i
PEMBIAYAAN MURÂBAHAH PADA PRODUK KREDIT PEMILIKAN RUMAH SYARIAH DI BANK RAKYAT INDONESIA SYARIAH KANTOR CABANG MATARAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
SKRIPSI Oleh: Abdul Malik NIM: 10220073
JURUSAN HUKUM BISNIS SYARIAH FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG 2016
PEMBIAYAAN MURÂBAHAH PADA PRODUK KREDIT PEMILIKAN RUMAH SYARI’AH DI BANK RAKYAT INDONESIA SYARI’AH KANTOR CABANG MATARAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
SKRIPSI Oleh: Abdul Malik NIM: 10220073
JURUSAN HUKUM BISNIS SYARIAH FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG 2016
i
ii
iii
iv
v
PERSEMBAHAN Yang Utama Dari Segalanya… Sembah sujud serta syukur kepada Allah SWT. Taburan cinta dan kasih sayang-Mu telah mwmberikanku kekuatan, membekaliku dengan ilmu serta memperkenalkanku dengan cinta. Atas karunia serta kemudahan yang Engkau berikan akhirnya skripsi yang sederhana ini dapat terselesaikan. Sholawat dan salam selalu terlimpahkan keharibaan Rasulullah Muhammad SAW.
Kupersembahkan karya sederhana ini kepada orang yang sangat kukasihi dan kusayangi. Ibunda dan (alm.) Ayahanda Tercinta Sebagai tanda bakti, hormat, dan rasa terima kasih yang tiada terhingga kupersembahkan karya kecil ini kepada Ibu Hj. Rukiah dan Ayah (alm.) H. Abdul Ghani (Gemuh) yang telah memberikan kasih saying, segala dukungan, dan cinta kasih yang tiada terhingga yang tiada mungkin dapat kubalas hanya dengan selelmbar kertas yang bertuliskan kata cinta dan persembahan. Semoga ini menjadi langkah
vi
awal untuk membuat Ibu dan (alm.) Ayah bahagia karena kusadar, selama ini belum bias berbuat lebih. Untuk Ibu dan (alm.) Ayah yang selalu membuatku termotivasi dan selalu menyirami kasih saying, selalu mendoakanku, selalu manasehatiku menjadi lebih baik, Terima Kasih Ibu…. Terima Kasih (alm.) Ayah…. Adik-adikku Untuk adik-adikku Azmiatun dan Indah Qurataul Aini, tiada yang paling mengahrukan saat kumpul bersama kalian, walaupun sering bertengkar tapi hal itu selalu menjadi warna yang tak akan bias tergantikan, terima kasih atas doa dan bantuan kalian selama ini, hanya karya kecil ini yang dapat aku persembahkan. Maaf belum bias menjadi panutan seutuhnya, tapi aku akan selalu menjadi yang terbaik untuk kalian semua…
vii
OMOOM
Artinya: Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya. (Q.S. Al-Maidah: 2).
viii
KATA PENGANTAR Assalamu‟alaikumWr. Wb. Segala puji bagi Allah SWT karena atas rahmat, taufiq dan hidayahNya, penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar strata satu Sarjana Hukum Islam (S.HI). Sholawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada pemimpin nabi besar Muhammad SAW. Penulis menyadari bahwa banyak pihak yang telah berpartisipasi dan membantu dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini. Untuk itu, iringan doa dan ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada: 1. Prof. Dr. H. Mudjia Rahardjo, M.Si., selaku Rektor Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang. 2. Dr. H. Roibin, M.H.I., selaku Dekan Fakultas Syari‟ah Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang. 3. Dr. H. Mohamad Nur Yasin, S.H., M.Ag, selaku Ketua Jurusan Hukum Bisnis Syari‟ah Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang dan selaku dosen pembimbing, karena atas bimbingan, bantuan dan kesabaran beliau penulisan skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik dan tepat waktu. 4. Dr. Fakhruddin, S.Ag., M.H.I., selaku dosen wali penulis, terima kasih atas nasehat, bimbingan serta arahan selama penulis menempuh perkuliahan. 5. Bapak dan Ibu dosen Fakultas syari‟ah yang senantisa memberikan bimbingan ilmu dan informasi selama belajar di bangku perkuliahan. 6. Ibuku tercinta Hj. Rukiah yang sepenuh hati memberikan dukungan serta ketulusan do‟anya sehingga penulisan skripsi ini dapat terselesaikan. 7. Almarhum bapakku H. Abdul Ghani (Gemuh), semoga beliau ditempatkan di tempat yang layak di sisi Allah SWT.
ix
8. Teman-teman HBS, angkatan „10 yang selalu memberikan dukungan, bantuan dan kerjasama dalam proses pendalaman keilmuan selama ini. Semoga kita selalau berada dalam lindungan Allah SWT. Amin.. 9. Semua pihak yang telah membantu baik secara moril maupun materiil, yang tidak bias penulis sebutkan di sini satu persatu. Semoga Allah membalas semua amal baik kalian dengan balasan yang berlipat ganda. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan menambah khazanah ilmu pengetahuan. Amin. Wassalamu‟alaikumWr. Wb.
Malang, 03 Juni 2016
Penulis
Abdul Malik NIM: 10220073
x
PEDOMAN TRANSLITERASI A. Umum Transliterasi adalah pemindah alihan tulisan Arab kedalam tulisan Indonesia (Latin), bukan terjemahan Bahasa Arab kedalam Bahasa Indonesia.1 B. Konsonan ا
=
tidakdilambangkan
= ض
Dl
ب
=
B
ط
=
Th
ت
=
T
ظ
=
Dh
ث
=
Ts
ع
=
„(komamenghadapkeatas)
ج
=
J
غ
=
Gh
ح
=
H
ف
=
F
خ
=
Kh
ق
=
Q
د
=
D
ك
=
K
ذ
=
Dz
ل
=
L
ر
=
R
م
=
M
ز
=
Z
ن
=
N
س
=
S
و
=
W
ش
=
Sy
ه
=
H
= ص
Sh
ي
=
Y
Hamzah ( )ءyang sering dilambangkan dengan alif, apabila terletak di awal kata makatransliterasinya mengikuti vokalnya, tidak dilambangkan,
1
Tim Penyusun Pedoman Penulisan Karya Ilmiah Fakultas Syariah, Pedoman Penulisan Karya Ilmiah Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang, (Malang: Fakultas Syariah, 2012), h. 73-76.
xi
namun apabila terletak di tengah atau di akhir kata maka dilambangkan dengan tanda koma atas („), berbalik dengan koma („) untuk pengganti lambang ””ع. C. Vokal, Panjang dan Diftong Setiap penulisan bahasa Arab dalam bentuk tulisan latin vocal fathah ditulis dengan “a”, kasrah dengan “i”, dlommah dengan “u”, sedangkan bacaan panjang masing-masing ditulis dengan cara sebagai berikut: Vokal (a) panjang = â
misalnya
قال
menjadi
qâla
Vokal (i) panjang =
î
misalnya
قٍل
menjadi
qîla
Vokal (u) panjang = û
misalnya
دون
menjadi
dûna
Khusus untuk bacaanya‟ nisbat, maka tidak boleh digantikan dengan “i”, melainkan tetap ditulis dengan “iy” agar dapat menggambarkanya‟ nisbat diakhirnya.Begitu juga untuk suara diftong, wawudanya‟ setelah fathah ditulis dengan “aw” dan “ay”. Perhatikan contoh berikut: Diftong (aw) =
و
misalnya
قول
menjadi
=
ي
misalnya
خٍز
menjadikhayrun
Diftong (ay)
qawlun
D. Ta’marbûthah ()ة Ta‟marbûthah ditransliterasikan dengan “t” jika berada ditengahtengah kalimat, tetapi apabila ta‟marbûthah tersebut berada diakhir kalimat, maka ditransliterasikan dengan menggunakan “h” misalnya: الزسالت
xii
للمدرستmenjadi alrisalatli al-mudarrisah, atau apabila berada ditengahtengahkalimat yang terdiridarisusunanmudlafdanmudlafilaih, maka ditransliterasikan dengan menggunakan “t” yang disambungkan dengan kalimat berikutnya, misalnya: فً رحمت هللاmenjadi firahmatillâh. E. Kata Sandang dan Lafadh al-Jalâlah Kata sandang berupa “al” ( )الditulis dengan huruf kecil, kecuali terletak di awal kalimat, sedangkan “al” dalam lafadh jalâlah yang berada di tengah-tengah kalimat yang disandarkan (idhafah) maka dihilangkan. Perhatikan contoh-contoh berikut ini: 1. Al-Imâm al-Bukhâriy mengatakan… 2. Al-Bukhâriy dalam muqaddimah kitabnya menjelaskan… 3. Masyâ‟ Allâh kâna wa mâlam yasyâ lam yakun. 4. Billâh „azza wa jalla.
xiii
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL .........................................................................................i HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI ....................................ii HALAMAN PERSETUJUAN .........................................................................iii HALAMAN BUKTI KONSULTASI ..............................................................iv HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI ..........................................................v HALAMAN PERSEMBAHAN .......................................................................iv HALAMAN MOTTO .......................................................................................viii KATA PENGANTAR .......................................................................................ix PEDOMAN TRANSLITERASI ......................................................................xi DAFTAR ISI ......................................................................................................xiv ABSTRAK .........................................................................................................xvii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang .......................................................................................... 1 B. Rumusan Masalah ..................................................................................... 10 C. Tujuan Penelitian ...................................................................................... 10 D. Manfaat Penelitian .................................................................................... 12 E. Definisi Operasional.................................................................................. 12 F. PenelitianTerdahulu .................................................................................. 13 G. Sistematika Penulisan ............................................................................... 17 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Murabahah dalam Islam ............................................................... 21 1. Pengertian HukumIslam ...................................................................... 21
xiv
2. Tinjauan Umum tentang Pembiayaan Bank Syari‟ah ......................... 23 3. Pengertian Hukum Murabahah ........................................................... 28 4. Jenis Murabahah.................................................................................. 29 5. Syarat dan Rukun Murabahah ............................................................. 30 6. Landasan Hukum Islam tentang Murabahah....................................... 30 B. Konsep Perjanjian dalam Islam................................................................ 32 1. Kajian Umum tentang Hukum Perjanjian ........................................... 32 2. Kajian tentang Wanprestasi................................................................. 39 3. Perjanjian dalam Islam ........................................................................ 45 4. Bentuk dan Jenis Perjanjian/ Kontrak ................................................. 51 5. Asas-asas dalam Perjanjian ................................................................. 56 6. Murabahah dalam Fatwa Dewan Syari‟ah Nasional (DSN) ............... 59 7. Konsep Ija>rah ................................................................................... 60 BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian .......................................................................................... 67 B. Pendekatan Penelitian ............................................................................... 68 C. Lokasi Penelitian ....................................................................................... 68 D. Sumber Data .............................................................................................. 68 E. Metode Pengumpulan Data ....................................................................... 69 F. Metode Analisis Data ................................................................................ 70 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Gambaran umum Bank BRI Syari‟ah Cabang Mataram ........................... 74 B. Praktek pembiayaan murâbahah pada Produk Kredit Pemilikan Rumah Syariah di Bank Rakyat Indonesia Syariah Kantor Cabang Mataram ...... 76 C. Praktek pembiayaan murâbahah pada produk Kredit Pemilikan Rumah Syariah di Bank Rakyat Indonesia Syariah Kantor Cabang Mataram dalam perspektif hukum Islam ............................................................................. 81
xv
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ............................................................................................... 95 B. Saran .......................................................................................................... 97 DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 98 LAMPIRAN-LAMPIRAN .........................................................................
xvi
103
ABSTRAK Abdul Malik, 10220073, Pembiayaan Murâbahah Pada Produk Kredit Pemilikan Rumah Syariah di Bank Rakyat Indonesia Syariah Kantor Cabang Mataram Perspektif Hukum Islam. Skripsi, Jurusan Hukum Bisnis Syari‟ah, Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim Malang, Pembimbing: Dr. H. Mohamad Nur Yasin, S.H., M. Ag. Kata Kunci: Murâbahah, Kredit Pemilikan Rumah Keberadaan lembaga keuangan syariah beroperasi pada 3 bidang, yakni penyaluran dana, penghimpun dana dan jasa perbankan. Selain tabungan, produk yang kini diminati masyarakat adalah kredit pemilkikan rumah syariah. Kelebihan kredit pemilikan rumah syariah dibandingkan kredit pemilikan rumah konvensional diantaranya adalah, nasabah yang mengambil kredit merasa lebih tenang, sebab pembiaayaan kredit pemilikan rumah syariah merupakan varian pembiayaan murâbahah dalam bidang penyaluran dana, sehingga cicilan kredit pemilikan rumah syariah tetap, tanpa terpengaruh tingkat suku bunga. Salah satu fasilitas pembiayaan kredit pemilikan rumah syariah adalah fasilitas murâbahah Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tentang praktek pembiayaan murâbahah pada produk kredit pemilikan rumah syariah di Bank Rakyat Indonesia Syariah Kantor Cabang Mataram dan untuk mengetahui prosedur, persyaratan, dan penerapan murâbahah dalam perspektif hukum Islam. Dengan harapan dari penelitian ini dapat memperluas khasanah keilmuan dan dapat menjadi bahan atau refrensi dalam menyikapi permasalahan penerapan akad pembiayaan kredit pemilikan rumah syariah di Bank Rakyat Indonesia Syariah Kantor Cabang Mataram. Penelitian ini, menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif analitik berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang atau perilaku yang diamati. jenis penelitian ini adalah penelitian yuridis empiris, Dimana lokasi penelitian dilakukan di Bank Rakyat Indonesia Syariah Kantor Cabang Mataram. Adapun sumber data dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder serta data tersier. Kemudian untuk mengetahui tafsiran dari data yang diperoleh dengan menggunakan tehnik pengolahan Editing, Classifaying, Analisis Data dan Concluding (kesimpulan). Hasil penelitian ini adalah Penerapan konsep murâbahah pada bank syariah terutama yang berkaitan dengan kredit pemilikan rumah di Bank Rakyat Indonesia Kantor Cabang Mataram dihubungkan dengan pandangan ulama mengalami beberapa modifikasi. Murâbahah yang dipraktikkan pada lembaga keuangan syari‟ah (LKS) dikenal dengan murâbahah li al-âmir bi alSyirâ‟ ,Kedua Penerapan murâbahah dalam praktik (Prosedur maupun mekanisme) bank Bank Rakyat Indonesia Syariah Kantor Cabang Mataram terbagi ke dalam beberapa tipe yang kesemuanya dapat dibagi menjadi tiga kategori besar, yaitu tipe konsisten terhadap fiqih muamalah. Tipe Kedua mirip xvii
dengan tipe yang pertama, tapi perpindahan kepemilikan langsung dari supplier kepada nasabah, bank, dan Tipe Ketiga ini yang paling banyak dipraktekkan oleh bank Bank Rakyat Indonesia Syariah Kantor Cabang Mataram. Bank melakukan perjajian murâbahah dengan nasabah, dan pada saat yang sama.
xviii
ABSTRACT Abdul Malik, 10220073, Financing of Murâbahah in House Ownership Credit Sharia at Bank Rakyat Indonesia Sharia Branch Office Mataram in Perspective of Islamic Law. Thesis, Sharia Business Law Department, Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim Malang, Advisor: Dr. H. Mohamad Nur Yasin, S.H. M. Ag. Keywords: Murâbahah, House Ownership Credit
The existence of Islamic financial institutions operate on three areas; the distribution of funds, deposit-taking and banking services. Besides using savings, the product that is enthused by society is house ownership credit sharia. The advantages of KPR sharia compared to house ownership credit conventional is; customers who want to apply a credit feeling more comfortable because the financing of house ownership credit sharia is one of murâbahah financing variant in the distribution of funds. Therefore, house ownership credit sharia installment is fixed without interest rates. One of financing facility of house ownership credit sharia is murâbahah facility. This study aims to know the practice of murâbahah financing house ownership credit Sharia products at Bank Rakyat Indonesia Sharia Branch Office Mataram and the procedures, requirements, and application of the murâbahah in Islamic law perspective. This study is expected can expand the repertoire of knowledge and also, as a reference in facing the issues that occur in implementation of house ownership credit financing agreement at Bank Rakyat Indonesia Syariah Branch Office Mataram. This study uses a qualitative descriptive analytic approach that contains written, spoken or behaviors of the people who is observed. The type of this study is empirical juridical, where the location of the study conducted in Bank Rakyat Indonesia Syariah branch office Mataram. The source of the data in this study are primary data and secondary data as well as data tertiary. Then, to determine the interpretation of the data thathave obtained is through processing techniques Editing, Classifying, Data Analysis and Concluding (conclusion). The result of this study is the application of murâbahah concept in Sharia Bank, especially which is related to house ownership credit at Bank Rakyat Indonesia Sharia branch office Mataram, is associated with the views of Ulama experiencing several modifications. The first is Murabah which is practiced in sharia financial institution (LKS) known as murâbahah li al-amir bi al-syira‟. The second is the implementation of murâbahah in Bank Rakyat Indonesia Sharia branch office Mataram practice (procedures and mechanisms) divided into several types, all of them can be split into three broad categories; the type that is consistent with fiqih muamalah, the second type is similar to the first type, but the
xix
transfer of ownership is directly from the supplier to the bank customers, and the third type is the most widely practiced by Bank Rakyat Indonesia Sharia branch office Mataram. The bank makes murâbahah agreement with the customers and at the same time.
xx
ملخص
عبدداملالك ،د مل 32442205المرابحةةع ىلةةي ةةعار ااىةةتج الماةة(ا اه ة ت الةةر العقتجي) بري متتتجام فرع ماظوج الشريعع اه الماع.ج تلع العةتللوجيو ملقسد مل ا،قد ددكلتجملا ،اد ددك،يملا،ع د دنا م ملككإ د ددمملإتاللد ددكملإك ،د د مل د دنا ملا د د إ مملا تإ د ددممل مبكاللج ملالعنف:ملد.ا كجملحمما لت،ملاك ني ملالككس ري.
