Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 2016 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN” PEMBINAAN KEPRIBADIAN MELALUI PENGEMBANGAN PENDIDIKAN INTEGRATIF DI SEKOLAH, KELUARGA DAN MASYARAKAT Nuraini Universitas Muhammadiyah Ponorogo
[email protected] ABSTRAK Tujuan pendidikan dalam Islam adalah membentuk insan kamil, yakni manusia paripurna yang memiliki kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual sekaligus. Dekadensi (kerusakan) moral yang terjadi di Indonesia tidak bisa dituduhkan begitu saja kepada guru atau pendidik, kemudian mengadilinya sedemikian rupa, dengan mengupas pribadi guru mulai dari penguasaan ilmu, metodologi, komunikasi hingga moralitasnya. Pada dasarnya mendidik adalah kewajiban orang tua dengan melibatkan sekolah dan masyarakat. Keterbatasan yang dimiliki oleh orang tua mengharuskannya untuk bekerjasama dengan berbagai pihak, terutama dengan lembaga pendidikan dan lingkungan sosialnya. Pendidikan pada dasarnya adalah sebuah proses transformasi pengetahuan menuju ke arah perbaikan, penguatan, penyempurnaan semua potensi manusia. Oleh karena itu, pendidikan tidak mengenal ruang dan waktu, ia tidak dibatasi oleh tebalnya tembok sekolah dan juga sempitnya waktu belajar di kelas. Sekolah dan masyarakat memiliki kewajiban yang sama dalam pendidikan setiap generasi karena setiap generasi baru yang lahir akan menjadi bagian dari masyarakat. Lembaga pendidikan yang meliputi keluarga, sekolah dan masyarakat harus dimanfaatkan dan dikembangkan secara maksimal. Ketiga-tiganya saling terkait dan saling mendukung untuk perkembangan kesehatan mental dan pendidikan. Pendidikan baik di dalam lingkungan keluarga, sekolah, masyarakat, maupun negara perlu mencurahkan perhatian, pikiran, dan tindakan untuk membentuk dan mengembangkan secara seimbang antara ketiga potensi kecerdasan tersebut. Kata kunci: Pembinaan kepribadian, pendidikan integrative, Lembaga Pendidikan PENDAHULUAN Pendidikan merupakan proses perbaikan, penguatan dan penyempurnaan terhadap semua kemampuan dan potensi manusia. Pendidikan juga dapat diartikan sebagai suatu ikhtiar manusia untuk membina kepribadiannya sesuai dengan nilainilai dan kebudayaan yang ada dalam masyarakat. Dalam masyarakat yang peradabannya sangat sederhana sekalipun telah ada proses pendidikan. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika sering dikatakan bahwa pendidikan telah ada semenjak munculnya peradaban umat manusia. 1 Menurut Oppenheim (dalam Suharsimi Arikunto, 2004 : 2) karakter atau watak seseorang dapat diamati dalam dua hal, yaitu sikap (attitude) dan perilaku 1
. Muhammad Noor Syam, “Pengertian dan hokum dasar pendidikan”, Pengantar dalam dasardasar kependidikan, (Surabaya: Usaha Nasional, 1981), 2
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 2016 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN” (behavior). Jadi sikap sesorang termasuk anak-anak, tidak dapat diketahui apabila tidak ada rangsangan dari luar. Rangsangan itu sendiri dipengaruhi oleh beberapa faktor anatara lain cara menyampaikan, waktu terjadinya, pemberian rangsangan dan cara memberikan rangsangan. Dengan demikian maka pemebntukan sikap yang selanjutnya merupakan pembetuk karekter atau watak anak, juga sangat tergantung dari rangsangan pendidikan yang diberikan oleh pendidik. Banyaknya anak yang terlibat dalam tindak kenakalan nak baik berupa tindak kekerasan, penipuan, pemerkosaan/pelecehan seksual, pencurian, perampokan hingga pembunuhan serta tindakan/ perilaku yang negatif lainnya seperti mabuk-mabukan, merokok atau menyalahgunakan narkoba, merupakan salah satu bentuk gagalnya pendidikan terhadap anak. Era globalisasi memang telah mengubah segalanya. Beratnya persaingan hidup telah menyebabkan orang lupa memperhatikan kebutuhn anak karena sibuk mencari nafkah. Sementara perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah menyebabkan budaya luar baik atau buruk mengalir bagitu derasnya. Dampaknya bila tidak ada pengawasan dan bimbingan yang cukup buruk dari luar. Oleh karenanya, sejak dini pada anak perlu ditanamkan nailai-nilai moral sebagai pengatur sikap dan perilaku individu dalam melakukan interaksi sosial di lingkungan keluarga, masyarakat maupun bangsa2 (Gunarwan, 2005 : 10). Pendidikan diperlukan dan dilakukan pertama kali oleh anggota keluarga, terutama orang tua terhadap anak-anak mereka. Dengan mempertimbangkan efektifitas dan efisiensi, keterbatasan waktu dan fasilitas yang dimiliki oleh orang tua didirikannlah lembaga pendidikan dengan maksud untuk mengatasi keterbatasan tersebut. Lembaga pendidikan didesain dengan pertimbangan edukatif agar proses kependidikan berlangsung dengan mudah, murah dan sukses sesuai dengan tujuan yang disepakati dan diterapkan
