, dan barbiturate (Ressang 1984). Hepatosit dapat mengalami kerusakan jika terpapar bahan metabolit yang toksik. Kerusakan pada hati dapat menyebabkan gangguan fisiologis dan metabolisme (Hayes 2007).
Histologi hati Sel hati (hepatosit) memiliki bentuk polihedral, berdiameter 20-25 mikron pada hewan dewasa dan 2-7 mikron pada hewan muda. Hepatosit memiliki inti ditengah dan kadang-kadang tampak lebih dari satu inti. Hepatosit dipisahkan oleh sinusoid yang tersusun melingkari efferent vena hepatica dan duktus hepatikus. Saluran sinusoid ini berfungsi membawa darah dari pembuluh portal menuju vena sentralis dan pembuluh empedu. Membran hepatosit berhadapan langsung dengan sinusoid yang mempunyai banyak mikrofili. Mikrofili juga
27
tampak pada sisi lain sel yang membatasi saluran empedu dan merupakan tempat permulaan sekresi empedu. Permukaan lateral hepatosit memiliki sambungan penghubung dan desmosom yang saling bertautan dengan sebelahnya. Sinusoid hati memiliki lapisan endotelial-endotelial berpori yang dipisahkan dari hepatosit oleh ruang sinusoid. Sel lain yang terdapat dalam dinding sinusoid adalah sel fagositik. Sel Kupffer merupakan bagian penting dari sistem retikuloendotelial dan sel stellata disebut juga sebagai sel limfosit atau perisit. Berikut ini adalah gambar histologi pada hati:
Gambar 4 Histologi hati [Sumber: Southern Illinois University School of Medicine 2010a] Toksikologi pada hati Sebagian besar toksikan memasuki tubuh melalui sistem gastrointestinal, dan setelah diserap, toksikan dibawa oleh vena porta hepatica ke hati. Kadar enzim yang memetabolisme xenobiotik dalam hati juga tinggi (terutama sitokrom P-450), ini membuat sebagian besar toksikan menjadi tidak toksik dan lebih mudah larut air, dan karenanya lebih mudah diekskresikan. Toksikan terdistribusi ke berbagai bagian tubuh termasuk organ ekskresi sehingga siap dikeluarkan dari dalam tubuh. Di dalam tubuh toksikan akan mengalami biotransformasi. Mekanisme biotransformasi dibagi ke dalam dua jenis utama, yaitu: 1. Reaksi fase 1, melibatkan reaksi oksidasi, reduksi, dan hidrolisis. 2. Reaksi fase 2, merupakan produksi suatu senyawa melalui konjugasi toksikan dengan suatu metabolit endogen (Lu 1995).
28
Karena itu, biotransformasi adalah suatu proses yang umumnya mengubah senyawa asam menjadi metabolit, kemudian membentuk konjugat (Lu 1995). Akan tetapi dalam kasus tertentu, metabolit dapat lebih toksik dari senyawa asalnya. Toksikan dapat menyebabkan berbagai jenis efek toksik pada berbagai organel dalam sel hati.
Perlemakan hati (Steatosis) Perlemakan hati adalah hati yang mengandung berat lipid lebih dari 5%. Perlemakan hati (steatosis) terjadi karena penimbunan abnormal trigliserida dalam sel hati. Timbunan ini disebabkan karena defek dari mulai masuknya asam lemak dalam hati sampai keluarnya lemak dari hati sebagai lipoprotein (Sudiono et al 2001). Adanya kelebihan lemak dalam hati dapat dibuktikan secara histokimia, lesi dapat bersifat akut seperti yang disebabkan oleh etionin, fosfor, atau tetrasiklin. Etanol dan metotreksat dapat menyebabkan lesi akut atau kronis. Beberapa toksikan seperti tetrasiklin, menyebabkan banyak butiran lemak kecil dalam suatu sel. Sementara toksikan lainnya seperti etanol menyebabkan butiran lemak besar yang menggantikan inti. Selain toksikan, penyebab perlemakan hati (steatosis) yaitu malnutrisi protein, diabetes mellitus, obesitas, dan anoksia. Berikut ini adalah gambar histopatologi dari steatosis hati:
Gambar 5 Steatosis [Sumber: Atlas of Pathology (2nd Edition) 2009a]
29
Nekrosa hati Nekrosa hati adalah kematian hepatosit. Pada nekrosa biasanya ditemukan sel radang dan sitoplasma sel akan terlihat asidofilik. Nekrosa ada yang bersifat fokal dan ada yang bersifat difus (Lu 1995). Kematian sel terjadi bersama dengan pecahnya membran plasma. Namun, ada beberapa perubahan yang mendahului kematian sel. Perubahan morfologi awal antara lain edema sitoplasma, dilatasi retikulum endoplasma, dan agregasi polisom. Terjadi akumulasi trigliserida sebagai butiran lemak dalam sel. Pembengkakan mitokondria progresif dengan kerusakan krista, pembengkakan sitoplasma, penghancuran organel dan inti, dan pecahnya membran plasma. Berikut ini adalah gambar histopatologi dari nekrosa hati:
Gambar 6 Nekrosa hati [Sumber: http://www.pathology.med.umich.edu/greensonlab/Lyticdeath.jpg]
Kolestasis Jenis kerusakan hati yang bersifat akut ini, lebih jarang ditemukan dibandingkan perlemakan hati dan nekrosa. Berkurangnya aktivitas ekskresi empedu pada membran kanalikulus tampaknya merupakan mekanisme utama kolestasis. Berikut ini adalah gambar histopatologi dari kolestasis hati:
30
Gambar 7 Kolestasis hati [Sumber: http://www.cvm.tamu.edu/SCAVMA/acvp/Cholelithiasis /Cholelithiasis.shtml] Cirrhosis hepatis (sirosis hati) Sirosis adalah pengerasan hati yang terjadi karena kehilangan parenkim disertai dengan pembentukan jaringan parut secara luas, dan terjadi regenerasi serta hiperplasi jaringan hati. Kerusakan sel-sel hati juga disertai kerusakan jaringan mesodermal, endotel-endotel, sel-sel Kupffer, dan serabut-serabut prekolagen. Sirosis ditandai dengan adanya septa kolagen yang tersebar di sebagian besar hati. Kumpulan hepatosit muncul sebagai nodul yang dipisahkan oleh lapisan berserat. Berikut ini adalah gambar histopatologi dari cirrhosis hepatis (sirosis hati):
Gambar 8 Cirrhosis hepatis (Sirosis hati) [Sumber: Atlas of Pathology (2nd Edition) 2009b]
31
Hepatitis yang mirip dengan hepatitis yang disebabkan oleh virus Berbagai macam obat mengakibatkan suatu sindroma klinis yang tidak dapat dibedakan dari hepatitis virus. Mekanisme kerjanya beragam, selain menyebabkan reaksi hipersensitivitas, obat tertentu bekerja melalui kelainan metabolisme. Berikut ini adalah gambar histopatologi dari chronic hepatitis:
Gambar 9 Chronic hepatitis [Sumber: Atlas of Pathology (2nd Edition) 2009c]
Karsinogenesis Karsinoma hepatoseluler dan kolangiokarsinoma adalah jenis neoplasma ganas yang paling umum terjadi pada hati. Berikut ini gambar histopatologi dari karsinoma hepatoseluler dan kolangiokarsinoma:
Gambar 10 Karsinoma hepatoseluler [Sumber: Southern Illinois University School of Medicine 2010b]
32
Gambar 11 Kolangiokarsinoma [Sumber: Southern Illinois University School of Medicine 2010c]
Apoptosis Apoptosis adalah proses lebih lanjut dari kematian sel. Inti sel dan sitoplasma terfragmentasi sebagai enzim seperti caspases yang menghancurkan komponen selular. Berikut ini adalah gambar histopatologi dari apoptosis hati:
Gambar 12 Apoptosis hati [Sumber: Southern Illinois University School of Medicine 2010d]
Degenerasi hidropis Degenerasi hidropis terjadi karena adanya gangguan membran sel sehingga banyak cairan masuk ke dalam sitoplasma, menimbulkan vakuolavakuola kecil sampai besar (Sudiono et al. 2001). Berikut ini adalah gambar histopatologi dari degenerasi hidropis pada hati:
33
Gambar 13 Degenerasi hidropis pada hati [Sumber: www.wjgnet.com/1007-9327/11/2579.asp]
Ginjal Anatomi ginjal Ginjal terletak pada bagian dorsal dari rongga abdominal pada tiap sisi aorta dan vena cava tepat pada posisi ventral terhadap beberapa vertebrae lumbal yang pertama (Ressang 1984). Ginjal kanan letaknya lebih kranial dibandingkan yang kiri. Ginjal dikatakan retroperitoneal karena terletak di luar rongga peritoneal. Pada ginjal terdapat bukaan yang disebut hilus, yang menghubungkan arteri renal, vena renal, dan ureter. Ada tiga daerah utama ginjal, yaitu bagian paling luar disebut korteks, bagian lebih dalam lagi disebut medulla, dan bagian paling dalam disebut pelvis. Medulla ginjal terdiri dari beberapa massa jaringan berbentuk kerucut yang sering disebut piramida ginjal, dengan puncak pada pelvis renal, dan dasarnya tertutup oleh korteks. Disamping itu, di dalam medulla juga terdapat loop henle. Bagian korteks yang terletak di antara medulla dan kapsul jaringan ikat yang tipis, nampak seperti granula karena banyaknya glomerulus. Ginjal dibungkus oleh lapisan jaringan ikat longgar yang disebut kapsula, dimana tersusun oleh serabut kolagen tetapi dapat juga tersusun dari otot polos dan pembuluh darah (Verlander 2002). Setiap tubulus ginjal dan glomerulus akan membentuk satu kesatuan yang disebut nefron. Nefron adalah unit fungsional terkecil dari ginjal, dan setiap nefron terdiri dari glomerulus, kapsul glomerulus (kapsul Bowman), tubulus proksimalis, loop Henle, dan tubulus distalis (Ressang 1984). Nefron berfungsi
34
sebagai regulator air dan zat terlarut (terutama elektrolit) dalam tubuh dengan cara menyaring darah, kemudian mereabsorpsi cairan dan molekul yang masih diperlukan tubuh.
Fisiologi Ginjal Ginjal adalah organ yang berfungsi untuk memfiltrasi, mereabsorpsi, dan mengekskresikan cairan dari dalam tubuh yang berperan dalam proses homeostasis. Ginjal memiliki fungsi yang lebih spesifik, yaitu mengontrol air dan elektrolit di dalam tubuh, mengekskresi produk sisa metabolisme, elaborasi hormon, dan metabolisme renal. Selain itu, ginjal juga memiliki beberapa fungsi, yaitu mengeluarkan zat-zat toksik atau racun, mempertahankan keseimbangan cairan, mempertahankan keseimbangan kadar asam dan basa dari cairan tubuh, mempertahankan keseimbangan garam-garam dan zat-zat lain dalam tubuh, mengeluarkan sisa metabolisme hasil akhir sari protein ureum, kreatinin dan amoniak. Ginjal dapat melakukan fungsinya dengan baik karena fungsi saring dari glomerulus, daya serap kembali daripada tubulus, dan karena fungsi sekretorik sel-sel tubulus. Faktor-faktor utama yang mempengaruhi kerja ginjal adalah komposisi darah, tekanan darah arterial, hormon, dan sistem saraf otonom. Kapiler mendapat darah dari arteriol aferen, dan darah akan keluar menuju arteriol eferen yang sedikit lebih kecil daripada arteriol eferen. Glomerulus divaskularisasi oleh sistem kapiler bertekanan tinggi yang menghasilkan ultrafiltrat dari palsma. Filtrat yang terkumpul dalam kapsula Bowman mengalir melalui tubulus proksimalis, ansa henle, dan tubulus distalis, kemudian mengalir melalui pelvis renalis dan dibuang sebagai urin.
