Pemeriksaan Dana Perimbangan
NO 110/Desember 2007 - Januari 2008/Tahun XXVII
hun A a t 28 RIKS E PEM
NO 112/April 2008 - Juni 2008/Tahun XXVIII
Plt. Ketua BPK Iran sekaligus Wakil Presiden Iran melakukan kerjasama dengan BPK-RI di bidang pemeriksaan sektor publik. Anwar Nasution berharap BPK dapat belajar dari BPK Iran terkait manajemen audit bidang perminyakan.
NO 112/April 2008 - Juni 2008/Tahun XXVIII
DAFTAR ISI LAPORAN UTAMA
5
PERBAIKAN PENGELOLAAN KEUANGAN NEGARA DAN KEUANGAN DAERAH Perbaikan transparansi dan akuntabilitas fiskal merupakan salah satu kunci bagi keberhasilan perombakan sistem sosial yang kita lakukan selama era reformasi, sejak krisis ekonomi tahun 1997-1998. Reformasi telah menggantikan sistem ekonomi yang terlalu banyak campur tangan Pemerintah dan perencanaan yang sentralistis pada masa Orde Baru dengan sistem yang lebih banyak menggunakan mekanisme pasar.
11
Peranan Lembaga Pemeriksa dalam Mengawal Transparansi dan Akuntabilitas Pengelolaan Keuangan Daerah
Pengelolaan keuangan negara yang profesional, terbuka, dan bertanggung jawab untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat, diperlukan untuk memastikan pengelolaan sumber daya yang efektif. Seiring dengan lahirnya paket UU keuangan negara, reformasi pengelolaan keuangan negara menuju terciptanya good governance terus bergulir dan mengalami penyempurnaan dari aspek perencanaan, pengelolaan, pertanggungjawaban dan pengawasan.
4
EDITORIAL
15
SAATNYA BERBAGI YANG ADIL DAN TRANSPARAN
19
HASIL PEMERIKSAAN ATAS DANA PERIMBANGAN
21
SEKILAS TENTANG DANA PERIMBANGAN
LAPORAN KHUSUS
24
Pengurangan Disparitas Pembangunan Ekonomi Regional Melalui Desentralisasi Fiskal
Alokasi dana perimbangan bertujuan mengurangi kesenjangan antara kebutuhan pengeluaran dan kapasitas fiskal pemerintah daerah serta sebagai sarana untuk memeratakan pendapatan dan mengurangi kesenjangan antar wilayah di Indonesia. Usia tujuh tahun desentralisasi belum sepenuhnya mampu menjawab tantangan ketimpangan pembangunan regional. Output pembangunan pasca kebijakan desentralisasi justru semakin memusat ke pulau Jawa, termasuk Bali.
Menanti Kejujuran... Melimpahkan urusan pemerintah pusat ke daerah tanpa diikuti suatu pengaturan tentu tidak mudah. Pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional merupakan aset bangsa milik bersama Pemerintah telah berupaya menyempurnakan mekanisme penetapan alokasi dan penyaluran Dana Perimbangan, namun demikian masih terdapat beberapa hal yang perlu mendapat perhatian dari Pemerintah Dana Perimbangan adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Dana Perimbangan tersebut dibentuk untuk mendukung pendanaan program otonomi daerah yang disalurkan berupa Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), dan Dana Bagi Hasil (DBH).
WAWANCARA
27
Drs. Maulana Ginting, MM: “Ada data daerah yang direkayasa” ...Pemerintah pusat juga harus dapat merealisasikan percepatan proses pencairan DAK dan memahami kondisi faktual yang terjadi di daerah....
29
KETUK PALU MK ATAS JUDICIAL REVIEW UU KUP
REVIU
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Jimly Asshiddiqie telah menjatuhkan ketuk palu atas pengajuan Judicial Review (uji materi) Undang-Undang Ketentuan Umum tentang Tata Cara Perpajakan. Ketukan palu Hakim Ketua MK pada tanggal 15 Mei 2008 tersebut merupakan kenyataan pahit tak hanya bagi BPK, namun juga bagi rakyat. Hal tersebut berarti transparansi perpajakan di negeri ini belum dapat dilakukan dengan baik.
NO 112/April 2008 - Juni 2008/Tahun XXVIII
31 RAGAM Good Coorporate Governance Masih Jauh Dari Harapan PERISTIWA 33 AGENDA -Opini Disclaimer untuk LKPP 2007
-Media Workshop BPK ”Penyelewengan Dana Perimbangan” -”Penerimaan Migas Tidak Transparan” MAJALAH DWIWULANAN BP K - R I
Diterbitkan oleh Biro Humas & LN, Badan Pemeriksa Keuangan, STT No. 722/SK/Ditjen PPG/STT
Susunan Dewan Redaksi Majalah Pemeriksa -”MOU BPK RI dan BPK IRAN”
Pelindung Dharma Bhakti
HUKUM 41 KONSULTASI Gratifikasi PROFESI 43 BAHASA Bahasa yang Terukur
Pemimpin Redaksi Cris Kuntadi
44 GALERI FOTO AUDIT 46
-Pengelolaan Limbah Rumah Sakit Pengenalan, Identifikasi dan Permasalahannya -Pengelolaan Akuntansi Yang Andal Menuju “BPK: Leading By Example”
HUKUM 52
MTJSL dan Kewajiban Lingkungan
DAERAH 55
Transmigrasi, Semilir Angin Di Saat Terik
LITBANG 58
Penerapan Kebijakan Fiskal Yang Efektif
KESEHATAN 61 GENDIT 63
Di Balik Kenikmatan Merokok
KODE ETIK ala GENDIT
Pemeriksaan Dana Perimbangan
un tah 28 RIKSA E PEM
MANAJEMEN 64
Anggota Redaksi Yudhi Ramdan M. Yusuf Jhon Ekowati Tyas Rahayu Dian Desilia Bestantia Indraswati R. Edi Susila Gunawan Wisaksono Staf Redaksi Nurmalasari Barlis Baharuddin
Memimpin dengan Hatii
KELUARGA 66
Ketika Istri Lebih Sukses
AGAMA 68
Kisah Burung Hud-hud
28 TAHUN PEMERIKSA 70 KOMENTAR: 71
NO 110/Desember 2007 - Januari 2008/Tahun XXVII
RALAT
Dalam Penerbitan Majalah Pemeriksa Edisi No.111/Tahun 2008 terdapat kesalahan dalam penulisan keterangan gambar sebagai berikut: TERTULIS : Ketua BPK RI memberikan kenang-kenangan kepada Wakil Ketua BPK Malaysia, 14 Maret 2008 di Jakarta. SEHARUSNYA : Ketua BPK RI memberikan kenang-kenangan kepada Wakil Ketua BPK Malaysia, 14 Maret 2008 di Bali
TERTULIS : Penandatanganan kesepakatan bersama antara BPK-RI dan JAN Malaysia di Jakarta pada tanggal 14 Maret 2008. SEHARUSNYA : Penandatanganan kesepakatan bersama antara BPK-RI dan JAN Malaysia di Bali pada tanggal 14 Maret 2008.
NO 112/April 2008 - Juni 2008/Tahun XXVIII
Desain Grafis Sutriono Rianto Prawoto Alamat Redaksi dan Tata Usaha Gedung BPK-RI Jln. Gatot Subroto No.31 Jakarta Telp. (021)5704395-6 Pes.214/208 Fax.(021)57950285
Email:
[email protected] Redaksi menerima kiriman artikel (disertai dengan softcopy dan foto penulis) sesuai dengan misi majalah PEMERIKSA. Redaksi berhak mengoreksi/ mengubah naskah yang diterima sepanjang tidak mengubah isi naskah. Isi majalah ini tidaklah berarti sama dengan pendirian Badan Pemeriksa Keuangan.
Menunggu Kejujuran ? S
emangat kedaulatan negara yang merupakan amanah pendiri bangsa harus terus dipelihara dan dipertahankan. Kedaulatan tersebut dapat dipertahankan apabila ada suatu keadilan dan kesetaraan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Indonesia. Salah satunya adalah terciptanya suatu keseimbangan dinamika pembangunan yang merata untuk seluruh wilayah NKRI tercinta ini. Untuk itu, peranan pemerintah sangat penting untuk mengendalikan roda pembangunan yang adil dan berkesinambungan melalui perimbangan keuangan negara dengan mengucurkan dana perimbangan yang mencakup Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), dan Dana Bagi Hasil (DBH). Diakui, proses pengucuran dana merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Tanggung jawab pemerintah pusat adalah jujur terhadap dasar penetapan formula pengucuran dana, dan mekanisme pengucuran dana tersebut sampai ke kocek pemerintah daerah. Tanggung jawab pemerintah daerah adalah jujur terhadap data dan informasi yang diberikan kepada pemerintah pusat dan mekanisme pengelolaan dana yang diterima untuk kepentingan meningkatkan kemakmuran rakyat. Pada hasil pemeriksaan BPK tahun 2007, tampak bahwa tanggung jawab pemerintah pusat dan pemerintah daerah belum dapat diterima kejujurannya. Kejujuran ini juga diartikan sebagai transparansi mengenai bagaimana formula dan data penyaluran dana diproses oleh pemerintah pusat. Data DAU masih dipertanyakan sumber datanya. Sumber data DBH Migas tidak pernah diketahui dengan pasti oleh pemerintah daerah. Sementara pemerintah daerah seakan “acuh“ terhadap formula dan sumber data penyaluran dana perimbangan. Keterlambatan DAK mendorong pemda “akrobat” dengan proses pengelolaan di akhir tahun anggaran, sehingga jelas tujuan membangun daerah menjadi terbengkalai. Ujung-ujungnya idle cash dana dari pusat ini “dimanfaatkan” dengan penempatan dalam bentuk SBI di Bank Indonesia melalui BPD-BPD yang notabene kasir bagi pemda. Potret BPK ini merupakan suatu sinyalemen bagi pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk duduk
bersama dan berintrospeksi terhadap kejujuran dalam penetapan, penyaluran, penerimaan dan penggunaan dana perimbangan. Di sisi lain, BPK ke depan harus dapat mengidentifikasi area-area yang perlu didalami untuk dapat mencegah berkembangnya penyimpangan manajemen dana perimbangan. Rakyat sedang menunggu kejujuran kita bersama dalam memberikan sebesar-besarnya kemakmuran untuk seluruh rakyat Indonesia yang tidak menyiakan-nyiakan jerih payah pendiri bangsa ini untuk menjaga keutuhan NKRI. Pada edisi kali ini yang bertepatan dengan ulang tahun MP yang ke 28, segenap redaksi mengucapkan terimakasih atas kritik dan saran seluruh pembaca setia MP. Penilaian tentang MP yang semakin membaik dari sisi substansi/isi dan layout akan kami jadikan benchmark agar kedepan kami bisa lebih memuaskan para pembaca yang budiman. Kami juga memohon maaf apabila saat ini belum mampu menerbitkan majalah bulanan seperti harapan 67% pembaca. Permintaan MP menjadi majalah bulanan yang sebelumnya adalah majalah triwulanan akan menjadi cambuk bagi kami seluruh dewan redaksi yang tidak mungkin terealisasi tanpa dukungan Bapak/Ibu semuanya (CK)
NO 112/April 2008 - Juni 2008/Tahun XXVIII
LIPUTAN UTAMA
PERBAIKAN PENGELOLAAN KEUANGAN NEGARA DAN KEUANGAN DAERAH P
erbaikan transparansi dan akuntabilitas fiskal merupakan salah satu kunci bagi keberhasilan perombakan sistem sosial yang kita lakukan selama era reformasi, sejak krisis ekonomi tahun 1997-1998. Reformasi telah menggantikan sistem ekonomi yang terlalu banyak campur tangan Pemerintah dan perencanaan yang sentralistis pada masa Orde Baru dengan sistem yang lebih banyak menggunakan mekanisme pasar. Transparansi dan akuntabilitas untuk menjamin adanya simetri informasi pasar sekaligus merupakan kunci pokok agar dapat memanfaatkan globalisasi perekonomian. Dalam proses globalisasi itu, pasar barang dan jasa, pasar uang maupun faktor produksi kita lainnya, terutama tenaga kerja, telah semakin terintegraasi dengan pasar dunia. Berbagai Elemen Perbaikan Sistem Fiskal Kelemahan dalam sistem keuangan negara Indonesia yang diwarisi dari Pemerintahan Orde Baru adalah bersifat mendasar. Kelemahan tersebut meliputi desain dan pelaksanaan sistem pengendalian internal, ketidakpatuhan terhadap peraturan perundang-undangan, penyimpanan keuangan negara yang semerawut, tidak adanya informasi tentang aset maupun hutang negara, dan pengungkapan SAL yang tidak konsisten dan tidak memadai. Untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan negara, Pemerintah era reformasi telah melakukan koreksi
Prof. Dr. Anwar Nasution secara menyeluruh sistem keuangan negara yang dipergunakan pada masa Pemerintahan Orde Baru. Koreksi pertama adalah dengan menyatukan anggaran negara yang tadinya dibagi dalam dua kelompok, yakni: anggaran rutin dan anggaran pembangunan. Dalam masa Orde Baru, anggaran rutin dikontrol oleh Departemen Keuangan sedangkan besarnya anggaran pembangunan struktur pembelanjaannya maupun alokasinya adalah dikendalikan oleh Bappenas. Berdasarkan Paket Ketiga UU di bidang Keuangan Negara Tahun 2003-2004, mulailah disusun pertanggungjawaban keuangan negara yang transparan dan akuntabel dalam LKPP (Laporan Keuangan Pemerintah Pusat) Tahun 2004. Sebelumnya, Pemerintah mempertanggung jawabkan Pelaksanaan APBN dalam bentuk PAN (Perhitungan Anggaran Negara). Walaupun masih jauh dari sempurna, dan belum direviu oleh pengawas internal Pemerintah, LKPP Tahun 2004, 2005 dan 2006 telah memuat rangkaian perubahan sistem fiskal yang disajikan dalam bentuk neraca, lebih rinci dan lebih sistematis sehingga lebih mudah dipahami dan dicerna oleh masyarakat luas. Penyajian keuangan negara dalam bentuk neraca dan format baru, yang telah diaudit oleh BPK-RI tersebut, adalah merupakan suatu tonggak sejarah kemajuan dalam pengelolaan dan pertanggung jawaban keuangan negara kita. LKPP format baru sekarang ini sistem pembukuannya menjadi sis-
NO 112/April 2008 - Juni 2008/Tahun XXVIII
tem pembukuan yang menggunakan dua sisi berpasangan (double entry). Diharapkan seluruh instansi pemerintahan akan menggunakan sistem akuntansi yang terpadu dan dikomputerisasi serta menerapkan desentralisasi pelaksanaan akuntansi secara berjenjang oleh unit-unit akuntansi baik di kantor pusat instansi maupun di daerah. Untuk menjaga ‘quality assurance’ Laporan Keuangan Pemerintah, UU mensyaratkan agar aparat pengawasan internal perlu mereviunya dulu sebelum ditandatangani oleh Menteri/Ketua Lembaga/Kepala Instansi Pemerintah dan diserahkan untuk diperiksa oleh BPK. Dengan sistem akuntansi berjenjang dan ‘quality assurance’ seperti ini, masalah ataupun kelemahan dalam satu unit pemerintahan akan segera dapat diditeksi dan dilokalisir untuk dikoreksi. Secara bertahap, basis anggaran negara akan dirubah dari pengeluaran kas menjadi akrual (accrual). Anggaran negara dengan basis akrual itu mencatat komitmen atau hak maupun kewajiban kontijensi negara terutama untuk penerimaan maupun pengeluaran yang melampaui masa satu tahun anggaran. Temuan dan Opini Pemeriksaan BPK Tahun 2004-2006 Dari segi teknis, setidaknya ada sepuluh kelemahan sistem pengendalian internal keuangan negara yang ditemukan oleh pemeriksaan BPK atas LKPP dan LKPD pada tahun anggaran 2004, 2005 dan 2006. Kelemahan tersebut adalah, pertama, masih perlunya perbaikan mendasar sistem
