Seminar Nasional Aplikasi Sains dan Teknologi 2008 – IST AKPRIND Yogyakarta
•
PEMBELAJARAN DALAM PROSES IMPLEMENTASI MANAJEMEN KUALITAS (Studi Kasus : Implementasi Six Sigma di Perusahaan Manufaktur X) Retno Wulan Damayanti Jurusan Teknik Industri - Fakultas Teknik Universitas Sebelas Maret
[email protected] Abstract Implementation of new methods, including of quality management implementation ( for example ISO implementation, Six Sigma, Deming Cycle, and others) in organization require process, which must be escorted with its staff and employees learning. Without learning, easiest methods will not succeed implemented in organization. To describe the learning process in quality management implementation, case study conducted in Company X, which implemented Six Sigma quality management. This case study using knowledge transformation model from Nonaka and Takeuchi, that is : socialization ; externalization ; combination ; and internalization. Analysis of learning process done in recognition phase, adoption phase, adaptation phase, and implementation phase in Company X. The result of this research is : Company X trying to become learning organization in each Six Sigma implementation phase, for example by creating knowledge transformasi mechanism between employees and staff, that is routine meeting, training, feedback, and Six Sigma quiz. Key word : implementation process, quality management, learning organization Intisari Implementasi suatu metode baru, termasuk implementasi manajemen kualitas (contohnya : Implementasi ISO 9001:2000, Six Sigma, Deming Cycle, dan lain-lain) pada suatu organisasi memerlukan proses, yang harus diikuti oleh pembelajaran staf dan karyawannya. Tanpa belajar, metode paling mudah sekali pun tidak akan berhasil diterapkan di dalam organisasi. Organisasi dimana staf dan karyawannya selalu berupaya belajar untuk perbaikan berkelanjutan dikategorikan dalam learning organization. Untuk menggambarkan proses pembelajaran dalam implementasi manajemen kualitas, diambil studi kasus pada perusahaan manufaktur X yang mengimplementasikan manajemen kualitas Six Sigma. Studi kasus ini menggunakan model transformasi pengetahuan dari Nonaka dan Takeuchi, yang terdiri dari : sosialisasi; eksternalisasi; kombinasi; dan internalisasi. Analisis proses pembelajaran pada kasus ini dilakukan mulai fase pengenalan, adopsi, adaptasi hingga fase implementasi Six Sigma secara menyeluruh di perusahaan X. Hasil analisis diperoleh : Perusahaan X berupaya menjadi learning organization dalam setiap tahap implementasi manajemen kualitas Six Sigma dengan penciptaan mekanisme transformasi pengetahuan antar karyawan dan staf antara lain melalui pertemuan Six Sigma rutin, pelatihan, feedback, dan kuis Six Sigma. Kata Kunci : proses implementasi, manajemen kualitas , organisasi pembelajar PENDAHULUAN Arie de geus (1997) dalam bukunya the living company meneliti perusahaan-perusahaan yang berumur panjang dan menyebut bahwa perusahaan-perusahaan tersebut sebagai “perusahaan yang hidup”, yang memiliki karakter sama, yaitu mempunyai kemampuan untuk belajar, memiliki identitas diri yang kohesif, membiasakan sikap toleran pada perbedaan pendapat dan rasional dalam mengelola pembiayaan investasi (Tjakraatmaja, J.H., dan Suyanto, T., 2004). Perusahaan yang hidup adalah perusahaan yang senantiasa exist dan selalu berkembang di tengah kancah perubahan dunia industri. Bisa dikatakan bahwa perusahaan yang hidup adalah perusahaan yang mampu mengimbangi perubahan. Kemampuan dan kemauan untuk belajar adalah salah satu karakter yang dimiliki oleh perusahaan yang hidup. Belajar disini adalah upaya untuk mengimbangi perubahan. Dipastikan bahwa selera konsumen pasti berubah, kondisi pesaing pasti berubah, akibatnya pasar juga akan berubah. Jadi agar perusahaan eksis, maka harus senantiasa meng-upgrade dirinya dengan belajar, atau menjadi organisasi pembelajar. Learning Organizational atau organisasi pembelajar adalah organisasi dimana perusahaan atau orang-orang di dalamnya terus memperbesar kapasitas mereka untuk menciptakan hasil yang 184
