KEBERTAHANAN UMAT HINDU ETNIS JAWA DI WILAYAH KECAMATAN TOILI KABUPATEN BANGGAI PROVINSI SULAWESI TENGAH Sugiarti Program Studi Pendidikan Agama Hindu STAH Dharma Sentana Sulawesi Tengah Email:
[email protected]
ABSTRAK Masyarakat secara umum mengenal, orang Jawa identik dengan penganut agama Islam. Hal ini dapat dimaklumi karena Islam adalah agama mayoritas di Pulau Jawa. Walaupun jika ditelusuri berdasarakana kesejarahan, Hindu merupakan agama pertama yang mempengaruhi bangsa Indonesia dibandingkan dengan yang lainnya. Hindu juga banyak mewariskan benda-benda tinggalan budaya bangsa, termasuk ajaran dan filsafat yang pada akhirnya menjadi jiwa bagi kebudayaan Jawa. Berkat kedatangan Hinduisme, Jawa juga memasuki zaman sejarah. Namun pada perkembangan berikutnya hingga kini, Hindu menjadi agama minoritas di Pulau Jawa, sehingga jika masih ada orang Jawa yang masih mempertahankan agama Hindu, terutama pada orang-orang yang tinggal di perantauan atau di luar Jawa dianggap aneh (tidak biasa). Kata Kunci: Kebertahanan, Umat Hindu Etnis Jawa 1.
minoritas. Itupun lebih banyak tersebar di
Pendahuluan Mempertahankan
keyakinan
daerah pedesaan, dan terkesan tidak muncul di
ataupun kebudayaan yang telah dianutnya
permukaan. Maksudnya jarang orang yang
terkadang terasa sulit. Apalagi jika hidup di
mengetahuinya (tidak dikenal secara luas). Hal
tengah-tengah masyarakat yang mayoritas dan
ini karena penganut Hindu etnis Jawa sedikit
heterogen, dengan kondisi yang minoritas dari
yang berkiprah dan memegang kendali dalam
segi jumlah. Namun bagi masyarakat tertentu,
bidang pemerintahan maupun ekonomi di
justru hal ini merupakan tantangan dalam
daerahnya. Hal ini
sebuah
kepopuleran penganutnya sebagai bagian dari
perjuangan.
suatu
Ini
adalah
sedikit
gambaran dari pengalaman umat Hindu etnis
juga berdampak pada
warga setempat.
Jawa yang memilih hidup di perantauan
Memang tidak semua umat Hindu etnis
maupun ikut program transmigrasi keluar
Jawa
rapuh
dalam
daerah.
agamanya. Misalnya
di
mempertahankan beberapa
daerah
Selama ini, bagi sebagian masyarakat,
wilayah Banyuwangi, Jawa Timur masih dapat
jika terdapat perkumpulan umat Hindu yang
ditemukan basis-basis umat Hindu; dan secara
berasal dari etnis Jawa memang masih terasa
ekonomi dan pendidikan tergolong mapan.
ganjil. Hal ini dapat dimaklumi karena agama
Demikian juga yang terjadi pada umat Hindu
Hindu memang identik dengan etnis Bali.
yang hidup di wilayah pegunungan Tengger;
Selain itu, keberadaan umat Hindu di Pulau
namun kurang memiliki jiwa perantau.
asalnya yakni Pulau Jawa, juga tergolong
26
WIDYA GENITRI Volume 8, Nomor 1, Juli 2016
Penganut Hindu etnis Jawa tidak banyak
Minangkabau justru mengukuhkan agama
yang memilih hidup di perantauan. Memilih
Islam
hidup sebagai perantau maupun ikut program
kepercayaan
transmigrasi pemerintah sebenarnya ada dua
diperjelas oleh Mendatu bahwa Islam menjadi
pilihan mengenai keyakinan agamanya; tetap
tolok ukur ke”minang”an seseorang secara
bertahan atau beralih. Jika bertahan memang
legalitas adat. Karena itu, orang Minangkabau
perlu komunitas. Bagaimanapun juga sudah
yang tidak lagi Islam dipandang sebagai orang
menjadi kodrat, manusia tidak bisa hidup
yang tidak mempunyai hak dan kewajiban lagi
sendiri, dan selalu bergantung kepada orang
terhadap adat Minangkabau; sebagaimana
lain dan lingkungan sekitarnya. Namun jika
ditafsirkan dari adat basandi syarak, syarak
tidak menemukan komunitas, tidak jarang
basandi
beralih agama menjadi pilihan, walaupun
genealogis, yang bersangkutan tetap beretnis
sebenarnya itu bertentangan dengan hati
Minang, yang tentu saja tidak bisa menjadi
nurani. Hal inilah yang sering terjadi pada
etnis lain.
penganut Hindu etnis Jawa yang ikut program
sebagai
identitas
lama
kultur
ditinggalkan.
kitabullah,
sejak
Hal
kendatipun
ini
seacara
Hal yang sama juga terdapat dalam etnis
transmigrasi pemerintah maupun hidup di
Bali.
perantauan.
merupakan satu kesatuan yang sulit untuk
Konversi
agama
Hindu
apabila
sama halnya dengan meninggalkan identitas
etnis
ke”bali”annya. Seseorang yang keluar dari
Minangkabau atau etnis Bali. Hal ini karena
agama Hindu tidak lagi memiliki hak dan
agama bagi etnis Jawa bukanlah sebagai
kewajiban terhadap legaitas adatnya. Dengan
identitas etnis atau kultur. Etnis Jawa tidak
demikian, agama Hindu bagi masyarakat Bali
menganggap agama sebagai identitas yang
merupakan identitas kultur, sekaligus sebagai
penting. Maksudnya, agama yang dianut
identitas etnis.
dibandingkan
etnis
etnis
dan
dipisah-pisahkan. Konversi ke agama lain,
tergolong
bagi
budaya,
Jawa
memang
agama
Adat,
mudah, lain,
misalnya
seseorang tidak menjadi penanda identitas
Mengenai konversi agama dari Hindu ke
etnis Jawa. Agama hanya dianggap sebagai
agama lain yang terjadi pada etnis Jawa
kepercayaan yang dianut saja, tidak dipakai
memang terdapat masalah yang kompleks.
sebagai tolok ukur untuk menilai “kejawaan”
Bagaimanapun juga kesalahan tidak dapat
seseorang. Selain Islam, agama yang dianut
ditimpahkan begitu saja pada orang-orang
oleh orang Jawa adalah Kristen, Katolik,
yang mengambil jalan beralih. Tentu saja
Hindu, Budha atau kebatinan Jawa (Kejawen).
bermacam-macam alasan akan dilontarkan
Berbeda dengan etnis Minang; agama,
terkait dengan pilihannya. Namun apapun itu,
budaya, merupakan
dan satu
masyarakat kesatuaan.
