PEMBERDAYAAN PETANI UNTUK MENINGKATKAN PENDAPATAN MELALUI PENDIDIKAN NON FORMAL USAHA TANI TERPADU BERWAWASAN LINGKUNGAN DI MAGEPANDA KABUPATEN SIKKA I Gunarto, Masniah dan Bernard B. de Rosari Kebun Percobaan Maumere BPTP Nusa Tenggara Timur Abstrak Pendapatan dalam arti luas mengandung dimensi ekonomi sosial dan politik. Upaya meningkatkan pendapatan sejogyanya menggunakan strategi yang mencakup semua dimensi tersebut. Dalam konteks ini pemberdayaan petani dipandang sebagai strategi yang relevan. Tulisan ini merupakan sebuah catatan pengalaman lapang pemberdayaan petani. Pada lahan sawah. Dengan teknologi sistem usaha tani terpadu “PARLABEK”. Di desa Magepanda Kecamatan Nita Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur. Metode yang digunakan adalah kaji tindak partisipatoris (par = participatory action research); melalui pendidikan non formal sekolah lapang pertanian (SLP) selama empat bulan. Sulit menarik kesimpulan dari kegiatan yang dilakukan karena waktu kegiatan pendek. Meskipun demikian ada hal yang perlu yaitu bahwa pemberdayaan petani melalui pendidikan non formal dengan model sekolah lapang efektif dan efisien untuk meningkatkan kualitas. Sumber Daya Manusia diperdesaan sebagai upaya meningkatkan pendapatan ini dapat dilihat dari tiga dimensi. Pemberdayaan petani yang terdiri dari kesejahteraan. Akses dan kesadaran kritis. Dua dimensi lainnya, partisipasi dan kontrol, belum dapat dilihat selama kegiatan berlangsung. Kata Kunci
: Pemberdayaan, Pendapatan, Pendidikan Non Formal Dan Usaha Tani Berwawasan Lingkungan PENDAHULUAN
Pendidikan non formal atau sekolah lapang pertanian adalah suatu pendidikan yang bertujuan membantu petani mengubah cara berpikir, bersikap dan bertindak, untuk berusaha tani, berbisnis dan bermasyarakat tani yang lebih baik (Aida Witalaya, SH. 1990) Sikap partisipatif insan pembangunan terhadap setiap inovasi pembangunan akan mempercepat perubahan. Sebaliknya sikap non partisipatif dapat menghambat pembangunan. Aksi reaksi seperti ini merupakan keputusan perorangan, kelompok, atau masyarakat secara merdeka, namun kemampuan masyarakat tani untuk menentukan mau atau tidak berpartisipasi memerlukan dukungan kualitas pengetahuan dan ketrampilan. Ketidakberdayaan dan ketidakmampuan masyarakat tani menikmati hasil pembangunan merupakan isu yang perlu mendapat perhatian. Asumsinya sesuatu didunia ada dan menjadi bukan dengan sendirinya. Fenomena ini harus diwaspadai dengan sikap kritis dan daya cipta. Hal yang perlu didahului adalah menciptakan kondisi yang memungkinkan setiap petani terutama yang belum beruntung, untuk mampu membebaskan dan memerdekakan diri sendiri dari kondisi ketidakberdayaan menghadapi situasi ekonomi dan sosial di dalam kehidupan mereka. Di mungkinkan dengan salah satu cara humanisasi yaitu pendidikan yang mendidik petani berkemampuan mengenali keperluan diri sendiri dan dapat dimanfaatkan untuk menyelesaikan masalah sendiri. Pendidikan non formal yang berorientasi pada kepentingan dan problema peserta didik atau sasaran pembangunan adalah model pendidikan yang diprediksi mampu menjangkau khalayak sasaran pembangunan yang tidak berkesempatan terdidik secara normal. Kuantitas petani di perdesaan sangat besar untuk menunjang derap pembangunan pertanian, namun kualitas perlu ditingkatkan. Ini dicirikan oleh masih banyaknya petani yang tidak tamat sekolah dengan demikian upaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia merupakan hal yang sangat penting dan perlu diprioritaskan.
