PEMBERDAYAAN MELALUI KEAKSARAAN USAHA MANDIRI (KUM) Ayi Olim1
ABSTRAK Keaksaraan Usaha Mandiri (KUM) merupakan bagian dari inisiative literacy for empowerment (LIFE), yang dicanangkan tahun 2005 dan diharapkan berakhir tahun 2015, menyertai komitment dunia pengurangan 50% dari jumlah buta aksara yang ada. Perbedaan utama secara konseptual maupun operasional yaitu pada pendekatan terpadu, dimana porsi pemerintah pusat lebih pada advokasi dan penciptaan jejaring. Hasil akhir keaksaraan bukan lagi pada terselesaikannya kegiatan segmentasi, akan tetapi peran yang lebih nyata dari warga belajar dalam kehidupan sosial, politik dan ekonomi melalui pembelajaran yang aktif (self directed learning). Tugas dari kelompok fasilitasi membangkitkan motivasi, membuat jejaring dan memelihara hasil belajar untuk maju berkelanjutan. Kata Kunci: Self directed learning, Keaksaraan, Pemberdayaan
A. Pendahuluan Kelihatannya tidak ada hubungan antara pendidikan orang dewasa seperti halnya pendidikan keaksaraan keluarga keluarga dengan wirausaha. Hal ini betentangan dengan tinjauan ekonomi dari sistem pembelajaran yang dibagi oleh Manzoor Ahmed menjadi dua bagian yaitu efisiensi internal yaitu tercapainya penguasan kognisi, afeksi dan psikomotorik serta dicapai pula produktivitas ekternal yaitu dicapainya hasilan pendidikan yang melebihi dari sumber-sumber yang dikeluarkan. Dengan demikian hanya dengan pendekatan wirausaha konsep Manzoor Ahmed dapat diwujudkan. Jadi nampaknya bukan sesuatu yang aneh bila Kabinet Indonesia bersatu jilid dua menetapkan wirausaha sebagai perioritas seratus hari pertamanya. Penetapan aspek ekonomi sebagai motif utama dalam pendidikan keaksaraan keluarga adalah sebagai upaya untuk memelihara keberlanjutan dari pendidikan itu sendiri. Hal ini tidak boleh ditafsirkan melupakan asfek keaksaraan dan lebih mementingkan usaha seperti banyak terjadi selama ini. Justru kehadiran usaha sebagai upaya untuk memelihara kemampuan membaca yang dinilai masih sangat rentan untuk kembali pada posisi semula atau paling tidak fungsionalnya keaksaraan dalam keperluan sehari-hari. Bila kita kaji lebih jauh dari keaksaraan sebagai upaya untuk memelihara keberaksaraan dan meningkatkannya, maka kewirausahaan merupakan salah satu jawaban kendati terdapat berbagai pendapat yang melihat kewirausahaan untuk kelompok kurang beruntung dihadapkan pada sejumlah permasalahan yang bertentangan dengan hakikat dari jiwa wirausaha sendiri. Sejumlah hasil studi lapangan yang mengemuka yaitu: a. Kurangnya motivasi, b. Sangat sederhananya manajemen yang menyatu antara manajemen wirausaha dengan urusan rumah tangga, sehingga sering dana, tenaga dan materi yang diperuntukan wirausaha dipakai bersamaan dengan kepentingan rumah tangga c. Rendahnya tingkat komitmen terutama untuk bekerja keras dan mencurahkan perhatian khusus
d. Pembatasan yang dipaksakan oleh kebiasaan dan tradisi, misalnya perempuan yang dibatasi ruang gerak dan kemajuannya, e. Keterlibatan risiko tinggi sedangkan subjek lebih memilih untuk bermain pada resiko rendah, f. Sosial-budaya yang kaku, untuk tidak merubah sistem kerja dan memasukkan cara baru g. Kurangnya fasilitas infrastruktur terutama akses pada sumber finansial h. Kurangnya jaringan komunikasi, dimana orang begitu menikmati hubungan internal dalam keluarga dan terbatas hubungan dengan dunia luar i. Ketidakhadiran dari bakat berwirausaha j. Rendah status pengusaha, perbedaan sebagai konsumen dengan produsen. Di lingkup desa dimana ia tinggal, seseorang akan lebih mementingkan perasaan aman untuk diri dan tetangga melalui kehidupan yang relatif stabil dan tidak menyakiti orang lain dibanding dengan perubahan yang mencolok dan