PEMBELAJARAN MENULIS KARYA SASTRA CERITA PENDEK: MEMBERI BEKAL LIFE SKILL KEPADA SISWA Oleh : Agus Nuryatin (Ketua HISKI Semarang) Abstrak Sejak diberlakukannya Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) materi pembelajaran menulis karya sastra cerita pendek (cerpen) sudah diberikan kepada siswa sekolah menengah pertama. Mulai dari tingkat sekolah menengah pertama siswa dibimbing untuk menulis karya sastra cerpen. Apabila proses pembelajaran menulis karya sastra cerpen berjalan dengan baik, maka siswa yang lulus sekolah menengah atas akan dapat memiliki keterampilan menulis karya sastra cerpen. Keterampilan menulis karya sastra cerpen akan dapat dijadikan sebagai bekal life skill bagi para siswa, yang pada gilirannya dapat dijadikan sebagai salah satu mata pencaharian. Agar proses pembelajaran menulis karya sastra cerpen dapat berlangsung dengan baik sehingga dapat mencapai tujuan, yakni siswa memiliki keterampilan menulis karya sastra cerpen, beberapa hal harus dapat dipenuhi oleh para guru sebagai pembelajar menulis karya sastra. Pertama, para guru dituntut untuk mampu menyusun strategi pembelajaran menulis karya sastra cerpen yang tepat. Kedua, para guru dituntut untuk memiliki kompetensi dalam bidang pembelajaran menulis karya sastra cerpen. Ketiga, para guru dituntut memiliki kompetensi dalam bidang menulis karya sastra cerpen. Untuk memenuhi tuntutan tersebut kepada para guru perlu diberi pelatihan tentang (1) penyusunan strategi pembelajaran menulis karya sastra cerpen, (2) pembelajaran menulis karya sastra cerpen, (3) penulisan karya sastra cerpen. Sementara itu, untuk para mahasiswa calon guru pembelajaran menulis karya sastra cerpen perlu diberi mata kuliah tentang (1) penyusunan perangkat pembelajaran menulis karya sastra cerpen, (2) pembelajaran menulis karya sastra cerpen, dan (3) menulis karya sastra cerpen.
A. Pendahuluan Materi pelajaran menulis cerita pendek (cerpen) sudah tercantum dalam Garis-garis Besar Program Pengajaran Mata Pelajaran Bahasa Indonesia tahun 1987. Di dalam buku Kurikulum SMA: Garis-garis Besar Program Pengajaran Mata Pelajaran Bahasa Sastra Indonesia Program Inti Kelas I dan II Kelas II Semester 3 tercantum uraian materi pelajaran Membuat cerita pendek . Materi itu terkandung dalam Tujuan Instruksional Umum yang berbunyi Siswa mengenal/memahami dan dapat mengapresiasi bahasa/sastra Indonesia khususnya
prosa baru serta dapat mengkomunikasikannya secara lisan/tulisan , Pokok Bahasan Apresiasi Bahasa dan Sastra Indonesia, dan Subpokok Bahasan Prosa Baru. Sebagaimana diketahui, dalam Kurikulum 1987 materi pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia dikelompokkan ke dalam enam pokok bahasan, yakni (1) Membaca, (2) Kosakata, (3) Struktur, (4) Menulis, (5) Pragmatik, dan (6) Apresiasi Bahasa dan Sastra Indonesia (Depdikbud 1987). Pencantuman materi menulis cerpen tersebut menunjukkan bahwa dalam kurikulum yang menekankan pembelajaran sastra pada apreasiasi sastra -sebagaimana terlihat pada Tujuan Instruksional Umum-- ternyata sudah dimunculkan materi menulis cerpen. Para siswa tidak hanya dituntut untuk memiliki kemampuan mengapreasiasi cerpen, melainkan juga sudah mulai dibimbing menulis cerpen. Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) dan Kurikulum Satuan Tingkat Pendidikan (KTSP) menempatkan materi pelajaran menulis cerpen pada mulai Kelas IX, Semester 1 (SMP/MTs Kelas III, Semester 3) sampai siswa Kelas XII (SMA/MA Kelas III). Hal itu berarti bahwa sejak Kelas IX, Semester 1 (SMP/MTs Kelas III, Semester 3) siswa sudah dibimbing oleh gurunya untuk menulis cerpen. Rincian penempatan materi pelajaran menulis cerpen untuk setiap jenjang pendidikan dalam KTSP dapat dilihat pada Tabel berikut ini. Tabel Rincian Materi Pelajaran Menulis Cerpen dalam KTSP KELAS/SEMESTER/ PROGRAM Kelas IX, Semester 1 (SMP/MTs Kelas III, Semester 1)
Kelas X, Semester 2 (SMA/MA Kelas I, Semester 2)
STANDAR KOMPETENSI Menulis 8. Mengungkapkan kembali pikiran,perasaan, dan pengalaman dalam cerita pendek
Menulis 16. Mengungkapkan pengalaman diri sendiri dan orang lain ke dalam cerpen
KOMPETENSI DASAR 8.1 Menuliskan kembali dengan kalimat sendiri cerita pendek yang pernah dibaca. 8.2 Menulis cerita pendek bertolak dari peristiwa yang pernah dialami.
16.1 Menulis karangan berdasarkan kehidupan diri sendiri dalam cerpen (pelaku,peristiwa, latar).
Agus Nuryatin, Konferensi Internasional Kesusastraan XIX / Hiski Batu, 12 14 Agustus 2008
halaman 2 dari 17
16.2 Menulis karangan berdasarkan pengalaman orang lain dalam cerpen (pelaku,peristiwa, latar). Kelas XII, Semester 1 (SMA/MA Kelas II, Semester 1) Program IPA dan IPS
Menulis 8. Mengungkapkan pendapat, informasi, dan pengalaman dalam bentuk resensi dan cerpen.
