eJournal Ilmu Hubungan Internasional, 2015, 3(4) 783-796 ISSN 0000-0000, ejournal.hi.fisip-unmul.org © Copyright 2015
PEMENUHAN HAK DAN KEADILAN SOSIAL DI INDONESIA DALAM KERANGKA KOMUNITAS SOSIAL BUDAYA ASEAN 2015 Zakarias Demon Daton NIM. 0802045217
Abstract ASEAN Socio-Cultural Community 2015 seeks to forge a common identity and build a caring and sharing society which is inclusive and where the well-being, livelihood, and welfare of the peoples are enhanced. The purpose of this articles is explaining Indonesia’s government efforts to fulfill society rights and justice in frame of ASCC 2015, focusing in poverty eradication. This is a descriptive research that using the rights and social justice concept and ACSS approach to explain the efforts. The result shows that the government of Indonesia implement several programs to dealth with the problem such as national health insurance, school operational fund, rice for the poor, family program expectations, and small business credit. In general, the program have not been able to solve the all poverty problems because of some obstaclesn in the implementation. But, at least, these program have positive effect in reducing poverty. Keywords : Indonesian government, rights and social justice, the ASEAN sociocultural community 2015. Pendahuluan Kerjasama ASEAN mengalami perluasaan dan kemajuan yang penting dengan terbentuknya ASEAN komunitas berdasarkan Bali concord II yang dicapai dalam KTT ke-9 ASEAN Oktober 2003 di Bali, Indonesia. ASEAN komunitas ini akan dilaksanakan tahun 2015 dengan tiga pilar yaitu komunitas ekonomi ASEAN, komunitas politik dan keamanan ASEAN serta komunitas sosial budaya ASEAN.Tujuan terbentuk pilar komunitas sosial budaya ASEAN adalah meningkatkan integrasi ASEAN melalui terciptanya “a caring and sharing community”, yaitu sebuah masyarakat ASEAN yang saling peduli dan berbagi. (Edy Yusuf dkk, dalam Asean Selayang Pandang: Edisi ke-19, 2010). Implementasi komunitas sosial budaya ASEAN 2015 di Indonesia cenderung akan menghadapi tantangan yang besar. Hal ini disebabkan karena masih tinggi angka kesenjangan sosial di Indonesia, indikatornya adalah kemiskinan. Pada bulan Maret 2014, jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 28,28 juta orang atau 11,25 persen. Selama periode september 2013 sampai maret 2014, garis kemiskinan naik sebesar 3,34 persen yaitu dari Rp. 292.951,- per kapita perbulan pada september 2013 menjadi Rp. 302.735,- perkapita per bulan pada maret 2014.(www.bps.go.id)
eJournalIlmu Hubungan Internasional, Volume 3, Nomor 4, 2015: 783-796
Pemerintah Indonesia terus berupaya dalam pemenuhan hak dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Indonesia untuk tahun 2009-2014 pun penurunan angka kemiskinan masih menjadi target utama pemerintah Indonesia. Untuk anggaran tahun 2014 pemerintah menargetkan angka penurunan kemiskinan sebesar 9-10 persen dengan mengalokasikan dana sebesar Rp. 56 triliun lewat berbagai program dalam menurunkan angka kemiskinan.(www.beritasatu.com) Upaya pemerintah indonesia pada periode 2009 sampai 2014 dalam meningkatkan hak dan keadilan sosial sebagai masa persiapan menghadapi komunitas ASEAN yang di berlakukan tahun 2015 dalam konteks komunitas sosio-kultural yang yang bertujuan membangun masyarakat yang peduli (building caring society) demi keadilan sosial. Kerangka Teori dan Konseptual Konsep kemiskinan Kemiskinan adalah keadaan dimana terjadi kekurangan hal-hal yang biasa untuk dipunyai seperti makanan, pakaian, tempat berlindung dan air minum, hal-hal ini berhubungan erat dengan kualitas hidup. Kemiskinan kadang juga berarti tidak adanya akses terhadap pendidikan dan pekerjaan yang mampu mengatasi masalah kemiskinan dan mendapatkan kehormatan yang layak sebagai warga negara. (KBBI) Ada 2 Konsep kemiskinan (Edi santoso, 1999) a) Kemiskinan Absolut (Mutlak) Kemiskinan dapat diukur dengan memperbandingkan tingkat pendapatan orang atau keluarga tersebut dengan tingkat pendapatan yang dibutuhkan untuk memperoleh kebutuhan dasar minimum. Dengan demikian tingkat pendapatan minimum akan merupakan pembatas antara keadaan miskin dan tidak miskin atau biasa disebut sebagai garis kemiskinan. b) Kemiskinan Relatif Tingkat pendapatan sudah mampu mencapai tingkat kebutuhan dasar minimum tetapi masih jauh lebih rendah dibandingkan dengan keadaan masyarakat sekitarnya, maka orang atau keluarga tersebut masih berada dalam keadaan miskin. Hal ini terjadi karena kemiskinan lebih banyak ditentukan oleh keadaan lingkungan kebudayaan sekitarnya daripada lingkungan orang atau keluarga yang bersangkutan. Variasi kemiskinan dinegara berkembang disebabkan oleh beberapa factor (Todaro, 1997) yaitu: (1) perbedaan geografis, jumlah penduduk dan tingkat pendapatan, (2) perbedaan sejarah, sebagian dijajah oleh Negara yang berlainan, (3) perbedaan kekayaan sumber daya alam dan kualitas sumber daya manusianya, (4) perbedaan peranan sektor swasta dan negara, (5) perbedaan struktur industri, (6) perbedaan derajat ketergantungan pada kekuatan ekonomi dan politik negara lain dan (7) perbedaan pembagian kekuasaan, struktur politik dan kelembagaan dalam negeri.