bersama antara guru, lembaga pendidikan dan
keluarga. Pendidikan pada umumnya ditujukan untuk menanamkan nilai-nilai dan norma-norma tertentu sebagaimana yang telah ditetapkan dalam filsafat pendidikan, yakni nilai atau norma yang dijunjung tinggi oleh suatu lembaga pendidikan.3 Sayangnya dasar filosofi ini kadang belum terkonsep secara jelas oleh pelaksana pendidikan, hal ini terbukti dengan pengembangan pola dan sistem pendidikan yang
2
. Gunarwan. 2005. “Tanamkan Nilai Moral Dalam Keluarga”. Kedaulatan Rakyat 11 Juli 2005. . H. A Ali Saifullah, Pendidikan, pengajaran dan kebudayaan: Pendidikan sebagai gejala kebudayaan, (Surabaya: usaha Nasional, 1982), 53-54 3
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 2016 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN” masih labil. Pendidikan yang maju harus didasari dengan filosofi yang mantap dan ditunjang oleh seperangkat teori dan konsep pendidikan yang memadai.4 Pendidikan Islam sebagai proses pengarahan perkembangan manusia (ri’ayah) pada sisi jasmani, akal, bahasa, tingkah laku dan kehidupan sosial dan keagamaan yang diarahkan pada kebaikan menuju kesempurnaan. Sementara itu, Muhammad at-Toumy asy-Syaibani sebagaimana yang dikutip oleh M. Arifin menyatakan bahwa pendidikan Islam adalah usaha mengubah tingkah laku individu dalam kehidupan pribadi atau kehidupan kemasyarakatan dan kehidupan di alam sekitarnya. Dari hal ini dapat diketahui pada dasarnya5 pendidikan adalah usaha atau proses perubahan dan perkembangan manusia menuju ke arah yang lebih baik dan sempurna. Pasal 1 ayat (1)
Undang-undang No 20 tahun 2003 tentang sistem
Pendidikan Nasional menegaskan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif dapat mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara. Selanjutnya pasal 3 menegaskan
bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peadaban yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada tuhan yang maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Jika dibandingkan dengan konsep dan tujuan pendidikan nasional sebagaimana yang tertuang dalam UU No 20 tahun 2003 dengan konsep dan tujuan yang dikemukakan oleh Dewey (dalam Kohlberg, 1997) maka konsep dan tujuan pendidikan nasional Indonesia jauh lebih sempurna dari sekedar kemampuan moral dan intelektual. Hal ini dikarenakan tujuan tercapainya kemampuan intelektual dan moral sebagaimana yang dikehendaki oleh dewey sudah tercakup dalam nilai kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan dan akhlak mulia. Oleh karena itu Negara Indonesia adalah Negara yang mengedepankan moralitas dan terselenggaranya pendidikan yang bermoral di Sekolah maupun di
4
. Moh. Roqib, Ilmu Pendidikan Islam, pengembangan pendidikan Integratif di Sekolah, Keluarga dan masyarakat, (Yogyakarta: PT Lkis Printing Cemerlang, 2009), 17 5 . Ibid, 20
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 2016 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN” lingkungan masyarakat, yakni di rumah (lingkungan keluarga), di tempat-tempat ibadah seperti majelis taklim di masjid, bahkan disiarkan melalui televisi secara bebas dan menjangkau masyarakat luas. Pendidikan merupakan wahana yang paling cocok bagi pengembangan dan perubahan cara berfikir serta perilaku individu. Pendidikan juga mempunyai misi untuk menyiapkan
manusia dan masyarakat religious, demokratis, memiliki
kemampuan untuk memahami, menghayati, mengamalkan dan mengembangkan secara terus-menerus nilai-nilai budaya yang mengutamakan kemandirian dan keunggulan dalam kehidupan bermasyarakat. Pengembangan pendidikan tidak harus memiliki relevansi dengan kebutuhan dan budaya manusia, akan tetapi lebih penting dari itu adalah penenaman fundamental value sebagai dasar pembentukan kepribadian anak didik. Berdasarkan hal tersebut, maka pendidikan dihadapkan pada tantangan dalam rangka mewujudkan pendidikan integrative yang mencoba secara maksimal mengembangkan tiga potensi kecerdasan manusia. Dalam menyongong MEA (Masyarakat Ekonomi Asean) saat ini Sumber Daya Manusia yang unggul tidak bisa diabaikan. Karena sumber daya yang unggul akan menjadi kunci kemajuan dan keberhasilan. Dalam