Kelas XI, Semester 1, (SMA/MA Kelas II, Semester1), Program Bahasa
Menulis 4. Mengungkapkan pengalaman dalam puisi, cerita pendek, dan drama.
Kelas XI, Semester 2, (SMA/MA Kelas II, Semester 2) Program Bahasa
Menulis 9. Mengungkapkan pikian, perasaan, informasi, dan pengalaman dalam kegiatan produksi dan transformasikan bentuk karya sastra
8.1 Menulis resensi buku kumpulan cerpen berdasarkan unsurunsur resensi. 8.2 Menulis cerpen berdasarkan kehidupan orang lain (pelaku,peristiwa, latar).
4.1 Menulis puisi berdasarkan pengalaman atau pengamatan 4.2 Menulis cerita pendek berkenaan dengan kehidupan seseorang dengan sudut penceritaan orang ketiga. 4.3 Menulis drama pendek berdasarkan cerita pendek atau novel
9.1 Mengarang cerpen berdasarkan realitas sosial. 9.2 Menyadur cerpen ke dalam drama satu babak. 9.3 Menggubah penggalan hikayat ke dalam cerpen
Sumber: BNSP (2006) Dari Tabel di atas dapat diketahui tiga aspek, yakni (1) letak materi pelajaran menulis cerpen dalam struktur mata pelajaran, (2) letak materi pelajaran menulis cerpen dalam struktur aspek pembelajaran berbahasa, dan (3) standar kompetensi dan kompetensi dasar yang diharapkan dimiliki oleh para siswa dalam mengikuti pembelajaran menulis cerpen. Penjabarannya adalah sebagai berikut.
Agus Nuryatin, Konferensi Internasional Kesusastraan XIX / Hiski Batu, 12 14 Agustus 2008
halaman 3 dari 17
Pertama, dalam aspek letak materi pelajaran menulis cerpen dalam struktur mata pelajaran dapat diketahui bahwa materi menulis cerpen diajarkan mulai dari Kelas IX sampai Kelas XII. Rinciannya adalah (a) siswa Kelas IX, Semester 1 (SMP/MTs Kelas III, Semester 1); (b) Kelas X, Semester 1 (SMA/MA Kelas 2, Semester 2); (c) Kelas XII, Semester 1 (SMA/MA Kelas II, Semester 1) Program IPA dan IPS; (d) Kelas XI, Semester 1, (SMA/MA Kelas II, Semester 1), Program Bahasa; dan (e) Kelas XI, Semester 2, (SMA/MA Kelas II, Semester 2) Program Bahasa. Kedua, dalam aspek letak materi pelajaran menulis cerpen dalam struktur aspek pembelajaran berbahasa dapat diketahui bahwa materi pembelajaran menulis cerpen berada di dalam aspek Menulis. Dalam KTSP ruang lingkup mata pelajaran Bahasa Indonesia untuk SD/MI, SMP/MTs, dan SMA/MA mencakupi komponen kemampuan berbahasa dan kemampuan bersastra yang meliputi aspek (1) Mendengarkan, (2) Berbicara, (3) Membaca, dan (4) Menulis. Ruang lingkup mata pelajaran Sastra Indonesia di SMA/MA Program Bahasa terdiri atas aspek kesastraan dan apresiasi sastra. Apresiasi sastra mencakupi dua kegiatan yang bersifat reseptif dan produtif. Keduanya berhubungan dengan empat keterampilan berbahasa, yaitu mendengarkan, berbicara, membaca, menulis. Dalam deskripsi Standar Kompetensi, aspek kesastraan dan apresiasi sastra dilesapkan ke dalam lima aspek, yakni (1) Mendengarkan, (2) Berbicara, (3) Membaca, (4) Menulis, dan (5) Kesastraan. Materi pelajaran menulis cerpen di dalam deskripsi ruang lingkup pelajaran Bahasa Indonesia dan Sastra Indonesia terkandung dalam aspek Menulis. Ketiga, dalam aspek Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD), yang diharapkan dimiliki oleh para siswa dalam mengikuti pembelajaran menulis cerpen adalah sebagai berikut. (a) Untuk Kelas IX, Semester 1 (SMP/MTs Kelas III, Semester 1), standar kompetensinya adalah Mengungkapkan kembali pikiran, perasaan, dan pengalaman dalam cerita pendek , dan kompetensi dasarnya ada dua, yakni Menuliskan kembali dengan kalimat sendiri cerita pendekyang pernah Agus Nuryatin, Konferensi Internasional Kesusastraan XIX / Hiski Batu, 12 14 Agustus 2008
halaman 4 dari 17
dibaca dan Menulis cerita pendek bertolak dari peristiwa yang pernah dialami . (b) Untuk Kelas X, Semester 2 (SMA/MA Kelas I, Semester 2), standar kompetensinya adalah Mengungkapkan pengalaman diri sendiri dan orang lain ke dalam cerpen , dan kompetensi dasarnya ada dua, yakni Menulis karangan berdasarkan kehidupan diri sendiri dalam cerpen (pelaku,peristiwa, latar) dan Menulis karangan berdasarkan pengalaman orang lain dalam cerpen (pelaku, peristiwa, latar). (c) Untuk Kelas XII, Semester 1 (SMA/MA Kelas II, Semester 1) Program IPA dan IPS, standar kompetensinya adalah Mengungkapkan pendapat, informasi, dan pengalaman dalam bentuk resensi dan cerpen , dan kompetensi dasarnya ada dua, yakni Menulis resensi buku kumpulan cerpen berdasarkan unsur-unsur resensi dan Menulis cerpen berdasarkan kehidupan orang lain (pelaku,peristiwa, latar) . (d) Untuk Kelas XI, Semester 1, (SMA/MA Kelas II, Semester 1), Program Bahasa, standar kompetensinya adalah Mengungkapkan pengalaman dalam puisi, cerita