Pembenaran Etis Program Corporate Social Responsibility melalui Pemikiran Amartya Sen mengenai Komitmen
Andri Septian, Fristian Hadinata 1. Ilmu Filsafat, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia 2. Ilmu Filsafat, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia Email:
[email protected] /
[email protected]
Abstrak Pro-kontra mengenai implementasi Corporate Social Responsibility (CSR) telah menjadi diskursus sejak lama. Pemasalahannya adalah, bahwa pereduksian CSR secara total ke dalam asumsi yang murni ekonomi oleh korporasi modern sangat bermasalah karena penyelenggaraan CSR tidak bisa serta merta dilepaskan dari asumsi etisnya. Skripsi ini merupakan penyelidikan konseptual mengenai rasionalitas ekonomi dalam hubungannya dengan etika, sebagai usaha untuk memberikan garis demarkasi pada konsep CSR yang etis. Penulis menggunakan kerangka pemikiran Amartya Sen mengenai komitmen untuk menjustifikasi CSR sebagai perilaku ekonomi yang etis, lepas dari perilaku ekonomi yang self-interested. Kata Kunci: korporasi, rasionalitas ekonomi, etika, komitmen, self-interest, corporate social responsibility.
Ethic Justification for Corporate Social Responsibility Based on Amartya Sen’s Concept of Commitment Andri Septian, Fristian Hadinata 1. Philosophy, Faculty of Humanity, University of Indonesia 2. Philosophy, Faculty of Humanity, University of Indonesia Email:
[email protected] /
[email protected]
Abstract The implementation of Corporate Social Responsibility has become a polemic over the years. The case is that CSR can not be totally reduced into a single economic assumtion, like what modern corporation does, for it’s also included an assumtion about ethic. Thus, this thesis is a conceptual inquiry about the rationality of economy in relation with the concept of ethic, as an attempt to give a demarcation line to the ethical dimension of CSR. The author uses Amartya Sen’s concept of commitment to analyze which the concept of CSR could be justified as the ethical economic-behaviour, so that regardless of the self-interested economic-behaviour. Keywords: corporation, rationality of economy, ethic, commitment, self-interest, corporate social responsibility.
Pembenaran etis …, Andri Septian, FIB UI, 2013
Pendahuluan Pada tahun 1950an, banyak perusahaan multinasional yang mulai memikirkan kembali peran mereka dalam masyarakat dan tanggung jawab mereka terhadap hak asasi manusia dan lingkungan. Fenomena ini melahirkan suatu program yang disebut juga Corporate Social Responsibility (CSR), yang sampai saat ini banyak menuai perhatian. Argumen yang kontra dengan pelaksanaan CSR misalnya mengatakan bahwa perusahaan adalah lembaga ekonomi yang tujuan utamanya mengejar keuntungan, bukan merupakan lembaga sosial (Friedman, dikutip oleh Craig Smith, 1990: 69). Itu berarti segala sumber daya perusahaan yang ada harus digunakan sehemat dan seefisien mungkin untuk memperoleh keuntungan. Maka, konsep mengenai keterlibatan perusahaan dalam berbagai kegiatan sosial harus ditentang karena akan menimbulkan ketidakefisienan dalam banyak aspek. Sedangkan, argumen yang mendukung perlunya keterlibatan sosial perusahaan misalnya adalah bahwa perusahaan harus peka terhadap kebutuhan dan harapan masyarakat (Subhabrata, 2007: 7). Saat ini masyarakat memang masih membutuhkan barang dan jasa dengan mutu yang baik dan harga kompetitif, tetapi masyarakat juga menuntut agar barang tersebut diproduksi dengan menghargai hak dan kepentingan karyawan serta wajib ramah lingkungan. Selain itu, alam ini memiliki sumber daya yang terbatas, sedangkan jumlah penduduk meningkat secara eksponensial (Ugo Bardi, 2011: 8). Bisnis justru berlangsung dalam kondisi ini, yang berarti korporasi harus dapat memanfaatkan secara bertanggung jawab dan bijaksana sumber daya alam yang terbatas itu demi memenuhi kebutuhan manusia. Maka, bisnis diharapkan tidak hanya mengeksploitasi sumber daya alam demi keuntungan ekonomis semata, melainkan juga melakukan kegiatan sosial tertentu yang bertujuan untuk memelihara sumber daya alam. Selain itu, bisnis memiliki kekuasaan sosial yang sangat besar. Ia mempengaruhi lingkungan, konsumen, kondisi masyarakat, bahkan kehidupan budaya dan moral masyarakat. Oleh karena itu, tanggung jawab sosial sangat dibutuhkan untuk bisa mengimbangi dan mengontrol kekuasaan bisnis yang besar itu. Asumsinya, kekuasaan bisnis yang besar dapat menimbulkan tindakan sewenang-wenang bahkan hingga merugikan masyarakat, sehingga dengan tanggung jawab moral dan sosial atas kehidupan seluruh masyarakat maka kekuasaan bisnis harus dibatasi secara positif.