784
Hak Keadilan Sosial di Indonesia dlm Kerangka Komunitas SosBud ASEAN (Zakarias D.D)
Konsep Keadilan Sosial (Social Justice) Keadilan sosial adalah keadilan yang pelaksanaannya tergantung dari struktur proses eknomi, politik, sosial, budaya dan ideologis dalam masyarakat. Maka struktur sosial adalah hal pokok dalam mewujudkan keadilan sosial. Keadilan sosial tidak hanya menyangkut upaya penegakan keadilan-keadilan tersebut melainkan masalah kepatutan dan pemenuhan kebutuhan hidup yang wajar bagi masyarakat. (Franz Magnis Suseno, 1988) Konsep keadilan sosial mengandung prinsip-prinsip persamaan dasar bagi setiap masyarakat. Prinsip persamaan adalah nilai dasar dari keadilan sosial (Agus Wahyudi, 2004) namun gagasan persamaan tidak dipahami sebagai persamaan dalam distribusi atau pembagian saja, tetapi persamaan dalam memperlakukan manusia dengan sama. Manusia itu pada hakikatnya sama, dalam arti martabatnya. (Mawardi, 2010) Konsep keadilan sosial harus didasarkan atas prinsip hak asasi manusia dan egalitarianism. Konsep keadilan sosial juga tidak menyangkut persoalan moralitas dalam kehidupan bermasyarakat yang berbeda-beda dari satu kebudayaan ke kebudayaan lain sehingga derajat universilitasnya menjadi tidak pasti. Keadilan sosial memang harus dibedakan dari berbagai dimensi keadilan, seperti keadilan hukum, keadilan politik, keadilan ekonomi, dan sebagainya bagi sosial, meskipun dapat juga dipahami bahwa keseluruhan ide tentang keadilan itu pada akhirnya dapat dicakup oleh dan berujung pada ide keadilan sosial. Karena pada akhirnya, keadilan hukum dan keadilan ekonomi harus membuahkan hasil akhir pada perwujudan keadilan sosial bagi semua.( Jimly Asshiddiqie, 2011) Di Indonesia, keadilan sosial merupakan bagian dari cita-cita bangsa Indonesia seperti yang termaktub dalam Pancasila sila yang ke V (lima). Artinya bahwa keadilan sosial merupakan sesuatu yang ideal yang dicita-citakan oleh semua rakyat Indonesia bahkan dirumuskan dengan jelas dalam dasar negara kita Pancasila. Jadi tuntutan keadilan sosial adalah hal yang sangat penting. Namun dalam kenyataannya praktek keadilan sosial itu belum terwujud seiring dengan harapan dan cita-cita masyarakat. (www.seabs.ac.id). Perlu kiranya bangsa Indonesia menempatkan kembali prinsip keadilan dalam setiap dasar kebijakan pemerintah, demi terwujudnya kesejahteraan sosial bagi seluruh masyarakat Indonesia. (portalgaruda.org) Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan tipe deskriptif analitik, yang akan menggambarkan serta menganalisa bagaimana Indonesia melakukan pemenuhan hak dan keadilan sosial dalam kerangka komunitas sosial budaya ASEAN 2015. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data–data sekunder yang diperoleh dari literatur, buku, jurnal, laporan resmi dan informasi dari jaringan internet yang terkait dengan pembahasan masalah. teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi kepustakaan (library research) dengan mencari dan mengumpulkan data – data sekunder yang bersumber dari buku – buku, surat kabar, data online dan referensi lainnya yang tingkat validitasnya terhadap permasalahan yang diambil dapat dipertanggung jawabkan. Teknik analisa data dalam penelitian ini menggunakan data kualitatif dengan menggunakan metode content analysis, yaitu dengan menjelaskan
785
eJournalIlmu Hubungan Internasional, Volume 3, Nomor 4, 2015: 783-796
dan menganalisis dari sumber-sumber yang ada, dengan catatan data-data tersebut saling berhubungan satu sama lain dengan permasalahan yang diteliti. Hasil Penelitian Langkah Strategis Indonesia Dalam Pemenuhan Hak Dan Keadilan Sosial, Sebagai Persiapan Menuju Komunitas Sosial Budaya ASEAN 2015. Kerjasama di bidang sosial-budaya merupakan hal penting untuk mencapai integrasi di ASEAN melalui “a caring and sharing community” yaitu sebuah tatanan masyarakat intra ASEAN yang saling peduli dan berbagi, memperkokoh rasa ke-kitaan (sense of we-ness atau we feeling) dan solidaritas sesama warga ASEAN. Yang terpenting dari upaya membangun we feeling ini adalah menciptakan solidaritas tanpa menghilangkan karakteristik spesifik masing-masing negara namun lebih pada keinginan untuk memperkuat rasa kebersamaan. (Edy Yusuf dkk, dalam Asean Selayang Pandang: Edisi ke-19, 2010) Rencana aksi untuk mewujudkan ASCC, yakni mulai dari upaya menghilangkan kemiskinan dan meningkatkan kesetaraan, mengelola dampak sosial dari integrasi ekonomi. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Indonesia untuk tahun 2009-2014 pun penurunan angka kemiskinan masih menjadi target utama pemerintah Indonesia sebagai bentuk pemenuhan hak dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Kemiskinan merupakan masalah multidimensi karena berkaitan dengan ketidakmampuan akses secara ekonomi, sosial, budaya, politik dan partisipasi masyarakat dalam ruang publik. Kemiskinan juga memiliki arti yang lebih luas dari sekedar lebih rendahnya tingkat pendapatan atau konsumsi seseorang dari standar kesejahteraan terukur seperti kebutuhan kalori minimum atau garis kemiskinan. Ada lima faktor yang dianggap berkolerasi dengan kemiskinan, yaitu pendidikan, jenis pekerjaan, gender, akses terhadap pelayanan dasar dan infrastruktur dan lokasi geografis.(World Bank, 2006) Pemerintah Indonesia dalam memajukan kesejahteraan masyarakat ini, tentu punya kaitan erat dengan agenda mewujudkan komunitas sosial budaya ASEAN dalam hal peningkatan hak dan keadilan sosial yang menjadi salah satu program dalam blue print komunitas sosial budaya ASEAN, sekaligus sebagai persiapan saat pelaksanaannya di tahun 2015. Masalah pengentasan kemiskinan dan peningkatan pembangunan manusia menjadi prioritas karena terkait erat dengan keutuhan masyarakat sosial budaya ASEAN. Jika terjadi ketimpangan sosial maka akan mengancam pembangunan ekonomi di kawasan serta budaya kawasan. Guna mewujudkan pemenuhan hak dan keadilan sosial di Indonesia, pemerintah berupaya melakukan berbagai program pengentasan kemiskinan, demi mengurangi kesenjangan sosial sebagai bentuk persiapan menuju masyarakat ASEAN 2015. Adapun Program pemenuhan hak dan keadilan sosial yang diupayakan pemerintah Indonesia lewat pengentasan kemiskinan antara lain, Jaminan Kesehatan Nasional, Bantuan Operasional Sekolah, Beras untuk Rakyat Miskin, Program Keluarga Harapan, Bantuan Siswa Miskin, dan Kredit Usaha Rakyat.