Penelitian sistem usaha tani umumnya dilakukan di lahan, petani dengan melibatkan petani, peneliti dan penyuluh secara aktif. Tujuannya adalah untuk menghasilkan paket teknologi yang sesuai dengan kondisi setempat (spesifik lokasi), dan mempercepat arus informasi agar adopsi teknologi oleh petani dapat lebih dipacu. (Mahwati Et Al, 1990) hambatan dalam adopsi teknologi. Di duga antara lain menyangkut persepsi mereka tentang manfaat penelitian sistem usaha tani itu sendiri. Jumlah penduduk yang belum sejahtera (miskin) masih tinggi dari 54.2 juta pada tahun 1976 turun menjadi 42.3 juta dan 27.2 juta masing-masing pada tahun 1980 dan 1990. Menurut hasil sensus penduduk 1990 sebagian besar (17,8 juta) penduduk miskin berada diperdesan dan berada dalam rumah tangga yang menggantungkan hidupnya dari sektor pertanian (60.88 %). Upaya menghapus kemiskinan belum selesai; krisis ekonomi melanda pada pertengahan tahun 1997. Krisis ekonomi telah melumpuhkan sendi-sendi kehidupan dan menurunkan daya beli masyarakat jumlah penduduk miskin melonjak mendekati 80 juta (Suyanto, 1996 Soesilo 1999). Ada dua hal yang patut dicatat dari kenyataan tersebut diatas. Pertama. Strategi pembangunan yang menitik beratkan perhatian pada pertumbuhan ekonomi diikuti dengan ketidakmerataan, sehingga manfaat pertumbuhan ekonomi tidak dapat dinikmati oleh sebagian besar penduduk miskin. Kedua, strategi pembangunan yang memusatkan perhatian pada pertumbuhan ekonomi sebagai penggerak utama kemajuan dan pendorong kesejahteraan adalah rapuh dan rentah terhadap gejolak-gejolak pada tingkat global. Dalam konteks ini, pembangunan harus disertai kelestarian atau keberlanjutan. Kelestarian sangat tergantung pada kemampuan pemerintah menumbuhkan masyarakat. Oleh karena itu harus ada pergeseran strategi. Pembangunan dari pertumbuhan ekonomi menuju ke peningkatan kualitas sumber daya manusia untuk mencipatkan pertumbuhan dan kesejahteraan (Tjokrowinoto, 1987). Salah satu strategi peningkatan kualitas sumber daya manusia yang telah lama diterapkan adalah melalui pendidikan (Efendi, 1993). Tulisan ini mengemukakan catatan pengalaman melakukan pemberdayaan petani melalui pendidikan non formal untuk meningkatkan kesejahteraan petani di perdesaan. Penggabungan tiga strategi ini diharapkan dapat meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Namun sebelumnya akan diuraiakan secara singkat pokok-pokok pemberdayaan petani, pendidikan non formal dan teknologi usaha tani terpadu berwawasan lingkungan. Tujuan yang hendak dicapai dari kajian ini adalah : 1. Untuk mengetahui prakarsa kelompok tani dalam mengatasi persoalan yang dihadapi. 2. Memfasilitasi dan mencoba strategi pemberdayaan petani melalui pendidikan non formal. METODOLOGI PENELITIAN Penelitian atau kajian ini dilaksanakan di Kecamatan Nita, Kabupaten Sikka, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Lokasi daerah penelitian dengan hamparan sawah irigasi seluas 10.350 ha. Dan produksinya hampir setiap tahun menurun 5,1 %, hal ini cukup mengkhawatirkan dan perlu mendapat penanganan. Salah satu cara untuk mengatasi masalah tersebut diatas dengan pengelolaan tanaman dan sumber daya terpadu. Pada prinsipnya adalah melakukan pengelolaan dengan menyediakan lingkungan produksi yang kondusif bagi pertumbuhan tanaman sesuai dengan sumber daya tersedia secara lokal spesifik. Dengan demikian akan tercipta suatu keseimbangan dan keserasian antara aspek lingkungan dan aspek ekonomi untuk keberlanjutan sistem produksi. Krisis moneter dan ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997, sampai saat ini belum teratasi sepenuhnya. Krisis tersebut telah melemahkan sendi-sendi kehidupan petani. Di perdesaan, sehingga menjadi kendala dalam peningkatan produksi adalah : 1) Dicabutnya subsidi sarana produksi menyebabkan semakin meningkatnya, biaya produksi dan membatasi penggunaan sarana produksi seperti pupuk. 2) Dari segi biofisik, telah terjadi deteriosasi kesuburan tanah (perubahan fisik-kimia tanah), yang disebabkan oleh eksploitasi berlebihan akibat kegiatan, intensifikasi secara terus menerus. 3) Setelah periode revolusi hijau belum ada terobosan teknologi.