akuntansi keuangan negara agar dapat diseragamkan sesuai dengan sistem yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan pada tahun 2003 dan 2005. Kedua, perlunya sinkronisasi sistem komputer instansi Pemerintah agar menjadi terintegrasi dan kompatibel antara satu dengan lainnya. Ketiga, perlunya mengimplementasikan sistem perbendaharaan tunggal agar uang negara tidak lagi tersebar di berbagai rekening, termasuk rekening individu pejabat negara yang sudah lama meninggal dunia. LKPP Tahun 2004 melaporkan bahwa sebanyak 957 dari rekening-rekening Pemerintah pada bank-bank senilai Rp20,55 triliun adalah dicatat atas nama pribadi pejabat negara, termasuk yang sudah lama meninggal dunia. LKPP tahun 2005 dan 2006 melaporkan adanya peningkatan jumlah rekening seperti itu dengan jumlah uang yang lebih besar pula. Hal yang sama juga terjadi ditingkat Provinsi, Kabupaten maupun Kota. Keempat, perlunya inventarisasi aset dan utang negara, baik di tingkat Pusat maupun Daerah. Kelima, perlunya penyediaan tenaga administrasi pembukuan pada setiap unit instansi pemerintahan, mulai dari tingkat Pusat hingga Daerah. Keenam, perlunya transparansi dan akuntabilitas pemungutan pajak maupun penyimpanannya sebelum di transfer ke kas negara. Ketujuh, perlunya sinkronisasi penerimaan dan pengeluaran disektor perminyakan dengan perincian ongkos produksi penambangan migas oleh kontraktor swasta harus dirasionalisir dalam perhitungan ‘cost recovery’ agar dapat mengoptimalkan penerimaan negara. Kedelapan, tidak dimungkinkannya BPK melaksanakan tugas konstitusionalnya untuk melakukan pemeriksaan atas penerimaan negara yang bersumber dari pajak. UU No. 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan menyebutkan bahwa pemeriksaan pajak oleh BPK hanya boleh dilakukan dengan ijin tertulis dari Menteri Keuangan. Dalam re
alita, hampir tidak pernah Menteri Keuangan memberikan ijin untuk melakukan pemeriksaan pajak. Kesembilan, perlunya penertiban dasar pemungutan PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak), penyimpanan dan penggunaannya. Kesepuluh, belum adanya quality assurance Laporan Keuangan Departemen/ Lembaga maupun Pemda karena belum direviu oleh aparat pengawasan internal pemerintah sebagaimana diharapkan oleh UU, sebelum ditandatangani oleh Menteri/Kepala Instansi maupun Gubernur serta Bupati/Walikota dan diserahkan untuk diperiksa oleh BPK. Untuk mendorong peningkatan quality asurance, memberdayakan aparat pengawasan internal Pemerintah dan sekaligus dapat memisahkan tanggungjawab antara Auditee dengan auditor, BPK meminta auditee membuat MLR (Management Representative Letter) yang ditandatangani oleh auditee maupun auditor. Temuan Pemeriksaan BPK Periode 2004-2006 Walaupun sudah ada kemajuan, namun opini Hasil Pemeriksaan atas LKPP sampai dengan 2007 maupun LKPD sampai dengan 2006 belum menggembirakan karena banyak yang mendapatkan disclaimer. Laporan Pemeriksaan 85 entitas Pemerintah Pusat tahun 2007 adalah terdiri dari 12 entitas yang mendapat opini Wajar Tanpa Pengecualian (14 persen), 2 entitas Wajar Tanpa Pengecualian dengan Paragraf Penjelasan (2 persen), 33 entitas Wajar Dengan Pengecualian (39 persen), 37 entitas Tidak Memberi Pendapat (42 persen) dan satu entitas mendapatkan opini Adverse. Di tingkat daerah, hasil pemeriksaan BPK atas 459 LKPD Tahun 2006 terdiri dari 33 Provinsi dan 426 Kabupaten/Kota. BPK memberikan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) atas 3 LKPD, Wajar Dengan Pengecualian (WDP) atas 326 LKPD, Tidak Memberikan Pendapat (Disclaimer) atas 102 LKPD dan Tidak Wajar (TW) kepada 28 LKPD. Dari opini tersebut
dapat diketahui bahwa masih banyak entitas yaitu sekitar 28% LKPD yang masih belum tertib dalam pengelolaan dan penyajian atau kewajaran laporan keuangannya. Sampai akhir 2007, terdapat enam LKPD Tahun 2006 yang belum disampaikan ke BPK yaitu, satu LKPD Kabupaten di Provinsi NAD, satu LKPD Kabupaten di Provinsi Maluku Utara, tiga LKPD Kabupaten di Provinsi Papua, dan satu LKPD Kabupaten di Provinsi Papua Barat. Tidak dipenuhinya batas waktu penyusunan, dan penyampaiannya ke BPK untuk diperiksa disebabkan kemampuan pemerintah daerah untuk menyusun LKPD sangat terbatas. Seharusnya BPKP dapat digunakan oleh Pemerintah untuk membangun sistem akuntansi dan pertanggungjawaban keuangan negara serta mengatasi kelangkaan tenaga akuntan pada instansi teknis, baik tingkat Pusat maupun Pemda. Salah satu sumber penyebab ketidakpastian penyelenggaraan keuangan daerah adalah karena tidak adanya suatu desain yang jelas dari Pemerintah Pusat dalam melaksanakan Paket Tiga UU Keuangan Negara Tahun 2003-2004 dalam kaitannya dengan otonomi daerah. Departemen Teknis belum rela untuk menyerahkan kewenangan yang seharusnya telah didesentralisasikan kepada Pemerintah Daerah. Departemen Dalam Negeri belum sepenuhnya sejalan dengan Departemen Keuangan dalam penetapan mekanisme transfer keuangan dari Pusat ke Daerah maupun tentang penyusunan administrasi pengelolaan keuangan daerah. Tidak adanya desain dalam pelaksanaan penyelenggaraan keuangan daerah itu tercermin dari adanya rangkaian peraturan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat yang tidak jelas, multi tafsir, rumit, tidak stabil dan sering berubah. Sementara itu, belum semua daerah memiliki Peraturan Daerah mengenai pengelolaan keuangan daerah. Juga belum semua daerah memiliki Peraturan Kepala Daerah tentang Kebijakan Akuntansi Pemerintah Daerah.
NO 112/April 2008 - Juni 2008/Tahun XXVIII
Temuan signifikan pemeriksaan BPK atas LKPD Tahun 2006 adalah: 1) temuan yang berindikasi kerugian negara sebanyak 1.127 temuan senilai Rp6,00 triliun; 2) terdapat kekurangan penerimaan sebanyak 722 temuan senilai Rp2,62 triliun; 3) temuan yang bersifat administrasi sebanyak 1.287 temuan senilai Rp40,97 triliun; 4) ketidakhematan/ pemborosan dalam pelaksanaan anggaran atau inefisiensi sebanyak 1.131 temuan senilai Rp16,99 triliun dan 5) penggunaan anggaran tidak sesuai dengan tujuan yang ditetapkan atau tidak dimanfaatkan sebanyak 1.687 temuan senilai Rp43,60 triliun. Temuan Pemeriksaan BPK Tahun 2007 Tentang Dana Perimbangan Dalam semester II Tahun 2007, BPK melakukan pemeriksaan atas penetapan alokasi dan penyaluran Dana Perimbangan pada Tahun 2006 yang ditransfer dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah. Pemeriksaan ini baru mencakup 210 Pemerintah Kabupaten/Kota, disamping seluruh 33 Pemerintah Provinsi. Tujuan pemeriksaan adalah untuk menilai apakah: (1) sistem pengendalian intern (SPI) atas penetapan alokasi, penyaluran, dan penerimaan Dana Perimbangan telah memadai; dan (2) penetapan alokasi, penyaluran dan penerimaan Dana Perimbangan telah dilakukan secara tepat jumlah, tepat waktu, dan tepat rekening, serta sesuai dengan ketentuan undang-undang. Jadi pemeriksaan belum mencakup penggunaannya yang dilaporkan dalam LKPD. Dana Perimbangan merupakan dana yang bersumber dari APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk membelanjai kebutuhannya dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Tujuan dari pemberian dana itu adalah untuk mengurangi kesenjangan fiskal antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah maupun kesenjangan antara sesama Pemerintah Daerah. Disatu pihak, Dana Perimbangan sangat berperan sebagai perekat NKRI. Di lain pihak, alokasi dana itu sangat sensitif dan,
kalau tidak hati-hati dalam pelaksanaannya, dapat menjadi penyebab ketidak percayaan, kecemburuan ataupun perpecahan antar daerah serta rawan terhadap penyalahgunaan. Oleh karena itu pengelolaan dana tersebut harus benar dan sesuai dengan kesepakatan yang dimuat dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Adapun temuan hasil pemeriksaan atas penetapan alokasi dan penyaluran Dana Perimbangan yang signifikan, antara lain, adalah sebagai berikut: 1. Tidak adanya harmonisasi dan konsistensi antara ketentuan Pasal 4 ayat (3) Peraturan Presiden Nomor 104 Tahun 2006 tentang Penetapan Alokasi Dana Alokasi Umum (DAU) dengan peraturan yang lebih tinggi sehingga beberapa daerah mendapat alokasi DAU lebih dari seharusnya sebesar Rp168,46 miliar; 2. Penghitungan DAU tidak seluruhnya didasarkan pada data dasar yang jelas; 3. Data dasar berupa luas wilayah yang digunakan untuk penghitungan DAU belum sepenuhnya mengacu pada PP Nomor 55 Tahun 2005; 4. Penghitungan alokasi Dana Alokasi Khusus (DAK) tidak mengikuti kriteria umum, kriteria khusus, dan kriteria teknis yang ditetapkan sehingga alokasi DAK tahun 2006 sebesar Rp1,42 triliun dan tahun 2007 sebesar Rp1,07 triliun tidak mempunyai dasar; 5. Terdapat kesalahan penghitungan alokasi DAK sehingga 21 daerah kurang alokasi sebesar Rp4,22 miliar dan 15 daerah kelebihan alokasi DAK sebesar Rp1,26 miliar; 6. Pencairan DAK TA 2006 tidak sesuai ketentuan dan pada akhir TA 2006 dana tersebut menumpuk pada kas daerah atau kas Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD) sehingga berpotensi digunakan di luar tujuan semula; 7. DAK untuk Dana Reboisasi sebesar Rp998,71 juta yang berasal dari TA 2002 s.d. 2005 sudah dikeluarkan dari kas negara, tapi masih tersimpan di rekening khusus Dirjen
NO 112/April 2008 - Juni 2008/Tahun XXVIII
Perbendaharaan; 8. Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam (DBH SDA) terlambat disalurkan dan terdapat DBH SDA tahun 2006 yang belum disalurkan sebesar Rp1,15 triliun; 9. Realisasi DBH SDA Minyak Bumi Triwulan I Tahun 2007 yang merupakan hak Provinsi/Kota/Kabupaten di Provinsi Kalimantan Timur kurang disalurkan sebesar Rp71,99 miliar; 10. Penerimaan dana perimbangan pada 45 Pemerintah Daerah senilai Rp1,54 triliun dilakukan tanpa melalui kas daerah, diantaranya sebesar Rp71,18 miliar digunakan secara langsung tanpa melalui mekanisme APBD dan sebesar Rp149,34 miliar belum disetor ke kas daerah; 11. Penerimaan dan pengelolaan upah pungut Pajak Bumi dan Bangunan/Bea Pengalihan Hak Tanah dan Bangunan (PBB/BPHTB) pada 90 Pemerintah Daerah senilai Rp120,88 miliar dilakukan di luar mekanisme APBD dan diantaranya digunakan langsung sebesar Rp90,77 miliar dan sebesar Rp19,27 miliar belum disetor ke Kas Daerah. Dalam era modern sekarang ini, pemungutan PBB/ BPHTB masih didasarkan pada cara tradisional, pemungutan pajak era Kerajaan Mataram yang memberi upah pungut kepada Kapten Cina untuk mengungut pajak bagi kerajaan. Padahal, berbeda dengan dahulu, kini Pemerintah sudah memiliki aparat dan administrasi perpajakan modern maupun teknologi canggih termasuk foto udara untuk memantau kondisi setiap jengkal tanah dan bangunan. Hasil pemeriksaan di atas mencerminkan kelemahan dalam cara penetapan dan penyaluran Dana Perimbangan oleh Pemerintah Pusat dan penerimaannya oleh Pemerintah Daerah, sebagai berikut : 1. Lemahnya koordinasi antara Pemerintah dan DPR dalam mengimplementasikan ketentuan Dana Perimbangan, khususnya UU Nomor 33 Tahun 2004 dan PP Nomor 55 Tahun 2005, sehingga terdapat penetapan alokasi Dana Perimbangan bertentangan dengan kedua ketentuan
tersebut; tuk dapat mewujudkan transparansi dan akuntabilitas 2. Belum bainya keterpaduan atau sinkronisasi antara keuangan negara. Peranan DPR itu dapat dilakukan deAPBN dengan APBD Provinsi dan Kabupaten/Kota mau- ngan melakukan sinkronisasi UU agar jangan bertentangpun koordinasi kebijakan antara ketiga lapis pemerintah- an antara satu dengan lainnya. Di tingkat Pusat, contoh an itu; pertentangan antara UU adalah UU No. 28 Tahun 2007 3. Belum ada mekanisme monitoring dan rekonsiliasi tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah untuk yang bertentangan dengan UUD 1945 dan Paket tiga UU memastikan bahwa dana Keuangan Negara Tahun LANGKAH – LANGKAH MENUJU OPINI WAJAR TANPA PENGECUALIAN (Berdasarkan Paket Tiga UU Keuangan Negara Tahun 2003 – 2004) yang disalurkan Pemerin2003-2004. Peranan tah Pusat sudah diterima DPR dan DPRD untuk NO. Bidang-bidang yang perlu Uraian oleh Pemerintah Daerah meningkatkan transpaperhatian dan dicatat sebagai peneri- 1. Sistem Pembukuan ransi dan akuntabilitas x Penyusunan pertanggungjawaban keuangan negara berupa laporan keuangan yang maan pada kas Daerah; fiskal juga dapat diwumengacu pada Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP) Tahun 2005. Laporan 4. Masih kurang efekjudkan melalui tindak Keuangan Pemerintah itu terdiri dari Laporan Realisasi APBN (LRA), Laporan Arus Kas tifnya koordinasi antara lanjut temuan BPK un(LAK), dan Catatan Atas Laporan Keuangan (CALK) yang dilampiri dengan laporan Departemen Keuangan, tuk menyempurnakan keuangan BUMN/BUMD dan badan lainnya. Departemen Teknis, dan sistem pengendalian inx Penggunaan Sistem Perbendaharaan Tunggal (Single Treasury Account). Pemerintah Daerah dalam ternal keuangan negara Aplikasi Teknologi Komputer x Sistem Aplikasi Teknologi Komputer yang menentukan besarnya re- 2. (Sistem dan keuangan daerah. IT related) terintegrasi. alisasi DBH SDA sehingga Untuk dapat 3. Inventarisasi Aset dan hutang x Aset dan hutang negara perlu diinventarisasi penyaluran DBH SDA termenindaklanjuti persesuai peraturan perundang-undangan dan disertai dengan bukti kepemilikan yang sah lambat; baikan kelemahan dan dicatat serta dipertanggungjawabkan dalam neraca. 5. Belum ada prosemendasar adminiswaktu penyusunan laporan x Laporan Keuangan disampaikan untuk dur yang memadai untuk 4. Jadwal trasi keuangan negara keuangan dan pemeriksaan serta diperiksa kepada BPK paling lambat 3 bulan pertanggungjawabkan anggaran setelah tahun anggaran berakhir. Pada memberikan keyakinan tersebut, BPK telah megilirannya, BPK menyampaikan laporan hasil pemeriksaannya, dengan opini, kepada kepada Pemerintah Daenyarankan kepada DPR DPR/DPD/DPRD dan auditee dua bulan kemudian. rah mengenai jumlah Dana untuk dapat membenAssurance yang dilakukan x Pengawas internal (BPKP, Irjen, SPI dan Perimbangan yang akan 5. Quality tuk suatu Panitia Akuntoleh Pengawas Intern Bawasda Provinsi serta Kabupaten/Kota) bertugas untuk mengawasi mutu laporan dialokasikan kepada suatu abilitas Publik (PAP). Di pertanggungjawaban keuangan yang disusun oleh departemen / instansi Pemerintah / daerah, serta waktu peParlemen negara asing Pemda. nyalurannya terutama unPAP itu disebut sebagai 6. Sumber Daya Manusia x Penetapan status bendahara sebagai jabatan tuk DBH SDA; dan Public Accounts and Aufungsional. 