PE RBANDINGAN DIAGNOSIS MALARIA KLINIS DAN PE MERIKSAAN MIKROS KO PIS DI PUSKESMAS BUNT A KAB UPATEN BANGGAI
1
A.Arsunan Arsin 1, Heri Paerunan 2, Sri Syatriani 3 Bagian Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin 2 Staf Dinas Kesehatan Kab. Banggai Propinsi Sulawesi Tengah 3 Peminatan Epidemiologi STIK Makassar
ABSTRAK Penyakit malaria masih merupakan salah satu masalah kesehatan dunia. Di Indonesia sampai saat ini angka kesakitan penyakit malaria masih cukup tinggi terutama di luar daerah Jawa dan Bali. Secara khusus di Puskesmas Bunta Kabupaten Banggai tahun 2008, AMI masih tinggi sebesar 109,9‰. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan hasil diagnosis malaria klinis dengan pemeriksaan mikroskopis dan mengetahui hubungan antara gejala dan tanda klinis malaria terhadap hasil pemeriksaan mikroskopis. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasional dengan desain cross sectional study dengan mewawancarai dan mengambil sediaan darah penderita suspek malaria sebanyak 150 orang sebagai responden. Pengambilan sampel dilakukan di Puskesmas dan di rumah penduduk. Data dianalisis dengan program SPSS secara univariat, bivariat (Chi Square) , dan multivariat (regresi logistik). Hasil penelitian menunjukkan bahwa penderita malaria klinis yang positif berdasarkan pemeriksaan mikroskopis sebanyak 52%. Gejala dan tanda klinis malaria yang berhubungan bermakna dengan pemeriksaan mikroskopis adalah menggigil (p=0,000), sakit kepala (p=0,007), nyeri otot/tulang (p=0,001), pusing (p=0,000), demam >37,5°C (p=0,003), anemia (p=0,000, dan splenomegali (p=0,000). Berdasarkan uji multivariat diperoleh gejala dan tanda klinis yang paling dominan berhubungan dengan pemeriksaan mikroskopis adalah gejala menggigil (p=0,002 ; Wald=9,662 ; CI 95%= 1,593-7,797) dan Anemia (p=0,000 ; Wald=15,731 ; CI 95%= 2,265-11,191).Diagnosis klinis merupakan alternatif diagnosis penyakit malaria bagi daerah endemis yang mempunyai keterbatasan dalam hal pemeriksaan mikroskopis. Gejala menggigil dan tanda klinis anemia merupakan prediktor terbaik untuk diagnosis dini, skrining, dan surveilans malaria. Kata kunci : diagnosis malaria klinis, pemeriksaan mikroskopis, gejala dan tanda klinis malaria
1
THE COMPARISON OF CLINICAL MALARIA DIAGNOSIS AND MICROSCOPHIC EXAMINATION AT PUBLIC HEALTH CENTER OF BUNTA BANGGAI REGENCY
ABSTRACT Malaria is one of health problems in the world. In Indonesia morbidity of malaria is still high, mainly in Java and Bali island outside. In special at Bunta Public Health Center Banggai Regency in 2008, The AMI still high was 109,9‰. The objective of research was to compare clinical malaria diagnosis result to microscophic examination and to find out the correlations between clinical sign and symptoms to microscophic examination. The methods used in research were observasional study with cross sectional study by interviewing and taking blood stoke of malaria suspected was 150 respondents. Sampling was performed in Public Health Center and people residents. The data was analyzed by SPSS program according to univariate, bivariate (Chi square), and multivariate (logistic regression). The result of research showed that positive clinical malaria based on microscopic examination was 52%. The sign and symptomps of malaria correlations with microscophic examination were shiver (p=0,000), headache (p=0,007), muscle/bones painful (p=0,001), dizzy (p=0,000), fever >37,5°C (p=0,003), anemia (p=0,000), and splenomegaly (p=0,000). Based on the multivariate test indicated that the dominant sign and symptoms related to microscophic examination are shiver symptom (p=0,002 ; Wald=9,662 ; CI 95% = 1,593-7,797) and anemia (p=0,000 ; Wald=15,731 ; CI 95% = 2,265-11,191). Malaria clinical diagnosis is the alternative diagnosis of malaria in endemic areas that have microscophic examination restictiveness. Shiver symptoms and anemia clinical sign are the best predictor to be used in early diagnosis, screening, and surveilance of malaria. Key words: clinical malaria diagnosis, microscophic examination, clinical sign and symptoms.
