PEMBERDAYAAN CIVIL SOCIETY DENGAN PENDIDIKAN HUKUM Rahma Amir*
Abstrak: Civil society merupakan masyarakat pilihan yang tahu akan hak dan kewajiban bahkan menjadikan kepentingan publik di atas kebutuhan diri dan golongan. Sesuai dengan bekal pendidikan hukum yang dimilikinya, mereka akan sangat arif dalam mengkondisikan keadaan untuk menghindari kekacauan (chaos) dan keadaan yang tidak kondusif (disorder). Penguatan civil society dalam memelihara perdamaian menjadi urgen dikarenakan masih ada faktor-faktor internal-eksternal yang sering bersifat pro-aktif, instrusif yang menggoyang perdamaian. Anak bangsa suatu saat bisa terjebak pada labilitas, kerapuhan dan perpecahan di dalam, maka hal itu nanti akan mempengaruhi keutuhan masyarakat secara keseluruhan. Masyarakat yang dimaksud adalah akumulasi dari sejumlah individu yang berperadaban dan memiliki worldview yang luas, mampu bersanding dan bertanding dalam kancah dunia global untuk berperan dalam memakmurkan alam. Masyarakat yang menyadari dirinya sebagai khalifah Allah di atas muka bumi yang menyayangi, lapang dada, empati, peka, ta’awun (kooperatif) terhadap makhluk lain, mampu mengkondisi alam yang aman dan damai bagi segenap penghuninya.
Kata kunci: Civil society, pendidikan hukum, masyarakat Pendahuluan Indonesia adalah negara hukum, atau sering kita kenal dengan istilah rechsstaat. Begitulah amanat yang termaktub dalam dasar hukum negara kita. Jika dilihat dari ciri-ciri fisik sebuah negara disebut negara hukum, mayoritas syarat itu sudah kita capai. Kita memiliki sistem konstitusi dan hukum dasar. Namun ada pertanyaan, sudahkan Indonesia menjadi negara hukum yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; dan untuk memajukan kesejahteraan *
Rahma Amir, Dosen Tetap STAIN Palopo, Sementara Mengikuti Pendidikan di Program Pascasarjana (S3) UIN Alauddin Makassar
82
Volume 13, Nomor 1, Januari 2011
83
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa; dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Masyarakat merupakan bagian yang tak terpisahkan dan menjadi stakeholder yang penting dalam konteks ini sekaligus sebagai element yang amat dominan untuk memainkan peran dalam mewujudkan perdamaian yang abadi. Masyarakat yang dimaksud adalah akumulasi dari sejumlah individu yang berperadaban dan memiliki worldview yang luas, mampu bersanding dan bertanding dalam kancah dunia global untuk berperan dalam memakmurkan alam. Masyarakat yang menyadari dirinya sebagai khalifah Allah di atas muka bumi yang menyayangi, lapang dada, empati, peka, ta’awun (kooperatif) terhadap makhluk lain, mampu mengkondisi alam yang aman dan damai bagi segenap penghuninya. Wujud alam yang damai ini bermuara pada pemahaman dan ketaatan setiap individu akan aturan-aturan baik yang bersifat normative dalam artian memberikan bimbingan, arahan, sugesti dan petuah maupun bersifat coercive yang berfungsi memaksa individu untuk mentaati kaidah dan norma yang ada. Kebutuhan ini tentu berkait dengan domain hukum. Proses sosialisasi hukum dimaksudkan pertama sekali untuk membentuk masyarakat yang ideal dan harmoni. Masyarakat yang baik salah satu indikatornya adalah mereka yang dapat hidup dengan teratur dan saling menghormati antara satu dengan yang lain. Kehidupan yang mencerminkan bahwa kebebasan individu selalu dikontrol dan dibatasi oleh kebebasan orang lain. Dalam konteks ini, “pendidikan hukum” menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam menata hidup dan kehidupan. Mengingat kenyataan bahwa pendidikan hukum itu adalah suatu proses institusional yang dimaksudkan untuk melatih dan menyiapkan ahli-ahli hukum baru yang diperlukan untuk mengawal dan mengoperasikan sistem hukum (the legal system)dan bahkan mungkin juga tertib hukum (the legal order) yang ada Karenanya, perlu sebuah kajian tentang pendidikan hukum dalam menguatkan civil society guna mendukung perdamaian. Sehingga sistem itu dapat berjalan sebagaimana mestinya di tengah-tengah konteks sosio kulturalnya. Secara sistematis, makalah ini diawali dengan pendidikan hukum dan urgensitasnya, lalu melihat bagaimana pemberdayaan masyarakat yang diharapkan dengan penguatan pendidikan hukum.