membangun SDM yang berkualitas tidak bisa mengandalkan kecerdasan intelektual saja, akan tetapi didukung oleh kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual. Dalam onteks Islam kecerdasan tersebut harus didesain oleh kesadaran akan kebenaran sejati yang didorong oleh kekuatan dan kesadaran dalam mencari ridlo Allah SWT, sehingga akan terbentuk pribadi yang memiliki komitmen dan integritas tinggi serta ketakwaan. a. Pembinaan Kepribadian Anak Pembinaan kepribadian anak sama halnya dengan membangun karakter yang berarti mendidik. Untuk berpikir tentang pendidikan dapat kita mudahkan dengan membuat analogi sebagaimana seorang petani yang hendak bertanam di ladang. Anak yang akan dididik dapat diibaratkan sebagai tanah, isi pendidiklah sebagai bibit atau benih yang hendak ditaburkan, sedangkan pendidik diibaratkan sebagai petani. Untuk mendapatkan tanaman yang bagus, seorang petani harus jeli menentukan jenis dan kondisi lahan, kemudian menentukan jenis bibit yang tepat, serta cara yang tepat, setelah mempertimbangkan saat yang tepat pula untuk menaburkan bibit. Setelah
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 2016 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN” selesai menabur, petani tidak boleh diam, tetapi harus memelihara, dan merawatnya jangan sampai kena hama pengganggu.6 Pendidikan mulai dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi selama ini masih menekankan pada aspek akademik, yaitu proses mendapatkan pengetahuan (pengajaran), kecerdasan otak atau usaha memperoleh kecerdasan intelektualitas saja. Pendidikan tentang kecerdasan emosional yang mencakup integritas, kejujuran, komitmen dan kreativitas, ketahanan mental, kebijaksanaan, keadilan, maupun penguasaan diri masih terabaikan. Pengembangan potensi-potensi seperti budi pekerti dan pembentukan karakter kurang mendapat sentuhan yang maksimal meski sudah dicanangkan dalam konsep kurikulum 2013, akan tetapi dalam kenyataannya hal ini masih belum mendapatkan perhatian maksimal. Dalam menyongsong kemajuan jaman yang bernama Globalisasi seperti saat ini, Sumber daya manusia yang berkarakter sangat diperlukan.7 Kepribadian bukan merupakan sesuatu yang statis karena kepribadian memiliki sifat kedinamisan yang disebut dengan dinamika pribadi (Personality Dinamics). Dinamika pribadi ini berkembang pesat pada anak-anak (masa anak-anak) karena pada masa ini anak belum memiliki kepribadian yang matang, yaitu masa pembentukan
pribadi. Dinamika pribadi ini berupa ;(1) interaksi diantara
karakteristik-karakteristik pribadi khususnya motif-motifnya; (2) ekspresi tingkah laku dari karakteristik-karakteristik pribadi dalam proses penyesuaian diri terhadap lingkungan; (3)dalam psikologi analisis, merupakan manajemen terhadap sistem energy pribadi melalui interaksi dari id, ego dan superego. Sebagai sesuatu yang bersifat dinamis kepribadian yang ada pada diri seseorang sering memiliki masalah (Personality problem). Masalah kepribadian ini dapat berupa gangguan dalam pencapaian hubungan harmonis
dengan orang lain atau lingkungan, misalnya sifat
pemalu, dengki, sombong dan sifat-sifat lain yang tidak berperasaan (tidak menimbang rasa).8 Karakter kepribadian seseorang dapat berubah dan berkembang sampai batas kematangan tertentu. Perkembangannya sejalan dengan perkembangan kemampuan cara berfikir pada diri seseorang. Perkembangan kemampuan cara berfikir pada diri seseorang dipengaruhi oleh lingkungan sekitar seseorang yang mengkristal sebagai 6
. Suharsimi Arikunto, 2004. “Membangun Karakter Anak Sejak Usia Dini”. Makalah Seminar Membangun Karakter Anak Sejak Usia Dini, 14 Agustus 2004 di JEC Yogyakarta, hlm 1. 7 . Moh. Sholeh, “Optimalisasi kecerdasan Emosional Anak melalui puasa senin kamis,” Jurnal Ilmu dakwah (volume 6, edisi 2, 2005), 94 8 . ibid, 7