Histologi ginjal Ginjal tersusun oleh kapsula ginjal yang terdiri dari jaringan penyambung padat. Korteks merupakan bagian terluar ginjal dan bagian terdalamnya adalah medulla. Di bagian medulla terdapat banyak nefron, yang terdiri dari korpus renalis, tubulus proksimalis, tubulus distalis, dan ansa henle. Nefron terdiri atas sebuah glomerulus dimana cairan tersebut difiltrasi dan sebuah tubulus yang
35
panjang dimana cairan filtrasi tersebut diubah menjadi urin dalam perjalanan ke pelvis renalis (Guyton dan Hall 1997). Glomerulus adalah suatu organ epitelio-vaskuler yang disusun sebagai tempat filtrasi ultra dari plasma. Kapiler glomerulus dilapisi oleh lapisan endotelium dan terletak pada membran basalis. Tubulus proksimalis dilapisi oleh epitel selapis kuboid atau silindris. Sel-sel epitel ini mempunyai sitoplasma asidofilik yang disebabkan oleh adanya mitokondria panjang dalam jumlah besar. Tubulus proksimalis akan berlanjut menjadi ansa henle. Ansa henle adalah suatu struktur berbentuk U yang terdiri atas ruas tipis desenden, ruas tipis asenden, dan ruas tebal asenden. Tubulus distalis merupakan bagian akhir dari nefron. Tubulus ini dilapisi oleh epitel selapis kuboid. Lumen tubulus ini lebih besar karena sel-sel tubulus distalis lebih gepeng dan lebih kecil dari yang ada di tubulus proksimalis, maka tampak lebih banyak sel dan inti pada dinding tubulus distalis (Junqueira dan Carneiro 1997). Struktur ginjal dalam keadaan normal mempunyai ciri-ciri, yaitu sel berbentuk polihedral, inti bundar berwarna jernih, dan terletak di dalam sel, sitoplasma tampak jernih, lumen dalam keadaan terbuka serta sel epitel yang terdapat dalam tubulus menempel pada membran basalis (Leeson et al. 1993). Berikut ini adalah gambar histologi dari aparatus jukstaglomerular:
Gambar 14 Korteks Ginjal: Aparatus Jukstaglomerular [Sumber: Eroschenko 2003]
36
Toksikologi pada ginjal Kelompok utama nefrotoksikan adalah logam berat, antibiotik, analgesik, dan hidrokarbon berhalogen tertentu. Semua bagian nefron secara potensial dapat dirusak oleh efek toksikan.
Glomerulus Antibiotik Puromisin dapat meningkatkan permeabilitas glomerulus terhadap protein seperti albumin. Sebaliknya, antibiotik aminoglikosid seperti gentamisin dan kanamisin mengurangi filtrasi glomerulus, selain mempengaruhi tubulus ginjal. Perubahan-perubahan patologi yang terjadi pada glomerulus yaitu atrofi glomerulus, endapan protein pada ruang Bowman, dan penebalan kapsula Bowman.
Tubulus proksimalis Karena terjadi absorpsi dan sekresi aktif tubulus proksimalis, kadar toksikan pada tubulus proksimalis sering lebih tinggi. Selain itu, kadar sitokrom P-450 pada tubulus proksimalis lebih tinggi untuk mendetoksifikasi atau mengaktifkan toksikan. Dengan demikian, tempat ini sering merupakan sasaran efek toksik. Logam berat seperti merkuri, kromium, kadnium, dan timbal, dapat mengubah fungsi tubulus yang ditandai dengan glikosuria, aminoasiduria, dan poliuria. Antibiotik tertentu mempengaruhi filtrasi glomerulus. Streptomisin, neomisin, kanamisin, gentamisin, dan amfoterisin-B mempengaruhi tubulus proksimalis. Beberapa
obat
ini
mengubah
komposisi
fosfolipid
membran,
permeabilitas, aktivitas Na+ - K+ - ATPase, aktivitas adenilat siklase, dan transport K+, Ca2+, dan Mg2+. Sefaloridin tidak disekresikan dari tubulus proksimalis, tetapi ditumpuk dalam sel sehingga menyebabkan kerusakan. Hidrokarbon berhalogen seperti
karbon
tetraklorida
dan
khloroform
bersifat
hepatotoksik.
Heksaklorogutadien merusak pars recta tubulus proksimalis. Bromobenzen dan heksaklorobutadiena yang bekerja pada tubulus proksimalis bersifat nefrotoksik. Perubahan patologi yang dapat terjadi pada ginjal antara lain nephrosis (nefrosa), yaitu peradangan pada ginjal akibat gangguan pertukaran zat. Nefrosa
37
dapat dibagi dalam tubulo-nephrosis dan glomerulo-nephrosis (Ressang 1984). Tubulo-nephrosis adalah perubahan-perubahan pada epitel tubulus yang disebabkan karena tubulus selain berfungsi sebagai sekresi juga mempunyai fungsi resorpsi. Perubahan-perubahan yang terlihat secara mikroskopik adalah degenerasi epitel sederhana hingga nekrosa. Yang termasuk di dalam tubulonephrosis antara lain sebagai berikut: 1. Degenerasi hidropik-vakuoler pada parenkim yang disebabkan oleh gangguan metabolisme air dan protein dalam sel-sel. 2. Nefrosa hipokhloremik yang disebabkan oleh kehilangan khlor yang berlebihan. 3. Degenerasi hialin yang disebabkan oleh gangguan metabolisme protein pra-renal. Glomerulo-nephrosis adalah semua perubahan yang bersifat radang di dalam glomerulus dan disebabkan oleh gangguan pra-renal dan humoral dalam bentuk disproteinemi (Ressang 1984). Sel tubulus ginjal dapat mengalami kerusakan sel yang reversible, yang disebut degenerasi. Sel masih dapat kembali normal jika intoksikasi toksin dihentikan, tetapi apabila terus berlanjut akan menyebabkan kematian sel. Secara mikroskopik, degenerasi hidropis tampak seperti celah kosong dan terkadang terjadi di sekitar nukleus dan bintik-bintik sitoplasma terdesak ke belakang terhadap perifer dari sel (Jones et al. 2006). Sedangkan degenerasi hialin terjadi akibat akumulasi protein pada sitoplasma sel yang berbentuk butiran-butiran eosinofil yang khas. Adanya degenerasi hialin ini dapat mengindikasikan zat toksik yang lolos dari filter glomerulus. Berikut ini adalah gambar histopatologi degenerasi hialin pada ginjal:
38
Gambar 15 Degenerasi hialin pada ginjal [Sumber: http://www.abcam.com/ps/datasheet/images/ab60940ihc.jpg] Selain itu, pada ginjal juga dapat terjadi apoptosis atau nekrosa. Nekrosa merupakan kematian sel jaringan saat individu masih hidup. Secara mikroskopik terjadi perubahan intinya, yaitu hilangnya gambaran khromatin, inti tampak lebih padat, inti sel mengkerut (piknosis), inti terbagi atas fragmen-fragmen, inti sel hancur (karyoreksis), dan inti tidak lagi mengambil warna banyak karena itu pucat tidak nyata (karyolisis). Berikut ini adalah gambar histopatologi nekrosa (a) dan degenerasi hidopis (b) pada sel epitel tubulus ginjal:
Gambar 16 Nekrosa (a) & degenerasi hidropis (b) sel epitel tubulus ginjal [Sumber: International Society of Nephrology 2010]
39
Ekstraksi dan partisi Ekstrak adalah suatu sediaan berupa kering, cair, atau kental, dibuat dengan menyaring simplisia nabati atau hewani menurut cara yang cocok diluar pengaruh cahaya matahari langsung. Sedangkan ekstraksi adalah penarikan zat pokok yang diinginkan dari bahan mentah dengan menggunakan pelarut yang dipilih sehingga zat yang diinginkan akan larut (Kurniastuty 2008).
Metode
ekstraksi yang tepat sangat tergantung pada tekstur dan kandungan air bahanbahan yang diekstraksi. Ekstraksi dapat dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya yaitu sebagai berikut:
1) Metode maserasi Metode maserasi dilakukan dengan cara merendam bahan-bahan tanaman yang telah dihaluskan atau digiling dalam pelarut terpilih, kemudian disimpan dalam jangka waktu tertentu dalam ruang gelap. 2) Metode perkolasi Metode perkolasi biasanya digunakan dengan cara melewatkan pelarut tetes demi tetes pada bahan-bahan tanaman yang diekstrak. 3) Metode sokletasi Metode sokletasi digunakan untuk mengekstrak komponen dari bahanbahan tumbuh-tanaman dengan menggunakan alat soklet.
Partisi ekstrak adalah proses pemisahan zat terlarut di dalam 2 macam zat pelarut yang tidak saling bercampur atau dengan kata lain perbandingan konsentrasi zat terlarut dalam pelarut organik dan pelarut air. Hal tersebut memungkinkan karena adanya sifat senyawa yang dapat terlarut dalam air dan adapula senyawa yang dapat larut dalam pelarut organik. Hasil dari suatu proses partisi akan menghasilkan fraksi-fraksi. Penentuan derajat kepolaran akan selalu berubah-ubah dan sangat ditentukan oleh sistem pelarut. Berdasarkan koefisien partisi dalam sistem oktanol-air, kandungan bahan aktif yang bersifat kurang polar dari komponenkomponen pelarut disebut dengan zat non polar. Jika kandungan bahan aktif tersebut lebih polar dari komponen-komponen pelarut disebut dengan zat polar,
40
sedangkan kandungan bahan aktif yang mempunyai kepolaran diantara pelarut dan ko-pelarut disebut zat semi polar (Anonim 2010). Ada 3 macam jenis pelarut, yaitu: 1) Pelarut Polar Kelarutan kandungan bahan aktif sebagian besar disebabkan oleh polaritas dari pelarut, yaitu momen dipolnya. Pelarut polar melarutkan zat terlarut ionik dan zat polar lain. 2) Pelarut Non Polar Aksi pelarut dari cairan non polar seperti hidrokarbon berbeda dengan zat polar. Pelarut non polar tidak dapat mengurangi gaya tarik-menarik antara ion elektrolit kuat dan lemah, karena tetapan dielektrik pelarut yang rendah. Pelarut juga tidak dapat memecahkan ikatan kovalen dan elektrolit serta berionisasi lemah karena pelarut non polar tidak dapat membentuk jembatan hidrogen dengan non elektrolit. Oleh karena itu, zat terlarut ionik dan polar tidak dapat larut atau hanya dapat larut sedikit dalam pelarut non polar. Tetapi, senyawa non polar dapat melarutkan zat terlarut non polar dengan tekanan yang sama melalui interaksi dipol induksi. 3) Pelarut Semi Polar Pelarut semi polar dapat menginduksi suatu derajat polaritas tertentu dalam molekul pelarut non polar, sehingga menjadi dapat larut dalam alkohol, contoh: benzen yang mudah dipolarisasikan, kenyataannya senyawa semi polar dapat bertindak sebagai pelarut perantara yang dapat menyebabkan bercampurnya cairan polar dan non polar.