84
Volume 13, Nomor 1, Januari 2011
Pengertian Pendidikan Hukum Secara kebahasaan, hukum berarti menetapkan sesuatu atas sesuatu atau tidak menetapkankannya. (Azyumardi Azra, 2005:46). Secara terminologi, hukum (law) dapat dilihat dari definisi yang ditulis oleh Sheryl J. Grana, Jane C. Ollecen Burger and Hans Kelsen sebagai berikut, Law: any written or positive rule or collection of rules prescribed under the authority of the state or nation, as by the people in its constitutution. (Grana Sheryl J and Jane C. Ollecen Burger,1999:16). Dalam perspektif sosiologi hukum diartikan: law are rules that are enforced and sanctioned by the authority of government. Then may or may not be norms. Hukum adalah aturan-aturan yang dipaksakan dan diberikan sanksi (atas pelanggaran) oleh pihak yang berwenang dalam pemerintahan, baik bersifat norma atau bukan. Perlu dijelaskan lebih detail lagi bahwa norma yang dimaksud adalah Norms: share rules of conduct that specify how people ought to think and act. (Hans Kelsen, 1991:9). Hukum adalah bentuk tulisan atau aturan positif atau sekumpulan undang-undang di bawah kekuasaan negara yang dicantumkan oleh rakyat dalam konstitusinya. Sedang pendidikan hukum adalah pendidikan yang diperuntukkan bagi seseorang yang ingin menjadi ahli di bidang hukum maupun mereka yang secara sederhana bertujuan menggunakan gelar hukumnya dalam beberapa tingkat, baik terkait dengan hukum itu sendiri (seperti politik atau akademisi) maupun bisnis. (http://id.wikipedia.org). Menurut Himahanto Juwana, pendidikan hukum ada dua macam, yaitu pendidikan hukum yang bersifat akademis (pendidikan hukum akademis) dan pendidikan hukum yang bersifat profesi (pendidikan hukum profesi). Namun pendidikan hukum yang dimaksud di sini adalah proses transfer informasi berlaku dalam Negara dan pengetahuan berkaitan dengan norma dan aturan (baca: hukum) yang kepada semua stakeholders. Hal itu mengingat bahwa peranan hukum adalah untuk menjamin bahwa pelaksanaan pembangunan baik materil maupun spiritual dapat berjalan dengan cara yang teratur, tertib dan lancar. (Atmodjahnawi R. Suwondo, 1982:71). Juga memainkan peranan penting dalam pengembangan individu, pemenuhan pendidikan juga akan memberikan kontribusi bagi pertumbuhan peradaban suatu bangsa. Pendidikan sangat penting bagi perkembangan sumber daya manusia serta pertumbuhan sosial dan ekonomi dari suatu negara. Oleh karenanya, pasca terjadinya reformasi,
Volume 13, Nomor 1, Januari 2011
85
kini Indonesia telah memastikan adanya jaminan pemenuhan hak dasar atas pendidikan bagi warga negaranya yang secara tegas tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 pada BAB XA mengenai Hak Asasi Manusia, khususnya Pasal 28C, dan Pasal 31 BAB XIII mengenai Pendidikan dan Kebudayaan. Adapun Pasal 31 ayat (1) UUD 1945 berbunyi, “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”, serta ayat (2)-nya mengatakan, “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”. Dengan demikian, masyarakat diharapkan memahami bahwa hukum tidak hanya tool of social control tetapi juga tool of social engineering sebagai alat yang mampu merubah suatu keadaan masyarakat yang kurang baik dan kurang maju serta dapat menciptakan nilai-nilai baru. Oleh karenanya, hukum merupakan suatu alat dalam proses pembangunan. Pendidikan hukum bagi masyarakat paling kurang memiliki dua fungsi, pertama, mendapatkan ilmu pengetahuan tentang ilmu hukum dan hukum Indonesia. Kedua, menghasilkan output yang berkarakteristik tertentu seumpama mampu melihat peristiwa atau fakta lebih dari satu perspektif, pandai berargumentasi baik lisan maupun tulisan, piawai dalam menafsirkan kata-kata dan penuh ketelitian. Untuk maksud di atas, pendidikan hukum diarahkan kepada pemahaman hukum bagi masyarakat dengan tiga kategori pertama, pengetahuan yang menyangkut perundang-undangan (substantive law), kedua, pengetahuan yang menyangkut dengan keterampilan sehingga setiap individu masyarakat memiliki keahlian dalam