PEMBENTUKAN KEPRIBADIAN SANTRI DALAM SISTEM PONDOK PESANTREN SALAFI MIFTAHUL HUDA CIHIDEUNG BOGOR Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Agama Islam (S.Pd.I)
Oleh : Eva Fauziyah 1110011000016
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2014
ABSTRAK
Eva Fauziyah (NIM: 1110011000016) : Pembentukan Kepribadian Santri Dalam Sistem Pondok Pesantren Salafi Miftahul Huda Cihideung Bogor. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran secara empiris mengenai sistem pendidikan pondok pesantren khususnya pada pondok pesantren salafi Miftahul Huda dalam pembentukan kepribadian santri dan juga pelaksanaan pendidikan pondok pesantren salafi Miftahul Huda dalam pembentukan kepribadian santri. Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif dengan pendekatan deskriptif. Instrumen penelitian yang digunakan adalah obsevasi, interview, dan dokumentasi. Sedangkan untuk menganalisis, penulis menggunakan teknik analisis deskriptif kualitatif, yaitu berupa data-data yang tertulis atau wawancara secara lisan dari orang yang terlibat dalam pondok pesantren tersebut serta perilaku yang di amati, sehingga dalam hal ini penulis berupaya mengadakan penelitian yang bersifat menggambarkan secara menyeluruh. Dalam penelitian ini peneliti mendapatkan informasi dalam kegiatan pendidikan di pondok pesantren salafi Miftahul Huda meliputi dua hal, yang pertama pelaksanaan, dan yang kedua evaluasi. Kemudian dalam pelaksanaan pendidikan yang dapat membentuk kepribadian santri yaitu dengan menggunakan peraturanperaturan yang dibuat oleh pihak pondok pesantren yang memiliki sangsi berbedabeda sesuai dengan tingkatan kesalahannya untuk membentuk pribadi santri yang berakhlakul karimah. Selain dengan peraturan-peraturan yang di buat, pesantren juga mengaji berbagai kitab-kitab akhlak, diantaranya kitab akhlakul banin (kitab yang mempelajari bagaimana menjadi laki-laki yang berakhlak baik), kitab akhlakul banat (kitab yang mempelajari bagaimana menjadi perempuan yang berakhlak baik), kitab fiqih (menjelasakan masalah ibadah dan muamalah), kitab riyadus sholihin, dan kitab tafsir jalalain, di dalam kajian tersebut menjelaskan masalah kehidupan sehari-hari, untuk perkembangan kepribadian santri. Pondok pesantren juga mengadakan praktek langsung mengenai akhlakul karimah, hal ini dapat dilihat dari kegiatan-kegiatan keagamaan seperti dzikir, tadarus al-Qur’an, istighosahan dan lain sebagainya. Dengan demikian sistem pendidikan pondok pesantren dalam pembentukkan kepribadian santri di pondok pesantren salafi Miftahul Huda Cihideung Bogor adalah sistem salaf (tradisioanal), sedangkan kurikulum yang digunakan adalah kurikulum yang dirancang oleh pondok pesantren salafi Miftahul Huda itu sendiri.
Kata Kunci: Pesantren Salafi, Kepribadian Santri
i
KATA PENGANTAR Bismillahirrahmanirrahim Alhamdulillah dengan segenap jiwa dan raga penulis panjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT. Yang telah melimpahkan rahmat, taufik dan hidayah-Nya sehingga penulis mampu menyelesaikan tugas akhir skripsi yang berjudul "Pembentukan Kepribadian Santri Dalam Sistem Pondok Pesantren Salafi Miftahul Huda Cihideung Bogor" Sholawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW yang telah berhasil membimbing dan menuntun ummat-Nya ke jalan yang benar dan diridhoi Allah SWT, begitu pula bagi segenap keluarga, para sahabat serta orang-orang yang meneladani dan mengikutinya. Suatu kebanggaan tersendiri bagi penulis karena dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulis menyadari dalam penulisan skripsi ini tidak dapat terlepas dari uluran tangan berbagai pihak, oleh karena itu dalam kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya serta penghargaan yang setinggi-tingginya kepada yang terhormat : 1. Bapak Suhandi dan Umi Aliyah yang teramat saya sayangi, selaku orang tua yang telah membesarkan, membimbing, mendidik, membiayai dan mendoakan dalam setiap langkah saya dengan ketulusan hati serta kasih sayang yang tiada terbatas demi terselesainnya skripsi ini. Dengan tulus dan sabar serta selalu mendoakan kesuksesan sehingga menjadikan hidup saya lebih bermakna. Sungguh sangat terima kasih untuk segala-galanya. Skripsi ini aku persembahkan untuk kalian. 2. Prof. Dr. Dede Rosyada, M.A, selaku Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta beserta stafnya yang telah memberikan kesempatan dan pelayanan kepada penulis untuk menyelesaikan studi di kampus UIN Jakarta.
ii
3. Dra. Nurlena Rifai, MA, Ph.D, selaku Dekan Fakultas Tarbiyah yang telah memberikan pelayanan kepada penulis untuk menyelesaikan studi di kampus UIN Jakarta. 4. Bapak Dr. H. Abdul Majid Khon, M.Ag, selaku ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam dan Ibu Marhamah Saleh, Lc, MA, selaku wakil ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam. 5. Bapak DR. Sapiudin Shidiq, M. Ag, selaku pembimbing yang telah tulus ikhlas dan penuh kesabaran memberikan bimbingan, arahan dan nasehat kepada penulis sehingga terselesaikannya skripsi ini. Sungguh sangat terimakasih. 6. Bapak dan Ibu Dosen yang budiman, yang telah banyak membantu dan mengukir penulis dengan ilmu selama menyelesaikan studi di UIN Jakarta. 7. Bapak K.H. Syahlul Lail, selaku pimpinan Pondok Pesantren Miftahul Huda tempat penulis meneliti hasil dari skripsi ini. Serta ustadz-ustadzah, para santri yang telah membantu kelancaran penulis dalam meneliti. 8. Keluarga besar dari Umi saya yang telah berupaya membantu mencarikan berbagai referensi, terimakasih banyak. 9. Nenek Sariah, selaku nenek saya satu-satunya yang ada. Terimakasih atas doanya. 10. Fatimah, selaku kaka perempuan saya satu-satunya dan adik laki-laki saya satusatunya Fauzan Muzadi yang selalu mendoakan dan memberi semangat kepada saya. Terimakasih banyak. 11. Shadudin, salah satu sahabat terdekat saya yang telah menyemangati, membantu baik materil maupun spiritual selama tiga tahun belakangan ini. Sehingga dapat terselesainya studi saya dan sampai pada tugas akhir skripsi ini. Terimakasih banyak. 12. Sahabat-sahabat terdekat saya Reni Anggraeni, Fitri Handayani, Nur Fauziah, Debi Utami Rizky, Widya Rafika, Maesaroh yang mengisi hari-hariku selama dikampus ini dan selalu memberi semangat serta nasihat selama empat tahun lebih ini. Sungguh terimakasih buat kalian. iii
13. Sahabat seperjuangan PAI lainnya yang telah banyak membantu penulis baik materil maupun spiritual demi terselesaikannya penyusunan skripsi ini. Terimakasih banyak. 14. Teman-teman saya sejak kecil Ela, Amel, Syifa, Devi yang sudah berteman dengan saya dari taman kanak-kanak hingga sekarang yang tak mungkin saya lupakan. Terimakasih atas semangat dan doanya. 15. Semua pihak yang ikut membantu dan memberikan sumbangan pikiran dalam rangka menyelesaikan skripsi ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Semoga bantuan yang telah diberikan kepada penulis, mendapatkan imbalan yang lebih besar dari Allah SWT dan dicatat sebagai amal sholeh, Amin. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penyusunan skripsi ini tidak lepas dari kekurangan dan masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu kritik dan saran dari pembaca yang budiman sangat penulis harapkan demi mendapatkan hasil yang lebih baik di masa yang akan datang. Mudah-mudahan skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan pembaca pada umumnya. Sekaligus dapat menambah khazanah pengetahuan untuk mengembangkan cakrawala berfikir terutama dalam dunia pendidikan.
Penulis
iv
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN PENULIS LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ABSTRAK ……………………………………………………………………….. i KATA PENGANTAR …………………………………………………………... ii DAFTAR ISI ……………………………………………………………………... v DAFTAR TABEL ……………………………………………………………….. vii
BAB I:
PENDAHULUAN A. B. C. D. E.
BAB II:
KAJIAN TEORI A. B. C. D.
BAB III:
Latar Belakang ………………………………………………… 1 Identifikasi Masalah …………………………………………… 6 Pembatasan Masalah …………………………………………... 6 Perumusan Masalah …………………………………………… 6 Tujuan dan Manfaat Penelitian ………………………………... 6
Sistem Pendidikan Pondok Pesantren ……………………….… 8 Pembentukkan Kepribadian Santri …………………………….. 20 Kerangka Berfikir ……………………………………………… 27 Penelitian yang Relevan ……………………………………….. 28
METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu ……………………………………………... 30 B. Tahap-Tahap Penelitian ……...………………………………… 30 C. Metode Penelitian ………..……………………………...……... 31
v
D. Teknik Pengumpulan Data ……………...…………………...… 32 E. Pengecekkan Keabsahan Data ……………………….………… 36 F. Teknik Analisis Data ………………..………………………… 37
BAB IV:
HASIL PENELITIAN A. B. C. D.
BAB V:
Objek Penelitian ……………………………………….……….. 38 Penyajian Data ………………….……………………………… 48 Analisa Data ……………………………………………………. 59 Pembahasan Hasil Penelitian …………………………………... 60
PENUTUP A. Kesimpulan …………………………………………………..… 65 B. Saran ………………………………………………………..….. 66
DAFTAR PUSTAKA DAFTAR LAMPIRAN
vi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Di era modern ini bermunculan pesantren-pesantren modern yang tidak hanya mempelajari ilmu keislaman saja, melainkan ilmu-ilmu umum, berbagai macam bahasa, dan ilmu pengetahuan teknologi. Dalam pesantren pada zaman sekarang masih sangat jauh dari nilai murni pesantren, namun ada beberapa pesantren yang masih menerapkan sistem pendidikan salafi yang mengutamakan nilai-nilai keislaman yang sangat kental, bahkan di nilai masih sangat murni. Namun dalam penampilannya santri di pesantren salafi masih sangat kuno, santri putra selalu mengenakan sarung untuk melakukan segala aktifitasnya dari mulai tidur, shalat, mengaji, dan keluar pesantren menggunakan sarung. Santri putrinya mengenakan pakaian muslimah yang masih terlihat kuno, jilbabnyapun hanya di songketkan tidak di sematkan menggunakan jarum. Pengetahuan teknologi para santri cenderung sangat ketinggalan zaman, membuat santrinya miskin akan pengetahuan teknologi. Karena di dalam pesantren salafi ini tidak sedikitpun mempelajari ilmu teknologi, bahkan ilmu umum saja tidak bisa masuk dalam pembelajaran di pondok salafi ini. Jadi pesantren salafi ini murni hanya mempelajari ilmu-ilmu keislaman saja. Pembelajarannya menggunakan kitab-kitab klasik diantaranya nahu/syaraf, fiqh, ushul fiqh, hadis, tafsir, tauhid, akhlakul banat, akhlakul banin, tarikh dan balaghah. Tidak ada sedikitpun ilmu-ilmu umum yang di pelajari dalam pesantren ini. Kegiatannya hanya mengaji kitab-kitab klasik saja. Di balik kekunoan para santri salafi, ada sisi positif yang cenderung berbeda dengan santri pada pondok pesantren modern yaitu kepribadian. Kepribadian para santri salafi di sini sangat menarik perhatian masyarakat sekitar. Dari mulai kesopanan, keramahan, kerjasama yang baik, dan jiwa sosial yang tinggi. Rasa
1
2
hormat mereka kepada orang tua sangatlah tinggi, apalagi hormatnya kepada kiai atau keluarga kiai. Setiap ada tamu kiai, pasti selalu disambut dengan sangat ramah dan sopan. Pesantren yang menjadikan santri seorang yang alim shalih seperti ini kemudian dalam penempatan cara hidup, nilai, dan prinsip hidup sehari-hari di pesantren. Nilai-nilai tersebut membentuk perilaku santri yang kemudian membangunkan nilai-nilai mereka berada dalam sebuah sub-tradisi di pesantren, seperti keikhlasan, kesederhanaan, kemandirian, dan keteladanan yang telah sangat lama dipraktikkan di pesantren dan menjadi ciri khasnya. Seorang kiai, misalnya, harus rela membuka pintu rumahnya 24 jam untuk melakukan fungsi pelayanan masyarakat. Ini contoh konkret dari prinsip keikhlasan yang diteladankan kepada santrinya. Sikap hidup tanpa pamrih atau dalam bahasa pesantrennya “Lillahi Ta’ala” ini menjadikan pesantren mampu bertahan hidup sampai berabad-abad lamanya. Secara lebih luas, ikhlas dalam menuntut ilmu juga dapat diartikan sebagai kesungguhan dan keseriusan dalam belajar. Selama belajar itu santri mengesampingkan kegiatan-kegiatan yang tidak relevan dan bahkan kesenangan sesuai selera pribadinya. Sikap hidup ini menekankan pada proses dari pada hasil. Implikasinya adalah para santri menjadi individu yang tangguh, berjiwa besar, dan tidak takut menghadapi kenyataan pahit dalam hidupnya.1 Pesantren atau pondok pesantren adalah lembaga pendidikan keagamaan Islam berbasis masyarakat yang menyelenggarakan pendidikan diniyah atau secara terpadu dengan jenis pendidikan lainnya.2 Sejak lama pesantren dianggap sebagai sebuah sistem pendidikan khusus. Sampai-sampai pakar pendidikan asing menilainya sebagai sebuah sistem pendidikan non sekolah yang memiliki corak tersendiri. Output pendidikannya pun sangat khas. Sistematika pengajarannya juga sangat khusus, dengan jenjang 1 2
Ibid., h. 50. UUD, Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan, Pasal 1
3
pelajaran yang seolah tak ada batas akhirnya.3 Masa belajar tak diukur dengan jenjang semester maupun tahun, tetapi sasaran pencapaian ilmu yang diperoleh dari kiai berdasarkan kitab-kitab yang berhasil di-khatam-kan dan dikuasai. Karena itu, pesantren sebagai sebuah sistem pendidikan tak mengenal istilah ijasah atau diploma sebagai bentuk kelulusan pada peserta didik. Kredibilitas pesantren sebagai sebuah sistem pendidikan biasanya ditentukan oleh kredibilitas kiai sebagai Sang Pengajar. Pengakuan masyarakat terhadap seorang kiai, bukan semata-mata ditandai oleh kedalaman ilmunya. Juga oleh peranannya sebagai pemimpin informal bagi lingkungannya: sebagai tempat bertanya segala macam masalah, meminta fatwa dan perlindungan. Bukan saja tempat bertanya soal-soal agama, juga masalah sosial budaya lainnya seperti pernikahan, selamatan, pekerjaan dan sebagainya. Dengan demikian pesantren berkembang menjadi sebuah komunitas khusus itu, seorang kiai tampil sebagai seorang pemimpin yang penuh kharismatik sehingga masyarakat tunduk kepadanya dengan sukarela.4 Di masa lalu kelebihan para kiai itu dipandang sebagai kharisma atau keramat yang bersumber dari keramat yang bersumber dari bakat yang dianugerahkan.5 Sebelum pembentukkan kepribadian santri, banyak santri yang menyimpang dari ajaran Islam yang sebenarnya. Di antara mereka, ada yang percaya kepada Allah SWT dan menjalankan ajaran agama karena berada dalam lingkungan keluarga yang beriman dan taat beribadah, atau karena lingkungan sosial dan teman-teman sejawatnya rajin beribadah. Semua itu dilakukan semata-mata sebagai penyesuaian diri dalam lingkungannya bukan kepercayaan dari individu itu sendiri.6 3
Abdurrachman Wahid, Pesantren Sebagai Subkultur, pada Jurnal Pesantren dan Pembaharuan, (Jakarta, LP3ES, 1974), h. 3. 4 Zubadi Habibullah Asy’ari, Moralitas Pendidikan Pesantren, (Yogyakarta: Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (LKPSM), 1996), h. 9. 5 M. Dian Nafi’, dkk, Praksis Pembelajaran Pesantren, (Yogyakarta: Instite for Training and Development (ITD), 2007), h.19. 6 Abdul Muiz Kabry, Pengantar Ilmu Jiwa Agama, (Yogyakarta: Imperium, 2013), h. 97.
4
Ada pula hal-hal yang memicu bermacam-macam konflik meliputi: prasangka buruk, kesalahpahaman, sifat keras kepala atau egois, rasa peka atau mudah tersinggung, perbedaan interpretasi,
perbedaan cara, ketergantungan
dalam melaksanakan pekerjaan, perbedaan kepentingan dan kebutuhan, perbedaan latar nilai budaya, perbedaan tujuan, persaingan memperebutkan status, berkurangnya sumber-sumber tertentu seperti kekuasaan dan lain-lain. Maka setelah diketahui kemungkinan-kemungkinan dimana akan terjadi konflik dan penyebab-penyebab yang mungkin menimbulkan konflik, para pemimpin pesantren hendaknya memperhatikannya sebaik mungkin sehingga tidak akan mengganggu jalannya proses pendidikan di pesantren.7 Dalam hal ini pendidikan sudah tidak lagi memiliki ruh yang mampu menciptakan sosok peserta didik yang ideal. Target kognisi yang menjadi prioritas pertama di dalam dunia pendidikan ternyata hanya menjadikan siswa sosok yang sangat keras dan tidak bernaluri, yang disebabkan oleh gangguan kesehatan mental psikologis yang terjadi di kalangan mereka. Pendidikan dalam realitasnya tidak mampu menjangkau sisi batiniah peserta didik yang mampu mempengaruhi pola pikir dan pola sikap yang mereka miliki. Karena pendidikan yang ada selama ini hanya menekankan kepada sisi kognisi saja. Maka wajar ketika kondisi kejiwaan mereka menjadi goncang, terasing dari nilai-nilai agama dan budayanya.8 Dalam interaksinya, pesantren secara sosiologis berperan sebagai kontrol sosial terhadap penyimpangan dalam arti seluas-luasnya. Dalam posisi ini, pesantren juga berperan sebagai agen perubahan kebudayaan (agent of cultural change) dari kebudayaan yang penuh dengan penyimpangan agama kearah kebudayaan agamis, yang kemudian dikenal dengan sebutan santri.9 7
8
Masyhud, dkk, op. cit., h. 59. http://aliahmadzainuri.wordpress.com/2013/09/07/tazkiyatun-nafs-dalam-pembentukan-
akhlak/ 9
Imam Bawani, dkk., Pesantren Buruh Pabrik, (Yogyakarta, LKiS, 2011), h. 58.
5
Di samping itu pesantren juga berperan dalam berbagai bidang lainnya secara multidimensional baik berkaitan langsung dengan aktivitas-aktivitas pendidikan pesantren maupun di luar wewenangnya. Di mulai dari upaya mencerdaskan bangsa, dan kemudian terlibat langsung menanggulangi bahaya narkotika. Dengan demikian pesantren telah terlibat dalam menegakkan Negara dan mengisi pembangunan sebagai pusat perhatian pemerintah. Hanya saja dalam kaitan dengan peran tradisionalnya, sering di identifikasi memiliki tiga peran penting dalam masyarakat Indonesia: 1) Sebagai pusat berlangsungnya transmisi ilmu-ilmu Islam tradisional, 2) Sebagai penjaga dan pemelihara keberlangsungan Islam tradisional, dan 3) Sebagai pusat reproduksi ulama. Lebih dari itu, pesantren tidak hanya memainkan ketiga peran tersebut, tetapi juga menjadi pusat penyuluhan kesehatan, pusat pengembangan teknologi tepat guna bagi masyarakat pedesaan, pusat usaha-usaha penyelamatan dan pelestarian lingkungan hidup dan lebih penting lagi menjadi pusat pemberdayaan ekonomi disekitarnya.10 Merujuk pada keberadaan pesantren seperti tersebut di atas maka dapat di katakan bahwa pesantren merupakan sentral bagi segala aktivitas pendidikan Islam. Sebagai sentral seharusnya pesantren mampu mengantisipasi adanya perubahan-perubahan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat dengan memberikan pemikiran dan upaya baru yang lebih relevan dengan tuntunan zaman. Hal-hal semacam inilah yang mendasari penulisan skripsi dengan mengangkat sebuah topik permasalahan dengan judul "Pembentukan
Kepribadian Santri Dalam Sistem Pondok Pesantren Salafi Miftahul Huda Cihideung Bogor".
10
Mujamil Qomar, Pesantren dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi, (Jakarta: Erlangga), h. 25.
6
B. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan, dapat ditemukan beberapa masalah, di antaranya yaitu: 1. Santri tidak mendapatkan ilmu pengetahuan sosial dan ilmu pengetahuan teknologi sehingga kurangnya pengetahuan santri. 2. Penampilan santri yang tidak kekinian menjadikan mereka di pandang sebelah mata oleh masyarakat luar. 3. Pembelajarannya hanya menggunakan kitab-kitab klasik dengan cara belajar yang klasik pula.