41
MATERI DAN METODE
Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli 2009 - Juli 2010 di Bagian Patologi, Departemen Klinik, Reproduksi, dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.
Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah 25 ekor mencit jantan, pakan mencit, sekam sebagai alas kandang untuk mencit, ekstrak etanol, fraksi heksana, fraksi khloroform, fraksi etil asetat, dan fraksi residu etanol Q. indica, antihelmintik, eter, alkohol 70%, alkohol 80%, alkohol 90%, alkohol 95%, alkohol absolut, antibiotik, Buffer Neutral Formalin 10%, xylol, paraffin cair, Mayers Hematoksilin, lithium carbonat, eosin, dan carboxymethocellulose (CMCNa) 1%. Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah kandang mencit, tempat makan dan minum, kertas label, foto mikroskop, timbangan digital, mikrotom, mikroskop, kapas, gunting, pinset, pisau skalpel, spoit, sonde lambung, corong, sarung tangan, kantung plastik tempat spesimen, tissue cassette, automatic tissue processor, tissue embedding console, cover glass, dan gelas objek.
Metode penelitian 1. Persiapan kandang dan adaptasi mencit Sebelum dilakukan perlakuan terhadap mencit, terlebih dahulu disiapkan kandang yang terbuat dari boks plastik yang dimodifikasi dan ditutup dengan kawat. Kandang diberi sekam dan setiap 3 hari sekali diganti. Mencit yang digunakan sebanyak 25 ekor mencit jantan dengan umur 2-3 bulan dan memiliki bobot badan rata-rata 30 gram. Kandang yang digunakan sebanyak 5 buah dan masing-masing kandang berisi 5 ekor mencit jantan yang akan menerima perlakuan fraksi dengan dosis yang sama dan satu kelompok sebagai kontrol. Pada masa adaptasi, mencit diberi antibiotik (Ampicillin) dengan dosis 20 mg/kg BB
42
diberikan 1 kali selama 3 hari, dan antihelmintik (Pyrantel pamoate) dengan dosis 10 mg/kg BB untuk menghindari terjadinya infeksi bakteri dan parasit. 2. Metode Ekstraksi dan Partisi Ekstraksi : Tanaman (batang dari Q. indica) hasil koleksi dari lapangan dibersihkan kemudian dicacah dan dikeringkan di oven pada suhu 50°C. Sampel yang telah kering kemudian digiling dan ditimbang. Sampel dimaserasi dengan etanol selama 24 jam kemudian disaring berulang-ulang sampai filtrat yang diperoleh menjadi jernih. Filtrat dipekatkan dengan rotary-evaporator. Filtrat pekat dikeringkan kemudian ditimbang untuk menghitung rendemen ekstrak etanol. Partisi : Ekstrak etanol yang diperoleh ditimbang, dan dilarutkan lagi dengan sedikit etanol kemudian ditempatkan pada corong pisah. Selanjutnya, pada corong pisah ditambahkan pelarut heksana dan dikocok. Setelah dikocok, corong pisah didiamkan sehingga terbentuk 2 lapisan. Lapisan bawah adalah komponen yang terlarut dalam pelarut heksana. Lapisan bawah dikeluarkan dari corong pisah dan ditampung. Hal yang sama diulang sampai pelarut heksana menjadi jernih. Komponen yang terlarut dalam heksana dipekatkan dengan rotary-evaporator sehingga diperoleh fraksi heksana. Residu yang ada selanjutnya ditempatkan pada corong pisah lagi dan ditambahkan pelarut khloroform dan dikocok. Setelah didiamkan beberapa saat terbentuk 2 lapisan, komponen yang terlarut dalam pelarut khloroform terdapat pada lapisan atas. Hal ini diulang sampai khloroform tidak berwarna. Komponen yang terlarut dalam khloroform ditampung dan dipekatkan sehingga diperoleh fraksi khloroform. Residu yang ada selanjutnya dipartisi lagi dengan etil asetat, sehingga diperoleh fraksi etil asetat dan fraksi residu etanol. 3. Perlakuan terhadap mencit Setelah dilakukan adaptasi selama 2 minggu, masing-masing kelompok dicekok 100 mg/kg BB fraksinasi ekstrak batang gatep pahit (Q. indica) dengan menggunakan pelarut-pelarut yang berbeda kepolarannya yaitu fraksi heksana, fraksi khloroform, fraksi etil asetat, dan fraksi residu etanol, sedangkan satu kelompok sebagai kontrol. Pemberian dilakukan dengan menggunakan sonde
43
lambung sebanyak 0,1 ml/mencit selama 7 hari yang telah dilarutkan dengan carboxymethocellulose (CMC-Na) 1%. Kelompok mencit kontrol hanya diberi CMC-Na sebanyak 0,1 ml/mencit. 4. Nekropsi Setelah pemberian fraksinasi ekstrak batang gatep pahit (Q. indica) dengan menggunakan pelarut-pelarut yang berbeda kepolarannya selama 7 hari maka dilakukan nekropsi. Mencit yang akan dinekropsi terlebih dahulu dieuthanasi dengan menggunakan eter overdosis. Setelah mencit tereuthanasi, rongga abdomen mencit dibuka dengan menggunakan perasat bedah untuk mengambil sampel hati dan ginjal mencit. Kemudian sampel hati dan ginjal mencit difiksasi dengan Buffer Neutral Formalin 10% (pH netral) pada suhu ruang selama 48 jam. 5. Pembuatan preparat histopatologi Sampel organ hati dan ginjal mencit ditriming dengan tebal ± 0,3 cm, kemudian dimasukkan ke dalam tissue cassette. Jaringan kemudian didehidrasi dengan alkohol persentase bertingkat dan diinfiltrasi paraffin menggunakan automatic tissue processor. Selanjutnya dilakukan proses embedding dengan menggunakan alat tissue embedding console, yaitu proses penanaman organ ke dalam paraffin dan dibiarkan hingga mengeras dalam cetakan blok paraffin. Kemudian blok disimpan di dalam refrigerator (4-6°C) sebelum diiris dengan mikrotom. Agar jaringan tidak mengkerut maka paraffin yang telah dipotong diletakkan di atas air hangat. Potongan jaringan tersebut diletakkan di atas gelas objek yang telah diberi perekat putih telur. Jaringan tersebut kemudian disimpan dalam inkubator selama ± 24 jam. Kemudian dilanjutkan dengan pewarnaan HE (Hematoksilin Eosin). 6. Pengamatan histopatologi dan uji statistik Pengamatan sediaan histopatologi dilakukan menggunakan mikroskop cahaya dengan pembesaran 400x. Pengamatan dilakukan dengan parameter menghitung persentase jumlah sel yang mengalami lesi nekrosa/apoptosis dan degenerasi pada jaringan hati dan ginjal. Pada organ hati pengamatan dilakukan pada 5 lapang pandang sekitar vena sentralis dan di 5 lapang pandang sekitar vena porta. Sedangkan pada ginjal dilakukan pengamatan pada 10 lapang pandang pada tubulus proksimalis disekitar glomerulus. Hasil yang diperoleh dianalisa dengan
44
menggunakan uji ANOVA dan dilanjutkan dengan uji Duncan untuk mengetahui tingkat signifikan antar kelompok kontrol dan perlakuan.
45
HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Pemberian Fraksinasi Ekstrak Batang Gatep Pahit (Quassia indica) dari Pelarut yang Berbeda Kepolarannya Terhadap Perubahan Histopatologi Hati Mencit (Mus musculus)
Berdasarkan hasil pengamatan histopatologi organ hati mencit pada kelompok kontrol dan kelompok perlakuan fraksi pelarut ditemukan adanya perubahan pada parenkim. Perubahan parenkim yang terjadi pada sel hati (hepatosit) meliputi degenerasi hidropis, degenerasi lemak, dan nekrosa/apoptosis. Selain itu, pada interstitium juga terjadi perubahan berupa kongesti dan perluasan sinusoid. Kongesti dan perluasan sinusoid ini dapat dimungkinkan karena penggunaan eter overdosis. Eter merupakan anaesthesi umum yang sangat kuat, dapat menyebabkan dilatasi pembuluh darah kulit, menekan kontraktilitas otot jantung, dan pembuluh darah organ-organ (Ganiswara 1995). Tetapi, karena perubahan histopatologi tersebut bukan akibat dari pemberian fraksinasi ekstrak batang Q. indica dengan berbagai pelarut yang berbeda kepolarannya maka tidak termasuk dalam parameter yang diamati. Berikut ini adalah gambaran histopatologi jaringan hati mencit yang diberi fraksinasi ekstrak batang gatep pahit (Q. indica) dengan menggunakan pelarut khloroform (Gambar 17 dan 18).
46
Gambar 17
Gambaran histopatologi jaringan hati yang diberi fraksinasi ekstrak batang gatep pahit (Q. indica) dengan menggunakan pelarut khloroform. Lesi hepatosit berupa degenerasi hidropis (panah merah) dan hepatosit normal (panah biru). Pewarnaan HE; Bar: 2 m.
Gambar 18
Gambaran histopatologi jaringan hati yang diberi fraksinasi ekstrak batang gatep pahit (Q. indica) dengan menggunakan pelarut khloroform. Lesi hepatosit berupa degenerasi lemak (panah hijau) dan nekrosa (panah ungu). Pewarnaan HE; Bar: 2 m.
47
Lesi antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan fraksi pelarut dibandingkan dengan melakukan penghitungan persentase jumlah sel yang lesi di sekitar vena sentralis dan vena porta. Daerah pengamatan yang dilakukan disekitar vena sentralis dan vena porta dikarenakan oleh pada kasus masuknya zat toksik melalui saluran pencernaan, kerusakan hepatosit umumnya dimulai dari daerah tepi lobus atau daerah portal yang kemudian meluas hingga vena sentralis. Hal ini disebabkan karena hati mendapat suplai darah yang berasal dari saluran pencernaan melalui vena porta. Darah yang mengandung toksin yang berasal dari usus, masuk ke hati melalui vena porta, melewati sinusoid-sinusoid yang akhirnya sampai di vena sentralis (MacFarlane et al. 2000). Hasil dari penghitungan dan analisa statistik persentase jumlah hepatosit yang mengalami degenerasi hidropis, degenerasi lemak, dan nekrosa/apoptosis di sekitar vena sentralis dan vena porta tersebut disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1
Persentase lesi histopatologi hepatosit mencit yang diberi fraksinasi ekstrak batang gatep pahit (Q. indica) dengan menggunakan pelarut yang berbeda kepolarannya Perlakuan Lesi histopatologi (%) Fraksi
Normal
Pelarut
Degenerasi
Degenerasi
Nekrosa/
hidropis
lemak
Apoptosis
Kontrol
33.16 ± 16.46b
2.95 ± 4.89a
22.41±21.27a
41.48 ± 7.13ab
Heksana
26.71 ±
7.94b
19.56 ± 8.64a
0.00 ± 0.00a
55.04 ± 4.93c
Khloroform
19.14 ± 6.49ab
33.54 ±33.75ab
19.89 ±28.13a
27.42 ± 0.88a
Etil asetat
27.19 ± 13.32b
31.51 ±28.17ab
0.00 ± 0.00a
41.29 ±16.97ab
3.76 ± 3.14a
56.74 ± 7.72b
0.00 ± 0.00a
39.51 ± 6.07ab
Residu etanol
* Keterangan: Huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata dengan P<0.05
Berikut ini adalah diagram batang yang menunjukkan perbandingan lesi hepatosit mencit yang diberi fraksinasi ekstrak batang gatep pahit (Q. indica) dengan menggunakan pelarut yang berbeda kepolarannya.