Seminar Nasional Aplikasi Sains dan Teknologi 2008 – IST AKPRIND Yogyakarta
benar-benar mereka inginkan, dimana pola-pola pikiran baru muncul, kumpulan aspirasi bebas dikeluarkan dan orang terus belajar untuk belajar bersama (Senge, 1990). Menurut Pedler et al (1991), learning organization adalah suatu organisasi yang memberi fasilitas belajar kepada semua karyawannya dan terus merubah perusahaan mereka sendiri. Learning organization sangat mendukung untuk menjadi organisasi yang hidup, yaitu peka terhadap perubahan lingkungan baik internal maupun eksternal. Upaya untuk menanggapi perubahan lingkungan eksternal, perusahaan seringkali mengimplementasikan metode-metode baru. Implementasi tersebut membutuhkan proses, yang harus diimbangi dengan pembelajaran staf dan karyawannya, termasuk implementasi manajemen kualitas (misal implementasi ISO, Six Sigma, Deming Cycle, dan lain-lain). Tanpa ada pembelajaran dari sumber daya manusia perusahaan, implementasi metode yang paling mudah sekali pun tidak akan berhasil. Menjadi organisasi pembelajar (Learning Organization), organisasi harus menjalani proses belajar atau menjadi organization learning, dimana Fisher dan White (1999) mendefinisikan sebagai suatu proses yang melibatkan anggota di semua level organisasi yang bertujuan untuk mengumpulkan informasi internal maupun eksternal. Informasi ini selanjutnya diintrepretasi melalui cara kognitif pada proses sosial organisasi. Akumulasi informasi dari proses interpretatif ini kemudian akan memunculkan base pengetahuan organisasi (an organzation’s knowledge base). George dan Jones (1997) mendefinisikan organization learning sebagai suatu proses di dalam organisasi dimana pimpinan perusahaan menanamkan kepada seluruh anggota organisasi keinginan untuk senantiasa menemukan cara yang lebih baik untuk meningkatkan efektivitas organisasi. Cara baru, informasi ataupun pengalaman yang diperoleh tersebut menjadi tidak berarti bila hanya dikuasai dan dimiliki oleh seorang individu di dalam organisasi. Nonaka dan Takeuchi (1995) memaparkan bahwa untuk menjadi learning organization, perusahaan tidak hanya harus mampu mengelola informasi melainkan harus mampu untuk menciptakan pengetahuan. Pengetahuan dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu pengetahuan tacit dan pengetahuan eksplisit. Pengetahuan tacit (tacit knowledge) adalah pengetahuan yang tidak mudah terlihat dan terekspresikan. Hal ini disebabkan pengetahuan tacit bersifat “highly personal” atau sangat pribadi bagi individu dan sulit untuk diformalisasikan, sehingga hal ini mengakibatkan pengetahuan tacit sulit dikomunikasikan dan dibagi (sharing) kepada yang lain. Karakteristik dari pengetahuan tacit adalah subyektif, bersifat intuitif, didasarkan pada aksi dan pengalaman individu, sehingga sangat dipengaruhi oleh ide, nilai atau emosi seseorang. Pengetahuan tacit tersegmentasi menjadi dua dimensi, yaitu dimensi teknis dan dimensi kognitif. Dimensi teknis pengetahuan tacit adalah bersifat informal dan sulit (hard-to-pin-down skill), atau terkait dengan ungkapan Know-how. Selain memiliki dimensi yang bersifat teknis, pengetahuan tacit juga memiliki dimensi kognitif, yang terdiri dari skema, model mental, kepercayaan dan persepsi. Dimensi kognitif dari pengetahuan tacit merefleksikan imajinasi kita dari realitas (what is) dan visi kita untuk