6. Terbukanya peluang dit Committee (PAAC). x Bendahara atau pegawai yang menangani pembukuan dan pengawasan seyogyanya akan penyalahgunaan PAP adalah merupakan memiliki pengetahuan dasar ilmu akuntansi. Dana Perimbangan karena perwujudan dari kekuax SDM dapat diperoleh dengan merekrut tenaga BPKP atau dengan memberikan adanya kebijakan Pemerinsaan DPR dan DPRD pelatihan kepada pegawai mengenai akuntansi keuangan Negara/ daerah. tah Pusat pada tahun 2006 sebagai pemegang yang memberikan perinhak budjet dan fungsi tah kepada Pemerintah pengawasan. DPR dan Daerah untuk segera mencairkan DAK pada akhir tahun DPRD di Indonesia sudah memiliki Panitia Anggaran untanpa melihat kesiapan Pemerintah Daerah untuk mere- tuk membahas rencana anggaran negara tingkat Pusat alisasikannya; dan Daerah. DPR dan DPRD juga sudah memiliki komisiBerdasarkan berbagai kelemahan di atas, BPK me- komisi yang mengawasi penggunaan anggaran dan kinernyimpulkan bahwa penetapan penyaluran, dan pene- ja sektoral Departemen teknis. Namun, DPR dan DPRD rimaan dana perimbangan belum sepenuhnya transparan, kita belum memiliki PAP yang memantau pelaksanaan belum akuntabel, belum memiliki sistem pengendalian RAPBN dan RAPBD secara keseluruhan. PAP perlu dalam intern yang memadai, dan belum sepenuhnya sesuai rangka pelaksanaan hak bujet dan fungsi pengawasan dengan peraturan perundang-undangan, serta belum DPR/DPRD agar dapat menjadi lebih efektif dan efisien. adanya harmonisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Pembentukan PAP oleh DPR-RI, DPRD Provinsi dan Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota menjadi semakin penting untuk men(APBN dan APBD) untuk memperjelas sasaran pembang- dorong Pemerintah mempercepat pembangunan sistem unan nasional dan daerah. keuangannya sesuai dengan Paket tiga UU Keuangan Negara Tahun 2003-2004. Pelaksanaan hak budjet dan efekPeranan DPR dan DPRD Untuk Menindak Lanjuti Temuan tifnya fungsi pengawasan DPRD sangat menentukan atas BPK perwujudan demokrasi politik dan keberhasilan otonomi Peranan DPR dan DPRD masih perlu ditingkatkan un- daerah. **
NO 112/April 2008 - Juni 2008/Tahun XXVIII
NO 112/April 2008 - Juni 2008/Tahun XXVIII
Contoh Management Representative Letter. Management Representative Letter [Kop Surat Kementerian Negara/Lembaga] Jakarta,[tanggal] Yth. Anggota Pembina Keuangan Negara .... Badan Pemeriksa Keuangan RI di Jakarta Perihal: Surat Representasi Manajemen Kami memberikan surat representasi ini sehubungan dengan pemeriksaan BPK-RI atas Laporan Keuangan [Nama Kementerian Negara/Lembaga] Tahun ......, yang terdiri dari Laporan Realisasi Anggaran untuk tahun yang berakhir tanggal 31 Desember ....., Neraca per 31 Desember ......., dan Catatan atas Laporan Keuangan. Kami menegaskan bahwa kami bertanggung jawab atas penyajian wajar laporan realisasi anggaran, neraca dan catatan atas laporan keuangan sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum. Representasi tertentu dalam surat ini diberikan terbatas pada hal-hal yang material. Sesuatu dipandang material, tanpa melihat besarnya, jika sesuatu tersebut menyangkut penghilangan atau salah saji informasi akuntansi yang, dengan mempertimbangkan keadaan yang melingkupinya, menjadikan pertimbangan orang yang berpikiran wajar yang meletakkan kepercayaan pada informasi tersebut akan berubah atau terpengaruh oleh penghilangan atau salah saji tersebut. Kami menegaskan, berdasarkan keyakinan dan pengetahuan kami yang terbaik, representasi berikut ini telah kami buat kepada tim BPK-RI selama pemeriksaan: 1. Laporan keuangan yang disebut di atas disajikan secara wajar sesuai dengan prinsip akuntansi pemerintah. 2. Kami telah menyediakan semua data material kepada tim BPK-RI. 3. Semua transaksi yang material sudah dicatat dalam catatan akuntansi yang melandasi laporan keuangan. 4. [Nama Kementerian Negara/Lembaga] memiliki hak penuh atas aktiva yang dimiliki, dan tidak terdapat gadai atau penjaminan atas aktiva atau aktiva yang digadaikan. 5. Tidak terdapat kemungkinan tindakan pelanggaran terhadap hukum dan peraturan yang dampaknya dapat dipertimbangkan untuk diungkapkan dalam laporan keuangan. 6. Semua kewajiban material sudah dicatat atau diungkapkan sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum. 7. Tidak terdapat tagihan atau penilaian yang belum dinyatakan yang harus dinyatakan dan yang seharusnya diungkapkan yang belum diungkapkan. 8. [Nama Kementerian Negara/Lembaga] telah mematuhi semua aspek perjanjian kontrak yang akan mempunyai dampak material terhadap laporan keuangan jika terjadi pelanggaran. 9. Tidak terdapat peristiwa atau transaksi material yang terjadi setelah tanggal 31 Desember ...... yang belum dicatat secara memadai dalam laporan keuangan atau diungkapkan dalam catatan laporan keuangan. 10. Tidak terdapat kecurangan material (kesalahan disengaja atau penghilangan jumlah atau pengungkapan dalam laporan keuangan dan penyalahgunaan aset yang dapat berdampak material terhadap laporan keuangan) atau kecurangan lain yang melibatkan pimpinan atau pegawai yang memiliki peran penting dalam pengendalian intern. 11. Kami bertanggung jawab untuk menyelenggarakan dan memelihara pengendalian intern. 12. Kami telah menilai efektifitas pengendalian intern dalam hal: a. Keandalan pelaporan keuangan – transaksi-transaksi telah dicatat, diproses, dan diringkas secara memadai untuk memungkinkan penyusunan laporan keuangan sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum, dan aset telah dilindungi dari kehilangan yang disebabkan oleh pengambilalihan, penggunaan, atau pelepasan yang tidak sah. b. Ketaatan pada peraturan yang berlaku – transaksi-transaksi dilaksanakan sesuai dengan (i) undang-undang yang mengatur penggunaan kewenangan anggaran dan peraturan perundangan lainnya yang berdampak langsung dan material terhadap laporan keuangan, dan (ii) undangundang, peraturan, dan keputusan terkait lainnya. 13. Kami telah menyampaikan semua kelemahan signifikan yang ada pada perancangan dan pelaksanaan pengendalian intern yang dapat berdampak negatif terhadap kemampuan entitas dalam mencapai tujuan pengendalian intern dan mengindikasikan kelemahan-kelemahan yang material. 14. Kami bertanggung jawab atas pelaksanaan dan penyelenggaraan sistem pengelolaan keuangan yang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan tentang keuangan negara dan standar akuntansi pemerintah. 15. Kami telah menilai sistem pengelolaan keuangan untuk menentukan kesesuaian dengan ketentuanketentuan terkait sistem pengelolaan keuangan. 16. Sistem pengelolaan keuangan telah sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang terkait dengan sistem pengelolaan keuangan dan standar akuntansi pemerintah. 17. Kami bertanggung jawab atas kepatuhan entitas terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku. 18. Kami telah mengidentifikasi dan mengungkapkan semua peraturan dan undang-undang yang berdampak langsung dan material terhadap penentuan jumlah dalam laporan keuangan. 19. Kami telah menyampaikan semua kejadian ketidakpatuhan terhadap peraturan dan perundangundangan yang berlaku. [ Kementerian Negara/Lembaga], [Nama Pimpinan KementerianNegara/Lembaga]
10
NO 112/April 2008 - Juni 2008/Tahun XXVIII
LIPUTAN UTAMA
Peranan Lembaga Pemeriksa dalam Mengawal Transparansi dan Akuntabilitas Pengelolaan Keuangan Daerah Oleh: Hasan Bisri, Anggota BPK RI Dari acara “Pemantapan Wawasan Kebangsaan bagi Unsur Pimpinan dan Anggota DPRD se-Indonesia Angkatan XVII” Jakarta, 18 April 2008
P
engelolaan keuangan negara yang profesional, terbuka, dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, diperlukan untuk memastikan pengelolaan sumber daya yang efektif. Seiring dengan lahirnya paket UU keuangan negara, reformasi pengelolaan keuangan negara menuju terciptanya good governance terus bergulir dan mengalami penyempurnaan dari aspek perencanaan, pengelolaan, pertanggungjawaban dan pengawasan. Di samping itu berdampak pula pada pengelolaan keuangan daerah, dengan diterbitkan UU no 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan UU No 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Derah sebagai penyempunaan UU 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan UU 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Hubungan Keuangan Daerah dan Pemerintah Pusat Pedoman pengelolaan keuangan daerah diperlukan untuk menjamin akuntabilitas dan transparansi pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan daerah oleh pemerintah daerah. Hal ini juga dapat memastikan bahwa otonomi daerah yang mencakup desentralisasi dan dekonsentrasi urusan dan kewenangan pusat kepada daerah dapat mencapai tujuannya, yaitu menciptakan transparansi fiskal dan alokasi dan distribusi pembangunan nasional. Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) selama empat tahun anggaran menunjukkan bahwa perkembangan dana perimbangan yang mencakup Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK) adalah sebagai berikut: No 1
Dana Perimbangan DBH
2 3
DAU DAK Total Dana Perimbangan Total APBN Proporsi Dana Perimbangan terhadap APBN **)
2004
2005
2006
2007 *)
82.130 4.036 122.866
88.765 4.763 143.222
145.664 11.556 222.109
164.787 16.240 243.941
427.177
509.632
670.728
757.638
28,76%
28,10%
33,11%
32,20%
36.700
49.692
dalam miliar rupiah
NO 112/April 2008 - Juni 2008/Tahun XXVIII
64.889
62.914
Sumber data : LKPP 2004, 2005 dan 2006 audited dan 2007 unaudited*) **) data tersebut belum termasuk Dana Otonomi Khusus dan Penyesuian yang pada TA 2007 mencapai Rp9,28 triliun.
Realisasi DBH yang meliputi bagi hasil sumber daya alam dan bagi hasil perpajakan selama empat tahun mengalami kenaikan rata-rata sebesar 32,99% per tahun, namun menurun pada 2007. Sedangkan realiasasi DAU untuk membiayai pelaksanaan desentralisasi di provinsi dan kota/kabupaten mengalami kenaian yang signifikan pada 2006 dibanding tahun sebelumnya dan terus meningkat sampai 2007. DAK untuk pembiayaan program pendidikan, kesehatan, infrastruktur, pemekaran pemerintah, kelautan dan pertanian dan lain-lain juga mengalami kenaikan signifikan pada 2006 dan 2007 dibanding tahun sebelumnya hanya mencapai 18 %. Sedangkan proporsi dana perimbangan terhadap total realisasi belanja APBN selama 3 tahun berturut-turut makin meningkat yaitu 28,76%, 28,10% dan 33,11%, menurun sedikit pada tahun 2007 menjadi 32,20%. Kemandirian kemampuan keuangan daerah bervariasi terlihat dari proporsi Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap penerimaan daerah. Pada pemda di wilayah Sumatera, komposisi antara PAD dan dana perimbangan relatif seimbang, sedangkan pemda di wilayah Jawa relatif lebih mampu membiayai sendiri dengan rata-rata 72% PAD terhadap penerimaan daerah. Sebagian besar pemda di Indonesia bagian timur masih memiliki ketergantungan yang cukup tinggi terhadap dana perimbangan yaitu kisaran 70% ke atas. Hasil pemeriksaan BPK atas pengelolaan Keuangan Daerah BPK mengemban amanat konstitusi yang bertugas memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan dengan lingkup pemeriksaan semua unsur keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Sampai saat ini, BPK memiliki 28 Kantor Perwakilan di 28 Provinsi dan diharapkan pada akhir 2008 dapat membuka perwakilan di seluruh provinsi di Indonesia. Dengan jumlah entitas yang harus diperiksa sebanyak 468 pemerintah daerah (provinsi, kabupaten, kota) dan BUMD, BPK telah melaksanakan pemeriksaan keuangan atas laporan keuangan daerah sebanyak 95 % dari objek yang ang ada. 11
Hasil pemeriksaan BPK atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) Tahun Anggaran 2006 atas 459 LKPD provinsi/kabupaten/kota yang diperiksa menunjukkan 3 LKPD memperoleh opini ”Wajar Tanpa Pengecualian”, 326 LKPD “Wajar Dengan Pengecualian” (WDP), 102 LKPD memperoleh “Tidak Menyatakan Pendapat” (TMP), dan 28 LKPD memperoleh “Tidak Wajar”. Isu-isu signifikan pada pemda terkait laporan keuangan antara lain: adanya pendapatan yang tidak disetor ke kas daerah dan dikelola di luar mekanisme APBD serta masih terlambatnya penyetoran pendapatan ke kas daerah; adanya belanja daerah yang tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan dilaksanakan tidak mengikuti prosedur pengadaan barang dan jasa; Prosedur pencatatan dan pelaporan barang milik daerah belum tertib dan masih terdapat aset yang belum jelas status kepemilikan. Sementara itu, hasil pemeriksaan BPK atas pelaksanaan pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan daerah menunjukkan isu yang signifikan terjadi pada pemda: adanya belanja dana dekosentrasi berupa belanja modal yang didistribusikan kepada pemda dan pengelolaan asetnya tidak dikelola dengan tertib, sehingga dapat menimbulkan hilang aset negara dan tidak terdokumentasi dengan baik; penetapan, penyaluran dan penggunaan dana perimbangan belum mencerminkan pengendalian yang memadai terutama menyangkut validitas dan akurasi formula dasar untuk DAU dan perencanaan kegiatan untuk DAK yang dapat menyimpang dari program yang telah ditetapkan oleh departemen teknis terkait. Ada beberapa kelemahan hampir di semua departemen/lembaga dan pemda dalam penyusunan laporan keuangan, yaitu: perlunya perbaikan mendasar sistem akuntansi keuangan negara; sistem komputer instansi pemerintah belum sinkron; Single Treasury Account belum diterapkan atas pengelolaan rekening negara; serta keterbatasan tenaga administrasi pembukuan pada setiap unit pemerintah, mulai dari tingkat pusat hingga daerah. Hasil-hasil pemeriksaan BPK tersebut, menunjukkan pengelolaan keuangan daerah mempunyai potensi risiko yang harus segera diantisipasi dan diselesaikan oleh pemerintah daerah provinsi, kota dan kabupaten.
