TELAAH FITOKIMIA DAN FRAKSINASI SENYAWA AKTIF EKSTRAK n-HEKSANA DAGING KELELAWAR Abstrak TILTJE ANDRETHA RANSALELEH. Telaah Fitokimia dan Fraksinasi Senyawa Aktif Ekstrak n-Heksana Daging Kelelawar. Dibimbing oleh RARAH RATIH ADJIE MAHESWARI, PURWANTININGSIH SUGITA, dan WASMEN MANALU Penelitian eksplorasi ini dilakukan berdasarkan adanya dugaan sebagian masyarakat yang menyatakan bahwa makan daging kelelawar dapat menyembuhkan penyakit asma, alergi, dan meningkatkan stamina. Tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari komponen senyawa aktif pada daging kelelawar dibandingkan dengan daging beberapa ternak konvensional dan ikan, serta bumbu-bumbu masak yang digunakan dalam pengolahan kelelawar. Penelitian ini dilakukan selama 8 bulan yang terdiri atas dua tahap. Tahap pertama adalah uji steroid sebagai skrining awal pada beberapa potongan karkas dan hati kelelawar, yang dilaksanakan selama dua bulan. Tahap kedua terdiri atas ekstraksi dan uji fitokimia daging kelelawar, daging babi, ayam, kelinci, dan ikan cakalang, serta bumbu masak, dilanjutkan dengan isolasi, fraksinasi, dan karakterisasi ekstrak n-heksana Pteropus alecto yang dilaksanakan selama enam bulan. Ekstraksi dilakukan dengan menggunakan metode Sokhlet. Telaah fitokimia daging meliputi identifikasi komponen aktif secara kuantitatif, yaitu uji steroid/ triterpenoid menggunakan pereaksi Lieberman Burchard, uji alkaloid menggunakan pereaksi Dragendrof, pereaksi Meyer, pereaksi Wegner, jumlah total fenolik menggunakan pereaksi AlCl2, uji flavonoid menggunakan Mg dan HCl pekat. Fraksinasi senyawa aktif hasil isolasi dilakukan dengan teknik kromatografi kolom dan kromatografi lapis tipis (KLT). Karakterisasi senyawa hasil fraksinasi dilakukan melalui penentuan bobot molekul dengan metode liquid chromatography-mass spectroscopy (LC-MS). Struktur kimia senyawa aktif ditentukan menggunakan software masslynx, tools element composition. Hasil skrining awal tahap pertama menunjukkan bahwa karkas tanpa tulang dan hati, kecuali daging Nyctimene cephalotes, Pteropus alecto, dan Thoopterus nigrescens menunjukkan adanya senyawa steroid. Hasil skrining awal tahap kedua menunjukkan bahwa karkas tanpa tulang dari Nyctimene cephalotes, Pteropus alecto, dan Rousettus amplexicaudatus mengandung senyawa steroid dan alkaloid, sedangkan Acerodon celebensis, Thoopterus nigrescens, Pteropus sp, dan Thopterus sp, daging babi, kelinci, dan ikan hanya mengandung senyawa steroid. Hasil skrining awal terhadap bumbu masak menunjukkan adanya senyawa triterpenoid dan flavonoid. Hasil karakterisasi terhadap isolasi ekstrak n-heksana Pteropus alecto menunjukkan persen kelimpahan yang tertinggi adalah senyawa dengan bobot molekul masing-masing 413.2692 (C26H3704), 324.2691 (C23H34N), 276.2 (C19H34N), dan 319.3 (C21H39N2). Keempat bobot molekul mempunyai kemiripan dengan senyawa steroid sebanyak lima senyawa, dan lima senyawa lainnya mempunyai kemiripan dengan senyawa alkaloid. Kata kunci : fitokimia, ekstrak n-heksana, senyawa aktif, kelelawar.
88
Abstract TILTJE ANDRETHA RANSALELEH. Phytochemical Study and Fractionation of the Active Compound of n-Hexane Extract on Bushmeat of Fruit Bats. Under direction of RARAH RATH ADJIE MAHESWARI, PURWANTININGSIH SUGITA, and WASMEN MANALU This exploratory research was conducted to study the claim of some people that eating meat of bat can cure asthma, allergies, and increase stamina. The objective of this study was to determine the active compounds in meat of bats as compared to those of conventional livestocks and fish, as well as cooking spices used in the processing of the bat. The research was carried out for 8 months which consisted of two stages. The first stage was a steroid test as an initial screening on a few pieces of carcass and liver bats, carried out for two months. The second stage consisted of the extraction and phytochemical test from meat of bats, pork, chicken, rabbit, and tuna, as well as spices, followed by isolation, fractionation, and characterization of n-Hexane extract of Pteropus alecto, held for six months. Phytochemical study of meat included identification of active compouns, namely quantitative test steroid/triterpenoid using Lieberman Burchard reagent, the alkaloid test using reagents Dragendrof, Meyer reagents, reagent Bouchardat, the total phenolic using AlCl2 reagent, flavonoids test using Mg and concentrated HCl. Fractionation of the active compound was done by using column chromatography and thin layer chromatography. Characterization of the fractionation was done through the determination of molecular weight by the method of liquid chromatography-mass spectroscopy (LC-MS). Chemical structure of the active compounds was determined by using masslynx software, tools element composition. The results of initial screening indicated that boneless carcass and liver of Nyctimene cephalotes, Pteropus alecto, and Thoopterus nigrescens showed a steroid compound. The second stage showed that the boneless carcass of Nyctimene cephalotes, Pteropus Alecto, and Rousettus amplexicaudatus showed steroids and alkaloids, while Acerodon celebensis, Thoopterus nigrescens, Pteropus sp, Thopterus sp, pork, rabbit, and fish contained only steroid compounds. The results of the initial screening of the spices showed the existence of triterpenoid compounds, flavonoids, and alkaloids. The results of the characterization of the isolated extract n-Hexane Pteropus alecto showed that the highest abundance in percentage were compounds with molecular weights of each 413.2692 (C26H3704), 324.2691 (C23H34N), 276.2 (C19H34N), and 319.3 (C21H39N2). The four molecular weights observed that have molecular structure similar to steroid compounds were five compounds and five compounds others of molecular structures found similar to alkaloid. Keywords: phytochemicals, extracts n-Hexane, the active compound, bats.