menganalisa, melakukan riset, menulis, mengargumentasikan serta memecahkan masalah. Ketiga: pengetahuan yang memberikan wawasan agar masyarakat memiliki perspektif teoritis dan wawasan nasional. Untuk mewujudkan maksud di atas, maka mesti didukung oleh langkah dan perangkat yang baik, yakni pemerintahan yang baik (behoorlijk bestuur), peradilan yang baik (berhoorlijk), dan perundangan yang baik (behoorlijk wetgevingi). (Atmodjahnawi, 1982:73). Pendidikan Hukum dalam Sejarah Sesungguhnya institusi pendidikan hukum itu tidak pernah dikenal dalam tatanan dan sistem hukum penduduk aseli di Kepulauan Nusantara ini. Harus diakui sebagai kenyataan sejarah bahwa pendidikan hukum dan profesi hukum itu adalah suatu invensi peradaban Eropa Barat, yang mulai
Volume 13, Nomor 1, Januari 2011
86
dikenal di Indonesia belum lama berselang. Pemerintah Hindia Belanda itulah yang mengintroduksi pendidikan hukum sebagai pendidikan profesi di Indonesia, dan yang dengan demikian juga memulakan terjadinyaperkembangan profesi hukum di negeri ini. Mula-mula pendidikan hukum itu hanya setingkat Sekolah Lanjutan Atas bermula sejak tahun 1908), dan baru kemudian (sejak tahun 1924) direncanakan setingkat dengan Perguruan Tinggi. (Soetandyo Wignjosoebroto, 1992:3). Tahun-tahun 1942-1962 dapatlah ditengarai sebagai tahun-tahun transisi, ialah tahun-tahun ketika setiap unsur yang terdapat di dalam sistem hukum kolonial amat dicabar dan dipertanyakan, namun yang bagaimanapun juga ironisnya tetap saja dipakai. Kecuali dalam ihwal dihapuskannya pembagian golongan penduduk (yang pada prinsipnya berwarna rasial, ialah golongan Eropa, Timur Asing, dan Bumiputera) dan dalam ihwal dilakukannya penataan kembali sistem peradilan. tahun-tahun 1962-1967, adalah suatu periode pergolakan. Pada tahun-tahun itu Presiden Soekarno mencoba meningkatkan kobaran semangat revolusi guna mempercepat jalannya perubahan. Sistem hukum modern yang berasal dari Barat diperkenalkan dan masuk ke dalam tata hukum kolonial di negeri ini pada belahan akhir abad 19, ialah tatkala pemerintah Hindia Belanda secara sistematis mulai mengintensifkan kekuasaannya atas negeri jajahannya. Prosesnya berlangsung sepanjang abad itu, menggantikan secara berangsur sistem terdahulu yang berdasarkan tradisi-tradisi lokal atau adat kerajaan pribumi. Di daerah-daerah yang dikuasai langsung (yang pada masa itu dikenal dengan nama de rechtstreeks-bestuurgebieden), ketika Pemerintah Hindia Belanda mengakhiri kekuasaannya di bumi Indonesia. Sistem hukum dan sistem administrasi pemerintahan yang tersusun menurut tradisi Barat inilah yang diwarisi para nasionalis Indonesia setelah berhasil merebut kemerdekaan dari tangan penjajah. Pemberdayaan Civil Society 1. Sejarah munculnya Civil Society Ide civil society muncul di Eropa antara abad ke-17 dan abad ke18, ide itu muncul dari kondisi krisis dalam social order dan kebuntuan dalam paradigma tentang order itu sendiri. Secara umum krisis di Eropa abad ke-17 meliputi: komersialisasi tanah, tenaga kerja, dan modal;
Volume 13, Nomor 1, Januari 2011
87
pertumbuhan ekonomi pasar; abad penemuan/kebangkitan sains; hingga revolusi kontinental Inggris dan Amerika. Konteks masyarakat yang mulai melepaskan diri dari dominasi agamawan dan para raja yang berkuasa atas dasar legitimasi agama. Agama saat itu mulai tersekularisasi dalam arti wewenang dan legitimasi kekuasaan mulai dilepaskan dari tangan agamawan. Di Eropa itu pula tumbuh ide demokrasi yang diawali dengan Revolusi Perancis (1789) dan tumbuh pula sistem ekonomi kapitalisme yang liberalistik. Civil society pada awalnya sebagai gagasan adalah anak kandung filsafat Pencerahan (Enlightenment) yang meretas jalan bagi munculnya sekularisme sebagai weltanschaung yang menggantikan agama (gereja), dan sistem politik demokrasi sebagai pengganti sistem monarkhi. Civil society, yang sering diterjemahkan dengan masyarakat sipil, yang terambil dari bahasa Latin ’civilas societas’. Secara historis karya Adam