masa depan (what ought to be). Untuk pengetahuan tacit, bila akan dikomunikasikan ke dalam organisasi maka harus dikonversikan ke dalam kata-kata atau angka-angka sehingga dapat dipahami oleh semua orang. Explicit artinya sesuatu yang formal dan sistematis. Pengetahuan eksplisit dapat diekspresikan dengan kata-kata dan angka-angka, dan mudah dikomunikasikan serta dibagi dalam bentuk data, formula keilmuan, kode-kode prosedur atau prinsip-prinsip umum. Perbedaan antara pengetahuan tacit dan eksplicit ditampilkan pada Tabel 1 berikut. Tabel 1. Perbedaan Pengetahuan Tacit dan Eksplisit Tacit Knowledge Explicit Knowledge Subyektif Obyektif Knowledge of experience ( body) Knowledge of rationality (mind) Simultaneous knowledge (here dan how) Sequential knowledge (there dan then) Analog knowledge (practice) Digital knowledge (theory) Sumber : Nonaka dan Takeuchi, (1995) Nonaka dan Takeuchi (1995) mendefinisikan transformasi pengetahuan tacit dan eksplisit menjadi empat mode, yaitu sosialisasi (socialization), eksternalisasi (externalization), kombinasi (combination) dan internalisasi (Internalization). Sosialisasi merupakan transformasi pengetahuan tacit individu ke pengetahuan tacit individu yang lain. Sosialisasi merupakan suatu proses penyebaran pengalaman (sharing experience) kepada individu yang lain, seperti model penyebaran mental dan ketrampilan teknis. Kunci untuk mengembangkan pengetahuan tacit adalah pengalaman. Tanpa pengalaman yang disebarkan atau dibagikan, akan sulit sekali bagi seseorang untuk mempengaruhi proses berpikir orang lain. 185
Seminar Nasional Aplikasi Sains dan Teknologi 2008 – IST AKPRIND Yogyakarta
Eksternalisasi adalah proses transformasi pengetahuan tacit menjadi konsep pengetahuan eksplisit. Emig (1983) menyatakan bahwa menulis adalah salah satu aksi atau tindakan konversi pengetahuan tacit menjadi eksplisit (Nonaka dan Takeuchi, 1995). Mode eksternalisasi dari konversi pengetahuan secara tipikal terlihat seperti proses penciptaan konsep kreasi dan diperkuat dengan dialog atau kumpulan refleksi. Ketika tidak dapat menemukan ekspresi yang cukup untuk berimajinasi melalui metode analitik deduktif ataupun induktif, maka digunakan metode nonanalitik yaitu seringkali dilakukan dengan analogi atau model. Kombinasi adalah proses sistematisasi konsep menjadi pengetahuan sistem. Dalam konversi ini melibatkan kombinasi dari pengetahuan eksplisit yang berbeda-beda. Perubahan individu dan kombinasi pengetahuan melalui media seperti dokumen, pertemuan (meeting), percakapan telepon, atau melalui jaringan komunikasi terkomputerisasi. Internalisasi adalah proses konversi dari pengetahuan eksplisit menjadi pengetahuan tacit. Internalisasi erat kaitannya dengan “learning by doing”. Untuk pengetahuan eksplisit bila menjadi pengetahuan tacit, akan sangat membantu diverbalisasi atau didiagramkan menjadi dokumen, manual atau cerita. Dokumentasi membantu individual menginternalisasi apa pengalaman mereka, sehingga akan memperkaya atau meningkatkan pengetahuan tacit mereka. Sebagai tambahan, dokumen atau manual dapat memfasilitasi perpindahan pengetahuan eksplisit ke orang lain, dengan menyebarkan pengalaman (secara eksplisit) kepada pengalaman orang lain (secara invidual). Training atau pelatihan juga merupakan salah satu media internalisasi pengetahuan. Pada organisasi pembelajar yang ideal, sosialisasi, eksternalisasi, kombinasi, dan internalisasi akan senantiasa terjadi di dalam organisasi dengan kapasitas pengetahuan yang terus meningkat, dan apabila digambarkan dalam suatu diagram, keempat proses transformasi tersebut akan membentuk spiral. Model spiral pengetahuan yang didefinisikan oleh Nonaka dan Takeuchi (1995) dipaparkan pada Gambar 1.