89
Pendahuluan Tuntutan sebagian konsumen terhadap bahan pangan dewasa ini semakin bergeser, yaitu pangan yang diminati adalah pangan yang bersifat fungsional. Artinya, bukan saja memiliki komposisi gizi yang baik serta penampakan dan cita rasa yang menarik, tetapi juga harus memiliki fungsi fisiologis tertentu bagi tubuh (Wijaya 2002). Suatu bahan pangan dapat dikategorikan menjadi pangan fungsional jika memiliki syarat utama yang harus dipenuhi, yaitu merupakan makanan atau minuman, bukan kapsul, tablet, atau serbuk yang mengandung senyawa bioaktif tertentu, berasal dari bahan alami, harus merupakan bahan yang dikonsumsi dari bagian diet sehari-hari, dan memiliki fungsi tertentu setelah dikonsumsi (Gibson & Williams 2000). Definisi pangan fungsional menurut Badan Pengawasan Obat dan Makanan Republik Indonesia adalah pangan yang secara alamiah maupun telah melalui proses, mengandung satu atau lebih komponen fungsional yang berdasarkan kajian-kajian ilmiah dianggap mempunyai fungsi-fungsi fisiologis tertentu, terbukti tidak berbahaya, dan bermanfaat bagi kesehatan (UU No 7 1996, BPOM RI 2011). Masyarakat di Sulawesi Utara menjadikan kelelawar sebagai lauk yang dikenal dengan nama paniki. Berdasarkan informasi di media masa dan wawancara langsung dengan konsumen, dipercayai bahwa daging dan hati kelelawar dapat menyembuhkan penyakit, seperti asma, alergi, juga dapat mempertahankan stamina bagi pria atau wanita. Diduga bahwa daging kelelawar mengandung senyawa aktif ketotifen dan steroid. Berdasarkan bank data, ketotifen merupakan senyawa pemblokir pelepasan mediator inflamasi (PubChem, Drug Bank). Steroid merupakan senyawa aktif yang terdapat pada hewan yang berfungsi sebagai hormon pengatur tumbuh (Yohny et al 2003, Handayani et al. 2008). Cara pengolahan daging kelelawar yang khas dengan penggunaan rempah-rempah, seperti jahe, kunyit, cabai, sereh, daun jeruk, bawang merah, dan bawang putih menjadikan daging kelelawar olahan kaya akan komponen aktif. Darusman et al. (2007) melaporkan bahwa kandungan senyawa aktif pada kunyit adalah flavonoid dan triterpenoid, kandungan cabe rawit adalah flavonoid,
90
sedangkan kandungan jahe adalah triterpenoid. Rustam et al. (2007) melaporkan bahwa ekstrak metanol kunyit mempunyai efek antiinflamasi pada tikus. Pada saat ini telah banyak dilakukan studi terkait keberadaan senyawa bioaktif dalam bahan nabati atau tumbuhan, sedangkan eksplorasi satwa, hewan, dan ternak masih sangat sedikit sekali dipelajari, terlebih yang berkaitan dengan sumber
daya/kekayaan
hayati
lokal
Indonesia.
Laporan
ilmiah
yang
mengungkapkan penggunaan daging kelelawar sebagai bahan pangan yang bersifat fungsional sampai saat ini belum tersedia. Adanya kepercayaan sebagian masyarakat akan keistimewaan daging kelelawar untuk menyembuhkan penyakit asma perlu dibuktikan secara ilmiah. Identifikasi dan karakterisasi senyawasenyawa aktif yang terdapat di dalam daging kelelawar sangat berkaitan erat dengan pengembangan ilmu pengetahuan karena akan mengaplikasikan berbagai metode ekstraksi hingga pemurnian untuk mendapatkan jenis senyawa aktif yang bertanggung jawab terhadap pengobatan penyakit asma. Penelitian yang terkait dengan topik tersebut menarik untuk dilakukan, salah satunya adalah dengan melakukan telaah fitokimia dan karakterisasi senyawa aktif ekstrak n-Heksana dari daging kelelawar. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan identifikasi secara kualitatif senyawa-senyawa aktif dan karakterisasi senyawa-senyawa aktif dalam daging kelelawar melalui penentuan bobot molekul. Teridentifikasinya senyawa-senyawa aktif akan menjawab berbagai kepercayaan/pemeo yang beredar di masyarakat dan kesesuaian klaim daging kelelawar sebagai pangan yang bersifat fungsional. Diharapkan, dengan diketahuinya
beberapa
keistimewaan
daging
kelelawar,
pelestarian
dan
pemanfaatan hewan ini dapat diseimbangkan. Berdasarkan informasi ini pemerintah dapat menindaklanjuti dengan program pelestarian kelelawar di wilayah Sulawesi sebagai plasma nutfah, sekaligus membudidayakannya agar terhindar dari kepunahan untuk menyejahterakan masyarakat setempat. Penelitian ini diharapkan menghasilkan suatu temuan baru untuk dapat menjelaskan secara ilmiah keterkaitan antara konsumsi daging kelelawar dengan pengobatan penyakit asma. Studi lanjut secara genetik molekuler di antaranya melalui genotyping terhadap spesies kelelawar, khususnya di Sulawesi dan secara umum di Indonesia, akan terbuka, didasari dengan pembuktian keberadaan senyawa aktif dari hasil
91
penelitian ini nantinya. Penelitian ini, dengan demikian, akan menyumbangkan satu penemuan baru dalam pengembangan ilmu dan teknologi untuk senyawasenyawa aktif yang terdapat pada produk hewani. Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, telah dilakukan suatu penelitian yang bertujuan untuk mengetahui jenis senyawa aktif yang terdapat dalam daging kelelawar dan bumbu-bumbu sebagai bahan pangan. Kepercayaan akan kegunaan konsumsi daging kelelawar sebagai obat juga mengantarkan penelitian ini untuk mengisolasi dan mengkarakterisasi senyawa aktif golongan alkaloid dan steroid yang terdapat dalam daging kelelawar. Bahan dan Metode Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Hasil Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas Sam Ratulangi untuk proses pengeringan daging, Laboratorium Kimia Organik, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan, IPB untuk telaah fitokimia dan fraksinasi senyawa aktif, dan Laboratorium Biotek, Pusat Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Kementerian Riset dan Teknologi, Serpong, Tangerang, untuk penentuan bobot molekul dan struktur molekul. Pelaksanaan penelitian dimulai dengan tahap pertama, yaitu uji pendahuluan pada Oktober-Desember 2010. Tahap kedua pada Oktober 2011 sampai April 2012. Bahan dan Alat Penelitian Bahan yang digunakan dalam penelitian tahap satu sebagai uji pendahuluan adalah 3 ekor kelelawar P. alecto. Jenis kelelawar tahap kedua adalah 37 ekor A. celebensis, 20 ekor N. cephalotes, 20 ekor P. alecto, 7 ekor Pteropus sp, 20 ekor R. amplexicaudatus, 10 ekor T. nigrescens, 5 ekor Thoopterus sp 1, 6 ekor Thoopterus sp 2 yang diperoleh dari beberapa lokasi di Sulawesi, 2 kg daging ayam, 2 kg daging babi, dan 2 kg ikan cakalang yang diperoleh di Pasar Bersehati Manado, 2 kg daging kelinci yang diperoleh dari peternakan rakyat di Bogor, serta bumbu masak yang digunakan dalam pengolahan daging kelelawar. Bahan kimia yang digunakan terdiri atas berbagai jenis pelarut organik teknis dan proanalisis, yaitu n-heksana, dietil eter, etil asetat,
92
metanol, etanol, kloroform, Pereaksi Liebermann-Burchard, pereaksi Dragendrof, Pereaksi Mayer, pereaksi Wagner, HCl, FeCl3, Mg, amyl alkohol, amonia, dan silica gel 60, 70-230 mesh, E. Merck untuk kromatografi kolom, silica gel 60 F 254 untuk
kromatografi lapis tipis.