patan Daerah pada Pemerintah Provinsi atau Kabupaten/ Kota. Pada dasarnya, alokasi DP ditetapkan dalam pembahasan RAPBN antara Pemerintah dan DPR. Pemeriksaan ditujukan untuk menilai apakah: 1) Sistem Pengendalian Intern (SPI) atas penetapan alokasi, penyaluran, dan penerimaan DP telah memadai; dan 2) penetapan alokasi, penyaluran, dan penerimaan DP telah dilakukan secara tepat jumlah, waktu, dan rekening, serta sesuai dengan ketentuan perundangan. Pemeriksaan dilakukan atas Penetapan Alokasi dan Penyaluran DP oleh Pemerintah Pusat serta Penerimaan DP oleh Pemda TA 2006 dan semester I TA 2007. Pemeriksaan dilakukan pada Pemerintah Pusat (Departemen Keuangan dan instansi terkait lainnya), 33 pemerintah provinsi, dan 210 pemerintah kabupaten/kota. Pemeriksaan tidak mencakup penggunaan DP yang telah dilaporkan dalam LKPD. Anggaran dan realisasi Dana Perimbangan dari tahun 2001 sampai dengan Semester I Tahun 2007 dapat dilihat pada grafik berikut. 300,000,000,000,000 250,000,000,000,000 200,000,000,000,000 Anggaran
150,000,000,000,000
Realisasi
100,000,000,000,000 50,000,000,000,000 2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
Gambar di atas menunjukkan anggaran dan realisasi DP yang selalu meningkat dari 2001 sejalan dengan peningkatan APBN dan realisasinya. Anggaran DP 2006 meningkat cukup signifikan, yaitu DAU meningkat Rp57 triliun (64,10%), DAK meningkat Rp7 triliun (139,66%) dan DBH meningkat Rp7 triliun (13,31%) dibanding anggaran 2005. Sedangkan anggaran DP untuk 2007, DAU meningkat Rp19 triliun (13,13%), DAK meningkat Rp5 triliun (47,75%) dan DBH meningkat Rp9 triliun (14,93%) dibandingkan 2006.
Pemeriksaan atas penetapan dan penyaluran dana perimbangan Dana Perimbangan (DP) adalah dana yang bersumber dari Pemerintah Pusat yang dialokasikan kepada Pemda untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Terdiri dari Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), dan Dana Bagi Hasil (DBH). Pengelolaan DP oleh Pemerintah Pusat dilakukan oleh Departemen Keuangan dengan melibatkan beberapa instansi lainnya. Sedangkan pengelolaan pada Pemda dilakukan oleh Biro/Bagian Keuangan dan Dinas Penda12
Tabel 1. Anggaran dan Realisasi Dana Perimbangan TA 2006 dan Semester I TA 2007 (dalam miliar rupiah) NO 112/April 2008 - Juni 2008/Tahun XXVIII
Anggaran dan Realisasi Dana Perimbangan TA 2007 (Semester I) Jenis DP DAU DAK DBH Total
Anggaran 145.664 11.570 59.564 216.798
2006 Realisasi 145.664 11.566 64.900 222.13
% 100,00 99,97 108,96 102,46
2007 (s.d. semester I) Anggaran Realisasi 164.787 17.094 68.461 250.342
Anggaran dan Realisasi Dana Perimbangan TA 2006
95.764 2.065 8.980 106.809
% 58,11 12,08 13,12 42,66
Gambar di atas menunjukkan bahwa realisasi DP TA 2006 sebesar 102,46% di atas anggaran, antara lain disebabkan penerimaan negara yang dibagihasilkan, yaitu penerimaan sumber daya alam, yang realisasinya di atas anggaran. Sedangkan realisasi TA 2007 (sampai dengan semester I) hanya 42,66% yang disebabkan kelambatan Pemerintah Pusat dalam menyalurkan DBH khususnya DBH SDA dan Pemda yang belum mencairkan DAK. Hasil pemeriksaan dana perimbangan Hasil evaluasi atas sistem pengendalian intern menyimpulkan adanya kelemahan yang signifikan antara lain sebagai berikut: • Lemahnya koordinasi antara Pemerintah dan DPR dalam mengimplementasikan ketentuan DP, khususnya UU No 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemda dan PP No 55/2005 tentang DP. • Masih kurang efektifnya koordinasi antara Depkeu, Departemen Teknis, dan Pemda dalam menentukan besarnya realisasi DBH SDA sehingga penyalurannya terlambat. • Adanya peluang terjadi penyalahgunaan DAK, karena adanya kebijakan Pemerintah Pusat pada 2006 yang memberi perintah kepada Pemda untuk segera mencairkan DAK pada akhir tahun tanpa melihat kesiapan Pemda untuk merealisasikannya. • Penetapan alokasi DAK Tahun 2006 pada beberapa tahap dan beberapa bidang dengan total nilai Rp1,41 triliun dan pada penetapan Alokasi DAK Tahun 2007 untuk Bidang Praspem Prioritas I, II dan III dengan total nilai Rp539,06 miliar serta Tahap II untuk seluruh bidang Rp535,00 miliar tidak dilakukan sesuai dengan proses penetapan alokasi DAK, yaitu menggunakan kriteria umum, khusus, dan teknis sebagaimana diatur dalam PP 55 Tahun 2005. Hal ini mengakibatkan pengalokasian DAK TaNO 112/April 2008 - Juni 2008/Tahun XXVIII
hun 2006 dan Tahun 2007 sebesar Rp2,48 triliun diterima oleh daerah yang tidak berhak sesuai ketentuan. • Berdasarkan hasil pemeriksaan atas bukti-bukti pengajuan pencairan, penyaluran, dan penerimaan DAK TA 2006 pada 210 kabupaten/kota, diketahui bahwa pencairan DAK seharusnya dilakukan secara triwulanan, namun ternyata pencairan tiap tahap terlambat antara 2-6 bulan, bahkan sebagian besar dilakukan pada bulan Desember 2006, diantaranya dengan menggunakan bukti pencairan secara formalitas. Pencairan seharusnya dilakukan ketika saldo rekening DAK maksimal 10% dari jumlah DAK yang telah dicairkan pada tahap sebelumnya, namun dalam pelaksanaannya, pencairan DAK untuk tiap tahapan dilakukan ketika saldo DAK pada rekening tersebut masih di atas 10%. Terdapat penumpukan saldo DAK pada akhir 2006 yang belum dimanfaatkan Rp1,06 triliun, padahal seharusnya kegiatan fisik harus sudah selesai dan dapat dimanfaatkan pada akhir 2006. • PP 55 Tahun 2005 mengatur bahwa DP disalurkan dengan cara pemindahan dari kas umum negara ke kas umum daerah atau kas daerah. Dalam pelaksanaannya, terdapat DP (selain biaya pungut PBB) Tahun 2006 dan semester I Tahun 2007 yang tidak langsung disalurkan ke Kas Umum Daerah, yaitu terjadi pada 45 pemerintah daerah senilai Rp1,54 triliun. Dana tersebut diterima atau ditampung pada rekening di luar Rekening Kas Daerah dan/atau rekening yang tidak dilaporkan dalam LKPD. Dari jumlah tersebut, Rp1,33 triliun telah disetorkan ke kas daerah, Rp71,18 miliar digunakan secara langsung, dan sebesar Rp149,34 miliar masih tersimpan di rekening penampungan. Penggunaan secara langsung adalah penggunaan oleh pejabat atau oknum yang tidak dilakukan melalui mekanisme APBD dan tidak dilaporkan dalam LKPD, yaitu antara lain digunakan untuk pengeluaran yang tidak jelas pertanggungjawabannya. BPK merekomendasikan agar Pemerintah Pusat dalam hal ini Depkeu menyempurnakan mekanisme penetapan alokasi, monitoring, dan rekonsiliasi dalam pengelolaan DP. Selain itu juga meninjau kembali kebijakan pemberian BP PBB sesuai dengan praktik yang lazim saat ini; menyempurnakan ketentuan yang saling bertentangan dan tidak konsisten dan; merealisasikan DP yang belum disalurkan sesuai ketentuan; pemda yang masih menyimpan DP di luar kas daerah agar segera menyetorkan sisa DP ke kas daerah dan melaporkannya ke dalam LKPD, agar dapat meningkatkan akuntabilitas dan meningkatkan pengendalian atas DP; serta pemda yang melakukan penggunaan langsung mempertanggungjawabkan penggunaan langsung DP yang diterima tidak melalui rekening Kas Daerah. Peran Lembaga Perwakilan Sebagai upaya mengawal transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan negara/daerah, peranan BPK tidak lepas dari peran aktif DPR/DPRD/DPD dalam mendorong proses dan hasil audit. Hal ini demi meme13
nuhi harapan dan kebutuhan pemilik kepentingan. Sesuai pasal 17 UU No. 15 Tahun 2004, hasil pemeriksaan BPK disampaikan kepada DPR/DPD/DPRD selambat-lambatnya 2 bulan setelah BPK menerima Laporan Keuangan Pemerintah Pusat/Daerah. Ini membuktikan bahwa BPK mempunyai kewajiban dalam memberikan assurance (keyakinan yang memadai) atas pertanggungjawaban pemerintah pusat/daerah dalam mengelola keuangan negara sebelum lembaga perwakilan menerima pertanggungjawaban tersebut. Lembaga perwakilan sesuai pasal 21 UU No. 15 Tahun 2004 menindaklanjuti hasil pemeriksaan BPK dengan mnelakukan pembahasan sesuai dengan kewenangannya dan dapat meminta penjelasan BPK dalam rangka menindaklanjuti hasil pemeriksaan tersebut. Ini artinya fungsi tindak lanjut sepenuhnya dimiliki lembaga perwakilan. Efektivitas hasil pemeriksaan terletak sejauh mana lembaga perwakilan mau memanfaatkan momen ini untuk memastikan informasi pengelolaan keuangan negara/derah telah dilaksanakan sesuai dengan peraturan
No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33
Entitas Provinsi NAD Provinsi Sumatera Utara Provinsi Sumatera Barat Provinsi Riau Provinsi Jambi Provinsi Kepulauan Riau Provinsi Sumatera Selatan Propinsi Bengkulu Provinsi Bangka Belitung Provinsi Lampung Provinsi DKI Jakarta Provinsi Banten Provinsi Jawa Barat Provinsi DI Yogyakarta Provinsi Jawa Tengah Provinsi Jawa Timur Provinsi Kalimantan Barat Provinsi Kalimantan Tengah Provinsi Kalimantan Timur Provinsi Kalimantan Selatan Provinsi Sulawesi Utara Provinsi Gorontalo Provinsi Sulawesi Tengah Provinsi Sulawesi Tenggara Provinsi Sulawesi Barat Provinsi Sulawesi Selatan Provinsi Bali Provinsi NTB Provinsi NTT Provinsi Maluku Provinsi Maluku Utara Provinsi Papua Barat Provinsi Papua
Jumlah
perundang-undangan dan memenuhi aspek kehematan, efisiensi dan efektivitas. Apabila dari hasil pemeriksaan lembaga perwakilan memerlukan pendalaman masalah terhadap masalah yang dikemukakan, sesuai dengan pasal tersebut DPR/DPRD dapat meminta BPK untuk melakukan pemeriksaan lanjutan. Dalam optimalisasi pengelolaan keuangan daerah, BPK telah membina hubungan dengan DPRD dengan membuat kesepakatan kerja sama dalam menjaga hubungan kerja terkait proses dan hasil pemeriksaan BPK di seluruh pemda provinsi/kota/kabupaten dengan kantor perwakilan BPK RI. Ini semua merupakan upaya bersama menyeleraskan dan mengefektifkan hasil pemeriksaan BPK yang berguna bagi rakyat pada umumnya. Sehingga publik mengetahui dengan terbuka, dan seimbang tentang proses pengelolaan keuangan daerah di wilayahnya masing-masing. **
Pemda yang Diperiksa
Penggunaan Langsung DP pada Pemda
(%)
6 16 9 9 6 2 8 5 4 8 1 7 18 4 20 16 4 4 8 4 6 6 4 4 4 18 4 6 8 4 2 8 10 243
3 4 0 2 1 0 2 1 0 1 0 0 3 3 5 4 1 0 1 0 2 3 2 3 1 6 0 1 5 2 1 8 9 74
50.00 25.00 0 22.22 16.67 0 25.00 20.00 0 12.50 0 0 16.67 75.00 25.00 25.00 25.00 0 12.50 0 33.33 50.00 50.00 75.00 25.00 33.33 0 16.67 62.50 50.00 50.00 100.00 90.00 30.45%
Tabel di atas menunjukkan bahwa 10 pemerintah provinsi/kabupaten/kota, yaitu Provinsi NAD, Provinsi DIY, Provinsi Gorontalo, Provinsi Sulawesi Tengah Provinsi Sulawesi Tenggara, Provinsi NTT, Provinsi Maluku, Provinsi Maluku Utara, Provinsi Papua Barat dan Provinsi Papua sebagian besar (≥50%) menggunakan langsung DP yang diterima dari Pemerintah Pusat, 15 provinsi sebagian kecil (<50%) pemerintah kabupaten/kota di wilayahnya menggunakan langsung DP yang diterima dari Pemerintah Pusat. Hanya delapan (8) provinsi yang pemerintah/kabupaten/kota menggunakan DP sesuai dengan ketentuan
14
NO 112/April 2008 - Juni 2008/Tahun XXVIII
laporan UTAMA utama LAPORAN
SAATNYA BERBAGI YANG ADIL DAN TRANSPARAN Oleh: Yudi Ramdan Konsep yang mulia elimpahkan urusan pemerintah pusat ke daerah tanpa diikuti suatu pengaturan tentu tidak mudah. Pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional merupakan aset bangsa milik bersama. Proses tersebut harus mencerminkan suatu pola pembagian yang jelas, adil dan transparan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah. Tidak ada dusta antara keduanya. Untuk itu, kedua belah pihak perlu duduk bersama menyepakati “aturan main” yang cukup fair. Dan paling penting, rakyat harus paham betul aturan main tersebut. Pemerintah dan DPR juga telah menyepakati hal tersebut dan tertuang dalam UU No. 33 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Undang-Undang ini lahir dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah, penyerahan, pelimpahan, dan penugasan urusan pemerintah kepada Daerah secara nyata dan bertanggung jawab, yang harus diikuti dengan pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional secara adil. Dengan UU ini, diharapkan tercipta sistem perimbangan yang benar-benar proporsional. Artinya, jelas berapa bagian masing-masing pemerintah dengan dasar yang adil dan dapat dipertanggungjawabkan melalui proses yang demokratis. Dalam proses tersebut, pemerintah pusat harus selalu melibatkan
M
lembaga perwakilan dan pemerintah daerah. Tidak ada proses yang “abu-abu” atau tidak jelas siapa yang bertanggung jawab dan bagaimana mempertanggungjawabkannya. Implikasi ketidakjelasan dapat mengganggu “keadilan” pemerintah pusat untuk “jeli” membantu kemampuan keuangan suatu daerah. Hak daerah yang telah memberikan kontribusi pendapatan nasional secara fair dan transparan harus dikembalikan. Tidak kalah penting, program nasional pada
NO 112/April 2008 - Juni 2008/Tahun XXVIII
bidang-bidang tertentu dapat dilaksanakan dengan efektif dan selaras dengan pembangunan nasional. Sebagai implementasi dari perimbangan keuangan negara, maka pemerintah mengeluarkan operasionalisasi dana perimbangan ke dalam suatu PP No. 55 Tahun 2005. Peraturan Pemerintah ini mengatur bagaimana proses penetapan, penyaluran dan pertanggungjawaban harus dikelola oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Dalam PP tersebut, diatur bahwa Dana Perimbangan bertujuan untuk menciptakan keseimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah serta antara Pemerintahan Daerah yang terdiri dari Dana Bagi Hasil (DBH) dari penerimaan pajak dan SDA, Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Pemerataan kemampuan keuangan antar daerah Wilayah Indonesia terbagi ke dalam daerah yang cukup beragam dari tatanan perekonomian,