Gambar 1. Spiral Transformasi Pengetahuan (Nonaka dan Takeuchi, 1995) Gambaran real mengenai pembelajaran dalam implementasi manajemen kualitas diuraikan melalui studi kasus di Perusahaan X. Studi kasus ini bertujuan untuk menganalisis pembelajaran Perusahaan X dalam mengimplementasikan manajemen kualitas Six Sigma. Perusahaan X pada awalnya merupakan perusahaan manufaktur lokal yang memproduksi lampu (lighting), yang sejak tahun 1995 diakuisisi oleh perusahaan Penanaman Modal Asing asal USA. Perusahaan X pada mulanya tidak mengenal manajemen kualitas Six Sigma, namun karena perusahaan PMA yang mengakuisisi perusahaan X menggunakan Six Sigma sebagai strategi bisnisnya, maka Perusahaan X juga harus mengimplementasikan Six Sigma. Tentunya diperlukan proses pembelajaran untuk mulai mengenal hingga pada akhirnya melaksanakan semua metode Six Sigma. Analisis pembelajaran Perusahaan X dilakukan eksplorasi dari mulai Perusahaan X mengenal Six Sigma, mengadopsi, mengadaptasi hingga mengimplementasikan Six Sigma. Eksplorasi dilakukan melalui wawancara, observasi, dan kuesioner. Pada studi kasus ini, akan dipergunakan model pembelajaran melalui transformasi pengetahuan dari Nonaka dan Takeuchi, yaitu analisis sosialisasi (socialization), eksternalisasi (externalization), kombinasi (combination), dan internalisasi (internalization), pada tahap pengenalan, adopsi, adaptasi hingga tahap implementasi Six Sigma. Gambaran model penelitian ditampilkan pada Gambar 2.
186
Seminar Nasional Aplikasi Sains dan Teknologi 2008 – IST AKPRIND Yogyakarta
Gambar 2 . Model Penelitian HASIL DAN PEMBAHASAN Perusahaan X merupakan perusahaan manufaktur PMA, dimana perusahaan induk yang berposisi di USA telah menerapkan Six Sigma sebagai strategi bisnisnya. Kondisi ini yang melatarbelakangi Perusahaan X menerapkan Six Sigma. Pada kasus ini latar belakang perusahaan untuk menerapkan Six Sigma karena kondisi ”given ”dari perusahaan induk. Six Sigma mulai diperkenalkan kepada manajer departemen Perusahaan X tahun 1995. Proses pengenalan dilakukan melalui pertemuan (meeting) yang diikuti oleh presiden direktur, general manajer, dan manajer departemen manufaktur dan non manufaktur. Pada pertemuan pertama, presiden direktur dan general manajer memperkenalkan Six Sigma kepada para manajer Perusahaan X, dimana dalam pertemuan tersebut presdir memaparkan arahan Perusahaan Induk korporasi untuk menerapkan Six Sigma di Perusahaan X. Pada pertemuan kedua yaitu di tahun 1996, diputuskan untuk menerapkan Six Sigma secara bertahap yang dimulai dari Divisi Manufaktur yaitu departemen produksi dan kualitas. Pelatihan merupakan salah satu media internalisasi, dimana melalui pelatihan dapat terjadi proses konversi dari pengetahuan ekspisit menjadi pengetahuan tacit (Nonaka dan Takeuchi, 1995). Hal ini pula yang dilakukan oleh pimpinan Perusahaan X, yaitu dengan pengiriman para manajer dan staf Divisi Manufaktur untuk pelatihan Six Sigma ke Cina dan Singapura, agar konsep-konsep ekspisit Six Sigma Perusahaan Induk dapat dikonversikan pada pemahaman individu (tacit understanding) para manajer dan staf tersebut. Pengiriman para manajer tersebut juga sebagai persiapan untuk membentuk struktur organisasi Six Sigma di dalam perusahaan. Berdasarkan data wawancara, secara konsep para manajer tersebut telah memahami makna Six Sigma, namun manajer masih dalam tahap belajar untuk operasionalisasi