C. Pembatasan Masalah Kajian tentang kegiatan dalam pondok pesantren sangat luas. Oleh karena itu, pembahasan dalam penelitian ini perlu dibatasi agar tetap fokus pada rumusan masalah. Batasan tersebut meliputi: Pembentukan kepribadian santri di pondok pesantren salafi Miftahul Huda Cihideung Bogor.
D. Perumusan Masalah Berkaitan dengan judul di atas, maka masalahnya dapat di rumuskan sebagai berikut: 1. Bagaimana proses pendidikan di pondok pesantren salafi Miftahul Huda dalam pembentukan kepribadian santri? 2. Bagaimana sistem pendidikan di pondok pesantren salafi Miftahul Huda dalam pembentukan kepribadian santri?
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian 1) Untuk mengetahui proses pendidikan di pondok pesantren salafi Miftahul Huda dalam pembentukan kepribadian santri.
7
2) Untuk mengetahui sistem pendidikan di pondok pesantren salafi Miftahul Huda dalam pembentukkan kepribadian santri.
2. Manfaat Penelitian 1) Bagi pesantren penelitian ini kiranya dapat dijadikan salah satu sarana monitoring dan evaluasi, untuk membantu pembentukan kepribadian santri. 2) Sebagai sumbangan informasi dan evaluasi yang nantinya dapat dijadikan sebagai bahan percontohan terhadap pondok pesantren salafi lainnya. 3) Dari hasil penelitian ini nantinya dapat digunakan untuk bahan penelitian selanjutnya.
BAB II KAJIAN TEORI
A. Sistem Pendidikan Pondok Pesantren 1. Pengertian Sistem Pendidikan Pesantren Sistem pendidikan adalah totalitas interaksi dari seperangkat unsur-unsur pendidikan dan bekerja sama secara terpadu, dan saling melengkapi satu sama lain menuju tercapainya tujuan pendidikan yang telah menjadi cita-cita bersama pelakunya. Jadi sistem pendidikan pesantren adalah kumpulan dasardasar umum tentang bagaimana lembaga pendidikan di selenggarakan dalam rangka membekali pengetahuan kepada siswa yang di dasarkan kepada alQur‟an dan sunah.1 Sistem pendidikan terdiri dari berbagai unsur (subsistem) yang semuanya memiliki kaitan fungsional, tak terpisahkan untuk mewujudkan tujuan yang diterapkan. Masing-masing unsur memiliki fungsi tertentu, yang tak bisa diabaikan sama sekali. Kekurangan satu unsur saja akan menjadi kendala bagi proses pendidikan dan langsung berpengaruh pada pencapaian tujuannya. Secara esensial, sistem pendidikan pesantren yang dianggap khas ternyata bukan sesuatu yang baru jika dibandingkan sistem pendidikan sebelumnya. I.P. Simanjuntak menegaskan bahwa masuknya Islam tidak mengubah hakikat pengajaran agama yang formil. Perubahan yang terjadi sejak pengembangan Islam hanyalah menyangkut isi agama yang dipelajari, bahasa yang menjadi wahana bagi pelajaran agama itu, dan latar belakang para santri. Dengan demikian, sistem pendidikan yang dikembangkan pesantren dalam banyak hal merupakan hasil adaptasi dari pola-pola pendidikan yang telah ada dikalangan
1
Ahmad Syahid (edt), Pesantren dan Pengembangan Ekonomi Umat, (Depag dan INCIS, 2002), h. 30.
8
9
masyarakat Hindu-Budha sebelumnya. Jika ini benar, ada relevansinya dengan suatu statement bahwa pesantren mendapat pengaruh dari tradisi lokal.2 Sistem pendidikan pesantren juga melakukan kegiatan sepanjang hari. Santri tinggal di asrama dalam satu kawasan bersama guru, kiai dan senior mereka. Oleh karena itu, hubungan yang terjalin antara santri-guru-kiai dalam proses pendidikan berjalan intensif, tidak sekedar hubungan formal ustadzsantri di dalam kelas. Dengan demikian kegiatan pendidikan berlangsung sepanjang hari dari pagi hingga malam hari.3 Sistem penyelenggaraan pendidikan di pesantren pada mulanya memiliki keunikan tersendiri dibanding sistem pendidikan di lembaga pendidikan lain. Sistem pendidikan di pesantren tersebut sebagaiman dijelaskan oleh Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir dapat digambarkan sebagai berikut: 1) Menggunakan sistem pendidikan tradisional, dengan ciri adanya kebebasan penuh dalam proses pembelajarannya, terjadinya hubungan interaktif antara kiai dan santri. 2) Pola kehidupan di pesantren menonjolkan semangat demokrasi dalam praktik memecahkan masalah-masalah internal non-kurikuler. 3) Peserta didik (para santri) dalam menempuh pendidikan di pesantren tidak berorientasi semata-mata mencari ijazah dan gelar, sebagaimana sistem pendidikan di sekolah formal. 4) Kultur pendidikan diarahkan untuk membangun dan membekali para santri agar hidup sederhana, memiliki idealisme, persaudaraan, persamaan, percaya diri, kebersamaan dan memiliki keberanian untuk siap hidup dimasa depan.
2
Mujamil Qomar, Pesantren dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi, (Jakarta: Erlangga), h.62. 3 Ibid., h. 64.
10
5) Dalam sejarahnya, alumni pesantren umumnya tidak bercita-cita untuk menjadi atau menguasai kedudukan (jabatan) di pemerintahan, karena itu mereka juga sulit untuk bisa dikuasai oleh pemerintah.4
2. Karakteristik Sistem Pendidikan Pesantren Pesantren sebagai lembaga pendidikan keagamaan merupakan sub sistem pendidikan nasional yang memiliki karakteristik menonjol dalam hal-hal tertentu dibanding dengan pendidikan sistem sekolah formal, karakteristik tersebut antara lain adalah: 1) Sifat patuh, tunduk kepada seorang guru adalah simbol dari “pakaian” mereka dengan agama sebagai jantungnya. Secara umum hal ini tidak kita temukan dalam dunia pendidikan zaman sekarang, maka sebagai akibat timbul manusia bunuh membunuh dalam suatu keluarga, serakah harta, dan lain sebagainya. 2) Jiwa solidaritas yang tinggi, terpatri dalam jiwa mereka. Kenyataan ini juga tidak bisa kita temukan dalam dunia pendidikan lain, terlebih di Barat, dalam satu lembaga saling menjatuhkan, selalu individualis dan lain-lain.5 Ciri umum yang dapat diketahui adalah pesantren memiliki kultur khas yang berbeda dengan budaya sekitarnya. Beberapa peneliti menyebut sebagai sebuah sub-kultur yang bersifat idiosyncratic (istimewa). Cara pengajarannya pun unik. Sang kiai, yang biasanya adalah pendiri sekaligus pemilik pesantren, membacakan manuskrip-manuskrip keagamaan klasik berbahasa Arab (dikenal dengan sebutan “kitab kuning”), sementara para santri mendengarkan sambil memberi catatan pada kitab yang sedang dibaca. Metode ini disebut bandongan atau layanan kolektif (collective learning process). Selain itu, para santri juga ditugaskan membaca kitab, sementara kiai atau ustadz yang sudah mahir menyimak, mengoreksi dan mengevaluasi 4
A. Fatah Yasin, Dimensi-Dimensi Pendidikan Islam, (Malang: UIN-Malang Press, 2008), h.
5
Ibid., h. 254.
243.
11
bacaan dan performance seorang santri. Metode ini dikenal dengan istilah sorogan atau layanan individual (individual learning process). Kegiatan belajar mengajar diatas berlangsung tanpa penjenjangan kelas dan kurikulum yang ketat, dan biasanya dengan memisahkan jenis kelamin siswa.6 Selain itu, karakteristik pesantren juga dapat dilihat dari segi struktur organisasinya. Struktur organisasi dan lingkungan kehidupan pesantren meliputi potensi yang kompleks. Setiap pesantren akan memiliki corak yang khas, dilihat dari: (1) status kelembagaan, (2) struktur organisasi, (3) gaya kepemimpinan, dan (4) kaderisasi atau regenerasi kepemimpinannya. Dilihat dari statusnya, sebuah lembaga pesantren dapat menjadi milik perorangan atau lembaga/yayasan yang menampilkan perspektif berbeda dalam merespon sistem pendidikan nasional. Kedua macam status pesantren memberikan implikasi berbeda pula terhadap struktur organisasi pesantren. Pesantren milik pribadi kiai struktur organisasinya lebih sederhana dibandingkan dengan pesantren yang dikelola yayasan yang menampilkan kultur pesantren relatif berbeda antara keduanya. Yang pertama lebih menonjolkan tanggung jawab untuk melestarikan nilai absolute (mutlak) pesantren dengan kiai sebagai sumber kepatuhan, pimpinan spiritual dan tokoh kunci pesantren, sedangkan yang kedua lebih memperhatikan managemen, dimana beberapa tugas pesantren telah didelegasikan oleh kiai sesuai uraian pekerjaan yang disepakati (job description).7 Kepemimpinan kiai di pondok pesantrennyapun sangat unik karena mereka memakai sistem kepemimpinan pra-modern. Relasi sosial antara kiaiulama-santri dibangun atas landasan kepercayaan. Ketaatan santrinya kepada kiai lebih dikarenakan mengharap barakah (grace), sebagaimana dipahami dari konsep sufi. Tetapi, itu bukan hanya satu-satunya sumber kepemimpinan 6
Sulthon Masyhud, M, dkk, Manajemen Pondok Pesantren, (Jakarta: Diva Pustaka, 2005), h.
7
Ibid., h. 74.
3.
12
pra-modern. Sebab, sebelum tradisi pondok pesantren muncul, ada tradisi Hindu-Budha yang juga mempraktikkan hubungan guru-murid sebagai mana dilakukan pondok pesantren.8 Sisi kepemimpinan kiai yang demikian itu sangat penting. Selain berkaitan dengan problem bagaimana seorang kiai harus memperhatikan relasinya dengan masyarakat, pada dimensi lain ia juga harus mengikuti kiai sepuh di dalam lingkungan pondok pesantren itu. Di sini, kita harus menguji sejauh mana kepemimpinan kiai dalam perspektif pendidikan. Dalam masalah ini muncul faktor yang sangat penting, bahwa syarat dalam tradisi Islam seorang kiai adalah pemegang ilmu-ilmu doktrinal. Tugas ini tidak dapat dilimpahkan kepada masyarakat umum, karena berhubungan dengan kepercayaan bahwa kiai adalah pewaris Nabi SAW. Maka, dengan landasan itu, ulamalah yang mempunyai otoritas penuh untuk menafsirkan ayat-ayat Al-Qur‟an dan Hadis Nabi SAW. Konsep inilah yang kemudian dijadikan framework dalam proses pengajaran ilmu-ilmu agama yang dikembangkan di pondok pesantren secara turun temurun.9 Ciri dominan yang selalu menjadi acuan prinsipil dari tradisi pesantren adalah tertanamnya ajaran-ajaran yang termanifestasi dalam keikhlasan, ketulusan, kemandirian, kebersahajaan, dan keberanian. Semuanya itu merupakan karakteristik yang diteladankan dalam kehidupan sehari-hari (yawmiyyah) oleh sang kiai kepada para santrinya. Sikap kiai ini melahirkan keseganan tersendiri di kalangan santri untuk bersikap semaunya kepada sang kiai. Dari sikap seperti inilah kemudian muncul sikap mengidolakan kiai dan tumbuhlah penghormataan yang kadang berlebihan kepada sang kiai.10 Sebagaimana konsep hidup menyatu dan seimbang menurut konsep al Qur‟an, Surat al-Qashash ayat 77: 8
Siradj, dkk, op. cit., h. 14. Ibid., h.15. 10 Ibid., h. 134. 9
13
“Dan carilah apa yang dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan)
kehidupan akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagian dari (kenikmatan) hidup di dunia, dan berbuat baiklah (dengan sesama) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu. Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi, karena yang sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berbuat kerusakan.” (QS. Al-Qashash: 77)11
3. Komponen Pendidikan Pesantren Persyaratan-persyaratan pokok suatu lembaga pendidikan baru dapat digolongkan sebagai pesantren itu perlu dilihat apabila telah mencukupi komponen pokok pesantren. Komponen-komponen pokok pesantren itu adalah: pondok, masjid, kiai, santri, dan pengajaran kitab-kitab klasik. Kelima komponen pokok tersebut bila diuraikan secara global dapat dikemukakan sebagai berikut: a. Pondok Istilah pondok pesantren berasal dari bahasa Arab funduq yang berarti hotel, tempat bermalam. Istilah pondok juga diartikan dengan asrama. Dengan demikian, pondok mengandung makna sebagai tempat tinggal. Sebuah pesantren mesti memiliki asrama tempat tinggal santri dan kiai. Ditempat tersebut selalu terjadi komunikasi antara santri dan kiai.
11
Yasin, op. cit., h. 256.
14
Di pondok seorang santri patuh dan taat terhadap peraturan-peraturan yang diadakan, ada kegiatan pada waktu tertentu yang mesti dilaksanakan oleh santri. Ada waktu belajar, shalat, makan, tidur, istirahat, dan sebagainya, bahkan ada juga waktu untuk ronda dan jaga malam.12 Pondok dalam sejarahnya menunjukkan simbol kesederhanaan. Artinya pondok-pondok untuk penginapan santri itu dibangun karena kondisi jarak antara santri dan kiai cukup jauh sehingga memaksa mereka untuk mewujudkan penginapan sekedarnya dalam bentuk bilik-bilik kecil di sekitar masjid dan rumah kiai.13 Dalam perkembangannya, asrama (pemondokan) yang seharusnya sebagai penginapan santri-santri yang belajar di pesantren untuk memperlancar proses belajarnya dan menjalin hubungan guru-murid secara lebih akrab, yang terjadi di beberapa pondok justru hanya sebagai tempat tidur semata bagi pelajar-pelajar sekolah umum. Mereka menempati pondok bukan untuk thalab „ilm al-Din, melainkan karena alas an ekonomis. Istilah pondok juga seringkali digunakan bagi perumahanperumahan kecil di sawah atau lading sebagai tempat peristirahatan sementara bagi para petani yang sedang bekerja.14 b. Masjid Masjid diartikan secara harfiah adalah tempat sujud karena di tempat ini
setidak-tidaknya
seorang
muslim
lima
kali
sehari
semalam
melaksanakan shalat. Fungsi masjid tidak saja untuk shalat, tetapi juga mempunyai fungsi lain seperti pendidikan dan lain sebagainya. Di zaman Rasulullah masjid berfungsi sebagai tempat ibadah dan urusan-urusan sosial kemasyarakatan serta pendidikan.15 12
Haidar Putra Daulay, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media Group, 2007), h. 62. 13 Qomar, op. cit. h. 88. 14 Ibid., h.1. 15 Daulay, op. cit., h. 63.
15
Selain sebagai pusat kegiatan ibadah dan belajar mengajar, masjid merupakan sentral sebuah pesantren karena disinilah pada tahap awal bertumpu seluruh kegiatan di lingkungan pesantren, baik yang berkaitan dengan ibadah, shalat berjama‟ah, zikir, wirid, do‟a, i‟tikaf, dan juga kegiatan belajar-mengajar.16 Dalam perspektif sejarah Islam, masjid bukanlah sarana kegiatan peribadatan belaka, lebih jauh dari itu masjid menjadi pusat bagi segenap aktivitas Nabi Muhammad dalam berinteraksi dengan umat. Masjid menurut Nurcholish Majid dapat juga dikatakan sebagai pranata terpenting masyarakat Islam. Dalam pandangan Nurcholish Majid, pembangunan masjid adalah modal utama Nabi ketika berjuang menciptakan masyarakat beradab.17 c. Kitab-kitab Kitab-kitab Islam klasik yang lebih populer dengan sebutan “kitab kuning”. Kitab-kitab ini ditulis oleh ulama-ulama Islam pada zaman pertengahan. Kepintaran dan kemahiran seorang santri diukur dari kemampuannya membaca, serta mensyarahkan (menjelaskan) isi kitabkitab tersebut. Untuk tahu membaca sebuah kitab dengan benar, seorang santri dituntut untuk mahir dalam ilmu-ilmu bantu, seperti nahu, syaraf, balaghah, ma‟ani, bayan dan lain sebagainya. Kitab-kitab klasik yang diajarkan dipesantren dapat digolongkan kepada delapan kelompok: nahu/syaraf, fikih, ushul fikih, hadis, tafsir, tauhid, tasawuf dan etika, serta cabang-cabang ilmu lainnya seperti tarikh dan balaghah.18 Dominasi kitab bahasa dan fiqih melahirkan popularitas suatu jenis kitab. Dunia Islam memandang sepertinya lambang pesantren diukur dari 16
Yasmadi, Modernisasi Pesantren, (Jakarta: Ciputat Press, 2002), h.64. Ibid., h.65. 18 Daulay, op. cit., h. 63. 17
16
literaturnya, sehingga dapat diwakili kitab-kitab yang popular ini. Ada dua kitab yang paling popular di pesantren pada abad ke-20 hingga ke-21 ini yaitu kitab Alfiyyah dan Taqrib. Alfiyyah melambangkan dominasi bahasa sedang Taqrib menunjukkan dominasi fiqih. Saefuddin Zuhri menilai bahwa kitab Alfiyyah (berisi suatu bait nazham dalam bentuk puisi atau syair) karangan seorang ahli nahwu, Muhammad Ibn Malik dari Andalusia, Spanyol. Dalam pandangan dunia Islam, kitab tersebut menjadi standar penguasaan seseorang tentang grammar atau syntax (tata bahasa) dalam bahasa Arab. Artinya, siapa pun yang ingin menguasai tata bahasa Arab, minimal ia harus memahami dan menghayati „Alfiyyat Ibn Malik‟. Hampir tidak seorang pun dari ulama besar yang tidak menguasai isi kitab kuning ini. 19 Kitab-kitab di pesantren ada tiga jenis yaitu kitab matan, kitab syarh (komentar) dan kitab hasyiyah (komentar atas sifat komentar). Tiga jenis kitab ini juga menunjukkan tingkat kedalaman dan kesulitan tertentu. Kitab matan paling mudah dikuasai, kitab hasyiyah paling rumit, sedangkan kitab syarh berada di antara keduanya. Tampaknya kitab syarh ini paling banyak dipakai di pesantren.20 d. Santri Santri merupakan peserta didik atau objek pendidikan, tetapi di beberapa pesantren, santri yang memiliki kelebihan interaksi intelektual (santri senior) sekaligus merangkap tugas mengajar santri-santri yunior. Santri ini memiliki kebiasaan-kebiasaan tertentu. “Santri memberikan penghormatan yang terkadang berlebihan kepada kiainya”. Kebiasaan ini menjadikan sntri bersikap sangat pasif karena khawatir kehilangan barokah. Kekhawatiran ini menjadi slah satu sikap yang khas pada santri
19 20
Qomar, op. cit., h.126. Ibid., h.127.
17
dan cukup membedakan dengan kebiasaan yang dilakukan oleh siswa-siswi sekolah maupun siswa-siswi lembaga khusus.21 Santri adalah siswa yang belajar di pesantren, santri ini dapat digolongkan kepada dua kelompok: 1) Santri mukim, yaitu santri yang berdatangan dari tempat-tempat yang jauh yang tidak memungkinkan dia untuk pulang kerumahnya, maka dia mondok (tinggal) dipesantren. Sebagai santri mukim mereka memiliki kewajiban-kewajiban tertentu. 2) Santri kalong, yaitu santri yang berasal dari daerah sekitar yang memungkinkan mereka pulang ketempat kediaman masing-masing. Santri kalong ini mengikuti pelajaran dengan cara pulang pergi antara rumahnya dengan pesantren. Di dunia pesantren bisa saja dilakukan seorang santri pindah dari satu pesantren kepesantren lain, setelah seorang santri telah cukup lama di satu pesantren, maka dia pindah ke pesantren lainnya. Biasanya kepindahan itu untuk menambah dan mendalami suatu ilmu yang menjadi keahlian dari seorang kiai yang di datanginya itu.22
e. Kiai Kiai adalah tokoh sentral dalam satu pesantren, maju mundurnya suatu pesantren ditentukan oleh wibawa dan karisma sang kiai. Menurut asal-usulnya, perkataan kiai dalam bahasa Jawa dipakai untuk tiga jenis gelar yang saling berbeda: 1) Sebagai gelar kehormatan bagi barang-barang yang dianggap keramat umpamanya “kiai garuda kencana” dipakai untuk sebutan kereta emas yang ada di keraton Yogyakarta. 21 22
Ibid., h. 20 Daulay, op. cit., h.64.
