PEMECAHAN MASALAH INKONSISTENSI PROSES PENAKARAN PADA MESIN PENGEMAS BUMBU PELEZAT SERBAGUNA DI PT UNILEVER INDONESIA TBK., CIKARANG
ERICK F24060969
2010 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
PEMECAHAN MASALAH INKONSISTENSI PROSES PENAKARAN PADA MESIN PENGEMAS BUMBU PELEZAT SERBAGUNA DI PT UNILEVER INDONESIA TBK., CIKARANG
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh ERICK F24060969
2010 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN PEMECAHAN MASALAH INKONSISTENSI PROSES PENAKARAN PADA MESIN PENGEMAS BUMBU PELEZAT SERBAGUNA DI PT UNILEVER INDONESIA TBK., CIKARANG SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor
Oleh ERICK F24060969 Dilahirkan pada tanggal 30 Oktober 1988 di Jakarta Tanggal lulus :
2010
Menyetujui, Bogor,
2010
Dr. Ir. Joko Hermanianto Dosen Pembimbing
Ir. Noer Iman Pembimbing Lapang Mengetahui,
Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
Erick. F24060969. Pemecahan Masalah Inkonsistensi Proses Penakaran pada Mesin Pengemas Bumbu Pelezat Serbaguna di PT Unilever Indonesia Tbk., Cikarang. Di bawah bimbingan Dr. Ir. Joko Hermanianto dan Ir. Noer Iman. 2010. RINGKASAN Sistem penakaran pada mesin pengemas diharapkan mampu menangani proses penakaran bumbu pada kisaran spesifikasi yang diinginkan (kapabel) dan juga dapat diandalkan (reliabel). Berdasarkan catatan perusahaan tahun 2009, jika sebuah sachet produk bernilai Rp 300,00 maka waktu breakdown akibat tindakan penyesuaian membuat perusahaan kehilangan waktu produktif yang bernilai setara dengan Rp 5.910.537.000,00 tanpa memperhitungkan kerugian bumbu akibat overweight, biaya pengerjaan ulang (rework) akibat underweight, dan biaya lembur untuk mengejar target produksi. Tujuan dari kegiatan magang ini di PT Unilever Indonesia, Cikarang adalah mengidentifikasi permasalahan inkonsistensi proses penakaran yang merupakan sumber penyebab tingginya angka breakdown mesin pengemas akibat kegiatan stel timbangan. Langkah kerja yang dilakukan adalah observasi langsung di dalam kegiatan produksi, mengidentifikasi akar masalah berdasarkan fakta di lapangan, dan analisis langkah perbaikan untuk mengeliminasi akar masalah. Penelusuran masalah dimulai dari memahami masalah inkonsistensi proses penakaran dan prinsip kerja sistem penakaran pada mesin pengemas. Output penakaran relatif konsisten jika mesin bekerja dengan parameter tetap dan tidak ada perubahan pada bumbu. Berdasarkan analisis kapabilitas proses penakaran pada mesin percontohan terbaik (mesin U9), diketahui hanya 25% batch yang mampu mencapai indeks kapabilitas proses di atas 1,00. Faktor bumbu yang kohesif dan berfluktuasi tingkat kelengketannya lebih berpengaruh sebagai penyebab masalah daripada faktor mesin. Bumbu yang kohesif menyebabkan gangguan aliran bumbu pada sistem penakaran sehingga terjadi fluktuasi output. Kondisi tersebut diperburuk dengan peluang terbentuknya caking akibat paparan gaya tekan dari mekanisme prefit dan gangguan aliran pada hopper feeder. Persebaran lemak nabati dan pencapaian kristalisasi lemak di dalam campuran bumbu belum tertangani dengan baik dan konsisten pada proses mixing dan aging yang belum terkendali dan belum optimal. Keberadaan lemak nabati yang masih dalam fase cair menimbulkan karakteristik kohesif dan tidak mudah mengalir. Flowability bumbu masih dalam kategori “Very Poor”, walaupun dengan perlakuan aging selama 120 menit yang jauh lebih lama dari standar waktu proses aging perusahaan. Karakteristik bumbu yang tidak mudah mengalir tersebut dipastikan bukan akibat buruknya karakteristik flowability garam dan gula yang merupakan dua komponen terbesar penyusun komposisi bumbu. Sebagian besar masalah inkonsistensi proses penakaran dapat diatasi dengan pengendalian dan optimasi parameter proses mixing dan aging sehingga diperoleh karakteristik bumbu yang relatif tidak kohesif, homogen, dan konsisten pada setiap batch. Tindakan perbaikan yang perlu segera diimplementasikan adalah modifikasi sistem timer pada mixer, optimasi proses mixing, dan gunakan alternatif terowongan pendingin untuk proses aging. Beberapa tindakan perbaikan pendukung perlu dipertimbangkan setelah memperbaiki kondisi karakteristik bumbu untuk mendukung pengendalian proses penakaran menjadi lebih baik.
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 30 Oktober 1988 sebagai anak pertama dari tiga bersaudara pasangan Kristianto Tjiptadji dan Neneng Murnengsih. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar pada tahun 2000 di SD KEMURNIAN II, Sekolah Menengah Pertama pada tahun 2003 di SLTP KEMURNIAN II, dan Sekolah Menegah Umum jurusan IPA (Ilmu Pengetahuan Alam) pada tahun 2006 di SMU KEMURNIAN II. Penulis melanjutkan pendidikan tinggi di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur SPMB masuk pada tahun 2006. Penulis berhasil mendapatkan Mayor Ilmu dan Teknologi Pangan di Fakultas Teknologi Pertanian, setelah setahun menjalani Tingkat Persiapan Bersama (TPB) Selama menempuh pendidikan di IPB, penulis aktif di dalam kegiatan organisasi Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Pangan sebagai Public Relation. Penulis juga aktif dalam Tim Pendamping Mahasiswa Katolik IPB, suatu komunitas nonkelembagaan yang berperan sebagai asisten MKDU Pendidikan Agama Katolik di IPB. Kegiatan kepanitiaan yang pernah dijalani penulis
diantaranya adalah Studium Generale Alumni dan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Pangan, Pelatihan Sistem Manajemen Halal (PLASMA), dan Orientasi Mahasiswa Baru Ilmu dan Teknologi Pangan (BAUR). Penulis juga berprestasi pada beberapa kompetisi di bidang fotografi seperti Journalistic Fair tingkat Jabodetabek, G-art Competition tingkat IPB, dan The Bogor Expo tingkat pelajar Bogor. Selama kuliah penulis pernah bekerja sebagai guru les privat, melakukan formulasi dan desain proses produksi di CV Siska Wati Citereup, dan kegiatan survei Quick Count Pemilu 2009 di bawah CIRUS Surveyors Group. Sebagai tugas akhir penulis memilih penelitian dalam kegiatan magang di PT Unilever Indonesia Tbk. dengan judul “Pemecahan Masalah Inkonsistensi Proses Penakaran pada Mesin Pengemas Bumbu Pelezat Serbaguna di PT Unilever Indonesia Tbk., Cikarang”.
i
KATA PENGANTAR Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat, karunia, dan kasih-Nya sehingga penulis berkesempatan untuk berkarya dan menjalani pendidikan tinggi di Intitut Pertanian Bogor pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan–Fakultas Teknologi Pertanian. Selama empat tahun penulis berproses dan belajar banyak hal mengenai kehidupan yang menjadi sebuah sejarah sekaligus pelajaran berharga yang tidak akan pernah terulang. Atas petunjuk, penyertaan, dan tuntunan-Nya melalui sesama manusia, penulis dapat menyelesaikan perkuliahan dan tugas akhir yang indah pada waktunya. Selama kegiatan magang, penulisan, dan penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan banyak pihak. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada: 1. Papi, Mami, Oma, Mpe, Michael, Cynthia, dan Tante, atas doa, kesabaran, pengertian, kasih sayang, dan motivasi yang tidak pernah berhenti dicurahkan kepada penulis. 2. Bapak Dr. Ir. Joko Hermanianto, selaku dosen pembimbing akademik atas bimbingan, nasihat, motivasi, dan pelajaran yang sangat berarti selama perkuliahan dan pelaksanaan tugas akhir. 3. Bapak Ir. Noer Iman, selaku pembimbing lapang atas bimbingan, nasihat, motivasi, dan pelajaran selama kegiatan magang di pabrik Unilever Cikarang. 4. Bapak Tjahja Muhandri, STP, MT, selaku dosen penguji yang memberikan waktu dan pikiran kepada penulis dalam penyelesaian tugas akhir. 5. Ibu Elvira Syamsir, STP, MSi selaku dosen penguji yang memberikan waktu dan pikiran kepada penulis dalam penyelesaian tugas akhir. 6. Ibu Prof. Dr. Ir. Tien R. Muchtadi, MS dan Bapak Ir. Maulana W. Jumantara yang telah membuka jalan bagi penulis untuk melakukan kegiatan magang di PT Unilever Indonsia Tbk., Cikarang dan atas waktu serta masukan kepada penulis. 7. Bapak Yoga Pratama dan Bapak Lukman Darmawan atas waktu, pikiran, dan dukungan yang diberikan kepada penulis.
ii
8. Para staf SCC&C, teman-teman ruang TPM, seluruh tim produksi, semanteman “sepermainan” tim engineering, seluruh operator mesin pengemas, khususnya Mas Buhron, Mas Pamungkas, dan Mas Dede, teman-teman nongkrong “kursi batu panjang”, Bapak Joko dari Cipta Bersama, temanteman magang yang silih berganti, Stephani Angga, Bunga Anggraini, Feronika, Venita, Gina, Aya, Sarah, dan Sari atas dukungan, waktu, dan motivasi kepada penulis. Senang mengenal kalian dan dapat melewati waktu bersama kalian walaupun pertemuan kita singkat. 9. Seluruh staf dan teknisi departemen ITP, SEAFAST, dan PAU yang menjadi sahabat penulis. Terima kasih atas dukungan, motivasi, dan nasihat yang banyak dibagikan kepada penulis. Tidak terlupakan staf UPT yang selalu siap membantu penulis menyelesaikan administrasi selama perkuliahan dan dalam tugas akhir. 10. Sahabat-sahabat karib penulis, Abdi Tunggal Cahyo, Arius Wiratama, Riza Kamal Shadiq, Wonojatun, Sendy Arkida, Bobby, The Maksiaters, Keluarga Pondok Joglo, dan Anita Kumala Sari yang menjadi tempat diskusi dan “tempat sampah” penulis selama penyelesaian tugas akhir. Semoga skripsi ini bermanfaat dan dapat digunakan sebagaimana layaknya. Salam sejahtera.
Bogor, Oktober 2010
Penulis
iii
DAFTAR ISI HALAMAN KATA PENGANTAR………………………………………………………….. ii DAFTAR ISI……………………………………………………………………. iv DAFTAR TABEL………………………………………………………………. vi DAFTAR GAMBAR……...……………………………………………………. vii DAFTAR LAMPIRAN…………………………………………….….……….. ix PENDAHULUAN .......................................................................................... 1
I.
A. Latar Belakang ........................................................................................... 1 B. Tujuan ......................................................................................................... 2 II. TINJAUAN UMUM PERUSAHAAN.......................................................... 3 A. Sejarah dan Perkembangan PT Unilever Indonesia .............................. 3 B. Visi dan Misi ............................................................................................... 5 C. Logo ............................................................................................................. 6 D. Organisasi dan Pengelolaan ...................................................................... 6 E. Ketenagakerjaan ........................................................................................ 8 III.
TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................... 10
A. Bubuk (Powder) ........................................................................................ 10 B. Karakteristik Fisik Bubuk ...................................................................... 11 C. Kemudahan Mengalir Bubuk (Flowability) ........................................... 13 D. Pencampuran Kering (Dry Mixing) ........................................................ 16 E. Mesin Pencampur (Mixer) ....................................................................... 18 F. Klasifikasi Campuran .............................................................................. 21 G. Kristalisasi Lemak ................................................................................... 23 H. Desain Peralatan ...................................................................................... 26 IV.
METODOLOGI ....................................................................................... 31
A. Langkah Kerja ......................................................................................... 31 1.
Observasi ................................................................................................ 31
2.
Identifikasi Faktor Penyebab Masalah ................................................... 31
3.
Analisis Langkah Perbaikan ................................................................... 31
B. Metode Analisis ........................................................................................ 32 1.
Alat dan Bahan ....................................................................................... 32 iv
2.
Analisis Kapabilitas Proses .................................................................... 32
3.
Analisis Kemudahan Mengalir Bubuk ................................................... 33
V. HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................... 36 A. Produksi Bumbu Pelezat Serbaguna ...................................................... 36 1.
Bahan Baku ............................................................................................ 36
2.
Mesin Produksi ....................................................................................... 37
3.
Aliran Proses Produksi ........................................................................... 40
B. Identifikasi Masalah ................................................................................ 43 1.
Inkonsistensi Proses Penakaran .............................................................. 43
2.
Mekanisme Sistem Penakaran ................................................................ 46
3.
Kapabilitas Proses Penakaran ................................................................. 50
4.
Tren Output Proses Penakaran ............................................................... 58
5.
Pengamatan Proses Produksi .................................................................. 63
6.
Kemudahan Mengalir Bumbu ................................................................ 77
7.
Kemudahan Mengalir Bahan Baku ........................................................ 79
C. Analisis Langkah Perbaikan ................................................................... 81
VI.
1.
Kontrol Parameter Waktu Mixing .......................................................... 83
2.
Optimasi Proses Mixing.......................................................................... 83
3.
Optimasi Proses Aging ........................................................................... 85
4.
Modifikasi Desain Hopper Feeder ......................................................... 86
5.
Modifikasi Filling Unit Mesin Pengemas .............................................. 88
6.
Standarisasi Posisi Prefit dan Parameter Pulse ...................................... 88 KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................ 90
A. Kesimpulan ............................................................................................... 90 B. Saran ......................................................................................................... 90 DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………….......... 92 LAMPIRAN……………………………………………………………………. 95
v
DAFTAR TABEL HALAMAN Tabel 1. Kategori Kemudahan Mengalir Bubuk……………………………..... 35 Tabel 2. Kapabilitas Proses Penakaran Mesin U9…………………………...... 52 Tabel 3. Rata-rata Output Setiap Corong Mesin U9…………………………... 53 Tabel 4. Nilai R2 Regresi Linier Setiap Corong Mesin U9……………………. 59 Tabel 5. Pengukuran Suhu Aging……………………………………………… 72 Tabel 6. Kemudahan Mengalir Bumbu Tanpa Perlakuan Aging……………… 78 Tabel 7. Kemudahan Mengalir Bumbu Setelah Aging 120 Menit…………….. 78 Tabel 8. Kemudahan Mengalir Bahan Baku Garam ………………………….. 80 Tabel 9. Kemudahan Mengalir Bahan Baku Gula…………………………….. 80
vi
DAFTAR GAMBAR HALAMAN Gambar 1.
Logo Produk-produk PT Unilever Indonesia ……………………. 4
Gambar 2.
Logo Unilever……………………………………………………. 6
Gambar 3.
Struktur Organisasi Pabrik Divisi SCC & C ……………............. 8
Gambar 4.
Keadaan Struktur Internal Bubuk Sebelum dan Setelah Pemampatan……………………………………………………... 10
Gambar 5.
Faktor yang Mempengaruhi Densitas Kamba Bubuk………….... 12
Gambar 6.
Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Kohesif Bubuk …………... 13
Gambar 7.
Agitator Plow Mixer dan Arah Aliran Bahan…………………… 19
Gambar 8.
Forberg Mixer…………………………………………………… 20
Gambar 9.
Skema Distribusi Campuran Partikel……………………………. 21
Gambar 10. Skema Beberapa Tipe Campuran Partikel………………………. 22 Gambar 11. Perubahan Polymorphic Kristalisasi dan Rekristalisasi Lemak…. 24 Gambar 12. Hubungan Faktor yang Mempengaruhi Karakteristik Makro Kristal Lemak……………………………………………………. 25 Gambar 13. Bekas Pemukulan Mengindikasikan Masalah Aliran Bahan …… 26 Gambar 14. Skema Pola Aliran di Dalam Hopper …………………………… 27 Gambar 15. Grafik Acuan Desain Bentuk Hopper………………………….... 29 Gambar 16. Beberapa Desain Bentuk Hopper ……………………………….. 29 Gambar 17. Skema Pegukuran Loose Density dan Tapped Density………….. 34 Gambar 18. Plow Mixer…………………………………………………….… 38 Gambar 19. Skema Hopper Feeder…………………………………………... 39 Gambar 20. Skema Filling Unit Mesin Pengemas……………….…………... 40 Gambar 21. Skema Sistem Auger…………………………………………….. 47 Gambar 22. Skema Volume Ruang Pitch.……………………………………. 48
vii
Gambar 23. Ilustrasi Mekanisme Sistem Penakaran…………….…………… 49 Gambar 24. Diagram Batang Statistik Dasar Populasi Output………………. 60 Gambar 25. Waktu Mixing Hari ke-1………………………………………… 65 Gambar 26. Waktu Mixing Hari ke-2…………….…………………………... 66 Gambar 27. Skema Pemasukan Lemak Nabati Cair …………………………. 69 Gambar 28. Skema Pola Aliran Bumbu Aktual di Dalam Hopper Feeder…… 75 Gambar 29. Pengaruh Screw Feeder Terhadap Arus Aliran………………...... 76 Gambar 30. Hubungan Masalah Penyebab Inkonsistensi Proses Penakaran..... 82 Gambar 31. Beberapa Konfigurasi Screw Feeder…………………………….. 87
viii
DAFTAR LAMPIRAN HALAMAN Lampiran 1.
Kapabilitas Proses Mesin U9 Hari ke-1………………………. 95
Lampiran 2.
Kapabilitas Proses Mesin U9 Hari ke-2………………………. 96
Lampiran 3.
Kapabilitas Proses Mesin U9 Hari ke-3………………………. 97
Lampiran 4.
Kapabilitas Proses Mesin U9 Hari ke-4………………………. 98
Lampiran 5.
Kapabilitas Proses Mesin U9 Hari ke-5………………………. 99
Lampiran 6.
Kapabilitas Proses Mesin U9 Selama 7 Hari…………………. 100
Lampiran 7.
Kapabilitas Proses Mesin U9 Batch Ke-1…………………….. 101
Lampiran 8.
Kapabilitas Proses Mesin U9 Batch Ke-2…………………….. 102
Lampiran 9.
Kapabilitas Proses Mesin U9 Batch Ke-3…………………….. 103
Lampiran 10. Kapabilitas Proses Mesin U9 Batch Ke-4…………………….. 104 Lampiran 11. Kapabilitas Proses Mesin U9 Batch Ke-5…………………….. 105 Lampiran 12. Kapabilitas Proses Mesin U9 Batch Ke-6…………………….. 106 Lampiran 13. Kapabilitas Proses Mesin U9 Batch Ke-10…………………… 107 Lampiran 14. Kapabilitas Proses Mesin U9 Batch Ke-11…………………… 108 Lampiran 15. Kapabilitas Proses Mesin U9 Batch Ke-12…………………… 109 Lampiran 16. Kapabilitas Proses Mesin U9 Batch Ke-13…………………… 110 Lampiran 17. Kapabilitas Proses Mesin U9 Batch Ke-14…………………… 111 Lampiran 18. Kapabilitas Proses Mesin U9 Batch Ke-15…………………… 112 Lampiran 19. Kapabilitas Proses Mesin U9 Batch Ke-16…………………… 113 Lampiran 20. Contoh Regresi Linier Output Mesin U9 Batch Ke-1………… 114 Lampiran 21. Data Output Mesin U9 Hari Ke-1…………………………….. 115 Lampiran 22. Data Output Mesin U9 Hari Ke-2…………………………….. 116 Lampiran 23. Data Output Mesin U9 Hari Ke-3…………………………….. 117
ix
Lampiran 24. Data Output Mesin U9 Hari Ke-4…………………………….. 118 Lampiran 25. Data Output Mesin U9 Hari Ke-5…………………………….. 119 Lampiran 26. Data Sistem SPC Mesin U9 Milik Perusahaan Selama 7 Hari.. 120 Lampiran 27. Diagram Alir Produksi Bumbu Pelezat Serbaguna…...……… 122 Lampiran 28. Karakterisasi Aliran Bumbu Metode Hausner dan Carr……… 123 Lampiran 29. Karakterisasi Aliran Garam Metode Hausner dan Carr ……… 124 Lampiran 30. Karakterisasi Aliran Gula Metode Hausner dan Carr ………... 124 Lampiran 31. Pareto Kejadian Breakdown Mesin Pengemas Tahun 2009….. 125 Lampiran 32. Pareto Waktu Breakdown Mesin Pengemas Tahun 2009…….. 126
x
I.
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG Salah satu produk yang diproduksi oleh PT Unilever Indonesia adalah bumbu pelezat serbaguna dalam bentuk bubuk siap pakai. Produk tersedia dalam berbagai ukuran kemasan yaitu kemasan sachet, 50g, 100g, 200g, dan 1000g. Produk kemasan sachet dikemas menggunakan mesin pengemas jenis VFFS (Vertical Form Fill Seal). Tipe mesin ini cocok untuk produk berbentuk bubuk dan granular (Fellows, 2000). Mesin pengemas membentuk kemasan dari lembaran bahan baku kemasan, menakar dan mengisi sejumlah bumbu, kemudian sekaligus menyegel kemasan yang telah berisi bumbu. Sistem penakaran pada mesin pengemas diharapkan bukan hanya sekedar mampu menangani proses penakaran bumbu pada kisaran spesifikasi yang diinginkan (kapabel) saja melainkan juga dapat diandalkan (reliabel). Kegiatan produksi diharapkan memiliki perfoma yang tinggi dari segi efisiensi, pencapaian target produksi, kecepatan produksi, dan mutu produk yang sesuai dengan spesifikasi. Terhentinya mesin produksi (breakdown) akibat perawatan, perbaikan, atau kegiatan penyesuaian diharapkan tidak memakan banyak waktu serta dapat diprediksi. Jadwal produksi dan pencapaian target produksi dapat terganggu jika mesin produksi sering dihentikan karena bermasalah, apalagi jika tidak dapat diprediksi. Mutu sangat penting dijaga oleh perusahaan untuk menjaga kepuasan konsumen dan kelangsungan bisnis. Menurut Fellows (2000), tingkat akurasi proses pengisian penting untuk memastikan pemenuhan peraturan isi bersih produk dan untuk mencegah “give-away” akibat kelebihan pengisian. Isi bersih produk yang tertera pada kemasan harus dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya kepada konsumen. Oleh sebab itu isi bersih produk di dalam setiap kemasan perlu dijaga oleh perusahaan agar tidak terjadi kekurangan jumlah isi bersih produk di dalam kemasan. Kurangnya (underweight) bumbu dalam kemasan menjadi permasalahan mutu bagi konsumen, namun jika bumbu di dalam kemasan berlebih (overweight) akan menjadi kerugian atau biaya yang harus ditanggung oleh perusahaan.
1
Inkonsistensi proses penakaran pada mesin pengemas menyebabkan pergeseran massa produk dari rentang spesifikasi yang telah ditentukan. Jika operator sampai harus menghentikan mesin untuk tindakan penyesuaian, maka waktu breakdown tersebut dikategorikan sebagai tindakan stel timbangan. Berdasarkan catatan perusahaan, diketahui bahwa kegiatan stel timbangan paling besar kontribusinya baik dari segi jumlah kejadian maupun waktu breakdown mesin pengemas pada tahun 2009. Tercatat sebanyak 3.836 kali kejadian penyesuaian timbangan yang setara dengan 25,78% dari total kejadian breakdown mesin pengemas. Stel timbangan juga tercatat sebagai penyebab terbesar waktu breakdown sebesar 901,12 satuan waktu setara dengan 16,89% dari total waktu breakdown mesin pengemas. Jika nilai sebuah sachet produk adalah Rp 300,00 maka kehilangan waktu produktif akibat breakdown tersebut bernilai setara dengan Rp 5.910.537.000,00 tanpa memperhitungkan kerugian bumbu akibat overweight, biaya pengerjaan ulang (rework) akibat underweight, dan biaya lembur untuk mengejar target produksi. B. TUJUAN Tujuan dari kegiatan magang ini di PT Unilever Indonesia, Cikarang adalah mengidentifikasi permasalahan inkonsistensi proses penakaran yang merupakan sumber penyebab tingginya angka breakdown mesin pengemas akibat kegiatan stel timbangan. Selain mengidentifikasi, diharapkan dapat menghasilkan saran konstruktif dan aplikatif bagi perusahaan untuk mengatasi masalah inkonsistensi proses penakaran mesin pengemas bumbu pelezat serbaguna.
2
II.
TINJAUAN UMUM PERUSAHAAN
A. SEJARAH DAN PERKEMBANGAN PT UNILEVER INDONESIA Dua bersaudara William Hasketh Lever dan James Darcy Lever mendirikan perusahaan yang bernama Lever Brothers pada tahun 1885 di Inggris. Perusahaan Lever Brothers memproduksi sabun cuci dengan merek Sunlight. Perusahaan terus berkembang didukung oleh teknik pemasaran yang sangat baik dan mulai memproduksi sabun mandi dengan merek Lux dan Lifebuoy. Sejak tahun 1868 perusahaan milik keluarga Anton Jurgens memproduksi margarin. Pada tahun 1927 perusahaan ini bergabung dengan perusahaan margarin milik keluarga Van den Berg dan menamakan perusahaan mereka Margarine Unie di Belanda dan Margarine Union untuk cabang perusahaan di Inggris. Pada tahun 1929 Perusahaan Lever Brothers dan Margarin Union bergabung dan mengganti nama mereka menjadi Unilever. Sejak awal berdiri, Unilever mengadopsi strategi ganda yang melibatkan pusat komando di London (Unilever PLC) dan di Rotterdam (Unilever NV). Unilever terus berkembang berkembang sebagai perusahaan yang bertaraf internasional dengan produk kebutuhan sehari-hari sperti sabun, detergen, shampo, pasta gigi, kosmetik, makanan, minuman, es krim dan jasa distribusi serta jasa penelitian pasar. PT Unilever Indonesia Tbk. didirikan pada 5 Desember 1933 sebagai Zeepfabrieken N.V. Lever dengan akta No.33 yang dibuat oleh Tn. A.H. van Ophuijsen, notaris di Batavia. Akta ini disetujui oleh Gubernur Jenderal van Raad van Justitie di Batavia dengan No.302 pada tanggal 22 Desember 1933 dan diumumkan dalam Javasche Courant pada tanggal 9 Januari 1934. Dengan akta no.171 yang dibuat oleh notaris Ny. Kartini Mulyadi tertanggal 22 Juli 1980, nama perusahaan di ubah menjadi PT Unilever Indonesia. Dengan akta no.92 yang dibuat oleh notaris Tn. Mudofir Hadi, S.H. tertanggal 30 Juni 1997, nama perusahaan diubah menjadi PT Unilever Indonesia Tbk. Akta ini disetujui oleh Mentri Kehakiman dengan keputusan No.C2-I.049HT.01.04TH.98 tertanggal 23 Februari 1998 dan di umumkan di Berita Negara No.2620 tanggal 15 Mei 1998. 3
Gambar 1. Logo Produk-produk PT Unilever Indonesia Sumber: http://unilever.com
Kantor pusat PT Unilever Indonesia Tbk. berlokasi di gedung Graha Unilever, Jl. Jendral Gatot Subroto Kav. 15, Jakarta 12930. Lokasi pabrik yang beralamatkan di Kawasan Industri Cikarang Jl. Jababeka Raya Blok O terdiri dari tiga pabrik Foods, yaitu pabrik Spread Cooking Category and Culinary (SCC&C), Tea Based Beverage (TBB), dan Ice Cream (IC). Sementara untuk produk Non Soap Detergent and Liquid berada di Kawasan Industri Cikarang Jl. Jababeka IX Kav. D1-29, serta di Rungkut, Surabaya dan di Subang untuk pabrik Kecap BANGO. PT Unilever Indonesia Tbk. berhasil mendapat pengakuan di tingkat nasional dan internasional dengan menerima 66 penghargaan di tahun 2008, diantaranya yaitu: 1.
The Asian Most Admired Knowledge Enterprise (MAKE) 2008, sebagai perusahaan Indonesia yang paling diminati di Asia dan memenangkan keseluruhan kategori.
2.
International Energy Globe Award 2008, program Inovasi Pendidikan, dimana Unilever Indonesia sebagai salah satu pemenang World Energy
4
Globe Award. Pada program ini Unilever mendapat kehormatan sebagai pemenang nasional untuk Indonesia. 3.
The Indonesia Best Brand Award 2008, yaitu sebelas produk Unilever Indonesia menerima IBBA seperti Sunlight, Pepsodent, Lux, Lifebuoy, Sunsilk, Pond’s, Rinso, Citra, dan Molto.
4.
Zero Accident Award, Unilever Indonesia menerima penghargaan dari Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi untuk Nilai Kecelakaan dan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja.
5.
Indonesia Best Packaging Award 2008 yang dinilai berdasarkan hasil survei oleh Marketing Extra Magazine.