pendek, dan drama , dan kompetensi dasarnya adalah Menulis cerita pendek berkenaan dengan kehidupan seseorang dengan sudut penceritaan orang ketiga . (e) Untuk Kelas XI, Semester 2, (SMA/MA Kelas II, Semester 2) Program Bahasa, standar kompetensinya adalah Mengungkapkan pikian, perasaan, informasi, dan pengalaman dalam kegiatan produksi dan transformasikan bentuk karya sastra , dan dan kompetensi dasarnya ada dua, yakni Mengarang cerpen berdasarkan realitas sosial , Menyadur cerpen ke dalam drama satu babak , dan Menggubah penggalan hikayat ke dalam cerpen . Deskripsi materi pelajaran menulis cerpen dalam KTSP merupakan bagian yang dirancang untuk mencapai standar kompetensi dan tujuan pelajaran Bahasa Indonesia dan pelajaran Sastra Indonesia secara umum. Secara khusus, dalam pelajaran Bahasa Indonesia, materi pelajaran penulisan cerpen itu dapat mendukung pencapaian standar kompetensi pelajaran Agus Nuryatin, Konferensi Internasional Kesusastraan XIX / Hiski Batu, 12 14 Agustus 2008
halaman 5 dari 17
Bahasa Indonesia nomor (1), yakni (1) Peserta didik dapat mengembangkan potensinya sesuai dengan kemampuan, kebutuhan, dan minatnya, serta dapat menumbuhkan penghargaan terhadap hasil karya kesastraan dan hasil intelektual bangsa sendiri , serta pencapaian tujuan pelajaran Bahasa Indonesia nomor (3), (4), (5), dan (6), yakni (3) memahami bahasa Indonesia dan menggunakan dengan tepat dan kreatif untuk berbagai tujuan, (4) menggunakan bahasa Indonesia untuk meningkatkan kemampuan intelektual, serta kematangan emosional dan sosial, (5) menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk memperluas wawasan, memperluas budi pekerti, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa, (6) menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah budaya dan intelektual manusia Indonesia (BNSP 2006). Sampai di sini kiranya menjadi jelas bahwa kurikulum, terutama KTSP, telah memberi arahan pembelajaran menulis cerpen. Apabila tujuan yang digariskan oleh KTSP dapat dicapai, maka proses pembelajaran menulis cerpen akan dapat menghasilkan siswa yang memiliki keterampilan menulis cerpen.
B. Kelebihan Cerpen sebagai Materi Pembelajaran Pemilihan bentuk cerpen sebagai salah satu materi pelajaran menulis karya sastra memang menguntungkan dilihat dari beberapa aspek. Dari aspek bentuk, cerpen memang memiliki keuntungan dibandingkan dengan novelet, novel, maupun roman. Dibandingkan dengan bentuk karya sastra prosa yang lain yaitu novelet, novel dan atau roman, cerpen memiliki bentuk yang paling pendek. Bentuknya yang pendek memberi keuntungan bagi proses berlatih menulis bagi para siswa. Mereka akan lebih mudah berlatih menulis cerpen dibandingkan dengan menulis novelet, novel, maupun roman. Selain itu, proses pembelajaran menulis cerpen dapat disesuaikan dengan alokasi waktu yang disediakan oleh kurikulum yang relatif sedikit untuk ukuran sebuah proses menulis kreatif prosa. Pada sisi lain, cerpen merupakan bentuk karya sastra yang digemari dan banyak dibaca orang, terutama sesudah tahun 1950 (Rosidi 1976:11; Jassin Agus Nuryatin, Konferensi Internasional Kesusastraan XIX / Hiski Batu, 12 14 Agustus 2008
halaman 6 dari 17
1965:8; Rampan 1982:15). Hal itu terbukti dari percepatan penerbitan buku kumpulan cerpen. Sampai tahun 1983 rata-rata setiap tahun terbit buku kumpulan cerita pendek sebanyak 5 buah (Nuryatin 1987:5). Jumlah itu meningkat tajam, sampai tahun 2005 rata-rata setiap tahun terbit 20 buah kumpulan cerita pendek (Noor 2006:27). Bukti lainnya adalah pada saat ini hampir setiap surat kabar (terutama melalui edisi minggunya) dan majalah selalu menyediakan ruangan khusus untuk cerpen. Dalam tulisannya yang berjudul Cerpen Kita : yang Kemarin dan yang Mungkin (Kompas, 5 Februari 2006, hlm. 27) Noor menyatakan bahwa ada tiga hal yang menarik pada tahun 2005 terkait dengan pertumbuhan cerpen Indonesia, yakni pertama, adanya perubahan format beberapa koran yang selama ini memberi ruang bagi cerpen; format ruang semakin sempit sehingga para cerpenis pun menyiasati dengan menjadikan cerpen-cerpennya semakin pendek; kedua, "estetika lokal" yang kembali dicuatkan terutama dalam kongres cerpen di Riau, sehingga cerpen-cerpen yang muncul kembali mengangkat masalah-masalah lokal, bukan masalah nasional ataupun internasional; ketiga, penerbitan buku kumpulan cerpen semakin marak, dalam satu tahun lebih dari 20 buku kumpulan cerpen terbit. Banyak diterbitkannya cerpen, baik melalui kumpulan cerita pendek maupun melalui surat kabar dan majalah, akan dapat membawa keuntungan bagi penulisnya. Keuntungan