PEMBELAJARAN BAHASA BERBASIS SASTRA Basuki dan Indiyah Prana Amertawengrum FKIP, Universitas Widya Dharma Klaten PENGANTAR Pendidikan merupakan suatu proses yang berlangsung secara berkesinambungan, terus menerus dengan tujuan mengubah jati diri seseorang menjadi lebih berkembang terutama dalam bidang ilmu pengetahuan. Seiring perkembangan zaman, dunia pendidikan juga terus berubah dan mampu mengubah pola pikir banyak orang mengenai paradigma pendidikan dari pola pikir sederhana menjadi lebih modern. Di dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Bab II Pasal 3, yaitu : “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, berilmu, sehat, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.” Namun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa pendidikan dewasa ini masih mengutamakan ranah kognitif serta kurang memerhatikan ranah yang lain. Tentu saja hal itu bertentangan dengan UU serta akan berdampak negatif bagi peserta didik yang memiliki kemampuan, kecerdasan di luar kecerdasan kognitif tersebut. Oleh karena itu, perlu adanya keseimbangan antara ranah kognitif dengan ranah lainnya, afektif dan psikomotor. Hal itu dapat terpenuhi melalui pendidikan karakter . Pendidikan karakter merupakan pendidikan yang tidak hanya berorientasi pada aspek kognitif saja, tetapi lebih berorientasi pada proses pembinaan potensi yang ada dalam diri anak, dikembangkan melalui pembiasaan sifat-sifat baik yakni berupa pengajaran nilai-nilai karakter yang baik. Dalam pendidikan karakter, setiap individu dilatih agar tetap dapat memelihara sifat baik dalam diri (fitrah) sehingga karakter tersebut akan melekat kuat dengan latihan melalui pendidikan sehingga terbentuk kepribadian yang baik. Menyadari kondisi karakter masyarakat saat ini, pemerintah berinisiatif untuk mengarusutamakan pembangunan karakter bangsa. Kebijakan Nasional Pembangunan Karakter bangsa ini disusun sebagai pelaksanaan amanat Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005 – 2025 dan sekaligus pelaksanaan arahan Bapak Presiden Republik Indonesia. Kebijakan Nasional Pembangunan Karakter Bangsa ini dimaksudkan sebagai panduan dalam merancang, mengembangkan, dan melaksanakan Rencana Aksi Nasional Pembangunan Karakter Bangsa dengan mendorong partisipasi aktif dari berbagai komponen bangsa. Dalam kaitan dengan pandangan tersebut, selayaknya jika saat ini pendidikan di Indonesia kembali dengan penanaman nilai-nilai luhur dalam setiap kegiatan belajar mengajar, terutama di lingkungan pendidikan formal. Hal itu mengingat bahwa pembangunan karakter merupakan kebutuhan asasi dalam proses berbangsa dan bernegara. Kurangnya perhatian terhadap pembentukan karakter pada peserta didik, baik melalui pendidikan formal maupun non-formal, dapat berdampak pada muncul dan berkembangnya moral yang kurang baik.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL ”Pembelajaran Bahasa untuk Meningkatkan Kualitas Manusia Indonesia yang Berkarakter dalam Era Mondial”
51