2
PENDAHULUAN Penyakit malaria masih merupakan salah salah masalah kesehatan dunia terutama di negara sedang berkembang pada kawasan tropik dan subtropik. Sekitar 40% dari penduduk dunia tinggal di daerah endemis malaria (Arwati H,2005)1. Angka kesakitan penyakit malaria di Indonesia masih cukup tinggi terutama di luar daerah Jawa dan Bali, diperkirakan 35% penduduk di Indonesia tinggal didaeah yang berisiko tertular malaria (Depkes RI, 2003)2. Insiden malaria di kabupaten Banggai masih cukup tinggi yaitu masingmasing tahun 2006 Annually Malaria Incidence (AMI) sebesar 47,85 ‰, tahun 2007 AMI sebesar 47,36‰, dan tahun 2008 AMI sebesar 45,97‰. Secara khusus di Puskesmas Bunta kejadian malaria meningkat setiap tahun secara berturut-turut tahun 2006 AMI sebesar 86,9‰, tahun 2007 (91,6‰), dan tahun 2008 (109,9‰) (Dinkes Kabupaten Banggai)3. Upaya penanggulangan penyakit malaria terus dilakukan, namun hasil yang diperoleh masih belum optimal dalam menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat malaria khususnya di daerah endemisitas tinggi. Upaya penatalaksanaan penyakit malaria memerlukan informasi yang akurat dan evidence base (berdasarkan bukti lapangan). Diagnosis malaria klinis menjadi alternatif bagi daerah endemis yang memiliki keterbatasan dalam pemeriksaan mikroskopis dalam mencegah penularan dan komplikasi akibat penyakit malaria. Menyadari akan hal itu, maka penelitian ini diharapkan dapat memperoleh besarnya perbedaan hasil diagnosis malaria secara klinis dengan diagnosis mikroskopis dan mengetahui hubungan antara gejala dan tanda klinis malaria dengan hasil pemeriksaan mikroskopis sehingga didapatkan gejala dan tanda klinis yang dapat dijadikan alat deteksi dini, pengobatan dan peningkatan sistem surveilans malaria di Puskesmas Bunta Kabupaten Banggai Tahun 2009
METODE PENELITIAN Jenis penelitian yang digunakan adalah Observasional dengan Pendekatan Cross Sectional Study, yaitu semua variabel penelitian yaitu gejala/tanda klinis malaria dan pemeriksaan mikroskopis diamati secara serentak dalam waktu bersamaan. Penelitian dilaksanakan di wilayah Puskesmas Bunta Kabupaten Banggai. Alasan memilih lokasi tersebut karena merupakan daerah endemis malaria. Populasi dalam penelitian ini adalah penderita suspek malaria yang ada di wilayah penelitian. Sampel adalah penderita suspek malaria yang ditemukan baik
3
di Puskesmas (PCD) maupun di rumah (ACD) sebanyak 150 orang dalam wilayah penelitian. Data yang dikumpulkan adalah data primer dengan menggunakan kuesioner. Data Sekunder diperoleh di lokasi penelitian. Penyakit malaria sehubungan dengan pengobatannya perlu ditegakkan diagnosisnya dengan melihat gejala dan tanda klasik yang muncul secara umum yang menggambarkan keadaan penderita penyakit malaria. Meskipun diagnosis klinis mempunyai kelemahan yakni gejala klinis yang muncul tidak selalu khas malaria, seperti akibat infeksi virus, namun diagnosis malaria secara klinis terutama pada daerah endemis dan wilayah yang mempunyai keterbatasan pemeriksaan mikroskopis sangat diperlukan secara cepat ditegakkan agar dapat dilakukan penatalaksanaan/pengobatan penderita sehingga dapat mencegah terjadinya komplikasi/malaria berat dan mengurangi angka kematian. Adapun variabel gejala dan tanda klinis yang akan diteliti yaitu: (1) Demam, timbul bersamaan dengan pecahnya skizon darah yang mengeluarkan bermacam-macam antigen dan merangsang sel-sel makrofag, monosit atau limfosit yang mengeluarkan berbagai macam sitokin, antara lain TNF (Tumor Nekrosis Factor) α. TNF α akan dibawa aliran darah ke hipotalamus yang merupakan pusat pengatur suhu tubuh dan terjadi demam. (2) Menggigil, merupakan tanda khas demam yang dialami penderita malaria, yakni panas tinggi yang timbul dikompensasi oleh tubuh sehingga penderita menggigil. (3) Sakit kepala, merupakan akibat dari lepasnya mastosit dan TNF yang selain menimbulkan demam juga menimbulkan sakit kepala. (4) Nyeri Otot/tulang, juga diakibatkan terlepasnya mastosit dan TNF alfa yang bermanifestasi pada nyeri otot / tulang. (5) Mual, merupakan gejala yang timbul sebagai reaksi gastrointestinal akibat infeksi plasmodium. (6) Muntah, merupakan kelanjutan dari kondisi mual yang meningkat menjadi rangsangan terhadap lambung untuk mengeluarkan isinya. (7) Pusing, merupakan gejala lain yang muncul pada penderita suspek malaria. (8) Suhu tubuh tinggi/demam, merupakan tanda klinis akibat reaksi tubuh terhadap adanya benda asing, karena adanya histamin release dan TNF yang menimbulkan peningkatan suhu tubuh diatas 37,5 ° C. (9) Anemia merupakan juga tanda klinis akibat pecahnya sel darah merah(eritrosit) selama terjadinya segmentasi parasit, yang ditandai dengan menurunnya kadar Hb darah dibawah 11,5 g/dl. (10) Splenomegali (pembesaran limfa), karena adanya invasi parasit dan pembentukan jaringan ikat pada limfa (Harijanto. PN, 2000)4. Penentuan diagnosis malaria perlu dikonfirmasi dengan pemeriksaan mikroskopis untuk meningkatkan validitas diagnosis sehingga penatalaksanaannya dapat dilakukan dengan tepat. Dalam hal ini dimaksudkan untuk pemberian obat yang rasional sehingga dapat mengurangi kejadian resistensi obat anti malaria dan mencegah penularan.
4
HASIL PENELITIAN Karakteristik Variabel Penelitian Tabel 1. Distribusi gejala dan tanda klinis yang diderita penderita suspek malaria di wilayah kerja Puskesmas Bunta tahun 2009 Gejala dan tanda klinis Demam Menggigil Sakit kepala Nyeri otot/tulang Mual Muntah Pusing Demam >37,5°C Anemia Pembesaran limfa Sumber : data primer
Jumlah 150 89 127 90 68 36 70 53 89 25
Persentase 100,0 59,3 84,7 60,0 45,3 24,0 46,7 35,3 59,3 16,7
Tabel 1 menunjukkan gejala dan tanda klinis yang paling banyak dikeluhkan oleh penderita suspek malaria adalah demam sebesar 100,0% dan sakit kepala sebesar 84,7% sedangkan paling sedikit adalah muntah sebesar 24,0% dan pembesaran limfa (splenomegali) sebesar 16,7%. Analisis Bivariat
Tabel 2.
Hubungan antara gejala klinis pada penderita suspek malaria dengan hasil pemeriksaan mikroskopis di wilayah kerja Puskesmas Bunta tahun 2009 Gejala klinis
Menggigil Sakit kepala Nyeri otot/tulang Mual Muntah Pusing Sumber : data primer
X2 15,205 7,308 11,579 0,751 0,076 11,607
Nilai p 0,000 0,007 0,001 0,386 0,783 0,001
5
Pada penelitian ini penderita suspek malaria yang positif berdasarkan mikroskopis adalah sebanyak 52%. Tabel 2 menunjukkan gejala klinis yang berhubungan dengan dengan pemeriksaan mikroskopis adalah menggigil (p=0,000 ; X2 =15,205), sakit kepala (p=0,007 ; X2 =7,308), nyeri otot/tulang (p=0,001 ; X2 =11,579), dan pusing (p=0,001 ; X2 =11,607).