Peralatan yang
digunakan adalah alat-alat gelas, timbangan analitik,
dissecting set, camera digital, food processor, cool box, lempeng tetes, seperangkat alat sokhlet, oven, seperangkat alat kromatografi kolom dengan panjang kolom 40 cm, dan diameter1.8 cm, vacuum rotary evoporator bunchi R 114 yang dilengkapi dengan sistem vakum bunchi B 169, oven, lemari asam, sinar UV 254 (original hanau floutest), pipa kapiler, dan seperangkat alat LC-MS, seri UPLC acquaty, MS XEVO-G2QTof, jenis kolom acquatif BEH 1.7 μm C18 diameter 2.1 mm x 50 mm. Metode Penelitian Penelitan Tahap l Penelitian tahap pertama adalah uji pendahuluan yang bertujuan untuk mengetahui bagian mana dari komponen karkas dan non karkas kelelawar yang mempunyai zat aktif, dan jenis ekstraksi yang akan digunakan dalam penelitian. Jenis kelelawar yang digunakan adalah P. alecto. Uji pendahuluan yang dilakukan adalah uji steroid. Metode ekstraksi dilakukan secara dingin dengan maserasi dan secara panas dengan
sokhlet.
Sebelumnya, kelelawar dipelihara dalam kandang di
tempat asalnya kurang lebih dua minggu dan diberi makan buah-buahan, seperti pisang dan pepaya setiap hari. Satu hari sebelum dibawa ke laboratorium kelelawar sudah dibakar kemudian karkasnya disimpan di lemari es suhu 5°C. Selanjutnya, sampel dibawa ke laboratorium Teknologi Hasil Ternak, Fakultas Peternakan IPB, dan disimpan pada suhu dingin. Seminggu kemudian, karkas diblender sesuai dengan kebutuhan penelitian. Setiap sampel diuji sebanyak tiga kali. Analisis sampel terdiri atas: Sampel A adalah bagian daging beserta lemak dan kulit, Sampel B adalah karkas keseluruhan, Sampel C adalah daging tanpa lemak dan kulit, Sampel D adalah bagian hati. Prosedur kerja uji pendahuluan adalah sebagai berikut.
93
Ekstraksi Dingin dengan Maserasi. Sebanyak 0.3 g sampel dalam keadaan segar yang telah halus dimasukkan ke dalam tabung reaksi ditambahkan dietil eter sebanyak 5 mL kemudian dikocok menggunakan vorteks sampai terbentuk dua lapisan. Lapisan bagian atas dipipet dan diteteskan pada lempeng dan diidentifikasi menggunakan pereaksi Lieberman Buchard. Ekstraksi Panas Menggunakan Metode Sokhlet (AOAC, 1995) Sejumlah sampel daging yang telah dikeringkan dengan oven pada suhu 80ºC selama 12 jam, dimasukkan ke dalam kertas saring yang dibentuk menyerupai timbel, kemudian ditutup dengan kapas wol bebas lemak. Timbel tersebut dimasukkan ke dalam alat ekstraksi sokhlet, kemudian alat ekstraksi dipasangkan dengan labu lemak di bawahnya. Pelarut n-heksana dituangkan ke dalam alat ekstraksi sokhlet sesuai dengan ukuran yang digunakan, alat ekstraksi sokhlet dipasang pada alat kondensator di atasnya. Selanjutnya, dilakukan refluks minimum 5 jam sampai pelarut yang turun ke dalam labu lemak berwarna jernih. Timbel dikeluarkan dan pelarut yang ada dalam labu lemak didestilasi selama satu jam. Labu lemak yang berisi hasil ekstraksi dipanaskan dalam oven suhu 105°C selama satu jam dan didinginkan dalam desikator. Untuk pengujian steroid, ekstrak sebanyak 0.1 g ditambahkan kloroform dan air dengan perbandingan 1:1 kemudian dimasukkan ke dalam tabung reaksi kemudian dikocok dan didiamkan sampai berbentuk dua lapisan. Lapisan bawah disaring dan filtratnya dipipet kemudian diteteskan ke plat tetes. Setelah kering ditambahkan pereaksi Lieberman Buchard. Penelitian Tahap ll Hasil pengujian tahap pertama merupakan rekomendasi untuk uji fitokimia tahap kedua. Kelelawar yang digunakan dalam penelitian ini adalah kelelawar yang ditangkap langsung di habitatnya yang langsung dipotong kemudian diambil bagian karkasnya dan dikeringkan, sedangkan daging ternak konvensional dan ikan serta bumbu masak diambil di pasar tradisional. Prosedur kerja penelitian tahap kedua adalah sebagai berikut.
94
Pengeringan Sampel Sampel daging kelelawar, daging ternak konvensional, dan ikan cakalang yang digunakan dipotong-potong tipis dengan ukuran 1-3 cm, sedangkan bumbu masak dihaluskan, lalu dikeringkan dengan oven pada suhu 80ºC salama 6-12 jam sampai daging dan bumbu masak mudah dihancurkan, kemudian dihaluskan, lalu dikemas dalam plastik untuk dianalisis. Sampel daging diekstraksi dengan pelarut n-heksana menggunakan sokhlet, kemudian ekstrak n-heksana hasil akstraksi diuji dengan metode fitokimia. Bumbu masak langsung diuji fitokimianya. Uji Fitokimia Daging dan Bumbu Masak Uji fitokimia merupakan skrining awal. Hasil uji fitokimia untuk ekstrak n-heksana yang positif mengandung senyawa aktif dilanjutkan dengan isolasi dan fraksinasi untuk penentuan bobot molekul dan struktur molekul. Uji fitokimia daging secara kuantitatif meliputi, pemeriksaan alkaloid, flavonoid, fenolik, dan triterpenoid, dengan prosedur kerja sebagai berikut. Persiapan Bahan Uji. Ekstrak n-heksana sebanyak 0.1 g ditambahkan pelarut campuran kloroform dan aquades dengan perbandingan 1:1. Campuran dikocok dalam tabung reaksi dan dibiarkan sejenak sehingga berbentuk dua lapisan. Lapisan yang berada di atas digunakan untuk pemeriksaan fenolik dan flavonoid. Pemeriksaan Alkaloid. Ekstrak n-heksana sebanyak 0.3 g dimasukkan ke dalam tabung reaksi. Setelah itu ditambahkan ammonia 10% dan CHCl3 10 mL kemudian dikocok. Lapisan CHCl3 diambil dan ditambahkan H2SO4, kemudian dikocok lagi, fase cairnya diambil dan dibagi menjadi tiga bagian. Ke dalam masing-masing bagian ditambahkan pereaksi Dragendrof, pereaksi Meyer, dan pereaksi Wegner. Warna merah yang terbentuk pada sampel yang diberikan pereaksi Dragendrof, endapan warna putih pada sampel yang ditambahkan pereaksi Meyer, dan endapan cokelat kemerahan pada sampel yang ditambahkan pereaksi Wegner menunjukkan bahwa sampel positif mengandung alkanoid.