Untuk mengatasi permasalahan-permasalahan tersebut perlu upaya penanganan menyiapkan terobosan teknologi dalam rangka peningkatan produktivitas. Teknik yang digunakan dibagi dalam dua tahap : • Tahap pertama merupakan observasi terhadap petani yang sawahnya cukup air teknik yang digunakan adalah FGD (Focus Group Discussion). • Tahap kedua merupakan programaksi yang dilakukan dalam kerangka kaji tindak partisipatoris (PAR = Participatory, Action Research), dibiayai melalui dana APBD tahun anggaran 2003 / 2004 Dinas Pertanian Kabupaten Sikka. HASIL PENELITIAN SERTA PEMBAHASAN FGD dalam rangka observasi terhadap kelompok tani di desa Magepanda yang diikuti oleh 25 orang karakteristik petani bervariasi. Di lihat dari segi usia mereka tergolong produktif 98 % diantaranya berusia 22-60 tahun. Sehingga memungkinkan untuk menggarap usaha tani dengan baik. Tingkat pendidikan cukup, ditujukkan oleh sebagian besar telah menyelesaikan pendidikan dasar sembilan tahun; pembagian secara rinci menurut tingkat pendidikan adalah sebagai berikut; lima orang tamat sekolah dasar, 11 orang tamat SLTP dan sembilan orang tamat SLTA. Menurut peserta diskusi ada tiga kegiatan yang dapat dilakukan untuk mengatasi persoalan yang dihadapi. Pemikiran kegiatan ekonomi tersebut terdiri dari pertanian komersial, beternak kambing dan industri rumah tangga pengolah hasil pertanian. Namun mereka menghadapi kendala berupa kurangnya pengetahuan dan ketrampilan serta modal. Dengan kata lain, mereka perlu pelatihan dan bantuan modal, mengingat dana yang tersedia sangat terbatas, kemudian diusulkan satu pelatihan yaitu pertanian tanaman komersial (terpadu). Pelatihan diusulkan dalam bentuk sekolah lapang pertanian. Pertimbangan dengan sekolah lapang peserta pelatihan tidak hanya menerima teori tetapi langsung praktek di lapangan. Peserta pelatihan memperoleh pengetahuan praktis teknologi usaha tani terpadu berwawasan lingkungan (parlabek) dan analisis usaha tani, sedangkan modal diperoleh dari dana anggaran dinas pertanian kemudian penjualan hasil panen, digulingkan pada kelompok lain sesuai dengan modal dari bantuan yang diberikan. Usul ini ternyata diterima dengan baik oleh semua peserta diskusi. Selanjutnya dilaksanakan sekolah lapang, pertanian diatas lahan seluas 0.25 ha masingmasing petani di bawah bimbingan fasilitator lapangan yang terdiri dari peneliti, penyuluh dari dinas pertanian tanaman pangan, peternakan dan perikanan. Pembimbingan dimulai dari membuat perencanaan dilakukan bersama-sama antara fasilitator lapangan dengan peserta, yang didahului dengan menggali informasi mengenai kegiatan pertanian yang sudah dilakukan dan varietas padi yang ditanam dan pola tanam yang ditanam petani selama ini dianggap kurang menguntungkan. Alasannya, selama ini tidak ada penaikan ekonomi yang berarti pada petani. Oleh karena itu, peserta sekolah lapang ingin menanam padi dengan varietas unggul yang mempunyai nilai ekonomi tinggi seperti, Mumbramo, Inga Sintahur. Sebelum menentukan jenis varietas yang akan ditanam peserta sekolah lapang diberi materi dalam pelaksanaan kegiatan seperti : 1. Penentuan lokasi 2. Pembuatan pagar dan kandang 3. Persiapanj lahan 4. Pembuatan caren 5. Cara penanaman padi 6. Pemupukan 7. Pemeliharaan ikan 8. Pengaturan irigasi 9. Kolam penampung sementara 10. Pakan tambahan 11. Penggunaan insektisida 12. Pemeliharaan itik dan ikan 13. Panen