Gorontalo dan Papua, daerah yang diuntungkan dengan aturan pembagian DAU
15
kualitas dan kuantitas sumber daya, dan luasan wilayah daerah masing-masing. Pemerintah daerah selaku aparatur yang mengelola roda pemerintahan dan perekonomian memerlukan dana untuk membiayai operasional penyelenggaraan yang tidak boleh tidak harus tersedia, misalnya untuk pembiayaan belanja aparat pemerintah daerah. Sementara itu sumber pembiayaan yang dimiliki cukup bervariasi. Ada daerah yang memiliki pendapatan asli daerah yang tinggi namun ada juga yang rendah. Untuk itu Pemerintah Pusat melalui pengucuran DAU memastikan bahwa pemerataan kemampuan keuangan antar daerah dapat diwujudkan secara adil dan transparan. Rumusan perhitungan uang yang dikucurkan didasarkan suatu formula yang menjamin kebutuhan daerah dan kemampuan daerah dapat diselaraskan. Kebutuhan daerah dicerminkan dari luas daerah, keadaan geografis, jumlah penduduk, tingkat kesehatan dan kesejahteraan masyarakat di daerah, dan tingkat pendapatan masyarakat di daerah. Sedangkan kapasitas fiskal dicerminkan dari Pendapatan Asli Daerah, Dana Bagi Hasil Pajak, dan Sumber Daya Alam. Artinya, kesalahan dalam hitung-hitungan DAU tersebut dapat berimplikasi timbulnya ketidakadilan pembagian keuangan. Misalnya dalam penentuan kebutuhan daerah, bisa jadi pemerintah pusat kurang tepat menghitung luasan daerah atau jumlah penduduk. Validitas sumber data dan bagaimana mengolahnya menjadi isu tersendiri yang harus dicermati dalam menghitung besaran dana yang dikucurkan ke daerah. Mengembalikan hak atas potensi daerah Hasil bumi pertiwi cukup berlimpah dan cukup signifikan menyum16
bang pendapatan negara melalui hasil sumber daya alam dan pajak. Provinsi Nangroe Aceh Darussalam yang
kaya akan gas bumi, Papua yang kaya akan pertambangan tembaga, dan Kutai Kertanagara kaya akan minyak bumi tentu harus memperoleh hak atas hasi l bumi yang telah ditarik oleh Pemerintah Pusat melal u i kontrak bagi hasil dengan perusahaan-perusahaan asing. Untuk itu, pengucuran DBH kepada daerah diharapkan menjawab proses
pengembalian hak atas potensi daerah kepada daerah penghasil. Pertanyaan yang menggelitik atas proses tersebut adalah sejauh mana pemerintah daerah ikut terlibat menentukan besaran pembagian DBH ini. Bukan prosentase pembagian yang dipertanyakan, melainkan lebih pada besaran pendapatan hasil bumi yang riil yang dihasilkan oleh suatu perusahaan yang menguras hasil bumi di daerah penghasil. Dengan sentralisasi penentuan besaran hasil bumi oleh pemerintah pusat dikhawatirkan ada “ketidakjujuran” proses validasi atas besaran tersebut. Pemerintah pusat tidak boleh tutup mata bahwa transp a ra n s i besaran dan proporsi hasil potensi daerah ditunggu dan diharapkan oleh daerah. Ketika pusat gagal menjelaskan dan mempertanggungjawabkan proses pengucuran dana yang menjadi hak daerah, maka akan berimplikasi timbulnya gap antara pendapatan negara yang cukup besar dari daerah penghasil dengan kondisi perkembangan pembangunan di daerah yang bersangkutan. Menjaga kesinambungan program nasional Dapat dibayangkan apabila pembangunan sekolah-sekolah tidak merata antara satu daerah dengan daerah lain, maka distribusi kualitas pendidikan dan sumber daya manusia Indonesia terancam. Begitu pula, ketika ada KLB Demam Berdarah di beberapa daerah diperlukan suatu pola penanggulangan secara nasional yang kemudian diikuti oleh setiap
NO 112/April 2008 - Juni 2008/Tahun XXVIII
daerah dalam menyiapkan sarana dan prasarana yang menunjang atas kegiatan tersebut. Ini semua merupakan refleksi suatu fenomena kebutuhan pelayanan dasar yang wajib dipenuhi oleh pemerintah pusat bersama dengan pemerintah daerah secara terpadu dan terarah. Untuk menjamin pemenuhan kebutuhan sarana dan prasarana pelayanan dasar masyarakat, Dana Alokasi Khusus (DAK) digelontorkan untuk mendanai kegiatan khusus yang menjadi urusan daerah dan merupakan prioritas nasional, sesuai dengan fungsi yang merupakan perwujudan tugas kepemerintahan di bidang tertentu. Agar terjadi keterpaduan dan arah yang jelas, maka Departemen Teknis yang paham betul program nasional pada bidang tertentu menyusun kriteria umum dan teknis yang akan dijadikan pedoman pemerintah daerah untuk menggunakan dana DAK yang diterima daerah. Kucuran dana perimbangan dari Pemerintah Pusat ke daerah cukup signifikan yaitu mencapai 1/3 dari total belanja pemerintah pusat. Ini jelas memberi isyarat bahwa program yang didesentralisasikan Pusat ke Daerah cukup strategis dan menyitas perhatian bersama untuk memastikan bahwa penggunaan dana harus dapat mencapai sasaran dan tujuan yang diamanatkan dalam UU yaitu menjaga keseimbangan kemampuan keuangan daerah untuk dapat membangun dan menjaga roda pembangunan secara berkesinambungan. Tren penyaluran Dana Perimbangan tujuh tahun terakhir menunjukkan peningkatan anggaran dan realisasinya. Anggaran Dana Perimbangan tahun 2006 meningkat cukup signifikan, yaitu DAU meningkat sebesar Rp57 triliun (64,10%), DAK meningkat sebesar Rp7 triliun (139,66%) dan DBH meningkat sebesar Rp7 triliun (13,31%) dibandingkan anggaran tahun 2005, sedangkan untuk tahun anggaran 2007, DAU meningkat sebesar Rp19 triliun (13,13%),
DAK meningkat sebesar Rp5 triliun (47,75%) dan DBH meningkat sebesar Rp9 triliun dibandingkan tahun anggaran 2006. Perhitungan yang dipertanyakan Proporsi DAU untuk provinsi dan untuk kabupaten/kota masing-masing 10% dan 90% dan dapat berubah sesuai dengan adanya pergeseran imbangan kewenangan antara provinsi dan kabupaten/kota. DAU dialokasikan atas dasar formula dengan konsep Alokasi Dasar dan celah Fiskal Alokasi Dasar dihitung berdasarkan jumlah gaji Pegawai Negeri Sipil Daerah. Celah Fiskal dihitung berdasarkan selisih antara kebutuhan fiskal dengan kapasitas fiskal. Data Kebutuhan Fiskal terdiri atas: jumlah penduduk, luas wilayah, indeks kemahalan konstruksi, Produk Domestik Regional Bruto per kapita,dan Indeks Pembangunan Manusia. Data Kapasitas Fiskal terdiri atas Pendapatan Asli Daerah dan Dana Bagi Hasil. Hasil pemeriksaan BPK ternyata rumusan dan perhitungan di atas kertas tidak didukung dengan kebijakan yang harmonis dan konsisten. Ini tampak pada dasar penetepan dalam Peraturan Presiden Nomor 104 Tahun 2006 tentang Dana Alokasi Umum Daerah Provin-
NO 112/April 2008 - Juni 2008/Tahun XXVIII
si, Kabupaten dan Kota Tahun 2007 yang tidak sesuai dengan peraturan yang lebih tinggi yaitu UU Nomor 33 Tahun 2004 dan PP Nomor 55 Tahun 2005 sehingga beberapa daerah mendapatkan alokasi DAU lebih besar daripada yang seharusnya. 6 (enam) daerah antara lain provinsi Gorontalo, kota Kediri, Kabupaten Minahasa Utara, Kabupaten Sinjai, Kabupaten Sinjai, Kabupaten Jayapura, dan Kabupaten Mimika mendapatkan alokasi DAU tahun anggaran 2007 lebih kecil daripada alokasi DAU tahun anggaran 2006 sehingga berdasarkan Perpres Nomor 104 Tahun 2006, enam daerah tersebut mendapatkan Dana Penyesuaian dengan nilai total Rp168,46 miliar. Perhitungan alokasi DAU tidak didasarkan data dasar yang valid. Ini dibuktikan dengan tidak ada bukti penyampaian data dari BPS sebagai lembaga yang kompeten dan perbedaan data dengan data daerah. Kondisi ditambah adanya kriteria data luas wilayah yang berbeda, sehingga ini berakibat daerah yang memiliki lautan yang luas mendapatkan keuntungan dengan mendapatkan alokasi DAU yang lebih besar daripada daerah yang tidak memiliki lautan atau luas lautannya kecil.
Proporsi uang yang dibagi
17
Penumpukan dana di akhir tahun Pencairan DAK seharusnya dilakukan bertahap secara triwulanan, yaitu tahap I (triwulan I) s.d. tahap III (triwulan III) masing-masing sebesar 30% dan tahap IV (triwulan IV) sebesar 10%. Namun dalam pelaksanaannya, pencairan DAK untuk tiap tahapan terlambat antara 2 - 6 bulan, bahkan sebagian besar dilakukan pada bulan Desember 2006. Pencairan pada akhir Desember 2006 terjadi pada seluruh kabupaten/kota yang diperiksa. Hasil pemeriksaan BPK terbukti total DAK yang dicairkan pada akhir Desember 2006 tersebut adalah sebesar Rp2.020.000,00 juta. Kebijakan pemerintah pusat untuk menggelontorkan DAK di akhir tahun ini berimplikasi pada keterlambatan program pembangunan di daerah
karena tidak memperhatikan kondisi dan kesiapan daerah dalam mengelola dan mempertanggungjawabkan dana tersebut. Inilah yang dikhawatirkan, ada “idle cash” yang tidak meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah. Kelebihan likuiditas yang pada umumnya disimpan pada bank pembangunan daerah tersebut, dapat digunakan sebagai penempatan pada Sertifikat Bank Indonesia (SBI) atau Surat Utang Negara (SUN), serta rawan penyimpangan. Kondisi serupa terjadi pula pada penyaluran Dana Bagi Hasil (DBH) terutama DBH Sumber Daya Alam yaitu PNBP yang berasal dari pengelolaan SDA, seperti minyak bumi, gas alam, pertambangan umum, kehutanan dan perikanan. Hasil penelusuran terhadap rekening koran dari escrow
Grafik Alokasi DAU (Sebelum Dana Penyesuaian)
account tersebut diketahui bahwa sampai dengan saat pemeriksaan tanggal 10 September 2007 terdapat DBH SDA yang belum disalurkan kepada daerah sebesar Rp1.151 miliar. Dana disimpan di tempat rawan Sesuai dengan ketentuan, Pemerintah Daerah menerima Dana Perimbangan dalam Rekening Kas Umum Daerah. Dalam hal Rekening Kas Umum Daerah belum ditetapkan, Pemerintah Daerah dapat menerima Dana Perimbangan melalui rekening yang ditetapkan sebagai Rekening Kas Daerah dengan keputusan kepala daerah dan dilaporkan dalam Laporan Keuangan Pemerintah Daerah. pertanggungjawaban penerimaan dan penggunaan Dana Perimbangan mengikuti mekanisme APBD. Hasil pemerikaan BPK menunjukkan Dana Perimbangan berupa DAU, DAK, dan DBH selain Biaya Pemungutan PBB yang telah disalurkan ke Pemerintah Daerah pada dua TAHUN sebesar Rp1.522.431,54 juta diterima atau ditampung pada rekening di luar Rekening Kas Daerah dan/ atau rekening yang tidak dilaporkan dalam neraca sebagai bagian Laporan Keuangan Pemerintah Daerah. Dari sejumlah Rp1.538.623,37 juta tersebut, BPK telah mengungkapkan permasalahan penerimaan Dana Perimbangan di luar Kasda sebesar Rp110.402,34 juta dalam hasil pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah tahun 2006. Pentingnya keadilan dan transparansi penetapan dan penyaluran serta pertanggungjawaban Dana Perimbangan, diperlukan dengan penyempurnaan mekanisme penetapan alokasi dan penyaluran yang didukung desain dan implementasi pengendalian intern yang memadai. Sehingga tujuan untuk mendorong roda pembangunan di daerah dan terjaganya keseimbangan kemampuan antar daerah bukan menjadi jargon saja, melainkan terasa oleh lapisan masyarakat yang mengharapkan kebutuhan dasarnya terpenuhi. **
Grafik Alokasi DAU (Sesudah Dana Penyesuaian) 18
NO 112/April 2008 - Juni 2008/Tahun XXVIII
HASIL PEMERIKSAAN ATAS DANA PERIMBANGAN B
erdasarkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) telah melakukan pemeriksaan terhadap penetapan alokasi dan penyaluran Dana Perimbangan oleh Pemerintah Pusat serta penerimaan Dana Perimbangan oleh Pemerintah Daerah tahun anggaran (TA) 2006 dan Semester I TA 2007. Pemeriksaan dilakukan pada Pemerintah Pusat (Departemen Keuangan dan instansi terkait lainnya), 33 pemerintah provinsi dan 210 pemerintah kabupaten/kota. Pemeriksaan tidak mencakup penggunaan Dana Perimbangan yang telah dilaporkan dalam Laporan Keuangan Pemerintah Daerah. Pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan dengan tujuan tertentu yaitu untuk menilai apakah sistem pengendalian intern atas penetapan alokasi, penyaluran dan penerimaan Dana Perimbangan telah memadai dan apakah penetapan alokasi, penyaluran dan penerimaan Dana Perimbangan telah dilakukan secara tepat jumlah, tepat waktu dan tepat rekening serta sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
Pemerintah telah berupaya menyempurnakan mekanisme penetapan alokasi dan penyaluran Dana Perimbangan, namun demikian masih terdapat beberapa hal yang perlu mendapat perhatian dari Pemerintah, berkaitan dengan desain pengendalian intern maupun pelaksanaannya. Hasil evaluasi atas sistem pengendalian intern menyimpulkan adanya kelemahan yang signifikan sebagai berikut: 1. Lemahnya koordinasi antara Pemerintah dan DPR dalam mengimplementasikan ketentuan Dana Perimbangan, khususnya UU Nomor 33 Tahun 2004 dan PP Nomor 55 Tahun 2005, sehingga terdapat penetapan alokasi Dana Perimbangan bertentangan dengan kedua ketentuan tersebut; 2. Belum ada mekanisme monitoring dan rekonsiliasi antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah untuk memastikan bahwa dana yang disalurkan Pemerintah Pusat sudah diterima oleh pemerintah daerah dan penerimaannya di Kas Daerah; 3. Masih kurang efektifnya koordinasi antara Departemen Keuangan, departemen teknis, dan pemerintah daeTemuan BPK rah dalam menentukan besarnya realisasi DBH sumber Dana Perimbangan adalah dana yang bersumber dari daya alam (SDA) sehingga penyalurannya terlambat; Pemerintah Pusat yang dialokasikan kepada Pemerintah 4. Belum ada prosedur yang memadai untuk memDaerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka berikan keyakinan kepada pemerintah daerah mengenai pelaksanaan desentralisasi, yang terdiri dari Dana Aloka- jumlah Dana Perimbangan yang akan dialokasikan kesi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), dan Dana pada suatu daerah, serta waktu penyalurannya terutama Bagi Hasil (DBH). Pengelolaan Dana Perimbangan oleh untuk DBH SDA; dan Pemerintah Pusat dilakukan oleh Departemen Keuangan 5. Adanya peluang terjadi penyalahgunaan kebijakan dengan melibatkan beberapa instansi lainnya, sedang- Pemerintah Pusat pada tahun 2006 yang memberikan kan pengelolaan pada pemerintah daerah dilakukan oleh perintah kepada pemerintah daerah untuk segera menBiro/Bagian Keuangan dan Dinas Pendapatan Daerah cairkan DAK pada akhir tahun tanpa melihat kesiapan pada pemerintah provinsi/kabupaten/kota. Alokasi Dana pemerintah daerah untuk merealisasikannya. Perimbangan ditetapkan dalam pembahasan RAPBN Sebagai dampak kelemahan pengendalian intern antara Pemerintah dan DPR. tersebut, BPK mengemukakan 11 temuan, yaitu: Anggaran dan realisasi Dana Perimbangan (dalam tri1. Tidak adanya harmonisasi dan konsistensi antara keliun rupiah) adalah sebagai berikut: tentuan Peraturan Presiden Nomor 104 Tahun 2006 tenNO URAIAN 2006 2007 (realisasi sd Smt I) ANGG REAL % ANGG REAL % 1. Dana Alokasi Umum 145,66 145,66 100,00 164,79 95,76 58,11 2. Dana Alokasi Khusus 11,57 11,57 99,97 17,09 2,07 12,08 3. Dana Bagi Hasil 59,56 64,90 108,96 68,46 8,98 13,12 JUMLAH 216,80 222,13 102,46 250,34 106,81 42,66