18
2) Gelar kehormatan untuk orang-orang tua pada umumnya. 3) Gelar yang diberikan oleh masyarakat kepada seorang ahli agama Islam yang memiliki pesantren saja. Sudah banyak juga gelar kiai digunakan terhadap ulama yang tidak memiliki pesantren. Istilah ulama kadang kala digunakan juga istilah lain seperti: Buya di Sumatera Utara, Tengku di Aceh, Ajengan di Jawa Barat, dan Kiai di Jawa Tengah dan Jawa Timur.23 Kiai disebut alim bila ia benar-benar memahami, mengamalkan dan memfatwakan kitab kuning. Kiai demikian ini menjadi panutan bagi santri pesantren, bahkan bagi masyarakat Islam secara luas. Akan tetapi dalam konteks kelangsungan pesantren kiai dapat dilihat dari perspektif lainnya. Muhammad Tholachah Hasan melihat kiai dari empat sisi yakni kepemimpinan ilmiah, spiritualitas, sosial, dan administrasinya. Jadi ada beberapa kemampuan yang mestinya terpadu pada pribadi kiai dalam kapasitasnya sebagai pengasuh dan pembimbing santri.24 Keberadaan seorang kiai dalam lingkungan sebuah pesantren laksana jantung dalam kehidupan manusia. Intensitas kiai memperlihatkan peran yang otoriter disebabkan karena kiailah perintis, pendiri, pengelola, pengasuh, pemimpin, dan bahkan juga pemilik tunggal sebuah pesantren.25 Kepemimpinan di pesantren selama ini lazimnya bercorak alami. Pengembangan pesantren maupun proses pembinaan calon pemimpin yang akan menggantikan pemimpin yang ada, belum memiliki bentuk yang teratur dan menetap. Hanya saja ada kebiasaan bahwa kiai yang paling tua adalah pemegang otoritas penuh dalam kepemimpinan pesantren. Tetapi dalam kasus lain, banyak pengasuh pesantren yang sebenarnya tidak siap secara ilmu dan kepribadian tetap saja dipasang karena kebetulan ia adalah 23
Daulay, op. cit., h. 62. Qomar., op. cit., h. 20 25 Yasmadi, op. cit., h. 63 24
19
putera mahkota. Sebenarnya yang merusak pesantren itu adalah feodalisme semacam ini, yang masuk dalam tubuh pesantren.26 Mengenai suksesi kepemimpinan, kiai adalah pemimpin seumur hidup. Selagi belum meninggal, kepemimpinan pesantren tetap dipegangnya. Pada waktu masih hidup, kiai berupaya melakukan pengkaderan yang diharapkan sebagai penerusnya. Kaderisasi dipusatkan pada anak-anaknya. Jika kaderisasi gagal, jalan pintas yang ditempuh adalah mengambil menantu yang paling cerdas di antara santrinya, atau menjodohkan putrinya dengan putra kiai lain. Bagi kiai, kelanjutan dan pengembangan pesantren berikutnya harus dikendalikan oleh keturunan sendiri. Kiai tidak member peluang sama sekali kepada orang luar sebagai pemimpin pesantren yang dibinanya. Orang luar hanya sebagai ustadz (orang yang dipercaya ikut mengasuh santri).27
4. Pendekatan Sistem Pendidikan Pesantren Sistem pendidikan pesantren memang menunjukkan sifat dan bentuk yang lain dari pola pendidikan nasional. Maka pesantren menghadapi dilema untuk megintegrasikan sistem pendidikan yang di miliki dengan sistem pendidikan nasional. Di tinjau dari awal mula sejarah berdirinya pesantren memang tidak dimaksudkan untuk meleburkan dalam sistem pendidikan nasional. Bahkan ketika menghadapi penjajah Belanda, pesantren memiliki strategi isolasi dan konservasi. Akibatnya seperti dituturkan Muhammad Nuh Sholeh, berbagai citra negatif diarahkan pada pesantren. Pesantren sering kali dinilai sebagai sistem pendidikan yang “isolasionis” terpisah dari aliran utama pendidikan nasional, dan konservatif yakni kurang peka terhadap tuntutan perubahan zaman dan masyarakat. Fungsi yang kedua ini (konservasi) terlihat pada upayanya menjaga ajaran Islam.28 26
Qomar, op. cit., h. 39. Ibid., h. 41. 28 Ibid., h. 66. 27
20
Oleh karena itu, sistem pendidikan pesantren masih belum memiliki kesamaan dasar diluar penggunaan buku-buku wajib (kutub al-muqarrarah). Keragaman ini timbul karena ketidak samaan dalam sistem pendidikannya, ada pesantren yang menyelenggarakan pengajian tanpa sekolah/madrasah, ada pesantren yang hanya menggunakan sistem pendidikan madrasah secara klasikal, dan ada pula pesantren yang menggabungkan sistem pengajian dan sistem madrasah secara non klasikal. Pada sistem madrasah non klasikal ini materi pelajaran diberikan secara berurutan dari kitab-kitab lama yang sudah umum dipakai dalam pengajian. Maka tidak mungkin ada penyatuan kurikulum pesantren selama masih ada perbedaan-perbedaan cukup besar dalam sistem pendidikan yang dianut.29
B. Pembentukan Kepribadian Santri 1. Pengertian Kepribadian Santri Kepribadian berasal dari kata personality (bahasa Inggris) yang berasal dari kata persona (bahasa Latin) yang berarti kedok atau topeng. Yaitu tutup muka yang sering dipakai oleh pemain-pemain panggung, yang maksudnya untuk menggambarkan perilaku, watak, atau pribadi seseorang. Hal itu dilakukan karena terdapat ciri-ciri yang khas yang hanya dimiliki oleh seseorang tersebut baik dalam arti kepribadian yang baik, ataupun yang kurang baik.30 Begitu juga dengan orang Arab menyebut kepribadian dengan istilah
َ " dari kata "ْ" َشخص ْ "ْشخْصْي َّة
yang berarti orang seorang. Maka dari
pengertian kedua istilah tersebut belum bisa menjawab apa itu kepribadian karena masih bersifat umum dan kabur. Tetapi dalam bahasa Indonesia ada istilah yang cukup menjawab, walau belum cukup jelas, yaitu istilah jati diri 29 30
Ibid., h. 67. Agus Sujanto, Psikologi Kepribadian, (Semarang: Bumi Akasara, 2006), h. 189.
21
yang berarti keadaan diri (sendiri) yang sebenarnya (sejati). Di sana kita dapati pengertian kepribadian adalah ciri atau karakteristik atau gaya atau sifat khas dari diri seseorang yang bersumber dari bentukan-bentukan yang diterima dari lingkungan, misalnya keluarga pada masa kecil, dan juga bawaan seseorang sejak lahir. Kepribadian seseorang akan berpengaruh terhadap akhlak, moral, budi pekerti, dan etika orang tersebut ketika berinteraksi dan berkomunikasi dengan orang lain dalam kehidupan seharihari di manapun ia berada. Artinya, etika, moral, norma, dan nilai yang dimiliki akan menjadi landasan perilaku seseorang sehingga tampak dan membentuk menjadi budi pekertinya sebagai wujud kepribadian orang itu.31 Dari sejarah pengertian kata tersebut, tidak heran kita jika kata persona yang mula-mula berarti topeng, kemudian diartikan pemainnya itu sendiri (orangnya) yang memainkan peranan seperti digambarkan dalam topeng tersebut. Akhirnya kata persona itu menunjukkan pengertian tentang kualitas/watak dari karakter yang di dalam
sandiwara itu. Kini kata
personality oleh para ahli psikologi di pakai untuk menunjukkan sesuatu yang nyata dan dapat dipercaya tentang individu, untuk menggambarkan bagaimana dan apa sebenarnya individu itu.32 Di samping itu, kepribadian sering juga diartikan atau dihubungkan dengan ciri-ciri tertentu yang menonjol pada diri individu. Contohnya, kepada orang yang pemalu dikenakan atribut “kepribadian pemalu”, kepada orang yang supel dikenakan atribut “kepribadian supel”, dan kepada orang yang suka bertindak keras dikenakan atribut “berkepribadian keras”. Selain itu bahkan sering pula kita jumpai ungkapan atau sebutan “tidak berkepribadian”. Yang terakhir ini biasanya dialamatkan kepada orang-orang yang lemah, plinplan, pengecut, dan semacamnya.33 31
Ahmad Daes, Konsep Kepribadian Dalam Al-Quran dan Hadits, (Jakarta: t.p., 1989), h. 9. Ngalim Purwanto, Psikologi Pendidikan, (Bandung: Remadja Karya, 1985), h. 152. 33 Koswara, Teori-Teori Kepribadian, (Bandung: Eresco, 1991), h. 10. 32
22
Secara umum, kepribadian dapat diartikan sebagai keseluruhan kualitas perilaku individu yang merupakan cirri khas dalam berinteraksi dengan lingkungannya.34 Jadi kepribadian santri adalah sifat khas dari diri seorang santri yang bersumber dari lingkungan, yang akan berpengaruh terhadap akhlak, moral, budi pekerti, dan etika santri tersebut.
2. Dasar dan Tujuan Pembentukan Kepribadian Santri Sebagian besar perkembangan kepribadian manusia merupakan produk pengalaman pribadi yang diperoleh dalam suatu kelompok. Nilai, norma, dan kepercayaan yang ada dalam kelompok juga membantu terbentuknya kepribadian. Tanpa pengalaman kelompok ini, kepribadian tidak akan berkembang. Meskipun para individu menjadi anggota kelompok yang sama, pengalaman mereka dalam kelompok tersebut tidak sama. Perbedaan pengalaman inilah yang selanjutnya mempengaruhi variasi kepribadian dalam batas-batas tertentu.35 Maka para pengasuh pesantren, sebagai ulama pewaris para Nabi, terpanggil untuk meneruskan perjuangan Nabi Muhammad SAW dalam membentuk kepribadian masyarakat melalui para santrinya. Para pengasuh pesantren mengharapkan santri-santrinya memiliki integritas kepribadian yang tinggi (shalih). Tujuan lain pembentukan kepribadian santri agar dengan ilmu agamanya mereka sanggup menjadi mubaligh yang menyebarkan ajaran Islam dalam masyarakat sekitar melalui ilmu dan amalnya.36
3. Proses Pembentukan Kepribadian Santri Islam adalah agama yang lurus mengajarkan pemeluknya untuk senantiasa melakukan perintah dan larangannya yang didasarkan pada al-
34
Tohirin, Psikologi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005), h. 169. 35 Ujam Jaenudin, Psikologi Kepribadian, (Bandung: Pustaka Setia, 2012), h. 188. 36 Yasin., op. cit., h. 243.
23
quran dan hadis. Hal itu dapat dilihat dari bagaimana seseorang yang mengaku sebagai muslim yang baik akan selalu berusaha melakukan perbuatan yang didasarkan pada nilai-nilai Islam menjadi pilihan dalam bagaimana seorang muslim bercermin. Tingkah laku manusia itu banyak yang dibentuk oleh kebiasaankebiasaan yang berlangsung dalam waktu yang lama secara terus-menerus. Karena kebiasaan itu akan bisa menjadikan segala sesuatu itu menjadi mudah. Apa yang dibiasakan seseorang dalam waktu lama secara terus menerus, misalnya: omongan yang baik, tingkah laku yang sopan dan lembut, atau sebaliknya yang kasar, jorok atau kotor, menyakitkan hati dan lain sebagainya. Pembentukkan kepribadian pada dasarnya adalah upaya untuk mengubah sikap-sikap kearah kecenderungan terhadap nilai-nilai keislaman. Dan pembentukkan kepribadian itu sendiri berlangsung secara bertahap, tidak sekali jadi, melainkan sesuatu yang berkembang. Oleh karena itu pembentukkan kepribadian itu sendiri merupakan proses.37 Idealisasi out put santri menjadi seorang yang „alim shalih seperti ini kemudian diterjemahkan dalam penempatan cara hidup, nilai, dan prinsip hidup sehari-hari dipesantren. Nilai-nilai tersebut membentuk perilaku santri yang kemudian membangunkan nilai-nilai mereka berada dalam sebuah subtradisi di pesantren, seperti keikhlasan, kesederhanaan, kemandirian, dan keteladanan yang telah sangat lama dipraktikkan di pesantren dan menjadi ciri khas. Seorang Kiai, misalnya, harus rela membuka pintu rumahnya 24 jam untuk melakukan fungsi pelayanan masyarakat. Ini contoh konkrit dari prinsip keikhlasan yang diteladankan kepada para santrinya. Sikap hidup tanpa pamrih atau dalam bahasa pesantrennya “lillahi ta‟ala” ini menjadikan pesantren mampu bertahan hidup sampai berabad-abad lamanya. Secara lebih
37
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2002), h. 195.
24
luas, ikhlas dalam menuntut ilmu juga dapat diartikan sebagai kesungguhan dan keseriusan dalam belajar. Selama belajar itu santri mengesampingkan kegiatan-kegiatan yang tidak relevan dan bahkan kesenangan sesuai selera pribadinya. Sikap hidup ini lebih menekankan pada proses dari pada hasil. Implikasinya adalah para santri menjadi individu yang tangguh, berjiwa besar, dan tidak takut menghadapi kenyataan pahit dalam hidupnya. Prinsip ikhlas ini juga ditopang dengan prinsip kesederhanaan. Pola hidup sederhana terlihat mulai dari cara santri berpakaian, menyediakan makanan dan minuman sederhana. Sederhana tidak berarti kekurangan, namun sikap hidup sederhana yaitu tidak berlebihan, meskipun halal. Prinsip hidup sederhana ini juga tampak pada nilai yang dikembangkan, yaitu selalu hidup sabar, tawakkal, zuhud dan wira‟i.38 Semakin matang sistem kepercayaan dan pola pikir yang terbentuk, maka semakin jelas tindakan, kebiasaan, dan kepribadian unik dari masing-masing individu. Dengan kata lain, setiap individu akhirnya memiliki sistem kepercayaan (belief system), citra diri (self-image), dan kebiasaan (habit) yang unik. Jika sistem kepercayaannya benar dan selaras, kepribadiannya baik, dan konsep dirinya bagus, maka kehidupannya akan terus baik dan semakin membahagiakan. Sebaliknya, jika sistem kepercayaan tidak selaras, kepribadiannya tidak baik, dan konsep dirinya buruk, maka kehidupannya akan dipenuhi banyak permasalahan dan penderitaan.39 Sebagaimana dijelaskan diatas bahwa pembentukkan itu merupakan proses. Proses pembentukkan kepribadian itu dapat dilakukan melalui tiga macam pendidikan, yaitu: a. Pra natal education (pendidikan sebelum lahir)
38
Nafi‟, dkk., op. cit., h. 51. Abdul Majid dan Dian Andayani, Pendidikan Karakter Perspektif Islam, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2011), h. 18. 39
25
Pendidikan ini dilakukan sebelum anak lahir, seperti dimulai dari mencari calon suami atau istri, atau perilaku orang tua yang Islami ketika anak masih dalam kandungan. b. Education by another (pendidikan orang lain) Proses pendidikan ini dilakukan secara langsung oleh orang lain, orang tua, guru dan pemimpin dalam masyarakat. c. Self education (pendidikan sendiri) Proses ini dilaksanakan melalui kegiatan pribadi tanpa bantuan orang lain, seperti membaca buku-buku, majalah, Koran dan sebagainya, atau melalui penelitian untuk menemukan hakikat segala sesuatu tanpa bantuan orang lain.40
4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kepribadian Santri Perkembangan kepribadian individu menurut Freud, dipengaruhi oleh kematangan dan cara-cara individu mengatasi ketegangan. Kematangan adalah pengaruh asli dari dalam diri manusia. Ketegangan dapat timbul karena adanya frustasi, konflik, dan ancaman. Upaya mengatasi ketegangan ini dapat dilakukan dengan identifikasi, sublimasi, dan mekanisme pertahanan ego.41 Kepribadian itu berkembang dan mengalami perubahan-perubahan, tetapi di dalam perkembangan itu semakin terbentuklah pola-pola yang tetap dan khas, sehingga mempengaruhi ciri-ciri yang unik bagi individu. Adapun faktor-faktor
yang
mempengaruhi
perkembangan
dan
pembentukan
kepribdian itu dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu: a. Faktor Biologis Yaitu faktor yang berhubungan dengan keadaan jasmani atau yang sering disebut dengan faktor fisikologis. Keadaan fisik, baik yang berasal dari keturunan yang merupakan pembawaan yang dibawa sejak lahir itu melainkan peranan yang penting pada kepribadian seseorang, tidak ada 40 41
Ramayulis, op. cit., h.199. Jaenudin., op. cit., h.208.
26
yang mengingkarinya. Namun demikian itu hanya merupakan salah satu faktor saja.
Kita mengetahui
bahwa dalam
perkembangan dan
pembentukan kepribadian selanjutnya faktor-faktor yang lain terutama faktor lingkungan dan pendidikan yang tidak dapat kita abaikan. b. Faktor Sosial Faktor sosial disini yakni manusia-manusia lain di sekitar individu yang mempengaruhi individu yang bersangkutan. Termasuk kedalam faktor sosial ini juga tradisi-tradisi, adat istiadat, peraturan-peraturan, bahasa, suasana keluarga dan sebagainya berlaku dalam masyarakat. c. Faktor Kebudayaan Kita mengetahui bahwa kebudayan itu tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat. Kita dapat mengenal bahwa kebudayan tiap daerah atau negara berlainan. Perkembangan dan pembentukan kepribadian pada diri masing-masing anak atau orang tidak dapat dipisahkan dari masyarakat dimana anak itu dibesarkan.42
5. Upaya Pondok Pesantren Pembentukan Kepribadian Santri Dalam melatih perilaku, Skinner mengemukakan istilah shaping, yaitu upaya secara bertahap untuk membentuk perilaku, mulai bentuk yang paling sederhana sampai bentuk yang paling kompleks.43 Seperti kita ketahui sistem pendidikan pondok pesantren dibanggakan sebagai yang tidak terpaku pada penumpukan pengetahuan dan pengasahan otak belaka, tetapi juga mementingkan pembinaan kepribadian dan karakter manusia oleh karena itu pondok pesantren adalah lembaga pendidikan yang berorientasi pada agama, maka nilai-niali etika (akhlak) yang dijadikan pegangan adalah bersumber dari falsafah keagamaan yang harus dipatuhi oleh mereka yang terproses di dalamnya secara menyeluruh tanpa syarat. Adapun
42 43
Purwanto, op. cit., h.158. Jaenudin., op. cit., h. 212.
27
dalam membina kepribadian santri yang berlangsung di pondok pesantren secara garis besarnya adalah: a. Penanaman nilai-nilai pembinaan dengan pengajaran kitab-kitab akhlak Dalam penanaman nilai-nilai akhlak dengan pengajaran kita-kitab , secara tradisional sistem pendidikan yang diterapkan di pesantren, memilahkan secara tegas aspek pengembangan intelektual dan aspek pembinaan kepribadian. Untuk membina kepribadian anak didik (santri), di pondok pesantren memakai kitab-kitab akhlak seperti Akhlakul Banat, Akhlakul Banin dan Kitab tafsir Qur'an yang menafsirkan beberapa ayat Al-Qur'an dan hadits yang berkitan dengan budi pekerti dan kewajibankewajiban seorang Muslim. b. Membiasakan Hidup Berakhlak Tingkah laku yang menyimpang terdapat pada individu sebagai hasil pengalaman pengondisian yang keliru (faulty of conditioning). Karena itu tugas pertama dari seseorang adalah menghapus tingkah laku yang menyimpang, dan membentuk tingkah laku baru yang layak melalui pemerkuatan atas tingkah laku yang layak itu.44 Sikap jiwa agama yang bersungguh-sungguh, jauh dari olok-olokan dan kekesalan. Jika seseorang menderita cobaan atau musibah, ia tidak akan mengeluh karena di samping penderitaan itu, ia mempunyai jalan untuk terlepas dari pada kesukaran tersebut. Sebaliknya kalau gembira dan mendapat keuntungan, maka dia tidak akan melonjak-lonjak kegembiraan, atau tertawa-tawa.45
C. Kerangka Berfikir Belajar merupakan salah satu usaha yang dapat merubah kepribadian dan tingkah laku setiap individu. Dalam kegiatan sehari-hari terkadang santri 44 45
Koswara., op. cit. h. 97. Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 1970), h. 19.
28
mengalami hambatan dan kesulitan dalam mengatasi masalah kedisiplinan, kesopanan, kepatuhan, dan lain sebagainya. Berhasil atau tidaknya membentuk pribadi santri yang baik, salah satunya bergantung pada cara atau sistem pendidikan yang dilakukan oleh pengurus pondok pesantren. Bagaimana pengurus menciptakan perangai yang baik kepada para santrinya. Oleh karena itu pengurus harus mampu menerapkan peraturanperaturan agar terbentuknya kepribadian santri yang baik. Salah satu cara yang dapat digunakan pengurus untuk membentuk kepribadian santri adalah dengan membentuk kesadaran dalam diri masing-masing santri. Melalui kesadaran, santri diharapkan dapat merubah perangainya menjadi lebih baik. Sehingga santri mempunyai kepribadian yang muncul dari dalam dirinya sendiri.
D. Penelitian Yang Relevan Hasil penelitian yang relevan dengan penelitian ini antara lain penelitian yang dilakukan oleh: 1. Khoirul Ummah, dengan judul Sistem Pembelajaran Pondok Pesantren Dalam Membentuk Kepribadian Santri Di Pondok Pesantren Syalafiyah Syafi‟iyah Nurul Huda Mergosono Malang. Penelitian ini menyatakan bahwa sistem pembelajaran yang di selenggarakan di pondok pesantren Salafiyah Safi'iayah Nurul Huda adalah merupakan sistem pembelajaran gabungan antara sistem salafi (tradisioanal) dan sistem modern, sedangkan kurikulum yang digunakan adalah kurikulum yang di rangcang oleh pondok Pesantren Salafiyah Safi'iyah Nurul Huda itu sendiri. 2. Agustina Fajar Kurnia, dengan judul Sistem Pendidikan Modern Pondok Pesantren Terpadu Darul „Amal Sukabumi. Penelitian ini menyatakan bahwa sistem pendidikan yang di selenggarakan di pondok pesantren Darul „Amal
29
Sukabumi merupakan sistem pendidikan gabungan antara sistem pendidikan yang berkulikulum Diknas dan kurikulum pesantren.