B. VISI DAN MISI Visi Unilever Indonesia adalah “Menjadi pilihan utama bagi konsumen, pelanggan dan masyarakat”. Untuk mencapai visi tersebut, Unilever memiliki misi, yaitu menambah vitalitas dalam kehidupan, serta memenuhi kebutuhan nutrisi, kebersihan, dan perawatan pribadi sehari-hari dengan produk-produk yang membantu para konsumen agar merasa nyaman, berpenampilan baik, dan lebih menikmati hidup. Unilever memiliki akar yang kokoh dalam budaya dan pasar lokal di dunia sehingga memiliki hubungan yang erat dengan konsumen dan merupakan landasan pertumbuhan Unilever di masa depan. Unilever juga menyertakan kekayaan pengetahuan dan keahlian internasional dalam melayani konsumen lokal, menjadikan Unilever sebagai perusahaan multinasional yang multi-lokal. Keberhasilan
jangka
panjang
Unilever
menuntut
komitmen
menyeluruh terhadap standar kinerja dan produktivitas yang sangat tinggi, terhadap kerjasama yang efektif dan kesediaan untuk menyerap gagasan baru serta keinginan untuk belajar secara terus-menerus. Dengan misi yang diemban Unilever, diharapkan dapat mencapai pertumbuhan perusahaan yang langgeng dan menguntungkan, untuk menciptakan nilai jangka panjang yang berharga bagi para pemegang saham, karyawan, dan mitra usaha.
5
C. LOGO Pada tahun 2005, Unilever mengganti logo perusahaannya menjadi sebuah logo yang menggambarkan visi dan misi Unilever terhadap peningkatan vitalitas kehidupan melalui berbagai produknya. Logo baru terdiri atas 22 icon berbeda dimana setiap icon tersebut melambangkan produk Unilever dan tersusun dalam huruf “U”. Setiap 22 icon tersebut memiliki makna tersendiri.
Gambar 2. Logo Unilever Sumber: http://unilever.com
D. ORGANISASI DAN PENGELOLAAN Struktur organisasi PT Unilever Indonesia Tbk. dilandasi oleh penentuan tugas dan tanggung jawab yang jelas. Karyawan yang direkrut akan diseleksi dengan teliti, mendapatkan pelatihan, dan pengembangan agar dapat memberikan kontribusi yang berkualitas tinggi terhadap perusahaan. PT Unilever Indonesia Tbk. menggunakan struktur organisasi staf dan lini yang artinya tanggung jawab tertentu dibagi antara spesialis dan staf, tetapi melaporkan kepada pemimpin yang bertanggung jawab secara keseluruhan
6
atas operasi usaha. Tugas dan tanggung jawab dari masing-masing bagian struktur tersebut adalah sebagai berikut: 1.
Supply Chain Director mengkoordinasikan aktivitas teknik dari kegiatan perusahaan dan bertanggung jawab memastikan efektivitas dan efisiensi pelaksanaan dari seluruh sistem manajemen mutu perusahaan.
2.
Technical Manager Foods bertanggung jawab atas efektivitas dan efisiensi manajemen dari seluruh segi operasi, memastikan persediaan produk dengan mutu yang baik, biaya rendah, dan tepat waktu.
3.
Production Manager bertanggung jawab mengelola mutu produk sesuai dengan spesifikasi kondisi proses, memastikan bahan mentah, materi pengemas, dan produk akhir disimpan dalam kondisi yang sesuai, mudah digunakan, dan mudah dipindahkan.
4.
Assistant Production Manager bertanggung jawab untuk membantu Production
Manager
dalam
semua
proses
manufaktur
yang
berhubungan dengan produksi. 5.
Warehouse Supervisor bertugas melakukan supervisi terhadap aktivitas operasional dan administrasi di gudang berdasarkan prosedur.
6.
TPM Facilitator bertugas untuk memfasilitasi implementasi metodologi TPM perusahaan dan memaksimumkan produktivitas peralatan dan mesin. Perusahaan menerapkan Total Productive Maintenance (TPM), yaitu
suatu sistem yang bertujuan untuk meningkatkan produktivitas, didasarkan atas perbaikan peralatan dan sikap kerja karyawan yang melibatkan top manager hingga packer, untuk mencapai target zero failure, zero defect, dan zero accident. Selain itu, TPM juga merupakan suatu proses untuk memaksimalkan produktivitas peralatan dan mesin sepanjang umur pakai peralatan dan mesin tersebut. Sasaran TPM adalah memaksimalkan Overall Equipment Effectiveness (OEE) untuk menurunkan downtime yang tidak terencana, sehingga kapasitas peralatan itu meningkat dan biaya menurun.
7
Supply Chain Director
Technical Manager Foods
Production Manager
Warehouse Supervisor
Raw Material Supervisor
Ass. Production Manager
TPM Facilitator
Production Supervisor
Finished Product Supervisor Team Leader
Operator
Operator
Adm. Production
Substore Handle
Operator
Gambar 3. Struktur Organisasi Pabrik Divisi SCC & C E. KETENAGAKERJAAN PT Unilever Indonesia Tbk. memiliki dua jenis tenaga kerja, yaitu staf dan non staf. Staf terdiri dari Technical Manager hingga Assistant Manager, sedangkan non staf dibagi menjadi tiga golongan berdasarkan pada tanggung jawab (job class), yaitu: 1.
Golongan A terdiri dari operator, packer, dan gluer.
2.
Golongan B teridiri dari operator, sopir, dan mandor.
3.
Golongan C terdiri dari supervisor, sekretaris, karyawan administrasi, dan analis. PT Unilever Indonesia Tbk. juga menggunakan tenaga kerja kontrak
yang berasal dari berbagai perusahaan tenaga kerja. Hingga bulan Maret 2010, jumlah karyawan PT Unilever Indonesia Tbk. yaitu 669 orang yang
8
terdiri atas karyawan kontrak sebanyak 395 orang dan karyawan permanen sebanyak 274 orang. Tenaga kerja bagian staf dan administrasi (dinas normal) mempunyai jam kerja yang dimulai pukul 07.30 sampai 15.00 untuk hari Senin sampai Jumat dan pukul 07.30 sampai 13.00 untuk hari Sabtu dengan waktu istirahat dari pukul 11.30 sampai 12.30. Tenaga kerja dinas shift (regu) bekerja selama 8 jam kerja dari hari Senin sampai Sabtu dengan waktu istirahat selama 30 menit. Pembagian shift per hari yang diterapkan adalah sebagai berikut: 1.
Shift pagi bekerja dari pukul 06.00 sampai 14.00 dengan waktu istirahat dari pukul 09.30 sampai 10.00.
2.
Shift siang bekerja dari pukul 14.00 sampai 22.00 dengan waktu istirahat dari pukul 17.30 sampai 18.00.
3.
Shift malam bekerja dari pukul 22.00 sampai 06.00 dengan waktu istirahat dari pukul 02.00 sampai 02.30. Pengisian daftar hadir karyawan menggunakan kartu prick clock yang
diisi pada saat masuk dan pulang kerja. Kerja lembur akan dilaksanakan bila ada pekerjaan yang tidak bisa dilaksanakan pada jam kerja normal. Sistem pengupahan karyawan PT Unilever Indonesia Tbk. berdasarkan atas tanggung jawab pekerjaan atau prestasi karyawan tersebut. Dalam pelaksanaannya akan mengacu pada faktor-faktor seperti indeks harga konsumen, tingkat pengupahan, tingkat perkembangan ekonomi, dan kemampuan perusahaan.
9
III. TINJAUAN PUSTAKA A. BUBUK (POWDER) Bubuk curah (bulk powder) terdiri dari kumpulan individu partikel yang sangat beragam karakteristiknya (ukuran, bentuk, dan konsistensi) yang sangat sulit untuk diukur secara akurat pada setiap partikel yang ada (Schulze, 2008). Bubuk tidak dapat dianggap sama dengan cairan walaupun bubuk memiliki sifat mengalir. Padatan dapat membentuk gundukan sementara cairan tidak mampu (Marinelli, 2005). Menurut Barbosa-Cánovas et al. (2005), bubuk diperhitungkan sebagai sistem dispersi dua fase terdiri dari fase terdispersi partikel padat yang berbeda-beda ukurannya dan gas sebagai fase kontinu. Susunan partikel-partikel bubuk dalam suatu ruang dapat membentuk formasi yang tidak menentu dan dapat berubah. Beberapa kondisi formasi struktur internal partikel-partikel bubuk dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Keadaan Struktur Internal Bubuk Sebelum dan Setelah Pemampatan Sumber : Peleg (1983)
Posisi dan besarnya rongga (void) antar-partikel yang terbentuk bersifat acak bergantung dari formasi partikel-partikel yang terbentuk saat partikel-partikel bubuk mengalir secara acak masuk ke dalam wadah memenuhi ruang wadah. Kondisi rongga yang terbentuk dipengaruhi oleh gaya antar-partikel (Peleg, 1983). Selain itu faktor lain seperti keseragaman serta distribusi ukuran partikel juga mempengaruhi peluang susunan formasi
10
partikel-partikel yang terbentuk. Formasi susunan partikel dan rongga dapat berubah susunannya dan berbeda-beda bergantung pada ada atau tidaknya perlakuan yang memampatkan (penggetaran, pengadukan, dan penekanan) dan tentunya pengaruh dari karakteristik fisik partikel itu sendiri. B. KARAKTERISTIK FISIK BUBUK Barbosa-Cánovas dan Juliano (2005) menyatakan bahwa karakteristik fisik dari bubuk secara umum saling bergantung antara satu dengan yang lainnya. Perubahan distribusi ukuran partikel atau kadar air dapat menghasilkan perubahan simultan terhadap densitas kamba, flowability, dan penampakan visual. Perubahan apapun dari karakteristik bubuk dapat menghasilkan perubahan yang signifikan terhadap densitas kamba bubuk (Peleg, 1983). Hubungan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap densitas kamba dapat dilihat pada Gambar 5. Tingkat kelengketan bubuk sendiri dipengaruhi beberapa fakor yang dijelaskan hubungannya oleh Gambar 6. Karakterisasi keseluruhan dari material bubuk bergantung pada sifat dari partikel sebagai entitas tunggal, sifat partikel yang dibentuk, dan interaksi antara yang dibentuk tersebut dengan cairan. Karakteristik partikel tunggal berpengaruh penting terhadap sifat produk diantaranya ukuran partikel, bentuk, permukaan, densitas, kekerasan, sifat adsorpsi, dan sebagainya, namun ukuran partikel adalah yang paling utama dan penting. Selain ukuran partikel, distribusi ukuran partikel (particle size distribution) secara langsung berhubungan dengan kelakuan material dan sifat fisik dari produk. Densitas kamba, kompresibilitas (compressibility), dan kemudahan mengalir (flowability) dari bubuk pangan sangat bergantung pada ukuran partikel dan distribusinya (Barbosa-Cánovas et al., 1987). Perubahan yang sangat kecil pada densitas kamba bubuk dapat menyebabkan perubahan kemudahan mengalir (flowability) yang besar (Levy dan Kalman, 2001). Menurut Peleg (1977), distribusi ukuran juga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kemudahan mengalir (flowability). Beberapa penelitian terdahulu tersebut menunjukkan hubungan yang sangat rumit antara parameter karakteristik bubuk yang satu dengan yang lainnya.
11
Gambar 5. Faktor yang Mempengaruhi Densitas Kamba Bubuk Sumber : Peleg (1983)
Sifat curah (bulk properties) dari bubuk pangan adalah fungsi dari sifat fisik dan kimia dari material, geometri, ukuran, dan karakteristik permukaan dari masing-masing partikel, juga sama halnya dengan sejarah sistem secara keseluruhan. Kelakuan material bergantung pada cara bagaimana kondisi kompaksi partikel-partikel curah. Bubuk yang sedikit lengket (kohesif) dapat mengalir melewati lubang, tetapi jika dipadatkan dengan sedikit ketukan, aliran bisa saja tidak terjadi akibat formasi stabil yang menutupi lubang. Sejarah yang dialami material curah dapat berdampak besar terhadap sifat dan kelakuan material tersebut, sehingga lini manufakturing yang optimal tidak bisa dicapai dengan alat tertentu yang optimal saja, melainkan secara keseluruhan pada waktu yang bersamaan (Levy dan Kalman, 2001).
12
Gambar 6. Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Kohesif Bubuk Sumber : Peleg (1983)
C. KEMUDAHAN MENGALIR BUBUK (FLOWABILITY) Terminologi
kemudahan
mengalir
bubuk
(flowability)
jarang
digunakan dan umumnya dipahami hanya berhubungan dengan metode untuk mengukurnya saja dibandingkan pengaruhnya terhadap proses. Sebenarnya alasan utama pengukuran flowability bubuk adalah kaitannya dengan kelakuan bubuk tersebut di dalam proses produksi yang tentunya berkaitan dengan interaksinya terhadap peralatan dan proses produksi (Prescott dan Barnum, 2000). Aliran bubuk didefinisikan sebagai pergerakan relatif partikel-partikel curah terhadap partikel-partikel lain di sekitarnya atau sepanjang permukaan dinding wadah (Peleg, 1977). Karakteristik bubuk sangat besar kepentingannya di dalam banyak situasi penanganan dan penyimpanan bahan. Gaya tarik-menarik di antara partikel yang lebih besar jika dibandingkan dengan berat partikel itu sendiri didefinisikan sebagai
13
kohesif. Bubuk kohesif biasanya menunjukkan masalah aliran. Prakteknya, material kohesif dapat gagal untuk mengalir keluar dari wadah dengan bukaan sekitar ribuan kali lebih besar dari diameter partikel tersebut. Masalah aliran mucul pada bubuk kohesif manapun, tetapi lebih serius pada bubuk pangan karena mereka umumnya mengandung substansi lengket (seperti lemak) atau akibat sifat higroskopis, suhu, dan lama waktu konsolidasi (Barbosa-Cánovas et al., 2005). Untuk menjamin aliran yang tetap dan dapat diandalkan (reliabel), sangat penting untuk mengkarakterisasi kelakuan aliran bubuk dengan akurat. Gaya-gaya yang terkait di dalam aliran bubuk adalah gravitasi, gesekan, kohesi (tarik-menarik antara partikel), dan adhesi (tarik-menarik partikel dengan dinding peralatan). Lebih lanjut sifat permukaan partikel, bentuk, ukuran, dan distribusi ukuran partikel, dan geometri dari sistem adalah faktor yang mempengaruhi kemudahan mengalir (flowability) dari bubuk tersebut. Fitzpatrick (2005) menyatakan bahwa terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi kemudahan mengalir (flowability) bubuk yaitu: 1. Bentuk dan ukuran partikel. Ukuran partikel merupakan pengaruh utama bagi flowability. Semakin kecil ukuran partikel, flowability semakin buruk akibat peningkatan gaya interaksi antara partikel. Distribusi ukuran partikel biasanya disajikan dalam distribusi fraksi massa atau volume. Jika sebagian besar partikel berada dalam ukuran yang lebih kecil maka flowability menjadi jauh lebih buruk dari yang diharapkan. Bentuk partikel mempengaruhi permukaan kontak partikel namun tidak banyak bukti bahwa bentuk partikel mempengaruhi flowability. 2. Interaksi permukaan. Interaksi permukaan yang menahan aliran bumbu dapat dibedakan menjadi friksi internal dan kohesi. Friksi internal adalah tahanan friksi sebuah partikel bergerak di bawah tekanan gaya normal. Gaya kohesi adalah saat tidak ada gaya normal namun masih terdapat gaya tarik menarik antara partikel yang dapat mencegah terjadinya aliran. Gaya van der Waals antara partikel biasanya memiliki pengaruh yang paling besar. Kehadiran cairan, biasanya air atau lemak
14
cair, memberi kontribusi yang besar terhadap kohesi. Cairan pada permukaan partikel akan meningkatkan luas kontak antar-partikel. Pada cairan tertentu, jembatan cairan (liquid bridge) akan terbentuk diantara partikel yang bersentuhan dan membentuk gaya kapiler sebagai hasil dari tegangan permukaan. Gaya interaksi van der Waals antara partikel akan sangat banyak berkurang karena keberadaan cairan, namun gaya kapiler biasanya jauh lebih kuat daripada gaya van der Waals. 3. Kadar air. Sebagian besar bubuk pangan biasanya memiliki kesetimbangan kelembaban relatif (equilibrium relative humidity) di bawah 25% pada suhu 20oC. Kelembaban relatif yang lebih tinggi dari 25% menjadi tenaga pendorong (driving force) penyerapan uap air ke dalam bahan. Walaupun demikian tingkat difusi uap air ke dalam bubuk curah sangat kecil sehingga hanya bubuk pada bagian yang terpapar saja yang akan menyerap uap air dan memerlukan periode waktu yang sangat panjang untuk uap air menyerap ke dalam gundukan bubuk. Peningkatan kadar air bubuk biasanya memiliki pengaruh yang besar terhadap flowability bubuk yang menjadi lebih buruk akibat terbentuk jembatan cairan dan gaya kapiler antara partikel. 4. Penggumpalan (caking). Caking terjadi ketika partikel bubuk menempel menjadi satu dan mengeras permukaannya pada permukaan gundukan bubuk yang terpapar, atau gumpalan keras (lump) di dalam bubuk curah, atau kemungkinan terburuknya adalah pengerasan di seluruh gundukan bubuk. Penyebab caking secara luas disebabkan oleh kohesi yang sangat kuat dan pembentukan jembatan padatan (solid bridge) di antara partikel. Gaya kohesi yang sangat besar dapat terbentuk melalui pemadatan, gaya van der Waals berinteraksi lebih kuat akibat jarak antar-partikel yang dekat sehingga dapat membentuk gumpalan. Partikel yang plastis juga dapat meningkatkan gaya kohesi dengan besar. Pemanasan bubuk pangan sampai suhunya lebih besar dari sticky point temperature juga meningkatkan gaya kohesi. Bubuk higroskopis yang telah menyerap uap air dapat berubah menjadi bongkahan padat. Caking bubuk pangan karena pembentukan jembatan padatan (solid
15
bridge) dapat terbentuk melalui beberapa mekanisme. Pelelehan dan pembekuan lemak juga dapat menyebabkan jembatan padatan (solid bridge) dimana peningkatan suhu menyebabkan lemak padat meleleh menghasilkan cairan yang dapat terdistribusi dengan sendirinya di antara partikel. Jika kemudian suhu berkurang, lemak cair tersebut akan mengeras dan membentuk jembatan padatan (solid bridge) diantara partikel. Penyerapan uap air oleh bubuk yang larut air dapat menyebabkan komponen pada permukaan terlarutkan dan membentuk larutan di antara partikel. Perubahan kondisi udara yang menimbulkan efek pengeringan membentuk jembatan padatan (solid bridge) antarpartikel sehingga terbentuk gumpalan keras. 5. Kondisi penyimpanan. Kondisi penyimpanan yang dapat memberi pengaruh adalah suhu penyimpanan, paparan terhadap kelembaban relatif udara, lama waktu penyimpanan, dan peleburan. Secara umum, variasi suhu penyimpanan di atas 30 atau 40 oC biasanya bukanlah pengaruh utama terhadap flowability bubuk jika tidak terjadi pelelehan komponen atau tidak ada komponen yang melewati suhu transisi gelas (glass transition temperature) atau sticky point temperature. Pada bubuk pangan yang mengandung lemak padat, peningkatan suhu dapat menyebabkan pelelehan lemak menimbulkan jembatan cairan (liquid bridge) lengket sehingga terjadi peningkatan kohesi. D. PENCAMPURAN KERING (DRY MIXING) Di dalam bidang pertanian dan pengolahan pangan, operasi mixing sering digunakan untuk mencampur berbagai bahan.
Unit operasi
pencampuran (mixing) di mana dua atau lebih material saling terdispersi dalam ruang adalah unit operasi tertua dan paling sedikit dimengerti sampai saat ini di dalam bidang process engineering (Barbosa-Cánovas et al., 2005). Mixing juga dapat diartikan sebagai homogenisasi untuk mencapai distribusi seragam dari berbagai komponen secara keseluruhan material yang diberi perlakuan (Gyenis, 2001). Secara khusus mixing digunakan di dalam industri pangan dengan tujuan utama untuk mengurangi ketidakseragaman dan gradien dalam hal karakteristik antar-bagian dari sistem seperti konsentrasi, 16
tekstur, warna, atau rasa. Pencapaian tingkat keseragaman yang dibutuhkan dapat beragam, namun sebagian besar penting untuk mencapai campuran yang seimbang dalam hal nutrisi dan sensori yang dapat diterima. Pergerakan setiap bahan secara menyeluruh dibutuhkan agar terjadi proses pencampuran sekaligus tercapai tingkat kehomogenan atau keseragaman distribusi yang diharapkan. Menurut Manjunath et al. (2004), beberapa tujuan mixing yang umum dilakukan industri adalah: 1. Pencampuran produk untuk homogenisasi mutu atau mengurangi variasi 2. Pencampuran bahan aktif dengan material carrier 3. Pencampuran campuran multikomponen sebagai suatu formulasi 4. Pelapisan (coating) partikel carrier dengan komponen kohesif 5. Pencampuran beberapa bubuk berukuran kecil untuk menciptakan campuran homogen pada tingkat partikulat (premix) 6. Pelapisan (coating) cairan aditif pada bahan baku utama Pencampuran bubuk dan partikulat lebih sulit didefinisikan dan dievaluasi dibandingkan pencampuran fluida. Pangan dalam bentuk bubuk adalah sistem yang rumit dan sifatnya berbeda-beda selama proses mixing. Pencampuran bubuk terutama dipengaruhi oleh waktu mixing, desain mixer (ukuran, bentuk, geometri pedal, dan kecepatan putaran), dan jenis bubuk yang dicampurkan. Karakteristik bahan seperti tingkat kohesi memiliki pengaruh sehingga proses mixing bubuk pangan adalah sebuah proses yang rumit. Pencampuran bubuk (powder mixing) adalah proses pencampuran dua atau lebih material bubuk untuk menghasilkan suatu campuran bubuk yang homogen, jika diperlukan sejumlah cairan dapat ditambahkan (Miyanami, 2006). Aglomerasi partikel dapat terjadi dengan keberadaan cairan (StanleyWood, 2008) Selama proses mixing terjadi tiga macam mekanisme pergerakan partikel secara simultan yang menyebabkan terjadinya pencampuran yaitu convective mixing, diffusion mixing, dan shear mixing. Convective mixing adalah pergerakan massa sekelompok partikel dari satu lokasi ke lokasi yang lain, sementara diffusion mixing partikel secara individu bergerak acak dalam 17
campuran. Pada shear mixing, sekelompok partikel tercampur akibat perubahan momentum partikel-partikel bubuk yang memiliki perbedaan kecepatan. Pencapaian tingkat ketercampuran (degree of mixedness) merupakan fungsi waktu dari operasi proses mixing. Menurut Barbosa-Cánovas et al. (2005), convective mixing dominan terjadi pada awal proses mixing. Kemudian convective dan shear mixing pada tahap pertengahan terjadi cukup stabil. Pada tahap terakhir mekanisme diffusion mixing mulai terjadi dan tercapai
kesetimbangan
antara
proses
pencampuran
dan
pemisahan
(segregasi). Tingkat ketercampuran (M∞) pada tahap akhir tersebut adalah nilai tertinggi yang dapat diperoleh. Kondisi operasi dan karakteristik bubuk mempengaruh nilai (M∞) secara signifikan. Walaupun demikian mekanisme pencampuran sebenarnya jauh lebih kompleks dari yang telah dijelaskan. Menurut Manjunath et al. (2004), pencampuran fase solid-solid adalah unit operasi yang selalu terdapat di dalam proses-proses partikulat dimana konsistensi dan homogenitas dari produk adalah kebutuhan utama. Kualitas dari proses pencampuran sering menjadi kunci dari mutu produk. Mixing juga dapat dilakukan bersama dengan kombinasi unit operasi lainnya seperti aglomerasi, reduksi ukuran, pelapisan partikel, dan reaksi kimiawi. Seringkali pemilihan unit operasi yang tepat dapat mengurangi biaya dari proses dengan penggabungan dua unit operasi. Pemilihan mixer yang tepat dimulai dengan pemahaman kebutuhan proses (seperti kapasitas, tingkat ketercampuran yang diharapkan, kebutuhan integritas batch) dan karakteristik material (seperti distribusi ukuran partikel, kelengketan, ukuran partikel, abrasiveness) E. MESIN PENCAMPUR (MIXER) Manjunath et al. (2004) mengklasifikasikan sebagian besar mixer industri secara umum dalam kategori sebagai berikut: 1. Tumbling mixers (V-cone, Double cone, dll.) 2. Agitated mixers a. Paddle mixers dan plow mixers b. Ribbon mixers (vertikal dan horizontal) c. Screw mixers (vertikal, horizontal, dan orbiting types) 18
d. Sigma-blade dan Z-blade mixer e. Forberg mixer 3. Gravity silo blenders 4. Pneumatic blenders 5. High intensity mixers a. Henschel mixer b. Paddle mixer 6. High-intimacy atau high-shear mixer a. Muller mixer b. Compaction rollers Jenis agitating mixer umumnya terdiri dari tabung yang tidak bergerak (horizontal atau vertikal) dengan shaft tunggal atau ganda yang terdapat perangkat pengaduk (paddles, plows, atau ribbon). Selama pencampuran partikel terhempas secara acak dan mengalami shearing atau terfluidisasi secara mekanis, bergantung pada kecepatan putaran paddles atau plows dan karakteristik bubuk yang ditangani. Di dalam agitating mixer, mixing sebagian besar disebabkan oleh pergerakan partikel secara acak dari satu titik ke titik yang lain. Terdapat kombinasi shear mixing dan convective mixing yang terjadi di dalam mixer. Mixer jenis ini dapat menangani bahan dengan kisaran karakteristik yang luas mulai dari free-flowing, kohesif, atau bahkan pasta. Bergantung dari kebutuhan, saat mixing berlangsung dapat dilakukan injeksi cairan untuk proses aglomerasi lebih lanjut atau aplikasi kerja choppers atau delumpers untuk memecahkan aglomerat yang terbentuk.
Gambar 7. Agitator Plow Mixer dan Arah Aliran Bahan Sumber : Manjunath et al. (2004)
19
Plows membantu untuk mengangkat padatan menciptakan chaotic motion sehingga terjadi pencampuran. Pada kecepatan relatif rendah yang disebut cascading, bubuk tercampur seperti mekanisme yang terjadi di dalam tumbling mixers. Pada kecepatan menengah yang disebut cataracting, bubuk terangkat oleh plows dan jatuh dengan cara sliding, rolling, atau cascading. Pada kecepatan yang lebih tinggi yang disebut equilibrium regime, bubuk sebagian besar terangkat oleh plows dan akhirnya terhempaskan. Oleh karena itu, waktu yang sesuai untuk pengoperasian plow mixers bergantung pada karakteristik fisik produk dan kecepatan rotasi dari mixer.
Gambar 8. Forberg Mixer Sumber : Manjunath et al. (2004)
Waktu mixing bergantung pada tingkat kohesi bubuk yang ditangani. Semakin tinggi kohesi, durasi waktu mixing yang dibutuhkan semakin meningkat. Walaupun demikian, peluang terjadinya segregasi setelah bahan dikeluarkan dari mixer menjadi berkurang akibat gaya kohesi bahan. Menurut Manjunath et al. (2004), paddle mixers lebih efisien dibandingkan plow mixer dalam hal kualitas pencampuran dan durasi waktu mixing. Jenis Forberg mixer pada prinsipnya adalah paddle mixer dengan shaft ganda. Forberg mixer mampu mencapai derajat ketercampuran yang dapat diterima (coefficient of variation di bawah 10%) hanya dalam ± 20% waktu yang dibutuhkan oleh jenis plow mixer untuk mencapainya
20
F. KLASIFIKASI CAMPURAN Muzzio et al. (2004) berpendapat bahwa di dalam seluruh kurikulum bidang engineering, proses yang bergantung pada pencampuran (seperti reaksi kimia, kristalisasi, dan pengisian) mengasumsikan bahwa campuran tersebut homogen. Khususnya untuk partikel yang ukurannya relatif kecil cenderung untuk terlihat lebih seragam jika dilihat dengan mata telanjang dibandingkan kondisi sebenarnya. Hal ini juga umumnya sering terjadi di dalam perilaku terhadap menandang tingkat kehomogenan campuran bubuk. Sayangnya di dalam kenyataan, campuran cenderung menunjukkan paling tidak sedikit tingkat keheterogenan membentuk tipe campuran yang berbeda yang dipengaruhi oleh salah satu dari tiga penyebab utama yaitu incomplete mixing, agglomeration, dan segregation.
(a)
(b)
(c)
(d)
Gambar 9. Skema Distribusi Campuran Partikel. (a) perfect mixture (b) random mixture (c) perfect ordered mixture (d) random ordered mixture Sumber : Muzzio et al. (2004)
Konsep sistem homogen yang paling utama dan paling sederhana adalah campuran yang secara sempurna seragam pada seluruh bagian formasi (Gambar 9a). Formasi sempurna tersebut tidak akan pernah benar-benar terjadi di dalam kenyataan melainkan pada umumya kondisi terbaik terjadi seperti yang ditunjukkan pada Gambar 9b dengan acuan kesesuaian proporsi komponen-komponen di dalam campuran dengan proporsi masing-masing komponen bahan penyusun campuran tersebut. Untuk sistem kohesif yaitu terdapat gaya permukaan di antara partikel, umumnya teramati pembentukan aglomerat (partikel gabungan yang dianggap sebagai suatu sepesies partikel baru) yang terdiri dari beberapa partikel yang sejenis atau berbeda jenis bergantung pada gaya interaksi antar-partikel. Pada kondisi demikian, secara konsep disebut sebagai ordered mixture. Sama seperti konsep awal mengenai 21
kehomogenan, distribusi partikel gabungan dapat membentuk susunan ideal secara sempurna seragam seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 9c atau secara acak dengan sedikit kurang homogen seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 9d. Menurut Manjunath et al. (2004), ketika dua atau lebih komponen interaktif dicampur, sebuah struktur atau susunan dapat terbentuk sebagai hasil dari aglomerasi atau kohesi dari komponen yang satu dengan komponen yang lain. Ordered mixture yang sempurna dapat diperoleh dengan cara: 1. Aplikasi energi yang cukup untuk memecahkan gumpalan dan mendistribusikannya pada permukaan kosong partikel carrier. 2. Memastikan tercapainya pergerakan acak partikel carrier. Bentuk campuran interactive dan noninteractive dapat menjadi dasar dari variasi tipe campuran yang lain. Jelas terdapat beberapa kombinasi yang memungkinkan, bergantung pada jumlah komponen dan bentuk interaksi mereka seperti yang ditunjukkan pada Gambar 10. Dapat dikatakan bahwa densitas dan sifat mekanis dari berbagai campuran akan bergantung pada ukuran dan sifat permukaan dari partikel agregat yang harus diperlakukan seolah mereka adalah spesies partikel yang baru (Peleg, 2005).