metode Six Sigma di perusahaan. Koeleman (1995) menyimpulkan bahwa seringkali keputusan pimpinan perusahaan untuk implementasi tidak selalu jelas, sehingga mengakibatkan kurangnya persiapan yang eksplisit dan solid. Dalam prakteknya, kebijakan dan strategi kurang dikomunikasikan dengan jelas, sehingga proses pemahaman anggota perusahaan yang lain menjadi lambat. Hal ini terjadi di Perusahaan X, dimana adanya perintah dan tekanan dari perusahaan induk untuk segera mengimplementasikan Six Sigma menyebabkan proses pemahaman para manajer terasa dipaksakan dan mengakibatkan kurangnya komunikasi dan persiapan di Perusahaan X. Six Sigma belum terinternalisasi di Divisi Manufaktur pada tahap ini. Sekembalinya para manajer Divisi Manufaktur dari pelatihan Six Sigma, selanjutnya dilakukan pertemuan antara presiden direktur, general manajer dan manajer yang telah memperoleh pelatihan Six Sigma level Green Belt dan Black Belt. Pada pertemuan tersebut diputuskan untuk mengadopsi semua metode Six Sigma yang telah diperkenalkan pada pelatihan Green Belt di Cina. Metode dan konsep yang diadopsi adalah struktur organisasi Six Sigma, metode pelatihan, materi pelatihan yang terdiri dari tiga diktat yaitu diktat DMAIC untuk efisiensi proses, diktat DMADV untuk perubahan proses, dan diktat IDOV untuk pengembangan produk. Ketiga diktat tersebut dalam bahasa inggris. Keputusan adopsi 100 % tersebut terkait dengan tekanan Perusahaan Induk korporasi kepada Perusahaan X untuk segera menerapkan Six Sigma, sehingga tidak terjadi pemahaman mengenai metode apa dan kenapa harus diterapkan di Perusahaan X. Pada pertemuan tersebut juga dilakukan pembahasan rencana untuk mulai melakukan proses internalisasi dan sosialisasi di dalam perusahaan. Proses sosialisasi mulai dilakukan dengan pemasangan poster dengan slogan Six Sigma dan logo Six Sigma pada seragam staf dan karyawan. Slogan Six Sigma yang dipasang diadopsi dari Perusahaan Induk korporasi dan dalam bahasa 187
Seminar Nasional Aplikasi Sains dan Teknologi 2008 – IST AKPRIND Yogyakarta
inggris, salah satu contoh slogannya yaitu Six Sigma, The Way We Work ”, dan ”People, Project, Process”. Pada tahap adopsi, diputuskan untuk mengadopsi seluruh konsep dan metode Six Sigma di Perusahaan X. Adaptasi berkaitan dengan penyesuaian metode manajemen kualitas dengan proses dan kinerja perusahaan, demikian pula sebaliknya. Proses internalisasi di dalam perusahaan dengan memberikan pelatihan bagi staf manufaktur mulai dilakukan pada tahap ini. Pelatihan tersebut menggunakan metode dan modul yang diadopsi dari Perusahaan Induk korporasi. Pelatihan diberikan oleh Green Belt dan Black Belt internal Perusahaan X. Pada proses penyesuaian di tahap adaptasi, pimpinan senantiasa memantau aktivitas Divisi Manufaktur dengan melakukan pertemuan mingguan terkait dengan implementasi Six Sigma. Pertemuan tersebut dilakukan antara Green Belt dan Black Belt manufaktur, manajer departemen manufaktur dan non manufaktur. Hasil pertemuan tersebut dilaporkan kepada general manajer manufaktur, yang selanjutnya general manajer akan memberikan laporan kepada presiden direktur. Nonaka dan Takeuchi (1995) menyatakan bahwa pertemuan (meeting) sebagai salah satu media pembelajaran, dimana dalam aktivitas ini terjadi proses sosialisasi, internalisasi, eksternalisasi dan kombinasi. Dalam proses pertemuan ini terjadi diskusi dan tukar informasi