BAB III METODE PENELITIAN Penelitian yang dilakukan oleh penulis merupakan penelitian kualitatif atau dengan kata lain peneliti yang bersifat non statistik. Jenis penelitian kualitatif ini mengacu pada prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa katakata tertulis atau lisan dari pelaku yang dapat diamati. Penelitian ini merupakan penelitian lapangan tentang sistem pendidikan pesantren dalam pembentukkan kepribadian santri di pondok pesantren salafi Miftahul Huda Cihideung Bogor. Peneliti akan mengkaji proses pendidikan pesantren, yang dilakukan dengan observasi, dokumentasi, dan wawancara.
A. Tempat dan Waktu Tempat yang dijadikan objek penelitian adalah Pondok Pesantren Salafi Miftahul Huda Cihideung yang beralamat di Kp. Pasir Tengah RT. 013 RW. 003 Cihideung Cijeruk Bogor. Adapun waktu penelitian terhitung dari bulan September 2014.
B. Tahap-Tahap Penelitian Tahap-tahap penelitian memberikan gambaran keseluruhan tentang perencanaan, pelaksanaan, pelaksanaan pengumpulan data, analisis dan penafsiran data (temuan) sampai pada penulisan laporan. Tahap-tahap penelitian itu ada tiga sebagaimana penulis kutip dala buku “Metode Penelitian Kualitatif” karangan Dr. J. Meleong, M.A. adalah sebagai berikut: 1. Tahap pra-lapangan Ada tujuh kegiatan yang dilakukan dalam tahap ini, kegiatan tersebut yaitu: a. Menyusun rancangan penelitian b. Memilih lapangan penelitian
30
31
c. Mengurus perizinan d. Menjajaki dan menilai lapangan e. Memilih dan memanfaatkan informan f. Menyiapkan perlengkapan penelitian g. Etika penelitian lapangan 2. Tahap pekerjaan lapangan Tahap kegiata lapangan ini dibagi atas tiga bagian, yaitu: a. Memahami latar penelitian dan persiapan diri b. Memasuki lapangan, seperti keakraban hubungan, mempelajari bahasa, dan peranan penelitian c. Berperan serta sambil mengumpulkan data 3. Tahap analisis dan interpretasi data Tahap analisis data meliputi tiga pokok persoalan, yaitu: a. Konsep dasar analisis data, maksudnya adalah proses mengatur data, mengorganisasikannya ke dalam sebuah polo, kategori, dan satuan uraian dasar. b. Interpretasi data merupakan upaya untuk memperoleh arti dan makna yang lebih mendalam dan luas terhadap hasil penelitian yang sedang dilakukan.1
C. Metode Penelitian Secara umum metode penelitian diartikan sebagai cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu.2 Pengertian metode penelitian adalah anggapan dasar tentang suatu hal yang dijadikan pijakan berpikir dan bertindak dalam melaksanakan penelitian. Misalnya, peneliti mengajukan asumsi bahwa sikap seseorang dapat diukur 1
Lexy J. Meleong, op. cit., h.127. Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D, (Bandung: Alfabeta, 2013), h.3 2
32
dengan menggunakan skala sikap. Dalam hal ini, ia tidak perlu membuktikan kebenaran hal yang diasumsikannya itu, tetapi dapat langsung memanfaatkan hasil pengukuran sikap yang di perolehnya. Asumsi dapat bersifat substantive atau metodologis. Asumsi substantive berhubungan dengan permasalahan penelitian, sedangkan asumsi metodologis berkenaan dengan metodologi penelitian.3 Metode penelitian pada dasarnya merupakan cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu.4 Penelitian skripsi ini menggunakan metode deskriptif yaitu penelitian yang berusaha mendeskripsikan suatu gejala, peristiwa, kejadian yang terjadi saat sekarang. Penelitian deskriptif memusatkan perhatian pada masalah aktual sebagaimana adanya pada saat penelitian berlangsung. Melalui penelitian deskriptif, peneliti berusaha mendeskripsikan peristiwa dan kejadian yang menjadi pusat perhatian tanpa memberikan perlakuan khusus terhadap peristiwa tersebut. Variable yang diteliti bisa tunggal (satu variable) bisa juga lebih dari satu variable.5
D. Teknik Pengumpulan data Untuk memperoleh data yang diperlukan penulis menggunakan metode yang sekiranya sesuai dengan masalah yang diteliti dalam hal ini penulis menggunakan:
1. Observasi Metode observasi adalah metode yang digunakan dengan jalan mengadakan pengamatan terhadap objek yang diteliti sebagaimana yang diungkapkan Sutrisno Hadi: “Metode observasi bisa dikatakan sebagai
254. h. 2.
3
Juliansyah Noor, Metodologi Penelitian, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), h.
4
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif Dan R & D, (Bandung: Alfabeta, 2012),
5
Ibid., h. 34.
33
pengamatan dan pencatatan dengan sistematis terhadap fenomenafenomena yang diselidiki, dalam arti yang luas, observasi tidak hanya terbatas pada pengamatan yang dilakukan baik secara langsung maupun tidak langsung”.6 Observasi sebagai teknik pengumpulan data mempunyai ciri yang spesifik bila dibandingkan dengan teknik yang lain, yaitu wawancara dan kuesioner. Kalau wawancara dan kuesioner selalu berkomunikasi dengan orang, maka observasi tidak terbatas pada orang, tetapi juga obyek-obyek alam yang lain.7 Tindakan observasi dilakukan peneliti pada umumnya menpunyai tujuan agar dapat mengamati dan mencatat fenomena yang muncul dalam variabel terikat sebagai akibat dari adanya kontrol dan manipulasi variabel.8 Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam observasi yaitu topografi, jumlah dan durasi, intensitas atau kekuatan respons, stimulus control (kondisi di mana perilaku muncul), dan kualitas perilaku.9
2. Dokumentasi Dokumentasi adalah suatu metode yang dilakukan dengan cara meneliti terhadap buku-buku, catatan, arsip-arsip tentang suatu masalah yang ada hubungannya dengan hal-hal yang diteliti, Suharsimi Arikunto mengatakan: “Metode dokumentasi adalah mencari data mengenai hal-hal atau variable yang berupa catatan, transkip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat, lengger, agenda dan sebagainya”.10
6
Sutrisno Hadi, Metodologi Research II (Yogyakarta: Andi Offset, 1984), h.126. Sugiyono., op. cit., h. 145. 8 Juliansyah., op. cit., 114. 9 Ibid., h. 141. 10 Husaini Usman, dan Purnomo Setiady Akbar, Metodologi Penelitian Sosial, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2003), h.57. 7
34
Sejumlah besar fakta dan data tersimpan dalam bahan yang berbentuk dokumentasi. Sebagian besar data yang tersedia yaitu berbentuk surat, catatan harian, cendera mata, laporan, artefak, dan foto. Sifat utama data ini tak terbatas pada ruang dan waktu sehingga member peluang kepada peneliti untuk mengetahui hal-hal yang pernah terjadi di waktu silam. Secara detail, bahan documenter terbagi beberapa macam, yaitu autobiografi, surat pribadi, buku atau catatan harian, memorial, klipping, dokumen pemerintah atau swasta, data server dan flashdisk, dan data tersimpan di web site.11 Dengan demikian metode ini dipakai untuk memperoleh data tentang keberadaan pondok pesantren yang meliputi sarana dan prasarana, jumlah tenaga pendidik, siswa dan struktur organisasinya.
3. Interview (wawancara) Salah satu yang menjadi keharusan dalam penelitian kualitatif adalah penggunaan metode dalam bentuk interview (wawancara). Interview (wawancara) adalah tanya jawab, antara dua orang atau lebih secara langsung. Pewawancara disebut interviewer, sedangkan orang yang diwawancarai disebut interviewe.12 Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan itu dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan
pertanyaan
dan
terwawancara
(interviewee)
yang
memberikan jawaban atas pertanyaan itu.13 Wawancara digunakan sebagai teknik pengumpulan data apabila peneliti
ingin
melakukan
studi
pendahuluan
untuk
menemukan
permasalahan yang harus diteliti, dan juga apabila peneliti ingin
11
Juliansyah, lop. cit., h. 141. Usman., op. cit., h.57. 13 Lexy J. Meleong., Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung, PT Remaja Rosdakarya, 2013), h.186. 12
35
mengetahui hal-hal dari responden yang lebih mendalam dan jumlah respondennya sedikit/kecil. Teknik pengumpulan data ini mendasarkan diri pada laporan tentang diri sendiri atau self-report, atau setidaktidaknya pada pengetahuan dan atau keyakinan pribadi.14 Beberapa hal yang perlu diperhatikan seorang peneliti saat mewawancarai responden yaitu intonasi suara, kecepatan berbicara, dan sensitivitas pertanyaan, kontak mata, dan kepekaan nonverbal. Dalam mencari informasi, peneliti melakukan dua jenis wawancara, yaitu autoanamnesis (wawancara yang dilakukan dengan subjek atau responden) dan aloanamnesisi (wawancara dengan keluarga responden). Beberapa tips saat melakukan wawancara yaitu mulai dengan pertanyaan yang mudah, mulai dengan informasi fakta, hindari pertanyaan multiple, jangan menanyakan pertanyaan pribadi sebelum building report, ulang kembali jawaban untuk klarifikasi, berikan kesan positif, dan control emosi negatif.15 Dalam penelitian ini yang dijadikan subjek adalah: a. Kiai Pondok Pesantren Miftahul Huda Subjek pertama yang akan dipilih adalah informasi kunci, yaitu informasi yang dipandang sangat menguasai aspek-aspek yang akan diteliti, dengan pertimbangan tersebut, yang dipilih sebagai informan kunci adalah Kiai, karena beliau dianggap subjek yang paling mengetahui dalam sistem pendidikan di pesantren ini. b. Ustadz dan Ustadzah Pondok Pesantren Miftahul Huda Subyek kedua yang akan dipilih adalah informasi pengelola, yaitu informasi sebagai pengelola para santri yang dipandang mampu menyampaikan aspek-aspek yang akan diteliti. c. Santriwan dan santriwati Pondok Pesantren Miftahul Huda 14 15
Sugiyono, op. cit., h. 137. Juliansyah, op. cit., h. 139.
36
Untuk mencari data dari para santri peneliti hanya mengambil sebagian populasi yang dipandang bisa mewakili. Sedangkan yang diambil
sebagai
sampelnya
adalah
random
sampling.
Yaitu
pengambilan anggota sampel dari populasi dilakukan secara acak antara santri lama dan santri baru.
E. Pengecekan Keabsahan Data Pengecekan keabsahan data digunakan untuk memenuhi nilai kebenaran dari data dan informasi yang dikumpulkan.16 Dalam hal ini ada beberapa cara yang dilakukan, diantaranya adalah :
1. Triangulasi Triangulasi data adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu. Teknik triangulasi
yang
menggunakan
paling
sumber
banyak
lainnya.17
digunakan Pada
ialah
penelitian
pemeriksaan ini,
penulis
membandingkan data yang di peroleh dari observasi dengan hasil wawancara beberapa siswa dan guru dalam rangka membantu peneliti dalam meningkatkan derajat kepercayaan data yang di peroleh. Melalui pengecekan tersebut ternyata data yang diperoleh penulis terdapat banyak persamaan dengan pernyataan beberapa sumber yang diwawancarai.
2. Diskusi Teman Sejawat Dalam hal ini peneliti melakukan diskusi analitik dengan beberapa teman sejawat. Dengan melakukan sebuah diskusi yang sering dilakukan oleh peneliti ini, diharapkan peneliti bisa bersikap terbuka dalam
16 17
Nasution, Metodologi Penelitian Naturalistic Kualitatif, (Bandung: Trsito,1988), h.126 Ibid, h.334
37
mengungkapkan peristiwa yang terjadi, mampu bersikap jujur dan lapang dada dalam menerima kritik dan saran dari teman-teman sejawat.
3. Kecukupan Referensi Kecukupan referensi disini artinya adanya data pendukung untuk membuktikan data yang telah ditemukan dilapangan. Sebagai contoh, hasil wawancara perlu didukung dengan rekaman hasil wawancara. Data tentang interaksi manusia atau gambaran suatu keadaan perlu didukung oleh foto-foto.18
F. Teknik Analisis Data Teknik analisis data adalah proses mengorganisaikan data ke dalam pola, kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data. Lebih lanjut dijelaskan bahwa pekerjaan analisis data adalah mengatur, mengurutkan, mengelompokkan, memberikan kode dan mengatagorikannya. Pengorganisasian dan pengolahan data tersebut bertujuan menemukan tema dan hipotesis kerja yang akhirnya diangkat menjadi teori substansif.19 Dengan demikian, analisis data disini adalah proses pemberian makna kepada data yang diperoleh dari lapangan dengan melakukan pengaturan, pengelompokkan, pengurutan dan sebagainya sehingga data tersebut dapat dengan mudah dipahami. Dalam penelitian ini penulis melakukan teknik analisis data dengan langkahlangkah sebagai berikut. Pertama, data utama dan data pendukung ditranskipkan. Kemudian, transkip yang diperoleh dari hasil wawancara diseleksi dan dideskripsikan, diterjemahkan dan dianalisa sehingga memperoleh jawaban dari pertanyaan penelitian.
18 19
Ibid, h.375 Lexi.J.Moloeng, op.cit, h.3
BAB IV HASIL PENELITIAN A. Objek Penelitian 1. Latar Belakang Berdirinya Pondok Pesantren Pesantren Miftahul Huda di dirikan oleh almarhum bapak K.H. Sofyan Sauri bin Misbahudin, yang berdiri pada tahun 1969. Pada awalnya pendiri pondok pesantren ini, beliau menjadi santri di beberapa pesantren yang pada akhirnya di tahun 1969 beliau pulang dari pesantren dan berusaha untuk mendirikan pondok pesantren. Pada saat itu beliau belum berkeluarga, lalu setahun kemudian setelah mendirikan pesantren beliau menikah dengan istrinya yang bernama ibu Hj. Khodijah yang berasal dari sukabumi. Proses belajar mengajar pada saat itu sangat memprihatinkan, hanya ada satu bangunan yang terbuat dari bambu atau bilik dengan jumlah santri yang hanya sebelas orang pada saat itu. Tetapi tidak dari wilayah setempat saja, ada juga dari wilayah luar daerah cijeruk, seperti ada dari karawang, bekasi, dan bandung. Sebelumnya, pesantren ini didirikan oleh orang tua dari bapak K.H. Sofyan Sauri yang bernama K.H. Misbahudin. Beliau sudah mengelola madrasah diniyah sejak tahun 1932 sebelum kemerdekaan, yang sampai saat ini diniyahnya masih berjalan, namun dengan bangunan yang terpisah tapi pada proses megajarnya masih terus berkaitan, sehingga almarhum ini di pesantren dan madrasah diniyah tetap di pegangnya. Perlahan dengan keprihatinan yang ada pesantren dikembangkan dari mulai fasilitas bangunan yang sangat sederhana akhirnya beliau berusaha untuk membangun dari awal dengan bangunan yang permanen, kemudian dengan fasilitas yang lebih baik dari pada sebelumnya. Sehingga pesantren itu menjadi sebuah daya tarik juga bagi masyarakat yang lainnya sehingga banyak yang berdatangan pula para santrinya. Dua tahun kemudian ada 40
38
39
orang santri, dan terus menerus semakin meningkat sehingga mencapai 70 orang santri yang pada saat itu baru ada di pesantren putera. Kemudian pada tahun 1997 beliau mempunyai putera dan puteri, salah satu puterinya yang bernama ibu Hj. Deudeu Murlotul Hidayah di tahun ini pulang dari pesantrennya yang beliau mulai masuk pesantren pada tahun 1985. Setelah pulang dari pesantren, ibu Hj. Deudeu menikah dengan laki-laki lulusan dari pondok pesantren Sunnanul Huda sukabumi yang bernama H. Syahlul Lail, yang berasal dari kayu manis bogor. Setelah menikah mereka beristikomah di pesantren. Dan timbullah keinginan untuk mendirikan pondok pesantren puteri, kemudian di bangunlah pondok pesantren untuk puteri tersebut. Keinginan mendirikan pesantren tersebut di dukung oleh masyarakat sekitar pondok, maupun daerah yang lain banyak berdatangan untuk mengaji di pesantren tersebut, sehingga jumlah santri puteri pada tahun 1997 berjumlah 119 orang. Santri-santri tersebut hanya mengaji, belum di pondokkan di asrama, mereka pulang kembali ke rumahnya masing-masing. Dari jumlah santri yang lumayan banyak, di bangunlah gedung untuk asrama puteri. Dan dari 119 santri hanya 60 orang yang bermukim di asrama puteri tersebut. Itu pun belum ada satu aturan yang mengikat sehingga mengharuskan mereka terus tinggal, karena memang masing-masing santri itu rumahnya dekat sehingga mereka sering pulang ke rumahnya, kemudian datang kembali. Seiring berjalannya waktu, sehingga pesantren puteri ini sudah mulai di kenal. Tidak hanya di daerah sekitar, namun dari luar daerah seperti karawang, bekasi, parung, ciputat, cicurug, sukabumi. Almarhum K.H. Sofyan ini kesehariannya tidak hanya mendidik anak-anak santri, akan tetapi menjadi seseorang yang di sepuhkan oleh banyak orang, sehingga banyak masyarakat yang berdatangan kepada beliau dengan masalah dan untuk mendapatkan solusi dari beliau. Karena keahlian yang beliau miliki ini adalah
40
keahlian dalam ilmu falakiyah sehingga banyak sekali orang-orang yang berdatangan. Dampak dari banyaknya tamu yang berdatangan untuk meminta bantuan kepada beliau, akhirnya para santri agak sedikit mengurang. Sehingga kepemimpinannya di serahkan kepada abi Syahlul selaku menantunya, suami dari ibu H.J. Deudeu, puterinya. Setelah itu beliau mulai memiliki penyakit dan terus mengalami penurunan dalam kesehatannya, sehingga beliau meninggal dunia. Setelah kepemimpinan di pegang oleh abi syahlul banyak mengalami kendala, namun beliau dapat menangani dan mengembangkan pondok pesantren ini hingga sekarang dengan jumlah santri yang mukim ada 107 santri.1
2. Visi dan Misi a. Visi Terbentuknya insan yang beriman, bertakwa, berakhlakul karimah, berilmu, berwawasan luas, cakap, terampil, mandiri, kreatif, inopatif, dan bertanggung jawab.
b. Misi 1) Pemahaman keimanan, ketakwaan kepada Allah SWT. 2) Pendidikan akhlakul karimah. 3) Pendidikan pengembangan wawasan. 4) Keterampilan dan keahlian. 5) Pendidikan kesehatan dan lingkungan. 3. Tujuan dan Target a. Tujuan Membentuk santri dan santriwati menjadi ihsan yang berilmu, berakhlak mulia. 1
Hasil Wawancara dengan K.H. Sahlul Lail, Pada Jum‟at 17 Oktober 2014 Pukul 08.28 WIB, di PPS Miftahul Huda Cihideung Bogor.
41
c. Target yang ingin di capai Santri dan santriwati setelah selesai pesantren atau pulang, mereka dapat berkiprah di masyarakat dengan bekal ilmunya, dan selalu siap di berbagai bidang.2
4. Keadaan Pendidik Salah satu faktor yang menentukan kegiatan belajar mengajar di dalam pondok pesantren adalah ustadz dan ustadzah. Ustadz dan ustadzah yang memiliki pengetahuan dan wawasan yang luas, terampil menerapkan metodemetode pengajaran, tanggung jawab, sabar, dan berakhlak mulia, itu sebagai figur pengajar yang sangat dibutuhkan pada pondok pesantren. Adapun pengajar dan pengurus pondok pesantren salafi Miftahul Huda dapat dilihat sebagai berikut.3
Pengajar Pondok Pesantren Salafi Miftahul Huda Cihideung Bogor Pada Periode 2014-2015 No.
2 3
Nama
Pendidikan Terakhir
Mengajar
1.
K.H. Sahlul Lail
S1
Tafsir Jalalen
2.
Ust. Burhannudin
Aliyah
Nahu Sorof
3.
Ust. Juliansyah
S1
Safinatunnajah
4.
Ust. Nasrudin
Aliyah
Zubad
5.
Ust. Yusuf
Aliyah
Akhlakul Banin
6.
Ustz. Lilis Lahmidati
Aliyah
Akhlakul Banat
7.
Ustz. Siti Sa‟diyah
Aliyah
Nasoihul Ibad
8.
Ustz. Nurhasanah
Aliyah
Nahu Sorof
Dokumentasi PPS Miftahul Huda Ibid.,
42
Pengajar Pondok Pesantren Salafi Miftahul Huda Cihideung Bogor Pada Periode 2014-2015 Pimpinan Pondok Pesantren K.H. Sahlul Lail
Wakil Pimpinan PonPes Ust. Arifin Abdurrahman
Dewan Penasehat
Dewan Pembina
KH. Hasbullah H. Tunggal Slamet
Hj. Deudeh M. H
Staf Pengajar Pondok Ust. Burhannudin Ust. Juliansyah Ust. Nasrudin Ust. Yusuf Ustdzah. Lilis Lahmidati Ustdzah. Siti Sa‟diah Ustdzah. Nurhasanah Seksi-Seksi
Pendidikan
Keagamaan
Kedisiplinan
Keamanan
Kesehatan
43
5. Sarana dan Prasarana Sarana dan prasarana yang terdapat di pondok pesantren salafi Miftahul Huda ini sama seperti yang terdapat di pondok pesantren yang lain, yang meliputi kamar santri, ruang kiai, ruang ustadz-ustadzah, majlis dinniyah, toilet pegawai, toilet santri, dapur utama, dan dapur santri. Namun sarana masjid tidak terdapat di pondok pesantren salafi Miftahul Huda ini, hanya majlis yang dipakai untuk melakukan ibadah shalat, mengaji, dan ibadah-ibadah lainnya.4 Adapun sarana dan prasarana yang dimiliki Pondok Pesantren Miftahul Huda dapat dilihat pada tabel yang terdapat pada lampiran tabel 4.1.
