PENDIDIKAN KARAKTER MELALUI PENDEKATAN TEMATIK INTEGRATIF PADA KURIKULUM 2013 DI SEKOLAH DASAR
Heru Nur Wicaksono
[email protected] ABSTRACT Indonesia is well known as a beautiful country wether the nature and the people. But nowadays there is degradation of moral values in the people of Indonesia. Any kind of crime are getting closer to us. Raping, robbery, corruption, nepotism are some examples that we face in our daily. The people lost their identity as a human that it can makes differentiation between other creatures. The government making every effort to overcome this problem. So, The Ministry of Educational and Culture of Republik Indonesia makes the new formula in education world. The Ministry launches Curriculum 2013 that be trusted to makes all better. The writer has the similar opinion to The Ministry of Educational and Culture of Republik Indonesia. The writer believe Curriculum 2013 can fix all problems about the degradation of moral values in Indonesian people. The article is about character education by integrated tematic approaching in curriculum 2013 in primary school. It serves to the reader what character education is, what the integrated tematics approaching is, and the important thing the reader can find how character education by integrated tematics approaching in curriculum 2013 in primary school is. Keywords: Character Education, Integrated Tematics Approaching, Curriculum 2013 PENDAHULUAN Bangsa ini sedang mengalami ujian berat. Mulai dari bencana alam seperti banjir, tanah longsor, gunung meletus -yang notabene siklus alam yang diperparah oleh kerusakan yang diperbuat manusia- hingga bencana terberat berupa degradasi moral yang akan membuat kerusakan sistemik seluruh tatanan kehidupan. Korupsi, kolusi, nepotisme, pemerkosaan, perampokan, pencurian dan rupa-rupa tindak kejahatan dan kriminalitas lainnya adalah bukti bahwa bangsa ini sedang dilanda degradasi moral. Degradasi moral ini menjangkit seperti wabah penyakit yang menular tidak hanya dari golongan tua saja, tetapi juga remaja. Seorang esais Lance Morrow dalam Lickona (edisi terjemahan, 2012) berpendapat bahwa Pandangan sekilas terhadap sejarah mengingatkan kita bahwa
peradaban tidak selamanya tumbuh subur. Peradaban menjulang dan runtuh. Peradaban runtuh ketika inti moral memburuk – ketika suatu masyarakat gagal meneruskan kebajikan-kebajikan pokok, kekuatan-kekuatan karakternya kepada generasi berikutnya. Sejarawan Arnold Toynbee dalam Lickona (edisi terjemah, 2012) mengamati bahwa Lebih dari dua puluh satu peradaban yang terkemuka, sembilan belas diantaranya musnah bukan oleh penaklukan dari luar tetapi karena kerusakan moral dari dalam. Dalam ajaran agama, kita tahu bahwa umat-umat terdahulu yang notabene memiliki peradaban yang luar biasa seperti kaum ‘Ad, Tsamud dan Bani Israil, mereka hancur bukan karena adanya peperangan. Mereka mendapat azab dari Tuhan karena moralitas yang buruk. Secara intelektualitas memang unggul, akan tetapi integritas mereka nihil. Guna mengatasi kemerosotan moral bangsa, pemerintah berusaha sekuat tenaga menggalakan pendidikan karakter dengan memperbaiki sistem kurikulum yang berlaku di Indonesia. Atas dasar itulah penulis membuat artikel ini dengan judul Pendidikan Karakter Melalui Pendekatan Tematik pada Kurikulum 2013 di Sekolah Dasar. Dalam artikel ini disajikan rumusan masalah sebagai berikut. 1.
Apakah Pendidikan Karakter itu?
2.
Apakah Pendekatan Tematik Integratif itu?
3.
Bagaimanakah Dinamika Kurikulum di Indonesia: Kurikulum Penjajahan hingga Kurikulum 2013?
4.
Bagaimanakah implementasi Pendekatan Tematik Integratif pada Kurikulum 2013?
5.
Bagaimanakah Pendidikan Karakter melalui Pendekatan Tematik integratif pada Kurikulum 2013 di Sekolah Dasar? Adapun tujuan dari penulisan artikel ini adalah
1.
Untuk mengetahui makna pendidikan karakter.
2.
Untuk mengetahui arti dari pendekatan tematik integratif.
3.
Untuk mengetahui dinamika kurikulum di Indonesia: Kurikulum Penjajahan hingga Kurikulum 2013.
4.
Untuk mengetahui implementasi Pendekatan Tematik Integratif pada Kurikulum 2013.
5.
Untuk mengetahui Pendidikan Karakter melalui Pendekatan Tematik integratif pada Kurikulum 2013 di Sekolah Dasar. Manfaat artikel ini adalah untuk menambah wawasan bagi penulis dan
pembaca mengenai segala seluk-beluk kurikulum 2013 lebih khususnya pada pendidikan karakter melalui pendekatan tematik integratif pada kurikulum 2013 di Sekolah Dasar. Selain itu artikel ini dapat dijadikan sebagai dasar guna mengembangkan penelitian selanjutnya mengenai pendidikan karakter melalui pendekatan tematik integratif pada kurikulum 2013 di Sekolah Dasar.