Persentase
48
100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0%
Nekrosa/Apoptosis Degenerasi lemak Degenerasi hidropis Normal
Kontrol
Heksana Khloroform Etil asetat
Residu etanol
Perlakuan Gambar 19
Diagram batang yang menunjukkan perbandingan lesi hepatosit mencit yang diberi fraksinasi ekstrak batang gatep pahit (Q. indica) dengan menggunakan pelarut yang berbeda kepolarannya.
Berdasarkan Tabel 1, dapat dilihat bahwa perubahan hepatosit berupa degenerasi hidropis dan nekrosa/apoptosis terjadi pada kelompok kontrol maupun kelompok perlakuan fraksi pelarut. Hal ini mungkin saja terjadi karena mencit yang digunakan bukan mencit Specific Pathogen Free (SPF) sehingga ditemukan perubahan-perubahan tersebut. Akan tetapi pada penelitian ini, karena semua hewan percobaan dipelihara menggunakan fasilitas seragam maka lesi yang ditemukan pada kelompok kontrol dianggap sebagai titik nol dari lesi histopatologi yang ditemukan. Selain itu, perubahan hepatosit yang terjadi pada kelompok kontrol maupun kelompok perlakuan fraksi pelarut bukan disebabkan karena penggunaan carboxymethocellulose (CMC-Na). CMC-Na adalah pelarut yang aman dan tidak toksik jika digunakan. Hal ini karena CMC-Na merupakan turunan dari selulosa dan sering dipakai dalam industri pangan, atau digunakan dalam bahan makanan untuk mencegah terjadinya retrogradasi. Pembuatan CMC-Na adalah dengan cara mereaksikan NaOH dengan selulosa murni, kemudian ditambahkan Na-kloro asetat (Fennema et al. 1996). Menurut Fardiaz et al. (1987), ada empat sifat fungsional yang penting dari CMC-Na, yaitu untuk pengental, stabilisator, pembentuk gel dan beberapa hal sebagai pengemulsi. Persentase hepatosit normal dari hasil perhitungan statistik menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0.05) antara kelompok kontrol dengan kelompok
49
perlakuan fraksi pelarut residu etanol, sedangkan dengan kelompok perlakuan fraksi pelarut yang lainnya tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Persentase hepatosit normal paling tinggi terdapat pada kelompok kontrol dan yang paling rendah pada kelompok perlakuan fraksi pelarut residu etanol. Persentase lesi berupa degenerasi hidropis menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0.05) antara kelompok kontrol dengan kelompok perlakuan fraksi pelarut residu etanol, sedangkan dengan kelompok perlakuan fraksi pelarut lainnya tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Degenerasi merupakan salah satu awal terjadinya kerusakan hati akibat toksin dan kerusakan non fatal yang bersifat sementara (reversible), dan sel masih dapat pulih atau normal kembali apabila paparan toksin dihentikan (Harada et al. 1999). Pada kasus masuknya zat toksik melalui saluran pencernaan, degenerasi hidropis pada hepatosit umumnya dimulai dari daerah tepi lobus atau daerah portal yang kemudian meluas hingga vena sentralis. Hal ini disebabkan karena hati mendapat suplai darah yang berasal dari saluran pencernaan melalui vena porta. Darah yang mengandung toksin yang berasal dari usus, masuk ke hati melalui vena porta, melewati sinusoid-sinusoid yang akhirnya sampai di vena sentralis (MacFarlane et al. 2000). Degenerasi hidropis merupakan perubahan awal dari sel yang mengalami lesi dan kondisi dimana sel menerima asupan cairan lebih banyak dari normalnya sehingga sitoplasma sel membengkak (Jones et al. 2006). Pada sel-sel hati (hepatosit) yang mengalami akumulasi cairan, sel-sel tampak membesar, lebih pucat dari normal, sitoplasma nampak keruh (Gambar 17), dan jika pembengkakan cukup berat kadang-kadang ditemukan adanya vakuola. Hal ini terjadi karena adanya gangguan sistem metabolik dalam mempertahankan lingkungan ion. Degenerasi hidropis biasanya terjadi pada kondisi kekurangan nutrisi, ketuaan dan saat hepatosit beradaptasi pada peningkatan metabolisme hati (Kelly 1993). Menurut Cotran (1994) degenerasi hidropis terjadi karena gangguan pompa Na+ (sodium -pump) sehingga terjadi peningkatan pemasukan Ca++ dan H2O serta peningkatan pengeluaran K+. Mekanisme terjadinya degenerasi hidropis yaitu adanya akumulasi cairan yang disebabkan karena terjadinya kerusakan pompa keluar masuknya ion sodium (Na+)-potasium (K+) dari dan ke dalam sel hati (hepatosit). Secara normal, tiga ion
50
sodium akan dipompa keluar hepatosit untuk setiap dua molekul potasium yang dipompa ke dalam hepatosit. Tetapi, karena terjadi kerusakan pada membran hepatosit maka mengakibatkan ion sodium lebih banyak tertinggal di dalam dan terjadi osmosis sehingga cairan yang ada di sekitar hepatosit akan merembes masuk ke dalam sitoplasma dan mengakibatkan kebengkakan sel (Cheville 2006; McGavin dan Zachary 2006). Lesi berupa degenerasi lemak hanya terdapat pada kelompok kontrol dan kelompok perlakuan fraksi pelarut khloroform. Berdasarkan hasil perhitungan statistik, lesi berupa degenerasi lemak baik pada kelompok perlakuan fraksi pelarut maupun kontrol menunjukkan perbedaan yang tidak nyata. Persentase hepatosit yang paling banyak mengalami degenerasi lemak adalah kelompok kontrol. Hal ini diduga karena adanya ketidakseimbangan metabolisme lemak pada mencit kelompok kontrol sehingga mempengaruhi kadar lemak sel. Adanya akumulasi lemak dalam sitoplasma hepatosit biasanya terjadi karena terlalu banyak asupan lemak bebas ke dalam sel hati, hipoksia kronis yang menghambat kerja enzim pada metabolisme lemak, dan bisa juga karena peningkatan mobilisasi lemak dari jaringan adiposa. Beberapa mekanisme yang mengganggu transport dan metabolisme lemak yaitu defisiensi zat lipotrop (methionin dan kolin) dan gangguan kofaktor misalnya carnite yang penting dalam oksidasi lemak. Hati secara terus menerus mengambil trigliserida (lemak netral) dari darah dan mengubahnya menjadi lemak jaringan yang sebagian besar terdiri dari fosfolipid, untuk itu maka diperlukan methionin dan kolin. Jika zat lipotrop tidak ada atau kurang, maka trigliserida tertimbun di dalam sel-sel hati (King dan Alroy 1995). Selain itu, degenerasi lemak yang hanya ditemukan pada kelompok perlakuan fraksi pelarut khloroform disebabkan karena lemak dan asam lemak tinggi yang terdapat pada Q. indica akan terlarut pada pelarut khloroform (Robinson 1995). Lesi berupa nekrosa/apoptosis menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0.05) antara kelompok kontrol dengan kelompok perlakuan fraksi pelarut heksana, sedangkan dengan kelompok perlakuan fraksi pelarut lainnya menunjukkan perbedaan yang tidak nyata. Persentase nekrosa/apoptosis paling tinggi terdapat pada kelompok perlakuan fraksi pelarut heksana. Hal ini mungkin
51
dapat disebabkan karena kandungan bahan aktif Q. indica yang bersifat hepatotoksik pada kelompok perlakuan fraksi pelarut heksana telah menyebabkan kerusakan pada membran sel yang merupakan faktor sentral pada patogenesis nekrosa. Nekrosa dapat terjadi akibat perlukaan secara langsung pada organel sel dan perubahan morfologi sel yang bervariasi dari lisis hingga terjadinya koagulasi protein sel (Cheville 2006). Sitoplasma sel yang mengalami nekrosa akan terlihat lebih asidofilik (merah). Perubahan warna ini disebabkan oleh denaturasi protein sitoplasma dan kerusakan ribosom. Pada keadaan normal, ribosom bertanggung jawab terhadap warna basofil sitoplasma. Selain itu, perubahan sitoplasma pada hepatosit yang mengalami nekrosa diikuti juga dengan perubahan yang terjadi pada nukleus, yaitu piknosis (inti sel mengkerut), karyolisis (inti sel menghilang), dan karyoreksis (inti sel hancur) (Cheville 2006; Hayes 2007). Apoptosis adalah bentuk kematian sel terprogram atau kadang-kadang disebut sebagai tindakan bunuh diri sel. Apoptosis
atau
kematian
sel
terprogram
merupakan
mekanisme
homeostatik yang terkontrol secara genetik untuk mengeliminasi sel yang sudah tidak dipergunakan yang dapat menyebabkan kerusakan pada organ (Cheville 2006). Apoptosis dapat terjadi pada kondisi normal (fisologis) atau abnormal (patologis). Menurut Macfarlane et al. (2000), penyebab terjadinya apoptosis yang bersifat patologis yaitu radiasi, infeksi virus, tumor, dan toksin. Kematian sel apoptosis terlihat berwarna eosinofilik pada sitoplasma, pemadatan khromatin inti, dan ukuran sel yang mengecil (Haschek dan Seaux 1998). Pada apoptosis, kematian sel tidak melibatkan sel radang sedangkan nekrosa biasanya ditemukan sejumlah sel radang. Selain itu, kematian sel pada apoptosis biasanya terjadi pada sel atau sekelompok sel, sedangkan nekrosa melibatkan sekelompok besar sel hingga sebagian jaringan. Nekrosa dan apoptosis memiliki perbedaan mekanisme dalam proses terjadinya kematian sel, tetapi menurut Cheville (2006) perubahanperubahan yang umum terjadi pada nekrosa dan apoptosis sama, yaitu deplesi ATP, asidifikasi (penurunan pH) sitoplasma, peningkatan Ca2+ pada sitoplasma, dan aktivasi enzim litik.