6. Aktivitas Santri Yang Dilakukan Di Pondok Pesantren Miftahul Huda Kehidupan santri setiap hari sangat padat dengan kegiatan, baik itu kegiatan yang berkaitan dengan pondok maupun di luar pondok hal ini menunjukkan dinamika para santri dalam melaksanakan aktifitas kehidupan, terutama dalam mencari ilmu. Namun dengan demikian, tidak menutup kemungkinan ada sebagian santri yang agak luang dalam memanfaatkan waktunya. Mereka hanya melaksanakan aktivitas pokok saja, seperti mengaji setelah sholat berjamaah. Selain waktu itu, mereka tidak melaksanakan apapun. Santri yang demikian jumlahnya tidak banyak, hanya sebagian kecil saja. Berdasarkan dokumentasi pondok pesantren Salafi Miftahul Huda (1997Sekarang), kegiatan santri setiap hari diatur sebagai berikut: a. Jam 03.00 - 04.00 Qiyamul lail, yaitu rutinitas santri setiap sepertiga malam melakukan shalat tahajud bersama di majlis taklim, di ikuti dengan membaca surat waqi‟ah dan bersolawatan selagi menunggu waktu adzan subuh. 4
Hasil dari Observasi dan Dokumentasi di PPS Miftahul Huda.
44
b. Jam 04.30 - 05.30 Berjama‟ah Shalat Shubuh, seluruh santri di pondok pesantren ini melaksanaan solat subuh berjamaah tanpa di pisah ruang shalat antara santri putri dan santri putra. c. Jam 05.30 - 06.30 Pengajian Kitab tafsir jalalen, pengajian kitab ini untuk santri dewasa menggunakan sistem balaghan. Karena kitab ini dasar dari tafsir-tafsir al-Qur‟an. Dan santri yang aula di perbolehkan melakukan kegiatannya di dalam kobong. d. Jam 06.30 - 07.30 Bersih-bersih, santri putra dan putri di biasakan untuk melakukan kegiatan bersih-bersih setiap selesai mengaji pagi. Santri di bagi tugas untuk membersihkan lingkungan pesantren, rumah kiai, dan masing-masing dari kobong santri. Ada juga santri yang bertugas memasak makanan untuk sarapan pagi di masing-masing kobongnya, ada juga yang bertugas memasak makanan untuk keluarga kiai di rumahnya. Dan yang bukan bagian tugas piket, biasanya santri mencuci baju kotornya, atau menyetrika baju yang telah kering. e. Jam 07.30 - 08.00
Sarapan Pagi, seluruh santri yang sudah selesai
melakukan pekerjaannya masing-masing, barulah mereka sarapan pagi bersama santri yang lainnya. f. Jam 08.00 - 09.30 Pengajian Kitab Nahu Sorof seperti kitab zurumiah dan imriti menggunakan sistem sorogan. Pengajian kitab ini untuk santri aula yang berusia tiga belas sampai lima belas tahun. Kitab ini untuk memudahkan santri membaca kitab kuning yang belum ada syakalnya serta memahami artinya. Dan santri dewasanya di perbolehkan melakukan kegiatannya di dalam kobong. g. Jam 10.00 - 11.00 Shalat Dhuha dan Menghafal doa-doa, di waktu ini santri melaksanakan shalat dhuha di tempat yang terpisah antara santri laki-laki dan santri perempuan. Setelah selesai shalat dhuha, di lanjutkan dengan hafalan doa-doa seperti doa selesai shalat tahajud, shalat hajat, shalat dhuha, dan shalat-shalat sunnah lainnya. Selain menghafal doa-
45
doa, santri juga di tugaskan untuk menghafal kitab-kitab yang telah di kaji. h. Jam 11.00 - 11.30 Istirahat, biasanya santri mempergunakan waktu istirahat ini dengan bersantai-santai di kobong masing-masing atau bermain di halaman pesantren bagi santri aula. i. Jam 11.30 - 14.00 Berjama‟ah Shalat Dzuhur dan Mengaji Kitab Safinah, santri melaksanakan shalat dzuhur berjamaah ditempat yang terpisah antara santri laki-laki dan santri perempuan. Lalu di lanjutkan dengan mengaji kitab safinah untuk santri aula menggunakan sistem sorogan. Kitab ini di kaji untuk mengetahui dasar-dasar ilmu fiqh seperti tata cara berwudhu, tata cara shalat, dan lain sebagainya. Dan bagi santri yang sudah dewasa, setelah selesai shalat berjamaah di perbolehkan melakukan kegiatannya di dalam kobong masing-masing santri. j. Jam 14.00 - 15.30 Istirahat siang biasanya dilakukan santri untuk tidur atau bercengkrama dengan santri-santri yang lain. k. Jam 15.30 - 17.30 Berjama‟ah Shalat Ashar dan Mengaji Kitab zubad, yaitu Kitab yang menjelaskan tentang berbagai macam ilmu fiqh, namun dalam kitab ini lebih banyak menjelaskan tentang isi ilmu fiqh muamalah. Kitab ini di kaji oleh santri dewasa karena isi kitab ini tentang fiqh yang lebih mendalam dengan menggunakan sistem balaghan. Dan bagi santri aula setelah shalat berjamaah di perbolehkan melakukan kegiatan di dalam kobong. l. Jam 17.30 - 19.00 Berjama‟ah Shalat Magrib dan Mengaji Al-Qur‟an. Waktu ini di peruntukkan bagi semua santri aula dan santri dewasa, yang di pisahkan antara ruang santri putra dan santri putri. Setelah shalat dilanjutkan dengan tadarus al-Qur‟an, bagi santri aula tadarus alQur‟annya di simak oleh santri yang lebih dewasa hingga menunggu datangnya waktu shalat isya.
46
m. Jam 19.00 - 20.30 Berjama‟ah Shalat Isya dan Mengaji kitab akhlakul bannat dan akhlakul banning menggunakan sistem sorogan. Pengajian kitab ini untuk semua santri putra dan putri, namun kitab ini di kaji dalam ruang yang terpisah antara santri putra dengan santri putri. Santri putra mengaji kitab akhlakul banin, karena kitab ini menjelaskan tentang bagaimana menjadi pribadi yang baik. Dan kitab akhlakul banning untuk santri putrid, kitab ini juga menjelaskan tentang bagaimana menjadi muslimah yang baik. n.
20.30 – 22.00 Mengaji Kitab Nasoihul ibad menggunakan sistem balaghan, yaitu kitab yang isinya menjelaskan nasihat-nasihat Allah untuk hambanya. Kitab ini untuk santri yang sudah dewasa, karena isinya sebagai petunjuk bagi umat manusia agar tidak terjerumus dalam dosa. Dan santri aula setelah shalat isya berjamaah dan mengaji kitab akhlakul banin dan akhlakul bannat di perbolehkan melakukan kegiatannya di kobong atau di persilahkan untuk tidur.
o. Jam 22.00 - 03.00 Istirahat. Setelah semua kegiatan di lakukan oleh semua santri sepanjang hari, santri diperbolehkan untuk tidur sampai kembali bangun di waktu shalat malam. Jadwal di atas disusun sesuai dengan keadaan, baik keadaan pengasuh maupun santri. Adanya jadwal yang jelas tersebut bertujuan untuk mendidik para santri agar menjadi orang yang bermanfaat bagi orang lain.5
7. Keberadaan Santri Sejalan dengan perkembangan zaman, keadaan santri di Pesantren Salafi Miftahul Huda pada saat ini mengalami perkembangan yang cukup signifikan sebagaimana yang di katakana oleh Kiai Pondok Pesantren Salafi Miftahul Huda, yaitu K.H Syahlul Lail. Bahwa santri dari tahun ke-tahun mengalami perkembagan yang sangat pesat jumlahnya. 5
Hasil Observasi di PPS Miftahul Huda.
47
Seluruh santri diwajibkan mengikuti seluruh kegiatan yang sudah diprogramkan oleh Pondok Pesantren Salafi Miftahul Huda, santri di wajibkan untuk mengikuti jama‟ah shalat lima waktu, para santri juga diwajibkan untuk mengikuti pengajian kitab yang sudah terjadwal. Penerimaan santri di pondok pesantren salafi disini yang di perbolehkan dari usia tiga belas tahun, karena di pesantren ini memiliki keterbatasan pengasuh jadi anak di bawah usia tiga belas tahun belum boleh masuk pondok pesantren salafi ini. Batasan usia santrinya tidak dibatasi oleh pihak pesantren, yang penting santri itu ingin belajar mengaji bersama yang lainnya. Pengajian setiap harinya dipisahkan antara santri yang masih kecil dengan santri yang sudah dewasa. Pengajian kelas aula, dari usia tiga belas tahun sampai lima belas tahun pengajian ta‟lim dengan mempelajari nahu sorof yaitu kitab zurumiah dan kitab imriti, kemudian kitab safinatunnajah yaitu menjelaskan tentang dasar-dasar ilmu fikih pada siang dan sore hari menggunakan sistem sorogan, dengan tempat pengajian yang terpisah antara santri putri dengan santri putra. Sedangkan santri yang dewasa mengaji kitab tafsir jalalen, kitab zubad, kitab nasoihul ibad pada waktu ba‟da subuh dan ba‟da isya menggunakan sistem balaghan, dengan menggunakan satu ruang pengajian yang sama namun antara santri putri dan santri putra ada sekatannya. Adapun jumlah santri dari tahun ke-tahun dapat dilihat pada lampiran tabel 4.2.6
6
Ibid,.
48
B. Penyajian Data 1. Proses Pendidikan dalam Membentuk Kepribadian Setelah data terkumpul dengan menggunakan metode observasi, dokumentasi dan wawancara, peneliti dapat menganalisis hasil penelitian dengan teknik kualitatif deskriptif, artinya peneliti akan menggambarkan, menguraikan dan menginter pretasikan data-data yang telah terkumpul sehingga akan memperoleh gambaran secara umum dan menyeluruh tentang hal yang sebenarnya. Dalam penyajian data ini maka penulis akan memaparkan secara sekilas dari hasil yang di dapat dari lapangan yang berkaitan dengan rumusan masalah. a. Proses Pendidikan Di Pondok Pesantren Miftahul Huda Berdasarkan observasi proses pendidikan dilakukan setiap hari di mulai dari hari senin sampai minggu dari jam 03.00 pagi sampai jam 22.00 malam, namun pada hari jumat kegiatan mengaji seluruh santri di liburkan, hanya ada kegiatan shalat berjamaah di waktu subuh dan kegiatan mengaji anak yatim dan ibu-ibu disekitar pondok pada jam 08.00 pagi. Setiap harinya santi di tuntut untuk disiplin waktu dan mematuhi peraturan-peraturan yang telah di buat oleh pondok pesantren. Kedisiplinan ini agar santri dapat menjadi pribadi yang menghargai waktu dan bertanggung jawab. Hal ini berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan ustadzah yang bernama Lilis Lahmidati, bahwa: “…dari yang terkecil sampai yang benar-benar besar gitu yah sampai menyebabkan akibat yang fatal itu sudah di atur, dari mulai yang terkecil. Dari mulai mereka berpakaian, dari mulai mereka
49
berbicara, dari mulai mereka apa yah melakukan tanggung jawab – tanggung jawabnya, disitu semuanya sudah diatur, gitu”.7 Dari hasil wawancara di atas dapat kita ketahui bahwa pesantren ini menggunakan peraturan untuk membentuk pribadi santri yang berakhlak dan bertanggung jawab dengan apa yang mereka lakukan. Hal ini berdasarkan wawancara peneliti dengan ustadz, yakni Juli Ardiansyah, bahwa: “Dengan menerapkan aturan-aturan yang tidak memberatkan, namun di sangsi tersebut ketika ada santri yang melanggar kita ta‟jir, di antaranya kalo misalnya ada yang ngelanggar yah kita ta‟jir. Misalkan tidak shalat berjamaah atau pulang tanpa izin kita menta‟jir dengan hafalan juz „amma atau kitab-kitab yang lain”.8 Dari hasil wawancara di atas dapat kita ketahui bahwa santri wajib mentaati peraturan-peraturan yang ada, jika di langgarnya maka ada sangsi-sangsi tersendiri terhadap pelanggaran apa yang santri perbuat. Hal tersebut untuk menjadikan santri bertanggung jawab dengan pelanggaran yang mereka perbuat. Hasil wawancara peneliti juga dengan salah satu santri, yakni Siti Nurani, bahwa: “Umumnya pelajar yah, umumnya pelajarkan kadang patuh, kadang jenuh sama peraturan gitu yah, begitupun saya pribadi kadang saya patuh dengan peraturan pondok, kadang pula saya sedikit jenuh atau merasa tidak butuh sama peraturan gitu, jadi ujung-ujungnya saya juga kadang engga patuh gitu, tapi itu jarang yah ka”.9 Dari hasil wawancara di atas bahwa bagi santri terkadang peraturan pondok itu membuat mereka jenuh, sehingga kejenuhan itu memaksa
7
Hasil Wawancara dengan Ustadzah Lilis Lahmidati, Pada Jum‟at 17 Oktober 2014 Pukul 07.25 WIB, di PPS Miftahul Huda Cihideung Bogor. 8 Hasil Wawancara dengan Ustadz Juli Ardiansyah, Pada Kamis 16 Oktober 2014 Pukul 09.49 WIB, di PPS Miftahul Huda Cihideung Bogor. 9 Hasil Wawancara dengan Santri Siti Nurani, Pada Rabu 15 Oktober 2014 Pukul 21.29 WIB, di PPS Miftahul Huda Cihideung Bogor.
50
mereka untuk melanggar peraturan yang sudah di buat oleh pondok pesantren tersebut. Di pesantren ini juga setiap harinya santri dididik agar menjadi pribadi yang berakhlak baik, dari mulai berpakaian, menjaga perkataan, kehormatan dan menjaga kesopanan terhadap yang lebih tua maupun yang lebih muda. Hal ini berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan pimpinan pondok yang bernama K.H. Sahlul Lail, bahwa: “Ada suatu kitab yang namanya aklakul banat dan akhlakul banin. Akhlakul banin itu akhlak-akhlak yang mendidik buat santri-santri putera agar mereka tau, begitupun puteri yaitu akhlakul bannat. Pada intinya keduanya sama, isinya adalah tentang akhlak bagaimana caranya akhlak terhadap khalik, yang artinya akhlak dia terhadap Allah SWT yang intinya melalui ibadah-ibadah. Kemudian akhlak terhadap sesama, sesama ini ada terhadap yang lebih tua, terutama kepada orang tua, kemudian kepada guru, kepada kaka, keluarga termasuk kita biasakan di pondok pesantren ini yunior yang pemula kita didik mereka untuk menghormati kepada senior, apalagi umurnya sudah tua, gitu. Sehingga dari segi bahasa memanggilpun kita tidak anjurkan memanggil nama, tapi dengan sebutan atau panggilan yang hormat. Kalo kita di daerah sunda ini kepada yang lebih tua teteh, yaa seperti itu”.10 Dari hasil wawancara diatas dapat kita ketahui bahwa selain dengan peraturan pondok pesantren, pembentukan pribadi santri juga dibentuk melalui pembelajaran kitab-kitab akhlak yang menjelaskan tentang bagaimana membentuk akhlak yang baik. Hal ini berdasar hasil wawancara peneliti dengan santri, Siti Nurani, bahwa: “Kesopanan kita, dalam berpenampilan, umumnya sebagai wanita penampilan seperti apa gitu, yang sesuai dengan syar‟i, tidak boleh ini, tidak boleh itu, terus bertutur kata harus sopan. Karna kan kita di sini juga di ajarkan bagaimana cara berbicara yang baik, terus bagaimana cara kita bertingkah laku di depan yang muda, di depan 10
Hasil wawancara dengan K.H. Sahlul Lail, Pada Jum‟at 17 Oktober 2014 Pukul 08.17 WIB, di PPS Miftahul Huda Cihideung Bogor.
51
yang tua itu kita harus tau bagaimana cara kita untuk sopan, gitu”.11 Dari hasil wawancara diatas dapat kita ketahui bahwa selain mengaji Al-Quran dan kitab-kitab, di pesantren ini juga diajarkan bagaimana melatih pribadi yang baik, yang sesuai agama Islam. Para santri harus berpakaian sopan agar dapat mencerminkan pribadi santri sehingga terciptanya ketertiban dan kerapihan dalam berbusana serta bertutur kata yang baik. Di pesantren ini juga setiap harinya santri mengurusi semuanya sendiri, dari mulai masak, makan, dan kebutuhan pribadi maupun kebutuhan kelompok lainnya. Hal ini berdasarkan wawancara peneliti dengan santri yang bernama Siti Nurani, bahwa: “Jadi memang kalau kita sudah di pesantren pasti kita harus mandiri, gitu. Soalnya kalo di pesantren kan kita tidak dengan ibu, tidak dengan ayah, kita tidak dengan kakak atau keluarga, siapapun itu pasti kita sendiri disini, dan bertemu dengan orangorang banyak dan disitu apa namanya disitu kita harus bisa menyesuaikan semuanya dengan sendiri, gitu. Seperti kita mau makan kita harus nyari sendiri, masa kita harus nyuruh orang kan engga. Terus kita udah pake baju, kalo kotor kan kita harus cuci sendiri, nah itu kan sudah belajar supaya kita mandiri. Bagaimana baju itu dari yang bersih, kotor kemudian bersih lagi itu kita harus tau caranya, gitu. Nyucinya, jemurnya itu kan sudah termasuk belajar mandiri, gitu”.12 Dari hasil wawancara di atas dapat kita ketahui bahwa seorang santri wajib memiliki sifat yang mandiri, yang bisa melakukan semuanya sendiri. Karena kalau santri tidak bisa mandiri, ia tidak akan pernah bisa hidup di pesantren berbaur dengan santri yang lainnya. Hasil wawancara peneliti dengan pimpinan pondok K.H. Sahlul Lail, bahwa: 11
Hasil Wawancara dengan Santri Siti Nurani, Pada Rabu 15 Oktober 2014 Pukul 21.29 WIB, di PPS Miftahul Huda Cihideung Bogor. 12 Ibid,.
52
“Di tengah-tengah istirahat santri digunakan untuk memasak, karena mayoritas disini santri masak sendiri, tidak beli, tidak seperti di pesantren yang modern lain yang kost”.13 Dari hasil wawancara peneliti di atas dapat kita ketahui bahwa kemandirian santri diantaranya makan dan masak sendiri. Karena disini dididik semuanya melakukan sendiri tanpa mengandalkan orang lain. Kemandirian santri yang di tuntut didalam pondok pesantren ini membuat santrinya saling berbagi, saling menghargai, saling melengkapi dalam sebuah kebersamaan. Hal ini berdasarkan wawancara peneliti dengan santri yang bernama Siti Nurani, bahwa: “Dimana saya dapat berkumpul, bertukar fikiran, bercanda, dan mencurahkan perasaan yang kadang kala mengundang air mata. Itu semua ada di pondok, semua itu terasa seperti keluarga, seperti saudara, makan senampan bersama, tidur sekasur bersama, pokonya mah istimewa”.14 Dari hasil wawancara peneliti di atas dapat kita ketahui bahwa kebersamaan yang ada di dalam pondok pesantren memberi kesan kekeluargaan yang menambah keakraban para santrinya. Pondok Pesantren Miftahul Huda ini mempunyai peraturanperaturan yang dapat membentuk kepribadian santri agar mempunyai kesadaran tentang tugas dan tanggung jawab mereka. Hal ini berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan pimpinan pondok K.H. Sahlul Lail, bahwa: “Awalnya kita paksa dengan peraturan yang ada, tetapi dengan terbiasanya melakukan aturan yang ada, maka mereka akhirnya terbiasa. Karena sudah terbiasa akhirnya tidak ada yang merasa terbebani dan menjalaninya dengan kesadaran diri masingmasing”.15 13
Hasil Wawancara dengan K.H. Sahlul Lail, Pada Jum‟at 17 Oktober 2014 Pukul 08.17 WIB, di PPS Miftahul Huda Cihideung Bogor. 14 Hasil Wawancara dengan Santri Siti Nurani, Pada Rabu 15 Oktober 2014 Pukul 21.29 WIB, di PPS Miftahul Huda Cihideung Bogor. 15 Hasil Wawancara dengan K.H. Sahlul Lail, Pada Jum‟at 17 Oktober 2014 Pukul 08.17 WIB, di PPS Miftahul Huda Cihideung Bogor.