Tabel 3.
Hubungan antara tanda klinis pada penderita suspek malaria dengan hasil pemeriksaan mikroskopis di wilayah kerja Puskesmas Bunta tahun 2009 X2 8,565 20,837 19,231
Tanda klinis Demam > 37,5 °C Anemia Splenomegali Sumber : data primer
Nilai p 0,003 0,000 0,000
Tabel 3 menunjukkan tanda klinis yang berhubungan dengan dengan pemeriksaan mikroskopis adalah demam >37,5°C (p=0,003 ; X2 =8,565), anemia (p=0,000 ; X2 =20,837), dan splenomegali (p=0,000 ; X2 =19,231). Tabel 4.
Analisis hubungan antara gejala klinis menggigil, sakit kepala, nyeri otot/sendi, dan pusing dengan hasil pemeriksaan mikroskopis positif di wilayah kerja Puskesmas Bunta tahun 2009
Gejala klinis
B
Wald
df
Sig.
Exp(B)
Menggigil Sakit kepala Nyeri otot/tulang Pusing Constant Sumber : data primer
1,260 1,528 1,264 -1,931 -2,469
9,662 6,472 7,619 18,632 6,514
1 1 1 1 1
0,002 0,011 0,006 0,000 0,011
3,524 4,609 3,540 0,140 0,085
95,0% CI for Exp(B) Lower Upper 1,593 7,797 1,420 14,957 1,443 8,688 0,060 0,348
Tabel 4 menunjukkan gejala klinis yang berhubungan secara positif dengan pemeriksaan mikroskopis adalah menggigil (p=0,003 ; wald=9,662 ; CI 95% = 1,593-7,797), sakit kepala (p=0,011 ; wald=6,472 ; CI 95% = 1,42014,957), dan nyeri otot (p=0,006 ; wald=7,619 ; CI 95% = 1,443-8,688).
6
Tabel 5. Analisis hubungan antara tanda klinis suhu tubuh tinggi/demam, anemia, dan pembesaran limfa dengan hasil pemeriksaan mikroskopis positif di wilayah kerja Puskesmas Bunta tahun 2009 Tanda klinis Demam > 37,5 °C Anemia Splenomegali Constant Sumber : data primer
B
Wald
df
Sig.
Exp(B)
-1,383 1,616 2,582 -4,904
10,342 15,731 10,997 8,769
1 1 1 1
0,001 0,000 0,001 0,003
0,251 5,035 13,221 0,007
95,0% CI for Exp(B) Lower Upper 0,108 0,583 2,265 11,191 2,874 60,808
Tabel 5 menunjukkan tanda klinis yang berhubungan secara positif dengan pemeriksaan mikroskopis adalah anemia (p=0,000 ; wald=15,731 ; CI 95% = 2,265-11,191) dan splenomegali (p=0,001 ; wald=10,997 ; CI 95% = 2,874-60,808).