Gambar 10. Skema Beberapa Tipe Campuran Partikel Sumber : Peleg (2005)
22
Menurut Peleg (2005), campuran dapat dibagi menjadi dua tipe utama dengan titik berat perbedaan struktur yaitu: 1. Noninteractive atau random mixtures. Umumnya bubuk atau material granular dengan ukuran partikel yang kurang lebih seragam. Partikelpartikel dapat bergerak dengan bebas dengan sedikit interupsi karena tidak ada gaya interaksi antar-partikel yang cukup signifikan. Akibatnya setiap partikel memiliki peluang yang sama untuk ditemukan di manapun di dalam curah. Selain itu, partikel dari setiap spesies yang ada lebih cenderung terdistribusi secara merata dan acak di sekitar partikel lainnya di dalam campuran. Jika perbedaan diantara komponenkomponen tersebut kecil atau tidak ada, campuran tersebut pada dasarnya stabil dan tidak akan terjadi segregasi. 2. Interactive atau ordered mixtures. Campuran tersebut biasanya terbentuk ketika terdapat “carrier” (partikel yang relatif lebih besar ukurannya) dengan permukaan yang dapat berinteraksi dengan partikel yang lebih kecil ukurannya dan cenderung untuk menempel pada carrier. Campuran semacam ini terbentuk seperti saat penambahan anti kempal ke dalam bubuk utama atau ketika pewarna pangan ditambahkan ke dalam campuran gula atau asam untuk membentuk bubuk kering minuman rasa buah. Dapat juga terjadi secara spontan seperti di dalam kasus penambahan partikel yang berukuran lebih kecil pada permukaan yang baru terbentuk selama atau sesaat setelah proses penggilingan. Prinsip dasarnya partikel yang lebih kecil ukurannya melekat pada permukaan carrier yang ukurannya lebih besar dan tidak bebas untuk bergerak. Partikel tersebut tetap terikat pada carrier dan tidak dapat bergerak acak secara individu di dalam curah. G. KRISTALISASI LEMAK Marangoni (2005) menyatakan bahwa lemak biasanya harus didinginkan di bawah titik lelehnya paling sedikit 5 sampai 10oC sebelum mulai terjadi kristalisasi. Jika baru mencapai beberapa derajat sedikit di bawah titik lelehnya, lelehan masih berada pada kondisi metastabil belum membentuk inti kristal. Semakin turun suhu di bawah titik lelehnya, 23
terbentuklah inti kristal stabil pada ukuran kritis yang spesifik. Molekulmolekul lemak harus membentuk konformasi yang spesifik untuk membentuk inti kristal yang stabil. Pengaruh kotoran (impurities) pada proses kristalisasi dapat meningkatkan pembentukan inti kristal atau menghambat karena terjadi gangguan pembentukan formasi yang stabil. Struktur kristal lemak memiliki pengaruh yang sangat besar pada sifat fisik lemak.
Gambar 11. Perubahan Polymorphic Kristalisasi dan Rekristalisasi Lemak Sumber: Wesdorp et al. (2005)
Kemampuan molekul-molekul lemak (trigliserida) untuk mengkristal dalam berbagai bentuk susunan kristal yang dipengaruhi oleh kondisi proses (laju pendinginan, suhu terjadinya kristalisai, laju pengadukan, dan komposisi lemak itu sendiri) disebut dengan polymorphism (Metin dan Hartel, 2005). Humphrey dan Narine (2005) juga menyatakan bahwa lemak fase padat dapat terbentuk dalam beberapa bentuk polymorph yang berbeda dan setiap jenis polymorph dapat membentuk beberapa keadaan mikrostruktur yang berbeda. Ada tiga bentuk polymorphic utama yang telah teridentifikasi di dalam lemak dan minyak yaitu bentuk α, β’, dan β. Bentuk α adalah metastabil dan terus bertransformasi menjadi bentuk yang lebih stabil. Bentuk kristalin β lebih stabil daripada β’. Transformasi bentuk polymorphic dapat terjadi baik melalui atau tanpa melalui proses pelelehan (Marangoni, 2005). Transformasi tanpa melalui pelelehan hanya searah menuju formasi yang lebih stabil dan bersifat eksotermal (Rye et al., 2005). Pada proses pemanasan (pencairan), lemak fase padat berbentuk kristal α memiliki titik leleh yang lebih rendah daripada bentuk β’. Bentuk β’ memiliki titik leleh yang lebih rendah dari bentuk β. Demikian juga dengan tingkat kepadatan dan kestabilan, bentuk kristal α paling kecil dan paling paling besar bentuk kristal β. Walaupun demikian dalam proses kristalisasi
24
lemak (pembekuan dengan penurunan suhu), bentuk α lebih cepat terbentuk dibandingkan bentuk kristal β’ dan β. Menurut Wesdorp et al. (2005), pada setiap triacylglycerol (TAG) hanya terdapat tiga bentuk polymorphic yang berbeda yaitu bentuk α, β’, dan β yang dapat dibentuk secara langsung dari lelehan dengan mengatur besarnya perbedaan suhu di bawah titik leleh. Menurut Sato dan Ueno (2001), sifat polymorphic lemak itu sendiri juga mempengaruhi laju kristalisasi selain kondisi perbedaan suhu di bawah titik leleh. Bentuk β’ adalah bentuk yang stabil untuk TAG berantai genap dan beberapa pada TAG berantai ganjil. Pada beberapa TAG lainnya berubah menjadi bentuk β dalam beberapa menit atau sampai beberapa jam. Dalam TAG campuran, perubahan ini sering tertunda sampai beberapa bulan atau tahun. Dengan demikian bentuk β’ adalah bentuk yang paling sering dijumpai dalam produk lemak umumnya. Bentuk β yang stabil lebih mudah terbentuk pada produk lemak yang memiliki komposisi TAG yang seragam.
Gambar 12. Hubungan yang Mempengaruhi Karakteristik Makro Kristal Lemak Sumber: Rye et al. (2005)
Pengendalian kristalisasi dapat dilakukan dengan memahami karakter dari lemak yang bersangkutan dan faktor-faktor yang mempengaruhi proses kristalisasi. Hubungan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap karakteristik
25
makro lemak padat dapat dilihat pada Gambar 12. Sifat fisik dari fase padat komponen berantai panjang dipengaruhi oleh struktur kristal, oleh karena itu teknologi untuk membuat fase padat yang sesuai dengan yang diharapkan memiliki peranan yang penting di dalam industri (Kaneko, 2001). Parameter yang mempengaruhi kristalisasi lemak diantaranya adalah komposisi kimia, perbedaan suhu di bawah titik leleh, laju penurunan suhu, pengadukan, kemurnian, dan skala operasi (Metin dan Hartel, 2005). H. DESAIN PERALATAN Desain peralatan seperti silo, hopper dan bin biasanya bukanlah tujuan utama dalam melakukan desain pabrik karena mereka tidak banyak berkontribusi dalam proses yang bernilai tambah (Schulze, 2008). Walaupun demikian desain yang tidak sesuai dapat menyebabkan masalah aliran bahan yang berdampak terhadap kualitas produk dan gangguan proses produksi. Indikasi umum terjadinya masalah aliran bahan adalah teramatinya bekas pemukulan pada dinding hopper seperti yang terlihat pada Gambar 13.
Gambar 13. Bekas Pemukulan Mengindikasikan Masalah Aliran Bahan Sumber: Schulze (2008)
Desain hopper dan feeder yang kurang baik menyebabkan pengeluaran bubuk yang tidak seragam seperti yang terjadi pada pola aliran funnel flow. Masalah-masalah aliran dapat terjadi akibat faktor peralatan (seperti desain hopper dan feeder) dan juga faktor karakteristik (seperti friksi 26
terhadap peralatan dan kelengketan) dari material (Schulze, 2008). Pertamatama perlu diketahui karakteristik material untuk melakukan kegiatan desain silo, hopper, dan bin. Industri yang menangani material bubuk curah secara rutin mengalami downtime yang tidak terjadwal, sebagian besar disebabkan oleh kegagalan proses akibat kondisi mampet (hang-up) dan terhentinya aliran (stagnant flow) karena oleh sifat aliran kohesif dan desain peralatan yang tidak sesuai (Johanson, 2005). Menurut Barbosa-Cánovas et al. (2005), berdasarkan sudut pandang pola aliran terdapat tiga macam bentuk dasar yang dapat terjadi di dalam hopper yang simetris ukurannya yaitu mass flow, funnel flow, dan expanded flow. Masing-masing pola aliran dapat dilihat pada Gambar 14. Pola aliran yang terbentuk dalam hopper dipengaruhi oleh faktor desain hopper dan feeder yang menjadi sebuah kesatuan.
Gambar 14. Skema Pola Aliran di Dalam Hopper Sumber: Barbosa-Cánovas et al. (2005)
27
Pada pola aliran mass flow, hopper cukup curam dan halus untuk menyebabkan terjadi aliran dari semua partikel tanpa daerah stagnan atau stabil selama pengeluaran bahan. Semua partikel pada semua titik bergerak di dalam hopper saat terjadi pengeluaran material dari outlet. Pola mass flow dapat menjamin terjadinya pengeluaran seluruh isi bin dengan laju aliran yang seragam, pola urutan “first-in, first-out” (FIFO), dan meminimalkan terjadinya segregasi. Pola mass flow secara umum dianjurkan untuk bahan yang kohesif, berubah seiring waktu, bubuk berukuran partikel kecil, dan bubuk yang tidak boleh mengalami segregasi. Pola aliran funnel flow terjadi ketika hopper tidak cukup curam atau halus untuk menyebabkan bumbu mengalir di sepanjang dinding hopper. Pola ini juga terjadi jika outlet tidak cukup efektif mengeluarkan bahan dari dalam hopper. Pada funnel flow bahan mengalir hanya pada daerah tertentu dan sebagian daerah lainnya tidak bergerak. Pola aliran ini cocok untuk material dengan ukuran partikel yang besar dan bersifat mudah mengalir. Pola urutan pengeluaran material yaitu “first-in last-out” tidak cocok untuk material yang berukuran partikel kecil dan mengalami perubahan seiring waktu. Peluang masalah aliran seperti mampet dan terjadi segregasi terhadap material yang dikeluarkan lebih besar pada pola aliran funnel flow dibandingkan mass flow. Pola aliran expanded flow terjadi akibat penggabungan bagian hopper mass flow dan funnel flow. Pada bagian atas hopper terjadi pola funnel flow sementara pada bagian bawah terjadi pola mass flow. Pola aliran ini dianjurkan untuk penyimpanan material yang tidak berdegradasi dalam jumlah yang besar (beberapa ton). Pola aliran seperti ini dilakukan untuk mempertimbangkan ketinggian hopper sehingga kekuatan dinding hopper cukup kuat menahan beban yang besar. Berdasarkan bentuknya, sebagian besar hopper dapat digolongkan dalam bentuk conical atau planar. Hopper bentuk pyramidal dimasukkan ke dalam golongan conical berdasarkan sudut pandang alirannya (Marinelli, 2005). Bentuk planar lebih mampu mengakomodasi material pada rentang karakteristik flowability yang lebih lebar dibandingkan bentuk conical. Acuan pertimbangan desain hopper antara bentuk conical dan wedge dapat dilihat
28
pada Gambar 15. Semakin kohesif material dan semakin besar gaya gesek yang terjadi antara material dan dinding hopper maka nilai φw semakin besar. Nilai φw hanya dapat ditentukan melalui shear test dan tidak ada cara lain yang dapat menyajikan informasi tersebut (Carson, 2008). Beberapa macam bentuk hopper dapat dilihat pada Gambar 16. Bentuk pyramidal (e) sering ditemukan di industri tidak direkomendasikan karena material harus melewati himpitan dinding hopper sehingga gesekan terjadi pada kedua sisi (Schwedes, 2001).
Gambar 15. Grafik Acuan Desain Bentuk Hopper Sumber: Carson (2008)
Gambar 16. Beberapa Desain Bentuk Hopper. (a) conical (b) wedge (c) transition (d) chisel (e) pyramidal (f) transition Sumber: Schwedes (2001)
29
Desain juga feeder perlu menunjang terjadinya pola aliran pola aliran mass flow walaupun hopper telah didesain dengan baik. Jika feeder tidak mendukung maka pola aliran akan tetap dalam pola funnel flow. Menurut Schulze (2008), terdapat dua aturan utama mengenai feeder agar hopper dapat menghasilkan mass flow yaitu: 1. Segala macam lempengan yang kurang curam sehingga dapat menyebabkan timbul daerah stagnan harus dihindari. 2. Feeder harus mampu mengeluarkan material dari seluruh bagian bukaan outlet.
30
IV.
METODOLOGI
A. LANGKAH KERJA 1. Observasi Pengamatan langsung di area produksi dan wawancara kepada karyawan dilakukan untuk mendapatkan gambaran secara menyeluruh proses produksi dan metode kerja dalam kegiatan produksi bumbu pelezat serbaguna. Pengamatan intensif dilakukan pada mesin pengemas, kegiatan produksi bumbu secara menyeluruh, karakteristik bumbu sebelum masuk ke dalam mesin pengemas, bahan baku, dan metode kerja. Pengamatan dan penelusuran masalah dilakukan terhadap varian Ayam saja dengan pertimbangan kestabilan dan besarnya volume produksi varian tersebut dibandingkan varian yang lain. 2. Identifikasi Faktor Penyebab Masalah Identifikasi faktor penyebab masalah ditentukan berdasarkan fakta yang ditemukan di lapangan. Pengkondisian khusus pada proses produksi tidak memungkinkan dilakukan. Hal ini disebabkan oleh kegiatan produksi yang cukup tinggi dan kompleksitas proses produksi yang tidak dapat dikendalikan. Standar perusahaan, literatur, dan hubungan sebab akibat menjadi acuan untuk mengidentifikasi penyebab masalah. Uji laboratorium tidak dapat dilakukan karena keterbatasan alat dan tidak mampu menggambarkan kondisi sebenarnya yang terjadi pada proses produksi. 3. Analisis Langkah Perbaikan Penentuan pilihan langkah perbaikan dilandasi analisis faktor penyebab masalah yang telah teridentifikasi dan pertimbangan hasil perbaikan yang dapat diperoleh dari tindakan perbaikan yang dilakukan. Langkah perbaikan lebih terarah untuk menyelesaikan akar permasalahan yang menyebabkan masalah inkonsistensi proses penakaran pada mesin pengemas.
31
B. METODE ANALISIS 1. Alat dan Bahan Bahan yang digunakan untuk melakukan penelitian praktik kerja magang ini berupa bahan baku dan bumbu di dalam proses produksi perusahaan. Peralatan yang digunakan adalah seluruh peralatan produksi yang digunakan dalam kegiatan produksi. Alat khusus yang digunakan untuk pengukuran dan analisis yang diperlukan adalah stopwatch, digital thermometer, infrared thermometer, neraca analitik, gelas ukur plastik 250ml, penggaris 100cm, dan busur derajat. 2. Analisis Kapabilitas Proses Kinerja penakaran pada mesin pengemas ditentukan dengan mengukur indeks kapabilitas proses dengan bantuan program pengolahan statistik Minitab15. Output dari masing-masing corong mesin pengemas ditimbang setiap 15 menit. Data hasil penimbangan kemudian diolah sehingga dapat menunjukkan nilai Cp dan Cpk sebagai acuan kinerja penakaran mesin pengemas. Data hasil penimbangan juga dapat diolah lebih lanjut dengan bantuan program Excel untuk melihat kecenderungan (tren) output penakaran. Nilai Cp menunjukkan apakah proses tersebut mampu mencapai spesifikasi yang diharapkan dengan memperhitungkan perbandingan rentang kisaran spesifikasi dengan rentang kisaran proses. Nilai Cp tidak cukup untuk memberi gambaran yang tepat terhadap proses karena tidak dapat menggambarkan seberapa jauh proses tersebut menyimpang dari titik nilai target proses yang ditentukan. Oleh sebab itu pertimbangan nilai Cpk dapat membantu menggambarkan posisi kondisi proses dari nilai target spesifikasi yang diharapkan. Secara umum semakin besar nilai Cp berarti rentang sebaran output dari proses relatif semakin sempit. Nilai Cp sebesar 1,00 menandakan rentang sebaran output sama besarnya dengan rentang sebaran spesifikasi. Jika nilai Cpk sama dengan nilai Cp maka proses berjalan pada nilai target spesifikasi yang ditentukan. Sebaliknya nilai Cpk yang semakin kecil (menjauhi nilai Cp) berarti semakin jauh dari nilai target spesifikasi proses tersebut berjalan. Intepretasi kapabilitas
32
proses terhadap tingkat kepercayaan output menurut Oakland (2003) adalah sebagai berikut:
Cpk < 1
: proses tidak kapabel dan akan terjadi ketidaksesuaian output
Cpk = 1
: proses tidak terlalu kapabel dan ketidaksesuaian output akibat perubahan kecil di dalam proses tidak akan terdeteksi
Cpk = 1,33 : masih jauh dari situasi yang dapat diterima karena terjadi ketidaksesuaian output yang belum dapat terdeteksi oleh bagan kendali proses
Cpk = 1,5 : belum memuaskan karena ketidaksesuaian terjadi output terjadi dan peluang untuk pendeteksian masih belum cukup baik
Cpk = 1,67 : menjanjikan, ketidaksesuaian output akan terjadi namun cukup besar peluang untuk terdeteksi
Cpk = 2
: tingkat kepercayaan tinggi, ditunjang dengan bagan kendali yang menunjukkan keadaan normal.
3. Analisis Kemudahan Mengalir Bubuk Karakteristik fisik bumbu yang diukur adalah densitas dan kemudahan mengalir (flowability). Densitas yang diukur adalah loose density dan tapped density. Loose density menunjukkan densitas bumbu yang tidak termampatkan sedangkan tapped density menunjukkan densitas bumbu yang termampatkan. Sejumlah sampel bumbu dihamburkan memasuki gelas ukur plastik dari ketinggian 20cm melalui ayakan 8 mesh hingga mencapai volume 250ml. Selanjutnya dilakukan 25 kali pengetukan vertikal secara konsisten dengan menjatuhkan gelas ukur berisi bahan dari ketinggian 15cm. Ketinggian bumbu yang telah termampatkan tersebut dicatat sebagai volume bumbu yang termampatkan (tapped). Penimbangan dilakukan untuk memperoleh massa bumbu. Hasil pengukuran tersebut dapat digunakan untuk menghitung loose density dan tapped density.
33
Gambar 17. Skema Pegukuran Loose Density dan Tapped Density Metode Hausner dan Carr adalah tes empiris yang dapat digunakan untuk pengendalian mutu, perubahan dalam pengukuran mengindikasikan perubahan di dalam perilaku aliran pada material (Fitzpatrick, 2005). Flowability bumbu ditentukan dengan acuan indeks Carr dan Hausner ratio yang diperoleh dari perhitungan rumus menggunakan data loose density dan tapped density. Hasil perhitungan dibandingkan dengan nilai pada Tabel 1 untuk menentukan tingkat kategori kemudahan mengalir dari bubuk. Rumus perhitungan indeks Carr dan Hausner ratio menurut Sheehan (2008) dan Schulze (2008) adalah sebagai berikut:
(ρ Carr index
Hausner ratio
=
=
ρ ρ
tapped
ρ
-ρ ) loose
. 100%
loose
tapped loose
Keterangan: ρloose : densitas bubuk tanpa pemampatan (massa/volume loose) ρtapped : densitas bubuk dengan pemampatan (massa/volume tapped)
34
Tabel 1. Kategori Kemudahan Mengalir Bubuk Carr Index (%)
Kategori
Hausner Ratio
Excellent
1,00–1,11
11–15
Good
1,12–1,18
16–20
Fair
1,19–1,25
21–25
Passable
1,26–1,34
26–31
Poor
1,35–1,45
32–37
Very poor
1,46–1,59
>38
Very, very poor
>1,60
10
Sumber: Sheehan (2008)
35
V.
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. PRODUKSI BUMBU PELEZAT SERBAGUNA Pada bagian ini akan membahas gambaran umum kegiatan produksi bumbu pelezat serbaguna yang mencakup bahan baku, mesin produksi, dan aliran proses produksi. Area produksi terdiri dari 3 lantai. Seluruh kegiatan persiapan bahan baku dan kendali proses mixing terdapat pada lantai 3. Pada lantai 2 terdapat mixer dan hopper feeder yang masing-masing terhubung dengan mesin pengemas pada lantai 1. Kegiatan unloading bumbu dari mixer dan proses aging dilakukan pada lantai 2. Lantai 1 merupakan area penakaran dan pengemasan dimana terdapat mesin-mesin pengemas dan kegiatan pengemasan untaian produk ke dalam kemasan sekunder. Produksi bumbu menggunakan sistem batch yang jumlah produksinya disesuaikan dengan target produksi selama satu minggu yang telah direncanakan sebelumnya oleh Supervisor produksi. Varian rasa Ebi, Ayam, dan Sapi memiliki komposisi bahan baku yang berbeda baik paket racikan maupun komposisi bahan baku utama. Diagram alir proses produksi bumbu pelezat serbaguna secara garis besar dapat dilihat pada Lampiran 27. 1. Bahan Baku Bahan baku yang digunakan dalam proses produksi bumbu pelezat serbaguna sebagian besar adalah garam, gula rafinasi, dan Mono Sodium Glutamat (MSG). Sebagian kecil bahan baku berupa Bahan Tambahan Pangan (BTP), flavor, bahan pengisi, anti kempal, dan lemak nabati. Seluruh bahan baku yang digunakan untuk produksi harus sudah memiliki status release dari tim Quality Control yang telah memeriksa mutu bahan baku tersebut saat penerimaan dari pemasok. Bahan baku dapat digolongkan menjadi dua golongan. Golongan pertama adalah bahan baku utama yaitu garam, gula, dan MSG. Tanpa melalui proses penimbangan, sejumlah kemasan bahan baku utama yang dibutuhkan langsung dibuka dengan penyobekan menggunakan pisau stainless steel kemudian dimasukkan ke dalam bin penampungan. Golongan kedua adalah golongan racikan. Jumlah dan komposisi bahan
36
baku BTP diracik sesuai dengan varian rasa bumbu yang akan diproduksi sesaat sebelum produksi oleh seorang juru racik. Jumlah bahan racikan jauh lebih sedikit dibandingkan bahan baku utama. Terkait dengan kebutuhannya dalam jumlah yang sedikit, bahan racikan melalui proses penimbangan menggunakan neraca digital. Racikan dijadikan paket dalam kantong plastik yang siap untuk digunakan. Seluruh bahan baku yang digunakan berupa bubuk kering dengan karakterisik fisik yang beragam antara jenis bahan baku yang satu dengan yang lainnya. Variasi ukuran partikel mulai dari relatif besar dan kasar (garam dan gula) sampai relatif kecil dan halus (flavor dan anti kempal). Hanya terdapat satu bahan baku yang berwujud cair saat digunakan yaitu lemak nabati. Lemak nabati yang digunakan adalah fraksi stearin minyak sawit yang memiliki titik leleh 50°C. Lemak nabati dari tangki penampungan utama dialirkan ke dalam ruang produksi dan ditampung dalam drum berpemanas listrik. Suhu lemak nabati dalam drum dipertahankan 80-90°C. Jumlah lemak nabati panas fase cair ini ditakar menggunakan kaleng yang telah ditandai batas ketinggiannya. Zat anti kempal SiO2 digunakan untuk produksi bumbu varian Sapi sesuai dengan formulasi. Zat anti kempal juga digunakan sesuai dengan formulasi untuk semua varian bumbu yang dikemas dalam kemasan JAR. Kategori kemasan JAR adalah produk bumbu pelezat serbaguna dengan kemasan 50, 100, 200, dan 1000 gram. Kemasan kategori JAR ini tidak dikemas menggunakan mesin pengemas namun dikemas secara manual. 2. Mesin Produksi a. Mixer Terdapat sebuah mixer berkapasitas 400 kg dan dua unit berkapasitas 800 kg. Jenis mixer yang digunakan adalah jenis plow mixer yang dilengkapi sepasang chopper. Mixer juga dilengkapi dengan sepasang nozzle yang berada tepat di atas chopper. Nozzle sebenarnya dapat berfungsi untuk memasukkan cairan dalam proses mixing dalam bentuk tetesan sehingga cairan dapat terdistribusi dengan baik dalam campuran bahan. Selama ini nozzle tersebut tidak digunakan untuk 37
memasukkan lemak nabati cair ke dalam mixer karena pertimbangan lemak nabati yang mudah membeku. Sesuai menurut Manjunath et al. (2004), jenis plow mixer cocok digunakan untuk unit operasi khusus yaitu spray nozzle untuk aglomerasi dan highspeed choppers untuk menghancurkan gumpalan bahan baku atau campuran.
Gambar 18. Plow Mixer Sumber: Manjunath et al. (2004)
b. Hopper Feeder Hopper feeder berguna untuk menampung bumbu yang siap dikemas menggunakan mesin pengemas. Masing-masing hopper feeder dilengkapi ayakan 8 Mesh dan scraper untuk pengayakan bumbu. Setiap hopper feeder terhubung dengan filling unit mesin pengemas pada lantai 1. Hopper feeder dapat dibedakan menjadi dua bagian yaitu bagian hopper dan bagian feeder. Desain bentuk hopper adalah pyramidal dengan sudut 18-20o dari sisi vertikal. Desain screw adalah desain konvensional dengan jarak dan diameter pitch seragam. Gerakan screw akan mengalirkan sejumlah bumbu ke filling unit mesin pengemas di lantai 1. Skema Hopper Feeder dapat dilihat pada Gambar 19.
38
Scraper Ayakan 8 mesh
Hopper Vibrator Screw
Feeder
Gambar 19. Skema Hopper Feeder c. Mesin Pengemas Produk kemasan sachet dikemas menggunakan mesin pengemas jenis VFFS (Vertical Form Fill Seal). Mesin pengemas membentuk kemasan dari lembaran bahan baku kemasan, menakar dan mengisi sejumlah bumbu, kemudian sekaligus menyegel kemasan yang telah berisi bumbu. Filling unit adalah bagian dari mesin pengemas yang berfungsi untuk mendorong keluar sejumlah bumbu memasuki sachet yang sudah dibentuk sebelumnya oleh bagian pembentuk sachet. Terdapat dua sistem mekanis di dalam filling unit mesin pengemas yang bekerja secara terpisah yaitu sistem agitasi dan sistem penakaran. Bagianbagian filling unit dapat dilihat pada Gambar 20. Agitasi terjadi karena mekanisme agitator dengan impeller berbentuk cangkul yang terus berotasi. Mekanis penakaran berupa sistem auger yang terdiri dari auger dan prefit. Filling unit selalu terisi sejumlah bumbu pada tingkat ketinggian tertentu. Ketinggian bumbu tersebut diatur oleh sebuah
39
sensor proximity. Ketika ketinggian bumbu mencapai batas bawah maka sensor akan mengaktifkan screw feeder pada hopper feeder di lantai 2. Sejumlah bumbu dialirakan feeder jatuh masuk dari bagian atas filling unit sampai sensor proximity mendeteksi ketinggian bumbu sudah mencukupi.