pertama adalah keuntungan prestise, yakni mereka akan mendapat predikat sebagai cerpenis. Beberapa sastrawan besar Indonesia lahir dengan terlebih dahulu menulis cerpen. Mereka mulai dikenal dari cerpencerpennya, kemudian baru dikenal melalui karya-karya prosanya yang lain, yakni novel atau roman. Salah seorang di antara mereka adalah Umar Kayam. Dia masuk ke dalam kancah dunia sastra Indonesia dengan cerpen-cerpennya, antara lain yang terhimpun di dalam Sri Sumarah dan Bawuk. Baru kemudian menghasilkan novel Para Priyayi dan Jalan Menikung. Dengan demikian, tidak menutup kemungkinan para siswa yang berhasil memiliki keterampilan menulis cerpen pada waktunya akan dapat menulis novel atau roman, sehingga akan dikenal sebagai sastrawan. Agus Nuryatin, Konferensi Internasional Kesusastraan XIX / Hiski Batu, 12 14 Agustus 2008
halaman 7 dari 17
Keuntungan kedua adalah keuntungan berupa materi, yakni mereka mendapat penghasilan dari menulis cerpen. Pada masa sekarang cerpen ternyata dihargai oleh media massa relatif banyak. Dari pengakuan salah seorang cerpenis yang sekaligus bertugas sebagai Redaktur Sastra di harian Suara Meredeka, Semarang dapat diketahui bahwa harian di tempatnya bekerja menghargai Rp250.000,00 setiap cerpen yang dimuat. Sementara itu, ketika cerpennya dimuat di koran yang terbit di Jakarta, dia mendapat Rp 400.000,00 dari Media Indonesia, dan Rp 500.000,00 dari Kompas. Hal itu menunjukkan bahwa keahlian menulis cerpen akan dapat dijadikan sebagai salah satu mata pencaharian. Oleh karenanya membelajarkan para siswa agar mampu menulis cerpen berarti memberi bekal kepada mereka agar memiliki salah satu jenis life skill.
C. Permasalahan Pembelajaran Menulis Cerpen dan Alternatif Pemecahannya Pada bagian awal tulisan ini sudah dipaparkan bahwa dalam GBPP Bahasa Indonesia Tahun 1987 materi menulis cerpen terdapat pada kelas II SMA semester 3, serta dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK, 2004) dan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP, 2006) materi menulis cerpen terkandung mulai dari SMP/MTs Kelas III Semester 1 sampai dengan SMA/MA Kelas III. Hal itu berarti bahwa mulai dari tahun 1987 para siswa SMA/MA telah diajari menulis cerpen, dan sejak tahun 2004 SMP/MTs para siswa juga sudah diajari menulis cerpen. Dengan demikian semestinya para siswa yang telah lulus dari SMA/MA sudah memiliki keterampilan menulis cerpen. Namun, pada kenyataannya sampai saat ini masih sangat sedikit para lulusan SMA/MA, bahkan yang sudah menjadi mahasiswa yang mampu menulis cerpen. Salah satu bukti dari hal itu dapat diambil dari pengalaman peneliti. Selama tiga tahun peneliti mengampu mata kuliah Menulis Kreatif pada Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Semarang. Salah satu materi perkuliahannya adalah menulis cerpen. Agus Nuryatin, Konferensi Internasional Kesusastraan XIX / Hiski Batu, 12 14 Agustus 2008
halaman 8 dari 17
Ternyata dari seluruh mahasiswa peserta kuliah, setiap tahunnya hanya sekitar 5% mahasiswa yang telah memiliki keterampilan menulis cerpen dengan kualitas relatif baik ketika pertama kali memasuki mata kuliah tersebut. Selebihnya, yakni sekitar 95%, belum mampu menulis cerpen dengan baik. Bukti yang lain, dari pengakuan beberapa cerpenis dapat diketahui bahwa keterampilan menulis cerpen yang mereka miliki tidak secara langsung didapat dari proses pembelajaran di sekolah. Mereka memilikinya dari proses belajar mandiri dan belajar dari para cerpenis lain yang sudah ada terlebih dahulu, baik belajar secara langsung maupun tidak langsung. Yang dimaksud belajar secara langsung yaitui mereka dibimbing secara langsung oleh cerpenis dimaksud. Adapun yang dimaksud belajar secara tidak langsung yaitu mereka belajar melalui cerpen-cerpen karya para cerpenis dan tulisan-tulisan para cerpenis tentang proses kreatif mereka dalam menulis cerpen. Kenyataan yang demikian itu menunjukkan bahwa proses pembelajaran menulis cerpen di sekolah, baik di tingkat Sekolah Menengah Pertama maupun Sekolah Menengah Tingkat Atas, yang selama ini berlangsung belum berjalan dengan baik sehingga belum menghasilkan siswa yang memiliki keterampilan menulis cerpen. Hal itu memunculkan pertanyaan, apa yang menjadi sebab proses pembelajaran menulis cerpen belum berjalan sebagaimana mestinya hingga belum mampu menghasilkan siswa yang memiliki keterampilan menulis cerpen? Belum berhasilnya proses pembelajaran menulis cerpen mencapai tujuan disebabkan oleh beberapa masalah. Masalah dimaksud dapat datang dari pihak siswa, pihak guru, maupun pihak kurikulum.