PEMBAHASAN 1.
Pendidikan Karakter Masyarakat dewasa ini mulai sadar akan arti penting pendidikan bagi
kelangsungan hidup dan masa depan yang lebih baik Namun apakah sebenarnya pendidikan itu? Berikut penulis kutipkan beberapa definisi pendidikan oleh para ahli. Pendidikan menurut Dictionary of Education dalam Soegeng (2007) adalah proses dimana seseorang mengembangkan kemampuan, sikap, dan bentukbentuk tingkah laku lainnya di dalam masyarakat dimana ia hidup. Pendidikan adalah proses sosial dimana orang dihadapkan pada pengaruh lingkungan yang terpilih dan terkontrol (khususnya yang datang dari sekolah) sehingga dia dapat memperoleh atau mengalami perkembangan kemampuan sosial dan kemampuan individu secara optimum. Sir Godfey Thompson (1957) dalam Soegeng (2007) menyatakan bahwa Pendidikan adalah pengaruh lingkungan atas individu untuk menghasilkan perubahan-perubahan yang tetap (permanen) di dalam kebiasaan-kebiasaan tingkah lakunya, pikirannya, dan sikapnya.
Drijarkara (1961) dalam Soegeng (2007) mendefinisikan Pendidikan sebagai kegiatan atau proses memanusiakan manusia. Memanusiakan manusia terjadi dalam dan dengan kebudayaan maka pendidikan juga dapat didefinisikan sebagai kegiatan atau proses pembudayaan manusia. Keseluruhan proses atau kegiatan itu disebut hominisasi dan humanisasi. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Pendidikan Nasional adalah pendidikan yang didasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan zaman. Dari definisi-definisi tentang pendidikan di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan adalah suatu usaha yang dilakukan oleh manusia secara sadar tanpa adanya paksaan untuk membekali manusia tersebut dengan berbagai pengetahuan dan keterampilan sehingga dapat memberikan manfaat bagi manusia itu sendiri. Selain berupaya untuk membekali manusia dengan pengetahuan dan keterampilan, pendidikan juga mengembangkan potensi-potensi atau sifat-sifat alamiah manusia yang membedakannya dengan makhluk lain di muka bumi ini yaitu akhlak mulia, kekuatan spiritual keagamaan dan pengendalian diri. Pengertian karakter menurut Pusat Bahasa Departeman Pendidikan Nasional adalah “bawaan, hati, jiwa, kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas, sifat, tabiat, temperamen, watak” (Su’ud, 2011:46) Karakter sejatinya berasal dari bahasa Yunani yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi “to mark” atau menandai dan memfokuskan bagaimana mengaplikasikan nilai kebaikan dalam bentuk tindakan atau tingkah laku, sehingga orang yang tidak jujur, kejam, rakus dan perilaku jelek lainnya bisa dikatakan orang berkarakter jelek. Sebaliknya, orang yang perilakunya sesuai dengan kaidah moral disebut dengan berkarakter mulia (Su’ud:2011)
Berdasarkan definisi-definisi karakter dari para ahli di atas maka dapat ditarik suatu benang merah bahwa karakter merupakan sifat, watak, perilaku yang khas dan merupakan ciri spesifik dari tiap insan. Karakter dapat diubah melalui proses yang tentu saja memakan waktu tidak sebentar dan tidak semudah membalikkan telapak tangan. Seburuk apapun perilaku seseorang tetapi tetap saja di dalam hatinya tersimpan nilai-nilai moral kebaikan yang merupakan fitrah setiap manusia. Karakter merupakan “mark” atau label dari tiap individu. Sepandai apapun seseorang jika karakter dan perangainya buruk maka ia tidak akan dapat diterima dalam kehidupan masyarakat. Masyarakat lebih menghargai individu yang sederhana akan tetapi memiliki “attitude” yang jempolan. Menurut David Elkind & Freddy Sweet (2004) seperti yang dikutip dalam Su’ud (2011) pendidikan karakter dimaknai sebagai “character education is the deliberate effort to help people understand, care about, and act upon core ethical values. When we think about the kind of character we want for our children, it is clear that we want them to be able to judge what is the right, even in the face of pressure from without and temptation from within”. Sedangkan Suwandi (2010) dalam Su’ud (2011) mendefinisikan pendidikan karakter sebagai upaya yang terencana atau sistem penanaman nilainilai perilaku (karakter) kepada warga sekolah yang meliputi kompnen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi manusia yang seutuhnya. Pada titik ini dapat penulis simpulkan dari berbagai pendapat para ahli di atas bahwa pendidikan karakter sejatinya adalah suatu usaha yang dilakukan secara sadar yang dilakukan oleh manusia untuk menanamkan dan mengembangkan nilainilai moral, spiritual dan sosial untuk menunjang kelangsungan hidup manusia itu sendiri. Pendidikan karakterlah yang membedakan manusia dengan makhluk lain di muka bumi.
Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan berusaha sekuat mungkin menciptakan suatu formulasi yang tepat dalam dunia pendidikan di Indonesia guna menciptakan insan Indonesia yang berkarakter mulia. Dalam Bab II Dasar, Fungsi dan Tujuan Pasal 3 Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional disebutkan bahwa Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Tujuan pendidikan nasional di atas yang mengacu untuk melaksanakan pendidikan karakter, dipertegas kembali dengan munculnya Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2010 tentang Percepatan Pelaksanaan Prioritas Pembangunan Nasional. Di dalam peraturan ini, presiden menginstruksikan bahwa ada delapan belas nilai-nilai atau karakter-karakter yang harus ditanamkan kepada peserta didik, yakni
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Religius Jujur Toleransi Disiplin Kerja Keras Kreatif Mandiri Demokratis Rasa Ingin Tahu
10. Semangat Kebangsaan 11. Cinta Tanah Air 12. Menghargai Prestasi 13. Bersahabat / Komunikatif 14. Cinta Damai 15. Gemar Membaca 16. Peduli Lingkungan 17. Peduli Sosial 18. Tanggung Jawab
Lantas timbul pertanyaan: Bagaimanakah guru menanamkan kedelapan belas nilai-nilai atau karakter bangsa tersebut? Suwandi (2010) dalam Su’ud (2011) mengatakan bahwa dalam penyusunan silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang mencakup pengembangan karakter harus berisi penambahan indikator pencapaian yang terkait dengan pencapaian peserta didik
dalam hal karakter, penambahan dan/atau modifikasi teknik penilaian yang sekaligus dapat mengembangkan karakter. 2.
Pendekatan Tematik integratif Sudah jamak diketahui bahwa pengorganisasian kurikulum lazim dibagi
menjadi tiga yakni: (a) Separate-subject curriculum, (b) Correlated curriculum, dan (c) Integrated curriculum. a) Separate-subject curriculum Kurikulum model ini biasa juga disebut dengan isolated curriculum atau subject matter curriculum. Disebut demikian karena memang dalam proses pembelajaran, “subject” atau mata pelajaran diajarakan secara terpisah dan berdiri sendiri-sendiri. Tidak adanya kaitan antarmata pelajaran ini membuat munculnya pengotak-kotakan mata pelajaran dan pemisahan antarmata pelajaran sehingga tiap mata pelajaran diajarkan tanpa menghubungkan dengan mata pelajaran lain yang memiliki kedekatan materi ajar. b) Correlated curriculum Adanya kelemahan dalam separated subject curriculum berupa pengajaran mata pelajaran yang terpisah-pisah dan berdiri sendiri-sendiri sehingga terkesan adanya pengotak-kotakan membuat para ahli berusaha menemukan kurikulum yang baru. Para ahli kemudian berupaya untuk mengaitkan atau mengorelasikan (to correlate) subyek-subyek mata pelajaran tersebut. Hadi Suroso (2011) mengatakan bahwa setidaknya ada tiga cara mengorelasikan mata pelajaran dalam pembelajaran, yakni: 1)
Korelasi antara dua mata pelajaran diadakan hubungan secara insidental, yaitu menghubungkan materi-materi berkait dari beberapa mata pelajaran. Misalnya pada Rencana Pelajaran Terurai 1952, materi kelas V Ilmu Hayat Bagian Bada Manusia tentang “Penyakit yang mudah berjangkit: kurap, pes, kolera, cacar, kudis” dalam pembelajarannya dikorelasikan dengan (a) kesehatan (Jasmani, Olahraga dan Kesehatan),
(b) musim (Ilmu Bumi), (c) makanan (Ilmu Hayat bagian Tumbuhan), (d) kebersihan lingkungan (Ilmu Pengetahuan Alam). 2)
Korelasi hubungan yang lebih erat, ketika suatu pokok atau masalah tertentu diperbincangkan dalam berbagai mata pelajaran. Misalnya masalah Kemiskinan dibicarakan pada
mata pelajaran (a) Ilmu
Pengetahuan Sosial (ekonomi), (b) Pendidikan Kewarganegaraan (berkaitan dengan UUD 1945), (c) Bahasa Indonesia (materi membaca), (d) Seni Budaya dan Keterampilan. Masing-masing mata pelajaran membicarakan “kemiskinan” sesuai dengan jam pelajaran yang bersangkutan, berdiri sendiri, akan memberi sumbangan masing-masing untuk menyoroti masalah “kemiskinan”. 3)
Korelasi dapat pula beberapa mata pelajaran disatukan dengan menghilangkan batas-batas masing-masing. Misalnya penggabungan mata pelajaran (a) Sejarah, Ilmu Bumi, Ekonomi menjadi mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial, (b) Berhitung, Aljabar, Ilmu Ukur menjadi mata pelajaran Matematika, (c) Ilmu Alam, Ilmu Hayat, Ilmu Kimia menjadi mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam, (d) Membaca, Bercakap-cakap, Menulis, Menyimak menjadi mata pelajaran Bahasa Indonesia, (e) Seni Suara, Menggambar, Seni Tari, Seni Kriya menjadi mata pelajaran Seni Budaya dan Keterampilan. Nasution (1980) dalam Hadi Suroso (2011) berpendapat bahwa Paduan atau fusi atau peleburan antara beberapa mata pelajaran itu disebut dengan “broad fields”. Broad fields itu sendiri merupakan kesatuan yang tidak terbagi-bagi atas bagianbagian. Walaupun telah tercapai perpaduan yang erat antara beberapa mata pelajaran, dasarnya masih bersifat “separated subject curriculum”, hanya jumlah pelajaran sangat dikurangi. Jadi broad fields dianggap sebagai modifikasi dari separated subject curriculum yang tradisional.