786
Hak Keadilan Sosial di Indonesia dlm Kerangka Komunitas SosBud ASEAN (Zakarias D.D)
1) Jaminan Kesehatan Nasional Pada 2004 dikeluarkan Undang-Undang No. 40 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). UU No. 40 tahun 2004 ini mengamanatkan bahwa jaminan sosial wajib bagi seluruh penduduk termasuk Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) melalui suatu Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Kemudian di Tahun 2011, pemerintah mengeluarkan Undang-Undang No. 24, juga menetapkan, Jaminan Sosial Nasional akan diselenggarakan oleh BPJS, yang terdiri atas BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. Khusus untuk Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) akan diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan yang implementasinya dimulai 1 Januari 2014. (Kemenkes RI, 2013) Saat ini BPJS sudah memiliki 103 kantor cabang, 367 Kantor Layanan Operasional Kabupaten/Kota, 1.212 BPJS Kesehatan Center di seluruh wilayah di Indonesia. BPJS Kesehatan telah bekerjasama dengan 16.831 fasilitas kesehatan tingkat pertama yang terdiri atas 9.752 puskesmas, 3.314 dokter praktek perorangan, 1.656 klinik pratama, 1.326 klinik TNI/Polri, 778 dokter gigi praktek mandiri, dan lima RS D Pratama. Sekitar 1.551 fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjutan, yang di dalamnya mencakup 17 RS pemerintah kelas A, 136 RS pemerintah kelas B, 292 RS pemerintah kelas C, 157 RS pemerintah kelas D, 123 RS khusus, 134 RS khusus jiwa, 586 RS swasta, 104 RS TNI, 10 RS Polri, 62 Klinik Utama. Selain itu, BPJS Kesehatan juga sudah bekerjasama dengan faskes penunjang lainnya, yaitu sebanyak 1.311 apotek dan 790 optikal di seluruh wilayah di Indonesia.(Infobpjs Edisi VII, 2014) Jumlah penduduk yang menjadi peserta BPJS Kesehatan dengan capaian 102 persen dari target Triwulan II/2014 sebanyak 119 juta jiwa. Seperti diketahui, target kepesertaan hingga akhir tahun 2014, ditarget 121,6 juta jiwa dan hingga akhir Juni lalu, sudah mencapai 124.553.040 jiwa, dan pada pekan kedua Agustus mencapai 126.487.166 jiwa. Kemudian, target 1 Januari 2019, seluruh penduduk Indonesia berjumlah 257,5 juta jiwa. Sedangkan kepesertaan BPJS ketenagakerjaan hingga Juli jumlah peserta mencapai Rp. 18.02 Triliun meningkat 17,23 %, kepesertaan mencapai 19.189.578 peserta naik 85,67% dari target 2015. Pembayaran Jaminan mencapai Rp. 8,87 Triliun atau setara dengan 67,47% dari target 2015 (Infobpjs Edisi VII, 2014). Jumlah dana iuran peserta BPJS kesehatan, selama satu semester tercatat Rp18,412 triliun dan jumlah klaim layanan kesehatan, sebesar Rp16,415 triliun. Sedangkan dana BPJS Ketenagakerjaan tahun 2015 mencapai Rp. 195 Triliun yang diinvestasikan pada defosito sebesar 22%, saham 21%, obligasi 42 % dan sisanya pada reksadana, properti dan penyertaan modal.(BPJS, Rakernas 2015) Soal kunjungan peserta ke fasilitas kesehatan tingkat pertama, dalam semester pertama, tercatat 26.877.974 kunjungan. Walaupun terjadi peningkatan peserta, namun pelaksanaan program dilapangan masih banyak kendala, dari studi yang dilakukan peneliti di pusat pembiayaan dan jaminan kesehatan kementrian kesehatan RI, permasalahan utama yang sering dilaporkan penyelenggara pelayanan kesehatan kepada pemerintah pusat adalah terkait pelayanan yang di berikan pada provider tingkat lanjutan (rumah sakit) yang dirasakan tidak maksimal karena berbagai masalah, diantaranya masalah alur pelayanan yang terbilang rumit, sistem pembiayaan kesehatan di rumah sakit yang menggunakan sistem Indonesia case
787
eJournalIlmu Hubungan Internasional, Volume 3, Nomor 4, 2015: 783-796
based groups (INA-CBGS) yang masih belum seutuhnya mendukung program ini, ketersediaan alat kesehatan dan obat yang belum mendukung, serta jumlah sumber daya manusia yang dirasa kurang sejak program JKN ini di luncurkan.(Kemenkes RI, 2013) Hal ini dibuktikan sekitar 30.590 keluhan peserta yang diterima BPJS Kesehatan sampai dengan Triwulan II/2014, telah diselesaikan 29.098 keluhan atau 95,12 persen, dengan rata-rata waktu penyelesaian keluhan selama 1,81 hari.(Infobpjs Edisi VII, 2014) Walaupun dalam pelaksanaannya masih terdapat banyak kendala, namun di sisi lain kebijakan JKN ini juga membantu masyarakat miskin dalam mengakses pelayanan kesehatan, hal ini di buktikan dengan jumlah kepersertaan BPJS yang terus meningkat dari tahun ke tahun sehingga dapat disimpulkan bahwa masyarakat juga merasa terbantu lewat program JKN ini. Sejak BPJS Kesehatan dioperasionalkan, membuat pelayanan kesehatan di rumah sakit daerah meningkat jumlahnya, dibanding masa pemberlakuan Jamkesda. Peningkatan itu seiring dengan baiknya pelayanan oleh BPJS. Pihak Kalangan rumah sakit makin positif menanggapi BPJS Kesehatan. Hubungan rumah sakit dengan BPJS Kesehatan, juga makin positif,(Dr dr Sutoto, MKes dalam Infobpjs Edisi VII, 2014). Kedepannya tentu akan ada upaya dari pemerintah dan pihak-pihak terkait dalam melakukan pembenahan sistem maupun pelaksaanan sebagai komitmen pemerintah dalam menghadapi komunitas ASEAN 2015 dalam konteks kesehatan masyarakat Indonesia.