Ferguson (1723-1816), dalam karya klasiknya, An Essay on History of Civil Society (1767) merupakan salah satu titik asal penggunaan ungkapan masyarakat sipil (civil society). Gagasan masyarakat sipil merupakan tujuan utama dalam membongkar konsep masyarakat model Marxisme. Masyarakat sipil menampilkan dirinya sebagai wilayah yang mengedepankan kepentingan individual, pemenuhan hak-hak individu secara bebas. Masyarakat sipil merupakan bagian dari masyarakat yang menentang struktur politik (dalam konteks tatanan sosial yang monarkis, feodal ataupun borjuis) serta membatasi diri dari lingkaran negara. Periode ketiga ini berlangsung sejak tahun 1967. Sepanjang periode ini, setelah gagalnya gerakan PKI pada tahun 1965. Pemerintah Indonesia, yang juga dikenali sepanjang era ini sebagai Pemerintah Orde Baru, mengembangkan kebijakan untuk segera mendahulukan persoalan ekonomi dan pembangunan nasional guna mengatasi persoalan-persoalan ekonomi. Wacana civil society, sebenarnya mulai populer di Indonesia semenjak akhir dasawarsa 1980-an. Nurcholis Madjid, misalnya, melakukan penafsiran konsep civil society sebagai ‘masyarakat madani’, melalui pendekatan semantik dan projecting back, yang merujuk kepada masyarakat Madinah yang ditegakkan oleh Nabi Muhammad saw. 2. Pemaknaan Civil Society Sebagaimana disebutkan di atas, civil society dalam bahasa Indonesia diterjemahkan ”masyarakat madani”. Dalam bahasa Arab, kata
88
Volume 13, Nomor 1, Januari 2011
“madani” tentu saja berkaitan dengan kata “madinah” atau ‘kota”, sehingga masyarakat madani biasa berarti masyarakat kota atau perkotaan. Meskipun begitu, istilah kota di sini, tidak merujuk semata-mata kepada letak geografis, tetapi justru kepada karakter atau sifat-sifat tertentu yang cocok untuk penduduk sebuah kota. Dari sini kita paham bahwa masyarakat madani tidak asal masyarakat yang berada di perkotaan, tetapi yang lebih penting adalah memiliki sifat-sifat yang cocok dengan orang kota, yaitu yang berperadaban. Dalam kamus bahasa Inggris diartikan sebagai kata “civilized”, yang artinya memiliki peradaban (civilization), dan dalam kamus bahasa Arab dengan kata “tamaddun” yang juga berarti peradaban atau kebudayaan tinggi. Muhammad AS Hikam menguraikan lebih detail. Menurutnya, civil society didefinisikan sebagai wilayah kehidupan sosial yang terorganisasi dan bercirikan, antara lain kesukarelaan (voluntary), keswasembadaan (self-generating), dan keswadayaan (self-supporting), kemandirian tinggi berhadapan dengan negara, dan keterikatan dengan norma atau nilai hukum yang diikuti oleh warganya. Sebagai sebuah ruang politik, civil society adalah suatu wilayah yang menjamin berlangsungnya perilaku, tindakan dan refleksi mandiri, tidak terkungkung oleh kondisi kehidupan material, dan tidak terserap di dalam jaringan kelembagaan politik resmi. Di dalamnya tersirat pentingnya suatu ruang publik yang bebas (the free public sphere), tempat di mana transaksi komunikasi yang bebas bisa dilakukan oleh warga masyarakat. Sebagaimana terma lainnya, civil society memiliki sisi yang pandang berbeda. Karenanya, konsep civil society memiliki banyak versi dan interpretasi, kendatipun secara idelogis dapat digolongkan ke dalam dua versi ideologis, yakni versi kapitalisme dan sosialisme. Sementara civil society pada awalnya memiliki akar yang berbeda dengan masyarakat madani. Banyak orang memadankan istilah ini dengan, civil society, societas civilis (Romawi) atau koinonia politike (Yunani). Masyarakat madani merujuk pada tradisi Arab-Islam sedang civil society tradisi Barat non-Islam. Perbedaan ini bisa memberikan makna yang berbeda apabila dikaitkan dengan konteks istilah itu muncul. Namun demikian, penggunaan istilah masyarakat madani dan civil society di Indonesia sering disamakan atau digunakan secara bergantian. Hal ini dirasakan karena makna diantara keduanya banyak mempunyai persamaan prinsip dasarnya, meskipun berasal dari latar belakang sistem budaya negara yang berbeda.