Oleh karenanya, berbagai upaya perbaikan dan pembentukan karakter harus segera dilakukan. Untuk itu, perlu adanya kepedulian dari berbagai pihak, baik oleh pemerintah, masyarakat, keluarga maupun sekolah.Salah satu upaya yang dapat dilakukan yakni melalui pendidikan karakter. Upaya tersebut, selain menjadi bagian dari proses pembentukan akhlak peserta didik, juga dimaksudkan agar peserta didik dapat bersikap santun dalam segala ucapan, sikap, dan tindakan atau perilaku. Dikemukakan oleh T.Ramli (dalam Zainal Aqib dan Sujak, 2011:3) bahwa pendidikan karakter memiliki esensi dan makna yang sama dengan pendidikan moral dan pendidikan akhlak, yakni pendidikan yang bertujuan membentuk pribadi anak agar menjadi manusia yang baik, warga masyarakat, dan warga negara yang baik. Oleh karena itu, hakikat pendidikan karakter dalam konteks pendidikan di Indonesia adalah pendidikan nilai, yakni pendidikan nilai-nilai luhur yang bersumber dari budaya bangsa Indonesia sendiri dalam rangka membina kepribadian generasi muda. Pendidikan karakter bertujuan untuk menanamkan nilai-nilai moral kepada peserta didik. Nilai-nilai moral tersebut meliputi akhlak, budi pekerti, sopan santun. Dengan adanya pendidikan karakter diharapkan peserta didik akan tumbuh dengan kepribadian yang dilandasi dengan nilai-nilai moral yang luhur. Oleh karenanya, dalam menanamkan pendidikan karakter kepada peserta didik, guru harus mampu menjadi teladan bagi anak didiknnya. Dalam pendidikan formal, pendidikan karakter dapat dilakukan melalui pembelajaran bahasa berbasis sastra. Pembelajaran sastra berperan penting dalam pembangunan karena melalui pembelajaran sastra, masyarakat akan terdorong untuk bersikap kritis. Selain itu, sastra juga dapat mengarahkan seseorang kepada pemberdayaan yang tidak saja membuat orang jadi tegas, tetapi juga mampu menghadapi berbagai tantangan di masa mendatang. Melalui pembelajaran bahasa berbasis sastra, bukan hanya pembentukan karakter peserta didik yang terbina tetapi juga keterampilan berbahasa dapat tercapai. Mengingat pentingnya pembelajaran sastra guna membentuk karakter serta meningkatkan keterampilan berbahasa peserta didik, dalam hal ini anak-anak, maka tulisan ini dimaksudkan untuk mendeskripsikan pentingnya sastra sebagai bahan pembelajaran bahasa yang dilaksanakan di sekolah menengah pertama (SMP) kelas awal agar tujuan pendidikan yang dicita-citakan dapat tercapai. B. PENGERTIAN SASTRA ANAK Tidak mudah untuk membuat definisi sastra anak secara tepat. Sebagai suatu bentuk kreasi imajinatif, sastra ditampilkan dengan cara-cara pengungkapan bahasa tertentu yang menggambarkan dunia rekaan, menghadirkan pemahaman dan pengalaman , serta mengandung nilai estetika tertentu. Berkenaan dengan pengertian sastra anak, Endraswara (2005: 207) mengemukakan bahwa sastra anak pada dasarnya merupakan “wajah sastra” yang fokus utamanya demi perkembangan anak. Di dalamnya mencerminkan liku-liku kehidupan yang dapat dipahami oleh anak, melukiskan perasaan anak, dan menggambarkan pemikiranpemikiran anak. Tokoh dalam sastra anak tidak harus anak. Pengertian sastra anak yang dikemukakan oleh Endraswara tersebut menyiratkan bahwa di dalam sastra anak, yang menjadi fokus utama sastra anak adalah anak-anak, ditujukan untuk anak-anak, yang sengaja dibuat untuk dikonsumsi anak-anak sehingga isinya pun 52
PROSIDING SEMINAR NASIONAL ”Pembelajaran Bahasa untuk Meningkatkan Kualitas Manusia Indonesia yang Berkarakter dalam Era Mondial”