C.1 Masalah dari Pihak Guru Berdasarkan pada wawancara dan observasi yang peneliti lakukan terhadap beberapa orang guru Bahasa Indonesia dapat disimpulkan bahwa penyebab utama belum tercapainya tujuan pembelajaran menulis cerpen yang datangnya dari pihak guru adalah masalah rendahnya kompetensi guru dalam menulis cerpen dan kompetensi guru dalam membimbing siswa menulis cerpen. Agus Nuryatin, Konferensi Internasional Kesusastraan XIX / Hiski Batu, 12 14 Agustus 2008
halaman 9 dari 17
Sebagian besar guru Bahasa Indonesia, baik tingkat SMP/MTs maupun SMA/MA, memiliki kompetensi yang rendah dalam menulis cerpen1. Mereka tidak dapat menulis cerpen dengan kualitas yang relatif baik, bahkan sebagian dari mereka mengaku belum pernah menulis cerpen. Mereka yang mengaku belum pernah menulis cerpen pada umumnya adalah mereka yang semasa kuliah tidak mendapatkan mata kuliah menulis cerpen Kompetensi para guru dalam menulis cerpen yang rendah itu ternyata berakibat pada rendahnya kompetensi mereka dalam membimbing siswa menulis cerpen. Sebagian besar dari mereka tidak memiliki keterampilan membimbing para siswanya dalam menulis cerpen. Mereka mengaku merasa bingung pada saat harus membimbing para siswa menulis cerpen karena mereka tidak memiliki pengalaman langsung menulis cerpen. Sebagai akibatnya, para siswa tidak mendapat bimbingan yang benar dan tepat dalam proses belajar menulis cerpen, sehingga mereka tidak dapat menghasilkan cerpen, apalagi cerpen yang berkualitas. Semenjak KTSP diberlakukan tuntutan agar para guru Bahasa Indonesia memiliki kompetensi dalam menulis cerpen dan membimbing siswa dalam proses menulis cerpen menjadi semakin jelas. Tuntutan itu muncul sebab dalam KTSP tercantum Kompetensi Dasar yang harus dimiliki oleh para siswa dalam proses pembelajaran menulis cerpen yakni siswa mampu menulis cerpen. Agar Kompetensi Dasar itu dapat tercapai maka guru harus mampu membimbing siswa menulis cerpen. Guru akan dapat membimbing siswa menulis cerpen secara mantap dan terarah jika ditunjang dengan pengalamannya menulis cerpen. Beberapa alternatif langkah dapat ditempuh untuk mengatasi rendahnya kompetensi guru dalam menulis cerpen dan dalam membimbing siswa menulis cerpen. Untuk mengatasi rendahnya kompetensi guru dalam menulis cerpen, paling sedikit ada dua alternatif langkah yang dapat ditempuh. Pertama, para guru 1
Jumlah guru yang mampu menulis cerpen semakin tambah sedikit jika ukurannya adalah cerpen yang dimuat di surat kabar atau dalam bentuk kumpulan cerpen. Di Semarang hanya ada 1 orang guru yang cerpen-cerpennya sering dimuat di dalam surat kabar, baik surat kabar daerah daerah maupun nasional, dan telah memiliki kumpulan cerpen, yakni S. Prasetyo Utomo. Agus Nuryatin, Konferensi Internasional Kesusastraan XIX / Hiski Batu, 12 14 Agustus 2008
halaman 10 dari 17
diberi pelatihan menulis cerpen sampai mereka mampu menghasilkan cerpen. Langkah ini diperuntukkan bagi mereka yang sudah menjadi guru. Ibarat proses pengobatan penyakit, langkah ini dapat disebut sebagai langkah pengobatan kuratif, yaitu mengobati sakit yang sudah menimpa seseorang. Kedua, ibarat proses pengobatan, ditempuh langkah preventif, yakni memberi kekebalan pada seseorang agar tidak terkena penyakit, atau memberi bekal kepada seseorang dalam rangka menghadapi pekerjaan yang hendak mereka sandang. Pengobatan preventif ini diberikan kepada mereka yang akan menjadi guru Bahasa Indonesia. Bentuknya adalah para mahasiswa calan guru Bahasa Indonesia dibekali kemampuan menulis cerpen dan membimbing menulis cerpen. Mereka diberi kuliah tentang menulis cerpen dan metode membimbing menulis cerpen sehingga mereka memiliki pengalaman menulis cerpen dan sekaligus memiliki kompetensi yang baik dalam membimbing menulis cerpen sehingga apabila menjadi guru dapat membimbing para siswanya menulis cerpen. Dalam konteks ibarat memberi pengobatan preventif sebagaimana terpapar di muka, proses perkuliahan menulis cerpen dan perkuliahan membimbing menulis cerpen dituntut untuk dapat menghasilkan mahasiswa yang mampu menulis cerpen sekaligus mampu memimbing menulis cerpen. Salah satu komponen perkuliahan yang harus tersedia agar perkuliahan dapat mencapai hasil yang diharapkan adalah adanya model perkuliahan yang baik. Berkaitan dengan itu diperlukan model perkuliahan menulis cerpen dan model perkuliahan pembelajaran menulis cerpen untuk mahasiswa Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia diperlukan agar mereka memiliki pengalaman menulis cerpen dan sekaligus memiliki kompetensi yang baik membimbing menulis cerpen sehingga apabila menjadi guru dapat membimbing para siswanya dalam menulis cerpen. Adapun alternatif langkah yang dapat ditempuh untuk mengatasi rendahnya kompetensi guru dalam membimbing siswa menulis cerpen paling sedikit juga ada dua. Pertama, para guru diberi pelatihan mengenai proses pembimbingan menulis cerpen sampai mereka memiliki kompetensi dalam
Agus Nuryatin, Konferensi Internasional Kesusastraan XIX / Hiski Batu, 12 14 Agustus 2008
halaman 11 dari 17
membimbing menulis cerpen. Kedua, disediakan perangkat pembelajaran2 menulis cerpen yang sudah teruji tingkat efektivitas dan efisiensinya. Penyediaan perangkat pembelajaran menulis cerpen yang efektf dan efisien ini ditawarkan sebagai salah satu alternatif sebab selama ini para guru sudah memiliki perangkat pembelajaran menulis cerpen, hanya saja model yang mereka gunakan masih belum tepat sehingga belum menghasilkan siswa yang mampu menulis cerpen.