53
Dari hasil wawancara di atas dapat kita ketahui bahwa membentuk kesadaran santri itu awalnya menggunakan berbagai macam peraturan yang di ikuti dengan sangsinya masing-masing, sehingga membuat santri takut akan sangsi yang di jalaninya nanti, maka dari itu terbentuklah kesadaran dari diri santri tanpa terbebani oleh peraturan yang ada. Hasil wawancara peneliti dengan seorang ustadzah yang bernama Lilis Lahminati, bahwa: “…jadi kesadaran sendiri, dari mulai di suruh-suruh terus jadi mereka berfikir “ah kenapa harus disuruh-suruh terus!” jadi mereka itu jadi merasa kebutuhan gitu yah. Jadi kalo misalkan engga ngaji, ih kaya nya rugi gitu kan. Gak jamaah, ih kayanya rugi gitu, jadi mereka bukan hanya mengikuti peraturan aja, jadi mereka merasa jadi kebutuhan gitu kan, seperti halnya mereka makan. Kalo gak makan kayanya lapar gitu. Ah kalo ga jamaah jadinya rugi,jadi mereka bukan lagi mengikuti peraturan, mereka merasa membutuhkan, gitu. Jadi kalo tidak melakuan, ada rasa kekurangan”.16 Dari wawancara di atas dapat kita ketahui bahwa kesadaran santri di bentuk dari aturan dan paksaan. Yang pada awalnya santri bermalasmalasan dan lalai akan tugas-tugasnya sebagai santri, melalui peraturan dan paksaan setiap harinya, sehingga membangun kesadaran dalam diri santrinya itu sendiri tanpa harus di ingatkan terus-menerus. Hasil wawancara peneliti juga dengan salah satu santri, Siti Nurani, bahwa: “Awalnya pasti karena peraturan yah, adanya peraturankan untuk membentuk kita supaya patuh gitu, jadi awalnya karena peraturan, hmm karna niat karna kita terbiasa dengan peraturan tersebut
16
Hasil Wawancara dengan Ustadzah Lilis Lahmidati, Pada Jum‟at 17 Oktober 2014 Pukul 07.25 WIB, di PPS Miftahul Huda Cihideung Bogor.
54
akhirnya kita jadi terbiasa dan mengalir gitu menjadi itu jadi kemauan kita sendiri, gitu”.17 Dari hasil wawancara di atas di jelaskan bahwa kesadaran santri memang awalnya karena peraturan-peraturan yang memiliki sangsi. Dari peraturan dan sangsi itu membuat santri jera dan menimbulkan sedaran dari dalam diri sendiri untuk menjalankan semua kewajibankewajibannya tanpa harus di ingatkan dan di paksa lagi. Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan para responden dapat di ketahui bahwa Pondok Pesantren Salafi Miftahul Huda ini mempunyai peraturan yang di ikuti dengan sangsinya masing-masing, kemudian
dilengkapi
dengan
kajian
kitab-kitab
akhlak
untuk
membangun kesadaran santri, membentuk kesederhanaan, membentuk kebersamaan, juga membentuk sifat yang saling menghargai dan menghormati. b. Evaluasi Pendidikan Evaluasi atau penialian merupakan bagian yang sangat penting dalam kualiatas mengajar, yang berfungsi untuk mengetahui kemajuan belajar peserta didik dan mengukur tingkat keberhasilan kegiatan belajar mengajar. Penilainan yang dilakukan ketika proses pendidikan berlangsung dan setelah kegiatan pendidikan berlangsung (penilain hasil). Penilain yang dilakukan mengcakup hafalan dan pemahaman. Berdasarka hasil wawancara dengan pimpinan PPS Miftahul Huda K.H. Sahlul Lail, bahwa : “Evaluasi dilakukan pertama setiap selesai pengajian, yang di evaluasi hasil dari pengajian. Kemudian mingguan, evaluasi hasil belajar selama satu minggu, kemudian ada bulanan, hasil
17
Hasil Wawancara dengan Santri Siti Nurani, Pada Rabu 15 Oktober 2014 Pukul 21.29 WIB, di PPS Miftahul Huda Cihideung Bogor.
55
pengajian dalam satu bulan, tahunan, melalui musabaqoh setiap bulan ramadhan”.18 Berdasar hasil observasi di sana bahwa penilain yang dilakukan di PPS Miftahul Huda melalui empat cara. Yang pertama pada saat selesai mengaji selalu di evaluasi hasil kajian saat itu. Kedua, setiap minggu sekali di evaluasi hasil belajarnya dalam satu minggu itu. Ketiga, penilaian setiap bulan yang biasanya di laksanakan pada akhir bulan. Dan yang terakhir penilaian setiap tahunnya yang biasanya di laksanakan pada bulan ramadhan. Evaluasi yang dilakukan para pengajar untuk mengetahui hasil pembelajaran santri menggunakan dua cara dalam mengevaluasi kitab yang telah di pelajari, yaitu: 1. Kitab Tafsir Jalalen. Kitab ini di kaji oleh santri dewasa dengan menggunakan sistem balaghan, yaitu dimana kiai atau ustadz/ustadzah mengartikan isi dari kitab ini, di lanjutkan dengan mendeskripsikan dan menjelaskan tafsir dari kitab ini. Dan santrinya mendengarkan, memahami, dan mencatat tafsir-tafsir yang telah di jelaskan kiai atau ustadz/ustadzahnya. Lalu dalam melakukan evaluasi pengajian kitab ini di lakukan dengan cara sorogan, yaitu santrinya membaca kitab yang telah di kaji dan kiai sebagai pendengar bacaan dan penafsiran santri, jika terdapat kesalahan kiailah yang membenarkan bacaannya. 2. Kitab Nahu Sorof (Imriti dan Zurumiah) Pengajian kitab nahu sorof diantaranya imriti dan zurumiah. Kitab ini dikaji dengan menggunakan sistem sorogan yang di pelajari oleh santri aula. Kitab imriti membahas nahu sorof tingkat awal dan kitab zurumiah nahu sorof tingkat selanjutnya. Evaluasinya dengan sistem 18
Hasil Wawancara dengan K.H. Sahlul Lail, Pada Jum‟at 17 Oktober 2014 Pukul 08.33 WIB, di PPS Miftahul Huda Cihideung Bogor.
56
balaghan yang dimana kiai menanyakan tentang isi kitab tersebut kepada santri-santri secara bergantian. Ini bertujuan agar santrinya mampu memahami dan menghafal isi dari kitab-kitab tersebut. 3. Kitab Safinatunnajah Kitab ini juga di peruntukkan kepada santri aula, karena isi kitab ini menjelaskan tentang dasar-dasar ilmu fiqh yang bertujuan agar memudahkan santri memahami ilmu fiqh dari dasarnya. Kitab ini di kaji dengan sistem sorogan, dan mengevaluasinya dengan sistem balaghan. 4. Kitab Zubad Kitab ini di kaji oleh santri dewasa yang di pimpin oleh kiai dengan menggunakan sistem balaghan, karena kitab ini adalah kitab fiqh yang lebih mendalam dan bercabang ilmu fiqhnya, namun dalam kitab ini lebih banyak menjelaskan tentang muamalah, agar santrinya mengetahui bagaimana cara melakukan muamalah yang benar. Evaluasinya dengan menggunakan sistem sorogan, dimana santri dewasa ini menjelaskan apa yang sebelumnya di kaji oleh kiai, agar santrinya dapat aktif dalam proses pengajian tersebut. 5. Akhlakul Banin dan Akhlakul Banat Kitab-kitab ini terbagi untuk dua kategori, yang pertama kitab akhlakul banin yaitu kitab yang menjelaskan bagaimana menjadi lakilaki yang baik, kitab ini hanya diperuntukkan kepada santri putra. Dan akhlakul banin menjelaskan bagaimana menjadi wanita yang baik, kitab ini hanya diperuntukkan kepada santri putri. Pengajian kitab ini di pisah antara ruang pengajian santri putra dan santri putrid, namun antara santri aula dan santri dewasanya tidak dipisahkan. 6. Nasoihul Ibad Kitab ini menjelaskan tentang nasihat-nasihat Allah kepada hambaNya. Yang mengaji kitab ini hanya santri dewasa saja, karena
57
pembahasannya lebih mendalam dan hanya mudah di mengerti oleh santri yang sudah dewasa. Pengajian kitab ini menggunakan sistem balaghan, dan evaluasinya kiai memberikan pertanyaan kepada seluruh santrinya secara bergantian mengenai isi dari kitab nasoihul ibad ini. 7. Bacaan Doa-Doa Bacaan doa-doa ini di peruntukkan kepada seluruh santri di pondok pesantren ini tanpa pengecualian, karena santri yang mengaji di sini harus bisa menghafal doa-doa yang telah di pelajari dengan cara menghafal doa-doa yang di perintahkan oleh kiainya. Namun dalam doa-doa yang di hafal ada perbedaan antara doa-doa untuk santri aula dan santri dewasa. Santri aula menghafal doa-doa yang di baca seharihari seperti doa ketika hujan, doa kebaikan dunia akhirat, doa minta rizki, doa memohon perlindungan, dan sebagainya. Lalu untuk santri yang dewasa menghafal doa-doa setelah solat lima waktu, doa-doa shalat
sunnah,
doa
hadiah
ahli
kubur,
dan
sebagainya.
Mengevaluasinya dengan menyetor hafalan semua doanya, ini bertujuan agar kiai dapat mengetahui sejauh mana pencapaian tujuan pembelajarannya. Sehingga seluruh santrinya dapat menghafal seluruh bacaan doa yang ditentukan oleh kiai. Ketika seorang peserta didik dimasukkan ke dalam lembaga pendidikan, baik itu pendidikan formal maupun non formal yang diharapakan oleh orang tua adalah perubahan tingkah laku, pengetahuan dan pengalaman mereka. Hal itu dapat dikatagorikan sebagai prestasi untuk mengukur peserta didik dalam proses pembelajaran di PPS Miftahul Huda.
58
2. Sistem Pendidikan Di Pondok Pesantren Miftahul Huda Sistem pendidikan yang diterapkan di PPS Miftahul Huda yaitu menggunakan kurikulum tradisional. Di dalam metode tradisional tidak hanya terdapat metode balaghan dan sorogan saja, tetapi terdapat juga metode ceramah, dan hafalan. a. Kurikulum Pendidikan Yang Dilakukan Di Pondok Pesantren Miftahul Huda Pondok pesantren salafi Miftahul Huda ini memiliki kurikulum yang berbeda dengan pondok pesantren modern, PPS ini menggunakan kurikulum tradisional yaitu kurikulum yang di susun oleh pihak pondok pesantren sendiri tanpa berkiblat kepada kementrian Agama. Penyusunan ini bertujuan agar pondok pesantren mampu menjadikan santrinya faham dengan apa yang di sampaikan oleh kiai atau pengajar lainnya. Sistem pendidikan di PPS ini menggunakan dua sistem, yang pertama sistem balaghan yaitu sistem pendidikan dimana santri sebagai penerima saja dan kiai atau pengajar sebagai penyampai isi materi dari kitab yang di kaji. Setelah pengajian selesai, kiai atau pengajarnya mempersilahkan santri-santrinya secara bergantian untuk menjelaskan isi kitab yang di sampaikan kiainya tadi. Sedangkan yang kedua adalah sistem sorogan yaitu sistem pendidikan dimana santri yang lebih aktif dalam pengajian, santri membacakan kitab yang di kaji, mengartikan dan memaknai isi dari sebuah kitab yang di kaji, dan kiai atau seorang pengajarnya bertugas mendengarkan apa yang di sampaikan oleh santrinya dan mengoreksi bacaan dan juga arti dari apa yang santri ucapkan. Kurikulum yang ada dipondok pesantren salafi Miftahul Huda ini, seperti yang dijelaskan dari hasil wawancara dengan pimpinan PPS K.H. Sahlul Lail, selaku penyusun kurikulum bahwa:
59
“Kurikulum pesantren yang kita gunakan disini dengan pembelajaran terhadap anak-anak melalui dua sistem yang kita bahasakan dipesantren ini ada yang pertama sistem balaghan, yang kedua sistem sorogan.” “… Jadi itu dua sistem yang kita lakukan di sini seperti itu yang kemudian nanti penjabarannya selesai pengajian itu, kita berikan bahwa santri itu harus menjabarkan apa yang tadi di sampaikan oleh pak ustad atau pak kiainya”.19 Dari penjelasan di atas bahwa kurikulum yang ada di PPS Miftahul Huda adalah rangcangan yang dibuat oleh PPS Miftahul Huda sendiri, tidak berpatokan pada kurikulum dari Departemen Agama.
C. Analisa Data Pondok pesantren salafi Miftahul Huda Cihideung Bogor sebagai sebuah lembaga pendidikan Islam yang mempunyai sistem pendidikan salafiyah (tradisional), memiliki ciri pondok pesantren tradisional pada umumnya. Di pondok pesantren Miftahul Huda ciri yang dominannya dapat dilihat dari: tidak adanya sekolah formal dan pengkajian kitab-kitab kuning. Dalam proses belajar mengajar, pondok pesantren salafi Miftahul Huda telah menerapkan sistem tradisional dengan tidak adanya penjenjangan kelas, namun proses belajar mengajarnya tetap dilakukan dalam satu ruangan yang sama. Tetapi untuk para santri yang sudah termasuk senior atau santri lama, ada pengajian tambahan setelah pengajian intinya selesai. Kurikulum yang dipakai di pondok pesantren salafi Miftahul Huda menggunakan kurikulum yang dibuat oleh pihak pesantren sendiri, tidak mengkiblatkan kepada kurikulum Departemen Agama. Materi pelajaran keagamaan diambil dari kitab-kitab klasik yang membelajarannya menggunakan sitem balaghan, sorogan, dan hafalan.
19
Hasil Wawancara dengan K.H. Sahlul Lail, Pada Jum‟at 17 Oktober 2014 Pukul 08.17 WIB, di PPS Miftahul Huda Cihideung Bogor.
60
Dilaksanakannya evaluasi hasil belajar dengan empat waktu, yaitu: pertama, di setiap selesai pengajian setiap harinya, kedua, di setiap akhir minggu pengajian, ketiga, disetiap akhir bulan pengajian, dan keempat, dilaksanakan setiap akhir tahun hijriah. Evaluasinya seperti: ujian lisan, hafalan kitab-kitab, hafalan juz „amma, dan hafalan do‟a-do‟a. Penggunaan media dan metode pembelajarannya di pondok pesantren salafi Miftahul Huda kurang baik. Media pembelajarannya hanya menggunakan kitabkitab saja, tidak ada media apapun sebagai pendukung kelancaran proses belajar mengajar. Metode yang digunakan
disesuaikan dengan materi dan tujuan
pembelajaran yang ingin disampaikan. Sedangkan sarana dan prasarana sebagai pendukung kegiatan belajar mengajar guna tercapainya tujuan pembelajaran, sudah cukup memadai. Meskipun dalam beberapa hal masih ada yang kurang namun ada usaha dari pihak pondok pesantren untuk memfasilitasi dan melengkapi.
D. Pembahasan Hasil Penelitian Ada beberapa hasil penelitian yang penting untuk dibahas lebih lanjut. Dalam pembahasan ini, hasil penelitian yang akan dibahas dengan menganalisis data. Pembahasan tersebut sebagai berikut:
1. Suasana Proses Pendidikan Pondok Pesantren Salafi Miftahul Huda Cihideng Bogor Di pondok pesantren ini hubungan antara santri dengan kiai dan santri dengan ustadz dan ustadzah tidak ada batasan, sangat terlihat sekali ketika seorang santri yang sedang mengaji kitab-kitab dengan penuh antusias, karena menurut mereka pengajaran yang disampaikan oleh para pengajar dapat dipahami dengan baik. Seperti yang kita ketahui bahwa pengajian kitab di pesantren ini beranekaragam, diantaranya: Kitab Tafsir Jalalen, Kitab Nahu Sorof, Kitab Safinatunnajah, Kitab Zubad, Kitab Akhlakul Banin,
61
Kitab Akhlakul Banat, dan Kitab Nasoihul Ibad. Yang di ajarkan dengan ustadz dan ustadzah yang berbeda-beda setiap kitabnya. Sebelum mengaji rutinitas yang wajib dilakukan oleh seluruh santri adalah shalat berjamaah terlebih dahulu, setelah shalat santri melantunkan sholawat-sholawat nabi, kemudian di lanjutkan dengan mengaji kitab sesuai jadwal yang telah disepakati bersama. Setiap hari santri secara bergantian mengimami shalat dan memimpin shalawat seusai shalat dengan jadwal yang telah ditentukan. Setelah itu para pengajar langsung memulai pengajian kitabnya sesuai jadwal yang ditentukan dengan ruang yang berbeda antara santri putra dan santri putri. Waktu mengajinya dibedakan antara santri aula dengan santri dewasa, hal ini dilakukan agar para santrinya dapat menyerap pelajaran
sesuai
dengan
umurnya
masing-masing.
Dalam
sistem
pengajarannyapun berbeda, santri aula mengaji dengan menggunakan sistem sorogan yakni kiai atau ustadz/ustadzah mempersilahkan santrinya membaca baris kitab yang telah ditentukan, mengartikan isinya, dan menjelaskan maksud dari kitab yang ia baca. Lalu kiai atau ustadz/ustadzahnya menyimak bacaan santri, mengkoreksi, dan menjelaskan kembali isi kitab tersebut. Sistem ini bertujuan agar santrinya dapat aktif dalam mengaji, dan mudah memahami setiap bagian-bagian di dalam kitab yang di bacanya. Kemudian santri dewasa mengajinya menggunakan sistem balaghan, yaitu sistem dimana santri sebagai pendengar, penyimak untuk memahami isi kitab yang disampaikan oleh pengajar. Kiai atau ustadz/ustadzah menjelaskan isi dari kitab yang di kaji, setelah selesai pembahasan isinya kiai mempersilahkan santrinya secara bergantian menjelaskan kembali apa yang di jelaskan oleh kiai dengan bagian-bagian yang berbeda, ini bertujuan agar santrinya memahami isi kitab yang di jelaskan oleh kiai secara menyeluruh. Setelah mengaji kitab-kitab, santri di berikan waktu untuk bersih-bersih lingkungan pesantren, kobong, dan rumah kiainya. Kegiatan senggang ini adapula yang di pakai santri untuk mencuci, menyetrika, dan memasak untuk
62
persiapan makan. Bagi santri aula, di berikan kesempatan untuk bermain dan berkumpul santai bersama santri aula lainnya sambil menunggu makanan yang di masak oleh santri yang bertugas, dan melakukan makan bersama di dalam kobongnya masing-masing.
2. Pembetukkan Kepribadian Santri Di pondok pesantren ini setiap harinya santri di tuntut untuk disiplin waktu dan mematuhi peraturan-peraturan yang telah di buat oleh pihak pondok pesantren. Kedisiplinan ini agar santri dapat menjadi pribadi yang menghargai waktu dan bertanggung jawab. Apabila santri melanggar peraturan yang di buat oleh pondok pesantren maka ada sangsi tersendiri terhadap pelanggaran apa yang santri perbuat. Misalnya tidak shalat berjamaah atau pulang tanpa izin, maka akan di ta‟zir dengan hafalan juz amma atau kitab-kitab yang lainnya. Dari peraturan-peraturan yang sering di langgar oleh santrinya, maka dengan sendirinya santri tersebut akan melaksanakan tugasnya sebagai santri tanpa melihat peraturan-peraturan yang dibuat oleh pondok pesantren tersebut. Selain peraturan-peraturan yang membentuk kepribadiannya ada juga pembelajaran kitab akhlakul banat dan akhlakul banin. Akhlakul banat yaitu kitab yang menjelaskan bagaimana menjadi laki-laki yang baik dan akhlakul banin yaitu kitab yang menjelaskan bagaimana jadi wanita yang baik. Selain peraturan dan kitab-kitab, di pesantren ini juga ada pembiasaan diri, yaitu santri di biasakan untuk melakukan semua pekerjaannya sendiri. Dari mulai masak, mencuci baju, menyetrika, dan bersih-bersih bagian kobong atau halaman pesantren. Maksud pembiasaan ini agar semua santrinya menjadi mandiri, tidak bergantung kepada orang lain, karena dalam pesantren salafi ini tidak ada istilah “ibu cuci” seperti di pondok pesantren modern lainnya.
63
Pembiasaan bertutur kata dengan baik, sopan santun kepada yang lebih tua, dan berpakaian sesuai kode etik pesantren juga di terapkan oleh pihak pondok pesantren. Pembiasaan-pembiasaan ini di terapkan agar santri-santri di pondok pesantren ini memiliki kepribadian yang baik, sesuai dengan apa yang ada dalam tujuan pondok pesantren, yakni mencetak generasi yang mempunyai kepribadian baik.20
3. Sistem Pembelajaran Pondok Pesantren Di pondok pesantren ini mempunyai dua sistem dimana sistem tersebut di susun oleh pihak pondok pesantren itu sendiri. a. Sistem balaghan adalah sistem yang di pakai oleh PPS Miftahul Huda untuk pengajian santri dewasa, yaitu dengan cara: 1) Kiai membacakan kitab dari bait perbait, lalu di ikuti dengan menterjemahkan kata perkata, kemudian di simpulkan makna kitab yang di bacanya. 2) Santri mengikuti bacaan kiai di dalam hati, kemudian santri menulis apa yang di baca dan di terjemahkan oleh kiainya. 3) Kiai mempersilahkan santrinya secara bergantian membaca dan menterjemahkan
kitab
yang di
kaji
sebelumnya,
lalu
kiai
mendengarkan dan mengkoreksi bacaan serta terjemahan yang di bacakan oleh santri. 4) Kiai membacakan kembali bacaan yang benar jika terdapat kesalahan dalam bacaan dan terjemahan yang di bacakan oleh santrinya.21 b. Sistem sorogan adalah sistem yang di pakai oleh PPS Miftahul Huda untuk pengajian santri aula, yaitu dengan cara: 1) Santri menunggu giliran di panggil oleh kiainya untuk membacakan kitab yang telah di kaji bersama sebelumnya.