Peserta lapangan kemudian diajak melakukan perhitungan ongkos sarana produksi, seperti kebutuhan bibit padi, ikan, itik, pupuk dan intektisida. Peserta melalui wakil-wakil anggota kelompok. Setiap kelompok diberi alat tulis secukupnya untuk mencatat semua kegiatan yang dilakukan, termasuk alokasi tenaga kerja dan jenis kegiatan yang dilakukan oleh masing-masing anggota kelompok semua catatan itu digunakan untuk melakukan analisis usaha tani, sehingga peserta pelatihan dapat menentukan harga jual produk pertanian, yang dihasilkan dan menghitung keuntungan yang diperoleh. Selain pendampingan fasilitator, peserta sekolah lapang juga mengadakan kunjungan lapang ke kelompok tani di Desa Paga Kecamatan Paga Kabupaten Sikka. Di sini peserta sekolah lapang banyak bertukar pikiran dengan petani setempat; khususnya berkaitan dengan pemanfaatan air untuk budidaya ikan, pembuatan pupuk organik dan pembuat pestisida secara tradisional (Biopesticide). Selain itu juga telah satu kali mendatangkan kelompok tani dari desa Pruda Kecamatan Talibura untuk diperlihatkan hasil kegiatan praktek usaha tani parlabek yang telah dihasilkan. Masa kontrak belajar sekolah lapang pertanian telah selesai; hasilnya dikelola kelompok dan dipinjamkan kepada anggota sebagai modal dana bergulir. Di lihat dari aktivitas peserta; 25 peserta mengikuti kehadiran lebih dari 80 %, 4 peserta lainnya dengan kehadiran rata-rata 35 %. Empat peserta tersebut menganggap teknologi dari kegiatan-kegiatan pertanian tersebut, terlalu merepotkan untuk dilaksanakan. Diantara mereka, dua orang diajak kerja sama menangkap hasil laut oleh masyarakat nelayan di desa lain, 19 petani tetap mengerjakan lahannya yang digunakan untuk sekolah lapang sampai selesai kegiatan dan tetap memperdalam pembuatan pupuk organik dan menjaga kemungkinan pengembangan perikanan darat (air tawar). Proses pemberdayaan mengharuskan anggota kelompok terlibat sebagai partisipasi, bukan hanya sekedar menjadi penerima pasif. Artinya, proses pemberdayaan petani menuntut pengistimewaan partisipasi petani dan dengan demikian maka pendekatan partisipatoris menjadi kebutuhan mutlak dalam pemberdayaan petani (Hafidz dan Budiharga 1995, Sumarjono dkk, 1994) UNICEF (1994), mengajukan lima dimensi sebagai tolok ukur keberhasilan pemberdayaan terdiri dari kesejahteraan, akses, kesadaran kritis, partisipasi dan kontrol lima dimensi tersebut adalah kategori analisis yang bersifat dinamis, satu sama lain berhubungan secara sinergis, saling menguatkan dan melengkapi. Berikut adalah uraian lebih rinci dari masing-masing dimensi Keputusan pilihan kegiatan ekonomi penduduk di pengaruhi persepsi terhadap alternatif ekonomi, preferensi dan sistem budaya, metode pemecahan masalah atau pilihan-pilihan yang dibuat (Wheeler dan Muller, 1986). Apabila dikaitkan dengan pilihan pekerjaan sekolah lapang maka persepsi terhadap pendapatan dari sektor Pertanian usaha tani terpadu tampaknya menjadi latar belakang bagi mereka untuk mengadopsi kegiatan tersebut. Petani yang telah mengikuti sekolah lapang pertanian belum dapat dilihat hasilnya dari sisi dimensi kesejahteraan dalam kerangka pemberdayaan petani. Peserta sekolah, lapang belum memperoleh pendapatan secara langsung dan kegiatan yang dilaksanakan. Melihat semakin terbukanya akses terhadap lahan garapan, meskipun dengan sistem bagi hasil baik dengan pemilik lahan di dalam desa sendiri maupun dari luar desa, peluang untuk memperoleh pendapatan dari sektor pertanian tampaknya akan segera terwujud akses terhadap lahan menjadi faktor yang sangat penting di wilayah yang sebagian besar penduduknya bekerja sebagai petani. Apalagi seperti di desa Magepanda yang rata-rata penguasaan lahan pertaniannya sebesar 0,6 ha. Menurut Combs dan Ahmed (1984). Pendidikan dibedakan menjadi tiga yaitu pendidikan informal; pendidikan formal dan pendidikan non formal. Pendidikan informal merupakan sebutan untuk proses seumur hidup. Bagi orang dalam mencari dan menghimpun pengetahuan, ketrampilan, sikap dan pengertian yang diperoleh dari pengalaman sehari-hari dan dari pengaruh lingkungan. Pada umumnya pendidikan informasi ini tidak berorganisasi dan seringkali kurang sistematis, namun merupakan sumber terbesar dari segala apa yang dipelajari setiap orang seumur hidup.