Minangkabau
bagi orang-orang yang masih mempertahankan
Masyarakat
keyakinannya perlu diberikan apresiasi dan
WIDYA GENITRI Volume 8, Nomor 1, Juli 2016
27
tanggapan yang positif, karena hal itu tidak
religi asli. Perpaduan antara budaya Hindu-
mudah.
Budha dan budaya asli Jawa telah membawa
Apalagi
masyarakat
hidup
mayoritas
di
tengah-tengah
dengan
berbagai
perubahan cukup besar, serta melahirkan
gempuran, dan sudah tentu masih memiliki
budaya baru yang merupakan perpaduan dari
berbagai keterbatasan, termasuk mengenai
budaya Hindu-Budha dan budaya asli Jawa.
pengetahuan agama, fasilitas, dan sarana
Ajaran
tersebut
dijadikan
sebagai
ibadah yang masih minim. Apalagi di luar
pedoman dan tuntunan dalam hidupnya.
daerah Jawa, orang Jawa yang beragama
Selanjutnya terdapat niat dan upaya untuk
Hindu dianggap tidak lumrah dan aneh. Hal ini
melestarikannya;
karena Jawa merupakan mayoritas penganut
menurutnya sangat penting dan tidak boleh
Islam.
ditinggalkan begitu saja. Demikian juga yang
Sebenarnya jika memperhatikan sejarah
karena
ajaran
tersebut
terjadi pada umat Hindu etnis Jawa di wilayah
perkembangan agama-agama yang masuk ke
Kecamatan
Toili,
Kabupaten
wilayah Nusantara, bukan hal yang baru lagi
Provinsi
jika agama Hindu merupakan agama tertua
mempertahankan warisan budaya leluhurnya,
yang masuk ke wilayah Nusantara, khususnya
yakni agama Hindu.
Sulawesi
Banggai,
Tengah,
masih
Jawa. Hal tersebut dinyatakan oleh Patera
Keberadaan umat Hindu etnis Jawa di
(1997: 209) bahwa agama Hindu datang ke
Toili ada dua macam, yakni yang berasal dari
wilayah kepulauan Nusantara sejak permulaan
program
abad pertama tarikh masehi. Berdasarkan data
perantauan (pendatang). Awal keberadaannya
sejarah dan arkeologi, agama Hindu dan
banyak
kebudayaannya
tantangan
terlama
merupakan
mempengaruhi
agama
bangsa
yang
transmigrasi
terdapat untuk
pemerintah,
dan
kendala-kendala
ataupun
tetap
sebagai
bertahan
Indonesia
penganut Hindu etnis Jawa di tengah-tengah
dibandingkan dengan yang lainnya. Selama
komunitas muslim, dan di sisi lain juga
perjalanannya, agama Hindu telah banyak
berdekatan dengan penganut Hindu etnis Bali
mewariskan benda-benda tinggalan budaya
yang memiliki perbedaan dalam budaya.
bangsa yang bernafaskan agama Hindu.
Namun
karena
adanya
semangat
dan
Sehubungan dengan pendapat tersebut,
komitmen dari beberapa orang yang dianggap
dapat dikatakan bahwa agama Hindu telah
“tua”, maka umat Hindu etnis Jawa di wilayah
menjadi fondasi bagi budaya Jawa; sehingga
Kecamatan
tidak heran jika banyak ajaran-ajaran Hindu
Provinsi Sulawesi Tengah, berusaha untuk
tanpa disadari telah mendarah-daging bagi
menghadapi tantangan terebut, dan tetap
sebagian
bertahan menjadi penganut Hindu.
masyarakat
Jawa.
Sebagaimana
Toili,
Kabupaten
Banggai,
dinyatakan oleh Simuh (2004: 25) bahwa
Kini, umat Hindu etnis Jawa di wilayah
keberadaan Hindu justru menyuburkan paham
Kecamatan Toili telah memiliki sebuah Pura,
28
WIDYA GENITRI Volume 8, Nomor 1, Juli 2016
yakni Pura Saraswati untuk melaksanakan
juga menarik untuk diteliti. Ada hal-hal
ibadahnya. Selain berfungsi sebagai sarana
ataupun tradisi-tradisi baru yang tercipta di
ibadah, Pura Saraswati juga berfungsi sosial.
tengah-tengah umat Hindu wilayah Kecamatan
Maksudnya, Pura tersebut juga sebagai tempat
Toili. Hal ini berkaitan dengan cara umat
pertemuan umat dalam membahas hal-hal
Hindu di Toili dalam “mengemas” nilai-nilai
yang berkaitan dengan masalah-masalah sosial
Hindu
kemasyarakatan, dan sebagai latihan para
dipraktekkan.
remaja Hindu untuk latihan yoga.
agar
lebih
menarik
dan
mudah
Mempertahankan suatu prinsip tertentu,
Sekarang ini yang menjadi anggota
termasuk menyangkut kepercayaan bukanlah
dalam kegiatan keagamaan umat Hindu etnis
hal yang mudah. Perlu adanya upaya-upaya,
Jawa di Toili, termasuk sebagai penyungsung
daya juang yang gigih, dan kiat-kiat khusus.
Pura Saraswati tidak hanya berasal dari etnis
Bertahan bukan berarti diam, statis, namun ada
Jawa, tetapi sudah bercampur dengan etnis
dinamika
lainnya, baik itu etnis Bali, maupun etnis lokal
dalamnya agar dapat eksis di tengah-tengah
dari Sulawesi, yang melakukan perkawinan
masyarakat
dengan umat Hindu etnis Bali, maupun Jawa.
perubahan dan perkembangan. Sehubungan
Dengan kata lain, Perkumpulan Umat Hindu-
dengan
Jawa di wilayah Kecamatan Toili menjadi
tentang kebertahanan umat Hindu Etnis Jawa
“Perkumpulan Umat Hindu Alternatif”, bagi
di wilayah Kecamatan Toili, Kabupaten
umat Hindu etnis Bali yang berdomisili di
Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah perlu
wilayah Kecamatan Toili, terutama bagi
ditelusuri. Hal ini akan sangat berguna bagi
orang-orang
pembinaan dan pemberdayaan umat Hindu,
yang
ingin
mengadakan
perubahan, dan tidak puas dengan adat-istiadat
dan
perubahan-perubahan
yang
latar
senantiasa
belakang
inilah,
di
mengalami
penelitian
khususnya etnis Jawa, ke depan.