berkaitan dengan pelaksanaan pelatihan Six Sigma para staf Perusahaan X. Setelah beberapa kali pertemuan mingguan dilakukan, terbentuk kesepakatan untuk mempercepat proses internalisasi Six Sigma di dalam perusahaan. Upaya yang dilakukan yaitu dengan memberikan pelatihan internal kepada Black Belt engineering yang telah memperoleh pelatihan level Green Belt. Black Belt engineering pada dasarnya merupakan Black Belt bayangan karena tidak di-assign untuk sertifikasi Black Belt. Tujuan pelatihan Black Belt engineering agar proses pelatihan lebih cepat, dimana Black Belt engineering tersebut dapat membimbing staf memahami metode-metode pelatihan yang diberikan. Black Belt engineering terdiri dari lima orang staf produksi dan dua orang staf kualitas. Black Belt engineering dilatih oleh Black Belt Perusahaan X yang telah memiliki sertifikasi. Black Belt engineering selanjutnya juga ikut dalam pertemuan mingguan Six Sigma dengan para manajer departemen. Black Belt engineering aktif mencari feedback dari staf mengenai pelatihan Six Sigma dan upaya staf memperbaiki lingkungan kerjanya, karena pada tahap ini proyek-proyek Six Sigma staf untuk perbaikan lingkungan kerjanya banyak yang tidak berjalan. Berdasarkan informasi dari para Black Belt engineering sebagai personal yang melatih staf dan memahami proses operasionalisasi lapangan teridentifikasi bahwa tidak berjalannya proyek karena staf kesulitan memahami alat-alat statistik dan metode-metode Six Sigma. Black Belt engineering memberikan saran dalam forum pertemuan mingguan untuk memberikan pelatihan yang fokus pada DMAIC, karena prosedur ini yang mungkin dijalankan di PERUSAHAAN X, sedangkan prosedur yang lain yaitu DMADV dan IDOV cukup diperkenalkan. Berdasarkan masukan Black Belt engineering, pimpinan perusahaan memutuskan untuk mengubah metode pelatihan dan menyesuaikan materi pelatihan. Pimpinan perusahaan menyadari bahwa perusahaan memiliki keterbatasan untuk melakukan proses perbaikan baik terkait dengan kemampuan dan keahlian staf maupun kebijakan dari perusahaan induk Penyesuaian terkait dengan perubahan, didasarkan pada pembelajaran yang dilakukan oleh anggota organisasi. Nonaka dan Takeuchi (1995) mengidentifikasi proses pembelajaran terkait dengan trasformasi pengetahuan dimana organisasi perlu menyediakan media untuk proses tersebut. Perusahaan X menggunakan media pertemuan (meeting) untuk transformasi pengetahuan. Dalam pertemuan tersebut terjadi sosialisasi, kombinasi, eksternalisasi, dan internalisasi yang mendasari Perusahaan X untuk merubah metode dan materi pelatihan Six Sigma. Hardjono et al (1996) mendefinisikan nilai-nilai inti implementasi manajemen kualitas yaitu fokus pada proses bisnis, fokus kepada konsumen, fokus kepada manusia, dan fokus pembelajaran. Fokus pada proses bisnis diupayakan Perusahaan X dengan mengimplementasikan Six Sigma di Divisi Manufaktur terlebih dahulu, hal ini karena bisnis utama adalah manufaktur lampu. Pada tahap implementasi awal, Perusahaan X memiliki Master Black Belt untuk membimbing staf manufaktur dan non manufaktur menjalankan proyek. Setelah satu tahun implementasi dan saat semua staf telah terlatih Six Sigma, Perusahaan X menyadari bahwa saat ini fokusnya masih terbatas pada perbaikan efisiensi internal, dimana kemampuan teknis Black Belt cukup untuk mengakomodasi proyek, sehingga saat ini Perusahaan X tidak lagi memiliki Master Black Belt pada struktur organisasi Six Sigma. Fokus implementasi manajemen kualitas kedua yang terkait dengan dimensi proses adalah fokus pada pembelajaran. Pande et al (2002) menyatakan bahwa untuk mendukung implementasi Six Sigma diperlukan proses belajar di dalam perusahaan sebagai aktivitas yang tiada henti. Media yang dipergunakan untuk menjamin proses belajar adalah pertemuan mingguan Perusahaan X. Pertemuan 188