c) Integrated curriculum Para ahli terus berusaha untuk memperbaiki kurikulum yang merupakan sistem dalam pelaksanaan pendidikan. Mereka berusaha mengatasi
kekurangan-kekurangan pada separated subject curriculum dan correlated curriculum. Usaha itu kemudian menghasilkan integrated curriculum. Pembelajaran kurikulum 2013 pada jenjang SD/MI menggunakan pendekatan tematik integratif dari kelas I hingga kelas VI. Dalam Edaran Kompetensi Inti Kurikulum 2013 yang dikeluarkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan disebutkan bahwa Pembelajaran Tematik Integratif merupakan pendekatan pembelajaran yang mengintegrasikan berbagai kompetensi dari berbagai mata pelajaran ke dalam berbagai tema. Masih dalam redaksi yang sama, lebih jauh diungkapkan bahwa pengintegrasian tersebut dilakukan dalam dua hal yakni integrasi sikap, keterampilan dan pengetahuan dalam proses pembelajaran dan integrasi berbagai konsep dasar yang berkaitan. Tema merajut makna berbagai konsep dasar sehingga peserta didik tidak belajar konsep dasar secara parsial atau terpisah. Dengan demikian pembelajaran memberikan makna yang utuh kepada peserta didik seperti tercermin pada berbagai tema yang tersedia. 3.
Dinamika Kurikulum di Indonesia: Kurikulum Penjajahan hingga Kurikulum 2013 Hadi Suroso (2011) dalam bukunya Telaah Pengembangan Kurikulum
dan Penyusunan KTSP mengemukakan bahwa walaupun semua orang berpendapat bahwa kurikulum sangat penting bagi sebuah sekolah, akan tetapi istilah kurikulum itu justru bukan dari dunia pendidikan. Masih dalam buku yang sama, beliau mengutip pernyataan Webster (1856) bahwa pada mulanya pengertian kurikulum tidak ada hubungannya dengan dunia pendidikan. Istilah kurikulum dahulu dipergunakan pada bidang olahraga. Kata kurikulum berasal dari bahasa Yunani yang berarti suatu jarak yang harus ditempuh. Pada tahun itu pengunaan kurikulum dipakai dalam dunia olahraga yang dapat juga diartikan sebagai suatu alat yang membawa seseorang dari start hingga finish. Baru pada tahun 1955 dalam kamus Webster, istilah kurikulum dipakai dalam dunia pendidikan dengan arti: a.
Sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh atau dipelajari murid di sekolah atau pada perguruan tinggi untuk memperoleh ijazah tertentu.
b.
Sejumlah mata pelajaran yang ditawarkan oleh suatu lembaga pendidikan atau suatu departemen. Adapun dalam BAB I Ketentuan Umum Pasal 1 Undang-undang No. 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyebutkan bahwa Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Agaknya pergeseran makna kurikulum dari dunia olahraga ke dunia pendidikan memberi angin segar bagi dunia pendidikan itu sendiri. Dunia pendidikan menjadi lebih terarah karena memiliki “garis start” atau awalan dan “garis finish” atau tujuan akhir yang diharapkan. Garis start di sini dapat diaratikan sebagai awalan atau permulaan dari mana pelajaran harus diajarkan. Seperti diketahui bahwa pembelajaran diajarkan dari hal yang mudah ke sulit, simpel ke kompleks, konkret ke abstrak dan seterusnya. Awalan di sini sangat dibutuhkan untuk mengetahui dari mana pembelajaran dimulai. Adapun garis finish mempresentasikan tujuan akhir yang inin dicapai dalam pembelajaran. Di Indonesia, tujuan akhir pembelajaran tertuang dalam Bab II Dasar, Fungsi dan Tujuan Pasal 3 Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional disebutkan bahwa Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Sejak zaman penjajahan hingga era reformasi saat ini Indonesia telah berulangkali berganti-ganti kurikulum. Pada zaman penjajahan, pendidikan yang diselenggarakan di Indonesia sudah barang tentu disesuaikan dengan tujuan para penjajah misalnya untuk menyebarkan misi agamanya. Ketika Belanda berkuasa selama hampir tiga setengah abad dibukalah sekolah-sekolah untuk mencetak
pegawai-pegawai rendahan sebagai pelaksana Tanam Paksa. Tahun 1892 terdapat dua macam sekolah rendah yaitu Sekolah Kelas Dua untuk pribumi dengan lama belajar tiga tahun dan Sekolah Kelas Satu untuk anak pegawai dengan lama belajar awalnya empat tahun, lima tahun dan akhirnya tujuh tahun. Pada awal abad ke-20, Belanda membagi tiga golongan penduduk yakni Eropa, Pribumi dan Cina. Kemudian didirikan sekolah ELS (Europese Lagere School) untuk anak-anak keturunan Eropa dan keturunan Cina yang haknya disamakan menurut undangundang; HCS (Holland Chinese School) untuk keturunan Tionghoa; dan HIS (Holland Indlande School) untuk pribumi. Pada zaman penjajahan Jepang, semua sekolah rendah disebut Kokumin Gakko dengan lama belajar enam tahun Sejak memproklamasikan kemerdekaan tahun 1945, Indonesia berbenah dalam segala aspek kehidupan termasuk dunia pendidikan. Berikut kurikulum yang pernah berlaku dari awal kemerdekaan hingga era reformasi saat ini. a.