Pendidikan formal mengacu pada sistem pendidikan yang sangat dilembagakan, bertahap, kronologis dan bertata tingkat; mulai dari sekolah dasar sampai pada tingkat-tingkat tertinggi pendidikan tinggi. Pendidikan non formal dipakai untuk menyebut kegiatan pendidikan berorganisasi dan sistematis, berlangsung di luar kerangka sistem pendidikan formal untuk menyediakan aneka ragam pelajaran tertentu kepada kelompok-kelompok penduduk tertentu, baik dewasa maupun remaja pendidikan nonformal meliputi usaha penyuluhan pertanian, pelatihan kaum tani dan berbagai program pembinaan masyarakat. Pendidikan dipandang tidak hanya menambah pengetahuan tetapi juga dapat meningkatkan ketrampilan yang ada pada gilirannya dapat meningkatkan produktivitas. Produktivitas disatu pihak dapat meningkatkan penghasilan dan kesejahteraan penduduk. Sayangnya, pembicaraan mengenai pendidikan dalam kaitannya dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia dan kemiskinan selalu diarahkan pada pendidikan formal yang mengandung makna sekolahan (Coller, 1996). Padahal kurikulum pendidikan formal disusun sebagai pendidikan umum yang hanya memberi sumbangan marginal untuk peningkatan ketrampilan sekalipun pendidikan kejuruan dapat membina ketrampilan yang relevan tetapi jumlahnya sangat sedikit dibanding pendidikan formal, umum dan peminatnya semakin berkurang. Penggunaan sistem bagi hasil juga ikut mengurangi permasalahan yang ditimbulkan oleh tidak adanya modal usaha. Petani penggarap tidak perlu menyediakan uang tunai untuk membayar sewa lahan dalam banyak kasus sewa lahan ditengarai sebagai faktor yang banyak menyedot keuntungan yang diperoleh dari kegiatan usaha tani (Hart Etal, 1989). Keuntungan lain yang diperoleh petani penggarap dalam sistem bagi hasil adalah berkurangnya resiko, karena resiko ditanggung bersama antara penggarap dan pemilik lahan. Hal lain yang perlu dicatat dari kerjasama dengan sistem bagi hasil tersebut adalah kepercayaan pemilik lahan sebagai indikasi adanya pengakuan terhadap ketrampilan para penggarap yang diperoleh selama mengikuti sekolah lapang. Dua dimensi lain dalam kerangka pemberdayaan petani, yaitu partisipasi dan kontrol belum dicapai selama kegiatan berlangsung, peserta sekolah lapang belum dilibatkan dalam proses pembangunan desa terutama pengambilan keputusan perencanaan dan evaluasi tanpa partisipasi masyarakat tani sulit melakukan kontrol terhadap sumber daya karena posisi tawar masyarakat tani terhadap kekuasaan masih lemah, partisipasi dan kontrol hanya mungkin dilakukan apabila masyarakat tani mempunyai organisasi yang kuat. Sistem usaha tani terpadu berwawasan lingkungan yang dimaksud adalah sistem usaha tani parlabek. Parlabek singkatan dari bahasa daerah jawa barat “par” berasal dari kata pare (padi) “la” berasal dari kata lauk (ikan) “ber” dari kata bebek (itik). Jadi perlabek adalah sistem pemeliharaan itik pada sawah mina-padi itik dilepas berkeliaran disawah mina padi dapat dikandangkan disekitar sawah atau halaman perkabangan. Berdasarkan