95
Pemeriksaan Fenolik. Lapisan atas larutan ekstrak n-heksana 0.1 g, air, dan kloroform yang berada di dalam tabung reaksi dipipet dan dipindahkan ke dalam plat tetes, kemudian ditambahkan pereaksi AlCl3. Reaksi positif adalah bila terbentuk warna hijau, biru, atau ungu. Pemeriksaan Senyawa Flavonoid. Lapisan atas larutan ekstrak n-heksana 0.1 g yang berada di dalam tabung reaksi dipipet dan dipindahkan ke dalam tabung reaksi yang lain dan ditambahkan sedikit bubuk logam Mg serta beberapa tetes asam klorida pekat. Reaksi positif adalah bila terbentuk warna merah kuning atau jingga Pemeriksaan Senyawa Saponin Lapisan bawah larutan ekstrak n-heksana 0.1 g, air, dan kloroform yang berada di dalam tabung reaksi disaring. Bagian residunya dimasukkan ke dalam gelas piala, ditambahkan aquades sebanyak 5 mL, kemudian dipanaskan selama 5 menit sampai mendidih. Kemudian, didinginkan dan dikocok vertikal sampai membentuk busa. Kemudian ditambahkan HCl 2N dan didiamkan selama 10 menit. Positif mengandung saponin, jika busa dalam tabung reaksi tidak berubah. Pemeriksaan Senyawa Triterpenoid/ Steroid. Lapisan bawah larutan ekstrak n-heksana 0.1 g, air, dan kloroform yang berada di dalam tabung reaksi disaring. Bagian filtratnya dipipet dan dipindahkan ke dalam plat tetes kemudian diangin-anginkan. Identifikasi keberadaan senyawa steroid dilakukan dengan reaksi warna dengan pereaksi Lieberman Burchard. Triterpenoid positif apabila terbentuk warna merah atau violet, steroid positif apabila terbentuk warna hijau atau biru. Isolasi Ekstrak n-Heksana Ekstrak n-heksana yang positif mengandung steroid dan alkoloid selanjutnya diisolasi. Isolasi senyawa steroid dilakukan pada tiga jenis kelelawar, yaitu A. celebensis, P. alecto, dan R. amplexicaudatus, serta daging babi. Dasar pertimbangan memilih ketiga jenis kelelawar ini adalah A. celebensis merupakan endemik Sulawesi, R. amplexicaudatus penyebaranya luas, P. alecto sudah
96
dikomersialkan dan dipasarkan baik di pasar tradisional maupun di pasar modern di daerah Sulawesi. Selain itu jumlah sampelnya tersedia. Bagan kerja tahap ekstraksi dan isolasi senyawa steroid dapat dilihat pada Gambar 20 Daging segar - dipotong-potong halus - dikeringkan (80ºC, 12 jam) Bahan kering - diekstrak dengan n-heksana Ekstrak n-heksana
Ekstrak n-heksana
Ekstrak n-heksana - diuji fitokimia
Steroid
Alkaloid
Flavonoid Fenolik
Fase tersabunkan -uji L-B Steroid (-)
Saponin
- disabunkan dengan KOH - direfluks (700C, 1jam) -difraksinasi dgn dietil eter -dievaporasi
Fase tak tersabunkan -uji L-B Steroid (+) -dipekatkan
Gambar 20 Bagan kerja tahap ekstraksi dan isolasi ekstrak n-heksana. Ekstrak n-heksana pekat sebanyak 10 mL dimasukkan ke dalam labu ukur, disabunkan dengan menambahkan KOH kristal pa sebanyak 9.5 g dan 50 mL etanol 95%, dan dipanaskan pada suhu 70°C selama 1 jam. Kemudian didinginkan dan ditambahkan aquades sebanyak 50 mL, dan dimasukkan ke dalam labu kocok. Kemudian ditambahkan dietil eter sebanyak 50 mL dan dikocok-kocok. Didiamkan sampai terjadi pemisahan. Lapisan atas ditampung dalam gelas kimia, dan ditambahkan dietil eter 20 mL kemudian dimasukkan kembali ke dalam labu kocok. Pemisahan ini diulangi sampai benar-benar lapisan atas bebas dari lemak dan air. Hasil tampungan dicuci dengan air sampai alkali dengan menggunakan indikator pp. Warna pink berarti belum bebas sabun, dan warna netral berarti
97
bebas dari sabun. Fase yang tidak tersabunkan dipekatkan menggunakan evaporator sampai bebas pelarut. Kedua fase ini kemudian diuji dengan pereaksi Lieberman Buchart yang terdiri atas kloroform, asam asetat anhidrid dan asam sulfat pekat. Pemisahan Fase Tak Tersabunkan Untuk melihat larutan pengembang yang baik, maka fase yang tak tersabunkan dianalisis dengan kromatografi lapis tipis (KLT). Fase tak tersabunkan ditotolkan sebanyak 3 ulangan dengan jarak ulangan 1 cm pada masing-masing plat kromatografi lapis tipis yang sudah diaktifkan pada suhu 80ºC selama 15 menit, dan dipotong-potong ukuran 5 cm x 6.5 cm dengan jarak eluen dari titik penotolan dan batas atas 5 cm. Masing-masing Plat KLT yang sudah ditotolkan ekstrak tak tersabunkan dimasukkan ke dalam masing-masing vial yang berisikan larutan pengembang tunggal yang sudah dijenuhkan, yaitu nhexana, kloroform, dietil eter, etanol, metanol, dan etil asetat sampai pergerakan eluen mencapai batas atas KLT. Setelah itu, plat KLT diangkat dan dianginanginkan. Untuk melihat noda-noda pada plat KLT digunakan sinar UV. Melihat jarak noda dan jumlah noda yang terbentuk pada plat KLT maka dilakukan penggabungan dua jenis pelarut. Hasil penggabungan dua jenis eluen diperoleh gabungan pelarut, yaitu n-heksana-dietil eter (80:20) dengan jumlah noda empat titik dengan jarak noda yang sama. Setelah diperoleh eluen yang terbaik, sebanyak 1 g fase tak tersabunkan dipisahkan dengan cara kromatografi kolom menggunakan fase diam silika gel 60 (70-230 mesh) sebanyak 80 g dengan panjang kolom 40 cm, dan diameter 1.8 cm menggunakan fase gerak n-heksanaetil asetat dan difraksinasi secara gradient. Fraksi-fraksi ditampung dalam tabung reaksi yang sudah diberi label (T1-T125) setiap 5 menit. Masing-masing fraksi dianalisis secara kromatografi lapis tipis. Fraksi-fraksi dengan pola Rf yang sama digabungkan menjadi satu kemudian diuapkan. Semua fraksi-fraksi diuji steroid dan alkaloid. Identifikasi dan Penentuan Struktur Molekul Identifikasi dan penentuan bobot molekul fraksi-fraksi hasil penggabungan dilakukan dengan menggunakan liquid chromatography-mass spectroscopy (LC-
98
MS). Penentuan struktur molekul ditentukan dengan bantuan software masslynx, tools element composition. Bagan kerja proses pemisahan senyawa fase tidak tersabunkan dan penentuan bobot molekul fraksi-fraksi hasil penggabungan ditunjukkan dalam Gambar 21. Analisis Data Hasil analisis fitokimia dan karakterisasi senyawa aktif diuraikan secara deskriptif. Fase tak tersabunkan 1 g -
di KK dengan silika gel 60 (70-230 mesh)
-
dielusi secara gradient dengan eluen nheksana-EtOAc
-
ditampung setiap 5 menit
-
hasilnya
di
KLT
dengan
larutan
pengembang n-heksana-EtOAc (80 : 20) -
disinar UV
-
fraksinasi
dengan
pola
Rf
sama
digabung
Fraksi A
Fraksi B
-LC-MS Bobot molekul
Fraksi C
Fraksi D
Fraksi E
Fraksi F
-LC-MS Bobot molekul
-Software masslynx, -Software masslynx, tools element composition tools element composition Struktur molekul
Struktur molekul
Gambar 21 Bagan kerja proses pemisahan senyawa fase tidak tersabunkan dan penentuan bobot molekul fraksi-fraksi hasil penggabungan.