yang diberlakukan di banjar-nya. Banyak hal yang menarik sehubungan dengan masih bertahannya umat Hindu etnis
2. Hasil dan Pembahasan a. Alasan Bertahannya Umat Hindu Etnis
Jawa di wilayah Kecamatan Toili, di tengah-
Jawa
tengah gempuran dari sekelilingnya; baik
Wilayah Kecamatan Toili, Kabupaten
mengenai ajakan untuk konversi dari pihak
Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah
sebagai
Penganut
Hindu
di
lain, minimnya fasilitas untuk belajar agama,
Sebagaimana telah dijelaskan pada
pendidikan yang rendah, himpitan ekonomi,
pendahuluan bahwa mempertahankan suatu
dan sebagainya. Selain itu, perkumpulan umat
keyakinan tertentu tidaklah mudah; terutama
Hindu etnis Jawa di wilayah Kecamatan Toili,
bagi umat Hindu etnis Jawa di tempat
yang
tempat
perantauan. Apalagi terdapat anggapan bahwa
pembauran berbagai macam suku, budaya,
orang Jawa terkesan mudah dalam konversi
telah
menjelma
menjadi
WIDYA GENITRI Volume 8, Nomor 1, Juli 2016
29
agama. Hal ini karena agama dan adat Jawa
Secara umum para perantau dari Jawa,
bukanlah satu kesatuan sebagaimana yang
khususnya penganut Hindu, memang tidak
terdapat pada etnis Minangkabau dan Bali.
memiliki bekal yang cukup untuk usaha.
Adanya kumpulan umat Hindu etnis
Namun karena keuletannya, akhirnya mampu
Jawa di wilayah Kecamatan Toili merupakan
membeli tanah untuk tempat tinggal dan
suatu yang unik mengingat hal tersebut jarang
kebun. Sehubungan dengan kepercayaan, Pak
terjadi atau merupakan hal yang langkah.
Timin yang memiliki kegemaran semedi,
Kalaupun pada awal keberangkatan dari Jawa
menghimpun teman-temannya yang sesama
masih mengaku sebagai penganut Hindu,
Hindu untuk melakukan persembahyangan.
namun karena berbagai alasan, biasanya di
Berhubung tidak ada tempat, maka jalan
tempat perantauan atau transmigrasi banyak
keluarnya adalah persembahyangan dari rumah
terjadi perpindahan agama (konversi) ke
ke rumah.
agama lain. b. Munculnya Komunitas Hindu etnis Jawa di Toili Keberhasilan secara ekonomi para
Berikut
penjelasan
Romo
Timin
mengenai pengalamannya dalam menghimpun umat Hindu etnis Jawa di wilayah Kecamatan Toili.
Saraswati; sebuah Pura yang pe-nyungsung-
Sewaktu saya tiba di sini (Toili), saya temukan rekan-rekan Hindu yang datang dari Jawa, kok mlempem, tidak ada kegiatan keagamaan sama sekali. Saya ambil inisiatip, ngajak rekan-rekan untuk bikin persembahyangan bersama, hanya di depan Padmasari kecil di rumah Nemi, kemudian untuk kegiatan rutinnya saya mengajak umat untuk mengadakan persembahyngan dari rumah ke rumah secara bergiliran setiap malam anggara kasih (Selasa Kliwon). Tujuannya agar sesama umat Hindu saling mengenal dan membudayakan anjangsana di kalangan umat Hindu (wawancara, Oktober 2015). Penjelasan senada juga disampaikan oleh
nya terdapat umat Hindu etnis Jawa.
Pak Supar (wawancara, Oktober 2015) yang
Awalnya saya tidak ada bayangan kalau akhirnya diangkat menjadi pemangku di sini. Lha, wong, dulunya saya ini orang susah di Banyuwangi. Namun saya punya kegemaran semedi, terutama di tempat-tempat suci. Suatu hari saya semedi di sebuah Pura di lereng Gunung Raung, dan saya dapat petunjuk supaya merantau ke tanah Sulawesi; ternyata benar di sini saya mendapatkan rejeki (wawancara, Oktober 2015).
dalam kesempatan lain, menuturkan:
transmigran dari Jawa di daerah Sulawesi rupanya menjadi daya tarik tersendiri. Hal ini menjadi pendorong orang-orang Jawa yang memiliki jiwa perantau untuk mengadu nasib ke Sulawesi. Tidak heran, jika mulai tahun 1990-an, mulai berdatangan orang-orang dari Jawa untuk menetap di Toili, termasuk orangorang Jawa penganut Hindu yang berasal dari Banyuwangi, salah satu diantaranya adalah Pak Timin, yang kini menjadi pemangku Pura
30
Romo Timin banyak berjasa menghimpun teman-teman untuk berkumpul. Beliau juga, atas dorongan Pak Edi dan beberapa teman Bali yang memperjuangkan berdirinya Pura Saraswati. Pura itu dirancang oleh Pak Made Seger, makanya bangunannya beda dengan Pura di unit 11, kami lebih banyak berpikir pada nilai fungsi dari pada bentuknya (arsitektur). Maksudnya, biar waktu WIDYA GENITRI Volume 8, Nomor 1, Juli 2016
hujan, umat biar tetap melaksanakan persembahyangan dengan nyaman. Penjelasan
dari
informan
tersebut
Ada beberapa alasan orang-orang Jawa yang masih mempertahankan agama Hindu, khususnya umat Hindu yang ada di wilayah
menggambarkan bahwa orang Jawa masih
Kecamatan
menganut slogan agami ageming aji, artinya
Provinsi Sulawesi Tengah, yakni: 1) adanya
agama yang dianut raja atau pimpinan adalah
semangat
agama rakyat. Sekarang ini memang bukan
melestarikan) budaya Jawa, atau masyarakat
lagi zaman kerajaan, namun pola pikir agami
lebih mengenalnya sebagai ajaran kejawen; 2)
ageming aji rupanya masih berdampak pada
pesan orang tua; dan 3) takut melanggar
orang-orang Jawa. Dampak dari pola pikir
sumpah.
demikian
1) Semangat
adalah
berkembangnya
sebuah
komunitas atau organisasi bergantung pada pemimpin. Berbeda dengan etnis Bali yang mampu
mempertahankan
Kabupaten
nguri-uri
Nguri-uri
Banggai,
(merawat
(merawat
dan
dan
melestarikan budaya Jawa) Adanya
semangat
nguri-uri
atau
karena
kesadaran diri untuk mempertahankan dan
kawitan atau keterikatannya pada leluhur.
melestarikan budaya peninggalan leluhur,
Ketergantungan
disampaikan oleh Romo Timin (Wawancara,
terhadap
agama
Toili,
pemimpin
ini
menjadi salah satu penyebab mudahnya umat
Oktober 2015) berikut ini.