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 2016 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN” pengalaman dan hasil belajar. Hasil belajar dan pengalaman inilah yang dapat memberikan warna dan menentukan ubahan cara berfikir seseorang pada masa-masa selanjutnya. Perkembangan tersebut akan menjadi lambat pada tingkat pertumbuhan dan kematangan tertentu, artinya perkembangan cara berfikir seseorang dapat menjadi sulit berubah ke arah progresivitas maju, sebagaimana ditemukan dalam teori-teori perkembangan. Dalam pertumbuhan dan perkembangannya seringkali kepribadian menemukan suatu masalah. Berdasarkan sifat kepribadian yang dapat tumbuh dan berkembang tersebut, maka kepribadian merupakan sesuatu yang dapat dibentuk atau dipengaruhi oleh faktor eksternalnya. Artinya kepribadian seseorang sebelum mencapai tingkat kematangan tertentu dapat diusahakan lahir sesuai dengan bentuk kepribadian yang diinginkan. Pengaruh yang dapat membentuk kepribadian adalah dengan mengubah cara berfikir seseorang atau bagaimana seseorang itu menetapan keputusan untuk berperilaku dan tidak berperilaku. Pembentukan cara berfikir perlu diajarkan sedini mungkin sehingga menjadi sikap dan perilaku anak menuju kematangan kepribadiannya. Melalui pengembangan cara berfikir perlu dilakukan secara serasi antara lingkungan rumah tangga, sekolah dan masyarakat, karena anak akan berkomunikasi dan berinteraksi dengan orang lain dan keluarganya secara terus menerus tanpa batas, baik di dalam maupun di luar lingkungan keluarganya. Pembentukan dan pengembangan sikap serta perilaku moral sejak dini bagi anak di lingkungan rumah tangga bukan hanya karena alasan anak harus mampu berhubungan ketika diasuh di sekolah, akan tetapi hal itu penting karena cara berfikir demikian akan menjadi dasar cara berfikir selanjutnya. Jika para orang tua di lingkungan rumah tangga mampu meletakkan dasardasar
cara
berfikir
moral
secara
benar,
maka
kondisi
sekolah
tinggal
pengembangannya. Akan tetapi jika tidak sejalan (apalagi secara mendasar bersifat kontradiktif) maka antara lingkungan
yang satu dengan yang lain akan saling
merusak perilaku moral anak. Hal ini dikarenakan kepribadian seorang anak akan terhambat dan mendapatkan masalah apabila ajaran yang diterimanya bersumber dari orang-orang yang dianggap memiliki otoritas atau orang orang yang dianggap berkuasa kepadanya. Orang-orang ini akan mendatangkan rasa takut kepada anak, dan perasaan takut ini akan
membuat anak
berperilaku tidak berdasar pada
pikirannya. Pikirannya akan menjadi macet dan perilakunya cenderung berpura-pura karena ingin menghindari hukuman dari orang yang berkuasa. Itulah sebabnya perlu
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 2016 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN” ada persamaan persepsi tentang konsep moral antara lingkungan yang satu dengan lingkungan yang lainnya. Kesamaan perhatian, persepsi, dan pola pembinaan
yang serasi tentang
upaya memperkenalkan dan menumbuhkembangkan cara berfikir moral anak sedini mungkin akan dapat membantu mereka berfikir dan berperilaku secara bertahap menuju ke arah otonom. Sebaliknya kegagalan upaya ini akan mempersulit tercapainya peningkatan/perkembangan perilaku
ke arah otonom sampai usia
pendidikan apapun, karena perilaku moral secara otonom
tidak terjangkau oleh
ketentuan dan aturan yang dibuat oleh manusia dan tidak dapat diajarkan hanya melalui kebiasaan. 9 pembinaan dan pendidikan moral melalui kebiasaan dinyatakan tidak lagi cukup kuat dalam menghadapi perubahan dan pergeseran nilai-nilai sebagai dampak perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, lebih-lebih dalam menghadapi tawaran materialism yang semakin marak di era globalisasi. Shaver ( 1972) menyatakan Sekolah sebagai lembaga pendidikan bertanggung jawab meningkatkan kemampuan berfikir dan kecakapan siswa dalam menetapkan suatu keputusan. Kemampuan ini terkait dengan nilai-nilai, teutama nilai-nilai yang bersifat humanis. Oleh karena itu sekolah sebagai lembaga pendidikan mempunyai beban dan tanggung jawab untuk melaksanakan pendidikan dan membantu siswa mengembangkan cara berfikir dan membentuk kepribadiannya. Pendidikan moral dapat dilakukan di mana saja, baik di sekolah dan di lingkungan rumah.10 b. Teori dan praktik pendidikan Integratif Kecerdasan manusia terdiri dari kecerdasan emosional, intelektual dan kecerdasan emosional. Sejumlah kerusakan dan kemunduran dari ragam aspek kehidupan dinilai sebagai akibat dari tidak berfungsinya sistem pendidikan dalam mengembangkan pribadi-pribadi yang handal yang memiliki kesalehan privat dan kesalehan sosial. Pendidikan dipandang telah gagal menghasilkan pribadi yang mampu melakukan individuasi dan partisipasi. Output pendidikan hanya bersifat skill dan intelektual, tetapi rapuh dalam hal karakter dan moral. Pendidikan integratif dimaknai sebagai pendidikan yang menyatu antara teori dan praktik, pendidikan yang tidak dikotomis dan pendidikan yang mementaskan proses menuju kebaikan dan kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat sekaligus.