PEMBAHASAN Hubungan antara Gejala Menggigil
terhadap
Hasil Pemeriksaan
Mikroskopis Menggigil adalah gejala yang timbul karena kompensasi tubuh terhadap timbulnya demam. Hal ini terjadi dengan ciri penurunan suhu tubuh relatif terhadap suhu lingkungan sehingga penderita merasa kedinginan yang hebat. Menggigil terjadi setelah pecahnya skizon dalam eritrosit dan keluar zat-zat antigenik yang menimbulkan menggigil dan gejala ini merupakan stadium awal penyakit malaria yang ditandai dengan perasaan kedinginan sehingga penderita sering membungkus diri dengan selimut atau sarung yang berlangsung sekitar 15 menit sampai 1 jam diikuti dengan meningkatnya temperatur (Harijanto. PN, 2000)4. Hasil penelitian didapatkan hasil yang signifikan antara gejala menggigil dengan hasil pemeriksaan mikroskopis (p=0,000 ; X2 =15,205). Gejala ini yang mempunyai nilai sensitivitas yang paling tinggi 74,4% dan akurasi 66,0%. Selanjutnya dengan uji multivariat diperoleh gejala menggigil adalah gejala paling bermakna (p=0,003 ; wald=9,662 ; CI 95% = 1,593-7,797), sehingga dapat dijadikan sebagai prediktor dalam menegakkan diagnosis klinis malaria. Hasil penelitian sebelumnya mengemukakan bahwa gejala menggigil merupakan gejala yang dapat digunakan untuk skrining awal malaria karena gejala ini bermakna
7
dengan hasil pemeriksaan mikroskopis serta penelitian yang lain ditemukan bahwa gejala ini mempunyai nilai sensitivitas lebih rendah 68,14% sehingga jumlah penderita suspek malaria yang tidak menggigil namun hasilnya positif secara mikroskopis lebih tinggi 31,86%. Gejala ini merupakan prediktor yang baik dalam menetapkan seseorang menderita malaria klinis karena mempunyai nilai kemaknaan yang cukup baik pada uji multivariat dan ditemukan nilai duga positif yang cukup tinggi terhadap gejala ini sebesar 85,80% (Hidayat. DA, dkk, 2007)5.
Hubungan antara Gejala Sakit Kepala
terhadap Hasil Pemeriksaan
Mikroskopis Sakit kepala merupakan manifestasi klinis dari adanya pelepasan faktorfaktor pemicu nyeri dari dalam eritrosit yang ikut keluar dengan pecahnya eritrosit karena lepasnya merozoit. Hasil penelitian yang dilakukan di wilayah Puskesmas Bunta didapatkan hasil yang signifikan antara gejala sakit kepala dengan hasil pemeriksaan mikroskopis (p=0,007 ; X2 =7,308). Gejala ini yang mempunyai nilai sensitivitas 92,3% dan akurasi 59,3% namun nilai spesifisitasnya 23,6% sehingga nilai positif palsu menjadi tinggi (76,4%). Ini berarti bahwa cukup banyak yang bukan penderita malaria yang menunjukkan adanya gejala sakit kepala. Hal ini dimungkinkan karena gejala sakit kepala dapat disebabkan oleh faktor lain. Selanjutnya dengan uji multivariat diperoleh gejala sakit kepala berhubungan dengan hasil pemeriksaan mikroskopis (p=0,003 ; wald=9,662 ; CI 95% = 1,5937,797). Penelitian sebelumnya mengenai gejala sakit kepala diperoleh nilai sensitivitas yang lebih rendah (75,98%), sehingga penderita suspek malaria yang tidak mengalami sakit kepala tetapi hasilnya positif secara mikroskopis lebih tinggi (24,02%). Gejala ini bermakna secara bivariat dengan hasil pemeriksaan mikroskopi (Hidayat. DA, dkk, 2007)5. Hubungan antara Gejala Nyeri Otot/Tulang terhadap Hasil Pemeriksaan Mikroskopis Nyeri otot/tulang merupakan manifestasi klinis dari pengeluaran zat pemicu sakit yang keluar bersama merozoit ketika eritrosit pecah. Nyeri otot/tulang ini disebabkan karena adanya histamin release dan TNF-α yang menyebabkan peningkatan suhu tubuh dan berakibat adanya sensasi nyeri otot/tulang. TNF dan IL-1 mempunyai sifat fisiologis dan metabolik yang bersamaan dengan nyeri tubuh dan gejala klinis lainnya. Hasil penelitian yang dilakukan di wilayah Puskesmas Bunta didapatkan hasil yang signifikan antara nyeri otot/tulang dengan hasil pemeriksaan mikroskopis (p=0,001 ; X2 =11,579). Nilai sensitivitas dari gejala nyeri otot/tulang diperoleh sebesar 73,1% sehingga diperoleh penderita suspek malaria yang tidak mengalami nyeri otot/tulang tetapi hasilnya positif secara mikroskopis sebanyak 26,9%. Nilai spesifisitas diperoleh