C.2 Masalah dari Pihak Siswa Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara peneliti dengan para siswa dapat diketahui bahwa masalah utama yang datangnya dari pihak siswa adalah motivasi para siswa mengikuti pembelajaran menulis cerpen rendah. Rendahnya motivasi para siswa dalam mengikuti pembelajaran menulis cerpen disebabkan oleh beberapa hal yang berkait, yakni (1) merasa tidak berbakat, (2) merasa tidak ada manfaatnya menulis cerpen, dan (3) merasa tidak mendapat bimbingan yang baik oleh guru dalam proses pembelajaran menulis cerpen. Para siswa mengaku bahwa kemampuan menulis cerpen adalah bakat. Oleh karenanya ketika dalam proses pembelajaran menulis cerpen mereka kesulitan menulis cerpen, maka mereka merasa tidak berbakat. Atas pandanga itu sebagian besar guru tidak memberi pemahaman bahwa keterampilan menulis cerpen dapat dipelajari, bukan semata-mata bakat. Orang yang dengan tekun berlatih menulis cerpen akan dapat menghasilkan cerpen yang baik. Rendahnya motivasi siswa juga disebabkan oleh ketidaktahuan mereka akan manfaat belajar menulis cerpen. Mereka merasa bahwa belajar menulis cerpen tidak ada manfaatnya. Mereka tidak mengetahui bahwa menulis cerpen sebenarnya dapat mendatangkan beberapa manfaat. Manfaat dimaksud, antara lain (1) cerpen dapat dijadikan sarana sebagai ekspresi pengalaman, perasaan, pemikiran, pendapat, dan gagasan, serta (2) keterampilan menulis cerpen pada 2
Perangkat pembelajaran adalah komponen-komponen yang dipersiapkan oleh guru untuk melaksanakan proses pembelajaran, yang berupa silabus, rancangan pelaksanaan pembelajaran (RPP), dan evaluasi. Ketiga komponen tersebut disusun berdasarkan kurikulum.
Agus Nuryatin, Konferensi Internasional Kesusastraan XIX / Hiski Batu, 12 14 Agustus 2008
halaman 12 dari 17
saat ini dapat dijadikan sebagai salah satu bentuk mata pencaharian. Disayangkan, para guru Bahasa Indonesia jarang yang memberitahukan hal itu kepada para siswanya sehingga motivasi mereka menulis cerpen rendah. Penyebab ketiga adalah para siswa merasa tidak mendapat bimbingan yang baik oleh guru dalam proses pembelajaran menulis cerpen. Dalam hal ini guru tidak dapat menyajikan proses pembelajaran menulis cerpen yang menarik perhatian dan minat para siswa. Ketidakmampuan guru menyajikan proses pembelajaran menulis cerpen itu dapat disebabakan oleh, antara lain, pertama, guru tidak memiliki kompetensi dalam menulis cerpen dan kompetensi dalam membimbing siswa menulis cerpen, dan kedua, belum tersedianya perangkat pembelajaran menulis cerpen yang efektif dan efisien. Termasuk di dalam perangkat pembelajaran dimaksud adalah model pembelajaran penulisan cerpen.
C.3 Masalah dari Pihak Kurikulum Berdasarkan pada pengamatan dan wawancara dengan beberapa guru, masalah yang muncul dari pihak kurikulum dapat dikelompokkan menjadi tiga. Pertama, pada kurikulum-kurikulum yang berlaku sebelum Kurikulum Berbasis Kompeensi (KBK) masalah yang muncul adalah belum terpisahnya materi menulis cerpen dari materi kesastraan yang lainnya. Menulis cerpen masih merupakan bagian dari materi apresiasi sastra. Akibat lain hal itu, alokasi waktu untuk proses pembelajaran menulis cerpen menjadi sangat sedikit, tidak menukupi untuk sebuah proses pembelajaran menulis cerpen. Kedua, pada saat diberlakukannya Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) sebenarnya materi menulis cerpen sudah mulai diarahkan untuk dijadikan sebagai materi pembelajaran yang mandiri, terpisah dari materi menulis karya sastra lainnya. Namun, penempatan materi itu masih kurang jelas, sebab masih berada dalam aspek kesastraan secara umum. Di samping itu, masa berlakunya KBK ternyata sangat singkat, yang kemudian diganti dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Sebagai akibatnya, para guru belum dapat memahaminya sehingga belum mampu mempraktikannya. Agus Nuryatin, Konferensi Internasional Kesusastraan XIX / Hiski Batu, 12 14 Agustus 2008
halaman 13 dari 17
Ketiga, KTSP telah menempatkan materi menulis cerpen secara mandiri, terpisah dari materi menulis karya sastra yang lain. Alokasi waktu yang tersedia juga relatif memadahi. Hanya saja, KTSP hanya dimuat Standar Kompetensi (KD) dan Kompetensi Dasar (KD). KTSP tidak disertai dengan perangkat pembelajaran, yang terdiri atas silabus3, rancangan pelaksanaan pembelajaran (RPP)4, dan sistem evaluasi5. Penyusunan silabus, RPP, dan sistem evaluasi diserahkan kepada sekolah atau guru. Akibatnya, banyak sekolah atau guru yang kebingungan untuk menyusunnya. Banyak guru yang tidak mampu menyusun ketiga perangkat pembelajaran dimaksud. Dengan demikian diperlukan adanya model silabus, rancangan pelaksanaan pembelajaran (RPP), dan sistem evaluasi yang dapat dijadikan pegangan guru dalam proses pembelajaran menulis cerpen.