ال لمتت المف(تحاعمل:ملالناحبم ملواالئ مكجمل،إل كج مل وكتدملإؤ سكتملإك ،ممل إ مملت ململيفملث ثمملجمكالت مل يملتتزاعملاألإتال ملقبدتلمل ا،تدائ ددعملوات دداإكتملالا ددن م مل ك ا ددك ممل ملاالد ددك ،ملوالحد د جملا،د د يمل ددتملا جملالاد د ممل ا ،كإ ددممل دديملالا د ممليفملعا ،ددن لملا ،ق ددك،ي.ملا،عد دنا مملا،ق ددن ملال اا ددكملإقك،ل ددمملإ ددعملا،ق ددنو مل ا ،قك،اددمملا ،ق ااددمملا،عدنا مملا،ددن لملا ،قددك،يملا،د مل دديملوا ،مد كملا،د الملا د وجمل ددنمل دداوكامل االئ م ددكج ملألجملا ،ددن لملا ،ق ددك،يملا د د إيمل ددتملا،ب دداالمل ،متا ددلملالناحبد ددممليفملجم ددكلملتتزاد ددعمل األإ دتال ملحب ددعملا،ع ددنع مملا ،ك ددممل قس ددك،ملا،ددن لملا ،ق ددك،ي ملدوجمل جملت د ثنمل د ك،ملا ،كئ ددا مل واحا ملإلملا ،سه تمل تملمتتالملا،ن لملا ،قك،يملتسه تملالناحبمملا إي مل وهتددافمل د املا،ا،ا ددممل ملإ ن ددمملال ادداملعددلملعك ،ددمملمتتاددلملالناحبددمملع د ملإح اددكتمل ا ،متادلملا ،قددك،يمليفمل حد BRI Syariahددنمملإ ددتملإكتددك،ادملوإلاادداملا كدناكاتمل وال ط بددكت ملوتطب ددرملالناحبددممليفملإحشددت،ملا،ع دنا مملا د إ م ملإددعملتتقددعمل د املا،ب ددعمل ددلمل تت د عملإنكددعملا ،د ملو ددلمل جملت ددتجملال تلددكتمل ومل ددك ،مليفملإ ك ددمملقيددكاكملتح د ملات كق ددممل متتالملقنو ملا،ن لملا ،قك،يملعا،ن لملا ،قك،ي.ملع مل نم BRI Syari'ahإكتك،اد .مل د د املا،ا،ا د ددم ملوا ،د د مل ك د د صاادمللد ددجمللد ددتعيمل د د لملا،ت د د يملا ،د دديملإد ددلمل وملالحطتقددمملإدلملا،حددكامل وملا،سد تظملال حددل مل د املا،حددتمملإدلملا،ا،ا ددكتمل مل ا ،مدكتملال ت دممل ا ،اناب دمملا،قكلتل دم ملح دعملإتقدعملاألحبدك ملا،د مل كناد مليفمل دنممل حد BRI Syariah إكتددك،اد ملإاددا،ملا،ب كلددكتمليفمل د املا،ا،ا ددمملوا،ب كلددكتملاألو ،ددمملوا،ب كلددكتملا ،كلتاددمملو د ،مل xxi
ا ،د ملا ،ددكاملا،ب كل ددكت ملتمل ،اا دداملت س ددريملا،ب كل ددكتملا ،د ملحلملا ا ددتلملع ه ددكمل ك د صاادمل تقح كتملإ ك مملا ،نان ملا ،قس ملإل لملا،ب كلكتملو كإ مملعاال ح كج ..مل ول اددممل د املا،ب ددعمل ددتملتطب ددرملإ هددتدملا،بح د ملالناحبددمملا د إ مملال قددممل ك ددكمل ع ملا،قنو ملعا،ن لملا ،قك،ي.ملع مل نمملإكتك،ادملBRIملالنتبطمملآ،اكملا ،مدككمل يدعمل ،دا مل ت اا ت ملمتك،املالناحبممليفملالؤ سكتملا،عنع مملالك ،دمملع.LKSمل مدكمل دتملإ دنوفملالناحبدممل ثحكئ دممل،مإددنمل ك،عدناك ملالناحبددمملا ،ح د ملا ،كل ددممليفملالمك ،دمملعا كدناكاتملوا ،دكت.مل BRI Syariahمل ددنمملإكت ددك،ادملتحقس د مل ملع ددا مل ل دتام ملوا ،د مل ددلملتقس د مهكمل ملث ث ددممل ددكتمل وا م ملو يمل لتامملت رملإعملإ كإ مملا ،قه م ملوواعملا ،كينملإعك همل ،حتمملاألول ملو ،لمللقلمل ال مملإبك ن ملإلملالدت،دمل ملا ،م دلملوا،بحد ملوا،حدتمملا ،ك،دعمل دتمل دك،املع د مللطدك ملوا دعمل إددلملقبددلملBRI Syariahملا،بحد مل ددنمملإكتددك،اد ملا،بحددتظملت ددلملات ددك ملع د ملالناحبددمملإددعمل ا ،م ل ملويفملل سملا،تق
xxii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagaimana diatur dalam UUD 1945 Pasal 28 H angka 1.2 (Amandemen Kedua Tahun 2000) yang mengatakan bahwa.3. Kemudian diatur selanjutnya dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 Tentang Perumahan dan Pemukiman bahwa korelasi positif manusia sebagai makhluk hidup memiliki berbagai macam kebutuhan dasar dalam menjalani kehidupannya, antara lain kebutuhan akan pangan, sandang dan papan. Kebutuhan manusia akan tempat tinggal merupakan hal yang menjadi kebutuhan dasar tanpa membeda-bedakan suku, ras, agama, jenis kelamin, dan berbagai aspek sosial lainnya. Rumah adalah salah satu kebutuhan dasar bagi manusia “setiap warga negara mempunyai hak untuk menempati dan/atau menikmati dan/atau memiliki rumah yang layak dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi, dan teratur”.4 Berdasarkan ketentuan tersebut, sudah tidak dapat dipungkiri lagi bahwa kebutuhan rumah saat ini sudah menjadi kebutuhan pokok bagi manusia. Rumah menjadi salah satu kebutuhan primer yakni papan di samping kebutuhan pangan dan sandang. Kebutuhan akan papan tersebut mencakup rumah ataupun
2
Penjelasan umum undang-undang dasar 1945 .Negara Republik Indonesia. “setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan” 4 Indonesia, Undang-Undang Tentang Perumahan dan Pemukiman, UU No. 4 Tahun 1992, LN No. 23 Tahun 1992, Pasal 5. 3
1
2
apartemen, yang secara umum disebut sebagai tempat tinggal untuk berteduh dan beristirahat. Keberadaan lembaga keuangan syariah beroperasi pada 3 bidang, yakni penyaluran dana, penghimpun dana dan jasa perbankan. Selain tabungan, produk yang kini diminati masyarakat adalah kredit kepemilkikan rumah (KPR) syariah. Kelebihan KPR syariah dibandingkan KPR konvensional diantaranya adalah, nasabah yang mengambil kredit merasa lebih tenang, sebab pembiaayaan KPR Syariah merupakan varian pembiayaan murâbahah dalam bidang penyaluran dana, sehingga cicilan KPR syariah tetap, tanpa terpengaruh tingkat suku bunga. Bank Syariah adalah bank dimana dalam segala operasinya, baik pengerahan dananya maupun penyaluran dananya (pembiayaan) didasarkan pada prinsip bagi hasil. Prinsip bagi hasil adalah landasan utama bagi bank syariah dalam menghimpun dana dan memberikan pembiayaannya kepada debitur. Penghimpunan dana dalam bank syariah menggunkan prinsip wadiah5, qardh6, maupun ijarah7. Sedangkan pembiayaan dalam bank syariah menggunakan prinsip jual-beli dan sewa (lease).8 Salah satu fasilitas pembiayaan KPR Syariah adalah fasilitas murâbahah. Fasilitas murâbahah merupakan fasilitas pembiayaan yang banyak disajikan oleh bank-bank syariah. Murâbahah adalah bentuk jual-beli yang pada dasarnya
5
Sutan Remy Sjahdeini, Perbankan Syariah Produk-Produk dan Aspek Hukumnya, (Jakarta: PT Jayakarta Aung Offset, 2010), h. 317. 6 Sutan Remy Sjahdeini, Perbankan Syariah Produk-Produk dan Aspek Hukumnya., h. 310. 7 Sutan Remy Sjahdeini, Perbankan Syariah Produk-Produk dan Aspek Hukumnya., h. 242. 8 Arcarya dan Diana Yumanita, Bank Syariah: Gambaran Umum,(Jakarta: Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan (PPSK) BI, 2005, h. 6.
3
merupakan penjualan dengan keuntungan (margin) tertentu yang ditambahkan di atas biaya perolehan.9 Pembiayaan dalam fasilitas murâbahah ini dapat dilakukan dengan tunai maupun ditangguhkan atau dicicil. Pembiayaan atas kepemilikan rumah umumnya dilakukan dengan sistem transaksi cicilan. Pada perjanjian murâbahah KPR ini, pembiayaan pembelian rumah yang dibutuhkan debitur dilakukan bank dengan membeli rumah itu dari developer yang kemudian dijual kembali oleh bank tersebut dengan menambahkan suatu keuntungan di dalamnya. Pengambilan besarnya margin dengan pembiayaan murâbahah disesuaikan dengan lamanya pinjaman yang kemudian disetujui oleh debitur sebelum transaksi kredit pembiayaan rumah tersebut dimulai. Dengan kata lain, penjualan rumah melalui pembiayaan murâbahah oleh bank kepada debitur dilakukan atas dasar cost-plus profit.10 Bank-bank Islam mengambil murâbahah untuk memberikan pembiayaan jangka pendek kepada nasabah untuk membeli barang walaupun nasabah tersebut mungkin tidak memiliki uang tunai untuk membayar.Murâbahah, sebagaimana digunakan dalam perbankan Islam, ditemukan terutama berdasarkan dua unsur, yakni harga membeli dan biaya terkait serta kesepakatan berdasarkan margin keuntungan.11
9
Arcarya dan Diana Yumanita, Bank Syariah: Gambaran Umum, h. 27. Sutan Remy Sjahdeini, Perbankan Islam dan Kedudukannya dalam Tata Hukum Perbankan Indonesia,(Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti, 2005), h. 64. 11 Abdullah Saeed, Bank Islam dan Bungan Studi Kritis Larangan Riba dan Interpretasi Kontemporer, Pent. Muhammad Ufuqul Mubin, Nurul Huda dan Ahmad Sahidan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2004, cet. II), h. 138. 10
4
Murâbahah merupakan metode utama pembiayaan,12 yang merupakan hampir tujuh puluh lima persen (75%) dari asset bank-bank Islam pada umumnya. Salah satu bank yang mengaplikasikan pembiyaan murâbahah tersebut adalah Bank BRI Syariah Kantor Cabang Mataram. Dalam prakteknya Bank BRI Syariah Kantor Cabang Mataram akan mengecek kelayakan seorang nasabah yang mengajukan pembiayaan murâbahah. Setelah bank melakukan survey kelayakan terhadap
nasabah,
biasanya
bank
langsung
meminta
nasabah
untuk
menandatangani dokumen-dokumen pembiayaan murâbahah dan memberikan dana pembiayaan yang dibutuhkan yang selanjutnya pihak bank meminta nasabah untuk mencari sendiri barang yang ia butuhkan tanpa adanya proses serah terima barang yang dimaksudkan dalam akad pembiayaan murâbahah dan pada akhirnya bank meminta nasabah untuk melakukan angsuran rutin yang besarannya sudah ditentukan tiap bulannya. Hal ini mengisyaratkan seakan-akan pihak bank memposisikan dirinya bukan sebagai ba‟i melainkan hanya sebagai pembiayaan semata. Dari proses ini merupakan keniscayaan penyimpangan yang dilakukan oleh bank syariah terhadap fatwa DSN No: 04/DSN-MUI/IV/200, tentang Murâbahah dan tentu saja juga terhadap ketentuan syariat seperti sebelum mengadakan barang dimaksud bank telah membuat kesepakatan jual beli dengan segala ketentuannya dengan nasabah seperti melemparkan konsekuensi resiko jual beli kepada konsumen, dengan demikian bank menjual barang yang belum dimiliki. 12
Abdullah Saeed, Bank Islam dan Bungan Studi Kritis Larangan Riba dan Interpretasi Kontemporer, h. 139.
5
Agama Islam adalah agama yang lengkap dan sempurna telah meletakkan kaidah-kaidah dasar dan aturan dalam semua sisi kehidupan manusia, baik dalam ibadah maupun muamalah. Setiap orang membutuhkan interaksi dengan orang lain untuk saling menutupi kebutuhan dan tolong menolong diantara mereka. Hal ini tidak terlepas dari kodrat manusia sebagai makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri tanpa orang lain, masing-masing berhajat kepada yang lain, bertolong-menolong, tukar menukar keperluan dalam urusan kepentingan hidup baik dengan cara jual beli, sewa menyewa, pinjam meminjam atau suatu usaha lain baik yang bersifat pribadi maupun untuk kemaslahatan umat. Muamalah merupakan bagian dari hukum Islam yang mengatur hubungan antar seseorang dengan orang lain, baik seseorang itu pribadi tertentu maupun berbentuk badan hukum, sepeti Perseroan, Firma, Yayasan, dan Negara. Sedangkan menurut fiqih, muamalah ialah tukar menukar barang atau sesuatu yang memberi manfaat dengan cara yang ditentukan. Yang termasuk dalam hal muamalah adalah jual beli, sewa menyewa, upah-mengupah, gadai, pinjam meminjam, urusan berserikat dan lain-lain.13 Melakukan kegiatan ekonomi adalah merupakan aktifitas manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Pada masa ini kegiatan ekonomi sangatlah berkembang pesat. Pada prinsipnya umat Islam diberi kebebasan untuk melakukan usaha dalam berbagai bentuknya guna memenuhi kebutuhan hidup selama hukum tidak melarangnya. Bisa kita lihat bagaimana berkembangnya kegiatan ekonomi dalam bidang perbankan. Pada dunia ekonomi modern saat ini, masyarakat sangat 13
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah (Cet. 5, Jakarta: PT Raja Gafindo Persada, 2010), h. 151
6
berminat kepada bank. Ini dapat dilihat dari makin maraknya minat masyarakat untuk menyimpan, berbisnis, bahkan sampai berinvestasi melalui perbankan. Hal ini menyebabkan semakin ramai dunia perbankan yang dapat dilihat dari tumbuhnya bank-bank swasta baru. Semakin maraknya kegiatan ekonomi dalam bidang perbankan ini dan banyak hal perbedaan prinsip dalam bank konvesional maka muncullah perbankan syariah yang dikembangkan berdasarkan syariah atau hukum Islam. Dan pada saat ini bank syariah adalah sebuah titik pijak bagi perkembangan ekonomi syariah. Bank syariah memiliki sebuah tujuan menunjunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan keadilan, keberasamaan, dan pemerataan kesejahteraan rakyat14. Kegiatan perbankan yang dilakukan di bank konvensional tidak sesuai dengan syariah Islam dikarenakan adanya praktek riba dan praktek yang tidak sesuai, keberadaan lembaga yang berlabel Syariah bisa menghipnotis masyarakat untuk melakukan transaksi muamalah lebih percaya pada bank syariah .dengan syariah Islam lainnya. Sehingga para Ulama termotivasi untuk mendirikan Perbankan Syariah di Indonesia berdasarkan firman Allah SWT pada QS. Al Baqarah ayat 275:
14
Burhanuddin S, “Aspek Hukum Lembaga Keuangan Syariah, (Jogja: Graha Ilmu, 2010), h. 29
7
Artinya : Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Rabbnya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. (QS. Al Baqarah 275). Undang-Undang Republik Indonesia (NRI) Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah Bab I Ketentuan Umum pada Pasal 1 menjelaskan bahwa Perbankan Syariah adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya. Sedangkan Bank Syariah adalah Bank yang menjalakan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah dan menurut jenisnya terdiri atas Bank Umum Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah. Bank Umum Syariah adalah Bank Syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Sedangkan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah adalah Bank yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran15.
15
Redaksi Sinar Grafika, “Undang-Undang Perbankan Syariah 2008, (Jakarta : Sinar Grafika, 2008), edisi ke- 1, hal. 3-4
8
Di Indonesia pelopor perbankan syariah adalah Bank Muamalat Indonesia. Berdiri tahun 1991, Bank ini diprakarsai oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan pemerintah serta dukungan dari Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dan beberapa pengusaha muslim. Bank ini sempat terimbas oleh krisis moneter pada akhir tahun 90-an sehingga ekuitasnya hanya tersisa sepertiga dari modal awal. Islamic Development Bank (IDB) kemudian memberikan suntikan dana kepada bank ini dan pada periode 1999-2002 dapat bangkit dan menghasilkan laba. .Saat ini keberadaan bank syariah di Indonesia telah di atur dalam Undangundang yaitu UU No. 10 tahun 1998 tentang Perubahan UU No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan. Hingga tahun 2016 terdapat 11 institusi Bank Umum Syariah (BUS) di Indonesia yaitu:16 1. PT. Bank Syariah Mandiri 2. PT. Bank Syariah Muamalat Indonesia 3. PT. Bank Syariah BNI 4. PT. Bank Syariah BRI 5. PT. Bank Syaraih Mega Indonesia 6. PT. Bank Jabar dan Banten 7. PT. Bank Panin Syariah 8. PT. Bank Syariah Bukopin 9. PT. Bank Victoria Indonesia 10. PT. BCA Syariah 11. PT. Maybank Indonesia Syariah 16
http://banksyariahcenter.blogspot.co.id/p/daftar-lengkap-bank-syariah-di-indonesia.html, diakses tanggal 11 Juni 2016.
9
Perbankan syariah berperan sebagai lembaga intermediasi keuangan antara unit-unit ekonomi yang mempunyai kelebihan danadengan unit-unit lain yang mengalami kekurangan dana. Karenanya untuk menjalankan fungsi intermediasi tersebut, lembaga perbankan syariah akan melakukan kegiatan usaha berupa penghimpunan dana, penyaluran dana, serta menyediakan berbagai jasa transaksi keuangan kepada masyarakat. Dalam beberapa kegiatan usaha yang dilakukan perbankan tersebut terdapat sebuah produk perbankan tentang gadai atau rahn. Pengertian gadai syariah atau rahn yang mempunyai arti menahan salah satu harta milik si peminjam (rahin) sebagai jaminan atas pinjaman yang diterima dari peminjam atau murtahin. Dalam pelaksanaannya tidak semua orang memiliki kepercayaan untuk memberikan pinjaman atau utang kepada pihak lain. Untuk membangun suatu kepercayaan diperlukan adanya jaminan yang dapat dijadikan pegangan. Adapun dalil tentang jaminan hutang ini pada QS. Al – Baqarah ayat 283:
Artinya : “Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak mendapatkan seorang penulis, maka hendaklah ada barang jaminan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Tetapi, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah
10
Tuhannya. Dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan kesaksian, karena barang siapa menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan QS. Al Baqarah 283 Bank BRI Syariah KC Mataram merupakan salah satu bank syariah di Indonesia yang menjalankan konsep Murâbahah dalam pembiayaan perumahan dengan salah satu produknya KPR BRI Syariah, dimana dalam deskripsinya disebutkan bahwa KPR BRI Syariah merupakan Pembiayaan Kepemilikan Rumah (KPR) kepada perorangan untuk memenuhi sebagian atau keseluruhan kebutuhan akan hunian dengan mengunakan prinsip jual beli (murâbahah) dimana pembayarannya secara angsuran dengan jumlah angsuran yang telah ditetapkan di muka dan dibayar setiap bulan.17. Bank Rakyat Indonesia Syariah Kantor Cabang Mataram memberikan pelayanan pembiayaan murâbahah. Salah satunya adalah pembiayaan pembelian rumah baik yang digunakan untuk keperluan konsumtif maupun untuk investasi. Bank Rakyat Indonesia Syariah Kantor Cabang Mataram memberikan bantuan pembiayaan dalam bentuk pembayaran secara angsuran dan mempunyai beberapa sistem, prosedur dan persyaratan yang harus dipenuhi oleh calon debitur. Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti tertarik melakukan penelitian skripsi dengan judul ““Pembiayaan Murâbahah Pada Produk Kredit Pemilikan Rumah Syariah di Bank Rakyat Indonesia Syariah Kantor Cabang Mataram Perspektif Hukum Islam”
17
http://www.brisyariah.co.id/?q=kpr-brisyariah-ib, diakses tanggal 20 januari 2016
11
B. Rumusan Masalah Permasalahan merupakan upaya untuk menyatakan secara tersurat pertanyaan-pertanyaan apa saja yang ingin kita carikan jawabannya.18 Beradasarkan pemaparan data yang telah diuraikan oleh peneliti, maka peneliti memfokuskan rumusan masalah kepada dua permasalahan sebabgai berikut: 1.
Bagaimana praktek pembiayaan murâbahah pada produk Kredit Pemilikan Rumah Syariah di Bank Rakyat Indonesia Syariah Kantor Cabang Mataram ?
2.
Bagaimana praktek pembiayaan murâbahah pada produk Kredit Pemilikan Rumah Syariah di Bank Rakyat Indonesia Syariah Kantor Cabang Mataram dalam perspektif hukum Islam ?
C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui bagaimana praktek pembiayaan murâbahah pada produk Kredit Pemilikan Rumah Syariah di Bank Rakyat Indonesia Syariah Kantor Cabang Mataram. 2. Untuk mengetahui bagaimana praktek pembiayaan murâbahah pada produk Kredit Pemilikan Rumah Syariah di Bank Rakyat Indonesia Syariah Kantor Cabang Mataram.
18
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer (Cet. 7, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1993), h. 312.
12
D. Manfaat Penelitian Suatu penelitian dianggap layak dan berkualitas apabila memiliki 2 (dua) aspek manfaat yaitu manfaat teoritis dan manfaat praktis. Oleh karena itu, manfaat penelitian adalah sebagai berikut: 1. Manfaat teoritis Sebagai sumbangan pemikiran terhadap ilmu hukum khususnya dibidang ekonomi syariah yang lebih khusus dalam perbankan syariah.
2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini sebagai sumbangan pemikiran atau bahan masukan untuk memberikan pengetahuan lebih dalam perbankan syariah di Indonesia dalam mencapai titik temu atas kontroversi yang terjadi. E. Definisi Operasional 1. Murâbahah Murâbahah adalah menjual suatu barang dengan menegaskan harga belinya kepada pembeli dan pembeli membayarnya dengan harga yang lebih sebagai laba. 2. Bank Bank adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberi kredit jasa dalam lalu lintas pembayaran dan peredaran uang” sedangkan dalam undangundang No.7 tahun 1992 telah dirubah dengan undang-undang No.10 tahun 1998,
13
yaitu “Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkan kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan
taraf hidup rakyat
banyak”. 3.