8
sebesar 54,2%, maka penderita suspek malaria yang mengalami nyeri otot/tulang tetapi hasilnya negatif secara mikroskopis sebanyak 45,8%. Selanjutnya dengan uji multivariat diperoleh nyeri otot/tulang berhubungan dengan hasil pemeriksaan mikroskopis (p=0,006 ; wald=7,619 ; CI 95% = 1,443-8,688). Penelitian oleh Hidayat tahun 2006 di Pulau Ambon diperoleh nilai sensitivitas yang lebih rendah 62,8% sehingga penderita suspek malaria yang tidak mengalami nyeri otot/tulang dengan hasil mikroskopis yang positif lebih tinggi 37,2% (Hidayat. DA, dkk, 2007)5. Hubungan antara Gejala Pusing terhadap Hasil Pemeriksaan Mikroskopis Pusing adalah salah satu gejala lain yang sering dialami/dikeluhkan pada penderita malaria dengan terjadinya stadium demam. Rasa pusing disebabkan oleh gangguan alat keseimbangan tubuh yang mengakibatkan ketidakcocokan antara posisi tubuh yang sebenarnya dengan apa yang dipersepsi oleh susunan saraf pusat akibat adanya rangsangan yang berlebihan. Pusing sering digolongkan sebagai sakit kepala ringan. Hasil penelitian yang dilakukan di wilayah Puskesmas Bunta didapatkan hasil yang signifikan antara gejala pusing dengan hasil pemeriksaan mikroskopis (p=0,001 ; X2 =11,607). Nilai sensitivitas dari gejala pusing diperoleh Nilai sensitivitas dari gejala pusing diperoleh sebesar 33,3% sehingga penderita suspek malaria yang tidak mengalami pusing tetapi hasilnya positif secara mikroskopis sebanyak 66,7%. Nilai spesifisitas diperoleh sebesar 38,9%, maka penderita suspek malaria yang mengalami pusing tetapi hasilnya negatif secara mikroskopis sebanyak 61,1%. Hal ini dimungkinkan karena gejala pusing disebabkan oleh faktor lain. Selanjutnya dengan uji multivariat diperoleh pusing berhubungan secara negatif dengan hasil pemeriksaan mikroskopis (p=0,000 ; wald=18,632 ; CI 95% = 0,060-0,348). Pada penelitian sebelumnya diperoleh nilai sensitivitas yang lebih rendah (30,4%) sehingga penderita suspek malaria yang tidak mengalami pusing dengan hasil mikroskopis positif lebih tinggi (69,6%) dan ditemukan bahwa gejala lain termasuk didalamnya gejala pusing mempunyai hubungan yang bermakna dengan pemeriksaan mikroskopis namun tidak bermakna pada uji multivariat (Hidayat. DA, dkk, 2007)5. Hubungan antara Tanda Klinis Demam >37,5°C
terhadap Hasil
Pemeriksaan Mikroskopis Demam mulai timbul bersamaan dengan pecahnya skizon darah yang mengeluarkan bermacam-macam antigen. Antigen ini akan merangsang sel-sel makrofag, manosit, atau limfosit yang mengeluarkan berbagai macam sitokin, antara lain TNF (tumor necrosis factor). TNF akan dibawa aliran darah ke hipotalamus yang merupakan pusat pengatur suhu sehingga terjadi demam. Proses skizogoni pada ke empat Plasmodium memerlukan waktu yang berbeda-beda. Hasil penelitian yang dilakukan di wilayah Puskesmas Bunta didapatkan hasil yang signifikan antara tanda klinis demam dengan hasil pemeriksaan mikroskopis (p=0,003 ; X2 =8,565). Nilai sensitivitas dari tanda klinis demam diperoleh
9
sebesar 24,4% sehingga diperoleh penderita suspek malaria yang tidak mengalami demam tetapi hasilnya positif secara mikroskopis sebanyak 75,6%. Hal ini dimungkinkan pada saat penderita berobat suhu badannya sudah turun. Nilai spesifisitas diperoleh sebesar 52,8%, maka penderita suspek malaria yang mengalami demam tetapi hasilnya negatif secara mikroskopis sebanyak 47,2%. Selanjutnya dengan uji multivariat diperoleh demam berhubungan secara negatif dengan hasil pemeriksaan mikroskopis (p=0,001 ; wald=10,342 ; CI 95% = 0,1080,583). Penelitian sebelumnya diperoleh nilai sensitivitas yang lebih tinggi (86,6%) sehingga penderita suspek malaria yang tidak mengalami demam dengan hasil mikroskopis positif lebih rendah (13,4%) dan menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara tanda klinis demam berdasarkan pengukuran suhu tubuh dengan pemeriksaan mikroskopis sehingga tanda klinis demam dapat dijadikan sebagai penyusun algoritma malaria (Hasmar. M, 2007)6.