52
Pengaruh Pemberian Fraksinasi Ekstrak Batang Gatep Pahit (Quassia indica) dari Pelarut yang Berbeda Kepolarannya Terhadap Perubahan Histopatologi Ginjal Mencit (Mus musculus) Berdasarkan hasil pengamatan histopatologi organ ginjal mencit pada kelompok kontrol dan kelompok perlakuan fraksi pelarut ditemukan adanya lesi pada epitel tubulus proksimalis. Perubahan yang terjadi meliputi degenerasi hidropis, degenerasi hialin, dan nekrosa/apoptosis. Selain itu, ditemukan juga lesi pada glomerulus. Adanya endapan protein pada ruang Bowman dan lumen tubulus mengindikasikan adanya gangguan filtrasi pada glomerulus. Kerusakan yang terjadi pada tubulus proksimalis ginjal dapat disebabkan oleh senyawa toksik yang lolos dari proses filtrasi glomerulus sehingga menyebabkan lesi pada sel epitel tubulus proksimalis. Masuknya senyawa toksik ke tubulus proksimalis dalam jumlah yang besar dapat menyebabkan terjadinya degenerasi atau kematian sel pada epitel tubulus proksimalis. Hal ini disebabkan pada tubulus proksimalis terjadi proses absorbsi dan sekresi zat, sehingga kadar zat toksik lebih tinggi (Lu 1995). Pada penelitian ini, lesi pada tubulus proksimalis dianggap mewakili lesi pada glomerulus. Berikut ini adalah gambaran histopatologi jaringan ginjal mencit yang diberi fraksinasi ekstrak batang gatep pahit (Q. indica) dengan menggunakan pelarut residu etanol (Gambar 21 dan 22).
53
Gambar 20
Gambaran histopatologi jaringan ginjal yang diberi fraksinasi ekstrak batang gatep pahit (Q. indica) dengan menggunakan pelarut residu etanol. Lesi berupa degenerasi hialin (panah hijau), degenerasi hidropis (panah merah), dan nekrosa (panah ungu). Pewarnaan HE; Bar: 2 m.
Gambar 21
Gambaran histopatologi jaringan ginjal yang diberi fraksinasi ekstrak batang gatep pahit (Q. indica) dengan menggunakan pelarut residu etanol. Lesi berupa nekrosa (panah ungu) dan normal (panah biru). Pewarnaan HE; Bar: 2 m.
54
Lesi antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan fraksi pelarut dibandingkan dengan melakukan penghitungan persentase jumlah sel epitel tubulus proksimalis yang mengalami lesi. Hasil dari penghitungan dan analisa statistik persentase jumlah epitel tubulus proksimalis yang mengalami lesi tersebut disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2
Persentase lesi histopatologi epitel tubulus proksimalis mencit yang diberi fraksinasi ekstrak batang gatep pahit (Q. indica) dengan menggunakan pelarut yang berbeda kepolarannya Perlakuan Lesi histopatologi (%) Fraksi
Normal
Pelarut
Degenerasi
Degenerasi
Nekrosa/
hidropis
hialin
Apoptosis
Kontrol
33.68±7.51a
8.33 ± 1.76bc
2.48±4.96a
55.52±3.44a
Heksana
33.95±4.43a
7.14 ± 1.26b
0.00±0.00a
58.91±3.18a
Khloroform
27.97±4.62a
10.57 ± 0.77bc
0.00±0.00a
61.46±3.85ab
Etil asetat
29.03±5.78a
3.69 ± 2.74a
0.00±0.00a
67.29±5.32b
23.60±9.25a
10.76 ± 1.86c
3.29±7.36a
62.35±3.92ab
Residu etanol
* Keterangan: Huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata dengan P<0.05
Berikut ini adalah diagram batang yang menunjukkan perbandingan lesi tubulus mencit yang diberi fraksinasi ekstrak batang gatep pahit (Q. indica)
Persentase
dengan menggunakan pelarut yang berbeda kepolarannya. 100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0%
Nekrosa/Apoptosis
Degenerasi hialin Degenerasi hidropis Normal Kontrol
Heksana
Khloroform Etil asetat
Residu etanol
Perlakuan Gambar 22
Diagram batang yang menunjukkan perbandingan lesi tubulus mencit yang diberi fraksinasi ekstrak batang gatep pahit (Q. indica) dengan menggunakan pelarut yang berbeda kepolarannya.
55
Persentase sel epitel tubulus normal dari hasil perhitungan statistik pada Tabel 2 menunjukkan perbedaan yang tidak nyata antara kelompok kontrol dengan semua kelompok perlakuan fraksi pelarut. Kerusakan yang terjadi pada tubulus ginjal dapat disebabkan oleh senyawa toksik yang lolos dari proses filtrasi sehingga menyebabkan lesi pada sel epitel tubulus. Masuknya senyawa toksik ke tubulus dalam jumlah yang besar dapat menyebabkan terjadinya degenerasi atau kematian sel pada epitel tubulus. Pada gambaran mikroskopis, sel-sel epitel tubulus akan membengkak dengan sitoplasma granuler karena perpindahan air ekstraseluler ke dalam sel (Robbins et al. 1995). Aliran cairan ini terjadi karena toksin menyebabkan perubahan muatan listrik permukaan sel epitel tubulus, transport
aktif
ion
dan
asam
organik,
serta
kemampuan
untuk
mengkonsentrasikannya. Hal ini mengakibatkan tubulus rusak, aliran kemih terganggu, tekanan intra tubulus meningkat, dan kecepatan filtrasi glomerulus menurun (Wijaya dan Miranti 2003). Persentase sel epitel tubulus yang mengalami degenerasi hidropis menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0.05) antara kelompok kontrol dengan kelompok perlakuan fraksi pelarut etil asetat, sedangkan dengan kelompok perlakuan fraksi pelarut yang lainnya tidak menunjukkan perbedaan yang tidak nyata. Tetapi, nilai persentase tertinggi sel epitel tubulus yang mengalami degenerasi hidropis adalah kelompok perlakuan fraksi pelarut residu etanol sedangkan yang terendah adalah kelompok perlakuan fraksi pelarut etil asetat. Rendahnya persentase degenerasi hidropis pada fraksi etil asetat dapat disebabkan karena adanya flavonoid. Menurut Harborne (1996), senyawa flavonoid dapat larut dalam pelarut semi polar seperti etil asetat. Flavonoid memiliki respon biologi secara alami dan memiliki fungsi sebagai antiinflamasi (peradangan) dan anti oksidan yang dapat melindungi tubuh dari radikal bebas. Selain itu, menurut Middleton et al. (2000) flavonoid dapat meningkatkan fungsi sel pertahanan. Degenerasi hidropis adalah kerusakan sel yang bersifat sementara (reversible) dan terjadi karena adanya gangguan membran sel sehingga banyak cairan masuk ke dalam sitoplasma serta menimbulkan vakuola-vakuola berukuran kecil sampai besar. Sel membutuhkan ATP-ase untuk mengaktifkan pompa sodium-potasium dalam pengaturan keluar dan masuknya ion. Infeksi akut sel akan menyebabkan
56
air dan protein tetap berada dalam sitoplasma. Pompa sodium lapisan membran akan memindahkan ion dan air ke dalam retikulum endoplasma, hal ini yang akan menyebabkan kebengkakan sel yang disebut degenerasi hidropis (Cheville 2006). Berdasarkan uji statistik yang telah dilakukan, persentase sel epitel tubulus yang mengalami degenerasi hialin menunjukkan perbedaan yang tidak nyata antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan fraksi pelarut. Tetapi, nilai persentase tertinggi sel epitel tubulus yang mengalami degenerasi hialin adalah kelompok perlakuan fraksi pelarut residu etanol. Adanya degenerasi hialin pada kelompok kontrol dapat disebabkan oleh disfungsi glomerulus sehingga bahanbahan asing termasuk molekul-molekul protein akan menempati ruang Bowman dan akhirnya akan masuk ke lumen tubulus yang dapat menyebabkan terjadinya kerusakan pada tubulus (Jones et al. 2006). Terjadinya disfungsi glomerulus menyebabkan protein dengan berat molekul lebih besar akan lolos menjadi praurin dan menyebabkan terjadinya kerusakan epitelium tubulus, makin banyak protein yang berada dalam lumen akan direabsorbsi menyebabkan timbulnya degenerasi hialin. Ditemukannya degenerasi hialin pada tubulus ginjal merupakan indikator gangguan filtrasi glomerulus (Hartono 1992). Menurut Cheville (2006), akumulasi sejumlah massa protein di dalam sel dinamakan badan inklusi protein. Badan inklusi protein ini dapat ditemukan pada sitoplasma atau inti sel. Akumulasi protein intraselluler dapat terjadi akibat absorbsi, sekresi, zat toksik, infeksi virus, protein agregasi, dan polimerasi. Akumulasi badan protein akibat absorbsi sering dijumpai pada sel epitel tubulus ginjal dan sel lain yang dapat melakukan fungsi absorbsi. Jika ada massa protein yang berada dipermukaan sel, maka protein tersebut akan diabsorbsi ke dalam sel. Pada kondisi gagal ginjal, plasma albumin akan lolos dari saringan glomerulus, melewati tubulus dan dikeluarkan sebagai albuminuria. Dalam tubulus, protein yang lewat akan diabsorbsi dan ditimbun di dalam fagolisosom. Secara mikroskopis, akumulasi protein dalam fagolisosom akan terlihat sebagai butiranbutiran yang berwarna eosinofilik dalam sitoplasma dan dinamakan butir-butir hialin (hyaline droplets). Selain mengalami degenerasi hidropis dan degenerasi hialin, sel epitel tubulus juga mengalami kerusakan sel berupa nekrosa/apoptosis. Sel epitel
57
tubulus yang mengalami nekrosa/apoptosis menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0.05) antara kelompok kontrol dengan kelompok perlakuan fraksi pelarut etil asetat, sedangkan dengan kelompok perlakuan fraksi pelarut lainnya menunjukkan perbedaan yang tidak nyata. Tingginya persentase nekrosa/apoptosis pada fraksi etil asetat diduga selain flavonoid ditemukan substansi lain yang bersifat toksik, seperti quassinoid (Kaur et al. 2009) dan alkaloid (Harborne 1972). Kandungan bahan aktif nefrotoksik tersebut diduga menyebabkan kerusakan membran sel yang merupakan faktor sentral pada patogenesis nekrosa. Kerusakan membran sel diikuti