2) Bantuan Operasional Sekolah Bantuan Operasional Sekolah (BOS), merupakan program pemerintah yang memberi pendanaan biaya operasi nonpersonalia bagi satuan pendidikan dasar sebagai pelaksana program wajib belajar. Program BOS yang dimulai sejak bulan Juli 2005 dan terus mengalami perubahan untuk perbaikan. Menurut Peraturan Mendiknas nomor 69 Tahun 2009, standar biaya operasi nonpersonalia adalah standar biaya yang diperlukan untuk membiayai kegiatan operasi nonpersonalia selama 1 (satu) tahun sebagai bagian dari keseluruhan dana pendidikan agar satuan pendidikan dapat melakukan kegiatan pendidikan secara teratur dan berkelanjutan sesuai Standar Nasional Pendidikan. (Mendiknas, 2009) Pada tanggal 25 Juli 2013, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah meluncurkan program Pendidikan Menengah Universal (PMU). Salah satu tujuan PMU adalah memberikan kesempatan kepada seluruh masyarakat terutama yang tidak mampu secara ekonomi untuk mendapatkan layanan pendidikan menengah. Sementara itu pada Tahun 2013 juga telah diluncurkan implementasi Kurikulum 2013. Untuk mencapai tujuan PMU yang terjangkau dan bermutu serta menyukseskan pelaksanaan kurikulum 2013, pemerintah telah menyiapkan program Bantuan Operasional Sekolah Menengah Atas (BOS SMA). Kemudian pada tahun 2014, telah disiapkan anggaran sebesar 4,3 triliun rupiah yang akan disalurkan kepada SMA Negeri dan Swasta diseluruh Indonesia. Bantuan disalurkan oleh Direktorat Pembinaan SMA, Direktorat Jenderal Pendidikan Menengah, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan langsung ke sekolah. (Direktorat SMA, Kemekdibud, 2014 Dalam Juknis)
788
Hak Keadilan Sosial di Indonesia dlm Kerangka Komunitas SosBud ASEAN (Zakarias D.D)
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 201/PMK.07/2013, alokasi BOS mulai 1 Januari 2014 adalah sebesar Rp580.000,00 per siswa per tahun untuk SD/SLB, dan sebesar Rp710.000,00 per siswa pertahun untuk SMP/SMPLB/SMPT. Jumlah ini meningkat lagi pada 2015 yaitu Rp800.000,00 untuk SD/SLB, sebesar Rp1.000.000,00 untuk SMP/SMPLB/SMPT, serta sebesar Rp1.200.000,00 untuk SMU per siswa per tahun. (Kemenku, 2013) Dalam tahap pelaksanaan program BOS, secara umum terdapat 3 (tiga) modus permasalahan, (Penelitian ICW, 2014) a) Pada tahap perencanaan, modus penyelewengan dana BOS dengan menggelembungkan data jumlah siswa. b) Pada tahap pencairan, kebocoran dana BOS terjadi dengan modus memperlambat pencairan hingga pemberian gratifikasi. c) Pada tahap pembelanjaan, modus membocorkan dana BOS dengan menurunkan kualitas spesifikasi barang. Salah satu penyebab utama maraknya penyelewengan dana BOS yaitu minimnya partisipasi dan transparansi publik dalam pengelolaannya. Pengelolaan dana BOS selama ini mutlak dalam kendali kepala sekolah tanpa keterlibatan warga sekolah, seperti orangtua murid, komite sekolah, guru, dan masyarakat sekitar sekolah dalam penyusunan rencana Anggaran Belanja Sekolah (RAPBS). Partisipasi warga sekolah dibatasi hanya dalam urusan pembayaran uang sekolah. Di luar urusan tersebut, warga sekolah tidak boleh ikut campur. Dan perubahan mekanisme penyaluran dana BOS sesuai dengan mekanisme APBD secara tidak langsung mengundang keterlibatan birokrasi dan politisi lokal dalam penyaluran dana BOS. Konsekuensinya, sekolah menanggung biaya politik dan birokrasi. (Febri Hendri AA, ICW, Dalam kompas Edisi 15 januari 2011). Walaupun terdapat banyak permasalahan dalam pelaksanaan program BOS, namun Program BOS telah berperan secara signifikan dalam percepatan pencapaian program wajar 9 tahun. Hal ini di buktikan dengan indikator penuntasan program Wajib Belajar 9 Tahun dapat diukur dengan Angka Partisipasi Kasar (APK) SD dan SMP. Pada tahun 2005 APK SD telah mencapai 115%, sedangkan SMP pada tahun 2009 telah mencapai 98,11%, dan 98,2% pada tahun 2010 (bos.kemdikbud.go.id). Keberhasilan program Wajib Belajar 9 Tahun ini juga dibutikan dengan meningkatnya jumlah siswa lulusan SMP yang harus ditampung oleh pendidikan menengah. Pusat Data dan Statistik Pendidikan atau PDSP, Kemdikbud (2011) menyatakan bahwa dari 4,2 juta lulusan SMP, hanya sekitar 3 juta yang melanjutkan ke Sekolah Menengah (SM) dan sisanya sebesar 1,2 juta siswa tidak melanjutkan. Sementara pada waktu yang bersamaan sekitar 159.805 siswa sekolah menengah mengalami putus sekolah, yang sebagian besar disebabkan karena alasan ketidakmampuan membayar biaya pendidikan. (Direktorat Pembinaan SMA, Kemendikbud, 2014 Dalam Juknis) 3). Program Keluarga Harapan PKH Pertama kali dilaksanakan tahun 2007 berdasarkan Keputusan Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat selaku ketua Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan, No: 31/KEP/MENKO/-KESRA/IX/2007 tentang Tim Pengendali Program Keluarga Harapan, Keputusan Menteri Sosial Republik Indonesia No. 02A/HUK/2008 tentang Tim Pelaksana Program Keluarga Harapan