Hukum Islam Adalah peraturan yang diciptakan oleh Allah supaya manusia berpegang
teguh kepadanya di dalam hubungan dengan Tuhan dengan saudara-saudaranya sesama muslim dengan saudara-saudaranya sesame manusia. Sedangkan secara khusus hukum Islam yang peneliti maksudkan di sini adalah fatwa DSN No: 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang Murabahah. DSN-MUI (Dewan syariah NasionalMajelis Ulama Indonesia) adalah dewan yang dibentuk oleh MUI mempunyai tugas dan wewenang antara lain mengeluarkan fatwa atas jenis-jenis kegiatan keuangan dan produk dan jasa keuangan yang bersangkutan dengan kegiatan muamalah, salah satunya yaitu tentang murâbahah. F. Penelitian Terdahulu Untuk mengetahui terkait tidak ada unsur kesamaan dengan penelitian sebelumnya maka penulis mengkomparasikan atau membandingkan dengan penelitian yang lain, baik berupa jurnal, skripsi maupun makalah yang berkaitan dengan judul penelitian yang ditulis oleh peneliti ini. Karena skripsi merupakan suatu karya ilmiah yang berdasarkan penelitian yang bila diartikan adalah pengetahuan yang rasional, yaitu dengan menggunakan metode-metode
14
(induktif atau deduktif) dalam mencari jawaban terhadap problem yang ada. Maka dari itu di antara penelitian yang terkait dengan penelitian sebelumnya: Pertama, Skripsi yang di tulis oleh Endra Guntur S. Mahasiswa Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang Tahun 2011, dengan judul “penyelesaian sengketa perbankan Syariah dengan Choice of Forum”. Adapun dari substansi dari penelitian ini Penelitian ini berawal dari relaita yang terjadi dalam dunia peradilan di Indonesia dimana telah tejadi dualisme kewenangan mengadili antara Peradilan Agama dengan Peradilan Negeri dalam hal penyelesaian sengketa Perbankan Syariah. Hal ini (dualisme kewenangan mengadili) disebabkan karena munculnya Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah yang secara langsung bertentangan dengan UndangUndang No. 3 Tahun 2006
tentang Pengadilan Agama yang memberikan
kemungkinan bagi peradilan negeri untuk memeriksa danmengadili sengketa perbankan syariah selain peradilan agama.Akibatnya timbul kegelisahan akademik penulis dalam masalah ini dengan memunculkan pertanyaan dasar (basic question). Asas personalitas keIslaman yang termaktub dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 secara tidak kontradiksi dengan lahirnya Undang-Undang No. 21 tahun 2008 yang menganut asas pacta suntservanda. Atas terjawabnya pertanyaan dasar tersebut diharapkan penelitian ini dapat menemukan titik temu atau hubungan asas personalitas keIslaman dengan asas pactasunt servanda. Untuk menjawab pertanyaan tersebut penulis melakukan penelitian hukum yuridis normative dengan menggunakan empat pendektan yakni statute approach,
15
conceptual approach, case approach dan comparative approach .dan, setelah melakukan penelitian kajian litelatur maka penulis hasilkan bahwa asas personalitas ke-Islaman yang terkandung dalam Undang-Undang No. 3 tahun 2006 sama sekali tidak bertentangan dengan asas pacta sunt
servanda
sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang No. 21 tahun 2008 dalam hal opsi yang diberikan oleh undang-undang untuk memilih peradilan negeri sebagai forum penyelesaian sengketa perbankan syariah. Yang dimaksud undang-undang dalam hal ini adalah forumnya saja yakni opsi untuk memilih dari segi formilnya bukan dari segi meteriil. Pada sengketa perbankan syariah selama forum itu disebutkan dalam penjelasan pasal 55 Ayat 2 Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 maka putusan yang dihasilkan tetap sah dengan catatan hukum yang digunakan olehhakim untuk memutuskan adalah hukum Islam bukan yang lain. Penggunaan hukum Islam dalam hal ini adalah wajib dan imparetif karena merupakan unsur yang paling dasar pada asas personalitas keIslaman. Lagi pula pasal 55 ayat 3 Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 juga mewajibkan penerapan hukum Islam dalam penyelesaian sengketa Perbankan Syariah. Atas hasil tersebut penulis menyarankan kepada Mahkamah Konstitusi cq. Kedua, Skripsi 2010,Ravikha Naeda “Akad Wakalah pada Pembiayaan Murâbahah di Bank Pembangunan Daerah Syariah Yogyakarta”.19Penelitian ini memfokuskan
kepada
bagaimana
kedudukan
musytari
wakalah
yang
sesungguhnya dalam transaksi pembiayaan murâbahah, yang penelitiannya 19
Ravikha Naeda, Akad Wakalah pada Pembiayaan Murâbahah di Bank Pembangunan Daerah Syariah Yogyakarta, Skripsi Fakultas Hukum Jurusan Ilmu Hukum, Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, 2010.
16
menggunakan metode studi normatif dengan cara mengumpulkan metode pengumpulan data dari wawancara dan studi pustaka. Akhirnya penelitian tersebut memberikan hasil bahwa ada kejanggalan dalam pembiayaan murâbahah di Bank Pembangunan Daerah Syariah Yogyakarta karena bank tidak berkedudukan sebagai pedagang atau penjual karena dalam praktiknya bank tidak memiliki stok/ persediaan barang yang dapat langsung dibeli oleh nasabah. Dalam melakukan transaksi jual-belinya menggunakan jasa supplier untuk menyediakan barang yang sesuai dengan keinginan nasabah dengan memberikan kuasa kepada nasabah. Pemberian kuasa ini disebut sebagai akad wakalah yang dilakukan pihak bank dengan nasabah. Peneliti/Tahun/Perguruan
Judul
Tinggi No.
1
2
Endra Guntur Mahasiswa Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang Fakultas Syariah tahun 2011
“Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah dengan Choice of Forum”
Ravikha Naeda Fakultas Hukum Jurusan Ilmu Hukum, Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, 2010
Abdul Malik Fakultas Syari‟ah
Objek
Objek
Materiil
Formil
3
4
Fokus dalam skripsi yaitu tentang penyelesaian sengketa perbankan (UU No. 21 tahun 2008) “Akad Hukum Wakalah dalam Pada pembiayaaan Pembiayaan akad Murâbahah di wakalah Bank Pembangunan Daerah Syariah Yogyakarta” “Pembiayaan Pembiayaan Murâbahah murâbahah
Penyelesaian sengketa
Objek formil kenyataan yang terjadi berkaitan dengan akad wakalah
Objek formil dalam
17
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang 2016
Pada Produk Kredit Perumahan Rakyat (KPR) Bri Syari‟ah Cabang Kota Mataram Perspektif Hukum Islam”
pada bank BRI Syari‟ah cabang Mataram
penelitian ini yaitu.akad murabaha sebagai acuan utama dan hukum perjanjian dalam KUHPerdata.
G. Sistematika Penulisan Agar pembahasan dalam penelitian ini terstruktur dengan baik dan pembaca dapat memahami dengan mudah, maka laporan penelitian ini mengacu pada sistematika yang telah ada dalam buku Panduan Penelitian Laporan Fakultas Syariah Universitas Islam Maulana Malik Ibrahim Malang. Adapaun sistematika pembahasan dalam laporan penelitian ini adalah sebagai berikut: BAB I
: PENDAHULUAN Bab ini meliputi latar belakang masalah, rumusan masalah, batasan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, definisi operasional, penelitian terdahulu, dan sistematika penulisan. Pada bagian ini dimaksudkan sebagai tahap pengenalan dan deskripsi permasalahan serta langkah awal yang
memuat
kerangka
dasar
teoritis
yang
akan
dikembangkan dalam bab-bab berikutnya. BAB II
: TINJAUAN PUSTAKA Bab ini berisi sub Landasan Teori yang dipergunakan untuk menjawab latar belakang masalah yang diteliti. Penelitian
18
Terdahulu berisi informasi tentang penelitian yang telah dilakukan peneliti-peneliti sebelumnya. Dengan adanya penelitian terdahulu ini dimaksudkan sebagai upaya untuk menghindari terjadinya duplikasi dan mendapat keorisinilan dari penelitian yang dilakukan. Sedangkan kerangka teori/landasan teori berisi tentang teori dan/ konsep-konsep yuridis sebagai landasan teoritis untuk pengkajian dan analisis masalah. Landasan teori atau konsep-konsep tersebut nantinya dipergunakan dalam menganalisa setiap permasalah yang dibahas dalam penelitian tersebut. BAB III
: METODE PENELITIAN Pada bab ini terdiri dari jenis penelitian, pendekatan penelitian, lokasi penelitian, jenis dan sumber data, metode pengumpulan data dan pengolahan data. Jenis penelitian berisi penjelasan tentang jenis atau macam penelitian yang dipergunakan dalam penelitian. Pendekatan penelitian berisi tentang jenis pendekatan yang dipilih untuk menjelaskan urgensi dalam menguji dan menganalisis data penelitian. Lokasi penelitian berisi uraian tentang lokasi yang pada umumnya berupa alamat dan letak geografis tempat penelitian. Jenis dan sumber data dalam penelitian berisi tentang jenis data primer dan sekunder, data primer adalah data utama diperoleh dari wawancara dan observasi.
19
Sedangkan data sekunder merupakan data pelengkap yang diperoleh dari buku-buku atau dokument tertulis. Metode pengumpulan data menjelaskan tentang tata uturan kerja, alat dan cara pengumpulan data. Metode pengumpulan data empirik
dalam
penelitian
ini
dengan
menggunakan
pendekatan kualitatif yaitu wawancara dan dokumentasi. Metode pengolahan data menjelaskan prosedur pengolahan dan analisis data. Dalam penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang berarti data yang diuraikan dalam bentuk kalimat yang teratur, runtun, logis , tidak tumpang tindih dan efektif. Pengolahan data dilakukan melaui tahap pemeriksaan data (editing), klasifikasi (classifying),
analisis
(analying),
dan
pembuatan
kesimpulan (concluding). jadi pada bab ini merupakan titik awal munuju proposisi-proposisi akhir dengan tujuan untuk mendapatkan suatu jawaban dari hasil penelitian. BAB IV
: HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Bab ini merupakan inti dari penelitian karena pada bab ini akan menganalisis data-data baik melalui data primer maupun data sekunder untuk menjawab rumusan masalah yang telah ditetapkan. Penulisan judul ditulis dengan “Hasil Penelitian dan Pembahasan” dan judul sub bab-nya
20
disesuaikan dengan tema-tema
yang dibahas
dalam
penelitian. BAB V
: PENUTUP Bab ini merupakan bab terakhir yang berisi kesimpulan dan saran. Kesimpulan dalam bab ini bukan merupakan ringkasan dari penelitian yang dilakukan, melainkan jawaban singkat atau akhir atas rumusan masalah yang telah ditetapkan. Saran adalah usulan atau anjuran kepada pihakpihak terkait atau memiliki kewenangan lebih terhadap tema
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Murâbahah dalam Islam 1. Pengertian Hukum Islam Secara etimologi, syariah berarti jalan ketempat mata air, sedangkan secara terminologi adalah seperangkat norma tuhan yang mengatur hubungan antara manusia dengan tuhannya, manusia dengan manusia dalam kehidupan sosial dan juga mengatur antara manusia dengan lingkungan.20 berarti secara terminologis sebagai hukum-hukum
Syariah juga
yang tetap
yang di
syariatkan oleh Allah SWT. Melalui dalil-dalil yang terdapat dalam al-Qur‟an dan Al-sunnah. Dengan demikian, pengertian dan cakupan syariah sangatlah luas dan tidak hanya mencakup tentang hukum. Hukum harus dipatuhi, akan tetapi juga merangkum moral, etika dan keyakinan. Sedangkan fiqih yang secara etimologi berarti pemahaman dan secara terminologi berarti hukum syara‟ yang berkaitan dengan perbuatan manusia yang bersifat praktis yang digali dari sumber-sumbernya yang terperinci. Dalam hal ini lebih kepada bagaimana hukumnya suatu pekerjaan itu, apakah boleh atau tidak, apakah kegiatan muamalah boleh atau tidak, adapun terminologi hukum Islam sendiri tidak dikenal dalam dunia Islam pada masa klasik dulu, istilah ini lebih kepada hasil terjemahan hukum Islam berbahasa inggris, dalam kosa kata bahasa Inggris, syariat Islam diterjemahkan menjadi Islamic Law. Sedangkan Fiqih diterjemahkan menjadi Islamic Jurisprudence. 20
Zainudin Ali. “Hukum Islam “, (Cet-1. Jakarta: Grafika, 2006). h.3
21
22
Dari kosa Inggris tersebut, maka muncullah istilah hukum Islam yang mana jika tidak dipahami dengan benar akan menimbulkan kerancuan dikarenakan adanya perbedaan yang sangat signifikan anatara Fiqih dengan syariat. Beberapa tersebut anatara lain: a. Syariah diturunkan oleh Allah Swt. Sedangkan Fiqih adalah hasil daripada pemikiran ulama yang mana pemikiran tersebut bersifat relatif dan absolut. b. Syariah adalah satu dan fiqih itu beragam Al-Qur‟an hanya satu, akan tetapi penafsiran apa yang ada didalamnya itu beragam, tergantung penafsirannya. c. Syariah tidaklah berubah oleh waktu maupun lokasi, sedangkan fiqih berubah menyesuaikan tentang keyakinan, etika dan moral, keluasan syariah ini tidak memiliki fiqih yang hanya mengatur perbuatan manusia saja. Dan itu yang biasa disebut dengan istilah hukum pada masa modern ini. Oleh karena itu, maksud daripada hukum Islam sebagai maksud daripada terjemahan Islamic jurisprudence adalah fiqih Islam dan bukan syariah Islam.21 d. Syariah ruang lingkupnya lebih luas dan tidak hanya menyangkut urusan perbuatan nyata manusia, akan tetapi juga mengatur.
2.
Tinjauan Umum tentang Pembiayaan Bank Syariah Pembiayaan merupakan salah satu kegiatan pokok bank, yaitu
memberikan fasilitas dana untuk memenuhi kebutuhan pihak-pihak yang merupakan deficit unit. Landasan hukumnya adalah Pertauran Bank Indonesia (PBI) No. 6/24/PBI/2004 Bab V Pasal 36 yaitu bank wajib menerapkan prinsip
21
Zainudin Ali. “Hukum Islam,h.4.
23
syariah dan prinsip kehati-hatian dalam melakukan kegiatan usaha yang meliputi penghimpunan dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan investasi. Landasan syari‟ahnya terdapat dalam QS. An-Nisa: 29:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka satu sama lain (sukarela/ridha)”. Selain itu juga terdapat dalam QS. Al-Maidah: 1:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu”. Akad dalam fikih muamalah terbagi menjadi dua, yaitu: a. Akad Tabarru‟, yaitu akad yang bersifat non-profit transaction dengan tujuan transaksi adalah tolong-menolong dan bukan mencari keuntungan komersil, dimana pihak yang berbuat kebaikan boleh memnita counter par-nya untuk menutup sekedar biaya untuk melakukan akad tabarru‟ dan tidak dapat berubah menjadi akad tijarah, keculai ada persetujuan sebelumnya. Contoh: qardul hasan, hibah, shadaqah, wakaf, rahn, wakalah, kafalah.
24
b. Akad Tijarah, yaitu akad yang bersifat profit transaction oriented dengan tujuan transaksi untuk mencari keuntungan yang bersifat komersil, akad tijarah dapat berubah menjadi akad tabarru‟ dengan cara pihak yang tertahan haknya dengan rela melupakan haknya, dan para pihak mendapatkan bagi hasil dari natural certainty return dan uncertainty return. Contoh murâbahah, musyarakahmuthanaqiahah, mudharabah, bai‟ as-Salam, bai‟ al-Istisna, ijarah. Menurut sifat penggunaannya, pembiayaan dapat dibagi menjadi dua hal sebagai berikut:22 a. Pembiayaan Produktif, yaitu pembiayaan yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan produksi dalam arti luas, yaitu untuk peningkatan usaha, baik usaha produksi, perdagangan, maupun investasi; dan b. Pembiayaan Konsumtif, yaitu pembiayaan yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi, yang akan habis digunakan untuk memenuhi kebutuhan. Menurut keperluannya, pembiayaan produktif dapat dibagi menjadi dua, yaitu: a. Pembiayaan Modal Kerja, yaitu pembiayaan untuk memenuhi kebutuhan:
22
Muhammad Syafi‟I Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktek, (Jakarta: Gema Insani, 2001), h. 160-161.
25
1) Peningkatan Produksi, baik secara kuantitatif, yaitu jumlah hasil produksi, maupun secara kualitatif, yaitu peningkatan kualitas atau mutu hasil produksi; dan 2) Untuk keperluan perdagangan atau peningkatan utility of place dari suatu barang. b. Pembiayaan Investasi, yaitu untuk memenuhi kebutuhan barangbarang modal (capital goods) serta fasilitas-fasilitas yang erat kaitannya dengan itu. Pembiayaan terhadap KPR syariah ini termasuk dalam pembiayaan konsumtif yang bersifat sekunder yaitu kebutuhan tambahan, yang secara kuantitatif maupun kualitatif lebih mewah atau lebih tinggi dari kebutuhan primer seperti makanan, minuman dan pakaian. Bank syariah dapat menyediakan pembiayaan komersil untuk pemenuhan kebutuhan barang konsumsi dengan:23 a. Al-bai‟ bi tsaman ajil (salah satu bentukMurâbahah) atau jual beli dengan angsuran; b. Al-ijarah al-muntahia bit-tamlik atau sewa-beli; c. Al-musyarakah mutanaqishah atau decreasing participation, dimana secara bertahap bank menurunkan jumlah partisipasinya; dan d. Ar-rahn untuk memenuhi kebutuhan jasa. Pembiayaan komersil tersebut di atas lazim digunakan untuk pemenuhan kebutuhan sekunder.Adapun kebutuhan primer pada umunya tidak dapat dipenuhi
23
Muhammad Syafi‟I Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktek, h. 168.
26
dengan pembiayaan komersil.Seorang yang belum mampu memenuhi kebutuhan pokoknya tergolong fakir miskin.Oleh karena itu, ia wajib diberi zakat, sedekah, atau maksimal dibrikan pinjaman kebajikan (al-qard al-hasan), yaitu pinjaman dengan kewajiban pengembalian pinjaman pokoknya saja, tanpa imbalan apapun. Dalam perbankan syariah, jika seseorang ingin meminjam dana untu membeli barang tertentu, misalnya rumah, mau tidak mau ia harus melakukan jual-beli dengan bank syariah. Disini bank syariah berlaku sebagai penjual dan nasabah bertindak selaku pembeli, jika bank memberikan pinjaman (dalam pengertian bank konvensioanl) kepada nasabah untuk membeli barang-barang itu, hal ini didasarkan hadits Nabi yang mengatakan bahwa setiap pinjama yang menghasilkan manfaat adalah riba, dan para ulama sepakat bahwa riba itu haram, sehinnga dalam perbankan syariah pinjaman tidak disebut kredit tetapi pembiayaan (financing). Sehingga harus dilakukan jual beli, dimana bank syariah dapat mengambil keuntungan dari harga barang yang dijual, dan keuntungan dari jual beli adalah diperbolehkan dalam Islam. Pembiayaan dalam perbankan syariah mencakup beberapa macam sebagai berikut:24 a. Al-Murâbahah, ialah jual beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati bersama. b. Bai‟ as-Salam (in front payment sale), yaitu pembelian barang yang diserahkan di kemudian hari, sedangkan pembayarannya di muka.
24
Muhammad Syafi‟I Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktek, h. 171-174.
27
c. Bai‟ al-Istisna, ialah kontrak penjualan antara pembeli dan pembuat barang, dalam kontrak ini pembuat barang menerima pesanan dari pembeli. Pembuat barang kemudian berusaha melalui orang lain untuk membuat atau membeli barang menurut spesifikasi yang telah disepakati dan menjualnya pada pembeli akhir. d. Al-Mudharabah, ialah akad kerjasama usaha antara dua pihak dimana pihak pertama (shahibul maal) menyediakan dana seluruh modal, sedangkan pihak lainnya (mudharib) menjadi pengelola. Keuntungan atas usaha bersama tersebut dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan kerugian bukan akibat kelalaian mudharib akan ditanggung pemilik modal (shohibul maal). e. Musyarakah, ialah akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana (atau amal/prestise) dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan. f. Musyarakah mutanaqishah, ialah akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dan secara bertahap salah satu pihak (bank) menurunkan jumlah partisipasinya. g. Ijarah, bank syariah yang mengoperasikan ijarah dapat melakukan leasing, baik operasional lease maupun financial lease. Akan tetapi pada umumnya, bank-bank syariah lebih banyak melaksanakan financial lease with purchase option atau al-ijarah al-muntahia bit-tamlik, yaitu akad sewa-menyewa yang
28
diakhiri dengan perpindahan kepemilikan dari pihak bank kepada nasabah dengan cara hibah maupun janji untuk melakukan jual beli di akhir masa sewa. 3.
Pengertian Hukum Murâbahah Murâbahah dalam arti bahasa berasal dari kata raabaha yang intinya
tambahan..25murâbahah merupakan salah satu bentuk jual beli amanah, murâbahah adalah jual beli suatu barang dimana penjual memberitahukan harga belinya kepada pembeli dan pembeli membayarnya dengan harga yang lebih sebagai laba. Murâbahah salah satu konsep Islammelakukan jual beli. Konsep ini telah banyak digunakan di bank-bank dan lembaga keuangan syari‟ah untuk pembiayaan modal kerja. Dan pembiayaan perdagangan para nasabahnya. Murâbahah adalah transaksi penjualan barang dengan menyatakan harga perolehan dan keuntungan (margin) yang disepakati oleh penjual dan pembeli.Pembayaran atas akad jual beli dapat dilakukan secara tunai maupun kredit. Hal yang membedakan murâbahah dengan jual beli lainnya adalah penjual harus memberitahukan kepada pembeli harga barang pokok yang dijualnya serta jumlah keuntungan yang diperoleh. Penjualan dapat dilakukan secara tunai atau kredit, jika secara kredit harus dipisahkan antara keuntungan dan harga perolehan. Keuntungan tidak boleh berubah sepanjang akad, kalau terjadi kesulitan bayar dapat dilakukan restrukturisasi dan kalau kesulitan bayar karena lalai dapat dikenakan denda.
25
Ahmad wardi Muslich, fiqh Muamalat, (Jakarta: Amzah, 2013).h.207.
29
Denda tersebut akan dianggap sebagai dana kebajikan. Uang muka juga dapat diterima, tetapi harus dianggap sebagai pengurang piutang.26 Pendapat Ibnu Qadamah mendefinisikan murâbahah adalah menjual dengan harga asal ditambah dengan margin keuntungan yang telah disepakati.27 4. Jenis Murâbahah a. Murâbahah berdasarkan pesanan (Murâbahah tothe purcase order). Murâbahah
ini
dapat
bersifat
mengikat
atau
tidak
mengikat.