pembengkakan
lisosom
dan
vakuolisasi
mitokondria
sehingga
menyebabkan penurunan kapasitas untuk membentuk ATP. Kalsium ekstrasel masuk ke dalam sel dan cadangan kalsium intrasel dikeluarkan, mengakibatkan aktifasi enzim yang dapat mengkatabolisasi membran, protein, ATP, dan asam nukleat, selanjutnya mendegradasi komponen sitoplasma dan nukleus. Degradasi nukleus ini menyebabkan sel mati (nekrosa) (Robbins et al. 2007). Apoptosis ditandai dengan sel yang menyusut, mitokondria pecah dan dibebaskannya sitokrom–c membentuk penonjolan seperti gelembung pada permukaan sel, khromatin (protein DNA) dalam nukleus terurai, sel pecah menjadi pecahanpecahan kecil (badan apoptosis) namun membran sel tetap utuh. Apoptosis memperlihatkan struktur sel dengan sitoplasma jelas karena lebih eosinofilik dan memiliki inti basofilik dengan membran inti yang telah mengalami pengkeriputan (Cheville 2006). Derajat perubahan kerusakan bergantung pada sifat dan jumlah senyawa yang masuk ke dalam aliran darah, karena efektivitas toksin sangat bergantung pada tiga faktor, yaitu jenis senyawa, konsentrasi, dan target organ (Hock dan Elstner 2005). Pola kerusakan pada organ hati dan ginjal tidak sejalan. Hal ini terlihat dari persentase lesi histopatologi pada organ hati dan ginjal. Pada organ hati, terjadi peningkatan degenerasi hidropis sedangkan organ ginjal sebaliknya. Sedangkan kerusakan yang berupa nekrosa/apoptosis pada organ hati mengalami penurunan persentase nekrosa/apoptosis dan pada organ ginjal sebaliknya. Pada organ hati, fraksi pelarut yang paling buruk adalah fraksi heksana sedangkan pada organ ginjal, fraksi heksana menjadi fraksi yang paling baik. Hal ini diduga karena kandungan bahan aktif yang bersifat toksik pada Q. indica di hati telah
58
mengalami proses biotransformasi, sehingga saat diekskresikan ke ginjal, sebagian besar toksikan menjadi tidak toksik lagi. Sebagian besar toksikan memasuki tubuh melalui sistem gastrointestinal, dan setelah diserap, toksikan dibawa oleh vena porta hepatica ke hati. Kadar enzim yang memetabolisme xenobiotik dalam hati juga tinggi (terutama sitokrom P-450), ini membuat sebagian besar toksikan menjadi tidak toksik dan lebih mudah larut air, dan karenanya lebih mudah diekskresikan (Lu 1995). Toksikan terdistribusi ke berbagai bagian tubuh termasuk organ ekskresi sehingga siap dikeluarkan dari dalam tubuh. Di dalam tubuh toksikan akan mengalami biotransformasi. Biotransformasi adalah suatu proses yang umumnya mengubah senyawa asam menjadi metabolit, kemudian membentuk konjugat (Lu 1995). Kandungan bahan aktif yang terdapat pada Q. indica adalah gula pereduksi, lemak dan asam lemak tinggi, glikosida steroid, flavonoid, brucein, xanthin, quassinoid, triterpenoid dan sterol, dan alkaloid (Anonim 2007). Triterpenoid merupakan komponen aktif dalam tanaman obat yang dapat digunakan dalam pengobatan penyakit diabetes, gangguan menstruasi, gangguan kulit, kerusakan hati, dan malaria (Robinson 1995). Selain itu, kandungan bahan aktif lain yang terdapat pada Q. indica adalah quassinoid. Quassinoid atau yang dikenal juga sebagai simaroubolides merupakan senyawa kimia yang paling penting pada jenis tanaman dari famili Simaroubaceae (Ong 2001). Quassinoid merupakan terpenoid teroksigenasi yang menghambat sintesis protein pada sel mamalia dan juga parasit malaria (Pouplin et al. 2007). Menurut Kitagawa et al. (1996), quassinoid pada Q. indica memiliki aktivitas antiplasmodial in vitro. Umumnya quassinoid bersifat sitotoksik, tetapi beberapa senyawa seperti glaucarubinone relatif selektif terhadap P. falciparum secara in vitro, tetapi akan bersifat toksik secara in vivo (Kaur et al. 2009). Selain quassinoid yang bersifat antiplasmodial dengan cara menghambat sintesis protein maka famili Simaroubaceae yang juga mengandung alkaloid dapat bersifat antimalaria meskipun aktivitasnya lebih rendah dari quassinoid (Willcox et al. 2004). Sama halnya seperti quassinoid, alkaloid juga memiliki efek toksik. Menurut Harborne (1972), efek toksik alkaloid dapat dibagi menjadi 2, yaitu efek perakut dan efek sitotoksik. Efek perakut dapat mempengaruhi gangguan sistem
59
syaraf pusat, menyebabkan konvulsi dan kematian dalam beberapa menit. Sedangkan efek sitotoksik adalah dimana sel-sel diberbagai macam organ seperti hati, paru-paru, jantung, ginjal, dan otak akan menjadi nekrosa. Hal ini dapat mengakibatkan kematian hewan dari beberapa hari sampai tahun setelah menerima alkaloid, dengan kerusakan jaringan yang dapat diamati secara makroskopis atau mikroskopis. Efek toksik dari alkaloid paling sering terlihat di hati. Berdasarkan uraian mengenai kandungan bahan aktif dari Q. indica diatas, kemungkinan yang menyebabkan kerusakan sel hati (hepatosit) dan sel epitel tubulus adalah quassinoid dan alkaloid. Hal ini dikarenakan quassinoid dan alkaloid memiliki efek toksik (Kaur et al. 2009 dan Harborne 1972). Sifat kepolaran dari pelarut-pelarut akan mempengaruhi zat-zat aktif yang akan terlarut pada pelarut-pelarut yang digunakan, contohnya adalah senyawa flavonoid yang bersifat semi polar akan terlarut pada etil asetat (Harborne 1996). Kandungan bahan aktif Q. indica yang bersifat toksik terhadap organ hati mencit dengan dosis 100 mg/kg BB selama tujuh hari telah merusak hepatosit berupa degenerasi hidropis, degenerasi lemak, dan nekrosa/apoptosis. Bahan aktif toksik tersebut setelah diekskresikan melalui ginjal masih merusak sel epitel tubulus, kerusakan tersebut meliputi degenerasi hidropis, degenerasi hialin, dan nekrosa/apoptosis. Adanya beberapa data hasil uji yang memiliki nilai lebih kecil daripada standar deviasi disebabkan oleh tidak meratanya lesi yang ditemukan pada masing-masing mencit dari tiap kelompok perlakuan. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya oleh Praptiwi (komunikasi pribadi), didapatkan ED50 dari ekstrak Q. indica yang mematikan 50% Plasmodium berghei secara in vivo sebesar 115.5 mg/kg BB, sehingga untuk mematikan 100% P. berghei diperlukan dosis dua kali lebih besar yaitu 231 mg/kg BB. Dosis tersebut sudah mendekati level toksik, sehingga penggunaannya harus memperhatikan terhadap adanya kerusakan hati dan ginjal. Pemakaian dosis 100 mg/kg BB pada penelitian ini masih dibawah ED50. Pada penelitian ini menggunakan uji in vivo, dan hasil dari uji in vivo ini menunjukkan adanya efek toksik terhadap pemberian fraksinasi ekstrak batang Q. indica dari berbagai pelarut yang berbeda kepolarannya (heksana, khloroform,
60
etil asetat, dan residu etanol) terhadap organ hati dan ginjal pada hewan coba mencit (Mus musculus). Hasil uji in vivo tidak dapat disamakan dengan hasil uji in vitro, karena pada uji in vivo melibatkan banyak organ sistem, sedangkan jika penelitian dengan uji in vitro yang menggunakan sel kultur, biasa dilakukan pada satu jenis sel saja. Pemilihan dosis 100 mg/kg BB didasarkan atas penelitian sebelumnya. Pada penelitian sebelumnya (Agustiyanti 2008), peneliti menggunakan dosis bertingkat yaitu 1, 10, 100, 1000 mg/kg BB, dan hasil penelitiannya menunjukkan bahwa pada dosis 1000 mg/kg BB ekstrak Q. indica memberikan efek toksik terhadap organ hati dan ginjal mencit. Maka dari itu, pada penelitian ini menggunakan dosis dibawah 1000 mg/kg BB yaitu 100 mg/kg BB. Tetapi, pada dosis tersebut, fraksinasi ekstrak batang Q. indica dengan menggunakan pelarutpelarut yang berbeda kepolarannya telah menimbulkan lesi pada hepatosit dan epitel tubulus proksimalis ginjal. Untuk mengurangi kerusakan organ-organ tersebut, dapat dilakukan dengan pemakaian fraksinasi ekstrak batang Q. indica dengan menggunakan pelarut yang berbeda kepolarannya (heksana, khloroform, etil asetat, dan residu etanol) di bawah tujuh hari.
61
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan hasil penelitian maka dapat disimpulkan bahwa: 1.
Pemberian fraksinasi ekstrak batang gatep pahit (Q. indica) dengan menggunakan pelarut yang berbeda kepolarannya (heksana, khloroform, etil asetat, dan residu etanol) memberi efek toksik terhadap organ hati dan ginjal mencit (Mus musculus).
2.
Fraksi pelarut yang menyebabkan tingkat kerusakan terendah pada hepatosit adalah khloroform sedangkan yang menyebabkan tingkat kerusakan terparah adalah heksana.
3.
Fraksi pelarut yang menyebabkan tingkat kerusakan terendah pada sel epitel tubulus ginjal adalah heksana sedangkan yang menyebabkan tingkat kerusakan terparah adalah etil asetat.
Saran Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui kandungan bahan aktif yang terdapat pada pelarut-pelarut yang digunakan (heksana, khloroform, etil asetat, dan residu etanol) dan perlu dilakukan penelitian dengan menggunakan hewan coba yang Specific Pathogen Free (SPF).