789
eJournalIlmu Hubungan Internasional, Volume 3, Nomor 4, 2015: 783-796
(PKH). Hanya tujuh propinsi sebagai pilot project yaitu Sumatera Barat, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, NTT, Sulawesi Utara, dan Gorontalo. Selanjutnya tahun 2008 meningkat menjadi 13 propinsi dari tujuh propinsi sebelumnya. Adapun cakupan program yang bertambah adalah Sumatera Utara, Banten, Yogyakarta, NTB, Kalimantan Selatan, dan Sulawesi Utara. Tahun 2009 propinsi penerima PKH tidak mengalami penambahan dibandingkan tahun sebelumnya. Tahun 2010, propinsi penerima PKH bertambah empat menjadi 17 propinsi yaitu Kepulauan Riau, Bali, Kalimantan Barat dan Sulawesi Selatan. (portalgaruda.org) Total penerima manfaat PKH pada tahun 2007 sebanyak 500.000 RTSM dengan realisasi sebanyak 383.000 RTSM atau sebesar 76,6 persen. Pada tahun 2008 rencana penerima PKH meningkat menjadi 1,75 juta RTSM, namun realisasinya hanya sebesar 35,4 persen atau sebanyak 620.000 RTSM. Realisasi ini jauh lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya, padahal biaya program yang telah dialokasikan pemerintah sebesar Rp 3 triliun. Kondisi ini terus berlanjut pada tahun 2009, jumlah penerima PKH yang direncanakan sebesar 4 juta RTSM dengan alokasi sebesar Rp 6,7 triliun. Namun, realisasinya hanya sebesar 18,5 persen atau sebanyak 740.000 RTSM. Laporan Bappenas 2009, secara keseluruhan penelitan ini menunjukkan bahwa PKH memiliki dampak positif. Hasil penelitian ini juga menunjukkan adanya dampak PKH pada kenaikan rata-rata banyak indikator di bidang kesehatan (misalnya kunjungan ke Posyandu naik 3 persen, pemantauan pertumbuhan anak naik 5 persen, dan kegiatan imunisasi naik 0,3 persen) dan indikator pendidikan (misalnya kehadiran di kelas naik 0,2 persen). PKH juga berhasil meningkatkan pengeluaran rumah tangga per bulan per kapita untuk pendidikan dan kesehatan. (Bappenas, 2009) Mengacu pada masalah ini, terdapat juga kajian lain yang mengemukakan dua persoalan: (World Bank, 2010) a) Jadwal pembayaran bantuan PKH tidak selalu tepat waktu; oleh karena itu, rumah tangga yang memiliki siswa yang lulus SD tidak memiliki cukup uang pada saat pendaftaran ke SMP b) Bantuan PKH yang tersedia untuk elemen pendidikan tidak cukup untuk pendaftaran masuk ke SMP. Pada tahap perluasan, PKH akan dilaksanakan di seluruh provinsi di Indonesia. Jumlah penerima manfaat (beneficiaries), atau peserta PKH akan ditingkatkan secara bertahap hingga menjangkau seluruh keluarga dalam rumah tangga sangat miskin (RTSM), dengan menyesuaikan kemampuan negara. Hingga tahun 2014 peserta PKH ditargetkan sebesar 3,2 juta Keluarga Sangat Miskin.(www.tnp2k.go.id) Pemerintah menambah penerima Program Keluarga Harapan (PKH) dari 2,8 juta penerima manfaat PKH, menjadi 6 juta di tahun 2016 yaitu anggaran PKH menjadi Rp 5.459.030.788.000 dari sebelumnya pada alokasi APBN 2015 Rp 5.222.161.700.000. Adapun tambahan tersebut berasal dari Orang Dengan Kecacatan Berat (ODKB) yang berjumlah 163.000 di seluruh Indonesia. Selain itu, lansia berusia 70 tahun ke atas yang berada dalam kondisi ekonomi kurang mampu. Kita terus melakukan penyisiran di seluruh Indonesia bagi penerima PKH. (Metrotvnews.com)
790
Hak Keadilan Sosial di Indonesia dlm Kerangka Komunitas SosBud ASEAN (Zakarias D.D)
Hasil pelaksanaan PKH berhasil meningkatkan angka kunjungan Posyandu, pemantauan tumbuh kembang anak, serta kegiatan imunisasi. Secara rinci, hasil estimasi doubledifference menunjukkan bahwa PKH menaikkan secara rata-rata angka kunjungan bayi usia dibawah satu tahun ke Posyandu sebesar 3 persen poin, pemantuan tumbuh kembang bayi 5 persen poin, dan kegiatan imunisasi 0.3 persen poin. PKH juga mengindikasikan sinyalemen positif pada indikator tujuan kesehatan lainnya. (Bappenas, 2009) 4) Beras untuk Keluarga Miskin Program raskin dimulai pada waktu terjadi krisis pangan pada tahun 1998. Untuk mengatasi krisis tersebut, Pemerintah mengambil kebijakan untuk memberikan subsidi pangan bagi masyarakat melalui Operasi Pasar Khusus (OPK). Pada tahun 2002 program tersebut dilakukan lebih selektif dengan menerapkan sistem targeting, yaitu membatasi sasaran hanya membantu kebutuhan pangan bagi Rumah Tangga Miskin (RTM). Sejak itu Program ini menjadi Raskin, yaitu subsidi beras bagi masyarakat miskin. Pada tahun 2008 Program ini berubah menjadi Program Subsidi Beras Bagi Masyarakat Berpendapatan Rendah. Dengan demikian rumah tangga sasaran Program ini tidak hanya Rumah Tangga Miskin, tetapi meliputi Rumah Tangga Rentan atau Hampir Miskin.