20 21
Hasil Pengamatan Peneliti di PPS Miftahul Huda Hasil Observasi Peneliti Pada Pengajian Kitab Zubad, pada jam 16.30 WIB, di Majlis PPS
64
2) Santri menyodorkan kitab yang ingin di bacanya kepada kiai, kemudian santri membacakan kitab dari pengajian yang sebelumnya dan menterjemahkan dari bait perbait. 3) Kiai mendengarkan bacaan santri dan mengkoreksi bacaan serta terjemahan yang di bacakan santri dari bait perbait. 4) Kiai membacakan bacaan kitab dan terjemahan jika ada santrinya yang salah dalam membaca dan menterjemahkan kitab. 5) Kiai menunjuk santrinya secara acak dan di persilahkan untuk membaca dan menterjemahkan kitab dalam pengajian sebelumnya dengan bait yang telah di tentukan oleh kiainya.22
22
PPS
Hasil Observasi Peneliti Pada Pengajian Kitab Zurumiyah, pada jam 08.00 WIB, di Majlis
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan analisis data yang peneliti paparkan pada bab ini, maka ada beberapa hal yang dapat dijadikan kesimpulan, adapun kesimpulan yang dapat peneliti lakukan antara lain sebagai berikut: 1. Proses pendidikan yang dilakukan oleh pondok pesantren salafi Miftahul Huda, meliputi dua hal. Yang pertama proses pendidikan dan yang kedua evaluasi pendidikan. Dalam proses pendidikan menggunakan peraturanperaturan yang dibuat oleh pihak pondok pesantren yang memiliki sangsi berbeda-beda sesuai dengan tingkatan kesalahannya untuk membentuk kepribadian santri yang berakhlakul karimah. Selain dengan peraturanperaturan yang di buat, pesantren juga mengakaji berbagai kitab-kitab akhlak, diantaranya kitab akhlakul bannin (kitab yang mempelajari bagaimana menjadi laki-laki yang berakhlak baik), kitab akhlakul bannat (kitab yang mempelajari bagaimana menjadi perempuan yang berakhlak baik), kitab fiqih (menjelasakan masalah ibadah dan muamalah), kitab riyadus sholihin, dan kitab tafsir jalalin, di dalam kajian tersebut menerankan masalah kehidupan sehari-hari, untuk perkembangan kepribadian santri. Pondok pesantren juga mengadakan praktek langsung mengenai akhlakul karimah, hal ini dapat dilihat dari kegiatan-kegiatan keagamaan seperti dzikir, tadarus al-Qur’an, istighosahan dan lain sebagainya. Dan dalam evaluasi pendidikan, melakukan empat kali penilaian. Yang pertama, pada saat selesai mengaji selalu di evaluasi hasil kajian saat itu. Kedua, setiap seminggu sekali di evaluasi hasil belajarnya dalam satu minggu itu. Ketiga, penilaian setiap bulan yang biasanya di laksanakan pada akhir bulan. Dan yang terakhir penilaian setiap tahunnya yang biasanya di laksanakan pada bulan ramadhan.
65
66
2. Sistem pendidikan yang diselenggarakan di pondok Pesantren Salafi Miftahul Huda adalah sistem pendidikan salafi (tradisioanal). Sedangkan kurikulum yang digunakan adalah kurikulum yang di rancang oleh pondok Pesantren Salafi Miftahul Huda itu sendiri yaitu menggunakan kurikulum sorogan dan balaghan. Sedangkan sistem pendidikan yang dapat membentuk kepribadian santri yaitu mananamkan nilai keagamaan dan juga membiasakan hidup bermoral serta didukung oleh materi-materi yang dapat membentuk kepribadian santri seperti, pembelajaran Ahklaq, Fiqih, Thasawuf serta ilmu lain yang berkaitan dengan ahklaq, dan tazkiyah.
B. Saran-Saran Berdasarkan hasil penelitian di atas, maka saran yang dapat diberikan oleh peneliti adalah sebagai berikut: 1.
Kepada Kiai Kiai harus lebih memberikan peraturan yang lebih tegas lagi kepada para santrinya, agar santrinya dapat mematuhi semua peraturan yang ada untuk menghindari santri mengulangi kesalahannya.
2. Bagi Ustadz-ustadzah Guru harus lebih intensif dan rutin dalam mengawasi aktivitas keseharian santri di kobong masing-masing. Dan juga guru harus lebih memahami psikologi santri agar guru memahami kepribadian (akhlak) para santrinya. 3. Bagi Santri Santri harus lebih patuh pada semua peraturan yang ada dalam pondok pesantren. Santri sebaiknya mengetahui perbuatan mana yang harus ditiru dan perbuatan apa yang tidak harus ditiru, santri juga harus membentengi diri dengan iman dan taqwa supaya tidak terpengaruh terhadap perbuatanperbuatan yang tidak di inginkan. Di samping itu santri hendaknya tetap menjaga prilakunya, baik dalam pondok maupun di luar pondok.
DAFTAR PUSTAKA Asy’ari, Zubadi Habibullah. Moralitas Pendidikan Pesantren. Yogyakarta: Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (LKPSM), 1996 Bawani, Imam, dkk. Pesantren Buruh Pabrik. Yogyakarta: LKiS, 2011 Daes, Ahmad. Konsep Kepribadian Dalam Al-Quran dan Hadits. Jakarta: t.p., 1989 Darajat, Zakiyah. Ilmu Jiwa Agama. Jakarta: Bulan Bintang, 1970 Daulay, Haidar Putra. Sejarah Pertumbuhan dan Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Prenada Media Group, 2007 Hadi, Sutrisno. Metodologi Research II. Yogyakarta: Andi Offset, 1984 Hartati, Netty, dkk. Islam dan Psikologi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004 Jaenudin, Ujam. Psikologi Kepribadian. Bandung: Pustaka Setia, 2012 Kabry, Abdul Muiz. Pengantar Ilmu Jiwa Agama. Yogyakarta: Imperium, 2013 Koswara. Teori-Teori Kepribadian. Bandung: Eresco, 1991 Majid, Abdul. dan Andayani, Dian. Pendidikan Karakter Perspektif Islam. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2011 Masyhud, Sulthon, dkk. Manajemen Pondok Pesantren. Jakarta: Diva Pustaka, 2005 Meleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2013 Nafi’, Dian, dkk. Praksis Pembelajaran Pesantren. Yogyakarta: Instite for Training and Development (ITD), 2007 Noor, Juliansyah. Metodologi Penelitian. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011 Purwanto, Ngalim. Psikologi Pendidikan. Bandung: PT Remadja Karya, 1985 Qomar, Mujamil. Pesantren dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi. Jakarta: Erlangga
Ramayulis. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia, 2002 Siradj, Sa’id Aqiel, dkk. Pesantren Masa Depan. Bandung: Pustaka Hidayah, 1999 Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif Dan R & D. Bandung: Alfabeta, 2012 _______. Metode Penelitian Pendidikan (Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R&D). Bandung: Alfabeta, 2013
Sujanto, Agus. Psikologi Kepribadian. Semarang: Bumi Akasara, 2006 Syahid, Ahmad. Pesantren dan Pengembangan Ekonomi Umat. Depag dan INCIS, 2002 Tohirin. Psikologi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005 Usman, Husaini. dan Akbar, Purnomo Setiady. Metodologi Penelitian Sosial. Jakarta: PT Bumi Aksara, 2003 UUD, Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan, Pasal 1 Wahid, Abdurrachman. Pesantren Sebagai Subkultur, pada Jurnal Pesantren dan Pembaharuan. Jakarta: LP3ES, 1974 Yasin, Fatah. Dimensi-Dimensi Pendidikan Islam. Malang: UIN-Malang Press, 2008 Yasmadi. Modernisasi Pesantren. Jakarta: Ciputat Press, 2002 http://aliahmadzainuri.wordpress.com/2013/09/07/tazkiyatun-nafs-dalampembentukan-akhlak/
LEMBAR UJI REFERENSI
Nama
: Eva Fauziyah
NIM
: 1110011000016
Dosen Pembimbing
: DR. Sapiudin Shidiq, M.Ag
Judul Skripsi
:
Sistem Pendidikan Pondok Pesantren Dalam Pembentukkan Kepribadian Santri Di Pondok Pesantren Salafi Miftahul Huda Cihideung Bogor
No.
Judul Buku Referensi
Halaman
BAB I 1.
Sulthon
Masyhud,
dkk.
Manajemen
Pondok 1, 59, 3,
Pesantren. Jakarta: Diva Pustaka, 2005 2.
UUD,
Pendidikan
Agama
74
dan
Pendidikan 1
Keagamaan, Pasal 1 3.
Abdurrachman
Wahid
.
Pesantren
Sebagai 3
Subkultur, pada Jurnal Pesantren dan Pembaharuan. Jakarta: LP3ES, 1974 4.
Zubadi Habibullah Asy’ari. Moralitas Pendidikan 9 Pesantren.
Yogyakarta:
Lembaga
Kajian
dan
Pengembangan Sumber Daya Manusia (LKPSM),
Paraf
1996 5.
Dian Nafi’, dkk. Praksis Pembelajaran Pesantren. 19, 20, 50, Yogyakarta: Instite for Training and Development 51 (ITD), 2007
6.
Abdul Muiz Kabry. Pengantar Ilmu Jiwa Agama. 97 Yogyakarta: Imperium, 2013
7.
http://aliahmadzainuri.wordpress.com/2013/09/07/ta zkiyatun-nafs-dalam-pembentukan-akhlak/
8.
Imam Bawani, dkk. Pesantren Buruh Pabrik. 58 Yogyakarta: LKiS, 2011
9.
Mujamil Qomar. Pesantren dari Transformasi 25, 62, 64, Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi. Jakarta: 88, 1, 126, Erlangga
127,
20,
39, 41, 66, 67 BAB II 10.
Ahmad Syahid. Pesantren dan Pengembangan 30 Ekonomi Umat. Depag dan INCIS, 2002
11.
Sa’id Aqiel Siradj, dkk. Pesantren Masa Depan. 13, 14, 15, Bandung: Pustaka Hidayah, 1999
12.
135, 134
Fatah Yasin. Dimensi-Dimensi Pendidikan Islam. 243, 254, Malang: UIN-Malang Press, 2008
13.
256
Haidar Putra Daulay. Sejarah Pertumbuhan dan 62, 63, 64 Pembaharuan Pendidikan Islam di
Indonesia.
Jakarta: Prenada Media Group, 2007 14.
Yasmadi. Modernisasi Pesantren. Jakarta: Ciputat 64, 65, 63 Press, 2002
15.
Agus Sujanto. Psikologi Kepribadian. Semarang: 189,
Bumi Akasara, 2006 16.
Ahmad Daes. Konsep Kepribadian Dalam Al-Quran 9 dan Hadits. Jakarta: t.p., 1989
17.
Netty Hartati, dkk. Islam dan Psikologi. Jakarta: PT 117 Raja Grafindo Persada, 2004
18.
Ngalim Purwanto. Psikologi Pendidikan. Bandung: 152, 158 PT Remadja Karya, 1985
19.
Koswara.
Teori-Teori
Kepribadian.
Bandung: 10, 97
Eresco, 1991 20.
Tohirin. Psikologi Pembelajaran Pendidikan Agama 169 Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005
21.
Ujam Jaenudin. Psikologi Kepribadian. Bandung: 188, Pustaka Setia, 2012
21.
50,
208, 212
Ramayulis. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam 195, 199 Mulia, 2002
23.
Abdul Majid. dan Dian Andayani. Pendidikan 18 Karakter Perspektif Islam. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2011
24.
Zakiah Darajat. Ilmu Jiwa Agama. Jakarta: Bulan 19 Bintang, 1970 BAB III
25.
Sugiyono.
Metode
Penelitian
Pendidikan 3
(Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R&D). Bandung: Alfabeta, 2013 26.
Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif 2, 34, 145, Dan R & D. Bandung: Alfabeta, 2012
27.
137, 147
Juliansyah Noor. Metodologi Penelitian. Jakarta: 254, 114, Kencana Prenada Media Group, 2011
141, 139,
163 28.
Sutrisno Hadi. Metodologi Research II. Yogyakarta: 126 Andi Offset, 1984
29.
Husaini Usman dan Purnomo Setiady Akbar. 157, 57 Metodologi Penelitian Sosial. Jakarta: PT Bumi Aksara, 2003
30.
Lexy J Meleong. Metodologi Penelitian Kualitatif. 186, 127, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2013
149
Diket. Dosen Pembimbing
DR. Sapiudin Shidiq, M. Ag NIP. 19670328 200003 1 001
Tabel 4.1 Keadaan Sarana dan Prasarana Pondok Pesantren Salafi Miftahul Huda Cihideung Bogor
Keadaan No.
Jenis
Banyaknya
Ket Baik
Rusak
1.
Kobong laki-laki
9
8
1
2.
Kobong perempuan
10
8
2
3.
Ruang Kiai
1
1
0
4.
Ruang Ustadz
1
1
0
5.
Ruang TU
1
1
0
6.
Majlis dinniyah
2
2
0
7.
Toilet Pegawai
1
1
0
8.
Toilet Santri
4
4
0
9.
Dapur Utama
1
1
0
10.
Dapur Santri Putra
2
2
0
11.
Dapur Santri Putri
4
4
0
Rusak Ringan
Rusak Ringan
Tabel 4.2 Jumlah Santri dari Tahun ke Tahun Di Pondok Pesantren Salafi Miftahul Huda Cihideng Bogor
Jenis Kelamin No.
Tahun
Jumlah Laki-laki
Perempuan
1.
2010-2011
75
28
47
2.
2011-2012
90
39
51
3.
2012-2013
85
28
57
4.
2013-2014
101
41
60
5.
2014-2015
107
38
69
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1
: Surat Bimbingan Skripsi
Lampiran 2
: Surat Permohonan Izin Penelitian
Lampiran 3
: Surat Pernyataan Bukti Penelitian
Lampiran 4
: Tujuan dan Target Pondok Pesantren Salafi Miftahul Huda
Lampiran 5
: Visi dan Misi Pondok Pesantren Salafi Miftahul Huda
Lampiran 6
: Susunan Kepengurusan Pondok Pesantren Salafi Miftahul Huda
Lampiran 4
: Kegiatan Santri di Pondok Pesantren Salafi Miftahul Huda
Lampiran 5
: Sarana dan Prasarana di Pondok Pesantren Salafi Miftahul Huda
Lampiran 6
: Kisi-kisi Wawancara Penelitian di Pondok Pesantren Miftahul Huda
Lampiran 7
: Pedoman Wawancara Penelitian di Pondok Pesantren Miftahul Huda
Lampiran 8
: Hasil Wawancara di Pondok Pesantren Salafi Miftahul Huda
4.1 KEGIATAN SANTRI SEHARI-HARI 4.1.1 Kegiatan Qiyamul Lail
4.1.2 Kegiatan Sholat Berjamaah
4.1.3 Kegiatan Santri Menghafal Al-Qur’an Setiap Selesai Shalat Dhuha
4.1.4 Kegiatan Santri Yasinan Setiap Malam Jumat
4.1.5 Kegiatan Mengaji Santri
4.1.6 Kegiatan Bersih-Bersih Santri Di Lingkungan Pesantren
4.1.7 Bersih-Bersih Di Rumah Kiai
4.1.8 Kegiatan Masak Setiap Hari Di Rumah Kiai
4.1.9 Kegiatan Masak Setiap Hari Di Kobong Santri
4.1.10 Kegiatan Santri Saat Istirahat
4.1.11 Kegiatan Makan Bersama Setiap Hari
4.2 KEGIATAN TAHUNAN 4.2.1 Merayakan tahun baru Islam
4.2.2 Santunan Anak Yatim
4.2.3 Cerdas Cermat Pekan Muharam
4.2.4 Sunatan Masal
4.3 SARANA DAN PRASARANA 4.3.1 Pondok/Asrama Putri
4.3.2 Kamar (kobong) Santri Puteri
4.3.3 Pondok/Asrama Putera
4.3.4 Dapur Santri
4.3.5 Rumah Kiai
4.3.7 Ruang Kiai
4.3.6 Ruang Ustadz/Ustadzah
4.3.8 Majlis
No.
Indikator
Subyek
Nomor Butir Soal
1.
Menjelaskan kurikulum pesantren.
Kiai
1
2.
Menjelaskan waktu menjabat.
Kiai, Ustadz/Ustadzah, Santri
2, 1, 1
3.
Menjelaskan hambatan kepemimpinan.
Kiai
3
4.
Menjelaskan materi yang diajarkan.
Kiai, Ustadz/Ustadzah, Santri
4, 2, 8 dan 9
5.
Menjelaskan cara membimbing santri.
Kiai, Ustadz/Ustadzah
5, 4
6.
Menjelaskan cara membentuk kepribadian.
Kiai
6
7.
Menjelaskan cara membentuk kesadaran.
Kiai, Ustadz/Ustadzah, Santri
7, 10, 10
8.
Menjelaskan kajian kitab.
Kiai, Santri
8, 6
9.
Menjelaskan keberadaan santri.
Kiai
9
10.
Menjelaskan fungsi masjid.
Kiai
10
11.
Menjelaskan cara mengasuh.
Ustadz/Ustadzah
3
12.
Menjelaskan kepatuhan.
Ustadz/Ustadzah, Santri
5, 3
13.
Menjelaskan peraturan pesantren.
Ustadz/Ustadzah, Santri
6, 2
14.
Menjelaskan pelanggaran santri.
Ustadz/Ustadzah
7
15.
Menjelaskan sangsi.
Ustadz/Ustadzah
8
16.
Menjelaskan ruangan santri.
Ustadz/Ustadzah
9
17.
Menjelaskan kebersamaan.
Santri
4
18.
Menjelaskan kesopanan.
Santri
5
19.
Menjelaskan kemandirian.
Santri
7
PEDOMAN WAWANCARA (Kiai) Nama
:
Jabatan
:
Hari/Tanggal Wawancara
:
1. Bagaimana dengan kurikulum yang ada di pesantren ini pak? 2. Sejak tahun berapa bapak menjadi pemimpin pondok pesantren ini? 3. Apakah ada kendala selama bapak memimpin pesantren ini? 4. Sebagai pemimpin, apakah bapak merangkap juga sebagai pengajar? Materi apa yang diajarkan pak? 5. Bagaimana cara bapak membimbing para santri di pesantren ini? 6. Apakah di pesantren ini mengajarkan cara membentuk kepribadian kepada para santri? 7. Dengan cara apa bapak membentuk kesadaran santri dalam melakukan ibadahnya? 8. Di pesantren, kitab apa saja yang bapak kaji setiap harinya? 9. Apakah semua santri yang mengaji di pesantren tinggal dan menetap di pondok/asrama atau ada yang pulang ke rumah? 10. Masjid di pesantren ini apakah hanya dipakai untuk shalat atau untuk kegian lainnya?
PEDOMAN WAWANCARA (Ustadz/Ustadzah) Nama
:
Jabatan
:
Hari/Tanggal Wawancara
:
1. Bapak/ibu sudah berapa lama mengajar di pesantren ini? 2. Materi apa yang bapak/ibu ajarkan kepada santri? 3. Bagaimana cara bapak/ibu mengasuh santri disini? 4. Dengan cara apa bapak/ibu membimbing para santri agar menjadi mandiri? 5. Usaha apa yang bapak/ibu lakukan untuk membuat santrinya patuh? 6. Peraturan apa saja yang terdapat di pesantren ini? 7. Apakah ada peraturan yang sering dilanggar santri? 8. Apakah sangsi bagi santri yang melanggar peraturan? 9. Di pesantren ini terdapat berapa ruang tidur (kobong) untuk santri? Lalu satu ruangan untuk berapa orang santri? 10. Apakah upaya bapak/ibu dalam membentuk kesederhanaan santri?
PEDOMAN WAWANCARA (Santri) Nama
:
Jabatan
:
Hari/Tanggal Wawancara
:
1. Sudah berapa lama anda pesantren disini? 2. Selama di pesantren apakah anda sudah patuh dengan semua peraturan yang ada? 3. Selama kegiatan dari pagi sampai malam hari apakah anda melakukannya dengan ikhlas atau hanya karena tuntutan pesantren? 4. Selama belajar di pesantren, kebersamaan seperti apa yang anda rasakan? 5. Sebagai santri, kesopanan sudah melekat dalam jiwanya. Apakah kesopanan yang anda terapkan kepada kiai dan para pengajar disini hanya karena mentaati peraturan atau keinginan dari diri sendiri? 6. Selama di pesantren, kitab apa yang biasa anda kaji? 7. Apakah pihak pesantren menuntut anda mandiri? Dalam hal apa? 8. Dalam kegiatan pembelajaran metode apa yang sering di pakai para pengajar untuk menyampaikan materi? 9. Apakah cara pengajaran para ustadz/ustadzah mudah di pahami oleh anda? 10. Kesederhanaan seperti apa yang di ajarkan di pesantren ini?