disesuaikan dengan dunia anak-anak, mencerminkan perasaan dan pengalaman anak-anak melalui pandangan anak-anak meski tokoh yang terdapat di dalamnya tidak harus anak-anak. Dapat pula ditambahkan di sini bahwa penulis atau pengarangnya tidak harus anak-anak. Meskipun pendefinisian sastra anak sulit dilakukan, tetapi beberapa hal berikut dapat menunjukkan karakteristik sastra anak (children literature) yang membedakannya dari sastra dewasa (adult literature), meski perbedaan tersebut tidak bisa diberi garis batas secara tegas karena keduanya juga memiliki persamaan satu sama lain yang tidak dapat dilepaskan dari hakikat sastra itu sendiri. Saxby dalam Nurgiyantoro (2013:5) mengemukakan bahwa jika (1) citraan dan atau metafora kehidupan yang dikisahkan itu berada dalam jangkauan anak; (2) aspek emosi, perasaan, pikiran, saraf sensori, maupun pengalaman moral, dan diekspresikan dalam bentuk kebahasaan yang juga dapat dijangkau dan dipahami oleh pembaca anak-anak, diklasifikasikan sebagai sastra anak. Huck dalam Nurgiyantoro (2013: 6) juga mengemukakan bahwa dalam sastra anak, anak sebagai pusat penceritaan. Sastra anak adalah buku yang sengaja disediakan untuk dibaca anak. Isi kandungan sastra anak dibatasi oleh pengalaman dan pengetahuan anak, pengalaman dan pengetahuan yang dapat dijangkau dan dipahami oleh anak, yang sesuai dengan dunia anak, sesuai dengan perkembangan emosi dan kejiwaannya. Sastra anak dapat berkisah tentang apa saja yang menyangkut masalah kehidupan ini sehingga mampu memberikan informasi dan pemahaman yang lebih baik tentang kehidupan itu sendiri. Bahkan, sastra anak tidak harus selalu berakhir dengan hal yang menyenangkan, tetapi dapat juga yang sebaliknya. Sebenarnya apa yang terdapat di dalam sastra anak ditemukan juga dalam sastra dewasa, yakni isi cerita yang berkenaan dengan masalah kehidupan. Yang membedakannya menurut Lukens (1999:9) adalah tingkatan pengalaman yang diceritakan dan tingkatan proses pemahaman, bukan pada hakikat kemanusiaannya. C. MANFAAT DAN FUNGSI SASTRA ANAK Bagi perkembangan anak, kedudukan sastra anak menjadi penting karena sebagai sebuah karya, sastra memberikan sesuatu yang sangat berharga bagi pembacanya, yaitu nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Penggunaan bahasa yang indah dan efektif dapat memberikan pengalaman estetik bagi anak. Penggunaan bahasa yang imajinatif dapat menghasilkan responsi-responsi intelektual dan emosional dimana anak akan merasakan dan menghayati peran toikoh dan konflik yang ditimbulkannya, serta membantu anak menghayati keindahan, keajaiban, kelucuan, kesedihan, dan ketidakadilan. Anak-anak akan merasakan bagaimana memikul penderitaan dan mengambil resiko, juga ditantang untuk memimpikan berbagai mimpi serta merenungkan dan mengemukakan berbagai masalah tentang dirinya sendiri, orang lain, dan dunia sekitarnya (Huck, 1987). Dalam kaitannya dengan fungsi sastra anak, Huck (1987: 6-9) menyatakan bahwa dalam karya sastra setidaknya terdapat dua nilai mendasar, yaitu (1) nilai personal (personal value), yang meliputi perkembangan emosional, intelektual, imajinasi, rasa sosial, dan etika/ religius); (2) nilai pendidikan (educational value), yang meliputi pengalaman bereksplorasi, pengembangan kemampuan berbahasa, pengembangan nilai keindahan, penanaman wawasan multikultural, dan penanaman kebiasaan membaca.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL ”Pembelajaran Bahasa untuk Meningkatkan Kualitas Manusia Indonesia yang Berkarakter dalam Era Mondial”
53