(Keputusan Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Nomor 54 Tahun 2014, Dalam Pedoman Umum Raskin 2015) Program ini dibawah pengawasan Kementerian Sosial (Kemsos), yang menunjuk Bulog sebagai pelaksana teknis. Perum BULOG diinstruksikan untuk menyediakan dan menyalurkan beras bersubsidi bagi kelompok masyarakat berpendapatan rendah, dan rawan pangan yang penyediaannya mengutamakan pengadaan gabah/beras dari petani dalam negeri. Pada tahun 2011, anggaran raskin ditetapkan sebesar Rp 15,27 triliun dengan jumlah 15 kg/bulan selama 12 kali. Rumah Tangga Sasaran (RTS) yang dituju adalah sebesar 17,4 juta atau 25% dari jumlah penduduk dengan ekonomi terendah di Indonesia. Kemudian tahun 2012, sesuai UU No.22 Tahun 2011, telah ditetapkan subsidi pangan khususnya untuk Raskin tahun 2012, yaitu 17,48 juta RTS dan alokasi 15 kg/RTS/bulan selama 12 bulan dengan harga tebus Rp.1.600,-/kg di titik Distribusi (Kemenkokesra, 2012). Tahun 2013, anggaran raskin Rp 17,1 triliun. Padahal RTS yang dituju sudah berkurang menjadi 15,5 juta. Pertengahan tahun 2013, pemerintah kembali menambah anggaran raskin menjadi Rp 21,4 triliun. Memasuki tahun 2014, anggaran raskin adalah sebesar Rp 18,8 triliun. Angka tersebut naik bila dibandingkan tahun sebelumnya dengan situasi normal. Dengan tujuan 15,5 juta RTS dan volume penyaluran beras 15 kg/RTS/bulan selama 12 kali. ( finance.detik.com) Anggaran Raskin pada tahun 2015 mencapai Rp 18,8 triliiun dengan jumlah rumah tangga sasaran (RTS) sebanyak 15.530.897. Tiap RTS berhak untuk menebus beras sebanyak 15 Kg/bulan dengan harga tebus (HTR) sebesar Rp.1.600/Kg. Harga pembayaran beras (HPB) pemerintah kepada Perum Bulog sebesar Rp. 8.047,69/Kg itu artinya pemerintah mensubsidi beras Raskin sebesar Rp. 6.447/Kg. Besaran Pagu Raskin Nasional tahun 2015 yaitu 2,79 juta ton beras selama 12 bulan untuk
791
eJournalIlmu Hubungan Internasional, Volume 3, Nomor 4, 2015: 783-796
15.530.897 RTS-PM atau sebanyak 15 kg/RTS/ bulan atau 180 kg/RTS/tahun.(Siaran Pers Nomor : 02/Humas PMK/I/2015 dalam : http://www.kemenkopmk.go.id) Dalam Laporan Kegiatan Pelaksanaan dan Evaluasi Program Raskin, Ada beberapa indikasi belum optimalnya pelaksanaan program raskin sebagai berikut : (LP3ES, 2013) a) Kegiatan sosialisasi program raskin kepada masyarakat sebagai wahana pemahaman tentang hak dan kewajiban warga penerima manfaat ternyata tidak sepenuhnya dilaksanakan oleh desa/kelurahan. b) Sosialisasi kepada masyarakat luas bahwa program raskin diperuntukan bagi warga yang benar-benar terkategori miskin melalui penyebarluasan poster DPM (daftar penerima manfaat) ternyata kurang berjalan. c) Kartu RTS-PM, Meskipun lebih banyak desa/kelurahan yang membagikan Kartu RTS-PM dan menggunakan ketika penebusan, namun tercatat 52 desa atau 47,27% yang tidak membagikan kartu ke warga. d) Sekalipun banyak kepala desa/kelurahan dan aparaturnya mengeluhkan bahwa daftar DPM kurang sesuai dengan kenyataan di masyarakat, namun ironisnya peluang untuk melakukan penggantian RTS-PM melalui musyawarah justru tidak dilakukan. e) Distribusi beras raskin, nampaknya juga tidak berjalan optimal. f) Jumlah beras yang diterima di titik distribusi (desa) dan titik bagi (dusun/RT) yang seringkali kurang sesuai dengan ketentuan (dibawah 15 kg/sak). g) masalah kualitas dan harga yang kurang sesuai di banyak lokasi. Nampaknya pelaksanaan program raskin kurang berjalan efektif hingga tingkat Kabupaten dan Kota, dimana seluruh skema pengelolaan dan kegiatan relativ dapat dijalankan seperti sosialisasi program raskin dan alokasi kuota raskin. Namun untuk kegiatan lain yang menjamin efektivitas pelaksanaan raskin di masyarakat dengan hasil yang baik nyaris kurang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten (Tim Raskin) misalnya verifikasi, monitoring ataupun penetapan kebijakan yang mendukung. Implikasinya, program raskin di masyarakat dapat disebut kurang berjalan secara optimal baik dilihat dari aspek proses dan hasilnya. Boleh dikatakan tidak ada kabupaten/kota yang dapat disebut berhasil dan sempurna dalam melaksanakan program raskin dengan hasil optimal. Setiap lokasi memiliki kelebihan dan, keterbatasan masing-masing. (LP3ES, 2013) 5) Kredit Usaha Rakyat Pada 8 Juni 2007, pemerintah meluncurkan Inpres No. 6/2007 tentang Kebijakan Percepatan Pengembangan Sektor Riil dan Pemberdayaan UMKM. Salah satu langkah penting dari implementasi Inpres ini adalah peluncuran program Kredit Usaha Rakyat (KUR). Tujuannya untuk meningkatkan akses UMKM terhadap sumber permodalan dari lembaga keuangan formal dalam rangka percepatan penanggulangan kemiskinan, penciptaan kesempatan kerja, dan peningkatan pendapatan.(Meby Damayanti dan Latif Adam, TNP2K Working Paper 27-2015 dalam www.tnp2k.go.id) Sejak diluncurkan pada 2007, pelaksanaan program KUR terus menunjukkan peningkatan. Pada periode 2008–September 2014, jumlah bank yang berpartisipasi dalam program ini berkembang dari 6 bank nasional menjadi 33 bank (7 bank
792
Hak Keadilan Sosial di Indonesia dlm Kerangka Komunitas SosBud ASEAN (Zakarias D.D)