Hindu etnis Jawa mudah terkonversi ke agama
“…Lha wong, aku iki wong Jowo, yo kudu nJawani. Wong Jowo asale Hindu-Budha (Aku ini orang Jawa, ya harus mewarisi ajaran Jawa. Orang Jawa asalnya Hindu-Budha/SiwaBudha). Ajaran leluhur kudu diuri-uri, gak apik ninggalno kaweruh Jowo begitu saja (Ajaran leluhur harus dilestarikan dan dipelihara, tidak baik meninggalkan ajaran begitu saja)….”
lain. Hal ini karena kehadiran seorang pemimpin yang kuat akan mampu memberi semangat dan perlindungan secara psikologis terhadap umatnya. c. Alasan
Mempertahankan
Agama
Hindu di Tempat Perantauan Sebagian masyarakat menganggap hal
Menurut pemahaman informan bahwa
yang aneh jika orang Jawa beragama Hindu.
orang Jawa asalnya Hindu-Budha. Itu artinya
Padahal jika ditelusuri dalam sejarah, agama
leluhurnya
Hindu
yang
Sehingga merupakan suatu kewajiban bagi
mempengaruhi kebudayaan Jawa. Namun
dirinya untuk mempertahankan keyakinan
karena pada perkembangan berikutnya banyak
leluhurnya. Pemahaman Romo Timin selaras
orang Jawa yang beralih agama, maka agama
dengan penjelasan Hadiwijaya (2009: 18),
Hindu hanya dianut oleh sebagian kecil orang-
bahwa budaya Jawa yang pada dasarnya
orang Jawa. Maksudnya, Hindu justru sebagai
bersifat transedental, dan cenderung bersifat
agama minoritas di Pulau Jawa.
animisme
adalah
agama
tertua
berkeyakinan
dan
dinamisme;
Hindu-Budha.
mengalami
perubahan besar setelah masuknya agama WIDYA GENITRI Volume 8, Nomor 1, Juli 2016
31
Hindu-Budha yang berasal dari India, yang
dimaksud adalah ritual-ritual yang ada dalam
meliputi:
tradisi Jawa, khususnya tentang kegiatan yang
sistem
kesusastraan,
kepercayaan,
astronomi,
kesenian,
mitologi,
dan
pengetahuan umum.
ini Karena agama Hindu memang ditopang
Budaya Jawa atau yang lebih dikenal sebagai ajaran Kejawen bukanlah sebagai agama
dalam
berkaitan dengan sesajian tetap terlaksana. Hal
pengertian
seperti
oleh ritual sesajenan. 2) Bertahan
agama
terlihat
sebagai
seperangkat
cara
penganut
Hindu
karena pesan orang tua dan kerabat
monoteistik, seperti Islam atau Kristen, tetapi lebih
sebagai
Keberadaan orang tua dan kerabat memiliki
peranan
yang
penting
dalam
pandang dan nilai-nilai yang dibarengi dengan
mempertahankan suatu keyakinan. Seseorang
sejumlah “laku”. Tjiptoprawiro, sebagaimana
bisa
disampaikan
oleh
anjuran keluarga atau kerabat. Tetapi juga bisa
menjelaskan
bahwa
Pakan
(1997:297)
kejawen
sebagai
terkonversi
berlaku
(pindah
sebaliknya,
agama)
seseorang
karena
dapat
kebudayaan Jawa yang berkembang pada abad
mempertahankan keyakinannya karena nasehat
ke-8 dan mencapai puncaknya pada masa
dari keluarga. Hal ini terjadi pada keluarga Pak
Majapahit.
sarwo (wawancara, Oktober 2015), yang
Kejawen
keagamaan,
adat
meliputi
istiadat
kehidupan
dan
kesenian.
Kejawen dalam bidang ajaran merupakan perpaduan agama asli nenek moyang bangsa Indonesia dengan agama Hindu dan Budha. Isi ajaran Kejawen adalah usaha untuk mencapai moksa atau nirwana, yang disebut dengan manunggal. Masuknya agama Islam telah mengikis segi spiritual kejawen, sehingga yang masih tertinggal adalah usaha batinnya untuk
menuturkan sebagai berikut “…saya masih bertahan sebagai penganut Hindu sampai sekarang, karena pesan dari orang-orang tua. Mereka bilang, jangan ditinggalkan warisan leluhur. Jangan semuanya pindah. Yang sudah pindah biarlah, yang masih ini, kita rawat. Walau sedikit tetap berguna, biar ada keseimbangan dalam keluarga. Kalau semuanya pindah, siapa yang melestarikan ajaran leluhur kita orang Jawa. Yang penting, bagaimana kita menjalankan agama itu, bukan apa agama kita….”
mencapai kemanunggalan. Hal inilah pada
Nasehat atau pesan dari orang tua atau
akhirnya kejawen oleh masyarakat Jawa
kerabat sangat penting bagi seseorang. Karena
disebut sebagai Kebatinan Jawa atau Kaweruh
dengan hal ini seseorang merasa diperhatikan.
Kejawen.
Artinya keberadaan orang tersebut dalam
Penganut Hindu etnis Jawa di wilayah
keluarga
dianggap
berarti
atau
penting.
Kecamatan Toili menganggap bahwa ada
Demikian juga agama Hindu bagi keluarga
kesesuaian antara ajaran Jawa dengan agama
Pak
Hindu. Untuk itu, dengan tetap beragama
dipertahankan, tidak perlu semuanya (keluarga
Hindu,
melestarikan
besar keluarga) harus beralih (konversi)
kebudayaan Jawa. Kebudayaan Jawa yang
agama. Karena agama tertentu, walaupun dari
32
maka
sekaligus
Jarwo
dianggap
penting
untuk
WIDYA GENITRI Volume 8, Nomor 1, Juli 2016
segi jumlah tinggal sedikit, namun memiliki
kegiatan atau karya dalam waktu berhari-hari.
arti yang penting bagi masyarakat.
Sehingga ketika umat Hindu etnis Jawa ingin
Berdasarkan teori fungsional bahwa,
menggabungkan diri dalam banjar yang
segala sesuatu dapat eksis di masyarakat
didominasi oleh umat Hindu etnis Bali, merasa
apabila
dibutuhkan.
belum bisa untuk beradaptasi dengan adat yag
Demikian juga yang terjadi, agama Hindu
diterapkan dalam banjar tersebut. Belum lagi
masih memiliki fungsi bagi umat Hindu etnis
secara umum umat Hindu etnis Bali belum
Jawa di wilayah Kecanatan Toili, sehingga
mengetahui sepenuhnya jika agama Hindu
keberadaannya masih dipertahankan.
juga dianut oleh orang Jawa. Sehingga ketika
d. Tantangan-tantangan yang Dihadapi
mengetahui bahwa ada orang Jawa yang
Umat Hindu Etnis Jawa di Wilayah
beragama Hindu, justru dianggap aneh, bahkan
Kecamatan Toili, Kabupaten Banggai,
sebagian
Provinsi Sulawesi Tengah
mempercayainya; atau bukan penganut agama
keberadaanya
masih
dari
mereka
Dalam kehidupan bermasyarakat, akan selalu
menimbulkan
ada tantangan-tantangan. Demikian juga yang
psikologis bagi penganut Hindu etnis Jawa.