99
Hasil dan Pembahasan Penelitian Tahap l Penelitian tahap pertama merupakan uji pendahuluan. Berdasarkan uji pendahuluan maka diketahui bahwa pada hati, daging bersama kulit, dan daging campuran semua bagian tubuh yang diekstraksi menggunakan sokhlet dan yang dimaserasi, memiliki komponen senyawa steroid. Identifikasi senyawa steroid diketahui dengan adanya perubahan warna sampel sebelum dan sesudah diuji dengan pereaksi Lieberman-Buchard. Perubahan warna sampel disajikan pada Tabel 7. Tabel 7 Perubahan warna beberapa komponen tubuh kelelawar P alecto yang diekstraksi menggunakan sokhlet dan maserasi Komponen Maserasi Sokhlet tubuh Warna awal Warna akhir Warna awal Warna akhir A Bening biru kehijauan Bening biru kehijaun B Bening biru kehijauan Bening biru kehijaun C Bening putih gading D Bening biru kehijauan Tanda - tidak dianalisis, A: daging dan kulit, B: karkas keseluruhan, C: daging tanpa kulit, D: hati Uji Lieberman Buchard pada penelitian pendahuluan ini memperlihatkan bahwa sampel A, B, dan D menunjukkan perubahan warna dari warna bening menjadi biru kehijauan, sedangkan sampel C tidak memperlihatkan perubahan warna. Hal ini menunjukkan bahwa pada perlakuan A, B, dan D teridentifikasi positif memiliki senyawa steroid. Harborne (2006) menyatakan bahwa senyawa aktif dapat diidentifikasikan dari warna yang dihasilkan dengan menggunakan pereaksi Lierbemann Buchard, warna hijau menunjukkan steroid, warna merah, merah muda, dan ungu menunjukkan triterpenoid. Senyawa steroid pada hewan kebanyakan ditemukan dalam keadaan bebas. Secara fisiologis, steroid anabolik dapat membuat seseorang menjadi agresif. Johnny et al. ( 2003) melaporkan bahwa steroid menimbulkan peningkatan total leukosit yang berperan sebagai sistem kekebalan tubuh pada ikan kerapu. Saleh (2007) melaporkan bahwa ekstrak metanol dari akar tumbuhan S. Album Linn yang mengandung steroid (clionesterol) mempunyai aktivitas hipoglisemik pada dosis 50 mL / kg bb mencit jantan.
100
Penelitian Tahap II Uji fitokimia Daging Kelelawar, Ternak Konvensional, dan Ikan Cakalang Berdasarkan hasil penelitian tahap pertama, maka penelitian tahapan kedua ditetapkan untuk mengambil sampel karkas tanpa tulang dengan menggunakan metode ekstraksi secara panas, yaitu sokhlet. Pada penelitian ini pengujian fitokimia meliputi beberapa spesies daging kelelawar yang ditangkap di beberapa daerah, dibandingkan dengan ternak konvensional, seperti ayam, babi, kelinci, dan ikan cakalang. Tabel 8 menunjukkan bahwa semua jenis kelelawar, daging kelinci, dan ikan cakalang positif mengandung senyawa steroid kecuali daging ayam, dan ada 3 spesies kelelawar yang mengandung senyawa alkaloid. Tabel 8 Uji Fitokimia ekstrak n-heksana daging kelelawar dan beberapa daging ternak konvensional serta ikan cakalang Jenis daging
Daging kelelawar A. celebensis N. cephalotes P. alecto Pteropus sp R. amplexicaudatus T.nigrescens Thoopterus sp 1 Thoopterus sp 2
Steroid
Fenolik
++ ++ ++ ++ ++ +++ ++ ++
-
Komponen aktif Alkaloid Flavonoid D M W 1 2 3 + + + -
+ + + -
+ + + -
-
-
-
Saponin
-
Daging kelinci + - - - - - Daging ayam - - - - - + Daging babi + - - - - - Ikan cakalang ++ - - - - - W : pereaksi Wagner; M: pereaksi Meyer; D: pereaksi Dragendrof; +++: intensitas warna sangat kuat;++ intensitas warna kuat; + intensitas warna lemah; - tidak terdapat senyawa aktif Intensitas warna senyawa steroid sangat kuat pada T. nigrescens (+++) daripada A. celebensis, N. cephalotes, P. alecto, Pteropus sp, Thoopterus sp 1, Thoopterus sp 2, R. amplexicaudatus, serta ikan cakalang (++), sedangkan daging babi dan kelinci intensitas warnanya lemah (+) seperti pada Lampiran 1. Kuatnya intensitas warna pada semua jenis daging kelelawar diduga karena jenis makanan yang dikonsumsi kelelawar di alam dan kemampuan tubuh kelelawar untuk
101
memetabolisme
nutrisi
dalam
tubuh
terutama
karbohidrat
yang
akan
menghasilkan asam asetat yang merupakan prekursor untuk pembentukan asam mevalonat yang akan menghasilkan steroid. Uji alkaloid menggunakan pereaksi Dragendrof, Meyer, dan Wagner menunjukkan bahwa P. alecto, N. cephalotes, dan T. nigrescens mengandung senyawa alkaloid, walaupun intensitas warna lemah dan endapan yang terbentuk kurang (+), seperti pada Lampiran 12. Identifikasi senyawa alkaloid diketahui dengan adanya perubahan warna dari bening menjadi oranye dengan endapan oranye pada pereaksi Dragendrof, warna bening menjadi putih keruh dan endapan putih keruh pada pereaksi Meyer, dan perubahan warna bening menjadi cokelat dan endapan cokelat pada pereaksi Wagner. Terdapatnya kandungan alkaloid pada N. cephalotes, P. alecto, dan T.nigrescens diduga karena pakan yang dikonsumsi kelelawar jenis ini mengandung nutrisi yang dapat dijadikan sebagai prekursor pembentukan alkaloid dan adanya kemampuan tubuh untuk membentuk asamasam amino, seperti lisina, histidina, dan tirosina yang merupakan cikal bakal terbentuknya alkaloid Uji fitokimia Bumbu Masak Pengujian fitokimia menunjukkan bahwa bumbu masak mengandung senyawa triterpenoid dan alkaloid. Tabel 9 menunjukkan bahwa cabe rawit, jahe merah, kunyit, daun sereh, dan gabungan dari semua jenis bumbu masak positif mengandung senyawa triterpenoid dan senyawa flavonoid, sedangkan kunyit dan daun bawang hanya menggandung triterpenoid. Identifikasi senyawa triterpenoid
diketahui dengan adanya perubahan
warna sampel sesudah diuji dengan pereaksi Lieberman-Buchard menjadi merah muda dengan intensitas warna setiap bumbu yang berbeda. Intensitas warna senyawa triterpenoid sangat kuat pada kunyit, daun sereh, dan bumbu campur (+++) daripada cabe rawit (++), sedangkan jahe merah dan daun bawang intensitas warnanya lemah (+), seperti pada Lampiran 13. Uji flavonoid menunjukkan bahwa jahe, sereh, cabe rawit, dan campuran semua bumbu masak menggandung flavonoid. Identifikasi flavonoid diketahui dengan adanya perubahan warna menjadi kuning untuk ekstrak jahe, cabe rawit,