Mengikat bahwa apabila telah memesan barang harus dibeli sedangkan tidak mengikat bahwa walaupun telah memesan barang tetapi pembeli tersebut tidak terikat maka pembeli dapat menerima atau membatalkan barang tersebut. b. Murâbahah tanpa pesanan Murâbahah ini termasuk jenis murâbahah yang bersifat tidak mengikat. Murâbahah ini dilakukan tidak melihat ada yang pesan atau tidak sehingga penyediaan barang dilakukan sendiri oleh penjual.28 5. Syarat dan Rukun Murâbahah a. Pengertian Rukun Murâbahah Rukun adalah suatu elemen yang tidak dapat dipisahkan dari suatu kegiatan atau lembaga, sehingga bila tidak ada salah satu elemen tersebut maka kegiatan terdebut dinyatakan tidak sah atau lembaga tersebut tidak eksis.29
26
Sri Nurhayati Wasilah.Akuntansi Syari'ah di Indonesia,h. 176. Muhammad. System dan Prosedur OperasionalBank Syariah, (Yokyakarta:UII Press, 2000).h. 23. 28 Wiroso, SE, MBA, Jual Beli Murâbahah, (Jakarta: 2011). h. 37-38. 29 Yayasan Pendidikan Pengembangan Perbankan dan LKS.(Bandung: 2012). h. 42. 27
30
Menurut Jumhur Ulama ada 4 rukun dalam murâbahah, yaitu orang yang menjual (ba'i'), orang yang membeli (musytari), sighat dan barang atau sesuatu yang diakadkan.30 b. Syarat Murâbahah 1) Pihak yang berakad, yaitu ba'i' dan musytari harus cakap hukum atau balik (dewasa), dan mereka saling meridhai (rela). 2) Khusus untuk mabi' persyaratanya adalah harus jelas dari segi sifat jumlah, jenis yang akan ditransaksikan dan juga tidak termasuk dalam kategori barang haram. 3) Harga dan keuntungan harus disebutkan begitu pula system pembayarannya, semuanya ini dinyatakan di depan sebelum akad resmi (ijab qabul) dinyatakan tertulis.31 6. Landasan Hukum Islam tentang Murâbahah a. Landasan dalam Al-qur‟an Murâbahah merupakan akad jual beli yang diperbolehkan, hal ini berlandaskan atas dalil-dalil yang terdapat dalam al-qur‟an dan al-hadist. Di antara landasan syari‟ah yang memperbolehkan praktik akad jual beli murâbahah adalah QS. Al-Baqarah: 275:
Artinya: “Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba (QS. Al-Baqarah: 275).32
30 31
Yayasan Pendidikan Pengembangan Perbankan dan LKS. h. 16. Yayasan Pendidikan Pengembangan Perbankan dan LKS, h. 42.
31
Dalam ayat ini Allah mempertegas legalitas dan keabsahan jual beli secara umum, serta menolak dan melarang konsep ribawi. Berdasarkan ketentuan ini, jual beli murâbahah mendapat pengakuan dan legalitas dari syara‟ yang memperbolehkan dalam mengaplikasikan dalam kegiatan muamalah secara umum. Dalam praktek pembiayaan Bank Syari‟ah karena murâbahah ini merupakan salah satu produk dari suatu bank syari‟ah. Sedangkan dalam ayat lain juga diperjelas:
Artinya: “Hai orang yang beriman, janganlah kalian saling memakan (mengambil harta sesama dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan sukarela di antaramu”.(QS. An-Nisa‟29). Dalam ayat ini melarang segala bentuk transaksi yang dikategorikan batil adalah yang mengandung buga (riba) sebagaimana terdapat pada system kredit konvensional. Berbeda dengan murâbahah, dalam akad ini tidak ditemukan unsur bunga melainkan menggunakan margin. Ayat ini juga mewajibkan untuk keabsahan setiap transaksi murâbahah harus berdasarkan prinsip kesepakatan kedua pihak. Yang dituangkan dalam suatu perjanjanjian. Yang menjelaskan dan dipahami segala hak dan kewajiban masing-masing.
32
Muhammad Syafi‟e Antonio, Bank Syari‟ah dari teori ke praktek. (Jakarta:Gema Insani. 2001). h.102.
32
b. Landasan Al-Hadits Dari Abu Said Al-Khudri bahwa rasulullah bersabda; “Sesungguhnya jual beli itu harus dilakukan suka sama suka” dalam hadist ini diriwayatkan AlBaihaqi dan Ibnu Majah ini merupakan dalil atas keabsahan jual beli secara umum. Dalam hadist ini memberikan prasyarat bahwa akad jual beli murâbahah harus dilakukan dengan adanya kerelaan masing-masing pihak ketika melakukan transaksi segala ketentuan yang terdapat dalam jual beli murâbahah. Seperti penentuan harga jual beli. Margin yang diinginkan, mekanisme pembayaran dan lainnya, harus terdapat persetujuan dan kerelaan antara pihak nasabah dan bank. Tidak bisa ditentukan secara sepihak.33
B. Konsep Perjanjian dalam Islam
1. Kajian Umum tentang Hukum Perjanjian a. Pengertian Perjanjian Dalam bahasa Belanda kata perjanjian dikenal dengan kata obvereenkomst dan verbintenis. Dan diberbagai perpustakaan dipergunakan macam-macam istilah seperti:34Dalam KUH Perdata (Soebekti dan Tjipto Sudibyo) digunakan istilah perikatan untuk verbintenis dan perjanjian untuk overeenkimst. Utrech, dalam bukunya pengantar hukum Indonesia menggunakan istilah perutangan untuk verbintenis dan perjanjian untuk overeenkomst. Namun disisi lain bahwa di Indonesia mengenai tentang perjanjian ini terdapat beberapa istilah
33
Dimyaudin Djuwaini.Pengantar Fiqih muamalah., (Yokyakarta.:Pustaka belajar.2010)hal.106107 34 R.Soeroso, Perjanjian di bawah tangan. Pedoman Praktis pembuatan dan aplikasi hukum”, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), h.3.
33
yaitu. Perikatan, perjanjian dan perutangan. Adapun dalam kata overeenkomst dalam hal ini dipakai dalam dua istilah yaitu; perjanjian dan persetujuan. Dengan berpedoman pada pasal 1313 ayat (1) KUH Perdata menyebutkan bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih untuk mengikatkan dirinya satu orang lain atau lebih. Adapun istilah dari kata Perikatan, dilihat dari pasal 1313 ayat (1) KUH Perdata, dapat diketahui bahwa suatu perjanjian adalah suatu peritiwa dimana dua orang atau lebih saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal.35 Selain dari perjanjian perikatan juga dilahirkan dari perjanjian, dan perikatan adalah untuk memberikan sesuatu. Untuk berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu. Dalam pasal 1234KUHPerdata. Adapun pengertian dari kontrak ialah, sebanarnya tidak lain adalah perjanjian, namun dalam percakapan dan kehidupan sehari-hari terkadang pengertian kontrak ini disalahartikan menurut pandangan orang awam, semisal dalam contoh seorang kontrak rumah, berkesimpulan bahwa kontrak disini lebih ke jangka waktunya, sebenarnya pengertian ini sama halnya dengan perjanjian, namun dalam konteks kontrak rumah ialah berupa perjanjian sewa-menyewa.36 b. Asas-asas Perjanjian Hukum kontrak (contract of law) memiliki beberapa asas di dalam pelaksanaannya. Sebagian dari kita pasti sudah sering mendengar dan tidak asing lagi dengan asas-asas tersebut. Beberapa asas dalam hukum kontrak dimaksud yaitu asas kebebasan berkontrak, asas konsensualisme, asas pacta sunt servanda 35 36
R.Soeroso, Perjanjian di bawah tangan,.h.4. R.Soeroso, Perjanjian di bawah tangan, h 6.
34
(asas kepastian hukum), dan asas itikad baik. Berikut akan dipaparkan secara singkat mengenai masing-masing asas tersebut.37 1) Asas tidak boleh main hakim sendiri Tindakan
main
hakim
sendiri
adalah
tindakan
untuk
melaksanakan hak menurut kehendaknya sendiri, sewenang-wenang tanpa persetujuan orang lain. Sehingga dalam praktek ini akan menimbulkan kerugian terhadap pihak lain. Dengan kata lain, bahwa pihak yang merasa dirugikan dapat melakukan eksekusi yang disebut reel eksekutif yang telah di janjikan, atas biata debitur. Namun hal ini harus dengan kuasa atau izin hakim. Dalam hal ini si berpiutang atau kreditor berhak menuntut penghapusan atas segala sesuatu yang telah dikerjakan secara berlawanan dengan isi perikatan yang telah di sepakati sebelumnya. Seperti yang tercantum dalam pasal 1240 KUHPerdata yang berbunyi; 38 ”Dalam pada si berpiutang adalah berhak menuntut akan penghapusan segala sesuatu yang telah dibuat berlawanan dengan perikatan, dan bolehlah ia minta supaya dikuasakan oleh hakim untuk menyuruh penghapusan segala sesuatu yang telah dibuat tadi atas biaya si berutang dengan tak mengurangi hak menuntut penggantian biaya, rugi, dan bunga jika ada alasan untuk itu” 2) Asas Kebebasan Berkontrak Dalam hukum benda diartikan bahwa mempunyai sistem tertutup, sedangkan hukum perjanjian mempunyai sistem terbuka. Sistem hukum benda artinya bahwa macam-macamnya hak atas benda
37 38
www.Ngobrolin Hukum, Asas-asas dalam Kontrak, diakses tanggal 15 Maret 2015. KUHPerdata.1240
35
adalah terbatas pada peraturan-peraturan yang mengenai hakatas benda itu, bersifat memaksa sedangkan hukum perjanjian memberikan kebebasan yang seluas-seluasnya kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian yang berisi dan bermacam saja asalkan tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan, maka dalam hukum perjanjian mereka boleh bertindak sesuai dengan isi perjanjian pihak, namun dalam hal ini mengatur asalkan tidak bertentang apa yang di perjanjikan.39 3) Asas Konsensualisme Dalam hukum perjanjian juga berlaku yang namanya asas konsensualisme, istilah ini berasal dari kata latinConsensus yang berarti sepakat. Inti dari sebuah perjanjian yaitu “Lahirnya kata kesepakatan”. Dengan adanya pengertian sepakat ini merupakan bentuk dari perjanjian yang ada dalam perjanjian yang nantinya merupakan aspek formil atau diperlukan suatu bentuk aspek Formalitas perjanjian yang dinamakan Perjanjian konsensuil.40 c. Unsur-unsur dalam Perjanjian Dalam sebuah perjanjian terdapat unsur di dalamnya yaitu.41 1) Unsur esensialia, Unsur esensialia adalah unsur yang harus ada dalam perjanjian, tanpa adanya unsur esensialia maka tidak ada perjanjian, atau bisa juga dikatakan unsur mutlak. 2) Unsur naturalia, ialah unsure yang telah di atur dalam undang-undang, dengan demikian apabila tidak diatur oleh para pihak dalm perjanjian, 39
R.Soeroso, Op Cit,h 16. R.Soeroso, Op Cit,h 16. 41 Diana Trantri C.”Hukum Kontrak Mandar Maju” (Yokyakrta, 2006), h.12. 40
36
maka undang-undang yang mengaturnya.jadi dalam unsur naturalia ini merupakan unsuir yang selalu di anggap ada dalam perjanjian. 3) Unsur aksidentalia, unsur ini ialah unsur yang nanti ada atau mengikat para pihak jika para pihak memperjanjikan. d. Syarat sahnya Perjanjian. Bahwa dalam perjanjian ada syarat yang harus dipenuhi agar perjanjian itu menjadi sah, dalam KUHPerdata pasal 1320. Ada 4 unsur yang manjadi syarat sahnya.42 1) Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya 2) Kecakapan untuk membuat suatu perikatan 3) Suatu hal tertentu 4) Suatu sebab yang halal Syarat antara nomor satu dan nomor dua merupakan syarat subjektif, karena hal tersebut merupakan syarat yang harus dipenuhi oleh subjek hukum. Adapun syarat yang ke tiga dan ke empat merupakan syarat objektif yang harus dipenuhi sebagian objek perjanjian.dari semua syarat di atas menjadi kualitas sebuah perjanjian, hal tersebut jika dalam perjanjian dari syarat subjektifnya tidak memenuhi maka bisa dibatalkan dengan permintaan kepada hakim, dan selanjutnya jika dalam perjanjian tersebut syarat objektif yang tidak terpenuhi maka perjanjian tersebut batal demi hukum, dan dianggap tidak pernah ada sebuah perjanjian.43
42 43
Komariah.“Hukum Perdata‟ (Malang: UMM University,2002), h. 175-177. PNH Simanjuntak. “Pokok-pokok Hukum Perdata di Indonesia”(Jaka Djambatan. 2009)h. 334.
37
e. Akibat Suatu Perjanjian Adapun akibat dari sebuah perjanjian yang dibuat secara sah adalah sebagai berikut: 1) Berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya (Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata, asas janji itu mengikat. 2) Suatu perjanjian hanya berlaku antara pihak yang membuatnya (Pasal 1340 KUHPerdata dan perjanjian dapat mengikat pihak ketiga apabila telah diperjanjikan sebelumnya pasal 1317 KUHPerdata. 3) Konsekuesinya para pihak dalam perjanjian tidak dapat secara sepihak menarik diri dari akibat-akibat perjanjian yang dibuat oleh mereka (Pasal 1338 ayat (2) KUHPerdata). 4) Perjanjian dapat diakhiri secara sepihak jika ada alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu paal 1338 ayat (2) KUHPerdata, yaitu seperti yang termuat dalam pasal 1571, pasal 1572, pasal 1649, pasal 1813 KUHPerdata. a) Pasal 1571 KUHPerdata berbunyi yaitu; “Jika sewa tidak dibuat dengan tulisan, maka sewa itu tidak berakhir pada yang ditentukan, melainkan jika pihak lain bahwa ia hendak menghentikan sewanya, dengan mengidahkan tenggang-tenggang waktu yang diharuskan menurut kebiasaan setempat”. b) Pasal 1572 KUHPerdata yang berbunyi;” jika pihak yang satu telah meberitahukan kepada pihak yang lainnya bahwa ia hendak menghentikan sewanya, maka si penyewa, meskipun ia tetap
38
menikmati barangnya, tidak dapat memajukan tentang adanya suatu penyewaan ulang secara diam-diam”. c) Pasal 1649 KUHPerdata, berbunyi; “Persekutuan hanya dapat dibubarkan atas kehendak beberapa orang atau seorang sekutu jika persekutuan itu telah dibuat tidak untuk suatu waktu tertentu. Pembubaran
terjadi,
dalam
hal
tersebut,
dengan
suatu
pemberitahuan penghentian kepada segenap sekutu lainnya, asal pemberitahuan penghentian ini terjadi dengan i‟tikad baik dan tidak dilakukan secara memberikan waktu. d) Pasal 1813 KUHPerdata; “Pemberian kuasa berakhir dengan ditariknya kembali kuasanya si kuasa; dengan pemberitahuan penghentian kuasanya oleh si kuasa; dengan menunggalnya, pengampunya atau pailitnya si pemberi kuasa maupun si kuas; dengan perkawinannya si perempuan yang memberikan atau menerima kuasa.” f. Batal dan pembatalan suatu perjanjian Dalam sebuah literatur telah dijelaskan mengenai syarat-syarat untuk sahnya perjanjian, secara umum yaitu syarat subjektif dan syarat objektif. Suatu syarat objektif (hal tertentu,atau sebab yang halal), maka perjanjiannya adalah batal demi hukum.dalam hal yang demikian secara yuridis dari semula dianggap tidak ada perjanjian. Dan tidak ada pula suatu perikatan.Yaitu antara orang-orang yang bermaksud membuat perikatan.44 44
Prof.Subekti.”Hukum perjanjian”.(Jakarta: PT. Intermasa. 2001), h. 22.
39
Sedangkan tidak terpenuhnya unsur subjektif, yaitu suatu perbuatan perjanjian dapat dimintakan pembatalan (canceling) .45Bahwa dalam perjanjian yang tidak memenuhi suatu syarat-syarat subjektif yang menyangkut kepentingan seseorang yang mungkin tidak menginginkan perlindungan hukum terhadap dirinya. Misalnya seseorang yang oleh undang-undang dipandang sebagai tidak cakap, mungkin sekali sanggup memikul tangggung jawab sepenuhnya terhadap perjanjian
yang telah
dibuat. Oleh karena itu, dalam hal adanya kekurangan mengenai syarat subjektif,
undang-undang
menyerahkan
kepada
pihak-pihak
yang
berkepentingan, apakah ia menghendaki pembatalan perjanjian atau tidak, jadi perjanjian yang demikian itu, bukannya batal demi hukum, tetapi dapat dimintakan pembatalan.kepada pihak yang berwenang. 2. Kajian tentang Wanprestasi (Ingkar Janji) a. Pengertian Wanprestasi Prestasi atau yang dalam bahasa Inggris disebut juga dengan istilah “performance” dalam hukum kontrak dimaksudkan sebagai suatu pelaksanaan hal-hal yang tertulis dalam suatu kontrak oleh pihak yang telah mengikatkan diri untuk itu, pelaksanaan mana sesuai dengan “term” dan “condition” sebagaimana disebutkan dalam kontrak yang bersangkutan.46
45
Prof.Subekti.”Hukum perjanjian”, h. 22. Munir Fuady, Hukum Kontrak dari Sudut Pandang Hukum Bisnis (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1999), h. 87 46
40
Adapun yang merupakan model-model dari prestasi adalah seperti yang disebutkan dalam Pasal 1234 KUH Perdata, yaitu berupa: 1) Memberikan sesuatu; 2) Berbuat sesuatu; 3) Tidak berbuat sesuatu. Sementara itu, yang dimaksud dengan wanprestasi (defaultatau non fulfiment) ataupun yang disebut juga dengan istilah breach of contract adalah tidak dilaksanakan prestasi atau kewajiban sebagaimana mestinya yang dibebankan oleh kontrak terhadap pihak-pihak tertentu seperti yang disebutkan dalam kontrak yang bersangkutan. Tindakan wanprestasi membawa konsekuensi terhadap timbulnya hak pihak yang dirugikan untuk menuntut pihak yang melakukan wanprestasi untuk melakukan ganti rugi, sehingga oleh hukum diharapkan agar tidak ada satu pihak pun yang dirugikan karena wanprestasi tersebut. Tindakan wanprestasi ini terjadi karena: 1) Kesengajaan; 2) Kelalaian; 3) Tanpa kesalahan (tanpa kesengajaan atau kelalaian). Akan tetapi berbeda dengan hukum pidana atau hukum tentang perbuatan melawan hukum, hukum kontrak tidak begitu membedakan apakah suatu kontrak dilaksanakan karena adanya suatu unsur kesalahan dari para pihak atau tidak. Akibatnya tetap sama, yakni pemberian ganti rugi dengan perhitunganperhitungan tertentu. Kecuali tidak dilaksanakan kontrak tersebut karena alasanalasan force majeure, yang umumnya membebaskan pihak yang tidak memenuhi prestasi untuk sementara atau untuk selama-lamanya. Di samping itu, apabila seseorang telah tidak melaksanakan prestasinya sesuai dalam ketentuan kontrak, maka pada umumnya (dengan beberapa pengecualian), tidak dengan sendirinya
41
dia telah melakukan wanprestasi. Apabila tidak ditentukan lain dalam kontrak atau dalam undang-undang maka wanprestasinya si debitur resmi terjadi setelah debitur dinyatakan lalai oleh kreditur (ingebrekestelling) yakni dengan dikeluarkannya “akta lalai” oleh pihak kreditur.47 Dalam pasal 1243 KUH Perdata yang berbunyi: “penggantian biaya, rugi dan bunga karena tidak dipenuhinya suatu perikatan, barulah mulai diwajibkan apabila debitur setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya dalam tenggang waktu tertentu telah dilampauinya” Jadi maksud “berada dalam keadaan lalai” ialah peringatan atau pernyataan dari kreditur tentang saat selambat-lambatnya debitur wajib memenuhi prestasi. Apabila saat ini dilampauinya, maka debitur ingkar janji (wanprestasi). Menurut Nasrun Haroen, untuk kelalaian itu ada resiko yang harus ditanggung oleh pihak yang lalai, bentuk-bentuk kelalaian itu menurut ulama, diantaranya pada akad Bay‟ barang yang dijual bukan milik penjual (misal barang wadiah atau ar-rahn), atau barang tersebut hasil curian, atau menurut perjanjian harus diserahkan kerumah pembeli pada waktu tertentu, tetapi ternyata tidak diantarkan dan atau tidak tepat waktu, atau barang rusak dalam perjalanan, atau barang yang diserahkan tidak sesuai dengan contoh yang disetujui. Dalam kasuskasus seperti ini resikonya adalah ganti rugi dari pihak yang lalai. Apabila barang itu bukan milik penjual, maka ia harus membayar ganti rugi terhadap harga yang telah ia terima. Apabila kelalaian berkaitan dengan keterlambatan pengantaran barang, sehingga tidak sesuai dengan perjanjian dan
47
Lihat Pasal 1238 KUH Perdata
42
dilakukan dengan unsur kesengajaan, pihak penjual juga harus membayar ganti rugi. Apabila dalam pengantaran barang terjadi kerusakan (sengaja atau tidak), atau barang yang dibawa tidak sesuai dengan contoh yang disepakati maka barang tersebut harus diganti.48 b. Macam-macam wanprestasi Wujud dari tidak pemenuhan prestasi atau perikatan ada 3 (tiga) macam, yaitu:49 1) Sama sekali tidak memenuhi prestasi; 2) Terlambat memenuhi prestasi; 3) Keliru atau tidak pantas memenuhi prestasi. Di dalam kenyataan sukar untuk menentukan saat debitur dikatakan tidak memenuhi perikatan, karena sering kali ketika mengadakan perjanjian pihak-pihak tidak menentukan waktu untuk melaksanakan perjanjian tersebut. Bahkan di dalam perikatan di mana waktu untuk melaksanakan prestasi itupun ditentukan, cedera janji tidak terjadi dengan sendirinya. Yang mudah untuk menentukan saat debitur tidak memenuhi perikatan ialah pada perikatan untuk tidak berbuat sesuatu. Apabila orang itu melakukan perbuatan yang dilarang tersebut maka ia tidak memenuhi prestasi. c. Akibat adanya Wanprestasi Ada empat akibat adanya wanprestasi, yaitu sebagai berikut: 1) Perikatan tetap ada yaitu kreditur masih dapat menuntut kepada debitur pelaksanaan prestasi, apabila ia terlambat memenuhi prestasi. Di samping itu, kreditur berhak menuntut ganti rugi akibat keterlambatan melaksanakan prestasinya. Hal ini disebabkan kreditur 48
Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000), cet. 1, h. 120-121 Mariam darus badrulzaman dkk, Kompilasi Hukum Perikatan (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2001) h. 18-19 49
43
akan mendapat keuntungan apabila debitur melaksanakan prestasi tepat pada waktunya. 2) Debitur harus membayar ganti rugi kepada kreditur.50 3) Beban resiko beralih untuk kerugian debitur, jika halangan itu timbul setelah debitur wanprestasi, kecuali bila ada kesengajaan atau kesalahan besar dari pihak kreditur. Oleh karena itu, debitur tidak dibenarkan untuk berpegang pada keadaan memaksa. 4) Jika perikatan lahir dari perjanjian timbal balik, kreditur dapat membebaskan diri dari kewajibannya memberikan kontra prestasi.51 d. Hak-hak Kreditur Kalau Ingkar Janji Hak-hak kreditur adalah sebagai berikut :52 1) Hak menuntut pemenuhan perikatan (nakomen). Pasal 1237 KUH Perdata menyatakan: “Dalam hal adanya perikatan untuk memberikan suatu kebendaan tertentu, kebendaan itu semenjak perikatan dilahirkan, adalah atas tanggungan si berpiutang”. Maka sejak debitur lalai, maka resiko atas obyek perikatan menjadi tanggungan debitur. Kreditur berhak untuk menuntut penggantian kerugian, yang berupa ongkos-ongkos, kerugian dan bunga. Akibat hukum seperti ini menimpa debitur baik dalam perikatan untuk memberikan sesuatu, untuk melakukan sesuatu ataupun tidak melakukan sesuatu.