dialami oleh penganut Hindu etnis Jawa di
b. Belum memiliki tempat suci/ Pura sendiri .
mempertahankan
eksistensinya.
ini
tidak
Hindu
dalam
Hal
yang
1. Tantangan yang Dihadapi pada Era 1990-an
wilayah Kecamatan Toili, selalu ada tantangan
“sungguhan”.
ada
ketidaknyamanan
justru secara
Ketika perkumpulan umat Hindu etnis Jawa
belum
memiliki
tempat
Tantangan-tantangan tersebut adalah:
persembahyangan, untuk sementara waktu
a. Perbedaan budaya antara umat Hindu etnis
dalam
Bali dan umat Hindu etnis Jawa Perbedaan
hari-hari
besar
keagamaan dan persembahyangan Purnama-
kadang-kadang
Tilm, menumpang kegiatan persembahyangan
menjadi problem tersendiri dalam pergaulan
di unit 11, yang merupakan basis umat Hindu
sosial keagamaan apabila tidak disikapi secara
etnis Bali di wilayah Kecamatan Toili. Namun
bijaksana. Perbedaan budaya ini terjadi pada
karena tidak ikut membangun Pura dari awal,
komunitas Hindu etnis Jawa dan etnis Bali.
dan tidak sepenuhnya bisa ikut kegiatan
Dalam perkumpulan umat Hindu etnis Jawa
ngayah, baik di Pura dan di rumah umat Hindu
tidak mengenal istilah kasepekang (dikucilkan)
etnis Bali bila ada karya, maka ada rasa “tidak
jika tidak sempat mengikuti kegiatan ngayah
enak hati” atau malu. Sehubungan dengan hal
di Pura atau kegiatan sosial keagamaan di
ini, Pak Temon (wawancara, Oktober 2015)
masyarakat, termasuk membayar denda ketika
mengemukakan:
tidak
“…Pada awalnya kami semua ikut bersembahyangan di unit 11, kalau Purnama di Pura Puseh, kalau Tilm di Pura Dalem. Tapi karena kami tidak ikut membangun (bayar
bisa
budaya
memperingati
mengikuti
kegiatan
sosial
keagamaan. Umat Hindu etnis Jawa juga belum biasa untuk menyelenggarakan sebuah WIDYA GENITRI Volume 8, Nomor 1, Juli 2016
33
pembangunan Pura), dan tidak masuk banjarnya, maka lama-lama tidak enak juga. Soalnya kalau masuk banjar-nya, banyak sekali aturannya (awig-awig), dan kami banyak yang tidak mengerti dengan aturan-aturannya. Kami-kami yang kemari ini kan memang nol puthul (tidak tahu) dalam bidang agama. Apalagi dengar-dengar kalau tidak bisa aktif di banjar didenda. Ya, maksudnya kami belum bisa menngikuti cara teman-teman Bali….”
pembenahan, perlu waktu lama. Tapi karena saya tidak mau terima kekeliruan itu akhirnya mereka mau membenahi. Tapi, untuk temanteman yang tidak mau repot, ya…dibiarkan saja keliru. Justu lama-lama mereka akhirnya pindah, sekalian saja biar sama dengan KTPnya …”(wawancara, Oktober 2015).
Tempat suci, baik itu dalam bentuk Pura
kesalahan, namun yang bersangkutan meminta
Hal serupa juga terjadi pada keluarga Triyono,
bahkan
beberapa
kali
terjadi
atau Sanggar Pamujan bagi umat Hindu etnis
pembenahan.
Jawa,
“...Itu semua tergantung pada kita juga. Kalau kita mengembalikan KTP itu dan meminta pembenahan, akan dibenahi; cuman kalau kita diam, ya dibiarkan saja. Keluargakeluarga yang lain tidak mau repot, dikasih biar saja, akhirnya ya salah terus. Tapi kalau sekarang sudah jarang terjadi, para petugasnya kan sebagian sudah tahu sama kita”.
selain
berfungsi
persembahyangan
(fungsi
sebagai spiritual)
tempat juga
berfungsi sosial. Maksudnya, tempat suci ini dipakai sebagai media untuk bertemu atau komunikasi
antarumat
Hindu
dalam
memecahkan atau membahas masalah-masalah sosial keumatan. Untuk itu, keberadaannya
Berdasarkan
keterangan
dari
para
sangat diperlukan oleh umat. Sehingga, ketika
informan dapat disimpulkan bahwa berbedaan
umat Hindu etnis Jawa belum memiliki Pura
budaya, belum adanya tempat suci atau tempat
merasa ruang gerak untuk mengekspresikan
ibadah yang memadai, dan kekeliruan dalam
rasa keberagamaannya terasa terbatas.
administrai, khususnya KTP, menjadi kendala
c. Kesalahan
penulisan
Kartu
Tanda
Penduduk (KTP)
tersendiri bagi perkembangan umat Hindu etnis Jawa di wilayah Kecamatan Toili pada
Awal kedatangannya dari Jawa memang
era 1990-an, bahkan permasalahan ini juga
diperlukan surat keterangan atau identitas diri,
menjadi salah satu penyebab terkonversinya
berupa KTP (Kartu Tanda penduduk). Dalam
umat Hindu ke agama lain. Sebagaimana
pengurusan ini banyak terjadi kekeliruan,
dituturkan oleh Romo Timin, bahwa sebanyak
padahal penulisan formatnya betul. Pada
50 KK umat Hindu di Desa Bukit Makarti
kolom agama tertulis Hindu, tetapi dalam
(sekarang
KTP-nya tercantum Islam. Kekeliruan ini
melakukan konversi secara massal.
terjadi
pada
beberapa
keluarga
Hindu,
termasuk keluarganya Pak Supar. “…KTP saya dan istri keliru agamanya. Saya kembalikan lagi ke petugasnya. Mereka awalnya tidak mau membenahi karena alasannya lama. Mereka juga menjelaskana sama saja, malah nanti repot kalau mau 34
masuk
wilayah
Toili
Barat)
1) Tantangan yang Dihadapi pada Era 2000-an Waktu
memiliki
pengaruh
terhadap
kondisi masyarakat tertentu. Tantangan yang terdahulu tentu saja sudah dapat diselesaikan, namun
muncul
tantangan-tantangan
baru.