62
DAFTAR PUSTAKA Agustiyanti DA. 2008. Pengaruh Pemberian Ekstrak Tumbuhan Obat Antimalaria Quassia indica Terhadap Toksikopatologi Organ Hati dan Ginjal Mencit (Mus musculus). [Skripsi]. Sarjana Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor [Anonim]. 2005. World Journal of Gastroenterology. [terhubung berkala]. http://www.wjgnet.com/1007-9327/11/2579.asp. [20 Juni 2010] [Anonim]. 2007. Memorias do Instituto Oswaldo. [terhubung berkala]. http://memorias.ioc.fiocruz.br/57922drs.htm. [17 Februari 1010] [Anonim]. 2008. Mouse Lecture & Wet Lab. [terhubung berkala]. http://www.uprh.edu/~RISE/activities/mouse/mouse.html. [4 Maret 2010] [Anonim]. 2009. Degenerasi Hialin pada Ginjal. [terhubung berkala]. http://www.abcam.com/ps/datasheet/images/ab60940ihc.jpg. [4 April 2010] [Anonim]. 2009. Equine Cholelithiasis and Secondary Hepatic Encephalopathy. [terhubung berkala]. http://www.cvm.tamu.edu/SCAVMA/acvp/Cholelithiasis/Cholelithiasis.sh tml. [12 Maret 2010] [Anonim]. 2009. Nekrosis Hati. [terhubung berkala]. http://www.pathology.med.umich.edu/greensonlab/Lyticdeath.jpg. [16 Juni 2010] [Anonim]. 2010. Bab 1 Tinjauan pustaka (Masalah Kelarutan). [terhubung berkala].http://digilib.ubaya.ac.id/skripsi/farmasi/F_228_1810257/F_228_ Bab%20I.pdf. [20 Desember 2010] [BPOM-RI] Badan Pengawas Obat dan Makanan-Republik Indonesia. 2010. Kebijakan Pengawasan Obat Dalam Jaminan Mutu Obat Generik. [terhubung berkala]. http://www.scribd.com/doc/31073806/KebijakanPengawasan-Obat-Dalam-Jaminan-Mutu-Obat-Generik. [26 Oktober 2010] Carter dan Diggs. 1977. Parasitic Protozoa. New York: Academic Press [CDC] Centers for Disease Control. 2010. Malaria Life Cycle. [terhubung berkala].http://www.dpd.cdc.gov/dpdx/HTML/Frames/MR/Malaria/body_ Malaria_page1.htm. [12 Maret 2010] Cheville NF. 2006. Introduction to Veterinary Pathology. 3rd ed. USA: Iowa State University Press
63
Cotran. 1994. Robbin’s Pathologic Basis of Disease. W.B. Saunders Company. Philadelphia Eroschenko PV. 2003. Atlas Histologi di Fiore Dengan Korelasi Fungsional. Terjemahan Jan Tambayong : Edisi 9. Jakarta: EGC Fardiaz S, Ratih D, dan Slamet B. 1987. Risalah Seminar Bahan Tambahan Kimiawi (Food Additive). Bogor: Institut Pertanian Bogor Fennema OR, Karen M, dan Lund DB. 1996. Principle of Food Science. The AVI Publishing: Connecticut Gaedcke F. 2003. Herbal Medicinal Products. Germany: CRC Press Gandahusada S, Ilahude HD, dan Pribadi W. 2000. Parasitologi Kedokteran. Edisi ketiga. Jakarta: FKUI Ganiswara SG. 1995. Farmakologi dan Terapi. Edisi ke-4. Jakarta: Gaya baru Gibson J. 2003. Fisiologi dan Anatomi Modern Untuk Perawat. Edisi Ke-2. Terjemahan : Bertha Sugiarto. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC Goh SH, Chuah CH, Moh JSL, dan Soepadmo E. 1995. Malaysian Medicinal Plants for The Treatment of Cardiovascular Disease. Journal of Ethnobotany (251): 183-187 Guyton AC dan Hall JE. 1997. Buku Ajar Kedokteran. Edisi 7. Jakarta: EGC Harada T, Akiko E, Gary AB, dan Robert RM. 1999. Liver and Gallbladder. Di dalam: Maronpot RR, editor. Pathology of the Mouse: Reference and Atlas. United States of America: Cache River Press Harborne JB. 1972. Phytochemical Ecology. London: Academic Press Harborne JB. 1996. Metode Fitokimia, Terjemahan Padmawinata K. Edisi Kedua. Bandung: ITB Hariana A. 2004. Tanaman Obat & Khasiatnya. Seri 1. Depok: Penebar Swadaya Hartono. 1992. Histologi Veteriner. Fakultas Kedokteran Hewan. Bogor: Institut Pertanian Bogor Haschek WM dan Seaux CG. 1998. Fundamentals of Toxicologic Pathology. London: Academic Press Hayes MA. 2007. Pathophysiology of The Liver. USA: Saunder Company
64
Hock B dan Elstner EF. 2005. Plant Toxicology. 4th ed. New York: Marcel Dekker [ISN] International Society of Nephrology. 2010. Kidney International. [terhubung berkala]. http://www.nature.com/ki/journal/v71/n11/fig_tab/5002179f1.html. [12 Maret 2010] [ITIS] Integrated Taxonomic Information System. 2010. Taxonomy and Nomenclature. [terhubung berkala]. http://www.itis.gov/servlet/SingleRpt/SingleRpt. [2 Maret 2010] Jones TC, Ronald DH, Norval WK. 2006. Veterinary Pathology. Edisi ke-6. Blackwell Publishing. United State of America. Hal 17-79 Junquiera LC dan Carneiro J. 1997. Histologi Dasar. Edisi 8. Alih Bahasa Jan Tambayong. Jakarta: EGC Kaur K, Jain M, Kaur T, dan Jain R. 2009. Antimalarials from nature. India: Department of Medicinal Chemistry, National Institute of Pharmaceutical Education and Research, Sector 67, S. A. S. Nagar, Punjab 160 062. [3 Maret 2009] Kelly WR. In: Jubb KVF, Kennedy PC, Palmer N. 1993. Pathology of Domestic Animals. 4th Vol 2. London: Academic Press King NW dan Alroy J. 1995. Intracellular and Extracellular Depositions; Degenerations. In Thomas Carlyle Jones, Ronald Duncan Hunt, Norval William King (editor). Veterinary Pathology. Sixth Edition. Williams and Walkins. Balitmore. United State of America Kitagawa I, Mahmud T, Yokota K, Nakagawa S, Mayumi T, Kobayashi M, dan Shibuya H. 1996. Indonesian medicinal plants XVII. Characterization of quassinoids from the stems of Quassia indica. Chem. Pharm. Bull. 44, 2009–2014 Kurniastuty A. 2008. Pengaruh Pemberian Fraksi Etil Asetat Ekstrak Etanol 70% Herba Meniran (Phyllanthus niruri L.) Terhadap Penurunan Kadar Asam Urat Mencit Putih Jantan Galur Balb-C Hiperurisemia. [Skripsi]. Sarjana Farmasi, Universitas Muhammadiyah Surakarta. http://etd.eprints.ums.ac.id/999/1/K100040204.pdf. [29 Juli 2010] Lane PW. 1976. Laboratory Mouse. The UFAW Handbook on the Care and Management of Laboratory Animal. Edinburg London New York: Churchill Livingstone.
65
Leeson CR, Leeson TS, dan Paparo AA. 1993. Atlas Berwarna Histologi. Jakarta: Binarupa Aksara Lemmens RHMJ dan Bunyapraphatsara N. 2003. Quassia L. In Prosea Plant Resources of South–East Asia 12 (2) Medicinal and Poisonous Plants. Ed2. Hal 463-466 Lu CF. 1995. Toksikologi Dasar. Asas, Organ Sasaran, dan Penilaian Resiko. Penerjemah: Edi Nugroho. Jakarta: Universitas Indonesia Macfarlane PS, Robin R, dan Robin C. 2000. Pathology Illustrated. Ed ke-5. London. Churchill Livingstone Malole MBM dan Pramono CSU. 1989. Penggunaan Hewan-Hewan Percobaan di Laboratorium. Departemen Pendidikan dan Kebudayan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Bioteknologi. Institut Pertanian Bogor: Bogor McGavin MD dan Zachary JF. 2006, Pathologic Basis of Veterinary Disease. Mosby Inc. Philadelphia USA Middleton Jr, Kandaswami C, dan Theoharides TC. 2000. The Effects of Plant Flavonoids and Mammalian Cells: Implications for Inflammation, Heart, Disease, and Cancer. Pharmacol Rev 52: 673-751 Murtidjo BA. 1992. Pengendalian Hama dan Penyakit Hewan. Yogyakarta: Kanisius Ong HC. 2001. Quassia L. In: Valkenburg, J.L.C.H. van and N. Bunyapraphatsara (ed.). Plant Resources of South-East Asia 12 (2): Medicinal and Poisonous Plants. Leiden: Backhuys Publishers Pouplin JN, Tran TH, Phan TA, Dolecek C, Farrar J, Caron P, Bodo B, dan Grellier P. 2007. Antimalarial and cytotoxic activities of ethnopharmacologically selected medicinal plants from South Vietnam. Journal of Ethnopharmacology 109: 417-427 Price SA dan Wilson LM. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi Ke-6. Volume 1. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 182-219 Ressang AA. 1984. Patologi Khusus Veteriner. Edisi 2. Denpasar: Percetakan Bali Robbins SL, Kumar V, Oswari J. 1995. Buku Ajar Patologi I (Basic Pathology). Jakarta: EGC Admawinata
66
Robbins SL, Cotran RS, dan Kumar V. 2007. Buku Ajar Patologi. Edisi 7 Vol 1. Jakarta: Buku Kedokteran EGC Robinson T. 1995. Kandungan Organik Tanaman Tinggi. Edisi ke-6. Penerjemah Prof Dr. Kosasih. Bandung: FMIPA ITB [SIU SOM] Southern Illinois University School of Medicine. 2010a. Liver. [trehubung berkala]. http://www.siumed.edu/~dking2/erg/GI151b.htm. [16 Juni 2010] [SIU SOM] Southern Illinois University School of Medicine. 2010b. Liver. [terhubung berkala] http://library.med.utah.edu/WebPath/LIVEHTML/LIVER029.html. [16 Juni 2010] [SIU SOM] Southern Illinois University School of Medicine. 2010c. Liver. [terhubung berkala]. http://library.med.utah.edu/WebPath/LIVEHTML/LIVER032.html. [16 Juni 2010] [SIU SOM] Southern Illinois University School of Medicine. 2010d. Liver. [terhubung berkala]. http://library.med.utah.edu/WebPath/CINJHTML/CINJ014.html. [16 Juni 2010] Smith JB dan Mangkoewidjojo. 1988. Pemeliharaan, Pembiakan, dan Penggunaan Hewan Percobaan di Daerah Tropis. Jakarta: Universitas Indonesia (UI-Press) Stinson dan Calhoun. 1992. Buku Teks Histologi Veteriner. Edisi Ke-3. Terjemahan : R. Hartono. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia Press. 392-394, 399 Sudiono J, Kurniadhi B, Hendrawan A, dan Djimantoro B. 2001. Penuntun Praktikum Patologi Anatomi. Jakarta: EGC Tabbu CR. 2002. Penyakit Ayam dan Penanggulangannya. Volume 2. Yogyakarta: Kanisius [Umfiasi] Universitatae De Medicina Si Farmaciae. 2009a. Atlas of Pathology (2nd Edition). [terhubung berkala]. http://www.pathologyatlas.ro/fattychange-liver-steatosis-pathology.php. [12 Maret 2010] [Umfiasi] Universitatae De Medicina Si Farmaciae. 2009b. Atlas of Pathology (2nd Edition). [terhubung berkala]. http://www.pathologyatlas.ro/liverbiliary-tract-pancreas-pathology.php. [12 Maret 2010]
67
[Umfiasi] Universitatae De Medicina Si Farmaciae. 2009c. Atlas of Pathology (2nd Edition). [terhubung berkala]. http://www.pathologyatlas.ro/viralchronic-moderate-hepatitis.php. [12 Maret 2010] Underwood JCE. 1992. General and Systemic Phatology. University of Sheffield Medical School. Sheffield Verlander JW. Renal Physiology. In : Cunningham. 2002. Textbook Veterinary Physiology. Edisi 3. Philadelphia: WB Saunder Company Wiart C. 2006. Medicinal Plants of Asia and the Pacific. Taylor & Francis Group, LCC. CRC Press Widyaningsih L. 2009. Pengaruh Penambahan Kosolven Propilen Glikol Terhadap Kelarutan Asam Mefenamat. [Skripsi]. Sarjana Fakultas Farmasi, Universitas Muhammadiyah Surakarta. http://etd.eprints.ums.ac.id/3381/1/K100040237.pdf. [26 Oktober 2010] Wijaya I dan Miranti PI. 2003. Patologi Ginjal & Saluran Kemih, Edisi II. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro Willcox M, Bodeker G, dan Rasoanaivo P. 2004. Traditional Medicinal Plants and Malaria, Vol 4: The Traditional Herbal Medicine for Modern Times Series. Boca Ratoon, C.A.: CRC Press Wulandari ED. 2003. Kajian Toksikopatologi Ekstrak Eter Daun Kelor pada Mencit Putih. [Skripsi]. Sarjana Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor
68
LAMPIRAN 1.