Volume 13, Nomor 1, Januari 2011
89
Masyarakat Madani merujuk kepada sebuah masyarakat dan negara yang diatur oleh hukum agama, sedangkan masyarakat sipil merujuk kepada komponen di luar negara. Istilah Madani, Madinah (kota) dan al-Din (diterjemahkan sebagai agama) semuanya didasarkan dari akar kata d-i-n. Kenyataan bahwa nama kota Yatsrib berubah menjadi Madinah bermakna di sanalah ad-Din (Syari’ah Islam) berlaku dan ditegakkan untuk semua kelompok (kaum) di Madinah. Menilik pengalaman sosio-historis Islam, masyarakat madani merupakan representasi dari masyarakat Madinah yang diwariskan Nabi Muhammad SAW, yang oleh Robert N. Bellah, sosiolog agama terkemuka, disebut sebagai masyarakat yang untuk zaman dan tempatnya sangat modern, bahkan terlalu modern, sehingga sewafatnya Nabi, Timur tengah dan umat manusia saat itu belum siap dengan prasarana sosial yang diperlukan untuk menopang suatu tatanan sosial yang modern seperti yang pernah dirintis Nabi saw. 3. Civil Society dalam Islam Civil society telah menjadi tiang penyangga utama bangunan demokrasi dan menjaga keseimbangan kehidupan berbangsa. Tanpa civil society, bangunan demokrasi akan rapuh, negara pincang, dan penguasa pun tak berdaya. Istilah civil society barangkali tidak terdapat dalam peradaban Islam secara eksplisit. Namun, nilai-nilai universal dari term tersebut tentu terdapat dan dipraktekkan dalam Islam. Dalam tulisan ini, penulis mencoba mencari padanan istilah tersebut bila dilihat dalam khazanah Islamiyyah. Bila merujuk pemaknaan civil society yang disebutkan di atas, praktek muslimin Madinah telah mendeskripsikan inti masyarakat yang dimaksud. Sebagian para ahli menerjemahkan civil society sebagai masyarakat madani. Kata “madani” itu sendiri dinisbahkan kepada “Madinah” telah melahirkan suatu kondisi masyarakat yang saling berbagi, bekerja sama, ta’akha (bersaudara) dan berakhlak mulia kepada Allah dan kepada sesama. Nilai-nilai di atas menjadi penting apalagi bila dikaitkan dengan perkembangan zaman sekarang ini. Alquran antara lain memerintahkan kepada umat manusia untuk memikirkan pembentukan suatu masyarakat dengan kualitas-kualitas tertentu. Dengan demikian, memungkinkan bagi umat Islam untuk merekonstruksikan suatu gambaran
Volume 13, Nomor 1, Januari 2011
90
tentang masyarakat ideal berdasarkan petunjuk dan bimbingan Alquran. (Q.S. (2): 13; Al-Maidah (5): 48; Al-Anbiya (21): 92). Prinsip umat terbaik yang dirumuskan oleh Jam’iyyah Nadhatul Ulama dalam mu’tamarnya ke XIII, tahun 1935 tercermin pada mabadi berikut:
al-siddiq : kejujuran, kebenaran, kesungguhnya dan keterbukaan. Kejujuran adalah satunya kata dan perbuatan, ucapan dan pikiran al-amanah wa al-wafa bi al-‘ahd. Amanah meliputi beban yang harus dilaksanakan baik dengan perjanjian atau pun tidak. Sedang al-wafa’ bi al-‘ahd hanya berkaitan dengan perjanjian. Gabungan kedua istilah tersebut berarti dapat dipercaya, setia dan tepat janji al-‘adalah: mengandung pengertian objektif, proporsional dan taat asas. al-ta’awun yang merupakan sendi utama dalam tata kehidupan bermasyarakat. Manusia tidak dapat hidup sendiri tanpa bantuan orang lain. Pengertian al-ta’awun meliputi tolong menolong, setia kawan, dan gotong royong dalam kebaikan dan taqwa al-istiqamah mengandung pengertian konsistensi, kesinambunga dan berkelanjutan.