50
Lihat pasal 1243 KUH Perdata Lihat pasal 1266 KUH Perdata 52 Mariam darus, Kompilasi Hukum Perikatan, h. 21 51
44
2) Hak menuntut pemutusan perikatan atau apabila perikatan itu bersifat timbal balik, menuntut pembatalan perikatan (ontbinding). Pasal 1266 KUHPerdata menyatakan: “Syarat batal dianggap selalu dicantumkan dalam persetujuanpersetujuan yang bertimbal balik, manakala salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya”. Maka kreditur berhak untuk menuntut pembatalan perjanjian, dengan atau tanpa disertai dengan tuntutan ganti rugi. Tetapi kesemuanya itu tidak mengurangi hak dari kreditur untuk tetap menuntut pemenuhan. Apabila salah satu pihak dalam perikatan merasa dirugikan oleh pihak lainnya dalam perikatan tersebut, maka hukum memberikan wahana bagi pihak yang merasa dirugikan tersebut untuk melakukan gugatan ganti rugi. 3) Hak menuntut ganti rugi (schade vergoeding) Pasal 1236 KUHPerdata menyatakan: “Si berutang adalah wajib memberikan ganti biaya, rugi dan bunga kepada si berpiutang, apabia ia telah membawa dirinya dalam keadaan tak mampu untuk menyerahkan kebendannya, atau telah tidak merawat sepatutnya guna menyelamatkannya” 4) Hak menuntut pemenuhan perikatan dengan ganti rugi Pasal 1243 KUHPerdata menyatakan: “Penggantian biaya, rugi dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan, barulah mulai diwajibkan, apabila si berutang, setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya, hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampaukannya”.
45
e. Pembelaan Debitur Jika Dituntut Membayar Ganti Rugi 1) Mengajukan tuntutan adanya keadaan memaksa. Misalnya karena barang yang diperjanjikan musnah atau hilang, terjadi kerusuhan, bencana alam, dan lain-lain. 2) Mengajukan bahwa kreditur sendiri juga telah lalai (Execptio Non Adimreti Contractus). Misalnya: si pembeli menuduh penjual terlambat menyerahkan barangnya, tetapi ia sendiri tidak menepati janjinya untuk menyerahkan uang muka. 3) Mengajukan bahwa kreditur telah melepaskan haknya untuk menuntut ganti rugi (Rehtsverwerking). Misalnya: si pembeli menerima barang yang tidak memuaskan kualitasnya, namun pembeli tidak memberi tahu si penjual atau tidak menerima barangnya. 3. Perjanjian dalam Islam a. Pengertian Perjanjian dalam Islam Perjanjian atau menurut etimologi adalah ikatan. Sedangkan menurut terminology perjanjian adalah suatu perbuatan dimana seseorang mengikatkan dirinya kepada seseorang atau beberapa lain53 b. Rukun dan Syarat Perjanjian Islam Pendapat para „alim (ulama) mengenai rukun dan syarat perikatan dalam Islam sangat beragam. Namun, sebagian ulama berpendapat,
53
Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata Dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta: Kencana, 2008), h. 221.
46
bahwa rukun dan syarat suatu perikatan dalam Islam adalah sebagai berikut: 1) Al‟aqidain (Subjek Perikatan) Subjek perikatan adalah para pihak yang melakukan akad sebagai suatu perbuatan hukum yang mengemban hak dan kewajiban. Ada dua bentuk subjek perikatan, yaitu manusia dan badan hukum. a) Manusia Dalam ketentuan Islam manusia yang sudah dibebani hukum disebut mukallaf. Diterangkan dalam Ensiklopedia Hukum Islam bahwa orang mukallaf ialah orang yang telah dianggap mampu bertindak hukum, baik yang berhubungan dengan perintah Allah SWT, maupun yang berhubungan dengan larangan-Nya. Seluruh tindakan hukum orang mukallaf harus dipertanggung jawabkan. Syarat-syarat yang harus dipenuhi manusia untuk dapat menjadi subjek perikatan menurut Hamzah Ya‟cub adalah sebagai berikut:54 (1) Aqil, yaitu orang yang harus berakal sehat. (2) Tamyiz, yaitu orang yang dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. (3) Mukhtar, yaitu orang yang bebas dari paksaan.
54
Widyaningsih, Bank dan Asuransi Islam di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media, 2005), h. 121.
47
2) Badan Hukum Badan Hukum merupakan badan yang dianggap dapat bertindak dan memiliki hak-hak, kewajiban-kewajiban, dan memiliki hubungan hukum terhadap orang lain atau badan lain. Dalam Islam badan hukum disebut asy-syirkah, seperti yang tercantum dalam QS. An-Nisa:12:
Artinya: “Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam sepertiga itu ..”. 2) Mahallul „aqd (Objek Perikatan) Syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam objek perikatan adalah sebagai berikut: a) Objek perikatan telah ada ketika akad dilangsungkan. Objek suatu
perikatan
diisyaratkan
telah
ada
ketika
akad
dilangsungkan. Hal ini disebabkan karena, sebab hukum dan akibat akad tidak mungkin bergantung pada suatu yang belum ada. Tetapi ada pengecualian pada akad-akad tertentu, seperti salam, istishna‟, dan musyaqoa yang objeknya diperkirakan akan ada di masa yang akan datang. Pengecualian ini didasarkan pada istishan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dalam kegiatan muamalat.
48
b) Objek perikatan dibenarkan oleh syariah. Objek perikatan adalah benda-benda, jasa-jasa yang dihalalkan oleh syariah untuk ditransaksikan. c) Objek akad harus jelas dan dikenali. Harus diketahui dengan jelas oleh para pihak mengenai bentuk, keadaan, fungsinya. d) Objek akad dapat diserahterimakan. 3) Maudhu‟ul „aqd (Tujuan Perikatan) Maudhu‟ul „aqd ialah tujuan dari perikatan yang dilakukan oleh para pihak. Menurut Ahmad Azhar Basyir, syarat-syarat yang harus dipenuhi agar tujuan akad dipandang sah dan memiliki akibat hukum adalah sebagai berikut: a) Tujuan akad bukan merupakan kewajiban yeng telah ada atas pihak-pihak yang bersangkutan tanpa akad yang diadakan. b) Tujuan
harus
berlangsung
adanya
hingga
berakhirnya
pelaksanaan akad. c) Tujuan akad harus dibenarkan oleh syara‟. 4) Sighat al-„aqd Sighat al-„aqd adalah berupa ijab dan qabul. Para pihak yang melakukan ikrar ini harus memperhatikan tiga syarat berikut ini yang harus dipenuhi agar mempunyai akibat hukum. a) Jala‟ul ma‟na, yaitu tujuan yang terkandung dalam pernyataan itu jelas, sehingga dapat dipahami jenis akad yang dikehendaki. b) Tawafuq, yaitu adanya kesesuaian antara ijab dan kabul. c) Jazmul iradataini, yaitu antara ijab dan kabul menunjukkan kehendak para pihak secara pasti, tidak ragu, dan tidak terpaksa.
49
Istilah kata “perjajian” yang disebutkan dalam hukum Indonesia adalah disebut dengan “aqad” di dalam hukum Islam. Kata al-aqd, yang berarti mengikat, menyambung atau menghubungkan (ar-rabt), menurut para Ahli Hukum Islam didefinisikan sebagai hubungan antara ijab dan qabul sesuai dengan kehendak syariat yang menetapkan adanya pengaruh (akibat) hukum pada obyek perikatan.55 Dari kedua definisi diatas dapat diketahui bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan kesepakatan antara seseorang atau lebih dengan orang lain untuk melakukan suatu perbuatan tertentu. Perbuatan tersebut jika di dalam hukum mempunyai akibat hukum maka perbuatan tersebut diistilahkan dengan perbuatan hukum. Sedangkan yang dimaksud dengan perbuatan hukum adalah segala perbuatan yang dilakukan oleh mausia secara sengaja untuk menimbulkan hak dan kewajiban.56 Yang dalam hal ini dijelaskan, yaitu: Pertama, Perbuatan hukum sepihak, yaitu perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu pihak saja dan menimbulkan hak dan kewajiban pada satu pihak pula. Misalnya, Perbuatan surat wasiat dan pemberian hadiah suatu barang (hibah). Kedua, perbuatan hukum dua pihak, yaitu perbuatan hukum yang dilakukan oleh dua pihak dan menimbulkan hak-hak dan kewajiban55
Fathurrahman Djamil, Hukum Perjanjian Syariah, dalam Kompilasi Hukum Perikatan, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001), h.247 56 CST. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1986), h. 199
50
kewajiban bagi pihak (timbal balik). Misalnya, membuat persetujuan jual beli, sewa menyewa dan lain-lain. Dalam hal ini termasuk juga sewa-menyewa tanah pertanian (sawah). Jadi dari paparan di atas dapat diketahui bahwa perbuatan hukum juga meliputi perjanjian-perjanjian yang diadakan oleh para pihak. Mengenai apa yang telah diperjanjikan, masing-masing pihak haruslah saling menghormati terhadap apa yang telah mereka perjanjikan. Dalam Islam perbuatan untuk menepati janji sangat dianjurkan dan melarang umatnya mengingkari janji sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur‟an Surat An-Nahl ayat 91 yang berbunyi:
Artinya: “Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah(mu) itu, sesudah meneguhkannya, sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu (terhadap sumpah-sumpahmu itu). Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu perbuat”.57 Firman Allah dalam Al-Qur‟an surat Al-Isra‟ ayat 34 yang berbunyi:
57
Al Quran terjemah, QS. An-Nahl (16): 91, Departemen Agama RI tahun 2002, Jakarta
51
Artinya: “Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih baik (bermanfaat) sampai ia dewasa dan penuhilah janji; sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya”.58 Allah Swt juga berfirman dalam Al-Qur‟an Surat Al-Maidah ayat 1 yang berbunyi:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu. Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya”.59 Berdasarkan firman-firman suci Allah tersebut diatas kiranya dapat dipahami bahwa sebagai hamba-hamba Allah yang beriman harus senantiasa selalu menepati janji baik janji dengan Allah, janji dengan sesama manusia dan ataupun janji dengan dirinya sendiri seperti bernadzar. 4. Bentuk dan Jenis Perjanjian/Kontrak a.
Bentuk Kontrak
Dalam praktek, dikenal tiga bentuk kontrak yaitu sebagai berikut:60
58
Al Quran terjemah, QS. Al-Isra‟ (17): 34, Departemen Agama RI tahun 2002, Jakarta Al Quran terjemah, QS. Al-Maidah (5): 1, Departemen Agama RI tahun 2002, Jakarta 60 Syahmin AK. Hukum Kontrak Internasional (Inderalaya: Universitas Sriwijaya, 1999), h. 14 59
52
1)
Kontrak Baku (Standard Contract) Kontrak baku adalah perjanjian yang hampir seluruh klausulnya dibakukan dan dibuat dalam bentuk formulir. Tujuan utamanya adalah bentuk kelancaran proses perjanjian dengan mengutamakan efisiensi, ekonomis, dan praktis. Tujuan khususnya adalah untuk keuntungan satu pihak yaitu untuk melindungi kemungkinan terjadinya kerugian sebagai akibat perbuatan debitur serta menjamin kepastian hukum.
2)
Kontrak Bebas Dasar hukum kebebasan berkontrak ini adalah Pasal 1338 KUHPerdata yaitu: “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undangundang bagi mereka yang membuatnya. Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alsan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu” Namun, mengingat KUHPerdata Pasal 1338 mengenai asas keadilan serta undang-undang pada prinsipnya kebebasan berkontrak itu masih harus memperhatikan prinsip kepatutan, kebiasaan, kesusilaan, dan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
3)
Kontrak Tertulis dan Tidak Tertulis Perjanjian tertulis adalah perjanjian yang dibuat oleh para pihak dalam bentuk tulisan. Sementara itu, perjanjian lisan adalah
53
suatu perjanjian yang dibuat oleh para pihak dalam wujud lisan (cukup kesepakatan lisan para pihak). Ada tiga bentuk perjanjian tertulis seperti berikut ini: a) Perjanjian di bawah tangan yang ditandatangani oleh para pihak yang bersangkutan saja. Perjanjian itu hanya mengikat para pihak yang membuat perjanjian, tetapi tidak mempunyai kekuatan mengikat pihak ketiga. Dengan kata lain, jika perjanjian tersebut disangkal pihak ketiga, para pihak atau salah satu pihak dari perjanjian itu berkewajiban mengajukan bukti-bukti
yang
diperlukan untuk membuktikan bahwa keberatan pihak ketiga dimaksud tidak berdasar dan tidak dapat dibenarkan. b) Perjanjian dengan saksi notaries untuk melegalisasi tanda tangan para pihak. Fungsi kesaksian notaries atas suatu dokumen sematamata hanya untuk melegalisasi kebenaran tanda tangan para pihak. Akan tetapi kesaksian tersebut tidaklah mempengaruhi kekuatan hukum dari isi perjanjian. Salah satu pihak mungkin saja menyangkal isi perjanjian. Namun, pihak yang menyangkal itu adalah pihak yang harus membuktikan penyangkalannya. c) Perjanjian yang dibuat di hadapan oleh notaries dalam bentuk akta notaris. Akta notaris adalah akta yang dibuat di hadapan dan di muka pejabat yang berwenang untuk itu. Pejabat yang berwenang untuk itu adalah notaries, camat, PPAT, dan lain-lain. Jenis
54
dokumen ini merupakan alat bukti yang sempurna bagi para pihak yang bersangkutan maupun pihak ketiga. b. Jenis Perjanjian/Kontrak Selanjutnya, mengenai jenis kontrak secara umum suatu kontrak baik dalam bentuk tertulis maupun tidak tertulis terbagi atas beberapa jenis61 antara lain: 1) Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang menimbulkan hak dan kewajiban bagi kedua belah pihak misalnya, perjanjian jual beli dan sewa-menyewa. 2) Perjanjian cuma-cuma adalah perjanjian yang memberikan keuntungan bagi salah satu pihak saja, misalnya perjanjian hibah. 3) Perjanjian atas beban ialah perjanjian terhadap prestasi dari pihak yang satu selalu terdapat kontra prestasi dan pihak lain dan antara kedua prestasi itu ada hubungannya menurut hukum. 4) Perjanjian bernama adalah perjanjian yang mempunyai nama sendiri yang diatur dan diberi nama oleh pembentuk undangundang, perjanjian bernama diatur dalam Bab V sampai dengan Bab XVIII KUHPerdata. 5) Perjanjian tidak bernama adalah perjanjian yang tidak diatur dalam KUHPerdata, namun terdapat di masyarakat. Timbulnya perjanjian jenis ini berdasarkan pada asas kebebasan berkontrak, misalnya perjanjian sewa beli, perjanjian keagenan, perjanjian
61
Syahmin AK. Hukum Kontrak Internasional , h. 15
55
distributor, perjanjian pembiayaan, sewa guna usaha/leasing, anjak piutang, modal bentura, kartu kredit, dan lain sebagainya. 6) Perjanjian campuran (contractus sui generis), yaitu perjanjian yang mengandung berbagai unsure perjanjian, misalnya perjanjian kerjasama pendirian pabrik pupuk dan diikuti dengan perjanjian jual beli mesin pupuk serta perjanjian perbantuan teknik (technical assistance contract). 7) Perjanjian obligator, yakni perjanjian antara pihak-pihak yang mengikatkan diri untuk melakukan penyerahan kepada pihak lain. 8) Perjanjian kebendaan yaitu perjanjian hak atas benda dialihkan (transfer of title) atau diserahkan kepada pihak lain. 9) Perjanjian konsensualisme, yaitu perjanjian diantara kedua belah pihak
yang
mengadakan
telah
tercapai
perikatan.
persesuaian
Menurut
kehendak
ketentuan
Pasal
untuk 1338
KUHPerdata, perjanjian ini mempunyai kekuatan mengikat namun di dalam KUHPerdata ada juga perjanjian-perjanjian yang hanya berlaku sesudah terjadinya penyerahan barang perjanjian yang demikian itu dinamakan perjanjian riil. 10) Perjanjian yang sifatnya istimewa yaitu sebagai berikut: a) Perjanjian liberatoir, yakni perjanjian para pihak yang membebaskan disi dari kewajiban yang ada misalnya pembebasan utang (Pasal 1438 KUHPerdata).
56
b) Perjanjian pembuktian, yaitu perjanjian antara para pihak untuk menentukan pembuktian apakah yang berlaku di antara mereka. c) Perjanjian publik yaitu perjanjian yang sebagian atau seluruhnya dikuasai oleh hukum publik karena salah satu pihak bertindak sebagai penguasa/pemerintah.62 5. Asas-asas dalam Perjanjian Asas merupakan terpikiran dasar yang ada di belakang atau di dalam sistem hukum. terkadang ada yang dirumuskan pada pasal dalam masing-masing undang-undang, tetapi sebagian besar tidak dirumuskan. Asas-asas tersebut akan kita jumpai ketika membaca keseluruhan undangundang.63 Asas-asas yang penting dalam perjanjian adalah sebagai berikut: a. Asas kebebasan berkontrak Setiap orang dapat secara bebas membuat perjanjian selama memenuhi syarat sahnya perjanjian dan tidak melanggar hukum, kesusilaan, serta ketertiban umum. Asas kebebasan dalam berkontrak terdiri dari: 1) Bebas untuk membuat atau tidak membuat suatu perjanjian.; 2) Bebas
untuk
menentukan
dengan
siapa
seseorang
akan
mengikatkan diri; 3) Bebas menentukan isi perjanjian dan syarat
62
Joni Emirzon, Dasar-Dasar dan Teknik Penyusunan Kontrak, (Inderalaya: Universitas Sriwijaya, 1998), h. 4 63 Much. Nurachmad, Buku Pintar Memahami dan Membuat Surat Perjanjian, (Jakarta Selatan: Transmedia Pustaka, 2010), h. 13
57
sahnya;4) Bebas menentukan bentuk perjanjian; 5) Bebas menentukan terhadap hukum yang mana perjanjian itu akan tunduk b. Asas konsensualisme Perjanjian dapat lahir, terjadi, timbul dan berlaku sejak saat tercapainya kata sepakat antara para pihak tanpa perlu adanya formalitas tertentu. Asas ini disimpulkan dari kata “perjanjian yang dibuat secara sah” dalam pasal 1338 ayat (1) jo pasal 1320 angka 1 KUH Perdata. c. Asas Pacta Sunt Servanda Asas ini disebut sebagai asas kepastian hukum karena perjanjian yang dibuat secara sah mengikat sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya. Asas ini disimpulkan dari kata “berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya” dalam pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata. d. Asas Iktikad Baik Asas ini diatur dalam pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata yang berbunyi “ Perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik”. Asas ini ada dua yaitu subjektif dan objektif. Asas iktikad baik subjektif adalah kejujuran pada diri seseorang atau niat baik yang bersih dari para pihak, sedangkan asas iktikad baik objektif adalah pelaksanaan perjanjian itu harus mematuhi peraturan yang berlaku serta mengindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan.