Hubungan antara Tanda Klinis Anemia
terhadap Hasil Pemeriksaan
Mikroskopis Anemia adalah suatu keadaan yang ditandai dengan menurunnya kadar zat warna merah dalam sel darah merah atau eritrosit yang disebut sebagai hemoglobin. Anemia terjadi karena sporulasi dan destruksi eritrosit sehingga jika infeksi parasit berlangsung berulang atau bahkan berlangsung terus menerus dalam waktu lama, maka akan menimbulkan kehilangan hemoglobin. Tanda klinis ini terjadi terutama karena pecahnya sel darah merah yang terinfeksi. Plasmodium falcifarum menginfeksi seluruh stadium sel darah merah sehingga anemia dapat terjadi pada infeksi akut dan kronis, sedangkan Plasmodium vivax hanya menginfeksi sel darah merah mudah yang jumlahnya hanya 2% dari seluruh jumlah sel darah merah sehingga anemia umumnya terjadi pada infeksi kronis. Akibatnya penderita akan mengalami anemia yang dapat berbentuk anemia hipokromik mikrositik atau anemia hipokromik normositik. Berdasarkan uji Chi square didapatkan hasil yang signifikan antara anemia dengan hasil pemeriksaan mikroskopis (p=0,000 ; X2 =20,837). Nilai sensitivitas dari tanda klinis anemia diperoleh sebesar 76,9% sehingga diperoleh penderita suspek malaria yang tidak mengalami anemia tetapi hasilnya positif secara mikroskopis sebanyak 23,1%. Nilai spesifisitas diperoleh sebesar 59,7%, maka penderita suspek malaria yang mengalami anemia tetapi hasilnya negatif secara mikroskopis sebanyak 40,3%, sedangkan nilai akurasinya cukup tinggi 68,7%. Selanjutnya dengan uji multivariat diperoleh anemia merupakan tanda klinis yang paling berhubungan dengan hasil pemeriksaan mikroskopis (p=0,000 ; wald=15,731 ; CI 95% = 2,26511,191), sehingga dapat dijadikan sebagai prediktor dalam menegakkan diagnosis klinis malaria. Pada penelitian sebelumnya diperoleh nilai sensitivitas yang lebih rendah (58,8%) sehingga penderita suspek malaria yang tidak mengalami anemia dengan hasil mikroskopis positif lebih tinggi (41,2%) dan ditemukan bahwa tanda klinis anemia mempunyai hubungan yang bermakna dengan pemeriksaan mikroskopis.