Gambar 20. Skema Filling Unit Mesin Pengemas 3. Aliran Proses Produksi Seorang operator mixer mengambil paket racikan yang telah diracik sebelumnya
sesuai
dengan
varian
yang
akan
diproduksi
dan
memasukkannya ke dalam bin penampung yang telah berisi garam dan MSG. Bin digeser ke atas mixer kemudian penutup bawah bin dibuka sehingga seluruh bahan di dalam bin mengalir ke dalam mixer. Seharusnya gula juga dimasukkan terlebih dahulu ke dalam bin sama seperti bahan baku lainnya, untuk kemudian dimasukkan ke dalam mixer. Penyobekan gula dan pemasukan ke dalam mixer dilakukan langsung di inlet mixer setelah bahan yang lainnya masuk ke dalam mixer karena ukuran bin tidak cukup besar untuk menampung seluruh bahan. Selain faktor ukuran bin, 40
pertimbangan teknis karena harus mengangkat kemasan gula yang cukup berat (50 kg) dengan ketinggian lebih dari 1 meter juga menjadi pertimbangan. Setelah memastikan seluruh bahan berada di dalam mixer, operator menyalakan mixer. Sejumlah lemak nabati cair yang telah ditakar sebelumnya
dimasukkan
ke
dalam
mixer
yang
sedang
bekerja
menggunakan corong pembantu berupa silinder stainless stell yang berlubang-lubang pada bagian bawahnya yang diletakkan di inlet mixer. Corong pembantu dapat menghasilkan pancuran sehingga lemak nabati masuk ke dalam mixer dengan debit yang lebih kecil dan tereduksi ukurannya dibandingkan dengan menuangkan secara langsung ke dalam inlet mixer. Operator mengangkat corong pembantu setelah seluruh lemak nabati masuk ke dalam mixer kemudian inlet mixer ditutup. Sepasang chopper bekerja bersamaan dengan main shaft (plow agitator) saat mixer bekerja. Mixer dilengkapi dengan timer yang mulai menghitung waktu sejak pertama kali dioperasikan oleh operator dari lantai 3. Proses mixing dapat dibagi menjadi 2 tahap. Tahap pertama adalah pencampuran awal seluruh bahan yang dimasukkan ke dalam mixer. Tahap kedua adalah pada saat pencampuran lemak nabati cair ke dalam mixer sampai proses mixing selesai. Proses mixing selesai setelah proses berlangsung selama waktu yang telah diatur oleh timer. Kedua chopper dan main shaft berhenti bekerja ketika timer mencapai waktu yang telah ditentukan. Setelah proses mixing selesai bumbu dikeluarkan dari mixer dan dipisahkan ke dalam kantong-kantong plastik berkisar 15-25 kg setiap kantongnya. Selama pengeluaran bumbu, agitator utama mixer tetap bekerja agar terjadi pergerakan bumbu di dalam mixer sehingga bumbu dapat mengalir keluar melalui outlet. Kantong-kantong berisi bumbu tersebut ditumpuk di atas palet dan ditandai nomor batch-nya. Suhu bumbu di dalam mixer terus naik karena ada gaya gesek diantara partikel bumbu yang terus teraduk oleh agitator utama mixer. Satu batch menghasilkan dua palet tumpukan bumbu. Bumbu dalam tumpukan
41
kantong tersebut dipindahkan dan didiamkan untuk proses aging di dalam ruang produksi yang diupayakan suhunya 20-25 oC dengan RH <50%. Proses aging bertujuan untuk menurunkan suhu bumbu sekaligus menunggu untuk dimasukkan ke dalam hopper yang mulai kosong. Selama proses aging terjadi pengkristalan lemak nabati cair akibat pendinginan. Derajat pengkristalan lemak nabati belum diketahui secara pasti mengingat sifat polymorphism lemak yang dipengaruhi oleh kecepatan pendinginan dan komposisi trigliserida lemak itu sendiri. Bumbu yang sudah mengalami aging minimal 15 menit dimasukkan ke dalam hopper feeder. Bumbu melewati ayakan 8 mesh dibantu oleh scraper berputar sebelum masuk ke dalam hopper feeder. Pengayakan bertujuan untuk separasi fisik baik gumpalan-gumpalan bumbu yang terbentuk selama proses mixing maupun benda asing yang terbawa dalam bumbu. Bumbu yang lolos pengayakan masuk ke dalam hopper dan menunggu untuk dialirkan ke mesin pengemas. Hopper feeder mengalirkan sejumlah bumbu ke mesin pengemas menggunakan screw conveyor sesuai dengan permintaan mesin. Terdapat sensor proximity pada hopper filling unit mesin pengemas yang mendeteksi tingkat ketinggian bumbu di dalam hopper filling unit. Ketika ketinggian bumbu pada filling unit rendah, sensor akan mendeteksi dan mengaktifkan motor penggerak screw conveyor hopper lantai 2 sehingga sejumlah bumbu terdorong keluar dan jatuh ke dalam filling unit mesin pengemas. Bila ketinggian bumbu di dalam hopper filling unit sudah mencukupi maka sensor akan mendeteksi dan menghentikan proses pemindahan bumbu dari hopper lantai 2. Filling unit menakar sejumlah bumbu ke dalam sachet dan langsung di seal. Takaran yang diharapkan untuk varian Ayam dan Sapi adalah 8 gram dan 6 gram untuk varian Ebi pada setiap sachet. Sachet sebelumnya dibentuk dan diberi kode produksi sebelum dilakukan pengisian bumbu. Terdapat sebanyak 8 mesin pengemas dengan 5 corong output dan 20 mesin dengan 6 corong output. Mesin pengemas rata-rata bekerja dengan kecepatan produksi 60 ketukan/menit. Setiap ketukan
42
menghasilkan 5 atau 6 sachet sekaligus tergantung dari banyaknya corong output yang dimiliki mesin tersebut. Setiap untai terdiri dari 12 sachet produk pelezat serbaguna. Sehingga setiap 12 ketukan mesin, pada mesin yang memiliki 5 corong output akan menghasilkan 5 untai produk dan pada mesin yang memiliki 6 corong output akan menghasilkan 6 untai produk secara bersamaan. Untaian produk yang dihasilkan langsung dikemas dalam kemasan sekunder berupa kardus bergelombang. Kardus-kardus tersebut disusun di atas palet. Kemudian palet tersebut diberi identitas dan dipindahkan ke bagian gudang. Sebelum keluar dari pabrik, semua produk yang tersimpan di gudang harus menunggu hasil pemeriksaan mutu oleh tim Quality Control. Produk yang sudah mendapatkan status Release baru boleh dikeluarkan dari gudang pabrik menuju gudang distribusi. B. IDENTIFIKASI MASALAH Penelusuran masalah dimulai dengan memahami kondisi inkonsistensi proses penakaran dan mekanisme sistem penakaran pada mesin pengemas sebagai
acuan
dasar
untuk
mengidentifikasi
permasalahan
atau
ketidaksesuaian penyebab masalah inkonsistensi proses penakaran pada mesin pengemas. Analisis kapabilitas proses dan tren output proses penakaran pada
mesin
pengemas
berguna
sebagai
analisis
terukur
untuk
menggambarkan kondisi proses penakaran aktual sekaligus memberikan petunjuk kemungkinan letak penyebab masalah inkonsistensi penakaran. Pengamatan proses produksi bumbu, analisis kemudahan mengalir bumbu, dan analisis kemudahan mengalir bahan baku merupakan tindakan lebih lanjut untuk pencarian akar masalah. Pembahasan berikut disusun berdasarkan kronologi penelusuran masalah yang dilakukan selama kegiatan identifikasi masalah. 1. Inkonsistensi Proses Penakaran Salah satu tanggung jawab operator mesin pengemas adalah mengendalikan proses penakaran sehingga massa output tetap berada di dalam spesifikasi yang telah ditentukan yaitu 94-98 gram setiap untai.
43
Terdapat dua parameter yang dapat dikendalikan oleh operator mesin pengemas yaitu derajat putaran auger (pulse) dan posisi prefit masingmasing corong output. Parameter pulse mengendalikan sebuah motor penggerak pada mesin pengemas yang menggerakkan auger seluruh corong secara bersamaan dan pada nilai derajat putaran yang sama. Perubahan parameter pulse akan berdampak pada perubahan massa output seluruh corong output, sedangkan penyesuaian posisi prefit pada masingmasing corong output akan berdampak pada massa output corong tertentu saja yang dilakukan tindakan penyesuaian. Penyesuaian parameter pulse dapat dilakukan saat mesin pengemas sedang beroperasi, namun tindakan penyesuaian posisi prefit harus menghentikan operasi mesin pengemas. Tindakan penyesuaian stel timbangan diambil jika upaya penyesuaian melalui parameter derajat putaran auger (pulse) tidak dapat mengatasi masalah. Stel timbangan adalah kegiatan operator mesin pengemas menyesuaikan posisi prefit sistem auger corong yang menghasilkan output di luar rentang spesifikasi yang telah ditentukan. Terdapat dua kondisi yang mengharuskan operator mengambil tindakan stel timbangan. Kondisi pertama adalah terjadi inkonsistensi proses penakaran pada satu atau beberapa corong output. Pada kondisi seperti ini sering ditemukan adanya gumpalan bumbu (caking) yang menempel di sekitar sistem auger baik menempel pada prefit atau di sekitar inlet auger. Gumpalan bumbu tersebut bervariasi baik dari besarnya ukuran gumpalan maupun dari kekerasan gumpalan. Hal serupa dinyatakan oleh (BarbosaCánovas et al., 2005), caking dapat berwujud berbeda-beda, berkisar mulai dari yang berukuran kecil, agregat lembut yang dapat hancur dengan mudah sampai gumpalan sekeras batu yang membutuhkan palu besar untuk memecahkannya. Untuk mengatasi kondisi seperti ini operator sebaiknya
terlebih
dahulu
melakukan
pembersihan
bumbu
yang
menggumpal pada corong output yang bermasalah, kemudian mengatur posisi prefit jika masih diperlukan.
44
Kondisi kedua adalah ketika penyesuaian pulse tidak mengatasi masalah dengan tuntas dan kembali menimbulkan masalah keluar spesifikasi pada corong output lainnya. Ini terjadi saat rentang aktual antar-corong (selisih nilai output tertinggi dan terendah) cukup besar. Apabila ada satu corong output yang underweight maka pada kondisi rentang output aktual yang besar akan menimbulkan masalah overweight pada corong yang lain ketika dilakukan peningkatan pulse dalam upaya mengeliminasi corong yang underweight. Demikian sebaliknya ketika berupaya mengeliminasi overweight dengan menurunkan pulse saat kondisi rentang antar-corong besar maka akan menimbulkan masalah underweight pada corong yang lain. Untuk mengatasi kondisi ini, operator harus mengambil tindakan stel timbangan untuk mengatur ulang posisi prefit corong yang bermasalah sehingga output seluruh corong kembali berada di dalam rentang spesifikasi dan seseragam mungkin. Dengan kata lain operator berupaya memperkecil rentang aktual antar-corong sehingga masalah teratasi. Rentang aktual output antar-corong sekecil mungkin dapat membantu mengurangi kondisi yang mengharuskan operator melakukan tindakan stel timbangan. Menurut hasil wawancara dengan beberapa operator mesin pengemas, pencapaian rentang antar-corong sebesar 3 gram sudah baik, namun rentang spesifikasi produk hanya sebesar 4 gram (96 ± 2 gram). Pada kondisi demikian, celah pergerakan output proses yang masih dimiliki hanya sebesar 1 gram. Kondisi seperti ini sangat riskan terjadi pelanggaran spesifikasi yang telah ditentukan mengingat dalam proses terkendali pun masih terjadi variasi output pada batasan tertentu. Selain menjaga mutu produk, tim produksi juga memiliki target jumlah produksi yang harus dipenuhi. Untuk menjaga mutu dan kepuasan konsumen, produk yang underweight sangat dihindari. Perusahaan sedikit mentolerir produk overweight sehingga kejadian breakdown stel timbangan tidak terlalu besar dan target produksi dapat tercapai. Toleransi tersebut memberikan peluang kepada operator untuk menaikkan parameter putaran auger ketika teridentifikasi terdapat underweight sehingga
45
tindakan stel timbangan tidak harus dilakukan. Apabila menyebabkan terjadinya overweight yang cukup signifikan pada corong output lainnya maka tindakan stel timbangan harus tetap dilakukan. Walaupun besarnya kelebihan bumbu cukup kecil mungkin hanya sebesar 1 atau 2 gram tiap untainya, mengingat volume produksi yang besar maka kelebihan bumbu tersebut dapat diartikan sebagai biaya atau kerugian akibat kehilangan sejumlah bumbu akibat overweight. 2. Mekanisme Sistem Penakaran Prinsip kerja proses penakaran pada sistem auger mesin pengemas adalah sejumlah bumbu dikeluarkan dari outlet pada volume tertentu sehingga diperoleh massa bumbu yang diinginkan. Hubungan volume dan massa dapat digambarkan melalui persamaan densitas kamba (Bulk Density) dari bumbu yang masuk ke dalam auger.
𝐵𝐷 =
𝑚 𝑉
𝑚 = 𝐵𝐷. 𝑉 BD m V
= Bulk density = massa = volume Pada kondisi bumbu dengan BD yang tetap, massa berbanding
lurus dengan volume bumbu yang dikeluarkan dari outlet. Begitu juga pada kondisi volume bumbu yang dikeluarkan tetap, massa berbanding lurus dengan BD. Untuk mendapatkan kestabilan massa yang keluar dari outlet, parameter BD bumbu dan volume bumbu yang dikeluarkan dari outlet harus dapat dijaga konsistensinya Sistem penakaran dapat dipisahkan menjadi dua bagian yang berbeda yaitu sistem prefit dan sistem auger. Walaupun demikian kedua bagian tersebut bekerja secara simultan pada putaran poros yang sama. Prefit adalah spiral pipih yang berfungsi untuk memberi tekanan kepada bumbu sehingga bumbu dengan kepadatan tertentu terdorong memasuki inlet sistem auger. Auger mendorongan ke arah bawah (keluar) sejumlah
46
volume bumbu yang sebelumnya telah terpadatkan oleh mekanisme prefit. Selain mengalami gaya tekan dan dorong, bumbu juga mengalami gaya gesek akibat putaran sistem auger selama proses penakaran. Putaran dari auger menimbulkan gaya dorong terhadap sejumlah volume bahan yang berada di rongga antara pitch menuju outlet. Volume bumbu yang dapat tertampung di dalam rongga pitch dipengaruhi oleh spesifikasi ukuran auger. Perubahan spesifikasi ukuran pada auger akibat aus dan bengkok berakibat pada perubahan volume rongga pitch yang dapat berdampak pada perubahan volume bumbu yang mengisi rongga pitch. Selain faktor besarnya volume rongga, volume bumbu yang berada di dalam rongga pitch juga dipengaruhi oleh ketersediaan bumbu dan kemampuan bumbu mengalir untuk memenuhi rongga tersebut.
Inlet
Jarak Pitch
Outlet
Gambar 21. Skema Sistem Auger Derajat putar auger menentukan banyaknya volume di dalam rongga auger yang terdorong menuju outlet. Material bergeser sepanjang poros sejauh satu pitch jaraknya untuk setiap putaran dari screw (Bates, 2008). Berdasarkan kondisi yang digambarkan pada Gambar 22, maka satu putaran (360o) auger mendorong bumbu sejauh jarak “X” sehingga bumbu
47
yang keluar dari outlet adalah sebesar volume (V) rongga pitch. Setengah putaran berarti jarak yang ditempuh adalah 0,5 jarak pitch yang berarti 0,5 volume rongga. Penggerak sistem auger seluruh corong menggunakan motor servo yang bekerja dengan sistem koordinat sehingga putaran auger tiap ketukannya terjaga tingkat keakuratan dan presisinya. 180o
0o
D d D
X X
=
h = X mm
d
Volume ruang pitch dapat dihitung dengan rumus: V pitch = V tabung luar – V tabung dalam = 0,25 π D2h – 0,25 π d2h = 0,25 π h (D2 - d2) Gambar 22. Skema Volume Ruang Pitch Prefit yang berputar bersaman dengan auger menimbulkan gaya tekan yang mendorong bumbu masuk ke dalam inlet auger. Besarnya gaya tekan prefit terhadap bumbu dapat disesuaikan dengan mengatur posisi ketinggian prefit. Gaya tekan tersebut menentukan besarnya kepadatan bumbu di dalam rongga auger. Selain gaya tekan, ketersediaan bumbu dan aliran bumbu untuk masuk ke dalam inlet auger juga merupakan faktor yang menentukan kepadatan bumbu di dalam rongga auger.
48
Semakin tinggi posisi prefit maka tekanan terhadap bumbu semakin kecil sehingga bumbu yang masuk ke dalam sistem auger memiliki kepadatan (BD) yang lebih kecil. Sebaliknya jika posisi prefit diturunkan maka bumbu yang memasuki sistem auger semakin padat. Dampak nyata dari perubahan posisi prefit tersebut adalah perubahan massa bumbu yang keluar dari outlet sistem auger. Pada jumlah derajat putaran yang sama (volume yang didorong keluar oleh auger), posisi prefit yang lebih rendah akan menghasilkan output massa bumbu yang lebih besar. Ilustrasi gaya tekan prefit dan kondisi kepadatan bumbu di dalam rongga-rongga auger dapat dilihat pada Gambar 23.
Gambar 23. Ilustrasi Mekanisme Sistem Penakaran. Berdasarkan penjabaran di atas didapatkan beberapa ketentuan yang berpengaruh terhadap besarnya massa bumbu yang dikeluarkan sistem penakaran. Untuk mendapatkan massa yang tetap maka variabel kepadatan bumbu (BD) yang memasuki sistem auger dan volume (V) bahan yang terdorong keluar harus dijaga konsistensinya.
49
Kepadatan bumbu dalam sistem auger dipengaruhi oleh: -
Posisi prefit (besarnya gaya tekan)
-
Ketersediaan bumbu di sekitar prefit
-
Aliran bumbu memasuki inlet auger
Volume bahan yang terdorong keluar dari outlet dipengaruhi oleh: -
Spesifikasi auger (volume rongga pitch)
-
Derajat putaran (satu putaran penuh = 360o)
-
Aliran bumbu memenuhi rongga pitch (flowability bumbu) Spesifikasi auger yang digunakan tidak mengalami perubahan saat
mesin beroperasi. Oleh karena itu faktor spesifikasi auger yang mempengaruhi volume rongga pitch bukan faktor utama yang berpengaruh terhadap perubahan massa bumbu yang keluar dari outlet. Namun Bates (2008) menyatakan bahwa produk yang lengket atau seperti benang dapat bertumpuk di sekitar shaft tengah mengurangi volume kerja dari pitch screw. Jika kondisi demikian terjadi maka volume bahan yang dikeluarkan dari outlet berubah dan berimbas pada perubahan massa output. Dengan asumsi posisi prefit dan parameter pulse tetap maka faktor yang berpengaruh terhadap massa output adalah ketersediaan bumbu di sekitar prefit, aliran bumbu memasuki inlet auger, dan aliran bumbu memenuhi rongga pitch. Aliran bumbu memasuki inlet auger dan memenuhi rongga pitch dipengaruhi oleh faktor karakteristik bumbu itu sendiri serta kondisi ketersediaan ruang bagi bumbu untuk mengalir. Keberadaan gumpalan bumbu yang mengeras (caking) atau benda asing dapat mempersempit atau menghalangi ruang aliran bumbu sehingga aliran bumbu memasuki sistem auger terganggu. 3. Kapabilitas Proses Penakaran Untuk mengetahui kondisi proses penakaran lebih lanjut, dilakukan pengamatan selama lima hari pada mesin pengemas nomor 9 (U9) dan evaluasi kapabilitas proses penakaran. Kapabilitas proses mengindikasikan variasi sebuah proses relatif terhadap rentang toleransi spesifikasi produk (Oakland, 2003). Kapabilitas proses penakaran dapat menjadi gambaran
50
kondisi aktual kinerja proses penakaran dengan batas bawah 94 gram dan batas atas 98 gram setiap untai. Mesin U9 dipilih sebagai mesin yang diamati karena memiliki performa penakaran yang terbaik dan tidak bermasalah selama sebulan terakhir dibandingkan dengan mesin yang lain menurut operator mesin dan tim QC in line. Mesin U9 dipastikan tidak sedang mengalami gangguan mekanis maupun kerusakan yang dapat mempengaruhi kinerja penakaran bumbu. Pengendalian kondisi tertentu baik faktor bumbu maupun faktor mesin tidak dapat dilakukan selama pengamatan kapabilitas proses penakaran karena tidak mendapatkan izin dari perusahaan. Faktor bumbu yang sebaiknya dikendalikan adalah karakteristik fisik bumbu yang masuk ke dalam mesin U9. Variasi karakteristik fisik bumbu dapat dikendalikan dengan memastikan proses produksi bumbu tersebut (bahan baku, proses mixing, proses aging, dan parameter lainnya seperti suhu dan RH ruang produksi) sesuai dengan standar perusahan dan dijalankan dengan konsisten. Faktor mesin yang sebaiknya dikendalikan adalah parameter posisi prefit, parameter pulse, dan dilakukan atau tidak dilakukan pembersihan bumbu di sekitar sistem penakaran. Beberapa pengendalian tersebut dapat mendukung pengamatan memperoleh data yang lebih baik untuk menunjukkan apakah faktor mesin atau faktor bumbu yang lebih berpengaruh terhadap terjadinya fenomena inkonsistensi proses penakaran. Pada pengamatan ini hanya dilakukan upaya penyesuaian parameter pulse atau parameter posisi prefit yang bertujuan untuk mendapatkan kondisi proses penakaran terbaik yang dapat dicapai dengan kondisi kegiatan produksi apa adanya saja. Kondisi proses penakaran yang diharapkan adalah rata-rata rentang aktual antar-corong (R-bar) dapat mencapai nilai sekecil mungkin dan tentunya dengan kapabilitas proses yang baik (nilai Cp dan Cpk besar). Hasil pengukuran kapabilitas proses dapat dilihat pada Tabel 2. Keluaran analisis data program Minitab15 dapat dilihat pada Lampiran 1 sampai Lampiran 19. Analisis data dari sistem SPC (Statistical Process Control) milik perusahaan selama 7 hari juga dilakukan sebagai pembanding dan
51
gambaran kapabilitas proses penakaran dalam jangka panjang. Data dari sistem SPC dapat dilihat pada Lampiran 26. Tabel 2. Kapabilitas Proses Penakaran Mesin U9 Hari ke-
Cp
Cpk
R-bar (gram)
1
1,15
0,97
1,470
2
0,44
0,44
3,799
3
0,21
0,03
7,960
4
0,56
0,50
3,012
5
1,00
0,48
1,696
Pembanding Keterangan: Cp Cpk R-bar Pembanding
0,53
0,53
3,191
Batch
Cp
Cpk
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 -
0,67 1,72 1,76 0,25 0,65 0,59 0,60 0,50 0,52 0,72 1,01 1,01 0,96 -
0,52 1,64 1,35 0,00 0,43 0,38 0,10 0,37 0,44 0,64 0,30 0,51 0,76 -
R-bar (gram) 2,540 0,984 0,957 6,800 2,581 2,878 2,820 3,391 3,233 2,333 1,675 1,680 1,767 -
: Indeks lebar sebaran data relatif terhadap rentang spesifikasi : Indeks posisi rata-rata data relatif terhadap nilai target : Rata-rata rentang output antara corong : Berdasarkan data sistem SPC (Statistical Process Control)
Acuan pertimbangan penyesuaian posisi prefit adalah nilai rata-rata output masing-masing corong. Nilai Rata-rata output masing-masing corong dapat dilihat pada Tabel 3. Tindakan penyesuaian dilakukan terhadap corong dengan rata-rata output yang relatif berbeda dari sebagian besar corong yang lain. Dengan demikian diharapkan output seluruh corong menjadi relatif seragam sehingga nilai R-bar menjadi lebih kecil. Kondisi proses penakaran dengan nilai R-bar yang kecil berarti lebar sebaran data output proses tersebut relatif sempit sehingga dapat diperoleh nilai Cp yang lebih baik besar. Berdasarkan hasil pengukuran kapabilitas proses penakaran yang terangkum pada Tabel 2, diketahui bahwa mesin U9 yang merupakan
52
mesin pengemas yang memiliki performa penakaran terbaik di antara mesin pengemas yang lain tersebut masih jauh dari kondisi ideal. Menurut Oakland (2003) pada nilai Cpk sebesar 1,67 proses cukup menjanjikan dan besar peluang ketidaksesuaian output untuk terdeteksi. Sebagian besar proses penakaran batch yang diamati masih memiliki indeks Cp dan Cpk proses penakaran di bawah 1,00. Sebagai pembanding, nilai Cp dan Cpk mesin U9 berdasarkan data dari sistem SPC milik perusahaan tanpa dilakukan pengawasan dan pengamatan hanya sebesar 0,53. Berdasarkan indeks kapabilitas tersebut maka dapat dikatakan bahwa proses penakaran pada mesin U9 masih belum kapabel dan reliabel terhadap rentang spesifikasi produk yang ditentukan. Tabel 3. Rata-rata Output Setiap Corong Mesin U9 Rata-rata Output Corong (gram) Pulse 1 2 3 4 5 6 1 95,77 95,80 95,35 96,58 94,04 95,93 1320 2 95,93 96,00 95,60 95,71 96,07 96,13 1320 3 95,86 95,71 95,07 95,69 95,26 95,60 1300 4 91,39 95,87 95,52 93,24 97,41 90,62 1290 5 96,80 96,00 96,18 97,27 97,99 95,85 1290 6 95,69 96,50 96,78 97,51 96,04 97,69 1290 7 8 9 10 98,92 96,90 96,86 98,28 96,32 98,70 1320 11 97,56 94,45 94,35 95,33 94,24 97,03 1300 12 97,78 95,30 95,20 96,72 95,12 97,88 1300 13 95,85 95,47 95,30 97,15 94,82 96,03 1300 14 95,23 94,40 93,98 95,46 93,99 94,46 1330 15 95,77 94,75 94,57 95,86 94,57 94,62 1330 16 96,48 95,37 95,02 96,37 94,93 95,40 1330 Keterangan: : Menaikkan tekanan prefit dengan menurunkan posisi prefit : Menurunkan tekanan prefit dengan menaikkan posisi prefit : Menurunkan nilai pulse motor penggerak yang berdampak terhadap Batch
Pada hari ke-3 (batch 7, 8, dan 9) pengamatan dan pengukuran proses kapabilitas mesin pengemas tidak dapat dilakukan dengan baik karena kondisi tidak memungkinkan. Tidak cukup data yang dapat 53
diperoleh
untuk
mengukur
kapabilitas
proses
penakaran.
Ketika
pengukuran baru dimulai sekitar 45 menit, persediaan bumbu di lantai 2 habis sehingga mesin pengemas dihentikan sekitar 1 jam menunggu pasokan bumbu. Persediaan bumbu habis karena tidak dapat melakukan proses produksi bumbu akibat keterlambatan pengiriman garam. Garam yang baru datang segera digunakan setelah mendapatkan status relesase dari tim QC. Mesin U9 kembali dijalankan setelah dipastikan hopper feeder pada lantai 2 telah diisi kembali dengan bumbu yang siap dikemas. Mesin harus dihentikan kembali untuk penyesuaian penakaran setelah berjalan beberapa saat karena output menjadi tidak beraturan. Setelah empat kali dicoba menyesuaikan output melalui pengaturan posisi prefit dan juga pengaturan pulse, output belum berhasil dikendalikan. Selama usaha penyesuaian ini mesin hanya mampu berjalan cukup stabil maksimal ± 2 menit. Akhirnya mesin dihentikan kembali selama ± 1 jam. Ketika mesin dicoba dijalankan kembali, proses penakaran masih bermasalah namun dengan sendirinya menjadi lebih baik dibandingkan sebelumnya. Penakaran dapat berjalan lebih dari satu jam walaupun cukup banyak underweight yang terukur. Teramati perubahan output yang cukup besar serta terkadang terjadi penurunan drastis secara tiba-tiba sampai menyentuh angka sekitar 70 gram. Diduga kuat kegagalan pengendalian output ini disebabkan oleh faktor bumbu yang menjadi masalah. Teramati adanya caking di sekitar sistem auger. Walaupun caking sudah dihancurkan dan dibersihkan sebelumnya, caking kembali ditemukan saat usaha mengatur posisi prefit berikutnya. Diduga caking terbentuk dengan cepat akibat karakteristik bumbu yang kohesif yang terpapar gaya tekan mekanisme sistem penakaran. Caking di sekitar sistem auger yang cukup besar dan keras mampu menghalangi aliran bumbu masuk ke dalam inlet auger. Selain faktor di atas, bumbu yang sulit mengalir dan teragitasi dengan baik di dalam hopper filling unit juga memberi kontribusi terhadap gangguan proses penakaran. Bumbu membentuk tumpukan yang cukup
54
stabil di luar area yang kontak langsung dengan kerja agitator dan sistem auger. Tumpukan bumbu yang tidak mengalir tersebut sebagian besar berada di bagian tepi hopper filling unit. Tumpukan tersebut terdeteksi oleh sensor proximity seolah-olah masih cukup banyak bumbu di dalam hopper filling unit walaupun sebenarnya bagian tengah sudah hampir habis. Bumbu yang hampir habis di bagian tengah ini menyebabkan mekanisme penakaran mengalami kegagalan untuk mendorong bumbu pada jumlah dan kepadatan yang seharusnya. Penyebab kondisi yang dijelaskan di atas adalah bumbu yang kohesif dan sulit mengalir sehingga mekanisme penakaran sistem auger tidak mampu menakar dengan baik atau mungkin juga terjadi pergeseran posisi prefit dengan sendirinya akibat kerja prefit menekan bumbu. Saat dilakukan pengaturan prefit corong 1 dan 5, dipastikan bahwa prefit tidak dapat bergeser dengan sendirinya sehingga menyebabkan penurunan output drastis tersebut dapat dipastikan merupakan pengaruh faktor bumbu. Diketahui bahwa ketidaksesuaian karakteristik bumbu pada hari ke3 ini berada pada tahap produksi bumbu. Bahan baku garam yang digunakan sudah dipastikan oleh tim QC memiliki kriteria mutu yang baik dan tidak bermasalah. Ternyata garam yang digunakan memiliki suhu yang masih relatif tinggi yaitu >50oC. Seharusnya garam yang digunakan sudah dikondisikan selama beberapa jam di ruang penyimpanan sehingga suhunya mendekati suhu ruangan yaitu sekitar 20-25oC sesuai dengan prosedur. Akibat keterlambatan pengiriman garam oleh pemasok maka garam yang baru diturunkan dari truk segera digunakan untuk produksi bumbu tanpa perlakuan apapun untuk menurunkan suhunya. Selain parameter proses mixing (suhu garam) ternyata parameter proses aging juga tidak sesuai dengan prosedur. Prosedur proses aging mewajibkan bumbu mengalami proses aging minimal 15 menit sebelum masuk ke dalam hopper feeder dengan asumsi suhu ruangan dan kondisi proses sebelumnya terkendali dan tidak mengalami masalah. Pada pengamatan, ternyata bumbu yang baru saja selesai proses mixing
55
langsung dimasukkan ke dalam hopper feeder karena mengejar target produksi yang telah terhambat serta pemenuhan kekosongan bumbu mesin-mesin pengemas di lantai 1. Tujuan proses aging yaitu pengkristalan lemak nabati belum tercapai dengan baik karena tidak dilakukan aging, ditambah lagi dengan kondisi suhu bumbu pada kasus ini yang relatif lebih tinggi dari keadaan normal akibat suhu garam yang tinggi. Akibat dari penggunaan garam yang cukup panas ini tidak diketahui secara pasti interaksinya terhadap bahan baku lainnya. Walaupun demikian suhu yang lebih tinggi tersebut berpengaruh besar terhadap kondisi lemak nabati seharusnya mengkristal kembali setelah tersebar merata di dalam campuran bumbu. Suhu garam yang lebih tinggi dari normal menyebabkan suhu campuran bumbu juga lebih tinggi dari suhu normal. Suhu yang lebih tinggi tersebut tentu akan mempengaruhi proses kristalisasi lemak nabati sehingga memerlukan waktu yang lebih lama pada tahap aging untuk menurunkan suhu bumbu sekaligus pengkristalan lemak nabati. Sifat bumbu yang kohesif dan bermasalah pada proses penakaran hari ke-3 ini disebabkan oleh lemak nabati yang belum mencapai pengkristalan yang mencukupi. Masalah aliran terjadi pada bubuk kohesif apapun jenisnya, namun dapat lebih serius pada bubuk pangan karena umumnya terkait dengan adanya zat lengket (sebagai contoh, lemak) atau keberadaan perilaku higroskopis, temperatur dan waktu konsolidasi (Barbosa-Cánovas et al., 2005). Pada bubuk yang mengandung lemak padat, peningkatan temperatur dapat menyebabkan lemak meleleh sehingga menyebabkan jembatan cairan (liquid bridge) lengket yang berdampak pada pada peningkatan kohesi (Fitzpatrick, 2005). Barbosa-Cánovas et al. (2005) juga menyatakan bahwa bubuk whole milk lebih kohesif dibandingkan bubuk skim milk merupakan indikasi pengaruh keberadaan lemak terhadap tingkat kelengketan bubuk. Dari kejadian pada hari ke-3 ini dapat dicatat beberapa penyebab buruknya proses penakaran. Faktor karakteristik bumbu merupakan faktor yang berpengaruh besar terhadap proses penakaran mesin pengemas.