9
. Blasi, A., Bringing Moral Cognition and Moral Action: A Critical review of the Literature. (Pshycological Bulletin, 88 (1) : 1980), 1-45 10 . Goods. , C. V (Ed.) Dictionary Of education, (New York: McGraw-Hill Book Company Inc, 1945)
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 2016 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN” Dalam praktikknya pendidikan di keluarga, sekolah dan masyarakat seringkali terpisah antara yang satu dengan yang lain bahkan terkadang bertentangan. Dalam keluarga, seorang anak dididik tentang etika/moral, namun di sekolah para guru terkadang tidak memperdulikan etika bahkan pelanggaran nilai-nilai etika sering dipertontonkan di masyarakat. Konradiksi pendidikan dalam ketiga lembaga ini (keluarga, sekolah dan masyarakat) tentu membuat anak kebingungan sebagai peserta didik dan generasi yang sedang mencari jati diri. Keterpisahan antara ketiga lembaga ini sebenarnya dapat dijembatani lewat lembaga yang menjadi rujukan bersama umat islam, seperti masjid. Masjid merupakan tempat yang disucikan dan didatangi oleh orang tua (keluarga), pendidik, peserta didik (sekolah), dan warga sekitar (masyarakat). Pertemuan mereka di tempat suci merupakan bagian dari proses edukatif yang bermanfaat bagi semua peserta didik ke depan. Jika masjid didesain dengan baik, maka ia akan bisa membantu proses pendidikan dalam keluarga, sekolah dan masyarakat sehingga proses pendidikan akan menjadi efektif dan efisien. Pemahaman tentang konsep atau teori pendidikan islam dan aplikasinya dalam proses pendidikan yang dijalankan di lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat secara integrative akan memberikan hasil yang maksimal dan dapat menjadi acuan utama dalam pengambilan keputusan pendidikan ke depan. Masingmasing lembaga dapat berdiri secara otonom, namun tetap harus saling sapa dan melengkapi. Problem apapun dalam kehidupan ini, seperti problem sosial, politik, ekonomi dan hokum harus dikaitkan dengan pendidikan sehingga solusinya akan lebih komprehensif dan humanis. Pendidikan yang baik akan membantu menyelesaikan berbagai kasus dan meningkatkan kecerdasan peserta didik, baik secara intelektual, emosianal maupun spiritual.11 Pengembangan kecerdasan intelektual, emosional dan kecerdasan spiritual secara seimbang dalam pendidikan sangatlah penting, sehingga perlu memperoleh perhatian dan penanganan yang serius dari semua pihak. Oleh karena itu pendidikan dalam lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat maupun Negara perlu mencurahkan perhatian, pikiran dan tindakan untuk membentuk dan mengembangkan secara seimbang antara ketiga potensi kecerdasan tersebut.
11
. Moh. Roqib, Ilmu Pendidikan Islam, pengembangan pendidikan Integratif di Sekolah, Keluarga dan masyarakat, (Yogyakarta: PT Lkis Printing Cemerlang, 2009), 5-7
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 2016 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN” Beberapa alasan pentingnya pengembangan pendidikan integrative yang meliputi kecerdasan emosipnal, intelektual dan spiritual12 adalah 1);pendidikan modern di indonesia selama ini sangat menekankan dan mengunggulkan kualitas intelektual yang dilambangkan dengan IQ. Pendidikan yeng mengedepankan kecerdasan otak dengan banyak materi yang harus dikuasai peserta didik dan profil hasil belajar diukur dari nilai-nilai akademik. 2); teori-teori pendidikan mutakhir selalu menyerukan dan menyarankan pendidikan tidak mencakup kecerdasan intelektual saja, tetapi harus mencakup kecerdasan emosi (EQ) dan kecerdasan Spiritual (SQ). Daniel Goleman seorang Psikolog
Harvard University pada
pertengahan tahun 1990 menuliskan sebuah hasil penelitian yang menyatakan bahwa “kecerdasan intelegensi yang tinggi tidak menjamin gengsi, kesejahteraan, kebahagiaan dan kesuksesan hidup.13 Kecerdasan yang paling penting adalah kecerdasan emosional. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kecerdasan seseorang dalam kehidupannya hanya 20 % ditentukan oleh kecerdasan intelektual, sedangkan 80 % ditentukan oleh factor-faktor lain.14 Kecerdasan emosional terus berkembang dan akan berimplikasi bagi tiap segi kehidupan terutama pendidikan. 3); telah menjadi tugas dunia pendidikan dimana pendidikan harus berpusat pada pengembangan
pribadi
dan
intelektual.