Hasil Wawancara
Nama
: Siti Nurani
Jabatan
: Santri
Tanggal
: 15 Oktober 2014
Waktu
: Jam 21.29 WIB
Pewawancara
: Selama disini apakah teteh patuh sama peraturan yang ada?
Rani
: Umumnya pelajar yah, umumnya pelajarkan kadang patuh, kadang jenuh sama peraturan gitu yah, begitupun saya pribadi kadang saya patuh dengan peraturan pondok, kadang pula saya sedikit jenuh atau merasa tidak butuh sama peraturan gitu, jadi ujung-ujungnya saya juga kadang engga patuh gitu, tapi itu jarang yah ka yah. Hehee
Pewawancara
: Hmm terus selama belajar di pesantren ini, kebersamaan seperti apa yang teteh rasakan?
Rani
: Kebersamaannya tuh, hmm luar biasa. Kalo saya jabarin yah, pokonya luar biasa deh. Dimana saya dapat berkumpul, bertukar fikiran, bercanda, dan mencurahkan perasaan yang kadang kala mengundang air mata. Itu semua ada di pondok, semua itu terasa seperti keluarga, seperti saudara, makan senampan bersama, tidur sekasur bersama, pokonya mah istimewa.
Pewawancara
: Kalo sebagai santri kesopanan yang sudah melekat dalam jiwanya tuh apa yah?
Rani
: Kesopanan kita, dalam berpenampilan, umumnya sebagai wanita penampilan seperti apa gitu, yang sesuai dengan syar‟i, tidak boleh ini, tidak boleh itu, terus bertutur kata harus sopan. Karna kan kita di sini juga di ajarkan bagaimana cara berbicara yang baik, terus bagaimana cara kita
bertingkah laku di depan yang muda, di depan yang tua itu kita harus tau bagaimana cara kita untuk sopan, gitu. Pewawancara
: oh gitu, kalo sama kiai itu nurutnya, patuhmya itu karena peraturan atau karena emang dari diri sendiri buat patuh?
Rani
: Awalnya pasti karena peraturan yah, adanya peraturankan untuk membentuk kita supaya patuh gitu, jadi awalnya karena peraturan, hmm karna niat karna kita terbiasa dengan peraturan tersebut akhirnya kita jadi terbiasa dan mengalir gitu menjadi itu jadi kemauan kita sendiri, gitu.
Pewawancara
: Selama satu tahun disini, kitab apa yang biasa dikaji?
Rani
: Banyak yah, tapi kan saya dari dasar yah, ada tingkat-tingkatnya. Ada yang dasar yah ada yang sudah lama, saya sih dari dasar dari fikihnya ada fikih wadi‟, ada kitab fikih safinatunnajah, terus dari nahu sarafnya, dari mulai jurumiyah, imriti, yakulu, ditambah juga apa namanya dengan program amsilati. Ada pula kitab akhlaknya, akhlakul bannat, terus kitab kurtubi,tambi‟ul ghafilin, dan kihul qaul.
Pewawancara
: Kalau boleh tau akhlakul bannat seperti apa yah?
Rani
: Akhlakul bannat itu mempelajari tentang akhlak, jadi tentang akhlaknya seorang wanita tuh harus seperti apa, gitu. Baiknya menurut islam tuh seperti apa. Bagaimana cara mengeluarkan suara,bagaimana cara berbicara,bagaimana cara bertingkah laku yang baik dan enak dipandang islam, dipandang orang banyak, gitu.
Pewawancara
: Dari pihak pesantren itu menurut teteh apa udah menuntut mandiri? Dari pesantrennya itu dalam hal apa yang dituntut mandiri?
Rani
: Kalo setiap pesantrenkan pasti yang dituntut bukan penuntutannya, jadi memang kalau kita sudah di pesantren pasti kita harus mandiri, gitu. Soalnya kalo di pesantren kan kita tidak dengan ibu, tidak dengan ayah, kita tidak dengan kakak atau keluarga, siapapun itu pasti kita sendiri disini, dan bertemu dengan orang-orang banyak dan disitu apa namanya disitu kita harus bisa menyesuaikan semuanya dengan sendiri, gitu. Seperti kita mau makan kita harus nyari sendiri, masa kita harus nyuruh orang kan engga. Terus kita udah pake baju, kalo kotor kan kita harus cuci sendiri,
nah itu kan sudah belajar supaya kita mandiri. Bagaimana baju itu dari yang bersih, kotor kemudian bersih lagi itu kita harus tau caranya, gitu. Nyucinya, jemurnya itu kan sudah termasuk belajar mandiri, gitu. Pewawancara
: Kalo muhadharoh itu biasanya itu semuanya kebagian tugas atau gimana?
Rani
: Iyah semuanya kebagian tugas, tapi digilir. Misalkan malem minggu ini yang tugas ada tujuh orang, terus nanti berarti malam minggu depan ada tujuh orang lagi digilir terus sudah habis di orang yang kemarin berarti terus aja diulang lagi, gitu.
Pewawancara
: Lalu kesederhanaan apa yang diajarkan di pesantren ini teh?
Rani
: Kesederhanaan yang tadi saya bilang yah, kesederhanaan yang diajarkan disini tuh kesederhanaan dalam berprilaku, kesederhanaan dalam berpenampilan, kesederhanaan dalam bertutur kata, jadi kita tidak harus muluk-muluk, tidak harus kan gak mungkin yah seorang santri harus banyak emasnya, yah kan. Jadi, apa namanya disini kita belajar bahwa kita tuh sama walaupun disini ada anak tentara, ada anak, dokter, ada anak sampai ada anak tukang-tukangpun disini sama rata. Jadi kita diajarkan kesederhanaan dalam berprilaku, gitu.
Hasil Wawancara
Nama
: Lilis Lahminati
Jabatan
: Pengajar
Tanggal
: 17 Oktober 2014
Waktu
: 07.25 WIB
Pewawancara
: Disini teteh ngajarin apa yah?
Narasumber
: Alhamdulillah disini ikut membantu dalam menyampaikan materi fikih, akhlak, dan tauhidnya, terus juga nahu sorofnya yang mulai dari dasardasarnya aja, untuk membantu santri-santri yang istilahnya kurang mengerti dari abi langsung ditambah lagi apa yah, dipermudah lagi untuk penyampaian ke anak-anak.
Pewawancara
: Teteh kalo di poondok ngasuhnya bagaimana?
Narasumber
: Mengasuhnya itu dengan cara, membuat mereka itu merasa seperti berada di dalam keluarganya, itu yah walaupun mereka jauh dari orang tuanya, dia pindah dari rumah ke sini, tetapi mereka masih merasakan kenyamanan seperti halnya di rumah gitu yah. Terus di berikan kasih sayang, gitu. Terus bimbingan, terus diayomi gitu jadi mereka itu tidak merasa terpisahkan dari orang tuanya menuju ke sini, gitu.
Pewawancara
: Oh gitu, lalu bagaimana caranya biar santri jadi mandiri?
Narasumber
: semuanya sudah di berikan tanggung jawabnya masing-masing yah, untuk pribadinya dari individunya sama perkelompoknya gitukan. Alhamdulillah di sini dari mulai mereka bangun tidur sampai ke tidur lagi semuanya di tuntut untuk menjadi manusia-manusia yang mandiri, gitu. Dari mulai individunya, mereka mengetahui barang-barangnya sendiri, gitu. Mengklasifikasikan ini punya mereka masing-masing, terus ada juga
kemandirian dalam berkelompoknya, gitu kan yah. Dikasih tugas masingmasing kelompoknya, nanti mereka kebagian piketnya, terus kerjasamanya sama kelompok lain juga, terus sama mandirinya dia di masing-masingnya, jadi terus aja di apa yah namanya, di awasi juga gitu. Pewawancara
: Kelompoknya itu perkobong atau di pisah-pisah gitu?
Narasumber
: Nah kalo dari masalah perkelompoknya itu yah, mereka kan bobonya misalkan yah, jadi mereka punya tugasnya masing-masing di kamarnya masing-masing. Terus nanti ada tugas lagi di luarnya seperti kebagian piketnya gitu kan, di sini bagiannya berapa orang, di sana berapa orang. Jadi mereka masing-masing merasa bertanggung jawab sama pekerjaannya masing-masing.
Pewawancara
: Kan saya sudah liat kobong-kobongnya yah, itu ka nada dapur di setiap kobong, itu berarti masak-masaknya sendiri?
Narasumber
:Iyah, itu jadi menimbulkan rasa kemandirian gitu. Individu dan kelompoknya di situ, jadi dapurnya itu satu jadi untuk semuanya gitu. Jadi kita itu satu untuk semuanya, gitu. Jadi, kalo misalkan mau masak gitu kan yah, jadi semuanya ada bagiannya. Ada bagian piketnya setiap harinya itu dig anti-ganti. Jadi semuanya itu punya rasa tanggung jawabnya masingmasing. Jadi misalnya hari ini dia yang piket, dia yang tanggung jawab semuanya. Terus besoknya diganti lagi.
Pewawancara
: Lalu di sini untuk membuat santrinya patuh itu bagaimana usahanya?
Narasumber
: Diadakannya peraturan dan sangsi supaya menjadi patuh.
Pewawancara
: Peraturan dan sangsi seperti apa yah teh?
Narasumber
: Banyak yah, dari yang terkecil sampai yang benar-benar besar gitu yah sampai menyebabkan akibat yang fatal itu sudah di atur, dari mulai yang terkecil. Dari mulai mereka berpakaian, dari mulai mereka berbicara, dari mulai mereka apa yah melakukan tanggung jawab – tanggung jawabnya, disitu semuanya sudah diatur, gitu.
Pewawancara
: Kalo peraturan yang sering di langgar santri itu kira-kira seperti apa yah?
Narasumber
:Kebanyakannya ya gitu mereka itu sebagian besar atau sebagian kecil kali yah adanya peraturan untuk di langgar biasanya gitu. Kayanya kurang seru
kalo misalkan ada peraturan tapi ga ada yang melanggar gitu yah. Seperti halnya misalkan gak boleh keluar gitu kan yah kecuali memang yang dibolehkan keluar pada hari itu yang piket gitukan yah setiap hari kita digilir untuk keluar gitukan. Jadi yang hari itu piket, merekalah yang boleh keluar, tapi ada santri-santri yang suka nyusup gitu keluar jadi itu diberikan sangsi berupa hafalan, berupa ta‟jiran gitu. Terus kalo misalkan ada peraturan wajib berjamaah shalat, nah disitu ada ta‟jirannya kalo misalkan ada yang engga jamaah tanpa alas an yang kita lihatnya tidak masuk di akal misalnya gitu yah. Nah disitu ada juga ta‟jirnya, terus wajib ngaji gitu kan yah harus ada setiap waktu pengajian, dia juga tidak hadir, itupun ada ta‟jirannya. Yang gak piket, gitu kan. Terus yang suka egonya masih terlalu besar itu adalah disaat mereka tidak boleh membawa hp, nah disitu yang paling susah yah. Mereka kadang yang punya egonya tinggi gitu kan yah kenapa gak boleh bawa hp, kadang mereka suka mengumpetngumpet bawa hp, padahal yang diperbolehkan yang sudah diberikan amanat sama mimi gitu yah pengurusnya. Alhamdulillah disini ada tiga yang udah diperbolehkan membawa hp, itupun untuk kepentingan yang lain juga gitu kan bukan untuk kepribadi aja. Pewawancara
: Itu kira-kira kalo ada yang ketauan bawa hp bagaimana?
Narasumber
: Iyah itu langsung diambil hpnya, tapi kita tidak langsung memfonis dia bersalah, tapi kita berikan kesempatan gitukan, nasehati dulu, kalo satu engga bisa yaa di coba lagi sampai ketiga kalinya baru nanti dipanggil orang tuanya, gitu kan. Kalo masalah hp sih kalo udah ketauan hpnya, diambil nanti mereka berjanji dan di balikin udah selesai masalahnya. Ada yang istilahnya sampai perbuatan-perbuatan yang sampai fatal gitu yah, yang sampai mencemarkan nama baik pesantren misalnya gitu. Nah nanti ada ketegasan tersendiri gitu, jadi nanti orang tuanya bener-bener dipanggil langsung disuruh dibawa aja pulang anaknya dan gak usah dikembalikan lagi kepondok. Jadi bener-bener di pertegas gitu.
Pewawancara
: Itu sekian banyaknya santri yah, bagaimana cara membentuk kesadaran santrinya tanpa harus melihat peraturan-peraturannya?
Narasumber
: Jadi, emang dari awalnya kita selalu mengingatkan seperti waktu jamaah selalu di ingatkan, “jamaah jamaah!” misalnya gitu kan. Tapi lambat laun karna mereka sudah menyadari atas tanggung jawab mereka masingmasing. Waktunya shalat, mereka langsung ke kamar mandi langsung ke majlis gitu yah. Waktunya ngaji, lagsung berduyun-duyun gitu kan ke majlis. Tapi itu juga tidak lepas dari bimbingan dan pengawasan dari kita sendiri, gitu. Sayapum engga sendiri mengawasinya, sama yang sudah agak lamanya di pondok sama teteh-tetehnya yang sudah bisa mengayomi. Jadi dibagi-bagi, giliran hari ini siapa. Jadi misalkan ada yang berhalangan bisa di gantikan mengawasinya.
Pewawancara
: Oh jadi nanti juga jadi sadar sendiri gitu teh yah?
Narasumber
: Iyah gitu jadi kesadaran sendiri, dari mulai di suruh-suruh terus jadi mereka berfikir “ah kenapa harus disuruh-suruh terus!” jadi mereka itu jadi merasa kebutuhan gitu yah. Jadi kalo misalkan engga ngaji, ih kaya nya rugi gitu kan. Gak jamaah, ih kayanya rugi gitu, jadi mereka bukan hanya mengikuti peraturan aja, jadi mereka merasa jadi kebutuhan gitu kan, seperti halnya mereka makan. Kalo gak makan kayanya lapar gitu. Ah kalo ga jamaah jadinya rugi,jadi mereka bukan lagi mengikuti peraturan, mereka merasa membutuhkan, gitu. Jadi kalo tidak melakuan, ada rasa kekurangan.
Pewawancara
: Jadi sudah terbiasa gitu teh yah?
Narasumber
: Iyah jadi sudah terbiasa. Sedikit-sedikit jadi mereka itu menyadarinya sendiri gitu, walaupun awalnya di kerasin, awalnya di bawelin gitu tapi makin lama mereka terbiasa sendiri.
Hasil Wawancara
Nama
: Dian
Jabatan
: Pengajar
Tanggal
: 16 Oktober 2014
Waktu
: 09.49 WIB
Pewawancara
: Diisini dengan cara apa yah ustad mengajarkan santrinya untuk belajar mandiri?
Narasumber
: Pertama dengan cara mengayomi, memperhatikan, serta menerapkan kedisiplinan-kedisiplinan yang tidak terlepas dari norma-norma ajaran Islam.
Pewawancara
: Usaha apa yang ustad lakukan disini agar membuat santrinya patuh? Apa dengan peraturan atau gimana?
Narasumber
: Dengan menerapkan aturan-aturan yang tidak memberatkan, namun disangsi tersebut ketika ada yang melanggar kita ta‟zir.
Pewawancara
: Sangsinya apa itu ustad?
Narasumber
: Diantaranya kalo misalnya ada yang melanggar, misalnya tidak shalat berjamaah, pulang tanpa izin, kita menta‟zir dengan cara talaran juz „amma dan kitab-kitab lainnya di talaran juga. Jadi kita menta‟zirnya dengan hal seperti itu.
Pewawancara
: Kalo disini peraturannya apa aja yah ustad kalo boleh tau?
Narasumber
: Peraturan disini diantaranya, harus bangun shalat subuh tapi sebelumnya itu harus tahajjud, shalat lima waktu dengan cara berjamaah, menjaga etika, tidak berbicara kotor, yaa di antaranya itu peraturan di sini.
Pewawancara
: Lalu disini bagaimana caranya yah ustad membentuk kesederhanaan santrinya?
Narasumber
: Dibiasakan dari cara hidup sehari-hari, pola makan, pola berpakaian, terlebih kami mengupayakan cara berfikir santri agar menjadi mandiri.
Pewawancara
: Ini kesederhanaannya dilihat dari masak sendiri atau gimana yah ustad?
Narasumber
: Iya, kita menerapkan juga mulai masak sendiri, terus dari cara tidur juga kita tidak memberikan fasilitas yang seperti pesantren-pesantren pada umumnya. Dan disini sebelum masak juga ada yang ke pasar terlebih dahulu.
Pewawancara
: Itu masak sendiri ada gilirannya atau tugas tetap?
Narasumber
: Dari piket, jadi ada yang piket harian buat masak, ada juga jadwal ronda itu buat santri putra.
Hasil Wawancara
Nama
: K.H. Syahlul Lail
Jabatan
: Pimpinan PonPes
Tanggal
: 17 Oktober 2014
Waktu
: 08.17 WIB
Pewawancara
: Kurikulum pesantren disini apa yah bi?
Narasumber
: Kurikulum pesantren yang kita gunakan disini dengan pembelajaran terhadap anak-anak melalui dua sistem yang kita bahasakan dipesantren ini ada yang pertama sistem balaghan, yang kedua sistem sorogan. Balaghan disini adalah seorang ustad memberikan pengajaran terhadap para santrinya dengan kitab yang sesuai dengan materi yang ada pada kiaab yang diajarkan dengan sistem atau cara kiai membacakan tekstual dari kitab itu sendiri kemudian memberikan terjemahan, yang kita lakukan disini dengan tiga bahasa, yang pertama diartikan dengan bahasa jawa, yang kedua bahasa sunda, yang ketiga dengan bahasa Indonesia. Kemudian santri mencatat dengan apa yang diartikan oleh ustadnya. Bahasa kita disini santri itu melogat kitab yang sedang dibacakan oleh pak ustad. Selain melogat, ustadpun menjelaskan kembali apa yang tadi dibacakan dengan mengambil dasar yang tadi dibaca. Sorogan disini adalah kebalikan dari balaghan. Disini santrinya yang lebih aktif dengan cara mereka membawa satu kitab apa yang mereka kehendaki,santri baca dihadapan ustad yang kemudian dikoreksi oleh ustadnya. Jadi itu dua sistem yang kita lakukan di sini seperti itu yang kemudian nanti penjabarannya selesai pengajian itu, kita berikan bahwa santri itu harus menjabarkan apa yang tadi di sampaikan oleh pak ustad atau pak kiainya
Pewawancara
: Dalam masalah akhlak santri, bagaimana cara abi membimbingnya?
Narasumber
: Berbicara tentang akhlak santri, memang mayoritas usia anak santri disini usia remaja. Masa-masanya ingin mencari jati diri. Itu ada satu ekstra yang abi buat untuk bagaimana caranya membentuk akhlak mereka. Insya Allah sudah kita jalankan dengan metode persuasive atau metode pendekatan terhadap anak-anak santri terutama yang baru, tentunya dengan dasar menempatkan diri kita sebagai orang tuanya, sebagai kakanya, sebagai saudaranya supaya anak-anak disini terasa ada pengganti orang tuanya dirumah.
Pewawancara
: Dalam pembentukkan akhlaknya, apakah terbentuk dengan peraturan atau karena belajar kitab-kitab tertentu bi?
Narasumber
: Ada suatu kitab yang namanya aklakul banat dan akhlakul banin. Akhlakul banin itu akhlak-akhlak yang mendidik buat santri-santri putera agar mereka tau, begitupun puteri yaitu akhlakul bannat. Pada intinya keduanya sama, isinya adalah tentang akhlak bagaimana caranya akhlak terhadap khalik, yang artinya akhlak dia terhadap Allah SWT yang intinya melalui ibadah-ibadah. Kemudian akhlak terhadap sesama, sesama ini ada terhadap yang lebih tua, terutama kepada orang tua, kemudian kepada guru, kepada kaka, keluarga termasuk kita biasakan di pondok pesantren ini yunior yang pemula kita didik mereka untuk menghormati kepada senior, apalagi umurnya sudah tua, gitu. Sehingga dari segi bahasa memanggilpun kita tidak anjurkan memanggil nama, tapi dengan sebutan atau panggilan yang hormat. Kalo kita di daerah sunda ini kepada yang lebih tua teteh, yaa seperti itu.
Pewawancara
: Dalam ibadah santri bagaimana cara abi untuk membentuk kesadaran mereka tanpa mereka terbebani dengan peraturan?
Narasumber
: Karena usia anak masih tergolong usia anak yang meningkat remaja, memang pada awalnya kita memaksakan terhadap mereka, kita paksakan untuk mengikuti peraturannya. Tetapi dengan terbiasanya melakukan aturan yang ada, maka mereka akhirnya terbiasa dank arena sudah terbiasa dan akhirnya tidak ada yang merasa terbebani. Karena kita juga peraturan
disesuaikan dengan diimbangi adanya sangsi. Ketika melanggar aturan yang ada maka mereka kita sangsi, dan sangsinya inipun bertahap. Insya allah kita memberikan sangsi yang mendidik, contoh ketika melanggar satu kali kita bebani mereka untuk menghafal satu kitab. Jadi awalnya membebani santri dengan hafalan, jadi santri yang awalnya merasa terbebani lama-lama menjadi kesadaran sendiri. Beban sangsi juga ada manfaatnya buat santri, yang awalnya mereka tidak mempunyai hafalan yang banyak, setelah disangsi menghafa jadi banyak hafalan yang didapat.