membuat tetangganya menjadi gerah karenanya Hal ini sedikit berseberangan dengan ciri-ciri dari wirausahawan sendiri yang dapat dirinci atas tampirlan sebagai berikut: a. Percaya diri dan optimis b. Mampu mengambil risiko yang sudah diperhitungkan c. Mampu menanggapi secara positif terhadap tantangan d. Fleksibel dan mampu beradaptasi e. Pengetahuan tentang pasar f. Mampu bergaul dengan orang lain g. Energik dan rajin h. orientasi yang strategis i. Responsif pada saran j. Inovatif k. Perseptif dengan pandangan ke depan l. Aksi bias m. Ketekunan n. Responsif terhadap kritik Dengan tidak mengecilkan arti kelompok aksarawan baru, mereka yang tergabung pada kelompok ini tergolong residu yang sejak awal kurang terbina dan tidak mampu memuncukan potensi-potensi diatas, baik karena keengganan yang bersangkutan, ketiadaan lembaga pembina maupun maupun gabungan keduanya Berdasarkan permasalahan yang dihadapi maka upaya pengembangan dan pembinaan yang dilakukan dapat dikelompokkan melalui tinjauan sistem pembinaan, induk semang, lingkup usaha dan bentuk usaha, manajemen kelompok, a. Peningkatan manajemen Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat sebagai wirausahawan. Mungkin kesalahan terbesar terletak pada PKBM sendiri yang hanya tergantung pada satu-satunya sumber yaitu pasokan dana dari pemerintah dan berjalan sebatas dana masih ada. Perubahan pola kegiatan dari PKBM harus berbasis pada kebutuhan akan pelatihan yang memiliki nilai jual dalam masyarakat seperti halnya pelatihan keterampilan tepat guna dengan kecepatan pemanfaatan yang tinggi. Melalui penyajian program yang berbasis wirausaha secara tidak langsung telah memperomosikan lembaga dan lulusan yang bernilai guna dan tidak semakin memperparah pandangan pada kinerja pendidikan yang hanya menghasilkan lulusan yang tidak dapat memasarkan diri. b. Penijauan dan evaluasi kurikulum wirausaha. Seperti dimaklumi kurikulum keaksaraan usaha mendiri dikembangkan untuk kelompok normal dengan 12 standar kompetensi, yang terdiri dari: keinginan usaha berdasar potensi dan minat, praktek keterampilan yang
c.
d.
e.
f.
g.
memiliki peluang usaha, identifikasi sumber daya alam dan manusia, identifikasi kebutuhan dan permintaan pasar, penyusunan rancangan usaha, merancang dan mengola usaha, identifikasi resiko usaha, interaksi dengan konsumen dan fasilitator, strategi pemasaran, penguasaan pesaing usaha, kemitraan dan memelihara keberlangsungan usaha. Bila kita perhatikan pagu yang dikeluarkan Direktorat Penmas sangat ideal dan sangat sulit dilakukan oleh perorangan warga belajar dengan tingkat melek aksara dasar. Peninjauan kurikulum harus mengeksplisitkan sistem pembelajaran, sistem pembinaan, pola inkubasi dan pembinaan keberlanjutan usaha. Sistem pembelajaran belum menetapkan pertimbangan tutor dan nara sumber teknis yang bisa menunjang pada keberlanjutan usaha, seperti hanya pemagangan yang mungkin dilakukan dengan pola hubungan antara permagang dengan pemagang. Hal lain yang masih dianggap kronis yaitu jenis usaha, strategi pemasaran, penguasaan pesaing usaha, kemitraan dan memelihara keberlangsungan usaha. Sistem pembinaan. Selama usaha dianggap persaingan dan ketiadaan lembaga pembina atau pembina yang merangkap sebagai pesaing yang bertindak aman untuk mengurangi jumlah pesaing untuk dirinya, maka wirausahawan baru dari kelompok aksarawan baru akan tetap tidak akan berkembang. Sehubungan dengan itu dibutuhkan pembina yang kompeten dan memiliki dedikasi yang tinggi. Kompetensi pembina yaitu mampu mengarahkan para aksarawan baru untuk melakukan usaha yang berkembang dari waktu ke waktu atas inisiatif dan tanggungjawabnya dan mampu melepaskan ketergantungan pada