56
Karakteristik bumbu sendiri sangat dipengaruhi oleh kondisi proses produksi bumbu sebelumnya yaitu pada tahap proses mixing dan aging. Dari segi bahan baku, suhu bahan baku yang digunakan secara tidak langsung berdampak pada kondisi proses aging yang menyebabkan tujuan proses aging (kristalisasi lemak nabati) tidak tercapai dengan standar parameter proses aging yang telah ditentukan. Pencapaian kristalisasi lemak nabati sangat berpengaruh terhadap tingkat kelengketan bumbu. lemak nabati yang masih belum mengkristal (fase cair) memiliki masih memiliki interaksi antar-partikel yang kuat akibat gaya tegangan permukaan. Dampak nyata dari gaya tersebut adalah kelengketan bumbu baik adhesi maupun kohesi partikel-partikel bumbu yang menyebabkan bumbu sulit mengalir dan bertendensi besar caking pada hopper filling unit mesin pengemas. Beberapa kondisi aktual dalam proses penakaran yang dapat dicatat dan disimpulkan selama pengamatan langsung kapabilitas proses penakaran pada mesin U9 adalah sebagai berikut: 1. Kapabilitas proses penakaran mesin masih rendah dan berfluktuasi. Kapabilitas proses sekaligus nilai R-bar terbaik yang dapat diperoleh selama lima hari terjadi pada batch ke-3 dengan Cp sebesar 1,76 dan R-bar 0,957 gram. Kondisi tersebut tidak dapat diperoleh kembali pada batch lainnya walaupun usaha pengendalian proses penakaran sudah diupayakan secara maksimal. Indeks kapabilitas proses penakaran sebagian besar batch masih di bawah 1,00 yang berarti sebagian output berada di luar spesifikasi yang diharapkan dan proses penakaran belum kapabel. Hanya 25% batch yang mampu mencapai indeks kapabilitas (Cp) proses penakaran di atas 1,00 dan hanya 12,5% batch yang memiliki nilai Cpk di atas 1,00. Terjadi perubahan kapabilitas proses penakaran antar-batch walaupun tidak dilakukan perubahan parameter pulse dan posisi prefit. 2. Faktor
karakteristik
bumbu
merupakan
faktor
yang
sangat
berpengaruh terhadap proses penakaran. Kejadian pada hari ke-3 melumpuhkan seluruh mesin pengemas yang menggunakan bumbu
57
yang tidak sesuai dengan standar proses dalam produksinya. Bumbu yang kohesif menyebabkan aliran bumbu menjadi buruk dan juga caking di sekitar sistem penakaran. 3. Tindakan penyesuaian posisi prefit mampu meningkatkan kinerja proses penakaran. Pengaturan posisi prefit pada batch ke-1 dan ke-4 dapat memperbaiki kondisi proses penakaran sehingga pada batch berikutnya memiliki R-bar yang lebih kecil dan kapabilitas proses yang lebih baik. 4. Terkadang tindakan penyesuaian posisi prefit tidak menghasilkan kondisi yang lebih baik. Seperti proses pada batch ke-6 yang tidak menjadi lebih baik walaupun telah dilakukan penyesuaian posisi prefit pada akhir batch ke-5. 5. Pengaturan parameter pulse terkadang tidak dapat dilakukan untuk memperbaiki kondisi secara tuntas. Hal tersebut terjadi pada batch ke11 dengan nilai R-bar yang relatif besar. Jika dilakukan perubahan pulse maka akan menimbulkan masalah baru yaitu underweight atau overweight pada corong yang lainnya. 6. Pengaturan parameter pulse terkadang tidak efektif karena terjadi perubahan tren output dalam waktu yang singkat. Pengaturan pulse harus dilakukan berkali-kali pada akhir batch ke-10. Perubahan tren output dalam waktu yang singkat menyebabkan pulse harus terus disesuaikan dan dipantau hasilnya agar tidak terjadi pelanggaran spesifikasi. 7. Posisi prefit dan derajat putaran tetap. Telah dipastikan pada hari ke-3 bahwa posisi prefit tidak mengalami pergeseran sehingga tidak menjadi faktor tren output dalam proses penakaran. Pengaturan derajat putaran auger menggunakan nilai pulse untuk mengendalikan motor penggerak auger yang menggunakan sistem koordinat berputar pada jumlah putaran yang sama setiap ketukan mesin. 4. Tren Output Proses Penakaran Data penimbangan output
yang digunakan untuk
analisis
kapabilitas proses penakaran mesin U9 juga dapat digunakan untuk 58
melihat adanya kecenderungan output proses penakaran masing-masing corong yang merupakan fungsi waktu. Nilai a dari persamaan regresi linier y=ax+b grafik tren corong menandakan arah dan besar pergerakan tren output corong tersebut. Nilai positif berarti tren output menaik sedangkan nilai negatif berarti menurun. Besarnya nilai a menunjukkan besarnya kemiringan garis tren. Semakin besar nilai a semakin curam kemiringan yang dapat diartikan semakin besar selisih perubahan nilai output. Karena setiap 15 menit dilakukan pengukuran output, nilai a dapat diartikan sebagai kisaran perubahan output (peningkatan atau penurunan) rata-rata sebesar a gram setiap 15 menit mesin beroperasi. Tabel 4. Nilai R2 Regresi Linier Setiap Corong Mesin U9 Hari
1
2
3
4
5
Batch 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
1 0,0178 0,0499 0,0426 0,1923 0,8959 0,5220 0,9383 0,2495 0,0640 0,1226 0,7592 0,1424 0,1771
Nilai R2 Regresi Linier Corong 2 3 4 5 0,6405 0,0027 0,3045 0,0209 0,1167 0,1633 0,4304 0,0081 0,0500 0,3781 0,0847 0,4076 0,0387 0,1535 0,0819 0,0804 0,0004 0,0083 0,0863 0,0376 0,0472 0,3888 0,6192 0,0933 0,9800 0,9586 0,9912 0,8679 0,1800 0,0514 0,0626 0,5354 0,7215 0,6940 0,6497 0,7732 0,3186 0,4988 0,4379 0,1702 0,5739 0,7729 0,7402 0,7628 0,1052 0,2251 0,1415 0,1925 0,1984 0,3836 0,0336 0,3831
6 0,2381 0,2829 0,0279 0,0409 0,6842 0,8507 0,9521 0,1929 0,0739 0,2822 0,7885 0,0397 0,0058
Walaupun demikian nilai R2 persamaan regeresi tersebut harus cukup besar yaitu mendekati angka 1,00 (biasanya bila mencapai 0,95 dapat diterima) sebagai bukti bahwa terdapat hubungan yang kuat bahwa nilai y merupakan fungsi dari x pada persamaan regresi linier yang dihasilkan tersebut. Berdasarkan data pada Tabel 4, diketahui bahwa sebagian besar nilai R2 dari persamaan regresi belum cukup besar sehingga
59
tidak menunjukkan adanya hubungan yang kuat bahwa perubahan kecenderungan output proses penakaran merupakan fungsi waktu. Dengan kata lain fluktuasi yang terjadi tidak memiliki kecenderungan tertentu dan tidak dapat diprediksi. 102 100 98 96 94 92 90 88 MEAN
MEDIAN
Hari ke-1 Batch:
MODUS 1
2
MAX
MIN
MEAN
MEDIAN
Hari ke-2 Batch:
3
MODUS 4
5
MAX
MIN
MAX
MIN
6
102 100 98 96 94 92 90 88 MEAN
MEDIAN
Hari ke-4 Batch:
10
MODUS 11
12
MAX 13
MIN
MEAN
MEDIAN
MODUS
Hari ke-5 Batch:
14
15
16
Keterangan: : Tindakan penyesuaian yang idealnya menaikkan nilai data populasi : Tindakan penyesuaian yang idealnya menurunkan nilai data populasi Gambar 24. Diagram Batang Statistik Dasar Populasi Output Eksplorasi data lebih lanjut untuk melihat kecenderungan output dari populasi data setiap batch menggunakan statistik dasar yaitu acuan nilai rata-rata (MEAN), nilai tengah (MEDIAN), nilai yang paling sering muncul (MODUS), nilai terbesar (MAX), dan nilai terkecil (MIN). Proyeksi nilai tersebut dalam diagram batang dapat membantu memberi gambaran bagaimana perubahan kondisi output antar-batch. Diagram batang dapat dilihat pada Gambar 24. Pada batch ke-2 teridentifikasi penurunan nilai MODUS walaupun sebelumnya telah dilakukan tindakan penyesuaian yang seharusnya meningkatkan nilai MODUS seperti yang terjadi pada nilai MEAN dan MEDIAN populasi data tersebut. Pada batch 60
ke-5 nilai MEAN, MEDIAN, MODUS, dan MIN berada pada kisaran spesifikasi produk setelah dilakukan tindakan penyesuaian walaupun terjadi pelanggaran nilai MAX. Pada batch ke-6 kembali teridentifikasi peningkatan nilai MAX dan juga penurunan nilai MIN kembali melewati batas bawah spesifikasi produk walaupun tindakan penyesuaian berhasil menahan nilai MEAN, MEDIAN, dan MODUS di dalam kisaran spesifikasi produk. Pada hari ke-4 hanya dilakukan penyesuaian parameter pulse pada batch ke-11 dan terlihat fluktuasi proses penakaran yang tidak memiliki pola tertentu. Satu-satunya diagram batang yang menunjukkan tren tertentu adalah pada pengamatan hari ke-5. Diagram batang tersebut tidak mengikutsertakan data pencilan yang tercatat pada batch ke-15. Data dapat dilihat pada Lampiran 25. Data pencilan tersebut disebabkan oleh kesalahan deteksi sensor proximity karena keberadaan bumbu di tepi hopper filling unit. Masalah segera teratasi setelah operator menggedor hopper filling unit beberapa kali sehingga menyebabkan bumbu yang berada di tepi tersebut jatuh dan bergabung kembali bersama bumbu lainnya yang terus teraduk oleh agitator. Caking tidak selalu berarti terbentuk gumpalan yang keras, melainkan dapat berupa agregat lembut yang dapat hancur dengan mudah (Barbosa-Cánovas et al., 2005). Kemungkinan besar bumbu yang berada pada bagian tepi tersebut telah mengalami proses pembentukan jembatan padatan (lemak nabati yang mengkristal) yang telah dijelaskan mekanismenya oleh Fitzpatrick (2005). Pada hari tersebut terjadi penghentian seluruh kegiatan produksi yang terjadwal sekitar 75 menit. Saat kegiatan produksi dihentikan, kemungkinan terdapat bumbu yang mengalami proses kristalisasi lebih lanjut di dalam hopper filling unit akibat mengalami penurunan suhu dan memiliki cukup waktu membentuk struktur fisik jembatan padatan lemak yang hubungannya telah dijelaskan sebelumnya oleh Rye et al. (2005). Oleh sebab itu terbentuklah kumpulan sejumlah bumbu pada bagian tepi hopper filling unit yang cukup stabil dan kemudian terakumulasi dengan
61
partikel bumbu lain yang hampir mengkristal. Pada akhirnya agregat tersebut kolaps setelah mendapatkan gebrakan dari operator. Berdasarkan diagram batang pada hari ke-5 terlihat ada tren peningkatan nilai output seiring dengan urutan batch. Proses aging tetap berlangsung selama penghentian kegiatan produksi. Proses aging bertujuan untuk menurunkan suhu bumbu sekaligus pencapaian kristalisasi lemak nabati yang merupakan salah satu komponen penyusun bumbu. Penghentian kegiatan produksi memberikan lebih banyak waktu kepada stok bumbu untuk mengalami proses aging sehingga lemak di dalam campuran bumbu pada hari tersebut dapat mencapai tingkat kristalisasi yang lebih baik. Keberadaan cairan, biasanya air atau lemak cair, memberi kontribusi yang besar terhadap kohesi (Fitzpatrick, 2005). Dengan demikian tingkat kohesi bumbu yang relatif lebih rendah akibat durasi proses aging yang lebih lama dapat menjelaskan terjadinya tren peningkatan massa proses penakaran yang terjadi pada hari ke-5. Berdasarkan proyeksi statistik dasar yang diperoleh selama pengamatan (Gambar 24), belum cukup bukti untuk menunjukkan bahwa terdapat masalah yang terletak pada sistem penakaran mesin pengemas sehingga menyebabkan terjadinya inkonsistensi proses penakaran. Walaupun demikian dari sebagian besar data tersebut memperlihatkan fluktuasi output tanpa adanya tren tertentu yang merupakan fungsi waktu. Kondisi demikian lebih cenderung memperlihatkan adanya masalah pada faktor bumbu daripada masalah pada sistem penakaran mesin pengemas. Dengan demikian dapat diduga bahwa faktor bumbu yang bermasalah merupakan penyebab terjadinya inkonsistensi proses penakaran pada mesin pengemas. Dapat diperkirakan bahwa fluktuasi output pada hari ke-1, ke-2, dan ke-4 kemungkinan besar disebabkan oleh fluktuasi aliran bumbu di dalam sistem penakaran, terutama akibat fluktuasi karakteristik bumbu yaitu tingkat kelengketan (cohesiveness). Bubuk kohesif biasanya menunjukkan masalah aliran (Barbosa-Cánovas et al., 2005). Mengingat adanya gaya tekan dari prefit, semakin besar paparan gaya tekan terhadap
62
material akan menghasilkan tingkat kekompakan material yang semakin besar sehingga akan menjadi bongkahan padat apabila mencapai nilai kritisnya (Johanson, 2005). Bumbu yang lebih kohesif cenderung lebih tidak mudah mengalir ke dalam inlet auger dibandingkan bumbu yang kurang kohesif, sehingga secara nyata terjadi penurunan nilai output pada proses penakaran. Tindakan perbaikan yaitu menurunkan posisi prefit dari posisi sebelumnya menimbulkan gaya tekan terhadap bumbu menjadi lebih besar yang bertujuan untuk memperbaiki aliran bumbu. Apabila gaya tekan mencapai nilai kritis dari bumbu maka tindakan tersebut malah memperburuk kondisi proses penakaran dengan peningkatan peluang terjadinya caking di sekitar inlet auger, terlebih pada bumbu yang kohesif. Berdasarkan pengamatan diketahui bahwa inkonsistensi proses penakaran pada mesin U9 berupa fluktuasi output tidak dapat diprediksi. Fluktuasi tetap terjadi walaupun telah dilakukan usaha pengendalian melalui tindakan penyesuaian posisi prefit atau penyesuaian parameter pulse. Kembali mengingat prinsip kerja sistem auger dalam penakaran, pada kondisi posisi prefit (tekanan) dan pulse (volume) yang tetap idealnya tidak terjadi fluktuasi output yang signifikan jika aliran dan jumlah bumbu yang mengisi ruang pitch auger relatif tetap. Fluktuasi karakteristik fisik bumbu terutama tingkat kelengketan bumbu (cohesiveness) menyebabkan terjadinya fluktuasi output proses penakaran akibat fluktuasi karakteristik kemudahan mengalir (flowability) atau aliran bumbu yang buruk di dalam sistem penakaran. Kasus terburuk adalah terjadi gangguan aliran bumbu akibat terbentuknya caking di sekitar sistem penakaran akibat paparan gaya tekan prefit yang melebihi nilai kritis dan didukung oleh karakteristik fisik bumbu yang kohesif. Apabila tingkat kelengketan (cohesiveness) bumbu dapat dikurangi dan ditekan variasinya antar-batch maka penyebab masalah terbesar dari inkonsistensi proses penakaran dapat diatasi. 5. Pengamatan Proses Produksi Menurut Levy dan Kalman (2001), sifat curah (bulk properties) dari bubuk pangan adalah fungsi dari sejarah sistem secara keseluruhan. Sejarah yang dialami material curah (baik bahan baku, proses, 63
penanganan, dan penyimpanan) dapat berdampak besar terhadap sifat dan kelakuan material tersebut. Pemikiran serupa juga dinyatakan oleh Barbosa-Cánovas dan Juliano (2005) bahwa karakteristik fisik dari bubuk secara umum saling bergantung antara satu dengan yang lainnya. Perubahan apapun dari karakteristik bubuk dapat menghasilkan perubahan yang signifikan terhadap densitas kamba bubuk (Peleg, 1983). Perubahan yang sangat kecil pada densitas kamba bubuk dapat menyebabkan perubahan kemudahan mengalir (flowability) yang besar (Levy dan Kalman, 2001). Oleh sebab itu pengamatan proses produksi secara menyeluruh dapat memberikan gambaran aktual bagaimana produksi bumbu
dilakukan
dan
sekaligus
menjelaskan
faktor-faktor
yang
berpengaruh terhadap fenomena karakteristik bumbu yang kohesif beserta penyebab fluktuasi tingkat kelengketan (cohesiveness) bumbu yang berdampak buruk terhadap sistem penakaran mesin pengemas. a. Parameter Waktu Proses Mixing Pengukuran waktu mixing pada hari pertama menunjukkan bahwa proses mixing belum terkendali dengan baik. Standar perusahaan untuk proses mixing bumbu varian Ayam adalah 25% waktu mixing untuk tahap pertama (Mixing I) dan 75% sisa waktu mixing untuk tahap berikutnya (Mixing II). Sebagian besar proses mixing sudah diselesaikan dengan dilakukannya unloading bumbu sebelum timer mencapai titik akhir proses yang telah ditentukan. Hanya ada 4 dari 20 batch bumbu yang di-unloading setelah timer mencapai titik akhir. Selain itu sebagian besar parameter waktu proses Mixing I juga belum mencapai standar. Waktu Mixing I pada batch ke-16 lebih dari 25% karena lemak nabati belum siap saat mixer sudah dijalankan. Pengukuran hari ke-2 juga menunjukkan proses mixing yang belum terkendali. Hanya ada 3 dari 20 batch bumbu yang mencapai titik akhir timer. Hasil pengukuran waktu mixing dapat dilihat pada Gambar 25 dan Gambar 26. Pencapaian kesesuaian parameter waktu proses mixing tidak hanya pencapaian waktu total mixing saja melainkan proporsi durasi 64
waktu tahap Mixing I dan Mixing II juga merupakan variabel waktu yang berpengaruh terhadap mutu output. Kesesuaian parameterparameter waktu tersebut sangat penting dicapai mengingat di dalam proses mixing secara tidak langsung terjadi urutan tahapan proses yaitu pencampuran premix bubuk kering, pencampuran lemak nabati cair, dan homogenisasi.
Kecukupan Proses
100% 95% 90% 85% 80% 75% 70% 65% 60% 55% 50% 45% 40% 35% 30% 25% 20% 15% 10% 5% 0% 1
2
3
4 5 6 Mixing I
7
8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 Mixing II X̅ Mixing I X̅ Mixing II
X̅
Gambar 25. Waktu Mixing Hari ke-1 Tahap Mixing I mencampur seluruh bahan bubuk kering menjadi sebuah campuran pada kondisi ketercampuran tertentu sebelum dimasukkan lemak nabati cair. Proses mixing bumbu varian Ayam melibatkan 15 jenis bahan bubuk kering yang memiliki karakteristik fisik yang berbeda-beda termasuk ukuran partikel. Menurut Harnby dan Edwards (1992), jika terdapat partikel halus dan kasar dalam suatu campuran maka partikel yang lebih halus akan menyelubungi permukaan partikel yang lebih besar dan kasar. Pada situasi ini, partikel yang kecil dan halus tersebut kehilangan gaya gerak individualnya. Pengamatan kualitatif terhadap bahan baku racikan (BTP dan flavor) mengindikasikan ukuran partikel yang relatif lebih kecil dan halus 65
dibandingkan bahan baku utama yaitu garam, gula, dan MSG. Bahan baku racikan cenderung lebih mudah menimbulkan debu saat kegiatan produksi berlangsung. Selain itu terdapat bahan cair yang digunakan dalam produksi yaitu lemak nabati fraksi stearin yang dipanaskan (8090°C). Keberadaan cairan di dalam campuran bumbu tersebut dapat meningkatkan gaya interaksi antar-partikel yang dijelaskan oleh Fitzpatrick (2005). Dengan demikian dapat diprediksi bahwa campuran bumbu setelah proses mixing akan membentuk campuran tipe ordered mixtures karena perbedaan ukuran bahan baku dan keberadaan gaya interaksi antar-partikel yang besar seperti yang telah dijelaskan oleh Peleg (2005) dan Muzzio et al. (2004).
Kecukupan Proses
100% 95% 90% 85% 80% 75% 70% 65% 60% 55% 50% 45% 40% 35% 30% 25% 20% 15% 10% 5% 0% 1
2
3
4
5
6
Mixing I
7
8
9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Mixing II
X̅ Mixing I
X̅
X̅ Mixing II
Gambar 26. Waktu Mixing Hari ke-2 Aglomerasi partikel dapat terjadi dengan keberadaan cairan (Stanley-Wood, 2008), seperti yang terjadi pada kondisi mixing bumbu ketika lemak nabati cair dimasukkan ke dalam mixer. Jika lebih dari satu jenis bubuk diperlakukan tumble agglomeration, tiap komponen harus terukur jumlahnya dan dalam bentuk premix (Barbosa-Cánovas et al., 2005). Waktu proses tahap Mixing I yang belum terkontrol 66
berpengaruh terhadap tingkat kehomogenan campuran bahan yang akan memasuki tahap pemasukan lemak nabati cair dimasukkan ke dalam mixer yang seharusnya saat waktu proses mixing mencapai 25%. Proses homogenisasi bisa saja dibutuhkan untuk menghindari resiko terjadinya aglomerasi selektif akibat keterlibatan ukuran partikel yang beragam (Barbosa-Cánovas et al., 2005). Oleh karena itu pencapaian standar waktu proses tahap Mixing I perlu diterapkan secara konsisten pada semua batch bumbu yang diproduksi untuk mendukung tercapainya tingkat kehomogenan campuran bumbu yang tinggi, termasuk persebaran lemak nabati yang baik. Pada tahap Mixing II terjadi secara simultan proses aglomerasi, pemecahan aglomerasi akibat pengadukan dan kerja chopper, serta homogenisasi campuran bumbu. Penambahan lemak nabati cair ini tidak memiliki tujuan khusus (seperti proses aglomerasi atau coating) di dalam proses mixing melainkan sebagai salah satu komponen formulasi bumbu yang idealnya terdistribusi secara merata di dalam campuran bumbu. Walaupun demikian proses aglomerasi terjadi akibat kenaikan gaya interaksi antar partikel yang disebabkan oleh pembasahan dan pemerataan lemak nabati cair pada partikel-partikel di dalam campuran bumbu. Terbentuk agregasi partikel yang merupakan partikel-partikel baru yang termasuk tipe interactive atau ordered mixture pada tingkat kehomogenan tertentu.Setelah proses penuangan lemak nabati, agitator dan chopper terus bekerja mengaduk selama sisa waktu sampai timer menghentikan proses mixing. Selama sisa waktu tersebut terus terjadi homogenisasi partikel-partikel komponen penyusun bumbu, termasuk pemerataan lemak nabati. Dengan demikian, durasi waktu tahap Mixing II berdampak besar terhadap tingkat kehomogenan bumbu dalam hal karakteristik fisik terutama persebaran lemak nabati dan distribusi ukuran partikel bumbu di akhir proses mixing. Berdasarkan kondisi proses yang terjadi di dalam proses mixing, sangat besar peluang terjadinya perubahan karakteristik fisik bumbu seperti densitas, ukuran partikel, distribusi ukuran partikel, dan
67
komposisi ukuran partikel secara menyeluruh pada campuran bumbu tersebut akibat agregasi partikel. Fluktuasi dan ketidaksesuaian dengan prosedur parameter waktu proses mixing yang teridentifikasi selama pengamatan diduga kuat menyebabkan fluktuasi tingkat kehomogenan karakteristik fisik bumbu. Tentunya hal tersebut dapat mempengaruhi proses penakaran yang mengarah kepada inkonsistensi proses penakaran. Titik kritis yang perlu lebih dicermati adalah persebaran lemak nabati di dalam campuran bumbu mengingat terdapat proses aging pada tahap produksi selanjutnya. Di dalam proses aging terjadi kristalisasi lemak sehingga berubah menjadi fase padat yang kecepatan dan kestabilannya dipengaruhi oleh beberapa faktor yang salah satunya adalah konsentrasi lemak yang telah dijelaskan oleh (Metin dan Hartel, 2005) b. Metode Pemasukan Lemak Nabati Cair Metode pemasukan lemak nabati cair menggunakan corong pembantu menimbulkan akumulasi lemak nabati fase semi-solid atau fase padat di sekitar inlet mixer. Ilustrasi metode pemasukan lemak nabati dapat dilihat pada Gambar 27. Tidak seluruh pancuran lemak nabati dari corong pembantu langsung jatuh masuk ke dalam mixer. Pancuran pada bagian tepi corong membasahi sisi dalam inlet mixer. Penutup inlet mixer juga terbasahi oleh pancuran lemak nabati dari bagian tengah corong pembantu. Ceceran lemak nabati segera mengalami proses pembekuan saat kontak langsung pada permukaan inlet mixer atau lapisan lemak nabati yang telah terbentuk sebelumnya yang bersuhu relatif lebih rendah daripada suhu pancuran lemak nabati cair yang baru dituangkan tersebut. Pada siklus batch berikutnya sedikit bahan baku melekat pada lemak nabati yang masih dalam fase semisolid saat bahan baku dimasukkan melalui inlet mixer. Kembali terjadi lapisan lemak nabati padat dari ceceran di sekitar bagian dalam inlet mixer saat pemasukan lemak nabati cair. Siklus ini terus terjadi dan berakumulasi membentuk bongkahan padat dengan komposisi sebagian
68
besar lemak nabati dan sebagian kecil bahan baku bumbu. Bongkahan tersebut dapat mencapai ketebalan 6,2 cm.
Gambar 27. Skema Pemasukan Lemak Nabati Cair Bongkahan yang sebagian besar mengandung lemak nabati tersebut dapat masuk ke dalam mixer akibat pembersihan yang dilakukan operator mixer atau jatuh dengan sendirinya saat ukurannya sudah cukup besar. Mengingat prinsip kerja mixer dan adanya sepasang chopper, bongkahan tersebut dapat hancur dan tercampur dalam campuran bumbu. Walaupun demikian partikel-partikel yang berasal dari bongkahan tersebut merupakan partikel dengan kadar lemak nabati yang tinggi. Selain berpeluang menambahkan kadar lemak secara total di dalam campuran bumbu batch tertentu, kemampuan partikel-partikel lemak nabati fase padat dan semi-solid tersebut relatif lebih rendah untuk terdistribusi merata dibandingkan lemak yang masuk ke dalam mixer dalam keadaan fase cair. Bongkahan lemak nabati dari inlet mixer yang diberikan gaya tekan dan gesek lebih cenderung mengalami deformasi dan bersifat plastis daripada mengalami patahan. Partikel-partikel lemak nabati 69
padat yang merupakan reduksi ukuran dari bongkahan lemak nabati padat tersebut memiliki karakteristik fisik yang tidak jauh berbeda. Dalam proses penakaran pada mesin pengemas terjadi paparan gaya gesek dan tekan dalam sistem auger yang tidak dapat dihindari. Keberadaan
partikel-partikel
berkadar
lemak
tinggi
yang
karakteristiknya cenderung berdeformasi dan plastis tersebut di dalam campuran bumbu berperan menjadi salah satu faktor pemicu terjadinya fenomena caking di sekitar hopper filling unit dan inlet auger. Pancuran lemak nabati cair yang dihasilkan oleh corong pembantu masih belum ideal untuk membantu menghasilkan persebaran lemak nabati yang baik di dalam proses mixing. Ukuran pancuran yang dihasilkan relatif jauh lebih besar daripada ukuran partikel-partikel komponen penyusun bumbu. Hal ini diperburuk oleh terjadinya pancuran gabungan yang disertai pertambahan debit aliran dan ukuran droplet yang relatif lebih besar daripada pancuran awal yang dihasilkan dari corong pembantu. Beberapa pancuran gabungan dapat terbentuk dari dua atau lebih pancuran awal yang bertabrakan. Pola pancuran dari corong pembantu tidak seluruhnya tegak lurus ke bawah, sebagian pancuran ada yang membentuk lengkungan dan tidak teratur. Pola pancuran demikian menyebabkan pembentukan pancuran gabungan, selain menyebabkan ceceran lemak nabati di sekitar inlet mixer. Bumbu yang terpapar pancuran lemak nabati cair dengan kondisi seperti yang disebutkan di atas juga menjadi salah satu faktor penyebab persebaran lemak nabati di dalam campuran bumbu kurang seragam. Persebaran lemak nabati yang kurang seragam dalam batch bumbu dapat diartikan bahwa pada bagian tertentu terdapat bumbu dengan kadar lemak nabati yang relatif tinggi dan pada bagian tertentu lainnya terdapat bumbu dengan kadar lemak nabati yang relatif rendah. Untuk proses pembasahan yang optimum, ukuran droplet pembasah harus sama atau lebih kecil dari ukuran partikel bubuk kering (BarbosaCánovas et al., 2005).