Pendidikan
harus
diarahkan
pada
pengembangan manusia seutuhnya dari kepribadian manusia dan kesadaran akan harga diridan memperkuat rasa hormat terhadap hak-hak asasi manusia dan kebebasan dasar.pendidikan harus memungkinkan semua orang untuk berpartisipasi secara efektif dalam suatu masyarakat yang bebas, meningatkan rasa pengertian serta toleransi antar semua bangsa, ras dan agama.15 c. Pemanfaatan Sekolah, keluarga dan masyarakat sebagai lembaga pendidikan Setiap lembaga pendidikan; sekolah, keluarga dan masyarakat semestinya dapat dikembangkan dan dimanfaatkan secara maksimal, ketiganya saling terkait dan saling mendukung untuk perkembangan kesehatan mental dan pendidikan. Lembaga pendidikan sekolah sudah lazim dan dikenal masyarakat luas, dan yang masih belum dikembangkan secara maksimal adalah pendidikan keluarga dan masyarakat seperti masjid yang memiliki potensi strategis. 12
. Djoko Saryono, Pendidikan sekolah sebagai wahana pembentukan pendidikan karakter dan intelektual pelajar untuk menyongsong abad pertengahan, Jurnal pendidikan dan pembelajaran (2, 8, 2003), 133-134. 13 . Daniel Goleman, Emotional intelligence, kecerdasan Emosional, mengapa EQ lebih penting dari IQ (Jakarta: Gramedia Pustaka Uama, 1996), 47 14 . Moh. Sholeh, “Optimalisasi kecerdasan Emosional Anak melalui puasa senin kamis,”,94. 15 .Djoko saryono, pendidikan sekolah ……., 134
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 2016 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN” 1. Keluarga sebagai lembaga pendidikan Keluarga menjadi bagian paling penting dalam membentuk sebuah peradaban kemanusiaan, karena dri keluargalah seseorang dikenalkan nilai, aturan dan kebudayaan.16 Keluarga pada dasarnya adalah institusi Pendidikan nilai Moral yang pertama dan Utama bagi anak.17 Keluarga sebagai lembaga nonformal juga ditunjukkan oleh hadits nabi yang menyatakan bahwa keluarga merupakan tempat pendidikan anak yang paling awal dan memberikan warna dominan. Sejak anak dilahirkan, ia menerima bimbingan kebaikan dari keluarga yang memungkinkannya berjalan di jalan keutamaan sekaligus bisa berperilaku di jalan kejelekan sebagai akibat dari pendidikan keluarga yang salah. Kedua orang tua memiliki peran besar
18
untuk menjadikannya agar tetap dalam jalan yang
benar atau salah. Pendidikan dalam keluarga merupakan pendidikan yang sangat efektif dan aman, anak dapat melakukan proses pendidikan dalam keluarga dengan aman dan nyaman. Pendidikan keluarga dapat dibedakan menjadi 2 yaitu pendidikan prenatal (pendidikan dalam kandungan) dan pendidikan postnatal (pendidikan setelah lahir). Pendidikan prenatal (pendidikan dalam kandungan) diyakini merupakan pendidikan untuk pembentukan potensi yang akan dikembangkan dalam proses pendidikan selanjutnya. Wujud praktek pendidikan prenatal cenderung dipengaruhi oleh praktik – praktik budaya seperti doa untuk si janin, mitoni, neloni, sirikan, dll. Sedangkan, pendidikan postnatal ( pendidikan setelah lahir) yaitu pendidikan yang diberikan kepada si anak setelah lahir dengan hal – hal yang akan bermanfaat dan berguna dalam hidupnya. Wujud praktek pendidikan postnatal yaitu cenderung pada pendidikan karakter dan perilaku dari individu tersebut. Dasar tanggung jawab keluarga terhadap pendidikan anaknya yang pertama meliputi motivasi cinta kasih yang menjiwai hubungan orangtua dengan anak. Cinta kasih ini akan mendorong sikap dan tindakan untuk menerima tanggung jawab dan mengabdikan hidupnya untuk sang anak. Yang kedua yaitu motivasi kewajiban moral orangtua terhadap anak. Tanggung jawab moral ini meliputi nilai – nilai religious spiritual untuk memelihara martabat dan
16
. Koeswinarno, (Jurnal Harmoni, Volume 12 Nomor 2, mei-Agustus 2013),5 . Sulton, Realitas Pendidikan Nilai di Lingkungan Keluarga, Sekolah dan Masyarakat, ( Jurnal Istawa, Volume 1, No 2, Januari- Juni 2016), 35 18 . Athiyah al-Abrasyi, At-tarbiyah al-islamiyah wa falasifatuha, (Kairo: Dar al-Fikr, 1969), 47 17