pasokan dana non komersial. Sehubungan itu pembina juga harus mampu melibatkan pengusaha baru dari kelompok ini sebagai bagian dari usahanya yang dari waktu kewaktu menunjukkan kedewasaan dalam berusaha dan bila mungkin melepaskan diri dari pembinaan dalam status yang jauh lebih mandiri. Dari waktu kewaktu perlu memacu motivasi usaha, dan mengurangi tingkat ketergantungan dengan memodifikasi jenis usaha dan cara dalam produksi yang lebih efisien. Lain halnya pembina dari perguruan tinggi atau lembaga profesi sejenis, pembinaan lebih diarahkan pada sumber daya manusia dan kemampuan manajemen perusahaan. Induk semang. Sesuai dengan kenyataan bahwa wirausahawan baru umumnya hanya bergerak parsial pada bidang yang paling dikuasainya, maka dibutuhkan induk semang yang akan menterjemahkan upaya selama ini menjadi sesuatu yang dapat ditingkatkan nilai produksinya. Bila para usahawan baru hanya bergerak pada tingkat produksi, maka induk semang harus mampu memasarkan hasil produksi itu dengan standar baku dan diminati oleh pembeli melalui sentuhan pengepakan dan promosi. Perubahan minset dari warga belajar sebagai wirausahawan. Sejalan dengan usaha pembinaan warga belajar juga harus berusaha untuk merubah mindset dari kedudukan yang nyaris tidak diperitungkan dengan tingkat ketergantungan yang tinggi menjadi warga negara yang bermakna dan memiliki sumbangan pada kemajuan ekonomi maupun peningkatan produksi. Perubahan lingkup usaha. Bila selama ini sekala usaha yang dilakukan warga belajar hanya terbatas pada sekala kecil, maka harus ada upaya baik dilakukan oleh warga belajar sendiri maupun pembina untuk memindahkannya pada sekala medium. Dengan sekala kecil usaha yang dilakukan hanya mungkin memenuhi kebutuhan sendiri atau bahkan lebih banyak tenaga yang dicurahkan dibanding dengan produksi yang dihasilkan. Sejalan dengan lingkup usaha ini perlu dikembangkan penganekaragaman usaha, sehingga tidak terjadi kongesti hasil usaha karena produksi yang bersamaan sedangkan pasar yang tersedia terbatas. Manajemen kelompok. Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara, volume usaha yang dilakukan saat ini hanya berjalan dalam sekala sangat kecil dan tidak
memungkinkan untuk self suffisient. Berdasarkan pertimbangan ini perlu diperkenalkan manajemen kelompok dalam membagi jenis usaha dan meningkatkan aset usaha seperti permodalan yang sulit untuk dilakukan secara perorangan. Melalui manajemen kelompok ini ditingkatkan pola kolaborasi baik di tingkat perencanaan dengan melibatkan konsultan untuk meningkatkan usaha, pada tingkat operasional dengan mengatur hubungan vertikal dengan pengusaha yang lebih besar maupun pembagian produksi sehingga terjadi tingkat efisiensi yang tinggi dan pada tingkat tindak lanjut kegiatan untuk menjamin keberlangsungan usaha. h. Pengembangan kebutuhan. Bila selama ini aksarawan baru hidup dalam memenuhi kebutuhan dasar untuk makan, minum, pakaian dan tempat tinggal; kemudian diperkenalkan pada dunia baru yaitu dunia ilmu pengetahuan dan informasi. Perubahan ini membutuhkan penyesuaian dari pemenuhan kebutuhan tingkat dasar pada kebutuhan yang lebih jauh yang membutuhkan kemampuan berpikir dan bertindak. i. Pengembangan jejaring. Sebenarnya warga belajar dengan tingkat intelektual sebagai aksarawan baru kemampaun jejaringnya juga sangat terbatas. Mereka umumnya sangat disibukkan dengan pemenuhan kebutuhan dasar dan hubungan afiliasi sangat terbatas pula. Sehubungan itu pengembangan kemampuan jejaring membutuhkan pembinaan yang berkelanjutan untuk menghubungkan dengan jejaring baru, melakukan impelementasi dan memelihara keberlanjutan jejaring yang dikembangkan agar memiliki makna positif bagi aksarawan