Zaman Orde Lama (1945 – 1966), pada zaman ini belum digunakan istilah kurikulum tetapi mengunakan istilah Rencana Pelajaran. 1) Rencana Pelajaran 1947, merupakan kurikulum pertama yang dipergunakan di Indonesia pascakemerdekaan. Kurikulum ini masih mendapat pengaruh yang kental dari kolonialisme Belanda dan Jepang sehingga terkesan meneruskan yang pernah digunakan penjajah. Akan tetapi terjadi titik tolak berupa penekanan pada pembentukan karakter manusia Indonesia yang merdeka dan berdaulat dan sejajar dengan bangsa lain di muka bumi. 2) Rencana Pelajaran Terurai 1952. Abdullah Idi (2010) dalam bukunya Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktik menyebutkan bahwa ciri yang menonjol pada Rencana Pelajaran Terurai 1952 untuk Sekolah Rakyat adalah bahwa setiap rencana pelajaran harus memperhatikan isi pelajaran yan dihubungkan dengan kehidupan sehari-hari. Kurikulum ini telah mengarah kepada suatu sistem pendidikan nasional. 3) Rencana Pelajaran 1964. Pokok-pokok pikiran yang menjadi ciri kurikulum ini adalah pemerintah mempunyai keinginan agar rakyat
mendapat pengetahuan akademik untuk pembekalan pada jenjang sekolah dasar. b. Zaman Orde Baru (1966 – 1998), pada zaman ini mulai dipergunakan istilah Kurikulum untuk menggantikan Rencana Pelajaran maupun Rencana Pelajaran Terurai. 1) Kurikulum 1968. Tujuan dari kurikulum ini adalah pendidikan ditekankan pada upaya untuk membentuk manusia Pancasilais sejati, kuat dan sehat jasmani, mempertinggi kecerdasan dan keterampilan jasmani, moral, budi pekerti dan keyakinan beragama. 2) Kurikulum 1975. Tujuan dari kurikulum ini merujuk kepada Tujuan Pendidikan Nasional yang tertuang dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) 1973 yakni Tujuan pendidikan nasional adalah membentuk manusia pembangunan yang ber-Pancasilais, dan untuk membentuk manusia Indonesia yang sehat jasmani dan rohani, memiliki pengetahuan dan keterampilan, dapat mengembangkan kreativitas dan tanggungjawab, dapat menyuburkan sikap demokratis dan penuh tenggang rasa, dapat mengembangkan kecerdasan yang tinggi dan disertai budi pekerti yang luhur, mencintai bangsanya dan mencintai semua manusia sesuai dengan ketentuan yang termaktub dalam Undang-Undang Dasar 1945. 3) Kurikulum 1984. Kurikulum ini sering juga disebut sebagai Kurikulum 1975 yang disempurnakan karena memang demikianlah adanya. Kurikulum 1984 merupakan penyempurnaan dari kurikulum 1975. Sejak era orde baru, ada suatu pemikiran bahwa kurikulum sekolah harus ditinjau kembali bahkan diubah dalam jangka waktu antara lima hingga sepuluh tahun (Suroso, 2011:61). Dasar pemikiran ini berangkat dari asas-asas kurikulum terutama asas sosiologis bahwa apa yang ada pada materi pelajaran di sekolah 4) Kurikulum 1994. Kurikulum ini merupakan pembenahan atas kurikulum sebelumnya. Melalui Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 060/U/1993 tentang Kurikulum Pendidikan Dasar, Pemerintah
mengganti Kurikulum 1984 dengan Kurikulum 1994. Titik berat pelaksanaan kurikulum ini terletak pada adanya tiga buku yang menjadi satu kesatuan. Buku I berisi tentang Landasan, Program dan Pengembangan Kurikulum; Buku II berisi tentang Garis-Garis Besar Program Pengajaran; dan Buku III berisi Pedoman Pelaksanaan Kurikulum. c.
Era Reformasi 1) Kurikulum 2004. Semenjak lengsernya kekuasaan Orde Baru di tahun 1998 maka dunia pendidikan di Indonesia turut mengalami reformasi. Kurikulum sebelumnya diperbaiki untuk menjawab tantangan dan kebutuhan zaman sehingga lahirlah Kurikulum 2004 atau lebih dikenal dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) 2004. Kurikulum ini dilandasi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, serta Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom. Prinsip pelaksanaan kurikulum ini adalah pada proses pembelajaran yang mengenal adanya program remidi, pengayaan dan percepatan serta menggunakan prinsip belajar tuntas (mastery learning). Orang tua dan masyarakat dilibatkan dalam
pelaksanaan pendidikan lewat
Komite Sekolah. Tingkat
keberhasilan belajar siswa tidak hanya diwujudkan dalam angka tetapi guru harus membuat profil hasil belajar. 2) Kurikulum 2006. Kurikulum ini disebut juga Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006. Disebut demikian karena memang pelaksanaan pembelajaran diserahkan dan dikembangkan sepenuhnya pada satuan pendidikan
(sekolah)
masing-masing.