10
Hubungan antara Tanda Klinis Splenomegali terhadap Hasil Pemeriksaan Mikroskopis Pembesaran limfa (splenomegali) adalah satu dari tiga tanda karakteristik utama dari infeksi malaria (demam, anemia, dan splenomegali). Akibat dari hiperaktivitas limfa terhadap adanya infeksi dari parasit malaria maka terjadi pembesaran limfa. Splenomegali sering ditemukan pada kasus malaria akut dan kronis. Adanya pembesaran limfa ini terutama terlihat pada anak-anak umur 2 sampai 9 tahun yang menunjukkan adanya infeksi yang kronis dan berulangulang. Splenomegali jarang terjadi pada orang dewasa didaerah endemik, seiring terbentuknya imunitas. Splenomegali juga merupakan petunjuk adanya endemisitas di suatu tempat, yang dihitung dengan Spleen Rate. Berdasarkan uji Chi square didapatkan hasil yang signifikan antara splenomegali dengan hasil pemeriksaan mikroskopis (p=0,000 ; X2 =19,231). Nilai validitas splenomegali yaitu nilai spesifisitas cukup tinggi (97,2%). Dengan nilai spesifisitas yang sangat tinggi, akan menekan angka sensitivitas menjadi rendah sehingga angka negatif palsu menjadi tinggi. Ini berarti bahwa cukup banyak penderita malaria yang tidak menunjukkan adanya splenomegali. Hal ini dimungkinkan karena pada penelitian ini lebih banyak penderita suspek malaria yang berada pada kelompok umur ≥15 tahun (61,3%). Penelitian ini juga menemukan tanda splenomegali mempunyai nilai duga positif yang cukup tinggi (92,0%) sehingga dapat dikatakan bahwa penderita yang mempunyai tanda klinis splenomegali kemungkinan besar akan menderita penyakit malaria. Selanjutnya dengan uji multivariat diperoleh splenomegali berhubungan dengan hasil pemeriksaan mikroskopis (p=0,001 ; wald=10,997 ; CI 95% = 2,874-60,808). Penelitian sebelumnya diperoleh tanda klinis ini berhubungan secara bermakna dengan hasil pemerikaaan mikroskopis (Hidayat. DA, dkk, 2007)5.
KESIMPULAN Diagnosis klinis malaria merupakan alternatif diagnosis penyakit malaria yang mempunyai kecenderungan untuk menduga adanya parasit malaria secara mikroskopis dengan diperolehnya hasil malaria klinis yang positif menderita malaria sebanyak 52%. Gejala klinis malaria yang berhubungan secara bermakna dengan hasil pemeriksaan mikroskopis adalah menggigil, sakit kepala, dan nyeri otot. Tanda klinis malaria yang berhubungan secara bermakna dengan hasil pemeriksaan mikroskopis adalah anemia dan pembesaran limfa. Gejala menggigil merupakan gejala yang paling bermakna hubungannya dengan hasil pemeriksaan mikroskopis dan tanda klinis yang paling bermakna hubungannya dengan hasil pemeriksaan mikroskopis adalah anemia. Diagnosis malaria secara klinis dapat dijadikan alternatif penegakan diagnosis malaria di daerah yang memang tidak terjangkau atau mempunyai keterbatasan dalam melakukan pemeriksaan
11
mikroskopis. Dalam penegakan diagnosis malaria secara klinis, gejala menggigil dan tanda klinis anemia merupakan prediktor penyakit malaria yang baik. SARAN Diagnosis malaria secara klinis dapat dijadikan alternatif penegakan diagnosis malaria di daerah yang memang tidak terjangkau atau mempunyai keterbatasan dalam melakukan pemeriksaan mikroskopis. Dalam penegakan diagnosis malaria secara klinis, gejala menggigil dan tanda klinis anemia merupakan prediktor penyakit malaria yang baik.
DAFTAR PUSTAKA 1. Arwati, H. Vaksin Malaria. (Online), (http://www.diglib.unair.com, diakses tanggal 12 September 2008). 2005. 2. Departemen Kesehatan RI. Manajemen Program Pemberantasan Malaria. Ditjen PPM dan PL, Jakarta. 2003. 3. Dinas Kesehatan Kabupaten Banggai. Profil Kesehatan Puskesmas Bunta Kabupaten Banggai., Luwuk. 2008. 4. Harijanto, PN. 2000. Malaria: Epidemiologi, patogenesis, manifestasi klinis, dan Penanganan. Jakarta : Buku Kedokteran EGC, 2000. 5. Hidayat, DA. dkk. Analisis Perbandingan Malaria Klinis dan Pemeriksaan Mikroskopis Dalam Diagnosis Malaria. Medika, Jurnal Kedokteran Indonesia No.10 Vol.XXXIII p.658. 2007. 6. Hasmar, M. Algoritma Diagnosis Malaria Sebagai Hasil Komparasi Gejala Klinis dan Uji Mikroskopis. Tesis tidak diterbitkan. Makassar: Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin. 2007.
12