Tantangan yang ada sekarang lebih banyak WIDYA GENITRI Volume 8, Nomor 1, Juli 2016
tantangan yang datang dari dalam (intern), yang berasal dari penganut Hindu etnis Jawa sendiri. Tantangan-tantangan tersebut antara lain: 1) pemilihan jodoh (kesulitan mencari
agama karena menikah. Cari jodoh orang Jawa yang beragama Hindu, tidak ada. Sedangkan dengan umat Hindu dari Bali, masih belum akrab waktu itu…” (wawancara, Oktober 2015).
jodoh yang seagama), 2) minimnya generasi
Hubungan sosial antara penganut Hindu
penerus, 3) Sumber Daya Manusia (SDM)
etnis Jawa dan penganut Hindu etnis Bali
yang masih rendah, dan 4) organisasi Hindu
memang belum terdapat jalinan yang mantap
yang belum mapan.
pada awal 1990-an hingga awal 2000-an.
a. Kesulitan mencari jodoh yang seagama
Baru-baru ini ketika kepengurusan Parisada
Kesulitan
mencari
jodoh
menjadi
dipegang oleh Pak Made Seger, banyak
permasalahan bagi generasi mudanya. Jika
kegiatan-kegiatan
menemukan jodoh yang seagama, masih dapat
hubungan sosial antara penganut Hindu etnis
mempertahankan agama, kalau tidak, akan
Jawa dan Bali. Sebagai contoh, kegiatan
muncul permasalahan. Akan terasa sulit jika
pesantian, berupa persembahyangan bergilir
masing-masing mempertahankan agamanya.
dari rumah ke rumah, yang digagas oleh Romo
Jalan satu-satunya adalah harus ada yang
Timin dan Pak Made Seger, kini banyak
mengalah. Dalam kasus ini, akhirnya umat
diikuti oleh umat Hindu di wilayah Kecamatan
Hindu yang cenderung mengalah, dan memilih
Toili, baik etnis Jawa maupun Bali, lintas
konversi untuk dapat menikah. Kasus ini
banjar, lintas desa, bahkan lintas unit.
terjadi pada Pak Eko dan Pak Sani, namun
Kegiatan pesantian, atau sembahyang bergilir
perkawinannya gagal, kini kembali ke Hindu
dari
setelah menemukan jodoh. Istri Pak Eko
diberlakukan bagi
penganut Hindu etnis Jawa, sedangkan Pak
(terutama etnis Jawa dan beberapa keluarga
Sani mendapatkan jodoh penganut Hindu etnis
etnis Bali yang tertarik dan mendukung
Bali. Namun, tidak demikian yang terjadi pada
kegiatan ini), tetapi juga dilakukan oleh
putri Pak Temon, karena tidak mendapatkan
generasi muda Hindu, terutama siswa-siswa
jodoh dari umat Hindu, akhirnya memilih
SMA Negeri 1 Toili atas binaan Pak Made
konversi.
Seger, guru agama Hindu di Toili.
“…Pada zaman itu (tahun 1994), hubungan kami tidak seperti sekarang (dengan penanut Hindu etnis Bali). Kami masih belum saling memahami. Secara umum teman-teman dari Bali tidak mengerti kalau orang Jawa itu, juga ada yang beragama Hindu.Waktu itu sudah waktunya anakku kawin, sulit mencari jodoh yang sama, karena jumlahnya memang tidak seimbang, cuma sedikit. Apa boleh buat, saya memberikan restu anak saya pindah
b. Minimnya generasi penerus
WIDYA GENITRI Volume 8, Nomor 1, Juli 2016
rumah
Kesulitan
yang
ke
mengakrabkan
rumah,
tidak
hanya
keluarga umat
Hindu
dalam
pemilihan
jodoh
akhirnya berimplikasi pada keturunan. Dalam beberapa keluarga umat Hindu, seperti Pak Temon dan pak Sutrisno, akhirnya tidak memiliki generasi penerus, karena anakanaknya
melakukan
perkawinan
melalui 35
konversi agama, baik ke agama Islam maupun
Dengan
pendidikan,
Kristen. Bagi keluarga yang tidak memiliki
wawasan
generasi penerus, karena konversi agama yang
mendapatkan pekerjaan yang layak serta
dilakukan oleh anak-anaknya, menimbulkan
memiliki daya tawar yang lebih di masyarakat;
kebingungan dan permasalahan tersendiri bagi
sehingga keberadaanya lebih dihargai dan
beberapa penganut agama Hindu etnis Jawa.
diperhitungkan oleh masyarakat sekitarnya.
c. Sumber Daya Manusia (SDM) yang masih
Implikasinya, secara sosial dan ekonomi
yang
pengalaman,
dan
seseorang
bisa
luas
masyarakat tersebut akan lebih “berdaya”.
rendah Selain perkawinan, pendidikan juga
Maksudnya, tidak lagi menjadi kelompok
menjadi tantangan bagi perkembangan umat
masyarakat “marginal”.
Hindu etnis Jawa di wilayah Kecamatan Toili.
e. Upaya-upaya yang dilakukan Umat
Secara umum, pendidikannya masih belum
Hindu
sesuai yang diharapkan. Rata-rata generasi
Kecamatan Toili, Kabupaten Banggai,
mudanya berpendidikan SMA, hanya ada 2
Provinsi Sulawesi Tengah
Etnis
Jawa
di
Wilayah
(dua) orang yang berpendidikan sarjana. Hal
Berbagai tantangan yang dihadapi oleh
ini juga berpenngaruh pada sumber daya
umat Hindu etnis Jawa di Toili bukan berarti
manusianya
terutama
sebagai halangan dalam mempertahankan
menyangkut pendidikan agama dan sosial
agama Hindu. Tantangan-tantangan yang ada
ekonomi.
ada
berusaha dihadapi dan diselesaikan, walaupun
pembinaaan secara khusus untuk umat Hindu
belum sesuai dengan harapan. Tantangan-
etnis Jawa dalam bidang agama. Semua
tantangan itu berusaha diselesaikan dengan
berjalan alami begitu saja. Hal ini dijelaskan
berbagai usaha yang dilakukan. Usaha-usaha
oleh Pak Dukut.
tersebut adalah: 1) adaptasi dengan lingkungan
“…Kami ini semua, tidak terlalu mengerti dengan ajaran dan upacara-upacara agama yang besar-besar. Kami bisanya ya, Tri Sandhya, kramaning sembah, namun Romo Timin kadang-kadang mengajari kami semedi, untuk mereka yang tertarik menekuni itu. Kalau tidak ya, cukup pergi ke Pura atau ikut pesantian bersama…” (wawancara, Oktober 2015).
masyarakat; 2) menjalin kerja sama dan
yang
Selama
rendah,
ini
juga
belum
komunikasi yang baik dengan sesama umat Hindu (termasuk umat Hindu etnis Bali) di wilayah Kecamatan Toili, dan umat beragama yang lain; 3) membangun sarana ibadah atau tempat suci; 4) tokoh umat menjadi “agen perjodohan” bagi pemuda-pemudi Hindu.
Pendidikan, pengalaman, dan wawasan
a. Adaptasi dengan Lingkungan
yang luas memiliki pengaruh yang besar terhadap perkembangan suatu masyarakat. Dengan pendidikan yang tinggi, seseorang dapat meningkatkan status di masyarakat.