nasional dan 26 BPD). Pada periode yang sama, jumlah debitur KUR meningkat hampir 5 kali lipat dari 2,3 juta menjadi 11,3 juta orang. Sementara itu, jumlah realisasi kredit yang disalurkan melalui KUR juga meningkat hampir 4,5 kali lipat dari Rp11,5 triliun menjadi Rp50,3 triliun. Dengan demikian, sampai September 2014, secara kumulatif jumlah dana yang berhasil disalurkan melalui program KUR mencapai angka Rp168,3 triliun Realisasi penyaluran KUR tumbuh lebih cepat dibandingkan dengan target penyalurannya. Pada periode 2010–September 2014, realisasi penyaluran tumbuh dengan rata-rata 30,7 persen per tahun, sedangkan targetnya hanya tumbuh dengan rata-rata 16,6 persen per tahun. Tidak mengherankan jika realisasi penyaluran KUR, khususnya sejak 2011, selalu melebihi target yang ditetapkan pemerintah. Ini merupakan indikasi bahwa permintaan terhadap KUR dari UMKM jauh lebih tinggi dibandingkan dengan yang diasumsikan pemerintah. (Meby Damayanti dan Latif Adam, TNP2K Working Paper 27-2015 dalam www.tnp2k.go.id) Mayoritas pinjaman KUR tersalur untuk sektor perdagangan. Persepsi perbankan bahwa sektor perdagangan memiliki risiko yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan sektor-sektor ekonomi lainnya menjadi penyebab mengapa KUR cenderung bias terhadap sektor ini. Bagi perbankan, pendapatan harian tetap pelaku usaha sektor perdagangan diartikan bahwa mereka memiliki kemampuan mengembalikan pinjaman KUR tepat waktu dan tepat jumlah. (Meby Damayanti dan Latif Adam, TNP2K Working Paper 27-2015 dalam www.tnp2k.go.id) Saat ini KUR masih sangat terkonsentrasi di Pulau Jawa. Sampai dengan September 2014, dari total plafon penyaluran KUR sebesar Rp168,3 triliun, 52,9 persennya tersalur hanya ke UMKM di enam provinsi di Pulau Jawa. Dari total debitur 11,9 juta orang, 61,8 persennya bertempat tinggal di Pulau Jawa. Kartika (2011) menemukan bahwa ketersediaan lembaga keuangan di suatu daerah (desa) berkorelasi tinggi dengan akses terhadap KUR di daerah (desa) yang bersangkutan. Semua provinsi di Pulau Jawa memiliki ketersediaan lembaga keuangan (bank) yang memadai. Sebaliknya, banyak provinsi di luar Pulau Jawa, contohnya Maluku Utara, Papua, dan Papua Barat yang ketersediaan lembaga keuangannya masih terbatas. (Kartika, 2011) Pada tataran implementasi, sebagian kecil KUR terdistribusi ke wilayah Indonesia Bagian Timur (IBT) dan masih rendahnya alokasi KUR pada sektor pertanian. Masalahnya, kemiskinan di Indonesia cenderung terkonsentrasi di wilayah IBT tersebut. Secara sektoral, proporsi penduduk miskin juga cenderung berada di perdesaan dan bekerja di sektor pertanian. Dengan demikian, ketidakmampuan program KUR menjangkau wilayah perdesaan di IBT dan sektor pertanian akan mengurangi kemampuan program ini untuk secara langsung terlibat dalam pengentasan kemiskinan. (P2E LIPI, 2012) Ada dampak positif dan negatif (mix outcomes) dari pelaksanaan program KUR selama ini. Dari sisi positif, ada indikasi bahwa program KUR mampu memberdayakan UMKM yang telah bisa mengakses program ini. Beberapa studi empiris memang menunjukkan bahwa kinerja UMKM penerima KUR relatif lebih baik dibandingkan dengan kinerja UMKM bukan penerima dilihat dari tingkat keuntungan, pendapatan, dan pemilikan aset. Kinerja sebelum dan setelah menerima
793
eJournalIlmu Hubungan Internasional, Volume 3, Nomor 4, 2015: 783-796
program KUR, kemampuan menciptakan kesempatan kerja, dan kepemilikan aset bisnis UMKM penerima KUR pun mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Namun demikian, kemampuan program KUR untuk mempercepat penanggulangan kemiskinan masih belum bisa. Proporsi RTM yang secara langsung bisa menikmati program ini relatif masih sangat kecil. Penyebabnya, di satu sisi, desain program KUR tidak menjadikan RTM sebagai sasaran. Di sisi yang lain, bank pelaksana terikat dan harus mematuhi aturan-aturan microprudential perbankan. Bank memiliki persepsi bahwa menyalurkan KUR ke UKM milik RTM akan meningkatkan risiko terjadinya kredit bermasalah (NPL). Dalam tataran pelaksanaan, penyaluran program KUR yang bias terhadap sektor perdagangan dan terkonsentrasi di Indonesia Bagian Barat (IBB), khususnya Pulau Jawa, mengurangi kemampuan program ini mempercepat penanggulangan kemiskinan.