Peran Civil Society untuk Memelihara perdamaian dalam Bingkai Hukum Melahirkan perdamaian merupakan hal yang sulit, tetapi akan lebih sulit lagi menjaga dan memelihara perdamaian itu. Perdamaian itu hanya mampu dilestarikan oleh orang yang merasa pentingnya kondisi tersebut dalam payung hukum yang telah ditentukan. Civil society merupakan masyarakat pilihan yang tahu akan hak dan kewajiban bahkan menjadikan kepentingan publik di atas kebutuhan diri dan golongan. Sesuai dengan bekal pendidikan hukum yang dimilikinya, mereka akan sangat arif dalam mengkondisikan keadaan untuk menghindari chaos (kekacauan) dan disorder (keadan yang tidak nyaman). Penguatan civil society dalam memelihara perdamaian menjadi urgen dikarenakan masih ada faktor-faktor internal-eksternal yang sering bersifat pro-aktif, instrusif yang mengoyang perdamaian. Anak bangsa suatu saat bisa terjebak pada labilitas, kerapuhan dan perpecahan di dalam,
Volume 13, Nomor 1, Januari 2011
91
Maka hal itu nanti akan mempengaruhi keutuhan masyarakat secara keseluruhan. (Amin Rais,1998:78). Penguatan civil society dalam memelihara perdamaian melalui kontribusinya sebagai berikut: Pertama, memberikan kesadaran hukum kepada masyarakat akan lebih tinggi, jika dapat memberikan pola yang rasional, dan tidak hanya bergantung pada perasaan dan emosi seseorang. Jika emosi seseorang ditimbulkan oleh sauna tertentu, maka apa yang disebut intitusi ini akan menjadi sangat terpengaruh. (Soedjito Sosrodihardjo, 1982:13). Kedua, memberikan kemampuan untuk berkontribusi dalam penetapan dan pelaksanaan hukum termasuk memberikan perubahan karena kondisi sosial yang berubah. Dengan demikian, masyarakat dapat mengcounter kemungkinan terjadi conflict interest baik yang bersifat vertikal maupun horizontal. Ketiga, civil society dengan kapasitas pemahaman hukum yang memadai diharapkan mampu menjadi problem solver bahkan ada sebagian mereka menjadi theory builder. Dalam adat orang Aceh misalnya, problem solver itu sudah dibangun dari tingkat bawah, yaitu kampung. Perangkat kampung akan segera mengambil langkah-langkah solutif bila terjadi hal-hal yang mengarah perpecahan dan mengganggu perdamaian dalam masyarakat, dengan mencari jalan alternatif dan preventif sehingga menghasilkan win-win solution. Keempat: membangun civil society yang peka terhadap perubahan dalam frame perdamaian. Pelestarian perdamaian dengan beradaptasi dengan (1) perubahan sosial yang menyangkut tata nilai, sikap dan tingkah laku manusia (2) perubahan untuk mampu bersanding dan bertanding dengan daerah lain sehingga tidak melahirkan kesenjangan sosial; (3) perubahan untuk mengembangkan kepribadiannya sendiri dan mengadakan penyesuaian dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat modern. Kelima, civil society mampu berperan dalam proses mobilisasi proyek terapan didasari yang memungkinkan untuk membangun kondisi damai, seirama dengan perkembangan dunia untuk menyerap pengetahuan yang dapat merubah sikap dan perilaku. Untuk kebutuhan tersebut, civil society harus mampu mengembangkan jaringan (network) untuk sosialisasi nilai-nilai perdamaian dalam bingkai norma dan aturan yang selama ini berlaku. Keenam, upaya civil society yang mengarah pada pemberdayaan sesama. Dakwah – bi al-lisan atau bi al-hal – yang selama ini sebagai
92
Volume 13, Nomor 1, Januari 2011