36
Jika ingin eksis, apalagi di perantauan memang harus siap mengadakan perubahan, dan
beradaptasi
dengan
lingkungannya.
Demikian juga umat Hindu etnis Jawa yang WIDYA GENITRI Volume 8, Nomor 1, Juli 2016
ada di wilayah Kecamatan Toili, Kabupaten
Bali, bahasa Indonesia dan bahasa Sanskerta
Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah, berusaha
atau Hindi. Hal ini menandakan ada semangat
beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya. Hal
kebersamaan dalam mempertahankan agama
ini, karena ada kesadaran bahwa kerja sama
Hindu walaupun berbeda suku atau etnis.
dalam kehidupan bermasyarakat
Sehubungan dengan hal ini, Romo Timin
sangat
dibutuhkan. Adaptasi menurut Kaplan (1999:
(wawancara, Oktober 205) menjelaskan:
112 sering diartikan sebagai proses yang
“…kami semua (warga Hindu etnis Jawa dan Bali) terbuka pada siapa saja yang ingin mengembangkan agama Hindu di Pura ini. Siapa saja boleh bergabung dan sembahyang di tempat ini (Pura Saraswati) tanpa harus membayar. Ini Pura milik bersama, umum. Silakan memakai cara apa saja, yang penting Hindu….”
menghubungkan
sistem
budaya
dengan
lingkungannya. Sangat tidak mungkin, untuk berpikir tentang adaptasi tanpa mengacu kepada sesuatu lingkungan tertentu. Adaptasi merupakan suatu proses penyesuaian dengan keadaan
dan
Setiap
Berdasarkan hasil wawancara ini secara
kelompok sosial atau masyarakat, senantiasa
tersirat dapat dikatakan bahwa pada dasarnya
tidak
umat
bisa
tuntutan
menutup
keadaan.
diri
untuk
tidak
Hindu
yang
menyungsung
Pura
bersentuhan dengan budaya masyarakat lain,
Saraswati tidak keberatan jika ada anggota-
sehingga memang suatu hal yang wajar jika
anggota baru yang ingin bergabung dengan
budaya yang satu dengan budaya yang lain
perkumpulan mereka. Dan Pura Saraswati
bertemu dan saling mempengaruhi.
sebagai media berkumpulnya umat Hindu
Hal
inilah
yang
terjadi
pada
(sekarang ini dari berbagai etnis), diklaim
perkumpulan umat Hindu etnis Jawa di
sebagai
Pura
umum,
wilayah Kecamatan Toili, Kabupaten Banggai,
kebebasan umatnya untuk berekspresi dalam
Sulawesi Tengah. Berbekal sedikit ilmu
mewujudkan rasa keberagamaannya. Sehingga
pengetahuan agama, Romo Timin sebagai
tidak heran jika umat Hindu yang menjadi
tokoh di kalangan umat Hindu etnis Jawa di
anggota
Toili berusaha mengadaptasikan tradisi Jawa
berkumpul berbagai macam etnis, baik etnis
dengan kondisi lingkungan sosial di Toili. Hal
Jawa,Bali, Bugis, maupun etnis lokal (Banggai
ini juga mendapat dukungan dari beberapa
Kepulauan/Pulo), yang memang melakukan
tokoh-tokoh umat Hindu etnis Bali.
perkawinan dengan umat Hindu di Toili. Tidak
penyungsung
yang
memberikan
Pura
Saraswati,
Sehubungan dengan hal tersebut tidak
hanya etnis, berbagai sampradaya yang ada
heran jika dalam pelaksanaan agama, terutama
dalam naungan Hindu juga ditampung, seperti
dalam kegiatan persembahyangan, ditemukan
sampradaya Hari Krisna dan
pembauran antara budaya Bali, dan Jawa.
romo Timin sebagai pemangku di Pura
Bahkan dalam kidung-kidung suci dapat
Saraswati memiliki semboyan, silakan semua
ditemukan kidung-kidung berbahasa Jawa,
berkumpul
WIDYA GENITRI Volume 8, Nomor 1, Juli 2016
di
Pura
Saibaba; dan
Saraswati
walaupun 37
berbeda suku, budaya, dan sampradaya, yang
Pak Made Seger (wawancara, Oktober
penting masih Hindu.
2015). mantan Ketua PHDI Kecamatan Toili,
b. Menjalin kerja sama dan komunikasi yang
dalam kesempatan ini memberikan pernyataan:
baik dengan sesama umat Hindu di wilayah
“…saya memakai pendekatan agama untuk mendekatkan umat Hindu etnis Jawa dan Bali. Bukan perbedaan budayanya. Dalam menyampaikan pembinaan agama lebih cenderung mengutip Kitab Suci. Saya lebih mmengajarkan pelaksanaan agama yang sederhana. Apalagi secara sosial, umat Hindu etnis Jawa ini hidup rukun dengan tetangga samping, yang beragama Islam dan Kristen. Mereka biasa saling membantu. Bahkan dalam pembuatan tempat sucipun mereka biasa kerja bareng. Pura Saraswati ini juga banyak dibantu oleh teman-teman Muslim, terutama bantuan tenaga. Demikian juga kalau teman-teman Muslim punya acara, banyak dibantu oleh teman-teman Hindu. Karena itulah, saya berusaha mendekatkan teman Jawa ini dengan teman-teman Bali, apalagi mereka se-dharma, itu merupakan suatu keharusan. Kalau berbeda agama saja, kita bisa rukun dan saling membantu; apalagi kita sama dalam keyakinan, walaupun beda suku….”
Kecamatan Toili, dan umat beragama lain. Intensitas pertemuan memiliki pengaruh terhadap pergaulan dalam masyarakat. Dengan sering-sering bertemu, maka akan terjalin komunikasi yang baik; dari sini akan muncul keinginana dari kedua belah pihak untuk senantiasa menjalin kerja sama. Demikian halnya yang dilakukan oleh beberapa tokoh umat Hindu, termasuk pengurus PHDI dalam upaya
membina
umatnya
di
wilayah
Kecamatan toili. Umat Hindu etnis Jawa, berusaha mendekatkan diri dengan pengurus PHDI Kecamatan Toili, yang pada waktu itu dijabat oleh Bapak Drs I Made Seger (Ketua) dan Bapak I Wayan Dangin, S.Pd. (Sekretaris),
c. Membangun sarana ibadah atau tempat suci
dan pengurus yang lain seperti Bapak I Wayan Wage, S.Pd., Bapak Drs. I Nyoman Lilir, dan lain-lain. Dan sebaliknya, pengurus PHDI Kecamatan
Toili,
senantiasa
mengikuti
kegiatan keagamaan yang dilakukan oleh umat Hindu etnis Jawa. Bahkan mengajak beberapa umat Hindu etnis Bali yang ingin menambah pengetahuan agama untuk ikut bersama-sama kegiatan pesantian atau persembahyangan dari rumah
ke
rumah,
pembelajaraan
yang
bersama
diikuti Pustaka
dengan Suci
Bhagawadgita. Dari berbagai kegiatan yanag dilakukana bersama inilah akhirnya terjalin komunikasi dan rasa kekeluargaan yang baik.