Dikemukakan oleh Novi Resmini (file.upi.edu/Direktori/FPBS/JUR_PEND_BHS_DAYSASTRA_INDONESIA/196711031993032_NOVI_RESMINI/SASTRA ANAK) bahwa pengalaman bersastra anak akan diperoleh anak dari manfaat yang terkandung dalam karya sastra melalui unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Melalui unsur intrinsik, karya sastra: (1) memberikan kesenangan, kegembiraan, dan kenikmatan bagi anak-anak, (2) mengembangkan imajinasi anak dan membantu mereka mempertimbangkan dan memikirkan alam, kehidupan, pengalaman atau gagasan dengan berbagai cara, (3) memberikan pengalaman baru yang seolah dirasakan dan dialami sendiri, (4) mengembangkan wawasan kehidupan anak menjadi perilaku kemanusiaan, (5) menyajikan dan memperkenalkan anak terhadap pengalaman universal, dan (6) meneruskan warisan sastra. Melalui unsur ekstrinsik, karya sastra bermanfaat bagi perkembangan anak terutama dalam hal (1) perkembangan bahasa, (2) perkembangan kognitif, (3) perkembangan kepribadian, dan (4) perkembangan sosial. Sastra anak selain untuk mengembangkan imajinasi, fantasi, dan daya kognisi yang akan mengarahkan anak pada pemahaman yang baik tentang alam dan lingkungan, serta pengenalan pada perasaan dan pikiran tentang diri sendiri maupun orang lain. D. PEMBELAJARAN BAHASA Kurikulum berperan penting dalam pelaksanaan pendidikan karena di dalamnya terumuskan tujuan yang hendak dicapai, materi pembelajaran, cara yang digunakan dalam kegiatan pembelajaran, serta penilaian untuk mengetahui ketercapaian tujuan. Menurut Permen RI Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan ditegaskan bahwa kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Termasuk di dalamnya bidang Bahasa dan Sastra Indonesia. Di dalam pendidikan nasional, sastra telah diakui untuk dikembangkan melalui standar isi (SI) yang diprakarsai oleh BSNP (Permendiknas No. 22 Th. 2006). Dalam standar isi (SI) terdapat standar kompetensi (SK) mata pelajaran Bahasa Indonesia yang merupakan kualifikasi kemampuan minimal peserta didik yang digambarkan melalui penguasaan pengetahuan, keterampilan, dan sikap positif terhadap bahasa dan sastra Indonesia. Standar kompetensi ini merupalan dasar bagi peserta didik untuk memehami dan merespon situasi lokal, regional, nasional, dan global. Hal itu berarti kajian sastra dalam lingkungan pendidikan memang menjadi kajian formal yang mesti diperhatikan Pembelajaran bahasa yang baik adalah pembelajaran yang tidak hanya mempelajari tentang bahasa, tata bahasa, tetapi pembelajaran yang komunikatif dan integratif. Peserta didik dikondisikan untuk mempelajari hal-hal yang bersifat komunikatif, ikhwal berbahasa bukan melulu tata bahasa. Meskipun dalam pembelajaran bahasa peserta didik dijejali dengan tata bahasa, tetapi hal itu tidak menjamin peserta didik mampu dan terampil berbahasa dengan baik. Bahkan, sebagaimana dikemukakan oleh Taufiq Ismail (2013) bahwa meskipun begitu mutlak dominannya pengajaran tatabahasa tetapi sebuah kekacauan besar yang permanen berpuluh tahun berlangsung terus, yaitu kekacauan penggunaan istilah ‘kami’ dan ‘kita’. Hal itu tidak kunjung diselesaikan oleh para linguis. Kenyataan tersebut tentu sangat memprihatinkan. Oleh karenanya orientasi pembelajaran bahasa yang hanya menekankan pada pengajaran 54
PROSIDING SEMINAR NASIONAL ”Pembelajaran Bahasa untuk Meningkatkan Kualitas Manusia Indonesia yang Berkarakter dalam Era Mondial”
tatabahasa perlu diubah. Tatabahasa memang penting, tetapi kebermaknaan jauh lebih penting dibandingkan struktur dan bentuk bahasa. Hal itu sesuai dengan paradigma baru pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia yang pembelajarannya berpusat pada peserta didik, kekuatan dan tanggung jawab yang utama berpusat pada peserta didik. Selain itu, peserta didik juga diarahkan dan dibimbing dalam mengembangkan kemampuan menjawab pertanyaan ‘bagaimana’ dan ‘mengapa’, bukan hanya ‘apa’ , ‘siapa’ dan ‘kapan’. Dengan demikian, maka materi atau bahan ajar pun perlu