Pembenaran etis …, Andri Septian, FIB UI, 2013
Salah satu peristiwa penting yang mendorong berkembangnya kegiatan CSR awal adalah kasus kerusakan ekosistem yang digambarkan Rachel Carlson lewat bukunya The Silent Spring. Ia memaparkan pada dunia tentang kerusakan lingkungan dan gangguan kesehatan yang diakibatkan oleh racun peptisida yang mematikan1. Paparan yang disampaikan dalam buku The Silent Spring tersebut menggugah kesadaran banyak pihak bahwa tingkah laku korporasi harus diluruskan sebelum menuju kehancuran bersama. Dari sini CSR pun mulai digaungkan sebagai kompensasi atas efek sosial negatif yang timbulkan atas kegiatan operasional perusahaan. Sementara itu pada dekade berikutnya, muncul sebuah buku yang menghebohkan dari kalangan ilmuwan dan pemikiran para intelektual yang tergabung dalam Club of Roma dengan judul The Limits to Growth (1972). Buku ini mengingatkan bahwa disatu sisi bumi memiliki keterbatasan daya dukung (carrying capacity), sementara di sisi lain populasi manusia bertumbuh secara eksponensial. Oleh karena itu, eksploitasi sumber daya alam mesti dilakukan secara cermat agar pembangunan dapat berkelanjutan. Dari situ program CSR mulai terus berjalan dan berkembang dengan berbagai konsep dan definisi. Pada tahun 2002, Agenda World Summit di Johannesburg mulai membahas mengenai pentingnya tanggung jawab perusahaan. Kesadaran menjalankan CSR akhirnya tumbuh menjadi trend global, terutama produk-produk yang ramah lingkungan yang diproduksi dengan memperhatikan kaidah dan hak asasi manusia. Di Indonesia, kini kita menyaksikan perbincangan yang terus berlanjut seputar konsep dan perjalanan CSR ini. Ada persetujuan dan pula pertentangan. Terlebih pihak pemerintah secara khusus membuatkan UU tentang tanggung jawab sosial ini, yakni dalam UU Perseroan Terbatas Pasal 742. Terlepas dari itu, isu tentang Corporate Social Responsibility (CSR) memang kian hangat. Persoalannya bukan lagi melulu dari aspek sosial, tetapi sudah jauh merasuk ke aspek bisnis dan penyehatan korporasi. Lama-kelamaan, CSR tidak lagi dipandang sebagai keterpaksaan, melainkan sebagai kebutuhan. Dari yang semula dianggap sebagai cost, kini mulai diposisikan sebagai investasi. Sejalan dengan berkembangnya gerakan CSR, banyak perusahaan mulai menaruh komitmennya untuk memperbaiki performance mereka berdasarkan prinsip-prinsip CSR. Asumsi bisnisnya adalah bahwa CSR dapat meningkatkan profit dengan mereduksi resiko dari 1 2
The Story of Silent Spring http://www.nrdc.org/health/pesticides/hcarson.asp Lihat di http://www.csrindonesia.com/data/articles/20080208124215-‐a.pdf
Pembenaran etis …, Andri Septian, FIB UI, 2013
pemboikotan yang dilakukan oleh konsumen dan stakeholder lainnya. Asumsi etisnya adalah bahwa perusahaan memiliki obligasi moral kepada masyarakat dan lingkungan yang menaunginya dalam menjalankan kegiatan korporasinya.