102
dan campuran bumbu masak serta warna jingga untuk ekstrak sereh, dengan intensitas perubahan warna yang sangat kuat, seperti pada Lampiran 14. Tabel 9 Uji fitokimia bumbu masak yang digunakan dalam pengolahan kelelawar Jenis bumbu
Komponen aktif Triterpenoid Fenolik Alkaloid Flavonoid Saponin D M W Cabe rawit ++ - - +++ Jahe merah + - - +++ Kunyit +++ - - Bawang daun + - - Bawang merah - - Daun sereh +++ - - +++ Daun jeruk purut - - Bumbu campur +++ - - +++ W:pereaksi Wagner; M:pereaksi Meyer; D:pereaksi Dragendrof; +++: intensitas warna sangat kuat;++ intensitas warna kuat; + intensitas warna lemah; - tidak terdapat senyawa aktif Isolasi Senyawa Steroid dengan Penyabunan Prinsip penyabunan ialah memisahkan senyawa-senyawa lemak selain senyawa-senyawa yang mengandung steroid, yaitu fase yang tersabunkan adalah lemak, dan fase tidak tersabunkan mengandung senyawa steroid. Tabel 10 menunjukkan hasil uji Lieberman Buchart dan perolehan bobot ekstrak tak tersabunkan dari masing-masing ekstrak n- heksana. Tabel 10 Bobot ekstrak n-heksana dan bobot fase yang tidak tersabunkan dari ketiga jenis kelelawar dan daging babi Jenis ekstrak n-heksana
Bobot ekstrak n-heksana (g)
Bobot fase tidak Uji steroid tersabunkan (g)
A. celebensis
70
1.225
Warna biru
P. alecto
130
3.887
Warna biru
R. amplexicaudatus
55
0.991
Warna biru
Daging babi
10
0.204
Warna biru
Hasil penyabunan ekstrak n-heksana A. celebensis, P. alecto, dan R. amplexicaudatus serta daging babi yang difraksinasi dengan menggunakan dietil eter menunjukkan bahwa fase tidak tersabunkan mengandung steroid, dan fase yang tidak tersabunkan tidak mengandung steroid.
103
Pemisahan dan Pemurnian Senyawa Tak Tersabunkan Berdasarkan banyaknya fase tak tersabunkan dari ketiga jenis kelelawar dan daging babi, maka untuk pemisahan dengan menggunakan kromatografi kolom diambil satu spesies yang jumlah fase tidak tersabunkan lebih banyak, yaitu P. alecto. Untuk menguji pelarut terbaik yang digunakan dalam kromatografi kolom digunakan enam pelarut tunggal sebagai analisis awal menggunakan kromatografi lapis tipis. Gambar 22 memperlihatkan pola noda yang terbentuk pada KLT dari fase tak tersabunkkan ekstrak n-heksana P. alecto pada enam pelarut tunggal.
Kloroform
Etanol
Etil asetat
n-Heksana
Dietil eter
Metanol
Gambar 22 Pola noda kromatografi lapis tipis fase tak tersabunkan ekstrak nheksana P. alecto pada enam pelarut tunggal. Berdasarkan pada pola noda yang terbentuk dari keenam pelarut tunggal dilakukan kombinasi pelarut, yaitu Etanol-etil asetat dan n-heksana-etil asetat. Gambar 23 memperlihatkan pola noda pada plat kromatografi lapis tipis kombinasi pelarut Etanol–etil asetat (50:50) dan n-heksana-etil asetat (50:50)
Etanol–etil asetat (50:50)
n-Heksana-etil asetat(50:50)
Gambar 23 Pola noda kromatografi lapis tipis fase tak tersabunkan ekstrak nheksana pada pelarut Etanol-etil asetat dan n-heksana-etil asetat. Berdasarkan pola noda dari kedua kombinasi pelarut maka dipilih kombinasi n-heksana-etil asetat. Hasil analisis kombinasi n-heksana-etil asetat yang terbaik untuk proses kromatografi kolom dari fraksi yang tidak tersabunkan
104
adalah n-heksana-etil asetat (80 :20), dengan empat noda dan nilai Rf1 = 0.17, Rf2 = 0.37, Rf3 = 0.73 dan Rf4 =1. Gambar 24 menunjukkan pola noda pada plat kromatografi lapis tipis ekstrak n-heksana fase tak tersabunkan P. alecto dengan perbandingan n-heksana-etil asetat yang berbeda.
n-Heksana - etil asetat (50 :50)
n-Heksana - etil asetat (70 :30)
n-Heksana - etil asetat (80 :20)
Gambar 24 Pola noda pada kromatografi lapis tipis ekstrak n-heksana fase tak tersabunkan P. alecto pada perbandingan n-heksana-etil asetat yang berbeda. Hasil analisis dengan kromatografi kolom terhadap satu gram fase tidak tersabunkan ekstak n-Hexana P. alecto diperoleh sebanyak 126 fraksi. Setelah dianalisis dengan KLT diperoleh 6 fraksi gabungan. Fraksi-fraksi yang menampakkan pola yang sama pada kromatogram lapis tipis adalah fraksi A (T1T12) seberat 0.0436 g, fraksi B (T13-T36) seberat 0.0378 g, fraksi C (T37-T58) seberat 0.237 g , fraksi D (T59-T67) seberat 0.127 g, fraksi E (T68-T76) seberat 0.0144 g, dan fraksi F (T77-T126) seberat 0.358 g. Kromatografi lapis tipis dari keenam fraksi gabungan dapat dilihat pada Gambar 25.
Gambar 25 Pola noda pada kromatografi lapis tipis enam fraksi gabungan fase tak tersabunkan ekstrak n-heksana P. alecto.
105
Hasil analisis KLT terhadap enam fraksi gabungan menunjukkan bahwa fraksi A memiliki satu noda tebal dengan nilai Rf = 0.92, fraksi B memiliki dua noda dengan nilai Rf = 0.30 dan 0.63, fraksi C memiliki dua noda dengan nilai Rf = 0.41 dan 0.58, fraksi D memiliki dua noda dengan nilai Rf = 0.40 dan 0.6, fraksi E memiliki 3 noda dengan nilai Rf masing masing 0.16, 0.25, dan 0.46, dan fraksi F memiliki dua noda dengan nilai Rf 0.73 dan 0.86. Identifikasi dan Penentuan Struktur Molekul Analisis selanjutnya adalah menentukan bobot molekul senyawa hasil fraksinasi kolom menggunakan LC-MS seri UPLC acquaty, MS XEVO-G2QTof , kolom acquatif BEH 1.7 μm C18, 2.1 mm x 50 mm, dan pendugaan rumus molekul serta struktur molekul menggunakan bantuan software masslynx, tools element composition serta database melalui database (ChemSpider). Hasil LC-MS dari fraksi A menunjukkan 11 puncak dengan waktu retensi secara berurutan adalah 2.3, 2.75, 3.06, 3.19, 3.27, 3.75, 3,97, 4.32, 4.73, 5.00 dan 5.26. Persen kelimpahan tertinggi adalah waktu retensi 3.75 dan 4.73. Spektrum massa dari fraksi A ditunjukkan dalam Gambar 26.