disesuaikan agar upaya untuk mendapatkan kebermaknaan dalam tindak komunikatif, baik lisan maupun tertulis dapat terwujud. E. PEMBELAJARAN BAHASA BERBASIS SASTRA (ANAK) Pembelajaran sastra memiliki peranan penting, bukan hanya dalam memerluas wawasan kehidupan, menambah pengetahuan dan kemampuan berbahasa anak, tetapi juga memerluas pengetahuan hidup dan kehidupan. Dengan begitu anak dapat memeroleh pengalaman hidup dari mendengar ataupun membaca karya sastra. Selain itu, dalam pembelajaran sastra, anak dapat mengungkapkan ide, gagasan, atau pandangan pengarang yang tercermin di dalam karyanya.Karya sastra sastra juga bermanfaat untuk mengasah kepekaan rasa. Sebagaimana dikemukakan Rahmanto (2005: 16 -25), bahwa pembelajaran sastra memiliki empat manfaat, yaitu (1) membantu keterampilan berbahasa, (2) meningkatkan pegetahuan budaya, (3) mengembangkan cipta dan rasa, dan (4) menunjang pembentukan watak. Hal itu menunjukkan bahwa melalui karya sastra, anak dapat memiliki kesadaran akan pentingnya mengenal, membaca, mengapresiasi, dan menilai karya sastra yang dapat memacu mereka pada kemampuan melihat permasalahan secara obektif, membentuk karakter, merumuskan watak, dan kepribadian. Dengan kata lain, karena manfaat pengajaran sastra untuk meningkatkan kemanusiaan, maka pengajaan sastra hendaknya diposisikan sama pentinya dengan pelajaran yang lain. Meskipun pembelajaran sastra memiliki peranan penting, tetapi dalam kenyataannya pembelajaran sastra saat ini kurang mendapat perhatian. Hal itu ditandai dengan pembelajaran sastra yang hanya menjadi bagian dari pengajaran bahasa. Pengajaran sastra tidak diprioritaskan sejajar dengan pengajaran lain, sehingga pengajaran sastra terkesan sebagai tempelan. Jadi belum menjadi pembelajaran yang berdiri sendiri, otonom. Hal itu diperparah dengan kondisi di lapangan. Sastra tidak diajarkan secara maksimal. Pembelajaran sastra masih berkutat pada apa yang terdapat dalam buku teks dan cenderung pada kegiatan menghafal nama-nama pengarang beserta karyanya. Demikian halnya dengan pembelajaran sastra anak. Kalaupun ada diskusi, anak-anak masih terpancang pada hal-hal yang tertera dalam buku teks, anakanak tidak diarahkan kepada pembelajaran yang mampu merangsang dan menumbuhkan naluri cipta sastra mereka, apalagi menumbuhkan sikap kritis mereka dengan menilai karya sastra, dalam hal ini sastra anak. Rahmanto (2012: 9) mengemukakan bahwa kata “sastra’ dapat ditemukan dalam berbagai konteks pernyataan yang berbeda satu sama lain. Hal itu menunjukkan bahwa sastra bukan sekedar istilah untuk menyebut fenomena yang sederhana dan gamblang. Sastra merupakan istilah dengan arti yang luas, meliputi beberapa kegiatan yang berbeda-beda. Misalnya, berdasarkan aktivitas manusia, sastra dipandang sebagai sesuatu yang dihasilkan PROSIDING SEMINAR NASIONAL ”Pembelajaran Bahasa untuk Meningkatkan Kualitas Manusia Indonesia yang Berkarakter dalam Era Mondial”
55
dan dinikmati. Sementara ada juga orang menikmati sastra dengan cara mendengarkan atau membacanya.dapat juga berbicara tentang sastra sebagai sesuatu yang berkaitan erat dengan ciri-ciri khusus bangsa maupun kelompok masyarakat tertentu, seperti sastra Indonesia, sastra Inggris, dan sebagainya. Apapun pengertian yang akan dilekatkan pada istilah sastra, atau apapun konteks pembicaraan tentang sastra, satu hal yang yang tidak bisa dipisahkan dari sastra adalah bahasa. Bahasa, baik lisan maupun tulis merupakan bahan pokok sastra. Sastra memiliki