70
c. Waktu Aging Teramati batch bumbu tidak mengalami waktu proses aging yang sama antara batch yang satu dengan yang lainnya. Standar perusahaan adalah bumbu minimal mengalami proses aging 15 menit sebelum dimasukkan ke dalam hopper feeder. Bumbu mengalami proses aging di dalam kantong plastik yang ditumpuk di atas pallet dapat berkisar antara 0 sampai 270 menit. Waktu aging tergantung dari kondisi jumlah stok bumbu dan kebutuhan mesin pengemas. Ketika stok bumbu sedikit, bumbu yang baru selesai tahap mixing langsung dimasukkan ke dalam hopper feeder yang kosong tanpa melaui proses aging karena upaya pemenuhan kebutuhan suplai bumbu mesin pengemas. Tidak ada perlakuan khusus selama proses aging. Terdapat area kosong pada ruang produksi yang dialokasikan untuk meletakkan paletpalet tumpukan bumbu yang menunggu untuk memasuki tahap produksi berikutnya yaitu pemasukan bumbu ke dalam hopper feeder. Saat menunggu pada area tersebut bumbu mengalami proses aging di dalam kantong-kantong plastik yang tersusun di atas palet masingmasing batch. Apabila stok bumbu cukup banyak maka bumbu terus mengalami proses aging selama menunggu antrian sehingga durasi waktu proses aging cukup panjang seiring dengan lamanya waktu tunggu antrian. Selama menunggu antiran, suhu bumbu terus menurun akibat perbedaan suhu bumbu dan ruang produksi. Selama penurunan suhu bumbu ini juga terjadi proses kristalisasi lemak nabati lebih lanjut. Inkonsistensi parameter waktu proses aging dengan asumsi suhu ruang produksi yang terkendali menyebabkan fluktuasi tingkat kristalisasi lemak nabati di dalam campuran bumbu. Apabila pencapaian tingkat kristaliasi lemak belum tercapai dengan baik, maka masih terdapat lemak nabati dalam bentuk fase cair di dalam campuran bumbu. Keberadaan lemak fase cair tersebut menyebabkan tingginya tingkat kohesi bumbu yang telah dijelaskan sebelumnya dapat menjadi sumber masalah bagi sistem penakaran mesin pengemas. Fluktuasi
71
waktu proses aging berdampak terhadap fluktuasi karakteristik fisik bumbu terutama tingkat kelengketan (cohesiveness) dan kemudahan mengalir (flowability) bumbu. Dengan demikian parameter waktu aging penting untuk dikendalikan dan dioptimalkan dengan baik untuk memastikan kristalisasi lemak telah tercapai sebelum bumbu memasuki tahap proses selanjutnya. d. Suhu Aging Pengukuran suhu bumbu dilakukan dalam kantong bumbu yang baru dikeluarkan dari mixer. Peningkatan suhu bumbu antara kantong terjadi seiring dengan urutan pengeluaran dari mixer. Suhu bumbu kantong awal memiliki suhu yang lebih rendah dibandingkan kantongkantong berikutnya dan suhu tertinggi pada kantong terakhir dalam satu batch bumbu. Suhu bumbu pada masing-masing kantong tersebut merupakan suhu awal proses aging pada masing-masing kantong. Data pengukuran suhu proses aging dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Pengukuran Suhu Aging Ulangan
1 2 3
Awal
Waktu (menit)
Pinggir
0 120 0 120 0 120
40,7 36,5 40,4 36,2 39,8 36,6
Tengah
Akhir
Tengah Pinggir Suhu (oC) 41,9 43,8 40,8 38,5 41,4 43,2 40,5 38,7 40,4 42,5 39,7 36,3
Laju Penurunan Suhu (oC/menit) 0,035
0,009
0,044
0,035
0,007
0,038
0,027
0,006
0,052
Pengukuran juga menunjukkan bahwa posisi penumpukan berpengaruh terhadap laju penurunan suhu. Penurunan suhu kantong yang ditumpuk pada bagian pinggir relatif lebih besar dibandingkan kantong yang ditumpuk pada bagian tengah. Hal ini disebabkan faktor perbedaan luas kontak permukaan kantong bumbu dengan udara ruang produksi. Pada bagian pinggir luas permukaan kantong bumbu yang kontak langsung dengan udara ruang produksi lebih besar dibandingkan
72
kantong yang berada pada tumpukan tengah. Dengan demikian laju pindah panas kantong bumbu yang berada pada pinggir tumpukan lebih besar sehingga dalam durasi waktu aging yang sama, kantong yang berada di tumpukan pinggir memiliki suhu yang relatif lebih rendah dibandingkan suhu kantong yang ditumpuk pada bagian tengah. Berdasarkan penjelasan di atas, didapati bahwa kondisi proses aging tidak seragam antara kantong bumbu yang satu dengan yang lainnya yaitu dalam hal suhu awal dan laju penurunan suhu. Suhu awal proses aging ditentukan oleh suhu bumbu saat keluar dari mixer. Laju penurunan suhu pada kantong-kantong yang berada pada bagian pinggir dalam tumpukan relatif lebih besar dibandingkan kantong-kantong yang berada di bagian tengah tumpukan. Besarnya suhu dan variasi suhu setelah proses aging dalam durasi waktu 120 menit menunjukkan kondisi aging belum optimal. Perlakuan waktu proses aging tersebut jauh lebih lama dibandingkan standar perusahaan yaitu minimal 15 menit. Menurut Marangoni (2005), lemak biasanya harus didinginkan di bawah titik lelehnya paling sedikit 5 sampai 10oC sebelum mulai terjadi kristalisasi dan semakin stabil dengan semakin turunnya suhu di bawah titik lelehnya. Selain faktor suhu, lemak memerlukan waktu untuk mengkristal dengan baik terkait fenomena polymorphic yang dijelaskan oleh Humphrey dan Narine (2005). Data pengukuran menunjukkan bahwa kondisi suhu bumbu sebesar 39,9 ± 2,4oC setelah dilakukan proses aging selama 120 menit mengindikasikan bahwa kristalisasi lemak di dalam campuran bumbu belum tercapai dengan baik. Pada kisaran suhu tersebut lemak baru mulai mengalami proses kristalisasi dan masih dalam fase semisolid yang belum membentuk struktur kristal yang stabil. Keberadaan komponen-komponen penyusun formula bumbu sangat mungkin bersifat sebagai pengotor (impurities) yang mengganggu proses kristalisasi lemak seperti yang dijelaskan oleh Metin dan Hartel (2005) dan Marangoni (2005). Dengan demikian dapat diketahui bahwa dengan metode dan kondisi proses aging aktual belum dapat
73
mengakomodir tercapainya kristalisasi lemak yang baik di dalam campuran bumbu. Dari data ulangan, variasi laju penurunan suhu pada kantong tumpukan bumbu bagian tepi sebesar 22,33% mengindikasikan suhu ruangan produksi tempat berlangsungnya proses aging belum terkendali dengan baik. Kondisi demikian mempengaruhi proses kristalisasi lemak sesuai dengan penjelasan Metin dan Hartel (2005) dan Rye et al. (2005), yang mempengaruhi tingkat kristalisasi lemak yang secara nyata terhadap karakteristik fisik bumbu. Untuk memastikan kondisi kestabilan suhu ruang produksi dapat dilakukan pengukuran suhu ruangan lebih lanjut. Apabila suhu ruangan produksi tidak stabil maka perlu dilakukan upaya pengendalian agar tujuan proses aging yaitu kristalisasi lemak dapat tercapai dengan baik. Standar waktu proses biasanya mengasumsikan kondisi tertentu sehingga diperoleh durasi waktu tertentu yang dibutuhkan agar tujuan proses tercapai. Apabila suhu ruangan produksi tidak terkendali maka masih ada peluang tidak tercapainya kristalisasi lemak walaupun proses aging dilakukan sesuai dengan standar waktu proses. Variasi suhu bumbu antar-kantong akibat metode penumpukan juga sebaiknya dipertimbangkan mengingat laju penurunan suhu pada bagian tengah tumpukan relatif jauh lebih kecil daripada bagian pinggir tumpukan. e. Hopper Feeder Pengamatan menunjukkan bahwa aliran bumbu dalam hopper feeder membentuk pola aliran funnel flow yang dapat dilihat pada Gambar 28. Aliran vertikal bumbu menuju feeder cenderung hanya pada bumbu bagian tengah hopper saja. Bumbu pada bagian pinggir hopper cukup stabil sehingga tidak mengalir mengisi ruang bagian tengah yang mulai membentuk terowongan. Sebagian kecil bumbu pada bagian pinggir dapat jatuh ke rongga bagian tengah akibat getaran dari vibrator yang dipasang pada dinding luar hopper. Walaupun demikian jumlah bumbu yang jatuh ke bagian tengah tersebut tidak cukup banyak untuk mengisi rongga kosong yang terbentuk. 74
Gambar 28. Skema Pola Aliran Bumbu Aktual di Dalam Hopper Feeder Ada kalanya operator mesin pengemas atau pekerja yang bertanggung jawab mengisi hopper feeder tersebut harus mengetukngetuk dinding hopper dengan cukup kuat agar bumbu pada bagian pinggir hopper tersebut jatuh ke rongga aliran bumbu yang kosong. Bahkan jika cara demikian tidak berhasil maka bagian atas hopper yang merupakan inlet sekaligus ayakan 8 mesh dibuka kemudian gundukan bumbu stabil tersebut gemburkan hingga terhambur memenuhi rongga kosong yang ada. Perilaku bumbu yang tidak mudah mengalir dan membentuk gundukan stabil tersebut mengindikasikan sifat bumbu yang kohesif selain faktor design hopper feeder yang tidak dapat mengakomodir aliran bumbu yang baik. Pada Gambar 28, gradasi warna merah adalah bumbu yang lebih dahulu masuk ke dalam hopper feeder dan gradasi kuning adalah bumbu yang lebih akhir memasuki hopper feeder. Perlu diingat bahwa proses aging masih terjadi di dalam hopper feeder apabila kristalisasi lemak nabati belum tecapai dengan baik di dalam tahap proses aging sebelumnya. Dengan pola aliran funnel flow maka bumbu yang dialirkan menuju hopper filling unit mesin pengemas berpeluang tidak
75
seluruhnya berasal dari kelompok bumbu yang mengalami durasi proses aging yang sama. Dengan demikian fenomena aliran bumbu di dalam hopper feeder dapat menyebabkan terjadinya fluktuasi karakteristik fisik bumbu di dalam filling unit mesin pengemas yang tentunya berdampak terhadap inkonsistensi proses penakaran. Menurut Carson (2008), jika ketidakseragaman proses terjadi ketika bin digunakan sebagai wadah proses, hal tersebut adalah indikasi perlunya merubah pola aliran funnel flow menjadi mass flow.
Gambar 29. Pengaruh Screw Feeder Terhadap Arus Aliran Sumber : Barbosa-Cánovas et al. (2005)
Faktor penyebab terjadinya pola aliran funnel flow pada hopper feeder mesin pengemas selain karakteristik bumbu adalah faktor desain hopper dan desain screw feeder. Desain hopper aktual adalah bentuk pyramidal
tergolong
dalam
kategori
hopper
yang
cenderung
menghasilkan pola aliran funnel flow. Secara umum bentuk pyramidal harus dihindari jika pola mass flow dibutuhkan (Carson, 2008). Screw feeder konvensional tidak dapat mengakomodir pengeluaran bumbu secara merata di seluruh area outlet hopper sehingga aliran bumbu di
76
dalam hopper hanya pada bagian tertentu saja. Bentuk hopper dan desain feeder aktual sangat mendukung terjadinya pola aliran funnel flow. Keadaan yang sama seperti Gambar 28 dan Gambar 29 juga dijelaskan oleh Schulze (2008), screw sudah terisi pada bagian ujung belakang feeder sehingga tidak akan ada lagi bubuk yang mampu masuk di sepanjang bagian sisa screw. Karakteristik bumbu yang lengket dan tidak mudah mengalir memperburuk kondisi yang disebabkan oleh faktor desain. Ketidaksesuaian antara karakteristik produk dan desain hopper feeder adalah penyebab masalah aliran bumbu di dalam hopper feeder. Masalah aliran bumbu di dalam hopper feeder seperti penjabaran di atas berpeluang menimbulkan masalah bagi sistem penakaran di mesin pengemas. Gangguan suplai bumbu dari hopper feeder dapat mengakibatkan kekurangan bumbu di dalam filling unit mesin pengemas sehingga menyebabkan gangguan proses penakaran. Pola funnel flow juga dapat menyebabkan perubahan karakteristik fisik seperti caking pada bagian bumbu yang tidak teralirkan akibat paparan tekanan, fluktuasi suhu, dan peningkatan kadar air karena paparan kelembaban udara dalam waktu yang lama. Apabila suatu saat bumbu yang telah berubah karakteristik fisiknya tersebut teralirkan menuju filling unit maka akan timbul masalah proses penakaran pada mesin pengemas. 6. Kemudahan Mengalir Bumbu Analisis karakteristik fisik bumbu dengan metode Hausner dan Carr menggunakan sampel dengan pengkondisian bumbu mendekati kondisi aktual proses aging dalam kegiatan produksi. Telah diketahui berdasarkan pengamatan sebelumnya bahwa suhu bumbu pada kantong bagian tengah tumpukan relatif lebih tinggi dibandingkan kantong bagian pinggir tumpukan. Pada suhu yang lebih tinggi tersebut diperkirakan kecukupan kristalisasi lemak nabati relatif lebih rendah dibandingkan bumbu yang bersuhu lebih rendah. Dari kantong bumbu yang berada pada bagian tengah tumpukan kantong bumbu tersebut segera diambil sejumlah 77
sampel untuk pengukuran sesaat setelah bumbu keluar dari mixer. Sampel tidak dimasukkan kembali ke dalam kantong asalnya agar tidak mengganggu kondisi proses aging yang sedang berlangsung. Setelah aging selama 120 menit, dari kantong yang sama kembali diambil sejumlah bumbu untuk pengukuran loose density dan tapped density. Tabel 6. Kemudahan Mengalir Bumbu Tanpa Perlakuan Aging Loose Tapped Carr Aging Hausner Karakteristik Ulangan Density Density Index (Menit) Ratio Aliran (g/ml) (g/ml) (%) 1 2 3 4 Rata-rata
0 0 0 0
0,860 0,824 0,840 0,800 0,831
1,208 1,212 1,280 1,220 1,230
1,40 1,47 1,52 1,52 1,48
28,80 32,00 34,40 34,40 32,40
Poor Very Poor Very Poor Very Poor Very Poor
Tabel 7. Kemudahan Mengalir Bumbu Setelah Aging 120 Menit Loose Tapped Carr Aging Hausner Karakteristik Density Density Index (Menit) Ratio Aliran (g/ml) (g/ml) (%) 1 120 0,828 1,262 1,52 34,40 Very Poor 2 120 0,836 1,290 1,54 35,20 Very Poor 3 120 0,880 1,264 1,44 30,40 Poor 4 120 0,856 1,321 1,54 35,20 Very Poor Rata-rata 0,850 1,284 1,51 33,80 Very Poor Ulangan
Secara garis besar aging meningkatkan loose density dari 0,831g/ml menjadi 0,850g/ml dan tapped density dari 1,230g/ml menjadi 1,284g/ml. Meningkatnya kedua parameter tersebut mengindikasikan pergerakan bumbu mengisi ruang di antara partikel-partikel menjadi lebih baik. Berarti interaksi antar-partikel bumbu berkurang setelah aging 120 menit dibandingkan tanpa aging. Penurunan gaya interaksi antar-partikel tersebut disebabkan oleh lebih banyak lemak nabati cari yang sudah mengkristal. Perlakuan waktu aging 120 menit jauh lebih lama dibandingkan parameter waktu aging standar perusahan yaitu minimal 15 menit. Walaupun demikian hasil karakterisasi kemudahan mengalir bumbu
78
menurut metode Hausner dan Carr menunjukkan kategori “VERY POOR” yang masih jauh dari harapan. Data pengukuran pada ulangan ke-3 menunjukkan penurunan nilai Hausner Ratio dan Carr Index setelah perlakuan aging 120 menit, sedangkan dalam pengukuran ulangan lainnya
menunjukkan
hal
sebaliknya. Penurunan kedua nilai tersebut merupakan indikasi kemudahan mengalir bumbu (flowability) menjadi lebih baik. Namun secara keseluruhan hasil analisis menunjukkan bahwa setelah aging 120 menit terjadi peningkatan nilai Hausner Ratio dari 1,48 menjadi 1,51 dan Carr Index dari 32,40% menjadi 33,80%. Selain faktor variasi laju penurunan suhu dan persebaran lemak nabati yang menyebabkan variasi tingkat kristalisasi yang telah dibahas pada bagian sebelumnya, bumbu yang kurang homogen (dalam hal karakteristik fisik yaitu ukuran partikel dan distribusi ukuran partikel) di dalam kantong sampel juga dapat menjadi salah satu faktor penyebab penyimpangan data. Sampel pada pengukuran setelah aging bukanlah sejumlah bumbu yang sama pada pengukuran tanpa aging, melainkan bumbu dari kantong yang sama. Jika bumbu di dalam kantong sampel tersebut kurang homogen maka pada pengukuran kedua yaitu setelah aging 120 menit tidak dapat menggambarkan perubahan yang representatif. Pengukuran duplo tidak dapat dilakukan karena keterbatasan penyesuaian kebutuhan waktu pengukuran terhadap waktu siklus produksi bumbu. 7. Kemudahan Mengalir Bahan Baku Menurut tim produksi, bumbu yang lengket disebabkan oleh faktor bahan baku yang kurang baik terutama garam yang kadar airnya tinggi. Garam adalah komposisi bahan baku terbesar dalam formulasi bumbu sehingga memiliki peluang yang besar sebagai pengaruh utama terhadap karakteristik kemudahan mengalir bumbu. Gula merupakan urutan kedua terbesar di dalam komposisi setelah garam. Gula juga memiliki ukuran partikel yang relatif besar dan kasar. Seharusnya bahan baku produksi bumbu sudah memiliki kualitas mutu yang baik sebab telah dinyatakan
79
lolos uji oleh tim Quality Control yang melakukan pemeriksaan seluruh bahan baku produksi saat proses penerimaan bahan baku dari pemasok. Tabel 8. Kemudahan Mengalir Bahan Baku Garam
Ulangan 1 2 3 4 Rata-rata
Loose Density (g/ml)
Tapped Density (g/ml)
Hausner Ratio
Carr Index (%)
Karakteristik Aliran
1,240 1,232 1,192 1,208 1,218
1,422 1,439 1,419 1,411 1,423
1,15 1,17 1,19 1,17 1,17
12,80 14,40 16,00 14,40 14,40
Good Good Fair Good Good
Tabel 9. Kemudahan Mengalir Bahan Baku Gula Ulangan 1 2 3 4 Rata-rata
Loose Density (g/ml)
Tapped Density (g/ml)
Hausner Ratio
Carr Index (%)
Karakteristik Aliran
0,900 0,892 0,904 0,868 0,891
0,987 0,987 0,991 0,986 0,988
1,10 1,11 1,10 1,14 1,11
8,80 9,60 8,80 12,00 9,80
Excellent Excellent Excellent Good Excellent
Pengukuran kemudahan mengalir dilakukan pada batch bahan baku yang digunakan untuk produksi bumbu yang dijadikan sampel kemudahan mengalir bumbu yang telah dibahas pada bagian sebelumnya. Hasil analisis menunjukkan kemudahan mengalir garam dan gula bukanlah faktor utama yang menentukan kemudahan mengalir bumbu. Hasil analisis kemudahan mengalir bahan baku garam dapat dilihat pada Tabel 8 dan gula pada Tabel 9. Walaupun demikian bukan berarti karakteristik fisik garam dan gula tidak memiliki pengaruh terhadap karakteristik fisik bumbu
mengingat
hubungan
kompleks
faktor-faktor
yang
dapat
mempengaruhinya yang telah banyak dijelaskan oleh Levy dan Kalman (2001) dan Peleg (1977). Dengan fakta ini, dapat diduga kuat bahwa bahan baku yang berpengaruh besar terhadap kemudahan mengalir bumbu adalah lemak nabati dalam hal distribusinya dan pencapain tingkat kristalisasi di 80
dalam campuran bumbu. Lemak nabati yang distribusinya tidak merata dan masih dalam fase cair menyebabkan masalah di dalam proses penakaran karena karakteristik bumbu yang kohesif. C. ANALISIS LANGKAH PERBAIKAN Berdasarkan identifikasi masalah yang telah dijabarkan sebelumnya, permasalahan inkonsistensi proses penakaran pada mesin pengemas terutama disebabkan oleh faktor karakteristik fisik bumbu yang kurang sesuai dengan kapabilitas sistem penakaran. Untuk memiliki operasi yang dapat diandalkan, karakteristik fisik bahan sangat penting untuk diketahui dan screw yang menangani di dalam kapabilitasnya (Bates, 2008). Karakteristik bumbu yang kohesif telah teridentifikasi sebelumnya memiliki kontribusi yang besar terhadap inkonsistensi proses penakaran akibat terjadinya gangguan aliran bumbu pada sistem penakaran mesin pengemas. Karakteristik kohesif terutama disebabkan oleh persebaran dan kristalisasi lemak nabati yang belum optimal. Berdasarkan hasil identifikasi masalah, Gambar 30 dapat membantu menjelaskan hubungan masalah dan faktor-faktor pendukungnya pada setiap tahap proses produksi. Hubungan faktor suhu dan RH ruang produksi terhadap proses produksi tidak dilakukan secara mendalam. Faktor suhu dan ruang RH produksi yang tidak terkendali dapat mempengaruhi kondisi proses produksi dan karakteristik bumbu seperti yang dikemukakan oleh Peleg (1983). Mengingat sebagian besar penyusun bumbu bersifat higroskopis, RH ruang produksi yang terlalu tinggi dapat menyebabkan peningkatan kadar air pada bumbu. Walaupun demikian menurut Fitzpatrick (2005), diperlukan periode waktu yang sangat panjang agar uap air dapat menyerap ke dalam gundukan bumbu. Selain faktor suhu dan RH ruang produksi, kondisi setiap bahan baku terutama dalam hal suhu, kadar air, ukuran partikel, dan distribusi ukuran partikel memiliki peluang yang besar mempengaruhi proses produksi dan karakteristik bumbu. Oleh sebab itu tim Quality Control memiliki peran yang penting untuk menjaga dan memastikan bahan baku yang digunakan oleh tim produksi dalam kualitas yang baik dan tentunya konsisten.
81
Keterangan: : Faktor penyebab
: Berpeluang
: Masalah Gambar 30. Hubungan Masalah Penyebab Inkonsistensi Proses Penakaran Menurut Muhandri dan Kadarisman (2008), proses adalah berbagai aktivitas yang saling berkaitan dan mempengaruhi, dalam rangka merubah input menjadi output. Apabila input dan proses baik (terkendali) maka output akan baik juga (terkendali). Sebaliknya apabila output tidak baik, salah satu input atau proses tidak baik (tidak terkendali). Pengamatan menunjukkan bahwa proses produksi bumbu belum terkendali dengan baik. Output dari tahap proses mixing adalah input bagi tahap proses aging. Demikian juga output tahap proses aging merupakan input bagi tahapan proses pengayakan dan transfer bumbu di hopper feeder. Proses penakaran berinteraksi langsung
82
dengan bumbu yang merupakan hasil akumulasi pengaruh tahapan-tahapan proses sebelumnya. Oleh sebab itu pengendalian kondisi proses dalam setiap tahapan proses produksi bumbu perlu dijaga dengan baik untuk mengatasi permasalahan inkonsistensi proses penakaran. Dengan mengatasi akar masalah pada tahapan proses mixing dan aging sehingga diperoleh karakteristik fisik bumbu yang tidak kohesif dan konsisten, maka sebagian besar penyebab masalah aliran bumbu di dalam proses penakaran sudah dapat teratasi. 1. Kontrol Parameter Waktu Mixing Inkonsistensi
parameter
waktu
mixing
disebabkan
oleh
ketidakdisiplinan pekerja dan timer yang dapat dilanggar. Unloading bumbu dari dalam mixer dapat dilakukan walaupun timer belum mencapai waktu mixing yang telah ditetapkan. Modifikasi terhadap mixer dapat dilakukan agar outlet mixer tidak dapat dibuka sebelum waktu mixing tercapai. Dengan demikian waktu mixing dapat dipastikan mencapai waktu yang telah ditentukan dan konsisten pada setiap batch. Waktu mixing tahap pertama (Mixing I) juga masih belum konsisten dan rata-rata masih terlalu dini karena masih menggunakan perkiraan waktu operator mixer saja. Belum ada indikator waktu yang membantu menginformasikan kepada operator saat yang tepat untuk memasukkan lemak nabati ke dalam mixer. Pemasangan indikator seperti lampu atau bunyi penanda dapat menjadi solusi untuk memberi informasi kepada operator mixer saatnya untuk mulai memasukkan lemak nabati cair ke dalam mixer. 2. Optimasi Proses Mixing Metode pemasukan lemak nabati menggunakan corong pembantu diketahui memiliki kekurangan yaitu akumulasi ceceran di sekitar inlet mixer dan droplet lemak nabati yang dihasilkan masih relatif lebih besar dibandingkan ukuran partikel-partikel bahan baku bumbu. Sepasang inlet cairan yang dimiliki mixer dapat digunakan untuk menghasilkan droplet yang lebih kecil sehingga persebaran lemak nabati menjadi lebih seragam
83
di dalam campuran bumbu dan akumulasi ceceran di sekitar inlet mixer dapat dihindari. Penggunaan sistem ini juga dapat mendukung otomatisasi waktu pemasukan lemak nabati ke dalam mixer sehingga ketepatan waktu pemasukan lemak nabati ke dalam mixer lebih terjamin untuk tetap terkendali dan konsisten. Keseragaman persebaran lemak nabati di dalam campuran bumbu berhubungan dengan variasi konsentrasi lemak nabati antar-partikel. Variasi konsentrasi tersebut dapat memberi dampak terhadap kebutuhan waktu kristalisasi lemak nabati yang optimal. Laju kristalisasi lemak nabati dipengaruhi banyak faktor dan diantaranya adalah konsentrasi lemak nabati dan suhu pendinginan. Pencapaian tingkat kristalisasi lemak nabati akan tetap beragam dalam batch bumbu akibat faktor variasi konsentrasi yang tidak terkendali walaupun aging dilakukan pada waktu dan suhu pendinginan yang tetap. Oleh karena itu keseragaman lemak nabati juga penting untuk dikendalikan untuk mendukung pengendalian proses aging. Selain mempengaruhi proses aging, keberadaan partikel-partikel berkadar lemak nabati yang tinggi di dalam campuran bumbu berpeluang besar menyebabkan caking disekitar sistem penakaran akibat gaya gesek dan tekan yang tidak dapat dihindari selama proses penakaran. Pencapaian tingkat kehomogenan bumbu hasil proses mixing merupakan hal yang sangat vital sebab berhubungan dengan proses aging dan tentunya terhadap masalah inkonsistensi proses penakaran seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Pencapaian kehomogenan bumbu sebaiknya bukan hanya mengacu pada aspek sensori saja, melainkan lebih memperhatikan pencapaian kehomogenan dari sudut pandang karakteristik fisik terutama distribusi ukuran partikel dan persebaran lemak nabati di dalam campuran bumbu. Dengan tercapainya tigkat ketercampuran yang tinggi pada bumbu berdasarkan acuan dua parameter tersebut, maka dapat dipastikan juga tercapainya tingkat kehomogenan aspek sensori bumbu. Selain penjabaran di atas, masih dapat dilakukan penelitian lebih lanjut optimasi parameter proses mixing lainnya seperti suhu bahan baku, ukuran partikel bahan baku, metode dan urutan memasukkan bahan,
84
kecepatan agitator mixer, dan waktu mixing yang optimal untuk mendapatkan kondisi proses yang mampu menghasilkan kualitas dan kecepatan produksi yang tinggi. Walaupun demikian parameter proses waktu mixing yang terkendali merupakan syarat utama sebelum melakukan optimasi parameter proses mixing lainnya. Proses mixing yang memuaskan harus menghasilkan campuran yang seragam dalam waktu, tenaga, dan biaya yang sekecil-kecilnya (Barbosa-Cánovas et al., 2005). Durasi waktu proses mixing yang diperlukan untuk mencapai tingkat kehomogenan yang baik mungkin saja menimbulkan masalah teknis seperti durasi waktu mixing yang terlalu panjang atau suhu bumbu pada akhir proses yang terlalu tinggi sehingga memicu ketidaksesuaian karakteristik sensori. Salah satu alternatif adalah penggantian mixer menggunakan jenis Forberg Mixer, telah dijelaskan oleh Manjunath et al. (2004) bahwa lebih efisien dibandingkan plow mixer dalam hal kualitas pencampuran dan durasi waktu mixing. 3. Optimasi Proses Aging Proses aging aktual masih belum optimal dan belum mampu memastikan tercapainya tujuan proses yaitu kristalisasi lemak nabati di dalam campuran bumbu. Pengamatan mengidentifikasi bahwa parameter waktu proses aging tidak konsisten antar-batch. Proses aging aktual juga belum dapat menghasilkan laju penurunan suhu yang seragam antarkantong bumbu. Laju penurunan suhu kantong pada bagian tengah tumpukan relatif lebih rendah dibandingkan kantong pada bagian pinggir tumpukan. Metode proses aging secara keseluruhan belum efektif mengendalikan proses kristalisasi dengan baik. Proses aging diharapkan sudah selesai dalam waktu 15 menit, namun pengamatan menunjukkan bahkan setelah dilakukan proses aging pada kondisi aktual selama 120 menit, flowability bumbu pada kantong di bagian tengah tumpukan masih tergolong kategori “VERY POOR” menurut metode Hausner dan Carr. Walaupun hanya dalam jumlah yang sedikit, keberadan bumbu kohesif tersebut dapat memicu caking dan gangguan aliran bumbu di dalam sistem penakaran. 85
Parameter kritis proses kristalisasi lemak nabati adalah waktu dan suhu pendinginan pada proses aging. Kombinasi yang tepat dari waktu dan suhu pendinginan diharapkan mampu menghasilkan struktur kristal lemak nabati yang cukup stabil dan seragam di dalam campuan bumbu setelah proses aging. Dengan tercapainya kristalisasi lemak nabati yang baik, dapat dipastikan terjadi penurunan tingkat kelengketan (cohesiveness) bumbu sehingga dapat menghilangkan masalah aliran bumbu di dalam sistem penakaran. Bumbu yang tidak kohesif juga dapat memperkecil peluang terjadinya caking di sekitar sistem penakaran sehingga sebagian besar penyebab masalah inkonsistensi proses penakaran dapat teratasi. Terowongan pendingin yang dapat diatur suhu dan waktunya dapat diaplikasikan sebagai alternatif perbaikan proses aging. Kombinasi suhu dan waktu yang tepat dapat mengakomodir harapan pencapaian kristalisasi lemak nabati di dalam campuran bumbu yang memiliki pengaruh yang besar terhadap karakteristik kelengketan bumbu dan sekaligus mendukung kebutuhan waktu proses aging yang singkat. Pengendalian suhu dan kelembaban udara di dalam terowongan tersebut relatif lebih mudah daripada mengendalikan seluruh ruang produksi. Penelitian parameter waktu dan suhu yang optimal perlu dilakukan lebih lanjut baik sebelum dan setelah pergantian metode proses aging. 4. Modifikasi Desain Hopper Feeder Teridentifikasi bahwa pola aliran funnel flow bumbu di dalam hopper feeder juga dapat memberi kontribusi terhadap inkonsistensi proses penakaran. Pola aliran tersebut disebabkan oleh faktor desain hopper feeder dan karakteristik bumbu yang kohesif. Pola aliran mass flow dapat diusahakan dengan perubahan desain hopper dan screw yang sesuai sehingga mampu mengakomodir pergerakan partikel pada seluruh bagian bumbu di dalam hopper feeder. Walaupun demikian pola aliran funnel flow masih dapat terjadi apabila karakteristik bumbu masih tetap kohesif dan memiliki flowability yang rendah. Demikian juga sebaliknya karakteristik bumbu yang mudah mengalir belum tentu menghasilkan pola
86
aliran mass flow apabila desain hopper feeder tidak mampu mengakomodir terjadinya pola aliran mass flow. Schwedes (2001) telah membahas beberapa bentuk hopper dan bentuk pyramidal tidak direkomendasikan untuk digunakan. Hopper milik perusahaan berbentuk pyramidal, dan menurut Marinelli (2005) termasuk golongan conical berdasarkan sudut pandang alirannya. Berdasarkan grafik acuan desain bentuk hopper menurut Carson (2008), desain bentuk terbaik adalah kategori bentuk planar dengan sudut maksimal 10o dari sisi vertikal untuk mendukung terjadinya pola aliran mass flow pada kondisi material terburuk (paling sulit mengalir) yang masih mampu ditangani yaitu dengan nilai φw mendekati 40o. Untuk lebih pasti, nilai φw bumbu dapat diketahui dengan uji shear test. Schulze (2008) telah membahas syarat feeder sehingga dapat mengakomodir mass flow dari desain hopper yang juga mendukung mass flow. Gambar 31 menunjukkan berbagai desain konfigurasi pitch pada screw yang mendukung terjadinya pola aliran mass flow, kecuali pada Gambar 31a dan Gambar 31c menunjukkan konfigurasi screw dengan jarak pitch yang seragam tidak mendukung terjadinya mass flow.