(Meby Damayanti dan Latif Adam, TNP2K Working Paper 27-2015 dalam www.tnp2k.go.id) Kesimpulan Dalam konteks komunitas sosio-kultural yang ingin dicapai ASEAN adalah membangun masyarakat yang peduli (building caring society). Adapun rencana aksi (Plan of Actions) untuk mewujudkan ASCC, yakni; mulai dari upaya menghilangkan kemiskinan dan meningkatkan kesetaraan, mengelola dampak sosial dari integrasi ekonomi. Upaya pemenuhan hak dan keadilan sosial lewat program kemiskinan akan mendorong terjadinya peningkatan kesejahteraan masyarakat adalah salah satu tujuan akhir yang ingin dicapai dalam rangka pembentukan Komunitas ASEAN tahun 2015. Oleh karena itu, berbagai program kegiatan yang diarahkan untuk mengurangi kesenjangan sosial di tengah tengah masyarakat ASEAN akan terus diupayakan untuk diperkuat dan lebih diintensifkan. Komitmen pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2009-20014 yang disusun berdasarkan Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan (SNPK). Di samping itu dalam kerangka komunita ASEAN 2015 sehingga Indonesia perlu menyiapkan sumber daya manusia menuju integrasi kawasan ASEAN. Pemerintah saat ini memiliki berbagai program penanggulangan kemiskinan yang terintegrasi mulai dari program penanggulangan kemiskinan berbasis jaminan sosial, bantuan sosial, berbasis pemberdayaan masyarakat serta program pemberdayaan usaha kecil (UMKM), yang dijalankan oleh berbagai elemen baik pemerintah pusat maupun daerah. Dalam pelaksanaan program ini, secara umum program-program tersebut belum mampu menyelesaikan masalah kemiskinan karena masih banyak kendala dalam pelaksanannya, namun di sisi lain program ini telah memberikan efek positif terhadap penurunan angka kemiskinan. Saran Indonesia harus siap menghadapi persaingan usaha dengan pemberlakuan kawasan yang terintegrasi secara ekonomi, sosial dan budaya ASEAN pada 2015. Dengan demikian pemerintah harus memperhatikan keadilan sosial dan pemenuhan hak dasar yang sudah termanifestasikan dalam program kemiskinan. Agar terus menurun angka
794
Hak Keadilan Sosial di Indonesia dlm Kerangka Komunitas SosBud ASEAN (Zakarias D.D)
kemiskinan, maka pemerintah Indonesia harus lebih fokus mengevaluasi pelaksanaan programnya. Berikut saran dari peneliti yakni: 1. Butuh sinergitas antar program penanggulan kemiskinan, karena masih terdapat disparitas antar provinsi sehingga tidak menyulitkan dalam proses implementasi. 2. Membangun sarana-prasarana pendukung ekonomi untuk masyarakat menengah ke bawah. Ketersediaan infrastruktur dan sumber daya manusia sehingga lebih efektif dalam pelaksaan program kemiskinan, 3. Pemerintah harus lebih giat melakukan sosialisasi ketika regulasi baru, sehingga Informasi yang didapat oleh masyarakat bisa memadai sehingga bisa meminimalisir kendala dalam pelaksanaan program. 4. Permasalahan yang kerap terjadi di lapangan adalah data yang tidak valid sehingga banyak program kemiskinan yang tidak tepat sasaran, banyak proses validasi tidak sesuai ketentuan sehingga hasil validasi tidak akurat, dalam hal ini pemerintah harus lebih memperhatikan proses pengawasan serta pendataan. 5. Harus ada koordinasi yang baik dari pemerintah pusat dengan pemerintah hingga tingkatan RT dan mengajak seluruh stakeholder untuk terlibat dalam pengawasan. 6. Pemerintah harus lebih fokus pada pengawasan dan partisipasi publik serta transparansi, dan akuntabilitas dalam proses implementasi anggaran di semua tingkat penyelenggara. Daftar Pustaka Yusuf, Edy dkk. Asean Selayang Pandang: Edisi ke-19. Direktorat kerjasama ASEAN kementrian luar negeri republik Indonesia. Jakarta. 2010. Hal 122 Adam, L. 2010. “The Role of SMEs in the Indonesia Industrialization.” Economic and Finance in Indonesia. 45 (1):15–30. Nugroho, A.E. 2011. Microfinance Development in Indonesia Market Segmentation, Social Capital and Welfare Outreach to the Poor in Rural Java. Lambert Academic Publishing. Herstellung P2E LIPI. 2012. KUR di Era Otonomi Daerah: Membangun Sinergi antara Kelembagaan Pasar, Pemerintah Daerah dan Komunitas dalam Pengelolaan Kredit Program untuk Pemberdayaan UMKM. Jakarta : P2E-LIPI. TNP2K.2014. An Analysis on the Impact of the Increasing Number of Participating Banks that Provide the KUR Mikro Loans. Jakarta : TNP2K. TNP2K.2013. Kredit Usaha Rakyat Untuk Sektor Prioritas. Jakarta :TNP2K.
TNP2K. 2011. TNP2K Internal Report on Profile of Micro, Small and Medium Enterprises Based on BPS-Statistics Indonesia Data. Jakarta. TNP2K
795
eJournalIlmu Hubungan Internasional, Volume 3, Nomor 4, 2015: 783-796
Magnis-Suseno, Franz, Etika Politik: Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1988 Mawardi, Keadilan Sosial Menurut Jhon Rawls dalam skripsi. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta 2010. Agus Wahyudi, Filsafat Politik Barat dan Masalah Keadilan: Catatan Kritis atas Pemikiran Will Kymlicka dalam Jurnal Filsafat,April 2004, Jilid 36, Nomor 1. Direktorat SMA, Kemekdibud, 2014 Dalam Juknis Febri Hendri AA, ICW, Dalam Kompas Edisi 15 Januari 2011 Suahasil Nazara dan Sri Kusumastuti Rahayu, International Policy Centre for Inclusive Growth, 2013) Keputusan Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Nomor 54 Tahun 2014, Dalam Pedoman Umum Raskin 2015 Siaran Pers Nomor : 02/Humas http://www.kemenkopmk.go.id
PMK/I/2015
dalam
:
LP3ES, 2013 dalam Dalam Laporan Kegiatan Pelaksanaan dan Perkembangan Tahap III Monitoring dan Evaluasi Program Raskin Meby Damayanti dan Latif Adam, TNP2K Working Paper 27-2015 dalam www.tnp2k.go.id
796