Kurikulum
ini
merupakan
pengembangan dari KBK 2004. KTSP merupakan kurikulum yang dilandasi paradigma “curriculum developer”
(pengembang
kurikulum),
bukan
“curriculum
user”
(pengguna kurikulum). Pada kurikulum yang berlaku sebelumnya (dari
penjajahan hingga sebelum KTSP) satuan pendidikan bertindak sebagai curriculum
user
sehingga
kurikulum
yang
berlaku
di
sekolah/madrasahnya harus disusun berdasarkan kurikulum nasional sebagai dasar utamanya. Lain halnya dengan KTSP. Sekolah /madrasah menyusun kurikulum yang berlaku di sekolah/madrasah tersebut sesuai dengan kurikulum nasional (KTSP 2006) kemudian ditambah dengan halhal yang sesuai dengan visi, misi, kondisi dan kebutuhan sekolah. 3) Kurikulum 2013. Memang tidak ada definisi resmi dari pemerintah mengenai
kurikulum
2013.
Kurikulum
ini
melanjutkan
dan
mengembangkan KBK 2004 dan KTSP 2006. Dalam Draf Uji Publik Kurikulum 2013 ada tiga landasan pengembangan kurikulum 2013 a) Aspek Filosofis Filosofi pendidikan yang berbasis pada nilai-nilai luhur, nilai akademik, kebutuhan peserta didik dan masyarakat. Kurikulum berorientasi pada pengembangan kompetensi b) Aspek Yuridis i.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014 Sektor Pendidikan
ii. Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2010 tentang Percepatan Pelaksanaan Prioritas Pembangunan Nasional: Penyempurnaan kurikulum dan metode pembelajaran aktif berdasarkan nilai-nilai budaya bangsa untuk membentuk daya saing dan karakter bangsa. c) Aspek Konseptual Meliputi Relevansi (kesesuaian dengan perkembangan zaman), dikembangkan
berdasarkan
pada
model
kurikulum
berbasis
kompetensi, proses pembelajaran (aktivitas belajar, output belajar, dan outcome belajar), serta penilaian (kesesuaian teknik penilaian dengan kompetensi, penjenjangan penilaian). Kurikulum 2013 diciptakan sebagai upaya pemerintah untuk menjawab tantangan zaman dan juga untuk mengembalikan insan Indonesia menjadi manusia berkarakter mulia.
4.
Implementasi Pendekatan Tematik Integratif pada Kurikulum 2013 Telah diungkapkan pada bagian sebelumnya bahwa pembelajaran
kurikulum 2013 pada jenjang SD/MI menggunakan pendekatan tematik integratif dari kelas I hingga kelas VI. Dalam Edaran Kompetensi Inti Kurikulum 2013 yang dikeluarkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan disebutkan bahwa Pembelajaran Tematik Integratif merupakan pendekatan pembelajaran yang mengintegrasikan berbagai kompetensi dari berbagai mata pelajaran ke dalam berbagai tema. Mata pelajaran adalah unit organisasi Kompetensi Dasar yang terkecil. Untuk Kurikulum SD/MI organisasi Kompetensi Dasar kurikulum dilakukan melalui pendekatan terintegrasi (integrated curriculum). Berdasarkan pendekatan ini maka terjadi reorganisasi Kompetensi Dasar mata pelajaran yang mengintegrasikan konten mata pelajaran IPA dan IPS di kelas I,II, dan III ke dalam mata pelajaran Pendidikan Agama dan Budi Pekerti, PPKn, Bahasa Indonesia, Matematika serta Pendidikan Jasmani, Olahraga dan Kesehatan. Dengan demikian maka struktur kurikulum SD/MI menjadi lebih sederhana karena jumlah mata pelajaran berkurang. Jadi, integrasi Kompetensi Dasar IPA dan IPS didasarkan pada keterdekatan makna dari konten Kompetensi Dasar IPA dan IPS dengan konten Pendidikan Agama dan Budi Pekerti, PPKn, Bahasa Indonesia, Matematika, serta Pendidikan Jasmani, Olahraga dan Kesehatan yang berlaku untuk kelas I, II, dan III. Sedangkan untuk kelas IV, V dan VI, Kompetensi Dasar IPA dan IPS berdiri sendiri dan kemudian diintegrasikan ke dalam tema-tema yang ada untuk kelas IV, V dan VI. 5.
Pendidikan Karakter melalui Pendekatan Tematik integratif pada Kurikulum 2013 di Sekolah Dasar Setelah membahas panjang lebar mengenai pendidikan karakter dan
pendekatan tematik integratif serta penerapannya pada kurikulum 2013, sekarang saatnya menggabungkan ketiga unsur: pendidikan karakter, pendekatan tematik integratif dan kurikulum 2013 ke dalam pembelajaran di SD.
Mari perhatikan Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar di SD kelas I – VI berikut.