58
Dalam konteks hukum Islam juga mengenal asas-asas hukum perjanjian, adapun asas-asas itu adalah sebagai berikut:64 a. Al-hurriyah (kebebasan) Asas ini merupakan prinsip dasar dalam hukum perjanjian Islam, dalam artian para pihak bebas membuat suatu perjanjian atau akad, bebas menentukan objek perjanjian dan bebas menentukan dengan siapa ia akan membuat perjanjian, serta bebas menentukan bagaimana cara menentukan penyelesaian dikemudian hari. Asas kebebasan berkontrak di dalam hukum Islam dibatasi oleh ketentuan syariah Islam, dalam membuat perjanjian tidak boleh ada paksaan, kekhilafan, dan penipuan. b. Al-musawah (persamaan atau kesetaraan). Asas ini mengandung pengertian bahwa pihak-pihak mempunyai kedudulan yang sama, sehingga dalam menentukan term and condition dari suatu akad/perjanjian setiap pihak mempunyai kesetaraan atau kedudukan yang seimbang. c. Al-`adalah (keadilan). Pelaksanaan asas ini dalam suatu perjanjian meuntut para pihak untuk melakukan yang benardalam pengungkapan kehendak dan keadaan, memenuhi semua kewajibannya. Perjanjian harus senantiasa mendatangkan keuntungan yang adil dan seimbang, serta tidak boleh mendatangkan kerugian bagi salah satu pihak. 64
Abdul Ghafur Anshori, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian Islam Di Indonesia, ( Yogyakarta : Citra Media. 2006) h. 22-23
59
d. Ar-ridha (kerelaan). Asas ini menyatakan bahwa segala transaksi yangdilakukan harus atas berdasarkan kerelaan masing-masing pihak, haurs didasarkan pada kesepakatan bebas dari para pihak dan tidak boleh ada unsur paksaan, tekanan,penipuan, e. Ash-shidiq (kebenaran dan kejujuran). Bahwa di dalam Islam setiap orang dilarang melakukan kebohongan dan penipuan, kerena dengan adanya penipuan sangat berpengaruh dalam keabsahan perjanjian, perjanjian yang didalamnya mengandung unsur kebohongan memberikan hak kepada pihak lain untuk menghentikan proses pelaksanaan perjanjian tersebut. f. Al-kitabah (tertulis). Bahwa setiap perjanjian hendaknya dibuat secara tertulis, untuk kepentingan pembuktian dikemudian hari. 6. Murâbahah dalam Fatwa Dewan Syari’ah Nasional (DSN) a. Fatwa DSN-MUI tentang Murâbahah: 1) Fatwa DSN No. 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang Murâbahah. 2) Fatwa DSN No. 13/DSN-MUI/IX/2000 tentang Uang Muka dalam Murâbahah. 3) Fatwa
DSN
No.
16/DSN-MUI/IX/2000
tentang
Diskon
Murâbahah. 4) Fatwa
DSN
No.
23/DSN-MUI/III/2000
Pelunasan dalam Murâbahah.
tentang
Potongan
60
7. Konsep Ija>rah a. Pengertian Ija>rah Al-ija>rah berasal dari kata al-ajru yang arti menurut bahasanya ialah al-„iwadh yang arti dalam bahasa Indonesianya adalah ganti dan upah.65 Al-ija>rah merupakan salah satu bentuk kegiatan muamalah dalam memenuhi keperluan hidup manusia, seperti sewamenyewa, kontrak atau menjual jasa perhotelan dan lain-lain.66 Sedangkan menurut terminologi, ada bebrapa definisi al-Ija>rah yang dikemukakan para ulama fiqh, antara lain: 1) Menurut Ulama Hanafiyah bahwa ija>rah ialah :67
عقد ٌفٍد تملك منفعت معلومت مقصودة مه العٍه المستأجزة بعوض Artinya : “Akad untuk membolehkan pemilikan manfaat yang diketahui dan disengaja dari suatu zat yang disewa dengan imbalan”. 2) Menurut Ulama Sha>fi‟i>yah bahwa ija>rah ialah :68
عقدعلى منفعت مقصودة معلومت مباحت قابت للبذل والإلباحت بعوض معلوم Artinya : “Transaksi terhadap suatu manfaat yang dituju, tertentu, bersifat mubah dan boleh dimanfaatkan dengan imbalan tertentu.” 65
Suhendi, Fiqh Muamalah,h. 114 Haroen, Fiqh Muamalah,h. 228. 67 Suhendi, FiqhMuamalah, h. 114. 68 Haroen, Fiqh Muamalah, h. 228. 66
61
3)
Menurut Ulama Ma>likiyah dan Hana>bilah bahwa ija>rah ialah :69
تملٍك منافع شٍئ مباحت مدة معلومت بعوض Artinya : “Menjadikan milik suatu kemanfaatan yang mubah dalam waktu tertentu dengan pengganti.” 4) Menurut Syaikh Syihab Al-Din dan Syaikh Umairah bahwa yang dimaksud ija>rah ialah :70
عقد على منفعت معلومت مقصودة قابلت للبذل واإلباحت بعوض وضعا Artinya : “Akad atas manfaat yang diketahui dan disengaja untuk member dan membolehkan dengan imbalan yang diketahui ketika itu”. 5) Menurut Sayyid Sabiq bahwa ija>rah ialah suatu jenis akad untuk mengambil manfaat dengan jalan penggantian.71 Dari definisi-definisi diatas, kiranya dapat ditarik kesimpulan bahwa ija>rah adalah menukar sesuatu dengan ada imbalannya. b. Dasar Hukum Ija>rah 1. Al-Qur‟an QS. Al-Baqarah : 23
69
Syafe‟I, Fiqh Muamalah,h. 122. Suhendi, Fiqh Muamalah, h.114. 71 Suhendi, Fiqh Muamalah.,h. 115. 70
62
Artinya: “Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al Quran yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal Al Quran itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar.”72 QS. At-Thalaq : 6
Artinya : “Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, Maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu, Maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan Maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.”73 2. Al-Sunnah Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari „Amr alNaqid dari Sufyan Idn „Uyaynah.
72
Departemen Agama RI, al-Qur‟a>n Wakaf, Da‟wah dan Irsyad Kerajaan Saudi Arabia, Mujama‟ Malik Fahd Li Thiba‟at Mus}af Asysyarif (Jakarta: Lajnah Pentashih Mushaf AlQur‟an , 1990),h. 4. 73 Departemen Agama RI, al-Qur‟a>n Wakaf, Da‟wah dan Irsyad Kerajaan Saudi Arabia, h.558.
63
حكقا ملحاثحك مل كج ملا ل ملع حم ملعل ملحيي ملا لمل،حاثحك ملعمنو ملا ا عملا لمل ااجملاقتلمل حكمل،قيمل لهملمسعمل، ،املعلملححش مملا حكمل امل، ملع ملاجمل،ىملحق ملقكلململ حكملل نىملاال،نملااللاك مل،وهل مل امل نمبكمل نك مل املومل ملختنجمل امل حهكلكملعلملا مل ملاحهكلك مل،ت،واإكملا Artinya: “Telah bercerita kepada kami Amr al-Naqid, telah bercerita kepada kami Sufyan Ibn‟ Uyaynah dari ayahnya Ibn Sa‟id dari Hanzalah al-Zuraqi bahwasannya Ia mendengar Rafi‟ Ibn Khadij berkata “Kami adalaha orang yang paling banyak kebunnya dari orang-orang Anshor, kemudian dia berkata “Dahulu kami menyewa tanah dengan membayar dari bagian tanaman ini maka kemudian terkadang sebagian dari itu menghasilkan dan sebagian yang lain tidak keluar hasilnya maka kemudian Rasulullah melarang kami tentang hal itu, kemudian kami membayarnya dengan uang perak maka Rasulullah tidak melarangnya.”74 Dan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim yang artinya sebagai berikut: “Rasulullah saw. berbekam, lalu beliau membayar upahnya kepada orang yang membekamnya.” (HR. al-Bukhari, Muslim, Ahmad ibn Hanbal)75. c. Rukun dan Syarat ija>rah Rukun-rukun dan syarat ija>rah adalah sebagai berikut :76 1) Mu‟jir dan Musta‟jir, yaitu orang yang melakukan akad sewamenyewa atau upah-mengupah. Mu‟jir adalah orang yang memberikan upah dan yang menyewakan, sedangkan musta‟jir 74
Muslim, Sahih Muslim Terjemahan Adib Bishri Musthofa, Jilid III (Semarang: Thaha Putra, t.t),h 39. 75 Muslim, Sahih Muslim Terjemah, h. 51. 76 Suhendi, Fiqh Muamalah,h. 117.
64
adalah orang yang menerima upah untuk melakukan sesuatu dan menyewa sesuatu. Disyaratkan pada mu‟jir dan musta‟jir adalah baligh, berakal, cakap melakukan tasharruf, dan saling meridhai. 2) S}i>ghat ija>b qabu>l antara mu‟jir dan musta‟jir, ija>b qabu>l sewa-menyewa dan upah-mengupah. Ija>b qabu>l sewamenyewa misalnya “Aku sewakan mobil ini kepadamu tiap hari seharga Rp.100.000”, maka musta‟jir menjawab “Aku terima sewa mobil tersebut harga demikian setiap hari”. 3) Ujrah (upah), disyaratkan diketahui jumlahnya oleh kedua pihak, baik dalam sewa-menyewa atau upah-mengupah.77 4) Barang yang disewakan atau sesuatu yang dikerjakan dalam upah-mengupah, disyaratkan ada barang yang disewakan beberapa hal sebagai berikut : a) Hendaklah barang yang menjadi objek akad sewa-menyewa dan upah-mengupah dapat dimanfaatkan kegunaannya. b) Hendaklah barang yang menjadi objek akad sewa-menyewa dan upah-mengupah dapat diserahkan kepada penyewa dan pekerja berikut kegunaannya (khusus dalam sewa-menyewa). c) Manfaat dari benda yang disewa adalah perkara yang mubah (boleh)
menurut
(diharamkan).
77
Suhendi, Fiqh Muamalah, h. 118.
syari‟at
bukan
hal
yang
dilarang
65
d) Benda yang disewakan disyaratkan kekal „ain (zat)-nya hingga waktu yang ditentukan menurut perjanjian akad.78 5) Pembayaran Upah dan Sewa Jika ijara>h itu suatu pekerjaan, maka kewajiban pembayaran upahnya pada waktu berakhirnya pekerjaan. Bila tidak ada pekerjaan lain, jika akad sudah berlangsung dan tidak disyaratkan
mengenai
pembayaran
dan
tidak
ketentuan
penanggunya, menurut Abu Hanifah wajib diserahkan upahnya secara berangsur
sesuai dengan manfaat yang diterimanya.
Menurut Imam Sha>fi‟i> dan Ahmad, sesungguhnya ia berhak dengan akad itu sendiri. Jika mu‟jir menyerahkan zat benda yang disewa kepada musta‟jir, maka ia berhak menerima bayarannya karena penyewa (musta‟jir) sudah menerima kegunaan. Hak menerima upah bagi musta‟jir adalah sebagai berikut: a) Ketika pekerjaan selesai dikerjakan, beralasan kepada hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah,
أعطوااألجٍز أجزه قبل ان ٌجف عزقو Artinya: “Berikanlah upah sebelum keringat pekerja itu kering”. b) Jika menyewa barang, uang sewaan dibayar ketika akad sewa, kecuali bila dalam akad ditentukan lain, manfaat
78
Suhendi, Fiqh Muamalah, h. 118.
66
barang yang diijarahkan mengalir selama penyewaan berlangsung.79
\
79
Suhendi, Fiqh Muamalah,h. 121.
BAB III METODE PENELITIAN Dalam penelitian dibutuhkan suatu metode yang memegang peranan penting untuk mencapai suatu tujuan. Yang dimaksud dengan metode penelitian adalah cara-cara melaksanakan penelitian (meliputi kegiatan-kegiatan mencari, mencatat, merumuskan, menganalisis dan menyusun laporan) berdasarkan faktafakta atau gejala-gejala secara ilmiah.80 Adapun dalam penelitian ini menggunakan beberapa metode penelitian sebagai berikut: A. Jenis Penelitian Berdasarkan judul dan permasalahan yang diangkat oleh peneliti, maka jenis penelitian ini adalah penelitian yuridis empiris, yang mana penelitian empiris digunakan untuk menganalisis hukum yang dilihat sebagai perilaku masyarakat yang berpola dalam kehidupan masyarakat yang selalu berinteraksi dan berhubungan dalam aspek kemasyarakatan.81 Oleh karenanya, selanjutnya penelitian ini disebut sebagai Penelitian Hukum Sosiologis (Socio legal research).82 Penelitian ini menggunakan data dari wawancara dan dokumentasi untuk menganalisa kasus tentang praktek kredit kepemilikan rumah (KPR), yaitu dengan pisau analisis Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang akad murabahah serta melalui kajian-kajian hukum Islam. 80
Kholid Narbukoi dan Abu Achmadi, Metodologi Penelitian: Memberikan Bekal Teoritis Pada Mahasiswa Tentang Metode Penelitian Serta Diharapkan Dapat Melaksanakan Penelitian Dengan Langkah-langkah Yang Benar (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), h. 2. 81 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003), h. 43 82 Soerjono Soekamto mengemukakan bahwa terdapat dua macam penelitian hukum ditinjau dari tujuan penelitian, yaitu Penelitian Hukum Normatif dan Penelitian Hukum Sosiologis atau Empiris. Lihat Soerjono Soekamto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: UI Press, 1986), h. 51.
67
68
B. Pendekatan Penelitian Peneliti menggunakan metode pendekatan kualitatif sebagai proses penelitan yang menghasilkan data deskriptif analitik berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang atau perilaku yang diamati. Mengingat bahwa data deskriptif adalah suatu metode dalam meneliti status kelompok manusia, suatu objek, suatu kondisi suatu sistem pemikiran ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang.83 C. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Bank Rakyat Indonesia Kantor Cabang Mataram. Peneliti dalam mendapatkan data, baik data sekunder, primer dan tersier. Untuk menjawab permasalahan yang berkaitan dengan praktek kredit pemilikan rumah (KPR) perspektif hukum Islam. D. Sumber Data Data adalah keterangan atau suatu bahan nyata yang dapat dijadikan dasar kajian (analisis atau kesimpulan).terdapat dua jenis data dalam penelitian ini, yaitu: 1. Data Primer Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari penelitian lapangan, diamati dan dicatat untuk pertama kalinya. Data primer merupakan data utama yang yang berupa kata-kata dan tindakan orang-orang yang diamati dan di wawancarai, dalam hal ini yang menjadi data primer adalah para kreditor dan Debitor dalam praktek kepemilikan rumah (KPR) .
83
Moh.Nazir, Metode Penelitian (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2003), h. 68
69
2. Data Sekunder Data sekunder merupakan data yang diperlukan untuk melengkapi data primer. Seperti dikatakan oleh Winarno Surachmad bahwa data sekunder merupakan data yang diperoleh dari bukan sumber utama, melainkan sudah dikumpulkan pihak-pihak lain dan sudah diolah.84 Sehingga data sekunder merupakan data seperti hasil karya ilmiah para sarjana, hasil penelitian, bukubuku, majalah, internet, dan makalah. Tulisan-tulisan berupa artikel yang berkaitan dengan materi penelitian. Selain dari hasil karya orang lain yang sudah diolah, data primer disini juga berupa hasil wawancara dengan masyarakat setempat yang mengetahui terhadap kasus praktek kredit kepemilikan rumah (KPR) di Bank Rakyat Indonesia Syariah Kantor Cabang Mataram. E. Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data merupakan teknik yang digunakan untuk mengumpulkan data dari salah satu atau beberapa sumber data yang telah ditentukan. Dalam penelitian ini digunakan dua jenis metode pengumpulan data, antara lain: 1. Wawancara Menurut Soerjono Soekanto wawancara/interview adalah suatu proses memperoleh informasi untuk tujuan tertentu dengan menggunakan metode dialogis, guna mendapatkan deskripsi tentang suatu hal.85 Teknik wawancara ini bertujuan untuk mendapatkan informasi mengenai hal yang berkaitan dengan praktek kepemilikan rumah (KPR) yaitu dengan menggali informasi kepada 84
Winarno Surachmad, Dasar dan Tehnik Reseach: Pengantar Metodologi Ilmiyah (Bandung: Tarsito, 1975), h. 156 85 Soerjono Soekanto, Pengantar PenelitianHukum , h. 24
70
kreditor atau debitur serta masyarakat setempat yang mengetahui terhadap kasus tersebut. Adapun jenis wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah semi terstruktur. Dalam
hal
ini
mula-mula
interviwer
menanyakan
serentetan
pertanyaan yang sudah tersrtuktur, kemudian satu persatu diperdalam guna mengorek keterangan lebih jauh.86 Jenis
wawancara
semi
terstruktur
ini
digunakan oleh peneliti agar dalam proses wawancara nantinya peneliti dapat memperoleh jawaban yang
lebih luas dari
informasi yang diberikan
oleh
responden. Wawancara semi terstruktur ini digunakan jika dalam proses wawancara ditemukan pertanyaan baru dari adanya statement responden atau ada pertanyaan yang tidak terdapat dalam pedoman wawancara. 2. Dokumentasi Dokumentasi merupakan proses pengumpulan data dengan cara mengambil data dari dokumen yang merupakan suatu pencatatan formal dengan bukti otentik. Data-data tersebut bisa berupa Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional, Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, buku-buku tentang muamalah, serta buku-buku lain yang berkaitan dengan tema yang diambil. F. Metode Analisis Data Metode analisis data merupakan proses pengorganisasian dan pengurutan data dalam pola, kategori dan uraian dasar, sehingga akan dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data. Karena dalam penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif maka metode yang tepat
86
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek, h. 227
71
untuk menganalisis data ini menggunakan metode deskriptif. Yaitu, data-data yang telah dikumpulkan dijelaskan atau dideskripsikansehingga dapat lebih mudah dipahami. Sebelum mendiskripsikan hasil penelitian, terlebih dahulu dilakukan pengelolaan data dengan tahap-tahap seperti pemeriksaan data (editing). Klasifikasi data, verifikasi data, analisis atau pengelolaan dan kesimpulan. Setelah melewati tahapan-tahapan tersebut, data diuraikan dalam bentuk kalimat yang baik dan benar, sehingga mudah dibaca dan diberi arti (interpretasi), karena data yang terkumpul berupa kalimat pernyataan dan berupa informasi, hubungan antar variabel tidak dapat diukur dengan angka, dan sampel lebih bersifat non probabilitas (ditentukan secara pasti/purposive). Untuk mendiskripsikan hasil penelitian, peneliti melakukan pengelolalan data dengan tahap-tahap sebagai berikut: 1. Tahap pemeriksaan data (editing) Pemeriksaan data merupakan tahapan pemeriksaan kembali terhadap bahan hukum yang telah diperoleh terutama dari kelengkapannya, kejelasan makna, kesesuaian serta relevansinya dengan kelompok lain.87 Pemeriksaan
kembali
terhadap
data-data
yang
telah
diperoleh
dimaksudkan untuk mengetahui apakah data tersebut sudah cukup baik dan dapat segera dipersiapkan untuk keperluan proses berikutnya.88 Pada tahapan ini datadata yang telah diperoleh baik melalui wawancara dengan pihak Bank Rakyat Indonesia Syariah Kantor Cabang Mataram, dokumentasi serta bahan-bahan 87
Saifullah, Konsep Dasar Metode Penelitian Dalam Proposal Skripsi Dalam skripsi Muhammad hatta satria Fenomena Gaden Sawah Di Desa Pungpungan Kecamatan Kalitudu Kabupaten Bojonegoro Perspektif Hukum Islam, 2012. 88 Koentjaraningrat,Metode-Metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1997), h. 270
72
kepustakaan yang berkaitan dengan tema dari penelitian ini dapat mempermudah proses-proses selanjutnya untuk mengolah data. 2. Tahap pengklasifikasian data (classifying) Kalsifikasi data merupakan penglompokan atau penyusunan terhadap data-data yang telah diperoleh terhadap datat-data yang diperoleh baik dari informan maupun data-data yang diperoleh dari dokumentasi kedalam pola tertentu agar lebih mudah dalam melakukan pembahasan terhadap penelitian yang dilakukan. Tahap ini bertujuan untuk memilih data yang diperoleh dengan permasalahan yang dipecahkan, dan membatasi beberapa data yang seharusnya tidak dicantumkan dan dipakai untuk penelitian. 3. Tahap analisis data Tahap analisis data merupakan tahap untuk menganalisa data mentah yang diperoleh dari informan untuk dipaparkan kembali kedalam bahasa yang lebih mudah dicerna dan dipahami. Pada tahapan ini dilakukan penafsiran data berdasarkan pendekatan yang dilakukan. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan sifat deskriptif, tentang praktek kredit pemilikan rumah (KPR) di Bank Rakyat Indonesia Kantor Cabang Mataram, dari lapangan dideskripsikan pada paparan data dan langsung dianalisis. Pada tahapan ini juga digunakan studi kepustakaan yang berupa referensi buku maupun maupun dokumen lain yang berkaitan dengan praktek kredit kepemilikan rumah (KPR) sebagai penunjang analisis agar diperoleh hasil yang lebih rinci dan baik sehingga dapat lebih mudah dipahami.
73
4. Kesimpulan Setelah melewati beberapa proses tersebut diatas selanjutnya peneliti menarik beberapa point untuk menemukan jawaban atas pertanyaan yang ada
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Bank Rakyat Indonesia Syariah Berawal dari akuisisi PT. Bank Rakyat Indonesia (persero) Tbk., terhadap Bank Jasa Arta pada 19 Desember 2007 dan setelah mendapat izin dari Bank Indonesia pada 16 Oktober 2008 melalui suratnya 10/67/KEP.GBI/DpG/2008, maka pada tanggal 17 November 2008 PT. Bank Rakyat Indonesia Syariah secara resmi beroperasi. Kemudian PT. Bank BRI Syariah merubah kegiatan usaha yang semula beroperasional secara konvensional, kemudian diubah menjadi kegiatan perbankan berdasarkan prinsip syariah Islam.89 Dua tahun lebih PT. Bank BRI Syariah hadir mempersembahkan sebuah bank ritel modern terkemuka dengan layanan finansial sesuai kebutuhan nasabah dengan jangkauan termudah untuk kehidupan lebih bermakna. Melayani nasabah dengan pelayanan prima (service excellence) dan menawarkan beragam produk yang sesuai harapan nasabah dengan prinsip syariah. Kehadiran PT. Bank BRI Syariah di tengah-tengah industri perbankan nasional dipertegas oleh makna pendar cahaya yang mengikuti logo perusahaan. Logo ini menggambarkan keinginan dan tuntutan masyarakat terhadap sebuah bank modern sekelas PT. BRI Syariah yang mampu melayani masyarakat dalam kehidupan modern. Kombinasi warna yang digunakan merupakan turunan dari warna biru dan putih sebagai benang merah dengan brand PT.Bank Rakyat Indonesia (persero) Tbk.