Tinjauan Teoritis Pada 1881, F.Y. Edgeworth dalam “Mathematical Psychics: An Essay on the Application of Mathematics to the Moral Sciences” menyatakan keraguannya terhadap asumsi manusia rasional yang murni self-interest. Edgeworth, seperti yang dikutip oleh Sen, menyampaikan bahwa “the concrete nineteenth century man is for the most part an impure egoist, a mixed utilitarian” (Sen, 1977: 317). Permasalahan ini sebenarnya telah diangkat sebelum-sebelumnya dalam perdebatan yang dilakukan oleh Herbert Spencer, Henry Sidgwick, dan pemikir lain di zaman tersebut. Akan tetapi pernyataan Herbert Spencer yang dikeluarkan dua tahun sebelum Edgeworth belum memberikan konklusi yang jelas antara perbedaan altruisme dan egoisme. Ia bahkan menghubungkan keduanya dalam pernyataan bahwa "general happiness is to be achieved mainly through the adequate pursuit of their own happinesses by individuals; while, reciprocally, the happiness of individuals are to be achieved in part by their pursuit of the general happiness." (Sen, 1977: 319). Sen mengambil kerangka pikir Edgeworth karena menyediakan beberapa asumsi umum yang menyatakan bahwa pasar itu kompetitif dan harus berjalan dalam kondisi “the core”, yaitu situasi yang dalam zaman modern kita kenal sebagai pareto optimum (Sen, 1977: 319). Keadaan ini sebenarnya cukup bermasalah dalam pandangan untuk mewujudkan kesejahteraan karena mengasumsikan bahwa individu dituntut untuk mementingkan keuntungannya sendiri. Sebab dalam pareto optimum peningkatan keuntungan suatu pihak akan disertai penurunan keuntungan pihak lain. Oleh karena itu Sen berusaha untuk mewujudkan asumsi ekonomi yang dapat mewujudkan kesejahteraan dengan memperbaharui konsep rasionalitas manusia ekonomi. Ia berusaha mengembalikan ekonomi seperti pemahaman awal oleh Aristoteles yang tidak hanya sekedar berkaitan dengan pendekatan “engineering” yang mengurusi masalah logistik (Sen, 1987: 4), seperti untung rugi. Dalam The Nicomachean Ethics Aristoteles menyatakan bahwa bahwa “The life of money-making is one undertaken under compulsion, and wealth is evidently not the good
Pembenaran etis …, Andri Septian, FIB UI, 2013
we are seeking; for it is merely useful and for the sake of something else.” (diterjemahkan oleh Ross, 1980:2, dikutip oleh Sen, 1987:3). Sen memaknai tujuan lain dari ekonomi yang disampaikan oleh Aristoteles dalam dua istilah, yaitu “the ethics-related view of motivation” dan “ethics-related view of social achievement” (Sen, 1987: 3). “The ethics-related view of motivation” terfokus pada problem motivasi manusia berkaitan dengan masalah etis, atau singkatnya dalam pertanyaan “bagaimana seorang seharusnya hidup?” (Sen, 1987: 3). Pernyataan “for it is merely useful and for the sake of something else” mengindikasikan bahwa manusia bertindak untuk suatu tujuan tertentu di luar tindakan tersebut dan di luar dirinya. Walaupun bukan bertujuan menunjukan bahwa manusia akan senantiasa bertindak secara moral, akan tetapi pertimbangan etis tidak bisa sepenuhnya dihilangkan dari tindakan aktual manusia. “Ethics-related view of social achievement” menyatakan bahwa evaluasi tidak bisa berhenti pada titik efisiensi semata karena “the life of money-making is one undertaken under compulsion, and wealth is evidently not the good we are seeking” (Sen, 1987: 4). Pandangan manusia ekonomi harus diperluas agar menjadi lebih dapat mencakup makna etis “the good” dan “for the sake of something else”. Jadi, pada intinya deliberasi etis tidak bisa dilepaskan tindakan manusia aktual (termasuk dalam tindakan ekonomi) dan tindakan tersebut juga memiliki tujuan sosial untuk mewujudkan ‘the good for man’. Ilmu ekonomi yang kita kenal hingga saat ini hanya terpusat pada efisiensi. Positivisme telah mempengaruhi ilmu ekonomi dan mengganti tradisi ekonomi lama (Hollis dan Nell,1975: 47) yang dikembangkan oleh Aristoteles. Asumsi antropologis yang mendasari berjalannya ilmu ekonomi hingga sekarang ini juga sengaja dibuat untuk mengakomodasi koherensi argumen bahwa ekonomi adalah untuk kepentingan logistik semata, bukan berdasarkan verifikasi empiris (Sen, 1988: 18). Maka dari itu, kita mengenal istilah homo economicus yang rasional dalam memaksimalkan self-interest-nya. Asumsi yang bernafaskan positivistik membentuk konsep self-interest sebagai sesuatu yang absolut sehingga prediktif terhadap segala tindakan ekonomi yang manusia lakukan. Keberjarakan etika dari ekonomi akibat asumsi homo economicus telah mengakibatkan ketidakmemadaian pendekatan-pendekatan ekonomi, dalam permasalahan kesejahteraan yang sebenarnya terpaut erat dengan ekonomi klasik.