Upaya-upaya lain yang diperjuangkan oleh
umat
Hindu
mengembangkan
diri
etnis adalah
Jawa
dalam
membangun
sarana ibadah, yang kini dikenal dengan Pura Saraswati. Pura ini di-sungsung oleh umat Hindu etnis Jawa dan Bali. Bahkan untuk saat ini jumlah antara umat Hindu etnis Bali dan Jawa sebagai penyungsung Pura Saraswati hampir berimbang. Jumlah umat Hindu etnis Jawa yang menyungsung Pura tersebut adalah 21 KK (Kepala Keluarga) dan umat Hindu etnis Bali berjumlah 15 KK. Hal ini karena banyak umat Hindu etnis Bali yang beralih ke Perkumpulan
umat
Alasannya beragam,
Hindu
etnis
termasuk ada
Jawa. yang
mengatakan karena kasepekang (terkucilkan 38
WIDYA GENITRI Volume 8, Nomor 1, Juli 2016
dari banjarnya), dan tidak mampu mengikuti
pencarian jodoh.
semua awig-awig yang ada di banjar masing-
pasangan yang berhasil dijodohkan oleh para
masing.
yang
tokoh-tokoh ini. Hal ini dilakukan karena ada
bersangkutan, dari pada keluar dari agama
kesulitan mencari jodoh yang seagama. Baru-
Hindu, akan lebih baik jika keluar dari banjar-
baru ini (Oktober 2015) ketika peneliti terjun
nya.
ke
Terdapat
Pura
pemikiran
juga
sedang
berlangsung
perkawinan yang dilakukan oleh umat Hindu
bangunan yang unik, maksudnya berbeda
etnis Jawa (laki-laki) dan umat Hindu etnis
dengan bangunan Pura yang ada di unit 11,
Bali-Nusa (perempuan). Keduanya merupakan
yang disungsung oleh umat Hindu etnis Bali,
hasil dari perjodohan yang dilakukan oleh
bahkan juga berbeda dengan bentuk Pura yang
seorang pengurus dari WHDI.
ada
bangunannya tertutup dan hanya ada Padma
3. Simpulan Mempertahankan suatu kepercayaan dan
kecil dalam ruangan. Ketika ditanya mengenai
kebudayaan memang tidak mudah. Terdapat
bentuk bangunan Pura, Pak Made Seger,
banyak
perancang pembangunan Pura (wawancara,
menjalaninya. Namun dengan keyakinan yang
Oktober 2015) menjelaskan:
kuat, hal itu akan terlewati, diiringi denga
“…kami memang sengaja merancang bangunan Pura Saraswati seperti itu. Soalnya kami lebih banyak berpikir masalah fungsi Pura tersebut. Lahan yang kami miliki tidak luas, dan supaya kegiatan persembahyangan tidak terkendala, baik waktu hujan maupun panas, maka bangunan Puranya kami rancang seperti ini….”
usaha-usaha yang kuat.
d. Tokoh umat menjadi
sekaligus
Jawa
memiliki
lapangan
bentuk
di
Saraswati
dari
Sudah ada 4 (empat)
Timur.
Pura
Saraswati
“agen perjodohan”
tantangan-tantangan
Bagaimanapun,
dalam
keberadaan
agama
Hindu juga ikut memberikan sumbangan dan andil yang besar pada kemajuan kebudayaan Indonesia.
Hal
tersebut
patut
menjadi
kebanggaan bagi masyarakat Hindu, dan dipertahankan.
Mengamati
perkembangan umat Hindu etnis Jawa di
bagi pemuda-pemudi Hindu Memang terdengar aneh dan unik jika
Wilayah
Kecamatan
Toili,
Kabupaten
juga
Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah, masih
melibatkan diri menjadi “agen perjodohan”
banyak memerlukan pembenahan. Hal ini
bagi umatnya. Namun itulah yang dilakukan
dapat dilihat dari pengetahuan agamanya.
oleh tokoh dari pengurus WHDI (Wanita
Supaya tidak punah memang perlu diadakan
Hindu Dharma Indonesia) Kecamatan Toili,
pembinaan, baik dari lembaga keagamaan,
Kabupaten Banggai. Demi menyelamatkan
organisasi Hindu, maupun pekerja sosial
keberlangsungan generasi Hindu, beberapa
Hindu (sosial worker).
mendengar
tokoh-tokoh
agama
orang dari tokoh Hindu juga ikut melibatkan diri dalam urusan anak muda, yakni masalah WIDYA GENITRI Volume 8, Nomor 1, Juli 2016
39
DAFTAR PUSTAKA Kaplan dan Manners, 1999. Teori Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Tim Penyusun, 1997. “Ensiklopedi Nasional Indonesia”
Dalam
Pendit
(pen.),
Hinduisme, Jakarta: Delta Pamungkas.
Hadiwijaya, 2010. Tokoh-tokoh Kejawen. Yogyakarta: KPP (Kelompok Penerbit Pinus). Kaplan dan Manners, 1999. Teori Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Marwati dan Notosusanto, 1984. Sejarah Nasional Indonesia Jilid I. Jakarta: Balai Pustaka. Pakan, 1997. Ensiklopedi Nasional Indonesia. Jakarta: Delta Pamungkas. Pandit, 2005. Pemikiran Hindu: Pokok-pokok Pikkiran Agama Hindu dan Filsafatnya. Surabaya: Paramita. Patera, 1997. “Dinamika Agama Hindu di Bali pada Abad XV-XVI”. Dalam Wayan Ardika (ed.), Dinamika Kebudayaan Bali, Denpasar: Upada Sastra. Phalgunadi, 2011. Sekilas Sejarah Evolusi Agama
Hindu.
Denpasar:
Program
Magister Ilmu Agama dan Kebudayaan Universitas Hindu Indonesia. Sanderson, 2000. Makro Sosiologi: Sebuah Pendekatan Terhadap Realitas Sosial. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Simuh, 2004. “Interaksi Islam dan Budaya Jawa”.
Dalam
Anasom
(ed.),
Merumuskan Kembali Interelasi IslamJawa, Semarang: Gama Media. Tim Penyusun, 1987. Sejarah Perkembangan Agama
Hindu
di
Bali.
Denpasar:
Pemerintah Daerah Tingkat I Bali.
40
WIDYA GENITRI Volume 8, Nomor 1, Juli 2016