Gambar 31. Beberapa Konfigurasi Screw Feeder Sumber : Schulze (2008)
87
5. Modifikasi Filling Unit Mesin Pengemas Telah diketahui bahwa terkadang usaha pengendalian proses penakaran melalui penyesuaian parameter derajat putaran auger (pulse) tidak efektif akibat kondisi nilai R-bar yang besar. Sebuah motor penggerak pada mesin pengemas menggerakkan auger seluruh corong secara bersamaan dan pada nilai pulse yang sama. Modifikasi mesin dapat dilakukan dengan penggunaan sebuah motor penggerak untuk masingmasing sistem auger corong sehingga nilai pulse masing-masing corong dapat disesuaikan nilainya secara terpisah. Walaupun demikian masih diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai dampak nilai pulse terhadap perilaku aliran bumbu dan output proses penakaran. Modifikasi tersebut belum tentu berhasil apabila produksi bumbu belum terkendali dan karakteristik bumbu masih belum sesuai dengan kapabilitas sistem penakaran. Modifikasi terkait bentuk hopper filling unit juga dapat dilakukan dengan meminimalkan keberadaan sudut di bagian dalam hopper filling unit. Keberadaan sudut memperbesar peluang terjadinya caking di dalam hopper filling unit karena terpapar gaya gesek dan tekan akibat kerja agitator, serta kenaikan suhu akibat perambatan panas dari perangkat proses sealing yang berada di bagian bawah filling unit. Serpihan caking berpeluang mengganggu aliran bumbu dan dapat masuk ke dalam sistem auger sehingga menimbulkan gangguan proses penakaran. Kemungkinan besar kedua macam modifikasi yang dijabarkan di atas mungkin saja tidak dibutuhkan jika karakteristik bumbu tidak kohesif, mudah mengalir, dan konsisten dapat diupayakan. 6. Standarisasi Posisi Prefit dan Parameter Pulse Selama ini penentuan posisi ketinggian prefit masih menggunakan metode trial and error. Acuan penyesuaian posisi prefit berdasarkan kondisi masalah penakaran dan jarak perubahan posisi prefit tersebut berdasarkan perkiraan operaor mesin pengemas bersangkutan saja. Apabila masalah yang terjadi adalah underweight maka operator menurunkan posisi prefit dari posisi awal yang besar jarakya kira-kira relatif terhadap besarnya perbedaan output penakaran corong tersebut dari nilai target 88
spesifikasi produk (96 gram setiap untainya). Demikian juga cara operator menyesuaikan jarak kenaikan posisi prefit apabila masalah yang terjadi adalah overweight. Apabila tindakan penyesuaian belum membuahkan nilai output yang sesuai dengan rentang spesifikasi produk (96 ± 2 gram), tindakan penyesuaian kembali dilakukan dengan cara yang telah dijabarkan di atas. Kondisi demikian tentunya menghabiskan waktu produktif mesin dan operator mesin pengemas. Di lain pihak perubahan posisi ketinggian prefit menimbulkan perubahan besarnya tekanan prefit terhadap bumbu. Telah diketahui sebelumnya bahwa dapat terjadi caking pada bumbu apabila besarnya tekanan yang terpapar pada bumbu melebihi nilai kritis dari bumbu bersangkutan. Terjadinya caking telah diketahui dapat menjadi masalah bagi proses penakaran. Standarisasi posisi prefit dan parameter pulse dapat dilakukan setelah dapat dipastikan bumbu yang masuk ke dalam sistem penakaran sesuai standar yang mendukung karakteristik yang tidak kohesif, homogen, dan konsisten pada setiap batch. Nilai kritis bumbu berkaitan dengan parameter-parameter fisik bumbu yang merupakan suatu kesatuan yang hubungannya kompleks, oleh sebab itu kondisi bumbu yang sudah standar dan konsisten merupakan syarat utama sebelum melakukan standarisasi posisi prefit dan parameter pulse. Standar posisi prefit dan parameter pulse pada setiap mesin dapat diperoleh dengan upaya pengamatan jangka panjang tanpa perubahan parameter pulse atau posisi prefit sampai terjadi masalah penakaran akibat caking. Selama tidak ada masalah pada faktor bumbu, idealnya tidak akan terjadi fluktuasi khususnya penurunan nilai output akibat gangguan aliran bumbu akibat terbentuk caking di sekitar sistem penakaran dalam waktu yang singkat (satu atau beberapa hari). Apabila dalam waktu yang singkat terjadi inkonsistensi penakaran maka pada posisi prefit tersebut masih terlalu besar gaya tekan yang terpapar kepada bumbu sehingga melampaui nilai kritisnya. Variasi parameter pulse seharusnya dapat mengakomodir variasi bumbu di dalam batas yang wajar, ketika posisi prefit yang optimal sudah berhasil ditentukan.
89
VI.
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN Berdasarkan penelusuran dan identifikasi masalah inkonsistensi proses penakaran mesin penakaran, dapat disimpulkan beberapa hal berikut: 1. Hasil analisis kapabilitas proses pada mesin pengemas terbaik (U9) belum menunjukkan kondisi proses penakaran yang kapabel dan reliabel. Dibuktikan dengan indeks Cp dan Cpk sebagian besar batch masih di bawah 1,00. 2. Masalah terbesar dari inkonsistensi proses penakaran pada mesin pengemas adalah gangguan aliran bumbu di dalam sistem penakaran yang merupakan pengaruh berantai dari faktor utama yaitu karakteristik bumbu yang kohesif. 3. Karakteristik bumbu setelah dilakukan aging yang jauh lebih lama dari standar waktu aging perusahan teridentifikasi masih kohesif dan sulit mengalir menurut metode Hausner dan Carr. Kondisi proses aging aktual belum optimal untuk mengakomodir kristalisasi lemak nabati dengan baik. 4. Karakteristik bumbu yang kohesif dan flowability yang buruk disebabkan oleh persebaran dan proses kristalisasi lemak nabati belum tertangani dengan baik terutama akibat kondisi proses mixing dan aging yang belum terkendali dan belum optimal. 5. Sebagian besar masalah inkonsistensi proses penakaran dapat diatasi dengan pengendalian dan optimasi parameter proses mixing dan aging B. SARAN Tindakan perbaikan yang perlu segera diimplementasikan adalah pengendalian proses produksi bumbu terutama parameter proses mixing dan aging untuk memperbaiki kondisi karakteristik fisik bumbu yang kohesif. Urutan langkah perbaikan yang sebaiknya dilakukan adalah sebagai berikut: 1. Pada tahap proses mixing segera modifikasi sistem timer pada mixer sehingga outlet mixer tidak dapat dibuka sebelum waktu mixing selesai.
90
Dengan demikian parameter waktu proses mixing dapat terkendali dan konsisten pada setiap batch. 2. Lakukan kegiatan optimasi proses mixing baik dari segi waktu proses mixing maupun metode pemasukan lemak nabati cair yang bertujuan untuk memperoleh persebaran lemak nabati yang baik dan homogenitas distribusi ukuran partikel campuran bumbu. Aplikasi teknologi spray untuk memasukkan lemak nabati cair ke dalam mixer dapat dipertimbangkan mengingat sudah terdapat fasilitas inlet cairan pada mixer milik perusahaan yang belum dimanfaatkan. 3. Penggantian mixer aktual dengan tipe Forberg Mixer dapat menjadi pertimbangan untuk mendapatkan kualitas campuran (kehomogenan) yang lebih tinggi dalam waktu proses yang lebih singkat. 4. Ganti metode proses aging menggunakan terowongan pendingin yang jauh lebih mudah dikendalikan untuk memastikan pencapaian kristalisasi lemak dibandingkan metode aging aktual. Selain itu kristalisasi juga dapat tercapai dengan waktu yang lebih cepat dan konsisten. Berikut adalah beberapa saran lain yang perlu dipertimbangkan untuk mendukung pengendalian proses penakaran menjadi lebih baik. Beberapa saran tersebut adalah sebagai berikut: 1. Ganti hopper dan feeder dengan desain yang mendukung aliran mass flow. Hindari penggunaan vibrator karena berpeluang menyebabkan segregasi partikel bumbu. 2. Modifikasi bentuk hopper filling unit meminimalkan adanya sudut. 3. Ganti sistem penggerak auger aktual dengan menggunakan sebuah motor penggerak pada masing-masing corong output. 4. Standarisasi posisi prefit dan parameter pulse pada setiap mesin. 5. Kendalikan suhu dan RH ruangan produksi untuk mencegah fluktuasi dan pengingkatan tingkat kelengketan (cohesiveness) bumbu. 6. Selalu mengkaji ulang optimasi proses produksi bumbu apabila terjadi perubahan baik pada aspek bahan baku, mesin produksi, maupun parameter proses pada tahap tertentu. 91
DAFTAR PUSTAKA
Barbosa-Cánovas GV, Ortega-Rivas E, Juliano P, Hang Y. 2005. Food Powders: Physical Properties, Processing and Functionality. New York: Plenum Publisher. Barbosa-Cánovas GV, Juliano P. 2005. Physical and Chemical Properties of Food Powders. Di dalam: Onwulata C, editor. Encapsulated and Powdered Foods. Boca Raton: Taylor & Francis Group. hlm 39-71. Bates L. 2008. Screw Conveyors. Di dalam: McGlinchey D, editor. Bulk Solids Handling: Equipment Selection and Operation. Oxford: Blackwell Publishing Ltd. hlm 197-219. Carson JW. 2008. Hopper/bin design. Di dalam: McGlinchey D, editor. Bulk Solids Handling: Equipment Selection and Operation. Oxford: Blackwell Publishing Ltd. hlm 68-98. Fitzpatrick JJ. 2005. Food Powder Flowability. Di dalam: Onwulata C, editor. Encapsulated and Powdered Foods. Boca Raton: Taylor & Francis Group. hlm 247-258. Fellows P. 2000. Food Processing Technology Principles and Practice. Ed ke-2. Cambridge: Woodhead Publishing Limited. Gyenis J. 2001. Segregation-Free Particle Mixing. Di dalam: Levy A, Kalman H, editor. Handbook of Powder Technology. Amsterdam: Elsevier Science B.V. hlm 631-645. Harnby N, Edwards MF. 1992. Mixing in The Process Industries. Butterwort: Heinemann. Humphrey KL, Narine SS. 2005. Lipid Phase Behavior. Di dalam: Marangoni AG, editor. Fat Crystal Networks. New York: Marcel Dekker, Inc. hlm 83114. Johanson K. 2005. Powder Flow Properties. Di dalam: Onwulata C, editor. Encapsulated and Powdered Foods. Boca Raton: Taylor & Francis Group. hlm 331-361.
92
Kaneko F. 2001. Polymorphism and Phase Transitions of Fatty Acids and Acylglycerols. Di dalam: Garti N, Sato K, editor. Crystallization Process in Fats and Lipid Systems. New York: Marcel Dekker, Inc. hlm 53-97. Levy A, Kalman H. 2001. Handbook of Conveying and Handling of Particulate Solids. Di dalam: Levy A, Kalman H, editor. Handbook of Powder Technology. Amsterdam: Elsevier Science B.V. Manjunath K, Dhodapkar S, Jacob K. 2004. Mixing of Particulate Solids in the Process Industries. Di dalam: Paul EL, editor. Handbook of Industrial Mixing and Practice. New Jersey: John Wiley & Sons, Inc. hlm 924-982. Marangoni AG. 2005. Crystallization Kinetics. Di dalam: Marangoni AG, editor. Fat Crystal Networks. New York: Marcel Dekker, Inc. hlm 21-82. Marinelli J. 2005. The Role of Food Powders. Di dalam: Onwulata C, editor. Encapsulated and Powdered Foods. Boca Raton: Taylor & Francis Group. hlm 4-26. Metin S, Hartel RW. 2005. Crystallization of Fats and Oils. Di dalam: Shahidi F, editor. Bailey’s Industrial Oil and Fat Products. Ed ke-6. New Jersey: John Wiley & Sons, Inc. hlm 45-76. Miyanami K. 2006. Mixing. Di dalam: Masuda H, Higashitani K, Yoshida H, editor. Powder Technology Handbook. Ed ke-3. Boca Raton: Taylor & Francis Group. hlm 557-590. Muhandri T, Kadarisman D. 2008. Sistem Jaminan Mutu Industri Pangan. Bogor: IPB Press. Muzzio FJ, Alexander A, Goodridge C, Shen E, Shinbrot E. 2004. Fundamentals of Solids Mixing. Di dalam: Paul EL, editor. Handbook of Industrial Mixing and Practice. New Jersey: John Wiley & Sons, Inc. hlm 887-923. Oakland JS. 2003. Statistical Process Control. Ed ke-5. Oxford: Elsevier Science. Peleg M. 2005. Mixtures of Food Powders and Particulates. Di dalam: Onwulata C, editor. Encapsulated and Powdered Foods. Boca Raton: Taylor & Francis Group. hlm 27-38. Peleg M. 1983. Physical Characteristics of Food Powder. Di dalam: Peleg M, Bagley, editor. Physical Properties of Foods. New York: AVI Publishing Co. hlm 293-323. 93
Peleg M. 1977. Flowability of Food Powder and Methods for Its Evaluation. J Food Process 1:303-328. Prescott JK, Barnum RA. 2000. On Powder Flowability. Pharmaceutical Technology October 2000. www.pharmaportal.com [19 Agustus 2010]. Rye GG, Litwinenko JW, Marangoni AG. 2005. Fat Crystal Network. Di dalam: Shahidi F, editor. Bailey’s Industrial Oil and Fat Products. Ed ke-6. New Jersey: John Wiley & Sons, Inc. hlm 121-160. Sato K, Ueno S. 2001. Molecular Interactions and Phase Behavior of Polymorphic Fats. Di dalam: Garti N, editor. Crystallization Processes in Fat and Lipid Systems. New York : Marcel Dekker, Inc. hlm 117-210. Schulze D. 2008. Powders and Bulk Solid:Behavior, Characterization, Storage and Flow. New York: Springer. Schwedes J. 2001. Flow properties of bulk solids and their use in solving industrial problems. Di dalam: Levy A, Kalman H, editor. Handbook of Powder Technology. Amsterdam: Elsevier Science B.V. hlm 631-645. Sheehan C. 2008. Powder Flow. Pharmacopeial Forum 28: 282. Stanley-Wood N. 2008. Bulk powder properties: instrumentation and techniques. Di dalam: McGlinchey D, editor. Bulk Solids Handling: Equipment Selection and Operation. Oxford: Blackwell Publishing Ltd. hlm 1-67. Wesdorp LH et al. 2005. Liquid-Multiple Solid Phase Equilibria in Fats: Theory and Experiments. Di dalam: Marangoni AG, editor. Fat Crystal Networks. New York: Marcel Dekker, Inc. hlm 481-709.
94
LAMPIRAN
Lampiran 1. Kapabilitas Proses Mesin U9 Hari ke-1
U9-120410 Xbar Chart
Capability Histogram UCL=96.393
Sample Mean
5
96.0
LSL
Target
S pecifications LS L 94 Target 96 USL 98
_ _ X=95.682
95.5 95.0
LCL=94.972 1
5
9
13
17
21
25
29
33
37
94.50 95.25 96.00 96.75 97.50
Sample Range
R Chart
Normal Prob Plot
3.0
UCL=2.947
1.5
_ R=1.470 2
3
2
2 2
0.0 1
5
9
13
17
21
25
29
33
2
2
A D: 1.410, P : < 0.005
2
LCL=0 37
94
Last 37 Subgroups
96
Within S tDev 0.58029 Cp 1.15 C pk 0.97
95.5
Within O v erall
94.5 10
20 Sample
98
Capability Plot
96.5
Values
USL
30
O v erall S tDev 0.597079 Pp 1.12 P pk 0.94 C pm 0.98
S pecs
95
Lampiran 2. Kapabilitas Proses Mesin U9 Hari ke-2
U9-130410 Xbar Chart
Capability Histogram
98
5 5 5
Sample Mean
8 8
2
1
1
5
S pecifications LS L 94 Target 96 USL 98
LCL=94.156 9
13
17
21
25
29
33
37
90.0
91.5
93.0
R Chart
94.5
96.0
97.5
99.0 100.5
Normal Prob Plot
A D: 6.373, P : < 0.005
UCL=7.612 _ R=3.799
4 2 2
0 1
5
9
13
17
21
25
LCL=0
29
33
37
90
Last 37 Subgroups Within S tDev 1.49909 Cp 0.44 C pk 0.44
95 90 10
20 Sample
95
100
105
Capability Plot
100
Values
USL
1
1
8
Sample Range
5 1 1
Target
_ _ X=95.992
96
94
LSL
UCL=97.828
30
Within O v erall
O v erall S tDev 1.98837 Pp 0.34 P pk 0.33 C pm 0.34
S pecs
96
Lampiran 3. Kapabilitas Proses Mesin U9 Hari ke-3
U9-140410 Xbar Chart
Capability Histogram LSL Target USL
Sample Mean
UCL=98.11 6
96
3
92
6
88
LCL=90.41
1
1
4
7
10
13
16
19
22
25
R Chart Sample Range
S pecifications LS L 94 Target 96 USL 98
_ _ X=94.26
28
1
31
72
78
84
96
102
Normal Prob Plot
1
A D: 11.704, P : < 0.005
1
20 UCL=15.96 _ R=7.96
10 0
LCL=0 1
4
7
10
13
16
19
22
25
28
31
80
Last 33 Subgroups Within S tDev 3.14297 Cp 0.21 C pk 0.03
90 80
5
10
15 20 Sample
100
120
Capability Plot
100
Values
90
25
30
Within O v erall
O v erall S tDev 5.50033 Pp 0.12 P pk 0.02 C pm 0.12
S pecs
97
Lampiran 4. Kapabilitas Proses Mesin U9 Hari ke-4
U9-150410 Xbar Chart Sample Mean
99
1
Capability Histogram
1
LSL
1
97
95
5
1
5
9
13
17
2
21
2
2
S pecifications LS L 94 Target 96 USL 98
_ _ X=96.209
2
LCL=94.754 25
29
33
37
93.0
94.5
96.0
R Chart Sample Range
97.5
99.0
100.5
Normal Prob Plot
A D: 1.992, P : < 0.005
UCL=6.035 5.0 2 2
2
2
2
_ R=3.012
2.5 0.0
LCL=0 1
5
9
13
17
21
25
29
33
37
90
Last 37 Subgroups
95
Within S tDev 1.18855 Cp 0.56 C pk 0.5
97.5
Within O v erall
95.0 10
20 Sample
100
Capability Plot
100.0
Values
USL
UCL=97.665
3
6 6
Target
30
O v erall S tDev 1.55866 Pp 0.43 P pk 0.38 C pm 0.42
S pecs
98
Lampiran 5. Kapabilitas Proses Mesin U9 Hari ke-5
U9-160410 Xbar Chart
1
Sample Mean
96
1
94
5 1
1 1 1
5
9
13
5
1
17
21
Capability Histogram
1
LSL
Sample Range
USL
S pecifications LS L 94 Target 96 USL 98
25
1
29
33
91
92
93
R Chart
94
95
96
97
98
Normal Prob Plot A D: 0.529, P : 0.175
UCL=3.400
3.0
_ R=1.696
1.5
0.0
LCL=0 1
5
9
13
17
21
25
29
33
90.0
92.5
Last 36 Subgroups Within S tDev 0.669467 Cp 1 C pk 0.48
93 90 10
20 Sample
95.0
97.5
Capability Plot
96
Values
Target
UCL=95.779 _ _ X=94.959 LCL=94.139
1
92 1
1
1
30
Within O v erall
O v erall S tDev 1.13972 Pp 0.58 P pk 0.28 C pm 0.43
S pecs
99
Lampiran 6. Kapabilitas Proses Mesin U9 Selama 7 Hari
U9-7 hari Xbar Chart
Capability Histogram
Sample Mean
98 55 2
94 1
8
15
6 6 66 5
22
29
36
50
57
S pecifications LS L 94 Target 96 USL 98
64
71
91.5 93.0 94.5 96.0 97.5 99.0 100.5
R Chart
1
Sample Range
43
Normal Prob Plot
A D: 2.214, P : < 0.005
UCL=6.394 5.0
2
2.5
2 2 222
0.0 1
8
15
22
2 2
22
2 2
2 2
29
_ R=3.191
LCL=0 36
43
50
57
64
71
90
Last 75 Subgroups Within S tDev 1.25914 Cp 0.53 C pk 0.53
95 90 0
15
30
45
95
100
Capability Plot
100
Values
USL
LCL=94.446
6 1
Target
_ _ X=95.988
96 5
LSL
UCL=97.530
6 66 6 6
60
75
Within O v erall
O v erall S tDev 1.33704 Pp 0.5 P pk 0.5 C pm 0.5
S pecs
Sample
100
Lampiran 7. Kapabilitas Proses Mesin U9 Batch Ke-1
U9-1 Xbar Chart
Capability Histogram
Sample Mean
97
UCL=96.804
96
LSL
Target
USL
S pecifications LS L 94 Target 96 USL 98
_ _ X=95.576
95 LCL=94.349 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10 11
12
13
14
15
93.6
94.4
95.2
R Chart Sample Range
96.8
97.6
Normal Prob Plot
A D: 1.950, P : < 0.005
UCL=5.090 4 _ R=2.54
2 0
LCL=0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10 11
12
13
14
15
94
Last 15 Subgroups
96
Within S tDev 1.00237 Cp 0.67 C pk 0.52
95.5
Within O v erall
94.5 5
10
98
Capability Plot
96.5
Values
96.0
15
O v erall S tDev 0.802924 Pp 0.83 P pk 0.65 C pm 0.73
S pecs
Sample
101
Lampiran 8. Kapabilitas Proses Mesin U9 Batch Ke-2
U9-2 Xbar Chart
Capability Histogram
96.5
UCL=96.383
Sample Mean
5
LSL
Target
S pecifications LS L 94 Target 96 USL 98
_ _ X=95.908
96.0
95.5
LCL=95.432 1
2
3
4
1
5
6
7
8
9
10
94.2 94.8 95.4 96.0 96.6 97.2 97.8
Sample Range
R Chart
Normal Prob Plot
2
UCL=1.971
1
_ R=0.984
0
A D: 0.319, P : 0.525
LCL=0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
95
Last 10 Subgroups Within S tDev 0.38822 Cp 1.72 C pk 1.64
96 95 2
4
6 Sample
96
97
Capability Plot
97
Values
USL
8
10
Within O v erall
O v erall S tDev 0.451308 Pp 1.48 P pk 1.41 C pm 1.45
S pecs
102
Lampiran 9. Kapabilitas Proses Mesin U9 Batch Ke-3
U9-3 Sample Mean
Xbar Chart
Capability Histogram
96.0
UCL=95.994
95.5
_ _ X=95.531
95.0
LSL
Sample Range
USL
S pecifications LS L 94 Target 96 USL 98
LCL=95.068 1
2
3
4
5
6
7
8
9
94.2 94.8 95.4 96.0 96.6 97.2 97.8
R Chart
Normal Prob Plot
2
UCL=1.918
1
_ R=0.957
0
A D: 0.871, P : 0.023
LCL=0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
94
Last 9 Subgroups Within S tDev 0.37772 Cp 1.76 C pk 1.35
95.5 95.0 2
4
6
95
96
97
Capability Plot
96.0
Values
Target
8
Within O v erall
O v erall S tDev 0.408142 Pp 1.63 P pk 1.25 C pm 1.06
S pecs
Sample
103
Lampiran 10. Kapabilitas Proses Mesin U9 Batch Ke-4
U9-4 Xbar Chart
Capability Histogram LSL
Sample Mean
UCL=97.294