salah satu corong sosialisasi urgensitas perdamaian harus berorientasi pada kaidah-kaidah dengan pendekatan religius – kultural. Masyarakat sebagai mitra dakwah dapat menyentuh nilai-nilai sulhiyyah (perdamaian) yang memandu mereka untuk menyelesaikan masalah kehidupan dengan pendekatan dialogis berbasiskan ukhuwwah. Lain halnya Satjipto Raharjo yang membahas politik pendidikan hukum di Indonesia yang berorientasi pula pada pemberdayaan masyarakat. Awal pendidikan hukum di Indonesia lebih dipersiapkan untuk menjadikan mahasiswa sebagai tenaga terampil (professional). Namun demikian, terdapat juga scholar dari Belanda yang menggagas pendidikan hukum yang ditujukan untuk kebutuhan bangsa Indonesia, seperti gagasan Paul Scholten yang membuat dua pedoman pendidikan hukum di Indonesia yaitu kemandirian dan menemukan identitas Indonesia, dan menyelenggarakan ilmu pengetahuan harus berorientasi pada kebutuhan keragaman masyarakat Indonesia Dalam konteks ini, civil society dapat menjadi agent of change, masyarakat pengubah. Civil society diharapkan menjadi wadah yang mampu mengubah cara pikir dan worldview masyarakat dalam menyikapi dan mengelola sebuah permasalahan dan perbedaan secara arif (bijaksana) sehingga memberikan dampak positif baik bagi individu atau pun komunal. Sebagai fungsi transformatif, civil society melalui penguatan pendidikan hukum – harus mampu menyampaikan dan menaburkan nilai sulhiyyah dalam masyarakat. Penutup Di antara element yang paling penting dan sekaligus terlibat untuk menciptakan dan memelihara perdamaian adalah masyarakat. Masyarakat yang dimaksud adalah akumulasi individu yang baik, toleran, berjiwa sosial dan peduli yang sekarang ini sering diistilahkan dengan civil society. Kehidupan masyarakat ideal ini akan lebih tenteram bila diikat dengan hukum yang memberikan guide untuk menggapai harapan dan cita-cita. Masyarakat yang diperkuat dengan pilar pendidikan hukum ini diyakini mampu berkiprah untuk memelihara perdamaian, untuk kemudian diwariskan kepada generasi yang akan datang.Perdamaian merupakan prasyarat utama bagi suatu masyarakat untuk membangun dan mengembangkan diri dan lingkungannya. Tanpa rasa damai, semua perencanaan dan harapan akan sia-sia. Degradasi pendidikan, ekonomi, sosial-budaya termasuk di antara dampak tidak adanya kondisi damai
Volume 13, Nomor 1, Januari 2011
93
sehingga proses pembangunan terhalangi karenanya. Dalam bingkai hukum yang ditaati, setiap individu dalam meraih kesuksesan, baik individu maupun kelompok tidak mengganggu pihak lain. Korelasi yang dibangun dalam masyarakat ini berdasarkan pada simbiosis mutualisme (saling menguntung) dan reciprocal relationship (hubungan timbal balik) dengan saling mengisi dan menyempurnakan sehingga kondisi yang demikian akan menjadikan suatu negeri yang damai. Daftar Rujukan Hans Kelsen. 1991. General Theory of Norms. Oxford: Clarendon Press. M. Nasir Budiman. 2001. Pendidikan dalam Perspektif Alquran .Jakarta: Madani Press. Sheryl J. Grana and Jane C. Ollecen Burger. 1999. The Social context of Law. New Jersey.
Soedjito Sosrodihardjo.1992. “Peranan Ilmu Pengetahuan Hukum dalam Masyarakat” dalam Anto Soemarman, Pendidikan Hukum untuk Memenuhi kebutuhan Masyarakat. Yogyakarta: Pusat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Fakultas Hukum UII. Soetandyo Wignjosoebroto, 1992. Perkembangan Hukum Nasional dan Pendidikan Hukum Di Indonesia Pada Era Pascakolonial, Universitas Leiden. Talcott Parsons. 1980. “The Law and Social Control”, dalam William M. Evan, The Sociolog of Law. London: Collier Macmillan Publisher.
94
Volume 13, Nomor 1, Januari 2011