fungsi untuk memberikan kesenangan, kenikmatan dan kemanfaatan. Hal itu menunjukkan bahwa di dalam sastra terkandung nilai-nilai keindahan serta nilai-nilai pendidikan, kehidupan yang dapat menjadi bahan renungan dan refleksi. Dalam kaitannya dengan pembelajaran, pembahasan karya sastra yang berkenaan dengan kehidupan diarahkan pada pengajaran apresiasi sastra, serta bagaimana menggunakan media yang berupa novel, cerpen, puisi atau drama untuk mengungkap nilai-nilai kehidupan selaras dengan tema-tema di dalam karya tersebut. Selama ini rendahnya apresiasi sastra peserta didik sering dikeluhkan berbagai pihak. Berbagai faktor dapat memengaruhi rendahnya apresiasi sastra, antara lain: (1) minimnya pengetahuan guru mengenai sastra dan bersastra. (2) guru enggan membimbing dan melatihkan apresiasi sastra pada peserta didik dengan alasan kegiatan tersebut menyita banyak waktu, tenaga, dan pikiran (3) kurang berminatnya peserta didik terhadap kegiatan apresiasi karena pembelajaran sastra tidak dikemas secara menarik, dan (4) pembelajaran bahasa lebih diarahkan pada ranah kognitif untuk mempersiapkan peserta didik dalam menghadapi UAN. Akibatnya pola pengajaran yang cenderung bersifat hafalan , bukan apresiatif. Siswa disodori begitu banyak teori, konsep, norma-norma sastra, tetapi jarang ditugasi atau diwajibkan membaca karya sastra secara langsung. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pelajaran sastra tidak jauh berbeda dengan pelajaran ilmu sosial . Bukan itu saja, bahkan pelajaran sastra terkesan sebagai ‘pelengkap atau tempelan’ pelajaran bahasa Indonesia. Hal itu diperparah dengan banyaknya materi yang harus diberikan guru kepada siswa. Terlalu banyak beban materi dan cenderung diberikan sebagai hapalan merupakan salah satu faktor tidak efektifnya pengajaran sastra di sekolah (Mahayana, 2011:118). Berkenaan dengan pembelajaran, perlu diupayakan agar pengajaran sastra anak dapat memberikan sumbangan yang maksimal untuk pendidikan secara utuh. Pengajaran sastra anak dapat membantu pendidikan secara utuh apabila cakupannya meliputi empat manfaat, yaitu membantu keterampilan berbahasa; meningkatkan pengetahuan budaya; mengembangkan cipta dan rasa; dan menunjang pembentukan watak/karakter. Selain itu, pembelajaran sastra anak hendaknya lebih berorientasi pada siswa sehingga fungsi sastra yang memberikan manfaat dan kesenangan dapat dirasakan dan dinikmati oleh siswa. Oleh karena itu, dalam pembelajaran , guru harus selalu berupaya menciptakan iklim pembelajaran yang menarik sehingga mampu menumbuhkan kreativitas peserta didik. Sastra dalam dunia pendidikan diharapkan dapat mewujudkan cita-cita pendidikan nasional yang saat ini tengah disemarakkan oleh pendidikan karakter, sesuai dengan standar kompetensi dalam mata pelajaran bahasa Indonesia, yaitu: (1) Peserta didik dapat mengembangkan potensinya sesuai dengan kemampuan, dan minatnya, serta dapat menumbuhkan penghargaan terhadap hasil karya kesastraan dan hasil intelektual bangsa
56
PROSIDING SEMINAR NASIONAL ”Pembelajaran Bahasa untuk Meningkatkan Kualitas Manusia Indonesia yang Berkarakter dalam Era Mondial”