Pembenaran etis …, Andri Septian, FIB UI, 2013
Pendekatan self-interest bukan suatu jalan yang tepat untuk mewujudkan kesejahteraan. Kesejahteraan adalah masalah kepentingan bersama, bukan kepentingan satu atau beberapa pihak tertentu saja. Oleh karena itu kesejahteraan seharusnya berhubungan dengan konsep utilitarianisme yang inklusif, bukan egoisme seperti model ekonomi yang kita kenal selama ini. Egosime dan utilitarianisme sebenarnya adalah dua mata koin dalam tindakan ekonomi yang tak terpisahkan. Sen memperlihatkan dua sisi manusia ekonomi tersebut dalam kebijakan publik yang memang ditujukan bagi kepentingan semua orang. Untuk memahami kepentingan ini, beliau menyampaikan dua term yang berbeda, yaitu simpati dan komitmen (Sen, 1977: 326). Simpati adalah ketika kebahagiaan seseorang bergantung secara psikologis pada kesejahteraan orang lain (Sen, 1977: 327). Simpati masih termasuk dalam egoisme karena kebahagiaan orang lain pada tujuannya hanya pada kebahagiaan dirinya. Dalam term teori ekonomi modern, simpati adalah bentuk eksternalitas, misalnya dalam asumsi pareto optimum yang melihat manusia dipreferensikan oleh sistem yang berlaku untuk memperbesar keuntungannya. Sedangkan komitmen adalah ketika seseorang memilih hal yang menurunkan kesejahteraan pribadinya dibandingkan alternatif lain yang tersedia bagi dirinya demi kesejahteraan orang lain (Sen, 1977: 327). Melakukan sesuatu berdasarkan komitmen baru disebut Sen sebagai suatu tindakan etis. Komitmen tentu sangat berhubungan dengan moral seseorang dalam makna secara luas karena banyaknya faktor yang mempengaruhi moral tersebut, dari agama, kultural, hingga pandangan politik. Karakteristik utama komitmen yang diperhatikan oleh Sen adalah bahwa sikap ini menampakan hubungan antara pilihan pribadi, yang tidak sekedar didorong oleh sistem eksternal, dan kesejahteraan. Komitmen adalah bahan yang memungkinkan tindakan pilihan pribadi menuju pada kesejahteraan karena komitmen tidak mensyaratkan akal sehat (walau tidak mengeksklusikannya juga secara total) (Sen, 1977: 344). Bahkan terkadang komitmen lebih didukung oleh rasa keharusan dibandingkan pertimbangan berdasarkan konsekuensi yang dihasilkan. Pemikiran Amartya Sen mengenai komitmen inilah yang akan menjadi acuan teori dalam membahas persoalan dualitas asumsi, etis dan ekonomis, program Coorporate Social Responsibility.
Pembenaran etis …, Andri Septian, FIB UI, 2013
Metode Penelitian Pembahasan penelitian ini akan diulas menggunakan metode analisis konseptual dan refleksi kritis. Pertama-tama penulis membandingkan konsep mengenai etika dan ekonomi yang berkembang di era klasik dan modern melalui konsep rasionalitas Amartya Sen. Kemudian dari pemikiran rasionalitas yang diajukan Sen itu, penulis memilah-milah konsep ‘etis’ mana yang bisa digunakan untuk menjustifikasi perilaku ekonomi korporasi dalam kegiatan CSR. Mengenai perilaku ekonomi korporasi dalam kegiatan CSR, penulis mengkaji hal itu melalui konsepkonsep CSR yang berkembang dari dekade ‘50an sampai sekarang, kemudian memberikan garis demarkasi antara konsep CSR yang etis dan yang tidak etis – atau yang tidak berkaitan dengan persoalan etika.
Hasil Penelitian Melalui pemikiran komitmen Amartya Sen, karakteristik CSR yang etis dapat dirumuskan sebagai berikut; 1.
Performa kegiatan CSR konsisten dengan ekspektasi stakeholders sehubungan dengan permasalahan eksternalitas. Hal ini mengimplikasikan perilaku ekonomi korporasi yang bertujuan untuk pemenuhan kesejahteraan pihak lain. Namun yang perlu ditekankan di sini adalah bahwa kegiatan CSR bukan merupakan functioning, namun merupakan perluasan kapabilitas stakeholders. Artinya, tindakan korporasi untuk menghargai kebebasan stakeholders sebagai upaya pencapaian well-being bersama dengan memperluas kapabilitas stakeholders.
2.
Pelaksanaannya bukan sekedar untuk memenuhi aspek hukum dalam pendirian suatu korporasi, namun lebih dari itu, merupakan cerminan dari integritas koporasi yang bersandar pada nilai-nilai luhur (nilai yang sudah baik dalam dirinya sendiri) sehubungan dengan persoalan public goods. Hal ini mengimplikasikan perilaku ekonomi korporasi yang dimotivasi oleh ethical value.