89
Dokumentasi. BRI Syari‟ah cabang Mataram 15 april 2016
74
75
Aktvitas PT. Bank BRI Syariah semakin kokoh setelah pada 9 Desember 2008 ditandatangani akta pemisahan Unit Usaha Syariah PT. Bank Rakyat Indonesia (persero) Tbk, untuk melebur ke dalam PT. BRISyariah (proses spin off) yang berlaku efektif pada tanggal 1 januari 2009. Penandatanganan dilakukan oleh Bapak sofyan Bahir selaku Direktur Utama PT. Bank Rakyat Indonesia (persero), Tbk., dan Bapak Ventje Rahardjo selaku Direktur Utama PT. Bank BRI Syari‟ah.
Kredit Pemilikan Rumah (KPR) adalah suatu fasilitas kredit yang
diberikan oleh perbankan kepada para nasabah perorangan yang akan membeli atau memperbaiki rumah. Di Indonesia, saat ini dikenal ada 2 jenis KPR:90 1. KPR Subsidi, yaitu suatu kredit yang diperuntukan kepada masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah dalam rangka memenuhi kebutuhan perumahan atau perbaikan rumah yang telah dimiliki. Bentuk subsidi yang diberikan berupa: Subsidi meringankan kredit dan subsidi menambah dana pembangunan atau perbaikan rumah. Kredit subsidi ini diatur tersendiri oleh pemerintah, sehingga tidak setiap masyarakat yang mengajukan kredit dapat diberikan fasilitas ini. Secara umum batasan yang ditetapkan oleh pemerintah dalam memberikan subsidi adalah penghasilan pemohon dan maksimum kredit yang diberikan.
2. KPR Non Subsidi, yaitu suatu KPR yang diperuntukkan bagi seluruh masyarakat. Ketentuan KPR ditetapkan oleh bank, sehingga penentuan besarnya kredit maupun suku bunga dilakukan sesuai kebijakan bank yang bersangkutan.
90
Hasil wawancara. Lina. Account Officer.BRI Syariah Knator Cabang Mataram
76
B. Praktek Pembiayaan Murâbahah pada Produk Kredit Pemiikan Rumah Syariah di Bank Rakyat Indonesia Syariah Kantor Cabang Mataram Salah satu produk pembiayaan yang telah dikembangkan oleh bank syariah adalah pembiayaan rumah, atau yang sering dikenal dengan istilah KPR syariah. Pembiayaan Pemilikan Rumah kepada perorangan untuk memenuhi sebagian atau keseluruhan kebutuhan akan rumah (tempat tinggal) dengan mengunakan prinsip jual beli (Murâbahah) di mana pembayarannya secara angsuran dengan jumlah angsuran yang telah ditetapkan di muka dan dibayar setiap bulan. Harga jualnya biasanya sudah ditambah dengan margin keuntungan yang disepakati antara bank syariah dan pembeli.91
Harga jual rumah ditetapkan di awal ketika nasabah menandatangani perjanjian pembiayaan jual beli rumah,hal ini dilakukan di hadapan notaris. dengan angsuran tetap hingga jatuh tempo pembiayaan. Dengan adanya kepastian jumlah angsuran bulanan yang harus dibayar sampai masa angsuran selesai, nasabah tidak akan dipusingkan dengan masalah naik/turunnya angsuran ketika suku bunga bergejolak. Nasabah juga diuntungkan ketika ingin melunasi angsuran sebelum masa kontrak berakhir, karena bank syariah tidak akan mengenakan pinalti. Bank syariah tidak memberlakukan sistem pinalti karena harga KPR sudah ditetapkan sejak awal.
Pembiyaan rumah ini tidak hanya untuk pembelian rumah, namun juga bisa untuk renovasi dan pembelian tanah. membangun atau merenovasi rumah, dan 91
Hasil wawancara dengan salah manager bagian KPR BRI Cabang Mataram. 15 April 2016
77
untuk pengalihan pembiayaan KPR dari bank lain. Perbedaan pokok antara KPR konvensional dengan syariah terletak pada akadnya. 92
Pada bank konvensional, kontrak KPR didasarkan pada suku bunga tertentu yang sifatnya bisa fluktuatif, sedangkan KPR Syariah bisa dilakukan dengan beberapa pilihan akad alternatif sesuai dengan kebutuhan nasabah, di antaranya KPR iB Jual Beli (skema murâbahah), KPR iB sewa (skema ijarah), KPR iB Sewa Beli (skema Ijarah Muntahia Bittamlik-IMBT), dan KPR iB Kepemilikan Bertahap (musyarakah mutanaqisah). Namun yang banyak ditawarkan oleh bank syariah adalah skema jual beli (skema murâbahah).
1.
Analisis kredit kepemilikan rumah (KPR) melalui akad pembiayaan Murâbahah Dalam Perspektif Hukum Islam Konsep kredit kepemilikan rumah (KPR) merupakan produk Barat dimana
transaksi pembelian rumah dengan perjanjian hutang piutang. Caranya, pihak yang hendak membeli rumah mengajukan proposal kepada salah satu bank untuk menjaminnya sejumlah uang seharga rumah tersebut. Pihak Bank membayarkan biaya rumah tersebut bagi si pembeli, dan bank menarik pembayarannya secara kredit bulanan dari si pembeli dengan bunganya, yang jumlahnya pada akhirnya nanti bisa mencapai tiga kali lipat atau lebih sesuai dengan lamanya pembayaran. Para ulama ahli fatwa telah sepakat bahwa pembelian rumah melalui pendanaan bank (perjanjian hutang) itu hukumnya haram, karena dalam perjanjian tersebut
92
Hasil wawancara dengan manager marketing pada tanggal 15 april 2016.
78
dianggap sebagai pinjaman berbunga yang jelas sekali mengandung riba.93 Transaksi ini jelas merugikan pihak pembeli karena dalam pembayaran angsuran setiap bulan bergantung pada fluktuasi suku bunganya. Konsep kredit rumah ini masih banyak diterapkan di bank-bank konvensional di Indonesia.94 Perbankan Islam kemudian mengadopsi konsep kredit rumah ini kedalam jenis produk pendanaan dengan akad murâbahah.
Pihak bank membeli rumah yang diperlukan nasabah dan kemudian menjualnya kepada nasabah sebesar harga beli ditambah dengan margin keuntungan yang disepakati oleh bank dan nasabah. Produk pembiayaan ini dikenal sebagai kredit rumah syariah. Fatwa DSN MUI No 4/DSN-MUI/IV/2000 telah menjamin keabsahan dan diperbolehkannya transaksi murâbahah, termasuk dalam hal ini pembiayaan rumah di bank Syariah.
2. Dasar Hukum Murâbahah
Akad jual beli yang diperbolehkan, hal ini berlandaskan atas dalil-dalil yang terdapat dalam al-qur‟an dan al-hadist. Di antara landasan syari‟ah yang memperbolehkan praktik akad jual beli murâbahah adalah sebagai berikut:
93
Ash-Shawi, Shalah dan al-Muslih, Abdullah. 2001. Fikih ekonomi Keuangan Islam. Jakarta: Darul Haq. h. 363. 94 Hasil wawancara dengan manager marketing Lita Febriana 15 April 2016
79
Artinya: “Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba (Q.S. Al-Baqarah: 275).95 Dalam ayat ini Allah mempertegas legalitas dan keabsahan jual beli secara umum, serta menolak dan melarang konsep ribawi. Berdasarkan ketentuan ini, jual beli murâbahah mendapat pengakuan dan legalitas dari syara‟ yang memperbolehkan dalam mengaplikasikan dalam kegiatan muamalah secara umum. Dalam praktek pembiayaan Bank Syari‟ah karena murâbahah ini merupakan salah satu produk dari suatu bank syari‟ah. “Dari Shuhaib ra: bahwa Rosulullah SAW bersabda tiga perkara yang didalamnya terdapat keberkahan yaitu (1) menjual secara kredit, (2) Muqaradhah, dan (3) mencampurkan tepung dengan gandum untuk kepentingan rumah bukan umum untuk dijual”. H.R Ibnu Majah. Hadis Nabi riwayat `Abd al-Raziq dari Zaid bin Aslam: “Rasulullah SAW. ditanya tentang „urban (uang muka) dalamjual beli, maka beliau menghalalkannya.” Dijelaskan dalam Kaidah fiqh: “Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.”
Kredit kepemilikan rumah haruslah terhindar dari praktek maisir (perjudian), gharar (ketidakjelasan), riba (tambahan), dan bahtil (ketidakadilan). Bank membeli barang yang diperlukan nasabah atas nama bank sendiri, dan pembelian ini harus sah dan bebas riba. Bank kemudian menjual barang tersebut kepada nasabah (pemesan) dengan harga jual senilai harga beli plus keuntungannya. Dalam kaitan ini Bank harus memberitahu secara jujur harga pokok barang kepada nasabah berikut biaya yang diperlukan. Nasabah kemudian 95
Muhammad Syafi‟e Antonio, Bank Syari‟ah dari teori ke praktek. (Jakarta:Gema Insani. 2001). h.102.
80
membayar harga barang yang telah disepakati tersebut pada jangka waktu tertentu yang telah disepakati.
Upaya untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan atau kerusakan akad tersebut, pihak bank dapat mengadakan perjanjian khusus dengan nasabah. Dalam bank konvensional, riba ditemui ketika nasabah meminjam uang untuk membeli rumah. Sedangkan pada bank syariah tidak meminjamkan uang tetapi menjual rumah tersebut kepada nasabah.96
Akad yang dipakai adalah jual dan beli. Ulama-ulama yang berkeberatan dengan praktek jual beli dengan kredit (murâbahah) adalah ulama-ulama yang bermahzab hanafi dan syafi‟i, mereka berpendapat bahwa pembelian dengan kredit adalah sebagai riba naziyah, yaitu berwujud tambahan yang dibebankan kepada pihak kreditur (orang yang berhutang), dan tentunya hal ini sangat memberatkan bagi pihak yang berhutang. Sedangkang ulama yang menyatakan bahwa pembelian dengan kredit dibolehkan antara lain seperti Imam Thawus, Al Hakam, Hammad, serta Yusuf Qardhawi dan kebanyakan ulama, asalkan perbedaan harga tunai dengan harga kredit tersebut tidak terpaut jauh sehingga memberatkan kreditur. Jual beli kredit diperbolehkan, sebab dengan pembelian kredit dapat meningkatkan meningkatkan kesejahteraan hidup seseorang, dan dapat memperlancar usahanya.
96
Muhammad.2002. Lembaga Kuangan Umat Kontemporer. Yogyakarta : UII Press. Hal 147
81
Hukum Islam memandang fenomena pembiayaan kredit pemilikan rumah (KPR) syariah sudah sesuai dengan syariat Islam, namun yang perlu diperhatikan adalah mengenai Margin flat, yang dapat mendatangkan manfaat, tetapi juga mendatangkan mudharat pada pihak nasabah. Margin flat akan memberikan keuntungan kepada nasabah pada saat suku bunga Bank Indonesia (BI) stabil sehingga kesepakatan pembiayaan tidak mengalami perubahan sampai akhir pembiayaan, jika terjadi keadaan sebaliknya akan berpengaruh terhadap nasabah.
C. Praktek Pembiayaan Murâbahah dalam Perspektif Hukum Islam 1. Akad dalam kredit pemilikan rumah (KPR) di BRI Syariah Cabang Mataram Menurut Deputi Gubernur Bank Indonesia, Maulana Ibrahim, prinsip yang digunakan untuk KPR syariah adalah Murâbahah, Istishna, Mudharabah, dan juga Musyarakah Mutanaqisah. Secara umum, akad yang sering digunakan dalam pembiayaan rumah ini antara lain adalah murâbahah (jual beli dengan marjin profit), terutama untuk rumah yang telah dibangun, dan akad istishna, yaitu pemesanan barang (rumah) dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati, serta pembayaran dengan nilai tertentu yang disepakati pula. Bisa pula menggunakan akad musyarakah mutanaqishoh. Pada akad ini, bank syariah dan nasabah berkontribusi modal dengan prosentase tertentu, dan nasabah kemudian membeli “saham/bagian” yang menjadi milik bank secara bertahap, sampai kepemilikan rumah tersebut sepenuhnya berada di tangan nasabah. KPR syariah dengan akad murâbahah adalah perjanjian jual beli antara bank dan nasabah, dimana bank membeli rumah yang diperlukan nasabah dan kemudian menjualnya
82
kepada nasabah sebesar harga beli ditambah dengan margin keuntungan yang disepakati oleh bank dan nasabah. Ada juga yang menambahkan akad bentuk lain, KPR iB sewa beli (Ijarah). Skema ini memberi pilihan kepada nasabah untuk menyewa rumah yang akhirnya dapat dimiliki hingga akhir masa sewa.
Skema ini, harga sewa ditentukan secara berkala berdasarkan kesepakatan antara bank dengan nasabah. Umumnya skema ini digunakan untuk pembiayaan KPR iB berjangka waktu panjang misalnya 15 tahun. Pada akhir tahun jatuh tempo, nasabah dapat membeli rumah yang disewa. Skema lain yang saat ini banyak diminati adalah skema KPR iB kepemilikan bertahap. Bank dan nasabah berserikat dalam kepemilikan rumah. Secara bertahap nasabah akan menambah porsi kepemilikannya melalui angsuran setiap bulannya, sementara bank secara bertahap mengurangi porsi kepemilikannya, sehingga di akhir periode rumah menjadi milik nasabah.
Berdasarkan aplikasi jual beli murâbahah pada bank BRI syariah Cabang Mataram di dasarkan pada Keputusan Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Peraturan Bank Indonesia (PBI). Menurut keputusan fatwa DSN Nomor 04/DSN-MUI/IV/2000 ketentuan murâbahah pada perbankan syariah adalah sebagai berikut (Dewan Syariah Nasional MUI dan Bank Indonesia.97
1. Bank dan nasabah harus melakukan akad murâbahah yang bebas riba. 2. Barang yang diperjual-belikan tidak diharamkan oleh syari‟ah Islam. 97
Hasil Dokumentasi Bank BRI Syari‟ag Cabang Mataram. 15 April 2016
83
3. Bank membiayai sebagian atau seluruh harga pembelian barang yang telah disepakati kualifikasinya. 4. Bank membeli barang yang diperlukan nasabah atas nama bank sendiri, dan pembelian ini harus sah dan bebas riba. 5. Bank harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian, misalnya jika pembelian dilakukan secara hutang. 6. Bank kemudian menjual barang tersebut kepada nasabah (pemesan) dengan harga jual senilai harga beli plus keuntungannya. Dalam kaitan ini bank harus memberitahu secara jujur harga pokok barang kepada nasabah berikut biaya yang diperlukan. 7. Nasabah membayar harga barang yang telah disepakati tersebut pada jangka waktu tertentu yang telah disepakati. 8. Untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan atau kerusakan akad tersebut, pihak bank dapat mengadakan perjanjian khusus dengan nasabah. 9. Jika bank hendak mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang dari pihak ketiga, akad jual beli murâbahah harus dilakukan setelah barang, secara prinsip, menjadi milik bank.
Ketentuan pelaksanaan pembiayaan murâbahah di perbankan syariah diatur berdasarkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) nomor 9/19/PBI/2007 jo Surat Edaran BI No. 10/14/DPbS tanggal 17 Maret 2008, sebagai berikut:98
98
Hasil dokumentasi Bank BRI Syari‟ah Cabang Mataram
84
1. Bank bertindak sebagai pihak penyedia dana dalam rangka membelikan barang terkait dengan kegiatan transaksi Murâbahah dengan nasabah sebagai pihak pembeli barang; 2. Barang adalah obyek jual beli yang diketahui secara jelas kuantitas, kualitas, harga perolehan dan spesifikasinya; 3. Bank wajib menjelaskan kepada nasabah mengenai karakteristik produk Pembiayaan atas dasar akad murâbahah, serta hak dan kewajiban nasabah sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai transparansi informasi produk Bank dan penggunaan data pribadi nasabah; 4. Bank wajib melakukan analisis atas permohonan Pembiayaan atas dasar Akad Murâbahah dari nasabah yang antara lain meliputi aspek personal berupa analisa atas karakter (Character) dan/atau aspek usaha antara lain meliputi analisa kapasitas usaha (Capacity), keuangan (Capital ), dan/atau prospek usaha (Condition); 5. Bank dapat membiayai sebagian atau seluruh harga pembelian barang yang telah disepakati kualifikasinya; 6. Bank wajib menyediakan dana untuk merealisasikan penyediaan barang yang dipesan nasabah; 7. Kesepakatan atas marjin ditentukan hanya satu kali pada awal Pembiayaan atas dasar Murâbahah dan tidak berubah selama periode Pembiayaan;
85
8. Bank dan nasabah wajib menuangkan kesepakatan dalam bentuk perjanjian tertulis berupa Akad Pembiayaan atas dasar Murâbahah; dan 9. Jangka waktu pembayaran harga barang oleh nasabah kepada Bank ditentukan berdasarkan kesepakatan Bank dan nasabah.