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 2016 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN” kehormatan keluarga. Serta tanggung jawab sosial sebagai bagian dari keluarga yang pada gilirannya juga akan menjadi bagian dari masyarakat. Berbicara tentang pendidikan keluarga berarti berbicara tentang perempuan sebagai ibu. Perempuan (ibu) adalah pendidik bangsa sebagaimana yang dinyatakan oleh Hafedz Ibrahim: “Ibu adalah sekolah, bila kau persiapkan, Engkau telah mempersiapkan rakyat yang baik lagi kuat” Pendidikan adalah untuk semua (education for all) dan berlangsung selama hayat dikandung badan. Peran ibu sebagai pendidik tetap akan relevan, efektif dan efisien serta merata pada setiap individu bangsa. Sebab setiap anak tidak terlepas dari peran ibunya.dalam rangka mengembalikan nilai kerakyatan dan kemanusiaan, proses pendidikan tidak bisa lepas dari peran ibu. Apabila perempuan terdidik dengan baik, maka pemerataan pendidikan telah mencapai sasaran sebab ibu adalah pendidik pertam adan utama dalam keluarga. 2. Pendidikan di Lingkungan sekolah Pendidikan di sekolah pada dasarnya adalalah proses bagaimana suatu nilai yang diyakini dan dipercaya kemudian diimplementasikan kedalam seluruh aspek kehidupan di sekolah.19 Seiring dengan perkembangan peradaban manusia, orang merasa tidak mampu lagi untuk mendidik anaknya. Pada masyarakat yang semakin komplek, anak perlu persiapan khusus untuk mencapai masa kedewasaan. Persiapan ini perlu waktu, tempat dan proses yang khusus. Dengan demikian orang perlu lembaga tertentu untuk menggantikan sebagian fungsinya sebagai pendidik. Lembaga ini dalam perkembangannya lebih lanjut dikenal sebagai sekolah. Sekolah merupakan sarana yang secara sengaja dirancang untuk melaksanakan pendidikan. Salah satu alternatif yang mungkin dilakukan di sekolah untuk melaksanakan kebijakan nasional adalah secara bertahab mengembangkan sekolah menjadi suatu tempat pusat latihan (training centre) manusia Indonesia di masa depan. Dengan kata lain, sekolah sebagai pusat pendidikan adalah sekolah yang mencerminkan masyarakat yang maju karena pemanfaatan secara optimal ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi tetap berpijak pada ciri ke Indonesiaan. Dengan demikian, pendidikan di sekolah secara seimbang dan serasi bias mencakup aspek pembudayaan, penguasaan pengetahuan, dan pemilik keterampilan peserta didik.
19
. Hawkes Neil, How to Inspire and develop positive values in your classroom (LDA, 2003), 2
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 2016 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN” Selain itu, sekolah juga telah mencapai posisi yang sangat sentral dan belantara pendidikan manusia. Sekarang sekolah tidak lagi berfungsi sebagai pelengkap pendidikan kelurga tetapi merupakan kebutuhan. Hal itu disebabkan karena pendidikan berimbas pada pola pikir ekonomi yaitu efektivitas dan efisiensi yang merupakan ideologi dalam pendidikan. Terdapat
empat
macam
pengaruh
pendidikan
sekolah
terhadap
perkembangan masyarakat, yaitu: a. Mencerdaskan kehidupan masyarakat. b. Membawa pengaruh pembaharuan bagi perkembangan masyarakat. c. Mencetak warga masyarakat yang siap dan terbekali bagi kepentingan kerja di lingkungan masyarakat. d. Melahirkan sikap-sikap positif dan konstruktif bagi warga masyarakat, sehingga tercipta integrasi sosial yang harmonis ditengah-tengah masyarakat 3. Lingkungan Pendidikan Masyarakat Selanjutnya, manusia dalam bekerja dan hidup sehari-hari akan selalu berupaya
memperoleh
manfaat
dari
pengalaman
hidupnya
itu
untuk
meningkatkan dirinya. Dengan kata lain, manusia berusaha mendidik dirinya sendiri dengan memanfaatkan sumber-sumber belajar yang tersedia di masyarakatnya dalam bekerja, bergaul, dan sebagainya. Ada 5 pranata sosial (social institutions) yang terdapat di dalam lingkungan social atau masyarakat yaitu : a. Pranata pendidikan bertugas dalam upaya sosialisasi b. Pranata ekonomi bertugas mengatur upaya pemenuhan Kemakmuran c. Pranata politik bertugas menciptakan integritas dan stabilitas masyarakat d. Pranata teknologi bertugas menciptakan teknik untuk mempermudah manusia. e. Pranata moral dan etika bertugas mengurusi nilai dan penyikapan dalam masyarakat Akhir – akhir ini sekolah dinilai terjadi kesenjangan dengan masyarakatnya. Sekolah dianggap cenderung arogan terhadap masyarakatnya sedangkan masyarakat kurang peduli terhadap sekolah. Dalam banyak hal sekolah dinilai telah tertinggal dari masyarakatnya dan kini banyak sekolah yang belajar dari masyarakat. Hal ini karena berbagai inovasi seperti dalam hal teknologi terlebih dahulu terjadi di masyarakat daripada sekolah. Dan hal ini tentu sangat wajar karena sekolah hanya salah satu pranata yang ada dalam masyarakat diantara empat pranata yang lain. Selain itu, masyarakatlah yang
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 2016 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN” memiliki berbagai sumber daya yang memungkinkan untuk mengembangkan berbagai inovasi.