baru dan berdampak sebaliknya. Pengembangan kewirausahaan bagi aksarawan baru melalui skim keaksaraan usaha mandiri merupakan pilar baru yang menyatukan kemampuan pribadi, kemampuan usaha dan pengembangan ekonomi. Kendati banyak pihak yang meragukan kelompok miskin akan memiliki dampak pada perubahan dan peningkatan ekonomi macro, usaha optimis telah dilakukan dengan mempertimbangkan kekurangan yang dimiliki kelompok ini. Hasil akhir dari kegiatan ini tetap tergantung pada nilai residual yang masih bisa dikembangkan atau karena perkembangannya tertunda, sehingga tidak mungkin untuk berharap terlalu tinggi semua anggota kelompok dapat mencapai prestasi maksimal dalam pengembangan kewirausaan. B. Arah Baru Pendidikan Keaksaraan Arah baru pendidikan keaksasaran usaha mandiri sesuai dengan kebijakan 100 hari kabinet Indonesia bersatu jilid dua. Akan tetapi secara gobal hal ini menjadi perioritas pula dalam MDGs dan pendidikan yang berkelanjutan seperti yang dikemukakan Deklarasi Bonn tahun 2009. Memang hampir menghadapi kebuntuan menghadapi kenyataan sumber daya yang miskin, seperti ternyata dikeluarkan kembali pada Tujuan Pembangunan Milenium tahun 2005. Lihat saja penekanannya seperti: 1. Menghapuskan Kemiskinan dan Kelaparan Ekstrim 2. Mencapai Pendidikan Dasar Universal 3. Mempromosikan Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan perempuan 4. Mengurangi Angka Kematian Anak 5. Meningkatkan Kesehatan Ibu 6. Memerangi HIV / AIDS, malaria dan penyakit lainnya. 7. Memastikan Keberlanjutan Lingkungan. 8. Mengembangkan Kemitraan Global untuk pembangunan Untuk menghilangkan kebuntuan dan menghadapi kenyataan pendidikan kejutan (Botkin, 1986) ditandingi dengan pendidikan untuk maju berkelanjutan (education for
sustainable development) melalui deklarasi Bonn tahun 2009. Memang pendidikan hampir tidak memiliki makna yang jelas tanpa adanya keberlanjutan. Pokok-pokok yang terdapat pada kesepakatan itu, menekankan mengenai hakikat ESD, kebijakan dan praksis. Hakikat ESD adalah sebagai berikut: (1) Pendidikan untuk pembangunan berkelanjutan adalah menetapkan arah baru untuk pendidikan dan pembelajaran untuk semua (2) ESD membantu masyarakat untuk menangani prioritas isu-isu yang berbeda antara lain: air, energi, perubahan iklim, bencana dan pengurangan risiko, hilangnya keanekaragaman hayati, krisis pangan, risiko kesehatan, kerentanan sosial dan ketidakamanan. Hal ini penting untuk pengembangan pemikiran ekonomi baru (3) ESD didasarkan pada nilai-nilai keadilan, pemerataan, toleransi, dan tanggung jawab. (4) Mempromosikan kesetaraan gender, kohesi sosial dan pengurangan kemiskinan dan menekankan perawatan, integritas dan kejujuran, seperti tertuang dalam Piagam Bumi (5) ESD menekankan pendekatan kreatif dan kritis, inovasi berpikir panjang, panjang dan pemberdayaan untuk menangani ketidakpastian, dan untuk memecahkan masalah kompleks (6) Terkait dengan kebutuhan yang berbeda dan kondisi kehidupan nyata orang, ESD memberikan keterampilan untuk mencari solusi dan mengacu pada praktek-praktek dan pengetahuan tertanam dalam budaya lokal sebagai ide-ide baru juga di dan teknologi Berdasarkan kenyataan ini langkah yang harus diambil terdiri dari kebijakan dan praktis. Pada tingkat kebijakan: (1) Promosikan ESD yang memiliki kontribusi bagi pendidikan untuk semua dan untuk mencapai kualitas pendidikan (2) Meningkatkan kesadaran masyarakat dan pemahaman tentang pembangunan berkelanjutan dan ESD (3) Memobilisasi sumber daya dan pendanaan yang memadai dalam mendukung ESD (4) Re-orientasi pendidikan dan sistem pelatihan untuk mengatasi masalah kesinambungan melalui kebijakan yang melekat pada tingkat nasional dan lokal (5) Mengembangkan dan memperkuat kebijakan internasional, suatu mekanisme yang memungkinkan kerjasama regional dan nasional untuk ESD yang menghormati keragaman budaya Pada tingkat praktis: (1) Reorientasi kurikulum dan program pendidikan guru untuk mengintegrasikan ESD ke kedua pre-service dan program in-service (2) Mendukung penggabungan isu-isu pembangunan berkelanjutan menggunakan pendekatan terpadu dan sistemik dalam pendidikan formal maupun pendidikan non-formal dan informal pada semua tingkatan (3) Mempromosikan dialog tentang ESD, menghargai dan meningkatkan relevansi, penelitian dan strategi evaluasi, dan berbagi best practice (4) Mengembangkan dan memperluas kemitraan ESD untuk mengintegrasikan ESD ke pelatihan, pendidikan kejuruan dan belajar di tempat kerja yang melibatkan sektor masyarakat sipil, publik dan swasta, LSM, dan mitra pembangunan. (5) Memberikan penghargaan dan kepemilikan pada pemuda (6) Meningkatkan kontribusi dan peran penting dari masyarakat sipil dalam menstimulasi debat dan partisipasi publik, dan tindakan memulai ESD (7) Memberikan nilai dan pengakuan kontribusi penting dari sistem pengetahuan tradisional, masyarakat adat dan lokal untuk ESD dan kontribusi nilai budaya yang berbeda dalam mempromosikan ESD (8) Mempromosikan secara aktif kesetaraan gender
(9) Mengembangkan pengetahuan melalui jaringan ESD (10) Mendorong dan meningkatkan keunggulan ilmiah, penelitian dan pengembangan pengetahuan baru untuk ESD melalui keterlibatan lembaga-lembaga pendidikan tinggi dan jaringan penelitian di ESD (11) Mengembangkan mekanisme kelembagaan (12) Melibatkan keahlian (13) Meningkatkan upaya dalam sistem pendidikan dan pelatihan untuk mengatasi tantangan keberlanjutan kritis dan mendesak seperti perubahan iklim, air dan ketahanan pangan dengan mengembangkan rencana tindakan tertentu dan / atau program dalam payung dan kerangka kemitraan Konsep yang paling mutakhir berkaitan dengan kebutuhan pada era global. Tuntutan abad ini tediri dari: Aspek yang dibutuhkan pada abad informasi yaitu: a. Tema: (1) Kesadaran Global; (2) Keuangan, Ekonomi, Bisnis dan Melek Wirausaha; (3) Kemelekan sebagai warga negara; dan (4) Melek Kesehatan; b. Belajar dan Inovasi, melalui keterampilan: (1) Kreativitas dan Inovasi; (2) Berpikir Kritis dan Problem Solving; dan (3) Komunikasi dan Keterampilan Kolaborasi; c. Keterampilan Media dan Teknologi Informasi, d. Kehidupan dan Keterampilan memperoleh Karir: (1) Fleksibilitas dan Adaptasi; (2) Kemampuan belajar mandiri (self directed learning) (3) Keterampilan Sosial Lintas Budaya; (4) Produktivitas dan Akuntabilitas, dan (5) Kepemimpinan dan Tanggung Jawab. Berdasarkan kebutuhan ini standar kemampuan abad informasi, yaitu: (1) Berpikir Kritis dan Pemecahan Masalah (2) Kreativitas dan Inovatif (3) Kolaborasi, Kerjasama, dan Kepemimpinan (4) Memahami Komunikasi Interpersonal dan Lintas Budaya (5) Komunikasi dan kecanggihan Media (6) Akuntabilitas, Produktivitas, dan Etika (7) Pendidikan untuk Semua Siswa Kerangka kerja ini dapat disederhanakan seperti pola berikut:
Model yang paling mutakhir dalam menangani permasalahan sosial saat ini dapat dipergunakan pendekatan Muhammad Yunus pemenang Nobel Perdamaian tahun 2006 melalui pendekatan terpadu. Ia menghampiri kewirausahaan untuk orang miskin melalui pendekatan terpadu berbasis ekonomi atau social enterpreneurship. Batten melihat arti penting pendekatan ekonomi melalui pembangunan ekonomi yang tidak dapat dipisahkan dari organisasi kemasyarakatan. Ekonomi dilihatnya sebagai sesuatu yang sangat menarikkenly. Yunus (2007) menterjemahkan pola pembangunan masyarakat ini kedalam pendekatan terpadu seperti diuraikan di atas. Ia memadukan