Seminar Nasional Aplikasi Sains dan Teknologi 2008 – IST AKPRIND Yogyakarta
mingguan Six Sigma tidak hanya dilakukan oleh manajer, melainkan seluruh staf Divisi Manufaktur. Dalam pertemuan ini dipaparkan dan dipresentasikan proyek yang akan dan sedang berjalan. Melalui media pertemuan mingguan, staf dapat berdiskusi dan bertukar pengalaman maupun informasi terkait dengan proyek perbaikan yang dilakukan. Melalui pertemuan ini juga teridentifikasi permasalahan yang sering terjadi pada bagian masing-masing. Diperlukan upaya yang nyata untuk mendukung aspek-aspek pembelajaran di dalam organisasi (Snyder et al, 1994). Upaya nyata Perusahaan X untuk mendukung penyesuaian dan pembelajaran staf yaitu dengan menyelenggarakan aktivitas promosi Six Sigma seperti kuis, cerdas cermat, kompetisi, dan buletin Six Sigma pada tahap awal implementasi. Kuis dan kompetisi Six Sigma untuk level mekanik, cerdas cermat dan buletin untuk level staf. Selama proses implementasi diperlukan evaluasi. Evaluasi memunculkan rekomendasi sebagai feedback bagi terciptanya implementasi yang lebih baik (Irianto,2005). Feedback dari karyawan dapat dipergunakan sebagai pembelajaran. Upaya untuk mencari feedback dari karyawan lantai produksi dilakukan oleh Black Belt manufaktur dan manajer bagian masing-masing dengan berkeliling di lantai produksi setiap hari. Aktivitas ini untuk mengumpulkan informasi dari karyawan lantai produksi sekaligus menjalin komunikasi dengan karyawan. Berdasarkan pengumpulan data, aktivitas ini berguna bagi staf, karena dari aktivitas ini dimungkinkan muncul proyek Six Sigma, namun aktivitas ini tidak mendukung pembelajaran Six Sigma karyawan di lantai produksi, karena karyawan lantai produksi belum mengenal Six Sigma kecuali mekanik, sehingga proses perbaikan melalui proyek Six Sigma hanya dijalankan oleh staf. Tabel 2 menampilkan proses pembelajaran pada setiap tahap pada implementasi manajemen kualitas Six Sigma di Perusahaan X.
189
Seminar Nasional Aplikasi Sains dan Teknologi 2008 – IST AKPRIND Yogyakarta
KESIMPULAN 1. Proses pembelajaran seharusnya dilakukan mulai tahap awal implementasi, yaitu saat fase pengenalan manajemen kualitas. Proses pembelajaran di tahap pengenalan akan berhasil bila dimulai dari level pimpinan perusahaan, antara lain melalui proses internalisasi. Proses Internalisasi dapat dilakukan melalui pelatihan atau training. Pembelajaran bagi individu staf dan karyawan akan berjalan alami bila diciptakan mekanisme yang kondusif, atau tidak ada tekanan maupun paksaan, sehingga staf dan karyawan mampu beradaptasi dengan perubahan dan dapat menyesuaikan metode-metode pelatihan dengan kasus real pekerjaannya dalam perusahaan. Hal ini penting agar perusahaan tidak mengadopsi metode tanpa memahami konteks dan kontennya. Pada tahap pengenalan, pembelajaran juga didukung sosialisasi dengan komunikasi yang baik, antara lain melalui poster, dan pengumuman pada pertemuan (meeting) rutin antar bagian. 2.