sendiri; (2) Pendidik dapat memusatkan perhatian kepada pengembangan kompetensi bahasa peserta didik dengan menyediakan berbagai kegiatan berbahasa, bersastra, dan sumber belajar; (3) Pendidik lebih mandiri dan leluasa dalam menentukan bahan ajar kebahasaan dan kesastraan sesuai dengan kondisi lingkungan sekolah dan kemampuan peserta didiknya; (4) Orang tua dan masyarakat dapat secara aktif terlibat dalam pelaksanaan program kebahasaan dan kesastraan di sekolah; (5) Sekolah dapat menyusun program pendidikan tentang kebahasaan dan kesastraan sesuai dengan keadaan peserta didik dan sumber belajar yang tersedia; dan (6) Daerah dapat menentukan bahan dan sumber belajar kebahasaan dan kesastraan sesuai dengan kondisi dan kekhasan daerah dengan tetap memperhatikan kepentingan nasional. Dalam Permendiknas No 22 Th.2006 mata pelajaran Bahasa Indonesia bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan : (1)Berkomunikasi secara efektif dan efisien sesuai dengan etika yang berlaku, baik secara lisan maupun tulis; (2) Menghargai dan bangga menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dan bahasa negara; (3) Memahami bahasa Indonesia dan menggunakannya dengan tepat dan kreatif untuk berbagai tujuan; (4) Menggunakan bahasa Indonesia untuk meningkatkan kemampuan intelektual, serta kematangan emosional dan sosial; (5) Menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk memperluas wawasan, memperhalus budi pekerti, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa: (6) Menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah budaya dan intelektual manusia Indonesia. Atas dasar itulah, penekanan pembelajaran sastra diorientasikan pada manfaatnya bagi pengembangan karakter peserta didik, disamping manfaat estetis. Penekanan ini menjadi bagian terpenting di dalam pembelajaran bersastra yang meliputi kegiatan mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis. Hal ini menunjukkan bahwa pembelajaran bahasa berbasis sastra tidak hanya dapat meningkatkan kemampuan dan keterampilan berbahasa peserta didik, tetapi juga dapat membina dan membentuk karakter peserta didik melalui berbagai jenis karya sastra anak. Dengan begitu, tujuan pendidikan nasional yang dicita-citakan dapat terwujud. F. PENUTUP Dari uraian di atas dapat ditarik simpulan bahwasanya sastra memegang peranan penting dalam mencapai tujuan pendidikan nasional. Pengajaran sastra anak dapat membantu pendidikan secara utuh apabila cakupannya meliputi empat manfaat, yaitu membantu keterampilan berbahasa; meningkatkan pengetahuan budaya; mengembangkan cipta dan rasa; dan menunjang pembentukan watak/karakter Daftar Pustaka Endraswara, Suwardi. (2005). Metode dan Teori Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Buana Pustaka. Huck, Carlotte S. Dkk. (1987). Children”s Literature: In the Elementary School. New York: Holt Rinehart and Winston. Lukens, Rebecca J. (1999). A Critical Handbook of Children’s Literature. Sixth Edition. New York: Longman.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL ”Pembelajaran Bahasa untuk Meningkatkan Kualitas Manusia Indonesia yang Berkarakter dalam Era Mondial”
57
Mahayana, Maman S. (2011).”Visi dan Misi Kesusastraan Indonesia Abad XXI” dalam Bahasa, Sastra, dan Budaya Indonesia: dalam Jebakan kapitalisme. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma. Nurgiyantoro, Burhan. (2013). Sastra Anak : Pengantar Pemahaman Dunia Anak. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Rahmanto,B. 2005. Metode Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Kanisius. Remini, Novi. file.upi.edu/Direktori/FPBS/JUR_PEND_BHS_DAY_SASTRA_INDONESIA/ 196711031993032 _ NOVI_RESMINI/SASTRA ANAK. Diunduh 11-12-2013 Pk. 21.15.
58
PROSIDING SEMINAR NASIONAL ”Pembelajaran Bahasa untuk Meningkatkan Kualitas Manusia Indonesia yang Berkarakter dalam Era Mondial”