S pecifications LS L 94 Target 96 USL 98
_ _ X=94.006 93 LCL=90.718 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
88
90
92
R Chart
94
96
98
100
Normal Prob Plot
A D: 1.196, P : < 0.005
UCL=13.63
Sample Range
USL
96
90
10
_ R=6.80
5 0
LCL=0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
85
Last 11 Subgroups Within S tDev 2.68482 Cp 0.25 C pk 0
93 90 2
4
6 Sample
8
90
95
100
Capability Plot
96
Values
Target
10
Within O v erall
O v erall S tDev 2.52736 Pp 0.26 P pk 0 C pm 0.21
S pecs
104
Lampiran 11. Kapabilitas Proses Mesin U9 Batch Ke-5
U9-5 Xbar Chart
Capability Histogram
Sample Mean
98
UCL=97.929
LSL
Target
USL
S pecifications LS L 94 Target 96 USL 98
_ _ X=96.682
97 96
LCL=95.434 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
94
95
R Chart Sample Range
97
98
99
Normal Prob Plot A D: 0.354, P : 0.450
UCL=5.173 4 _ R=2.581
2 0
LCL=0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
94
Last 14 Subgroups Within S tDev 1.01865 Cp 0.65 C pk 0.43
97 95 3
6
9
96
98
100
Capability Plot
99
Values
96
12
Within O v erall
O v erall S tDev 0.991278 Pp 0.67 P pk 0.44 C pm 0.55
S pecs
Sample
105
Lampiran 12. Kapabilitas Proses Mesin U9 Batch Ke-6
U9-6 Xbar Chart
Capability Histogram
98
Sample Mean
LSL
UCL=98.093
Target
USL
S pecifications LS L 94 Target 96 USL 98
6
_ _ X=96.702
97 96
LCL=95.311 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
92.8
94.4
Sample Range
R Chart
97.6
99.2
Normal Prob Plot A D: 0.674, P : 0.074
UCL=5.767
5.0
_ R=2.878
2.5
0.0
LCL=0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
92
Last 15 Subgroups Within S tDev 1.13567 Cp 0.59 C pk 0.38
96
92 5
10
96
100
Capability Plot
100
Values
96.0
15
Within O v erall
O v erall S tDev 1.22759 Pp 0.54 P pk 0.35 C pm 0.47
S pecs
Sample
106
Lampiran 13. Kapabilitas Proses Mesin U9 Batch Ke-10
U9-10 Xbar Chart Sample Mean
99.0
Capability Histogram UCL=99.026
5
Target
S pecifications LS L 94 Target 96 USL 98
LCL=96.300 1
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
94
95
96
Sample Range
R Chart
97
98
99
100 101
Normal Prob Plot A D: 0.594, P : 0.112
UCL=5.651
5.0
_ R=2.82
2.5
0.0
LCL=0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
93
Last 10 Subgroups Within S tDev 1.11287 Cp 0.6 C pk 0.1
97.5 95.0 2
4
6 Sample
96
99
102
Capability Plot
100.0
Values
USL
_ _ X=97.663
97.5
96.0
LSL
8
10
Within O v erall
O v erall S tDev 1.56876 Pp 0.42 P pk 0.07 C pm 0.29
S pecs
107
Lampiran 14. Kapabilitas Proses Mesin U9 Batch Ke-11
U9-11 Xbar Chart
Capability Histogram
Sample Mean
97.5
LSL
UCL=97.130
Target
USL
S pecifications LS L 94 Target 96 USL 98
_ _ X=95.491
96.0 94.5
LCL=93.852 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
93
94
R Chart Sample Range
96
97
98
Normal Prob Plot
A D: 2.968, P : < 0.005
UCL=6.796 5.0
_ R=3.391
2.5 0.0
LCL=0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
92
Last 10 Subgroups Within S tDev 1.3383 Cp 0.5 C pk 0.37
96
94 2
4
6 Sample
96
100
Capability Plot
98
Values
95
8
10
Within O v erall
O v erall S tDev 1.39774 Pp 0.48 P pk 0.36 C pm 0.45
S pecs
108
Lampiran 15. Kapabilitas Proses Mesin U9 Batch Ke-12
U9-12 Xbar Chart Sample Mean
97.5
Capability Histogram LSL
UCL=97.896
3
Target
USL
S pecifications LS L 94 Target 96 USL 98
_ _ X=96.333
96.5 95.5
LCL=94.771 1
2
3
4
5
6
7
8
9
93
94
95
R Chart Sample Range
97
98
99
100
Normal Prob Plot A D: 0.655, P : 0.083
UCL=6.479 5.0 _ R=3.233
2.5 0.0
LCL=0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
92
Last 9 Subgroups
96
Within S tDev 1.27598 Cp 0.52 C pk 0.44
97.5
Within O v erall
95.0 2
4
6
100
Capability Plot
100.0
Values
96
8
O v erall S tDev 1.48197 Pp 0.45 P pk 0.37 C pm 0.44
S pecs
Sample
109
Lampiran 16. Kapabilitas Proses Mesin U9 Batch Ke-13
U9-13 Xbar Chart
Capability Histogram
Sample Mean
97
UCL=96.897
LSL
Target
USL
S pecifications LS L 94 Target 96 USL 98
_ _ X=95.769
96
95 LCL=94.642 1
2
3
4
5
6
94
95
R Chart Sample Range
97
98
Normal Prob Plot A D: 0.502, P : 0.194
UCL=4.676 4 _ R=2.333
2
0
LCL=0 1
2
3
4
5
6
94
Last 6 Subgroups Within S tDev 0.92081 Cp 0.72 C pk 0.64
96
94 1
2
3
4
96
98
Capability Plot
98
Values
96
5
6
Within O v erall
O v erall S tDev 0.927922 Pp 0.72 P pk 0.64 C pm 0.7
S pecs
Sample
110
Lampiran 17. Kapabilitas Proses Mesin U9 Batch Ke-14
U9-14 Xbar Chart
Sample Mean
1
95.2
Capability Histogram
5 6
6
5
1
2
3
4
5
6
Sample Range
USL
S pecifications LS L 94 Target 96 USL 98
7
8
9
10 11
12
13
14
LCL=93.778
15
0 5 0 5 0 5 0 . 0 3.7 4. 5 5.2 6. 0 6.7 7. 5 93 9 9 9 9 9 9
R Chart
Normal Prob Plot A D: 0.638, P : 0.093
UCL=3.357
3.0
_ R=1.675
1.5
0.0
LCL=0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10 11
12
13
14
15
92
Last 15 Subgroups Within S tDev 0.66101 Cp 1.01 C pk 0.3
94.5 93.0 5
10
94
96
98
Capability Plot
96.0
Values
Target
_ _ X=94.588
94.4
93.6
LSL
UCL=95.397
15
Within O v erall
O v erall S tDev 0.842354 Pp 0.79 P pk 0.23 C pm 0.4
S pecs
Sample
111
Lampiran 18. Kapabilitas Proses Mesin U9 Batch Ke-15
U9-15 Xbar Chart
1
Sample Mean
96
94
Capability Histogram 1
5
LSL
UCL=95.835 _ _ X=95.023
S pecifications LS L 94 Target 96 USL 98
LCL=94.211
1
2
3
4
5
1
6
7
8
9
10
91.2
R Chart Sample Range
USL
1
92
92.8
94.4
96.0
97.6
Normal Prob Plot
A D: 1.478, P : < 0.005
UCL=3.367
3.0
_ R=1.68
1.5
0.0
LCL=0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
90
Last 10 Subgroups Within S tDev 0.662983 Cp 1.01 C pk 0.51
93 90 2
4
6 Sample
95
100
Capability Plot
96
Values
Target
8
10
Within O v erall
O v erall S tDev 1.37796 Pp 0.48 P pk 0.25 C pm 0.39
S pecs
112
Lampiran 19. Kapabilitas Proses Mesin U9 Batch Ke-16
U9-16 Xbar Chart
Capability Histogram
Sample Mean
UCL=96.448 96.0
LSL
Target
S pecifications LS L 94 Target 96 USL 98
_ _ X=95.594
95.4 94.8
LCL=94.741 1
2
3
4
5
6
7
94
95
R Chart Sample Range
96
97
98
Normal Prob Plot
4
A D: 0.325, P : 0.511
UCL=3.540 _ R=1.767
2
0
LCL=0 1
2
3
4
5
6
7
94
Last 7 Subgroups
96
Within S tDev 0.697185 Cp 0.96 C pk 0.76
96.0
Within O v erall
94.5 2
4 Sample
98
Capability Plot
97.5
Values
USL
6
O v erall S tDev 0.922712 Pp 0.72 P pk 0.58 C pm 0.66
S pecs
113
Massa (gram)
Lampiran 20. Contoh Regresi Linier Output Mesin U9 Batch Ke-1 Corong 1
99 98 97 96 95 94 93
y = -1.0286x + 96.226 R² = 0.0178
9:45
Massa (gram) Massa (gram) Massa (gram)
10:30
10:45
11:00
11:15
11:30
Corong 2 y = -7.3371x + 99.082 R² = 0.6405
10:00
10:15
10:30
10:45
11:00
11:15
11:30
Corong 3
99 98 97 96 95 94 93
y = 0.4114x + 95.167 R² = 0.0027
9:45
10:00
10:15
10:30
10:45
11:00
11:15
11:30
Corong 4
99 98 97 96 95 94 93
y = -5.0057x + 98.822 R² = 0.3045
9:45
Massa (gram)
10:15
99 98 97 96 95 94 93 9:45
10:00
10:15
10:30
10:45
11:00
11:15
11:30
Corong 5
99 98 97 96 95 94 93
y = 0.6857x + 93.733 R² = 0.0209
9:45
Massa (gram)
10:00
10:00
10:15
10:30
10:45
11:00
11:15
11:30
Corong 6
99 98 97 96 95 94 93
y = -3.0171x + 97.277 R² = 0.2381
9:45
Corong Rata-rata (gram)
10:00
10:15
10:30
10:45
11:00
11:15
11:30
1
2
3
4
5
6
95,77
95,80
95,35
96,58
94,04
95,93
114
Lampiran 21. Data Output Mesin U9 Hari Ke-1 No
Waktu
1
8:00
2
8:15
3
8:30
4
8:45
5
9:00
6
9:15
7
9:30
8
9:45
9
Corong 1
2
3
4
5
6
10:00
95.6
95.9
95.2
96.7
93.9
96.0
10
10:15
95.9
96.0
95.3
96.5
94.1
96.0
11
10:30
96.0
95.9
95.6
96.9
94.0
95.9
12
10:45
95.8
95.9
95.4
96.8
94.2
96.2
13
11:00
95.8
95.9
95.5
96.6
94.2
95.8
14
11:15
95.5
95.6
95.0
96.4
94.0
95.9
15
11:30
95.9
95.5
95.5
96.3
94.0
95.8
16
11:45
17
12:00
18
12:15
96.3
95.4
95.4
95.1
96.1
96.1
19
12:30
95.6
96.1
95.8
95.3
96.1
95.6
20
12:45
95.3
95.6
95.3
94.8
96.0
95.2
21
13:00
96.4
96.3
95.7
96.2
96.3
96.8
22
13:15
95.4
96.3
95.4
96.0
95.9
96.1
23
13:30
96.2
96.8
95.8
96.6
96.1
96.4
24
13:45
95.8
95.8
95.8
95.5
96.0
96.3
25
14:00
96.4
95.9
95.6
96.2
96.2
96.6
26
14:15
27
14:30
28
14:45
29
15:00
30
15:15
31
15:30
96.2
96.0
95.2
96.3
95.3
96.0
32
15:45
96.0
95.3
95.1
95.5
95.5
95.9
33
16:00
95.8
96.3
95.3
95.9
95.2
95.2
34
16:15
95.4
95.3
94.9
95.0
95.5
95.2
35
16:30
95.8
95.8
95.0
95.6
95.1
95.6
36
16:45
95.6
96.0
95.0
95.8
95.1
95.3
37
17:00
96.2
95.3
95.0
95.7
95.1
96.0
CATATAN
BATCH
Pulse 1320
1
Setting prefit 4 & 5 Pulse 1320
2
Pulse 1300
3
115
Lampiran 22. Data Output Mesin U9 Hari Ke-2 No
Waktu
1
8:00
2
8:15
3
Corong
CATATAN
1
2
3
4
5
6
8:30
92.1
96.3
95.9
93.9
97.2
90.8
4
8:45
91.1
95.5
95.5
93.1
97.5
90.8
5
9:00
91.3
96.1
95.4
92.7
97.5
89.2
6
9:15
91.0
95.4
95.1
92.9
97.2
91.1
7
9:30
91.7
96.4
95.7
93.6
97.4
91.0
8
9:45
91.1
95.5
95.5
93.1
97.5
90.8
9
10:00
10
10:15
11
10:30
12
10:45
98.4
96.8
96.5
97.8
98.1
97.3
13
11:00
97.7
96.0
96.1
97.6
98.0
96.8
14
11:15
97.4
95.0
96.6
97.3
98.2
96.6
15
11:30
96.6
96.0
95.7
97.0
97.7
95.8
16
11:45
96.7
95.8
95.7
96.9
97.7
95.3
17
12:00
95.7
95.9
96.0
97.1
97.3
94.7
18
12:15
96.3
95.8
96.3
96.8
98.3
94.7
19
12:30
95.7
96.6
96.5
97.8
98.7
95.7
20
12:45
21
13:00
22
13:15
23
13:30
24
13:45
25
14:00
26
14:15
27
14:30
28
14:45
29
15:00
96.2
96.5
96.6
97.1
95.8
96.8
30
15:15
94.0
96.4
96.4
97.1
95.1
96.6
31
15:30
92.4
95.9
96.5
96.5
95.2
96.1
32
15:45
94.1
97.2
97.1
97.8
95.8
97.6
33
16:00
95.0
96.4
96.7
97.4
95.8
97.5
34
16:15
96.5
96.3
96.9
97.7
98.8
98.0
35
16:30
97.4
96.6
97.1
98.1
96.2
98.8
36
16:45
97.6
96.4
96.8
97.9
96.0
98.7
37
17:00
98.0
96.8
96.9
98.0
95.7
99.1
BATCH
Pulse 1290
4
Setting prefit 1, 4 & 6 Pulse 1290
5
Setting prefit 4 & 5 Pulse 1290
6
116
Lampiran 23. Data Output Mesin U9 Hari Ke-3 No
Waktu
1
8:00
2
8:15
3
8:30
4
8:45
5
9:00
6
9:15
7
9:30
Corong 1
2
3
4
CATATAN 5
BATCH
6
7
8
9:45
9
10:00
97.1
95.5
96.2
96.9
94.5
98.9
10
10:15
97.8
96.8
97.2
97.9
96.8
99.0
11
10:30
96.9
96.0
96.4
97.0
95.3
98.1
12
10:45
13
11:00
14
11:15
15
11:30
16
11:45
17
12:00
18
12:15
19
12:30
20
12:45
21
13:00
22
13:15
93.7
95.8
96.8
96.6
95.2
96.3
23
13:30
93.5
94.9
96.4
96.3
95.0
96.0
24
13:45
93.3
95.7
96.8
96.1
94.7
94.3
25
14:00
92.2
95.6
96.3
96.6
94.8
95.0
26
14:15
91.3
94.5
95.7
95.4
93.6
93.8
27
14:30
72.3
95.1
96.9
96.1
78.4
94.2
28
14:45
29
15:00
96.6
97.8
99.1
98.9
97.1
94.0
30
15:15
96.2
95.9
97.2
95.8
84.6
82.9
31
15:30
94.0
94.0
95.4
92.9
72.2
72.2
32
15:45
96.0
94.5
96.4
94.4
85.1
84.0
33
16:00
98.5
94.9
97.5
96.0
99.1
95.5
34
16:15
35
16:30
36
16:45
37
17:00
Pulse 1320
Tunggu Bumbu dan setting prefit
Setting prefit 4 & 5
Pulse 1290 8
Seketika pada 14:36 Pulse 1340
9
117
Lampiran 24. Data Output Mesin U9 Hari Ke-4 No
Waktu
1
8:00
2
8:15
3
8:30
4 5
Corong 1
2
3
4
5
6
8:45
96.90
95.90
96.20
97.30
94.80
95.70
9:00
97.70
96.30
96.40
97.70
95.50
97.30
6
9:15
99.20
96.70
96.80
98.20
96.90
99.20
7
9:30
100.40
97.50
97.40
98.90
97.20
100.50
8
9:45
100.40
98.10
97.50
99.30
97.20
100.80
9
10:00
10
10:15
11
10:30
12
10:45
13
97.80
94.60
94.20
95.50
94.30
97.50
14
11:00 11:15
96.70
93.90
94.30
94.80
93.80
95.60
15
11:30
97.20
94.10
94.10
94.90
94.00
96.70
16
11:45
97.60
94.70
94.50
95.60
94.20
96.90
17
12:00
97.70
94.30
94.40
95.30
94.30
97.20
18
12:15
98.00
94.80
94.80
95.90
94.30
97.50
19
12:30
97.80
94.70
94.40
95.70
94.50
97.70
20
12:45
97.70
94.50
94.10
95.00
94.50
97.00
21
13:00
22
13:15
23
13:30
97.70
93.80
93.90
94.80
94.50
97.10
24
13:45
97.80
94.90
94.50
95.60
94.50
96.80
25
14:00
97.50
94.60
94.50
96.60
94.60
97.70
26
14:15
97.80
94.90
94.70
95.90
95.00
98.60
27
14:30
98.30
95.80
95.80
97.00
95.10
97.50
28
14:45
99.10
96.00
96.20
98.10
95.50
98.80
29
15:00
99.30
95.90
95.70
98.00
95.80
99.80
30
15:15
96.80
96.20
96.00
97.40
95.80
97.90
31
15:30
95.70
95.60
95.50
97.10
95.30
96.70
32
15:45
95.60
96.00
96.20
97.90
95.30
95.90
33
16:00
95.80
96.00
95.80
97.50
95.00
95.80
34
16:15
96.20
95.80
95.30
97.30
94.80
95.70
35
16:30
95.40
94.70
94.80
96.70
94.50
96.00
36
16:45
95.30
94.60
94.30
96.20
94.10
95.50
37
17:00
96.80
95.70
95.40
97.30
95.20
97.30
CATATAN
BATCH
Pulse 1320
10
Pulse 1300
11
Pulse 1300
12
Pulse 1300
13
118
Lampiran 25. Data Output Mesin U9 Hari Ke-5 No
Waktu
1
8:00
2
8:15
3
8:30
4
8:45
5
9:00
6
9:15
7
9:30
8
9:45
9
10:00
10
10:15
11
10:30
12
10:45
13 14
11:00 11:15
15
11:30
16
11:45
17
12:00
18
12:15
19
12:30
20
12:45
21
13:00
22
13:15
23
13:30
24
13:45
25
14:00
26
14:15
27
14:30
28
14:45
29
15:00
30
15:15
31
15:30
32
15:45
33
16:00
34
16:15
35
16:30
36
16:45
37
17:00
Corong
CATATAN
1
2
3
4
5
6
96.20 96.50 96.10 95.60 95.30 95.10 95.40 94.80 93.90 94.50 94.60 94.80
94.90 95.30 94.90 94.60 94.70 94.20 94.50 94.40 93.40 93.70 93.70 94.50
94.70 94.80 94.70 93.90 94.30 93.80 94.00 93.80 93.20 93.50 93.50 93.60
96.50 96.80 95.80 95.70 95.50 94.90 95.60 95.10 95.10 94.90 95.30 94.30
94.40 94.50 94.30 94.20 94.20 93.80 94.20 93.80 93.50 93.60 93.60 93.80
95.30 95.80 95.00 95.50 94.50 94.00 94.70 94.10 93.60 93.60 94.10 93.30
Pulse 1330
94.70 93.60 93.30 94.90 93.70 94.20
Pulse 1330
BATCH
14
Shalat Jumat
95.90 96.10 95.80 95.60 92.10 96.60 97.10 97.00 96.80 97.40 95.60 96.80 97.20 96.00 95.90
94.80 95.30 95.10 94.90 91.30 95.30 96.00 95.50 95.70 96.40 94.40 95.90 96.10 94.60 94.80
94.60 94.70 94.70 94.20 92.00 95.60 95.80 95.50 95.30 95.90 94.70 95.60 96.00 93.70 94.20
95.70 96.30 96.00 95.40 92.80 96.90 97.30 97.00 96.30 96.90 95.30 96.80 97.30 96.10 95.80
94.60 94.80 94.80 94.20 92.70 95.00 95.50 95.30 95.10 95.40 94.60 95.50 95.30 94.60 94.20
94.80 95.10 94.90 94.40 90.50 95.40 95.90 96.10 94.90 95.50 94.80 95.50 95.90 95.70 95.00
pencilan
15
Pulse 1330
16
119
Lampiran 26. Data Sistem SPC Mesin U9 Milik Perusahaan Selama 7 Hari Corong
Waktu SPC
3/5/10 22:08 4/5/10 0:33 4/5/10 7:03 4/5/10 7:54 4/5/10 9:44 4/5/10 12:54 4/5/10 14:50 4/5/10 16:41 5/5/10 6:47 5/5/10 8:45 5/5/10 10:30 5/5/10 12:04 5/5/10 12:52 5/5/10 14:59 5/5/10 15:01 5/5/10 15:04 5/5/10 17:45 5/5/10 22:55 5/5/10 23:30 6/5/10 0:35 6/5/10 2:04 6/5/10 2:36 6/5/10 3:43 6/5/10 5:01 6/5/10 5:41 6/5/10 6:08 6/5/10 6:15 6/5/10 7:17 6/5/10 7:31 6/5/10 7:51 6/5/10 9:06 6/5/10 9:13 6/5/10 10:54 6/5/10 12:21 6/5/10 12:58 6/5/10 15:15 6/5/10 16:19 6/5/10 22:16 6/5/10 23:01
1
2
3
4
5
6
97.7 97.2 96.9 97.3 97.1 98.1 95.7 97.0 96.0 97.4 95.3 96.0 94.6 95.1 95.7 95.3 93.4 96.1 96.1 94.9 94.7 95.7 96.9 95.6 95.8 95.6 95.6 95.4 95.8 95.3 97.6 96.7 97.6 99.4 97.5 97.4 97.5 98.6 97.3
96.9 96.2 97.1 97.4 101.7 100.1 99.8 99.1 100.2 99.8 99.3 100.1 99.0 95.9 95.9 96.1 96.0 97.5 97.7 96.1 95.8 97.3 98.1 96.9 96.9 96.9 97.8 97.7 96.9 96.1 97.5 97.6 96.9 95.0 95.5 97.0 95.6 98.3 96.5
95.4 95.4 95.7 96.2 96.3 96.1 95.4 94.7 95.5 95.2 94.8 95.6 94.9 94.1 93.9 94.4 94.5 96.2 96.3 94.5 94.7 96.0 96.4 95.2 95.2 95.2 95.5 95.9 95.8 95.6 95.2 95.2 95.6 95.1 94.7 95.3 95.0 97.0 96.4
95.4 97.5 97.1 98.1 96.5 97.0 96.3 96.2 96.0 94.5 95.0 96.0 94.8 94.7 94.9 95.7 95.4 96.9 96.7 96.0 94.5 96.1 95.5 96.1 96.2 96.3 96.4 95.4 95.1 94.9 95.5 95.3 97.0 94.9 93.8 95.8 95.1 97.6 96.6
97.2 94.1 95.2 98.8 94.7 94.9 93.6 93.7 94.9 94.1 94.5 94.5 94.5 93.1 93.5 94.1 93.8 95.4 95.2 94.3 94.7 95.5 95.6 94.9 95.0 95.0 94.7 94.9 95.4 94.9 94.5 94.5 93.8 94.0 94.3 94.4 94.7 94.9 94.5
94.7 96.8 97.7 96.2 96.9 97.5 96.3 96.8 96.7 94.4 95.1 95.6 95.1 94.7 94.9 95.7 94.7 97.1 97.0 96.4 95.5 96.4 96.0 96.7 96.5 96.5 96.2 95.8 95.7 95.7 95.3 95.2 95.2 95.0 94.9 95.1 95.7 97.0 96.4
120
Lanjutan Lampiran 26. 7/5/10 6:11 7/5/10 7:46 7/5/10 8:14 7/5/10 9:36 7/5/10 16:01 7/5/10 21:06 7/5/10 22:15 7/5/10 22:40 7/5/10 23:31 8/5/10 0:02 8/5/10 0:36 8/5/10 2:58 8/5/10 3:39 8/5/10 6:23 8/5/10 6:43 8/5/10 7:41 8/5/10 8:25 8/5/10 8:31 8/5/10 9:33 8/5/10 9:56 8/5/10 11:28 8/5/10 12:21 8/5/10 14:23 8/5/10 16:48 8/5/10 23:10 9/5/10 0:27 9/5/10 6:07 9/5/10 6:34 9/5/10 7:38 9/5/10 8:35 9/5/10 9:25 9/5/10 10:59 9/5/10 11:34 9/5/10 12:25 9/5/10 14:10 9/5/10 22:37
93.7 97.3 96.7 99.8 94.9 94.7 95.0 95.1 94.4 94.4 94.9 95.1 95.6 95.1 90.8 95.7 96.3 96.4 95.8 96.5 96.4 95.8 95.7 95.6 95.6 94.9 95.4 95.0 95.1 94.6 96.0 95.2 94.7 94.8 94.0 96.1
96.7 92.8 94.7 97.1 95.2 96.1 95.9 95.9 95.2 95.4 95.3 96.6 96.7 95.9 93.5 96.4 97.5 97.0 97.4 97.7 97.1 96.0 95.5 95.0 95.2 94.3 95.4 95.3 95.2 95.5 96.7 96.2 96.5 96.0 95.5 97.2
96.4 97.2 97.7 95.2 94.4 95.6 95.2 95.2 94.6 95.0 95.5 96.1 96.4 95.8 93.5 95.9 96.1 96.1 95.9 96.0 95.9 95.4 94.7 94.3 94.4 93.6 94.2 94.6 94.2 95.1 95.2 94.7 95.1 94.8 93.9 95.2
96.7 96.6 97.3 97.9 96.5 96.5 96.8 96.5 95.4 95.9 96.5 96.9 96.8 97.2 94.1 97.8 97.4 97.7 96.9 96.9 96.9 96.2 95.3 95.0 95.1 94.2 96.0 95.2 94.5 95.0 97.4 96.5 96.5 95.7 95.6 98.3
98.2 97.1 96.6 95.6 95.0 96.0 95.7 95.6 95.4 95.7 97.3 95.9 96.5 96.9 95.5 96.0 96.0 96.1 96.6 97.1 96.3 95.7 94.2 94.3 93.8 93.8 93.8 94.8 94.8 95.2 95.6 95.7 95.7 95.8 94.9 96.3
96.7 98.0 96.9 96.7 96.8 98.1 97.8 97.8 97.1 97.2 99.4 97.9 98.6 98.6 96.7 98.3 98.6 98.7 98.4 99.3 98.5 97.7 96.6 96.6 96.8 97.0 96.4 96.9 96.8 97.0 97.5 97.5 97.5 97.6 96.5 97.8
121
Lampiran 27. Diagram Alir Produksi Bumbu Pelezat Serbaguna
122
Lampiran 28. Karakterisasi Aliran Bumbu Metode Hausner dan Carr
Ulangan
Aging (Menit)
Volume Loose (ml)
Volume tapped (ml)
Massa (g)
Loose Density (g/ml)
Tap Density (g/ml)
Hausner Ratio
Carr Index (%)
Karakteristik Aliran
1 2 3 4
0 0 0 0
250 250 250 250
178 170 164 164
215 206 210 200
0,860 0,824 0,840 0,800
1,208 1,212 1,280 1,220
1,40 1,47 1,52 1,52
28,80 32,00 34,40 34,40
Poor Very Poor Very Poor Very Poor
0,831
1,230
1,48
32,40
Very Poor
Rata-rata
Ulangan
Aging (Menit)
Volume Loose (ml)
Volume tapped (ml)
Massa (g)
Loose Density (g/ml)
Tap Density (g/ml)
Hausner Ratio
Carr Index (%)
Karakteristik Aliran
1
120
250
164
207
0,828
1,262
1,52
34,40
Very Poor
2
120
250
162
209
0,836
1,290
1,54
35,20
Very Poor
3
120
250
174
220
0,880
1,264
1,44
30,40
Poor
4
120
250
162
214
0,856
1,321
1,54
35,20
Very Poor
0,850
1,284
1,51
33,80
Very Poor
Rata-rata
123
Lampiran 29. Karakterisasi Aliran Garam Metode Hausner dan Carr
Ulangan
Volume Loose (ml)
Volume Tapped (ml)
Massa (g)
Loose Density (g/ml)
Tap Density (g/ml)
Hausner Ratio
Carr Index (%)
Karakteristik Aliran
1
250
218
310
1,240
1,422
1,15
12,80
Good
2
250
214
308
1,232
1,439
1,17
14,40
Good
3
250
210
298
1,192
1,419
1,19
16,00
Fair
4
250
214
302
1,208
1,411
1,17
14,40
Good
1,218
1,423
1,17
14,40
Good
Rata-Rata
Lampiran 30. Karakterisasi Aliran Gula Metode Hausner dan Carr
Ulangan
Rata-Rata
Volume Loose (ml)
Volume Tapped (ml)
Massa (g)
Loose Density (g/ml)
Tap Density (g/ml)
Hausner Ratio
Carr Index (%)
Karakteristik Aliran
250
228
225
0,900
0,987
1,10
8,80
Excellent
250
226
223
0,892
0,987
1,11
9,60
Excellent
250
228
226
0,904
0,991
1,10
8,80
Excellent
250
220
217
0,868
0,986
1,14
12,00
Good
0,891
0,988
1,11
9,80
Excellent
124
Lampiran 31. Pareto Kejadian Breakdown Mesin Pengemas Tahun 2009 100.00%
5000
90.00%
4500
80.00%
3.836 kali
4000
70.00%
3500
60.00%
3000
50.00%
2500
40.00%
2000
30.00%
1500
20.00%
1000
10.00%
500
0.00%
0
Kejadian
% Akumulasi
125
Lampiran 32. Pareto Waktu Breakdown Mesin Pengemas Tahun 2009 100% 90%
1000 901,2
900
50%
S a 700 t u 600 a n 500
40%
400
80%
800
70% 60%
20%
W a 300 k t 200 u
10%
100
30%
0%
0
Waktu Breakdown
% Akumulasi
126