NO 112/April 2008 - Juni 2008/Tahun XXVIII
19
tang penetapan alokasi DAU dengan peraturan yang lebih tinggi sehingga beberapa daerah mendapat alokasi DAU lebih dari seharusnya sebesar Rp168,46 miliar; 2. Penghitungan DAU tidak seluruhnya didasarkan pada data dasar yang jelas; 3. Data dasar berupa luas wilayah yang digunakan untuk penghitungan DAU belum sepenuhnya mengacu pada PP Nomor 55 Tahun 2005; 4. Penghitungan alokasi DAK tidak mengikuti kriteria umum, kriteria khusus, dan kriteria teknis yang ditetapkan sehingga alokasi DAK tahun 2006 sebesar Rp1,42 triliun dan tahun 2007 sebesar Rp1,07 triliun tidak mempunyai dasar; 5. Terdapat kesalahan penghitungan alokasi DAK sehingga 21 daerah kurang alokasi sebesar Rp4,22 miliar dan 15 daerah kelebihan alokasi DAK sebesar Rp1,26 miliar; 6. Pencairan DAK TA 2006 tidak sesuai ketentuan dan pada akhir TA 2006 dana tersebut menumpuk pada kas daerah atau kas satuan kerja pemerintah daerah sehingga berpotensi digunakan di luar tujuan semula; 7. DAK untuk Dana Reboisasi sebesar Rp998,71 juta yang berasal dari TA 2002 s.d. 2005 sudah dikeluarkan dari kas negara, masih tersimpan di rekening khusus Dirjen Perbendaharaan dan belum disalurkan; 8. DBH SDA terlambat disalurkan dan terdapat DBH SDA tahun 2006 yang belum disalurkan sebesar Rp1,15 triliun; 9. Realisasi DBH SDA Minyak Bumi Triwulan I Tahun 2007 yang merupakan hak provinsi/kota/kabupaten di Provinsi Kalimantan Timur kurang disalurkan sebesar Rp71,99 miliar;
20
10. Penerimaan dana perimbangan pada 45 pemerintah daerah senilai Rp1,54 triliun dilakukan tanpa melalui kas daerah, diantaranya sebesar Rp71,18 miliar digunakan secara langsung tanpa melalui mekanisme APBD dan sebesar Rp149,34 miliar belum disetor ke Kas Daerah; 11. Penerimaan dan pengelolaan upah pungut PBB/ BPHTB pada 90 pemerintah daerah senilai Rp120,88 miliar dilakukan di luar mekanisme APBD dan diantaranya digunakan langsung sebesar Rp90,77 miliar dan sebesar Rp19,27 miliar belum disetor ke Kas Daerah. Atas permasalahan tersebut, BPK menyarankan agar: 1. Pemerintah daerah yang masih menyimpan Dana Perimbangan di luar Kas Daerah sebesar Rp168,61 miliar, agar segera menyetorkan sisa Dana Perimbangan ke Kas Daerah dan melaporkannya ke dalam Laporan Keuangan Pemerintah Daerah. Hal ini dapat meningkatkan akuntabilitas dan meningkatkan pengendalian atas Dana Perimbangan tersebut; dan 2. Pemerintah Pusat dalam hal ini Departemen Keuangan agar: (1) menyempurnakan mekanisme penetapan alokasi, monitoring, dan rekonsiliasi dalam pengelolaan Dana Perimbangan, (2) menyempurnakan ketentuan yang saling bertentangan dan tidak konsisten, dan (3) merealisasikan Dana Perimbangan yang belum disalurkan sesuai ketentuan. ** Disadur oleh Cris Kuntadi, MM, CPA. Sumber: LHP atas Penetapan, Penyaluran, dan Pene-rimaan Dana Perimbangan Tahun Anggaran 2006 dan 2007 (Semester I)
NO 112/April 2008 - Juni 2008/Tahun XXVIII
SEKILAS TENTANG
D
ana Perimbangan adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Dana Perimbangan tersebut dibentuk untuk mendukung pendanaan program otonomi daerah yang disalurkan berupa Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), dan Dana Bagi Hasil (DBH). DAU bertujuan untuk pemerataan kemampuan keuangan antar-daerah yang dimaksudkan untuk mengurangi ketimpangan kemampuan keuangan antar daerah melalui penerapan formula yang mempertimbangkan kebutuhan dan potensi daerah. DAU suatu daerah ditentukan atas besar kecilnya celah fiskal (fiscal gap) suatu daerah, yang m e r u p a ka n selisih antara ke b u t u h a n daerah (fiscal need) dan potensi daerah (fiscal capacity). Daerah yang potensi fiskalnya besar tetapi ke b u t u h a n fiskalnya kecil akan memperoleh alokasi DAU relatif kecil. Sebaliknya, daerah yang potensi fiskalnya kecil, namun kebutuhan fiskal besar akan memperoleh alokasi DAU relatif besar. Secara implisit, prinsip tersebut menegaskan fungsi DAU sebagai fak-
tor pemerataan kapasitas fiskal. Dana Alokasi Khusus dimaksudkan untuk membantu membiayai kegiatan-kegiatan khusus pada daerah tertentu yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional, khususnya untuk membiayai kebutuhan sarana dan prasarana pelayanan dasar masyarakat yang belum mencapai standar tertentu atau untuk mendorong percepatan pembangunan daerah. Dana Bagi Hasil adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dibagihasilkan kepada daerah berdasarkan angka persentase tertentu dengan memperhatikan potensi daerah penghasil. DBH terdiri dari DBH Pajak dan DBH Sumber Daya Alam (SDA).
atau Menteri Keuangan, berdasarkan alokasi anggaran yang telah ditetapkan dalam UU APBN. Penghitungan DAU dilakukan oleh Departemen Keuangan, dalam hal ini Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan, sebagai berikut: 1. DAU dialokasikan untuk pemerintah provinsi/kabupaten/kota dengan jumlah keseluruhan DAU ditetapkan sekurang-kurangnya 26% dari Pendapatan Dalam Negeri Neto; 2. DAU untuk suatu daerah dialokasikan berdasarkan formula yang terdiri atas celah fiskal dan alokasi dasar. Celah fiskal merupakan selisih antara kebutuhan fiskal dan kapasitas fiskal. Kebutuhan fiskal diukur dengan menggunakan variabel jumlah penduduk, luas wilayah, indeks
Perhitungan Penetapan alokasi Dana Perimbangan dilakukan oleh Pemerintah Pusat, dalam hal ini Presiden dan/
kemahalan konstruksi, produk domestik regional bruto per kapita, dan indeks pembangunan manusia. Kapasitas fiskal diukur berdasarkan Pendapatan Asli Daerah dan DBH.
NO 112/April 2008 - Juni 2008/Tahun XXVIII
21
Alokasi dasar dihitung berdasarkan jumlah gaji Pegawai Negeri Sipil Daerah. Data yang digunakan dalam penghitungan DAU diperoleh dari lembaga statistik Pemerintah dan/ atau lembaga Pemerintah yang berwenang menerbitkan data yang dapat dipertanggungjawabkan. Dalam hal data tersebut tidak tersedia, data yang digunakan adalah data dasar penghitungan DAU tahun sebelumnya; 3. Daerah yang memiliki nilai celah fiskal lebih besar dari 0 (nol), menerima DAU sebesar alokasi dasar ditambah celah fiskal. Daerah yang memiliki nilai celah fiskal sama dengan 0 (nol), menerima DAU sebesar alokasi dasar. Daerah yang memiliki nilai celah fiskal negatif dan nilai negatif tersebut lebih kecil dari alokasi dasar, menerima DAU sebesar alokasi dasar setelah diperhitungkan nilai celah fiskal. Daerah yang memiliki nilai celah fiskal negatif dan nilai negatif tersebut sama atau lebih besar dari alokasi dasar, tidak menerima DAU. Formula DAU tersebut digunakan mulai tahun ang-
garan 2006 dan berlaku sepenuhnya tahun anggaran 2008. Sampai dengan tahun anggaran 2007, alokasi DAU yang diberlakukan untuk masing-masing daerah ditetapkan tidak lebih kecil dari tahun anggaran 2005. Apabila DAU untuk daerah tertentu lebih kecil dari tahun anggaran 2005, kepada daerah yang bersangkutan dialokasikan Dana Penyesuaian yang besarnya sesuai dengan kemampuan dan perekonomian negara. Alokasi DAU per daerah ditetapkan dengan Peraturan Presiden. Penghitungan DAK dilakukan oleh Departemen Keuangan, dalam hal ini Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan, sebagai berikut: 1. DAK dialokasikan kepada daerah tertentu untuk mendanai kegiatan khusus yang merupakan bagian dan program yang menjadi prioritas nasional yang menjadi urusan daerah. Daerah tertentu sebagaimana dimaksud adalah daerah yang dapat memperoleh alokasi DAK berdasarkan kriteria umum, kriteria khusus, dan kriteria teknis; 2. Program yang menjadi priori-
tas nasional dimuat dalam Rencana Kerja Pemerintah tahun anggaran bersangkutan. Menteri teknis mengusulkan kegiatan khusus yang akan didanai dari DAK dan ditetapkan setelah berkoordinasi dengan Menteri Dalam Negeri, Menteri Keuangan, dan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional, sesuai dengan Rencana Kerja Pemerintah. Menteri teknis kemudian menyampaikan ketetapan tentang kegiatan khusus dimaksud kepada Menteri Keuangan. Setelah menerima usulan kegiatan khusus dimaksud, Menteri Keuangan melakukan penghitungan alokasi DAK; 3. Penghitungan alokasi DAK dilakukan melalui 2 (dua) tahapan, yaitu penentuan daerah tertentu yang menerima DAK dan penentuan besaran alokasi DAK masing-masing daerah. Penentuan daerah tertentu harus memenuhi kriteria umum, kriteria khusus, dan kriteria teknis. Besaran alokasi DAK masing-masing daerah ditentukan dengan perhitungan indeks berdasarkan kriteria umum, kriteria khusus dan kriteria
PERKEMBANGAN ANGGARAN DAN REALISASI TA 2001-2007 dalam triliun rupiah
250
200
150
100
50
0 2001
22
2002
2003
2004
2005
2006
2007
Anggaran Realisasi NO 112/April 2008 - Juni 2008/Tahun XXVIII
teknis. Kriteria umum dirumuskan berdasarkan kemampuan keuangan daerah yang dicerminkan dari peneri-maan umum APBD setelah dikurangi belanja Pegawai Negeri Sipil Daerah. Kemampuan keuangan daerah dihitung melalui indeks fiskal neto. Daerah yang memenuhi criteria umum merupakan daerah dengan indeks fiskal neto tertentu yang ditetapkan setiap tahun. Kriteria khusus dirumuskan berdasarkan peraturan per-undang-undangan yang mengatur penyelenggaraan otonomi khusus dan karakteristik daerah. Kriteria khusus dirumuskan melalui indeks kewilayahan oleh Menteri Keuangan dengan mempertimbangkan masuk-an dari Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional dan menteri/pimpinan lembaga terkait. Kriteria teknis disusun berdasarkan indikator-indikator kegiatan khusus yang akan didanai dari DAK. Kriteria teknis dirumuskan melalui indeks teknis oleh menteri teknis terkait dan disampaikan kepada Menteri Keuangan. Alokasi DAK per daerah ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan. DBH yang disalurkan oleh Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah terdiri dari: 1. Dana Bagi Hasil Pajak (DBH Pajak). Alokasi DBH Pajak berupa pembagian hasil penerimaan negara dari Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), Pajak Penghasilan Pasal 25 dan 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri (PPh WPOPDN) dan Pajak Penghasilan Pasal 21 (PPh Pasal 21). Alokasi sementara PBB dan BPHTB ditetapkan oleh Menteri Keuangan berdasarkan rencana penerimaan PBB dan BPHTB, sedangkan realisasi penyaluran dilakukan setiap minggu berdasarkan realisasi penerimaan. Alokasi sementara DBH PPh WPOPDN dan PPh Pasal 21 ditetapkan berdasarkan rencana penerimaan PPh WPOPDN dan PPh Pasal 21, sedangkan alokasi definitif ditetapkan berdasarkan prognosa realisasi penerimaan PPh Pasal 25 dan 29 WPOPDN dan PPh Pasal 21 tahun
anggaran berjalan. 2. Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam (DBH SDA). Penghitungan perkiraan alokasi DBH SDA dilakukan oleh departemen teknis (Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, Departemen Kehutanan, serta Departemen Kelautan dan Perikanan) yang menetapkan daerah penghasil dan dasar penghitungan DBH SDA setelah berkonsultasi dengan Menteri Dalam Negeri. Dalam hal sumber daya alam berada pada wilayah yang berbatasan atau be-
NO 112/April 2008 - Juni 2008/Tahun XXVIII
rada pada lebih dan satu daerah, Menteri Dalam Negeri menetapkan daerah penghasil sumber daya alam berdasarkan pertimbangan menteri teknis terkait. Ketetapan Menteri Dalam Negeri tersebut menjadi dasar penghitungan DBH SDA oleh menteri teknis. Ketetapan menteri teknis disampaikan kepada Menteri Keuangan yang kemudian menetapkan perkiraan alokasi DBH SDA untuk masing-masing daerah. ** Disarikan oleh Cris Kuntadi, MM, CPA
MEKANISME DAU
23
LIPUTAN KHUSUS
Pengurangan Disparitas Pembangunan Ekonomi Regional Melalui Desentralisasi Fiskal Alokasi dana perimbangan bertujuan mengurangi kesenjangan antara kebutuhan pengeluaran dan kapasitas fiskal pemerintah daerah serta sebagai sarana untuk memeratakan pendapatan dan mengurangi kesenjangan antar wilayah di Indonesia. Usia tujuh tahun desentralisasi belum sepenuhnya mampu menjawab tantangan ketimpangan pembangunan regional. Output pembangunan pasca kebijakan desentralisasi justru semakin memusat ke pulau Jawa, termasuk Bali.