D. Penutup Kurikulum, terutama KTSP telah memberi arah pembelajaran menulis cerpen. Apabila arah yang digariskan oleh KTSP dapat dilalui dengan benar maka pembelajaran menulis cerpen akan dapat menghasilkan siswa yang memiliki keterampilan menulis cerpen. Keterampilan menulis cerpen dapat dijadikan 3
Silabus adalah rancangan yang berisi garis besar langkah pembelajaran menulis cerpen yang akan dilaksanakan. Komponen pembelajaran yang terdapat di dalam silabus meliputi (1) identifikasi mata pelajaran; (2) rumusan standar kompetensi dan kompetensi dasar; (3) materi pokok; (4) kegiatan pembelajaran; (5) indikator; (6) evaluasi/penilaian, yang meliputi jenis tagihan dan bentuk instrumen; (7) alokasi waktu yang dibutuhkan; dan (8) sumber/bahan/alat. 4
Rancangan pelaksanaan pembelajaran (RPP) adalah rancangan yang berisi rincian pelaksanaan pembelajaran menulis cerpen setiap kompetensi dasar, dan merupakan penjabaran dari silabus. Komponen yang terkandung di dalamnya mencakupi (1) identifikasi mata pelajaran; (2) rumusan standar kompetensi dan kompetensi dasar; (3) materi pokok; (4) skenario embelajaran/pengalaman belajar; (5) indikator; (6) evaluasi/penilaian, yang meliputi jenis tagihan dan bentuk instrumen; (7) alokasi waktu yang dibutuhkan; dan (8) sumber/bahan/alat. 5
Evaluasi adalah kegiatan untuk menghimpun data dan informasi tentang proses dan hasil pembelajaran menulis cerpen. Kegiatan menghimpun data dan informasi dilaksanakan pada saat proses pembelajaran berlangsung dan setelahnya. Kegiatan yang dilaksanakan ketika proses berlangsung dimaksudkan untuk memperoleh data tentang aktivitas para siswa dalam menulis cerpen. Kegiatan yang dilaksanakan setelah proses berlangsung dimaksudkan untuk memperoleh informasi tentang hasil mereka yang berupa cerpen.
Agus Nuryatin, Konferensi Internasional Kesusastraan XIX / Hiski Batu, 12 14 Agustus 2008
halaman 14 dari 17
sebagai salah satu unsur life skill. Keterampilan menulis cerpen akan dapat mendatangkan keuntungan bagi para siswa, baik keuntungan prestise maupun keuntungan materi. Bahkan, tidak menutup kemungkinan menulis cerpen dapat dijadikan sebagai mata pencaharian bagi para siswa. Agar proses pembelajaran menulis cerpen dapat mencapai tujuan yang digariskan oleh kurikulum, para guru dituntut untuk memiliki kompetensi dalam tiga bidang. Pertama, para guru dituntut untuk memiliki kompetensi dalam merancang atau menyusun perangkat pembelajaran menulis cerpen. Perangkat pembelajaran menulis cerpen yang tepat akan dapat menjadi pegangan yang tepat bagi guru dalam proses pembelajaran menulis cerpen untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Kedua, para guru dituntut untuk memiliki kompetensi dalam bidang pembelajaran menulis cerpen. Guru yang memiliki kompetensi dalam bidang pembelajaran menulis cerpen akan dengan mudah dan benar dalam membimbing siswa menulis cerpen. Ketiga, para guru dituntut untuk memiliki kompetensi dalam bidang menulis cerpen. Guru yang memiliki kompetensi menulis cerpen, dalam pengertian memiliki pengalaman menulis cerpen, akan dapat menghayati dalam proses membimbing siswa menulis cerpen. Pengalamannya menulis cerpen akan dapat ditularkan kepada siswa yang dibimbingnya. Untuk memenuhi tuntutan tersebut, kepada para guru perlu diberi pelatihan tentang (1) penyusunan perangkat pembelajaran menulis karya sastra cerpen, (2) pembelajaran menulis karya sastra cerpen, dan (3) penulisan karya sastra cerpen. Sementara itu, bagi para mahasiswa calon guru Bahasa Indonesia, yang kelak ketika lulus dan menjadi guru Bahasa Indonesia akan membimbing siswa dalam pembelajaran menulis cerpen semestinya diberi mata kuliah tentang (1) penyusunan perangkat pembelajaran menulis karya sastra cerpen, (2) pembelajaran menulis karya sastra cerpen, dan (3) menulis karya sastra cerpen.