dengan pendanaan micro melalui Bank Greemen, pelayanan kesehatan, ketersediaan makanan sehat terutama untuk anak usia dini, konsep pendidikan dan ekonomi untuk perdamaian, dan penggunaan ICT. Penekanan yang menjadi jargonutamanya yaitu kegagalan berwirausaha pada saat transisi, yang diatasinya melalui pendekatan inkubasi. Penjelasan teori ini, memiliki kemiripan sosial psikologis seperti yang terjadi pada KUM, dimana kesulitan terbesar terletak pada latar belakang sosial yang bersumber dari budaya dan pendidikan yang diarahkan pada pemenuhan kelompok buruh dan bukan pada tingkatan employe (Sudjana). Konsekwensi dari kenyataan ini, agak sulit untuk menuntut persyaratan tampilan seorang wirausaha pada tingkat manajer. Pilihan yang paling mungkin yaitu pada tingkatan pelaksana menengah yang tidak membutuhkan resiko terlalu tinggi, baru bila kondisi memungkinkan diberikan peluang secara bertahap untuk mendapatkan kedudukan yang lebih tinggi sesuai dengan kemampuan dan kompetensi yang dimilikinya. Kelompok ini dapat diambil dari kelompok inovatif residu (Rogers, 2003). C. Model Pembelajaran Wirausaha Konsep Muhammad Yunus kemudian diterjemahkan dalam pembangunan di beberapa negara berkembang sepeti halnya Mesir dan Uganda. Model yang dicanangkan Mesir terdiri dari tahapan: – Microfinance, yaitu menyertakan warga balajar untuk berpartisipasi aktif dalam kegiatan ekonomi yang dikenal dengan usaha sosial, yang menekankan pada peningkatan produktivitas peserta belajar,
– Wealth creation, yaitu peningkatan kemampuan warga belajar yang diukur dengan semakin meningkatnya kekayaan dalam bentuk transaksi, pemanfaatan modal pada kegiatan produktif dan berkelanjutan – Education, peningkatan kemampuan dari pengetahuan, sikap dan keterampialn menjadi kemampuan meningkatkan kreativitas, mengatasi permasalahan dan membuat keputusan – Urban Planning, merupakan bagian dari peningkatan produktivitas perorangan menjadi learning organization, dengan penekana pada upaya bersama dalam mencapai kemajuan komunitas – Outsourcing, menggunakan konsultan untuk lebih meningkatkan kinerja. Dari hemat penulis, tahapan ini bukan dari bersifat hierakhis akan tetapi bisa saja paralel, dengan meletakkan pendidikan sebagai kunci pada empat kegiatan lainnya. Selanjutnya outsourcing dilakukan untuk memberikan advokasi dan penguatan pada kemampuan wirausaha yang akan dan telah dikembangkan. Dari semua tahapan ini inkubasi merupakan tahapan yang paling penting untuk memberikan jaminan pengobatan terhadap kelompok sakit. Analog dari konsep ini, adalah beresiko memberikan antibiotik secara tidak disiplin, karena bisa saja menimbulkan akibat sakit lebih parah lagi atau bahkan mengakibatkan kekebalan penyakit seperti yang berlangsung saat ini. D.
Penutup
Pendidikan keaksaraan harus diletakkan sebagai bagian dari pendidikan untuk berkelanjutan (ESD). Pemberdayaan ekonomi adalah terjemahan dari kebijakan dari Unesco tahun 2005 sebagai komitment internasional Literacy Inisiative for Empowering (LIFE). Upaya pemberdayaan dalam bidang ekonomi tidak dapat diletakkan dalam skenario normal terutama dilihat dari pendekatan demokratis. Untuk menghampiri pemberdayaan kelompok marginal dibutuhkan pendekatan inkubasi terutama pada masa transisi.
E.
Daftar Pustaka
Direktorat Pendidikan Masyarakat. 2010, Acuan Penyelenggaraan dan Pembelajaran: Keaksaraan Usaha Mndiri (KUM), Direktorat Pendidikan Masyarakat-Direktorat Jenderal PNFI 2010 Muhammad Yunus.(2007), Creating World Without Poverty: social Business and future of capitalism, Public Affairs, New York. Carl Rogers. (2003). Diffusion Of Innovations, Free Press, New York. 1
Penulis adalah Dosen dan Ketua Jurusan Prodi PLS FIP UPI