Oleh: Gunawan Wisaksono
P
emberlakuan otonomi daerah pada tahun 2001 telah mengubah paradigma pembangunan Indonesia dari sistem top down (sentralisasi) menjadi bottom up (desentralisasi). Implementasi desentralisasi di Indonesia didasarkan pada UU No. 22 dan 25 Tahun 1999 yang kemudian direvisi dengan UU No. 32 dan 33 Tahun 2004. Desentralisasi memiliki dimensi yang luas antara lain menyangkut aspek desentralisasi politik (political decentralization); desentralisasi administratif (administrative decentralization); desentralisasi fiskal (fiscal decentralization); dan desentralisasi ekonomi (Economic or Market Decentralization) (Sidik, 2002). Dalam konteks hubungan antara pemerintah pusat dan daerah, sistem desentralisasi memberikan tanggung jawab yang lebih besar kepada pemerintah daerah dalam hal sebagian tertentu fungsi kepemerintahan, penggunaan anggaran, serta kebijakan pembangunan. Pemberian kewenangan lebih luas kepada daerah membawa konsekuensi tertentu bagi daerah untuk menjalankan kewenangannnya itu. Salah satunya adalah daerah harus mampu membiayai semua kegiatan pemerintahan dan pembangunan yang menjadi kewenangannya Usia tujuh tahun desentralisasi fiskal di Indonesia belum sepenuhnya mampu menjawab tantangan pembangunan regional yang semakin kompleks. Hal tersebut disebabkan perubahan sistem dari sentralistik ke desentraliasi belum secara otomatis diikuti kesiapan daerah khususnya kabupaten/kota yang menjadi basis otonomi daerah. Sejumlah permasalahan yang menggelayuti pelaksanaan sistem desentralisasi antara lain (1) Rendahnya kemandirian fiskal pemerintah daerah. Hal tersebut dapat dilihat pada pembentukan Pendapatan Asli Daerah (PAD) masih rendah dan komposisi dana dari transfer pemerintah Pusat yang masih tinggi. (2) Desentralisasi fiskal belum mampu menjadi sarana yang mampu mendistribusikan ”kue” pembangunan ke seluruh daerah secara merata dan proporsional sehingga ketimpangan pendapatan antar wilayah semakin berkurang. Formulasi dana transfer dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah justru semakin membuka peluang terjadinya ketimpangan pembangunan. Daerah yang memiliki jumlah penduduk besar justru memperoleh kucuran dana 24
yang makin besar. (3) Desentralisasi fiskal ditengarai juga merupakan desentralisasi korupsi dari pusat ke daerah. (4) Otonomi daerah bertujuan mendekatkan pelayanan pemerintah kepada masyarakat. Fenomena yang terjadi justru sebaliknya, masyarakat dijadikan obyek income generating pemerintah daerah melalui penerbitan berbagai macam peraturan. Desentralisasi dan Peningkatan Pelayanan Publik Pendulum waktu telah membawa Indonesia pada sistem desentralisasi yang diharapkan lebih mendekatkan pelayanan kepada masyarakat. Aturan kelembagaan memberikan wewenang kepada Pemerintah Daerah dalam pengambilan keputusan pembangunan daerah seiring dengan alokasi dana yang semakin besar (money follows function). Dengan demikian desentralisasi fiskal menjadi jawaban masalah asimetry informations dimana sistem sentralistik tidak mampu menyediakan barang/ jasa publik yang benar-benar menjadi kebutuhan masyarakat atau stakeholder di daerah. Secara ekonomi, desentralisasi fiskal diharapkan mampu mengalokasikan sumberdaya secara efisien. Menurut pandangan federalisme fiskal, barang publik lokal (local public goods) akan lebih efisien dan akuntabel jika disediakan oleh sistem yang terdesentralisasi. Ada beberapa hal yang mendasari alasan tersebut yakni (1) Pemerintah daerah lebih mengetahui wilayah mana saja yang membutuhkan alokasi barang publik. (2) Pemerintah daerah lebih memahami preferensi masyarakat di wilayahnya. (3) Tekanan akibat persaingan antar daerah memaksa pemerintah daerah untuk lebih inovatif dan akuntabel terhadap masyarakatnya (Bahl, 1999; Oates, 1993). Sementara itu dari aspek politis, desentralisasi merupakan upaya untuk meredam gerakan separatis yang tidak puas terhadap monopoli pemerintah pusat sebagai kekuatan sentral dalam pengambilan keputusan (Ebel dan Yilmaz, 2001). Sistem desentralisasi ini banyak dianut oleh negara-negara yang tengah mengalami transisi dari non-democratic government menuju democratic government. Namun demikian pelaksanaan desentralisasi fiskal di negara berkembang seringkali tidak seindah idealita. Desentralisasi di negara berkembang justru menimbulkan NO 112/April 2008 - Juni 2008/Tahun XXVIII
biaya tinggi, inefisien, meningkatkan kesenjangan, serta ketidakstabilan makroekonomi (Prud’homme, 1995 dalam Bird dan Vaillancourt, 2000). Selain itu, upaya-upaya yang dilakukan pemerintah daerah untuk meningkatkan penerimaan daerah kurang diikuti upaya untuk meningkatkan kualitas layanan publik. Ketergantungan Pemerintah Daerah Terhadap Dana Perimbangan Sistem desentralisasi fiskal yang berlangsung di Indonesia masih ditandai dengan ketergantungan fiskal pemerintah daerah yang tinggi terhadap pemerintah pusat. Dana perimbangan menjadi sumber dana yang paling dominan dalam struktur keuangan pemerintah daerah (kabupaten/kota). Dana perimbangan sebagai unsur utama rancang bangun desentralisasi terdiri dari tiga elemen yakni penerimaan bagi hasil (pajak dan non-pajak), Dana hibah yang penggunaannya tidak ditetapkan (Dana Alokasi Umum/DAU), dan Dana hibah yang penggunaannya ditetapkan (Dana Alokasi Khusus/DAK). Alokasi dana yang ditransfer kepada pemerintah daerah mengalami peningkatan yang signifikan. Pada tahun 2002 saat otonomi daerah mulai diberlakukan, alokasi belanja untuk dana perimbangan yang ditransfer ke daerah sebesar Rp.94,7 triliun. Pos dana perimbangan tersebut meningkat tiga kali lipat ditahun 2008 menjadi Rp.278,4 triliun. Secara umum kemampuan daerah untuk menggali pendapatan yang berasal dari sumber internal masih rendah. Pemerintah daerah belum sepenuhnya mampu secara mandiri mendanai kegiatan pembangunan. Sebagian besar pemerintah daerah masih nyadong kepada pemerintah pusat. Hal tersebut dapat dilihat pada komposisi alokasi dana perimbangan dalam APBD masih cukup besar jika dibandingkan dengan penerimaan PAD. Berdasarkan perhitungan Bank Dunia tahun 2004, sekitar 62,1% pendapatan pemerintah kabupaten/kota di Indonesia berasal dari DAU sedangkan pendapatan yang berasal dari PAD hanya sekitar 8,3%. Pendapatan terbesar kedua berasal dari bagi hasil pajak dengan persentase sebesar 11,2%. Pendapatan lain-lain 8.2%
DAK 3.0%
PAD 8.3%
Bagi hasil pajak 11.2% Bagi hasil SDA 7.2%
DAU 62.1%
Tabel 1. Komposisi Pendapatan Pemerintah Kabupaten/ Kota di Indonesia 2004
Disparitas Pembangunan Ekonomi Regional Salah satu tujuan pemberian dana perimbangan kepada daerah adalah untuk mengurangi kesenjangan antara kebutuhan pengeluaran dan kapasitas fiskal pemerintah daerah sehingga pemerintah kabupaten/kota mampu menyediakan layanan masyarakat yang sudah didesentralisasikan dengan mempertimbangkan perbedaan kondisi sosial ekonomi masyarakat di seluruh wilayah Indonesia. Selain itu, dana perimbangan merupakan salah satu sarana untuk memeratakan pendapatan serta mengurangi kesenjangan antar wilayah di Indonesia. Sejak diterapkan sistem desentralisasi fiskal, tingkat pendapatan telah mengalami peningkatan di seluruh Indonesia. Namun demikian hal yang perlu menjadi catatan adalah daerah yang relatif kaya berkembang lebih cepat dibanding daerah yang relatif miskin. Peranan dana perimbangan yang diharapkan mampu mengurangi mengurangi kesenjangan pembangunan regional di Indonesia belum sepenuhnya terwujud. Data BPS pada tabel 1 menunjukkan bahwa setelah desentralisasi fiskal diberlakukan pada tahun 2001, output pembangunan justru semakin memusat ke pulau Jawa, termasuk Madura dan Bali. Distribusi hasil pembangunan di Pulau Jawa dan Bali hingga tahun 2006 menyerap sekitar 61,5% dari total PDB Indonesia. Bandingkan dengan data tahun 1999 (sebelum otonomi) dimana kue pembangunan yang didistribusikan di Pulau Jawa dan Bali sekitar 59,7%. Apabila di breakdown lebih lanjut, pusat peredaran ekonomi nasional berada di Propinsi DKI Jakarta dengan persentase 17,37%, kemudian diikuti Jawa Timur dan Jawa Barat dengan kontribusi masing-masing sebesar 15,07% dan 14,05%. Beberapa propinsi seperti NAD, Papua, serta Kalimantan Timur memiliki PDRB per kapita yang lebih tinggi dibanding rata-rata nasional. Penyebabnya adalah wilayah tersebut kaya akan sumberdaya alam seperti minyak bumi, gas alam, emas, tembaga, dll. Namun demikian tidak berarti propinsi-propinsi tersebut terbebas dari kemiskinan. Ada suatu ironi dalam proses pembangunan di Indonesia dimana kemiskinan yang tinggi justru terjadi di wilayah-wilayah yang menjadi ladang uang. Daerah-daerah seperti Papua, NAD, Maluku, dan NTT justru memiliki presentase penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan cukup besar yakni diatas 27% dari jumlah penduduk di wilayah tersebut. ...wilayah tersebut kaya akan sumberdaya alam seperti minyak bumi, gas alam, emas, tembaga, dll. Namun demikian tidak berarti propinsi-propinsi tersebut terbebas dari kemiskinan. Ada suatu ironi dalam proses pembangunan di Indonesia dimana kemiskinan yang tinggi justru terjadi di wilayah-wilayah yang menjadi ladang uang...