Gambar 1. Kompetensi Inti Kurikulum 2013 di Sekolah Dasar sumber: Bahan Uji Publik Kurikulum 2013
Seperti yang telah diketahui bahwa ada empat Kompetensi Inti di tiap mata pelajaran Sekolah Dasar pada kurikulum 2013 yaitu (1) Kompetensi Inti 1 berkenaan dengan sikap keagamaan, (2) Kompetensi Inti 2 berkenaan dengan sikap sosial, (3) Kompetensi Inti 3 berkaitan dengan pengetahuan, dan (4) Kompetensi Inti 4 berkaitan dengan penerapan pengetahuan. Dasar pikiran dari keempat Kompetensi Ini hadir di setiap Kompetensi Inti di tiap mata pelajaran Sekolah Dasar. Mari perhatikan Kompetensi Inti 1 dan 2. Kompetensi Inti 1 untuk kelas I – III berbunyi “Menerima dan menjalanan ajaran agama yang dianutnya”. Sedangkan pada kelas IV – VI ada penambahan menghargai sebagai wujud toleransi umat beragama. Kompetensi Inti 2 untuk kelas I dan II berbunyi “Memiliki perilakku jujur, disiplin, tanggung jawab, santun, peduli, dan percaya diri dalam berinteraksi dengan keluarga, teman, dan guru”. Untuk kelas III dan IV ada penambahan tetangga sebagai wujud kepedulian terhadap masyarakat sekitar. Dan untuk kelas
V dan VI ada penambahan cinta tanah air untuk menanamkan rasa nasionalisme pada anak. Lantas apa hubungan Kompetensi Inti tersebut dengan Pendidikan Karakter? Perhatikan konten dalam Kompetensi Inti 1 dan 2. Kompetensi inti secara jelas menanamkan nilai-nilai atau karakter religius. Peserta didik diharapkan dapat menerima dan menjalanka ajaran agama yang dianutnya. Bahkan hingga pada taraf menghargai ajaran agama yang merupakan perwujudan dari rasa toleransi dan tenggangrasa antarumat beragama. Kompetensi Inti ini ada di tiap mate pelajaran di sekolah dasar, apa artinya? Artinya, bahwa penanaman karakter pada siswa dilakukan melalui kompetensi inti ini di tiap mata pelajaran. Pendidikan karakter religius tidak lagi hanya pada mata pelajaran Pendidikan Agama akan tetapi pada semua mata pelajaran, guru menanamkan karakter religius kepada siswa. Begitu juga pada Kompetensi Inti 2. Konten pada kompetensi ini secara jelas menanamkan perilaku jujur, disiplin, tanggung jawab, santun, peduli dan percaya diri (dan cinta tanah air – untuk kelas V dan VI) dalam berinteraksi dengan keluarga, teman, tetangga, dan guru. Pada kompetensi inti ini, pemerintah berusaha menanamkan karakter jujur, disiplin, tanggung gawab, santun, peduli, cinta tanah air kepada siswa di tiap mata pelajaran. Sehingga penanaman karakter-karakter tersebut tidak lagi dibebankan pada mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan melainkan dilakukan di tiap mata pelajaran. Sehingga dapat penulis garisbawahi bahwa ada keseriusan pemerintah untuk mengubah dunia pendidikan dan insan Indonesia ke arah yang lebih baik. Bagaimanakah caranya? Caranya adalah dengan melaksanakan pendidikan karakter dan
menanamkan
karakter-karakter
mulia
dalam
pembelajaran
dengan
menjadikannya sebagai bagian yang tak terpisahkan dari suatu sistem yakni kurikulum 2013. Memang benar jika dikatakan bahwa kurikulum 2013 ini sejatinya bukanlah kurikulum yang benar-benar baru. Karena pada intinya kurikulum ini adalah penyempurnaan dari Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) 2004 dan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006. Pengembangan yang
dilakukan pemerintah salah satunya adalah dengan cara memasukkan karakterkarakter mulia ini ke dalam bagian dari kurikulum secara tersurat, tidak lagi tersirat. Pada KTSP 2006, karakter-karakter ini masih tersirat dan bukan bagian dari kurikulum. Akan tetapi guru diminta untuk menanamkan karakter-karakter tersebut sehingga mengundang pertanyaan bagi guru: Karakter apa yang harus saya tanamkan pada pembelajaran ini? Guru diminta untuk mereka-reka sendiri karakter apa yang akan ditanamkan yang juga harus diselaraskan dengan tema yang sedang diajarkan. Lain halnya pada kurikulum 2013 ini. Guru sangat terbantu dengan masuknya nilai-nilai atau karakter-karakter mulia tersebut pada Kompetensi Inti di tiap mata pelajaran. Guru menjadi mudah dalam menanamkan karakter karena telah memiliki acuan baku dari pemerintah sehingga diharapkan akan dihasilkan output yakni lulusan yang memiliki karakter dan kepribadian serta akhlak mulia sebagai insan Indonesia. Pertanyaan selanjutnya yang mungkin timbul di benak pembaca adalah kalau memang benar pemerintah berusaha menanamkan nilai-nilai atau karakter mulia dengan cara memasukkannya dalam Kompetensi Inti, lantas apa hubungannya dengan pendekatan tematik integratif? Karakter-karakter yang telah melekat dalam kompetensi inti tersebut akan diajarkan dengan pendekatan tematik integratif dari kelas I – VI. Pendekatan tematik integratif akan memudahkan baik guru maupun siswa dalam pembelajaran. Hal ini disebabkan adanya pengintegrasian mata pelajaran IPA dan IPS dalam mata pelajaran lainnya di kelas I – III. Hal ini tentu saja akan mempermudah bagi guru dalam menanamkan karakter kepada peserta didik. Mari perhatikan contoh Jaringan Tema SD Kelas I berikut