Lesi hepatosit Degenerasi lemak Descriptives
Respon 95% Confidence Interval for Mean N Khloroform Etil asetat Heksana Residu etanol Kontrol Total
Mean
Std. Deviation Std. Error Lower Bound Upper Bound Minimum Maximum
2 19.8937 28.13400 19.89374 5 .0000 .00000 .00000 3 .0000 .00000 .00000 5 .0000 .00000 .00000 4 22.4125 21.26993 10.63496 19 6.8125 15.03286 3.44877
-232.8802 .0000 .0000 .0000 -11.4327 -.4331
272.6677 .0000 .0000 .0000 56.2577 14.0581
.00 .00 .00 .00 .20 .00
ANOVA Respon Sum of Squares
Df
Mean Square
Between Groups Within Groups
1919.012 2148.752
4 14
Total
4067.763
18
Respon a,,b
Duncan
Subset for alpha = 0.05 Pelarut Etil asetat Heksana Residu etanol Khloroform Kontrol Sig.
N
1 5 3 5 2 4
.0000 .0000 .0000 19.8937 22.4125 .050
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.371. b. The group sizes are unequal. The harmonic mean of the group sizes is used. Type I error levels are not guaranteed.
479.753 153.482
F 3.126
Sig. .049
39.79 .00 .00 .00 49.20 49.20
69
Degenerasi hidropis Descriptives Respon 95% Confidence Interval for Mean
Khloroform Etil asetat Heksana Residu etanol Kontrol Total
Std. Deviation
N
Mean
2 5 3 5 4 19
33.5431 31.5053 19.5609 56.7391 2.9516 30.4630
Std. Error Lower Bound Upper Bound Minimum Maximum
33.74579 23.86188 28.16797 12.59710 8.64429 4.99078 7.72152 3.45317 4.88589 2.44295 25.42168 5.83213
-269.6508 -3.4699 -1.9127 47.1515 -4.8230 18.2102
336.7370 66.4804 41.0345 66.3266 10.7261 42.7159
9.68 5.74 9.60 45.27 .00 .00
ANOVA Respon Sum of Squares Between Groups Within Groups Total
Df
Mean Square
6860.645 4772.067
4 14
11632.712
18
1715.161 340.862
Respon a,,b
Duncan
Subset for alpha = 0.05 Pelarut
N
1
2
Kontrol
4
2.9516
Heksana
3
19.5609
Etil asetat Khloroform Residu etanol
5 2 5
31.5053 33.5431
31.5053 33.5431 56.7391
.066
.113
Sig.
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.371. b. The group sizes are unequal. The harmonic mean of the group sizes is used. Type I error levels are not guaranteed.
F 5.032
Sig. .010
57.40 67.85 25.10 66.58 10.21 67.85
70
Nekrosa/apoptosis Descriptives Respon 95% Confidence Interval for Mean N Khloroform Etil asetat Heksana Residu etanol Kontrol Total
2 5 3 5 4 19
Mean
Std. Deviation
Std. Error
Lower Bound Upper Bound Minimum Maximum
27.4238 .88156 .62335 41.2957 16.97236 7.59027 55.0401 4.92887 2.84568 39.5059 6.06929 2.71427 41.4759 7.13032 3.56516 41.5726 11.70886 2.68620
19.5034 20.2218 42.7961 31.9699 30.1300 35.9291
35.3443 62.3697 67.2841 47.0419 52.8218 47.2161
26.80 19.42 49.91 29.49 36.11 19.42
28.05 62.04 59.74 46.03 51.55 62.04
ANOVA Respon Sum of Squares
df
Mean Square
Between Groups Within Groups
966.274 1501.479
4 14
Total
2467.752
18
241.568 107.248
Respon a,,b
Duncan
Subset for alpha = 0.05 Pelarut
N
1
2
Khloroform
2
27.4238
Residu etanol Etil asetat Kontrol Heksana
5 5 4 3
39.5059 41.2957 41.4759
39.5059 41.2957 41.4759 55.0401
.125
.093
Sig.
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.371. b. The group sizes are unequal. The harmonic mean of the group sizes is used. Type I error levels are not guaranteed.
F 2.252
Sig. .115
71
Normal Descriptives Respon 95% Confidence Interval for Mean N Khloroform Etil asetat Heksana Residu etanol Kontrol Total
2 5 3 5 4 19
Mean
Std. Deviation
Std. Error
Lower Bound Upper Bound Minimum Maximum
19.1393 6.49335 4.59149 27.1990 13.32395 5.95865 26.7083 7.93946 4.58385 3.7550 3.14414 1.40610 33.1600 16.46132 8.23066 21.3586 15.09891 3.46393
-39.2011 10.6551 6.9856 -.1489 6.9664 14.0812
77.4797 43.7428 46.4310 7.6590 59.3536 28.6360
14.55 12.73 19.09 .97 12.56 .97
23.73 46.07 34.93 8.70 52.00 52.00
ANOVA Respon Sum of Squares
df
Mean Square
Between Groups Within Groups
2372.775 1730.812
4 14
Total
4103.587
18
593.194 123.629
Respon a,,b
Duncan
Subset for alpha = 0.05 Pelarut
N
1
2
Residu etanol
5
3.7550
Khloroform Heksana
2 3
19.1393
Etil asetat
5
27.1990
Kontrol
4
33.1600
Sig.
.094
19.1393 26.7083
.152
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.371. b. The group sizes are unequal. The harmonic mean of the group sizes is used. Type I error levels are not guaranteed.
F 4.798
Sig. .012
72
2.
Lesi sel epitel tubulus ginjal Degenerasi hialin Descriptives
Respon 95% Confidence Interval for Mean
khloroform Etil aseat Heksana Residu etanol Kontrol Total
N
Std. Mean Deviation
2 5 3 5 4 19
.0000 .0000 .0000 3.2892 2.4779 1.3872
.00000 .00000 .00000 7.35489 4.95579 4.29565
Std. Error
Lower Bound Upper Bound Minimum Maximum
.00000 .00000 .00000 3.28921 2.47790 .98549
.0000 .0000 .0000 -5.8431 -5.4079 -.6832
.0000 .0000 .0000 12.4215 10.3637 3.4577
.00 .00 .00 .00 .00 .00
.00 .00 .00 16.45 9.91 16.45
ANOVA Respon Sum of Squares
Df
Mean Square
Between Groups Within Groups
42.090 290.057
4 14
Total
332.147
18
Respon a,,b
Duncan
Subset for alpha = 0.05 Pelarut khloroform Etil aseat Heksana Kontrol Residu etanol Sig.
N
1 2 5 3 4 5
.0000 .0000 .0000 2.4779 3.2892 .408
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.371. b. The group sizes are unequal. The harmonic mean of the group sizes is used. Type I error levels are not guaranteed.
10.522 20.718
F
Sig. .508
.731
73
Degenerasi hidropis Descriptives Respon 95% Confidence Interval for Mean N Khloroform Etil asetat Heksana Residu etanol Kontrol Total
2 5 3 5 4 19
Mean
Std. Deviation
10.5694 3.6858 7.1391 10.7611 8.3246 7.7942
.76606 2.74213 1.25607 1.86410 1.76236 3.36040
Std. Error
Lower Bound
.54168 1.22632 .72519 .83365 .88118 .77093
Upper Bound
3.6867 .2810 4.0189 8.4465 5.5203 6.1745
17.4522 7.0906 10.2594 13.0757 11.1289 9.4138
Minimum Maximum 10.03 1.02 5.79 8.48 6.84 1.02
ANOVA Respon Sum of Squares
Df
Mean Square
Between Groups Within Groups
146.225 57.037
4 14
Total
203.261
18
36.556 4.074
Respon a,,b
Duncan
Subset for alpha = 0.05 Pelarut
N
1
2
3
Etil asetat
5
Heksana
3
7.1391
Kontrol
4
8.3246
8.3246
Khloroform
2
10.5694
10.5694
Residu etanol
5
Sig.
3.6858
10.7611 1.000
.054
.158
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.371. b. The group sizes are unequal. The harmonic mean of the group sizes is used. Type I error levels are not guaranteed.
F 8.973
Sig. .001
11.11 7.57 8.28 12.78 10.82 12.78
74
Nekrosa/apoptosis Descriptives Respon 95% Confidence Interval for Mean N Khloroform 2 Etil asetat 5 Heksana 3 Residu etanol 5 Kontrol 4 Total 19
Mean 61.4632 67.2895 58.9132 62.3470 55.5199 61.5752
Std. Deviation 3.85175 5.32013 3.17616 3.91578 3.43819 5.67266
Std. Error
Lower Bound Upper Bound Minimum Maximum
2.72360 2.37924 1.83376 1.75119 1.71910 1.30140
26.8566 60.6837 51.0232 57.4850 50.0489 58.8410
96.0698 73.8953 66.8032 67.2091 60.9908 64.3093
58.74 62.38 55.63 58.30 52.59 52.59
64.19 75.63 61.97 66.85 60.49 75.63
ANOVA Respon Sum of Squares
Df
Mean Square
Between Groups Within Groups
334.200 245.024
4 14
Total
579.224
18
83.550 17.502
Respon a,,b
Duncan
Subset for alpha = 0.05 Pelarut
N
1
2
Kontrol
4
55.5199
Heksana
3
58.9132
Khloroform Residu etanol Etil asetat
2 5 5
61.4632 62.3470
61.4632 62.3470 67.2895
.070
.107
Sig.
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.371. b. The group sizes are unequal. The harmonic mean of the group sizes is used. Type I error levels are not guaranteed.
F 4.774
Sig. .012
75
Normal Descriptives Respon 95% Confidence Interval for Mean N Khloroform 2 Etil asetat 5 Heksana 3 Residu etanol 5 Kontrol 4 Total 19
Mean
Std. Deviation
27.9674 29.0247 33.9477 23.6027 33.6776 29.2434
4.61781 5.77958 4.42950 9.24869 7.50740 7.50201
Std. Error
Lower Bound Upper Bound Minimum
3.26528 2.58470 2.55737 4.13614 3.75370 1.72108
-13.5220 21.8484 22.9442 12.1189 21.7317 25.6276
69.4567 36.2010 44.9512 35.0864 45.6236 32.8593
Maximum
24.70 23.16 29.75 9.98 22.75 9.98
31.23 36.60 38.58 33.22 39.16 39.16
ANOVA Respon Sum of Squares Between Groups Within Groups Total
Df
Mean Square
307.626 705.415
4 14
1013.041
18
Respon a,,b
Duncan
Subset for alpha = 0.05 Pelarut Residu etanol Khloroform Etil asetat Kontrol Heksana Sig.
N
1 5 2 5 4 3
23.6027 27.9674 29.0247 33.6776 33.9477 .107
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.371. b. The group sizes are unequal. The harmonic mean of the group sizes is used. Type I error levels are not guaranteed.
76.907 50.387
F 1.526
Sig. .248