Atas dasar peraturan yang berkaitan dengan murâbahah
baik yang
bersumber dari Fatwa dewan syari‟ah Nasional (DSN) maupun Peraturan Bank Indonesia (PBI), perbankan syariah melaksanakan pembiayaan murâbahah. Namun demikian, dalam praktiknya tidak ada keseragaman model penerapan pembiayaan murâbahah karena beberapa faktor yang melatarbelakanginya. Ada beberapa tipe penerapan murâbahah dalam praktik perbankan syariah yang kesemuanya dapat dibagi menjadi tiga kategori besar, yaitu:99 1). Tipe Pertama penerapan murâbahah adalah tipe konsisten terhadap fiqih muamalah. Dalam tipe ini bank membeli dahulu barang yang akan dibeli oleh nasabah setelah ada perjanjian sebelumnya. Setelah barang dibeli atas nama bank kemudian dijual ke nasabah dengan harga perolehan ditambah margin keuntungan sesuai kesepakatan. Pembelian dapat dilakukan secara tunai (cash), atau tangguh baik berupa angsuran atau sekaligus pada waktu tertentu. Pada umumnya nasabah membayar secara tangguh. Untuk lebih jelasnya. 2). Tipe Kedua mirip dengan tipe yang pertama, tapi perpindahan kepemilikan langsung dari supplier kepada nasabah, sedangkan pembayaran dilakukan bank langsung kepada penjual pertama/supplier. Nasabah selaku
99
Hasil dokumentasi Bank BRI Syari‟ah Cabang Mataram
86
pembeli
akhir
menerima
barang
setelah
sebelumnya
melakukan
perjanjian murâbahah dengan bank. Pembelian dapat dilakukan secara tunai (cash), atau tangguh baik berupa angsuran atau sekaligus pada waktu tertentu. Pada umumnya nasabah membayar secara tangguh. Transaksi ini lebih dekat dengan murâbahah yang asli, tapi rawan dari masalah legal. Dalam beberapa kasus ditemukan adanya klaim nasabah bahwa mereka tidak berhutang kepada bank, tapi kepada pihak ketiga yang mengirimkan barang. Meskipun nasabah telah menandatangani perjanjian murâbahah dengan bank, perjanjian ini kurang memiliki kekuatan hukum karena tidak ada bukti bahwa nasabah menerima uang dari bank sebagai bukti pinjaman/hutang.Untuk mengindari kejadian seperti itu maka ketika bank syariah dan nasabah telah menyetujui untuk melakukan transaksi murâbahah maka bank akan mentransfer pembayaran barang ke rekening nasabah (numpang lewat) kemudian didebet dengan persetujuan nasabah untuk ditranfer ke rekening supplier. Dengan cara seperti ini maka ada bukti bahwa dana pernah ditranfer ke rekening nasabah. Namun demikian, dari perspektif syariah model murâbahah seperti ini tetap saja berpeluang melanggar ketentuan syariah jika pihak bank sebagai pembeli pertama tidak pernah menerima barang (qabdh) atas namanya tetapi langsung atas nama nasabah. Karena dalam prinsip syariah akad jual beli murâbahah harus dilakukan setelah barang, secara prinsip, menjadi milik bank . 3). Tipe Ketiga ini yang paling banyak dipraktekkan oleh bank syariah. Bank melakukan perjajian murâbahah dengan nasabah, dan pada saat yang sama mewakilkan (akad wakalah) kepada nasabah untuk membeli sendiri barang yang
87
akan dibelinya. Dana lalu dikredit ke rekening nasabah dan nasabah menandatangi tanda terima uang. Tanda terima uang ini menjadi dasar bagi bank untuk menghindari klaim bahwa nasabah tidak berhutang kepada bank karena tidak menerima uang sebagai sarana pinjaman. Tipe kedua ini bisa menyalahi ketentuan syariah jika bank mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang dari pihak ketiga, sementara akad jual beli murâbahah telah dilakukan sebelum barang, secara prinsip, menjadi milik bank. Berbagai tipe praktek jual beli murâbahah di atas dilatar belakangi motivasi yang bermacam-macam. Ada kalanya untuk lebih menyederhanakan prosedur sehingga bank tidak perlu repot-repot membeli barang yang dibutuhkan nasabah tetapi cukup dengan menunjuk atau menghubungi supplier agar menyediakan barang dan langsung mengirimkan ke nasabah sekaligus dengan atas nama nassabah (Tipe II). Atau dengan cara bank langsung memberikan uang ke nasabah kemudian nasabah membeli sendiri barang yang dibutuhkan dengan melaporkan nota pembelian kepada pihak bank (tipe III). Kedua cara tersebut sering dilakukan perbankan syariah untuk menghindari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai dua kali yang dinilai akan mengurangi nilai kompetitif produk bank syariah dibandingkan bank konvensional yang dikecualikan dari PPN. Ini terjadi karena dalam jual beli murâbahah tipe I, di mana bank terlebih dahulu akan membelikan barang yang dibutuhkan nasabah atas nama bank baru kemudian dijual ke nasabah secara murâbahah maka akan terjadi perpindahan kepemilikan dua kali, yaitu dari supplair ke bank dan dari bank ke nasabah. Melalui Peraturan Bank Indonesia (PBI) nomor 9/19/PBI/2007 jo Surat Edaran BI No. 10/14/DPbS tanggal 17 Maret
88
2008 yang menghapus keberlakuan PBI Nomor 7/46/PBI/2005 tentang Akad penghimpunan dan Penyaluran dana Bank Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah. Pelaksanaan di lapangan pembiayaan murâbahah semakin menempatkan bank syariah semata-mata lembaga intermediary yang bertindak sebagai penyedia dana bukan pelaku jual beli murâbahah. Hal ini ditegaskan dalam teks Surat Edaran BI No. 10/14/DPbS pada point III.3, bahwa ” Bank bertindak sebagai pihak penyedia dana dalam rangka membelikan barang terkait dengan kegiatan transaksi Murâbahah dengan nasabah sebagai pihak pembeli barang ”. Di lihat dari teks surat edaran ini, jelas ada upaya Bank Indonesia untuk menegaskan bahwa transaksi perbankan syariah yang didasarkan pada prinsip jual beli murâbahah tetap merupakan pembiayaan sebagaimana transaksi lainnya yang menggunakan akad mudharabah, musyarakah, salam, istishna, ijarah, dan ijarah muntahiya bit tamlik. 2. Penggunaan Akad Murâbahah pada Pembiayaan Kredit kepemilikan rumah (KPR) Murâbahah di Syariah Di BRI Syari‟ah Cabang Mataram Mekanisme pembiayaan murâbahah dapat digunakan untuk pengadaan barang, modal kerja, pembangunan rumah dan lain-lain. Berikut ini beberapa contoh aplikasi mekanisme pembiayaan murâbahah dalam perbankan syariah:100
100
Dokumen BRI Syari‟ah Cabang Mataram
89
a. Pengadaan Barang Transaksi ini dilakukan oleh bank syariah dengan prinsip jual beli murâbahah, seperti pengadaan sepeda motor, kulkas, kebutuhan barang untuk investasi untuk pabrik dan sejenisnya. Apabila seorang nasabah menginginkan untuk memiliki sebuah kulkas, ia dapat datang ke bank syariah dan kemudian mengajukan permohonan agar bank membelikannya. Setelah bank syariah meneliti keadaan nasabah dan menganggap bahwa ia layak untuk mendapatkan pembiayaan untuk pengadaan
kulkas,
bank
kemudiaan
membeli
kulkas
dan
menyerahkannya kepada pemohon, yaitu nasabah. Harga kulkas tersebut sebesar Rp. 4.000.000,- dan pihak bank ingin mendapatkan keuntungan sebesar RP. 800.000,-. Jika pembayaran angsuran selama dua tahun, maka nasabah dapat mencicil pembayarannya sebesar Rp. 200.000,- per bulan. Selain memberikan keuntungan kepada bank syariah, nasabah juga dibebani dengan biaya administrasi yang jumlahnya belum ada ketentuannya. Dalam praktiknya biaya ini menjadi pendapatan fee base income bank syariah. Biaya-biaya lain yang diharus ditanggung oleh nasabah adalah biaya asuransi, biaya notaris atau biaya kepada pihak ketiga.101 b. Modal Kerja (Modal Kerja Barang) Penyediaan barang persediaan untuk modal kerja dapat dilakukan dengan prinsip jual beli murâbahah. Akan tetapi, transaksi 101
Hasil wawancara Lina fitriana. 15 April 2016
90
ini hanya berlaku sekali putus, bukan satu akad dengan pembelian barang berulang-ulang. Sebenarnya, penyediaan modal kerja berupa uang tidak terlalu tepat menggunakan prinsip jual beli murâbahah. Transaksi pembiayaan modal kerja dalam bentuk barang atau uang lebih tepat menggunakan prinsip mudharabah (bagi hasil) atau musyarakah (penyertaan modal). Karena, jika pembiayaan modal kerja dalam bentuk uang menggunakan mekanisme murâbahah, maka transaksi ini sama dengan consumer finance (pembiayaan konsumen) dalam bank konvesional yang mengandung usur bunga. Transaksi dalam consumer finance menggunakan pinjam meminjam uang dan dalam murâbahah menggunakan transaksi jual beli.
c. Renovasi Rumah (Pengadaan Material Renovasi Rumah) Pengadaan material renovasi rumah dapat menggunakan mekanisme jual beli murâbahah. Barang-barang yang diperjualbelikan adalah segala bentuk barang yang dibutuhkan untuk renovasi rumah, seperti bata merah, genteng, cat, kayu dan lain-lain. Transaksi dalam pembiayaan ini hanya berlaku sekali putus, tidak satu akad dilakukan berulang-ulang. Adapun contoh perhitungan pembiayaan murâbahah adalah sebagai berikut: Tuan A, pengusaha toko buku, mengajukan permohonan pembiayaan murâbahah (modal kerja) guna pembelian bahan baku kertas, seniali Rp. 100 juta. Setelah dievaluasi bank
91
syariah, usahanya layak dan permohonannya disetujui, maka bank syariah akan mengangkat Tuan A sebagai wakil bank syariah untuk membeli dengan dana dan atas namanya kemudian menjual barang tersebut kembali kepada Tuan A sejumlah Rp 120 juta, dengan jangka waktu 3 bulan dan dibayar lunas pada saat jatuh tempo. Asumsi penetapan harga jual Rp. 120 juta telah dilakukan: (1) Tawar menawar harga jual antara Tuan A dengan bank syariah. (2) Harga jual yang disetujui, tidak akan berubah selama jangka waktu pembiayaan (dalam hal ini 3 bulan) walaupun dalam masa tersebut terjadi devaluasi, inflasi, maupun perubahan tingkat suku bunga bank konvensional di pasar.
3. Perbedaan Kredit Pemilikan Rumah (KPR) konvensional dan KPR Syariah Perbedaan pokok antara KPR konvensional dengan syariah terletak pada akadnya. Pada bank konvensional, kontrak KPR didasarkan pada suku bunga tertentu yang sifatnya bisa fluktuatif, sedangkan KPR Syariah bisa dilakukan dengan beberapa pilihan akad alternatif sesuai dengan kebutuhan nasabah. KPR konvesional akadnya adalah prinsip pinjam meminjam dengan bunga sebagai variabelnya. Di dalam transaksi ini jelas sekali terdapat unsur riba didalamnya, karena menggunakan sistem bunga yang fluktuatif dan meningkat seiring lamanya pelunasan hutang tersbut.
92
Transaksi ini hukumnya adalah haram dan sebaiknya ditinggalkan. Dalam bunga kredit pemilikan rumah (KPR), pihak Bank Konvensional hanya meminjamkan uang dan tidak memiliki rumah secara lahir, walau nantinya berhak menyitanya jika pihak yang berhutang tidak mampu membayarnya. Dengan KPR syariah yang diberikan oleh bank syariah dapat menghindari resiko naik turunnya bunga. KPR syariah tidak mengenal bunga namun memakai harga penjualan rumah yang disepakati, ditambah dengan keuntungan bagi bank yang berkisar 15-20% per tahun. Secara hitungan matematis, KPR syariah sebenarnya tidak berbeda jauh dalam jumlah cicilan bulanan KPR konvensioanal, walaupun umumnya sedikit lebih mahal. Namun keuntungan menggunakan KPR syariah adalah jika suku bunga naik bergejolak, karena sudah sepakat mengenai harga jual dan keuntungann pertahun di awal perjanjian, nasabah selamanya akan mencicil sejumlah yang disepakati dari awal hingga berakhirnya masa jangka waktu kredit. Status Bank Syari‟ah dalam pembiayaan KPR adalah sebagai pedagang, karena Bank membeli langsung dari pihak developer secara penuh. Setelah rumah tersebut dibeli oleh Bank Syari‟ah, secara otomatis rumah tersebut menjadi milik Bank secara penuh. Kemudian kita nasabah membelinya dari Bank secara berangsur Sebagian bank syariah ada yang menjadikan bunga sebagai “benchmark” marjin profit yang diambilnya. Sesungguhnya tujuan bank syariah itu agar marjin profit yang diambilnya bisa tetap kompetitif dan tidak lebih mahal, sehingga bisa bersaing dengan “bunga” yang
93
ditawarkan oleh bank konvensional. Kalau terlalu tinggi marjinnya, nasabah akan lari, dan kalau terlalu rendah, bank syariah bisa merugi.
Fungsinya hanya sebagai benchmark, tidak lebih dari itu. Proses akad/transaksinya tetap berbeda. Pada KPR bank syariah, ada 3 pihak yang terlibat yaitu nasabah, bank dan pihak developer. Dalam prosesnya, pihak bank dianggap membeli properti dari developer kemudian menjualnya kembali kepada nasabah dengan margin tertentu dan dibayar secara angsuran. Jadi pada transaksi ini skema yang terjadi antara nasabah dan pihak bank adalah skema jual beli secara leasing. Dalam jual beli, pihak penjual diperbolehkan mengambil untung dengan besaran tertentu atau yang kita sebut dengan margin. Dengan demikian pada skema ini tidak ada unsur riba di dalam nya. Dalam memperhitungkan besarnya marjin profit
maupun bagi
hasil, ada beberapa variabel
yang
diperhitungkan oleh pihak bank syariah. Variabel-variabel tersebut antara lain adalah biaya tenaga kerja dan operasional, biaya bagi hasil untuk nasabah penabung, deviden, dan lain-lain. Ilustrasi, harga beli rumah sebesar Rp 100 juta. Untuk jangka waktu 5 tahun, bank syariah misalnya akan mengambil keuntungan sebesar Rp 50 juta sehingga harga jual rumah kepada nasabah ditetapkan sebesar Rp 150 juta. Dengan demikian, angsuran yang harus dibayar nasabah per bulan adalah Rp 150 juta dibagi 60 bulan atau sekitar Rp 2,5 juta per bulan. Konsep pembiayaan Islam menekankan bahwa bank tidak dapat memastikan keuntungan seperti halnya bank konvensional yang menentukan pendapatan bunga deposito
94
bunga di muka. Bank juga tidak dapat menanggung risiko atas satu pihak (debitur) saja melainkan pihak pemilik dana (kreditur) juga ikut menanggung resiko (loss sharing). Oleh karena itu konsep pembiayaan Islam tidak membenarkan adanya pihak yang lepas tangan terhadap resiko yang terjadi. Dengan demikian konsep resiko dalam pembiayaan Islam ini didistribusikan kepada pelaku-pelaku ekonomi. Pembiayaan KPR syariah sebagaimana pembiayaan pada produkproduk perbankan syariah lain didalamnya terdapat akad tertulis yang merupakan perjanjian kesepakatan antara kedua belah pihak mengenai produk pembiayaan yang diingigkan termasuk juga didalamnya jumlah nominal,
persyaratan
peminjaman,
waktu
pembayaran
dan
cara
pembayaran dalam pembiayaan Konsep pembiyaan murâbahah pada KPR syariah di perbankan Islam mencoba membatu masyarakat yang berpenghasilan rendah ataupun terbatas untuk mendapatkan sebuah rumah hunian tempat tinggal yang layak. Jangka waktu pembayaran KPR syariah yang ditawarkan perbankan syariah umumnya sangat panjang sekitar 1015 tahun tergantung komoditas yang dibeli.
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Bertitik tolak dari seluruh pembahasan dan analisis yang di uraikan pada bab-bab sebelumnya, dapat ditarik kesimpulan yang sesuai dengan maksud dan tujuan dari penulisan skripsi ini, yakni:
1. Penerapan murâbahah dalam praktik (Prosedur maupun mekanisme) bank BRI syariah Cabang Mataram terbagi kedalam beberapa tipe yang kesemuanya dapat dibagi menjadi tiga kategori besar, yaitu tipe konsisten terhadap fiqih muamalah, Tipe Kedua mirip dengan tipe yang pertama, tapi perpindahan kepemilikan langsung dari supplier kepada nasabah, sedangkan pembayaran dilakukan bank langsung kepada penjual pertama/supplier. Nasabah selaku pembeli akhir menerima barang setelah sebelumnya melakukan perjanjian murâbahah dengan bank, dan Tipe Ketiga ini yang paling banyak dipraktekkan oleh bank BRI
syariah
Cabang
Mataram.
Bank
melakukan
perjajian murâbahah dengan nasabah, dan pada saat yang sama mewakilkan (akad wakalah) kepada nasabah untuk membeli sendiri barang yang akan dibelinya. Adapun dari proses pembayarannya yaitu terdapat dua cara. Setor langsung (tunai) dan juga melalui pemotongan gaji.
95
96
2. Praktek pembiayaan murâbahah dalam perspektif hukum Islam yang terjadi di Bank BRI Syari‟ah cabang mataram, yaitu sebagaimana transaksi jual beli, yaitu seorang nasabah baik perorangan maupun berupa perusahaan (developer) untuk membelikan sebuah komuditas dengan kriteria tertentu dan pihak tersebut menegaskan akan membeli tersebut dengan cara akad pembiayaan murâbahah. Setelah pihak Bank BRI Syari‟ah selaku pihak penyedia pembiayaan, melakukan survey dan diklasifikasi mengenai kemampuan nasabah tersebut, yaitu dengan dibuktikan syarat-syarat administratif. Berdasarkan hasil wawancara penulis, bahwa setelah itu melakukan negosiasi mengenai margin atau harga pokok yang ditambah dengan tingkat keuntungan yang disepakati kedua pihak. Dan nasabah akan melakukan pembayaran dengan cicilan, yaitu sesuai dengan kemampuan dari nasabah tersebut. Namun dari pihak bank memberikan batasan mengenai jangka waktunya, untuk pembelian rumah maksimal 15 tahun untuk jangka waktunya, sedangkan untuk pembelian tanah yaitu maksimal 5 tahun.mengeani akad tersebut atau praktik dilapangan murâbahah tersebut. Ulama kontemporer berbeda
pendapat
mengharamkan.
ada
yang
memperbolehkan
dan
ada
yang
97
B. Rekomendasi/saran Rekomendasi atau saran yang dapat diberikan dalam penelitian skripsi ini adalah:
1. Adanya control terhadap setiap lembaga keuangan syari‟ah dalam praktik dilapangan, guna menciptakan keseragaman aplikasi pembiayaan kepada masyarakat. 2. Pemerintah
dan
lembaga-lembaga
lain
agar
bersinergi
dalam
memberikan fasilitas kredit kepemilikan rumah (KPR) yang berbasis syari‟ah demi kesejahteran rakyat. 3. Perlunya penelitian lanjutan mengenai aspek yuridis konsep praktik akad pembiayaan murâbahah yang benar-benar sudah sesuai dengan akad syari‟ah.
DAFTAR PUSTAKA
Antonio, Syafi‟i M. 2001. Bank Syariah Dari Teori ke Praktek. Jakarta: Gema Insani Press. Ash-Shawi, Shalah dan al-Muslih, Abdullah. 2001. Fikih ekonomi Keuangan Islam. Jakarta: Darul Haq. Indonesia, Undang-Undang Tentang Perumahan dan Pemukiman, UU No. 4 Tahun 1992, LN No. 23 Tahun 1992, Sutan Remy Sjahdeini, Perbankan Syariah Produk-Produk dan Aspek Hukumnya, (Jakarta: PT Jayakarta Aung Offset, 2010) Muhammad. 2002. Lembaga Kuangan Umat Kontemporer. Yogyakarta : UII Press. Solihin, Ahmad Ifham. 2010. Buku Pintar Ekonomi Syariah. Jakarta: PT Gramedia. Arcarya dan Diana Yumanita, Bank Syariah: Gambaran Umum,(Jakarta: Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan (PPSK) BI, 2005. Sutan Remy Sjahdeini, Perbankan Islam dan Kedudukannya dalam Tata Hukum Perbankan Indonesia,(Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti, 2005) Warde, Ibrahim. 2009. Islamic Finance: Keuangan Islam Dalam Perekonomian Global. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Wiroso. 2005. Jual Beli Murâbahah.Yogyakarta : UII Press. Abdullah Saeed, Bank Islam dan Bunga, Studi Kritis dan Interprestasi Kontemporer tentang Riba dan Bunga Ctk. Pertama, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2003.
98
99
Dewan Syariah Nasional MUI dan Bank Indonesia, Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI Cet. 3, Jakarta; CV. Gaung Persada, 2006. Frank E Vogel And Samuel L Hayes, Islamic Law And Finance : Religion Risk, And Return, Netherlands : Kluwer Law International, 1998. Hendi Suhendi, M. Si, Fiqh Muamalah,Jakarta: PT Raja Grafindo, 2002. Heri Sudarsono. SE, Bank dan Lembaga Keuangan Syari‟ah,Yogyakarta: Ekonsia 2003. Muhammad, Sistem dan Prosedur Operasional Bank Syari‟ah, Yogyakarta: UII Press, 2000.. Sami Hasan Hamud, Tathwîr al- A‟mâl al-Mashrafiyah Bimâ Yattafiq alSyarî ‟ ah al-Islâmiyah , Aman: Mathba‟ah al-Syarq, 1992. Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddiqy, Hukum-hukum Fiqh Islam (tinjauan antar madzhab), Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1997. Wiroso, Jual Beli Murâbahah, Yogyakarta, UII Press, 2005. Zainul Arifin, Memahami Bank Syari‟ah: Lingkup, Peluang, Tantangan dan Prospek, Jakarta: Alvabet, 2001. Abdullah Saeed, Bank Islam dan Bungan Studi Kritis Larangan Riba dan Interpretasi Kontemporer, Pent. Muhammad Ufuqul Mubin, Nurul Huda dan Ahmad Sahidan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2004, cet. II) Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah (Cet. 5, Jakarta: PT Raja Gafindo Persada, 2010),
100
Burhanuddin S, “Aspek Hukum Lembaga Keuangan Syariah, (Jogja: Graha Ilmu, 2010) Redaksi Sinar Grafika, “Undang-Undang Perbankan Syariah 2008, (Jakarta : Sinar Grafika, 2008) Ravikha Naeda, Akad Wakalah pada Pembiayaan Murâbahah di Bank Pembangunan Daerah Syariah Yogyakarta, Skripsi Fakultas Hukum Jurusan Ilmu Hukum, Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, 2010. Muhammad. System dan Prosedur OperasionalBank Syariah, (Yokyakarta:UII Press, 2000) Suparman usman, Hukum Islam asas-asas dan pengantar studi hukum islam dalam tata hukum Indonesia ( Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001) Mariam darus badrulzaman dkk, Kompilasi Hukum Perikatan (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2001) Fathurrahman Djamil, Hukum Perjanjian Syariah, dalam Kompilasi Hukum Perikatan, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001) CST. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1986) Kholid Narbukoi dan Abu Achmadi, Metodologi Penelitian: Memberikan Bekal Teoritis Pada Mahasiswa Tentang Metode Penelitian Serta Diharapkan Dapat Melaksanakan Penelitian Dengan Langkah-langkah Yang Benar (Jakarta: Bumi Aksara, 2008) Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003)
101
Hukum Sosiologis atau Empiris. Lihat Soerjono Soekamto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: UI Press, 1986)
Sumber Jurnal : Bagya Agung Prabowo, Konsep Akad Murâbahah Pada Perbankan Syariah (Analisa Kritis Terhadap Aplikasi Konsep Akad Murâbahah Di Indonesia Dan Malaysia), Jurnal Hukum Fakultas Hukum UII Yogyakarta, No. 1 Vol 16 Januari 2009. Faisal, Restrukturisasi Pembiayaan Murâbahah Dalam Mendukung Manajemen Resiko Sebagai Implementasi Prudential Principle Pada Bank Syariah Di Indonesia, Jurnal Dinamika Hukum, Vol 11 No. 3 September 2011. Haider Ala Hamoudi, Muhammad‟s Social Justice or Muslim Cant? : Langdelleanism And The Failure Of Islamic Finance, Cornell International Law Journal, 40 Cornell International 89, Winter 2007. Harif Amali Rivai, dkk, Identifikasi Faktor Penentu Keputusan Konsumen Dalam Memilih Jasa Perbankan : Bank Syariah Vs Bank Konvensional, Jurnal Center For Banking Research Universitas Andalas, 2006. Lina Maulidiana, Penerapan Prinsip-Prinsip Murâbahah Dalam Perjanjian Islam (Kajian Operasional Bank Syariah Dalam Modernisasi Hukum), Jurnal Sains Dan Informasi, Fakultas Hukum Universitas Sang Bumi Ruwa Jurai, No. 7, 2011.
102
Muh Sabir, dkk, Pengaruh Rasio Kesehatan Bank Terhadap Kinerja Keuangan Bank Umum Syariah Dan Bank Konvensional Di Indonesia, Jurnal Analisis, Juni 2012, Vol 1 No. 1, ISSN 2303-1001, 2012.
103
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Peneliti sedang mewawancarai salah satu pegawai Bank BRI Syari‟ah Kantor Cabang Mataram
104
105
106
-
107
108
109
110
111