Sumber: World Bank
NO 112/April 2008 - Juni 2008/Tahun XXVIII
25
300 250
216.6
244.6
278.4
200 150 100 50 0
94.7
111.1
123.1
142.3
3.5
9.2
6.9
7.2
3.5
9.6
14
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
Dana Perimbangan
Dana Otonomi Khusus
Grafik 1. Transfer Dana ke Daerah (Triliun Rupiah) Sumber: Departemen Keuangan *) Tahun 2002-2006 adalah angka realisasi **) Tahun 2007 dan 2008 adalah APBN
Tabel 2. Distribusi Pendapatan Antar Wilayah di Indonesia (%) Daftar Pustaka Bahl, Roy, 1999, Intergovermental Transfer In DevelWilayah 1999 2001 2002 2004 2006 oping And Countries : Principles And Practice, Draft, JanuSumatera 22,6 22,12 22,46 22,14 21,91 ary 19,1999. Jawa dan Bali 59,7 60,44 60,26 61,00 61,51 Bird, Richard M, & Vaillancourt, Francois, 2000, DeKalimantan 9,7 9,62 9,46 9,14 9,03 sentralisasi Fiskal di Negara Berkembang, Penerbit : PT Sulawesi 4,4 4,27 4,27 4,34 4,46 Gramedia Pustaka Utama. Pulau Lainnya 3,9 3,55 3,55 3,39 3,09 Ebel, Robert D & Yilmaz, Serdar, 2001, Concept Of FisSumber: BPS, diolah cal Decentralization And Worldwide Desentralisasi fiskal sebagai salah satu sarana untuk Overview, International Symposium Québec Commismewujudkan keadilan dan kemerataan ekonomi antar sion on Fiscal Imbalance, Québec City, Québec Septemwilayah belum terwujud secara maksimal. Pertumbuhan ber 13 and 14, 2001. ekonomi yang tinggi serta pendapatan per kapita yang besar belum sepenuhnya mampu memecahkan persoalOates, Wallace E, 1993, Fiscal Decentralization And an ketimpangan pembangunan dan kemiskinan. Hal ini Economic Development, National Tax Journal Volume 46 mengindikasikan ada permasalahan dalam alokasi distriNo 2 Juni 1993. busi pendapatan di Indonesia sehingga kue pembangunan hanya dinikmati sejumlah pihak tertentu dan hanya Sidik, Machfud, 2002, Kebijakan, Implementasi Dan memutar di wilayah tertentu saja. Jika mendasarkan pada Pandangan Ke Depan Perimbangan Keuangan Pusat Dan data BPS terlihat bahwa pelaksanaan otonomi daerah seDaerah, Seminar Nasional ”Menciptakan Good Goverjak tahun 2001 justru semakin memperlebar kesennance demi Mendukung Otonomi Daerah dan Desentrajangan pembangunan antar wilayah. Daerah yang kaya lisasi Fiskal”, Yogyakarta, 20 April 2002. semakin tumbuh cepat sementara wilayah yang marginal semakin jauh tertinggal. **
26
NO 112/April 2008 - Juni 2008/Tahun XXVIII
WAWANCARA
Drs. Maulana Ginting, MM:
“Ada data daerah yang direkayasa” K
amis 22 Mei 2008 di Padang, Staf Redaksi Majalah PEMRIKSA Yudi Ramdan melakukan wawancara dengan Kepala Perwakilan BPK di Padang Drs Maulana Ginting, MM yang sebelumnya Kalan BPK di Banda Aceh. Beliau menjadi penanggung jawab pemeriksaan Dana Perimbangan pada beberapa Pemda di Provinsi, Kota dan Kabupaten Banda Aceh serta menyoroti penyaluran dan penggunaan Dana Perimbangan dari sisi pemeriksaaan atas pemerintah daerah. Banyak isu yang diutarakan beliau, antara lain masalah penggunaan langsung bagian upah pungut dari penarikan Dana Bagi Hasil Pajak, keterlambatan penyaluran DAK, pengaruh terhadap pemeriksaan LKPD, serta kendala pemeriksaan dan manfaat pemeriksaan dana perimbangan. Hasil pemeriksaan Dana Perimbangan menyebutkan salah satu penyimpangan di daerah adalah penggunaan langsung upah pungut atas DBH Pajak PBB. Bagaimana pendapat Anda tentang masalah tersebut terutama tentang eksistensi dan proses penggunaan langsung tersebut? Menurut saya, kita harus lebih melihat kasus ini dengan jernih. Satu sisi dalam kerangka intensifikasi penerimaan pajak terutama intensifikasi penarikan PBB yang melibatkan aparat desa yang door to door harus tetap dipertahankan, tentunya dengan pembenahan sistem. Secara jangka panjang harus ditinjau sektor mana yang NO 112/April 2008 - Juni 2008/Tahun XXVIII
memperoleh bagian upah pungut misalnya perkebunan dan kehutanan. Mengenai penyaluran DAK yang terlambat, bagaimana cara pandangnya dari sisi audit? Memang betul, pemeriksaan kami menunjukkan bahwa realisasi penerimaan DAK di pemda pada kas daerah kebanyakan terjadi pada triwulan IV. Hal tersebut dapat mendorong praktik-praktik akrobat atas belanja daerah terutama belanja modal. Namun di sisi lain, urgensi program atau kegiatan belanja tersebut memang benar-benar, sehingga mendorong praktik tersebut terjadi. Misalnya DAK untuk Pendidikan atas rehabilitasi yang melibatkan komite sekolah. Dari sisi audit, apapun alasannya memang salah, karena pembiayaan kegiatan tersebut melebihi TA yang bersangkutan. Ke depannya, perencanaan penggunaan DAK harus lebih dimatangkan sehingga realisasi tidak bertumpuk di akhir tahun . Pemerintah pusat juga harus dapat merealisasikan percepatan proses pencairan DAK dan memahami kondisi faktual yang terjadi di daerah. Bagaimana hubungan hasil pemeriksaan Dana Perimbangan terhadap pemeriksaan LKPD? Pemeriksaan Dana Perimbangan dari sisi pemeriksaan atas pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan daerah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pemeriksaan keuangan atas LKPD, terutama 27
pemeriksaan atas pendapatan yang dihubungkan dengan Laporan Arus Kas yang berpengaruh pada kewajaran perhitungan SILPA di daerah. Beberapa kasus misalnya adanya dana yang diblokir pada rekening di luar kas daerah merupakan bagian pemeriksaan yang memastikan bahwa sumber-sumber dana telah masuk tepat waktu, tepat jumlah dan tepat rekening pada rekening BUD. Apakah ditemui kendala dalam pemeriksaan dana perimbangan? Tidak ada kendala yang signifikan dalam proses pemeriksaan. Permasalahan pemeriksaan atas dana perimbangan terutama DAU dan DBH praktis hanya masalah ketepatan waktu penerimaan dana dan rekonsiliasi data antara pusat dan daerah. Sedangkan masalah penggunaan Dana Perimbangan sudah melebur menjadi bagian dari belanja daerah, yang diperiksa pada pengelolaan dan pertanggungjawaban belanja daerah. Kecuali DAK yang memang secara spesifik menetapkan program dan kriteria kegiatan mana saja yang harus didanai melalui DAK tersebut. Ada sinyalemen daerah membantu memainkan data dasar DAU, bagaimana audit dapat membuktikan sinyelemen tersebut? Diakui agak sulit dilakukan pada pemeriksaan di dae-
28
rah, karena proses penetapan angka DAU berada di pusat meskipun tidak dapat dipungkiri ada data daerah yang direkayasa. Formula dan variabel perhitungan DAU yang rumit memerlukan suatu analisa mendalam. Kira-kira prosedur apa yang tepat untuk membuktikan sinyalemen permainan angka DAU. Yang dapat dilakukan adalah konfirmasi pada pihak yang kompeten di daerah. Berarti diperlukan pemeriksaan lanjutan atas penggunaan DAK? Menurut pendapat saya perlu juga untuk direncanakan, namun dari hasil sidang badan, kalau tidak salah, pemeriksaan tidak ditujukan pada asal sumber dana melainkan pada program. Namun hasil pemeriksaan interim awal tahun ini, kami menemukan bahwa ada DAK yang ditampung di rekening pribadi dengan cukup material yang pengendaliannya kurang memadai. Hal ini terjadi karena mepetnya DAK diterima daerah sementara aktivitas tersebut harus dituntaskan. Untuk memastikan tidak ada penyimpangan atas pengelolaan penggunaan DAK yang lewat tahun, diperlukan suatu prosedur pemeriksaan yang lebih mendalam, antara lain DAK pendidikan dan kesehatan. ** (YRB)
NO 112/April 2008 - Juni 2008/Tahun XXVIII
REVIU
KETUK PALU MK ATAS JUDICIAL REVIEW UU KUP
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Jimly Asshiddiqie telah menjatuhkan ketuk palu atas pengajuan Judicial Review (uji materi) Undang-Undang Ketentuan Umum tentang Tata Cara Perpajakan. Ketukan palu Hakim Ketua MK pada tanggal 15 Mei 2008 tersebut merupakan kenyataan pahit tak hanya bagi BPK, namun juga bagi rakyat. Hal tersebut berarti transparansi perpajakan di negeri ini belum dapat dilakukan dengan baik.
K
amis, 15 Mei 2008, MK telah mengeluarkan keputusan final seputar polemik dalam pemeriksaan perpajakan antara BPK dan Ditjen Pajak. MK memutus perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir, telah menjatuhkan putusan dalam perkara permohonan BPK untuk Pengujian Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam keputusan Nomor 3/PUUVI/2008, MK menyatakan permohonan uji materi UU KUP yang diajukan BPK “tidak dapat diterima” (niet ontvankelijk verklaard). Ada beberapa pertimbangan yang membuat MK mengambil keputusan di atas, yakni: 1. Ada ketidakharmonisan antar undang-undang, in casu UU Perpajakan dan sejumlah undang-undang dalam bidang atau yang berkait dengan keuangan negara (UU Keuangan Negara, UU Pemeriksaan Keuangan Negara, UU BPK). Hal tersebut menyebabkan terjadinya benturan antara dua kepentingan hukum yang sama-sama dilindungi oleh konstitusi. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dalam perkara pengujian undang-undang a quo, yang bukan perkara sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara, tidak dapat ditentukan adanya kerugian kewenangan konstitusional BPK sebagai akibat berlakunya Pasal 34 ayat (2a) huruf b dan Penjelasan Pasal 34 ayat (2a) UU Perpajakan.
2. Meskipun BPK memenuhi kualifikasi sebagai pihak yang dapat mengajukan permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945, namun oleh karena tidak dapat ditentukan adanya kerugian kewenangan konstitusional BPK (seperti diuraikan di atas), maka syarat kedudukan hukum (legal standing) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK tidak terpenuhi sehingga permohonan harus dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard). Kilas Balik JR UU KUP BPK mengajukan permohonan kepada (MK) untuk melakukan judicial review atas Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 juncto Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 (selanjutnya disingkat UU Pajak) pada Februari lalu. Langkah ini ditempuh sebagai upaya terakhir BPK dalam rangka mengakses pemeriksaan atas penerimaan pajak di negeri ini. Rupanya, pengajuan uji materi UU KUP ini juga menarik perhatian media massa dan masyarakat. Hal ini mungkin disebabkan karena ini merupakan yang pertama kalinya suatu lembaga negara prestisius mengajukan judicial review (uji materi). Namun majunya BPK ke Gedung MK oleh sebagian pihak dianggap sebagai sebuah pertarungan antara BPK dan Pemerintah, dalam hal ini Ditjen Pajak – Departemen Keuangan. Perkara ini merupakan pertempuran antara kewenangan konstitusional BPK yang diargumentasikan BPK dengan hak konstitusional
NO 112/April 2008 - Juni 2008/Tahun XXVIII
berupa hak atas rahasia pribadi yang oleh Pemerintah dan KADIN diklaim dilanggar apabila BPK memeriksa pajak. Di lain sisi, masyarakat pun menginginkan adanya transparansi atas pengelolaan pajak baik dari sisi penerimaan maupun pengeluarannya. Meski selama ini masyarakat tak melihat secara langsung praktikpraktik penyimpangan perpajakan, tapi dugaan terjadinya penyimpangan pada kantor-kantor pajak sebenarnya bukan sekadar rumor. Misal seperti pembukuan ganda, laporan palsu, restitusi pajak atas transaksi fiktif, hingga “kesalahan ketik.” Oleh sebab itu pemeriksaan BPK atas penerimaan pajak seharusnya dapat menjadi langkah awal dalam rangka meningkatkan transparansi dan akuntabilitas penerimaan pajak negara. BPK secara konstitusional adalah lembaga negara seperti tersebut di dalam Pasal 23E ayat (1) UUD 1945, dimana BPK memiliki kewenangan untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara secara bebas dan mandiri. Dalam pelaksanaan tugas pemeriksaan, BPK dapat: a. meminta dokumen yang wajib disampaikan oleh pejabat atau pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara; b. mengakses semua data yang disimpan di berbagai media, aset, lokasi, dan segala jenis barang atau dokumen dalam penguasaan atau 29
kendali dari entitas yang menjadi objek pemeriksaan atau entitas lain yang dipandang perlu dalam pelaksanaan tugas pemeriksaannya”. Berdasarkan ketentuan Pasal 3 UU Nomor 15 Tahun 2004 juncto Pasal 2 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, selanjutnya disingkat UU Nomor 17 Tahun 2003, BPK berwenang melakukan pemeriksaan atas seluruh keuangan negara, yang meliputi penerimaan negara – baik berupa pajak dan non pajak, memeriksa seluruh aset dan piutang negara maupun utangnya, memeriksa penempatan kekayaan negara – serta penggunaan pengeluaran negara. Tetapi pada kenyataannya ternyata BPK menemui berbagai kendala dalam melakukan pemeriksaan pajak. UU Nomor 6 Tahun 1983 juncto UU Nomor 28 Tahun 2007 telah membatasi kewenangan BPK melalui norma yang diatur dalam Pasal 34 ayat (2a) huruf b dan Penjelasan Pasal 34 ayat (2a). Dikatakan membatasi, karena menurut norma yang diatur dalam ketentuan Pasal 34 ayat (2a) huruf b UU Nomor 6 Tahun 1983 juncto UU Nomor 28 Tahun 2007 pejabat pajak dan atau tenaga ahli hanya dapat memberikan keterangan kepada BPK setelah mendapat penetapan oleh Menteri Keuangan. Pasal 34 ayat (2a) ini pun telah menggambarkan bahwa kewenangan untuk melakukan pemeriksaan dalam bidang keuangan negara tidak hanya dimiliki oleh “lembaga negara” - yaitu BPK - tetapi juga dimiliki oleh “instansi pemerintah”. Selanjutnya, menurut Penjelasan Pasal 34 ayat (2a) UU Nomor 6 Tahun 1983 juncto UU Nomor 28 Tahun 2007, tidak semua data dan/atau keterangan dapat diberikan kepada BPK selaku “lembaga negara” dimaksud, melainkan hanya keterangan tentang identitas Wajib Pajak dan informasi yang bersifat umum tentang perpajakan. Penjelasan Pasal 34 ayat (2a), telah merugikan kewenangan konstitusional BPK karena mengingkari dan bertentangan dengan Pasal 23E ayat (1) UUD 1945. 30
Alotnya Proses Sidang Sidang yang telah diselenggarakan dalam memproses perkara judicial review ini berlangsung sebanyak ada 3 (tiga) kali, yakni Sidang Pleno I tanggal 5 Februari 2008, Sidang Pleno II tanggal 19 Februari 2008, dan Sidang Pleno III tanggal 27 Februari 2008. Sidang Pleno ini dipimpin oleh seluruh Anggota Majelis Hakim MK, yang terdiri dari Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH, Prof. Dr. HM. Laica Marzuki, SH, H. Achmad Roestandi, SH, Prof. HAS Natabaya, S., LL.M, H. Abdul Mukhtie Fadjar, SH, MS, I Dewa Gede Palguna, SH, MH, Maruarar Siahaan, SH, Dr. Harjono, SH, M.CL, dan Soedarsono, SH. Selama tiga kali sidang bisa dikatakan sidang-sidang tersebut berjalan dengan sangat alot. Masingmasing pihak bersikukuh pada opini dengan mengemukakan beragam argumen yang cukup kuat. Tak cukup sampai di situ, baik BPK maupun Departemen Keuangan berupaya untuk menghadirkan saksi-saksi dari kalangan praktisi ekonomi dan hukum dalam rangka meneguhkan pendapatnya. Uniknya, pihak pemerintah merasa perlu menyertakan berkasberkas yang dikemas dalam 12 koper besar sebagai alat bukti. Ketegangan pun kerap mewarnai sidang-sidang yang dilalui oleh BPK di Gedung MK. Namun, dari pihak BPK memiliki keyakinan tersendiri bahwa perjuangan melalui uji materi UU KUP ini akan menuai hasil. Oleh sebab itu, keputusan yang dikeluarkan oleh MK pada Kamis (15/5) lalu dirasa cukup mengejutkan. Gagalnya Transparansi Fiskal Keputusan yang dikeluarkan oleh MK menunjukkan bahwa penegakan transparansi dan akuntabilitas fiskal masih jauh dari yang diharapkan untuk dapat meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Padahal sesuai Pasal 23E ayat (1) UUD 1945, BPK dibentuk sebagai suatu lembaga negara yang bebas dan mandiri hanya untuk melakukan satu mandat saja, yaitu untuk memeriksa
setiap sen uang yang dipungut negara, dari mana pun sumbernya, di mana pun disimpan dan untuk apapun dipergunakan. Dengan adanya keputusan MK tersebut, berarti BPK tidak dapat melaksanakan mandat konstitusi untuk melakukan pemeriksaan keuangan negara termasuk pajak. Hal itu berarti BPK juga tidak dapat memberikan informasi hasil pemeriksaan pajak yang benar dan utuh kepada rakyat melalui DPR untuk melaksanakan hak budgetnya. Sebagai akhir dari sebuah babak di Gedung MK, maka hambatan pemeriksaan pajak yang ada dalam UU KUP masih tetap ada. Pertama adalah dalam prosedur pemberian data dan informasi oleh Ditjen Pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 34 ayat (2a) huruf b UU KUP. Kedua adalah terbatasnya jenis informasi yang dapat diperoleh oleh BPK RI dalam melakukan pemeriksaan penerimaan negara dari pajak sebagaimana diatur dalam penjelasan pasal 34 ayat (2a) UU KUP. BPK berharap agar DPR dan Pemerintah mencari solusi untuk menegakkan transparansi dan akuntabilitas penerimaan negara dari pajak. Sistem self assessment – yang merupakan sistem perpajakan terbaik – akan tetap menjadi sistem yang rawan kebocoran jika tidak ada pemeriksaan eksternal yang independen. Tidak adanya akses atas informasi perpajakan untuk keperluan pemeriksaan berarti tidak ada transparansi dan akuntabilitas. Ketiadaan transparansi dan akuntabilitas menyebabkan BPK tidak dapat memberikan pendapat (disclaimer) atas kewajaran penyajian laporan keuangan pemerintah yang sekitar 70% rekening penerimaannya berasal dari pajak. Oleh sebab itu masih diperlukan adanya usaha untuk memecahkan masalah agar transparansi dan akuntabilitas keuangan negara dapat ditegakkan untuk sepenuhnya demi kesejahteraan dan kemakmuran rakyat (welfare state). ** Disarikan oleh Dian Desilia Widyasari dari keputusan MK
NO 112/April 2008 - Juni 2008/Tahun XXVIII
NO 112/April 2008 - Juni 2008/Tahun XXVIII
31