Setelah tahap pengenalan, proses pembelajaran dilanjutkan pada tahap adaptasi dan tahap implementasi. Belajar dari Perusahaan X pada tahap adaptasi dan implementasi, pimpinan perusahaan menciptakan mekanisme pertemuan mingguan Six Sigma oleh para manajer departemen, Black Belt dan Black Belt engineering. Hal ini sangat mendukung implementasi Six Sigma, karena pada pertemuan tersebut terjadi diskusi dan tukar informasi. Pada pertemuan ini terjadi sosialisasi, internalisasi, eksternalisasi, dan kombinasi, yang akhirnya mendasari pimpinan untuk menyesuaikan metode dan materi pelatihan Six Sigma kepada staf.
3.
Pada tahap implementasi, pimpinan harus terus mempromosikan dan mengkampanyekan semangat perbaikan kualitas secara terus menerus kepada staf dan karyawan. Hal ini dapat dilakukan dengan aktivitas yang tidak harus menuntut staf dan karyawan dengan target-target tertentu. Berdasarkan pengalaman Perusahaan X untuk mendukung proses pembelajaran staf dan karyawan dilakukan melalui media kuis Six Sigma, cerdas cermat Six Sigma, kompetisi dan buletin Six Sigma. Hal ini memotivasi staf untuk mengikuti kegiatan tersebut dan mendorong staf untuk belajar dan melakukan perbaikan lingkungan kerjanya tanpa dibebani target-target yang memaksa.
4.
Feedback dari karyawan sebagai pembelajaran dan evaluasi mendukung terciptanya implementasi yang lebih baik. Pimpinan perusahaan menciptakan mekanisme feedback sebaiknya mulai tahap adaptasi, dimana staf dan karyawan mulai menyesuaikan dengan kinerja yang baru.
DAFTAR PUSTAKA Fisher, D.,dan W.R Torbert, 1995, Personal and Organizational Transformations, McGraw-Hill Book Company, London. George, J.M., dan Jones, G., The Role of Affect in Cross-Cultural Negotiations, Journal of International Business Studies, Vol.29, 1998 , pp.749-772. Hardjono, T.W., S. Ten Have, dan W.D. Ten Have, 1996, The European Way to Excellence, Directorate-General III Industry, European Commission. Irianto, D., 2005, Quality Management Implementation (A Multiple Case Study in Indonesian Manufacturing Firms), PhD Dissertation, Universiteit Twente, Enschede. Koeleman, W.Ph.Th., 1995, Change in Quality Control : A Study of Implementation of Quality Control in Medium-sized Industrial Enterprises from A Change Management Perspective, Doctoral Dissertation, Universiteit Twente, Enschede. Nonaka, I., dan H. Takeuchi, 1995, The Knowledge Creating Company, Oxford University Press, New York. Pande, Peter.S., Neuman, Robert.P., dan Cavanagh, R.R., 2002, The Six Sigma Way, Andi,Yogyakarta. Pedler, M., Burgoyne, J., dan Bogdell, T., 1996, The Learning Company. A Strategy for Sustainable Development, McGraw-hill Book Company, London. Senge, P.M., 1990,The Fifth Discipline, Doubleday Books, New York,. Snyder, N.H.,Dowd, J.J.Jr., dan Houghton, D.M., 1994, Vision, Values and Courage : Leadership for Quality Management, Free Press. Tjakraatmaja, J.H., dan Suyanto, T., Hubungan Pengaruh Karakteristik Perusahaan Hidup dengan Performansi Perusahaan, Jurnal Manajemen Teknologi ITB, Vol.5, No.2, 2004,pp 9-15.
190