Pembenaran etis …, Andri Septian, FIB UI, 2013
Pembahasan Pembicaraan mengenai tanggung jawab sosial perusahaan atau yang dikenal dengan Corporate Social Responsibility (CSR) telah menjadi diskursus yang diperbincangkan sejak lama. Diskusi mengenai CSR sendiri tidak saja berkutat pada masalah teknis pelaksanaan, tetapi juga dalam ranah teoritis, dengan melibatkan pihak yang pro dan yang kontra. Pihak yang pro menganggap korporasi perlu melibatkan kepentingan sosial dalam kegiatan operasionalnya sehubungan dengan persoalan eksternalitas. Sedangkan, pihak yang kontra beranggapan bahwa penyertaan kesejahteraan sosial dalam kegiatan korporasi tidak sesuai dengan asumsi rasionalitas ekonomi. Kewajiban tradisional perusahaan adalah mencari laba, oleh karenanya segala kegiatan perusahaan harus ditujukan untuk memenuhi kewajiban tersebut. Perdebatan antara yang pro dan yang kontra ini memperlihatkan bahwa pada dasarnya CSR mengandung dua dimensi dalam dirinya, yaitu dimensi ekonomis, dan dimensi etis, dimana persoalannya kemudian adalah bahwa kedua dimensi itu dianggap sebagai dua perilaku yang harus dipisahkan dalam kegiatan korporasi. Pembenaran etis dalam kerangka pemikiran Amartya Sen mengenai komitmen mampu meluruskan diskursus mengenai permasalahan moral dan ekonomi tersebut karena menyediakan konsep yang dapat menjustifikasi perilaku ekonomi yang etis. Bagaimanapun juga, CSR merupakan perilaku ekonomi, oleh karenanya pembenaran etis semestinya bertolak dari hal tersebut, di sinilah konsep komitmen penting sebagai tool untuk melihat sisi etika dalam perilaku ekonomi agen. Permasalahan dualitas asumsi yang mendasari CSR di atas bisa dilihat sebagai implikasi atas adanya dua pendekatan ekonomi yang berbeda, yaitu (1) pendekatan yang bermuatan etis yang yang diusung oleh Aristoteles, bahwa ekonomi bukan semata-mata soal money-making, tujuan ekonomi bukan hanya untuk memperkaya diri sendiri, tetapi juga melibatkan pertimbangan pada kesejahteraan bersama, yang karenanya Aristoteles memperluas orientasi ekonomi dari the good for one-self menjadi the good for man, dan (2) pendekatan yang sifatnya ‘engineering’ seperti yang tertuang dalam buku Arthasastra yang ditulis oleh Kaisar Chandragupta dimana ekonomi saat itu ditujukan untuk mengatasi permasalahan teknis dan administratif, sehingga etika harus dipisahkan dari ekonomi karena kurang bisa mengakomodir fungsi tersebut.
Pembenaran etis …, Andri Septian, FIB UI, 2013
Konsekuensinya, ekonomi dan etika menjadi hal yang dikotomis. Perayaan ekonomi dan etika yang dikotomis itu terjadi di era modern. Ekonomi mendapatkan pengaruh dari positivisme yang berkembang saat itu untuk menjadi ilmu yang value-free. Secara metodologis, ekonomi dianggap memiliki landasan yang berbeda dengan etika, dimana ekonomi berjalan menggunakan economical calculus yang self-interested dan membuatnya prediktif, sedangkan etika berlandaskan pada utilitarian calculus yang berkaitan dengan persoalan distributif. Oleh karena itu, dimensi etika dalam ekonomi dianggap perlu untuk dipisahkan. Demikianlah ekonomi modern kemudian membangun teorinya hanya di atas asumsi self-interest. Akibat asumsi ekonomi yang self-interested itu, perilaku koporasi dianggap hal yang rasional jika dan hanya jika merupakan usaha untuk mengejar profit yang sebesar-besarnya. Oleh karenanya, semua kegiatan korporasi harus tujukan pada area yang mengakomodir terciptanya perolehan profit tersebut. Implikasinya, kegiatan CSR yang mencerminkan kegiatan korporasi yang murni untuk memenuhi tanggung jawab sosialnya pada stakeholders perlu ditolak karena tidak sejalan dengan tujuan tradisional perusahaan yaitu memperoleh profit. Namun, baik secara teoritis maupun praktis, asumsi ekonomi yang self-interested itu bermasalah. Dalam rasionalitas ekonomi, manusia sebagai agen dianggap akan mencapai hasil yang optimum atau mencapai titik yang disebut dengan the core jika mengusahakan self-interest masing-masing, namun dalam kasus prisoner’s dilemma, rasionalitas individu yang demikian terbukti tidak dapat mencapai hasil yang optimum ketika ditujukan untuk pencapaian rasionalitas kolektif. Oleh karenanya, dalam kasus itu diperlukan kerja sama untuk membangun hasil yang lebih optimal. Kerja sama ini