Gambar 26 Spektrum MS dari fraksi A. Hasil analisis menunjukkan bahwa senyawa dengan waktu retensi 3.75 mempunyai rumus molekul C26H37O4 dan bobot molekul 413.2692, dan senyawa dengan waktu retensi 4.73 mempunyai rumus molekul C23H34N dan bobot
106
molekul 324.2691. Berdasarkan database senyawa dengan bobot molekul 413.26 mempunyai lima kemungkinan senyawa, seperti pada Gambar 27.
11-(6-Hydroxy-2,5,7,817-[(3 Cyclopentylpropanoyl)oxy]-3tetramethyl-3,4-dihydro-2Hoxoestr-4-en-4-olate chromen-2-yl)-4,8-dimethyl-4,8Massa: 413.269989013672 Da undecadienoate Massa: 413.269989013672 Da
4-(Octyloxy)-4-[2(pentyloxy)phenyl]-2,5cyclohexadiene-1-carboxylate Massa: 413.269745 Da
O15-(3-Carboxylato-3methyl-2butanyl)retinoic acid Massa: 413.269745 Da
2-(4-isobutylphenyl)propanoate; 2-(4-isobutylphenyl)propanoic acid; molecular hydrogen Massa: 413.269745 Da
Gambar 27 Lima kemungkinan senyawa dengan massa 413.26. Dari kelima struktur tersebut satu senyawa mempunyai kemiripan dengan struktur
molekul
senyawa
steroid
golongan
Cyclopentylpropanoyl)oxy]-3-oxoestr-4-en-4-olate.
estron,
Estron
yaitu
adalah
17-[(3
kelompok
steroid jenis estrogen yang merupakan hormon seks wanita yang diproduksi di kelenjar adrenal dan ovari dan berkaitan dengan pengembangan sel telur dan perkembangan seks sekunder pada wanita (Wilbraham et al. 1992, Hart et al. 2003). Senyawa dengan bobot molekul 324.27 mempunyai enam kemungkinan senyawa seperti pada Gambar 28. Berdasarkan strukrur molekulnya, senyawa N,N-Diethyl-N-[4-(3-phenyl-2butanyl)benzyl]ethanaminium dan [4-(1-ethyl-3-
107
phenyl-pentyl) phenyl]methyl-trimethyl-ammonium tidak memiliki kemiripan dengan senyawa steroid. Kedua senyawa ini memiliki kemiripan dengan turunan benzena, dan cincin benzena sebagai subtituen pada alkana. Empat senyawa, yaitu 1-{[(5R,7S)-3-(4-Methylphenyl)-1-yl]methyl} piperidinium, 1-Dodecyl-3phenylpyridinium, 1-{[3-(4-Methylphenyl)-1-yl]methyl}piperidinium, dan 1-[1(7-Isopropyl-1-me thyl-4-azulenyl)-2-methyl-2-propanyl]-1-methylpyrrolidinium mempunyai kemi ripan dengan struktur molekul alkaloid golongan piridinpiperidin karena mengandung cincin karbon dan satu atom nitrogen dalam satu cincin karbon sebagai struktur inti. Senyawa alkaloid golongan ini terdapat pada tumbuhan Piperis nigri (lada hitam), dan tumbuhan areca catechu (pohon pinang) yang berguna sebagai obat cacing dan penenang (Kristina & Syahid 2008).
1-[1-(7-Isopropyl-1-methyl-4- N,N-Diethyl-N-[4-(3-phenyl-2- azulenyl)-2-methyl-2propanyl]- butanyl)benzyl]ethanaminium 1-methylpyrrolidinium Massa: 324.268585 Da Massa: 324.268585 Da
1-{[3-(4Methylphenyl)adamantan-1yl]methyl}piperidinium Massa: 324.268585 Da
1-{[(5R,7S)-3-(4 1-Dodecyl-3-phenylpyridinium Methylphenyl)adamantan-1-yl] Massa: 324.269012451172 Da methyl}piperidinium Massa: 324.268585 Da
[4-(1-ethyl-3-phenylpentyl)phenyl]methyltrimethyl-ammonium Massa: 324.269 Da
Gambar 28 Enam kemungkinan senyawa dengan massa 324.27. Keempat senyawa juga mempunyai kemiripan struktur molekul dengan senyawa Kitotifen (Gambar 29) yang diusulkan sebagai obat asma, alergi kulit,
108
anafilaksis, dan rinitis karena berfungsi sebagai senyawa pemblokir reseptor histamin H1 dan pelepasan mediator inflamasi.
4-(1-Methyl-4-piperidinylidene)-4,9-dihydro-10Hbenzo[4,5]cyclohepta[1,2-b]thiophen-10-one Molecular Formula: C19H19NOS Monoisotopic mass: 309.118744 Da
Gambar 29 Struktur molekul senyawa kitotifen. Hasil LC-MS dari fraksi C menunjukkan 11 puncak dengan waktu retensi secara berurutan adalah 2.16, 2.23, 2.82, 3.11, 3.21, 3.39, 4.05, 4.58, 4.62, 4.95 dan 5.18. Persen kelimpahan tertinggi adalah waktu retensi 3.21 dan 4.62 dengan bobot molekul 276.2 dan 319.3. Spektrum massa dari fraksi C ditunjukkan dalam Gambar 30.
Gambar 30 Spektrum MS dari fraksi C. Hasil analisis spektrum massa menunjukkan bahwa
senyawa dengan
waktu retensi 3.21 mempunyai molekul 276.26, dan senyawa dengan waktu retensi 4.62 mempunyai bobot molekul 319.31. Berdasarkan hasil analisis menggunakan bantuan software senyawa dengan bobot molekul 276.26 mempunyai rumus molekul C19H34N dengan 17 kemungkinan senyawa. Empat
109
senyawa di antaranya mempunyai kemiripan dengan steroid golongan androstan. Salah satu jenis hidrokarbon induk steroid dari keempat senyawa ini adalah androstan dengan gugus fungsi metil yang melekat pada C-10 dan C-13 dan rantai samping NH3 yang melekat pada atom C nomor 17, seperti pada Gambar 31.