Ganbar 2. Jaringan Tema Kurikulum 2013 di SD Kelas I Sumber: Bahan Uji Publik Kurikulum 2013
Pada tema Diri Sendiri, karakter yang akan ditanamkan adalah jujur, tertib dan bersih. Maka dalam kegiatan pembelajaran, tiap mata pelajaran tidak diajarkan terpisah melainkan melebur menjadi satu tema yakni Diri Sendiri. IPA dan IPS bertindak sebagai “ruh” atau “nyawa” dalam pembelajaran. Jadi pembelajaran berorientasi sains dan sosial. Pembelajaran menyoroti pengetahuan tentang alam dan kehidupan sosial. Adapun penanaman karakter dilakukan dalam pembelajaran. Akan lebih mudah bagi guru untuk menanamkan nilai karakter jika materi ajar berorientasi pada sains dan kehidupan sosial. Contohnya, guru dapat mengajak siswa untuk selalu mensyukuri nikmat Tuhan berupa diberi bagian-bagian tubuh yang lengkap. Hal ini sebagai bentuk menanamkan karakter religius kepada siswa. Masih dalam tema yang sama, guru juga dapat mengajak siswa untuk mengasihani dan peduli terhadap sesama yang memiliki anggota badan tidak lengkap. Hal ini sebagai bentuk penanaman karakter peduli. Satu hal pasti yang diharapkan dimiliki oleh setiap guru adalah kreatifitas. Guru dituntut untuk sekreatif mungkin dalam menanamkan karakter-karakter mulia kepada siswa dengan menggunakan acuan yang sudah baku dari pemerintah.
KESIMPULAN 1.
Simpulan Pendidikan adalah suatu usaha yang dilakukan oleh manusia secara sadar
tanpa adanya paksaan untuk membekali manusia tersebut dengan berbagai pengetahuan dan keterampilan sehingga dapat memberikan manfaat bagi manusia itu sendiri. Selain berupaya untuk membekali manusia dengan pengetahuan dan keterampilan, pendidikan juga mengembangkan potensi-potensi atau sifat-sifat alamiah manusia yang membedakannya dengan makhluk lain di muka bumi ini yaitu akhlak mulia, kekuatan spiritual keagamaan dan pengendalian diri. Karakter merupakan sifat, watak, perilaku yang khas dan merupakan ciri spesifik dari tiap insan. Pendidikan karakter sejatinya adalah suatu usaha yang dilakukan secara sadar yang dilakukan oleh manusia untuk menanamkan dan mengembangkan nilai-nilai moral, spiritual dan sosial untuk menunjang kelangsungan hidup manusia itu sendiri. Pendidikan karakterlah yang membedakan manusia dengan makhluk lain di muka bumi. Pendidikan karakter melalui pendekatan tematik integratif dimaksudkan sebagai penanaman karakter-karakter mulia kepada siswa dalam kegiatan pembelajaran melalui pendekatan tematik integratif. Karakter-karakter yang telah melekat dalam kompetensi inti akan diajarkan dengan pendekatan tematik integratif dari kelas I – VI. Pendekatan tematik integratif akan memudahkan baik guru maupun siswa dalam pembelajaran. Hal ini disebabkan adanya pengintegrasian mata pelajaran IPA dan IPS dalam mata pelajaran lainnya di kelas I – III. 2.
Saran dan Rekomendasi Penanaman karakter kepada siswa mustahil dilakukan jika guru sebagai
pendidik tidak memiliki karakter mulia. Oleh karena itu guru seyogyanya memberikan keteladanan melaksanakan karakter mulia. Guru sebagai pendidik seyogyanya lebih kreatif dalam menanamkan karakter kepada siswa.
DAFTAR PUSTAKA
Idi, Abdullah. 2010. Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktik. Yogyakarta: Ar Ruzz Media. Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2010 tentang Percepatan Pembangunan. Soegeng Ysh, A.Y. 2007. Filsafat Pendidikan. Semarang: IKIP PGRI Semarang Press. Standar Kompetensi Sekolah Dasar (SD)/Madrasah Ibtidaiyah (MI) Kurikulum 2013. Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. Su’ud, Abu, dkk. 2011. Pendidikan Karakter di Sekolah dan Perguruan Tinggi. Semarang: IKIP PGRI Semarang Press. Suroso, Hadi. 2011. Telaah Pengembangan Kurikulum serta Penyusunan KTSP. Semarang: IKIP PGRI Semarang Press. Thomas Lickona. 2004. Pendidikan Karakter (Edisi Terjemahan). Bantul: Kreasi Wacana Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.