mengindikasikan perilaku individu yang melibatkan tindakan etis. Dalam ranah praktis, pengeksklusian dimensi etis dari ekonomi terbukti merupakan hal yang tidak realistis. Tindakan aktual manusia, walaupun tidak selalu melibatkan keputusan etis, namun tidak bisa serta merta dilepaskan dari deliberasi etis tersebut. Oleh karenanya, agar relevan dengan kondisi empiris, asumsi ekonomi perlu menyertakan dimensi etis di dalamnya untuk mengakomodir berbagai variasi perilaku ekonomi karena tindakan aktual manusia tidak hanya yang self-centered saja. Meskipun demikian, hal-hal di atas tidak mengartikan bahwa asumsi self-interest gagal sebagai landasan ekonomi. Fungsi teknis dan administratif dari asumsi tersebut terbukti produkif
Pembenaran etis …, Andri Septian, FIB UI, 2013
untuk menciptakan ekonomi yang efisien. Apa yang ingin diperlihatkan dari persoalan di atas adalah bahwa asumsi self-interest dalam ekonomi itu perlu, namun tidak cukup. Untuk mengatasi ketidakcukupan asumsi yang menaungi konsep rasionalitas ekonomi tersebut, Sen menambahkan sebuah konsep untuk memperluas cakupan rasionalitas ekonomi. Perluasan ini adalah upaya untuk meng-upload etika ke dalam ekonomi agar lebih realistis. Sebelumnya, usaha tersebut juga pernah dilakukan oleh Adam Smith dalam konsepnya yang disebut simpati, namun konsep itu dianggap masih kurang karena masih sama bersandar pada ego. Oleh karenanya Sen menambahkan sebuah konsep bernama komitmen untuk mendeskripsikan perilaku ekonomi yang bermuatan etis. Perilaku tersebut dikerangkakan sebagai moral behaviour with unselfish behaviour. Komitmen menggambarkan perilaku agen yang bertujuan untuk memenuhi kesejahteraan pihak lain, dan lepas dari pertimbangan kesejahteraan pribadinya, yang didasari oleh kesadaran akan nilai-nilai moral. Konsep inilah yang menyatukan kembali etika dan ekonomi seperti dalam pandangan ekonomi klasik, dan oleh karenanya konsep komitmen ini relevan untuk menjustifikasi perilaku ekonomi korporasi, yang sekaligus etis, dalam kegiatan CSR. Dalam operasionalnya, korporasi tidak hanya berkutat pada hal-hal yang dapat diprediksi dan dapat dihitung. Ada hal-hal yang sifatnya eksternal. Hal yang eksternal ini, atau yang biasa disebut dengan eksternalitas, bisa dikatakan sebagai harga yang tidak tercermin dalam harga pasar. Eksternalitas sendiri ada yang positif dan negatif. CSR sendiri diadakan untuk mengatasi eksternalitas yang negatif. Misalnya, ruang ekonomi korporasi termanifestasi dalam sebuah pabrik yang dalam kegiatan operasionalnya menghasilkan asap, asap tersebut kemudian masuk ke dalam ruang sosial dimana masyarakat hidup. Hal ini menunjukkan adanya eksternalitas yang sifatnya negatif. Eksternalitas negatif ini mengimplikasikan perlunya peran korporasi untuk juga melibatkan kepentingan sosial dalam tujuan kegiatan ekonominya. Kegiatan CSR korporasi untuk mengembalikan apa yang telah ia cemari di ruang sosial adalah perilaku ekonomi, dan perilaku ekonomi tersebut adalah hal yang etis. Dalam kerangka inilah CSR dapat dijustifikasi sebagai kegiatan yang etis, bahwa yang pertama, hal itu merupakan perilaku yang mencerminkan usaha untuk memenuhi kepentingan stakeholders, dan yang kedua, perilaku tersebut didasarkan atas nilai moral (perbuatan memberikan kompensasi terhadap apa yang telah dirusak) yang menyiratkan tindakan yang sifatnya deontologis.
Pembenaran etis …, Andri Septian, FIB UI, 2013
. Kesimpulan Pada akhirnya, korporasi bukanlah single-actor. Ruang gerak korporasi selalu melibatkan dan berada di ruang sosial, karenanya interest korporasi tidak bisa dilepaskan dengan interest sosial. Dengan demikian, upaya mereduksi perilaku koporasi hanya pada persoalan memperoleh profit adalah hal yang naif. Korporasi juga terlibat dalam wacana-wacana sosial, misalnya persoalan pencemaran limbah, global-warming, termasuk pemberian upah yang layak untuk karyawan. Dari fakta empiris tersebut, adalah terlalu sempit untuk mengatakan bahwa tindakan korporasi yang berorientasi pada kesejahteraan pihak lain adalah perilaku ekonomi yang tidak rasional. Dalam hal inilah konsep komitmen menunjukkan adanya dimensi lain dalam ekonomi, yang tidak berlandaskan pada self-interest, dan yang mengimplikasikan tindakan yang bermuatan etis.