hasil kaji terap di lapangan usaha tani parlabek ini sangat menguntungkan antara padi – ikan – itik terdapat kerjasama yang saling menunjang dan dapat meningkatkan produksi. Kerjasama yang saling menguntungkan diantara ikan-padi dan itik dalam hal : • Kotoran itik makanan dan pupuk bagi tanaman padi • Kotoran ikan merupakan pupuk bagi tanaman padi, dapat memperkaya tanaman sawah, dengan hara H, P, K dan Mg • Itik dan ikan dapat menekan pertumbuhan gulma, air dan hama • Gabah yang rontok dapat dimanfaatkan sebagai makanan ikan dan itik, sehingga dapat memacu pertumbuhan
KESIMPULAN Sulit rasanya untuk menarik kesimpulan dari pengalaman pemberdayaan petani melalui pendidikan non formal, yang telah dilakukan. Gejala yang muncul kemungkinan hanya terjadi sesaat sebagai respon terhadap situasi dalam konstelasi sosial dan ekonomi yang tidak
menentu. Meskipun demikian paling tidak ada dua hal yang patut dicatat dari pengalaman tersebut yaitu : 1) Pendidikan sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia hendaknya jangan terpaku pada pendidikan formal, tetapi harus juga mempertimbangkan pendidikan non formal. Pendidikan non formal lebih memungkinkan untuk memberikan pendidikan tepat guna, karena kurikulum dapat disusun sesuai kebutuhan 2) Dimensi partisipasi dan kontrol dalam pemberdayaan petani menuntut adanya organisasi masyarakat tani yang kuat, tanpa partisipasi dan kontrol akan sulit mengharapkan hadirnya iklim demokrasi yang dapat menjamin pemenuhan kebutuhan untuk mengurangi atau menghapus kemiskinan dari dimensi sosial dan ekonomi. Oleh karena itu pengorganisasian, hendaknya mendapat perhatian sejak awal dalam proses pemberdayaan petani. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada Sdri. Istutik dan Yohn. D. Saru atas partisipasinya dalam membantu pengumpulan data di lapangan. DAFTAR PUSTAKA Aid Witaya, S.H. 1990. Peranan Sistem Sosial Pedesaan Dalam Alih Teknologi Hasil Penelitia Melalui Penyuluhan Kepada Petani Nelayam Proseding Temuteknis Keterkaitan Penelitian Penyuluhan Pusat Perpustakaan Pertanian dan Komunikasi Penelitian Bogor. Effendi. T. Noer, 1993. Sumber Daya Manusia. Peluang Kerja dan Kemiskinan Tiara Wacana. Yogyakarta Hafidz dan Budi Harga. 1995. Pengintegrasian Perspektif Gender Dalam Program dan Lembaga PT. Rendec. Yakarta Hart. G. 1989. Agrarian Transformation. Local Prosess And,The State In Southeast Asia Universirty Of California Press Berkeley Manwan et.al. 1990. Hubungan Penelitian dan Penyuluhan Dalam Sistem Usaha Tani Dalam Sistem Usaha Tani Di Lima Agroekosistem Risalah Lokakarya Penelitian Sistem Usaha Tani Puslitbang Tanaman. Bogor Suyanto. 1996. Perangkap Kemiskinan. Problem dan Strategi Pengentasannya Dalam Pembangunan Desa Adytya, Media, Yogyakarta Tjokrowinoto. 1987. Politik Pembangunan; Sebuah Analisis Konsep Arah Dan Strategi Tiara Wacana. Yogyakarta Unicef. 1994. Gender Equality And Women’s. Empowerment Unicef New York Wheeler Dan Muller. 1986. Economic Geography Yohn Willey And Sons New York.