(5α,14β,17β)- Androstan-17aminium Massa: 276.268585 Da
(5β,14β,17β) Androstan-17aminium Massa: 276.268585 Da
(5α,8α,14β,17β)- Androstan-17aminium Massa: 276.268585Da
(5β,8α,14β,17β)Androstan-17aminium Massa: 276.268585 Da
Gambar 31 Empat kemungkinan senyawa dengan massa 276.26858. Harold et al. (2003) menyatakan bahwa ciri umum struktur steroid adalah sistem empat cincin yang tergabung. Cincin A, B, dan C beranggotakan enam, dan cincin D beranggota lima, biasanya ada substitusi metil yang melekat pada C-10 dan C-13 dan semacam rantai samping yang melekat pada C-17. Adrostan merupakan hormon seks pada pria yang masuk ke dalam kelompok androgen yang diproduksi oleh kelenjar adrenal yang berkaitan dengan perkembangan seks sekunder pada pria (Wilbraham et al. 1992, Hart et al. 2003). Senyawa dengan bobot molekul 319.31 mempunyai rumus molekul C21H39N2 dengan dua kemungkinan senyawa, seperti pada Gambar 32. Berdasarkan pada struktur molekul, kedua senyawa tersebut mempunyai kemiripan dengan senyawa alkaloid, karena adanya atom nitrogen dalam struktur lingkar heterosklik. Berdasarkan pada atom nitrogen, senyawa (3S,5R,6aS,9S)-5-Pentyl-3,9dipropyl-2,3,5,6,6a,7,8,9-octahydro-1H-dipyrrolo[1,2-a:1',2'-c] pyrimi din-4-ium masuk ke dalam alkaloid heterosiklik golongan imidazol yang atom nitrogen terdapat pada cincin karbon dan cincin karbonnya mengandung dua atom nitrogen. Alkaloid golongan imidazol banyak digunakan untuk pengobatan mata
110
dan untuk meningkatkan sirkulasi darah. Santos & Moreno (2004) melaporkan bahwa alkaloid pilocarpine dari tamanam Pilocarpus digunakan sebagai obat tetes mata untuk pengobatan glaukoma, serta untuk stimulasi keringat dan kelenjar air mata (Sawaya et al. 2011).
4-Amino-1-hexadecylpyridinium Massa: 319.310791 Da
(3S,5R,6aS,9S)-5-Pentyl-3,9-dipropyl2,3,5,6,6a,7,8,9-octahydro-1Hdipyrrolo[1,2-a:1',2'-c]pyrimidin-4-ium Massa: 319.310791 Da
Gambar 32 Dua kemungkinan senyawa dengan bobot molekul 319.31. Harbone (2006) mengatakan bahwa tidak satu pun definisi alkaloid yang memuaskan, tetapi umumnya alkaloid adalah senyawa metabolit sekunder yang bersifat basa, mengandung satu atau lebih atom nitrogen, dan biasanya dalam cincin heterosiklik, sekurang-kurangnya satu atom di antara cincin harus merupakan heteroatom, yaitu atom yang bukan karbon. Adanya senyawa steroid dan alkaloid pada daging kelelawar, serta senyawa triterpenoid dan flavoinoid pada bumbu-bumbu masak yang digunakan dalam pengolahan daging kelelawar menjadikan daging kelelawar sebagai pangan yang dapat berfungsi sebagai pangan fungsional. Adanya kemiripan senyawa steroid golongan estron dan androstan serta senyawa alkaloid golongan piridin-piperidin dan imidazol pada daging kelelawar P. alecto maka dugaan daging kelelawar dapat membantu proses penyembuhan asma, alergi dan dapat meningkatkan stamina dapat diterima Simpulan Hasil skrining tahap awal pada bagian hati, daging bersama kulit, dan karkas
kelelawar P. alecto menunjukkan adanya senyawa steroid. Hasil uji
fitokimia tahap kedua menunjukkan N. cephalotes dan P. alecto mengandung senyawa aktif yang beragam. Hasil karakterisasi terhadap isolasi ekstrak
n-
heksana P. alecto diperoleh senyawa steroid kelompok estron dan androstan, dan alkaloid dengan kerangka piridin-piperidin dan imidazol.
111
Daftar Pustaka [AOAC] Official Method of Analysis of the Association of Official Analytical Chesmist. 1995. Inc. Arlington. Virginia. USA. [BPOM RI] Badan Pengawasan Obat dan Makanan Republik Indonesia Peraturan Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan R.I. No. HK. 00.05.52.0685. 2005. Tentang Ketentuan Pokok Pengawasan Pangan Fungsional. BPOM RI. Chaovanalikit A, Wrolstad RE. 2004. Total anthocyanins and total phenolic of frest and processed cherries and their antioxidant properties. J Food Sci 69 (1) :67-72. Darusman LK, R Haryanto, M Rafi, WT Wahyuni. 2007. Petensi daerah sidik jari spektrum infra merah sebagai penanda bioaktivitas ekstrak tanaman obat. J Ilmu Pert Indones 12(3):154-162. Gibson GR, Williams CM. 2000. Functional Food Concept to Product. Cambridge England: Wood Publishing Limited Handayani D, Aldi Y, Zumiarti. 2008. Uji aktifitas penghambatan degranulasi mastosit yang tersensitisasi terhadap ekstrak metanol spon laut. J Sains Teknol Farm13(1):1-11. Harborne JB. 2006. Metode Fitokimia. Penuntun cara modern menganalisa tumbuhan. ITB Bandung Harold H, LE Craine, DH Hart. 2003. Kimia Organik. Ed ke-11. Jakarta: Erlangga. Juniarti, Osmeli D, Yuhernita. 2009. Kandungan senyawa kimia, uji toksisitas (Brine Shrimp Lethality test) dan antioksidan (1.1-diphenyl-2pikrilhydrazyl) dari ekstrak daun saga (Abrus precatorius L.). Makara Sains 13(1):50-54. Kristina NN, Syahid SF. 2007. Penggunaan tanaman kelapa (Cocos nucifera), pinang (Areca catechu) dan aren (Arenga pinnata) sebagai tanaman obat. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. (terhubung berkala) http://balittro.litbang.deptan.go.id/ind/ (7 Mei 2012) Murray RK, Granner DK, Mayes PA, Rodwell VW. 2003. Biokimia Harper. Ed ke-25. Hartono A, Alih Bahasa; Bani AP, Sikumbang TMN, editor. Penerbit Buku Kedokteran. EGC. Mc. Craw Hill. Rustam E, Atamasari I, Yanwirastasti. 2007. Efek antiinflamasi ekstrak etanol kunyit (curcuma domestica val.) pada tikus putih jantan galur wistar. J Sains Teknol 12(2):112-115.
112
Saleh C. 2007. Isolasi dan penentuan struktur senyawa steroid dari akar tumbuhan cendana (Santalum album Linn). Disertasi. Medan : Sekolah Pascasarjana. Universitas Sumatera Utara. Medan. Santos Ap, Moreno PRH. 2004. Pilocarpus spp: survey of its chemical constituts and biological activities. Bazilian J Pharmac Sci 20:116-137. Sawaya ACH, Vaz BG, Eberlin MN, Mazzafera P. 2011. Screening spesies of pilocapus (Rustaceae) as sources of pilocarine and other imidazole alkaloids. Gennetic resources and crop evalution 58 (3). Absrtact. http://www.springerlink.com/content/01027wm4011mr53w/. (7 mei 2012) Sukadana IM, Santi SR, Juliarti NK. 2008. Aktifitas antibakteri senyawa golongan triterponoid dari biji pepaya (Carica papaya L.). J Kim 2(1):1518. Wilbraham AC, Matta MS. 1992. Pengantar Kimia Organik dan Hayati. Bandung : Penerbit ITB Bandung. Winarti C, Nurjanah UN. 2005. Peluang tanaman rempah dan obat sebagai pangan fungsional. J Litbang Pert 24 (2): 47-55.