Saran Meskipun pertanyaan telah dirumuskan dan jawaban telah dielaborasikan, penulisan skripsi ini masih menyisakan residu-residu yang mungkin bisa dijadikan peneletian lanjutan, misalnya mengenai apakah komitmen itu sesuatu yang secara total deontologis bagi ekonomi ketika berhadapan dengan kesejahteraan sosial. Kesadaran etis korporasi untuk mensejahterakan pihak lain, yang termanifestasi dalam program Corporate Social Reponsibility, tidak bisa dipungkiri merupakan nama lain dari beban ekonomi korporasi yang setidaknya tidak secara langsung berkonsekuensi balik pada profit perusahaan. Jika kondisi ini berlangsung terusmenerus, maka akan semakin terlihat bagaimana perilaku etis korporasi tersebut berujung pada inefisiensi korporasi itu sendiri. Kita bisa lihat misalnya dalam kasus meluapnya lumpur yang terjadi di Sidoarjo sebagai eksternalitas dari kegiatan suatu korporasi. Luapan lumpur itu sudah memasuki area sosial yang menyebabkan rusaknya public goods. Jika persoalan ini dibatasi sampai sini, maka komitmen adalah hal yang niscaya untuk dilakukan karena peristiwa ekternalitas perusahaan itu telah
Pembenaran etis …, Andri Septian, FIB UI, 2013
memenuhi karakteristik situasi yang menunjukkan perlunya kesadaran etis korporasi. Namun, jika kita memasukkan variabel lain seperti waktu, intensitas, dan skala, maka asumsi mengenai komitmen perlu ditinjau kembali apakah tindakan komitmen masih menjadi hal yang secara total deontologis bagi korporasi. Luapan lumpur yang telah menjalar dalam skala besar dan dengan intensitas yang tinggi membutuhkan waktu yang lama dalam penanganannya, sementara itu beban CSR yang dikeluarkan terus-menerus oleh perusahaan justru akan membawa kondisi ekonomi perusahaan pada kerugian. Hal tersebut memperlihatkan bahwa pada satu titik tertentu, antagonisme antara etika dan ekonomi itu tidak bisa kita elakkan. Oleh karena itu, salah satu dari apa yang belum terelaborasikan dalam skripsi ini adalah mengenai garis demarkasi dari tindakan komitmen itu sendiri, tentang sejauh mana komitmen ini dapat diaplikasikan dalam urusan ekonomi, dan variabel apa saja yang membatasinya agar produktif bagi etika dan juga bagi ekonomi. Keterbatasan keterangan mengenai residu di atas tidak lain karena penulisan skripsi ini tidak lepas dari adanya beberapa hambatan, seperti sulitnya mencari sumber referensi yang sesuai dengan kebutuhan penulisan skripsi ini terutama mengenai konsep Corporate Social Responsibility. Selain itu, komitmen sendiri merupakan bagian yang paling spesifik dari pemikiran Amartya Sen pada umumnya, yang karenanya penulis harus menyusun rangka besar pemikiran Sen terlebih dahulu untuk mendapatkan pemahaman yang komprehensif hingga pada bagian yang paling spesifiknya. Hal tersebut juga merupakan kesulitan tersendiri bagi penulis. Namun segala residu dan keterbatasan dalam skrispi ini tidak membatalkan eksistensi komitmen sebagai salah satu variasi perilaku ekonomi yang etis. Baik secara teoritis maupun empiris telah dipaparkan dalam skripsi ini bahwa komitmen adalah hal yang niscaya dalam wilayah ekonomi yang berkenaan dengan kesejahteraan sosial.
Daftar Referensi Buku Acuan Banarjee, Subhabrata Bobby. (2007). Corporate Social Responsibility: The Good, The Bad, The Ugly. UK: Edward Edgar Force, Pierre. (2003). Self-interest before Adam Smith. New York: Cambridge Press
Pembenaran etis …, Andri Septian, FIB UI, 2013
Schmid & Peter. (2007). Rationality and Commitment. Oxford: Oxford University Press Sen, A. K. (1987). On Ethics and Economics. Oxford: Blackwell. --------------- (2002). Rationality and Freedom. Cambridge, MA: Harvard University Press. Buku Referensi Bardi, Ugo. (2011). The Limits to Growth. Itali: Springer. Bowen, H. (1953). The Social Responsibilities of the Businessman. New York: Harper. Freeman, R.E. (1984). Strategic Management: A Stakeholder Approach. Boston, MA: Pitman. Friedman, M. (1962). Capitalism and Freedom. Chicago, IL: University of Chicago Press. Hollis, Martin dan Edward J. Neill. (1975), Rational Economic Man. Cambridge:
University
of Cambridge Press Hume, David. (1983). Enquiry Concerning the Principles of Morals, edited by J.B. Schneewind. Indianapolis: Hackett. Meadows, Dennis. (2004). Limit to Growth. UK: Earthscan Morris, Christopher. (2010). Amartya Sen. United States of America: Cambridge University Press. Murove, Munyaradzi Felix. (2005). The Theory of Self-interest In Modern Economic Discourse. Africa: University of South Africa Sen, A.K. (1981a). Poverty and Famines: An Essay on Entitlement and Deprivation. Oxford: Clarendon Press. --------------- (1982). Choice, Welfare and Measurement. Oxford: Blackwell. and Cambridge. Mass,: MIT Press. Smith, Adam. (1976). An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations, The Glasgow Edition of theWorks and Correspondence of Adam Smith. Oxford: Oxford University Press. --------------- (1759). The Theory of Moral Sentiments. Oxford: Clarendon Press Stigler, G. J. (1981). “Economics or Ethics?” in McMurrin (ed.), Tanner Lectures on Human Values. Cambridge: Cambridge University Press Studer, and Herlinde Pauer. (2007). Instrumental rationality versus Practical Reason (Peter and Schmid ed.). Oxford: Oxford University Press.
Pembenaran etis …, Andri Septian, FIB UI, 2013
Jurnal Carroll, A.B. (1979), "A three-dimensional conceptual model of corporate performance". Academy of Management Review, Vol. 4 No.4, pp.497-505. --------------- (1991). The pyramid of corporate social responsibility – toward the moral management of organizational stakeholders. Business Horizons, Vol. 34 No.4, hal.3948. Davis, K. (1973). The case for and against business assumption of social responsibilities. Academy of Management Journal, 16: 312–22. Hausman, D. M. (2005). Sympathy, Commitment, and Preference. Journal Economics & Philosophy, hal. 33–50. Jalal. (2008). Sejarah dan Masa Depan CSR Menurut Min-Dong Paul Lee. Jakarta: Lingkar Studi Klamer, Arjo. (1989). A conversation with Amartya Sen.
Amerika: American Economic
Association Kotler, P. and Lee, N. (2005). Corporate Social Responsibility: Doing the Most Good for Your Company and Cause. Hoboken, NJ: John Wiley & Sons Lee, Ian B. (2008). Commitment. Canadian Journal Law And Yurisprudence, Vol. XXI no.I, hal 97-127. Pettit, Philips. (2005). Construing Sen on Commitment. Journal Economics & Philosophy, 21, hal. 15–32. Robbins, L. (1935). An Essay on the Nature and Significance of Economic Science, 2nded. London: Macmillan. Sen, A. K. (1977). Rational Fools: A Critique of the Behavioral Foundations of Economic Theory. Journal Philosophy&Public Affairs. -------------- (1985). Goals, Commitment, and Identity. Journal of Law, Economics and Organization, hal. 341–55. Reprinted in Sen 2002. -------------- (1993). Internal Consistency of Choice. The Journal of The Econometric Society, hal 492 -521. -------------- (1995). Rationality and Social Choice. The Journal American Economic Review, Vol. 85. -------------- (1999b). Development as Freedom. New York: Anchor Books.
Pembenaran etis …, Andri Septian, FIB UI, 2013
Smith, N. Craig. (1990). Arguments For and Against CSR. The Journal of Morality and The Market. NewYork Routledge, hal 69-76. Media Elektronik Anonymous. CSR di Indonesia, http://www.csrindonesia.com/data/articles/ 20080208124215-a.pdf diakses pada tanggal 2 Juni 2013, pukul 3.34WIB ----------- Johannesburg Declaration http://www.unescap.org/.../johannesburg declaration.pdf diakses pada tanggal 29 Mei 2013, pukul 01.23 WIB ----------- Kode hamurabi http://www.fordham.edu/halsall/ancient/hamcode.asp. diakses pada tanggal 29 Mei 2013, pukul 03.23 WIB ----------- Prisoner’s Dilemma, http://ingrimayne.com/econ/IndividualGroup/ PrisDilm.html, diakses pada tanggal 2 April 2013, Pukul 22.42 WIB ----------- The Story of Silent Spring http://www.nrdc.org/health/pesticides/ hcarson.asp diakses pada tanggal 29 Mei 2013, pukul 02.12 WIB. AmartyaSen‘Autobiography’,http://nobelprize.org/nobel_prizes/economics/laureates/1998/senautobio.html. diakses pada tanggal 22 Mei 2013, pukul 01.34 WIB. Nasrudin, Rus’an. Eksternalitas Barang Publik. http://staff.blog.ui.ac.id/r.nasrudin /files/2012/11/EksternalitasBarangpublik.pdf diakses pada tangal 15 Juni 2013, Pukul 23.34 WIB.
Pembenaran etis …, Andri Septian, FIB UI, 2013