DAFTAR PUSTAKA Badan Standar Nasional Pendidikan. 2006. Standar Isi. Jakarta: BNSP Agus Nuryatin, Konferensi Internasional Kesusastraan XIX / Hiski Batu, 12 14 Agustus 2008
halaman 15 dari 17
Bird, Carmel. 2001. Menulis dengan Emosi Panduan Empatik Mengarang Fiksi. Penerjemah: Eva Y. Nukman. Bandung: Kaifa. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan 1993. Garis-Garis Besar Program Pengajaran Mata Pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Jakarta: Depdikbud. Departemen Pendidikan Nasional. Kurikulum Mata Pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia SLTP. 2001. Jakarta: Depdiknas. _____2004a. Kurikulum Berbasis Kompetensi, Kompetensi Standar Mata Pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Mata Pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia SLTP. Jakarta: Depdiknas. _____2004b. Kurikulum 2004 Standar Kompetensi Mata Pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia Sekolah Menengah Pertama dan Madrasah Tsanawiyah. Jakarta: Depdiknas. _____2004c. Kurikulum 2004 Standar Kompetensi Mata Pelajaran Sastra Indonesia (Program Studi Bahasa) Sekolah Menengah Atas dan Madrasah Aliyah. Jakarta. _____2004d. Bahan Pelatihan Terintegrasi Berbasis Kompetensi Guru SMP Bahasa Indonesia dan Sastra: Pengembangan Kemampuan Menulis Sastra. Jakarta: Depdiknas Diponegoro, Mohammad. 1985. Yuk, Nulis Cerpen Yuk. Yogyakarta: Shalahuddin Press. Elbow, Peter. 2007. Writing without Teacher Merdeka dalam Menulis!. Alih Bahasa: Yani Fretty, Ajeng AP. Jakarta: PT Indomesia Publising. Eneste, Pamusuk (Ed.). 1983a. Cerpen Indonesia Mutakhir, Antologi Essai dan Kritik. Jakarta: Gramedia. _____1983b. Proses Kreatif, Mengapa dan Bagaimana Saya Mengarang I. Jakarta : Gramedia _____1984. Proses Kreatif, Mengapa dan Bagaimana Saya Mengarang II. Jakarta: Gramedia. Hadimadja, Aoh K. 1978. Seni Mengarang. Jakarta: Pustaka Jaya. Hoerip, Satyagraha. 1979. Cerita Pendek Indonesia. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Jassin, H.B.1965. Analisa, Sorotan Cerita Pendek. Jakarta : Gunung Agung. Kayam, Umar. 1972. Seribu Kunang-kunang di Manhattan (Kumpulan Cerpen). Jakarta: Pustaka Jaya. _____1975. Sri Sumarah dan Bawuk (Kumpulan Cerpen). Jakarta: Pustaka Jaya. Kleden, Ignas. 1998. Fakta dan Fiksi tentang Fakta dan Fiksi : Imajinasi dalam Sastra dan Ilmu Sosial , dalam Kalam, edisi 11. Jakarta : Institut Studi Arus Informasi. Lubis, Mochtar. 1978. Teknik Mengarang. Jakarta: Nunung Jaya. Marahimin, Ismail. 1994. Menulis Secara Populer. Jakarta: Pustaka Jaya Moody, HLB. 1971. The Teaching of Literature ; with reference to developing Countries. London: Longman. Agus Nuryatin, Konferensi Internasional Kesusastraan XIX / Hiski Batu, 12 14 Agustus 2008
halaman 16 dari 17
Noor, Agus. 2006. Cerpen Kita : yang Kemarin dan yang Mungkin dalam Kompas, Minggu, 5 Februari, hal.27. Nuryatin, Agus. 1987. Analisis Struktural atas Kumpulan Cerita Pendek Cemara Karya Hamsad Rangkuti . Skripsi. Semarang: Fakultas Sastra Universitas Diponegoro ______1989. Cerita Pendek sebagai Bahan Apresiasi dan Ajang Penulisan Kreatif Siswa Sekolah Menengah . Dalam Majalah Pembinaan Bahasa Indonesia. Th.10. No.4. pendek Indonesia dari Awal Tahun 1980-an hingga Akhir Tahun 1990-an . Laporan PeDesember, hal. 189-252. Jakarta: Bhratara ______1998. Tema Cerita Pendek dan Koran Semarang Akhis Tahun 1980-an . Laporan Penelitian. Semarang : Pusat Penelitian IKIP Semarang. ______1999. Struktur Cerita Pendek Karya Seno Gumira Ajidarma . Laporan Penelitian. Semarang : Pusat Penelitian UNNES. ______2001. Fakta dalam Fiksi: Teknik Penceritaan Cerpen Seno Gumira Ajidarma . Tesis. Depok: Program Pascasarjana Ilmu Pengetahuan Budaya Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Perrine, Laurence. 1966. Story and Structure. Second Edition. New York: Harcourt. Brace & World, Inc. Rampan, Korris Layun. 1982. Cerita Pendek Indonesia Mutakhir Sebuah Pembicaraan. Yogyakarta: Nur Cahaya. Roekhan. 1991. Menulis Kreatif: Dasar-dasar dan Petunjuk Penerapannya. Malang: Yayasan Asah Asih Asuh. Sayuti, Suminto A. 2002. Sastra dalam Persepektif Pembelajaran . Dalam Sarumpaet, R.K.T. (Ed.). Sastra Masuk Sekolah. Hlm. 34-48. Jakarta: Indonesiatera. Soekamto, Toeti dan Udin Saripudin Winaputra. 1997. Teori Belajar dan Model-Model Pembelajaran. Jakarta : Pusat Antaruniversitas. Sudjiman, Panuti (Ed.). 1984. Kamus Istilah Sastra. Jakarta: Gramedia. _____1991. Memahami Cerita Rekaan. Jakarta: Pustak Jaya. Sumardjo, J. dan Saini K.M. 1996. Apresiasi Kesusastraan. Jakarta: PT. Gramedia. Tunas, Eko. 2006. Ekspresi Baru dalam Cerpen Koran dalam Suara Merdeka. Semarang : 15 Januari, halaman 23. Yudiona, K.S. 1984. Bagaimana Mengarang Cerpen. Semarang: Yayasan Keluarga Penulis & Prabhantara.
Agus Nuryatin, Konferensi Internasional Kesusastraan XIX / Hiski Batu, 12 14 Agustus 2008
halaman 17 dari 17
This document was created with Win2PDF available at http://www.daneprairie.com. The unregistered version of Win2PDF is for evaluation or non-commercial use only.