KESIMPULAN Dekadensi Moral yang sedang melanda negeri ini seperti maraknya tawuran tingkat pelajar, perkosaan, pembunuhan dan penganiayaan dan lain-lain tidak boleh dituduhkan begitu saja kepada guru selaku pendidik di lingkungan sekolah, akan tetapi ini menjadi tanggung jawab bersama antara keluarga, sekolah dan masyarakat. Peran sekolah, keluarga dan masyarakat memiliki andil yang sangat besar dalam pembinaan kepribadian anak menuju anak-anak cerdas dan berakhlak mulia. Pengembangan kecerdasan intelektual, emosional dan kecerdasan spiritual secara seimbang dalam pendidikan sangatlah penting, sehingga perlu memperoleh perhatian dan penanganan yang serius dari semua pihak. Oleh karena itu pendidikan dalam lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat maupun Negara perlu mencurahkan perhatian, pikiran dan tindakan untuk membentuk dan mengembangkan secara seimbang antara ketiga potensi kecerdasan tersebut. Keluarga memiliki peran yang utama dalam pendidikan anak, orang tua adalah orang pertama yang mempunyai tanggung jawab terhadap pendidikan moral kepada anaknya. Sekolah sebagai lembaga formal
juga harus mampu
mengintegrasikan nilai moral melalui program akademik maupun non akademik. Masyarakat harus mampu menjadi perantara pendidikan moral yang dijadikan sandaran bagi anggota masyarakat, termasuk anak-anak. Melalui pendidikan yang mengedepankan kecerdasan emosional, intelektual dan spiritual diharapkan akan tercipta nilai-nilai kemanusiaan yang luhur, yang akan membangkitkan keyakinan akan jati diri sejati yang bisa melahirkan suatu prinsip dan karakter bangsa dengan didasari oleh nilai-nilai kemanusiaan yang bisa memberikan kemajua dan keberhasilan duniawi dan ukhrawi secara bersama-sama.
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 2016 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN” REFERENSI Abrasyi, Athiyah. “At-tarbiyah al-islamiyah wa falasifatuha”, (Kairo: Dar alFikr, 1969) Arikunto, Suharsimi . “Membangun Karakter Anak Sejak Usia Dini”. Makalah Seminar Membangun Karakter Anak Sejak Usia Dini, 14 Agustus 2004 di JEC Yogyakarta Blasi, A., “Bringing Moral Cognition and Moral Action: A Critical review of the Literature” (Pshycological Bulletin, 88 (1) : 1980) Syam, Noor. “Pengertian dan hokum dasar pendidikan”, Pengantar dalam dasar-dasar kependidikan, (Surabaya: Usaha Nasional, 1981) Goleman, Daniel. “Emotional intelligence, kecerdasan Emosional, mengapa EQ lebih penting dari IQ” (Jakarta: Gramedia Pustaka Uama, 1996) Goods. , C. V (Ed.) “Dictionary Of education”, (New York: McGraw-Hill Book Company Inc, 1945) Gunarwan. 2005. “Tanamkan Nilai Moral Dalam Keluarga”. Kedaulatan Rakyat 11 Juli 2005. Koeswinarno,” Pengantar” (Jurnal Harmoni, Volume 12 Nomor 2, meiAgustus 2013) Neil, Hawkes. How to Inspire and develop positive values in your classroom (LDA, 2003) Roqib, Moh. "Ilmu Pendidikan Islam, pengembangan pendidikan Integratif di Sekolah, Keluarga dan masyarakat”, (Yogyakarta: PT Lkis Printing Cemerlang, 2009) Saifullah, Ali. Pendidikan, pengajaran dan kebudayaan: Pendidikan sebagai gejala kebudayaan”, (Surabaya: usaha Nasional, 1982) Saryono, Djoko. “Pendidikan sekolah sebagai wahana pembentukan pendidikan karakter dan intelektual pelajar untuk menyongsong abad pertengahan”, Jurnal pendidikan dan pembelajaran (2, 8, 2003), 133-134. Sholeh, Moh. “Optimalisasi kecerdasan Emosional Anak melalui puasa senin kamis,” Jurnal Ilmu dakwah (volume 6, edisi 2, 2005), 94 Sjarkawi, Pembentukan kepribadian Anak ( Peran Moral, Intelektual, Emosional, dan sosial sebagai wujud Integritas membangun Jati diri”, (Jakarta: Bumi Aksara, 2006), 11. Sulton, “Realitas Pendidikan Nilai di Lingkungan Keluarga, Sekolah dan Masyarakat”, ( Jurnal Istawa, Volume 1, No 2, Januari- Juni 2016), 35
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 2016 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN”